EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.
Transcript of EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.
1
2
EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………….1
BAB II. PENGERTIAN EFEK JERA DAN
PEMISKINAN………………………..5
1. Istilah……………………………………….……….……………………
……. 5
2. Pengertian Efek
Jera……………..…………………………………………….6
2.1 Secara
Etimologis…………………………………………………...6
2.2 Secara Terminologis atau
isinya…………………………………...7
3. Pengertian
Pemiskinan…………………………………………………………9
BAB III TEORI TEORI DAN TUJUAN
PEMIDANAAN…………………………17
1. Pengertian
Pidana……………………………………………………………17
2. Tujuan
Pemidanaan………………………………………………………….19
2.1 Teori
Absolut………………………………………………………21
2.2 Teori Relativ atau Teori
Tujuan…………………………………25
2.3 Teori
Gabungan……..……………………………………………29
BAB IV. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM PIDANA
POSITIF
3
INDONESIA……………………………………………………………
…….37
1. Istilah dan Pengertian
Korupsi……………………………………………...37
2. Bentuk-bentuk
Korupsi……………………………………………………...51
BAB V. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK TINDAK
PIDANA
KORUPSI………………………………………………………………
…….71
1. Faktor-faktor Penyebab
Korupsi…………………………………………..71
1.1. Faktor
Politik…………………………………………………………..71
1.2. Faktor
Hukum…………………………………………………………74
1.2.1. Aspek Perundang-
undangan………………………………….74
1.2.2. Aspek Penegakan
Hukum…………………………………….77
1.3. Faktor
Ekonomi……………………………………………………….81
1.4. Faktor
Budaya…………………………………………………………82
1.5. Faktor
Birokrasi……………………………………………………….83
2. Dampak Tindak Pidana
Korupsi…………………………………………...85
4
BAB VI. PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
MENJERAKAN……………………………………………………
…88
1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Jalur
Penal……….......................................................................................................
.....92
2. Penegakan Hukum Melalui Jalur Non
Penal…………………………………...94
a. Peningkatan Peran \Serta
Masyarakat……………………………96
b. Peran Pers/Media
Massa…………………………………………...98
c. Peran Lembaga Swadaya Mayarakat
(LSM)…………………….99
d. Pendidikan
Agama………………………………………………...101
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………...105
5
I. PENDAHULUAN
Harapan masyarakat Indonesia akan hadirnya hukuman berat,
menjerakan, dan memiskinkan koruptor belakangan ini semakin mengemuka.
Harapan tersebut tidak henti-hentinya disuarakan berbagai kalangan
masyarakat, baik oleh mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, pers,
pemerintah, lembaga legislatif, bahkan oleh partai politik melalui jargon-
jargon politikya untuk memberantas korupsi.
Harapan tersebut ibarat fatamorgana yang tampaknya indah akan
tetapi hanya sebuah bayangan yang sulit diwujudkan. Masyarakat bahkan
dihadapkan pada kenyataan adanya koruptor yang dijatuhi pidana minimal,
sehingga para koruptor dapat menikmati hasil korupsinya dengan tenang.
Di media terungkap pula terdakwa korupsi berakting, melambaikan
tangan seolah-olah tanpa beban, padahal yang dihadapi merupakan kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime). Di Lembaga Pemasyarakatan hukum
terbeli oleh terpidana untuk mendapatkan fasilitas mewah melampaui batas-
batas kepatutan dan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Deskripsi tersebut tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Namun demikian, di akhir tahun 2013 Pengadilan Tipikor
memberikan angin segar dengan dijatuhkannya hukuman pidana maksimal
terhadap Angelina Pinkan Sondakh dan Irjen Pol Djoko Susilo. Terhadap
Angelina Pinkan Sondakh hukuman pidananya diperberat oleh Mahkamah
Agung dari yang semula empat tahun enam bulan menjadi 12 tahun, denda Rp
500 juta subsider delapan bulan kurungan, hukuman pengganti kerugian
Negara 40 miliar. Bahkan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo Putusan Pengadilan
Tipikor Jakarta tanggal 3 September 2013 menjatuhkan pidana penjara 10
tahun, denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan, dan harta kekayaan
senilai Rp 200 miliar yang menjadi barang bukti disita Negara. Di tingkat
banding putusan Pengadilan Tipikor Jakarta oleh Pengadilan Tinggi DKI
tanggal 18-12-2013 diperberat menjadi pidana penjara 18 tahun, denda satu
miliar subsider satu tahun kurungan , membayar uang pengganti Rp 32 miliar
6
subsider lima tahun penjara, barang bukti senilai Rp 200 miliar yang sudah
ditetapkan Pengadilan Tipikor dirampas untuk Negara, menyita rumah seluas
377 meter persegi di Tanjung Barat Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan,
menyita dua mobil Toyota avansa, dan Mencabut hak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik.
“Putusan hakim banding tersebut patut kita apresiasi di tengah
kegeraman publik terhadap vonis hakim korupsi yang tidak
menjerakan.Kegeraman publik seperti itu, mengemuka pula di kalangan
hakim seperti dikemukakan Ketua Majelis Banding perkara Irjen Djoko
Susilo yakni Roki Panjaitan yang mengatakan “Kami ingin mendorong
adanya perspekif baru dalam semangat pemberantasan korupsi, yaitu
menimbulkan efek jera.
Tuntutan masyarakat akan hadirnya persepektif baru yang lebih
menjerakan terbukti pula dalam kasus mantan Ketua KPK Akil Mochtar
dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Akil Mochtar dituntut
dengan hukuman maksimal, yakni hukuman penjara seumur hidup,
membayar denda Rp 10 miliar, dan hukuman tambahan pencabutan hak
memilih dan diplih dalam jabatan publik
Berkaitan dengan kasus di atas, Busro Muqoddas (Wakil Ketua
KPK) mengatakan “ tuntutan seumur hidup untuk Akil itu diharapkan bisa
menjadi pesan moral penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum
sudah kami suarakan. Tuntutan tinggi itu juga sekaligus sebagai fungsi
preventif (pencegahan). Fungsi preventif itu adalah efek jera agar politikus
melakukan praktik yang benar dalam berdemokrasi”(Jawa Post Senin 30 Juni
2014). Dalam putusan majelis hakim tipikor Jakarta tanggal 30 Juni 2014 Akil
Mochtar dijatuhi pidana penjara seumur hidup, denda Rp 10 miliar.
Putusan majelis hakim tersebut menorehkan sejarah baru dan sangat
responsif, karena untuk pertama kalinya Pengadilan tipikor menjatuhkan
pidana seumur hidup sejak pengadilan tipikor itu dibentuk. Berkaitan dengan
itu, Priya Djatmika mengatakan “Hongkong dan Singapura merupakan negara
yang terbukti berhasil memerangi koruptor secara efektif melalui penerapan
7
sanksi keras dan tegas.Bahkan lembaga anti korupsi Hongkong yaitu
Independent Commision Aginst Corruption(ICAC) di Hongkong, karena
keberhasilannya memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang tegas,
telah menjadi model pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di adopsi di
Indonesia. Toh tidak berarti telah terjadi zero corruption di Hongkong dan
Singapura. Praktik korupsi tetap terjadi, tapi jauh berkurang.Korupsi tidak lagi
menjadi “kultur”.
Model putusan hakim tersebut di atas membawa implikasi teoritis
maupun praktis. Secara teoritis penanggulangan tindak pidana korupsi tidak
cukup apabila dilakukan secara konvensional saja, namun dibutuhkan pula
cara-cara yang luar biasa.Pendekatan seperti itu menurut Satjipto Rahardjo
disebut pendekatan hukum progresif.
Implikasi praktis ditandai dengan adanya kekhawatiran pencari
keadilan untuk tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, maupun
Kasasi ke Mahkamah Agung Repulik Indonesia karena dipandang sebagai
momok yang menakutkan dengan sanksi pidana berat. Indikatornya menurut
Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam acara Kick Andy di Metro TV 11-2-
2014 adalah adanya beberapa kasus korupsi yang dicabut kembali setelah
pengajuan kasasi, yakni : (1) Kasus Bupati Buwol yang dicabut oleh terpidana
sendiri; (2) Kasus Neneng Sriwahyuni (istri terpidana korupsi Nassarudin)
yang dicabut oleh KPK.
Perspektif baru penghukuman yang lebih menjerakan seperti yang
terus digelorakan masyarakat hingga saat ini, menyangkut pula pemiskinan
terhadap para koruptor. Hal ini disebabkan karena korupsi sejatinya telah
melanggar hak-hak sosial, ekonomi, dan politik masyarakat yang dilakukan
secara terstruktur, dan meluas, yang berimplikasi adanya kemiskian dan
kesengsaraan masyarakat. Karena itus ecara etika moral, dan yuridis
seyogyanya harta benda hasil korupsi tersebut, dikembalikan secara utuh
demi kesejahteraan masyarakat, melalui tindakan hukum berupa penyitaan
dan perampasan atas asset negara yang dikorupsi, pengenaan sanksi denda,
dan hukuman penganti kerugian negara yang besarnya sesuai dengan kerugian
8
negara. Dengan hukuman yang maksimal diharapkan dapat menimbulkan efek
jera, dan pemiskinan terhadap koruptor.
Bertolak dari hal-hal di atas, diharapkan tulisan ini dapat
memberikan secercah pemikiran dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia.Sudah tentu tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran-saran yang konstruktif sangat penulis harapkan.
9
BAB II. PENGERTIAN EFEK JERA DAN PEMISKINAN
1. Istilah
efek jera belakangan ini muncul dalam berbagai diskursus di tengah
masyarakat luas, baik di kalangan kampus, media massa, lembaga
swadaya masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pemunculan istilah efek jera tersebut tidak bisa dilepaskan dari kegeraman
dan kerisauan masyarakat akibat adanya kesenjangan antara hukum yang
seharusnya dengan hukum dalam kenyataannya (das sollen dan das sein)
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berbagai padanan kata tentang efek jera yang dikenal selama ini
antara lain kata ”tidak berani megulangi perbuatan/kejahatan”, “takut
melakukan perbuatan”. Namun demikian istilah efek jera merupakan
istilah yang paling popular selama ini, bahkan KPK menggunakan istilah
“Efek jera dan terapi kejut”.
Sejatinya istilah efek jera telah dikemukakan oleh para sarjana
sejak jaman Yunani, namun istilah efek jera tersebut tidak ditemukan
dalam perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu istilah efek jera
dicari dalam pandangan para sarjana.
….
Istilah lain yang juga mengemuka dan berkaitan dengan efek jera dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi adalah “pemiskinan”.
Menurut Pastika pakar Sastra Indonesia Universitas Udayana, istilah
“pemiskinan” berasal dari akar kata “miskin” yang berarti tidak berharta,
serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Kata miskin secara
etimologis diturunkan dari bahasa Arab “sakana” yang berarti papa,
lemah, melayani dan serba kurang secara ekonomi. Sedangkan
“pemiskinan” berarti menjadikan seseorang atau kelompok orang
menjalani hidup dalam kondisi serba kekurangan. (Wawancra 15 Pebruari
2014).
10
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Pemiskinan” berarti : (1) hal
(usaha) memiskinkan; (2) Proses, cara perbuatan memiskinkan.
Dalam google com/translate, ditemukan istilah “improverishment”, yang
dapat diartikan “pemiskinan”.
Improverish berarti: (1) To reduce poverty; (2) To make poor in quality,
productiveness exhaust the strength or richness (memperburuk kualitas,
mengurangi wewenang, kekuatan atau kekayaan).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pemiskinan
adalah cara atau upaya menjadikan seseorang atau kelompok orang
menjalani hidup dalam serba kekurangan yakni dengan cara memperburuk
kualitas hidup, mengurangi wewenang, kekuatan atau kekayaan.
2. Pengertian Efek jera.
3.1. Secara Etimologis.
Secara etimologis efek jera terdiri dari dua suku kata. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, efek berarti (1) akibat; pengaruh,
(2) kesan yang timbul pada pikiran penonton, pendengar, pembaca dan
sebaginya (sesudah mendengar atau melihat sesuatu). Sedangkan jera
berarti tidak mau, tidak berani berbuat lagi , kapok1.
Dalam Oxford Dictionary, efek jera diartikan sebagai hal yang
melemahkan, menakutkan, atau hal yang dimaksudkan untuk menakuti
musuh dalam melakukan penyerangan, mampu atau dimaksudkan untuk
menaku-nakuti. Selanjutnya efek jera terhadap kejahatan dapat dilakukan
berupa: penggunaan kamera pengawas/CCTV, persenjataan, hukuman
berat.2
3.2. Secara Terminologis atau isinya.
Hal ini dapat dilihat dari pandangan para sarjana, yakni:
….
1Depatemen Pendidikan Nasional R.I, Pusat Bahasa, 2008, diakses 15 Pebruari 2014
2http://www.oxford dictionaries, com/definition/English/deterrent, diakses 17 Pebruari 2014
11
Dikaji dari segi sejarah, aspek menakutkan ternyata sudah ada sejak
adanya aspek pembalasan. Bahkan tampaknya aspek itu sudah
dipersoalkan sebelum zaman jayanya aspek pembalasan, yaitu pada
masa Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wihelm Friedrich
Hegel (1770-1831).3
Di samping itu terdapat pula pandangan yang mengatakan, bahwa asal
mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-
mata untuk menakuti si penjahat. Secara diam-diam diharapkan agar
teori menakutkan ini membuat jera para penjahat atau menakutkan
mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat.4
Berdasarkan pengertian efekjera secara etimologis dan terminologis
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan efek jera mengandung aspek-
aspek dengan tujuan, sebagai berikut :
a. membuat para penjahat takut, tidak berani berbuat lagi, jera,
atau kapok
b. mempengaruhi atau membuat penjahat potensial takut, tidak
berani untuk berbuat jahat.
c. Mengancam dengan pidana yang berat dalam undang-undang.
e. Bersesuaian dengan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
menetapkan pula kriteria tentang efek jera, yakni dilakukan dengan:
1. Memberikan tuntutan pidana yang tinggi kepada para terdakwa
berupa hukuman badan dan denda pada pelaku.
2. Memiskinkan koruptor secara aktif dan progresif. Menyita
sejumlah harta kekayaan yang dicurigai diperoleh dari kejahatan
untuk diserahkan kepada yang berhak.
3. Terobosan lain yakni penerapan pidana pengganti, menuntut
pencabutan hak politik.
4. Penegak hukum yang professional dan berintegritas tinggi.
3 ibid, hal 214
4 ibid, hal 215
12
Berdasarkan criteria efek jera tersebut diatas, diharapkan dapat dijadikan
acuan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi efek di
Indonesia.
3. Pengertian Pemiskinan
Sama halnya dengan istilah dan pengertian efek jera, istilah dan
pengertian “pemiskinan” juga tidak ditemukan dalam rumusan undang-
undang. Oleh karena itu perlu dicari dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana (doctrin).
Diskursus tentang pemiskinan koruptor makin mengemuka
belakangan ini di tengah kegeraman masyarakat akan minimnya putusan
hakim yang bersifat menjerakan dan memiskinkan koruptor, sementara
korupsi makin merajalela di kalangan pejabat negara, baik di kalang
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, khususnya dilakukan oleh aparat
penegak hukum itu sendiri. Iklim dan semanagat penegakan hukum yang
belum optimal menyebabkan, Indonesia berada dalam jajaran negara
sangat korup terbukti Corruption Perception Index 2013 (Indek Prestasi
Korupsi) Indonesia dengan skor sebesar 32, dan menempati urutan 144
dari 177 negara yang diukur.5
Konsep pemiskinan koruptor mengacu pada prinsip-prinsip dalam
analisis ekonomi atas hukum yang digunakan untuk memcahkan persoalan
hukum pidana, termasuk perkara korupsi. Richard Posner, mengemukakan
bahwa analisis ekonomi atas hukum (economic analys of law) merupakan
penerapan prinsip-prinsip ekonomi terutama konsep pilihan-pilihan
rasional untuk menganalisa persoalan hukum.6
Bagi ekonom, sanksi hukum tidak ada bedanya dengan harga.
Orang-orang merespon keberadaan sanksi hukum sama halnya ketika
merespon keberadaan harga.Mereka akan merespon terhadap harga yang
5publikasi-Transparency International, http://www.ti.or.id/index.php/publikation/2013/ 12/03
6 Richard Posner, 1998, Economic Analysis of Law, Fifth Edition, Aspen Law& Business, New
York, hal 3-4, dalam Mahrus Ali, Op-cit, hal 262
13
tinggi melalui pengurangan mengkonsumsi makananan-makanan mahal.
Orang-orang akan merespon keberadaan sanksi hukum yang berat dengan
cara melakukan tindakan tindakan yang ancaman sanksi hukum atas
tindakan itu sangat ringan.7
Dalam kontek tindak pidana korupsi, isu pemiskinan terhadap
koruptor sejatinya secara implisit telah diatur dalam Undang Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah berdasarkan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasal
sebagai berikut:
1) Pasal 18 ayat (1) : Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana sebagai pidana tanbahan adalah:
a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
digunakan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan
barang barang tersebut;
b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi;
c) penutupan seluruh atau sebagian perusahan untuk waktu paling
lama 1 (satu) tahun;
d) pencabutan seluruh atau sebagian hak hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,yang
telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ayat (2). Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapatdisita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
Ayat (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
menukupi untuk membayar uang pengganti sebagimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam undang undang ini dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
7 Robert Cooter& Thomas Ulen, 2000, Law and Economics, Third Edition, Addiswon-Wesley,
United State, hal 3, dalam Machrus Ali, ibid, hal.263
14
Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan dalam perkara tindak
pidana korupsi selaian pasal 18 ayat (1) Undang Undang nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang undang Nomor 20 tahun 2001, adalah pidana
tambahan seperti yang ditentukan menurut Pasal 10 huruf b KUHP, yang terdiri
dari:
(1) Pencabutan hak hak tertentu menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, yang terdiri
atas:
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan aturan umum;
4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus tas penetapan pengadilan,hak
menjadi wali,wali pengawas,pengampun atau pengampu pengawas,atas
orang yang bukan anak seniri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak,menjalankan perwalian, atau
pengampunan atas anak sendiri;
(2) Perampasan barang barang tertentu menurut Pasal 39 ayat (1) KUHP yang
meliputi:
1. Barang barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan
2. Barang barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan.
(3) Pengumuman keputusan hakim.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (1) Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah berdasarkan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001, dapat disimpulkan bahwa pada kedua pasal tersebut di
atas terkandung semangat atau spirit pemiskinan koruptor. Semangat atau spirit
pemiskinan koruptor juga dapat dilihat dari beberapa indikator lain, yakni:
a) Adanya ketentuan tentang perampasan barang bergerak yang berwujud,
perampasan barang bergerak yang tidak berwujud, perampasan barang
yang tidak bergerak yang masing-masing digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang
yang menggantikan barang-barang tersebut.
15
b) Adanya ketentuan tentang pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
c) Adanya ketentuan tentang penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk paling lama 1 (satu) tahun.
d) Ketentuan tentang pencabutan seluruh atau sebagian hak hak tertentu yang
telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepda terpidana, seperti hak
untuk mengeksport atau mengimport barang-barang tertentu, dan hak
untuk mengembangkan kawasan tertentu
Selain itu adanya ketentuan penghapusan keuntungan tertentu seluruhnya
atau sebagian yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpdana, misalnya fasilitas berbentuk perijinan seperti dispensasi untuk
mengadakan pelayaran pantai bagi perusahan pelayaran samudra, lisensi
untuk menjalankan perusahan kapal laut (veem) dan sebagainya 8
e) Indikator pemiskinan koruptor terdapat pula dalam ketentuan Pasal 29 ayat
(4) yang menentukan “Penyidik, penuntut umum atau hakim dapat
meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik
tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi”
f) Adanya ketentuan Pasal 37 ayat (3) yang menentukan “Terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan”.
g) Terdapat beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang mengandung materi muatan
pemiskinan (yang berasal dari tindak pidana korupsi sebagai salah satu
tindak pidana asal atau predicate crime, tambahan penulis). Pasal-pasal
tersebut, adalah:
8 Perhatikan Soeprapto, 1963, Hukum Pidana Ekonomi, h.75, dalam R.Wiyono,
Pembahasan Undang-Undang Korupsi, Edisi Kedua, Penerbit: Sinar Grafika,
Jakarta, Hal.144
16
Pasal 32 ayat (1) : “Penyidik,penuntut umum,atau hakim
berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk
melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang
telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau
terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana.
Pasal 34: “Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim
memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diketahui
atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh
penyidik atau penuntut umum.
Pasal 35: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana”.
Pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari tindak pidana (tindak pidana korupsi, catatan penulis)
sebagimana disebutkan di atas, sangat berkaitan dengan upaya pemiskinan
koruptor, karena karakteristik dasar dari pencucian uang adalah kejahatan yang
bermotif mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya.
Karena itu logislah keuntungan besar yang diperoleh dengan cara melawan hukum
itu diblokir dan disita untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat, dan
pelakunya menjadi tidak berdaya,dan berada dalam keadaan serba kekurangan
atau berada dalam keadaan miskin.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, secara normatif sejatinya undang
undang telah mengurung koruptor dengan berbagai peraturan perundang-
undangan yang bertujuan untuk memiskinkan koruptor, baik dalam KUHP,
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang Undang Nomor 15 tahun 2002
sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Ketiga undang undang tersebut dapat menjadi sarana pemiskinan koruptor,
namun demikian agar undang undang tersebut efektif, dibutuhkan pula tahapan
17
operasionalisasi melalui bekerjanya sistem peradilan pidana yang mengandung
aspek sinkronisasi, integrasi dan koordinasi.
Menurut Muladi istilah sinkronisasi mengandung makna keserempakan
dan keselarasan.Sinkronisasi dalam hal ini, sesuai dengan makna dan ruang
lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi structural (structural
synchronization), dapat pula bersifat substansial (substancial synchronization),
dan dapat pula bersifat cultural (cultural synchronization).9
Selanjutnya dijelaskan, dalam hal sinkronisasi struktural, keserempakan
dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peadilan pidana dalam
kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi
substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik vertkal maupun
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan
sinkronisasi Kultural mengandung makna untuk selalu serentak dalam menhayati
pandangan pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya system peradilan pidana.10
Merupakan kenyataan empiris, bahwa operasionalisasi sistem peradilan
pidana menunjukkan suatu keamajuan jika dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya dalam upaya pemiskinan terhadap koruptor. Hal itu ditunjukkan
dengan penanganan beberapa kasus korupsi mulai dari penuntutan sampai dengan
putusan pengadilan ditandai dengan adanya tuntutan pidana maksimal, pidana
denda yang tinggi, pidana pengganti kerugian negara yang besarnya sama dengan
hasil korupsi, pemblokiran hasil korupsi, serta penyitaan dan perampasan harta
benda yang diperoleh dari korupsi.
Kasus kasus korupsi yang sarat dengan pemiskinan koruptor dapat kita
simak dalam kasus Angelina Pinkan Sondakh, kasus Djoko Susilo, Ahmad
Fatonah, Lutfi Hasan Ishak sebagaimana penulis singgung pada bagian
pendahuluan.
9 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, h.1 10 Ibid,h.2
18
Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahun
tahun belakangan ini sanksi pidana yang bersifat pemiskinan terhadap koruptor
semakin digalakkan secara progresif.
Hal ini bersesuaian dengan pandangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Abrham Samad dalam wawancara di Kompas TV pada tanggal 11-April-2014
yang mengatakan “memilih pemiskinan koruptor daripada penjatuhan pidana mati
terhadap koruptor”. Pandangan tersebut dapat dipahami bahwa dengan
pemiskinan koruptor harta benda hasil korupsi dapat dikembalikan kepada negara,
baik melalui penyitaan harta kekayaan hasil korupsi maupun hukuman pengganti
yang besarnya sama dengan harta kekayaan hasil korupsi, untuk pada gilirannya
digunakan bagi kesejahteraan masyarakat.
KPK sendiri dalam strategi penanggulangan korupsi telah menegaskan
bahwa salah satu tujuan penanganan tindak pidana korupsi selain menimbulkan
efek jera dan terapi kejut, adalah pemiskinan koruptor. Adapun indikatornya
adalah sebagi berikut:
a. tuntutan Jaksa KPK dalam penanganan kasus-kasus korupsi senantiasa
diikuti dengan tuntutan hukuman pengganti kerugian negara, dan pidana
denda yang jika tidak dipenuhi digantikan dengan hukuman badan.
b. penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga
hasil dari korupsi.
c. melakukan penyitaan terhadap harta benda yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana korupsi untuk selanjutnya dikembalikan kepada negara bagi
kesejahteraan masyarakat.
Pemiskinan koruptor kini menjadi isu penting bagi negara-negara yang
tingkat korupsinya sangat tinggi seperti Indonesia, agar dapat mengembalikan
kekayaan nasional yang telah dijarah oleh para koruptor, karena untuk
mengembalikannya diperlukan sumber daya dan modal. Modal ini dapat diperoleh
dengan pengembalian kekayaan negara yang diperoleh dari hasil korupsi demi
kesejahteraan masyarakat.
19
Pemiskinan terhadap koruptor sangat beralasan karena tindak pidana
korupsi ibarat candu yang membuat pelakunya selalu kekurangan dan ketagihan
yang menggrogoti dan mencuri hak-hak rakyat,serta dapat menghancurkan
kehidupan suatu bangsa. Karena itu harus segera diakhiri demi kesejahteraan
masyarakat.
Pelaku tindak pidana korupsi bukanlah masyarakat miskin, melainkan
adalah pejabat publik dengan pendidikan cukup tinggi yang memiliki akses dan
kewenangan dalam pemerintahan maupun swasta. Koruptor memiliki kemampuan
finansial yang cupup tinggi, namun lemah secara etika, moral, dan hukum. Dan
tidak memiliki empati terhadap masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ancaman hukuman badan dipandang sebelah mata karena praktik selama
ini hukum dan hukuman sering dengan mudah diperjualbelikan oleh orang yang
tidak bertanggungjawab.Sementara itu terdapat persepsi di kalangan terpidana
korupsi bahwa lebih baik menjalani hukuman badan dibandingkan dengan
tersitanya aset-aset dan kekayaan hasil korupsi yang lebih manjamin kehidupan
duniawi mereka sampai tujuh turunan.Karena itu pemiskinan koruptor menjadi
penting dalam mengembalikan kekayaan negara (aset recovery) untuk
kepentingan yang berhak.
20
BAB III TEORI TEORI DAN TUJUAN PEMIDANAAN.
3. Pengertian Pidana
Sudarto mengatakan “kalau kita membicarakan tentang efek dari
sesuatu, maka kita melihat kemuka dan tidak kebelakang.Jika kita melihat
kemuka maka kita harus menyangkutkan efek tersebut dengan tujuan
yang hendak dicapai. Dalam pemidanaan tujuan yang hendak dicapai
secara tradisional ialah prevensi special dan prevensi general11
.
Bertolak dari pandangan tersebut, maka dalam membicarakan
tentang efek jera dari pemidanan, perlu dibahas terlebih dahulu tentang
pengertian pidana, dan tujuan pemidanaan itu sendiri.
Tujuan pemidanaan itu terkait pula denga teori-teori pemidanaan
yang melandasinya.
Istilah “pidana” dan “hukuman” dalam kehidupan sehari-hari
sering diartikan memiliki makna yang sama. Pada hal menurut Muladi
dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa: istilah “hukuman” yang
merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang
luas dan berubah-ubah, karena istilah itu dapat berkonotasi dengan
bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan
dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang
pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena “pidana”
merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan
pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas12
.
Bersesuaian dengan itu, istilah pidana sering diartikan sama
dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum
sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja
11 Soedarto (1), 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit:Alumni, hal:88
12 Muladi, Barda Nawawi Arief(1), 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,
Penerbit:Alumni, hal 2
21
ditimpakan kepada seseorang, sedangkan pidana merupakan pengertian
khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.13
4. Tujuan Pemidanaan
Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu
proses dalam penyelesaian perkara pidana. Penjatuhan pidana tersebut
merupakan suatu akibat hukum yang harus diterima oleh seseorang yang
telah melakukan tindak pidana.Akibat hukum itu pada umumnya berupa
hukuman pidana.14
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki
tujuan yang berkaitan erat dengan aliran pemikiran tentang tujuan
pemidanaan.
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup
dillematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan
untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau
merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan
tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan
tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam
sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana.15
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, Herbert L Packer
mengatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing masing
mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
pandangan retributive (retributive view) dan pandangan Utilitarian
(Utilitarian view) seperti dikatakan “Today as always the criminal law is
cought between two fires. On the one hand, there is the view that
punishment of the morally derelict is it own justification. On the order,
13 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Jakarta, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, hal 1
14
S.R.Sianturi, 1996, Azas-Azas hukum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta , hal 34 15
Zainal Abidin dan Tim Kerja, 2005, op-cit, hal 9
22
there is the view that the only proper goal of the criminal process is the
prevention of antisocial behavior.16
Pandangan retributive mengandalkan pemidanaan sebagai ganjaran
negative terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga
masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai
pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab
moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke
belakang (backward looking).
Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau
kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu.Di satu pihak, pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di
pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain
dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.Pandangan ini
dikatkan berorientasi ke depan (forward looking) dan sekaligus
mempunyai sifat pencegahan (deterrence).17
Dalam ilmu hukum pidana, menurut Muladi lazimnya dikenal
beberapa teori pidana (straftheorieen) yang terdiri atas teori pembalasan
atau absolute theorieen/vergelding theorieen, teori tujuan atau relative
theorieen/doeltheorieen, dan teori gabungan atau verenigingstheorieen18
.
1) Teori Absolut
Teori ini disebut pula dengan Teori Pembalasan atau Teori Retributif.
Aliran ini menganggap sebagi dasar hukum dari pidana adalah alam
pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori
pembalasan ini dikenal pada akhir abad 18 dan yang mempunyai
pengikut-pengikut dengan jalan pikirannya masing-masing, seperti
Immanuel Kant, Hegel, Herbert, Stahl.
16 Herbert L Packer, op-cit, hal 9
17 Ibid, hal.10
18
Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.21
23
Pada dasarnya aliran pembalasan itu menurut Kant dibedakan atas
corak subyektif (subyectieve vergelding) yang pembalasannya
ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela, dan corak obyektif
(obyektieve vergelding) yang pembalasannya ditujukan sekedar pada
perbuatan yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Kant mempunyai jalan pikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan
ketidak adilan, maka ia harus dibalas dengan ketidak adilan.Kant
memandang pidana itu merupakan tuntutan mutlak dari hukum dan
kesusilaan. Jalan pikiran ini melahirkan teori absolute dan dasar
kesusilaan yang dinamakan “de Ethische Vergeldingstheorie”19
Tokoh lain dari penganut teori absolute adalah Hegel. Jalan pikirannya
adalah bahwa hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apbila
orang melakukan kejahatan itu berarti ia menyangkal adanya hukum
dan keadilan, hal itu dianggap tidak masuk akal. Dengan demikian
keadaan menyangkal keadilan itu harus dilenyapkan dengan
ketidakadilan pula, yaitu dengan dijatuhkan pidana karena pidana
itupun merupakan suatu ketidak adilan. Cara brpikir demikian adalah
dialectisch, sehingga teorinya dinamakan de Dialectische
Vergeldingstheorie.
Selain jalan pikiran tersebut di atas, Herbert mengatakan bahwa
apabila orang melakukan kejahatan berarti ia menimbulkan rasa tidak
puas kepada masyarakat. Dalam hal terjadi kejahatan maka masyarakat
itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana,
sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara berpikir demikian ini
mempergunakan pokok pangkal aesthetica. Maka teorinya dinamakan
de Aesthetica Vergeldingstheorie.20
Bersesuaian dengan pandangan di atas, Eva Achjani Zulfa dan
Indrianto Senoaji mengtakan, aliran retributive sering dipadankan
dengan “teori non konsekuensialis” dimana penerjemahan aliran
19
ibid
20
ibid
24
retributive melihat kepada upaya pembenaran atas suatu penjatuhan
sanksi pidana sebagai suatu respon yang patut diberikan kepada
seorang pelaku tindak pidana (appropriate response). Seorang yang
nyata telah melakukan tindak pidana pada masa lalu selayaknya
dikenai sanksi (backward-looking) yang sepadan dengan tindakan
yang dilakukannya.21
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributive ini dapat pula dbagi
dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Penganut teori retributive yang murni (The pure retributivist) yang
berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan
kesalahan si pembuat.
2. Penganut teori retributf tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat
pula dibagi dalam:
a. Penganut teori retributive yang terbatas (the limiting
retributivist) yang berpendapat : pidana tidak harus cocok
/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi
batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.
b. Penganut teori retributive yang distributive (retribution in
distribution), disingkat dengan sebutan “teori distributive” yang
berpendapat: pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak
bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan
dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan
dihormati, tetapi kemungkina ada pengecualian, misalnya dalam
hal “strict liability.22
Selain itu Erik Luna, mengatakan bahwa prinsip penjatuhan pidana
paling tidak harus setimpal dengan kesalahan terdakwa didasarkan
pada teori retribusi yang menekankan pada aspek pembalasan. Secara
21 Eva Achjani zulfa, Indrianto Senoaji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit:CV
Lubuk Agung, Cetakan I, Bandung, hal.49 22
Nigel Walker, 1971, Sentencing in a Rational Society, First American edition, Basic Boks Inc,
Pubhlisers, New York, hal 15, dalam Muladi, Barda Nawawi, op-cit, hal 12
25
lebih operasional, makna pembalasan disini diartikan dengan prinsip
proporsionalitas pemidanaan, dalam arti harus terdapat
proporsionalitas antara kesalahan pelaku dengan pidana yang
dijatuhkan kepadanya.23
Bertolak dari hal-hal di atas Andi Hamzah mengatakan teori
retributive/pembalasan bersifat primitive, tetapi kadang-kadang masih
terasa pengaruhnya pada zaman modern24
.
Adapun ciri-ciri pokok atau karakteristik teori retributif menurut
Karl. O. Christiansen adalah sebagai berikut:
1) tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
2) pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat.
3) kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana
4) pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pembuat;
5) pidana melihat ke belakang;ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.25
Sejalan dengan perkembangan tentang teori pemidanaan, khususnya
berkaitan dengan teori retributif, Sue Titus Reid mengemukakan teori
dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert
model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan,
yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution).
Dasar retribusi dalam “just desert model” menganggap bahwa
pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka
mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang
tepat akan mencegah para criminal melakukan tindakan-tindakan
23 Erik Luna, 2003, Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception of Restorative
Justice, Utah Law Review, hal 216, dalam Machrus Ali, op-cit, hal.272 24
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Cetakan Pertama, PT pradnya Paramita, Jakarta. 25
Muladi, Barda Nawawi Arief, Op-cit, hal.17
26
kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lin melakukan kejahatan.
Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan
menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang serius
akan mendapat hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan
yang lebih ringan.26
Teori “desert” merupakan teori yang menggambarkan pemikiran
tentang proporsionalitas dalam pemidanaan.
Menurut Andrew Von Hirsch and Andrew asworth, seperti dikutip
Eva AchjaniZulfa dan Indrianto Seno Adji menerjemahkan desert
theory sebagai ”the desert rational rest on the idea that penal sanction
should fairly reflect the degree of the reprehensibleness (that is, the
haemfulness and culpability) of the actor conduct”. Pandangan ini
menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan
kesalahan dari pelaku.27
Selanjutnya dikatakan, sungguh sulit menilai kesalahan karena hal itu
merupakan suatu yang abstrak. Ukuran yang dipakai untuk menimbang
besar kecilnya kesalahan sangat erat kaitannya dengan jenis tindak
pidana yang dilakukannya.Ukuran untuk menyatakan suatu tindak
pidana masuk dalam kategori berat atau atau ringan bergantung pada
dua hal yaitu (a) nilai kerugian materiil yang ditimbulkan akibat tindak
pidana yang terjadi atau (b) pandangan atau penilaian masyarakat
terhadap suatu perbuatan pada satu waktu tertentu.28
2) Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori Relatif disebut pula dengan beberapa istilah lain yakni
Teori Utilitarian, Teori Teleologis, dan Teori Detterent. Timbulnya
teori relative atau teori tujuan disebabkan karena teori pembalasan atau
26 Sue titus Reid, Criminal justice, Procedur and Issues, West Pubhlising Company, New York, hal
352, Dalam Soelehudin, Sistem Sansksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya, Raja grafindo Persada, 2003, hal 62 27
Eva Achjani Zulfa, Indrianto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit:CV
Lubuk Agung Bandung, hal.38
28
ibid
27
teori retributive dianggap kurang memuaskan. Menurut teori ini
pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar
pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat
kejahatan) melainkan “ne peccetur”(supaya orang jangan melakukan
kejahatan).29
Bersesuaian dengan itu, Adami Chazawi mengatakan bahwa
teori relative atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa
pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam
masyarakat.Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk
menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.30
Klaim aliran ini atas pemidanaan atau ancaman pidana dalam
undang-undang adalah mendorong tercapainya kebaikan masyarakat
secara keseluruhan. Karenanya pidana harus diterapkan manakala itu
akan memperbaiki situasi atau kondisi dalam masyarakat, walaupun
pemidanaan akan merugikan bagi seseorang atau kelompok orang
(seperti kehilangan kebebasan, uang, kesempatan dan lain
sebaginya).31
Setelah memahami dasar pembenaran atau pokok pangkal teori
relative, perlu diketahui tentang bentuk teori relative atau teori tujuan
tersebut. Menurut Sholehuddin terdapat 3(tiga) bentuk teori tujuan,
yakni:
29
Muladi, Barda Nawawi, Op-cit
30
Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.157
31
Eva AchjaniZulfa, Indriantono Seno Adji, Op-cit, hal 73
28
Pertama : tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan
penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan,
menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang
sama; sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi
sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-
penjahat potensial dalam masyarakat.
Kedua: pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap
pemidanaan sebagi jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi
pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai
suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan
itu dibaca pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidak
seimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, conselling,
latihan-latihan spiritual, dan sebaginya.
Ketiga: pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk
ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa
pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada
dasarnya menyatakan perbuatan perbuatan terpidana adalah salah, tak
dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak
melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu, dalam proses
pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui
kesalahan yang dituduhkan atasnya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa penjara atau lembaga
pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat pendidikan moral, yaitu
tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual diadakan serta penebusan
dosa terjadi.32
Berkaitan dengan teori tujuan, Karl O.Christiansen
mengemukakan ciri-ciri pokok atau karakteristik teori tujuan atau teori
utilitarian sebagi berikut :
32 Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, Penerbit: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal
44-45
29
a. tujuan pidana adalah pencegahan;
b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif);pidana dapat bersifat
mengandung pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.33
Dari teori relative muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana
pencegahan, baik pencegahan khusus atau prevensi special dan
pencegahan umum atauprevensi general.
Prevensi khusus dimaksudkan adalah pengaruh pidana terhadap
terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana
dengan mempengaruhi tinkah laku siterpidana untuk tidak melakukan
tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu
berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
Teori tujuan pidana ini menurut Muladi dikenal dengan sebutan
Reformation atau Rehabilition Theory.
Sedangkan Pencegahan umum dimaksudkan adalah pengaruh
pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan
kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah
laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak
pidana.
33 Muladi, Barda Nawawi A, Op-cit, hal.17
30
Sejalan dengan itu, George P.Fletcher megatakan bahwa tujuan
pemidanaan meliputi:
1) pencegahan secara umum, yakni pemidanaan dimaksudkan untuk
mempengaruhi orang untuk tidak melakukan kejahatan;
2) pencegahan secara khusus, yakni pemidanaan ditujukan kepada
pelakunya ;
3) rehabilitasi sebgai hasil penanganan terhadap pelaku tindak pidana
atau disembuhkan dari perilaku criminal;
4) pelakunya tidak akan mengganggu masyarakat setelah keluar dari
penjara.
Keempat ini dikategorikan sebagai perlindungan sosial (social
protection).34
34 George P. Fletcher, 1998, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University Press, New
York, h.30
31
BAB IV. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM PIDANA
POSITIF INDONESIA.
3. Istilah dan Pengertian Korupsi.
Istilah korupsi berasal dari perkataan corruptio, yang berarti kerusakan. Istilah
ini misalnya dipakai dalam kalimat Naskah Kuno Negara Kertagama yakni ada
yang corrupt (rusak). Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk
menunjukkan keadaan atau perbuatan busuk. Korupsi banyak disangkutkan
kepada ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan.35
Fockema Andreae sebagaimana dikutip Andi hamzah mengatakan bahwa
corruption itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa latin tersebur kemudian dikenal istilah: Corruption, corrupt (Inggris),
”corruption” (Perancis); dan corruptie/korruptie (Belanda). Selanjutnya dari
bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi kata
:”korupsi”.36
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak
jujuran, dapat disuap, idak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Sejalan dengan itu istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,
dan ketidakjujuran”37
.
Di Malaysia terdapat pearaturan anti korupsi.Disitu tidak dipakai kata korupsi
melainkan kata peraturan “anti kerakusan”. Sering pula dipakai istilah “resuah”,
menurut kamus umum Arab Indonesia artinya sama dengan korupsi (ibid,h.10).
Beberapa negara mempunyai istilah lain tentang korupsi, seperti di
Muangthai dikenal istilah “gin moung” yang berarti “makan bangsa”, di Cina
dikenal istilah “tanwu” yang berarti keserakahan ternoda”, Jepang menamakan
nya “oshuku” yang berarti “kerja kotor”.38
35 Sudarto,Op-cit,h 122-123 36 Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya,
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, h.9 37 S.Wojowasito-WJS Poerwadarmint,1978 38 J,E.Sahetapy,1979, Kapita Selekta Kriminologi, Penerbit:Alumni Bandung, h.45
32
Di Indonesia perkataan korupsi semula bersifat umum dan baru menjadi
istilah hukum untuk pertama kalinya dalam Peraturan Penguasa Militer No
PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.39
Dalam konsideran peraturan ini dikatakan antara lain ”bahwa berhubung tidak
adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai
dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat
menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi”.
Dalam peraturan tersebut diberikan definisi tentang tindak pidana korupsi, yakni :
a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk
kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara;
b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang
menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun
dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara
atau daerah, yang dengan menggunakan kesempatan atau
kewenangan atau kekusaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan,
langsung tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau
materiil baginya.
Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, Peraturan penguasa
militer tersebut dilengkapi dengan peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan
Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor
PRT/Peperpu/013/1958, dan Peraturan Penguasa Perang Pusat angkatan Laut
tanggal 17 april 1958 Nomor PRT/z I/7.
Peraturan peraturan militer tersebut dikeluarkan pada waktu wilyah negara
Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar Undang-Undang No.74
Tahun 1957 jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957. Peraturan Penguasa
39 Sudarto,Op-cit,h.123
33
Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, maka kemudian diganti
dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.
Disebabkan karena adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur
segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS Tahun
1950,Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah
pengganti Undang Undang No.24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan,dan Pemeriksaan Tindak Pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang Undang Nomor 24 Prp Tahun
1960 tentang Pengusutn, Penuntutan,dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang ini tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, sehingga
diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan
Tindak pidana Korupsi.
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut berlaku dalam kurun
waktu selama hampir 3 (tiga) daswarsa, yakni sampai dengan tahun 1999.
Sebagai akibat dinamika masyarakat, Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini
dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, lebih-
lebih lagi dengan maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda
penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk pula pihak
swasta/pengusaha.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, MPR membuat Ketetapan
No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Atas dasar Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 ini
ditetapkanlah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak Pidana Korupsi. Undang Undang inipun mengalami perubahan dengan
ditetapkannya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasa tindak pidana
korupsi.
Alasan diadakannya perubahan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999
itu disebutkan dalam konsideran butir b, maupun dalam penjelasan Undang
undang nomor 20 Tahun 2001,yakni :
1. untuk lebih menjamin kepastian hukum;
34
2. menghindari keragaman penafsiran hukum;
3. memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat,serta
4. perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi
Adapun perubahan terhadap Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang
undang Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai pengertian tindak pidana
korupsi adalah :
a) Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menentukan
tentang adanya perubahan terhadap undang undang Nomor 31 tahun 1999,
yakni :
Pasal 2 ayat 2 substansinya tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal
angka 1 Undang Undang ini. Sedangkan rumusan pengertian tindak pidana
korupsi seperti diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 1
Tahun 1999 tetap/tidak mengalami perubahan.
Adapun bunyi Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999
adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomin negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000.,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b) Pasal 1 angka 2 menyatakan”Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pasal-pasal dalam Kitab undang Undang hukum Pidana tetapi
langsung mnyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing
pasal Kitab Undang Undang yang diacu.
Hal ini disebabkan karena Pasal 43 B Undang undang nomor 20 Tahun
2001 sendiri telah menentukan bahwa Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387,
Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, pasal 18, pasal 19, Pasal 420,
Pasal 423, Pasal 425, dan pasal 435 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi.
c) Pasal 1 angka 3 Undang undang Nomor 21 Tahun 2001 menentukan
bahwa diantara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun
1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C.
35
Pasal 12 A mengatur mengenai ketentuan pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang undang nomor 31 Tahun 1999
tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).Terhadap tindak pidana tersebut dalam
ayat 1 di atas,dipidana dengan penjara paling lama 3(tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah).
…
Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidaklah
cukup hanya mengandalkan instrument hukum yakni Undang Undang
Pemberantasan Korupsi tersebut di atas, tetapi juga Undang Undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang Hal ini disebabkan karena meningkatnya berbagai
jenis kejahatan, khususnya tindak pidana korupsi baik yang dilakukan oleh orang
perseorangan maupun oleh korporasi dalam suatu wilayah negara tertentu,
maupun yang dilakukan dengan melintasi batas wilayah negara lain.
Harta kekayaan yang diperoleh dari korupsi, pada umumnya tidak
langsung dibelanjakan atau digunakan, namun pelaku korupsi terlebih dahulu
mengupayakan agar kekayaan yang diperoleh dari korupsi tersebut masuk dalam
sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking
system). Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul kekayaan yang diperoleh dari korupsi sehingga
diharapkan tidak akan terlacak oleh aparat penegak hukum. Tindakan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaan yang merupakan hasil
dari kejahatan termasuk korupsi dikenal dengan pencucian uang.
Indonesia telah memiliki Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang
kemudian diubah berdasarkan Undang Undang nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak pidana pencucian uang.Undang undang tersebut merupakan undang
undang yang berkaitan dengan undang undang tentang tindak pidana korupsi.Hal
itu ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 Undang undang nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang yang menentukan antara lain : Hasil tindak pidana
adalah Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana antara lain : (a) korupsi;
36
(b) penyuapan,yang dilakukan di wilyah Negara Republik Indonesia atau di luar
wilayah Negara republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum indonesia.
….
Selain itu, Penjelasan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 menegaskan
tentang kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian
uang (yang lazim digunakan oleh para koruptor, pen) yang terdiri atas :
a) penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang
berasal dari tindak pidana (korupsi,pen) ke dalam sistem keuangan
(financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel
bank, sertifikat deposito, dan lain lain) kembali ke dalam sistem keuangan,
terutama sistem perbankan.
b) transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan
pada penyedia Jasa keuangan (terutama bank) ke Penyedia Jasa keuangan
yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak
hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.
c) menggunakan harta kekayaan (integration) yakni uapaya menggunakan
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang berhasil masuk ke
dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-
olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis
yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa korupsi merupakan salah
satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian
uang,karena melalui korupsi harta benda yang diperoleh berupa uang haram
(dirty money) seolah-olah menjadi harta kekayaan halal, baik melalui penempatan
(placement), transfer (layering), maupun menggunakan harta kekayaan
(integration). Hal itu tampak dari beberapa kasus korupsi di Indonesia berupa
hasil kejahatan korupsi yang telah disamarkan dalam bentuk property, tanah,
mobil mewah, sertifikat deposito, pompa bensin, perusahaan baik dalam negeri
maupun di luar negeri. Hal tersebut disamping merugikan masyarakat,juga
37
merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas
perekonomian nasional dan keuangan negara
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 diatur beberapa kekhususan sebagai berikut :
a) Pasal 32 ayat (1) menentukan “Penyidik, penuntut umum, atau
hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan
untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta kekayaan setiap
orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik,
tersangka,atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana. Bahkan ayat (3) menegaskan
bahwa Penyedia Jasa keuangan setelah menerima perintah
penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagimana dimaksud dalam
ayat (20 wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat
perintah pemblokiran diterima.
Ketentuan tersebut merupakan penegasan dikecualikannya
ketentuan rahasia bank dan ketentuan rahasia bagi Penyedia jasa
Keuangan lainnya yang bukan bank terhadap penyidik, penuntut
umum, dan hakim.
b) Pasal 34 menentukan “Dalam hal diperoleh bukti yang cukup
sebagai hasil pemeriksaan di siding pengadilan terhadap terdakwa,
hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita
oleh penyidik atau penuntut umum.
c) Pasal 35 menentukan “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan,terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
Menurut Penjelasan Undang Undang Nomor 25 Tahun
2003,ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik.
Kekhususan tersebut di atas mengindikasikan bahwa kewenangan
penyidik,penuntut umum, hakim memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan
untuk melakukan “pemblokiran” terhadap harta kekayaan yang diketahui atau
38
patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dilaporkan oleh PPATK,
merupakan langkah cepat dan tegas mencegah digunakannya harta kekayaan
haram tersebut untuk melakukan kejahatan lanjutan lainnya.
Demikian pula kewenangan hakim memerintahkan “penyitaan” terhadap
Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum
disita oleh penyidik atau penuntut umum, merupakan langkah preventif, sekaligus
memastikan Harta Kekayaan tersebut akan berada di bawah kekuasaan aparat
penegak hukum, sekaligus sebagai sarana pemiskinan terhadap koruptor.
Berkaitan dengan Pasal 35 Udang Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang
menentukan “Untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana” yang dikenal dengan asas pembuktian terbalik, dapat dianalisis sebagai
berikut. Dibandingkan dengan Pasal 37 ayat (1) Undang undang Nomor 3
Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang
pembuktian terbalik. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang undang Nomor 31
tahun 1999 menyatakan bahwa undang undang ini menerapkan pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang.
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari kitab undang undang
hukum acara pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Apabila terdakwa dapat
membuktikan hal tersebut, tidak berarti bahwa ia tidak melakukan korupsi, sebab
penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena
jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Namun demikian pasal ini
tidak dapat diterapkan secara sewenang wenang oleh jaksa tanpa alat bukti yang
kuat untuk mewujudkan, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi
masyarakat. Berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 tentang pencucian uang yang menentukan “Untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
39
Selain Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang,terdapat pula undang undang terkait lainnya, yaitu Undang
undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan nepotisme.
Dalam penjelasan atas Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut
ditegaskan bahwa “Undang undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara
Negara dan pejabat lain yang mempunyi fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Undang undang ini merupakan bagian atau sub sistem dari peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap
perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Sasaran pokok undang undang ini adalah para penyelenggara Negara pada
lembaga Tertinggi Negara (catatan penulis sudah diamandemen), Pejabat Negara
pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat negara, dan
atau pejabat yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Undang Undang Nomor 28 tahun 1999 sebagai turunan dari Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
merupakan instrument hukum buah reformasi yang masih sangat relevan hingga
saat ini. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya pejabat public/penyelenggaraa
Negara yang diduga dan terindikasi tidak bersih dari praktik-praktik KKN,
terbukti tidak henti-hentinya pejabat publik/penyelenggara Negara yang
tersangkut korupsi, baik dalam status sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Isi muatan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 ini telah mengatur
bukan saja hak-hak penyelenggara negara tetapi juga kewajiban-kewajibannya.
Hal itu diatur secara tegas dalam Pasal 5 yang menentukan:
Setiap Peyelenggara Negara berkewajiban untuk:
40
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum,selama,dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat;
4. tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku,agama,ras,dan
golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela,tanpa pamerih baik untuk kepentingan
pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan
imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi,kolusi,dan nepotisme serta
dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Suatu hal yang khas dari Undang undng Nomor 28 Tahun 1999 adalah terletak
pada materi muatannya, yakni adanya ketentuan tentang kewajiban
Penyelenggara Negara untuk diperiksa kekayaannya sebelum,selama, dan
setelah menjabat, serta melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum
dan setelah menjabat.
Materi muatan seperti disebutkan di atas, tidak diatur dalam undang
undang tentang pemberantasan tondak pidana korupsi yang berlaku baik
Undang Ungang Nomor 31 Tahun 1999, maupun Undang undang Nomor 20
Tahun 2001.Menurut penulis, hal ini merupakan sebuah penguatan terhadap
upaya upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara
preventif. Oleh karena itu agar undang undang ini dapat mencapai sasaran
secara efektif, maka dibentuklah Komisi Pemeriksa yang bersifat indipenden
dan mandiri, yaitu lembaga ini dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga
negara lainnnya.
41
Sebagai pelaksanaan Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka
dikeluarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Penjelasan
Peraturan Pemerintah Tentang tata Cara Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara negara ini adalah untuk mengetahui kebenaran atas harta
kekayaan Penyelenggara Negara dalam rangka memudahkan dan membantu
instansi yang berwenang untuk melakukan penyidikan apabila Penyelenggara
Negara tersebut dikemudian hari, diduga atau patut diduga melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Instansi yang berwenang tersebut adalah Badan
pengawas keuangan dan Pembangunan, Kepolisian, atau Kejaksaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka selain penguatan uapaya-upaya
preventif,undang undang dan peraturan pemerintah tersebut dimaksudkan pula
untuk memudahkan melakukan pengawasan atau pemeriksaan lebih lanjut
terhadap Penyelenggara Negara selama atau setelah menjabat, sekaligus
penguatan kelembagaan dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebagai upaya preventif lainnya Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999
ini, juga memuat ancaman sanksi administrative, sanksi perdata, dan sanksi
pidana berupa pidana penjara dan pidana denda sebagaimana diatur dalam
pasal pasal sebagai berikut :
Pasal 20 ayat (1) : Setiap penyelenggara Negara yang melangar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (2) : Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana
dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 21 : Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi pemeriksa yng
melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 22 ; Setiap Penyelenggara negara atau komisi pemeriksa yang
melakukan nepotisme sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 9dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. (satu miliar rupiah).
42
Bertolak dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, dapat dianalisis sebagai
berikut
a. Ketentuan Pasal 20 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999, mengancam setiap
Penyelenggara Negara dengan ancaman sanksi pidana jika melakukan perbuatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (angka 4), dan tidak melakukan kewajiban sebagai
saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dalam perkara lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (angka 7).
Menurut Penjelasan Pasal 159 ayat (2) Kitab Undang undang Hukum
Acara Pidana ditegaskan, bahwa menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap
orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan
untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, ia dapat dikenakan
pidana berdasarkan ketentuan undang undang yang berlaku. Demikian pula halnya
dengan ahli.
Ketentuan tersebut di atas, dikecualikan berdasarkan Pasal 168 KUHAP
yang menentukan: Kecuali ditentukan lain dalam undang undang ini, maka tidak
dapat didengar keterangan dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau istri terdakwa meskipun sudaah bercerai atau yang bersama-
sama sebagi terdakwa.
Terhadap Pasal 21 Undang Undang Nomor 28 Tahun1999, dapat dianalisis
tentang Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan
kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4, yaitu permufakatan atau
kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara
Penyelenggara Negara dan pihak lain, mayarakat, dan atau negara.
43
Sedangkan Pasal 22 undang undang ini berkaitan dengan “nepotisme”
yakni setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara. Ancaman pidana terhadap kolusi dan nepotisme
tersebut bersifat kumulatif, bukan alternatif, yakni berupa pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12(dua belas) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00. (satu miliar rupiah). Ancaman pidana tersebut beralasan karena
merupakan delik dengan kualifikasi yakni pelakunya sebagai Penyelenggara
Negara dan Anggota Komisi pemeriksa yang seyogyanya memberi contoh dan
berada pada garda terdepan dalam pemberantasan KKN.
4. Bentuk-bentuk Korupsi.
Dikaji dari Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan perubahannya, bentuk
bentuk korupsi yang diatur di dalamnya meliputi:
1) Kerugian Keuangan Negara
Terdapat tiga pasal yang mengatur tindak pidana korupsi yang merugikan
keuangan negara, yaitu Pasal 2, 3,dan 8 Undang Undang No. 31 tahun
1999 dan perubahannya.
Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakkan perbuatan
memperkaya diri sndiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangn negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang Undang No 20 Tahun 2001 menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-
44
undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan demikian pengertian melawan hukum dalam undang undang ini
mengandung pengertian yang luas baik formil maupun materiil. Selain itu
dalam undang undang ini tindak pidana korupsi merupakan delik formil
yang ditunjukkan dengan kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal 2 ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
Penjelasan Undang Undang No.20 Tahun 2001 menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan
yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana dana
yang diperuntukkan bagi penaggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang melas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak
pidana korupsi.
Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya kaerena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjajara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00. (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1000.000.000,00. (satu miliar rupiah).
Pasal 8: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 415 Kitab undang undang Hukum Pidana,dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00.(seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00.(tujuh ratus
lima puluh juta rupiah).
45
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang
menimbulkan kerugian keuangan negara meliputi:
a) dilakukan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi;
b) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.
Yunus Husein menyatakan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat
merugikan keuangan negara, yaitu :
Pertama, terdapat pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di
atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga
pembelian dengan harga pasar atau atau harga yang wajar. Korupsi di dalam
proses pengadaan barang dan jasa inilah yang paling banyak terjadi di Indonesia.
Seringkali proses pengadaan barang dan jasa diikuti dengan adanya suap atau
kickback dari peserta tender kepada pejabat negara.
Kedua, harga pengadaan barang dan jasa wajar.Wajar tetapi tidak sesuai dengan
spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa
murah,tetapi kualitas barang dan jasa itu kurang baik, maka dapat dikatakan juga
merugikan keuangan negara.
Ketiga, terdapat transaksi yang memperbesar utang negra secara tidak wajar,
sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara kaena kewajiban negar
untuk membayar hutang semakin besar.
Keempat, piutang negara berkurang secara tidak wajar.
Kelima, aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau
dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perseorangan
(ruislag).
Keenam, memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik
karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya fiktif.
Ketujuh, hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penualan
sebanarnya, sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.40
2) Suap Menyuap
Suap menyuap merupakan bentuk tindak pidana korupsi yang tidak
merugikan keuangan negara secara langsung. Dalam hal ini yang
dirugikan adalah masyarakat, bukan negara. Walaupun tidak merugikan
keuangan negara, namun dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan
40 Yunus Husein, 2008, Negeri Sang Pencuci Uang, Penerbit : Pustaka Juanda
Tigalima, Jakarta, h.184-185
46
pelaku pasar yang secara tidak langsung dapat merugikan perekonomian.
Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat
daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi mahal,
dan memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil
yang tidak memiliki uang dan kekuasaan. (ibid.h.187).
Dilihat dari sejarahnya tindak pidana penyuapan ini sebelumnya
diatur dalam KUHP, baik dalam bentuk penyuapan pasif dan penyuapan
aktif. Pasal pasal tersebut meliputi Pasal : 209, 210, 418, 419, 420.Pasal
pasal ini diatur secara berpasangan antara satu dengan lainnya. Pasal 209
(pemberi suap) berpasangan dengan Pasal 418 dan Pasal 419 (pegawai
negeri yang menerima suap). Pasal 210 (pemberi suap kepada hakim)
berpasangan dengan Pasal 420 (hakim yang menerima suap mengenai
perkara yang ditanganinya).
Pasal 209 dan 210 (penyuapan aktif) menyangkut delik kualifikasi.
Artinya Pasal 210 diancam pidana lebih berat dari Pasal 209, karena yang
disuap adalah pegawai negeri yang berkualitas hakim. Begitu pula Pasal
pasal 418, 419, dan 420 adalah delik berkualifikasi.
Menurut aslinya KUHP, Pasal 418 diancam pidana maksimal
hanya 6 bulan, sedangkan Pasal 419 lima tahun, dan Pasal 420 diancam
pidana maksimal 9 tahun, jika diketahuinya bahwa pemberian atau janji itu
diberikan kepadanya untuk mempengaruhi putusan suatu perkara, dan
meningkat menjadi dua belas tahun jika pemberian atau janji diberikan
kepadanya supaya mendapatkan suatu penghukuman dalam perkra pidana.
Delik yang berkualifikasi tersebut kemudian ditarik menjadi delik
korupsi melalui Pasal 1 ayat 1 sub c UUPTPK Nomor 3 Tahun 1971, dan
oleh karena itu ancaman pidananya sesuai dengan Pasal 28 UUPTPK
semua pasal KUHP yang disebut disitu ancaman pidananya menjadi
seumur hidup atau 20 tahun penjara dan atau denda 30 juta rupiah.
Sebagai akibat dipukul ratanya semua delik penyuapan yang
semula merupakan delik yang berkualifikasi (pasal-pasal 209, 210, 418,
47
419, 420), dengan ancaman pidana yang sama ,maka hilanglah arti
kualifikasi tersebut.41
Setelah berlaku hampir tiga dasa warsa,Undang undang Nomor 3
tahun 1971 diubah berdasarkan Undang undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan mengenai
tindak pidana penyuapan diatur dalam Pasal-pasal 5, 6, 11, 12. Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pola pasal pasal tindak pidana penyuapan secara berpasangan
seperti diatur dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 diteruskan
dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal pasal yang semula
berasal dari Pasal 209 KUHP diatur dalam Pasal 5 (pemberi suap),
sedangkan pasal yang semula berasal dari Pasal 418 KUHP diatur dalam
Pasal 11(penerima suap adalah pegawai negeri). Pasal 210 KUHP
(memberi suap kepada hakim), diatur dalam Pasal 6,sedangkan Pasal 420
KUHP (hakim yang menerima suap) diatur kembali dalam Pasal 12.
Namun demikian ancaman sanksi pidananya bersifat kumulatif,
bukan tunggal seperti dalam Undang undang nomor 3 Tahun1971, yakni
ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00. (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00.(dua ratus lima
puluh juta rupiah).
Adanya batasan ancaman sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dapat dijadikan dasar untuk meminimalkan
disparitas dalam penerapan sanksi pidana untuk menciptakan keadilan bagi
masyarakat. Sedangkan pasal yang semula berasal dari Pasal 210 KUHP(
pemberi suap kepada hakim) berpasangan dengan Pasal 12 ( hakim yang
menerima suap mengenai perkara yang ditanganinya) diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp
41 Andi Hamzah, 1984, Penerbit: PT gramedia, Jakarta, h.116
48
200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00. (satu milyar). Sama halnya dengan Pasal 5 yang
berpasangan dengan Pasal 11, pasangan Pasal 6 dengan Pasal 12 ancaman
pidnanya juga bersifat kumulatif, dan dapat mencegah terjadinya disparitas
penerapan sanksi pidana.
Mengenai unsur pegawai negeri, telah ditentukan dalam Pasal 1
angka 2 yaitu :
a. pegawai negeri sebagaimana undang undang tentang kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang undang
Hukum Pidana;
c. orang uang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan “Undang Undang tentang Kepegawaian”dalam
Pasal 1 angka 2 huruf a adalah Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang pokok Pokok Kepegawaian yang kemudian diubah berdasarkan
Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian (yang
selanjutnya disebut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang
Undang Nomor 43 Tahun 1999).
Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) undang Undang Nomor 8 tahun 1974 jo
Undang Undang nomor 43 Tahun 1999 menentukan bahwa pegawai negeri
tersebut terdiri dari:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,
2. Anggota tentara nasional Indonesia,dan
3. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia.
Adanya perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 berdasarkan
undang undang nomor 20 tahun 2001 sepanjang mengenai perumusan
ketentuan tentang tindak pidana korupsi terdapat kata “korporasi”,
49
”Pegawai Negeri”, dan “Setiap orang”, maka apa yang dimaksud dengan
masing-masing kata tersebut adalah seperti yang terdapat dalam Pasal 1.
Menurut R.Wiyono, dapat dikatakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1 merupakan tafsiran autentik terhadap apa yang dimaksud dengan
kata “Korporasi”, “Pegawai Negeri”, dan “Setiap Orang” pada perumusan
ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang
undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang undang
nomor 20 tahun 2001.42
Berkaitan dengan pengertian hakim seperti yang dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a,maka dengan mengacu pada Undang undang
Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman,dan Undang nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang termasuk hakim, yakni :
1. Hakim pada semua lingkungan Peradilan,yaitu
a) Peradilan Umum
b) Peradilan agama
c) Peradilan Militer
d) Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Hakim Agung pada Mahkamah Agung republik Indonesia
3. Hakim konstitusi pda Mahkamah Konstitusi.
3) Penggelapan dalam Jabatan
Pasal pasal dalam KUHP yang merupakan tindak pidana penggelapan
oleh pegawai negeri yang ditarik ke dalam Undang Undang Nomor 3 tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu pasal-pasal 415,416,17.
Menurut Andi Hamzah, Pasal 415 KUHP merupakan penggelapan yang
sesungguhnya, yang unsur-unsurnya:
pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan selalu atau sementara
menjalankan suatu jabatan umum;
sengaja;
menggelapkan uang atau kertas yang berharga uang;
42 R. Wiyono, op-cit, h.21
50
yang disimpan karena jabatannya,atau membiarkan uang atau kertas
uang itu diambil atau digelapkan oleh orang lain,atau menolong sebagai
pembantu orang lain itu.
Kata “penggelapan” dalam Pasal 415 KUHP berarti sama maksudnya dengan
penggelapan pada Pasal 372,374 KUHP, namun Pasal 415 ini merupakan bentuk
khusus daripada penggelapan,dengan beberapa perbedaan sebagai berikut:
(1) Pada pasal 415 subyeknya adalah pegawai negeri atau pejabat, sedangkan
Pasal 372 ialah barang.
(2) Pada pasal 415 yang digelapkan adalah uang atau kertas berharga uang,
sedangkan Pasal 372 ialah barang.
(3) Pada pasal 415 termuat anasir-anasir pembantuan seperti dimaksud oleh
Pasal 56 KUHP.
Setelah Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 diubah berdasarkan Undang
Undang nomor 31 Tahun 1999, ketentuan yang semula adalah Pasal 415 KUHP,
materinya ditampung dalam pasal 8, yang menentukan “Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam pasal 415 KUHP, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00. (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00.( satu milyar rupiah).
Sejalan dengan perubahan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 menjadi
Undang Undang Nomor 20 tahun 2001, maka rumusan ketentuan Pasal 8 pun
mengalami perubahan, yakni dengan tidak mengacu pada pasal pasal dalam Kitab
Undang Pidana (Pasal 415), tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang
terdapat dalam masing masing pasal Kitab undang Undang hukum Pidana yang
diacu. Adapun rumusan Pasal 8 undang undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahundan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00.( seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00. (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah),pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
51
yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut”.
Adapun yang menjadi obyek tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 8 hanya berupa uang atau surat berharga,tidak meliputi benda benda
lain. Menurut S.R Sianturi, yang dimaksud dengan “uang” tentunya adalah uang
yang masih berlaku, sehingga tidak meliputi uang lama yang sudah tidak berlaku
lagi, meskipun mungkin harganya lebih mahal dari nilai nominal uang lama
tersebut.43
Selanjutnya pengertian tentang apa yang dimaksud dengan “surat berharga” dalam
Pasal 415 KUHP, Sianturi menyebut “surat bernilai uang” dengan
mengemukakan: “Yang dimaksud dengan surat bernilai uang adalah surat
berharga yang pada hakekatnya sama nilainya dengan yang tertera pada surat itu
dan dapat digunakan sebagai alat pembeli atau alat penukar (benda atau jasa) pada
waktu itu, misalnya cek, bilyet-giro, wesel pos, obligasi, meterai pos, meterai
temple, prangko.44
3. Pemerasan
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Pasal 12 huruf e berasal dari Pasal 423 KUHP yang
menentukan: ”Seorang pejabat dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaan, memaksa
seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu, untuk membayar
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”
Sebelum dimasukkan menjadi Pasal 12 huruf e Undang Undang nomor 20
tahun2001, tindak pidana ini dirumuskan dalam pasal 12 Undang Undang Nomor
43 S.R Sianturi, 1983, Tindak pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Bandung,
Alumni AHM-PTHM, h.171 44 Ibid
52
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menentukan:
”Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal
419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang Undang
Hukum Pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00.
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. (satu milyar
rupiah).
Sesuai dengan perubahan Undang undang nomor 31 Tahun 1999
berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, ketentuan Paal 12 Undang
undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan dalam pasal 12 huruf e Undang
undang nomor 20 Tahun 2001. Namun demikian rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur
yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.
Berkaitan dengan hal di atas, Pasal 12 huruf e Undang undang Nomor 20
Tahun 2001 menentukan: “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahundan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan piana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus jita rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. (satu milyar rupiah), pegawai negeri atau
penyelenggara negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ketentuan pasal 12 huruf e tersebut, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(1) Pegawai negeri,dan Penyelenggara Negara
(2) dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain secara
melawan hukum;
(3) menyalahgunakan kekuasaan;
(4) memaksa seseorang;
(5) a. memberikan sesuatu;
b. membayar;
c. menerima pembayaran dengan potongan;atau
53
d. mengerjakan sesuatu bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
yang bersangkutan.
Ad 1) Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri menurut Pasal 12 huruf e Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2
undang Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam pasal itu disebutkan bahwa
Pegawai Negeri adalah:
a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang
Kepegawaian;
b. Pegawai Negeri sebagaiman dimaksud dalam Kitab Undang undang
Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. seorang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud Penyelenggara Negara menurut Pasal 12 huruf e, ialah
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara negara yang Bersih dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme yang menentukan bahwa Penyelenggara negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (catatan penulis istilah
Lembaga Tertinggi Negara telah dihapus berdasarkan Amandemen
pertama Undang Undang Dasar 1945)
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a, c, d, e, dan f Undang
Undang nomor 43 Tahun 1999 yang dimakud dengan Pejabat Negara
adalah Presiden, Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota
Mahkamah Agung, Ketua dan Wakil ketua BPK, sedangkan mengenai
DPA sudah dihapus sebagai lembaga tinggi negara.
3. Menteri;
Sesuai dengan pasal 11 ayat (1) huruf g Undang undang Nomor 43 tahun
1999, yang dimaksud dengan menteri adalah menteri dan jabatan yang
54
setingkat Menteri, yaitu Jaksa Agung,Panglima ABRI, Gubernur Bank
Indonesia, Kepala Bapenas, dan Kepala Badan Intelijen Negara.
4. Gubernur;
5. Hakim, (menurut Penjelasan pasal 2 ayat (5), yang dimaksud dengan
“Hakim” dalam ktentuan ini meliputi Hakim di semua tingkatan
Pengadilan).
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 ngka 6 Undang Undang Nomor 43
Tahun 1999,yang dimaksud dengan “Pejabat Negara yang lain”, misalnya
kepala perwkilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta besar
Luar Biasa berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota.
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Penjelasan Pasal 2 angka 7 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas
dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
a. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan
BUMD,
b. Pimpinan Bank Indonesia dan pimpinan BPPN,
c. Pimpinan Perguruan tinggi Negeri,
d. Pejabat Eselon I dan Pejabat lainnya yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara RI.
e. Jaksa,
f. Penyidik,
g. Panitera pengadilan, dan
h. Pimpinan dan Bendaharawan proyek. ( Perhatikan R.Wiyono,
opcit, h.60).
55
5)Perbuatan curang
Ketentuan Pasal 7 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perbuatan curang, semula diatur dalam Pasal 387,388 KUHP.
Pasal 387 ayat (1) menentukan “diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun seoarang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan
bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan
bahan-bahan bangunan, melakukan sesuatu perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamana orang atau barang,atau keselamatan negara dalam
keadaan perang”
Ayat (2) “diancam dengan pidana yang sama,barang siapa yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja
membiarkan perbuatan curang itu”.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 387 KUHP adalah sebagai
berikut:
Ayat (1) : - pemborong atau ahli membuat bangunan atau penjual bahan bangunan
- pada waktu membuat bangunan itu atau pada waktu menyerahkan
bangunan itu;
- melakukan perbuatan curang;
- yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan orang atau
barang atau keselamatan negra waktu ada perang.
Ayat (2): yang disuruh mengawasi pekerjaan atau penyerahan bahan bangunan;
- sengaja;
- membiarkan perbuatan curang itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang diancam
pidana ialah pemborong atau leveransir yang melakukan perbuatan curang,
sedangkan ayat (2) ialah pengawas yang membiarkan perbuatan curang itu, seperti
Dinas pekerjaan Umum, atau pimpinan proyek.
Unsur-unsur pasal menunjukkan pula bahwa bahaya yang dimaksud itu tidak
perlu terjadi, cukup jika “dapat” terjadi dalam keadaan perang.
Pasal 388 KUHP
Ayat (1) barang siapa pada waktu menyerahkan keperluan Angkatan Laut atau
Angkatan Darat melakukan perbuatan curang melakukan perbuatan curang yang
56
dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa bertugas mengawasi
penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan perbuatan yang
curang itu.
Adapun unsur-unsur Pasal 388 KUHP tersebut, adalah:
Ayat (1)
- waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau
Angkatan darat;
- melakukan perbuatan curang;
- yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara waktu ada perang
Ayat (2)
- yang disuruh mengawasi penyerahan barang itu ;
- sengaja;
- membiarkan perbuatan curang itu.
Pasal 388 KUHP didalamnya hanya menyebutkan Angkatan Laut dan Angkatan
Darat saja, sedangkan Angkatan Udara tidak disebut di dalamnya.
Menurut penulis, pencantuman Angkatan laut, dan Angkatan Darat telah diubah
dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan istilah Tentara
nasioanal Insonesia (TNI). Dengan demikian membawa konsekuensi bahwa
perbuatan curang dimaksudkan pula terhadap Angatan Udara,karena Angkatan
Udara merupakan unsur TNI.
Selaian pasal pasal di atas, Pasal 435 KUHP menentukan: “Seorang
pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam
pemborongan, penyerahan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk selutuh atau sebagian, dia ditugaskan atau mengawasinya,diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
delapan belas ribu rupiah.
Unsur-unsur Pasal 435 KUHP, adalah:
- pegawai negeri;
- sengaja;
- baik dengan perantaraan maupun dengan langsung;
- turut serta dalam pemborongan, penyerahan, persewaan;
57
- yang pengurusnya atau pengawasnya, ketika perbuatan itu dilakukan,
seluruh atau sebagian diserahkan kepadanya.
Ketentuan pasal-pasal KUHP tersebut telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi
sejak tahun1971 yang dikhususkan untuk pelaggaran pelanggaran di bidang
pembororngan, leveransir, dan rekanan.
Menurut Andi Hamzah kelompok delik tersebut jarang muncul ke muka sidang
pengadilan, walaupun kita dapat menduga bahwa pelanggaran terhadap pasal
pasal tersebut banyak terjadi, lebih-lebih dalam suasana pesatnya pembangunan
dewasa ini.45
Pandangan Andi Hamzah tersebut masih relevan hingga saat ini,
terlebih lagi pembangunan di Indonesia mencakup pula daerah daerah tertinggal
yang selama ini belum terjangkau.
Setelah perubahan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 menjadi Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999, pasal pasal KUHP tersebut materinya diatur
dalam Pasal 7, yang menentukan: ”Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang Undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00.
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00. (tiga ratus lima puluh
juta rupiah).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang undang nomor 20 Tahun
2001, ketentuan Pasal 7 Undang undang nomor 31 Tahun 1999, rumusannya
diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung
menyebutkan unsur unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang
diacu, sehinggga berbunyi:
Pasal 7 ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00. (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah) :
a. pemborong, ahli bangunan, yang pada waktu membut bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang, atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang.
45 Andi Hamzah,Op.cit,h.130
58
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud huruf a;
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
tentara nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbutan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan
curang sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c,
dipidana dengan dengan pidana yang sama sebagimana dimaksud dalam
ayat (1).
Penyebutan unsur-unsur pasal di atas, tidaklah dimaksudkan untuk
membahas secara detail sub-sub unsur yang ada di dalamnya, tetapi hanya sebatas
membahas unsur dominan dari Pasal 7 tersebut, yakni “perbuatan curang”.
Pasal 7 memiliki kandungan yang berbeda-beda tentang pengertian “perbuatan
curang”. Pasal 7 ayat (1) huruf a mengartikan “perbuatan curang” sebagai
perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah
ditentukan dalam perjanjian. Adapun yang dituju bukan sekedar “perbuatan
curang”, tetapi “perbuatan curang” yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Berkaitan dengan unsur membiarkan perbuatan curang dalam pasal 7 ayat
(1) huruf b, perlu dijelaskan tentang maksud “membiarkan” tersebut. Di lihat dari
segi bahasa “membiarkan” dalam pasal 7 ayat (1) huruf b adalah memberi
kesempatan atau peluang. Namun demikian pengertian “membiarkan”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b bukan berkedudukan
sebagai pembantu menurut Pasal 56 angka 2 KUHP, karena “membiarkan” atau
memberi kesempatan atau peluang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 angka
2 KUHP adalah “membiarkan” atau memberi kesempatan atau peluang untuk
melakukan tindak pidana.
59
Sedangkan “membiarkan” atau memberi kesempatan atau peluang sebagimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b adalah “membiarkan” atau memberikan
kesempatan atau peluang pada waktu orang lain melakukan tindak pidana, yaitu
pada waktu pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan melakukan
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
(ibid,h74).
Perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c adalah
perbuatan dari “setiap orang”yang tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian pada waktu menyerahkan
barang keperluan Tentara Nasioanal Indonesia dan/atau kepolisian Negara
Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang
Dengan digunakannya kata “dapat”, maka agar dapat dinyatakan telah melakukan
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf c, perbuatan
curang dari “setiap orang” pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan/atau kepolisian negara RI, tidak perlu sampai
menimbulkan akibat yang membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang, namun cukup terdapat kemungkinan timbulnya akibat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang.46
Berkaitan dengan Pasal 7 ayat (1) d, perbuatan curang yang dimaksud
adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang, yang bertugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indinesia dan/atau kepolisian
Negara RI membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan negara
dalam keadaan perang. Pengertian “setiap orang” dalam pasal ini adalah setiap
orang yang sebelumnya sudah harus ditunjuk oleh atasannya masing-masing
dalam jajaran Departemen Pertahanan, atau Kepolisian Negara RI, atau memang
karena jabatannya. Sedangkan pengertian “membiarkan” sama dengan yang
dimaksud dalam huruf c.
46 ibid, h.75-76
60
Bertolak dari uraian di atas,dapat disimpulkan bahwa “perbuatan curang”
dalam pasal 7 Ayat (1),meliputi:
a) perbuatan curang yang dilakukan oleh pemborong,ahli bangunan
pada saat membuat bangunan, dan penjual bahan bangunan yang
dapat membahayakan keselamatan orang atau barang,atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b) perbuatan curang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang
bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bangunan
,dengan sengaja “membiarkan” perbuatan curang sebagimana
dimaksud dalam huruf a;
c) perbuatan curang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentra Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI yang
dapat membahayakan keselamatan negar dalam keadaan perang;
d) perbuatan curang yang dengan sengaja dilakukan oleh orang yang
bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional
Indonesia, dan/atau Kepolisian Negara RI
5) Gratifikasi.
Pasal 12 B mengatur tentang Gratifikasi. Black’s Law Dictionary
memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification: “a voluntarily
given reward or recompense for a service or benefit” (gratifikasi adalah
sebuah pemberian yang diberikan atau diperolehnya suatu bantuan atau
keuntungan). Menurut Transparency International, bentuk Gratifikasi
dibedakan dalam dua bagian,yakni :
a. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat
yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamerih artinya
pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan
balasan apapun.
b. Gratifikasi negative adalah pemberian hadiah dilakukan dengan
tujuan pamerih, pemberian jenis ini yang telah membudaya di
kalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi
kepentingan.
61
Dengan demikian gratifikasi tidak selalu mempunyai efek jelek, namun harus
dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang
memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamerih.
Selanjutnya dijelaskan, di negara-negara maju gratifikasi kepada kalangan
birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena
akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan
keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik.
Bahkan di kalangan privatpun larangan juga diberikan,contoh pimpinan stasiun
televise swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang
atau barang dalm bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas
pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan
disertai sanksi yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi
yang melanggar dan harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi atau
penerima).47
Dalam Penjelasan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang,barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiketperjalanan, fasilitaspenginapan, perjalananwisata, pengobatan cumacuma, dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.
Dalam Pasal 12 B Undang Undang No 29 Tahun 2001 dinyatakan bahwa:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
47 Ibid, h.28
62
paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00. (satu milliard rupiah).
Pengaturan tentang Gratifikasi dalam undang undang ini, menurut penulis
merupakan langkah responsif dari pembentuk undang undang, mengingat masih
adanya kultur pada sebagian pejabat penyelenggara negara yang mau menerima
pemberian atau hadiah, pada hal patut diketahui hal itu secara etik moral maupun
yuridis bertentangan dengan kewajiban yang seharusnya menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
63
BAB V. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK
TINDAK PIDANA KORUPSI
2. Faktor-faktor Penyebab Korupsi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi. Oleh karena itu mencari
faktor penyebab korupsi merupakan langkah awal dalam rangka pemberantasan
korupsi yang riil. Lembaga transparency mengatakan bahwa korupsi di tanah
negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun
diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam setiap orde yang datang silih
berganti.
ICW mengidentifikasikan empat faktor korupsi yaitu faktor politik, faktor
hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasinal.48
Selain itu
terdapat pula pandangan yang mengatakan faktor budaya sebagai penyebab
korupsi.
…
1. Dampak Tindak Pidana Korupsi.
Terdapat cukup banyak pemerintahan suatu negara jatuh karena diterpa
kasus kasus korupsi. Sebagai ilustrasi mantan Presiden Filipina Ferdinan Edralin
Marcos jatuh karena sangat otoriter dan korup dalam menjalankan
pemerintahannya, sehingga angkat kaki dari negaranya, dan akhirnya meninggal
48 ICW, 2000, Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, dalam Transparency
Internastional, op-cit, h.40
64
dalam pengasingan di Hawai Amerika Serikat. Di Indonesia mantan Presiden
Soeharto lengser dari kekuasaannya karena adanya pemusatan kekuasaan,
wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, tanpa control sosial yang efektif
dari masyarakat. Hal tersebut tidak hanya berdampak negative di bidang politik,
namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktik
penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan
memberi peluang tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepoltisme (KKN).
Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat dianalisis bahwa korupsi
menimbulkan efek negative luar biasa terhadap berbagai sisi kehidupan
masyarakat, baik ekonomi, sosial dan kemiskinan, runtuhnya otoritas
pemerintahan, politik dan demokrasi, penegakan hukum, Hankam, dan
Lingkungan Hidup.
Hal tersebut secara yuridis ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi dalam pertimbangan
hukum huruf a yang menyatakan “bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini
terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”
Oleh karena itu beralasan kiranya pandangan Abraham Samad saat
memberikan kuliah umum di Universitas Hasanudin Makasar yang menyatakan
bahwa korupsi di Indonesia semakin memperihatinkan, bukan saja meningkatkan
kemiskinan masyarakat, memicu bertambahnya pengangguran, illegal loging yang
sarat akan korupsi sehingga menyebabkan kerusakan hutan semakin meluas dan
yang tidak dapat dihindari adalah menumpuknya hutang luar negeri.49
49 Abraham Samad, 2012, Pembangunan Karakter Mahasiswa Melawan Korupsi,
dalam Kadek krisna Sintia Dewi, 2014, Tesis dengan judul Efektivitas Penerapan
ancaman Sanksi Pidana Guna pengembalian Kerugian keuangan negara dalam
Tindak pidana Korupsi, h.11
65
Dalam tulisan ini tidak semua akibat atau dampak korupsi yang akan
dibahas, melainkan sebatas menyajikan besarnya kerugian keuangan negara yang
diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian dan pengkajian P2 E.B Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa kerugian negara akibat korupsi tahun
2011-2012 mencapai Rp 168,19 triliun, dengan total hukuman finansial sebanyak
Rp 15,09 triliun.Karena itu negara kehilangan uang sebanyak Rp 153,1 triliun.50
Selain itu, menurut Koordinator ICW Divisi Investigasi, merilis hasil tren
korupsi semester I di tahun 2014, menyatakan bahwa jumlah kerugian negara
akibat adanya dugaan tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai Rp 3,7
triliun.51
Sebagai dampak ikutan negative lainnya, indek persepsi korupsi Indonesia
berada pada tingkat yang rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Transparency International (TI) pada tahun 2013 melansir Corruption Perception
Index(CPI) secara global, maupun untuk kawasan Asia Pasifik dan Asia
Tenggara. CPI direprentasikan dalam bentuk bobot skor/angka (score) dengan
rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor
100 berarti negara dipersepsikan sangat bersih dari korupsi.
Berdasarkan bobot skor tersebut, pada tahun 2013 secara global terdapat 6
(enam) negara yang memiliki skor tertinggi, yakni Denmark (91), Finlandia (91),
Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86),dan Singapura (86). Negara
dengan skor terendah terdpat 5 (lima) negara, yaitu : Sudan Selatan (14),Sudan
(11),Afganistan (8),Korea Utara (8),dan Somalia (8). Sedangkan Indonesia
dengan skor CPI sebesar 32, menempati urutan ke 114 dari 177 negara yang
diukur.
Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih jauh berada dibawah Singapura
(86),Hongkong (75),Taiwan (61), Korea Selatan (55),dan Cina (40).Di ASEAN,
skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60), Malaysia (50),sedikit di bawah Filipina
50 Tempo.co, Senin 4 Maret 2013, diakses pada tanggal 31-Juli- 2014, jam 16.30 wita 51 Merdeka.com, diakses pada 04 Juni 2014, jam 12.44
66
(36),dan Thailand (35). Namun skor Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam
(31), Timor leste (30), Laos (26), dan Myanmar (21).52
Berdasarkan uraian di atas,dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia
sangat memperihatinkan,meluas dan sistimatis, serta menimbulkan efek
menghancurkan yang luar biasa di berbagai sector kehidupan,apabila tidak diikuti
dengan komitmen segenap penyelenggara negara dan pejabat publik,seluruh
komponen masyarakat untuk memerangi korupsi melalui upaya-upaya penal dan
non penal secara konsisten, dan berkelanjutan.
Secara global, sebagai akibat tindak pidana korupsi yang tinggi di
Indonesia akan menimbulkan citra yang kurang menguntungkan bagi bangsa
Indonesia akibat skor Corruption Perception Index dengan skor rendah (32) yang
dikategorikan sebagai negara yang tidak bersih dari korupsi atau berada di zone
merah.
52 Corruption Perception Index 2013,
http://www.ti.or.id/index.php/publikation/2013/12/03/corruption perception index
67
BAB VI. PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
MENJERAKAN
Di depan telah diuraikan beragamnya faktor faktor penyebab korupsi serta
akibat negative yang ditimbulkannya. Beragamnya faktor penyebab korupsi, serta
efek penghancuran yang luar biasa terhadap suatu bangsa sebagai akibat perilaku
koruptif yang makin meluas dan sistimatis, mengakibatkan bahwa pemberantasan
korupsi tidak pernah tuntas.
Bangsa Indonesia meskipun telah memiliki perundang-undangan tentang
pemberantasan korupsi, aparatur penegak hukum, bahkan memiliki Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum berhasil memberantas korupsi
yang semakin akut tersebut, terbukti menurut Lembaga transparency international,
tingkat korupsi di indonesia berada pada tataran negara dengan tingkat korupsi
yang tinggi.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ada pandangan yang
mengatakan bahwa upaya yang paling tepat adalah dengan menghukum seberat-
beratnya pelaku korupsi. Pandangan seperti itu memperoleh pembenaran
sebagaimana dipraktikkan di beberapa negara antara lain, Negara Tiongkok yang
menghukum koruptor dengan hukuman mati. Hukuman yang keras tanpa
kompromi juga dilakukan di negara Singapura, Hongkong, Malaysia, sehingga
CPI negara-negara tersebut meningkat seperti diuraikan di depan.
Indonesia sudah mulai menerapkan sanksi pidana berat belakangan ini,
bahkan Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S
Langkun mengatakan selama tiga tahun terakhir, pemberantasan korupsi di
Indonesia mengalami peningkatan.Peningkatan yang terjadi, ada pada jumlah
kasus yang ditangani maupun actor yang ditetapkan sebagai tersangka, baik di
Komisi pemberantasan korupsi, maupun di kepolisian dan Kejaksaan.53
Walaupun dengan upaya-upaya sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia
belum mampu memperbaiki peringkat CPI secara signifikan, dan masih bercokol
di urutan 144 dari 177 negara-negara korup dunia. Menurut hemat penulis, hal
53 Ibid, diakses tanggal 10.02.2014
68
tersebut berkaitan dengan maraknya korupsi di sector politik yang dilakukan
kalangan oknum DPRRI, DPR Provinsi, Kabupaten/Kota, elit-elit artai Politik,
kalangan Penegak Hukum, maupun kalangan swasta yang telah merampas hak-
hak sosial, dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan segala cara atau modus
operandi, koruptor baru juga terus bermunculan, sepertinya tidak pernah takut,
sekalipun koruptor sebelumnya telah dijatuhi hukuman berat.
Namun demikian, realitas menunjukkan masih adanya sanksi pidana yang
dijatuhkan hakim yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sanksi
pidana dianggap rendah, remisi terhadap koruptor, fasilitas terpidana korupsi di
Lembaga pemasyarakatan yang mudah dibeli, pejabat birokrasi yang menjadi
tersangka bahkan diangkat kembali sebagai pejabat struktural, bahkan dilantik
sebagai Walikota. Semuanya itu sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itu di tengah kegeraman masyarakat terhadap korupsi,
berkembang pula wacana tentang pentingnya sanksi pidana yang seberat-beratnya,
termasuk hukuman mati, pencabutan kewarganegaraan Indonesia, pemberian
label koruptor terhadap rumah para koruptor,termasuk sanksi sosial, dan sanksi
adat.
Berkaitan dengan itu, menarik untuk dicatat pandangan Akil Mochtar
sesaat setelah dilantik sebagai Ketua KPK yang mengatakan agar koruptor
dijatuhi hukuman potong tangan. Pandangan tersebut menurut hemat penulis
hanya sebatas wacana belaka, dan tidak menjadi sarana pencegahan khusus,
apalagi menimbulkan efek jera bagi dirinya sendiri. Sungguh ironis beberapa
bulan kemudian justru dia sendiri terlibat kasus korupsi, dan mengantarkannya
menyandang status sebagai terpidana seumur hidup.
Merupakan realitas pula mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum ketika disebut-sebut terlibat kasus megaproyek Hambalang, dengan
lantang mengatakan “kalau Anas menerima uang satu rupiah saja dari proyek
Hambalang gantung Anas di Monas”. Menurut hemat penulis, ucapan Anas
tersebut sebatas menjadi pembenaran bagi dirinya sendiri di tengah kegeraman
publik terhadap korupsi selama ini. Ucapan Anas tersebut tidak akan mengurangi
nilai yuridis yang ada, terbukti pula kini menyandang status terdakwa. Namun
69
demikian, terlepas dari wacana yang berkembang, hal itu mengindikasikan pula
akan pentingnya sanksi pidana berat terhadap koruptor.
Dalam perkembangan penegakan hukum terhadap koruptor di Indonesia
patut diapresiasi tentang diterapkannya sanksi pidana berat berupa pidana penjara
selamam 20 tahun terhadap Urip Tri Gunawan,dan di tahun 2013 disusul dengan
sanksi pidana berat terhadap Angelina Pinkan Sondakh, Djoko Soesilo, Ahmad
Fatonah, Lutfi Hasan Ishak. Tentu sejalan dengan rasa keadilan masyarakat,
penerapan sanksi pidana berat terhadap para koruptor perlu diterapkan secara
konsisten.
Di samping upaya pemberantasan korupsi melalui sanksi pidana, patut
pula dicatat, munculnya gagasan mantan Jaksa agung Sukarton Marmosudjono
pada tahun 1989 mengenai penayangan koruptor di televise. Gagasan tersebut
merupakan salah satu bentuk sanksi moral, sehingga diharapkan akan timbul rasa
jera bagi yang lainnya agar tidak melakukan tindak pidana korupsi di masa
datang.54
Gagasan yang baik tersebut tidak kunjung terrealisasi, bahkan korupsi,
kolusi, dan nepotisme ketika itu makin merajalela.
Penayangan koruptor baru menjadi realitas, ketika Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk pertama kalinya mewajibkan tersangka koruptor mengenakan baju
tahanan KPK berwarna putih sebagai bentuk tekanan moral terhadap tersangka,
sekaligus untuk menimbulkan efek jera kepada setiap orang agar tidak melakukan
tindak idana korupsi.Kini warna baju tahanan tersangka korupsi berwarna orange
yang setiap saat telah menghiasi media elektronik maupun cetak di Indonesia.
Penulis berpandangan, bahwa penayangan koruptor melalui media massa
elektronik maupun cetak, merupakan salah satu bentuk kampanye anti korupsi,
sarana efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku koruptif pejabat publik,
sekaligus sebagai sarana informasi dan edukasi bagi masyarakat akan bahaya
korupsi. Dengan demikian media massa akan dapat memerankan dirinya sebagai
sarana control sosial dan pendidikan yang efektif dalam pencegahan tindak pidana
korupsi, baik secara khusus, maupun umum.
54 Ilham Gunawan, op.cit, h.1
70
Hal tersebut bersesuaian dengan pandangan G.Peter Hoefnagels, yang
mengatakan kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan
istilah “politik criminal” dibedakan sebagai berikut :
1. Criminal law application (kebijakan penerapan hukum pidana);
2. Prevention without punishment (kebijakan pencegahan tanpa hukum
pidana);
3. Influencing views of society on crime and punishment/mass media
(kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat media massa).55
Dengan demikian menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan
secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal”(hukum pidana), dan
lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana).
Selanjutnya dikatakan, secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat
“repressive” (penindasan, pemberantasan, penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur “non penal”lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan, pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada
hakekatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.56
Mengingat penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal”lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, dalam
hal ini korupsi. Faktor faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-
masalah atau kondisi-kondisi sosial yang langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan( dalam hal ini korupsi,
tambahan dari penulis). Dengan demikian menurut Barda Nawawi Arief, upaya
non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik
Kriminal.
55 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h 47-48 56 Ibid,h.49
71
Berkaitan dengan itu, Muladi mengatakan “kita dapat mengacu pada
pandangan luas dan sempit tentang penanggulangan kejahatan.Pandangan luas,
penanggulangan kejahatan diartikan sebagai kebijakan criminal (criminal policy)
yang di dalamnya tercakup sistem peradilan pidana dan “prevention without
punishment”, sedangkan pandangan sempit,melihat penanggulangan kejahatan
semata-mata sebagai usaha-usaha pencegahan kejahatan tanpa menggunakan
hukum pidana”57
Berdasarkan uraian di atas, maka akan diuraikan upaya upaya
penanggulangan tindak pidana korupsi dari jalur penal dan non penal, sebagai
berikut :
1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Jalur Penal.
Politik criminal (Criminal Policy) sebagai usaha rasional masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakakukan baik melalui
sarana penal maupun sarana non penal, kedua sarana ini (penal dan non penal)
merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan
dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan
kejahatan masyarakat.
Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya secara operasional
dilakukan melalui langkah-langkah: Perumusan norma-norma hukum pidana,yang
di dalamnya terkandung adanya unsur substantif, struktural dan kultural
masyarakat dimana sistem hukum pidana itu diberlakukan.Sistem hukum pidana
yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara operasional bekerja lewat suatu
sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).58
Selain itu, Muladi juga mengatakan “Dengan tujuan jangka pendek untuk
resosialisasi, tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan
jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, maka sistem peradilan pidana
57 Muladi(2),1997, Hak Asasi Manusia,Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h.96 58 Muladi(3), 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, h.vii
72
merupakan primadona untuk selalu menjadi tumpuan harapan dalam pengendalian
kejahatan59
.
Sistem Peradilan Pidana sebagai tumpuan harapan dalam penanggulangan
tindak pidana korupsi telah ditandai dengan optimalisasi upaya upaya penal dalam
penaggulangan tindak pidana korupsi. Hal itu antara lain tampak pada tuntutan
pidana maksimal oleh KPK dan Jaksa Penuntut Umum dalam upaya untuk
menimbulkan efek jera terhadap koruptor. Pada tingkat pengadilan telah pula
ditunjukkan dengan penjatuhan pidana maksimal terhadap para koruptor, antara
lain seperti Angelina Sondakh, Djoko Soesilo, Ahmad Fatonah, Lutfi Hasan
Ishak dan sederet koruptor lainnya. Selain sanksi pidana penjara, pidana denda,
pidana pengganti kerugian negara, penyitaan aset hasil korupsi, bahkan terhadap
Djoko Soesilo ditambah hukum tambahan berupa pencabutan hak memilih dan
dipilih dalam jabatan publik.
Upaya penanggulangan melaui jalur penal tersebut di atas, tidak memberikan
hasil maksimal berupa turunnya tingkat korupsi di Indonesia, bahkan realitas
menunjukkan bahwa kasus-kasus korupsi muncul setiap saat, seperti tertangkap
tangannya Gubernur Riau Anas Makmun, Bupati Kerawang Ade Swara denga
istri atas dugaan menerima suap, di tengah gencarnya penegak hukum melakukan
pemberantasan korupsi. Hal itu menunjukkan bahwa pelaku korupsi tidak pernah
jera atau takut akan sanksi maksimal yang diterapkan selama ini.
Hal ini ditambah pula dengan kenyataan bahwa spirit dan semangat diantara
sub sistem dalam sistem peradilan pidana itu sendiri tidak sama. Hal ini dapat
dilihat, antara lain ketika tuntutan Jaksa KPK, maupun Jaksa Penuntut umum
terhadap tindak pidana korupsi dengan pidana maksimal, ternyata sanksi pidana
yang diputus hakim justru rendah. Hal itu diperparah lagi dengan kenyataan
adanya pemberian remisi, dan penerapan pidana bersyarat kepada terpidana
korupsi yang tidak sejalan dengan upaya menimbulkan efek jera terhadap
koruptor.
59 Muladi(2), op-cit, h.97
73
Bertolak dari uraian di atas,upaya penanggulangan melalui jalur penal
sesungguhnya memiliki “keterbatasan” dan mengandung beberapa “kelemahan”
(sisi negative) sehingga fungsinya seharusnya digunakan secara subsidair.
Menurut Barda Nawawi Arief, keterbatasan dan kelemahan tersebut adalah :
a. dilihat secara dogmatis,sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling
tajam dalam bidang hukum,sehingga harus digunakan sebagai ultimum
rimedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain
sudah tidak dapat digunakan lagi)
b. dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya
menuntut biaya yang tinggi.
c. sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengandung
efek sampingan yang negative. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload
Lembaga pemasyarakatan.
d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan “kurieren am symptom” (menyembuhkan gejala), ia hanya
merupakan pengebotan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena
sebab sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan
hukum pidana;
e. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem)dari sarana
control sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai
masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
f. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan indifidual/personal;tidak
bersifat structural atau fungsional;
g. Efektivitas pidana (hukuman ) bergantung pada banyak faktor dan masih
sering diperdebatkan oleh para ahli;
2. Penegakan Hukum Melalui Jalur Non Penal
Telah diuraikan di muka, bahwa penanggulangan tindak pidana korupsi dapat
dilakukan dengan sinergitas antara penanggulangan melalui jalur penal dan non
penal. Namun demikian Barda Nawawi Arief mengatakan “dilihat dari sudut
74
politik criminal secara makro dan global, maka upaya upaya non penal menduduki
posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal”.60
Hal tersebut ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, yakni:
a. Kongres PBB ke 6 Tahun 1980 di Caracas Venezuela yang dalam
pertimbangan mengenai “Crime trends and crime prevention
strategies” anatar lain menyatakan “bahwa strategi pencegahan
kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi
kondisi yang menimbulkan kejahatan”
b. Pada Kongres ke 7 Tahun 1985 di Milan,Italia,anatara lain ditegaskan
di dalam pertimbangan Resolusi No.22 mengenai “Crime prevention in
the contex of development” antara lain ditegaskan bahwa “kebijakan
kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus
mempertimbangkan sebab-sebab structural,termasuk sebab-sebab
ketidak adilan yang bersifat sosio ekonomi,di mana kejahatan sering
hanya merupakan gejala/symptom”
c. Pada Kongres PBB ke 8 Tahun 1990 di Havana Kuba, antara lain
ditegaskan dalam dokumen A/CONF. 144/L. 17 (mengenai “Social
aspects of crime prevention and criminal justice in the context of
development”) menyatakan “bahwa aspek aspek sosial dari
pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran
strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam konteks
pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama”.
Berdasarkan beberapa Kongres PBB tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan
sebab sebab struktural, termasuk sebab sebab ketidakadilan yang bersifat sosial
ekonomi,dan penghapusan sebab-sebab dan kondisi kondisi yang menimbulkan
kejahatan.61
60 Ibid,h.49 61 Ibid, h. 50-52
75
Dalam kontek Indonesia faktor faktor penyebab kejahatan dalam hal ini tindak
pidana korupsi, mencakup sebab sebab yang cukup luas,baik di bidang politik,
hukum, ekonomi, dan budaya.
Mengacu pada pengertian penanggulangan kejahatan melalui jalur non
penal yang leih menitik beratkan pada sifat (pencegahan, penangkalan,
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi, maka dapat dikemukakan beberapa
upaya penanggulangan korupsi melalui jalur non penal sebagai berikut;
2.1. Peningkatan Peran \Serta Masyarakat.
Hal ini diatur dalam bab V Undang Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang
peran serta masyarakat,bahkan memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan,
atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
Pasal 41 ayat (1) menentukan: “ Masyarakat dapat berperan serta membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari,memperoleh,dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,memperoleh,dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak
pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c;
76
2) diminta hadir proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai
ketentuan perundang-udangan yang berlaku
3) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah
dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, peran serta masyarakat membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi belum terlaksana secara optimal, karena
beberapa faktor:
1. Adanya pandangan bahwa upaya pemberantasan dan peanggulangan
korupsi merupakan tanggung jawab negara,pada hal tanpa peran serta
masyarakat korupsi tidak mungkin diberantas secara optimal.
2. Ketakutan menjadi saksi karena akan merepotkan dan mengeluarkan biaya
tinggi.
3. Masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik
melakukan fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus
korupsi, padahal Indonesia telah memiliki Undang undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu menurut
Lembaga Transparency Internasional di beberapa negara, pasal pasal
mengenai fitnah dan pencemaran nama baik tidak dapat diberlakukan
untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran bahwa
bahaya korupsi dianggap lebih besar daripada kepentingan individu.
4. Tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebgaimana dimaksud dalam Pasal
41 yat (2) huruf e. angka 5) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian pengalaman
menunjukkan bahwa keluhan, saran masyarakat tersebut sering tidak
ditanggapi dengan baik dan benar oleh pejabat yang berwenag,walaupun
telah diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran
77
atau pendapat diterima sesuai yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Pemerintah tersebut.
Peran serta masyarakat sangat penting untuk memastikan bukan
saja dukungan publik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,
tetapi sekaligus pula agar upaya penanggulangan dan pemberantasan
korupsi itu sesuai dengan harapan dan rasa keadilan masyarakat. Dengan
demikian diharapkan kesadaran masyarakat untuk bersinergi dengan
penegak hukum dan pemangku kepentingan lainnya dapat dilakukan
secara optimal sebagai salah satu bentuk upaya penanggulangan korupsi
melalui jalur non penal.
2.2. Peran Pers/Media Massa
Pers Indonesia menurut Pasal 3 Undang Undang Nomor 40 Tahun
1999
tentang Pers, mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan control sosial.
Pers Indonesia dimasa reformasi ini berbeda dengan Pers di era Orde
Baru. Di era Orde Baru Pers Indonesia tidak memiliki kebebasan penuh
untuk melakasanakan tugas dan fungsinya, karena selalu dihantui dengan
pembredelan, apabila tidak sejalan dengan pandangan pemerintah yang
otoriter ketika itu.
Di era Reformasi Pers Indonesia mulai menapaki iklim Pers yang
Bebas dan Bertanggung Jawab, tanpa dihantui pembredelan seperti di era
Orde Baru.Melalui Pers yang bebas dan bertanggung jawab itu,bangsa
Indonesia memperoleh sajian informasi akurat tentang kehidupan dalam
berbagai aspeknya, termasuk informasi tentang tindak pidana korupsi.
Pers dengan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan
control sosial tidak henti-hentinya menyiarkan dan memberikan informasi
manakala berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Masyarakat
memperoleh informasi, baik mengenai tertangkap tangannya terduga
tindak pidana korupsi, lengkap dengan rompi orange dan tangan diborgol,
bentuk tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan, jumlah uang yang
78
disita, informasi tentang pasal-pasal yang dilanggar, termasuk ancaman
sanksi pidananya.
Bertolak dari uraian ringkas tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
a. Pers memberikan informasi begitu banyak kepada masyarakat
tentang bahaya korupsi, sebagai sarana pencegahan umum maupun
khusus;
b. Pers yang bebas dan bertanggung jawab berfungsi sebagai alat
kampanye anti korupsi, serta bahaya korupsi terhadap masyarakat
dan bangsa Indonesia.
c. Pers sebagai alat control sosial menjadi sarana pengawasan efektif
terhadap pejabat publik, korporasi, dan masyarakat.
Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 6 huruf d yang
menentukan Pers “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Selain itu, Pasal 6 huruf e menentukan Pers “memperjuangkan keadilan
dan kebenaran.”Bahkan menurut Pasal 17 ayat (1) “Masyarakat dapat
melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan”. Dengan demikian
Pers memiliki landasan hukum yang kuat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berkaitan dengan pengawasan Pers tersebut, relevan kiranya
pandangan Henry Grunwald Pemimpin redakasi Time yang menyatakan
bahwa ”pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan patuh sekalipun,
dapat dengan mudah menjadi pemerintah yang korup apabila
kekuasaannya tidak diawasi oleh pers yang bebas
2.3 Peran Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM).
Sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) memainkan peran penting dalam rangka
pencegahan dan pengawasan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam
79
pengawasan lingkungan hidup,pemerintahan,parlemen,peradilan dan
sebaginya. LSM tersebut tumbuh dan berkembang baik pada tataran
internasional, nasionl, maupun local/daerah.
Di Indonesia sejak bergulirnya reformasi telah muncul berbagai LSM
seperti, Indonesia Coruption Watch (ICW), Parlemen Watch, Police
Watch dan berbagai LSM lainnya dalam mengawasi pejabat publik baik
perbuatan pemerintah, Parlemen, dan lembaga peradilan. Pada tingkat
lokal/daerah telah berdiri LSM yang juga mempunyai fungsi yang sama,
termasuk Bali dengan Bali Corruption Watch. Di Perguruan Tinggi berdiri
pula Pusat Kajian Korupsi yang melakukan kajian kritis terhadap tindak
pidana korupsi.
Di samping itu terdapat pula gerakan Lembaga Swadaya Internasional,
yakni:
a) Transparency International (TI) merupakan organisasi internasional
non pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil
penelitian mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan
korupsi politik di tingkat internasional.Sejak tahun1995 Transparency
Internasional (TI) mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi
(Corruption Perception Index). CPI membuat peringkat tentang
prevalensi korupsi di berbgai negara, berdasarkan survey yang
dilakukan terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat yang
diterbitkan setiap tahun dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia.
CPI disusun dengan member nilai atau score pada negara-negara
mengenai tingkat korupsi dengan range nilai antar 1-10. Nilai 10
adalah nilai yang tertinggi dan terbaik sedangkan semakin
rendahnilainya,negara dianggap atau ditempatkan sebagi negara-
negara yang tnggi angka korupsinya.62
62 Ibid, h.109
80
b) TIRI.
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen
internasional non pemerintah yang berkedudukan di London dan
mmiliki kantor perwakilan di beberapa negara, termasuk di Jakarta.
Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat
jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum
Pendidikan integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan
Tinggi. Jaringan ini di Indonesia disngkat dengan nama I-IEN yang
kepanjangannya adalah Indonesian Integrity Education Network. TIRI
berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan kurikulum Pendidikan
Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa dapat
mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa.63
Menurut hemat penulis, sinergitas LSM nasional Indonesia dengan
gerakan LSM Internasional di atas, akan dapat membantu Indonesia
melakukan upaya-upaya non penal terhadap korupsi. Melalui jejaring
internasional, maka hasil korupsi yang selama ini dengan mudah
dilarikan ke luar negeri akan dapat dicegah atau ditangkal lebih dini.
1.4 Pendidikan Agama
Pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi perlu
dilakukan dengan pendekatan religious dan pendekatan identitas sosial
budaya. Pendidikan agama dan pencerahan nilai-nilai keagamaan yang
efektif sangat penting dan strategis dalam memperkuat kembali
keyakinan dan kemampuan untuk mengikuti jalan kebenaran dan
kebaikan. Melalui pendidikan dan pencerahan nilai-nilai agama yang
efektif diharapkan akan terbinanya pribadi manusia yang sehat
jiwa/rohaninya, sekaligus terbinanya keluarga dan lingkungan sosial
yang lebih luas.
2.5. Membina dan meningkatkan efektivitas “extra legal sistem” atau
“informal sistem” yang ada dalam masyarakat dalam penanggulangan
63 Ibid,h.110
81
tindak pidana korupsi, anatara lain kerjasama dengan organisasi soaial
keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya.
Upaya-upaya yang berkaitan dengan meningkatkan extra legal sistem
tersebut, antara lain melalui:
a) pendidikan tentang bahaya korupsi sejak dini mulai Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan penyusunan kurikulum
anti korupsi pada semua jenjang pendidikan, termasuk
Pendidikan Tinggi;
b) pencegahan dan penanggulangan korupsi dengan pendekatan
berbasis nilai-nilai keluarga;
c) kerjasama dengan Perguruan Tnggi baik Negeri maupun
Swasta,melalui kajian kritis baik dalam bentuk seminar,maupun
penelitian
d) pembuatan dan penayangan Film Anti Korupsi kepada
masyarakat secara terncana dan terprogram untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide gagasan tentang pidana yang
menjerakan bagi koruptor relevan dikemukakan sebagai bagian dari upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi, sekaligus memastikan bahwa koruptor
akan kapok untuk mengulangi perbuatan jahatnya, sekaligus mencegah pelaku
potensial untuk tidak melakukan korupsi.
Di muka telah diuraikan tentang indikator efek jera sebagaimana
ditegaskan oleh KPK, yang meliputi antara lain, tuntutan pidana yang tinggi,
memiskinkan koruptor secara aktif dan progresif, penerapan pidana pengganti dan
memnuntut pencabutan hak hak politik, dan penegakan hukum yang professional
dan berintegritas tinggi.
Komitmen KPK dan penegak hukum lainnya untuk mewujudkan sanksi
pidana yang menjerakan tersebut, perlu terus dilaksanakan secara konsisten tanpa
pandang bulu dengan tetap memadukan dengan upaya-upaya yang bersifat non
penal.
82
Prinsip penegakan hukum yang konsisten tanpa pandang bulu pernah
dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung Inggris pada tahun 1769, yang
berseru “let justice be done though the heavens fall” yang terjemahan bebasnya
dapat diartikan ( Biarkanlah Keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh).
Selain itu, keadilan yang diekspresikan dalam symbol “Dewi Yustisia
dengan Mata Tertutup”, mengandung makna bahwa dalam menegakkan keadilan
harus dilakukan tanpa pandang bulu atau tidak pilih kasih. Istilah terkini sering
pula diungkapkan dalam istilah “tidak tebang pilih”.
Bertolak dari uraian di atas, maka peraturan perundang-undangan yang
cukup banyak telah mengurung para koruptor, seyogyanya diterapkan dengan
tetap memperhatikan sinergitas antara upaya upaya penangulangan baik penal
maupun non penal. Hal itu perlu pula didukung dengan bekerjanya sistem
peradilan pidana yang integrative antara sub sistem Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, lembaga Pemasyarakatan, KPK, termasuk Penasihat hukum.
Upaya penanggulangan penal dan non penal sebagi satu kesatuan masih
mengalami kendala pada ranah praktis yang tidak sinkron dengan penegakan
hukum yang mendahuluinya, baik pada tataran penyidikan perkara, penuntutan,
bahkan pada saat putusan pengadilan, termasuk putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Beberapa kenyataan menunjukkan hal itu,
antara laian:
a) terungkapnya Gayus Tambunan ketika masih berstatus tersangka
menonton kejuaraan tenis di Nusa Dua Bali;
b) terungkapnya terpidana korupsi Artalita Suryani menggunakan fasilitas
mewah di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang;
c) pemberian remisi dan pidana bersyarat kepada koruptor yang tidak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat;
d) belum kembalinya harta kekayaan koruptor yang dilarikan ke luar
negeri, sementara pelakunya belum tertangkap.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus-kasus
korupsi masih ditandai dengan kenyataan yang tidak sejalan, bahkan bertentangan
dengan prinsip-prinsip kesamaan dalam hukum (equity before the law). Hal
83
tersebut membenarkan opini masyarakat yang berkembang selama ini bahwa
“hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas”, ”hukum itu hanya untuk orang yang
tidak punya uang”, ”hukum itu dapat dibeli”, “hukum itu tebang pilih” dan
sebagainya.
Bertolak dari hal-hal di atas, maka upaya mengimplementasikan pidana
yang menjerakan koruptor, menurut penulis perlu dilakukan hal-hal sebagai
beikut:
a) penegak hukum konsisten dengan tuntutan dan penerapan pidana yang
maksimal sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b) pemiskinan koruptor secara aktif dan progresif melalui langkah langkah
hukum yang pasti dan terukur agar terus digalakkan sampai koruptor tidak
berdaya dan jera.
c) Penerapan pidana pengganti yang besarnya sama dengan hasil korupsi,dan
pencabutan hak-hak politik;
d) ke depan perlu dipikirkan pengaturan dan penerapan sanksi adat,dan
sanksi sosial lainnya untuk lebih menjerakan para koruptor,sekaligus
menimbulkan budaya malu sebagai salah satu cara pencegahan khusus dan
pencegahan umum.
e) Dalam rangka meminimalisir perilaku koruptif, maka upaya upaya non
penal sebagai bagian dari politik sosial negara perlu ditingkatkan secara
konsisten, melalui kerjasama dengan berbagai lembaga agama,
pendidikan, Pers/media massa. LSM, dan ektra legal sistem lainnya. Hal
itu dilakukan untuk menghilangkan faktor faktor yang menjadi kausa atau
penyebab terjadinya korupsi.
f) Meningkatkan fungsi pengawasan terhadap pejabat publik/penyelenggara
Negara, baik melalui pengawasan internal oleh pemerintah, maupun
pengawasan eksternal oleh masyarakat (pengawasan social) seperti pers,
LSM, mahasiswa disertai perlindungan hukum dan penghargaan (rewards)
84
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abidin, Zainal, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan,Dalam Rancangan
KUHP,ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Ali, Mahrus (1), 2011, Dasar Dsar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
_______(2), 2013, Asas, Teori, & Praktik Hukum Pidana Korupsi,UPI
Press,Yogyakarta.
Arief, Barda Nawawi (1), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Penerbit, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______(2), 1994, Kebijakan Legislatif Dalam penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
_______(3), 2001,Masalah Penegakan Hukum & Dan Kebijakanan
Penanggulanga kejahatan, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti,Bandung.
Atmasasmita, Romli,1996,Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme,Cetakan kedua,Penerbit:Binacipta, Bandung.
Azizy,A Qodri, 2007, Change Management, Cetakan Pertama, Penerbit: PT
Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6,PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Flechter, George, P, 1998, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University
Press, New York.
Gunawan, Hilman, 1990, Postur Korupsi Indonesia, Tinjauan Yuridis, Sosiologis,
Budaya Dan Politis, Penerbit: Angkasa, Bandung.
Hamzah, Andi (1), 1984, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya,
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta.
_______(2), 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Cetakan Pertama, Penerbit: PT Pradnya Paramita Jakarta.
85
Husein, Yunus, 2008, Negeri sang pencuci Uang, Cet. 1,Jakarta, Pustaka Juanda
Tigalima.
Yuhaya S, Praja, 2011, Teori hokum dan Aplikasinya,Bandung, Cetakan Pertama,
CV Pustaka Setra.
Marpaung, Leden, 2005, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.
Muladi, dan Arief, Barda Nawawi (1) , Teori – Teori Dan Kebijakan Pidana,
Penerbit: Alumni, Bandung.
_______(2), 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
Badan penerbit: Universitas Diponegoro, Semarang.
_______(3), 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit;
Universitas Diponegoro, Semarang.
Poernomo, Bambang (1), 1978, Asas Asas Hokum Pidana, Penerbit: Ghalia
Indonesia, Jakarta.
_______(2), 1982, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Penerbit: Bina
aksara, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, Editor Karolus kopong Medan, Frans S. Rangka, 2003, Sisi
Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Reid, Sue Titus, Criminal Justice,Procedur ang Issues, West Pubhlising Company,
New York.
Sahetapy, J.E, 1981, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati
Terhadap Pembunuhan Berencana, Penerbit: CV Rajawali, Jakarta.
Said, M Mas’ud, 2007, Birokrasi Di Negara Birokratis Makna,Masalah dan
Dekonstruksi Birokrasi Indonesia,Cetakan pertama, Penerbit:Universitas
Muhammadiyah Malang,
Soemarsono, H, Manthovani Reda, 2004, Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang di Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit: CV Malebu,
Jakarta.
Sholehuddin, M, 2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya, Penerbit: PT Raja grafindo Persada,
Jakarta.
86
Sianturi, S.R,1996, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Sudarto (1), 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbir: Alumni, Bandung.
_______(2), 1981, Kapita Selekta hokum Pidana, Penerbit: Alumni, Bandung.
______ (3), 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat. Kajian
terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit:
Walker, Negel, 1971, Sentensing n a Rational Society, First American Edition,
Basic Boks Inc Pubhliser, New York.
Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Wiyono, R, 2008, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Edisi kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.
Zulfa, Eva Achjani, Senoaji Indrianto, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
Penerbit: CV Lubuk Agung, Cetakan I, Bandung.
PERATURAN PERUNDNG-UNDANGAN:
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 24 (prp) tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih, Bebas Dari Praktik Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation
Convention Against Corruption,2003.
Undang undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
Yang Terorganisasi).
87
INTERNET :
Publikasi Transparency International,http:www.ti.or.id/ index. Php/ publication/
2013/12/03.
JPNN.com. Indo post JPPN Group, diakses 15/2/2014, jam 17.47. wita.
Corruption Perception Index 2013-Publikasi-Transparency International
http:/www.ti.or.id/index.php/publication/2013/12/03.
88