EFEK PROTEKTIF NANOPROPOLIS TERHADAP KEJADIAN ... · pandang dengan luas lapang pandang 0.059 mm....
Transcript of EFEK PROTEKTIF NANOPROPOLIS TERHADAP KEJADIAN ... · pandang dengan luas lapang pandang 0.059 mm....
EFEK PROTEKTIF NANOPROPOLIS TERHADAP
KEJADIAN KARDIOTOKSISITAS AKIBAT INDUKSI
DOKSORUBISIN PADA TIKUS
TOMI YENSEN SEVENTUS HUTASOIT
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Protektif
Nanopropolis Terhadap Kejadian Kardiotoksisitas Akibat Induksi Doksorubisin
pada Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Tomi Yensen Seventus Hutasoit
NIM B04120016
ABSTRAK
TOMI YENSEN SEVENTUS HUTASOIT. Efek Protektif Nanopropolis Terhadap
Kejadian Kardiotoksisitas Akibat Induksi Doksorubisin Pada Tikus. Dibimbing
oleh VETNIZAH JUNIANTITO dan BAYU FEBRAM PRASETYO.
Doksorubisin (DOK), merupakan obat anti kanker golongan anthrasiklin,
dengan menginduksi radikal bebas yang dimediasi peradangan dan nekrosis
miokard. Propolis dengan antioksidan kuat dan sifat anti inflamasinya dapat
memberikan aktivitas kardioprotektif terhadap kejadian kardiotoksisitas akibat
induksi doksorubisin. Bioavaibilitas propolis dapat ditingkatkan dengan
memodifikasi molekul propolis menjadi partikel yang berukuran nano
(nanopropolis). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek protektif dari
propolis dan nanopropolis terhadap kejadian kardiotoksisitas akibat induksi
doksorubisin pada tikus. Penelitian ini menggunakan 24 tikus jantan galur Sprague
Dawley yang dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan: kelompok tikus kontrol
(tikus yang hanya disuntikkan NaCl), kelompok tikus yang hanya disuntikkan
Doksorubisin, kelompok perlakuan DOK + nanopropolis (nano), dan kelompok
perlakuan DOK + propolis (pro). Pengobatan Nano Dan pro dilakukan setiap hari
selama 5 minggu. Setelah itu, dilakukan proses euthanasia dan pengambilan sampel
jaringan. Kemudian, jaringan diproses, ditanam dalam parafin, dipotong pada
ketebalan 3 m, dan diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Masson’s
Trichrome. Secara histopatologi, jumlah fokus nekrotik dan sel inflamasi (makrofag
dan limfosit) pada kelompok perlakuan DOX + nano dan DOX + pro secara
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus yang hanya
disuntikkan DOK. Hasil skoring jantung fibrosis menunjukkan tidak ada perbedaan
yang signifikan antara semua kelompok perlakuan. Kesimpulannya, hasil ini
menunjukkan bahwa kapasitas propolis dan nanopropolis memiliki efek protektif
untuk memperbaiki kejadian kardiotoksisitas akibat induksi doksorubisin.
Kata kunci: doksorubisin, histopatologi, kardiotoksisitas, nanopropolis, propolis
ABSTRACT
TOMI YENSEN SEVENTUS HUTASOIT. The Effect of Nanopropolis in
Doxorubicin-Induced Cardiotoxicity in Rats. Supervised by VETNIZAH
JUNIANTITO dan BAYU FEBRAM PRASETYO.
Doxorubicin (DOX), an anthracycline anti cancer drug, induced free radicals-
mediated inflammation and myocardial necrosis. Propolis with potent antioxidative
and anti-inflammatory properties may provide cardioprotective activities during
DOX-induced cardiotoxicity. Bioavailibility of propolis is enhanced by modifying
propolis molecule into nano-sized particles (nanopropolis). This study aims to
determine the protective effects of propolis and nanopropolis in rat’s cardiotoxicity
induced by doxorubicin. This study used 24 male Sprague Dawley rats which were
divided into four treatment groups: control rats(NaCl/vehicle-injected rats), DOX-
only injected rats, DOX + nanopropolis (nano) treatment, and DOX + propolis
(pro)-treated rats. The nano dan pro treatment was performed daily for 5 weeks.
Afterwards, euthanasia and tissue sampling was performed. Thereafter, tissue were
processed, embedded in paraffin, sectioned at 3 m, and stained with
Haematoxylin-Eosin (HE) and Masson’s Trichrome. Histopathologically, the
number of necrotic foci and inflammatory cells (macrophages and lymphocytes) in
DOX + nano- and DOX+pro-treated rats were significantly lower as compared to
those in DOX-only treated rats. Heart fibrosis scoring results revealed no significant
differences among all of the treatment groups. In conclusion, these results suggest
propolis and nanopropolis capacity to ameliorate the cardiotoxicity associated with
doxorubicin treatment.
Keywords: cardiotoxicity, doxorubicin, histopathology, nanopropolis, propolis
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
EFEK PROTEKTIF NANOPROPOLIS TERHADAP
KEJADIAN KARDIOTOKSISITAS AKIBAT INDUKSI
DOKSORUBISIN PADA TIKUS
TOMI YENSEN SEVENTUS HUTASOIT
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 sampai Mei 2016 ini
ialah dengan judul Efek Protektif Nanopropolis Terhadap Kejadian
Kardiotoksisitas Akibat Induksi Doksorubisin Pada Tikus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Vetnizah Juniantito, PhD,
APVet dan Bapak Bayu Febram Prasetyo, SSi, Apt, MSi selaku dosen pembimbing
skripsi atas masukan, waktu, motivasi serta perhatian dan kesabaran yang telah
diberikan kepada penulis selama penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, M.Sc, Apt selaku
dosen pembimbing akademik atas nasehat, saran, waktu, masukan serta perhatian
dan kesabaran selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran
Hewan. Terima kasih juga kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa
dan dukungannya. Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan se-
penelitian (Andi Noer Aeni, Siti, Miranti, Hana, Indira) atas motivasi dan
kerjasamanya selama penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini. Ungkapan
terima kasih disampaikan kepada Elisabet, Neni Togatorop, Leo, Harjono, Fitria,
Istarini, Denty, Annisa, Aldila, Neni F, Meta dan teman-teman lainnya yang telah
memberikan semangat, dukungan dan motivasi serta bantuan selama penulis
menjalani perkuliahan dan penyelesaian karya ilmiah ini di IPB. Terima kasih
kepada teman-teman se-pembimbing akademik atas dukungan selama perkuliahan
dan penyelesaian karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Komisi Pelayanan Anak
(KPA)-PMK IPB atas motivasi dan dukungannya selama penulis mengikuti
perkuliahan di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Persekutuan Koinonia Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas motivasinya
selama penulis kuliah dan dalam penyelesaian karya ilmiah ini di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016
Tomi Yensen Seventus Hutasoit
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Hipotesis Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Gambaran Umum Hewan Coba 2
Propolis 3
Nanopropolis 4
Doksorubisin 4
MATERI DAN METODE 5
Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Alat dan Bahan 5
Materi Penelitian 6
Metode Penelitian 6
Tahap Persiapan Hewan dan Tahap Perlakuan Hewan Coba 6
Sampling, Pembuatan Preparat histopatologi dan Pewarnaan HE 6
Pewarnaan Masson’s Trichrome 7
Pengamatan Histopatologi 8
Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
SIMPULAN DAN SARAN 13
Simpulan 13
Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14
RIWAYAT HIDUP 16
DAFTAR TABEL
1 Jumlah fokus nekrotik pada jaringan jantung tikus per lima (5) lapang
pandang dengan luas lapang pandang 0.059 mm2 9 2 Jumlah sel radang (limfosit, makrofag) pada jaringan jantung tikus per
lima (5) lapang pandang dengan luas lapang pandang 0.059 mm2 11 3 Hasil skoring fibrosis pada jaringan jantung tikus dengan luas lapang
pandang 0.232 mm2 12
DAFTAR GAMBAR
1 Gambaran histopatologi organ jantung (pewarnaan H&E, 400X) 11 2 Gambaran histopatologi hasil skoring fibrosis pada organ jantung tikus
(Masson’s Trichrome, 400X) 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kardiotoksisitas merupakan kondisi kelainan atau kerusakan jantung akibat
senyawa kimia yang bersifat toksik. Menurut Martha et al. (2007) kondisi tersebut
akan menyebabkan jantung mengalami kesulitan dalam memompa darah ke seluruh
tubuh sehingga dapat memicu terjadinya gagal jantung yang akan berakhir pada
kematian. Faktor kejadian kardiotoksisitas dapat disebabkan oleh berbagai macam
diantaranya penggunaan obat-obatan kemoterapi, kondisi anoreksia, dan keracunan
logam berat. Sebagian besar penyebab terjadinya kardiotoksisitas disebabkan oleh
penggunaan obat-obatan kemoterapi (Siahaan et al. 2007).
Seiring dengan meningkatnya penggunaan kemoterapi untuk mengatasi
kanker, maka kejadian kardiotoksisitas dalam beberapa dekade terakhir ini juga
mengalami peningkatan. Kanker merupakan penyakit yang disebabkan karena
pertumbuhan abnormal pada sel-sel jaringan tubuh. Sel-sel kanker ini dapat
menyebar ke bagian tubuh dan menimbulkan kematian. Penggunaan obat
kemoterapi golongan antrasiklin terbukti menimbulkan kasus kardiotoksisitas
klinis dan subklinis masing-masing sebanyak 6% dan 18% (Lotrionte et al. 2013).
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Martha et al. (2007) bahwa prevalensi kasus
kardiotoksisitas pada penggunaan obat kemoterapi golongan antrasiklin mencapai
86.8%.
Doksorubisin menjadi first line drug untuk kemoterapi beberapa jenis
kanker. Efektivitas penggunaan agen kemoterapi doksorubisin menjadi terbatas
karena adanya efek toksik terhadap sel normal (Fimognari et al. 2006),
kardiotoksisitas yang mengarah ke gagal jantung (Ferreira et al. 2008), dan
kemoresistensi (Gangadharan et al. 2009) sehingga pengobatan menjadi tidak
efektif. Efek samping tersebut disebabkan karena akumulasi dosis yang diberikan,
sehingga efektivitas doksorubisin terbatasi oleh dosis dan lama pemberian.
Pengurangan dosis penggunaan doksorubisin dapat mengurangi toksisitas dan efek
samping yang ditimbulkan. Aplikasi penggunaan agen kemoterapi doksorubisin
untuk terapi kanker menjadi tantangan besar bagi para peneliti, sehingga efektivitas
doksorubisin sebagai agen kemoterapi dapat ditingkatkan. Menurut Rizk et al.
(2014), doksorubisin adalah obat antikanker yang merupakan antibiotik golongan
antrasiklin. Efek kardiotoksisitas yang disebabkan oleh doksorubisin tersebut
memerlukan bahan atau senyawa yang dapat melindungi jantung (kardioprotektif)
seperti nanopropolis.
Pemanfaatan produk alam saat ini sudah banyak digunakan oleh masyarakat
dalam penyembuhan berbagai penyakit, salah satunya adalah madu yang dapat
dihasilkan oleh lebah. Selain menghasilkan madu, ternyata lebah dapat
menghasilkan produk lain, salah satunya adalah propolis. Propolis merupakan salah
satu sumber zat gizi alami dan nutraceutical yang berasal dari substrat resin yang
dikumpulkan lebah dari sari tunas daun dan kulit batang tanaman yang dicampur
dengan enzim dan lilin dari sarang lebah (Halim et al. 2012). Propolis akan diubah
dan dicampur dengan bahan lain seperti lilin lebah dan sekresi ludah. Menurut Rizk
et al. (2014), biasanya propolis banyak digunakan dalam bidang kesehatan. Propolis
juga sudah banyak dikembangkan dan dimanfaatkan dalam teknologi nano.
2
Keuntungan dari teknologi nano ini adalah untuk meningkatkan efek terapi obat
(Qurbatussofa 2013). Penelitian mengenai efektivitas propolis dan nanopropolis
untuk mencegah proses kardiotoksisitas yang diinduksi doksrubisin belum pernah
dilakukan.
Perumusan Masalah
Induksi doksorubisin akan memberikan efek toksik terhadap jantung apabila
tidak diberikan sesuai dengan dosis. Nanopropolis dapat digunakan sebagai dasar
untuk mencegah efek toksik akibat induksi doksorubisin.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek proteksi nanopropolis dan
propolis terhadap kejadian kardiotoksisitas akibat aplikasi doksorubisin pada tikus.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan sebagai
dasar pemikiran bahwa nanopropolis dan propolis dapat mengurangi efek toksik
terhadap jantung apabila diinduksi dengan doksorubisin.
Hipotesis Penelitian
H0 : Nanopropolis tidak dapat memberikan efek protektif terhadap kardiotoksisitas
akibat induksi doksorubisin pada tikus putih (Rattus norvegicus).
H1 : Nanopropolis dapat memberikan efek protektif terhadap kardiotoksisitas akibat
induksi doksorubisin pada tikus putih (Rattus norvegicus).
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Hewan Coba
Tikus salah satu hewan coba yang dikembangbiakkan untuk digunakan
sebagai hewan uji coba. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik
yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya.
Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari
(nocturnal).
Tikus galur Sprague Dawley dinamakan demikian, karena ditemukan oleh
seorang ahli kimia dari Universitas Wisconsin, Dawley. Dalam penamaan galur ini,
dia mengkombinasikan dengan nama pertama dari istri pertamanya yaitu Sprague
dan namanya sendiri menjadi Sprague Dawley. Tikus putih memiliki beberapa sifat
yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan
3
cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam
jumlah yang banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino,
kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya
cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik
(Akbar 2010). Tikus putih (Rattus norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain
Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan kemudian menyebar ke Eropa bagian
barat (Sirois 2005).
Menurut Sirois (2005), tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague
Dawley termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri
galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal
dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang
paling terlihat adalah ekornya yang panjang (lebih panjang dibandingkan tubuh).
Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram
sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar
antara 4 – 5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267 – 500
gram dan betina 225 – 325 gram. Berikut ini adalah klasifikasi tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley menurut Adiyati (2011).
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Odo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Sub-Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Galur/Strain : Sprague dawley
Propolis
Julukan propolis berasal dari kata “pro” yang berarti sebelum dan “polis”
yaitu kota. Jika digabung, kedua kata itu dapat diartikan sebagai pertahanan kota.
Secara khusus, propolis berarti sistem pertahanan lebah dari berbagai penyakit.
Propolis berwujud jeli, lengket menyerupai lem. Lebah (Trigona spp.) meramu
propolis sebagai bahan perlindungan bagi telur-telur agar tetap dalam kondisi yang
suci hama. Propolis juga digunakan sebagai bahan penambal sarang yang
mengalami kerusakan. Propolis disusun dari substrat getah dari berbagai tunas serta
kulit batang tumbuhan conifer (golongan pinus). Getah itu lalu dicampur dengan
enzim yang yang terkandung dalam liur lebah. Bahan baku peracik lain, yaitu lilin
yang terdapat sarang lebah (Franz J. 2008). Kandungan dan komposisi propolis
tergantung pada asal dan macam tumbuhan berdasarkan iklim dan kondisi geografis
(Boutabet et al. 2011)
Propolis merupakan salah satu sumber zat gizi alami dan nutraceutical yang
berasal dari substrat resin yang dikumpulkan lebah dari sari tunas daun dan kulit
batang tanaman yang dicampur dengan enzim dan lilin dari sarang lebah. Propolis
sudah digunakan sejak 300 SM sebagai obat untuk menyembuhkan kulit yang luka
karena mempunyai efek anti inflamasi. Propolis mempunyai kandungan gizi mikro
4
yang bernilai tinggi yaitu vitamin (A, B, dan C), mineral (Ca, Mg, Na, Fe, Mn, Cu,
dan Zn), dan enzim suksinat dehidrogenase. Kandungan aktif yang diketahui
terkandung dalam propolis adalah polifenol (flavonoid, asam fenolat, dan esternya),
terpenoid, steroid, dan asam amino. Flavonoid merupakan zat yang diketahui
banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan mempunyai efek antioksidan dalam
melumpuhkan radikal bebas. Propolis diketahui mempunyai kandungan flavonoid
yang tinggi. Kandungan antioksidan lainnya yang juga ditemui dalam propolis
adalah vitamin A, C, E dan mineral Zn (Halim et al. 2012).
Menurut Rumanti (2011) Flavonoid merupakan salah satu kelompok
fitokimia yang memiliki struktur yang sama, yaitu polifenol. Banyak penelitian
yang menyatakan bahwa flavonoid ini dapat menurunkan faktor risiko penyakit
kardiovaskular karena berperan dalam metabolisme lipid. Rata-rata kandungan
flavonoid dalam propolis adalah sekitar 5-26%. Menurut Halim et al. (2012),
flavonoid juga mempunyai efek antioksidan dalam melumpuhkan radikal bebas.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa propolis mempunyai efek
antimikrobial, antivirus, antifungus, antiparasit, antiinflamasi, dan antitumor.
Nanopropolis
Pengembangan dan pemanfaatan teknologi nano saat ini telah banyak
dilakukan. Salah satunya teknologi nano dapat diaplikasikan dalam bidang
kesehatan untuk pembuatan obat. Nanopropolis merupakan propolis yang
menggunakan teknologi nano (1 per satu milliar) yang berhasil membuat sediaan
Propolis Nano lebih bening, molekulnya lebih kecil sehingga mudah diserap oleh
tubuh. Prinsip dasar mekanisme kerja propolis ini yaitu membantu proses
regenerasi sel dan memperkuat sel-sel sehat, membunuh sel-sel kanker oleh Natural
Killer Cell (NK), serta anti infeksi patogen (bakteri, jamur, virus, dan lain
sebagainya), serta membuang racun dalam tubuh (Qurbatussofa 2013).
Keuntungan dari teknologi nano adalah meningkatkan efek terapi obat.
Penelitian ini akan menerapkan teknologi nano terhadap propolis, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan fungsi dari propolis. Nanopropolis juga pernah
digunakan terhadap antibakteri dan sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan
bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Propolis yang berukuran nano ini,
diduga dapat melewati membran luar bakteri sehingga senyawa-senyawa aktif
antibakternya dapat merusak sel bakterinya (Qurbatussofa 2013).
Doksorubisin
Doksorubisin merupakan antitumor golongan anthrasiklin yang sering
digunakan untuk kemoterapi berbagai jenis kanker seperti leukimia, limfoma,
kanker payudara, kanker paru-paru, kanker tiroid, dan kanker ovarium (Tacar et al.
2013). Keefektifan dari doksorubisin sebagai anti kanker yang potensial, akan tetapi
penggunaan doksorubisin belakangan ini diketahui memiliki efek samping yang
berbahaya yakni bersifat toksik pada berbagai organ terutama pada jantung
(Fadillioglu et al. 2003). Mekanisme terjadinya toksisitas pada jantung akibat
induksi doksorubisin masih menjadi kontroversi. Beberapa laporan menyebutkan
kerusakan jantung oleh doksorubisin disebabkan oleh pembentukan reactive
5
oxygen species (ROS) yang diperantarai oleh zat besi dan peningkatan stress
oksidatif miokardial (Peng et al. 2005). Mekanisme stress oksidatif merupakan
mekanisme yang paling sering mengakibatkan kerusakan jantung akibat
penggunaan antibiotika golongan antrasiklin (Siahaan et al. 2007).
Doksorubisin merupakan obat kemoterapi yang sangat kardiotoksik
sehingga pada dosis kumulatif yang rendah sudah dapat menyebabkan aritmia, dan
dapat juga menyebabkan kardiomiopati apabila dosis yang diberikan melebihi 550
mg/m2/bs. Doksorubisin dapat menyebabkan terjadi perubahan kardiovaskuler
(DiStefano 2009). Penyebab perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh
doksorubisin adalah karena pembebasan radikal bebas pada saat metabolisme
doksorubisin (Bugger et al. 2010).
Doksorubisin yang juga dikenal dengan Adriamycin, berasal dari isolat
aktinobakteria Streptomyces peucetius pada tahun 1960. Mekanisme molecular
keracunan yang diinduksi doksorubisin dipengaruhi oleh beberapa faktor dan
sampai sekarang ini belum jelas. Doksorubisin yang masuk ke dalam tubuh akan
menyebabkan stres oksidatif. Faktor lain yang menambah keracunan organ
termasuk di dalamnya adanya sel radang yang diinduksi oleh doksorubisin dan akan
berakhir pada kematian sel yang terpogram (apoptosis) (El-Moselhy dan El-Sheikh
2013). Inflamasi dan nekrosis adalah proses perubahan patologis yang merupakan
hasil manifestasi kardiotoksisitas akibat penggunaan doksorubisin, yang kemudian
pada tahap lanjut akan menyebabkan munculnya fibrosis jantung (Arozal et al.
2014). Efek kardiotoksik yang terjadi akibat doksorubisin tergantung dari dosis
pemakaian obat. Efek kardiotoksik dibagi menjadi 2. yaitu : 1) efek kardiotoksik
cepat, yang timbul selama pemberian obat kemoterapi atau dalam tahun pertama
setelah pemberian obat, 2) efek kardiotoksik lambat, yang timbul setelah 1 tahun
terapi selesai (Martha et al. 2007).
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai dengan
Mei 2016. Pelaksanaan penelitian bertempat di Rumah Sakit Hewan Pendidikan
(RSHP) dan di Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan terdiri dari box plastik sebagai kandang,
timbangan digital, spuit 1 ml dan 3 ml, sonde lambung, alat nekropsi, botol
spesimen, kertas label, spidol, tissue cassete, tissue basket, automatic tissue
prosessor, paraffin embedding console, mikrotom, waterbath, gelas objek, cover
glass, staining chamber, inkubator, mikroskop cahaya, digital electronic eyepiece®
camera, satu set komputer untuk pengambilan gambar jaringan, dan perangkat
lunak Image J®untuk Microsoft® Windows® (http://imagej.nih.gov).
6
Bahan penelitian terdiri dari tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague
Dawley sebanyak 24 ekor umur 6-8 minggu dengan bobot badan 140-200 gram,
NaCl 0.9%, Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% obat-obatan sebelum perlakuan
yaitu Pyrantel pamoat (Combantrin® 125 mg, Pfizer, Jakarta, Indonesia),
amoxicillin (Hufanoxil® 125mg/5ml, HUFA, Indonesia), benzoyl metronidazole
(Flagyl®, Alventis Pharma, Indonesia). Obat-obatan perlakuan yaitu antibiotika
doxorubicin Actavis® 50 mg Injeksi (doxorubicin hidroksida 50mg, Actavis,
Indonesia), propolis (propolis 90 mg/ml, MSS, Indonesia), nanopropolis (β-
siklodekstrin, 50% ekstrak propolis, PT Gizi Indonesia, Indonesia). Pembuatan
preparat histopatologi dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) digunakan bahan
silol, alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 85%, alkohol 70%, parafin, Mayer’s
Haematoxylin, lithium karbonat, Eosin, Mordant, Carrazi’s haematoxylin.
Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan tikus jantan (Rattus norvegicus) dari galur
Sprague Dawley umur 6-8 minggu dengan bobot badan antara 140-200 gram.
Penelitian ini dibagi menjadi empat (4) kelompok perlakuan dengan setiap
kelompok perlakuan terdiri dari enam (6) ekor tikus, sehingga dibutuhkan 24 ekor
tikus sebagai hewan percobaan dalam penelitian ini.
Metode Penelitian
Tahap Persiapan Hewan dan Tahap Perlakuan Hewan Coba
Tikus yang baru datang dilakukan pemberian obat-obatan sebelum
perlakuan berupa dosis tunggal anthelmentik Pyrantel pamoat 10 mg/kg BB,
antibiotik amoxicillin 20 mg/kg BB masing-masing diberikan setiap pagi dan sore
selama 5 hari berikutnya, dan anti protozoa benzoyl metronidazole 20 mg/kg BB
diberikan setiap pagi pada hari yang sama dengan pemberian antibiotik amoxicillin.
Tahap perlakuan berlangsung selama lima (5) minggu dan merupakan
modifikasi dari metode peneliti sebelumnya (Schulke et al 2013; Lee et al 2014).
Tikus dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, masing-masing kelompok berisi 6
ekor tikus. Kelompok 1 (kontrol): tikus diinjeksi menggunakan NaCl fisiologis
(0.9 %) sebanyak 0.4 ml/ekor secara intraperitoneal (IP) sekali seminggu selama 4
minggu. Kelompok 2 (DOK) : tikus diinjeksi menggunakan doksorubisin dosis 4
mg/kg BB per ekor secara intraperitoneal (IP) sekali seminggu selama 4 minggu.
Kelompok 3 (DOK+pro) : tikus diinjeksi menggunakan doksorubisin dosis 4 mg/kg
BB per ekor secara intraperitoneal (IP) dikombinasikan dengan pemberian propolis
dosis 200 mg/kg BB secara oral. Pemberian propolis dilakukan setiap hari sampai
minggu ke-5. Sediaan propolis yang digunakan yaitu 90 mg/ml. Kelompok 4
(DOK+nano) : tikus diinjeksi menggunakan doksorubisin dosis 4 mg/kg BB per
ekor secara intraperitoneal (IP) dikombinasikan dengan pemberian nanopropolis
dosis 200 mg/kg BB secara oral. Pemberian nanopropolis dilakukan setiap hari
sampai minggu ke-5. Sediaan nanopropolis yang digunakan yaitu 100 mg/ml.
7
Sampling, Pembuatan Preparat histopatologi dan Pewarnaan HE
Pada minggu ke-5 semua tikus dieutanasia dengan salah satu metode
eutanasia yang disarankan dalam American Veterinary Medical Association
(AVMA) Guidelines (2013), yaitu menggunakan ketamine HCl dengan dosis 10
mg/kg BB yang dilanjutkan dengan eksanguasi. Tahapan selanjutnya dilakukan
sampling organ jantung yang dimasukkan ke dalam botol spesimen yang berisi
Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan diberi keterangan pada masing masing
sampel organ. Sampel organ kemudian difiksasi selama ± 48 jam.
Pembuatan blok parafin diawali dengan pemotongan terhadap organ jantung
yang telah difiksasi sebelumnya dengan menggunakan alat pemotong (cutter) pada
ketebalan ± 5 mm. Potongan jantung dimasukkan ke dalam tissue cassette untuk
diproses dalam automatic tissue prosessor dan dilanjutkan proses dehidrasi,
penjernihan (clearing), dan infiltrasi. Setelah ke tiga tahapan tersebut sudah selesai,
maka akan dilanjutkan proses pencetakan (embedding) dengan cara memasukkan
potongan organ ke dalam alat pencetak paraffin embedding console yang telah terisi
sedikit parafin cair. Potongan organ diletakkan dibagian tengah cetakan kemudian
ditambahkan parafin cair sampai penuh. Parafin dibiarkan mengeras selama
beberapa menit sampai terbentuk blok parafin. Selanjutnya, parafin diiris
menggunakan mikrotom putar dengan ketebalan 3-5 µm. Hasil irisan diletakkan di
atas waterbath dengan suhu ± 45 C. Hasil potongan kemudian diangkat dari
permukaan air menggunakan gelas objek, selanjutnya dimasukkan ke dalam
inkubator (60 C) selama 1 hari.
Preparat yang telah jadi dilanjutkan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin
(HE) diawali dengan proses deparafinisasi dan rehidrasi. Tahapan selanjutnya,
dilakukan perendaman terhadap gelas objek yang sudah ada potongan organnya
menggunakan pewarna Mayer’s hematoksilin selama 8 menit lalu dibilas dengan
air mengalir selama 30 detik. Kemudian, dilakukan perendaman dalam litium
karbonat selama 15-30 detik dan dibilas dengan air mengalir selama 2 menit.
Setelah itu dilakukan perendaman ke dalam pewarna Eosin selama 2-3 menit dan
dibilas dengan air mengalir selama 30-60 detik. Tahap selanjutnya adalah proses
dehidrasi dengan cara mencelupkan gelas objek secara berturut-turut ke dalam
alkohol 95% (± 10 celupan), alkohol absolut I (± 10 celupan), alkohol absolut II
selama 2 menit. Tahapan terakhir adalah gelas objek ditutup dengan menggunakan
zat perekat Permount® menggunakan cover glass kemudian dibiarkan hingga
perekat kering. Preparat yang telah terwarnai diamati dibawah mikroskop.
Pewarnaan Masson’s Trichrome
Sampel organ dalam gelas objek dilakukan pewarnaan Masson’s Trichrome
yang diawali dengan proses deparafinisasi dan dibilas dengan aquadest selama
beberapa detik. Gelas objek yang tertempel potongan organ direndam dalam larutan
mordant selama 40 menit dan dibilas kembali dengan akuadest selama beberapa
detik. Selanjutnya organ yang telah direndam dalam larutan mordant kemudian
dilakukan perendaman dalam pewarna Carrazi’s hematoksilin selama 40 menit dan
dibilas kembali dengan akuadest. Setelah itu, dilanjutkan dengan perendaman pada
pewarna orange G 0.75% selama 2 menit. Selanjutnya gelas objek tersebut
8
dimasukkan ke dalam asam asetat 1% selama beberapa detik. Gelas objek
kemudian diangkat dari larutan asam asetat 1 % dan dimasukkan ke dalam larutan
pewarna ponceau xylidine fuchsin selama 15 menit dan dibilas kembali pada asam
asetat 1% selama beberapa detik sambil digoyang-goyangkan. Setelah itu,
direndam dalam larutan asam fofotungstat 2.5% selama 10 menit, kemudian
dilakukan perendaman kembali pada asam asetat 1% selama beberapa detik.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam pewarna aniline blue selama 15 menit dan
kembali direndam dalam asam asetat 1%. Kemudian dilakukan perendaman gelas
objek dalam alkohol 95% selama 3 menit. Setelah semua tahapan tersebut selesai
maka akan dilanjutkan dengan proses dehidrasi. Tahapan selanjutnya, gelas objek
ditutup dengan menggunakan cover glass yang sebelumnya telah diberikan perekat
dan ditunggu sampai cover glass menempel pada gelas objek. Preparat yang telah
terwarnai, dilanjutkan dengan pengamatan terhadap struktur kolagen yang
terbentuk dibawah mikroskop dan dilakukan skoring terhadap fibrosis pada masing-
masing kelompok perlakuan.
Pengamatan Histopatologi
Preparat pewarnaan HE diamati pada luas lapang 0.059 mm2. Setiap organ
dilakukan pengamatan secara acak sebanyak 5 kali lapang pandang. Setiap lapang
pandang dihitung jumlah fokus nekrotik dan sel radang (limfosit, makrofag). Fokus
nekrotik akan terlihat lebih pucat dan struktur ototnya tidak beraturan dibandingkan
dengan struktur otot jantung disekitarnya.
Preparat pewarnaan Masson’s Trichrome dilihat presentasi jumlah jaringan
ikat yang terbentuk di interstisial dan perivaskular jantung dengan metode skoring.
Metode skoring yang digunakan adalah tipe ordinal dengan cara blind skoring.
Skoring dilakukan oleh dua orang patolog yang tidak mengetahui identitas
kelompok sampel. Preparat jantung diamati pada 5 kali lapang pandang secara acak.
Tingkat fibrosis dikelompokkan menjadi 4 kriteria yaitu 0 (tidak ditemukan atau
sangat sedikit sekali (<1 %) jaringan ikat di antara myokardium, +1 (Jaringan ikat
sedikit/mild (2-10 %) di antara myokardium), +2 (Jaringan ikat tingkat
sedang/moderate (11-25 %) di antara myokardium), dan +3 (Jaringan ikat
tebal/severe (>25 %), terkadang ditemukan pula akumulasi jaringan ikat tebal yang
memisahkan serabut myokardium, dan ditemukan pula atrofi myokardium)
(Gibson-Corley et al. 2013).
Analisis Data
Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel 2013 dan
perangkat lunak IBM SPSS® 2.2 metode analisis ragam ANOVA dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan antar
kelompok perlakuan pada selang kepercayaan 95%. Data kualitatif dianalisis
dengan menggunakan metode skoring.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan doksorubisin belakangan ini diketahui memiliki efek samping
berupa toksisitas pada beberapa organ terutama jantung. Efektivitas penggunaannya
menjadi terbatas karena dapat juga menimbulkan efek toksik terhadap sel normal.
Menurut Arozal et al. (2014) dalam penelitiannya melaporkan kejadian
kardiotoksisitas pada tikus yang diinduksi doksorubisin dengan dosis total 15
mg/kg bobot badan (BB) secara intraperitoneal (IP). Lesio histopatologi yang
dilaporkan berupa peradangan intersitial yang ditandai dengan infiltrasi sel
mononuklear limfosit dan makrofag, pada pewarnaan Masson’s Trichrome
menunjukkan fibrosis yang ditandai dengan deposit kolagen secara abnormal di
daerah interstisial dan perivaskular.
Hasil pengamatan kuantitatif rataan jumlah fokus nekrotik pada jaringan
jantung yang telah diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah fokus nekrotik pada jaringan jantung tikus per lima (5) lapang
pandang dengan luas lapang pandang 0.059 mm2
Perlakuan Jumlah fokus nekrotik sel
jantung
NaCl (0.9%) 0.00 ± 0.00a
DOK 2.16 ± 0.98c
DOK + nano 1.33 ± 0.51b
DOK + pro 1.50 ± 0.54bc
Keterangan: a,bHuruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata pada P<0.05
Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok doksorubisin memiliki jumlah
fokus nekrotik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang
lain yaitu 2.16 ± 0.98 / lapang pandang. Analisis data menunjukkan bahwa
kelompok perlakuan tikus yang diinduksi dengan doksorubisin berbeda secara
nyata terhadap kelompok perlakuan kontrol negatif (NaCl) dan kelompok perlakuan
doksorubisin + nano secara statistik. Pemberian doksorubisin dapat menyebabkan
terjadi perubahan kardiovaskuler (DiStefano 2009). Penyebab perubahan
kardiovaskuler yang disebabkan oleh doksorubisin adalah adanya pembebasan
radikal bebas pada saat metabolisme doksorubisin (Bugger et al. 2010).
Doksorubisin merupakan obat kemoterapi yang sangat kardiotoksik sehingga pada
dosis kumulatif yang rendah sudah dapat menyebabkan aritmia dan pada dosis yang
melebihi 550 mg/m2 dapat menyebabkan kardiomiopati (DiStefano 2009).
Kelompok doksorubisin + nanopropolis memiliki jumlah fokus nekrotik
yang lebih rendah dibanding kelompok doksorubisin dan kelompok doksorubisin +
propolis yaitu 1.33 ± 0.51 / lapang pandang. Analisis data menunjukkan bahwa
kelompok perlakuan doksorubisin + nanopropolis memiliki perbedaan yang nyata
dengan kelompok NaCl dan doksorubisin serta tidak berbeda nyata dengan
kelompok perlakuan doksorubisin + propolis secara statistik. Nanopropolis sangat
mudah diserap oleh tubuh karena ukuran molekulnya yang lebih kecil. Mekanisme
kerja nanopropolis (300 nm) yaitu membantu regenerasi sel dan memperkuat sel-
10
sel sehat, membunuh sel-sel kanker oleh natural killer cell (NK), serta anti infeksi
patogen (bakteri, jamur, virus), membuang racun dalam tubuh (Qurbatussofa
2013). Bahan aktif yang terdapat di dalam nanopropolis seperti betasiklodeksyrin
akan mengalami peningkatan stabilitas, terlindungi dari agen yang dapat
mengoksidasi, enzim atau interaksi kimia dengan molekul lain. Obat berbasis
nanopartikel dapat memasuki sel melalui endositosis (Troncarelli et al. 2013).
Kelompok perlakuan doksorubisin + propolis memiliki jumlah fokus
nekrotik yang lebih rendah dari kelompok doksorubisin dan lebih tinggi dari
kelompok perlakuan doksorubisin + nanopropolis yaitu 1.50 ± 0.54 / lapang
pandang. Propolis disusun dari bahan dasar yang berasal dari substrat getah dari
berbagai tunas serta kulit batang tumbuhan conifer (golongan pinus) yang berfungsi
sebagai antioksidan. Getah itu lalu dicampur dengan enzim yang yang terkandung
dalam liur lebah. Propolis juga memiliki enzim superoksida dismutase (SOD)-like
dan katalase (CAT)-like. Enzim superoksida dismutase (SOD)-like berperan
penting dalam menetralisir radikal superoksida reaktif (O2-) dengan cara merubah
dua molekul menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan O2. Peningkatan O2- yang
terus berlangsung mengakibatkan hidrogen peroksida meningkat, kondisi ini
mengakibatkan aktifitas superoksida dismutase (SOD)-like terganggu, bahkan
kadarnya dapat menurun, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara
oksidan dan antioksidan endogen. Keseimbangan yang baru dapat terjadi jika tubuh
mendapatkan tambahan antioksidan dari luar (Helianti dan Hairrudin 2009).
Pemberian propolis sebagai antioksidan eksogen dapat mencegah terjadinya
peningkatan reactive oxygen species (ROS). Hal ini disebabkan karena reactive
oxygen species (ROS) yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan endogen, akan
dinetralisir oleh berbagai antioksidan yang dikandung propolis. Flavonoid dan
terpenoid pada propolis dapat memberikan elektron pada O2- dan mengubahnya
menjadi O2. Pemberian propolis dapat mencegah terjadinya penumpukan O2-,
sehingga aktifitas superoksida dismutase (SOD)-like dapat dipertahankan. Hasil
akhirnya, keseimbangan antara oksidan dan antioksidan dapat terjaga, dengan kata
lain stres oksidatif dapat dihindari.
Antioksidan yang terkandung dalam propolis akan bekerjasama dalam
mencegah stress oksidatif dan menetralisir dampak negatif radikal bebas, sehingga
menimbulkan dampak protektif yang optimal (Helianti dan Hairrudin 2009). Enzim
katalase (CAT)-like yang terkandung dalam propolis merupakan enzim penting
yang dapat melindungi kerusakan sel dari reactive oxygen species (ROS) yang
dihasilkan oleh doksorubisin, dan akan berperan penting dalam mengkonversi
produk dari superoksida dismutase (SOD)-like (H2O2) menjadi air dan oksigen
(Freires et al. 2016). Hasil analisis data pada tabel 1 menunjukkan bahwa
nanopropolis memiliki efek protektif yang lebih bagus dibandingkan dengan
propolis yang dapat dilihat dari jumlah fokus nekrotik yang lebih rendah. Gambaran
histopatologi fokus nekrotik pada jaringan jantung dapat dilihat pada Gambar 1.
11
Gambar 1 Gambaran Histopatologi organ jantung (pewarnaan H&E, 400X,
Bar=50µm). A Tikus dengan pemberian NaCl (kontrol). B Tikus dengan pemberian
doksorubisin. Infiltrasi sel radang (a), fokus nekrotik (b), sel anitschkow dapat
dilihat pada gambar inset (tanda panah). C Tikus dengan pemberian doksorubisin
+ nanopropolis. D Tikus dengan pemberian doksorubisin + propolis.
Tabel 2 Jumlah sel radang (limfosit, makrofag) pada jaringan jantung tikus per lima
(5) lapang pandang pada luas lapang pandang 0.059 mm2
Perlakuan Limfosit Makrofag
NaCl 11.50 ± 5.31a 4.00 ± 1.78a
DOK 38.66 ± 5.27c 20.83 ± 7.90c
DOK + nano 13.38 ± 3.18a 4.50 ± 2.16a
DOK + pro 21.16 ± 5.34b 13.33 ± 5.57b
Keterangan: a,bHuruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05)
Kelompok doksorubisin + nanopropolis memiliki jumlah limfosit yang
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok doksorubisin dan kelompok
perlakuan doksorubisin + propolis, namun tidak lebih rendah apabila dibandingkan
dengan kelompok NaCl yaitu 13.38 ± 3.18 / lapang pandang. Hasil analisis data
pada tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan doksorubisin + nanopropolis
memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok doksorubisin dan kelompok
doksorubisin+propolis serta tidak berbeda nyata dengan kelompok NaCl secara
statistik. Peran penting dari nanopropolis mampu membunuh sel-sel kanker oleh
A B
C D
12
Natural Killer Cell (NK). Nanopropolis memiliki senyawa-senyawa aktif
antibakter yang dapat merusak sel bakteri yang melewati membran luar bakteri
(Qurbatussofa 2013). Menurut Troncarelli et al. (2013), nanopropolis ini mampu
mengoptimalkan efikasi dan keamanan penggunaan propolis sebagai suplemen.
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa jumlah makrofag yang diperoleh lebih
rendah pada kelompok doksorubisin + nanopropolis dibandingkan dengan
kelompok doksorubisin dan doksorubisin + propolis yaitu 4.50 ± 2.16 / lapang
pandang. Pemberian propolis mampu memberikan efek proteksi terhadap jantung
tikus, tetapi tidak lebih bagus dari kelompok yang diberikan nanopropolis. Menurut
Helianti dan Hairrudin (2009), hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas dari enzim
superoksida dismutase (SOD)-like yang terdapat dalam propolis terganggu dan
kadarnya yang menurun akibat adanya peningkatan O2- yang terus menerus
mengakibatkan hidrogen peroksida meningkat. Infiltrasi sel radang limfosit dan
makrofag akan meningkat ketika terjadi peradangan terutama saat terjadi fibrosis
pada jantung akibat induksi doksorubisin. Selain infiltrasi sel radang limfosit dan
makrofag, juga akan mengakibatkan munculnya sel radang anitschkow.
Nanopropolis memiliki efek protektif yang lebih bagus dari propolis yang dapat
dilihat dari jumlah sel radang (limfosit dan makrofag) yang lebih rendah.
Tabel 3 Hasil skoring fibrosis pada jaringan jantung dengan pewarnaan Masson’s
Trichrome dengan luas lapang pandang 0.232 mm2
Perlakuan Skoring fibrosis intersitial jantung
NaCl (0.9%) +
DOK +
DOK + nano +
DOK + pro +
Menurut Arozal et al. (2014) menyatakan bahwa fibrosis pada jantung
merupakan tahapan lanjut dari manifestasi kardiotoksisitas setelah terjadinya proses
patologis seperti inflamasi dan nekrosis akibat penggunaan doksorubisin. Hasil
skoring fibrosis jantung pada tabel 3 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan
yang nyata antara kelompok kontrol negatif (NaCl), kelompok kontrol positif
(DOK), kelompok perlakuan Doksorubisin + nanopropolis, dan kelompok
perlakuan Doksorubisin + propolis dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. Hal ini
dapat disebabkan karena pengaruh pemberian doksorubisin belum sampai pada
tahap yang kronis, sehingga tidak menimbulkan banyak fibrosis pada semua
kelompok perlakuan. Proses inflamasi pada jaringan fibrosis akibat induksi
doksorubisin dapat ditandai oleh adanya infiltrasi sel radang seperti limfosit dan
makrofag, yang akan mensistesis sitokin-sitokin untuk mengurangi masuknya
fibrogenik (Arozal et al. 2014). Salah satu sitokin fibrogenik yang merupakan
regulator utama fibrogenesis adalah galectin-3 yang mengatur proses deposisi
kolagen pada myofibroblast (Henderson et al. 2008). Gambaran histopatologi
fibrosis pada jantung dapat dilihat pada Gambar 2
13
Gambar 2 Gambaran histopatologi hasil skoring fibrosis pada organ jantung
(Masson’s Trichrome, 400X, Bar=50µm). a Kelompok NaCl (kontrol). b
Kelompok doksorubisin. c Kelompok doksorubisin + nanopropolis. d Kelompok
doksorubisin + propolis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nanopropolis memiliki efek proteksi terhadap kerusakan sel jantung tikus
yang diinduksi oleh doksorubisin. Efek proteksi dari nanopropolis dapat dilihat dari
rataan jumlah sel nekrotik dan sel radang yang paling rendah dari kelompok
doksorubisin dan kelompok perlakuan doksorubisin + propolis.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap nanopropolis yang memiliki
efek sebagai kardioprotektif dengan menggunakan dosis bertingkat.
A B
C D
14
DAFTAR PUSTAKA
Adiyati PN. 2011. Ragam Jenis ektoparasit pada hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) Galur Sprague Dawley [skripsi]. Bogor ID): Institut Pertanian
Bogor.
Akbar B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas. Ed ke- 1. Jakarta (ID): Adabia Press.
Arozal W, Suyatna FD, Juniantito V, Rosdiana DS, Amurugam S, Aulia R, Monayo
ER, Siswandi R. 2014. The effects of mangiferin (Mangifera indica L) in
doxorubicin-induced cardiotoxicity in rats. Drug Research 64:1-7.
AVMA [American Veterinary Medical Association]. 2013. AVMA Guidelines for
the euthanasia of Animals. Schaumburg: Meacham Road.
Boutabet K, Kebsa W, Alyane M, Lahouel M. 2011. Plyphelic fraction of Algerian
propolis protects rat kidney against acute oxidative stress induced by
doxorubicin. Indian J Nephrol 21(2):101-106.
Bugger H, Guzman C, Zechner C, Palmeri M, Russel K, Russell RR. 2010.
Uncoupling protein downregulation in doxorubicin-induced heart failure
improves mitochondrial coupling but increases reactive oxygen species. Cancer
Chemother Pharmacol 10(1):1-8.
DiStefano G. 2009. Molecular pathogenic mechanism and new therapeutic
perspectives in anthracycline-induced cardiomyopathy. Italian Journal of
Pediatrics 35:37(1):1-8.
El-Moselhy MA, El-Sheikh AAK. 2013. Protective mechanism of atorvastatin
against doxorubicin-induced hepato-renal toxicity. BIOPHA 68(1):101-110.
Fadillioglu E, Erdogan H, Sogut S, Kuku I. 2003. Potective effects of erdosteine
against doksorubisin-induced cardiomyopathy in rats. Journal of Applied
Toxicology (231):1-4.
Ferreira AL, Matsubara ALS, Matsubara BB. 2008. Anthracycline Induce
Cardiotoxicity. Cardiovascular Hematology Agent Medicinal Chemistry
6:278–281.
Fimognari C, Nüsse M, Lenzi M, Sciuscio D, Cantelli-Forti G, Hrelia P. 2006.
Sulforaphane increases the efficacy of doxorubicin in mouse fibroblasts
characterized by p53 mutations. Mutation Research 60:92–101.
Franz J. 2008. Sehat dengan Terapi Lebah. Jakarta (ID): PT.Elex Media
Komputindo.
Freires IA, Matias de Alencar S, Rosalen PL. 2016. A pharmacological perspective
on the use of Brazilian red propolis and its isolated compounds against human
diseases. European Journal of Medicinal Chemistry
doi:10.1016/j.ejmech.2016.01.033.
Gangadharan C, Thoh M, Manna SK. 2009. Inhibition of constitutive activity of
nuclear transcription factor kappaB sensitizes doxorubicinresistant cells to
apoptosis. Journal of Cellular Biochemistry 107:203–213.
Gibson-Corley KN, Olivier AK, Meyerholz D. 2013. Principles for valid
histopathologic scoring in research. Veterinary Pathology 50(60):1007-1015.
Helianti D dan Hairuddin. 2009. Efek proteksi propolis dalam mencegah stress
oksidatif akibat aktivitas fisik berat (swimming stress). Jurnal Ilmu Dasar
10(2):207-211.
15
Halim E, Hardinsyah, Sutandyo N,Sulaman A, Artika M, Harahap Y. 2012. Kajian
bioaktif dan zat gizi propolis Indonesia dan Brazil. Jurnal Gizi dan Pangan
7(1):1-6.
Henderson NC, MacKinnon AC, Farnworth SL, Kipari T, Haslett C, Iredale P, Liu
FT, Hughs J, Sethi T. 2008. Galectin-3 expression and secretion links
macrophags to th promotion of renal fibrosis. American Journal Of Pathology
172(2):288-298.
Lee TY, Chang HH, Wen CK, Huang TH, Chang YS. 2014. Modulation of
thioacetamide-induced hepatic inflammations, angiogenesis, and fibrosis by
andrographolide in mice. Journal of Ethnopharmacology 158:423-430.
Lotrionte M, Zoccai BD, Abbate A, Lanzetta G, D’Ascenzo F, Malavasi V, Pruzzi
M, Frati G, Palazzoni G. 2013. Review and meta-analysis of incidence dan
clinical predictors of antrasiklin cardiotoxivcity. American Journal of
Cardiology 112(12):180-184.
Martha JW, Surianata S, Santoso A. 2007. Gambaran fungsi diastolik ventrikel kiri
pada penderita keganasan yang mendapat kemotrapi doksorubisin. Jurnal
Kardiology Indonesia 28(5):320-326.
Peng X, Chen B, Lim CC, Sawyer DB. 2005. The cardiotoxicity of antrasiklin
chemotherapeutic: translating melocular into preventive medicine. Molecular
Interventions 5(3):163-171.
Qurbatussofa NS. 2013. Ekstraksi Propolis dan Sintesis Nanopropolis Lebah Madu
Trigona spp [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rizk SM, Hala FZ, Mary AMM. 2014. Propolis attenuates doxorubicin-induced
testicular toxicity in rats. Journal of Food and Chemical Toxicology 67:176–
186.
Rumanti RT. 2011. Efek propolis terhadap kadar kolesterol total pada tikus model
tinggi lemak. JKM 1(11):1-22.
Schulke KJ, Coyle L, Merrill GF, Denhardt DT. 2013. Acetaminophen attenuates
doxorubicin-induced cardiac fibrosis via osteopontin and GATA4 regulation:
reduction of oxidant levels. Journal of Cellular Physiology 228:2006-2014.
Siahaan IH, Tobing TC, Rosdiana N, Lubis B. 2007. Dampak kardiotoksik obat
kemotrapi golongan antrasiklin. Sari Pediatri 9(2):151-156.
Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures. United
States of America: Mosby, Inc.
Tacar O, Sriamornsak P, Dass CR. 2013. Doksorubisin: an update on anti cancer
molecular action, toxicity and novel drug delivery systems. Journal of
pharmacy and pharmacology 65:157-170.
Troncarelli MZ, Brandao HM, Gern JC, Guimaraes S, Langoni H. 2013.
Nanotechnology and antimicrobials in veterinary medicine. FORMATEX.
16
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Tomi Yensen Seventus Hutasoit, dilahirkan di
Kota Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara pada
tanggal 13 Agustus 1993. Penulis merupakan anak ke tujuh dari delapan bersaudara,
yaitu anak dari pasangan Bapak Morgon Hutasoit dan Dengseria Simanungkalit.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Siborongborong pada
tahun 2006, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 4 Siborongborong pada
tahun 2009, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Siborongborong pada
tahun 2012. Tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur undangan di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi
kemahasiswaan, seperti Organisasi Mahasiswa Daerah “Ikatan Mahasiswa Siantar
dan Sekitarnya” (OMDA IKANMASS), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK)
IPB, Komisi Pelayanan Anak (KPA PMK-IPB), dan Himpunan Minat dan Profesi
Satwa Liar (HIMPRO SATLI) Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga aktif
mengikuti kepanitian di dalam maupun di luar kampus seperti NATAL CIVA 2015,
KATA PMK IPB 2013, MSP PMK IPB 2013, Stadium General Angkatan 49 FKH
IPB, Seminar Nasional HIMPRO SATLI 2014 dan 2015 serta sebagai LO pada
Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) 29 di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga
menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengelolaan kesehatan Hewan dan
Lingkungan tahun 2016 dan penulis aktif mengikuti magang yang dari HIMPRO
SATLI.