efek steroid pada mata

34
1 BAB 1. PENDAHULUAN Penggunaan steroid topikal dan sistemik telah terbukti menjadi hal yang sangat berguna dalam pengobatan berbagai penyakit, namun penggunaannya bukan tanpa komplikasi. Sebelum memulai terapi dengan steroid sistemik, riwayat penyakit katarak, glaukoma, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, batu ginjal, tukak lambung, dan infeksi saat ini atau kehamilan harus dipastikan, karena keadaan tersebut memiliki peningkatan risiko komplikasi. Sebelum terapi jangka panjang dengan steroid sistemik, pengukuran tekanan darah dan tes tuberkulin kulit dianjurkan untuk dilakukan. Untuk mencegah komplikasi okular akibat penggunaan terapi steroid, pemeriksaan mata rutin harus dilakukan. Pemeriksaan untuk katarak, yang paling sering terjadi sebagai komplikasi penggunaan steroid sistemik terus menerus, dapat dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp yang dilakukan tiga atau empat kali setahun untuk pasien pada terapi jangka panjang dan dua kali setahun untuk pasien yang memakai steroid topikal mata intermiten atau steroid sistemik. Glaukoma lebih sering dikaitkan dengan penggunan steroid topikal mata atau steroid periokular dibandingkan dengan steroid sistemik, skrining

description

efek steroid pada mata dampak efek samping pengobatan kortikosteroid pada amata

Transcript of efek steroid pada mata

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Penggunaan steroid topikal dan sistemik telah terbukti menjadi hal yang

sangat berguna dalam pengobatan berbagai penyakit, namun penggunaannya

bukan tanpa komplikasi. Sebelum memulai terapi dengan steroid sistemik, riwayat

penyakit katarak, glaukoma, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, batu ginjal,

tukak lambung, dan infeksi saat ini atau kehamilan harus dipastikan, karena

keadaan tersebut memiliki peningkatan risiko komplikasi. Sebelum terapi jangka

panjang dengan steroid sistemik, pengukuran tekanan darah dan tes tuberkulin

kulit dianjurkan untuk dilakukan.

Untuk mencegah komplikasi okular akibat penggunaan terapi steroid,

pemeriksaan mata rutin harus dilakukan. Pemeriksaan untuk katarak, yang paling

sering terjadi sebagai komplikasi penggunaan steroid sistemik terus menerus,

dapat dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp yang dilakukan tiga atau empat kali

setahun untuk pasien pada terapi jangka panjang dan dua kali setahun untuk

pasien yang memakai steroid topikal mata intermiten atau steroid sistemik.

Glaukoma lebih sering dikaitkan dengan penggunan steroid topikal mata

atau steroid periokular dibandingkan dengan steroid sistemik, skrining dianjurkan

termasuk dasar pengukuran tekanan intraokular, pengukuran tekanan kemudian

rutin diambil setiap beberapa minggu, kemudian setiap beberapa bulan.

Infeksi oportunistik mata termasuk bakteri, virus, dan jamur infeksi dan

yang paling sering dikaitkan dengan penggunaan steroid topikal mata. Evaluasi

ophthalmologic diindikasikan segera jika pasien yang diobati dengan steroid

topikal mata mengindikasikan adanya okular discharge, nyeri, fotofobia, atau

kemerahan pada mata.7,16

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2

2.1 Steroid

2.1.1 Definisi dan Sifat

Steroid adalah suatu hormon yang disintesa dari kolesterol di

dalam gonad dan kelenjar adrenal. Bentuk dari hormon ini, biasanya adalah lipid,

bukan peptida, dan mempunyai carrier khusus berbentuk globulin. Hormon

steroid biasanya bersifat katabolisme. Kortikosteroid adalah suatu kelompok

hormon steroid yang dihasilkan dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai

tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh

kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak

sistem fisiologis tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,

pemecahan protein dan kadar elektrolit darah. Kortikosteroid dibagi menjadi 2

kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni

glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara

menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.

Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya

aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara

penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis

aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu

jenis efek. 4,19

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar

adrenal yang terletak diatas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim

golongan sitokrom P450.Dalam bidang farmasi, obat-obatan disintesis sehingga

memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup

penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan

prednisone dan turunannya memiliki kerja mineralokotikoid. Obat-obat golongan

kortikosteroid seperti prednisone, dexamethason dan hidrokortison memiliki

potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit

seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya.

3

Tapi kortikosteroid juga memiliki berbagai efek samping yang tidak

menguntungkan.4,19

2.1.2 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.

Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.

Hanya jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik

dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini

mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan

dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein

spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik

steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang

transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid

dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya

menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek

katabolik.4,19

2.1.3 Efek Kerja

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya

gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini

umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat

radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu

edema, deposit fibrin, dilatasi perifer, migrasi leukosit ke tempat radang dan

aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang

telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan

pembentukan sikatriks.

Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi

paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap

ada. Sebebarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk

berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang

menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering

4

digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan

glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit

nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar.

Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan

antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid

sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif. Banyak

mediator reaksi imun yang terkait dengan reaksi inflamasi sesungguhnya akan

menyebabkan kolapsnya sistem kardiovaskuler bila tidak ada kortikosteroid yang

melawannya. Hipotesis ini ditunjang oleh tingginya produksi kortikosteroid dalam

keadaan stress yaitu bisa sampai 10 kali lipat. Juga ternyata semua efek

farmakologi didapat melalui mekanisme kerja di reseptor yang sama dengan yang

terjadi secara fisiologis.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-respetor

glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut : kortikosteroid

berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan

reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk

aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA

(mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru.

Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan

uptake glukosa.

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah

penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu

kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag, baik yang

beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel

Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor

limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag. Penghambatan

akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi

daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat

penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada

kadar suprafarmakologik.4,19

2.1.4 Indikasi

5

Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu

diperhatikan sebelum obat ini digunakan :

1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan

trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan

perubahan penyakit.

2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.

3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya

kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat

besar.

4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis

melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial

akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari 2

minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic chusing syndrome. Bila

terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium.

5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan

merupakan terapi kasual ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif

karena efek anti-inflamasinya.

6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis

yang besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat

mengancam jiwa pasien.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan

untuk jangaka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.

Dosis ini ditentukan secara trial and error.

Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis

besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat selama tidak ada kontraindikasi

spesifik.4,19

2.1.5 Penggunaan Klinis

6

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai

dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid

sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis,

reaksi alergi, asma, hepatitis, SLE, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis.

Selain sediaan oral. Terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk

pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga

digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan

dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansentron).

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan

pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam

dosis yang lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan

imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal

biasanya dberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal.

Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit

Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan

menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula

darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi

pada hiperplasia adrenal kongenital, chusing sindrome atau aldosteronisme.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai

kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal.

Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk

menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons

peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi,

terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk

mencegah timbulnya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akibat respon

peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses

penyakitnya.4,19

2.1.6 Kontraindikasi

7

Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut

kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat

dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat

dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan

diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu

diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan

sistem kardiovaskuler lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini

dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat

diberikan.4,19

2.1.7 Efek Samping

Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan

kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara

tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.

Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat

menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia,

dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang

telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya

mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen.

Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan

dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama

tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami perdarahan atau

perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien

Chusing (antara lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular,

obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne, dan hirsutisme).

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus

peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain,

terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan

penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila

digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya

belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang

diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon

8

berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada

beberapa penderita.

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis

besar kortikosteroid. Tetapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan

katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp

periodik pada penderita. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan

mungkin saja bisa menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial

jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan

pada anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid

seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain

efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta

hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskuler dan ginjal normal,

hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya

peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau

penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi

natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.4,19

2.1.8 Penanganan Efek Samping

Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang

mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan

konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan – lahan (tapering off). Jika timbul

diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering pendertita yang resisten dengan

insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya

penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi,

dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan

apabila diperlukan.

Telah ditemukan beberapa zat yang dapat menghambat sekresi

kortikosteroid, antara lain metirapon dan aminoglutetimid. Ketokonazol, suatu

antifungal, menghambat steroidogenesis karena menghambat enzim CYP17 (17

alfa hidroksilase), hal ini dapat berdampak interaksi obat. Ketokonazol belum

diketahui manfaat kliniknya untuk menghambat produksi steroid. Mifepriston

9

menghambat mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan ACTH dan

kortisol. Karena kemampuannya menghambat kerja kortikosteroid obat ini sedang

diteliti kemungkinan kegunaannya untuk kasus hiperkortisisme. Saat ini

digunakan hanya bila obat lain tidak berhasil.4,19

2.2 Penggunaan Steroid pada Mata

Kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal

pada mata yang disebabkan karna alergi, trauma, atau infeksi. Inflamasi yang

terjadi pada mata dapat diterapi dengan pengobatan topikal dengan injeksi lokal

atau sistemik.

2.2.1 Glukokortikoid

Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses

inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada injeksi

subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk terapi kasus

seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi pada mata. Terapi sistemik

steroid digunakan untuk terapi penyakit sistem imun seperti inflamasi pada mata

yang berat yang sudah resisten dengan terapi topikal. Metilprednisolon intravena

menjadi pilihan pada terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma

pada saraf optik.

Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit, makrofag,

polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel lainnya.1,3,9

2.2.2 Farmakologi Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal digunakan pada aksi anti inflamasi. Aspek dari

proses inflamasi seperti hiperemia, infiltrasi seluler, vaskularisasi dan proliferasi

fibroblastik ditekan. Steroid menghambat respons inflamasi untuk merangsang

agen-agen mekanis, kimia atau imunologi alami. Kortikosteroid topikal efektif

digunakan pada kondisi inflamasi akut pada konjungtiva, sklera, kornea, kelopak

mata, iris, badan siliar, dan segmen anterior dari bola mata, dan dalam kondisi

alergi bola mata.

10

Mekanisme dari aksi anti inflamasi dipirkan untuk menjadi potensi dari

vasokonstriksi epinefrin, stabilisasi dari membran lisosom, retardasi pergerakan

makrofag, pencegahan dari pelepasan kinin, inhibisi dari limfosit dan fungsi

neutrofil, inhibisi dari sintesis prostaglandin dan pada penggunaan jangka panjang

menurunkan produksi antibodi.

Hambatan proliferasi fibroblast dapat mencegah terjadinya formasi

simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas. Pengurangan scar (bekas luka

dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang lebih jernih setelah pemberian

kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi proliferasi fibroblast dan

vaskularisasi.1,3,9

2.2.3 Indikasi

Pada keadaan inflamasi : kondisi pengobatan dengan menggunakan

steroid – responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar, kelopak mata,

kornea, dan segmen anterior bolamata seperti : konjungtivitis alergi, keratitis

superficial nonspesifik, keratitis superficial punctata, keratitis herpes zoster, iritis,

siklitis, konjungtivitis akibat infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan

resiko yang tidak bisa dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema

dan inflamasi. Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi

yang mengikuti pada operasi bola mata.

Cedera kornea : juga digunakan pada cedera kornea akibat bahan kimia,

radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing.

Reaksi penolakan transplantasi : dapat digunakan untuk menekan reaksi

penolakan transplantasi setelah keratopati.1,3,9

2.2.4 Kontraindikasi

Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan oleh

jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang

disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada

mata (contoh tuberculosis mata), penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme,

hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial

11

kornea. Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji

coba.1,3,9

2.2.5 Peringatan

Jika seseorang dengan glaukoma, operasi katarak, infeksi mata, dan alergi

pada mata perlu diperhatikan lebih teliti lagi. Pengobatan dengan kortikosteroid

tidak direkomendasikan untuk digunakan jika pada pasien terdapat infeksi pada

mata yang disebabkan oleh virus (misalnya herpes simpleks), infeksi mata yang

disebabkan oleh jamur, pengeluaran benda asing yang belum terlalu lama

dilakukan. Obat ini dapat menyebabkan penglihatan kabur setelah terapi.

Inflamasi yang sedang sampai berat : menggunakan dosis tinggi untuk

inflamasi yang sedang sampai berat. Pada kasus-kasus yang sulit dari penyakit

segmen anterior pada mata, terapi sistemik dapat diperlukan. Ketika struktur bola

mata yang lebih dalam lagi dilibatkan, menggunakan terapi sistemik.

Kerusakan bola mata : penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat

menyebabkan terjadinya glaukoma, peningkatan tekanan intra okular, kerusakan

saraf optik, defek pada ketajaman penglihatan dan lapangan pandang, katarak

subkapsular posterior, atau infeksi mata sekunder dari pelepasan benda-benda

patogen dari jaringan ikat pada mata. Periksa tekanan bola mata dan lensa terus-

menerus. Pada penyakit yang menyebabkan pengenceran dari sklera atau kornea,

dapat terjadi perforasi dengan pengobatan steroid topikal.

Infeksi : akut, purulen, infeksi mata yang tidak diobati dapat

disembunyikan atau aktivitasnya ditingkatkan oleh steroid. Infeksi jamur pada

kornea dapat disembuhkan dengan aplikasi pengobatan steroid jangka panjang.1,3,9

2.3 Efek Penggunaan Steroid pada Mata

Ada banyak kondisi penyakit mata dimana membutuhkan terapi steroid

secara sistemik. Umunya dosis yang digunakan adalah sekitar 20 mg atau lebih

pada penggunaan prednisolon. Efek samping sistemik mungkin dapat dijumpai

12

pada penggunaan steroid sistemik yang diindikasikan pada suatu penyakit mata.

Idealnya terapi steroid sistemik digunakan secara singkat dan tidak terus menerus

disertai syarat apabila terapi steroid topikal atau lokal tidak memberikan hasil

yang memuaskan.

Penggunaan terapi steroid juga baik itu diindikasikan oleh adanya penyakit

mata atau penyakit diluar mata memiliki beberapa efek yang buruk pada mata.

Adapun efek penggunaan terapi steroid pada mata antara lain galukoma, katarak

dan peningkatan resiko penyakit infeksi.7.16

2.3.1 Glaukoma

Steroid adalah kelompok obat yang dapat menghasilkan peningkatan TIO

melalui mekanisme open angle. Tidak semua pasien yang menggunakan steroid

akan mengakbatkan glaukoma. Faktor risiko yang mungkin mendukung adalah

adanya glakukoma primer sudut terbuka sebelumnya, riwayat keluarga glaukoma,

miopia tinggi dan diabetes mellitus. Telah menunjukkan bahwa 18-36% dari

populasi umum dan 46-92% pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka,

pemeberian kortikosteroid topikal mengakibatkan peningkatan tekanan intra

okular. Hal tersebut terjadi biasanya dalam waktu 2-4 minggu setelah terapi

steroid diberikan.7

Tabel 1. Cara pemberian steroid yang akan menginduksi glaukoma6

13

Tabel 2. Tabel potensi jenis steroid penyebab glaukoma5

1. Definisi

Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai

dengan pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang, biasanya

disertai oleh peningkatan tekanan intra okular.11

2. Patofisiologi

Glaukoma yang diinduksi oleh penggunaan terapi steroid disebabkan oleh

adanya reseptor spesifik di trabekular meshwork mata. Suatu enzim yaitu

hyaluronidase yang sensitive dengan glycosaminoglycans secara normal berada di

sistem pengaliran aquos humor. Glycosaminoglycans dalam bentuk polimer

menyebabkan suatu edema oleh karena adanya hydrasi. Steroid menyetabilkan

membran lisosom dari goniosit yang berperan dalam pembentukan edema tersebut

sehingga mengakibatkan peningkatan bentuk polimer dari glycosamoglycans yang

mana akan menyebabkan peningkatan resistensi aliran aquos humor. Hal tersebut

akan meningkatkan tekanan intra okular. Penggunaan steroid (glukortikoid)

meningkatkan ekspresi dari kolagen, elastin dan fibronectin dalam trabekular

meshwork sehingga akan memperparah keadaan edema.5,6,12,13

3. Gejala klinis

Gejala klinis yang dapat ditemukan pada glaukoma yang disebabkan oleh

pemakaian steroid biasanya disertai dengan peningkatan tekanan intra okular yang

terjadi secara perlahan. Umur pasien biasanya dapat menetukan gejala yang

14

muncul. Biasanya pada bayi, gejala yang mucul mirip dengan gejala dari

glaukoma kongenital, antara lain epifora, fotofobia, blefarospasme, kornea yang

keruh, peningkatan tekanan intra okular dan optic disk cupping. Namun yang

membedakan antara glaukoma kongenital dengan glaukoma oleh karena terapi

steroid adalah sudut bilik mata depan yang normal pada glaukoma karena terapi

steroid.

Pada remaja dan dewasa gejala glaukoma karena steroid mirip dengan

glaukoma sudut terbuka yang disertai dengan adanya penurunan aliran aquos

humor. Gejala yang muncul antara lain peningkatan tekanan intra okular, nyeri

yang tidak terlalu, optic disk cupping dan penurunan penglihatan lapang pandang

mata.

Glaukoma sudut terbuka merupakan kelainan denga neuropati optik kronik

yang progresif secara perlahan yang ditandai dengan atrofi dan gaung papil saraf

optik yang khas disertai gambaran hilangnya lapang pandangan yang khas pula

dimana TIO tinggi merupakan faktor resiko utamanya. 5,6,12,13

Gambar 1. Gambaran optic disk pada pasien glaukoma13

4. Diagnosis banding

15

Diagnosis banding dari glaukoma dari karena steroid antara lain glaukoma

uveitis, krisis glaukoma, glaukoma dengan tekanan intra okular yang normal dan

glaukoma juvenil.

5. Terapi

Tekanan intra okular yang meningkat oleh karena penggunaan terapi

steroid biasanya akan muncul beberapa minggu setelah penggunaan steroid.

Dalam beberapa kasus, tekanan intra okular akan turun dengan sendirinya sejalan

dengan penghentian penggunaan steroid.

Terapi paling efektif untuk mengatasai glaukoma karena penggunaan

steroid adalah dengan menghentikan pemakaian steroid dan memberikan obat anti

glaukoma sampai tekanan intra okular menjadi normal kembali. Jika pasien tidak

dapat menghentikan pemakaian steroid oleh karena penyakit yang mendasarinya,

pemakaian steroid potensi rendah mungkin dapat dilakukan. Potensi steroid yang

rendah memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk meningkatkan tekanan

intra okular, namun kemampuan anti inflamasinya tidak sebaik steroid potensi

tinggi. Penggunaan non-steroid untuk anti inflamasi bisa menjadi solusi alternatif,

karena tidak memiliki potensi untuk meningkatkan tekanan intra okular dalam

pemakaiannya.

Apabila terapi medikamentosa tidak efektif dalam mengatasi peningkatan

tekanan intra okular, terapi pembedahan dan laser dapat dilakukan. Terapi tersebut

antara lain laser trabekuloplasti dan trabekulotomi. 5,6,12,13

2.3.2 Katarak

1. Definisi

Katarak adalah setiap kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dengan

karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang akan mengahamburkan berkas

cahaya dan mengurangi transaparasinya.14

2. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya katarak akibat penggunaan steroid masih belum

pasti dan banyak pendapat untuk menjelaskannya. Menurut Cotlier, terbentuknya

katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena reaksi spesifik dengan asam amino

dari lensa sehingga menyebabkan agregasi protein dan kekeruhan lensa. Katarak

16

subkapsular posterior khas terbentuk pada katarak akibat kortikosteroid, hal ini

disebabkan oleh migrasi abnormal dari sel epitel lensa. Aktivasi reseptor

glukokortikoid pada sel epitel lensa yang berakibat proliferasi sel, penurunan

apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel.

a. Gangguan metabolik

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme selular dengan mengubah

aktivitas enzim–enzim. Penelitian menunjukkan Adenosin Triphospate

(ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan

deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan

energi seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan

oleh antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa

meningkat.

Kortikosteroid yang mempengaruhi sel normal sangat kompleks,

kortikosteroid yang larut lemak menyebar secara pasif melalui membran

sel ke target sel. Di dalam sel akan terikat oleh reseptor yang terdiri atas

satu atau dua molekul protein spesifik dan protein lain yang penting agar

kortikosteroid dapat terikat dengan reseptor dan Deoxiribonuclei Acid

(DNA). Kortikosteroid juga memiliki pengaruh pada pertumbuhan sel dan

sintesis Deoxiribonuclei Acid (DNA) dan Ribonuclei Acid (RNA).

Pengaruh tersebut diamati pada mata misalnya seperti pada pertumbuhan

sel endotel retina mengalami hambatan, sedangkan sel lain mengalami

rangsangan. Pengaruh kortikosteroid terhadap sel epitel lensa tidak begitu

jelas karena banyaknya variasi penelitian observasi.

b. Kegagalan osmotik

Kegagalan osmotik karena adanya celah vakuol dan pembengkakan sel

diperkirakan menjadi penyebab adanya hidrasi lensa akibat kortikosteroid.

Pada umumnya lensa mempertahankan keseimbangan ion yang berada di

intrasel dan ekstrasel. Adanya Sodium potasium adenosin triphophatase

dan Na+ K + ATP-ase memberikan keseimbangan ion dalam intrasel

berupa kadar K+ yang tinggi dan rendah Na+, sedangkan dalam ekstrasel

berupa kadar Na+ yang tinggi dan K+ rendah.

17

Keseimbangan ion ini penting dalam memelihara kejernihan lensa, apabila

terdapat gangguan pada keseimbangan ion akan mempengaruhi

terbentuknya katarak. Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak

adalah karena adanya stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik

menyebabkan rentan terhadap berbagai zat oksidatif.

Gambar 2. Proses kegagalan osmotik akibat pengaruh kortikosteroid10

c. Oksidasi

Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya ikatan disulfida, pigmentasi,

dan perubahan oksidatif untuk menghasilkan agregasi protein yang tidak

larut dan menghamburkan cahaya. Lensa sendiri memiliki mekanisme

pertahanan terhadap stress oksidatif berupa glutation reduktase dan

pembuangan radikal bebas. Beberapa penelitian menunjukkan

kortikosteroid dapat menurunkan glutation, antioksidan , dan asam

askorbat.

d. Pembentukan Molekul Protein

Penambahan molekul protein pada lensa juga memiliki keterlibatan dalam

pembentukan katarak. Hal ini terkait pada beberapa penyakit seperti

diabetes, gagal ginjal, dan degenerasi. Tambahan protein pada lensa

mempengaruhi kekeruhan pada lensa yang disebabkan pengaruh

kortikoteroid terhadap struktur normal protein. Pembentukan ikatan

18

disulfid molekuler seperti interaksi hidrofobik non-spesifik menyebabkan

pembentukan agregasi molekul ukuran besar yang tidak larut dan

menghasilkan hamburan cahaya.

e. Efek reseptor kortikosteroid terhadap growth factor

Reseptor kortikosteroid berupa kompleks protein dalam sitosol yang

mengikat steroid dan mentranslokasikan ke nukleus. Reseptor

kortikosteroid okular dapat ditemukan retina, iris, corpus siliaris, jalur

humor aquous, dan sklera tetapi beberapa penelitian menunjukkan tidak

adanya reseptor kortikosteroid pada lensa. Pembentukan katarak terkait

reseptor kortikosteroid diperkirakan karena pengaruhnya terhadap Growth

Factors (GF). Growth factor yang terdapat pada humor aquous

menginduksi proliferasi dan migrasi dari sel epitel anterior menuju ke arah

ekuator dan berdiferensiasi menjadi serat lamelar terdesak oleh sel-sel

baru.25 Perubahan level GF pada humour aquous akibat kortikosteroid

menyebabkan gangguan diferensiasi sel epitel menjadi serat lamelar yang

terus bermigrasi sepanjang kapsul lensa menuju ke posterior lensa dan

membentuk kumpulan sel-sel yang tidak teratur sehingga menghamburkan

cahaya.

Salah satu gambaran katarak akibat kortikosteroid adalah terkumpulnya sel

epitel tidak teratur di bawah kapsul posterior atau disebut subkapsular

posterior. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan tingkah laku sel

yang berpengaruh terhadap terbentuknya katarak karena seharusnya sel-sel

tersebut berada di anterior lensa. Menurut McAvoy dan Chamberlain,

Fibroblast Growth Factor-2 (FGF) mempengaruhi pertumbuhan sel epitel

lensa. Pada umumnya FGF kadarnya meningkat dari anterior lensa ke

posterior. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada sel, pada anterior

lensa yang memiliki kadar rendah merangsang proliferasi sel dan migrasi

ke arah ekuator, sedangkan pada daerah ekuator lensa yang memiliki kadar

tinggi merangsang diferensiasi menjadi serat.

f. Perubahan Sel Abnormal

19

Perubahan tingkah laku sel terhadap terbentuknya katarak terjadi apabila

pada daerah ekuator, FGF tidak cukup tinggi untuk menyebabkan

diferensiasi sel atau terjadi hambatan diferensiasi oleh sitokin. Sel yang

tidak beraturan ini tetap migrasi melewati daerah ekuator menuju ke kutub

posterior lensa menjadi katarak subkapsular posterior.8,10,15,17,18,20

3. Gejala klinis

Katarak yang terjadi akibat penggunaan steroid adalah katarak jenis

subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior terdapat pada korteks di

dekat kapsul posterior bagian sentral. Di awal perkembangannya, katarak ini

cenderung menimbulkan gangguan penglihatan dekat karena adanya keterlibatan

sumbu penglihatan. Gejala umum lain yang dapat ditemui adalah adanya “glare”

dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan yang terang. 8,10,15,17,18,20

Gambar 3. Opasitas subkapsular lensa akibat steroid2

4. Diagnosis banding

Diagnosis banding pada katarak akibat penggunaan steroid adalah katarak

senilis yang biasanya terjadi pada usia tua, katarak traumatika dan katarak juvenil.

Anamnesis serta pemeriksaan yang khas perlu dilakukakan untuk memastikan

katarak akibat penggunaan steroid. 8,10,15,17,18,20

5. Terapi

Terapi yang dapat dilakukan untuk katarak akibat penggunaan steroid

adalah dengan menghentikan penggunaan steroid untuk mencegah progresifitas

20

dari katarak. Setelah penghentian penggunaan steroid dapat dilakukan

pembedahan katarak berupa pembedahan intrakapsular, pembedahan

ekstrakapsular dan fakoemulsi. Penanaman lensa intra okular dapat

dipertimbangkan setelah dilakukan pembedahan katarak untuk memperbaiki visus

pasien. 8,10,15,17,18,20

BAB 3. KESIMPULAN

Kortikosteriod adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan

dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau atas

angiotensin II.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok besar berdasarkan atas aktivitas

biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (mengendalikan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi).

Kelompok lain yaitu mineralokortikoid (mengatur kadar elektrolit dan air).

Efek kortikosteroid secara umum yaitu kortisol dan analog sintetiknya dapat

mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat

kimia, mekanik, atau alergen. Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti

inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat

sedangkan penyebab penyakit tetap ada.

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah

penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang juga

menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag. Akibatnya terjadi penghambatan

kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag.

Pada mata, kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal

pada mata yang disebabkan karena alergi, trauma, atau infeksi.

Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid pada mata, yaitu pada pasien

dengan keratitis herpes simpleks superfisial akut, penyakit yang disebabkan oleh

jamur pada struktur bola mata, vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang

disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada

21

mata, penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, hipersensitivitas, setelah

pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial kornea.

Secara khusus, efek samping penggunaan kortikosteroid pada mata paling

sering terjadi pada pemberian dalam jangka waktu lama yaitu glaukoma dan

katarak. Pada glaukoma, terjadi peningkatan tekanan intra okuler yang disertai

dengan kerusakan saraf optik. Jenis glaukoma yang biasa terjadi yaitu glaukoma

sudut terbuka. Secara teori, kortikosteroid menginduksi protein (miosilin) yang

berada di daerah trabekulum sehingga menyebabkan terjadinya edema di daerah

tersebut. Edema tersebut yang menginduksi terjadinya glaukoma sudut terbuka.

Efek samping yang lain yaitu kortikosteroid bisa menyebabkan terjadinya

katarak. Jenis katarak yang bisa terjadi yaitu katarak posterior sub kapsular.

Biasanya pada penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama bisa

menyebabkan katarak posterior sub kapsular. Patofisiologi terjadinya katarak

akibat pemberian kortikosteroid dalam jangka waktu lama belum bisa dipastikan

dengan jelas. Namun yang pasti jenis kortikosteroid yang bisa menyebabkan

terjadinya katarak yaitu jenis glukokortikoid. Ini semua berhubungan dengan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, dan berhubungan dengan anti

inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid.