EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH KOTA...
Transcript of EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH KOTA...
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HUKUM
PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
YUNIATI NURAINI
NIM: 11140480000020
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Yuniati Nuraini. 11140480000020. Efektivitas Kebijakan Hukum Pemerintah
Kota Tangerang Selatan Dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/ 2018 M. x +79 halaman + 40 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas kebijakan
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah kota Tangerang Selatan dalam upaya
pencegahan korupsi khususnya gratifikasi. Penelitian ini menganalisis kebijakan
hukum pemerintah kota Tangerang Selatan berupa Peraturan Walikota Tangerang
Selatan Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi dan
Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor 700/kep.188-huk/2015 Tentang
Pembentukan Unit Gratifikasi di Lingkungan Pemerintahan Tangerang Selatan.
Penelitian ini menggunakan studi penelitian normatif-empiris/sosiologis
yang merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dan hukum
empiris/sosiologis. Metode penelitian normatif-empiris/sosiologis mengenai
implementasi ketentuan hukum normatif yang dikeluarkan pemerintah kota
Tangerang Selatan berupa Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 17
Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi dan Keputusan Walikota
Tangerang Selatan Nomor 700/kep.188-huk/2015 Tentang Pembentukan Unit
Gratifikasi.
Kesimpulan skripsi ini, pada dasarnya efektivitas kebijakan hukum
pemerintah kota Tangerang Selatan dalam upaya pencegahan korupsi khususnya
gratifikasi dapat dikatakan sudah efektif, walaupun masih terdapat beberapa hal
yang perlu di perbaiki. Namun, melihat usaha dari pemerintah kota Tangerang
Selatan dapat diberi apresiasi karena telah sangat memperhatikan tindak pidana
korupsi khususnya gratifikasi dan telah sangat berupaya untuk mencegah tindak
pidana tersebut dengan beberapa upaya dan hasil yang cukup signifikan.
Kata Kunci : Efektivitas, Kebijakan Hukum, Pencegahan
Korupsi, Gratifikasi.
Pembimbing : Dr. Supriyadi Ahmad, M.A.
Daftar Pustaka : 1984 sampai 2017
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya,
penyusunan skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HUKUM
PEMERINTAHAN KOTA TANGERANG SELATAN DALAM UPAYA
PENCEGAHAN KORUPSI”. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi
ini untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menemukan beberapa hambatan,
namun berkat bantuan, dukungan serta motivasi dari berbagai pihak, akhirnya
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Meski begitu tentu
penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun dari semua pihak sangat dirahapkan oleh Penulis demi
perbaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan
penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Para Wakil Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., sekertaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Supriyadi Ahmad, M.A., Dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membantu peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini, serta bersedia membimbing peneliti
dengan penuh kesabaran, ketelitian, dan tidak henti-hentinya memberikan
masukan, saran maupun kritik serta motivasi yang membangun demi
kebaikan serta terselesaikannya skripsi ini.
4. Pejabat Inspektoran Kota Tangerang Selatan, Unit Pengendalian
Gratifikasi (UPG) dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang telah
vii
memberikan kesempatan peneliti untuk dapat menimba ilmu dan
memberikan data-data guna penulisan skripsi ini.
5. Seluruh pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagian Tata
Usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan dan memberi pelayanan guna penulisan
skripsi ini.
6. Kepada pihak-pihak terkait terutama kedua orang tua peneliti Ayahanda
dan Ibunda yang telah dengan sabar mendidik peneliti mulai dari lahir
hingga sekarang tanpa merasa lelah dan selalu memberikan doa kepada
peneliti. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat di sebutkan satu
persatu oleh peneliti, tidak ada yang dapat peneliti berikan kecuali doa dan
ucapan terimakasih.
Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 10 Juli 2018
PENELITI
Yuniati Nuraini
NIM: 11140480000020
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian ....................................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG KORUPSI DAN
GRATIFIKASI
A. Kerangka Konsep ........................................................................ 12
1. Konsep Efektivitas ............................................................... 12
2. Konsep Kebijakan Hukum ................................................... 15
3. Konsep Korupsi ................................................................... 18
B. Kajian Teoretis ............................................................................ 22
1. Teori Efektivitas .................................................................. 22
2. Teori Kesadaran Hukum ...................................................... 25
3. Teori Gratifikasi ................................................................... 26
C. Review (Tinjauan Ulang) Hasil Studi Terdahulu ....................... 30
ix
BAB III DATA PENELITIAN TENTANG PEMERINTAH KOTA
TANGERANG SELATAN DAN PRAKTIK KORUPSI
SERTA GRATIFIKASI
A. Data Kota Tangerang Selatan ..................................................... 33
1. Profil Kota Tangerang Selatan ............................................. 33
a. Visi Misi ...................................................................... 33
b. Sejarah ......................................................................... 34
c. Geografis....................................................................... 39
B. Data Praktik Tindak Pidana Korupsi dan Gratifikasi di Kota
Tangerang Selatan ....................................................................... 40
1. Praktik Tindak Pidana Korupsi di Tangerang Selatan
Sebelum adanya Kebijakan Hukum ..................................... 42
2. Praktik Gratifikasi di Tangerang Selatan Sebelum adanya
Kebijakan Hukum ................................................................ 44
3. Praktik Tindak Pidana Korupsi di Tangerang Selatan
Setelah adanya Kebijakan Hukum ....................................... 45
4. Praktik Gratifikasi di Tangerang Selatan Setelah adanya
Kebijakan Hukum ................................................................ 48
C. Perbandingan Sebelum dan Sesudah adanya Kebijakan
Hukum ...................................................................................... 48
D. Data Wawancara dengan Pejabat Inspektorat Pemerintahan
Kota Tangerang Selatan ............................................................ 49
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PENCEGAHAN
TINDAK GRATIFIKASI DI PEMERINTAHAN KOTA
TANGERANG SELATAN
A. Faktor Meningkatnya Korupsi dan Gratifikasi ........................... 53
B. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dan Gratifikasi di
Tangerang Selatan ....................................................................... 54
C. Analisis Kebijakan Hukum Pencegahan Gratifikasi di
Pemerintahan Kota Tangerang Selatan ....................................... 59
x
1. Analisis Pembentukan Kebijakan Hukum Pencegahan
Gratifikasi .......................................................................... 59
2. Analisis Implementasi Kebijakan Hukum Pencegahan
Gratifikasi .......................................................................... 64
3. Analisis Efektivitas Kebijakan Hukum Pencegahan
Gratifikasi .......................................................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 70
B. Rekomendasi ............................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, negara Indonesia di
mana pemerintah di daerah merupakan bagian integralnya, telah memiliki
tujuan akhir. Tujuan akhir itu ialah suatu masyarakat adil makmur, materiil
dan spriritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang
dirumuskan lebih terperinci dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pelaksanaan dilakukan melalui tugas-tugas umum pemerintah dan
tugas-tugas pembangunan yang memerlukan suatu sistem administrasi
Pemerintahan Daerah yang dalam melaksanakan tugasnya hendaknya lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan diri sendiri.1
Namun, pada realitanya justru banyak pejabat daerah yang tidak menjalankan
tugas dan wewenangnya dengan baik. Salah satunya yaitu dengan melakukan
penyelewengan-penyelewengan anggaran negara yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepadanya. Kegiatan tersebut adalah kegiatan merugikan
masyarakat dan negara untuk menguntungkan diri sendiri, atau bisa disebut
korupsi.
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah atau bahkan pejabat negara
oleh elite pemerintahan merupakan keprihatinan bangsa Indonesia. Ironisnya,
justru sering dikatakan bahwa korupsi telah menjadi tradisi, untuk tidak
mengatakan sebagai budaya pemerintahan Indonesia. Korupsi yang telah
menjadi “karakter” pada masa Orde Baru hingga rezim pemerintahan saat ini
telah menjadi penghambat utama dalam menciptakan praktik pemerintahan
1 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1996), h.7.
2
yang baik (good governance). Bahkan telah menjadi sekedar pembungkus
kejahatan-kejahatan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
publik, dari tingkat pusat sampai paling rendah.2
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah atau bahkan pejabat negara
oleh elite pemerintahan merupakan keprihatinan bangsa Indonesia. Ironisnya,
justru sering dikatakan bahwa korupsi telah menjadi tradisi, untuk tidak
mengatakan sebagai budaya pemerintahan Indonesia. Korupsi yang telah
menjadi “karakter” pada masa Orde Baru hingga rezim pemerintahan saat ini
telah menjadi penghambat utama dalam menciptakan praktik pemerintahan
yang baik (good governance).
Korupsi memiliki banyak jenis, salah satunya yaitu memberi atau
menerima hadiah dari suatu jabatan yang dimilikinya, atau yang biasa disebut
dengan gratifikasi. Gratifikasi dalam arti luas, yakni antara lain pemberian
gratifikasi uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi juga merupakan kejahatan yang harus diberantas karena
sangat merugikan keuangan negara dan memperburuk citra seorang pejabat
mulai dari daerah hingga pejabat pusat.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensiaonal melalui auditor, kepolisian dan kejaksaan
selama ini terbukti mengalami hambatan, karena auditor dan penegak
hukumpun turut melakukan korupsi. Untuk itu dibuatlah suatu lembaga
independen yang bebas dari kekuasaan manapun yaitu Komisi Pemberantasan
korupsi (KPK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
2 Pius S. Prasetyo, Korupsi dan Integritas Dalam ragam Perspektif, (Jakarta: Pusat
Studi Indonesia-Arab PSIA, 2013), h.3.
3
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional, serta
berkesinambungan.3
Berdasarkan hal diatas menurut peneliti, selain dari adanya lembaga
khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi haruslah ada
kesinambungan pengawasan atau pencegahan oleh setiap sendi-sendi
pemerintahan, salah satunya yaitu Pemerintahan Daerah.4 Korupsi yang
dilakukan mulai dari pejabat tinggi hingga pejabat daerah perlu diperhatikan
khususnya di tingkat pemerintah sehingga semakin banyak yang melakukan
pencegahan maka tidak pidana korupsi juga dapat diminimalisir khusunya di
daerah Tangerang Selatan yang kiranya masih terdapat tindak korupsi yang
dilakukan oleh beberapa pejabat atau pemerintah daerah. Hal tersebut dapat
diimplementasikan melalui sebuah kebijakan hukum yang dibuat oleh
Pemerintah Daerah yang bersangkutan khususnya dalam hal pencegahan dan
pemberantasan gratifikasi.
Kebijakan hukum selalu memiliki tujuan tertentu atau merupakan
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan yang dianggap benar oleh
pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu.5 Dalam suatu tindak
pidana korupsi yang menjadi extra ordinary crime haruslah di berantas oleh
pemerintah. Bukan hanya diberantas melainkan juga dicegah keberadaanya.
Salah satu solusi dari pencegahan tersebut ialah membuat kebijakan hukum
yang dapat mencegah tindak pidana korupsi.
Seiring berjalannya waktu pemerintah mulai memikirkan bahwa upaya
pemberantasan saja tidak cukup untuk menangani permasalahan kejahatan ini.
Oleh karena itu dibutuhkan upaya preventif (pencegahan) yang berguna untuk
mencegah tindak pidana ini agar jangan sampai terjadi terus-menerus. Dari
pemikiran inilah maka dikeluarkan Peraturan Walikota yang mengatur
3 Surachmin, Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi mengetahui untuk
mencegah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.84. 4 Robert Kligaard, dkk, “Menuntun Pemberantasan Korupsi (dalam pemerintah
daerah)”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.1. 5 O.C. Kaligis, “Dasar Hukum Mengadili Kebijakan Publik”, (Bandung: P.T. Alumni,
2012), h.1.
4
tentang pedoman pengendalian gratifikasi dan mengeluarkan Keputusan
Walikota tentang unit pengendalian gratifikasi di lingkungan Pemerintah
Kota Tangerang Selatan yang merupakan salah satu upaya pencegahan tindak
pidana korupsi.
Dalam pembentukan kebijakan tersebut haruslah diteliti lebih
mendalam untuk dapat mengetahui penyusunan, legitimasi dan
implementasinya di masyarakat. Agar dapat melihat efektivitas dari dibuatnya
kebijakan tersebut. Serta perlu adanya evaluasi dan hasil yang dapat terwujud
dari dibuatnya kebijakan tersebut dan melihat keikutsertaan masyarakat
dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Menurut peneliti untuk mengkaji lebih dalam kebijakan hukum yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah khususnya kota Tangerang Selatan dalam
upaya mencegah tindak pidana korupsi khususnya tentang pencegahan
gratifikasi, karena kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota yang
memiliki masyarakat cerdas, modern dan religiuus sesuai dengan motto dari
kota Tangerang Selatan, namun masih saja terdapat kasus-kasus pelanggaran
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat setempat khususnya
gratifikasi. Sehingga Kota Tangerang Selatan perlu untuk di dianalisis lebih
mendalam terkait hal bagaimana pelaksanaan kebijakan hukum yang dibuat
dalam upaya pencegahan korupsi khususnya gratifikasi.
Menurut peneliti hal ini perlu diteliti, karena masih memiliki
permasalahan dan menimbulkan pertanyaan di masyarakat pada umunya dan
sebagai evaluasi pemerintah daerah pada khususnya. Peneliti hendak
menuangkan masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah skripsi yang
kemudian berjudul EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HUKUM
PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN DALAM UPAYA
PENCEGAHAN KORUPSI.
5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang, terdapat beberapa persoalan yang
berkaitan dengan optimalisasi kebijakan hukum Pemerintah Daerah Kota
Tangerang Selatan dalam upaya pencegahan korupsi. Dari latar belakang
berfikir tersebut terdapat berbagai masalah yang muncul yaitu:
a. Pengaturan dan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi perlu
dipertegas
b. Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi
perlu diperjelas
c. Kebijakan hukum Pemerintah Daerah dalam pencegahan gratifikasi
belum optimal
d. Proses penyusunan kebijakan hukum dalam pencegahan gratifikasi
perlu di analisis
e. Legitimasi kebijakan hukum unutk mencegah gratifikasi belum
optimal
f. Implementasi kebijakan hukum dan peran serta masyarakat dalam
pencegahan korupsi belum optimal
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan dibahas peneliti terarah dan sistematis
sehingga menjadi lebih fokus dalam pembahasan masalah, maka peneliti
membatasi masalah kajian kepada penyusunan kebijakan hukum,
legitimasi dan implementasi dari kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam upaya pencegahan tindak
pidana gratifikasi yang merupakan salah satu jenis dari perbuatan korupsi
yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Lebih lanjut, masalah
dalam skripsi ini dibatasi sebagai berikut:
a. Efektivitas dibatasi pada keefektifan yaitu keberhasilan suatu usaha
atau tindakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan
6
b. Kebijakan hukum dibatasi pada aturan hukum yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berkaitan dengan korupsi
khususnya gratifikasi
c. Korupsi dibatasi pada suatu perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara, atau perekonomian negara.
d. Gratifikasi dibatasi pada suatu pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik
e. Pemerintah Kota Tangerang Selatan dibatasi pada pemerintahan
yang berkedudukan di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten dan
kantor Pemerintah Kota berada di Jalan Raya Maruga No.1, Serua,
Ciputat, Serua, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten.
f. Data yang diteliti dibatasi pada tahun 2015-2017 karena peraturan
yang mengatur tentang gratifikasi di Pemerintahan Kota Tangerang
Selatan baru dibentuk dan dikeluarkan oleh Pemerintah Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2015.
3. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, perumusan masalah utama yang disajikan adalah:
Bagaimanakah efektivitas kebijakan hukum Pemerintah Kota
Tangerang Selatan tentang upaya pencegahan tindak pidana korupsi
khususnya gratifikasi?
Selanjutnya pertanyaan riset dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah proses pembentukan kebijakan hukum peraturan
pencegahan gratifikasi di Pemerintah Kota Tangerang Selatan?
b. Bagaimanakah implementasi dari kebijakan peraturan pencegahan
gratifikasi di Pemerintah Kota Tangerang Selatan ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk menjelaskan proses pembentukan peraturan atau kebijakan
hukum bagaimana penyusunan, sosialisasi, legitimasi yang dibuat
Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam mencegah tindak pidana
gratifikasi.
b. Untuk menganalisis implementasi peraturan atau kebijakan hukum yang
dibuat Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam mencegah tindak
pidana gratifikasi.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga
diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :
a. Manfaat Teoretis
Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini
diharapkan dapat menambah pemahaman kepada semua pihak,
khususnya di bidang hukum. Skripsi ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Akademisi
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan penelitian lebih lanjut tentang materi yang penulis sajikan.
Baik yang berkaitan dengan peranan pemerintah daerah dan/atau
secara khusus berkaitan dengan pencegahan tindak pidana korupsi
khususnya gratifikasi di wilayah pemerintah daerah.
2) Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan juga, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan kepada masyarakat umum tentang masalah dari
pemerintah daerah dalam memberikan kebijakan untuk pencegahan
tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi.
8
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Pada penulisan penelitian ini menggunakan studi penelitian
normatif-empiris/sosiologis yang merupakan penggabungan antara
pendekatan hukum normatif dan hukum empiris/sosiologis. Metode
penelitian normatif-empiris/sosiologis6 mengenai implementasi
ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.
2. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan pendekatan penelitian normatif-
empiris/sosiologis yang peneliti gunakan, maka pendekatan yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach)7.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan
menelaah undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti. Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan
kasus (case approach) yang dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer, berupa ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, yaitu Peraturan Walikota Tangerang Selatan
Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pengendalian Gratifikasi dan
Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor 700/kep.188-
6 Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), h.16. 7 Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif… h.16.
9
huk/2015 Tentang Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi di
Lingkungan Pemerintahan Tangerang Selatan. Serta Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
b. Bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur tertulis yang
berkaitan dengan pokok masalah dalam penulisan skripsi ini, baik
berupa buku, makalah, jurnal, penelitian, artikel, surat kabar
ataupun pedapat para ahli.
c. Bahan hukum tertier (non-hukum), berupa bahan penjelasan dari
bahan hukum premier dan sekunder, seperti kamus, ilmu
pengetahuan politik, ensiklopedia dan lain-lain.
4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah salah satu pembuat atau yang ikut serta dalam pembentukan
peraturan walikota dan keputusan walikota Tangerang Selatan dan
pengurus Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Tangerang Selatan.
Alasan mengapa subjek tersebut harus dijadikan sebagai responden atau
narasumber karena merupakan pejabat terkait yang berhubungan dengan
adanya kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota
Tangerang Selatan serta langsung menangani pelaporan tindak gratifikasi
di Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah dengan cara studi pustaka dan studi lapangan. Studi ini
10
digunakan dalam rangka pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data
tersebut ditempuh dengan cara mengumpulkan, membaca, menelaah,
mengkaji, menganalisis, mengkritisi Pemerintah Kota khususnya Kota
Tangerang Selatan dan mewawancarai pihak terkait dalam mencegah
tindak korupsi khususnya gratifikasi. Doktrin dan pendapat para pakar,
jurnal, serta hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti
lain sebelumnya yang ada kaitannya dengan tema penulisan ini.
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi yaitu analisis
deskriptif kualitatif. Kualitatif yaitu penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna
(perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Analisis
data ini dilakukan setelah pengumpulan data selesai. Dalam menelusuri
kebijakan hukum Pemerintah Kota khususnya Kota Tangerang Selatan
dalam mencegah tindak korupsi yang menjadi fokus penulisan skripsi ini,
yang digunakan adalah data yang terkait normatif maupun mengenai
fenomena yang terjadi.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” terbitan tahun 2017
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang ditulis dalam
skripsi ini. Adapun perinciannya, yaitu:
BAB I Pendahuluan yang terdiri atas (1) latar belakang masalah, (2)
identifikasi, pembatasan, perumusan masalah, (3) tujuan dan
manfaat penelitian, (4) metode penelitian, (5) sistematika
penulisan.
BAB II Pada bab ini menjelaskan mengenai kerangka konsep
efektivitas, kebijakan hukum dan konsep korupsi, serta teori
11
efektivitas, gratifikasi dan teori kesadaran hukum dan gratifikasi
beserta dengan tinjauan ulang hasil studi terdahulu yang
berkaitan dengan korupsi dan gratifikasi.
BAB III Pada bab ini akan diuraikan data dari Pemerintah Kota
Tangerang selatan, berupa profil dari pemerintah dan data
wawancara dari pihak terkait praktik tindak pidana korupsi
khususnya gratifikasi yang dilakukan di lingkungan Pemerintah
Kota Tangerang selatan.
BAB IV Pada bab ini menjelaskan analisis pembentukan kebijakan
hukum berupa Keputusan Walikota dan Peraturan Walikota dan
implementasi dari kebijakan hukum yang dibuat dalam upaya
pencegahan korupsi khususnya gratifikasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
BAB V Pada bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi peneliti yang
didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
TENTANG KORUPSI DAN GRATIFIKASI
A. Kerangka Konsep
1. Konsep Efektivitas
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif, dalam
bahasa Inggris effectiveness yang telah mengintervensi kedalam Bahasa
Indonesia dan memiliki makna “berhasil”. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia1, efektivitas adalah keefektifan, yaitu keberhasilan suatu usaha,
tindakan. Dalam bahasa Belanda effectief memiliki makna berhasil guna.
Sedangkan, efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai
keberhasilgunaan hukum, hal ini berkenaan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri, sejauh mana hukum atau peraturan itu
berjalan optimal dan efisien atau tepat sasaran.
Menurut para ahli sebagai mana dikutip oleh Samodra Wibawa2,
efektivitas adalah:
a. Richard M. Steers, keberhasilan kepemimpinan dan organisasi
diukur dengan konsep efektivitas. Efektivitas itu paling baik dapat
dimengerti jika dilihat dari sudut sejauh mana suatu organisasi
berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam
usahanya mengerjakan tujuan organisasi.
b. J.L. Gibson, konsep efektivitas dapat didekati dari dua segi, yaitu
tujuan dan teori sistem. Pendekatan tujuan memandang bahwa
organisasi itu dibentuk dengan suatu tujuan dan oleh karena itu
orang-orang di dalamnya berusaha secara rasional agar tujuan
tercapai. Dengan demikian, efektivitas diartikan sebagai pencapaian
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.web.id/efektif/ diakses pada 5 Januari 2018 pukul 20.00 wib. 2 Samodra Wibawa dkk, Evaluasi Kebijakan Publik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1992), h.32.
13
yang telah disepakati bersama. Namun, pendekatan sistem
memandang bahwa organisasi mendapatkan sumber dari
lingkungannya. Dalam hal ini, efektivitas menggambarkan seluruh
siklus input-proses-output dan hubungan timbal-balik antara
organisasi dan lingkungannya.
c. Barnard mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai pencapaian
tujuan-tujuan organisasi.
d. Etzioni mendefinisikan efektivitas sebagai tingkat terwujudnya
sasaran dan tujuan organisasi.
e. Sampson memberikan definisi yang agak berbeda, menurutnya
dimensi-dimensi efektivitas adalah sebagai berikut:
1) Goal attainment, yakni kemampuan manajer untuk mewujudkan
kebutuhan ekonomi bagi para anggotanya.
2) Adaptation, yakni usaha untuk mencangkokkan diri pada
lingkungan,
3) Integration, yakni sejauhmana manajer mampu menyatukan
berbagai departemen dan fungsi di dalam organisasinya.
Contoh: berapa jumlah pegawai yang keluar setiap tahun?
4) Latency, yakni langkah yang diambil untuk menjaga komitmen
dan partisipasi para.
Menurut Soewarno efektivitas adalah pengukuran dalam arti
tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.3 Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Caster I. Bernard, efektivitas adalah
tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama.4 Sedangkan Robbins
memberikan definisi efektivitas sebagai tingkat pencapaian organisasi
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Efektivitas organisasi adalah
konsep tentang efektif dimana sebuah organisasi bertujuan untuk
3 Soewarno Hadayadiningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Management,
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1980), h.2. 4 Soewarno Hadayadiningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Management…
h.4.
14
menghasilkan. Organizational Efectiveness (efektivitas organisasi) dapat
dilakukan dengan memperhatikan kepuasan pelanggan, pencapaian visi
organisasi, pemenuhan aspirasi, menghasilkan keuntungan bagi
organisasi dan aspirasi yang dimiliki, serta memberikan dampak positif
bagi masyarakat di luar organisasi.5
Martoyo memberikan definisi efektivitas yaitu dapat diartikan
sebagai suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan yang
hendak dicapai dan sarana yang digunakan, serta kemampuan yang
dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai
dengan hasil yang memuaskan.6 Sama halnya menurut Komaruddin
efektivitas adalah suatu keadaanyang menunjukan tingkat keberhasilan
kegiatan managemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu.7
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat
dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki.
Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan
dilakukannya tindakan-yindakan untuk mecapai hal tersebut8. Efektivitas
dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang
ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif
apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuan. Apabila
tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses
pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan
program atau kegiatan menurut wewenang tugas dan fungsi instansi
tersebut.
5 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), Buku 1, Penerjemah Diana Angelica, Ria Cahyani dkk, Edisi 12, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h.16.
6 Martoyo, Managemen Sumber Daya Manusia, Edisi ke-5, (Yogyakarta: BPFE,
2000), h.4. 7 Komaruddin, Ensiklopedia Managemen, cet ke-1, (jakarta: Bumi Aksara, 1994),
h.294. 8 Samodra Wibawa dkk, Evaluasi Kebijakan Publik… h.32.
15
Dalam penulisan skripsi ini efektivitas yang dikaji adalah kebijakan
hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan
melalui Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 17 tahun 2017
Tentang Pedoman pengendalian Gratifikasi dan Keputusan Walikota
Tangerang Selatan Nomor 700/kep-188-huk/2015 Tentang Pembentukan
Unit Pengendalian Gratifikasi yang dianalisa menggunakan teori
efektivitas.
2. Konsep Kebijakan Hukum
Kebijakan adalah jenis tindakan administrasi negara yang berasal
dari kewenangan direksi yang pada umumnya digunakan untuk
menetapkan peraturan kebijaksanaan pelaksanaan ketentuan Undang-
Undang9. Kebijakan dibuat oleh pejabat administrasi negara dalam
rangka untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah. Eksistensi kebijakan
merupakan konsekuensi atas negara hukum yang membebankan tugas
kepada pemerintah yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian peraturan kebijakan adalah merupakan produk
kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat administrasi
negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan.
Van Kreveld mengatakan bahwa kebijakan harus memenuhi syarat-
syarat tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-syarat tersebut
antara lain10:
a. Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung
wewenang diskresioner yang dijabarkannya;
b. Tidak dapat bertentangan dengan nalar sehat
c. Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta saran teknis
dari instansi yang berwenang, rembukan dengan para pihak yang
terkait dan mempertimbangkan alternatif yang ada
9 Sunggono Bambang, Hukum dan Kebijakan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994),
h.155. 10 Sunggono Bambang, Hukum dan Kebijakan Publik… h.137.
16
d. Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga
masyarakat yang terkena dan ada kepastian tindakan yang akan
dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum
formal);
e. Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar
pertimbangannya; dan
f. Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang
telah diperoleh dari warga yang terkena harus dihormati, kemudian
harapan yang telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban. Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri.
Kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana mestinya, secara vertikal berarti kekuasaan
untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintahan
negara secara keseluruhan.11
Wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak
yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk melakukan
hubungan-hubungan hukum.12
Menurut Kraft dan Furlong kebijakan publik adalah “A course of
government action (or inaction) taken in response to social problems.
Social problems are conditions the public widely perceives to be
11 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h.102. 12 SF Marbun, Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2011), h.190.
17
unacceptable and therefore requiring intervention.”13 Yang dapat
diartikan sebuah tindakan yang dibuat pemerintah untuk menyetujui atau
tidak menyetujui sesuatu hal yang diambil sebagai respon terhadap suatu
masalah sosial, masalah sosial tersebut merupakan kondisi yang dialami
masyarakat luas dan dianggap sebagai sebuah masalah, oleh karena itu
memerlukan intervensi atau campur tangan pemerintah.
Peraturan kebijakan berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan
menjadi dua. Pertama, kebijakan yang bersifat terikat (gabonden beleids)
yang merupakan kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi negara
sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Sehingga kebijakan yang diambil oleh pejabat tersebut tidak
menyimpang dari persyaratan yang telah ditetapkan oleh Undang-
Undang. Kebijakan ini lahir demi memenuhi tuntutan asas legalitas
sebagai salah satu unsur negara hukum. Asas legalitas tersebut
menghendaki agar setiap tindakan yang diambil oleh pejabat pemerintah
atau tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan pada peraturan
perUndang-Undangan atau hukum yang sudah lebih dahulu ada sebelum
suatu tindakan pemerintahan dilakukan.14
Kedua, kebijakan yang bersifat bebas adalah kebijakan yang
ditetapkan berdasarkan pertimbangan pejabat negara semata-mata.
Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan dan dijalankan oleh pejabat
negara dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan (masalah konkret)
yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam
Undang-Undang (peraturan perUndang-Undangan).15
13 Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013),
h.3. 14 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h.90. 15 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik… h.93.
18
Dalam penulisan skripsi ini kebijakan hukum yang dikaji adalah
Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 17 tahun 2017 Tentang
Pedoman pengendalian Gratifikasi dan Keputusan Walikota Tangerang
Selatan Nomor 700/kep-188-huk/2015 Tentang Pembentukan Unit
Pengendalian Gratifikasi.
3. Konsep Korupsi
Transparansi Internasional memberikan definisi tentang korupsi
sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik
untuk keuntungan pribadi. Dalam definisi ini terdapat beberapa unsur
dari pengertian korupsi, yaitu menyalahgunakan kekuasaan, kekuasaan
yang dipercayakan memiliki akses bisnis atau keuntungan materi dan
keuntungan pribadi.16
AS Hornby E.V. Gatenby and H. Wakefield sebagaimana dikutip
oleh Baharuddin Lopa korupsi adalah the offering and acceptimg of bibes
(penawaran/pemberian dan penerimaan suap). Dikatakan juga,
“corruptionis decay” , yang berartikebusukan atau kerusakan. (The
advanced Learner’s Dictionary of Current English, p,218). Sudah tentu
dimaksudkan “busuk” atau “rusak” itu, ialah moral atau akhlak dari
oknum yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.17
David M. Chalmers menguraikan pengertian istilah itu dalam
berbagai bidang, antara lain yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan denga manipulasi di bidang ekonomi, dan yang
menyangkut bidang kepentingan umum (Encyclopedia Americana, p.22).
Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan, antara lain
berbunyi, Financial manipulation and decisions injurious to the
wconomy are aften labels corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai
16 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Edisi Ringkas) dengan judul asli
Confloring Corruption: Element of Nation Integrity System, by Jeremy Pope. Diringkas oleh TJahjono EP, (Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2003), h.6.
17 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2001), h.67.
19
keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan
perbuatan korupsi.18
Menurut Mubyarto, pengertian korupsi adalah suatu masalah
politik lebih dari pada ekonomi yang menyentuh keabsahan (legitimasi)
pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan para pegawai
pada umumnya. Akibat yang ditimbulkan dari korupsi ini ialah
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat
provinsi dan kabupaten. Pengertian korupsi yang diungkapkan Mubyarto
yaitu menyoroti korupsi dari segi politik dan ekonomi.19 Syeh Hussein
Alatas mengemukan pengertian korupsi, menurut beliau korupsi ialah
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma, tugas dan kesejahteraan umum, yang
dilakukan dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan
kemasabodohan akan akibat yang diderita oleh rakyat.20
Dalam pengertian sederhana, korupsi adalah penyalahgunaan
kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu
korupsi dipahami dalam konteks prilaku pejabat-pejabat sektor public,
politisi, pegawai negeri yang memakai kekuasaan dan wewenang sosial
untuk memperkaya diri, atau bersama orang-orang yang dekat dengan
mereka.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme, menjelaskan bahwa korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Salah satunya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasa Tindak Pidana
18 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum… h.68. 19 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.11.
20 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional… h.11.
20
Korupsi yaitu , adalah “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Unsur-unsur yang terkandung di dalam tindak pidana korupsi
antara lain adalah:
1. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi,
2. Perbuatannya bersifat melawan hukum,
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan,
4. Merugikan keuangan negara dan perekomian negara.
Oleh karena itu, korupsi mempunyai lima unsur penting, yaitu
penggelapan uang negara atau masyarakat atau perusahaan, melawan
hukum dan norma-norma yang berlaku, penyalahgunaan kekuasaan atau
amanah, demi kepentingan pribadi atau orang lain atau kelompok
tertentu, dan merugikan pihak lain, baik masyarakat atau negara. Dengan
demikian, hai ity merupakan tindakan melawan hukum, melawan norma,
melawan kepatutan, dan melawan keseimbangan kosmos.21
Berdasarkan bentuknya korupsi dapat dibagi dua, yaitu: pertama,
yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang)
yang dikategorikan material corruption. Kedua, berupa perbuatan
memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi,
paksaan, dan/atau campurtangan yang dapat mempengaruhi kebebasan
meimilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau
pada keputusan yang bersifat administratif, janji jabatan dan sebagainya,
yang dikategorikan political corruption. Ketiga, yang memanipulasi ilmu
pengetahuan seperti apabila seseorang memberikan informasi atau
penerangan sesuatu yang berhubungan denga ilmu pengetahuan dengan
21 Supriyadi Ahmad, “Dari Mahar Politik hingga Mental Politik Transaksional: Kajian
Komparatif Tentang Korupsi Di Era Milenial Indonesia”, diakses dari http://www.jurnalfai-aikanogor.org (Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun UIKA Bogor Vol.5 No.1, 2017) diakses pada 12 Februari 2018 pukul 20.00 wib.
21
cara yang tidak sebenarnya yang biasanya dilator belakangi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu.22
Berdasarkan sifat atau motifnya, korupsi dibedakan menjadi dua,
yaitu: pertama, korupsi yang bermotif terselubung. Korupsi seperti ini,
ialah korupsi yang secara sepintas lalu kelihatannya bermotif politik,
tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang
semata-mata.23
Berdasarkan subjek hukum tindak pidana korupsi salah satunya
yang akan penulis bahas adalah tindak pidana korupsi pegawai negeri
dana tau penyelenggara negara yaitu, adalah tindak pidana korupsi yang
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai
negeri atau penyelenggara negara. Artinya, tindak pidana yang
dirumuskan itu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Orang yang bukan pegawai negeri tidak dapat
melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri ini. Tindak pidana
korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan atau dapat disebut
sebagai kejahatan khusus.24
Jenis - jenis korupsi menurut Alatas bahwa inti gejala korupsi
selalu dari jenis pemerasan dan transaktif, korupsi selebihnya berkisar di
sekitar kedua jenis tersebut dan merupakan jenis sampingannya. Menurut
Alatas mengkonsepkan jenis korupsi di dalam segi tipologi, di antaranya
yaitu25:
a. Korupsi Transaktif , merujuk adanya kesepakatan timbal-balik antara
pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah
22 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2001), h.70. 23 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum… h.71. 24 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h.23. 25 Anas Saidi,dkk, Pemberantasan Korupsi Dan Pemerintahan Yang Bersih, (Jakarta:
LIPI Press, 2006), h.28.
22
pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh
kedua-duanya.
b. Korupsi Pemerasan, merupakan jenis korupsi yang di mana pihak
pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang
sedang mengancam dirinya, kepentingan, atau orang-orang, dan hal-
hal yang dihargainya.
c. Korupsi Defensif, adalah perilaku korban korupsi pemerasan.
Korupsi di dalam rangka mempertahankan diri.
d. Korupsi Investif atau Gratifikasi, adalah pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan
datang.
e. Korupsi Kekerabatan atau Nepotisme, merupakan penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang
jabatan di dalam pe- merintahan atau sistem organisasi, atau
tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, di dalam
bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara
bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.
f. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri dengan
memanfaatkan perilaku serta peran yang dimilikinya dan nantinya
mem- peroleh keuntungan finansial.
g. Korupsi Dukungan, adalah tindakan korupsi untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada.
B. Kajian Teoretis
1. Teori Efektivitas Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul
“Law and Society”, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Mustafa, efektif
atau tidaknya suatu perUndang-Undangan sangat dipengaruhi oleh tiga
23
faktor, yang dikenal sebagai efektivitas hukum, dimana ketiga faktor
tersebut adalah26:
a) Substansi Hukum Substansi hukum adalah inti dari peraturan
perUndang-Undang itu sendiri.
b) Struktur Hukum Struktur hukum adalah para penegak hukum.
Penegak hukum adalah kalangan penegak hukum yang langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum tersebut.
c) Budaya Hukum Budaya hukum adalah bagaimana sikap masyarakat
hukum di tempat hukum itu dijalankan. Apabila kesadaran
masyarakat untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dapat
diterapkan maka masyarakat akan menjadi faktor pendukung.
Namun, bila masyarakat tidak mau mematuhi peraturan yang ada
maka masyarakat akan menjadi faktor penghambat utama dalam
penegakan peraturan yang dimaksud.
Efektif dan berhasil tidaknya suatu penegakan hukum tergantung
tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law),
substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal
culture).27 Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi
hukum meliputi perangkat perUndang-Undangan dan budaya hukum
merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat.
Struktur adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum
dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini
menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta
proses hukum itu berjalan dan dijalankan.28
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud
dengan substansinya adalah sebuah aturan, norma, dan pola perilaku
nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum
26 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1982), h.13. 27 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat… h.14.
28 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat… h.14.
24
menyangkut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku yang
memiliki kekuatan untuk mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam menjalankan aturannya.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan
struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan
sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung
budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas hukum antara lain29:
a) Hukum / Undang-Undang dan peraturannya.
b) Penegak hukum (pembentuk hukum maupun penataan hukum).
c) Sarana / fasilitas pendukung.
d) Masyarakat.
e) Budaya hukum (legal cultur)
Berdasarkan kepada teori tersebut maka suatu usaha dapat
dikatakan efektif apabila sudah meliputi hal-hal diatas, namun apabila
belum mencangkup hal tersebut maka belum dapat dikatakan suatu usaha
itu efektif. Dalam halnya dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori
Lawrence M. Friedman dalam menganalisis seberapa efektif upaya
pencegahan korupsi dan gratifikasi di Pemerintah Kota Tangerang
Selatan.
29 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat… h.15.
25
2. Teori Kesadaran Hukum
Menurut Soerjono Soekanto terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kesadaran hukum, beberapa faktor tersebut adalah
sebagai berikut30:
a) Pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hukum secara umum
peraturan-peraturan yang telah sah maka dengan sendirinya
peraturan-peraturan tadi akan tersebar luas dan diketahui umum,
tetapi sering kali terjadi suatu golongan tertentu di dalam masyarakat
yang tidak mengetahui atau kurang mengetahui tentang ketentuan-
ketentuan hukum yang khusus bagi mereka.
b) Pengakuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum Pengakuan
masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum, berarti masyarakat
mengetahui isi dan kegunaan dari norma-norma hukum tertentu.
Artinya terdapat suatu derajat pemahaman tertentu terhadap
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini juga dapat berarti
bahwa derajat kesadaran hukum agak lebih tinggi dari sekedar
pengetahuan saja. Namun, hal tersebut belum merupakan jaminan
bahwa masyarakat yang mengakui ketentuan-ketentuan hukum
tertentu dengan sendirinya mematuhinya, tetapi juga perlu diakui
bahwa orang-orang yang memahami suatu ketentuan hukum ada
kalanya cenderung untuk mematuhinya.
c) Penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum Penghargaan atau
sikap tehadap ketentuan-ketentuan hukum, yaitu sampai sejauh
manakah suatu tindakan atau perbuatan yang dilarang hukum
diterima oleh sebagian besar warga masyarakat. Juga reaksi
masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku.
Masyarakat mungkin menentang atau mungkin mematuhi hukum
karena kepentingan mereka terjamin pemenuhannya.31
30 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat...
h.217.
26
d) Penaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum Salah
satu tugas hukum yang penting adalah mengatur kepentingan-
kepentingan para warga masyarakat. Kepentingan para warga
masyarakat tersebut lazimnya bersumber pada nilai-nilai yang
berlaku, yaitu anggapan tentang apa yang baik dan apa yang harus
dihindari. Ketaatan masyarakat terhadap hukum, dengan demikian
sedikit banyak tergantung apakah kepentingan-kepentingan warga
masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dapat ditampung oleh
ketentuan-ketentuan hukum. Ada juga suatu anggapan bahwa
kepatuhan hukum disebabkan karena adanya rasa takut pada sanksi,
karena ingin memelihara hubungan baik dengan rekan-rekan
sekelompok atau pimpinan, karena kepentingannya terlindung,
karena cocok dengan nilai-nilai yang dianutnya.32
3. Teori Gratifikasi
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik”.33
31 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat…
h.218. 32 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat…
h.218. 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.web.id/gratifikasi/ diakses pada 30 April 2018 pukul 20.00 wib.
27
Pada Undang-Undang tersebut setiap gratifikasi yang diperoleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun
ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dan wajib dilaporkan paling lambat 30 (Tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.34
Apabila dicermati penjelasan di atas, kalimat yang termasuk
definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas,
sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk- bentuk gratifikasi. Dari
penjelasan pasal diatas juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi
mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau
negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini
dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak
semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya
gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.35
Sedangkan seorang Plato pun memiliki gagasan mengenai
gratifikasi, yaitu “Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan
mereka tanpa menerima hadiah”.36 Gagasan tersebut menggambarkan
bahwa tidak sepantasnya pegawai negeri atau pejabat negara menerima
hadiah dari pelayanan yang mereka berikan. Sehingga pelayanan
terhadap masyarakat menjadi lebih baik dan bebas dari korupsi
Dalam istilah hukum, pemberian hadiah kepada pejabat atau
penyelenggaraan negara dikenal dengan istilah popular yaitu
“Gratifikasi”, istilah gratifikasi berasal dari bahasa Belanda “gratikatie”
yang diadobsi dalam bahasa inggris menjadi “gratification” yang artinya
“pemberian sesuatu/hadiah”. Black’s Law Dictionary memberikan
34 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2014), h.3. 35 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi… h.3. 36 Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Veteran III,tt), h.21.
28
definisi gratifikasi atau gratification adalah sebagai “a voluntarily given
reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan
sebagai “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu
bantuan atau keuntungan”.37
Gratifikasi sebagai bentuk perbuatan hukum yang mengatur dan
terkait dengan penyelenggaraan negara diatur dalam UU No 20 tahun
2001, dalam Pasal 12 B setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dapat dikatakan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah,
berubah menjadi suatu perbuatan pidana suap khususnya pada seorang
penyelenggara negara atau pegawai negari adalah pada saat
penyelenggaraan negara atau pegawai negeri tersebu melakukan tindakan
menerima gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun
sepanjang pemberian tersebut berubungan dengan jabatannya ataupun
pekerjaannya.38
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori
yaitu Gratifikasi yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak
Dianggap Suap yaitu:39
a. Gratifikasi yang Dianggap Suap Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
37 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-I, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), h.109. 38 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), h.29. 39 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi… h.3.
29
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap. Yaitu Gratifikasi yang
diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang
berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan
kawajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal
12 B Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Gratifikasi sebagai sebuah bentuk perbuatan hukum yang mengatur
dan terkait dengan penyelenggaraan negara diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, dalam Pasal 12 B setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya. Dengan ketentuan sebagai berikut:40
1) Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi
2) Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi,
perlu dilihat rumusan Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.41
40 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi… h.3. 41 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi… h.3.
30
a) Setiap gratifikasi pada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan
ketentuan sebagaimana dijelaskan diatas.
b) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, dan paling banyak 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).42
Berdasarkan hal tersebut maka terlihat bahwa ada dua istilah dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terkait pemberian hadiah kepada
pejabat atau penyelenggara negara yaitu gratifikasi dan suap. Sehingga
dapat disimpulkan tidak benar bila Pasal 12 B dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah
melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia,
sesungguhnya praktik gratifikasi atau pemberian hadiah dikalangan
masyarakat ttidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah
rambu tambahan yaitu larangan bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara untuk menerima gratifikasi yang dianggap suap.43
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan
penelitian lainnya, maka peneliti melakukan penelusuran terhadap beberapa
penelitian terlebih dahulu. Diantara penelitian-penelitian tersebut adalah:
42 Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan PeUndang-Undangan dengan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Fokus Media, 2008), h.87. 43 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), h.29.
31
Pertama, skripsi yang disusun oleh Dadan Ruslan44, dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 dengan judul Gratifikasi
Dalam Tinjauan Hukum Islam. Skripsi ini membahas tentang bagaimana
gratifikasi dalam tinjauan islam, mencari pesamaan dan perbedaan gratifikasi
dengan risywah, suth, hadiah, hibah, sedekah dan menjelaskan bagaimana
pandangan ulama terhadap gratifikasi. Pembeda dari skripsi peneliti yaitu,
tidak membandingkan melainkan menganalisis kebijakan hukum yang dibuat
oleh pemerintah setempat tentang pencegahan tindak korupsi khusus pada
gratifikasi dan melihat implementasi serta efektivitas dari kebijakan tersebut
Kedua, buku yang ditulis oleh Robet Kligaard, dkk45, yang berjudul
Penuntun Pemberantasan Korupsi (Dalam Pemerintahan Daerah). Buku ini
berfokus pada korupsi sistemik, bukan pada perilaku beberapa orang yang
melanggar hukum, dan menekankan langkah pencegahan, bukan langkah
menghukum atau himbauan moral. Berbeda dengan berbagai tulisan umumnya
mengenai korupsi, buku ini menekankan langkah-langkah praktis. Pembeda
dari skripsi peneliti yaitu, pengkhususan pada kebijakan hukum yang ada di
Pemerindahan Daerah Kota Tangerang Selatan tidak hanya membahas
perilaku beberapa orang, namun mengkritisi Pemerintah Kota Tangerang
Selatan dengan menganalisa kebijakan hukum yang dibuat oleh pemerintah
setempat tentang pencegahan tindak korupsi khusus pada gratifikasi.
Ketiga, jurnal oleh Taufik Rinaldi, Marini Purnomo dan Dewi
Damayanti46, dari institusi Justice for the poor project (Bank dunia) tahun
2007 dengan judul Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi
studi kasus penanganan korupsi Pemerintahan Daerah. Jurnal ini membahas
44 Dadan Ruslan, Gratifikasi Dalam Tinjauan Hukum Islam, Universitas Islam Negeri
Syarf Hidayatullah Jakarta 2014 (Skripsi S1 Universitas Islam Neger Syarf Hidayatullah Jakarta 2014).
45 Robert Kligaard, dkk, Menuntun Pemberantasan Korupsi (dalam pemerintah
daerah), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 2005. 46 Taufiq Rinaldi, dkk, “Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi studi
kasus penanganan korupsi Pemerintahan Daerah”, diakses dari http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_dprd.pdf diakses pada 17 Maret 2017 pukul 14.00 wib.
32
tentang cara memerangi korupsi di Indonesia yang terfokus pada kasus
penanganan korupsi di Pemerintah Daerah yang lebih terkordinir dan
terdesentralisasi. Dengan membahas motif dibalik pelaku korupsi dan
penyebab pelaku dapat melakukan tindak korupsi serta cara mencegahnya.
Pembeda dari skripsi peneliti yaitu, pengkhususan pada kebijakan hukum yang
ada di Pemerindahan Daerah Kota Tangerang Selatan yang merupakan sebuah
lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab mewujudkan pemerintahan
yang baik (good governance), dengan menganalisa kebijakan hukum yang
dibuat oleh pemerintah setempat tentang pencegahan tindak korupsi khusus
pada gratifikasi dan melihat implementasi serta efektivitas dari kebijakan
tersebut yaitu berupa Perwal (Peraturan Walikota) dan Kepwal (Keputusan
Walikota) yang dibuat dalam rangka pencegahan tidak pidana
korupsi khususnya gratifikasi oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
33
BAB III
DATA PENELITIAN
TENTANG PEMERINTAH KOTA TENGERANG SELATAN
SERTA PRAKTIK KORUPSI DAN GRATIFIKASI
A. Data Kota Tangerang Selatan
1. Profil Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang Selatan adalah sebuah kota yang terletak di Tatar
Pasundan Provinsi Banten, Indonesia. Kota ini terletak 30 km sebelah
barat Jakarta dan 90 km sebelah tenggara Serang, ibu kota Provinsi
Banten. Kota Tangerang Selatan berbatasan dengan Kota Tangerang di
sebelah utara, Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat) di sebelah
selatan, Kabupaten Tangerang di sebelah barat, serta Daerah Khusus
Ibukota Jakarta di sebelah timur. Dari segi jumlah penduduk, Tangerang
Selatan merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Banten setelah Kota
Tangerang serta terbesar kelima di kawasan Jabodetabek setelah Jakarta,
Bekasi, Tangerang, dan Depok. Wilayah Kota Tangerang Selatan
merupakan hasil pemekarandari Kabupaten Tangerang.1
a. Visi Misi
Kota Tangerang Selatan memiliki Visi dan Misi sebagai berukut2:
Visi :
Terwujudnya Tangsel Kota Cerdas , Berkualitas dan Beradaya
Saing Berbasis Teknologi dan Inovasi.
Misi :
Mengmbangkan Sumberdaya manusia ynag handal dan berdaya
Meningkatkan infrastruktur kota yang fungsional.
1 Kota Tangerang Selatan, “Profil Kota Tangerang Selatan” diakses tanggal 9 Maret
2018 pukul 16.30 WIB dari https://id.wikipedia.org/ 2 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Visi dan Misi Tangerang Selatan” diakses
tanggal 9 Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
34
Menciptakan kota layak huni yang berwawasan lingkungan.
Mengmbangkan Ekonomi kerakyatan berbasis inovasi dan produk
unggulan.
Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik berbasis
teknologi informasi
b. Sejarah
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini masuk ke dalam
Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis,
yaitu suku, suku Betawi, dan Tionghoa.
Pembentukan wilayah ini sebagai kota otonom berawal dari
keinginan warga di kawasan Tangerang Selatan untuk
menyejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000, beberapa tokoh dari
kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut Cipasera sebagai
wilayah otonom. Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah
Kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas terabaikan.3
Pada 27 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota
Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh
kecamatan, yakni Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok
Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu.
Pada 22 Januari 2007, Rapat Paripurna DPRD Kabupaten
Tangerang yang dipimpin oleh Ketua DPRD, Endang Sujana,
menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat pemerintahan Kota
Tangerang Selatan secara aklamasi.
Komisi I DPRD Provinsi Banten membahas berkas usulan
pembentukan Kota Tangerang Selatan mulai 23 Maret 2007.
Pembahasan dilakukan setelah berkas usulan dan persyaratan
3 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9
Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
35
pembentukan kota diserahkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah ke
DPRD Provinsi Banten pada 22 Maret 2007.
Pada 2007, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyiapkan
dana Rp 20 miliar untuk proses awal berdirinya Kota Tangerang
Selatan. Dana itu dianggarkan untuk biaya operasional kota baru
selama satu tahun pertama dan merupakan modal awal dari daerah
induk untuk wilayah hasil pemekaran. Selanjutnya, Pemerintah
Kabupetan Tangerang akan menyediakan dana bergulir sampai kota
hasil pemekaran mandiri.
Pada 29 Oktober 2008, pembentukan Kota Tangerang Selatan
diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto,
dengan tujuh kecamatan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang
yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Tangerang pada 27
Desember 2006.4
Provinsi Banten yang memiliki luas wilayah ± 9.662,92 km²
dengan penduduk pada tahun 2007 berjumlah 9.245.075 jiwa, terdiri
atas 4 (empat) kabupaten dan 3 (tiga) kota, perlu memacu
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka
memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kabupaten Tangerang yang mempunyai luas wilayah ±
1.159,05 km² dengan penduduk pada tahun 2007 berjumlah
3.315.584 jiwa, terdiri atas 36 (tiga puluh enam) kecamatan.
Kabupaten tersebut memiliki potensi yang dapat dikembangkan
untuk mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk seperti
tersebut, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat belum sepenuhnya terjangkau. Kondisi demikian perlu
diatasi dengan memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui
4 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9
Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
36
pembentukan daerah otonom baru sehingga pelayanan publik dapat
ditingkatkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. 5
Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang dituangkan
dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Tangerang Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 27 Desember 2006
tentang Persetujuan Pembentukan Kota Tangerang Selatan,
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang
Nomor 13 tahun 2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Persetujuan
Penetapan Batas Wilayah dan Belanja Operasional dan Pemiliharaan
kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Surat Bupati Tangerang
Nomor 135/088 Binwil/2007 tanggal 30 Januari 2007 perihal
Persetujuan Pembentukan Daerah, Keputusan Bupati Tangerang
Nomor 130/Kep.149-Huk/2007 tanggal 19 Februari 2007 tentang
Persetujuan Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Surat Bupati
Tangerang Nomor 137/530 Binwil-2007 tanggal 15 Maret 2007
perihal Usul Pembentukan Daerah Otonom, Keputusan Bupati
Tangerang Nomor 130/Kep.239-Huk/2007 tanggal 7 Mei 2007
tentang Belanja Operasional dan Pemiliharaan untuk Pemerintahan
Kota Tangerang Selatan, Keputusan Bupati Tangerang Nomor
130/Kep.380-Huk/2007 tanggal 6 Agustus 2007 tentang Penetapan
Batas Wilayah Kota Tangerang Selatan, Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 01 Tahun
2007 tanggal 23 Januari 2007 tentang Persetujuan ditetapkannya Ex
Kantor Kewedanaan Ciputat menjadi Pusat Pemerintahan Kota
Tangerang Selatan, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/18/2007 tanggal 21 Mei
2007 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Tangerang Selatan,
Surat Gubernur Banten Nomor 135/1436-Pem/2007 tanggal 25 Mei
5 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9
Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
37
2007 perihal Usulan Pembentukan Kota Tangerang Selatan,
Keputusan Gubernur Banten Nomor 125.3/Kep.353-Huk/2007
tanggal 25 Mei 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Kota
Tangerang Selatan, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Tangerang Nomor 13 tahun 2007 tanggal 4 Mei 2007
tentang Persetujuan Penetapan Batas Wilayah dan Belanja
Operasional dan Pemiliharaan Kepada Kota Tangerang Selatan,
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten
Nomor 161.1/Kep-DPRD/09/2008 tanggal 7 Juli 2008 tentang
Persetujuan Pemberian Bantuan Dana Untuk Penyelenggaraan
Pemerintahan Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten,
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten
Nomor 161.1/Kep-DPRD/10/2008 tanggal 7 Juli 2008 tentang
Persetujuan Pemberian Bantuan Dana Untuk Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Pertama Walikota dan Wakil Walikota Calon Kota
Tangerang Selatan Provinsi Banten, Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/11/2008
tanggal 7 Juli 2008 tentang Persetujuan Nama Calon Kota, Batas
Wilayah Kota dan Cakupan Wilayah Kota Calon Kota Tangerang
Selatan Provinsi Banten, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Banten Nomor 161.1/Kep-DPRD/12/2008 tanggal 7
Juli 2008 tentang Persetujuan Penggunaan Gedung Balai Latihan
Kerja Industri (BLKI) Serpong Kabupaten Tangerang Untuk
Fasilitas Kantor Calon Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, dan
Keputusan Gubernur Banten Nomor 011/Kep.301-No. 4935
(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 188)
Huk/2008 tanggal 17 Juli 2008 tentang Persetujuan Penggunaan
Gedung Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Serpong Kabupaten
Tangerang Untuk Fasilitas Kantor Calon Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten.6
6 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9
38
Berdasarkan hal tersebut Pemerintah telah melakukan
pengkajian secara mendalam dan menyeluruh mengenai kelayakan
pembentukan daerah dan berkesimpulan bahwa perlu dibentuk Kota
Tangerang Selatan. Pembentukan Kota Tangerang Selatan yang
merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, terdiri atas 7
(tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong
Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Ciputat, Kecamatan
Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, dan Kecamatan Setu. Kota
Tangerang Selatan memiliki luas wilayah keseluruhan ± 147,19 km²
dengan penduduk pada tahun 2007 berjumlah ± 918.783 jiwa. 7
Dengan terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai daerah
otonom, Pemerintah Provinsi Banten berkewajiban membantu dan
memfasilitasi terbentuknya kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan perangkat daerah yang efektif dan efisien sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan, serta membantu dan memfasilitasi
pelaksanaan pemindahan personel, pengalihan aset dan dokumen
untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik dan mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat di Kota Tangerang Selatan.
Dalam melaksanakan otonomi daerah, Kota Tangerang Selatan
perlu melakukan berbagai upaya peningkatan kemampuan ekonomi,
penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pemberdayaan dan
peningkatan sumber daya manusia, serta pengelolaan sumber daya
alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Maret 2017 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
7 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9
Maret 2017 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
39
c. Letak Georgrafis
Wilayah Kota Tangerang Selatan diantaranya dilintasi
oleh Kali Angke, Kali Pesanggrahan dan Sungai Cisadane
Pesanggrahan sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak
geografis Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI
Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota
Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi
DKI Jakarta, selain itu juga sebagai daerah yang menghubungkan
Provinsi Banten dengan DKI Jakarta. Selain itu, Tangerang Selatan
juga menjadi salah satu daerah yang menghubungkan Provinsi
Banten dengan Provinsi Jawa Barat.8
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif datar.
Beberapa kecamatan memiliki lahan yang bergelombang seperti di
perbatasan antara Kecamatan Setu dan Kecamatan Pamulang serta
sebagian di Kecamatan Ciputat Timur. Kondisi geologi Tangerang
Selatan umumnya adalah batuan alluvium, yang terdiri dari
batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Jenis
batuan ini mempunyai tingkat kemudahan dikerjakan
atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap
erosi cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan
masih cukup layak untuk kegiatan perkotaan.
Dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di
Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat
kemerahan yang secara umum cocok untuk pertanian/perkebunan.
Meskipun demikian, dalam kenyataannya makin banyak yang
berubah penggunaannya untuk kegiatan lainnya yang bersifat non-
pertanian. Untuk sebagian wilayah seperti Kecamatan Serpong dan
Kecamatan Setu, jenis tanah ada yang mengandung pasir khususnya
untuk wilayah yang dekat dengan Sungai Cisadane.
8 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Letak Tangerang Selatan” diakses tanggal 9
Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
40
B. Data Praktik Pelanggaran Korupsi dan Gratifikasi di Kota Tangerang
Selatan
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan
dalam suatu jabatan, sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan
dengan penyalahgunaan kekuasaan dalam perfektif kejahatan yang
terorganisir sesuai dengan adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton,
yakni kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak korup secara
mutlak. Dari pandangan tersebut telah memberikan gambaran, bahwa ruang
lingkup terjadinya korupsi adalah berada dalam lingkingan kekuasaan atau
wewenang atau kedudukan.9
Perubahan kekuasaan dari sentralisasi ke otonomi daerah, justru
menimbulkan persoalan baru, di mana korupsi berpindah dari pusat ke
daerah. Dengan demikian modus operandi, korupsi yang dikemas sedemikian
rapi terkadang menatasnamakan kebijakan, telah melahirkan persoalan baru
di beberapa daerah seperti Kota Tangerang Selatan.
Semenjak otonomi daerah, dengan adanya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, telah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk
mengeluarkan produk-produk legislatif berupa peraturan daerah, surat
keputusan ataupun melalui keputusan-keputusan rapat. Para pelaku dari
pembuatan kebiajakan publik ini adalah pimpinan dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menteri, gubernur, bupati, kepala dinas,
direksi BUMN atau BUMN, atau perbankan milik pemerintah.10
Keleluasaan untuk mengatur daerah sendiri di era otonomi daerah,
digunakan kesempatan untuk menguntungkan diri bagi para pejabat. Dengan
terungkapnya banyak kasus korupsi yang dilakukan, baik oleh lembaga
legislatif, eksekutif maupun yudikatif di daerah, maka seolah-olah
9 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Prespektif HAN (Hukum Administrasi
Negara), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hlm.291-292 10 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Prespektif HAN (Hukum Administrasi
Negara)… h. 293.
41
membenarkan presepsi masyarakat bahwa pemberlakuan otonomi daerah
dapat menciptakan raja-raja kecil di daerah.11
Menurut Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan
beberapa penyebab korupsi, yakni: kurangnya gaji pegawai negeri
dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat, latar
belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau
sebab meluasnya korupsi, managermen yang kurang baik dan kontrol yang
kurang efisien dan efisien yang akan memberi peluang orang untuk korupsi,
modernisasi mengembangkan korupsi. Aspek lain yaitu memperoleh
keuntungan pribadi atau golongan dalam kaitannya dengan tingkat korupsi
dan modernisasi.12
Pencegahan korupsi pada tingkat daerah dapat membantu meningkatkan
pendapatan pemerintahan daerah, memperbaiki layanan bagi warga
masyarakat, membangkitkan rasa percaya warga masyarakat pada pemerintah
daerah, mendorong partisipasi masyarakat, serta membantu pemerintahan
daerah memenangkan pemilihan umum.13
Harapan untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
terbebas dari KKN ternyata masih dihantui dan dibayang-bayangi adanya
indikasi praktik KKN tidak hanya dapat terjadi dalam jajaran pemerintahan
pusat, melainkan dapat pula terjadi dalam jajaran Pemerintah Daerah salah
satunya adalah Tangerang Selatan.
Korupsi memang menjadi musuh bersama bagi Negeri ini. Bagaimana
tidak, perbuatan ini ternyata telah menyeret ratusan pejabat daerah dan
bahkan pejabat negara yang paling tinggi sekalipun yaitu Mahkamah
Konstitusi. Perbuatan bejat ini juga menghantui Kota Tangsel yang dapat
dikatan usianya masih sangat "bayi".
11 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Prespektif HAN (Hukum Administrasi
Negara)… h. 293. 12 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT
Gramedia,1984) h. 18. 13 Robert Klitgaard dan dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan
daerah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002) h. 5.
42
1. Praktik Tindak Pidana Korupsi di Tangerang Selatan Sebelum
adanya Kebijakan Hukum
Tindak pidana korupsi yang dilakukan di lingkungan pemerintahan
kota Tangerang Selatan berdasarkan penindakan dari KPK tahun 2012-
2014 yaitu:14
a. Korupsi Alat Kesehatan
Diduga, salah satu berkas yang disita terkait pengadaan Alat
kesehatan senilai 23 milyar di Tangerang Selatan dan Provinsi
Banten. Sejak pengeledahan tersebut, Adik kandung Ratu Atut
Chosiyah yang juga Suami Wali Kota Tangerang Selatan, Airin
Rachmi Diany Tubagus Chaery Wardana (TCW) ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi oleh KPK Perkara TPK pengadaan alat
kesehatan Kedokteran Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan
APBDP.15
1) Perkara TPK pengadaan Alat Kesehatan Kedokteran Umum
Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun Anggaran
2012 atas nama tersangka TCWC alias TB. CW (swasta).
2) Perkara TPK pengadaan Alat Kesehatan Kedokteran Umum
Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun Anggaran
2012 atas nama tersangka MJ (Kepala Bidang Sumber Daya
Kesehatan dan Promosi Kesehatan (SDK dan Promkes) Dinas
Kesehatan Pemkot Tangsel/PPK).16
14 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2012 “Jalan Berliku
Pemberantasan Korupsi”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2012). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
15 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2013 “Laporan tahunan 2013”,
(Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2013). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
16 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2014 “Menjaga Harapan Tetap
Menyala”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2014). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
43
3) Perkara TPK pengadaan Alat Kesehatan Kedokteran Umum
Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun Anggaran
2012 atas nama tersangka DP (swasta).
4) Perkara TPK atas nama terdakwa MAMAK JAMAKSARI
sehubungan dengan pengadaan alat kesehatan Kedokteran
Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun
Anggaran 2012.17
5) Tangal 4 November 2014 memberikan fasilitasi pemeriksaan
Mamak Jamaksari sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak
pidana korupsi pembangunan puskesmas di Tangerang Selatan
TA 2011 dan TA 2012 a.n. Tersangka Dadang, Suprijatna
Tamara, Desy Yusandi, Herdian Koosnadi dan Neng Ulfah
berdasarkan surat Direktur Penyidikan Pidsus Kejagung RI
Nomor: B-3136/F.2/Fd.1/10/2014 tanggal 24 Oktober 2014.
6) Melaksanakan kegiatan fasilitasi pemeriksaan Tubagus Chaeri
Wardana sebagai saksi oleh Kejaksaan Negeri Tigaraksa pada
tanggal 29 Desember 2014 dalam perkara dugaan tindak
pidana korupsi dalam Pengadaan Alat Kesehatan Puskesmas
untuk Kegiatan Sarana dan Prasarana Puskesmas pada Dinas
kesehatan Kota Tangerang Selatan yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TA 2010
dengan nilai kontrak sebesar Rp6.673.211.000 serta Pengadaan
Alat Kesehatan Puskesmas untuk Kegiatan Sarana dan
Prasarana Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) TA 2010 dengan nilai kontrak sebesar
Rp4.826.672.000 atas nama Tersangka Dadang, berdasrkan
surat Kajari Tigaraksa Nomor: B-6717/O.6.15/Fd.1/12/2014
17 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2014 “Menjaga Harapan Tetap
Menyala”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2014). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
44
tanggal 24 Desember 2014 dan Surat Mahkamah Agung RI
Nomor: 59/Tuaka.Pid/ XII/2014 tanggal 23 Desember 2014.18
b. Korupsi Pembangunan Puskesmas
Masih berada dibawah dinas kesehatan, kasus korupsi yang
kedua melibatkan Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kota Tangerang
Selatan (Tangsel) menjadi tersangka kasus korupsi pembangunan
Puskesmas dan pembebasan tanah untuk Puskesmas di Tangerang
Selatan Tahun Anggaran 2011 dan 2012. Kepala Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan
Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print – 37/F.2/Fd.1/06/2014
tanggal 13 Juni 2014.
Ia diduga telah melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam
pelaksanaan proyek pembebasan tanah untuk Puskesmas dan
pembangunan Puskesmas. Selain kadis kesehatan Tangsel, Penyidik
Tindak Pidana Khusus telah menetapkan tujuh orang tersangka
dalam kasus korupsi ini19.
2. Praktik Tindak Gratifikasi di Tangerang Selatan Sebelum Adanya
Kebijakan Hukum
Tindak pidana gratifikasi di Tangerang Selatan belum ada karena
belum adanya aturan yang mengatur dan belum adanya UPG (Unit
18 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2014 “Menjaga Harapan Tetap
Menyala”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2014). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
19 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”. diakses
tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
45
Pengendali Gratifikasi yang berfungsi menerima laporan dan melaporkan
gratifikasi ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).20
3. Praktik Tindak Pidana Korupsi di Tangerang Selatan Setelah
adanya Kebijakan Hukum
Tindak pidana korupsi yang dilakukan di lingkungan pemerintahan
kota Tangerang Selatan berdasarkan penindakan dari KPK tahun 2015-
2017 yaitu:21
a. Korupsi Alat Kesehatan
Kasus korupsi Alat kesehatan (Alkes) senilai 23 milyar
diketahui bermula dari penggeledahan di PT Bali Pasific Pragama
yang berlokasi di Gedung The East lantai 12 Nomor 5 Mega
Kuningan, Jakarta Selatan dan Serang, Banten terkait kasus suap
penanganan sengketa pilkada Kabupaten Lebak di Mahkamah
Konstitusi. Di kantor tersebut, penyidik berhasil menyita sejumlah
dokumen dan beberapa barang penting lainnya.
Diduga, salah satu berkas yang disita terkait pengadaan Alkes
di Tangerang Selatan dan Provinsi Banten. Sejak pengeledahan
tersebut, Adik kandung Ratu Atut Chosiyah yang juga Suami Wali
Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany Tubagus Chaery
Wardana (TCW) ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh
KPK.
1) Perkara TPK pengadaan alat kesehatan Kedokteran Umum
Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun Anggaran
2012 atas nama tersangka DP (swasta).22
20 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah
Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
21 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”,
(Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2015). diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
46
2) Perkara TPK atas nama terdakwa MAMAK JAMAKSARI
sehubungan dengan pengadaan alat kesehatan Kedokteran
Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun
Anggaran 2012.23
3) Perkara TPK atas nama terdakwa DADANG PRIJATNA
sehubungan dengan pengadaan alat kesehatan Kedokteran
Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun
Anggaran 2012. Putusan PN: Pidana penjara 4 (empat) tahun,
denda Rp200.000.000 subsidair 1 (satu) bulan, dan uang
pengganti Rp103.500.000 subsidair 1 (satu) tahun.24
4) Fasilitasi penanganan perkara kasus Alkes di Kota Tangerang
Selatan Tahun Anggaran 2012 dengan Tersangka YUNI
ASTUTI yang disidik oleh Kejari Kabupaten Tangerang
(Tigaraksa) yang perkaranya juga ada kaitan dengan yang
diselidiki oleh KPK dalam perkara TUBAGUS CHAERI
WARDANA.25
5) Perkara TPK atas nama terdakwa RATU ATUT CHOSIYAH
sehubungan dengan pengadaan sarana dan prasarana alat
kesehatan dan pengadaan lainnya di lingkungan Pemerintah
Provinsi Banten Tahun 2011-2013.26
6) Perkara TPK atas nama terdakwa RATU ATUT CHOSIYAH
sehubungan dengan yaitu pegawai negeri atau penyelenggara
22 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”. diakses
tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
23 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
24 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”. diakses
tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id 25 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2016 “Hingga Kebawah
Permukaan”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id 26 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2017 “Dari Indonesia untuk
Indonesia”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
47
negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, dan atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri; atau pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan sesuatu atau disebabkan karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya atau diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya.27
7) Dugaan TPK Pengadaan Alat kesehatan Puskesmas untuk
Kegiatan Sarana dan Prasarana Puskesmas pada Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang bersumber dari
APBD TA 2010 dengan nilai kontrak sebesar Rp6.673.211.000
serta Pengadaan Alat Kesehatan Puskesmas pada Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang bersumber dari
APBN TA 2010 dengan nilai kontrak sebesar Rp
4.826.672.000,- dengan terpidana Atas nama DADANG
PRIJATNA, SH yang disidangkan oleh Kejari Kab.
Tangerang..28
27 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2017 “Dari Indonesia untuk
Indonesia”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go
28 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2017 “Dari Indonesia untuk Indonesia”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go
48
4. Praktik Gratifikasi di Tangerang Selatan Setelah adanya Kebijakan
Hukum
Setidaknya terdapat beberapa tindakan gratifikasi yang diterima
oleh pejabat pemerintah kota Tangerang Selatan yang telah terferivikasi
oleh inspektorat Tangerang Selatan dan dilaporkan ke KPK sejak tahun
2015-2017 sebagai berikut:29
a. Laporan gratifikasi berupa uang, barang, paket liburan dll dalam
pernikahan putri wakil walikota Tangerang Selatan Drs. H.
Benyamin Davnie pada 1 Oktober 2016 senilai Rp. 296.925.000,-
b. Laporan gratifikasi berupa uang pada 31 Maret 2017 kepada
Pegawai Negeri Pemkot Tangsel
c. Laporan gratifikasi berupa uang kepada wakil walikota Tangerang
Selatan Drs. H. Benyamin Davnie pada tahun 2016
d. Laporan gratifikasi berupa barang (bolpoin) pada 26 Maret 2017
kepada walikota Tangerang Selatan Hj. Airin Rachmi Diany S.H
e. Laporan gratifikasi berupa barang (parcel) yang diterima sekertaris
desa kota Tangerang Selatan pada 3 Juni 2016
C. Perbandingan Sebelum dan Sesudah adanya Kebijakan Hukum
Berdasarkan data tindak pidana korupsi dan gratifikasi diatas maka
dapat dianalisis bahwa terdapat beberapa perbedaan antara sebelum adanya
kebijakan hukum berupa Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota yang
mengatur tentang gratifikasi dan sesudah adanya kebijakan hukum tersebut,
diantaranya:
1. Tindak pidana korupsi sebelum adanya kebijakan hukum yang mengatur
gratifikasi yang terjadi di Tangerang Selatan sesuai dengan laporan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) tahun 2012-2014 terdapat dua kasus
besar yang terjadi, yaitu kasus korupsi alat kesehatan dan korupsi
pembangunan puskesmas. Sedangkan setelah adanya kebijakan, kasus
29 Hasil wawancara inspektorat Tangerang Selatan, Ahmad Sulhan selaku auditor
bidang hukum, pada tanggal 4 Maret 2018.
49
korupsi yang terjadi hanya satu dan kasus tersebutpun masih kasus yang
sama dengan sebelum adanya kebijakan hukum.
2. Tindak gratifikasi sebelum adanya kebijakan hukum yang mengatur
tentang gratifikasi yang terjadi di Tangerang Selatan berdasarkan hasil
wawancara pihak UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) tidak adanya
laporan karena memang belum ada aturan yang mengatur hal tersebut,
sehingga inspektorat Tangerang Selatan belum memiliki hak untuk dapat
menerima laporan dan melaporkannya ke KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi).
3. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan hukum
berupa Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota yang mengatur
tentang gratifikasi tersebut membuat pejabat Tangerang Selatan sadar
hukum sehingga melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Dan hal ini
menjadi hal yang dinilai positif karena tercapainya salah satu tujuan
dibentuknya kebijakan hukum yaitu untuk rekayasa sosial, agar dapat
merubah masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan
melaksanakan kebijakan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku.
D. Data Wawancara Dengan Pejabat Inspektorat Pemerintahan Kota
Tangerang Selatan
Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan,
S,Ap. M,Si. C.FrA. Pejabat Inspektorat Pemerintah Kota Tangerang Selatan
bagian auditor bidang hukum.
Tindak pidana korupsi dan gratifikasi yang terjadi di Tangerang Selatan
secara suprastruktur di kota Tangerang Selatan sudah dibuat aturan mengenai
hal tersebut melalui Keputusan Walikota dan Peraturan Walikota, sebelumnya
tahun 2015 dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi. Kemudian, dibuat kotak
pelaporan yang selalu dipantau oleh pihak UPG dan diletakkan di balai kota
Tangerang Selatan dan di bagian Inspektoran dan kantor Walikota. Kemudian
di bagian Inspektoran Tangerang Selatan sudah memiliki SPIP (Sistem
50
Pengendalian Internal Pemerintah) sesuai dengan Peraturan Pemerintah tahun
1960 dimana UPG membangun SPIP agar segala kegiatan dapat dikendalikan
segala resiko-resikonya.30
Terdapat lingkungan pengendalian yang di Pemerintah Kota Tangerang
Selatan yaitu, pertama yaitu, lingkungan pengendalian adalah bagaimana
pimpinan menciptakan kondisi terkait integritas, kompetensi pembangunan
dll. kedua, managemen resiko, UPG sudah harus menilai resiko yang akan
muncul di setiap kegiatan termasuk pengadaan, jika terjadi penyimpangan,
kemudian di kendalikan di RPP. Ketiga yaitu, di aktifitas pengendaliannya
bagaimana pelaksanaan selama satu tahun berjalan. Keempat yaitu, di Monef
apakah dievaluasi. Kemudian kelima yaitu, komunikasi dari horizontal dari
atas kebawah.
Hal yang mendasari korupsi dan gratifikasi masih kerap terjadi secara
teori hal yang mendasari orang yang berlaku curang itu ada tiga, yaitu
kesempatan, niat dan kekuasaan. Nah, disitulah godaan yang muncul dari
PNS. Terdapat faktor internal dan eksternalnya. Faktor internalnya bisa dari
perorangan yang memiliki ambisi ya ng tidak terkendali dan internal kontrol
yang lemah sehingga dapat mendasari tindakan tersebut.31
Upaya yang dilakukan pemerintah kota Tangerang Selatan dalam
menanggulangi atau mencegah tindak pidana korupsi dan gratifikasi, yaitu
melalui Keputusan Walikota dan Peraturan Walikota berupa pembentukan
UPG dan pedoman pengendalian gratifikasinya. Dan tahun 2015 Pemerintah
Kota Tangerang Selatan bekerjasama dengan KPK terkait sosialisasi
mengenai gratifikasi dan korupsi, kemudian ada tunas anti korupsi dll. Dan
pihak Inspektorat memperkuat APIP (Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah). Diperkuat secara auditor dan keanggotaan yang diperbanyak.
30 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah
Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
31 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah
Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
51
Legitimasi dari kebijakan hukum tersebut di masyarakat dapat dilihat
melalui prinsip aturan itu ketika ditetapkan maka tahu tidak tahu harus
dipatuhi. Namun secara kelembagaan kota Tangerang Selatan sudah memiliki
JDIH yang ada di website resmi Tangerang Selatan
yaitu www.tangerangselatankota.go.id, sehingga masyarakat dapat memantau
secara langsung . Secara internal UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) sudah
dilakukan sosialisasi dengan peserta mulai dari kepada UPD (Unit Perangkat
Daerah) sampai staf-stafnya. Namun, dari masyarakat secara langsung belum
dilakukan, seperti mengundang masyarakat dll.
Proses penyusunan dari kebijakan hukum tersebut, yaitu sebagaimana
tata aturan penyusunan aturan, Perwal draftnya dari SKPD dan OPD atau
inisiatif dari bagian hukum, kalau Kepwal dan Perwal mengenai gratifikasi ini
diajukan dari inspektorat kemudian membentuk tim dan menyusun draft dan
draftnya di bahas oleh bagian hukum dan juga oleh stakeholder. Selain oleh
bagian hukum, juga oleh BPKP dan draft itu dimasukan oleh bagian hukum
dan di proses.32
Implementasi dari kebijakan hukum tersebut yaitu, tahun 2017 sudah
ada yang dilaporkan gratifikasinya, baik yang dilakukan oleh walikota atau
wakilnya yang melaporkan ke UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi).
Sehingga implementasinya sudah melaporkan secara inisiatif perorangan.
Namun, keberadaan kotak yang dibuat oleh UPG (Unit Pengendalian
Gratifikasi) sebagai salah satu cara melaporkan terlihat kurang efektif karena
sedikit yang melapor padahal sebenarnya masih banyak tindak gratifikasi
yang dilakukan. Karena beberapa hal termasuk kultur masyarakat yang masih
terbiasa memberi dan menerima gratifikasi. Seharusnya dibuat di website
secara online sistem pelaporannya sehingga mudah dijangkau, namun itu
yang belum dilaksanakan oleh UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi).
Pemerintah telah mengikut sertakan masyarakat dalam upaya
pencegahan tindak pidana korupsi dan gratifikasi di Tangerang Selatan
32 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
52
melalui proses pemerintahan sekarang yang sudah parsipatif cara untuk
menanggulanginya melalui Muslembang (Musyawarah, Perencanaan dan
Pembangunan) yang sudah dapat diakses secara online. Sehingga sudah
terregister di Simralnya sehingga masyarakat dapat memantau usulan-
usulannya yang sudah dilaksanakan maupun tidak dari Muslembang tingkat
RT dan RW kelurahan atau tingkat kecamatan, sehingga akuntabilitasnya
sudah melalui itu. 33
Tugas dan wewenang dari Unit Pengendalian Gratifikasi di Tangerang
Selatan tercantum di Kepwal dan Perwal yaitu menyusun rencananya,
menerima dan memberi laporan dan kordinasi ke KPK dan sosialisasi terkait
sosialisasi bekerjasama dengan DKD di bidang Diklat. Prosedur/mekanisme
kerja UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) dalam upaya mencegahan
gratifikasi belum memiliki SOP (Standar Operational System) sehingga
kinerja dari Unit Pengendalian Gratifikasi belum bisa maksimal, hanya dapat
menerima laporan dan melaporkannya ke KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) sampai mendapat verifikasi.
33 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah
Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
53
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM
PENCEGAHAN TINDAK GRATIFIKASI
DI PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
A. Faktor Meningkatnya Korupsi dan Gratifikasi
Meningkatnya tindak pidana korupsi dan gratifikasi disebabkan oleh
beberapa permasalahan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di negara
ini. Sehingga upaya pencegahannya pun menjadi hal yang tidak mudah,
membutuhkan waktu, biaya dan kesungguhan untuk mengatasinya. Segenap
lapisan masyarakat dan lapisan pejabat daerah sampai pejabat negara wajib
melakukan pencegahan yang berkelanjutan. Permasalahan-permasalahan
yang menyebabkan meningkatnya tindak pidana korupsi dan gratifikasi
tersebut diantaranya yaitu1:
1. Lemahnya pendidikan agama dan etika. Membuat masyarakat terkadang
lupa kepada jadi dirinya dan mementingkan kepentingan diri sendiri dan
menghiraukan orang lain.
2. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan
didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah
dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
3. Tidak adanya sanksi yang keras dan tegas atas pelaku tindak pidana
korupsi. Sehingga para koruptor masih dapat bernafas lega walaupun
dirinya telah melakukan pelanggaran berat yang merugikan masyarakat
luas.
4. Pengetahuan yang luas namun tidak sejalan dengan rohani yang kuat.
Sehingga para pelaku tindak pidana korupsi akan lebih mudah dilakukan
oleh orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
1 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Faktor Meningkatnya Korupsi” diakses
tanggal 5 Mei 2018 pukul.20.00 WIB https://www.tangerangselatankota.go.id/pemkot-tangerang-paparkan-rencana-aksi-pemberantasan-korupsi-terintegrasi.
54
5. Struktur dan sistem pemerintah yang kurang tepat, membuat penempatan
bidang dan keahlian para pelaku pemerintahan tidak sesuai.
B. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Gratifikasi di
Tangerang Selatan
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Tangerang
Selatan. Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah membuat suatu program
dan bekerjasama dengan instansi terkait. Diantara upaya pencegahan yang
dilakukan oleh Pemerintah Tangerang Selatan yaitu2:
1. Pembentukan Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota yang
mengatur tentang gratifikasi
Dibentuknya Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 17
Tahun 2017 tentang pedoman pengendalian gratifikasi dan Keputusan
Walikota Tangerang Selatan Nomor 700/Kep.188-Huk/2015 tentang
pembentukan unit pengendalian gratifikasi. Hal ini merupakan tindakan
tegas pemerintah Kota Tangerang selatan dalam upaya pencegahan
tindak gratifikasi.
2. Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi
Berdasarkan Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor
700/Kep.188-Huk/2015 tentang pembentukan unit pengendalian
gratifikasi merupakan sebuah langkah awal yang diambil pemerintah
kota Tangerang Selatan dalam upaya menanggulangi korupsi khususnya
gratifikasi, di dalam kebijakan ini pemerintah kota Tangerang Selatan
mengatur tentang seluk beluk pemberian gratifikasi serta pembentukan
Unit Pengendalian Gratifikasi sebagai suatu susunan keanggotaan yang
bertanggung jawab atau fokus kepada upaya pencegahan gratifikasi.
2 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
55
3. Pembentukan Tunas Anti Korupsi
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan di lingkungan
Pemerintah Kota Tangerang Selatan tentang pemahaman integritas dan
aplikasinya, Pemkot melalui Inspektorat menyelenggarakan pelatihan
tunas integritas yang berlangsung selama dua hari bertempat di Aula
Pemkot Tangsel.
Melalui kegiatan ini diharapkan peserta dapat menjadi agen
perubahan (agent of change) dalam kehidupan organisasi dan pencapaian
tujuan organisasi. Hadir dalam kegiatan tersebut tim tunas integritas dari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari Kementerian Pendidikan,
dan tim integritas dari Palembang.
Wakil Walikota Tangsel Benyamin Davnie mengungkapkan,
workshop ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi
dengan mendorong tumbuhnya program “Tunas Integritas” di Kota
Tangsel.3
4. Pengoptimalisasian Kinerja
Bagian auditor pemerintah kota Tangerang Selatan sedang
memperkuat APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah) dengan
memperbanyak anggota dan melatih anggota tersebut menjadi lebih
professional.
Sekaligus penerapan aplikasi sistem informasi perencanaan,
penganggaran dan laporan (AMRAL) alat bantu dalam APBD mulai dari
musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan dan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD).
3 Kota Tangerang Selatan, “Pemkot Tangsel Perkuat Pencegahan Korupsi” diakses
tanggal 26 Aprill 2018 pukul 16.30 WIB dari https://metaonline.id/pemkot-tangsel-perkuat-pencegahan-korupsi/
56
5. Sosialisasi Internal
Sosialisasi penegakan korupsi di lingkungan pemerintah kota
Tangerang Selatan yang digelar oleh Inspektorat kota Tangerang Selatan
pada hari selasa, 12 April 2017 di ruang akhlakul karimah. Yang
bertujuan menginformasikan tetang penegakan korupsi dan gratifikasi di
lingkungan Tangerang Selatan, serta meningkatkan kesadaran seluruh
anggota pemerintahan kota Tangerang Selatan.
6. Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi
Aksi terintegrasi Pemerintah Kota Tangerang Tahun 2016 dan
satuan tugas pelaksana rencana aksi, yang dituangkan dalam Keputusan
Wali Kota Nomor: 800/Kep.506-Inspektorat/2016. Melalui E-Planning,
E-Budgeting, Pelayanan Terpadu4.
a. E-Planning
Yaitu sebuah alat penyusunan RKPD, KUA PPAS,
KUA/PPAS Perubahan, RKPD Perubahan Kabupaten/Provinsi agar
dapat terselesaikan dengan mudah, cepat, tepat dan sesuai dengan
arahan yang terkandung dalam Permendagri No. 54 Tahun 2010.
Dengan adanya alat bantu e-planning, BAPPEDA dapat
memaksimalkan sistem dan sistem juga mampu menyajikan analisa
yang sangat informatif bagi para pemangku kepentingan.
b. E-budgeting
Merupakan sebuah sistem keuangan yang disimpan secara
online dengan tujuan transparansi bagi setiap pihak. Sistem ini
diterapkan sebagai dokumentasi penyusunan anggaran di sebuah
daerah. Setiap orang bisa mengakses data-data anggaran yang
disusun oleh sebuah pemerintah daerah sehingga diharapkan bisa
mencegah upaya penggelapan dana atau kecurangan dari birokrasi
setempat. Keunggulan Sistem E-Budgeting Sistem e-budgeting kini
4 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Upaya pencegahan KKN” diakses tanggal 5 Mei 20178 pukul.20.00 WIB http://tangerangkota.go.id/pemkot-tangerang-paparkan-rencana-aksi-pemberantasan-korupsi-terintegrasi.
57
pun mulai membuktikan sejumlah keunggulannya dibandingkan
dengan penerapan dokumentasi keuangan secara konvensional.
Beberapa keunggulannya seperti: Mencegah tindakan korupsi,
Prinsip Transparansi Publik, Efisiensi Pendataan Keuangan.
c. Pelayanan Terpadu
Pelayanan Terpadu Satu Pintu merupakan Pelayanan yang
dilakukan oleh Pemerintahan baik perizinan maupun non perizinan,
yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap Permohonan sampai
terbitnya sebuah dokumen dilakukan di dalam satu tempat. BPTSP
Bertugas melaksanakan Monitoring, Pembinaan, Evaluasi, dan
Pengendalian terhadap Penyelenggaraan PTSP yang dilakukan
Kantor PTSP, Satlak Kecamatan dan Satlak Kelurahan, Juga
melakukan pelayanan dan Penandatanganan Perizinaan dan Non
Perizinan. Lalu Kalau Kantor PTSP ini bertugas melakukan
pengendalian terhadap Satlak Kecamatan, serta melakukan
pelayanan dan Penandatanganan Perizinan maupun non perizinan,
juga Dokumen-dokumen yang menjadi kewenangannya. Tugas dari
Satlak Kecamatan adalah melakukan Pelayanan dan
Penandatanganan terhadap Perizinan dan Non Perizinan serta
dokumen sesuai kewenangannya. Lalu tugas dari Satlak Kelurahan
sama seperti Satlak Kecamatan, bedanya hanya bagian
kewenangannya saja.
7. Bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Banten
Pemerintah Provinsi Banten merumuskan enam aksi pencegahan
korupsi, yaitu diantaranya pengelolaan APBD, pengadaan barang dan
jasa, optimalisasi pendapatan, pelayanan perijinan, pengembangan SDM
dan pembinaan pengawasan.5 Hal ini diselenggarakan bekerjasama
dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Selain rencana aksi yang
5 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
58
dituangkan dalam keputusan gubernur, tim Koordinasi dan Supervisi
Pencegahan Korupsi (Korsupgah KPK) dan Pemprov Banten telah
merumuskan rencana aksi yang bersifat tematik. Diantaranya membahas
permasalahan ketahanan pangan melalui pengelolaan irigasi
terkoordinasi antar SKPD (Satuan Kerja Perangkat daerah) dan oleh
Kementrian Pekerjaan Umum, tematik Banten Cyber sebagai
infrastruktur pendukung dalam pelaksanaan E-government, pendidikan,
kesehatan, aset, infrastruktur dan tematik data bekerjasama dengan Bank
Indonesia dan Badan Pusat Statistik.
8. Bekerjasama dengan KPK (Komisi Pemberantasan korupsi)
Sejak Tahun 2015 pemerintah kota Tangerang Selatan telah
bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya
penanggulangan korupsi dan gratifikasi yang diimplementasikan melalui
sosialisasi kepada pegawai negeri di lingkungan Tangerang Selatan.6
Pemberian user ID e-resses dan passwordnya kepada anggota
DPRD Tangerang Selatan dari KPK. MoU dengan KPK itu menyangkut
penggunaan APBD, melalui sektor pengadaan barang dan jasa. Langkah
ini dinilai cukup efektif, guna mencegah terjadinya KKN di seluruh
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di daerah tersebut. Tim
KPK akan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada seluruh
pegawai dan pejabat yang terlibat langsung dalam penggunaan anggaran
daerah. Tak hanya itu, mereka juga akan mengawasi langsung jalannya
pembangunan dan pengalokasian uang rakyat tersebut. Sehingga,
penyelewengan serta permainan curang yang dilakukan para pengguna
dengan pihak swasta dapat terkontrol dan diminimalisir.
Peandatanganan pakta integritas bertujuan agar dalam
pelaksanaan seluruh tugas dan fungsi, tanggung jawab, wewenang dab
peran sesuai aturan yang ada. Ada dua nilai dalam 'integritas' ini.
6 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sulhan, Pejabat Inspektorat Pemerintah Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang hukum. Yang peneliti lakukan pada 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
59
Integritas Eksternal dan Integritas Internal. Intergritas Eksternal dibagi
dalam tiga bagian yaitu indeks korupsi, indeks trsparansi, dan indeks
akuntabilitas. Sedangkan Integritas Internal terbagi menjadi dua bagian
yaitu Integritas Budaya dan Integritas Kerja, yang merupakan bentuk
dasar pijakan dalam penilaian integritas. kegiatan ini bertujuan
memberikan pemahaman dan pendidikan kepada semua pihak agar tidak
terjebak pada pemahaman yang keliru tentang apa itu korupsi, dan dari
sudut Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK sendiri itu
merupakan langkah preventif dari pencegahan korupsi. 7. Pejabat kerap
mendapatkan hadiah dalam berbagai bentuk seperti uang maupun barang
dalam membantu proses perizinan. Kedepannya, Pemkot Tangsel pun
akan berkoordinasi dengan KPK dalam membentuk unit pengendalian
gratifikasi.
C. Analisis Kebijakan Hukum Pencegahan Tindak Pidana Gratifikasi di
Pemerintahan Kota Tangerang Selatan
1. Analisis Pembentukan Kebijakan Hukum Pencegahan Tindak
Pidana Gratifikasi di Pemerintahan Kota Tangerang Selatan
Kebijakan hukum atau yang berbentuk peraturan daerah
kabupaten/kota dibentuk oleh DPRD kabupaten/kota bersama
bupati/walikota, sesuai dengan mekanisme yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undanganuntuk dibahas bersama dan untuk
mendapat persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah
sebelum disahkan menjadi peraturan daerah. Peraturan Daerah adalah
semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah setempat untuk
melaksanakan peraturan peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya.
7 Penanggulangan KKN di Tangsel, “Kerjasama KPK dengan tangsel” diakses tanggal
10 April 2018 pukul.21.00 WIB dari https://kabartangsel.com/tag/kpk/
60
Oleh karena itu materi peraturan daerah secara umum memuat antara
lain:8
a. Hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga daerah dan hal-hal
yang berkaitan dengan organisasi pemerintah daerah.
b. Hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan pembantuan, dengan
demikian Perda merupakan produk hukum dari pemerintah daerah
dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, yaitu melaksanakan
hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangga sendiri sekaligus perda merupakan legalitas untuk
mendukung Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom.
Dalam rangka membuat peraturan perundang-undangan maupun
peraturan daerah terdapat tiga (3) dasar atau landasan sebagai berikut:9
1) Landasan Filosofis, perundang-undangan dihasilkan
mempunyailandasan filosofis (filisofische groundslag) apabila
rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran
(Rechtvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi undang-undang
tersebut mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila
dipikirkan secara mendalam.
2) Landasan Sosiologis, suatu perundang-undangan dikatakan
mempunyai landasan sosiologis (sociologische groundslog) apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyekinan atau kesadaran
hukum masyarakat.
3) Landasan Yuridis, landasan yuridis (Rechtground) atau disebut
juga dengan landasan hukum adalah dasar yang terdapat dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Landasan
yuridis dibedakan pula menjadi dua macam, yaitu :
8 Rosidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, Bandung, 1998), h.23. 9 Bagir Manan, Dasar-dasar perundang-undangan Indonesia, (Jakarta : Ind-Hill
Co,1992), h.54.
61
a) Segi formal adalah ketentuan hukum yang memberikan
wewenang kepada badan pembentukkannya
b) Segi material adalah ketentuan-ketentuan hukum tentang
masalah atau persoalan apa yang harus diatur.
Sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dimana materi muatan yang terkandung dalam
sebuah kebijakan hukum yaitu pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat salah satunya dalam menanggulangi tindak gratifikasi yang
masih kerap terjadi.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 56-62 yaitu,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD
Provinsi atau Gubernur. disertai dengan penjelasan atau keterangan
dan/atau Naskah Akademik. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan
Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa
materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan
materi muatan yang diatur. Kemudian dilakukan Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi.
Lain halnya dalam pembuatan Peraturan Walikota dan Keputusan
Walikota, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembentukan Peraturan
Walikota Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengendalian
62
Gratifikasi adalah sebuah pembaharuan dari Peraturan Walikota
sebelumnya Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pengendalian
Gratifikasi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat
dan menindaklanjuti dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Memang tidak ada aturan khusus tentang mekanisme
pembentukan Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota namun
dalam pembentukannya tidak boleh menyalahi aturan yang berada
diatasnya. Dan dalam pembentukan Keputusan Walikota dan Peraturan
Walikota yang dibentuk oleh pemerintah kota Tangerang Selatan
dengan sebelum kebijakan tersebut dibuat maka diajukan terlebih
dahulu rancangan kebijakannya oleh bagian hukum, Kemudian draft
Peraturan walikota dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan
OPD (Organisasi Perangkat Desa) atau inisiatif dari bagian hukum,
diajukan dari inspektorat dan kemudian dibentuk sebuah tim untuk
menyusun draft dan draftnya akan dibahas oleh bagian hukum dan juga
oleh pejabat pemerintah bersangkutan.
Keputusan walikotan dan Peraturan walikota mengenai gratifikasi
ini diajukan dari inspektorat kemudian membentuk tim dan menyusun
draft dan draft tersebut di bahas oleh bagian hukum dan juga oleh
pejabat pemerintah bersangkutan. Selain oleh bagian hukum, juga oleh
BPKP dan draft itu dimasukan oleh bagian hukum dan di proses sampai
kemudian disetujui dan ditandatangani oleh walikota dan resmi menjadi
Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota.
Kemudian setelah Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota
itu sah maka dilakukan tahap sosialisasi kepada seluruh perangkat
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, mulai dari pejabat, staff sampai ke
masyarakat.
63
Sosialisasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti upaya
memasyarkatkan sesuatu sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati
oleh masyarakat atau pemasyarakatan.10 Sosialisasi dapat diartikan
sebagai aktivitas yang ditujukan untuk memberitahukan membujuk atau
mempengaruhi masyarakat untuk tetap menggunakan produk dan jasa
yang dihasilkan itu. Kemudian, Dalam kaitannya dengan kegiatan
sosialisasi yang dimaksud adalah suatu proses memberitahukan dan
memperngaruhi masayarakat untuk selalu memanfaatkan jasa-jasa yang
ditawarkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa sosialisasi yang dilakukan pemerintah
kota Tangerang Selatan tidak secara langsung memberikan sebuah
penjelasan mengenai kebijakan yang dibuat kepada masyarakat, namun
segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota Tangerang Selatan
telah di unduh di website resmi pemerintah kota Tangerang Selatan
sehingga dirasa tidak dibutuhkannya sosialisasi secara langsung kepada
masyarakat.
Selain itu melainkan proses pemerintahan yang sudah
partisipatif dengan melalu Muslembang (Musyawarah, Pertimbangan
dan Pengembangan) yang dapat diakses secara online di wesite resmi
pemerintah kota Tangerang Selatan sehingga masyarakat dapat
memantau usulan-usulannya yang sudah dilaksanakan maupun tidak
dari Musrenbang tingkat RT dan RW kelurahan atau tingkat kecamatan,
sehingga akuntabilitasnya sudah melalui itu. Secara internal di UPG
(Unit Pengendalian Gratifikasi) sudah dilakukan sosialisasi dengan
peserta mulai dari kepada UPD (Unit Perangkat Desa) sampai staf-
stafnya. Namun, dari masyarakat secara langsung belum dilakukan,
seperti mengundang masyarakat dll.
10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.web.id/sosialisasi diakses pada 5 Mei 2018 pukul 20.00 wib.
64
Yang selanjutnya dilegitimasi oleh masyarakat. Legitimasi adalah
keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang
keterangan adalah betul-betul orang yang dimaksud atau pernyataan
yang sah (menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-
undang).11 Dapat disimpulkan legitimasi adalah pengakuan sebuah
aturan yang dibuat pemerintah oleh masyarakatnya.
Legitimasi kebijakan hukum pemerintah kota Tangerang Selatan
ditetapkan dan maka tahu tidak tahu dan mau tidak mau maka harus
dipatuhi. Namun secara kelembagaan kota Tangerang Selatan sudah
memiliki JDIH yang ada di website resmi pemerintah kota Tangerang
Selatan, jadi sudah diumumkan secara tidak langsung.
2. Analisis Implementasi Kebijakan Hukum Pencegahan Tindak
Pidana Gratifikasi di Pemerintahan Kota Tangerang Selatan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa implementasi dari kebijakan hukum
pemerintah kota Tangerang Selatan telah berjalan dengan baik,
walaupun terdapat beberapa hal yang masih perlu diperbaiki agar dapat
semakin maksimal dalam upaya pencegahan korupsi khususnya
gratifikasi.
Sejak tahun 2015 dimana mulai diberlakukannya Peraturan
Walikota (Perwal) dan Keputusan Walikota (Kepwal) di pemerintah
kota Tangerang Selatan sudah ada yang melaporkan gratifikasi yang
diterima oleh beberapa pegawai negeri maupun pejabat pemerintah kota
Tangerang Selatan, baik yang dilakukan oleh walikota atau wakilnya
juga ikut serta melaporkannya.
Sehingga implementasi dari Peraturan Walikota (Perwal) dan
Keputusan Walikota (Kepwal) di pemerintah kota Tangerang Selatan
sudah memiliki hasil walaupun tidak terlalu maksimal. Selain itu juga
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.web.id/legitimasi diakses pada 5 Mei 2018 pukul 20.00 wib.
65
Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) menyediakan kotak untuk
pelaporan tindak gratifikasi yang selalu di pantau, namun keberadaan
kotak tersebut kurang efektif karena belum banyak pegawai yang
melapor. Hal ini terjadi karena memang kultur atau kebiasaan
masyarakatnya yang masih terbiasa memberi dan menerima gratifikasi.
Sehingga gratifikasi masih dianggap sebuh hal yang biasa saja
dilakukan dan tidak perlu dilaporkan.
Menurut Soerjono Soekanto terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kesadaran hukum, maka peneliti juga menganalisa
menggunakan faktor tersebut. Beberapa faktor tersebut adalah sebagai
berikut12:
a) Pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hukum secara umum
peraturan-peraturan yang telah sah maka dengan sendirinya
peraturan-peraturan tadi akan tersebar luas dan diketahui umum,
tetapi sering kali terjadi suatu golongan tertentu di dalam
masyarakat yang tidak mengetahui atau kurang mengetahui tentang
ketentuan-ketentuan hukum yang khusus bagi mereka.
Pengetahuan masyarakat tentang adaya Peraturan Walikota
dan keputusan Walikota Tangerang Selatan terkait gratifikasi
dinilai pemerintah sudah tahu karena sudah dibuat dan dapat
diakses di wesite resmi Tangerang Selatan, namun peneliti melihat
banyak masyarakat yang belum mengetahui aturan tersebut,
khususnya masyakat yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan
jarang mengakses internet, sehingga seharusnya masyarakat
diberikan sosialisasi lebih mendalam terkait gratifikasi.
b) Pengakuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum Pengakuan
masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum, berarti
12 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat...
h.217.
66
masyarakat mengetahui isi dan kegunaan dari norma-norma hukum
tertentu.
Pengakuan masyarakat tentang adaya Peraturan Walikota dan
keputusan Walikota Tangerang Selatan terkait gratifikasi dinilai
pemerintah sudah diakui karena sudah dibuat dan dapat diakses di
wesite resmi Tangerang Selatan, namun peneliti melihat tidak
semua masyarakat mengakui peraturan tersebut, khususnya
masyakat yang tidak memiliki sifat apatis terhadap negaranya.
Sehingga harus dibenahi secara mendalam untuk dapat
menanggulangi hal ini dengan memaksimalkan sosialisasi dan
menyebar luaskan bahaya gratifikasi.
c) Penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum Penghargaan
atau sikap tehadap ketentuan-ketentuan hukum, yaitu sampai sejauh
manakah suatu tindakan atau perbuatan yang dilarang hukum
diterima oleh sebagian besar warga masyarakat.13
Penghargaan masyarakat tentang adanya Peraturan
Walikota dan keputusan Walikota Tangerang Selatan terkait
gratifikasi dinilai belum merata, karena ada masyarakat yang
cenderung peduli dan sadar hukum dan ada pula yang tidak.
Sehingga pembenahan harus dilakukan sedini mungkin.
d) Penaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum
Salah satu tugas hukum yang penting adalah mengatur
kepentingan-kepentingan para warga masyarakat.
Penghargaan masyarakat tentang adanya Peraturan Walikota
dan keputusan Walikota Tangerang Selatan terkait gratifikasi
dinilai memiliki peningkatan dengan adanya Muslembang
(Musyawarah, Perencanaan dan Pembangunan) yang dapat diakses
13 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat… h.218.
67
melalu online sehingga memudahkan masyarakat untuk mengkritisi
pemerintah. Namun hal ini juga masih terkendala karena masih
adanya masyarakat yang jarang mengakses internet dan apatis
terhadap perkembangan negaranya.
3. Analisis Efektivitas Kebijakan Hukum Pencegahan Gratifikasi di
Pemerintahan Kota Tangerang Selatan
Menurut Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul
“Law and Society”, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Mustafa, efektif
atau tidaknya suatu perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor maka peneliti menganalisa menggunakan tiga faktor tersebut,
yang dikenal sebagai efektivitas hukum, yaitu14:
a. Substansi Hukum Substansi hukum adalah inti dari peraturan
perundang-undang itu sendiri.
Hasil analisa dengan melihat dan kebijakan yang dibuat
berdasarkan substansi hukum yang dibentuk berupa Peraturan
Walikota Tangerang Selatan Nomor 17 Tahun 2017 Tentang
Pengendalian Gratifikasi dan Keputusan Walikota Tangerang
Selatan Nomor 700/kep.188-huk/2015 Tentang Pembentukan Unit
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintahan Tangerang
Selatan sudah sangat baik karena telah mengatur bagaimana
pengelolaan gratifikasi agar tindakan tersebut dapat dilaporkan
kepada UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) yang telah dibentuk
dan dapat dilaporkan kepada KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) agar dapat terverifikasi.
b. Struktur Hukum Struktur hukum adalah para penegak hukum.
Penegak hukum adalah kalangan penegak hukum yang langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum tersebut.
14 Abdullah Mustafa, Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982), h.13.
68
Hasil analisa dengan mewawancarai salah satu pejabat
inspektorat sekaligus anggota UPG (Unit Pengendalian
Gratifikasi), struktur hukum yang ada di Pemerintah Kota
Tangerang Selatan terdapat beberapa masalah, karena masih ada
beberapa tindak gratifikasi yang tidak dilaporkan dengan dalih
kesadaran individu yang berbeda-beda. Namun pemerintah Kota
Tangerang Selatan telah berupaya dengan menyebarkan edaran
pelarangan menerima gratifikasi dan menyebarkan brosur dan
memasang banyak standing banner tentang gratifikasi. Selain itu
juga para pegawai sampai pejabat telah diberikan sosialisasi terkait
hal tersebut. Dan kurangnya fasilitas yang harusnya disediakan
oleh penegak hukum dalam hal ini Pejabat Pemerintahan kota
Tangerang Selatan. Karena pengadaan kotak pelaporan dianggap
efektif karena banyak yang malu dan malas untuk melapor,
seharusnya sudah dibuat sistem pellaporan secara online yang dapat
memudahkan masyarakat.
c. Budaya Hukum Budaya hukum adalah bagaimana sikap
masyarakat hukum di tempat hukum itu dijalankan. Apabila
kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan yang telah
ditetapkan dapat diterapkan maka masyarakat akan menjadi faktor
pendukung. Namun, bila masyarakat tidak mau mematuhi
peraturan yang ada maka masyarakat akan menjadi faktor
penghambat utama dalam penegakan peraturan yang dimaksud.
Hasil analisa dengan melakukan wawancara dapat dianalisis
bahwa masyarakat terbiasa memberi gratifikasi, hal tersebut
menjadi kultur yang masih sering dilakukan. Selain karena tidak
adanya sosialisasi kepada masyarakat, juga karena kesadaran
pribadi seseorang tersebut yang masih belum menyadari bahwa
tindak gratifikasi merupakan sebuah cikal bakal dari perbuatan
korupsi. Sehingga dibutuhkannya sosialisasi dan pengenalan
69
gratifikasi secara meluas agar masyarakat memiliki wawasan
tentang gratifikasi dan dapat menyadarkan mereka agar tidak
melakukan hal tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa dengan adanya kebijakan hukum
berupa Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 17 Tahun 2017
Tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi dan Keputusan Walikota
Tangerang Selatan Nomor 700/Kep.188-Huk/2015 Tentang
Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi telah berjalan cukup efektif
selain menurunkan angka kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di
Pemerintahan Kota Tangerang Selatan, juga dapat membuat pejabat
Tangerang Selatan sadar hukum sehingga melaporkan gratifikasi yang
diterimanya. Karena sebelum adanya kebijakan hukum ini, maka belum
adanya aturan yang mengatur tentang gratifikasi sehingga belum adanya
laporan tindak gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat setempat. Hal ini
menjadi hal yang dinilai positif karena tercapainya salah satu tujuan
dibentuknya kebijakan hukum yaitu untuk rekayasa sosial, agar dapat
merubah masyarakat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan
melaksanakan kebijakan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dan masalah yang perlu diperbaiki adalah budaya hukum
masyarakat yang masih terbiasa memberi dan menerima gratifikasi.
Selain karena tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat, juga karena
kesadaran pribadi seseorang tersebut yang masih belum menyadari
bahwa tindak gratifikasi merupakan sebuah cikal bakal dari perbuatan
korupsi. Sehingga dibutuhkannya sosialisasi dan pengenalan gratifikasi
secara meluas agar masyarakat memiliki wawasan tentang gratifikasi
dan dapat menyadarkan mereka agar tidak melakukan hal tersebut.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan dan pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Efektivitas kebijakan hukum Pemerintah Kota Tangerang Selatan tentang
upaya pencegahan tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi telah
berjalan cukup efektif selain menurunkan angka kasus tindak pidana
korupsi yang terjadi di Pemerintahan Kota Tangerang Selatan, juga dapat
membuat pejabat Tangerang Selatan sadar hukum sehingga melaporkan
gratifikasi yang diterimanya. Karena sebelum adanya kebijakan hukum
ini, maka belum adanya aturan yang mengatur tentang gratifikasi
sehingga belum adanya laporan tindak gratifikasi yang dilakukan oleh
pejabat setempat. Hal ini menjadi hal yang dinilai positif karena
tercapainya salah satu tujuan dibentuknya kebijakan hukum yaitu untuk
rekayasa sosial, agar dapat merubah masyarakat yang tadinya tidak tahu
menjadi tahu dan melaksanakan kebijakan tersebut sesuai dengan aturan
yang berlaku. Namun, perlu diperbaiki adalah budaya hukum masyarakat
yang masih terbiasa memberi dan menerima gratifikasi.
2. Proses pembentukan kebijakan hukum berupa Keputusan Walikota dan
Peraturan Walikota yang dibentuk oleh pemerintah kota Tangerang
Selatan dengan sebelum kebijakan tersebut dibuat maka diajukan terlebih
dahulu rancangan kebijakannya oleh bagian hukum, Kemudian draft
Peraturan walikota dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan
OPD (Organisasi Perangkat Desa) atau inisiatif dari bagian hukum dan
oleh BPKP,setelah diajukan dari inspektorat dan kemudian dibentuk
sebuah tim untuk menyusun draft dan draftnya akan dibahas oleh bagian
hukum dan juga oleh pejabat pemerintah bersangkutan sampai akhirnya
disetujui dan disosialisasikan kepada seluruh perangkat Pemerintah Kota
Tangerang Selatan, mudai dari pejabat, staff sampai ke masyarakat
71
melalui JDIH di website resmi Tangerang Selatan. Dan kemudian
dianggap terlegitimasi.
3. Implementasi dari kebijakan hukum pemerintah kota Tangerang Selatan
telah berjalan dengan baik, walaupun masih perlu dimaksimalkan karena
dengan adanya Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota tersebut
membuat menurunnya angka tindak pidana korupsi dan pejabat
dilingkungan Tangerang Selatan sadar hukum sehingga melaporkan
gratifikasi yang diterimanya. Walaupun masih banyak yang belum
berinisiatif untuk melapor karena sarana yang kurang memadai, yang
seharusnya sudah memiliki pelaporan secara online. Belum adanya SOP
(Standar Operational Prosedur) di UPG juga menjadi masalah sehingga
perlu segera dibuat SOP. Dibutuhkan juga sosialisasi kepada masyarakat
secara langsung karena Kultur atau kebiasaan masyarakatnya yang masih
terbiasa memberi gratifikasi sehingga gratifikasi masih dianggap sebuah
hal yang biasa saja dilakukan dan tidak perlu dilaporkan merupakan
masalah yang perlu diperbaiki yaitu kesadaran hukum masyarakat.
B. Rekomendasi
Menurut peneliti, pemerintah kota Tangerang Selatan haruslah melihat
kondisi kota Tangsel yang prularisme dan berkembang sedemikian rupa
mengakibatkan tingginya angka pelanggaran atau kriminalitas, khususnya
korupsi dan gratifikasi. Upaya pencegahan yang dilakukan Pemerintah Kota
Tangerang Selatan sudah sangat baik namun perlu mempertimbangkan
beberapa usulan menurut penulis dalam upaya pencegahan tindak pidana
korupsi khususnya gratifikasi. Terdapat beberapa poin penting yang ingin
peneliti tambahkan dalam upaya tersebut untuk memaksimalkan pencegahan
dan merubah mental masyarakat untuk menjauhi tindak pidana korupsi dan
gratifikasi, diantaranya yaitu:
1. Mempertegas Sistem Hukum yang Berlaku
72
Dalam pelaksanaan sistem hukum seharusnya jangan ada
perbedaan dan tidak pandang bulu dalam bentuk apapun dan siapapun,
khususnya terhadap pelaku korupsi di negara itu sendiri. Sang pejabat
yang melakukan korupsi seharusnya langsung ditahan jika perlu,
perlakuan antara koruptor dengan perilaku kriminal lainnya harus sama,
atau bahkan lebih keras lagi karena korupsi adalah kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime) sehingga pelakunyapun harus dihukum setimpal
dan mendapat perlakuan yang setimpal.
2. Sosialisasi Kepada Masyarakat
Masyarakat perlu diberikan sosialisasi tentang gratifikasi dan
bagaimana upaya mencegahnya, karena akan percuma jika hanya
mengingatkan kepada penerima gratifikasi, jika masih banyak yang
memberi gratifikasi. Dan masih banyak yang belum mengetahui secara
mendalam bahwa gratifikasi dapat menjadi pidana karena cikal bakal dari
korupsi
3. Pembuatan SOP (Standar Operational System)
Belum adanya SOP yang jelas dalam kebijakan yang dibuat, karena
dalam Keputusan Walikota (Kepwal) dan Peraturan Walikota (Perwal)
belum terdapat SOP sehingga masih kaburnya tugas dan tanggung jawab
Unit Pengandalian Gratifikasi (UPG). Jika sudah dibuat SOP maka
kegiatan pencegahan gratifikasi akan lebih terarah dan jelas
perkembangannya.
4. Akses Bagi Masyarakat Untuk Dapat Melapor
Seringkali masyarakat mengetahui tentang adanya perbuatan
korupsi atau gratifikasi, tetapi tidak tahu harus melapor kepada siapa dan
bagaimana. Masyarakat merasa takut akan jadi saksi, maka dari itu perlu
dipikirkan lagi akses untuk melapor langsung kepada pemerintah.
Sehingga pemerintah dapat menajamin dan melindungi pelapor.
Pihak UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) harus memberikan
sarana dan informasi bagi masyarakat untuk melaporkan tindak pidana
korupsi khususnya gratifikasi. Karena menurut peneliti, masih banyak
73
masyarakat yang tidak tahu mengenai tindak gratifikasi yang dapat
merupakan salah satu cikal bakal korupsi atau banyak masyarakat bahkan
tidak berani untuk melaporkan tindakan yang diketahuinya.
Selain dari pada kotak yang dibuat oleh UPG (Unit Pengendalian
Gratifikasi) yang hasilnya tidak maksimal, maka perlu adanya sistem
pelaporan online dan pelapor anonym serta fokus pada substansi laporan
agar sang pelapor dapat pelapor terjamin keamanan dan kerahasiaannya.
Dan harus dipublikasikan laporan masyarakat yang masuk agar
transparan, sehingga masyarakat dapat melihat perkembangannya.
5. Publikasi Hasil Laporan
Dibutuhkannya publikasi dari hasil laporan yang telah dilaporkan
oleh masyarakat dan oleh pegawai pemerintah setempat agar trannsparan
dan masyarakat dapat melihat perkembangannya dan penindakannya.
6. Jaminan Bagi Pelapor
Tidak adanya jaminan untuk pihak pelapor merupakan salah satu
hal yang mendasari seseorang untuk melapor dikarenakan meresa takut
atau tidak percaya diri untuk melapor. Sehingga seharusnya pemerintah
menjamin kerahasiaan dan keamanan pelapor.
74
DAFTAR PUSTAKA
BAHAN BUKU
Mustafa, Abdullah dan Soekanto, Soerjono. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
Bambang, Sunggono. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
Hadayadiningrat, Soewarno. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Management. Jakarta: Yayasan Idayu, 1980.
Hafidz Arsyad, Jawade. Korupsi dalam Prespektif HAN (Hukum Administrasi Negara). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT Gramedia, 1984.
Hamzah, Jur. Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Kaligis, O.C. Dasar Hukum Mengadili Kebijakan Publik. Bandung: P.T. Alumni, 2012.
Kligaard, Robert, dkk. Menuntun Pemberantasan Korupsi (dalam pemerintah daerah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Komaruddin, Ensiklopedia Managemen, cet ke-1. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2014.
Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001.
Maheka, Arya. Mengenal dan Memberantas Korupsi. Jakarta: Veteran III,tt.
Manan, Bagir. Dasar-dasar perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind-Hill Co, 1992.
75
Martoyo, Managemen Sumber Daya Manusia, Edisi ke-5. Yogyakarta: BPFE, 2000.
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-I. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Nugroho, Riant. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
P. Robbins, Stephen, A. Judge Timothy. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), Buku 1, Penerjemah Diana Angelica, Ria Cahyani dkk, Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Sibuea, Hotma P. Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.
Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi (Edisi Ringkas) dengan judul asli Confloring Corruption: Element of Nation Integrity System, by Jeremy Pope. Diringkas oleh TJahjono EP. Jakarta: Transparancy International Indonesia
Prasetyo, Pius S. Korupsi dan Integritas Dalam ragam Perspektif. Jakarta: Pusat Studi Indonesia-Arab PSIA, 2013.
Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Ranggawidjaja, Rosidi. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1998.
HR, Ridwan . Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Ruslan, Dadan. Gratifikasi Dalam Tinjauan Hukum Islam. Skripsi S1 Universitas Islam Neger Syarf Hidayatullah Jakarta, 2014.
Saidi, Anas, dkk. Pemberantasan Korupsi Dan Pemerintahan Yang Bersih. Jakarta: LIPI Press.,2006.
Marbun, SF. Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press, 2011.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjaun singkat). Jakarta: Rajawali Press, 2011.
76
Soekanto, Soejono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Sunindhia, Y.W. Praktek Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
Surachmin, Suhandi Cahaya. Strategi & Teknik Korupsi mengetahui untuk mencegah. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Tim Redaksi Fokus Media. Himpunan Peraturan Peundang-Undangan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Fokus Media, 2008.
Wibawa, Samodra dkk. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992.
BAHAN PERUNDANG-UNDANGAN
Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor 700/Kep.188—Huk/2015, Tentang Pembentukan Unit Pengendali Gratifikasi Di Lingkungan Kota Tangerang Selatan
Peraturan Walikota Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
77
BAHAN ONLINE
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus versi online/Dalam jaringan, diakses dari https://kbbi.web.id/efektif// diakses pada 5 Januari 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/Dalam Jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.id/sosialisasi diakses pada 5 Mei 2018 pukul 20.00 wib.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/Dalam Jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.id/legitimasi diakses pada 5 Mei 2018 pukul 20.00 wib.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus versi online/Dalam jaringan, diakses dari https://kbbi.web.id/gratifikasi// diakses pada 30 April 2018 pukul 20.00.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2012 “Jalan Berliku Pemberantasan Korupsi”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2012). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2013 “Laporan tahunan 2013”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2013). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2014 “Menjaga Harapan Tetap Menyala”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2014). diakses tanggal 12 Juli 2018 pukul.18.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”, (Jakarta: Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK, 2015). diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2016 “Hingga Kebawah Permukaan”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2017 “Dari Indonesia untuk Indonesia”. diakses tanggal 23 April 2018 pukul.20.00 WIB dari https://www.kpk.go.id
78
Kota Tangerang Selatan, “Pemkot Tangsel Perkuat Pencegahan Korupsi” diakses tanggal 26 Aprill 2018 pukul 16.30 WIB dari https://metaonline.id/pemkot-tangsel-perkuat-pencegahan-korupsi/
Kota Tangerang Selatan, “Profil Kota Tangerang Selatan” diakses tanggal 9 Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://id.wikipedia.org/
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Faktor Meningkatnya Korupsi” diakses tanggal 5 Mei 2018 pukul.20.00 WIB https://www.tangerangselatankota.go.id/pemkot-tangerang-paparkan-rencana-aksi-pemberantasan-korupsi-terintegrasi.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Letak Tangerang Selatan” diakses tanggal 9 Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9 Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Sejarah Tangerang Selatan” diakses tanggal 9 Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Upaya pencegahan KKN” diakses tanggal 5 Mei 20178 pukul.20.00 WIB http://tangerangkota.go.id/pemkot-tangerang-paparkan-rencana-aksi-pemberantasan-korupsi-terintegrasi.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, “Visi dan Misi Tangerang Selatan” diakses tanggal 9 Maret 2018 pukul 16.30 WIB dari https://www.tangerangselatankota.go.id
Penanggulangan KKN di Tangsel, “Kerjasama KPK dengan tangsel” diakses tanggal 10 April 2018 pukul.21.00 WIB dari https://kabartangsel.com/tag/kpk/
Supriyadi Ahmad, “Dari Mahar Politik hingga Mental Politik Transaksional: Kajian Komparatif Tentang Korupsi Di Era Milenial Indonesia”, diakses dari http://www.jurnalfai-aikanogor.org (Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun UIKA Bogor Vol.5 No.1, 2017) diakses pada 12 Februari 2018 pukul 20.00 wib.
79
Taufiq Rinaldi, dkk. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi studi kasus penanganan korupsi Pemerintahan Daerah, 2007. Diakses dari http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_dprd.pdf diakses pada 17 Maret 2017.
1
HASIL WAWANCARA
Nama : Ahmad Sulhan, S,Ap. M,Si. C.FrA.
Pejabat Inspektorat Pemerintah Kota Tangerang Selatan bagian auditor bidang
hukum.
Tangerang Selatan, 4 Maret 2018 pukul 16.30-17.30 WIB.
1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang tindak pidana korupsi dan gratifikasi
yang terjadi di Tangerang Selatan?
Secara suprastruktur di kota Tangerang Selatan sudah dibuat aturan
mengenai hal tersebut melalui Keputusan Walikota dan Peraturan Walikota,
sebelumnya tahun 2015 dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi. Kemudian,
dari segi kotaknya sudah terbentuk. Terkait tindak pidana, dibagian kami juga
sudah ada SPIP (Sistem Pengendalian Internal Pemerintah) sesuai dengan PP.
tahun 1960 dimana UPG membangun SPIP agar segala kegiatan dapat
dikendalikan segala resiko-resikonya. Karna ini memang sebuah kewajiban
dari pemerintah untuk melaksanakan SPIP. Mengapa ini penting terkait
pencegahan korupsi karna memang terdapat lima unsur.
Pertama yaitu, lingkungan pengendalian adalah bagaimana pimpinan
menciptakan kondisi terkait integritas, kompetensi pembangunan dll. kedua,
managemen resiko, UPG sudah harus menilai resiko yang akan muncul di
setiap kegiatan termasuk pengadaan, jika terjadi penyimpangan, kemudian di
kendalikan di RPP. Ketiga yaitu, di aktifitas pengendaliannya bagaimana
pelaksanaan selama satu tahun berjalan. Keempat yaitu, di Monef apakah
dievaluasi. Kemudian kelima yaitu, komunikasi dari horizontal dari atas
kebawah.
Tahun 2018 ini kita mulai menggalakan kegiatan tersebut. Jadi UPG
sudah wajib membuat managemen dokumen resikonya dll yang merupakan
pengendalian intern di tangsel. Secara makronya yaitu instrumennya terkait
gratifikasi.
2
2. Apa hal yang mendasari korupsi dan gratifikasi masih kerap terjadi?
Secara teori hal yang mendasari orang yang berlaku curang itu ada tiga,
yaitu kesempatan, niat dan kekuasaan. Nah, disitulah godaan yang muncul
dari PNS. Terdapat faktor internal dan eksternalnya. Faktor internalnya bisa
dari perorangan yang memiliki ambisi yang tidak terkendali dan internal
kontrol yang lemah sehingga dapat mendasari tindakan tersebut.
3. Apa saja upaya yang dilakukan pemerintah kota Tangerang Selatan dalam
menanggulangi atau mencegah tindak pidana korupsi dan gratifikasi?
Jika di gratifikasi, kota Tangerang Selatan melalui Keputusan Walikota
dan Peraturan Walikota berupa pembentukan UPG dan pedoman
pengendalian gratifikasinya. Kalau dari tindak pidana korupsinya, dari tahun
2015 kami bekerjasama dengan KPK terkait sosialisasi mengenai gratifikasi
dan korupsi, kemudian ada tunas anti korupsi dll. Kalau dari segi inspektorat
sedang diperkuat APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah). Diperkuat
secara auditor dan keanggotaan yang diperbanyak.
4. Seberapa efektifkah keberadaan Kepwal No.700/Kep.188-huk/2015 dan
Perwal No.38 Tahun 2015?
Jika membicarakan tentang efektif atau tidak efektif harus ada yang
menguji. Tahun ini sedang dibuat survey indeks korupsi terkait efektifitas hal
tersebut. Karena jika dinilai dari perasaan tentu tidak bisa, karena harus ada
indikator efektifnya. Nanti kalau sudah selesai akan di umumkan hasil indeks
korupsi. Sehingga saya tidak bisa menjawab.
5. Bagaimana legitimasi dari kebijakan hukum tersebut di masyarakat?
Prinsip aturan itu ketika ditetapkan maka tahu tidak tahu harus dipatuhi.
Namun secara kelembagaan kota Tangerang Selatan sudah memiliki JDIH
yang ada di website kami, jadi sudah diumumkan secara tidak langsung.
Secara internal di UPG sudah dilakukan sosialisasi dengan peserta mulai dari
3
kepada UPD sampai staf-stafnya. Namun, dari masyarakat secara langsung
belum dilakukan, seperti mengundang masyarakat dll.
6. Bagaimana proses penyusunan dari kebijakan hukum tersebut?
Sebagaimana tata aturan penyusunan aturan, Perwal draftnya dari
SKPD dan OPD atau inisiatif dari bagian hukum, kalau Kepwal dan Perwal
mengenai gratifikasi ini diajukan dari inspektorat kemudian membentuk tim
dan menyusun draft dan draftnya di bahas oleh bagian hukum dan juga oleh
stakeholder. Selain oleh bagian hukum, juga oleh BPKP dan draft itu
dimasukan oleh bagian hukum dan di proses. Lain hal dengan perda.
7. Bagaimana implementasi dari kebijakan hukum tersebut?
Tahun 2017 sudah ada yang dilaporkan gratifikasinya, baik yang
dilakukan oleh walikota atau wakilnya yang melaporkan ke kami. Dan pernah
pak wakil walikota melaksanakan pernikahan dan melaporkan juga semua
gratifikasinya. Sehingga implementasinya sudah melaporkan secara inisiatif
perorangan. Tapi kita juga ada kotak UPG untuk pelaporannya yang selalu
kami pantau, namun keberadaan kotak tersebut kurang efektif karena sedikit
yang melapor. Karna memang kultur masyarakatnya masih terbiasa memberi
dan menerima gratifikasi. Sebenarnya ada yang lebih efektif seharusnya
dibuat di website sistem pelaporannya sehingga mudah dijangkau, namun itu
yang belum kita laksanakan. Instrumennya belum sampai kesana.
8. Apakah pemerintah telah mengikut sertakan masyarakat dalam upaya
pencegahan tindak pidana korupsi dan gratifikasi di Tangerang Selatan?
Kalau proses pemerintahan sekarang sudah parsipatif cara untuk
menanggulanginya melalui Muslembang jadi dikawal sudah melalui itu. Jadi
sekarang Muslembang sudah online sehingga sudah terregister di Simralnya
sehingga masyarakat dapat memantau usulan-usulannya yang sudah
dilaksanakan maupun tidak dari Musrenbang tingkat RT dan RW kelurahan
atau tingkat kecamatan, sehingga akuntabilitasnya sudah melalui itu.
4
9. Apa tugas dan wewenang dari Unit Pengendalian Gratifikasi di Tangerang
Selatan?
Tercantum di Kepwal dan Perwal tidak jauh berbeda dari situ. Intinya
menyusun rencananya, menerima dan memberi laporan dan kordinasi ke KPK
dan sosialisasi terkait sosialisasi bekerjasama dengan DKD di bidang
Diklatnya, karena mereka yang berwenang di Diklat kepegawaiannya.
10. Bagaimana prosedur/mekanisme kerja Unit Pengendalian Gratifikasi dalam
upaya mencegahan gratifikasi?
Prosedur bisa dibaca di Perwal tahun 2017 disini diatur tentang tata cara
pelaporannya pada pasal 18 cara melapornya seperti apa, kemana dan melalui
apa. Tapi memang seharusnya dituangkan secara terpisah dari segi ini yang
belum ada. Seharusnya ada SOP yang khusus untuk itu. Selai melalui laporan
di kotak dapat juga melapor secara langsung. Jika sudah akan dilaporkan
secara email ke pihak KPK kemudian nanti KPK membalas. Tapi untuk itu
memang belum ada, seharusnya memang ada.
11. Siapa saja anggota Unit Pengendalian Gratifikasi dan bagaimana proses
pemilihannya?
Kalau anggotanya sesuai susunan yang ada di Kepwal dan Perwal. Dari
walikota sebagai pengawas hingga ke bagian bawahnya sampai ke kami
sebagai auditornya.
12. Kapan dan dimana Unit Pengendalian Gratifikasi diresmikan?
Kalau peresmian secara simbolis tidak ada, kalau kapanya ya sesuai
undang-undang dibuat. Kepwal diresmikan pada 2015.
13. Seberapa efektifkah Unit Pengendalian Gratifikasi di Tangerang Selatan
dalam mencegah atau menanggulangi tindak pidana gratifikasi?
5
Jika membicarakan tentang efektif atau tidak efektif harus ada yang
menguji. Tahun ini sedang dibuat survey indeks korupsi terkait efektifitas hal
tersebut. Karena jika dinilai dari perasaan tentu tidak bisa, karena harus ada
indikator efektifnya. Nanti kalua sudah selesai akan di umumkan hasil indeks
korupsi. Sehingga saya tidak bisa menjawab. Namun secara upaya kan sudah
walaupun secara abstrak.
14. Jika memang kurang efektif apa alasan yang mendasarinya? Serta evaluasi
untuk Unit Pengendalian Gratifikasi kedepannya?
Evaluasinya perlu adanya diperjelas lagi tugas dan wewenangnya
seperti dibuat SOP dan pelaporan secara online di website Tangerang Selatan.
15. Kritik dan saran untuk pemerintah kota Tangerang Selatan untuk kedepannya
dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan gratifikasi?
Perlu dibuat SOP dan sosialisasi harus dilakukan kepada masyarakat,
jangan hanya ke anggota namun juga kepada penyedia yang ikut PPJ, karena
ada yang memberi dan menerima karena jika hanya menerima saja yang
dicegah namun pemberinya tidak maka akan jebol juga. Maka yang utamanya
hal tersebut. Khusus kami bagian inspektorat ada surat pemberitahuan
untuktidak memberikan apapun kepada kami. Tapi diluar dari pada itu urusan
pribadi masing-masing.
KEPUTUSAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN
NOMOR : Tahun 2015
TENTANG
PEMBENTUKAN UNIT PENGENDALIAN GRATIFIKASI
DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
WALIKOTA TANGERANG SELATAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), perlu dibentuk Unit
Pengendalian Gratifikasi dilingkungan Pemerintah
Kota Tangerang Selatan
b. bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (5) Peraturan
Walikota Nomor …… Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pengendalian Gratifikasi dilingkungan Pemerintah
Kota Tangerang Selatan, susunan keanggotaan UPG
ditetapkan dengan Keputusan Walikota;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Walikota tentang
Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi di
Lingkungan Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3851);
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150);
3. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Kota Tangerang Selatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 188,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4935);
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4250);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004
tentang Pembinaan Jiwa Korps dan kode Etik
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 142);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5135);
9. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun
2014;
10. Peraturan Walikota Kota Tangerang Selatan Nomor
69 Tahun 2011 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Kota
Tangerang Selatan (Berita Daerah Kota Tangerang
Selatan Tahun 2011 Nomor 69);
11. Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor…..
Tahun 2015 tentang Pedoman Pengendalian
Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Kota
Tangerang Selatan (Berita Daerah Kota Tangerang
Selatan Tahun 2015 Nomor …….)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Kesatu : Membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, dengan susunan
keanggotaan sebagaimana tercantum dalam lampiran
keputusan ini.
Kedua : Unit Pengendalian Gratifikasi sebagaimana dimaksud
pada Diktum KESATU mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Menerima laporan gratifikaasi dari Insan Pemerintah
dan meminta pemenuhan kelengkapan dokumen yang
diperlukan dalam kegiatan pemilahan kategori
gratifikasi;
b. Melakukan koordinasi, konsultasi dan surat menyurat
kepada KPK;
c. Memantau tindak lanjut atas pemanfaatan penerimaan
gratifikasi yang tidak dianggap suap terkait kedinasan
oleh pemerintah Daerah;
d. Memberikan rekomendasi tindak lanjut kepada
pengawas Internal jika terjadi pelanggaran terhadap
peraturan Walikota oleh Insan Pemerintah;
e. Melakukan pengkajian jika titik rawan potensi
terjadinya Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Kota
Tangerang Selatan; dan
f. Melakukan sosialisasi pengendalian gratifikasi.
KETIGA : Biaya yang timbul akibat ditetapkannya keputusan ini
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
daerah kota Tangerang Selatan.
KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Tangerang Selatan
pada tanggal :
WALIKOTA TANGERANG SELATAN,
ttd
AIRIN RACHMI DIANY
Tembusan disampaikan kepada :
1. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan;
2. Kepala Dinas Pendapatan , Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota
Tangerang Selatan.
Lampiran Keputusan Walikota Tangerang Selatan
Nomor : / - /2015
Tanggal :
SUSUNAN KEANGGOTAAN
UNIT PENGENDALIAN GRATIFIKASI
DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
Pembina : 1.
2.
Walikota Tangerang Selatan;
Wakil Walikota Tangerang Selatan
Penanggung Jawab : Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan
Ketua meranggkap Anggota : Inspektur Kota Tangerang Selatan
Sekretaris merangkap Anggota : Sekretaris Inspektorat Kota Tangerang
Selatan
Anggota : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sekretaris BPKP Kota Tangerang
Selatan;
Kepala Bagian Hukum Sekretariat
Daerah Kota Tangerang Selatan;
Inspektur Pembantu Wilayah I pada
Inspektorat Kota Tangerang Selatan;
Inspektur Pembantu Wilayah II pada
Inspektorat Kota Tangerang Selatan;
Inspektur Pembantu Wilayah III pada
Inspektorat Kota Tangerang Selatan;
Inspektur Pembantu Wilayah IV Pada
Inspektorat Kota Tangerang Selatan;
Kasubag Perencanaan pada
Inspektorat Kota Tangerang Selatan;
Kasubag Evaluasi dan Pelaporan
pada Inspektorat Kota Tangerang
Selatan;
9.
10.
Kasubag Umum, Kepegawaian dan
Keuangan Inspektorat Kota
Tangerang Selatan;
Dua Orang Pelaksana pada
Inspektrorat Kota Tangerang Selatan.
WALIKOTA TANGERANG SELATAN
AIRIN RACHMI DIANY