Efektivitas Pemerintahan dan Pelembagaan Sistem Kepartaian ... · 1 Efektivitas Pemerintahan dan...

17
1 Efektivitas Pemerintahan dan Pelembagaan Sistem Kepartaian Melalui Pelaksanaan Keserentakan Pemilu Nasional 1 August Mellaz 2 Latar Belakang Dapatkah sistem pemilihan dan pemerintahan presidensialisme Indonesia mewujudkan mandat dari UU Pemilu, yaitu; menghasilkan pemerintahan yang kuat, pembentukkan parlemen yang efektif, proporsionalitas dengan kadar keterwakilan lebih tinggi, dan pembangunan parpol. Ternyata tidak. Sistem yang diterapkan di Indonesia, justru menghasilkan presidensialisme yang tidak stabil, fragmentasi sistem kepartaian yang semakin meluas, dan disproporsionalitas yang tinggi. Pemilihan Presiden secara langsung mulai dari putaran pertama hingga kedua, hanya mampu menghasilkan tingkat legitimasi politik yang lebih tinggi (pemilih) dari presiden terpilih. Namun gagal mewujudkan pemerintahan yang stabil, sekaligus gagal dalam fungsinya untuk membentuk parlemen yang efektif. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa, sistem pemilihan yang kita gunakan memungkinkan munculnya presiden terpilih yang meskipun memperoleh dukungan mayoritas (pemilih), namun bisa saja dukungan parlemennya (DPR) rendah atau minoritas. Sedangkan dukungan DPR merupakan suatu keharusan akibat ketentuan konstitusi yang menyatakan, bahwa UU dibuat bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Kedua, kegagalan di atas didasarkan juga pada alasan oleh karena pelaksanaan pemilu nasional (pemilu legislatif nasional dan pemilihan presiden) dilaksanakan secara terpisah. Pemilihan Presiden 2004 membuktikan fakta yang dimaksud di atas. Dengan diusung oleh gabungan partai Demokrat, PKPI, dan PBB yang memperoleh 11,33 % total suara nasional dan 19 % kursi di DPR pada pemilu legislatif 2004. 3 SBY keluar sebagai pemenang dengan perolehan 60,62 % suara pemilih pada Pilpres putaran kedua. Beranjak dari kondisi tersebut, secara teoritis pemerintahan yang terbentuk memiliki kecenderungan tidak stabil, dan akhirnya fakta empiris membuktikannya. Efek ini kemudian semakin berlanjut, dimana sistem presidensialisme yang berjalan menjadi tidak efektif. Dengan kata lain, bahwa efektivitas pemerintahan secara signifikan dipengaruhi oleh berbagai hambatan, baik secara potensial maupun faktual dari DPR. Terlebih lagi jika presiden terpilih hanya memiliki dukungan kecil di parlemen, maka kerap muncul berbagai hambatan terhadap rencana atau kebijakan pihak eksekutif, terlebih jika rencana kebijakan ini tidak disetujui DPR. Selain faktor di atas, lemahnya sistem pemerintahan presidensialisme Indonesia juga didasari oleh tidak adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) terjadi diantara cabang-cabang kekuasaan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Sebagai contoh, misalnya kewenangan legislasi (kekuasaan membuat undang-undang). Pada negara-negara yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan (Amerika Serikat), kewenangan menyusun undang-undang ada pada lembaga legislatif (Kongres atau Senate). Sedangkan kekuasaan eksekutif adalah 1 Materi ini sebelumnya pernah disampaikan pada beberapa diskusi internal dan sampaikan sebagai materi utama dengan kalangan media menjelang pembahasan RUU Pemilihan Presiden. 2 Koordinator Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pipit R. Kartawidjaja yang telah bersedia membaca naskah awal dan memberikan masukan bagi paper ini. Terutama untuk pendalaman tentang sistem pemerintahan di Amerika Latin (Benua Presidensialisme). 3 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004#Hasil_Pemilu_Presiden_Putaran_Pertama_2004

Transcript of Efektivitas Pemerintahan dan Pelembagaan Sistem Kepartaian ... · 1 Efektivitas Pemerintahan dan...

1

Efektivitas Pemerintahan dan Pelembagaan Sistem KepartaianMelalui Pelaksanaan Keserentakan Pemilu Nasional1

August Mellaz2

Latar Belakang

Dapatkah sistem pemilihan dan pemerintahan presidensialisme Indonesia mewujudkanmandat dari UU Pemilu, yaitu; menghasilkan pemerintahan yang kuat, pembentukkanparlemen yang efektif, proporsionalitas dengan kadar keterwakilan lebih tinggi, danpembangunan parpol. Ternyata tidak. Sistem yang diterapkan di Indonesia, justrumenghasilkan presidensialisme yang tidak stabil, fragmentasi sistem kepartaian yang semakinmeluas, dan disproporsionalitas yang tinggi.

Pemilihan Presiden secara langsung mulai dari putaran pertama hingga kedua, hanya mampumenghasilkan tingkat legitimasi politik yang lebih tinggi (pemilih) dari presiden terpilih. Namungagal mewujudkan pemerintahan yang stabil, sekaligus gagal dalam fungsinya untukmembentuk parlemen yang efektif. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa, sistem pemilihanyang kita gunakan memungkinkan munculnya presiden terpilih yang meskipun memperolehdukungan mayoritas (pemilih), namun bisa saja dukungan parlemennya (DPR) rendah atauminoritas. Sedangkan dukungan DPR merupakan suatu keharusan akibat ketentuan konstitusiyang menyatakan, bahwa UU dibuat bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Kedua,kegagalan di atas didasarkan juga pada alasan oleh karena pelaksanaan pemilu nasional(pemilu legislatif nasional dan pemilihan presiden) dilaksanakan secara terpisah.

Pemilihan Presiden 2004 membuktikan fakta yang dimaksud di atas. Dengan diusung olehgabungan partai Demokrat, PKPI, dan PBB yang memperoleh 11,33 % total suara nasionaldan 19 % kursi di DPR pada pemilu legislatif 2004.3 SBY keluar sebagai pemenang denganperolehan 60,62 % suara pemilih pada Pilpres putaran kedua. Beranjak dari kondisi tersebut,secara teoritis pemerintahan yang terbentuk memiliki kecenderungan tidak stabil, dan akhirnyafakta empiris membuktikannya. Efek ini kemudian semakin berlanjut, dimana sistempresidensialisme yang berjalan menjadi tidak efektif. Dengan kata lain, bahwa efektivitaspemerintahan secara signifikan dipengaruhi oleh berbagai hambatan, baik secara potensialmaupun faktual dari DPR. Terlebih lagi jika presiden terpilih hanya memiliki dukungan kecil diparlemen, maka kerap muncul berbagai hambatan terhadap rencana atau kebijakan pihakeksekutif, terlebih jika rencana kebijakan ini tidak disetujui DPR.

Selain faktor di atas, lemahnya sistem pemerintahan presidensialisme Indonesia juga didasarioleh tidak adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) terjadi diantara cabang-cabangkekuasaan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Sebagai contoh, misalnya kewenanganlegislasi (kekuasaan membuat undang-undang). Pada negara-negara yang menerapkankonsep pemisahan kekuasaan (Amerika Serikat), kewenangan menyusun undang-undang adapada lembaga legislatif (Kongres atau Senate). Sedangkan kekuasaan eksekutif adalah

1 Materi ini sebelumnya pernah disampaikan pada beberapa diskusi internal dan sampaikan sebagaimateri utama dengan kalangan media menjelang pembahasan RUU Pemilihan Presiden.2 Koordinator Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada PipitR. Kartawidjaja yang telah bersedia membaca naskah awal dan memberikan masukan bagi paper ini.Terutama untuk pendalaman tentang sistem pemerintahan di Amerika Latin (Benua Presidensialisme).3 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004#Hasil_Pemilu_Presiden_Putaran_Pertama_2004

2

menjalankan mandat atau mengeksekusi UU. Di Indonesia, kewenangan pembuatan UU adabersama-sama di tangan DPR dan Presiden. Keadaan semacam ini, dalam berbagai referensipemilu disebut sebagai pemerintahan yang didasarkan pada asas “convergence of power”,dimana terjadi suatu kolaborasi di antara cabang-cabang kekuasaan (dalam hal ini antaraPresiden dengan DPR untuk membuat UU). 4

Seringkali Amerika Serikat dianggap sebagai contoh sistem presidensial yang kuat dan efektif.Karena sering dianggap sebagai negara dengan sistem dua partai, maka ahli-ahli politikIndonesia seringkali memunculkan pendapat, bahwa Indonesia perlu hanya dua parpol ataumulti keparpolan sederhana. Ini berarti bahwa parpol “gurem” diberangus, atau parpol barudipersulit lewat berbagai syarat berat dalam pendiriannya. Namun kita tidak pernahmemperhatikan secara jelas, bahwa konsep pemisahan kekuasaan terdefinisikan secaraoperasional. Dalam hal pembuatan legislasi, maka kongres (DPR) lebih berperan dan bukanPresiden. Sedangkan hak veto dimiliki presiden untuk dapat menghentikan atau membatalkanpengesahan UU yang diajukan oleh kongres, jika presiden tidak setuju. Pemisahan ini yangpada akhirnya menjadi konsep operasional dari mekanisme check and balance. Dengan katalain dalam negara yang mengenal pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang pemerintahan,maka berlaku sebuah sistem “pengawasan dan perimbangan” yang dirancang untukmemperbolehkan tiap lembaga negara membatasi kekuasaan yang lain.5 Sebagai contoh laindapat kita lihat di Argentina, dari awal abad ke 20 sampai tahun 70an, juga menggunakansistem presidensialismenya dwiparpol dan multikepartaian sederhana. Begitu juga yang terjadidi Uruguay, namun sistem politiknya ternyata tidak stabil. Oleh karena itu, ternyata sistemmultipartai sederhana ataupun dwiparpol ternyata tidak menjamin berlangsungnya mekanismecek and balance di negara-negara Presidensialisme Amerika Latin. Oleh karena itu, makamereka lakukan perumusan formula ulang dan kemudian berpindah ke konsep convergence ofpower dengan multikepartaian. (Lihat lampiran)

Beranjak dari fakta politik dan sistemik semacam ini, harusnya mengajarkan kita untukmerumuskan suatu formula kebijakan dan penerapan sistem pemilihan yang sesuai.Pengalaman negara-negara Amerika Latin memberikan suatu lesson learn, agar pemerintahanyang stabil dapat terwujud, maka pelaksanaan pemilu nasional secara serentak (pemilulegislatif nasional dan pemilihan presiden) menjadi satu alternatif yang efektif. Ditandaidengan penerapan sistem pemerintahan presidensialisme dan sistem kepartaian yang multimirip dengan Indonesia, maka keserentakan pemilu dapat menjadi jawaban atas masalahyang saat ini juga dihadapi Indonesia.

Keserentakan pemilu, dalam pengalaman Amerika Latin menunjukkan bahwa presiden terpilihtidak saja dapat memperoleh legitimasi kuat dari para pemilih, namun juga dukungan yangsignifikan di tingkat parlemen. Kombinasi legitimasi pemilih dan parlemen ini pada akhirnyamendorong efektivitas pemerintahan presidensialisme, sekaligus berkontribusi secara positifdalam penyederhanaan dan pelembagaan sistem kepartaian.

4 Efektivitas pemerintahan presidensial tergantung pada dua hal; yaitu, sitem pemilihan presiden yangdapat menghasilkan legitimasi substansial (mayoritas/terbesar) dari pemilih, dan porsi dukunganparlemen untuk bekerjasama dalam menyusun UU. Lebih lanjut lihat, J. Mark Payne, et all:"Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America", (The Inter-AmericanDevelopment Bank and the International Institue for Democracy and Electoral Assitance, The JohnHopkins University Press, Washington D.C 2002), hlm. 785 Lebih lanjut tentang pembagian kekuasaan antar cabang-cabang kekuasan lihat Richard M. Pious,Demokrasi, Office of International Information Programs US Departement of State, hlm. 45

3

Berbagai varian pemilihan diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan presiden, setidaknya; 1.Pluralitas (calon presiden lolos berdasarkan suara terbanyak tanpa putaran II). 2. Mayoritas(calon presiden lolos dengan perolehan suara 50 % plus 1, jika tidak maka dua kandidatterbanyak maju pada putaran II). 3. Runoff with a reduced threshold (di Argentina, calonpresiden lolos jika perolehan suaranya 45%, atau perolehan suara 40% dengan jarak 10%suara dari kandidat kedua).6

Varian Sistem Pemilihan; Efek Terhadap Pemerintahan dan Pelembagaan SistemKepartaian

Sistem pemilihan merupakan suatu desain yang dapat memperlihatkan secara jelas mandatpresiden terpilih dengan mensyaratkan putaran kedua, jika tidak ada kandidat satupunkandidat meraih suara cukup pada putaran pertama. Putaran kedua sendiri menjadi suatujaminan bahwa seorang presiden pada akhirnya terpilih secara mayoritas, tanpa dipengaruhioleh seberapa kecil perolehan suaranya pada putaran pertama.

Secara umum, pemilihan presiden menggunakan dua formula besar, yaitu; pluralitas danmayoritas. Namun selain itu, ada lagi yang disebut winner takes all seperti di Amerika Serikat.Disebut winner takes all, karena pemilihan dilaksanakan secara tidak langsung, yaitu lewatelectoral college yang jumlahnya suaranya setiap daerah pemilihan sama dengan jumlah kursikongres (DPR). Jadi, jika SBY menang di Jakarta, maka otomatis menyabet 21 suara (samadengan jumlah kursi DPR untuk Jakarta = 21 kursi), sedangkan Megawati sebagai pesaingtidak akan mendapatkan.

Dalam varian pluralitas, presiden terpilih berdasarkan perolehan suara terbesar, sehingga tidakada pemilihan putaran kedua. Sedangkan dalam varian mayoritas, kandidat harus dapatmeraih suara 50% plus satu untuk dapat terpilih pada putaran pertama. Jika tidak ada kandidatyang memenuhi persyaratan tersebut pada putaran pertama, maka dilaksanakan pemilihanputaran kedua bagi dua kandidat yang perolehan suaranya terbesar pada putaran pertama. 7

Sebagai suatu perubahan baru, beberapa negara menerapkan syarat baru bagi terpilihnyaseorang kandidat, yaitu menurunkan syarat dibawah batas mayoritas (misalnya dengan 40%perolehan suara, kandidat tersebut menjadi pemenang pada putaran pertama). Ketentuan inikemudian disebut sebagai runoff with reduced threshold.8

Sejauhmana kombinasi keserentakan pemilu dan penggunaan varian pemilihan berpengaruhpada pemerintahan. Penilaian tersebut menjadi pertimbangan masing-masing negaratergantung pada situasi politik dan dinamika sosial yang ada. Setidaknya beranjak dari

6 Untuk run off with a reduced threshold, prosentase suara untuk pemenang bervariasi tergantung darinegara-negara yang menerapkannya (Ecuador menerapkan angka 40% dengan jarak 10% dari kandidatterdekat. Nicaragua, awalnya menetapkan angka 45%, kemudian diturunkan menjadi 40%, atau 35%dengan jarak 5% dari kandidat terdekat). Tujuan lain dari varian ini adalah, menghasilkan presidenterpilih secara langsung pada putaran pertama, dan meskipun disediakan putaran kedua jika tidak adakandidat yang memenuhi syarat, namun biasanya jarang terjadi. Ketiga-tiganya, baik varian pluralitas,mayoritas, maupun reduced threshold selain dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yangstabil (legitimasi kuat baik oleh pemilih maupun parlemen), masing-masing akan memberikan insentifbagi munculnya koalisi, penggabungan, merger partai politik, yang bermanfaat bagi penyederhanaansistem kepartaian pada derajat yang berbeda, jika dilaksanakan secara serentak. Lebih lanjut lihat,Opcit, J. Mark Payne, hlm 67-81.7 Ibid, hlm. 668 Ibid, hlm. 67

4

kesamaan pendapat bahwa, masing-masing varian dikombinasikan dengan keserentakanpemilihan akan menghasilkan dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak secaralangsung terkait tingkat legitimasi presiden terpilih terkait dengan batas kemenangan yangharus diraih. Misalnya, jika presiden terpilih meraih 60% suara pemilih dalam pemilihan secaraserentak, maka mandat legitimasi yang dia peroleh baik dari pemilih maupun dari parlemenjuga akan besar. Sehingga secara potensial pemerintahan yang terbentuk dapat berjalanefektif. Bandingkan jika hanya memperoleh 30% saja, maka hal yang sebaliknya akan berlaku.

Dalam varian pluralitas, dimana presiden terpilih secara langsung berdasarkan suaraterbanyak, akan memberikan insentif bagi partai politik (khususnya kecil dan menengah) untukberaliansi atau mengorganisir koalisi sebelum pelaksanaan pemilu. Begitu juga bagi pemilih,akan lebih fokus baik pada kandidat atau partai yang lebih memiliki peluang untuk menang.Efek ini akan berlanjut lagi jika jumlah kandidat atau partai politiknya dibatasi, karena berartijuga mempersempit jumlah partai atau koalisi partai untuk dapat memperoleh kursi legislatif.9Varian pluralitas dikombinasikan dengan keserentakan pemilihan presiden dan DPR, dalamberbagai studi menghasilkan tingkat konsentrasi sistem kepartaian yang paling tinggi, dengankata lain sistem kepartaian yang terbentuk akan semakin baik.

Tabel di bawah menjelaskan kecenderungan penyederhanaan (konsentrasi partai politik) jikapemilu legislatif nasional dengan pilpres dilaksanakan secara serentak (concurent).10

Tabel Konsentrasi Parpol: Pemilu DPR Nasional Dilaksanakan Serentak dengan Pilpres (Concurent)

Tendency toward Concentration of the Party System according to Different Presidential Elections SystemConcurrent Not concurrent

Plurality 1 3Runoff with reduced threshold 2 4Majority runoff 4 6Note: A score of one means the most concentrated outcome, six the least concentrated

Catatan:- Disebut concurrent karena pada saat bersamaan pilpres bersaing dengan pemilu legislatif nasional.- Disebut non concurrent karena pelaksanaan pilpresnya dipisah dengan pemilu legislatif nasional.

Dalam varian mayoritas, dimana presiden terpilih berdasarkan persyaratan perolehan suara50% plus satu, seringkali menghasilkan efek secara tidak langsung bahwa presiden terpilihdengan mandat yang lemah dan disertai dukungan legislatif yang rendah. Pada pemilihanyang dilaksanakan secara serentak, maka kompetisi presiden memiliki kecenderungan untukmempersempit wilayah kompetisi partai politik dalam perebutan kursi legislatif. Varian ini jugatidak memberikan insentif yang kuat bagi partai politik untuk berkoalisi sebelum putaranpemilihan pertama, karena masih tersedianya potensi dua kandidat teratas untuk bertarungdalam putaran kedua. Keadaan ini, seringkali dimanfaatkan oleh partai politik untuk lebih fokusterlebih dahulu pada putaran pertama untuk meraih sebanyak-banyaknya kursi legislatif,sehingga meningkatkan posisi tawarnya dihadapan dua dengan kandidat calon presiden yanglolos pada putaran kedua. Varian juga mendorong munculnya sejumlah besar partai politikmaupun kandidat dalam bertarung untuk merebutkan kursi legislatif ataupun memenangkanpemilihan presiden. Konsekuensi empirik dari varian mayoritas ini adalah meluasnya

9 Opcit, J Mark Payne, hlm. 68-6910 Ibid, hlm. 70

5

fragmentasi sistem kepartaian yang terbentuk, lebih lagi jika pemilihan dilaksanakan tidakserentak.11

Runoff with a reduced threshold, dengan 40 atau 45 persen suara untuk meloloskan presidenterpilih memberikan efek pembatasan jumlah dari kandidat presiden, maupun partai politikbertarung pada pemilu. Selain memberikan peluang lebih besar bagi kandidat presiden untukterpilih pada putaran pertama, juga memberikan insentif bagi partai politik untuk berkoalisisebelum pemilihan, dan termasuk strategi bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Jikatidak ada kandidat yang memenuhi syarat pada putaran pertama, maka putaran kedua akanmemberikan keuntungan bagi perluasan mandat kandidat terpilih.12

Efek Pelaksanaan Pemilu Serentak Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian

Secara teoritis, jika pelaksanaan pemilu nasional (pemilihan presiden dan DPR nasional)dilaksanakan serentak pada hari yang sama, terbuka peluang bagi partai politik untukmendapatkan suara signifikan dalam pemilihan legislatif. Ini terjadi karena efek yang disebut“coattails”, dimana preferensi pemilih terhadap kandidat presiden juga akan diberikan kepadacalon legislatif atau calon dari daftar partai yang sama. 13

Sama dengan yang terjadi di Indonesia, sistem presidensialisme Amerika Latin dianggapsebagai sistem politik alamiah. Karena faktor pemilihan presiden dianggap yang terpenting,dimana pemilihan presiden akan memberi pengaruh pada pemilihan legislatif, dan selanjutnyasistem kepartaian. Keeratan kaitan antara ketiga variabel tersebut (presiden-legislatif/parlemen-sistem kepartaian) oleh seorang pakar pemilu (Dieter Nohlen) merupakanefek ketergantungan yang dapat diatasi ataupun diukur lebih tepat melalui dua derajatkeserentakan; waktu pelaksanaan, dan kertas suara pencoblosan yang sama. Semakinserentak pelaksanaan pemilu, maka semakin tinggi isu pemilihan presiden dalammempengaruhi pemilihan anggota legislatif, 14 dan tingkat konsentrasi sistem kepartaian15.Keserentakan pelaksanaan pemilu nasional (pemilu DPR dan pemilihan presiden) dilakukanbersamaan pada hari yang sama, dan dipisah dengan jadwal pelaksanaan pemilu lokal (DPRDdan Pilkada), pada banyak negara terutama Amerika Latin menjadi suatu mekanisme yangmendapatkan porsi kajian tersendiri, oleh banyak pemerhati pemilu karena berbagaikeuntungan maupun konsekuensi yang dapat dihasilkan dalam pengembangan demokrasi dansistem kepartaian.16

11 Ibid, hlm. 68-6912 Ibid, hlm. 69-7013 Efek ini menguntungkan tidak hanya partai politik besar, namun termasuk bagi partai kecil, terlebihjika calon presiden yang diusung merupakan figure popular, maka partai yang mencalonkannya akanmendapatkan berkah ikutan atau yang disebut efek “coattail”. Lebih lanjut, Opcit, J. Mark Payne,hlm. 6514 Pipit R. Kartawidjaya dan Mulyana W. Kusumah, Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden “SuatuStudi Banding”, KIPP Eropa-FNS-INSIDE, hlm. 3915 Opcit, J. Mark Payne, hlm 7016 18 negara di kawasan Amerika Latin melaksanakan pemilihan presiden dan legislatif nasional secaraserentak, dan dipisah dengan pemilu lokal (Pilkada dan DPRD). 5 negara (Honduras, Mexico, Panama,Paraguay, dan Venezuela) menerapkan sistem pluralitas dalam pemilihan presiden.9 negaramenerapkan sistem majority runoff (Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, El Salvador, Guatemala, Peru,Uruguay, dan Rep. Dominika). Sedangkan 4 negara (Argentina, Costa Rica, Nicaragua, dan Ecuador)memakai sistem runoff with reduced threshold dengan ketentuan seperti Argentina, presiden terpilihjika meraih 45% suara sah atau 40% suara sah dengan jarak 10% dari kandidat kedua. Lebih lanjut,Ibid, hlm. 70-72

6

Berbagai faktor menjadi latar belakang, sekaligus dianggap sebagai keuntungan daripelaksanaan pemilu secara serentak. Pada banyak negara menghasilkan kecenderungan;Pertama, tingkat legitimasi presiden terpilih menjadi kuat, baik secara popular (pemilih)maupun dukungan parlemen. Kedua, besarnya kemungkinan presiden terpilih secaralangsung pada putaran pertama (terutama pada sistem pluralitas). Ketiga, efekpenyederhanaan sistem kepartaian, melalui; a) Insentif bagi partai politik untuk beraliansi,membentuk koalisi, maupun bergabung baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihanlegislatif. b) mempersempit wilayah kompetisi dan jumlah partai politik dalam meraih kursilegislatif.17

Penyederhanaan sistem kepartaian yang biasanya ditandai dengan rendahnya fragmentasisistem kepartaian merupakan manfaat yang berharga bagi stabilitas pemerintahan demokratis.Melalui studinya, J. Mark Payne dkk (2002), memberikan bukti empirik bahwa pada kurunwaktu tahun 1978-2000, 18 negara di kawasan Amerika Latin yang menerapkan pelaksanaanpemilu secara serentak menghasilkan sistem kepartaian yang sederhana. Dengan menghitungjumlah efektif partai politik di parlemen, maka dalam negara-negara yang menggunakansistem pluralitas rata-rata dihasilkan sistem kepartaian 2,67 atau 3 partai. Dalam sistemrunoff with a reduced threshold dihasilkan sistem kepartaian 3,19 atau 3 partai. Sedangkanuntuk negara-negara yang menerapkan sistem mayoritas, dihasilkan sistem kepartaian 4,02atau 4 partai.18

Meskipun memiliki struktur politik yang sama dengan Amerika Latin, hal berbeda terjadi diIndonesia. Melalui penghitungan efektivitas sistem kepartaian di atas, berdasarkan hasilPemilu 2004, untuk Indonesia dihasilkan sistem kepartaian 7 partai (berdasarkan hitunganENPP-matematika parpol). Ini menunjukkan bahwa, fragmentasi sistem kepartaian Indonesialebih meluas (terfragmentasi) dibandingkan dengan di Amerika Latin.19 Sebagai catatan, jikadihitung berdasarkan ENPP, di Brazil sendiri fragmentasi sistem kepartaiannya meluas, yaitu9,3. Hal ini disebabkan beberapa hal; penerapan pemilihan presiden proporsional daftarterbuka dengan sistem mayoritas (50% plus satu), pelaksanaan pemilu yang serentak antarapresiden, DPR, dan Senat. Sehingga berdampak pada terjadinya persebaran kekuatan politikyang luas.

Karena berbagai kelebihan yang dapat dihasilkan melalui keserentakan pelaksanaan pemiluseperti yang disebutkan di atas, turut memberi pengaruh dalam mendukung rekomendasiperbaikan formula pemilu Indonesia di masa mendatang, seperti yang disebutkan dibawah:

Pertama, penguatan fokus terhadap isu. Jika pelaksanaan pemilu lokal dipisahkan, maka isulokal menjadi fokus utama. Tidak ada lagi pencampuradukan antara isu nasional dengan isulokal. Dengan kebijakan desentralisasi, penguatan isu nasional dan lokal akan mendapatkanporsi tersendiri, terutama dikaitkan dengan fokus dan lokasi isunya. Jika pada pemilu nasional,maka isu nasional (misalnya UU N0 32/2004; 1. urusan luar negeri, 2. fiskal, 3. agama, 4.pendidikan, dan 5. keamanan) akan menjadi perhatian utama dari partai untuk bahankampanye tentang kebijakan nasional yang akan diambilnya, dan pemilih akan menentukanisu nasional ini sebagai preferensi dalam melakukan pemungutan suara. Sedangkan dalampemilu lokal, meskipun struktur organisasi kepartaian bersifat nasional, namun partai padatingkat lokal akan fokus dalam penentuan isu lokal, begitu juga preferensi pemilih.

17 Ibid, hlm. 68-6918 Ibid, hlm. 7319 August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaya, Memproyeksi Pemilu 2009 “Daerah Pemilihan,Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian”, hlm. 9

7

Kedua, pemisahan keserentakan pelaksanaan pemilu akan mendorong desentralisasikewenangan yang akan menguatkan pelembagaan kepartaian. Bukan selalu berarti,desentralisasi kewenangan ini sama dengan perubahan pada struktur organisasi partai politik(nasional menjadi partai lokal, meskipun hal ini mungkin saja terjadi). Struktur organisasi partaipolitik dapat saja tetap bersifat nasional, tetapi fokus perhatian dan kewenangan kebijakanpenentuan dan pengelolaan isu dapat terdesentralisasi pada struktur partai tingkat lokal.

Ketiga, sebagai mekanisme evaluasi terhadap kebijakan nasional. Tidak selamanya kebijakannasional yang selama ini menjadi otoritas pemerintahan pusat dapat diterima oleh daerah.Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu nasional yang terpisah (Pilpres-DPR bersamaan) danpisah dengan pemilu lokal (Pilkada-DPRD), dengan sendirinya menjadi mekanisme efektifdalam evaluasi kebijakann nasional. Terdapat kecenderungan dalam pemisahan antara pemilunasional dan lokal. Jika kebijakan nasional dianggap tidak bermanfat bagi daerah, biasanyapartai pendukung presiden yang berada pada tingkat daerah menjadi tidak populer, sehinggakurang mendapat dukungan dalam pemilu lokal. Kecenderungan ini pada akhirnya menjadimekanisme evaluasi terhadap pemerintahan pusat, artinya presiden dan partai pendukungnyasadar bahwa kebijakannya ternyata tidak didukung oleh daerah. Selain itu, partai politik ataukader yang sukses kepemimpinannya di tingkat lokal, akan punya peluang dalammeningkatkan kariernya pada level nasional. Karena, kepemimpinannya akan diuji padaderajat, dan dinamika politik yang lebih tinggi di tingkat lokal.

Keempat, potensi penyederhaan sistem kepartaian melalui keserentakan pelaksanaan pemilusekaligus mengurangi fragmentasi politik. Pelaksanaan pemilu nasional yang terpisah denganpemilu lokal. Misalnya, pilpres dan DPR yang bersama-sama secara otomatis memberikaninsentif bagi pembentukan koalisi antar partai. Banyak referensi dan pelaksanaan pemilu yangterpisah, terbukti efektif dalam pengembangan demokrasi dan sistem kepartaian di berbagainegara yang memiliki sistem politiknya dengan Indonesia.

Kelima, dengan adanya pemisahan pemilu legislatif lokal dan nasional, maka parpol-parpoldipersilahkan untuk ikut berkompetisi, misalnya dalam pemilu lokal (mengakui parpol lokal),atow nasional. Dibandingkan dengan pemasangan ketentuan electoral threshold di Indonesiayang dimaksudkan sebagai instrumen penyederhanaan parpol, namun ternyata gagalberfungsi. Dapat saja, parpol lokal bertarung dalam pemilu lokal pada awalnya, atau dipasangsyarat untuk dapat bertarung dalam pemilu nasional, misalnya jika telah mengikuti 50 persenpemilu propinsi. Oleh karena itu, masalah keutuhan NKRI pada akhirnya tidak menjadi alasan,karena seharusnya larangan pembentukan parpol hanya jika melanggar UU.

Catatan atas Pelaksanaan Pemilu Indonesia Yang Terpisah:

1. Durasi Waktu Jeda pelaksanaan antara Pemilu Legislatif dengan Pemilihan Presiden putaran

pertama dan kedua yang panjang (estimasi 6 bulan)

2. Biaya Mahalnya pembiayaan pelaksanaan Pemilihan Presiden-APBN (putaran pertama dan

putaran kedua) Munculnya ”biaya-biaya politik” karena setelah pemilu legislatif selesai, maka partai

politik melakukan berbagai tawar-menawar kepada calon kandidat yang akan diusungsebagai presiden (bargaining kompensasi/jabatan).

8

3. Melemahnya Pelembagaan Sistem Kepartaian Pemilihan Presiden Indonesia justru memfasilitasi koalisi pragmatis (kepentingan dan

bagi-bagi kekuasaan) dan bukan institusional partai politik (penguatan kelembagaandan sistem kepartaian)

Koalisi yang tidak pernah berlanjut (permanen). Koalisi dalam Pemilihan Presidentidak menggambarkan konfigurasi politik (kekuatan/konstalasi politik) di parlemen.Dimana partai-partai politik yang berkoalisi di DPR paska pemilu legislatif, berubahketika mengusung calon presiden. Setelah presiden terpilih, koalisi juga dapatberubah.

Penguatan internal dan kelembagaan kepartaian lemah (justru membuka peluangintervensi dan menguatkan munculnya konflik internal, bahkan perubahan kebijakaninternal partai/sikap politik partai yang awalnya oposan berubah menjadi pendukung).

Koalisi dalam Pemilihan Presiden ternyata mengaburkan ideologi partai politik, yangseharusnya menjadi modal penting bagi pembangunan koalisi permanen. Hal initerjadi, karena calon presiden yang diusung oleh koalisi partai politik belum tentumewakili garis ideologi partai politik pengusungnya.

Pemilihan Presiden yang terpisah dari pemilu legislatif, justru menghasilkan banyakcalon. Karena parpol yang lolos ET 3% merasa percaya diri untuk dapat mengajukancalon presiden. Sehingga memunculkan banyak calon presiden.

4. Dampak Ketatanegaraan dan Efektivitas Kinerja Pemerintahan Keterlambatan waktu dalam penentuan kabinet (indikasi terjadinya tarik ulur

kepentingan, yang justru menguatkan persepsi bahwa presiden terpilih (sistempresidensialisme versi Indonesia) ternyata lemah.

Efektivitas jalannya pemerintahan (banyaknya policy pemerintahan yang padaakhirnya seringkali tidak dapat mulus lolos-ketika berhadapan dengan DPR)

5. Aspek Sistem dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Politik Karena kemungkinan presiden terpilih meskipun dukungan di DPR kecil, maka

beberapa alternatif menjadi pilihan jika presiden tersebut terpilih:a) Berkoalisi ulang dengan partai-partai yang memiliki kursi besar di parlemen,

sehingga mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Oleh karena itu biasanyabegitu presiden terpilih maka akan disibukkan, terlebih dahulu dengan isu bagi-bagi jabatan kabinet (menteri) sebagai kompensasi bagi partai-partai yangdulunya oposan. Dalam pembagian kursi kabinet, karena pendukung utamapresiden di DPR adalah partai lain diluar partai yang didirikan presiden, makabargaining power juga turut menjadi perhitungan utama. Biasanya juga partaiterbesar pendukung presiden yang akan menentukan kursi kabinet. Konsekuensidari fakta ini, sistem pemerintahan kita dengan Presiden sebagai kepalaeksekutifnya menjadi lemah, baik secara relatif maupun secara aktual. (KasusSBY merupakan pembelajaran dan efek dari sistem pemilu yang ada)

b) Jika tidak bisa berkoalisi, maka ’kooptasi’ menjadi alternatif lain. Presiden terpilihyang dukungan parlemennya kecil, akan berusaha mengkooptasi/mengintervensiparpol. Misalnya menarik kader parpol oposan menjadi salah satu menteri,biasanya merupakan salah satu pengurus kunci parpol. Bisa ketua atau sekjenpartai, hal ini menjadi lumrah pada banyak negara dan tidak hanya fenomena diIndonesia, dan biasanya berdampak pada konflik internal partai (pelemahankelembagaan partai politik). Kerap terjadi, presiden terpilih ’turut campur’ dalam

9

penentuan kepengurusan parpol (Konggres, Munas, Muktamar) agar orang yangdianggap ’mendukung’ terpilih sebagai ketua dan kebijakan partai bisa berubah,meskipun awalnya partai tersebut mengambil posisi sebagai oposan.

c) Efek ini semakin berlanjut terutama menjelang pelaksanaan pemilu selanjutnya(2009). Fenomena di banyak negara (lagi-lagi bukan hanya di Indonesia),kombinasi presidensialisme dengan multipartai menimbulkan kecenderunganbahwa, ketika popularitas presiden turun (terutama menjelang akhir masajabatan/pemilu), maka partai-partai yang awalnya sebagai pendukung akanberbalik untuk ’meninggalkan/menarik dukungannya’. Alasannya sederhana, agartidak terkena dampak atas turunnya popularitas presiden yang mereka dukung.Lebih praktis lagi, agar terpilih dalam pemilu mendatang.

Rekomendasi:Keserentakan pelaksanaan pemilu merupakan suatu formula alternatif bagi perubahan sistempolitik dan pemerintahan di masa mendatang, hal ini didasarkan pada pengalaman dan upayauntuk mengatasi berbagai problematika yang ada;

Menjadi dasar bagi terealisasinya sistem pemerintahan presidensialisme yang kuatdan stabil.

Memfasilitasi munculnya penyederhanaan sistem kepartaian, melalui pemberianinsentif bagi partai politik untuk membangun budaya dan pelembagaan politikdemokratis yang berkelanjutan (Aliansi, Koalisi, Gabungan, dan atau Merger).

Mendorong pembentukan parlemen yang lebih efektif. Menciptakan sistem pemilihan yang lebih sederhana, waktu yang singkat, sekaligus

biaya murah baik dalam pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Menciptakan ruang bagi munculnya fokus isu dalam pemilu, mana yang merupakan

isu nasional dan mana isu lokal. Membuka ruang partisipasi bagi menguatnya preferensi dan strategi rakyat (pemilih)

pada pemilu berdasarkan isu lokal maupun nasional. Agar tujuan-tujuan diatas dapat terealisir secara efektif, maka sistem Pemilihan

Presiden runnof with a reduced threshold (mayoritas bersyarat) merupakan pilihanutama. Adapun persyaratan yang diterapkan adalah; pasangan Presiden-WakilPresiden terpilih pada putaran pertama, jika meraih 45 persen suara denganjarak 5 persen dari kandidat kedua, atau 40 persen suara dengan jarak 10 persensuara dari kandidat kedua.

10

LAMPIRAN20:

ARGENTINA

Antara tahun 1916 s/d 1930, pembentukan pemerintahan -- lewat sistem pemilu mayoritas(distrik) dengan daftar bebas/terbuka -- yang kuat sebenarnya terealisasi. Presiden dipilihsecara tidak langsung seperti di AS, lewat electoral college. Untuk anggota DPR, setiap duatahun sekali setengahnya diganti.

Sitzverteilung im argentinischen Abgeordnetenhaus (DPR) 1916-1930 (%)1916 1918 1920 1922 1924 1926 1928 1930

UCR a 36,7 46,7 53,2 57,6 45,6 38,0 58,2 62,0

UCR (Reg./AP.) b 3,3 6,7 1,9 1,9 10,6 17,0 11,8 5,0Conservador 23,3 18,8 8,9 8,9 8,9 9,5 8,9 7,6

Dem. Prog. C 6,7 11,7 12,0 8,7 8,9 5,7 1,9Socialista 7,5 5,0 6,3 6,3 11,4 12,0 2,5 0,6

Lainnya 22,5 11,1 8,8 16,6 14,6 17,8 18,6 22,6

Neff d 4,9 3,6 3,2 2,8 4,1 5,3 2,7 2,5Keterangan:a Inti UCR pimpinan Yrigoyenb Kubu regional dan anti personal (sayap Alvear)c Partai Konservatif pendukung peralihan ke demokrasid Jumlah efektif parpol di parlemen menurut Lakso/TaageperaBernhard Thibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Latein Amerika", Leske+Budrich, Opladen 1996, hal. 96

Pembentukan Mayoritas Dalam Pilpres Argentina 1916-1930

TahunJumlahCapres Pemenang Parpolnya

PembentukanMayoritasnya

Porsi Perolehan SwaraKandidat Capres I Kandidat Capres IIperolehanuntukelectoralcollege

pilpresdalamelectoralcollege

perolehanuntukelectoralcollege

pilpresdalamelectoralcollege

1916 5 H. Yrigoyen UCR Tanpa Koalisi 46,80% 51,00% 13,40% 34,80%1922 7 M. de Alvear UCR Tanpa Koalisi 49,10% 70,00% 7,80% 17,90%1928 3 H. Yrigoyen UCR Tanpa Koalisi 61,70% 63,90% 9,90% 22,30%Sumber: Bernhard Thibaut, Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerika, Leske+Budrich Opladen 1996, hal. 98

Tahun 1930, terjadi Kudeta Militer hingga sampai kembali ke tangsi tahun 1943 (hal. 103-104)

20 Materi lampiran merupakan kontribusi Pipit R. Kartawidjaja

11

Padahal, tahun-tahun 20an, Argentina kurangnya apa? Menurut Fred W. Riggs, “PROBLEMSOF PRESIDENTIALISM AND THE AMERICAN EXCEPTION”, hal. 17,http://www2.hawaii.edu/~fredr/pres.htm, keadaan Argentina sbb:

“The Fruits of Comparison. So far, unfortunately, these analyses pay scant attention to comparisons with otherpresidentialist regimes. Instead, they focus on parliamentary democracies and on the strategic considerations thatmight block or support proposed reforms. To view the American case in a broader perspective, consider the sadArgentinian experience. By the 1920's, according to an article in the Wall Street Journal cited with approval by N.Guillermo Molinelli, Argentina was "one of the world's richest countries, had a democratically elected government,an elaborate university system, a literacy rate close to 90%, one of the best credit ratings in the world, and its percapita output of goods and services in 1929 was four times higher than Japan's" (1988, C6-7).

Since then, starting with the first of six military coups in 1930, political instability has prevailed, and "Argentinianshave suffered an increasing economic downward trend, characterized by more and more inflation and less andless growth. Today, most Argentinians know that theirs is the only underdeveloping country of the world, 'goingback from the First World to the Third in a generation'" (loc. cit.). The explanation of this huge disaster, I believe, isprimarily political (and institutional) rather than ecological. Carlos Waisman offers a somewhat different butrelevant explanation (1989, 160-2). Argentina's fate can, assuredly, happen to any other country, including theU.S., that strives to govern itself by the antiquated and increasingly non-viable 18th century presidentialist model:past successes provide no assurances for the future.

The Argentine case illustrates another point: although we often assume that economic conditions determinepolitical systems--as when we compare "industrialized democracies" and relegate comparisons among "thirdworld" countries to a separate category--we may also want to consider the possibility that political institutionsaffect, though they do not determine, the nature and extent of economic growth or "development". Put differently,political systems may provoke economic decline, as the ex-Communist countries have now discovered.

Sehabis militer berdwingfungsi antara 6 September 1930 sampai 1946, Argentina kembali kehabitat alam demokrasi. Sistem presidensial dengan sistem pemilu DPR yang sama berlakuantara tahun 1946 s/d 1973. Sehabis kalah dalam perang Malvinas melawan mpok Tatcherdari Inggris, tentara kembali ke tangsi pada tahun 1983. Selain itu, tentara Argentina terbuktitidak becus mengatur ekonomi, sekaligus tidak punya bapak pembangunan. (Thibaut, 88-111,200-203, 242-248, 250-271).

Sitzverteilung im argentinischen Abgeordnetenhaus (DPR) 1946-1973 (%)1946 1948 1950 1952 1954 1958 1960 1963 1965 1973

Peronista 68,4 69 64,5 90,6 91,0 xx a xx a xx a xx a 50,6

Neo-Peronista xx xx xx xx xx xx xx 8,3 27,0 1,2UCR 31,6 28,5 19,4 9,4 9,0 xx xx xx xx 21,0

UCRP xx xx xx xx xx 27,8 38,5 37,0 35,4 xxUCRI xx xx xx xx xx 69,5 56,8 10,4 5,7 xx

Lainnya ** 1,3 1,3 ** ** 1,1 3,1 42,7 b 31,3 c 27,2 d

Kosong ** 1,3 14,8 ** ** 1,6 1,6 1,6 0,5

Kursi total 155 158 155 149 155 187 192 192 192 243

Penjelasan: xx: tidak ikut pemilu ; **: tidak meraup mandat; a tidak boleh ikut pemilu; b terdiri dari Kiri 3,1%, Kanan10,4% dan Parpol Regional 9,4%; c terdiri dari Kiri 2,0%, Sentrum 15.1%, Kanan 13,5% dan Parpol regional 2,6%; d

Terdiri dari: Kiri 5,3%, Sentrum 9,0%, Kanan 10,7%, Parpol Regional 2,1%

12

Bernhard Thibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Latein Amerika", Leske+Budrich, Opladen 1996, hal. 107

Pembentukan Mayoritas Dalam Pilpres Argentina 1946-1973 (pemilihan langsung tanpa elctoral college)

TahunJumlahCapres Pemenang Parpolnya Pembentukan Mayoritas

Perolehan SwaraUnggulan Pertama

Perolehan SwaraUnggulan Kedua

1946 2 J.D. Peron - Koalisi 3 Parpol 53,70% 43,60%1951 2 J.D. Peron PJ Tanpa Koalisi 63,50% 32,30%1958 3 A. Frondizi UCRI Negosiasi dengan Peron 49,30% 31,30%1963 4 A. ILLIA UCRP Tanpa Koalisi 31,90% 20,80%1973 6 H.J. Campora FJL Tanpa Koalisi 49,50% 21,30%1973 3 J.D. Peron FJL Tanpa Koalisi 61,80% 34,40%Sumber: Bernhard Thibaut, Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerika, Leske+Budrich Opladen 1996, hal. 105

Tahun 1955 Peron didepak dan parpolnya tidak boleh ikutan pemilu. Tahun 1959 Frondizididepak militer, dan sejak 1959 tentara jadi pengawas pemerentah. Tahun 1962 parpol Peronkembali berlaga dan memenangkan Pemilu daerah, namun tahun 1963 kubu Peron gak bolehikut pemilu nasional dan pilpres. Pada 1966 tentara kembali ke tangsi dengan syarat, kubuPeron tidak boleh terlibat dalam politik, hingga akhirnya Peron kabur jadi eksilan. Tahun 1973Peron kembali ke tanah Argentina dan disambut gegap gempita melalui demonstrasi massasekaligus people power. Karena itu, H.J. Campora lengser. Peron meninggal tahun 1974,digantikan oleh istrinya Isabel Evita Peron, namun pada 1976 dikudeta tentara ((Thibaut, hal.108-111).

Menariknya, antara 1946 s/d 1973, pemerintahan yang kuat tidak menjadi masalah. Beberapaalasan kegagalan sistem presidensialisme Argentina:

a) meski Presiden H. Yrigoyen terpilih tahun 1928 mendapat dukungan DPR, namun Senatdikuasai sama kubu oposan. Susahnya, kubu oposisinya H. Yrigoyen (kali Haji Yrigoyen!) yangparpol UCR itu masih keluarganya sendiri (garis sama), yakni UCR (Reg./AP) alias UCRRegional dan Anti Personalisme. Maka konfliknya lebih intens dan ekskalatif ketimbangmelawan oposisi kayak Conservador. Sampai program nasionalisasi perminyakan, terutamadalam rangka melawan dominasi AS (dengan Standard Oilnya), dan program Agrarreform,ditolak terus oleh Senat. Sejak tahun 1926, APBN tidak pernah lolos, hingga harus pakaiAPBN lama. Hubungan eksekutif dan legislatif berada dalam situasi deadlock. Secarakebetulan, keadaan ini makin diperparah dengan adanya krisis ekonomi dunia tahun 1930.Oleh karena secara kelembagaan, tidak ada pengaturan bagaimana jika mengalami deadlock,maka konflik yang ada semakin runyam, ditambah lagi dengan variable kekesalan tentaradimana politik mencampuri urusan kepangkatan dan promosi dalam tubuhnya. (BernhardThibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Latein Amerika", Leske+Budrich, Opladen1996, hal. 100-104)

Dalam hal keadaan mengarah pada situasi deadlock, seperti di AS Presiden dapatmengeluarkan Veto. Sedangkan di Jerman, jika UU produk DPR ditolak sama Bundesrat aliasDewan Perwakilan Pemerentahan Daerah (agak mirip dengan Senat), maka ada yangnamanya Vermittlungsauschluss alias Dewan Penegosiasi. Hal ini tidak terjadi atau tidak adadi Argentina pada masa itu.

13

b) Ambruknya pemerintahan 1976 itu lantaran Presiden Peron yang meninggal tahun 1974,dan kemudian digantikan oleh istrinya (Evita Peron) yang pada saat itu menjabat WakilPresiden. Di samping instabilitas ekonomi, istri Peron juga tidak berpengalaman dalamberpolitik dan pemerintahan. Keadaan ini semakin berlanjut, dimana presiden merekrut orang-orang terdekatnya (kroni) jadi anggota kabinet – dan celakanya berasal dari kubu ekstrimkanan dan otoriter Peron. Artinya, dukungan dari aktor-aktor penting masyarakat tidak ada.Lantas, situasi dalam negeri memburuk, muncul gerilya dan kekerasan di mana-mana. KubuPeron ekstrim kanan membentuk preman bersenjata – ini tentu berbeda dengan Peron yangsebelumnya memainkan jurus rekonsiliasi, berkoalisi dengan UCR, dan membentuk paktadengan kubu pengusaha-buruh. Koalisi ini diputus oleh istrinya (Bernhard Thibaut,"Praesidentialismus und Demokratien in Latein Amerika", Leske+Budrich, Opladen 1996, hal.100-104).

c) Ambruknya sistem presidensial Argentina memang menjadi perdebatan. Tapi, Riggmenyebut satu faktor lain, yaitu polarisasi kehidupan parpol di Argentina. Dimana sistemkepartaian menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, tidak penting apakah dwi parpol ataumultiparpol, yang penting adalah apakah parpolnya sentrifugal atau sentripetal. Sentrifugalitu memusat, penyebab polarisasi, dan karenanya sistem kepartaiannya tertutup. Inimengingatkan dengan sistem multi kepartaian sederhana masa Orde Baru (termasuk disebutsentrifugal dan tertutup). Atau sama dengan partai komunis yang struktur kepartaiannya cumatunggal seperti di Eropa Timur. Sistem presidensial akan terdukung jika parpolnya sentripetal.Biasanya dicirikan lewat keterbukaan pemilih mencoblos calegnya (daftar terbuka), mengakuikeberadaan parpol “gurem” dan baru. Sebab, parpol-parpol gurum atau baru ini kerap menjadialternative lain dalam menyerap kepentingan masyarakat tertentu (misalnya yangdipinggirkan), dan sekaligus pemecah kebekuan parpol yang sentralistik. Terlebih lagi jika,didukung dengan otonomi daerah yang luas, dan pelaksanaan pemilu nasional yang terpisahdengan pemilu lokal. (Fred W. Riggs, “PROBLEMS OF PRESIDENTIALISM AND THEAMERICAN EXCEPTION”, hal. 23-24, http://www2.hawaii.edu/~fredr/pres.htm)

CHILE

Di Chile besaran daerah pemilihan untuk DPR hanya dua kursi, dan ini berlangsung sejaktahun 1989 sampai sekarang. Pelaksanaan pemilunya dilakukan secara serentak (Pilpressimultan dengan pemilu DPR). Jadi sejak awalnya ada kondisi untuk memaksa parpol buatberkoalisi. Presiden perempuan Chile saat ini berasal dari partai sosialis. Karena, partainyabergabung antara lain dengan Partai Kristen Demokrat, maka urusan capres dari awalnyasudah ada rundingan. Sejak Pinochet jatuh, presidennya selalu datang dari Gabungan Parpolyang sama, hanya bergantian asal partai saja, dari Partai Kristen Demokrat lantas PartaiSosialis. Begitu juga dalam pemilu DPR. Di satu DP, parpol gabungan berunding menentukansiapa yang akan tampil, sebab pencalonan haruslah indvidual dengan nama parpol gabungan.Oleh karenanya selalu terpilih dua dalam satu DP.

Misal capres dan caleg tahun 1997:

Concertación del Partidos por la Democracia, merupakan gabungan dari Partai Kristen,Partai Sosialis, Partai Sosialis Radikal dan Partai Demokrat. Muncul perdebatan, apakahkoalisi ini perlu menampilkan gambar tiga-serangkai Aylwin-Frei-Lagos? Aylwin dan Freiadalah mantan Presiden Chile 1987 dan 1993 dari Partai Kristen, sedangkan Lagos ada lahcalon Presiden dari kubu Partai Sosialis. Maklum, saat pemilu untuk menetapkan anggota

14

parlemen 1997, diselenggarakan pula pemilihan Presiden. Oleh karena calon dari gabunganConcertación del Partidos por la Democracia adalah Lagos, usul ini langsung ditolak olehPartai Kristen.

Penetapan kontestan calon anggota legislatif di dalam tubuh setiap gabungan juga berlakupada calon Presiden. Sebelum diturunkan ke arena pemilu, calon-calon Presiden dipilih dalamarena “pra-pemilu“ (primarias). Untuk kasus Concertación del Partidos por la Democracia(koalisi Partai Kristen, Partai Sosialis, Partai Sosialis Radikal dan Partai Demokrat), Lagos,calon Presiden dari Partai Sosialis mengungguli, Zalvídar, calon Presiden dari Partai Kristen.Karena itu, dari kubu ini Lagos yang terjun ke arena pemilihan presiden. (Hans-HartwigBlomeier, Chile 1997 – Die Parlamentswahlen im aktuellen politischen Kontext, hal. 27-35,KAS-AI/98 dan Die Presidentschaftswahl in Chile, hal. 82-102, KAS-AI 2/00, Dieter Nohlen,Wahlrecht und Parteiensystem, hal. 234-243, Opladen 200, Michael Krennerich, Wahlen inLateinamerika: eine demokratische Routine, hal. 152, Brennpunkt Lateinamerika Nr. 18, 28September 1999, Universitas Hamburg)

PILPRES CHILE 2005Capresnya ada empat, Gabungan parpol “Alianza“ menurunkan dua capres.Votación Candidatos por País

Presidencial 2005

NOMBRE VOTOS PORCENTAJESebastián Piñera Echenique (RN, Alianza) 1.751.866 25,41%Michelle Bachelet Jeria (PS, Concertación) 3.167.939 45,95%Tomas Hirsch Goldschmidt (Juntos Podemos Más) 372.609 5,40%Joaquín Lavin Infante (UDI, Alianza) 1.601.169 23,22%Válidamente Emitidos 6.893.583

(Sumber: Präsidentschafts- und Parlamentswahlen in Chile vom 11. Dezember 2005, hal. 2,http://www.kas.de/db_files/dokumente/laenderberichte/7_dokument_dok_pdf_7711_1.pdf)

PresidenDas 4. Parteiensystem (seit 1989): PILPRESPorsi perolehan swara (Dalam kurung: nama capres dan parpol capres)Sumber: Websitenya Kementerian Dalam Negeri Chile

Allianz 1989 1993 1999 (Putaran Kedua 2000) 2005 (Putaran kedua 2006)

Concertación 55,2%(Aylwin, PDC)

57,9%(Frei, PDC)

47,96% (51,3%)(Lagos, PS)

46,0% (54%)(Bachelet, PS)

Alianza por Chile29,4% / 15,4%(Büchi /Errázuriz)

24,3%(Alessandri,UDI)

47,51% (48,7%)(Lavín, UDI)

25,4% / 23,2% (46%)(Piñera, RN / Lavín, UDI,(Piñera))

DPR [Bearbeiten]Das 4. Parteiensystem (seit 1989): Alokasi Kursi DPR(Dalam kurung: porsi swara sah)Sumber: Websitenya Kementerian Dalam Negeri Chile

Allianz/Partei 1989 1993 1997 2001 2005

Concertación 69 (51,5%) 70 (55,4%) 69 (50,5%) 62 (47,9%) 65 (51,8%)

DC (Partai Kristen Demokrat) 38 (26,0%) 37 (27,1%) 38 (23,0%) 23 (18,9%) 20 (20,8%)

15

PS (Partai Sosialis) - 15 (11,9%) 11 (11,1%) 10 (10,0%) 15 (10,1%)

PPD 16 (11,5%) 15 (11,8%) 16 (12,6%) 20 (13%) 21 (15,4%)

PR / PRSD 5 (3,9%) 2 (3,0%) 4 (3,1%) 6 (4,1%) 7 (3,5%)

Unabhängige der Concerta, andere(Concerta yang independen, dan laennya) 10 (9,9%) 1 (0,7%) 0 (0,8%) 3 (2,2%) 2 (2,0%)

Alianza por Chile 48 (34,2%) 50 (36,7%) 47 (36,2%) 57 (44,3%) 54 (38,7%)

UDI 11 (9,8%) 15 (12,1%) 17 (14,5%) 31 (25,2%) 33 (22,4%)

RN 29 (18,3%) 29 (16,3%) 23 (16,8%) 18 (13,8%) 19 (14,1%)

Unabhängige der Alianza, andere(Alianza yang independen, dan laennya) 8 (6,1%) 6 (8,0%) 7 (5,0%) 8 (5,3%) 2 (2,2%)

Linke (Podemos etc.)Kiri 2 (5,3%) 0 (7,8%) 0 (10,4%) 0 (6,3%) 0 (7,4%)

Rest (Regional, Unabh., Prog.)Sisa (Regional, Independen, Prog.) 1 (8,7%) 0 (0,11%) 4 (2,8%) 1 (1,5%) 1 (2,1%)

gesamt gewähltTotal 120 120 120 120 120

SenatDas 4. Parteiensystem (seit 1989): Alokasi Kursi Senat4 tahun sekali separuh kursi Senat dipilih –jadi anggota Senat itu 8 tahun.(Dalam kurung: porsi perolehan swara sah)Sumber: Website Kementerian Dalam Negeri Chile

Allianz/Partei 1989 1993 1997 2001 2005

Concertación 21 10 11 9 11 (56%)

DC 14 0 10 2 5 (30%)

PS - 3 1 4 4 (12%)

PPD 3 3 0 2 1 (11%)

PR / PRSD 2 4 0 0 1 (2%)

Unabhängige der Concerta 2 0 0 0 0 (1%)

Concertación gesamte SitzeTotal Kursi Concertación 21 21 21 19 19

Alianza por Chile 17 8 9 9 8 (37%)

UDI 3 2 7 5 5 (22%)

RN 5 5 2 4 3 (11%)

Unabhängige der Alianza 9 1 0 0 0 (5%)

Alianza gesamte SitzeTotal kursi Alianza 17 17 17 19 19

Rest (Podemos, Unab.) 0 0 0 0 1 (7%)

gesamt neu gewählt 38 18 20 18 20

Ernannte SenatorenSenator yang diangkat 9 - (ab 06)

Gesamter Senat 47 47 47 47 38Sumber: Wahlergebnisse in Chile, http://de.wikipedia.org/wiki/Wahlergebnisse_in_Chile

16

Kendati pembentukan kabinet itu hak prerogatif presiden, namun presiden terpilih (perempuan)itu harus merekrut menteri dari parpol yang tergabung dalam koalisi. (SONDERBERICHTCHILE, Parlaments- und Präsidentschaftswahlen 2006, ERSTELLT VON: HENNING SENGER/ GRUNDSATZREFERAT / JANUARI 2006, hal. 10)

URUGUAY

Sebagai argumen terakhir tentang multikepartaian sederhana: Pertama, apakah gunanyasistem persidensialisme Uruguay yang secara riil bersistemkan multikepartaian dwi antaratahun 1942-1971, namun satu parpol beranak pinak menjadi banyak fraksi? Kasus inimengingatkan pada keadaan yang terjadi di Italia pada tahun-tahun setelah perang duniakedua hingga era ’90 an.

Kedua, di dalam kedua tubuh parpol, yakni Partido Colorado dan Partido Nacional aliasBlancos, menjadi tempat berkumpulnya beragam posisi dan program, ditambah lagi banyakberkeliaran orientasi yang berbau klien alias KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Sebagaihasilnya, di dalam masing-masing parpol banyak terbentuk grup-grup (faksi). Pertemuannyajuga misalnya di klab-klab. Program sublemas atau grup-grup parpol pertama kerap samadengan program sublemas atow grup-grup parpol kedua. Misalnya, Sublema Anti-Batllistimoparpol Partico Colorado (dalam tabel berhuruf a) berprogram sama dengan Sublema Herreraparpol Partido Nacional (dalam tabel berhuruf h). Kendati sama, namun tidak pernah terjadikerjasama lintas partai, terkecuali pada masa krisis politik tahun 1931, 1933 dan 1942.Namun, pada tahun 1931, 1933, dan 1942, jalinan kerjasama antar Sublemas sangat aneh.Bukan berdasarkan persamaan program, melainkan adanya persamaan kepentingan buatmerebut pengaruh dan kekuasaan dalam masing-masing tubuh partai secara keseluruhanalias Lemas21.

Pembagian Kursi DPR Uruguay 1942 – 1973 (dalam %)1942 1946 1950 1954 1958 1962 1966 1971

Partido Colorado (PC) 58,6 47,5 53,5 51,5 38,5 44,4 50,5 41,4Sublema terkuat 34,3 (a) 11,1 41,4 (a) 33,3 (c) 26,3 (c) 28,3 (e) 25,3 (f) 28,3 (n)Sublema kedua terkuat 14,1 (b) 11,1 21,2 (b) 15,2 (d) 12,2 (d) 7,1 (f) 18,2 (g) 12,1 (g)Partido National (PN) 23,2 31,3 31,3 35,4 51,5 47,5 41,4 40,4Sublema terkuat - - - 22,2 (h) 25,3 (k) 20,2 (k) 19,2 (m) 30,3 (o)Sublema kedua terkuat - - - 12,1 (i) 24,2 (l) 20,2 (l) 14,1 (k) 10,1 (h)Jumlah PC dan PN 81,8 78,8 84,8 86,9 90 91,9 91,9 81,8Parpol laen 18,2 21,2 15,2 13,1 10 8,1 8,1 18,2 (p)

Nama Sublema (Fraksi) dan Grup(a): Batllismo(b): Libertad y Justicia(c): Grup 15 (Fraksi Luis Battle Berres)(d): Grup 14 (Fraksi Batllismo Tradisional)(e): Por la Unión del Partido(f): Unión Colorado y Batllista (tahun 1966: Fraksi Gestido/

Pacheo(g): Unidad y Reforma (Fraksi Jorge Battle; trahnya Grup 15)(h): Fraksi Herrera

(i): Moviemiento Popular Nacionalista(k): Unión Blancia Democrática(l): Herrera – Por la Reformia(m): Herrerismo-Ruralismo(n): Unión Nacional Reeleccionista (FraksiBordaberry/Pacheco)(o): Por la Patria/Movimiento Nacional Rocha(Fraksi Ferreira)(p): Frente Amplio

21 Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka, Opladen 1996, hal. 172-173

17

(Tabel dikutip dari Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka, Opladen 1996, hal. 174)

Dampaknya, kedua parpol itu lebih bernafaskan perkumpulan RT (rukun tetangga,sekongkolan, ataupun arisan). Oleh karena itu, di kalangan pakar pemilu tidak adakesepakatan, apakah kedua parpol tersebut bisa disebut sebagai partai. Terlepas dariperdebatan parpol atau non-parpol. Secara organisatoris, proses pengambilan keputusan tidakterjadi dalam tubuh parpol secara keseluruhan (yang disebut sebagai Lemas), melainkan didalam fraksi-fraksi di bawahnya (Sublemas) dan bahkan grup-grup yang berstatuskan lebihrendah dari Sublemas. Maka telak, disiplin parpol secara Lemas dalam parlemen sangatrendah. Bahkan, secara Sublemas pun tidak berbeda. Para awak kru Sublemas yang diancamoleh „tindak indisipliner“nya para pimpinan fraksi, biasanya langsung menjawab denganpembentukan gurp-grup tersendiri 22.

Catatan Akhir:- Pengalaman dwiparpol yang gagal di Amerika Latin lewat sistem mayoritas alias distrik

(Argentina dan Chile), justru mengantarkan penerapan sistem proporsional demipenggembosan kekuasaan yang dominan. Makanya, presidensialisme denganmultikepartaian dimaksudkan buat menciptakan demokrasi konkordans(selaras/berkesuaian). (Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensystem, Leske+BudrichOpladen 2000, hal. 238).

- Pelajaran Argentina dan Uruguay sebenarnya ingin mengatakan bahwa,multikeparpolan sederhana dalam sistem presidensial ternyata segampang yangdiduga. Oleh karena itu menjadi percuma jika hanya focus pada keinginan penciutanparpol tanpa melihat keterkaitan antara; (a) hubungan kelembagaan eksekutif-legislatif, (b) organisasi legislatif dalam tubuh fraksi, (c) pemilu legislatif yang simultandengan pilpres, (d) pemilu legislatif nasional dan daerah yang simultan atau tidak, (e)kedudukan DPD, (f) otonomi daerah seluasnya sebagai sebagai mekanisme checkand balance hubungan pusat dan daerah.

- Presidensialisme kuat dengan sistem keparpolan dwi partai alias multisederhanaberkonsep separate of power plus check and balance di Argentina ternyata jugangadat, tidak seperti yang terjadi di Amerika Sarekat. Maka dari itu, sistem yang saatini sedang berjalan adalah Presidensialisme plus multikeparpolan (tidak lagi pentingmau sederhana atau ruwet) berkonsep convergence of power. Sehingga, Detlef Noltemenyebutnya sebagai “parlementarisasi” Presidensialisme.

22 Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka, Opladen 1996, hal. 173