EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

88
1

Transcript of EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

Page 1: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

1

Page 2: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

2

EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

KATA PENGANTAR

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………….1

BAB II. PENGERTIAN EFEK JERA DAN

PEMISKINAN………………………..5

1. Istilah……………………………………….……….……………………

……. 5

2. Pengertian Efek

Jera……………..…………………………………………….6

2.1 Secara

Etimologis…………………………………………………...6

2.2 Secara Terminologis atau

isinya…………………………………...7

3. Pengertian

Pemiskinan…………………………………………………………9

BAB III TEORI TEORI DAN TUJUAN

PEMIDANAAN…………………………17

1. Pengertian

Pidana……………………………………………………………17

2. Tujuan

Pemidanaan………………………………………………………….19

2.1 Teori

Absolut………………………………………………………21

2.2 Teori Relativ atau Teori

Tujuan…………………………………25

2.3 Teori

Gabungan……..……………………………………………29

BAB IV. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM PIDANA

POSITIF

Page 3: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

3

INDONESIA……………………………………………………………

…….37

1. Istilah dan Pengertian

Korupsi……………………………………………...37

2. Bentuk-bentuk

Korupsi……………………………………………………...51

BAB V. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK TINDAK

PIDANA

KORUPSI………………………………………………………………

…….71

1. Faktor-faktor Penyebab

Korupsi…………………………………………..71

1.1. Faktor

Politik…………………………………………………………..71

1.2. Faktor

Hukum…………………………………………………………74

1.2.1. Aspek Perundang-

undangan………………………………….74

1.2.2. Aspek Penegakan

Hukum…………………………………….77

1.3. Faktor

Ekonomi……………………………………………………….81

1.4. Faktor

Budaya…………………………………………………………82

1.5. Faktor

Birokrasi……………………………………………………….83

2. Dampak Tindak Pidana

Korupsi…………………………………………...85

Page 4: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

4

BAB VI. PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG

MENJERAKAN……………………………………………………

…88

1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Jalur

Penal……….......................................................................................................

.....92

2. Penegakan Hukum Melalui Jalur Non

Penal…………………………………...94

a. Peningkatan Peran \Serta

Masyarakat……………………………96

b. Peran Pers/Media

Massa…………………………………………...98

c. Peran Lembaga Swadaya Mayarakat

(LSM)…………………….99

d. Pendidikan

Agama………………………………………………...101

DAFTAR

PUSTAKA………………………………………………………………...105

Page 5: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

5

I. PENDAHULUAN

Harapan masyarakat Indonesia akan hadirnya hukuman berat,

menjerakan, dan memiskinkan koruptor belakangan ini semakin mengemuka.

Harapan tersebut tidak henti-hentinya disuarakan berbagai kalangan

masyarakat, baik oleh mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, pers,

pemerintah, lembaga legislatif, bahkan oleh partai politik melalui jargon-

jargon politikya untuk memberantas korupsi.

Harapan tersebut ibarat fatamorgana yang tampaknya indah akan

tetapi hanya sebuah bayangan yang sulit diwujudkan. Masyarakat bahkan

dihadapkan pada kenyataan adanya koruptor yang dijatuhi pidana minimal,

sehingga para koruptor dapat menikmati hasil korupsinya dengan tenang.

Di media terungkap pula terdakwa korupsi berakting, melambaikan

tangan seolah-olah tanpa beban, padahal yang dihadapi merupakan kejahatan

yang luar biasa (extra ordinary crime). Di Lembaga Pemasyarakatan hukum

terbeli oleh terpidana untuk mendapatkan fasilitas mewah melampaui batas-

batas kepatutan dan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

Deskripsi tersebut tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat.

Namun demikian, di akhir tahun 2013 Pengadilan Tipikor

memberikan angin segar dengan dijatuhkannya hukuman pidana maksimal

terhadap Angelina Pinkan Sondakh dan Irjen Pol Djoko Susilo. Terhadap

Angelina Pinkan Sondakh hukuman pidananya diperberat oleh Mahkamah

Agung dari yang semula empat tahun enam bulan menjadi 12 tahun, denda Rp

500 juta subsider delapan bulan kurungan, hukuman pengganti kerugian

Negara 40 miliar. Bahkan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo Putusan Pengadilan

Tipikor Jakarta tanggal 3 September 2013 menjatuhkan pidana penjara 10

tahun, denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan, dan harta kekayaan

senilai Rp 200 miliar yang menjadi barang bukti disita Negara. Di tingkat

banding putusan Pengadilan Tipikor Jakarta oleh Pengadilan Tinggi DKI

tanggal 18-12-2013 diperberat menjadi pidana penjara 18 tahun, denda satu

miliar subsider satu tahun kurungan , membayar uang pengganti Rp 32 miliar

Page 6: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

6

subsider lima tahun penjara, barang bukti senilai Rp 200 miliar yang sudah

ditetapkan Pengadilan Tipikor dirampas untuk Negara, menyita rumah seluas

377 meter persegi di Tanjung Barat Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan,

menyita dua mobil Toyota avansa, dan Mencabut hak memilih dan dipilih

dalam jabatan publik.

“Putusan hakim banding tersebut patut kita apresiasi di tengah

kegeraman publik terhadap vonis hakim korupsi yang tidak

menjerakan.Kegeraman publik seperti itu, mengemuka pula di kalangan

hakim seperti dikemukakan Ketua Majelis Banding perkara Irjen Djoko

Susilo yakni Roki Panjaitan yang mengatakan “Kami ingin mendorong

adanya perspekif baru dalam semangat pemberantasan korupsi, yaitu

menimbulkan efek jera.

Tuntutan masyarakat akan hadirnya persepektif baru yang lebih

menjerakan terbukti pula dalam kasus mantan Ketua KPK Akil Mochtar

dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Akil Mochtar dituntut

dengan hukuman maksimal, yakni hukuman penjara seumur hidup,

membayar denda Rp 10 miliar, dan hukuman tambahan pencabutan hak

memilih dan diplih dalam jabatan publik

Berkaitan dengan kasus di atas, Busro Muqoddas (Wakil Ketua

KPK) mengatakan “ tuntutan seumur hidup untuk Akil itu diharapkan bisa

menjadi pesan moral penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum

sudah kami suarakan. Tuntutan tinggi itu juga sekaligus sebagai fungsi

preventif (pencegahan). Fungsi preventif itu adalah efek jera agar politikus

melakukan praktik yang benar dalam berdemokrasi”(Jawa Post Senin 30 Juni

2014). Dalam putusan majelis hakim tipikor Jakarta tanggal 30 Juni 2014 Akil

Mochtar dijatuhi pidana penjara seumur hidup, denda Rp 10 miliar.

Putusan majelis hakim tersebut menorehkan sejarah baru dan sangat

responsif, karena untuk pertama kalinya Pengadilan tipikor menjatuhkan

pidana seumur hidup sejak pengadilan tipikor itu dibentuk. Berkaitan dengan

itu, Priya Djatmika mengatakan “Hongkong dan Singapura merupakan negara

yang terbukti berhasil memerangi koruptor secara efektif melalui penerapan

Page 7: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

7

sanksi keras dan tegas.Bahkan lembaga anti korupsi Hongkong yaitu

Independent Commision Aginst Corruption(ICAC) di Hongkong, karena

keberhasilannya memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang tegas,

telah menjadi model pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di adopsi di

Indonesia. Toh tidak berarti telah terjadi zero corruption di Hongkong dan

Singapura. Praktik korupsi tetap terjadi, tapi jauh berkurang.Korupsi tidak lagi

menjadi “kultur”.

Model putusan hakim tersebut di atas membawa implikasi teoritis

maupun praktis. Secara teoritis penanggulangan tindak pidana korupsi tidak

cukup apabila dilakukan secara konvensional saja, namun dibutuhkan pula

cara-cara yang luar biasa.Pendekatan seperti itu menurut Satjipto Rahardjo

disebut pendekatan hukum progresif.

Implikasi praktis ditandai dengan adanya kekhawatiran pencari

keadilan untuk tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, maupun

Kasasi ke Mahkamah Agung Repulik Indonesia karena dipandang sebagai

momok yang menakutkan dengan sanksi pidana berat. Indikatornya menurut

Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam acara Kick Andy di Metro TV 11-2-

2014 adalah adanya beberapa kasus korupsi yang dicabut kembali setelah

pengajuan kasasi, yakni : (1) Kasus Bupati Buwol yang dicabut oleh terpidana

sendiri; (2) Kasus Neneng Sriwahyuni (istri terpidana korupsi Nassarudin)

yang dicabut oleh KPK.

Perspektif baru penghukuman yang lebih menjerakan seperti yang

terus digelorakan masyarakat hingga saat ini, menyangkut pula pemiskinan

terhadap para koruptor. Hal ini disebabkan karena korupsi sejatinya telah

melanggar hak-hak sosial, ekonomi, dan politik masyarakat yang dilakukan

secara terstruktur, dan meluas, yang berimplikasi adanya kemiskian dan

kesengsaraan masyarakat. Karena itus ecara etika moral, dan yuridis

seyogyanya harta benda hasil korupsi tersebut, dikembalikan secara utuh

demi kesejahteraan masyarakat, melalui tindakan hukum berupa penyitaan

dan perampasan atas asset negara yang dikorupsi, pengenaan sanksi denda,

dan hukuman penganti kerugian negara yang besarnya sesuai dengan kerugian

Page 8: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

8

negara. Dengan hukuman yang maksimal diharapkan dapat menimbulkan efek

jera, dan pemiskinan terhadap koruptor.

Bertolak dari hal-hal di atas, diharapkan tulisan ini dapat

memberikan secercah pemikiran dalam upaya pemberantasan korupsi di

Indonesia.Sudah tentu tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik

dan saran-saran yang konstruktif sangat penulis harapkan.

Page 9: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

9

BAB II. PENGERTIAN EFEK JERA DAN PEMISKINAN

1. Istilah

efek jera belakangan ini muncul dalam berbagai diskursus di tengah

masyarakat luas, baik di kalangan kampus, media massa, lembaga

swadaya masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Pemunculan istilah efek jera tersebut tidak bisa dilepaskan dari kegeraman

dan kerisauan masyarakat akibat adanya kesenjangan antara hukum yang

seharusnya dengan hukum dalam kenyataannya (das sollen dan das sein)

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berbagai padanan kata tentang efek jera yang dikenal selama ini

antara lain kata ”tidak berani megulangi perbuatan/kejahatan”, “takut

melakukan perbuatan”. Namun demikian istilah efek jera merupakan

istilah yang paling popular selama ini, bahkan KPK menggunakan istilah

“Efek jera dan terapi kejut”.

Sejatinya istilah efek jera telah dikemukakan oleh para sarjana

sejak jaman Yunani, namun istilah efek jera tersebut tidak ditemukan

dalam perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu istilah efek jera

dicari dalam pandangan para sarjana.

….

Istilah lain yang juga mengemuka dan berkaitan dengan efek jera dalam

rangka pemberantasan tindak pidana korupsi adalah “pemiskinan”.

Menurut Pastika pakar Sastra Indonesia Universitas Udayana, istilah

“pemiskinan” berasal dari akar kata “miskin” yang berarti tidak berharta,

serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Kata miskin secara

etimologis diturunkan dari bahasa Arab “sakana” yang berarti papa,

lemah, melayani dan serba kurang secara ekonomi. Sedangkan

“pemiskinan” berarti menjadikan seseorang atau kelompok orang

menjalani hidup dalam kondisi serba kekurangan. (Wawancra 15 Pebruari

2014).

Page 10: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

10

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Pemiskinan” berarti : (1) hal

(usaha) memiskinkan; (2) Proses, cara perbuatan memiskinkan.

Dalam google com/translate, ditemukan istilah “improverishment”, yang

dapat diartikan “pemiskinan”.

Improverish berarti: (1) To reduce poverty; (2) To make poor in quality,

productiveness exhaust the strength or richness (memperburuk kualitas,

mengurangi wewenang, kekuatan atau kekayaan).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pemiskinan

adalah cara atau upaya menjadikan seseorang atau kelompok orang

menjalani hidup dalam serba kekurangan yakni dengan cara memperburuk

kualitas hidup, mengurangi wewenang, kekuatan atau kekayaan.

2. Pengertian Efek jera.

3.1. Secara Etimologis.

Secara etimologis efek jera terdiri dari dua suku kata. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, efek berarti (1) akibat; pengaruh,

(2) kesan yang timbul pada pikiran penonton, pendengar, pembaca dan

sebaginya (sesudah mendengar atau melihat sesuatu). Sedangkan jera

berarti tidak mau, tidak berani berbuat lagi , kapok1.

Dalam Oxford Dictionary, efek jera diartikan sebagai hal yang

melemahkan, menakutkan, atau hal yang dimaksudkan untuk menakuti

musuh dalam melakukan penyerangan, mampu atau dimaksudkan untuk

menaku-nakuti. Selanjutnya efek jera terhadap kejahatan dapat dilakukan

berupa: penggunaan kamera pengawas/CCTV, persenjataan, hukuman

berat.2

3.2. Secara Terminologis atau isinya.

Hal ini dapat dilihat dari pandangan para sarjana, yakni:

….

1Depatemen Pendidikan Nasional R.I, Pusat Bahasa, 2008, diakses 15 Pebruari 2014

2http://www.oxford dictionaries, com/definition/English/deterrent, diakses 17 Pebruari 2014

Page 11: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

11

Dikaji dari segi sejarah, aspek menakutkan ternyata sudah ada sejak

adanya aspek pembalasan. Bahkan tampaknya aspek itu sudah

dipersoalkan sebelum zaman jayanya aspek pembalasan, yaitu pada

masa Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wihelm Friedrich

Hegel (1770-1831).3

Di samping itu terdapat pula pandangan yang mengatakan, bahwa asal

mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-

mata untuk menakuti si penjahat. Secara diam-diam diharapkan agar

teori menakutkan ini membuat jera para penjahat atau menakutkan

mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat.4

Berdasarkan pengertian efekjera secara etimologis dan terminologis

tersebut di atas, maka dapat disimpulkan efek jera mengandung aspek-

aspek dengan tujuan, sebagai berikut :

a. membuat para penjahat takut, tidak berani berbuat lagi, jera,

atau kapok

b. mempengaruhi atau membuat penjahat potensial takut, tidak

berani untuk berbuat jahat.

c. Mengancam dengan pidana yang berat dalam undang-undang.

e. Bersesuaian dengan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

menetapkan pula kriteria tentang efek jera, yakni dilakukan dengan:

1. Memberikan tuntutan pidana yang tinggi kepada para terdakwa

berupa hukuman badan dan denda pada pelaku.

2. Memiskinkan koruptor secara aktif dan progresif. Menyita

sejumlah harta kekayaan yang dicurigai diperoleh dari kejahatan

untuk diserahkan kepada yang berhak.

3. Terobosan lain yakni penerapan pidana pengganti, menuntut

pencabutan hak politik.

4. Penegak hukum yang professional dan berintegritas tinggi.

3 ibid, hal 214

4 ibid, hal 215

Page 12: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

12

Berdasarkan criteria efek jera tersebut diatas, diharapkan dapat dijadikan

acuan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi efek di

Indonesia.

3. Pengertian Pemiskinan

Sama halnya dengan istilah dan pengertian efek jera, istilah dan

pengertian “pemiskinan” juga tidak ditemukan dalam rumusan undang-

undang. Oleh karena itu perlu dicari dalam ilmu pengetahuan hukum

pidana (doctrin).

Diskursus tentang pemiskinan koruptor makin mengemuka

belakangan ini di tengah kegeraman masyarakat akan minimnya putusan

hakim yang bersifat menjerakan dan memiskinkan koruptor, sementara

korupsi makin merajalela di kalangan pejabat negara, baik di kalang

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, khususnya dilakukan oleh aparat

penegak hukum itu sendiri. Iklim dan semanagat penegakan hukum yang

belum optimal menyebabkan, Indonesia berada dalam jajaran negara

sangat korup terbukti Corruption Perception Index 2013 (Indek Prestasi

Korupsi) Indonesia dengan skor sebesar 32, dan menempati urutan 144

dari 177 negara yang diukur.5

Konsep pemiskinan koruptor mengacu pada prinsip-prinsip dalam

analisis ekonomi atas hukum yang digunakan untuk memcahkan persoalan

hukum pidana, termasuk perkara korupsi. Richard Posner, mengemukakan

bahwa analisis ekonomi atas hukum (economic analys of law) merupakan

penerapan prinsip-prinsip ekonomi terutama konsep pilihan-pilihan

rasional untuk menganalisa persoalan hukum.6

Bagi ekonom, sanksi hukum tidak ada bedanya dengan harga.

Orang-orang merespon keberadaan sanksi hukum sama halnya ketika

merespon keberadaan harga.Mereka akan merespon terhadap harga yang

5publikasi-Transparency International, http://www.ti.or.id/index.php/publikation/2013/ 12/03

6 Richard Posner, 1998, Economic Analysis of Law, Fifth Edition, Aspen Law& Business, New

York, hal 3-4, dalam Mahrus Ali, Op-cit, hal 262

Page 13: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

13

tinggi melalui pengurangan mengkonsumsi makananan-makanan mahal.

Orang-orang akan merespon keberadaan sanksi hukum yang berat dengan

cara melakukan tindakan tindakan yang ancaman sanksi hukum atas

tindakan itu sangat ringan.7

Dalam kontek tindak pidana korupsi, isu pemiskinan terhadap

koruptor sejatinya secara implisit telah diatur dalam Undang Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah berdasarkan Undang Undang

Nomor 20 Tahun 2001. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasal

sebagai berikut:

1) Pasal 18 ayat (1) : Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab

Undang Undang Hukum Pidana sebagai pidana tanbahan adalah:

a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak

berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk

atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk

perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi

digunakan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan

barang barang tersebut;

b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-

banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi;

c) penutupan seluruh atau sebagian perusahan untuk waktu paling

lama 1 (satu) tahun;

d) pencabutan seluruh atau sebagian hak hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,yang

telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Ayat (2). Jika terpidana tidak membayar uang pengganti

sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam

waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya

dapatdisita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti

tersebut.

Ayat (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

menukupi untuk membayar uang pengganti sebagimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang

lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya

sesuai dengan ketentuan dalam undang undang ini dan lamanya

pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

7 Robert Cooter& Thomas Ulen, 2000, Law and Economics, Third Edition, Addiswon-Wesley,

United State, hal 3, dalam Machrus Ali, ibid, hal.263

Page 14: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

14

Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan dalam perkara tindak

pidana korupsi selaian pasal 18 ayat (1) Undang Undang nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang undang Nomor 20 tahun 2001, adalah pidana

tambahan seperti yang ditentukan menurut Pasal 10 huruf b KUHP, yang terdiri

dari:

(1) Pencabutan hak hak tertentu menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, yang terdiri

atas:

1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2. hak memasuki Angkatan Bersenjata;

3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan aturan umum;

4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus tas penetapan pengadilan,hak

menjadi wali,wali pengawas,pengampun atau pengampu pengawas,atas

orang yang bukan anak seniri;

5. hak menjalankan kekuasaan bapak,menjalankan perwalian, atau

pengampunan atas anak sendiri;

(2) Perampasan barang barang tertentu menurut Pasal 39 ayat (1) KUHP yang

meliputi:

1. Barang barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan

2. Barang barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk

melakukan kejahatan.

(3) Pengumuman keputusan hakim.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (1) Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah berdasarkan Undang Undang

Nomor 20 Tahun 2001, dapat disimpulkan bahwa pada kedua pasal tersebut di

atas terkandung semangat atau spirit pemiskinan koruptor. Semangat atau spirit

pemiskinan koruptor juga dapat dilihat dari beberapa indikator lain, yakni:

a) Adanya ketentuan tentang perampasan barang bergerak yang berwujud,

perampasan barang bergerak yang tidak berwujud, perampasan barang

yang tidak bergerak yang masing-masing digunakan untuk atau yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana

dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang

yang menggantikan barang-barang tersebut.

Page 15: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

15

b) Adanya ketentuan tentang pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi.

c) Adanya ketentuan tentang penutupan seluruh atau sebagian perusahaan

untuk paling lama 1 (satu) tahun.

d) Ketentuan tentang pencabutan seluruh atau sebagian hak hak tertentu yang

telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepda terpidana, seperti hak

untuk mengeksport atau mengimport barang-barang tertentu, dan hak

untuk mengembangkan kawasan tertentu

Selain itu adanya ketentuan penghapusan keuntungan tertentu seluruhnya

atau sebagian yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada

terpdana, misalnya fasilitas berbentuk perijinan seperti dispensasi untuk

mengadakan pelayaran pantai bagi perusahan pelayaran samudra, lisensi

untuk menjalankan perusahan kapal laut (veem) dan sebagainya 8

e) Indikator pemiskinan koruptor terdapat pula dalam ketentuan Pasal 29 ayat

(4) yang menentukan “Penyidik, penuntut umum atau hakim dapat

meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik

tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi”

f) Adanya ketentuan Pasal 37 ayat (3) yang menentukan “Terdakwa wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda

istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang

diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan”.

g) Terdapat beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan

Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang mengandung materi muatan

pemiskinan (yang berasal dari tindak pidana korupsi sebagai salah satu

tindak pidana asal atau predicate crime, tambahan penulis). Pasal-pasal

tersebut, adalah:

8 Perhatikan Soeprapto, 1963, Hukum Pidana Ekonomi, h.75, dalam R.Wiyono,

Pembahasan Undang-Undang Korupsi, Edisi Kedua, Penerbit: Sinar Grafika,

Jakarta, Hal.144

Page 16: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

16

Pasal 32 ayat (1) : “Penyidik,penuntut umum,atau hakim

berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk

melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang

telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau

terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak

pidana.

Pasal 34: “Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim

memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diketahui

atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh

penyidik atau penuntut umum.

Pasal 35: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,

terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan

merupakan hasil tindak pidana”.

Pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan yang diketahui atau patut

diduga berasal dari tindak pidana (tindak pidana korupsi, catatan penulis)

sebagimana disebutkan di atas, sangat berkaitan dengan upaya pemiskinan

koruptor, karena karakteristik dasar dari pencucian uang adalah kejahatan yang

bermotif mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya.

Karena itu logislah keuntungan besar yang diperoleh dengan cara melawan hukum

itu diblokir dan disita untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat, dan

pelakunya menjadi tidak berdaya,dan berada dalam keadaan serba kekurangan

atau berada dalam keadaan miskin.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, secara normatif sejatinya undang

undang telah mengurung koruptor dengan berbagai peraturan perundang-

undangan yang bertujuan untuk memiskinkan koruptor, baik dalam KUHP,

Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah dengan Undang

Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang Undang Nomor 15 tahun 2002

sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003.

Ketiga undang undang tersebut dapat menjadi sarana pemiskinan koruptor,

namun demikian agar undang undang tersebut efektif, dibutuhkan pula tahapan

Page 17: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

17

operasionalisasi melalui bekerjanya sistem peradilan pidana yang mengandung

aspek sinkronisasi, integrasi dan koordinasi.

Menurut Muladi istilah sinkronisasi mengandung makna keserempakan

dan keselarasan.Sinkronisasi dalam hal ini, sesuai dengan makna dan ruang

lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi structural (structural

synchronization), dapat pula bersifat substansial (substancial synchronization),

dan dapat pula bersifat cultural (cultural synchronization).9

Selanjutnya dijelaskan, dalam hal sinkronisasi struktural, keserempakan

dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peadilan pidana dalam

kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi

substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik vertkal maupun

horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan

sinkronisasi Kultural mengandung makna untuk selalu serentak dalam menhayati

pandangan pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya system peradilan pidana.10

Merupakan kenyataan empiris, bahwa operasionalisasi sistem peradilan

pidana menunjukkan suatu keamajuan jika dibandingkan dengan keadaan

sebelumnya dalam upaya pemiskinan terhadap koruptor. Hal itu ditunjukkan

dengan penanganan beberapa kasus korupsi mulai dari penuntutan sampai dengan

putusan pengadilan ditandai dengan adanya tuntutan pidana maksimal, pidana

denda yang tinggi, pidana pengganti kerugian negara yang besarnya sama dengan

hasil korupsi, pemblokiran hasil korupsi, serta penyitaan dan perampasan harta

benda yang diperoleh dari korupsi.

Kasus kasus korupsi yang sarat dengan pemiskinan koruptor dapat kita

simak dalam kasus Angelina Pinkan Sondakh, kasus Djoko Susilo, Ahmad

Fatonah, Lutfi Hasan Ishak sebagaimana penulis singgung pada bagian

pendahuluan.

9 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, h.1 10 Ibid,h.2

Page 18: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

18

Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahun

tahun belakangan ini sanksi pidana yang bersifat pemiskinan terhadap koruptor

semakin digalakkan secara progresif.

Hal ini bersesuaian dengan pandangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

Abrham Samad dalam wawancara di Kompas TV pada tanggal 11-April-2014

yang mengatakan “memilih pemiskinan koruptor daripada penjatuhan pidana mati

terhadap koruptor”. Pandangan tersebut dapat dipahami bahwa dengan

pemiskinan koruptor harta benda hasil korupsi dapat dikembalikan kepada negara,

baik melalui penyitaan harta kekayaan hasil korupsi maupun hukuman pengganti

yang besarnya sama dengan harta kekayaan hasil korupsi, untuk pada gilirannya

digunakan bagi kesejahteraan masyarakat.

KPK sendiri dalam strategi penanggulangan korupsi telah menegaskan

bahwa salah satu tujuan penanganan tindak pidana korupsi selain menimbulkan

efek jera dan terapi kejut, adalah pemiskinan koruptor. Adapun indikatornya

adalah sebagi berikut:

a. tuntutan Jaksa KPK dalam penanganan kasus-kasus korupsi senantiasa

diikuti dengan tuntutan hukuman pengganti kerugian negara, dan pidana

denda yang jika tidak dipenuhi digantikan dengan hukuman badan.

b. penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk

memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga

hasil dari korupsi.

c. melakukan penyitaan terhadap harta benda yang diduga berasal dari hasil

tindak pidana korupsi untuk selanjutnya dikembalikan kepada negara bagi

kesejahteraan masyarakat.

Pemiskinan koruptor kini menjadi isu penting bagi negara-negara yang

tingkat korupsinya sangat tinggi seperti Indonesia, agar dapat mengembalikan

kekayaan nasional yang telah dijarah oleh para koruptor, karena untuk

mengembalikannya diperlukan sumber daya dan modal. Modal ini dapat diperoleh

dengan pengembalian kekayaan negara yang diperoleh dari hasil korupsi demi

kesejahteraan masyarakat.

Page 19: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

19

Pemiskinan terhadap koruptor sangat beralasan karena tindak pidana

korupsi ibarat candu yang membuat pelakunya selalu kekurangan dan ketagihan

yang menggrogoti dan mencuri hak-hak rakyat,serta dapat menghancurkan

kehidupan suatu bangsa. Karena itu harus segera diakhiri demi kesejahteraan

masyarakat.

Pelaku tindak pidana korupsi bukanlah masyarakat miskin, melainkan

adalah pejabat publik dengan pendidikan cukup tinggi yang memiliki akses dan

kewenangan dalam pemerintahan maupun swasta. Koruptor memiliki kemampuan

finansial yang cupup tinggi, namun lemah secara etika, moral, dan hukum. Dan

tidak memiliki empati terhadap masyarakat dan bangsa Indonesia.

Ancaman hukuman badan dipandang sebelah mata karena praktik selama

ini hukum dan hukuman sering dengan mudah diperjualbelikan oleh orang yang

tidak bertanggungjawab.Sementara itu terdapat persepsi di kalangan terpidana

korupsi bahwa lebih baik menjalani hukuman badan dibandingkan dengan

tersitanya aset-aset dan kekayaan hasil korupsi yang lebih manjamin kehidupan

duniawi mereka sampai tujuh turunan.Karena itu pemiskinan koruptor menjadi

penting dalam mengembalikan kekayaan negara (aset recovery) untuk

kepentingan yang berhak.

Page 20: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

20

BAB III TEORI TEORI DAN TUJUAN PEMIDANAAN.

3. Pengertian Pidana

Sudarto mengatakan “kalau kita membicarakan tentang efek dari

sesuatu, maka kita melihat kemuka dan tidak kebelakang.Jika kita melihat

kemuka maka kita harus menyangkutkan efek tersebut dengan tujuan

yang hendak dicapai. Dalam pemidanaan tujuan yang hendak dicapai

secara tradisional ialah prevensi special dan prevensi general11

.

Bertolak dari pandangan tersebut, maka dalam membicarakan

tentang efek jera dari pemidanan, perlu dibahas terlebih dahulu tentang

pengertian pidana, dan tujuan pemidanaan itu sendiri.

Tujuan pemidanaan itu terkait pula denga teori-teori pemidanaan

yang melandasinya.

Istilah “pidana” dan “hukuman” dalam kehidupan sehari-hari

sering diartikan memiliki makna yang sama. Pada hal menurut Muladi

dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa: istilah “hukuman” yang

merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang

luas dan berubah-ubah, karena istilah itu dapat berkonotasi dengan

bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan

dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang

pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena “pidana”

merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan

pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau

sifat-sifatnya yang khas12

.

Bersesuaian dengan itu, istilah pidana sering diartikan sama

dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum

sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja

11 Soedarto (1), 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit:Alumni, hal:88

12 Muladi, Barda Nawawi Arief(1), 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,

Penerbit:Alumni, hal 2

Page 21: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

21

ditimpakan kepada seseorang, sedangkan pidana merupakan pengertian

khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.13

4. Tujuan Pemidanaan

Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu

proses dalam penyelesaian perkara pidana. Penjatuhan pidana tersebut

merupakan suatu akibat hukum yang harus diterima oleh seseorang yang

telah melakukan tindak pidana.Akibat hukum itu pada umumnya berupa

hukuman pidana.14

Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki

tujuan yang berkaitan erat dengan aliran pemikiran tentang tujuan

pemidanaan.

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup

dillematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan

untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau

merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan

tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan

tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam

sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana.15

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, Herbert L Packer

mengatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing masing

mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni

pandangan retributive (retributive view) dan pandangan Utilitarian

(Utilitarian view) seperti dikatakan “Today as always the criminal law is

cought between two fires. On the one hand, there is the view that

punishment of the morally derelict is it own justification. On the order,

13 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,

Jakarta, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, hal 1

14

S.R.Sianturi, 1996, Azas-Azas hukum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta , hal 34 15

Zainal Abidin dan Tim Kerja, 2005, op-cit, hal 9

Page 22: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

22

there is the view that the only proper goal of the criminal process is the

prevention of antisocial behavior.16

Pandangan retributive mengandalkan pemidanaan sebagai ganjaran

negative terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga

masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai

pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab

moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke

belakang (backward looking).

Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau

kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin

dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu.Di satu pihak, pemidanaan

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di

pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain

dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.Pandangan ini

dikatkan berorientasi ke depan (forward looking) dan sekaligus

mempunyai sifat pencegahan (deterrence).17

Dalam ilmu hukum pidana, menurut Muladi lazimnya dikenal

beberapa teori pidana (straftheorieen) yang terdiri atas teori pembalasan

atau absolute theorieen/vergelding theorieen, teori tujuan atau relative

theorieen/doeltheorieen, dan teori gabungan atau verenigingstheorieen18

.

1) Teori Absolut

Teori ini disebut pula dengan Teori Pembalasan atau Teori Retributif.

Aliran ini menganggap sebagi dasar hukum dari pidana adalah alam

pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori

pembalasan ini dikenal pada akhir abad 18 dan yang mempunyai

pengikut-pengikut dengan jalan pikirannya masing-masing, seperti

Immanuel Kant, Hegel, Herbert, Stahl.

16 Herbert L Packer, op-cit, hal 9

17 Ibid, hal.10

18

Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.21

Page 23: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

23

Pada dasarnya aliran pembalasan itu menurut Kant dibedakan atas

corak subyektif (subyectieve vergelding) yang pembalasannya

ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela, dan corak obyektif

(obyektieve vergelding) yang pembalasannya ditujukan sekedar pada

perbuatan yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Kant mempunyai jalan pikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan

ketidak adilan, maka ia harus dibalas dengan ketidak adilan.Kant

memandang pidana itu merupakan tuntutan mutlak dari hukum dan

kesusilaan. Jalan pikiran ini melahirkan teori absolute dan dasar

kesusilaan yang dinamakan “de Ethische Vergeldingstheorie”19

Tokoh lain dari penganut teori absolute adalah Hegel. Jalan pikirannya

adalah bahwa hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apbila

orang melakukan kejahatan itu berarti ia menyangkal adanya hukum

dan keadilan, hal itu dianggap tidak masuk akal. Dengan demikian

keadaan menyangkal keadilan itu harus dilenyapkan dengan

ketidakadilan pula, yaitu dengan dijatuhkan pidana karena pidana

itupun merupakan suatu ketidak adilan. Cara brpikir demikian adalah

dialectisch, sehingga teorinya dinamakan de Dialectische

Vergeldingstheorie.

Selain jalan pikiran tersebut di atas, Herbert mengatakan bahwa

apabila orang melakukan kejahatan berarti ia menimbulkan rasa tidak

puas kepada masyarakat. Dalam hal terjadi kejahatan maka masyarakat

itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana,

sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara berpikir demikian ini

mempergunakan pokok pangkal aesthetica. Maka teorinya dinamakan

de Aesthetica Vergeldingstheorie.20

Bersesuaian dengan pandangan di atas, Eva Achjani Zulfa dan

Indrianto Senoaji mengtakan, aliran retributive sering dipadankan

dengan “teori non konsekuensialis” dimana penerjemahan aliran

19

ibid

20

ibid

Page 24: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

24

retributive melihat kepada upaya pembenaran atas suatu penjatuhan

sanksi pidana sebagai suatu respon yang patut diberikan kepada

seorang pelaku tindak pidana (appropriate response). Seorang yang

nyata telah melakukan tindak pidana pada masa lalu selayaknya

dikenai sanksi (backward-looking) yang sepadan dengan tindakan

yang dilakukannya.21

Menurut Nigel Walker para penganut teori retributive ini dapat pula dbagi

dalam beberapa golongan, yaitu:

1. Penganut teori retributive yang murni (The pure retributivist) yang

berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan

kesalahan si pembuat.

2. Penganut teori retributf tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat

pula dibagi dalam:

a. Penganut teori retributive yang terbatas (the limiting

retributivist) yang berpendapat : pidana tidak harus cocok

/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi

batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.

b. Penganut teori retributive yang distributive (retribution in

distribution), disingkat dengan sebutan “teori distributive” yang

berpendapat: pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak

bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan

dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan

dihormati, tetapi kemungkina ada pengecualian, misalnya dalam

hal “strict liability.22

Selain itu Erik Luna, mengatakan bahwa prinsip penjatuhan pidana

paling tidak harus setimpal dengan kesalahan terdakwa didasarkan

pada teori retribusi yang menekankan pada aspek pembalasan. Secara

21 Eva Achjani zulfa, Indrianto Senoaji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit:CV

Lubuk Agung, Cetakan I, Bandung, hal.49 22

Nigel Walker, 1971, Sentencing in a Rational Society, First American edition, Basic Boks Inc,

Pubhlisers, New York, hal 15, dalam Muladi, Barda Nawawi, op-cit, hal 12

Page 25: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

25

lebih operasional, makna pembalasan disini diartikan dengan prinsip

proporsionalitas pemidanaan, dalam arti harus terdapat

proporsionalitas antara kesalahan pelaku dengan pidana yang

dijatuhkan kepadanya.23

Bertolak dari hal-hal di atas Andi Hamzah mengatakan teori

retributive/pembalasan bersifat primitive, tetapi kadang-kadang masih

terasa pengaruhnya pada zaman modern24

.

Adapun ciri-ciri pokok atau karakteristik teori retributif menurut

Karl. O. Christiansen adalah sebagai berikut:

1) tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

2) pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak

mengandung sarana sarana untuk tujuan lain misalnya untuk

kesejahteraan masyarakat.

3) kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana

4) pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pembuat;

5) pidana melihat ke belakang;ia merupakan pencelaan yang murni

dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

memasyarakatkan kembali si pelanggar.25

Sejalan dengan perkembangan tentang teori pemidanaan, khususnya

berkaitan dengan teori retributif, Sue Titus Reid mengemukakan teori

dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert

model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan,

yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution).

Dasar retribusi dalam “just desert model” menganggap bahwa

pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka

mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang

tepat akan mencegah para criminal melakukan tindakan-tindakan

23 Erik Luna, 2003, Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception of Restorative

Justice, Utah Law Review, hal 216, dalam Machrus Ali, op-cit, hal.272 24

Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,

Cetakan Pertama, PT pradnya Paramita, Jakarta. 25

Muladi, Barda Nawawi Arief, Op-cit, hal.17

Page 26: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

26

kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lin melakukan kejahatan.

Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan

menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang serius

akan mendapat hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan

yang lebih ringan.26

Teori “desert” merupakan teori yang menggambarkan pemikiran

tentang proporsionalitas dalam pemidanaan.

Menurut Andrew Von Hirsch and Andrew asworth, seperti dikutip

Eva AchjaniZulfa dan Indrianto Seno Adji menerjemahkan desert

theory sebagai ”the desert rational rest on the idea that penal sanction

should fairly reflect the degree of the reprehensibleness (that is, the

haemfulness and culpability) of the actor conduct”. Pandangan ini

menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan

kesalahan dari pelaku.27

Selanjutnya dikatakan, sungguh sulit menilai kesalahan karena hal itu

merupakan suatu yang abstrak. Ukuran yang dipakai untuk menimbang

besar kecilnya kesalahan sangat erat kaitannya dengan jenis tindak

pidana yang dilakukannya.Ukuran untuk menyatakan suatu tindak

pidana masuk dalam kategori berat atau atau ringan bergantung pada

dua hal yaitu (a) nilai kerugian materiil yang ditimbulkan akibat tindak

pidana yang terjadi atau (b) pandangan atau penilaian masyarakat

terhadap suatu perbuatan pada satu waktu tertentu.28

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori Relatif disebut pula dengan beberapa istilah lain yakni

Teori Utilitarian, Teori Teleologis, dan Teori Detterent. Timbulnya

teori relative atau teori tujuan disebabkan karena teori pembalasan atau

26 Sue titus Reid, Criminal justice, Procedur and Issues, West Pubhlising Company, New York, hal

352, Dalam Soelehudin, Sistem Sansksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System

dan Implementasinya, Raja grafindo Persada, 2003, hal 62 27

Eva Achjani Zulfa, Indrianto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit:CV

Lubuk Agung Bandung, hal.38

28

ibid

Page 27: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

27

teori retributive dianggap kurang memuaskan. Menurut teori ini

pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai

sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar

pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.

Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat

kejahatan) melainkan “ne peccetur”(supaya orang jangan melakukan

kejahatan).29

Bersesuaian dengan itu, Adami Chazawi mengatakan bahwa

teori relative atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat.Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk

menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.30

Klaim aliran ini atas pemidanaan atau ancaman pidana dalam

undang-undang adalah mendorong tercapainya kebaikan masyarakat

secara keseluruhan. Karenanya pidana harus diterapkan manakala itu

akan memperbaiki situasi atau kondisi dalam masyarakat, walaupun

pemidanaan akan merugikan bagi seseorang atau kelompok orang

(seperti kehilangan kebebasan, uang, kesempatan dan lain

sebaginya).31

Setelah memahami dasar pembenaran atau pokok pangkal teori

relative, perlu diketahui tentang bentuk teori relative atau teori tujuan

tersebut. Menurut Sholehuddin terdapat 3(tiga) bentuk teori tujuan,

yakni:

29

Muladi, Barda Nawawi, Op-cit

30

Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal.157

31

Eva AchjaniZulfa, Indriantono Seno Adji, Op-cit, hal 73

Page 28: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

28

Pertama : tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan

penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan,

menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang

sama; sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi

sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-

penjahat potensial dalam masyarakat.

Kedua: pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap

pemidanaan sebagi jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi

pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai

suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan

itu dibaca pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidak

seimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, conselling,

latihan-latihan spiritual, dan sebaginya.

Ketiga: pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk

ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa

pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada

dasarnya menyatakan perbuatan perbuatan terpidana adalah salah, tak

dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak

melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu, dalam proses

pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui

kesalahan yang dituduhkan atasnya.

Selanjutnya dijelaskan bahwa penjara atau lembaga

pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat pendidikan moral, yaitu

tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual diadakan serta penebusan

dosa terjadi.32

Berkaitan dengan teori tujuan, Karl O.Christiansen

mengemukakan ciri-ciri pokok atau karakteristik teori tujuan atau teori

utilitarian sebagi berikut :

32 Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, Penerbit: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal

44-45

Page 29: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

29

a. tujuan pidana adalah pencegahan;

b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang

memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan;

e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif);pidana dapat bersifat

mengandung pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur

pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat.33

Dari teori relative muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus atau prevensi special dan

pencegahan umum atauprevensi general.

Prevensi khusus dimaksudkan adalah pengaruh pidana terhadap

terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana

dengan mempengaruhi tinkah laku siterpidana untuk tidak melakukan

tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu

berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

Teori tujuan pidana ini menurut Muladi dikenal dengan sebutan

Reformation atau Rehabilition Theory.

Sedangkan Pencegahan umum dimaksudkan adalah pengaruh

pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan

kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah

laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak

pidana.

33 Muladi, Barda Nawawi A, Op-cit, hal.17

Page 30: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

30

Sejalan dengan itu, George P.Fletcher megatakan bahwa tujuan

pemidanaan meliputi:

1) pencegahan secara umum, yakni pemidanaan dimaksudkan untuk

mempengaruhi orang untuk tidak melakukan kejahatan;

2) pencegahan secara khusus, yakni pemidanaan ditujukan kepada

pelakunya ;

3) rehabilitasi sebgai hasil penanganan terhadap pelaku tindak pidana

atau disembuhkan dari perilaku criminal;

4) pelakunya tidak akan mengganggu masyarakat setelah keluar dari

penjara.

Keempat ini dikategorikan sebagai perlindungan sosial (social

protection).34

34 George P. Fletcher, 1998, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University Press, New

York, h.30

Page 31: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

31

BAB IV. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM PIDANA

POSITIF INDONESIA.

3. Istilah dan Pengertian Korupsi.

Istilah korupsi berasal dari perkataan corruptio, yang berarti kerusakan. Istilah

ini misalnya dipakai dalam kalimat Naskah Kuno Negara Kertagama yakni ada

yang corrupt (rusak). Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk

menunjukkan keadaan atau perbuatan busuk. Korupsi banyak disangkutkan

kepada ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan.35

Fockema Andreae sebagaimana dikutip Andi hamzah mengatakan bahwa

corruption itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.

Dari bahasa latin tersebur kemudian dikenal istilah: Corruption, corrupt (Inggris),

”corruption” (Perancis); dan corruptie/korruptie (Belanda). Selanjutnya dari

bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi kata

:”korupsi”.36

Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak

jujuran, dapat disuap, idak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Sejalan dengan itu istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata

Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,

dan ketidakjujuran”37

.

Di Malaysia terdapat pearaturan anti korupsi.Disitu tidak dipakai kata korupsi

melainkan kata peraturan “anti kerakusan”. Sering pula dipakai istilah “resuah”,

menurut kamus umum Arab Indonesia artinya sama dengan korupsi (ibid,h.10).

Beberapa negara mempunyai istilah lain tentang korupsi, seperti di

Muangthai dikenal istilah “gin moung” yang berarti “makan bangsa”, di Cina

dikenal istilah “tanwu” yang berarti keserakahan ternoda”, Jepang menamakan

nya “oshuku” yang berarti “kerja kotor”.38

35 Sudarto,Op-cit,h 122-123 36 Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya,

Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, h.9 37 S.Wojowasito-WJS Poerwadarmint,1978 38 J,E.Sahetapy,1979, Kapita Selekta Kriminologi, Penerbit:Alumni Bandung, h.45

Page 32: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

32

Di Indonesia perkataan korupsi semula bersifat umum dan baru menjadi

istilah hukum untuk pertama kalinya dalam Peraturan Penguasa Militer No

PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.39

Dalam konsideran peraturan ini dikatakan antara lain ”bahwa berhubung tidak

adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang

merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai

dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat

menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi”.

Dalam peraturan tersebut diberikan definisi tentang tindak pidana korupsi, yakni :

a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk

kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk

kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung

menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara;

b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang

menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun

dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara

atau daerah, yang dengan menggunakan kesempatan atau

kewenangan atau kekusaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan,

langsung tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau

materiil baginya.

Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, Peraturan penguasa

militer tersebut dilengkapi dengan peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan

Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor

PRT/Peperpu/013/1958, dan Peraturan Penguasa Perang Pusat angkatan Laut

tanggal 17 april 1958 Nomor PRT/z I/7.

Peraturan peraturan militer tersebut dikeluarkan pada waktu wilyah negara

Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar Undang-Undang No.74

Tahun 1957 jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957. Peraturan Penguasa

39 Sudarto,Op-cit,h.123

Page 33: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

33

Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, maka kemudian diganti

dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.

Disebabkan karena adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur

segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS Tahun

1950,Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah

pengganti Undang Undang No.24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan,dan Pemeriksaan Tindak Pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang Undang Nomor 24 Prp Tahun

1960 tentang Pengusutn, Penuntutan,dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang ini tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, sehingga

diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan

Tindak pidana Korupsi.

Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut berlaku dalam kurun

waktu selama hampir 3 (tiga) daswarsa, yakni sampai dengan tahun 1999.

Sebagai akibat dinamika masyarakat, Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini

dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, lebih-

lebih lagi dengan maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda

penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk pula pihak

swasta/pengusaha.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, MPR membuat Ketetapan

No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme. Atas dasar Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 ini

ditetapkanlah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan

tindak Pidana Korupsi. Undang Undang inipun mengalami perubahan dengan

ditetapkannya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasa tindak pidana

korupsi.

Alasan diadakannya perubahan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

itu disebutkan dalam konsideran butir b, maupun dalam penjelasan Undang

undang nomor 20 Tahun 2001,yakni :

1. untuk lebih menjamin kepastian hukum;

Page 34: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

34

2. menghindari keragaman penafsiran hukum;

3. memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat,serta

4. perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi

Adapun perubahan terhadap Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang

undang Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai pengertian tindak pidana

korupsi adalah :

a) Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menentukan

tentang adanya perubahan terhadap undang undang Nomor 31 tahun 1999,

yakni :

Pasal 2 ayat 2 substansinya tetap, penjelasan pasal diubah sehingga

rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal

angka 1 Undang Undang ini. Sedangkan rumusan pengertian tindak pidana

korupsi seperti diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 1

Tahun 1999 tetap/tidak mengalami perubahan.

Adapun bunyi Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomin negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp

200.000.000.,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b) Pasal 1 angka 2 menyatakan”Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak

mengacu pasal-pasal dalam Kitab undang Undang hukum Pidana tetapi

langsung mnyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing

pasal Kitab Undang Undang yang diacu.

Hal ini disebabkan karena Pasal 43 B Undang undang nomor 20 Tahun

2001 sendiri telah menentukan bahwa Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387,

Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, pasal 18, pasal 19, Pasal 420,

Pasal 423, Pasal 425, dan pasal 435 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi.

c) Pasal 1 angka 3 Undang undang Nomor 21 Tahun 2001 menentukan

bahwa diantara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun

1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C.

Page 35: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

35

Pasal 12 A mengatur mengenai ketentuan pidana penjara dan pidana denda

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,Pasal 9,

Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang undang nomor 31 Tahun 1999

tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp

5.000.000,00 (lima juta rupiah).Terhadap tindak pidana tersebut dalam

ayat 1 di atas,dipidana dengan penjara paling lama 3(tiga) tahun dan

pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah).

Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidaklah

cukup hanya mengandalkan instrument hukum yakni Undang Undang

Pemberantasan Korupsi tersebut di atas, tetapi juga Undang Undang tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang Hal ini disebabkan karena meningkatnya berbagai

jenis kejahatan, khususnya tindak pidana korupsi baik yang dilakukan oleh orang

perseorangan maupun oleh korporasi dalam suatu wilayah negara tertentu,

maupun yang dilakukan dengan melintasi batas wilayah negara lain.

Harta kekayaan yang diperoleh dari korupsi, pada umumnya tidak

langsung dibelanjakan atau digunakan, namun pelaku korupsi terlebih dahulu

mengupayakan agar kekayaan yang diperoleh dari korupsi tersebut masuk dalam

sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking

system). Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul kekayaan yang diperoleh dari korupsi sehingga

diharapkan tidak akan terlacak oleh aparat penegak hukum. Tindakan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaan yang merupakan hasil

dari kejahatan termasuk korupsi dikenal dengan pencucian uang.

Indonesia telah memiliki Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang

kemudian diubah berdasarkan Undang Undang nomor 25 Tahun 2003 tentang

Tindak pidana pencucian uang.Undang undang tersebut merupakan undang

undang yang berkaitan dengan undang undang tentang tindak pidana korupsi.Hal

itu ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 Undang undang nomor 25 Tahun 2003 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang yang menentukan antara lain : Hasil tindak pidana

adalah Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana antara lain : (a) korupsi;

Page 36: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

36

(b) penyuapan,yang dilakukan di wilyah Negara Republik Indonesia atau di luar

wilayah Negara republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan

tindak pidana menurut hukum indonesia.

….

Selain itu, Penjelasan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 menegaskan

tentang kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian

uang (yang lazim digunakan oleh para koruptor, pen) yang terdiri atas :

a) penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang

berasal dari tindak pidana (korupsi,pen) ke dalam sistem keuangan

(financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel

bank, sertifikat deposito, dan lain lain) kembali ke dalam sistem keuangan,

terutama sistem perbankan.

b) transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang

berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan

pada penyedia Jasa keuangan (terutama bank) ke Penyedia Jasa keuangan

yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak

hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.

c) menggunakan harta kekayaan (integration) yakni uapaya menggunakan

harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang berhasil masuk ke

dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-

olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis

yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa korupsi merupakan salah

satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian

uang,karena melalui korupsi harta benda yang diperoleh berupa uang haram

(dirty money) seolah-olah menjadi harta kekayaan halal, baik melalui penempatan

(placement), transfer (layering), maupun menggunakan harta kekayaan

(integration). Hal itu tampak dari beberapa kasus korupsi di Indonesia berupa

hasil kejahatan korupsi yang telah disamarkan dalam bentuk property, tanah,

mobil mewah, sertifikat deposito, pompa bensin, perusahaan baik dalam negeri

maupun di luar negeri. Hal tersebut disamping merugikan masyarakat,juga

Page 37: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

37

merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas

perekonomian nasional dan keuangan negara

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka dalam Undang-Undang Nomor

25 Tahun 2003 diatur beberapa kekhususan sebagai berikut :

a) Pasal 32 ayat (1) menentukan “Penyidik, penuntut umum, atau

hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan

untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta kekayaan setiap

orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik,

tersangka,atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga

merupakan hasil tindak pidana. Bahkan ayat (3) menegaskan

bahwa Penyedia Jasa keuangan setelah menerima perintah

penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagimana dimaksud dalam

ayat (20 wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat

perintah pemblokiran diterima.

Ketentuan tersebut merupakan penegasan dikecualikannya

ketentuan rahasia bank dan ketentuan rahasia bagi Penyedia jasa

Keuangan lainnya yang bukan bank terhadap penyidik, penuntut

umum, dan hakim.

b) Pasal 34 menentukan “Dalam hal diperoleh bukti yang cukup

sebagai hasil pemeriksaan di siding pengadilan terhadap terdakwa,

hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta kekayaan yang

diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita

oleh penyidik atau penuntut umum.

c) Pasal 35 menentukan “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang

pengadilan,terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta

kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

Menurut Penjelasan Undang Undang Nomor 25 Tahun

2003,ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik.

Kekhususan tersebut di atas mengindikasikan bahwa kewenangan

penyidik,penuntut umum, hakim memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan

untuk melakukan “pemblokiran” terhadap harta kekayaan yang diketahui atau

Page 38: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

38

patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dilaporkan oleh PPATK,

merupakan langkah cepat dan tegas mencegah digunakannya harta kekayaan

haram tersebut untuk melakukan kejahatan lanjutan lainnya.

Demikian pula kewenangan hakim memerintahkan “penyitaan” terhadap

Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum

disita oleh penyidik atau penuntut umum, merupakan langkah preventif, sekaligus

memastikan Harta Kekayaan tersebut akan berada di bawah kekuasaan aparat

penegak hukum, sekaligus sebagai sarana pemiskinan terhadap koruptor.

Berkaitan dengan Pasal 35 Udang Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang

menentukan “Untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa

wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak

pidana” yang dikenal dengan asas pembuktian terbalik, dapat dianalisis sebagai

berikut. Dibandingkan dengan Pasal 37 ayat (1) Undang undang Nomor 3

Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang

pembuktian terbalik. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang undang Nomor 31

tahun 1999 menyatakan bahwa undang undang ini menerapkan pembuktian

terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang.

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari kitab undang undang

hukum acara pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan

dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Apabila terdakwa dapat

membuktikan hal tersebut, tidak berarti bahwa ia tidak melakukan korupsi, sebab

penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena

jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Namun demikian pasal ini

tidak dapat diterapkan secara sewenang wenang oleh jaksa tanpa alat bukti yang

kuat untuk mewujudkan, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi

masyarakat. Berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor

25 Tahun 2003 tentang pencucian uang yang menentukan “Untuk kepentingan

pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta

kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

Page 39: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

39

Selain Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang,terdapat pula undang undang terkait lainnya, yaitu Undang

undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan

Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan nepotisme.

Dalam penjelasan atas Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut

ditegaskan bahwa “Undang undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan

langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana

korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara

Negara dan pejabat lain yang mempunyi fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Undang undang ini merupakan bagian atau sub sistem dari peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap

perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Sasaran pokok undang undang ini adalah para penyelenggara Negara pada

lembaga Tertinggi Negara (catatan penulis sudah diamandemen), Pejabat Negara

pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat negara, dan

atau pejabat yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

Undang Undang Nomor 28 tahun 1999 sebagai turunan dari Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998

merupakan instrument hukum buah reformasi yang masih sangat relevan hingga

saat ini. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya pejabat public/penyelenggaraa

Negara yang diduga dan terindikasi tidak bersih dari praktik-praktik KKN,

terbukti tidak henti-hentinya pejabat publik/penyelenggara Negara yang

tersangkut korupsi, baik dalam status sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana.

Isi muatan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 ini telah mengatur

bukan saja hak-hak penyelenggara negara tetapi juga kewajiban-kewajibannya.

Hal itu diatur secara tegas dalam Pasal 5 yang menentukan:

Setiap Peyelenggara Negara berkewajiban untuk:

Page 40: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

40

1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum

memangku jabatannya;

2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum,selama,dan setelah menjabat;

3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah

menjabat;

4. tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme;

5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku,agama,ras,dan

golongan;

6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak

melakukan perbuatan tercela,tanpa pamerih baik untuk kepentingan

pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan

imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi,kolusi,dan nepotisme serta

dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Suatu hal yang khas dari Undang undng Nomor 28 Tahun 1999 adalah terletak

pada materi muatannya, yakni adanya ketentuan tentang kewajiban

Penyelenggara Negara untuk diperiksa kekayaannya sebelum,selama, dan

setelah menjabat, serta melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum

dan setelah menjabat.

Materi muatan seperti disebutkan di atas, tidak diatur dalam undang

undang tentang pemberantasan tondak pidana korupsi yang berlaku baik

Undang Ungang Nomor 31 Tahun 1999, maupun Undang undang Nomor 20

Tahun 2001.Menurut penulis, hal ini merupakan sebuah penguatan terhadap

upaya upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara

preventif. Oleh karena itu agar undang undang ini dapat mencapai sasaran

secara efektif, maka dibentuklah Komisi Pemeriksa yang bersifat indipenden

dan mandiri, yaitu lembaga ini dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga

negara lainnnya.

Page 41: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

41

Sebagai pelaksanaan Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka

dikeluarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999

Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Penjelasan

Peraturan Pemerintah Tentang tata Cara Pemeriksaan Kekayaan

Penyelenggara negara ini adalah untuk mengetahui kebenaran atas harta

kekayaan Penyelenggara Negara dalam rangka memudahkan dan membantu

instansi yang berwenang untuk melakukan penyidikan apabila Penyelenggara

Negara tersebut dikemudian hari, diduga atau patut diduga melakukan korupsi,

kolusi, dan nepotisme. Instansi yang berwenang tersebut adalah Badan

pengawas keuangan dan Pembangunan, Kepolisian, atau Kejaksaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka selain penguatan uapaya-upaya

preventif,undang undang dan peraturan pemerintah tersebut dimaksudkan pula

untuk memudahkan melakukan pengawasan atau pemeriksaan lebih lanjut

terhadap Penyelenggara Negara selama atau setelah menjabat, sekaligus

penguatan kelembagaan dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sebagai upaya preventif lainnya Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999

ini, juga memuat ancaman sanksi administrative, sanksi perdata, dan sanksi

pidana berupa pidana penjara dan pidana denda sebagaimana diatur dalam

pasal pasal sebagai berikut :

Pasal 20 ayat (1) : Setiap penyelenggara Negara yang melangar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 dikenakan

sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Ayat (2) : Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana

dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 21 : Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi pemeriksa yng

melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 22 ; Setiap Penyelenggara negara atau komisi pemeriksa yang

melakukan nepotisme sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 9dua

belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. (satu miliar rupiah).

Page 42: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

42

Bertolak dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, dapat dianalisis sebagai

berikut

a. Ketentuan Pasal 20 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999, mengancam setiap

Penyelenggara Negara dengan ancaman sanksi pidana jika melakukan perbuatan

korupsi, kolusi, dan nepotisme (angka 4), dan tidak melakukan kewajiban sebagai

saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dalam perkara lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (angka 7).

Menurut Penjelasan Pasal 159 ayat (2) Kitab Undang undang Hukum

Acara Pidana ditegaskan, bahwa menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap

orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, ia dapat dikenakan

pidana berdasarkan ketentuan undang undang yang berlaku. Demikian pula halnya

dengan ahli.

Ketentuan tersebut di atas, dikecualikan berdasarkan Pasal 168 KUHAP

yang menentukan: Kecuali ditentukan lain dalam undang undang ini, maka tidak

dapat didengar keterangan dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa;

b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. suami atau istri terdakwa meskipun sudaah bercerai atau yang bersama-

sama sebagi terdakwa.

Terhadap Pasal 21 Undang Undang Nomor 28 Tahun1999, dapat dianalisis

tentang Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan

kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4, yaitu permufakatan atau

kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara

Penyelenggara Negara dan pihak lain, mayarakat, dan atau negara.

Page 43: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

43

Sedangkan Pasal 22 undang undang ini berkaitan dengan “nepotisme”

yakni setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang

menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan

masyarakat, bangsa, dan negara. Ancaman pidana terhadap kolusi dan nepotisme

tersebut bersifat kumulatif, bukan alternatif, yakni berupa pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12(dua belas) tahun, dan pidana denda

paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00. (satu miliar rupiah). Ancaman pidana tersebut beralasan karena

merupakan delik dengan kualifikasi yakni pelakunya sebagai Penyelenggara

Negara dan Anggota Komisi pemeriksa yang seyogyanya memberi contoh dan

berada pada garda terdepan dalam pemberantasan KKN.

4. Bentuk-bentuk Korupsi.

Dikaji dari Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan perubahannya, bentuk

bentuk korupsi yang diatur di dalamnya meliputi:

1) Kerugian Keuangan Negara

Terdapat tiga pasal yang mengatur tindak pidana korupsi yang merugikan

keuangan negara, yaitu Pasal 2, 3,dan 8 Undang Undang No. 31 tahun

1999 dan perubahannya.

Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakkan perbuatan

memperkaya diri sndiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangn negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp

200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang Undang No 20 Tahun 2001 menegaskan

bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini

mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti

materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-

Page 44: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

44

undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak

sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dengan demikian pengertian melawan hukum dalam undang undang ini

mengandung pengertian yang luas baik formil maupun materiil. Selain itu

dalam undang undang ini tindak pidana korupsi merupakan delik formil

yang ditunjukkan dengan kata “dapat” sebelum frasa “merugikan

keuangan atau perekonomian negara” yaitu adanya tindak pidana korupsi

cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan

bukan dengan timbulnya akibat.

Pasal 2 ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat

dijatuhkan.

Penjelasan Undang Undang No.20 Tahun 2001 menegaskan bahwa yang

dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan

yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana

korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana dana

yang diperuntukkan bagi penaggulangan keadaan bahaya, bencana alam

nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang melas,

penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak

pidana korupsi.

Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya kaerena jabatan atau kedudukan

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjajara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda

paling sedikit Rp 50.000.000,00. (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp 1000.000.000,00. (satu miliar rupiah).

Pasal 8: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 415 Kitab undang undang Hukum Pidana,dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00.(seratus

lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00.(tujuh ratus

lima puluh juta rupiah).

Page 45: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

45

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang

menimbulkan kerugian keuangan negara meliputi:

a) dilakukan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau korporasi;

b) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.

Yunus Husein menyatakan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat

merugikan keuangan negara, yaitu :

Pertama, terdapat pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di

atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga

pembelian dengan harga pasar atau atau harga yang wajar. Korupsi di dalam

proses pengadaan barang dan jasa inilah yang paling banyak terjadi di Indonesia.

Seringkali proses pengadaan barang dan jasa diikuti dengan adanya suap atau

kickback dari peserta tender kepada pejabat negara.

Kedua, harga pengadaan barang dan jasa wajar.Wajar tetapi tidak sesuai dengan

spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa

murah,tetapi kualitas barang dan jasa itu kurang baik, maka dapat dikatakan juga

merugikan keuangan negara.

Ketiga, terdapat transaksi yang memperbesar utang negra secara tidak wajar,

sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara kaena kewajiban negar

untuk membayar hutang semakin besar.

Keempat, piutang negara berkurang secara tidak wajar.

Kelima, aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau

dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perseorangan

(ruislag).

Keenam, memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik

karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya fiktif.

Ketujuh, hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penualan

sebanarnya, sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.40

2) Suap Menyuap

Suap menyuap merupakan bentuk tindak pidana korupsi yang tidak

merugikan keuangan negara secara langsung. Dalam hal ini yang

dirugikan adalah masyarakat, bukan negara. Walaupun tidak merugikan

keuangan negara, namun dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan

40 Yunus Husein, 2008, Negeri Sang Pencuci Uang, Penerbit : Pustaka Juanda

Tigalima, Jakarta, h.184-185

Page 46: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

46

pelaku pasar yang secara tidak langsung dapat merugikan perekonomian.

Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat

daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi mahal,

dan memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil

yang tidak memiliki uang dan kekuasaan. (ibid.h.187).

Dilihat dari sejarahnya tindak pidana penyuapan ini sebelumnya

diatur dalam KUHP, baik dalam bentuk penyuapan pasif dan penyuapan

aktif. Pasal pasal tersebut meliputi Pasal : 209, 210, 418, 419, 420.Pasal

pasal ini diatur secara berpasangan antara satu dengan lainnya. Pasal 209

(pemberi suap) berpasangan dengan Pasal 418 dan Pasal 419 (pegawai

negeri yang menerima suap). Pasal 210 (pemberi suap kepada hakim)

berpasangan dengan Pasal 420 (hakim yang menerima suap mengenai

perkara yang ditanganinya).

Pasal 209 dan 210 (penyuapan aktif) menyangkut delik kualifikasi.

Artinya Pasal 210 diancam pidana lebih berat dari Pasal 209, karena yang

disuap adalah pegawai negeri yang berkualitas hakim. Begitu pula Pasal

pasal 418, 419, dan 420 adalah delik berkualifikasi.

Menurut aslinya KUHP, Pasal 418 diancam pidana maksimal

hanya 6 bulan, sedangkan Pasal 419 lima tahun, dan Pasal 420 diancam

pidana maksimal 9 tahun, jika diketahuinya bahwa pemberian atau janji itu

diberikan kepadanya untuk mempengaruhi putusan suatu perkara, dan

meningkat menjadi dua belas tahun jika pemberian atau janji diberikan

kepadanya supaya mendapatkan suatu penghukuman dalam perkra pidana.

Delik yang berkualifikasi tersebut kemudian ditarik menjadi delik

korupsi melalui Pasal 1 ayat 1 sub c UUPTPK Nomor 3 Tahun 1971, dan

oleh karena itu ancaman pidananya sesuai dengan Pasal 28 UUPTPK

semua pasal KUHP yang disebut disitu ancaman pidananya menjadi

seumur hidup atau 20 tahun penjara dan atau denda 30 juta rupiah.

Sebagai akibat dipukul ratanya semua delik penyuapan yang

semula merupakan delik yang berkualifikasi (pasal-pasal 209, 210, 418,

Page 47: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

47

419, 420), dengan ancaman pidana yang sama ,maka hilanglah arti

kualifikasi tersebut.41

Setelah berlaku hampir tiga dasa warsa,Undang undang Nomor 3

tahun 1971 diubah berdasarkan Undang undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan mengenai

tindak pidana penyuapan diatur dalam Pasal-pasal 5, 6, 11, 12. Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Pola pasal pasal tindak pidana penyuapan secara berpasangan

seperti diatur dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 diteruskan

dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal pasal yang semula

berasal dari Pasal 209 KUHP diatur dalam Pasal 5 (pemberi suap),

sedangkan pasal yang semula berasal dari Pasal 418 KUHP diatur dalam

Pasal 11(penerima suap adalah pegawai negeri). Pasal 210 KUHP

(memberi suap kepada hakim), diatur dalam Pasal 6,sedangkan Pasal 420

KUHP (hakim yang menerima suap) diatur kembali dalam Pasal 12.

Namun demikian ancaman sanksi pidananya bersifat kumulatif,

bukan tunggal seperti dalam Undang undang nomor 3 Tahun1971, yakni

ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00. (lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00.(dua ratus lima

puluh juta rupiah).

Adanya batasan ancaman sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dapat dijadikan dasar untuk meminimalkan

disparitas dalam penerapan sanksi pidana untuk menciptakan keadilan bagi

masyarakat. Sedangkan pasal yang semula berasal dari Pasal 210 KUHP(

pemberi suap kepada hakim) berpasangan dengan Pasal 12 ( hakim yang

menerima suap mengenai perkara yang ditanganinya) diancam dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp

41 Andi Hamzah, 1984, Penerbit: PT gramedia, Jakarta, h.116

Page 48: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

48

200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00. (satu milyar). Sama halnya dengan Pasal 5 yang

berpasangan dengan Pasal 11, pasangan Pasal 6 dengan Pasal 12 ancaman

pidnanya juga bersifat kumulatif, dan dapat mencegah terjadinya disparitas

penerapan sanksi pidana.

Mengenai unsur pegawai negeri, telah ditentukan dalam Pasal 1

angka 2 yaitu :

a. pegawai negeri sebagaimana undang undang tentang kepegawaian;

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang undang

Hukum Pidana;

c. orang uang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Yang dimaksud dengan “Undang Undang tentang Kepegawaian”dalam

Pasal 1 angka 2 huruf a adalah Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974

tentang pokok Pokok Kepegawaian yang kemudian diubah berdasarkan

Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang

Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian (yang

selanjutnya disebut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang

Undang Nomor 43 Tahun 1999).

Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) undang Undang Nomor 8 tahun 1974 jo

Undang Undang nomor 43 Tahun 1999 menentukan bahwa pegawai negeri

tersebut terdiri dari:

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,

2. Anggota tentara nasional Indonesia,dan

3. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia.

Adanya perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 berdasarkan

undang undang nomor 20 tahun 2001 sepanjang mengenai perumusan

ketentuan tentang tindak pidana korupsi terdapat kata “korporasi”,

Page 49: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

49

”Pegawai Negeri”, dan “Setiap orang”, maka apa yang dimaksud dengan

masing-masing kata tersebut adalah seperti yang terdapat dalam Pasal 1.

Menurut R.Wiyono, dapat dikatakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 1 merupakan tafsiran autentik terhadap apa yang dimaksud dengan

kata “Korporasi”, “Pegawai Negeri”, dan “Setiap Orang” pada perumusan

ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang

undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang undang

nomor 20 tahun 2001.42

Berkaitan dengan pengertian hakim seperti yang dimaksud dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a,maka dengan mengacu pada Undang undang

Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman,dan Undang nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang termasuk hakim, yakni :

1. Hakim pada semua lingkungan Peradilan,yaitu

a) Peradilan Umum

b) Peradilan agama

c) Peradilan Militer

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Hakim Agung pada Mahkamah Agung republik Indonesia

3. Hakim konstitusi pda Mahkamah Konstitusi.

3) Penggelapan dalam Jabatan

Pasal pasal dalam KUHP yang merupakan tindak pidana penggelapan

oleh pegawai negeri yang ditarik ke dalam Undang Undang Nomor 3 tahun 1971

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu pasal-pasal 415,416,17.

Menurut Andi Hamzah, Pasal 415 KUHP merupakan penggelapan yang

sesungguhnya, yang unsur-unsurnya:

pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan selalu atau sementara

menjalankan suatu jabatan umum;

sengaja;

menggelapkan uang atau kertas yang berharga uang;

42 R. Wiyono, op-cit, h.21

Page 50: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

50

yang disimpan karena jabatannya,atau membiarkan uang atau kertas

uang itu diambil atau digelapkan oleh orang lain,atau menolong sebagai

pembantu orang lain itu.

Kata “penggelapan” dalam Pasal 415 KUHP berarti sama maksudnya dengan

penggelapan pada Pasal 372,374 KUHP, namun Pasal 415 ini merupakan bentuk

khusus daripada penggelapan,dengan beberapa perbedaan sebagai berikut:

(1) Pada pasal 415 subyeknya adalah pegawai negeri atau pejabat, sedangkan

Pasal 372 ialah barang.

(2) Pada pasal 415 yang digelapkan adalah uang atau kertas berharga uang,

sedangkan Pasal 372 ialah barang.

(3) Pada pasal 415 termuat anasir-anasir pembantuan seperti dimaksud oleh

Pasal 56 KUHP.

Setelah Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 diubah berdasarkan Undang

Undang nomor 31 Tahun 1999, ketentuan yang semula adalah Pasal 415 KUHP,

materinya ditampung dalam pasal 8, yang menentukan “Setiap orang yang

melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam pasal 415 KUHP, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00. (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00.( satu milyar rupiah).

Sejalan dengan perubahan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 menjadi

Undang Undang Nomor 20 tahun 2001, maka rumusan ketentuan Pasal 8 pun

mengalami perubahan, yakni dengan tidak mengacu pada pasal pasal dalam Kitab

Undang Pidana (Pasal 415), tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang

terdapat dalam masing masing pasal Kitab undang Undang hukum Pidana yang

diacu. Adapun rumusan Pasal 8 undang undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahundan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00.( seratus

lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00. (tujuh ratus lima

puluh juta rupiah),pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang

ditugaskan menjalankan suatu suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga

Page 51: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

51

yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga yang

disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut

diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut”.

Adapun yang menjadi obyek tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan

dalam Pasal 8 hanya berupa uang atau surat berharga,tidak meliputi benda benda

lain. Menurut S.R Sianturi, yang dimaksud dengan “uang” tentunya adalah uang

yang masih berlaku, sehingga tidak meliputi uang lama yang sudah tidak berlaku

lagi, meskipun mungkin harganya lebih mahal dari nilai nominal uang lama

tersebut.43

Selanjutnya pengertian tentang apa yang dimaksud dengan “surat berharga” dalam

Pasal 415 KUHP, Sianturi menyebut “surat bernilai uang” dengan

mengemukakan: “Yang dimaksud dengan surat bernilai uang adalah surat

berharga yang pada hakekatnya sama nilainya dengan yang tertera pada surat itu

dan dapat digunakan sebagai alat pembeli atau alat penukar (benda atau jasa) pada

waktu itu, misalnya cek, bilyet-giro, wesel pos, obligasi, meterai pos, meterai

temple, prangko.44

3. Pemerasan

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001. Pasal 12 huruf e berasal dari Pasal 423 KUHP yang

menentukan: ”Seorang pejabat dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaan, memaksa

seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu, untuk membayar

atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu

bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”

Sebelum dimasukkan menjadi Pasal 12 huruf e Undang Undang nomor 20

tahun2001, tindak pidana ini dirumuskan dalam pasal 12 Undang Undang Nomor

43 S.R Sianturi, 1983, Tindak pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Bandung,

Alumni AHM-PTHM, h.171 44 Ibid

Page 52: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

52

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menentukan:

”Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal

419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang Undang

Hukum Pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00.

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. (satu milyar

rupiah).

Sesuai dengan perubahan Undang undang nomor 31 Tahun 1999

berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, ketentuan Paal 12 Undang

undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan dalam pasal 12 huruf e Undang

undang nomor 20 Tahun 2001. Namun demikian rumusannya diubah dengan tidak

mengacu pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur

yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.

Berkaitan dengan hal di atas, Pasal 12 huruf e Undang undang Nomor 20

Tahun 2001 menentukan: “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahundan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan piana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus jita rupiah)

dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. (satu milyar rupiah), pegawai negeri atau

penyelenggara negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa

seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan

potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ketentuan pasal 12 huruf e tersebut, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

(1) Pegawai negeri,dan Penyelenggara Negara

(2) dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain secara

melawan hukum;

(3) menyalahgunakan kekuasaan;

(4) memaksa seseorang;

(5) a. memberikan sesuatu;

b. membayar;

c. menerima pembayaran dengan potongan;atau

Page 53: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

53

d. mengerjakan sesuatu bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

yang bersangkutan.

Ad 1) Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri menurut Pasal 12 huruf e Undang

Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2

undang Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam pasal itu disebutkan bahwa

Pegawai Negeri adalah:

a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang

Kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaiman dimaksud dalam Kitab Undang undang

Hukum Pidana;

c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. seorang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Sedangkan yang dimaksud Penyelenggara Negara menurut Pasal 12 huruf e, ialah

Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang Undang

Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara negara yang Bersih dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme yang menentukan bahwa Penyelenggara negara meliputi:

1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (catatan penulis istilah

Lembaga Tertinggi Negara telah dihapus berdasarkan Amandemen

pertama Undang Undang Dasar 1945)

2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a, c, d, e, dan f Undang

Undang nomor 43 Tahun 1999 yang dimakud dengan Pejabat Negara

adalah Presiden, Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota

Mahkamah Agung, Ketua dan Wakil ketua BPK, sedangkan mengenai

DPA sudah dihapus sebagai lembaga tinggi negara.

3. Menteri;

Sesuai dengan pasal 11 ayat (1) huruf g Undang undang Nomor 43 tahun

1999, yang dimaksud dengan menteri adalah menteri dan jabatan yang

Page 54: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

54

setingkat Menteri, yaitu Jaksa Agung,Panglima ABRI, Gubernur Bank

Indonesia, Kepala Bapenas, dan Kepala Badan Intelijen Negara.

4. Gubernur;

5. Hakim, (menurut Penjelasan pasal 2 ayat (5), yang dimaksud dengan

“Hakim” dalam ktentuan ini meliputi Hakim di semua tingkatan

Pengadilan).

6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 ngka 6 Undang Undang Nomor 43

Tahun 1999,yang dimaksud dengan “Pejabat Negara yang lain”, misalnya

kepala perwkilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta besar

Luar Biasa berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota.

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

Penjelasan Pasal 2 angka 7 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas

dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan

terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:

a. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan

BUMD,

b. Pimpinan Bank Indonesia dan pimpinan BPPN,

c. Pimpinan Perguruan tinggi Negeri,

d. Pejabat Eselon I dan Pejabat lainnya yang disamakan di

lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara RI.

e. Jaksa,

f. Penyidik,

g. Panitera pengadilan, dan

h. Pimpinan dan Bendaharawan proyek. ( Perhatikan R.Wiyono,

opcit, h.60).

Page 55: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

55

5)Perbuatan curang

Ketentuan Pasal 7 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

perbuatan curang, semula diatur dalam Pasal 387,388 KUHP.

Pasal 387 ayat (1) menentukan “diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun seoarang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan

bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan

bahan-bahan bangunan, melakukan sesuatu perbuatan curang yang dapat

membahayakan keamana orang atau barang,atau keselamatan negara dalam

keadaan perang”

Ayat (2) “diancam dengan pidana yang sama,barang siapa yang bertugas

mengawasi pembangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja

membiarkan perbuatan curang itu”.

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 387 KUHP adalah sebagai

berikut:

Ayat (1) : - pemborong atau ahli membuat bangunan atau penjual bahan bangunan

- pada waktu membuat bangunan itu atau pada waktu menyerahkan

bangunan itu;

- melakukan perbuatan curang;

- yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan orang atau

barang atau keselamatan negra waktu ada perang.

Ayat (2): yang disuruh mengawasi pekerjaan atau penyerahan bahan bangunan;

- sengaja;

- membiarkan perbuatan curang itu.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang diancam

pidana ialah pemborong atau leveransir yang melakukan perbuatan curang,

sedangkan ayat (2) ialah pengawas yang membiarkan perbuatan curang itu, seperti

Dinas pekerjaan Umum, atau pimpinan proyek.

Unsur-unsur pasal menunjukkan pula bahwa bahaya yang dimaksud itu tidak

perlu terjadi, cukup jika “dapat” terjadi dalam keadaan perang.

Pasal 388 KUHP

Ayat (1) barang siapa pada waktu menyerahkan keperluan Angkatan Laut atau

Angkatan Darat melakukan perbuatan curang melakukan perbuatan curang yang

Page 56: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

56

dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang diancam dengan

pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa bertugas mengawasi

penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan perbuatan yang

curang itu.

Adapun unsur-unsur Pasal 388 KUHP tersebut, adalah:

Ayat (1)

- waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau

Angkatan darat;

- melakukan perbuatan curang;

- yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara waktu ada perang

Ayat (2)

- yang disuruh mengawasi penyerahan barang itu ;

- sengaja;

- membiarkan perbuatan curang itu.

Pasal 388 KUHP didalamnya hanya menyebutkan Angkatan Laut dan Angkatan

Darat saja, sedangkan Angkatan Udara tidak disebut di dalamnya.

Menurut penulis, pencantuman Angkatan laut, dan Angkatan Darat telah diubah

dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan istilah Tentara

nasioanal Insonesia (TNI). Dengan demikian membawa konsekuensi bahwa

perbuatan curang dimaksudkan pula terhadap Angatan Udara,karena Angkatan

Udara merupakan unsur TNI.

Selaian pasal pasal di atas, Pasal 435 KUHP menentukan: “Seorang

pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam

pemborongan, penyerahan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,

untuk selutuh atau sebagian, dia ditugaskan atau mengawasinya,diancam dengan

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak

delapan belas ribu rupiah.

Unsur-unsur Pasal 435 KUHP, adalah:

- pegawai negeri;

- sengaja;

- baik dengan perantaraan maupun dengan langsung;

- turut serta dalam pemborongan, penyerahan, persewaan;

Page 57: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

57

- yang pengurusnya atau pengawasnya, ketika perbuatan itu dilakukan,

seluruh atau sebagian diserahkan kepadanya.

Ketentuan pasal-pasal KUHP tersebut telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi

sejak tahun1971 yang dikhususkan untuk pelaggaran pelanggaran di bidang

pembororngan, leveransir, dan rekanan.

Menurut Andi Hamzah kelompok delik tersebut jarang muncul ke muka sidang

pengadilan, walaupun kita dapat menduga bahwa pelanggaran terhadap pasal

pasal tersebut banyak terjadi, lebih-lebih dalam suasana pesatnya pembangunan

dewasa ini.45

Pandangan Andi Hamzah tersebut masih relevan hingga saat ini,

terlebih lagi pembangunan di Indonesia mencakup pula daerah daerah tertinggal

yang selama ini belum terjangkau.

Setelah perubahan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 menjadi Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1999, pasal pasal KUHP tersebut materinya diatur

dalam Pasal 7, yang menentukan: ”Setiap orang yang melakukan tindak pidana

sebagimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang Undang

Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00.

(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00. (tiga ratus lima puluh

juta rupiah).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang undang nomor 20 Tahun

2001, ketentuan Pasal 7 Undang undang nomor 31 Tahun 1999, rumusannya

diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung

menyebutkan unsur unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang

diacu, sehinggga berbunyi:

Pasal 7 ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

100.000.000,00. (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga

ratus lima puluh juta rupiah) :

a. pemborong, ahli bangunan, yang pada waktu membut bangunan,

atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan

bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keamanan orang, atau barang, atau keselamatan negara dalam

keadaan perang.

45 Andi Hamzah,Op.cit,h.130

Page 58: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

58

b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau

penyerahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang

sebagaimana dimaksud huruf a;

c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan

tentara nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia melakukan perbutan curang yang dapat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang

keperluan Tentara nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang

sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang

menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan

atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan

curang sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c,

dipidana dengan dengan pidana yang sama sebagimana dimaksud dalam

ayat (1).

Penyebutan unsur-unsur pasal di atas, tidaklah dimaksudkan untuk

membahas secara detail sub-sub unsur yang ada di dalamnya, tetapi hanya sebatas

membahas unsur dominan dari Pasal 7 tersebut, yakni “perbuatan curang”.

Pasal 7 memiliki kandungan yang berbeda-beda tentang pengertian “perbuatan

curang”. Pasal 7 ayat (1) huruf a mengartikan “perbuatan curang” sebagai

perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah

ditentukan dalam perjanjian. Adapun yang dituju bukan sekedar “perbuatan

curang”, tetapi “perbuatan curang” yang dapat membahayakan keamanan orang

atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Berkaitan dengan unsur membiarkan perbuatan curang dalam pasal 7 ayat

(1) huruf b, perlu dijelaskan tentang maksud “membiarkan” tersebut. Di lihat dari

segi bahasa “membiarkan” dalam pasal 7 ayat (1) huruf b adalah memberi

kesempatan atau peluang. Namun demikian pengertian “membiarkan”

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b bukan berkedudukan

sebagai pembantu menurut Pasal 56 angka 2 KUHP, karena “membiarkan” atau

memberi kesempatan atau peluang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 angka

2 KUHP adalah “membiarkan” atau memberi kesempatan atau peluang untuk

melakukan tindak pidana.

Page 59: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

59

Sedangkan “membiarkan” atau memberi kesempatan atau peluang sebagimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b adalah “membiarkan” atau memberikan

kesempatan atau peluang pada waktu orang lain melakukan tindak pidana, yaitu

pada waktu pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan melakukan

tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a

(ibid,h74).

Perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c adalah

perbuatan dari “setiap orang”yang tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari

syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian pada waktu menyerahkan

barang keperluan Tentara Nasioanal Indonesia dan/atau kepolisian Negara

Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang

Dengan digunakannya kata “dapat”, maka agar dapat dinyatakan telah melakukan

tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf c, perbuatan

curang dari “setiap orang” pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan/atau kepolisian negara RI, tidak perlu sampai

menimbulkan akibat yang membahayakan keselamatan negara dalam keadaan

perang, namun cukup terdapat kemungkinan timbulnya akibat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang.46

Berkaitan dengan Pasal 7 ayat (1) d, perbuatan curang yang dimaksud

adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang, yang bertugas mengawasi

penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indinesia dan/atau kepolisian

Negara RI membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan negara

dalam keadaan perang. Pengertian “setiap orang” dalam pasal ini adalah setiap

orang yang sebelumnya sudah harus ditunjuk oleh atasannya masing-masing

dalam jajaran Departemen Pertahanan, atau Kepolisian Negara RI, atau memang

karena jabatannya. Sedangkan pengertian “membiarkan” sama dengan yang

dimaksud dalam huruf c.

46 ibid, h.75-76

Page 60: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

60

Bertolak dari uraian di atas,dapat disimpulkan bahwa “perbuatan curang”

dalam pasal 7 Ayat (1),meliputi:

a) perbuatan curang yang dilakukan oleh pemborong,ahli bangunan

pada saat membuat bangunan, dan penjual bahan bangunan yang

dapat membahayakan keselamatan orang atau barang,atau

keselamatan negara dalam keadaan perang;

b) perbuatan curang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang

bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bangunan

,dengan sengaja “membiarkan” perbuatan curang sebagimana

dimaksud dalam huruf a;

c) perbuatan curang pada waktu menyerahkan barang keperluan

Tentra Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI yang

dapat membahayakan keselamatan negar dalam keadaan perang;

d) perbuatan curang yang dengan sengaja dilakukan oleh orang yang

bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional

Indonesia, dan/atau Kepolisian Negara RI

5) Gratifikasi.

Pasal 12 B mengatur tentang Gratifikasi. Black’s Law Dictionary

memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification: “a voluntarily

given reward or recompense for a service or benefit” (gratifikasi adalah

sebuah pemberian yang diberikan atau diperolehnya suatu bantuan atau

keuntungan). Menurut Transparency International, bentuk Gratifikasi

dibedakan dalam dua bagian,yakni :

a. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat

yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamerih artinya

pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan

balasan apapun.

b. Gratifikasi negative adalah pemberian hadiah dilakukan dengan

tujuan pamerih, pemberian jenis ini yang telah membudaya di

kalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi

kepentingan.

Page 61: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

61

Dengan demikian gratifikasi tidak selalu mempunyai efek jelek, namun harus

dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang

memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamerih.

Selanjutnya dijelaskan, di negara-negara maju gratifikasi kepada kalangan

birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena

akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan

keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik.

Bahkan di kalangan privatpun larangan juga diberikan,contoh pimpinan stasiun

televise swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang

atau barang dalm bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas

pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan

disertai sanksi yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi

yang melanggar dan harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi atau

penerima).47

Dalam Penjelasan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni

meliputi pemberian uang,barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,

tiketperjalanan, fasilitaspenginapan, perjalananwisata, pengobatan cumacuma, dan

fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun

di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau

tanpa sarana elektronik.

Dalam Pasal 12 B Undang Undang No 29 Tahun 2001 dinyatakan bahwa:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap

pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan

dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan

oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut

umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagimana

dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

47 Ibid, h.28

Page 62: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

62

paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp 1.000.000.000,00. (satu milliard rupiah).

Pengaturan tentang Gratifikasi dalam undang undang ini, menurut penulis

merupakan langkah responsif dari pembentuk undang undang, mengingat masih

adanya kultur pada sebagian pejabat penyelenggara negara yang mau menerima

pemberian atau hadiah, pada hal patut diketahui hal itu secara etik moral maupun

yuridis bertentangan dengan kewajiban yang seharusnya menurut ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Page 63: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

63

BAB V. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK

TINDAK PIDANA KORUPSI

2. Faktor-faktor Penyebab Korupsi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi. Oleh karena itu mencari

faktor penyebab korupsi merupakan langkah awal dalam rangka pemberantasan

korupsi yang riil. Lembaga transparency mengatakan bahwa korupsi di tanah

negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun

diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam setiap orde yang datang silih

berganti.

ICW mengidentifikasikan empat faktor korupsi yaitu faktor politik, faktor

hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasinal.48

Selain itu

terdapat pula pandangan yang mengatakan faktor budaya sebagai penyebab

korupsi.

1. Dampak Tindak Pidana Korupsi.

Terdapat cukup banyak pemerintahan suatu negara jatuh karena diterpa

kasus kasus korupsi. Sebagai ilustrasi mantan Presiden Filipina Ferdinan Edralin

Marcos jatuh karena sangat otoriter dan korup dalam menjalankan

pemerintahannya, sehingga angkat kaki dari negaranya, dan akhirnya meninggal

48 ICW, 2000, Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, dalam Transparency

Internastional, op-cit, h.40

Page 64: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

64

dalam pengasingan di Hawai Amerika Serikat. Di Indonesia mantan Presiden

Soeharto lengser dari kekuasaannya karena adanya pemusatan kekuasaan,

wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Mandataris Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, tanpa control sosial yang efektif

dari masyarakat. Hal tersebut tidak hanya berdampak negative di bidang politik,

namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktik

penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan

memberi peluang tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepoltisme (KKN).

Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat dianalisis bahwa korupsi

menimbulkan efek negative luar biasa terhadap berbagai sisi kehidupan

masyarakat, baik ekonomi, sosial dan kemiskinan, runtuhnya otoritas

pemerintahan, politik dan demokrasi, penegakan hukum, Hankam, dan

Lingkungan Hidup.

Hal tersebut secara yuridis ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi dalam pertimbangan

hukum huruf a yang menyatakan “bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini

terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara

luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang

pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”

Oleh karena itu beralasan kiranya pandangan Abraham Samad saat

memberikan kuliah umum di Universitas Hasanudin Makasar yang menyatakan

bahwa korupsi di Indonesia semakin memperihatinkan, bukan saja meningkatkan

kemiskinan masyarakat, memicu bertambahnya pengangguran, illegal loging yang

sarat akan korupsi sehingga menyebabkan kerusakan hutan semakin meluas dan

yang tidak dapat dihindari adalah menumpuknya hutang luar negeri.49

49 Abraham Samad, 2012, Pembangunan Karakter Mahasiswa Melawan Korupsi,

dalam Kadek krisna Sintia Dewi, 2014, Tesis dengan judul Efektivitas Penerapan

ancaman Sanksi Pidana Guna pengembalian Kerugian keuangan negara dalam

Tindak pidana Korupsi, h.11

Page 65: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

65

Dalam tulisan ini tidak semua akibat atau dampak korupsi yang akan

dibahas, melainkan sebatas menyajikan besarnya kerugian keuangan negara yang

diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.

Hasil penelitian dan pengkajian P2 E.B Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa kerugian negara akibat korupsi tahun

2011-2012 mencapai Rp 168,19 triliun, dengan total hukuman finansial sebanyak

Rp 15,09 triliun.Karena itu negara kehilangan uang sebanyak Rp 153,1 triliun.50

Selain itu, menurut Koordinator ICW Divisi Investigasi, merilis hasil tren

korupsi semester I di tahun 2014, menyatakan bahwa jumlah kerugian negara

akibat adanya dugaan tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai Rp 3,7

triliun.51

Sebagai dampak ikutan negative lainnya, indek persepsi korupsi Indonesia

berada pada tingkat yang rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Transparency International (TI) pada tahun 2013 melansir Corruption Perception

Index(CPI) secara global, maupun untuk kawasan Asia Pasifik dan Asia

Tenggara. CPI direprentasikan dalam bentuk bobot skor/angka (score) dengan

rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor

100 berarti negara dipersepsikan sangat bersih dari korupsi.

Berdasarkan bobot skor tersebut, pada tahun 2013 secara global terdapat 6

(enam) negara yang memiliki skor tertinggi, yakni Denmark (91), Finlandia (91),

Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86),dan Singapura (86). Negara

dengan skor terendah terdpat 5 (lima) negara, yaitu : Sudan Selatan (14),Sudan

(11),Afganistan (8),Korea Utara (8),dan Somalia (8). Sedangkan Indonesia

dengan skor CPI sebesar 32, menempati urutan ke 114 dari 177 negara yang

diukur.

Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih jauh berada dibawah Singapura

(86),Hongkong (75),Taiwan (61), Korea Selatan (55),dan Cina (40).Di ASEAN,

skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60), Malaysia (50),sedikit di bawah Filipina

50 Tempo.co, Senin 4 Maret 2013, diakses pada tanggal 31-Juli- 2014, jam 16.30 wita 51 Merdeka.com, diakses pada 04 Juni 2014, jam 12.44

Page 66: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

66

(36),dan Thailand (35). Namun skor Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam

(31), Timor leste (30), Laos (26), dan Myanmar (21).52

Berdasarkan uraian di atas,dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia

sangat memperihatinkan,meluas dan sistimatis, serta menimbulkan efek

menghancurkan yang luar biasa di berbagai sector kehidupan,apabila tidak diikuti

dengan komitmen segenap penyelenggara negara dan pejabat publik,seluruh

komponen masyarakat untuk memerangi korupsi melalui upaya-upaya penal dan

non penal secara konsisten, dan berkelanjutan.

Secara global, sebagai akibat tindak pidana korupsi yang tinggi di

Indonesia akan menimbulkan citra yang kurang menguntungkan bagi bangsa

Indonesia akibat skor Corruption Perception Index dengan skor rendah (32) yang

dikategorikan sebagai negara yang tidak bersih dari korupsi atau berada di zone

merah.

52 Corruption Perception Index 2013,

http://www.ti.or.id/index.php/publikation/2013/12/03/corruption perception index

Page 67: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

67

BAB VI. PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG

MENJERAKAN

Di depan telah diuraikan beragamnya faktor faktor penyebab korupsi serta

akibat negative yang ditimbulkannya. Beragamnya faktor penyebab korupsi, serta

efek penghancuran yang luar biasa terhadap suatu bangsa sebagai akibat perilaku

koruptif yang makin meluas dan sistimatis, mengakibatkan bahwa pemberantasan

korupsi tidak pernah tuntas.

Bangsa Indonesia meskipun telah memiliki perundang-undangan tentang

pemberantasan korupsi, aparatur penegak hukum, bahkan memiliki Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum berhasil memberantas korupsi

yang semakin akut tersebut, terbukti menurut Lembaga transparency international,

tingkat korupsi di indonesia berada pada tataran negara dengan tingkat korupsi

yang tinggi.

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ada pandangan yang

mengatakan bahwa upaya yang paling tepat adalah dengan menghukum seberat-

beratnya pelaku korupsi. Pandangan seperti itu memperoleh pembenaran

sebagaimana dipraktikkan di beberapa negara antara lain, Negara Tiongkok yang

menghukum koruptor dengan hukuman mati. Hukuman yang keras tanpa

kompromi juga dilakukan di negara Singapura, Hongkong, Malaysia, sehingga

CPI negara-negara tersebut meningkat seperti diuraikan di depan.

Indonesia sudah mulai menerapkan sanksi pidana berat belakangan ini,

bahkan Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S

Langkun mengatakan selama tiga tahun terakhir, pemberantasan korupsi di

Indonesia mengalami peningkatan.Peningkatan yang terjadi, ada pada jumlah

kasus yang ditangani maupun actor yang ditetapkan sebagai tersangka, baik di

Komisi pemberantasan korupsi, maupun di kepolisian dan Kejaksaan.53

Walaupun dengan upaya-upaya sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia

belum mampu memperbaiki peringkat CPI secara signifikan, dan masih bercokol

di urutan 144 dari 177 negara-negara korup dunia. Menurut hemat penulis, hal

53 Ibid, diakses tanggal 10.02.2014

Page 68: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

68

tersebut berkaitan dengan maraknya korupsi di sector politik yang dilakukan

kalangan oknum DPRRI, DPR Provinsi, Kabupaten/Kota, elit-elit artai Politik,

kalangan Penegak Hukum, maupun kalangan swasta yang telah merampas hak-

hak sosial, dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan segala cara atau modus

operandi, koruptor baru juga terus bermunculan, sepertinya tidak pernah takut,

sekalipun koruptor sebelumnya telah dijatuhi hukuman berat.

Namun demikian, realitas menunjukkan masih adanya sanksi pidana yang

dijatuhkan hakim yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sanksi

pidana dianggap rendah, remisi terhadap koruptor, fasilitas terpidana korupsi di

Lembaga pemasyarakatan yang mudah dibeli, pejabat birokrasi yang menjadi

tersangka bahkan diangkat kembali sebagai pejabat struktural, bahkan dilantik

sebagai Walikota. Semuanya itu sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.

Oleh karena itu di tengah kegeraman masyarakat terhadap korupsi,

berkembang pula wacana tentang pentingnya sanksi pidana yang seberat-beratnya,

termasuk hukuman mati, pencabutan kewarganegaraan Indonesia, pemberian

label koruptor terhadap rumah para koruptor,termasuk sanksi sosial, dan sanksi

adat.

Berkaitan dengan itu, menarik untuk dicatat pandangan Akil Mochtar

sesaat setelah dilantik sebagai Ketua KPK yang mengatakan agar koruptor

dijatuhi hukuman potong tangan. Pandangan tersebut menurut hemat penulis

hanya sebatas wacana belaka, dan tidak menjadi sarana pencegahan khusus,

apalagi menimbulkan efek jera bagi dirinya sendiri. Sungguh ironis beberapa

bulan kemudian justru dia sendiri terlibat kasus korupsi, dan mengantarkannya

menyandang status sebagai terpidana seumur hidup.

Merupakan realitas pula mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas

Urbaningrum ketika disebut-sebut terlibat kasus megaproyek Hambalang, dengan

lantang mengatakan “kalau Anas menerima uang satu rupiah saja dari proyek

Hambalang gantung Anas di Monas”. Menurut hemat penulis, ucapan Anas

tersebut sebatas menjadi pembenaran bagi dirinya sendiri di tengah kegeraman

publik terhadap korupsi selama ini. Ucapan Anas tersebut tidak akan mengurangi

nilai yuridis yang ada, terbukti pula kini menyandang status terdakwa. Namun

Page 69: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

69

demikian, terlepas dari wacana yang berkembang, hal itu mengindikasikan pula

akan pentingnya sanksi pidana berat terhadap koruptor.

Dalam perkembangan penegakan hukum terhadap koruptor di Indonesia

patut diapresiasi tentang diterapkannya sanksi pidana berat berupa pidana penjara

selamam 20 tahun terhadap Urip Tri Gunawan,dan di tahun 2013 disusul dengan

sanksi pidana berat terhadap Angelina Pinkan Sondakh, Djoko Soesilo, Ahmad

Fatonah, Lutfi Hasan Ishak. Tentu sejalan dengan rasa keadilan masyarakat,

penerapan sanksi pidana berat terhadap para koruptor perlu diterapkan secara

konsisten.

Di samping upaya pemberantasan korupsi melalui sanksi pidana, patut

pula dicatat, munculnya gagasan mantan Jaksa agung Sukarton Marmosudjono

pada tahun 1989 mengenai penayangan koruptor di televise. Gagasan tersebut

merupakan salah satu bentuk sanksi moral, sehingga diharapkan akan timbul rasa

jera bagi yang lainnya agar tidak melakukan tindak pidana korupsi di masa

datang.54

Gagasan yang baik tersebut tidak kunjung terrealisasi, bahkan korupsi,

kolusi, dan nepotisme ketika itu makin merajalela.

Penayangan koruptor baru menjadi realitas, ketika Komisi Pemberantasan

Korupsi untuk pertama kalinya mewajibkan tersangka koruptor mengenakan baju

tahanan KPK berwarna putih sebagai bentuk tekanan moral terhadap tersangka,

sekaligus untuk menimbulkan efek jera kepada setiap orang agar tidak melakukan

tindak idana korupsi.Kini warna baju tahanan tersangka korupsi berwarna orange

yang setiap saat telah menghiasi media elektronik maupun cetak di Indonesia.

Penulis berpandangan, bahwa penayangan koruptor melalui media massa

elektronik maupun cetak, merupakan salah satu bentuk kampanye anti korupsi,

sarana efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku koruptif pejabat publik,

sekaligus sebagai sarana informasi dan edukasi bagi masyarakat akan bahaya

korupsi. Dengan demikian media massa akan dapat memerankan dirinya sebagai

sarana control sosial dan pendidikan yang efektif dalam pencegahan tindak pidana

korupsi, baik secara khusus, maupun umum.

54 Ilham Gunawan, op.cit, h.1

Page 70: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

70

Hal tersebut bersesuaian dengan pandangan G.Peter Hoefnagels, yang

mengatakan kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan

istilah “politik criminal” dibedakan sebagai berikut :

1. Criminal law application (kebijakan penerapan hukum pidana);

2. Prevention without punishment (kebijakan pencegahan tanpa hukum

pidana);

3. Influencing views of society on crime and punishment/mass media

(kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai

kejahatan dan pemidanaan lewat media massa).55

Dengan demikian menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan

secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal”(hukum pidana), dan

lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana).

Selanjutnya dikatakan, secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya

penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat

“repressive” (penindasan, pemberantasan, penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,

sedangkan jalur “non penal”lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”

(pencegahan/penangkalan, pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada

hakekatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.56

Mengingat penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal”lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, dalam

hal ini korupsi. Faktor faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-

masalah atau kondisi-kondisi sosial yang langsung atau tidak langsung dapat

menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan( dalam hal ini korupsi,

tambahan dari penulis). Dengan demikian menurut Barda Nawawi Arief, upaya

non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik

Kriminal.

55 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h 47-48 56 Ibid,h.49

Page 71: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

71

Berkaitan dengan itu, Muladi mengatakan “kita dapat mengacu pada

pandangan luas dan sempit tentang penanggulangan kejahatan.Pandangan luas,

penanggulangan kejahatan diartikan sebagai kebijakan criminal (criminal policy)

yang di dalamnya tercakup sistem peradilan pidana dan “prevention without

punishment”, sedangkan pandangan sempit,melihat penanggulangan kejahatan

semata-mata sebagai usaha-usaha pencegahan kejahatan tanpa menggunakan

hukum pidana”57

Berdasarkan uraian di atas, maka akan diuraikan upaya upaya

penanggulangan tindak pidana korupsi dari jalur penal dan non penal, sebagai

berikut :

1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Jalur Penal.

Politik criminal (Criminal Policy) sebagai usaha rasional masyarakat dalam

menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakakukan baik melalui

sarana penal maupun sarana non penal, kedua sarana ini (penal dan non penal)

merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan

dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan

kejahatan masyarakat.

Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya secara operasional

dilakukan melalui langkah-langkah: Perumusan norma-norma hukum pidana,yang

di dalamnya terkandung adanya unsur substantif, struktural dan kultural

masyarakat dimana sistem hukum pidana itu diberlakukan.Sistem hukum pidana

yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara operasional bekerja lewat suatu

sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).58

Selain itu, Muladi juga mengatakan “Dengan tujuan jangka pendek untuk

resosialisasi, tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan

jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, maka sistem peradilan pidana

57 Muladi(2),1997, Hak Asasi Manusia,Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h.96 58 Muladi(3), 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, h.vii

Page 72: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

72

merupakan primadona untuk selalu menjadi tumpuan harapan dalam pengendalian

kejahatan59

.

Sistem Peradilan Pidana sebagai tumpuan harapan dalam penanggulangan

tindak pidana korupsi telah ditandai dengan optimalisasi upaya upaya penal dalam

penaggulangan tindak pidana korupsi. Hal itu antara lain tampak pada tuntutan

pidana maksimal oleh KPK dan Jaksa Penuntut Umum dalam upaya untuk

menimbulkan efek jera terhadap koruptor. Pada tingkat pengadilan telah pula

ditunjukkan dengan penjatuhan pidana maksimal terhadap para koruptor, antara

lain seperti Angelina Sondakh, Djoko Soesilo, Ahmad Fatonah, Lutfi Hasan

Ishak dan sederet koruptor lainnya. Selain sanksi pidana penjara, pidana denda,

pidana pengganti kerugian negara, penyitaan aset hasil korupsi, bahkan terhadap

Djoko Soesilo ditambah hukum tambahan berupa pencabutan hak memilih dan

dipilih dalam jabatan publik.

Upaya penanggulangan melaui jalur penal tersebut di atas, tidak memberikan

hasil maksimal berupa turunnya tingkat korupsi di Indonesia, bahkan realitas

menunjukkan bahwa kasus-kasus korupsi muncul setiap saat, seperti tertangkap

tangannya Gubernur Riau Anas Makmun, Bupati Kerawang Ade Swara denga

istri atas dugaan menerima suap, di tengah gencarnya penegak hukum melakukan

pemberantasan korupsi. Hal itu menunjukkan bahwa pelaku korupsi tidak pernah

jera atau takut akan sanksi maksimal yang diterapkan selama ini.

Hal ini ditambah pula dengan kenyataan bahwa spirit dan semangat diantara

sub sistem dalam sistem peradilan pidana itu sendiri tidak sama. Hal ini dapat

dilihat, antara lain ketika tuntutan Jaksa KPK, maupun Jaksa Penuntut umum

terhadap tindak pidana korupsi dengan pidana maksimal, ternyata sanksi pidana

yang diputus hakim justru rendah. Hal itu diperparah lagi dengan kenyataan

adanya pemberian remisi, dan penerapan pidana bersyarat kepada terpidana

korupsi yang tidak sejalan dengan upaya menimbulkan efek jera terhadap

koruptor.

59 Muladi(2), op-cit, h.97

Page 73: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

73

Bertolak dari uraian di atas,upaya penanggulangan melalui jalur penal

sesungguhnya memiliki “keterbatasan” dan mengandung beberapa “kelemahan”

(sisi negative) sehingga fungsinya seharusnya digunakan secara subsidair.

Menurut Barda Nawawi Arief, keterbatasan dan kelemahan tersebut adalah :

a. dilihat secara dogmatis,sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling

tajam dalam bidang hukum,sehingga harus digunakan sebagai ultimum

rimedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain

sudah tidak dapat digunakan lagi)

b. dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya

menuntut biaya yang tinggi.

c. sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengandung

efek sampingan yang negative. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload

Lembaga pemasyarakatan.

d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya

merupakan “kurieren am symptom” (menyembuhkan gejala), ia hanya

merupakan pengebotan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena

sebab sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan

hukum pidana;

e. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem)dari sarana

control sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai

masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;

f. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan indifidual/personal;tidak

bersifat structural atau fungsional;

g. Efektivitas pidana (hukuman ) bergantung pada banyak faktor dan masih

sering diperdebatkan oleh para ahli;

2. Penegakan Hukum Melalui Jalur Non Penal

Telah diuraikan di muka, bahwa penanggulangan tindak pidana korupsi dapat

dilakukan dengan sinergitas antara penanggulangan melalui jalur penal dan non

penal. Namun demikian Barda Nawawi Arief mengatakan “dilihat dari sudut

Page 74: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

74

politik criminal secara makro dan global, maka upaya upaya non penal menduduki

posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal”.60

Hal tersebut ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, yakni:

a. Kongres PBB ke 6 Tahun 1980 di Caracas Venezuela yang dalam

pertimbangan mengenai “Crime trends and crime prevention

strategies” anatar lain menyatakan “bahwa strategi pencegahan

kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi

kondisi yang menimbulkan kejahatan”

b. Pada Kongres ke 7 Tahun 1985 di Milan,Italia,anatara lain ditegaskan

di dalam pertimbangan Resolusi No.22 mengenai “Crime prevention in

the contex of development” antara lain ditegaskan bahwa “kebijakan

kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus

mempertimbangkan sebab-sebab structural,termasuk sebab-sebab

ketidak adilan yang bersifat sosio ekonomi,di mana kejahatan sering

hanya merupakan gejala/symptom”

c. Pada Kongres PBB ke 8 Tahun 1990 di Havana Kuba, antara lain

ditegaskan dalam dokumen A/CONF. 144/L. 17 (mengenai “Social

aspects of crime prevention and criminal justice in the context of

development”) menyatakan “bahwa aspek aspek sosial dari

pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran

strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam konteks

pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama”.

Berdasarkan beberapa Kongres PBB tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan

sebab sebab struktural, termasuk sebab sebab ketidakadilan yang bersifat sosial

ekonomi,dan penghapusan sebab-sebab dan kondisi kondisi yang menimbulkan

kejahatan.61

60 Ibid,h.49 61 Ibid, h. 50-52

Page 75: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

75

Dalam kontek Indonesia faktor faktor penyebab kejahatan dalam hal ini tindak

pidana korupsi, mencakup sebab sebab yang cukup luas,baik di bidang politik,

hukum, ekonomi, dan budaya.

Mengacu pada pengertian penanggulangan kejahatan melalui jalur non

penal yang leih menitik beratkan pada sifat (pencegahan, penangkalan,

pengendalian) sebelum kejahatan terjadi, maka dapat dikemukakan beberapa

upaya penanggulangan korupsi melalui jalur non penal sebagai berikut;

2.1. Peningkatan Peran \Serta Masyarakat.

Hal ini diatur dalam bab V Undang Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang

peran serta masyarakat,bahkan memberikan penghargaan kepada anggota

masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan,

atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

Pasal 41 ayat (1) menentukan: “ Masyarakat dapat berperan serta membantu

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ayat (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diwujudkan dalam bentuk:

a. hak mencari,memperoleh,dan memberikan informasi adanya dugaan

telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,memperoleh,dan

memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana

korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak

pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab

kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana

korupsi;

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya

yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:

1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c;

Page 76: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

76

2) diminta hadir proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang

pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai

ketentuan perundang-udangan yang berlaku

3) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah

dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut penulis, peran serta masyarakat membantu upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi belum terlaksana secara optimal, karena

beberapa faktor:

1. Adanya pandangan bahwa upaya pemberantasan dan peanggulangan

korupsi merupakan tanggung jawab negara,pada hal tanpa peran serta

masyarakat korupsi tidak mungkin diberantas secara optimal.

2. Ketakutan menjadi saksi karena akan merepotkan dan mengeluarkan biaya

tinggi.

3. Masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik

melakukan fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus

korupsi, padahal Indonesia telah memiliki Undang undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu menurut

Lembaga Transparency Internasional di beberapa negara, pasal pasal

mengenai fitnah dan pencemaran nama baik tidak dapat diberlakukan

untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran bahwa

bahaya korupsi dianggap lebih besar daripada kepentingan individu.

4. Tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi sebgaimana dimaksud dalam Pasal

41 yat (2) huruf e. angka 5) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta

Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian pengalaman

menunjukkan bahwa keluhan, saran masyarakat tersebut sering tidak

ditanggapi dengan baik dan benar oleh pejabat yang berwenag,walaupun

telah diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan dalam waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran

Page 77: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

77

atau pendapat diterima sesuai yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) Peraturan

Pemerintah tersebut.

Peran serta masyarakat sangat penting untuk memastikan bukan

saja dukungan publik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,

tetapi sekaligus pula agar upaya penanggulangan dan pemberantasan

korupsi itu sesuai dengan harapan dan rasa keadilan masyarakat. Dengan

demikian diharapkan kesadaran masyarakat untuk bersinergi dengan

penegak hukum dan pemangku kepentingan lainnya dapat dilakukan

secara optimal sebagai salah satu bentuk upaya penanggulangan korupsi

melalui jalur non penal.

2.2. Peran Pers/Media Massa

Pers Indonesia menurut Pasal 3 Undang Undang Nomor 40 Tahun

1999

tentang Pers, mempunyai fungsi sebagai media informasi,

pendidikan, hiburan, dan control sosial.

Pers Indonesia dimasa reformasi ini berbeda dengan Pers di era Orde

Baru. Di era Orde Baru Pers Indonesia tidak memiliki kebebasan penuh

untuk melakasanakan tugas dan fungsinya, karena selalu dihantui dengan

pembredelan, apabila tidak sejalan dengan pandangan pemerintah yang

otoriter ketika itu.

Di era Reformasi Pers Indonesia mulai menapaki iklim Pers yang

Bebas dan Bertanggung Jawab, tanpa dihantui pembredelan seperti di era

Orde Baru.Melalui Pers yang bebas dan bertanggung jawab itu,bangsa

Indonesia memperoleh sajian informasi akurat tentang kehidupan dalam

berbagai aspeknya, termasuk informasi tentang tindak pidana korupsi.

Pers dengan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan

control sosial tidak henti-hentinya menyiarkan dan memberikan informasi

manakala berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Masyarakat

memperoleh informasi, baik mengenai tertangkap tangannya terduga

tindak pidana korupsi, lengkap dengan rompi orange dan tangan diborgol,

bentuk tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan, jumlah uang yang

Page 78: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

78

disita, informasi tentang pasal-pasal yang dilanggar, termasuk ancaman

sanksi pidananya.

Bertolak dari uraian ringkas tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

hal-hal sebagai berikut:

a. Pers memberikan informasi begitu banyak kepada masyarakat

tentang bahaya korupsi, sebagai sarana pencegahan umum maupun

khusus;

b. Pers yang bebas dan bertanggung jawab berfungsi sebagai alat

kampanye anti korupsi, serta bahaya korupsi terhadap masyarakat

dan bangsa Indonesia.

c. Pers sebagai alat control sosial menjadi sarana pengawasan efektif

terhadap pejabat publik, korporasi, dan masyarakat.

Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 6 huruf d yang

menentukan Pers “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Selain itu, Pasal 6 huruf e menentukan Pers “memperjuangkan keadilan

dan kebenaran.”Bahkan menurut Pasal 17 ayat (1) “Masyarakat dapat

melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan

menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan”. Dengan demikian

Pers memiliki landasan hukum yang kuat dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berkaitan dengan pengawasan Pers tersebut, relevan kiranya

pandangan Henry Grunwald Pemimpin redakasi Time yang menyatakan

bahwa ”pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan patuh sekalipun,

dapat dengan mudah menjadi pemerintah yang korup apabila

kekuasaannya tidak diawasi oleh pers yang bebas

2.3 Peran Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM).

Sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society), Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) memainkan peran penting dalam rangka

pencegahan dan pengawasan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam

Page 79: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

79

pengawasan lingkungan hidup,pemerintahan,parlemen,peradilan dan

sebaginya. LSM tersebut tumbuh dan berkembang baik pada tataran

internasional, nasionl, maupun local/daerah.

Di Indonesia sejak bergulirnya reformasi telah muncul berbagai LSM

seperti, Indonesia Coruption Watch (ICW), Parlemen Watch, Police

Watch dan berbagai LSM lainnya dalam mengawasi pejabat publik baik

perbuatan pemerintah, Parlemen, dan lembaga peradilan. Pada tingkat

lokal/daerah telah berdiri LSM yang juga mempunyai fungsi yang sama,

termasuk Bali dengan Bali Corruption Watch. Di Perguruan Tinggi berdiri

pula Pusat Kajian Korupsi yang melakukan kajian kritis terhadap tindak

pidana korupsi.

Di samping itu terdapat pula gerakan Lembaga Swadaya Internasional,

yakni:

a) Transparency International (TI) merupakan organisasi internasional

non pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil

penelitian mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan

korupsi politik di tingkat internasional.Sejak tahun1995 Transparency

Internasional (TI) mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi

(Corruption Perception Index). CPI membuat peringkat tentang

prevalensi korupsi di berbgai negara, berdasarkan survey yang

dilakukan terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat yang

diterbitkan setiap tahun dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia.

CPI disusun dengan member nilai atau score pada negara-negara

mengenai tingkat korupsi dengan range nilai antar 1-10. Nilai 10

adalah nilai yang tertinggi dan terbaik sedangkan semakin

rendahnilainya,negara dianggap atau ditempatkan sebagi negara-

negara yang tnggi angka korupsinya.62

62 Ibid, h.109

Page 80: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

80

b) TIRI.

TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen

internasional non pemerintah yang berkedudukan di London dan

mmiliki kantor perwakilan di beberapa negara, termasuk di Jakarta.

Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat

jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum

Pendidikan integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan

Tinggi. Jaringan ini di Indonesia disngkat dengan nama I-IEN yang

kepanjangannya adalah Indonesian Integrity Education Network. TIRI

berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan kurikulum Pendidikan

Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa dapat

mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa.63

Menurut hemat penulis, sinergitas LSM nasional Indonesia dengan

gerakan LSM Internasional di atas, akan dapat membantu Indonesia

melakukan upaya-upaya non penal terhadap korupsi. Melalui jejaring

internasional, maka hasil korupsi yang selama ini dengan mudah

dilarikan ke luar negeri akan dapat dicegah atau ditangkal lebih dini.

1.4 Pendidikan Agama

Pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi perlu

dilakukan dengan pendekatan religious dan pendekatan identitas sosial

budaya. Pendidikan agama dan pencerahan nilai-nilai keagamaan yang

efektif sangat penting dan strategis dalam memperkuat kembali

keyakinan dan kemampuan untuk mengikuti jalan kebenaran dan

kebaikan. Melalui pendidikan dan pencerahan nilai-nilai agama yang

efektif diharapkan akan terbinanya pribadi manusia yang sehat

jiwa/rohaninya, sekaligus terbinanya keluarga dan lingkungan sosial

yang lebih luas.

2.5. Membina dan meningkatkan efektivitas “extra legal sistem” atau

“informal sistem” yang ada dalam masyarakat dalam penanggulangan

63 Ibid,h.110

Page 81: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

81

tindak pidana korupsi, anatara lain kerjasama dengan organisasi soaial

keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya.

Upaya-upaya yang berkaitan dengan meningkatkan extra legal sistem

tersebut, antara lain melalui:

a) pendidikan tentang bahaya korupsi sejak dini mulai Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan penyusunan kurikulum

anti korupsi pada semua jenjang pendidikan, termasuk

Pendidikan Tinggi;

b) pencegahan dan penanggulangan korupsi dengan pendekatan

berbasis nilai-nilai keluarga;

c) kerjasama dengan Perguruan Tnggi baik Negeri maupun

Swasta,melalui kajian kritis baik dalam bentuk seminar,maupun

penelitian

d) pembuatan dan penayangan Film Anti Korupsi kepada

masyarakat secara terncana dan terprogram untuk

menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, maka ide gagasan tentang pidana yang

menjerakan bagi koruptor relevan dikemukakan sebagai bagian dari upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi, sekaligus memastikan bahwa koruptor

akan kapok untuk mengulangi perbuatan jahatnya, sekaligus mencegah pelaku

potensial untuk tidak melakukan korupsi.

Di muka telah diuraikan tentang indikator efek jera sebagaimana

ditegaskan oleh KPK, yang meliputi antara lain, tuntutan pidana yang tinggi,

memiskinkan koruptor secara aktif dan progresif, penerapan pidana pengganti dan

memnuntut pencabutan hak hak politik, dan penegakan hukum yang professional

dan berintegritas tinggi.

Komitmen KPK dan penegak hukum lainnya untuk mewujudkan sanksi

pidana yang menjerakan tersebut, perlu terus dilaksanakan secara konsisten tanpa

pandang bulu dengan tetap memadukan dengan upaya-upaya yang bersifat non

penal.

Page 82: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

82

Prinsip penegakan hukum yang konsisten tanpa pandang bulu pernah

dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung Inggris pada tahun 1769, yang

berseru “let justice be done though the heavens fall” yang terjemahan bebasnya

dapat diartikan ( Biarkanlah Keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh).

Selain itu, keadilan yang diekspresikan dalam symbol “Dewi Yustisia

dengan Mata Tertutup”, mengandung makna bahwa dalam menegakkan keadilan

harus dilakukan tanpa pandang bulu atau tidak pilih kasih. Istilah terkini sering

pula diungkapkan dalam istilah “tidak tebang pilih”.

Bertolak dari uraian di atas, maka peraturan perundang-undangan yang

cukup banyak telah mengurung para koruptor, seyogyanya diterapkan dengan

tetap memperhatikan sinergitas antara upaya upaya penangulangan baik penal

maupun non penal. Hal itu perlu pula didukung dengan bekerjanya sistem

peradilan pidana yang integrative antara sub sistem Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan, lembaga Pemasyarakatan, KPK, termasuk Penasihat hukum.

Upaya penanggulangan penal dan non penal sebagi satu kesatuan masih

mengalami kendala pada ranah praktis yang tidak sinkron dengan penegakan

hukum yang mendahuluinya, baik pada tataran penyidikan perkara, penuntutan,

bahkan pada saat putusan pengadilan, termasuk putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Beberapa kenyataan menunjukkan hal itu,

antara laian:

a) terungkapnya Gayus Tambunan ketika masih berstatus tersangka

menonton kejuaraan tenis di Nusa Dua Bali;

b) terungkapnya terpidana korupsi Artalita Suryani menggunakan fasilitas

mewah di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang;

c) pemberian remisi dan pidana bersyarat kepada koruptor yang tidak

sesuai dengan rasa keadilan masyarakat;

d) belum kembalinya harta kekayaan koruptor yang dilarikan ke luar

negeri, sementara pelakunya belum tertangkap.

Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus-kasus

korupsi masih ditandai dengan kenyataan yang tidak sejalan, bahkan bertentangan

dengan prinsip-prinsip kesamaan dalam hukum (equity before the law). Hal

Page 83: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

83

tersebut membenarkan opini masyarakat yang berkembang selama ini bahwa

“hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas”, ”hukum itu hanya untuk orang yang

tidak punya uang”, ”hukum itu dapat dibeli”, “hukum itu tebang pilih” dan

sebagainya.

Bertolak dari hal-hal di atas, maka upaya mengimplementasikan pidana

yang menjerakan koruptor, menurut penulis perlu dilakukan hal-hal sebagai

beikut:

a) penegak hukum konsisten dengan tuntutan dan penerapan pidana yang

maksimal sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

b) pemiskinan koruptor secara aktif dan progresif melalui langkah langkah

hukum yang pasti dan terukur agar terus digalakkan sampai koruptor tidak

berdaya dan jera.

c) Penerapan pidana pengganti yang besarnya sama dengan hasil korupsi,dan

pencabutan hak-hak politik;

d) ke depan perlu dipikirkan pengaturan dan penerapan sanksi adat,dan

sanksi sosial lainnya untuk lebih menjerakan para koruptor,sekaligus

menimbulkan budaya malu sebagai salah satu cara pencegahan khusus dan

pencegahan umum.

e) Dalam rangka meminimalisir perilaku koruptif, maka upaya upaya non

penal sebagai bagian dari politik sosial negara perlu ditingkatkan secara

konsisten, melalui kerjasama dengan berbagai lembaga agama,

pendidikan, Pers/media massa. LSM, dan ektra legal sistem lainnya. Hal

itu dilakukan untuk menghilangkan faktor faktor yang menjadi kausa atau

penyebab terjadinya korupsi.

f) Meningkatkan fungsi pengawasan terhadap pejabat publik/penyelenggara

Negara, baik melalui pengawasan internal oleh pemerintah, maupun

pengawasan eksternal oleh masyarakat (pengawasan social) seperti pers,

LSM, mahasiswa disertai perlindungan hukum dan penghargaan (rewards)

Page 84: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

84

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Abidin, Zainal, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan,Dalam Rancangan

KUHP,ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.

Ali, Mahrus (1), 2011, Dasar Dsar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

_______(2), 2013, Asas, Teori, & Praktik Hukum Pidana Korupsi,UPI

Press,Yogyakarta.

Arief, Barda Nawawi (1), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Penerbit, PT

Citra Aditya Bakti, Bandung.

_______(2), 1994, Kebijakan Legislatif Dalam penanggulangan Kejahatan

Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang.

_______(3), 2001,Masalah Penegakan Hukum & Dan Kebijakanan

Penanggulanga kejahatan, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti,Bandung.

Atmasasmita, Romli,1996,Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme

dan Abolisionisme,Cetakan kedua,Penerbit:Binacipta, Bandung.

Azizy,A Qodri, 2007, Change Management, Cetakan Pertama, Penerbit: PT

Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6,PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Flechter, George, P, 1998, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University

Press, New York.

Gunawan, Hilman, 1990, Postur Korupsi Indonesia, Tinjauan Yuridis, Sosiologis,

Budaya Dan Politis, Penerbit: Angkasa, Bandung.

Hamzah, Andi (1), 1984, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya,

Penerbit: PT Gramedia, Jakarta.

_______(2), 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia dari Retribusi ke

Reformasi, Cetakan Pertama, Penerbit: PT Pradnya Paramita Jakarta.

Page 85: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

85

Husein, Yunus, 2008, Negeri sang pencuci Uang, Cet. 1,Jakarta, Pustaka Juanda

Tigalima.

Yuhaya S, Praja, 2011, Teori hokum dan Aplikasinya,Bandung, Cetakan Pertama,

CV Pustaka Setra.

Marpaung, Leden, 2005, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta.

Muladi, dan Arief, Barda Nawawi (1) , Teori – Teori Dan Kebijakan Pidana,

Penerbit: Alumni, Bandung.

_______(2), 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,

Badan penerbit: Universitas Diponegoro, Semarang.

_______(3), 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit;

Universitas Diponegoro, Semarang.

Poernomo, Bambang (1), 1978, Asas Asas Hokum Pidana, Penerbit: Ghalia

Indonesia, Jakarta.

_______(2), 1982, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Penerbit: Bina

aksara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, Editor Karolus kopong Medan, Frans S. Rangka, 2003, Sisi

Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Reid, Sue Titus, Criminal Justice,Procedur ang Issues, West Pubhlising Company,

New York.

Sahetapy, J.E, 1981, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati

Terhadap Pembunuhan Berencana, Penerbit: CV Rajawali, Jakarta.

Said, M Mas’ud, 2007, Birokrasi Di Negara Birokratis Makna,Masalah dan

Dekonstruksi Birokrasi Indonesia,Cetakan pertama, Penerbit:Universitas

Muhammadiyah Malang,

Soemarsono, H, Manthovani Reda, 2004, Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang di Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit: CV Malebu,

Jakarta.

Sholehuddin, M, 2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double

Track System & Implementasinya, Penerbit: PT Raja grafindo Persada,

Jakarta.

Page 86: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

86

Sianturi, S.R,1996, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Sudarto (1), 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbir: Alumni, Bandung.

_______(2), 1981, Kapita Selekta hokum Pidana, Penerbit: Alumni, Bandung.

______ (3), 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat. Kajian

terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit:

Walker, Negel, 1971, Sentensing n a Rational Society, First American Edition,

Basic Boks Inc Pubhliser, New York.

Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.

Wiyono, R, 2008, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Edisi kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Zulfa, Eva Achjani, Senoaji Indrianto, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,

Penerbit: CV Lubuk Agung, Cetakan I, Bandung.

PERATURAN PERUNDNG-UNDANGAN:

Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 24 (prp) tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang

Bersih, Bebas Dari Praktik Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi

Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation

Convention Against Corruption,2003.

Undang undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation

Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi

Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional

Yang Terorganisasi).

Page 87: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

87

INTERNET :

Publikasi Transparency International,http:www.ti.or.id/ index. Php/ publication/

2013/12/03.

JPNN.com. Indo post JPPN Group, diakses 15/2/2014, jam 17.47. wita.

Corruption Perception Index 2013-Publikasi-Transparency International

http:/www.ti.or.id/index.php/publication/2013/12/03.

Page 88: EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA.

88