Edited Referat Psikiatri
Transcript of Edited Referat Psikiatri
ASPEK PSIKIATRI DARI PENYAKIT GINJAL
I. PENDAHULUAN
Penyakit ginjal yang diderita pasien dapat berdampak ke sisi psikis pasien tersebut, terutama bila itu
tergolong dalam penyakit ginjal kronik yang bersifat progresif (3). Beberapa gangguan yang dapat
timbul antara lain seperti depresi (3), gangguan cemas (5), maupun gangguan kognitif seperti delirium (4).
Banyak faktor yang dapat memicu adanya gangguan psikiatrik pada pasien namun sebagian orang
berpendapat bahwa pasien dengan ESRD (End Stage Renal Disease) atau biasa juga disebut sebagai
gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan dialisis ataupun transplantasi ginjal, memiliki tingkat
prevalensi gangguan psikiatrik yang lebih besar (1). Diduga hal itu disebabkan oleh karena selain
berhubungan dengan penyakit ginjal itu sendiri, hal lain yang juga dapat menimbulkan gangguan
psikiatrik pada pasien adalah pada tahap dialisis (1) maupun transplantasi ginjal (3). Perubahan-
perubahan biologis pada tubuh pasien penderita gagal ginjal kronik seperti uremia, anemia,
terganggunya metabolisme glukosa, endokrin dan perubahan system imun, maupun inflamasi kronis
diduga juga berperan dalam patomekanisme dari gangguan mood (3) maupun gangguan kognitif
pasien (4).
II. EPIDEMIOLOGI
Gangguan depresi memiliki prevalensi sekitar 20 - 40 % dari populasi yang melakukan transplantasi
ginjal dimana presentase tersebut dapat lebih besar bila pasien dapat terdiagnosis lebih awal mengenai
penyakit ginjal kronik yang ia derita (3).
Dari sebuah penelitian di Amerika (oleh Kutnor dan Cukor), diperoleh data bahwa prevalensi depresi
pada pasien dengan ESRD adalah sekitar 26.6% dan 29%. Juga diperoleh bahwa setiap 1000 dialisis
per tahun, sekitar 0,2% pasien meninggal akibat tindakan bunuh diri akibat depresi (suicide). Terdapat
pula gangguan cemas pada pasien dengan ESRD (berdasarkan penelitian Kutner, Taskapan, Cukor)
yang diperoleh sekitar 45%, 30%, dan 45,7% (1).
Penelitian terbesar juga pernah dilakukan, dengan jumlah partisipan >9,000 orang dari 12 negara
dengan menggunakan Center for Epidemiologic Studies Depression Scale. Diperoleh hasil sekitar
43% pasien menunjukkan tanda2 depresi. Hasil terendah adalah Jepang dengan prevalensi sekitar 2%
dan hasil terbanyak adalah Amerika dengan prevalensi 21,7%. Dari penelitian tersebut, 26,7% pasien
terdiagnosis mengalami depresi (65% mengalami depresi berat, 27% mengalami distimia, dan 8%
mengalami depresi ringan). (3)
Beberapa peneliti berpendapat bahwa tingkat mortalitas pada pasien dengan ESRD lebih tinggi pada
pasien yang juga mengalami gangguan depresif (penelitian oleh Lopes dan rekannya). Bahkan dari
penelitian lain (oleh Drayer) ditemukan bahwa pasien dengan ESRD dan juga memiliki gangguan
depresif memiliki tingkat mortalitas 4,1 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan ESRD tetapi
tidak mengalami gangguan depresif. (1)
Gangguan kognitif tidak hanya terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik tingkat lanjut tetapi
pada seluruh spektrum dari penyakit ginjal kronik. Penelitian pada tahun 2006 di rumah sakit umum
Toronto menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang menjalani hemodialisis dengan umur ≥55
tahun memiliki gangguan kognitif dan hanya 13% dari pasien tersebut yang tergolong normal
(memiliki tingkat kognitif yang normal). Namun pada penelitian yang sama, secara umum ditemukan
bahwa hampir 40% pasien yang menjalani hemodialisis mengalami gangguan kognitif berat. (4)
III. GANGGUAN PSIKIATRI PADA PENYAKIT GINJAL
a. Kecemasan (anxietas)
Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas. Rasa cemas ini biasanya terjadi pada saat adanya
kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal (Argitya 2010). Menurut
Alkinson ( I 999) kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang
di tandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, kepribadian dan rasa takut yang kadang-
kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Tekanan mental atau kecemasan yang
diakibatkan oleh kepedulian yang berlebihan akan masalah yang sedang dihadapi (nyata) ataupun
yang dibayangkan mungkin terjadi. (7)
Waktu yang diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk
melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustrasi, rasa bersalah serta depresi
didalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabat mungkin memandang pasien sebagai
"orang yang terpinggirkan" dengan harapan hidup yang terbatas. Pasien merasa cemas akan
perubahan yang dialami setelah menjalani terapi Hemodialisa seperti perubahan gaya hidup.
Pasien juga masih cemas dan takut untuk datang menjalani tindakan hemodialisa karena
banyaknya tusukan jarum pada daerah kaki dan tangan terkadang pasien cemas dengan biaya
yang harus dikeluarkan untuk dilakukanHemodialisa cukup mahal untuk satu kali tindakan
Hemodialisa dan dalam I minggu harus rutin sebanyak 2 kali dilakukan terapi Hemodialisa. (7)
b. Depresi
Institut Kesehatan Nasional Amerika pada Consensus Development Panel yang dilakukan pada
tahun 1992, mendefinisikan depresi sebagai sekumpulan sindrom yang dimanifestasikan pada
perubahan afektif, kognitif dan somatic (Zauszniewski & Wickle 2006). Depresi merupakan
gangguan suasa hati atau mood (Miller, 2004).
Sejauh ini, perhatian lebih dituju pada potensi hubungan fisiologis antara stres immunologis dan
depresi. Teori sitokin dari depresi menjelaskan bahwa sitokin inflamasi dapat memicu depresi dari
sistem saraf pusat. Inflamasi kronik merupakan hal umum pada pasien yang menjalani terapi
dialisis walaupun belum ada bukti pasti bahwa gangguan depresif yang dialami berhubungan
langsung dengan inflamasi tersebut. Inflamasi, malnutrisi, dan depresi mungkin memiliki
hubungan yang lebih kompleks pada penyakit ginjal kronik, dimana inflamasi berhubungan
dengan perubahan mood, dan malnutrisi dapat memicu inflamasi yang menyebabkan perubahan
mood dan kemudian menyebabkan malnutrisi. Trias inflamasi-malnutrisi-depresi ini diduga
merupakan faktor determinan dari kondisi kesehatan pasien dan mortalitas. (3)
Salah satu gejala dari depresi yaitu mudah lelah, yang merupakan gejala terbanyak pada penyakit
ginjal kronik stadium 5 (sekitar 70%), diduga berhubungan dengan anemia, hipotensi, perubahan
elektrolit, gangguan tidur, efek samping pengobatan, dan malnutrisi. (3)
Bila dilihat dari sisi psikologis, terapi dialisis tentu memerlukan adaptasi emosional serta perilaku
kognitif pasien yang kompleks. Orang dengan penyakit ginjal biasanya kurang sadar akan
penyakitnya hingga tiba-tiba memasuki tahap akhir dan tergolong dalam penyakit mematikan.
Pasien yang kemudian akan menjalani terapi dialisis akan beresiko kehilangan pekerjaan.
Hubungan pasangan yang aktif juga kemudian dapat rusak. Kehilangan hal-hal tersebut dapat
menimbulkan perasaan sedih dan berkabung. Dan bila perasaan tersebut dialami secara
berkelanjutan, dapat memicu terjadinya gangguan depresif atau bahkan depresi berulang yang
membutuhkan pengobatan tambahan. (3)
Depresi memiliki gejala seperti kehilangan minat, perubahan nafsu makan, adanya gangguan
tidur, mudah lelah, perubahan psikomotor, perasaan bersalah, menurunnya tingkat konsentrasi,
dan perilaku suicidal. Distimia adalah variasi dari depresi dengan gejala depresi yang dialami
sekurang-kurangnya selama dua tahun dan biasanya tanpa disertai perilaku suicidal, perubahan
nafsu makan, perubahan tingkat libido, maupun disfungsi kognitif. Gejala klinis adanya gangguan
depresif pada pasien dengan ESRD dapat dilihat bila terjadi perubahan perilaku dan fungsi pasien
seperti menolak pengobatan, tidak berinteraksi, dan mulai merasa tidak mau melanjutkan terapi
dialisis. (5)
c. Delirium
Pasien dengan penyakit ginjal kronik juga memiliki resiko dalam penurunan fungsi kognitif
diakibatkan beberapa faktor berikut antara lain seperti anemia, hipertiroidisme, uremia, dan
disequilibrum dialisis. Pasien dengan penyakit ginjal kronik tingkat tiga atau lebih memiliki hasil
tes kognitif yang rendah, diduga hal ini terjadi karena selain faktor gagal ginjal kronik dari pasien,
ada hal lain yang mempengaruhi hal tersebut. Proses dialisis diduga sebagai salah satu hal yang
berkontribusi dalam gangguan kognitif sebab dalam prosesnya dapat menyebabkan hiperfusi
intradialitik serebral dan hipoksia karena berhubungan dengan perubahan volume sirkulasi. (4)
Delirium merupakan gangguan kognitif yang ditandai dengan adanya perubahan mental yang
fluktuatif, gangguan memori, gangguan fokus, maupun gangguan fungsi pikir yang berhubungan
dengan gangguan neurologis (seperti stroke, hematom subdural, hypertensive encephalopathy),
infeksi, gangguan elektrolit (hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, hiperkalsemia),
intoksikasi (alkohol, obat-obatan), ataupun gangguan tidur. (6)
Pasien yang sudah berumur tua dengan gangguan sensoris dan menjalani banyak terapi dan
pengobatan merupakan yang paling rentan terhadap delirium. Terutama bila pasien tersebut juga
mengalami penyakit kronik seperti ESRD. Beberapa sindroma spesifik dari delirium yang
berhubungan dengan ESRD antara lain ialah Uremic Encephalopathy dan Dialisis
Dysequilibrium. Uremic encephalopathy merupakan sindrom dari delirium pada pasien dengan
ESRD yang tidak ditangani dengan baik, sedangkan Dialisis Dysequilibrium ialah sindrom dari
delirium pada pasien yang sedang atau telah menjalani terapi dialisis. Dialisis Dysequilibrium
biasanya terjadi pada pasien dengan azotemia yang menjalani terapi high efficiency hemodialisis
(hemodialisis dengan waktu yang lebih singkat dan dengan tingkat aliran darah per-menit yang
dua kali lebih tinggi dari hemodialisis standar) maupun pada pasien yang menjalani terapi
peritoneal dialisis dan hemodialisis jangka panjang. (6)
Pasien dengan delirium biasanya memiliki gejala seperti adanya perubahan mental yang
fluktuatif, gangguan memori, gangguan fokus, maupun gangguan fungsi pikir, serta gangguan
tidur (6). Gangguan fokus terjadi dalam waktu singkat dan juga berfluktuatif. Delirium juga
biasanya disertai oleh gangguan psikomotor seperti hipoaktifitas, hiperaktifitas dengan
peningkatan aktifitas simpatis, dan gangguan pada waktu tidur. Gangguan lainnya seperti
perasaan takut, bingung, depresi, atau bahkan euphoria juga terkadang menyertai. (4)
Sindroma spesifik dari delirium yang berhubungan dengan ESRD seperti sindrom Uremic
Encephalopathy dan sindrom Dialisis Dysequilibrium memiliki gejala seperti: Uremic
Encephalopathy: Ditandai dengan adanya perasaan bingung dan letargi pada tahap awal dan
kemudian dapat bermanifestasi menjadi kejang atau koma. Dapat pula disertai tanda neurologis
lainya seperti tremor, myoclonus, ataupun asterixis. Dialisis Dysequilibrium: adanya sakit kepala,
gangguan penglihatan, mual, dan agitasi. Pada kasus yang lebih berat dapat bermanifestasi
menjadi letargi, kejang, dan bahkan koma. (6)
IV. DIAGNOSIS GANGGUAN PSIKIATRI PADA PENYAKIT GINJAL
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan pendiagnosisan pasien menjadi lebih sulit, pertama faktor dari
pasien itu sendiri, faktor yang berhubungan dengan ahli medis yang menangani, dan pemahaman
umum yang berkembang yang menyangkut gangguan mental yang berhubungan dengan penyakit
ginjal yang pasien alami. Pasien dengan ESRD tidak sadar, tidak menerima, bahkan menolak
pengobatan terhadap gangguan psikiatrik yang sedang ia alami, dan mungkin saja hal itu ada
hubungannya dengan stigma yang ada di masyarakat menyangkut orang yang didiagnosis mengalami
gangguan mental (5). Ahli medis yang menangani pasien dengan ESRD juga seringkali gagal untuk
melihat gejala dari gangguan psikiatrik yang pasien alami, hal ini dikarenakan ahli medis yang
menangani pasien tersebut bukanlah ahli psikiatrik, sehingga diagnosis dini-pun tidak dapat dilakukan (1). Selain melihat perilaku dari pasien, informasi dari keluarga pasien juga tentu sangat dibutuhkan
untuk mengetahui lebih detail mengenai kondisi pasien yang berhubungan dengan gangguan mental
yang dialaminya, walaupun pada kenyataannya sebagian besar keluarga pasien berpendapat bahwa
perubahan perilaku pada pasien adalah normal mengingat penyakit kronik yang sedang pasien derita (5).
Beberapa dekade terakhir ini, skreening dengan menggunakan kuisioneir telah digunakan terhadap
pasien ESRD dengan gangguan cemas dan depresi untuk mengamati, mengidentifikasi, serta melihat
efek dari gangguan mental tersebut terhadap kondisi pasien (1). Namun perlu diketahui bahwa
skreening tidak dapat mendiagnosis gangguan yang dialami pasien tetapi hanya sebagai alat untuk
membantu dalam pengidentifikasian dan penentuan derajat depresi pasien (3). Meskipun demikian,
hingga saat ini metode skreening masih memiliki banyak sisi kontroversial, oleh sebab itu
penerapannya pada pasien dengan penyakit ginjal kronik perlu dipertimbangkan mengingat semakin
meningkatnya prevalensi morbiditas dan mortalitas dari gangguan depresif pada jenis populasi
tersebut (5).
Berdasarkan PPGDJ III (PPDGJ III) (1993) diagnosis episode depresi dibuat apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
- Afek depresi (sedih, murung, lesu, menangis)
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Energy berkurang sehingga mudah lelah dan aktivitas berkurang
b. Gejala lainnya :
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepecayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya dua minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Berdasarkan DSM IV ,major depressive disorder-MDD, tidak didapatkan riwayat episoda mania,
campuran atau hipomania; episoda depresi berlangsung paling sedikit dua minggu dan sedikitnya ada
empat dari gejala-gejala berikut : perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan pola tidur dan
kegiatan; rasa bersalah, gangguan kemampuan berfikir dan sulit membuat keputusan, serta berulang
ulang memikirkan kematian dan bunuh diri. (8)
Untuk mendiagnosis delirium, algoritma pendiagnosisan dilakukan berdasarkan DSM-IV (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-IV), dengan menggunakan Confusion Assessment
Method (Tabel 1), yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar >90% dalam pendeteksian
delirium (6).
Tabel 1. Confusion Assessment Method
No Kriteria Evaluasi
1 Onset akut dan perubahan fluktuatif
Apakah ada perubahan akut pada mental dasar
pasien
Apakah status mental berfluktuatif dalam sehari
2 Gangguan fokus Apakah ada kesulitan untuk fokus
3 Gangguan berpikirApakah cara berpikir tidak teratur atau
inkoheren
4 Perbedaan tingkat kesadaran Apakah ada letargi, stupor, atau koma
Menurut PPGDJ, pedoman diagnostic delirium adalah :
Gangguan kesadaran dan perhatian :
- Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma
- Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan
mengalihkan perhatian
Gangguan kognitif secara umum :
- Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi seringkali visual
- Hendaya daya piker dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang bersifat
sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
- Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang masih
relative utuh
- Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan orang
Gangguan psikomotor :
- Hipo- atau hiperaktivitas dan pengalihan akyivitas yang tidak terduga dari satu ke yang lain
- Waktu bereaksi yang lebih panjang
- Arus pembicaraan yang bertambah dan berkurang
- Reaksi terperanjat meningkat
Gangguan siklus tidur-bangun :
- Insomnia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya siklus
tidur-bangun;mengantuk pada siang hari;
- Gejala yang memburuk pada malam hari
- Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah
bangun tidur
Gangguan emosional :
- Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis atau rasa kehilangan akal
Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-itmbul sepanjang hari, dan keadaan itu
berlangsung kurang dari 6 bulan. (8)
V. PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI PADA PENYAKIT GINJAL
A. PSIKOFARMAKOTERAPI(2)
Obat yang berhubungan dengan tingkat morbiditas neuropsikiatrik dan implikasinya terhadap pasien
dengan gagal ginjal
Obat antidepressan pada pasien gagal ginjal
Obat Dosis normal (Dewasa) Dosis pada gagal ginjal Keterangan
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
1. Citaloparm 20-60 mg 10-60 mg Sangat aman
2. Fluoxetine 10-20 mg 5-20 mg
Dapat menyebabkan
insomnia dan kurang
nafsu makan
3. Fluvoxamine 50-300 mg 50-300 mg
4. Sertraline 50-150 mg 50-150 mg
5. Paroxetine 20-60 mg 10-30 mg
Pada dosis tinggi dapat
menyebabkan kejang
pada penderita gagal
ginjal
Tricyclic Antidepressan
1. Amitryptiline 25-75 mg 25-75 mg Aman, walaupun
dengan beberapa efek
samping seperti
konstipasi, mulut
kering, dan pandangan
kabur.
Pada dosis tinggi,
trazadone dapat
2. Imipramine 25-75 mg 25-75 mg
3. Doxepin 25-75 mg 25-75 mg
4. Amoxapine 75-200 mg 75-200 mg
5. Nortryptiline 25-75 mg 25-75 mg
menyebabkan
priapism
6. Trazadone 150-400 mg 150-300 mg
Antidepressan terbaru
1. Venlafaxine 37,5-225 mg 37,5-225 mg
Pada dosis tinggi dapat
meningkatkan tekanan
darah
2. Mirtazapine 15-45 mg 7,5-30 mg Bersifat sedatif
3. Duloxetine 10-80 mg 10-80 mg Aman
Obat anti cemas pada pasien gagal ginjal
Obat Dosis normal (Dewasa) Dosis pada gagal ginjal Keterangan
Alprazolam 0,25-4 mg 0,25-2 mg
Ampuh untuk
mengontrol cemas
dan insomnia.
Dapat
menyebabkan
kantuk pada dosis
tinggi
Clonazepam 0,5-1,5 mg 0,5-1,5 mg
Lorazepam 1-4 mg 1-4 mg
Diazepam 5-40 mg 5-25 mg
Buspirone 5-20 mg 5-20 mg
Obat anti cemas
yang aman. Tidak
bersifat sedatif
Zolpidem 5-20 mg HS 5-20 mg HS
Kerja obat cepat
dan tidak bersifat
kantuk
Zaleplon 5-10 mg HS 5-10 mg HS
Obat Delirium pada pasien gagal ginjal
Obat Dosis normal (Dewasa) Dosis pada gagal ginjal Keterangan
Haloperidol 5-15 mg 5-15 mg
Dapat meningkatkan
interval QT (pada
EKG)
Clozapine 25-400 mg Dosis Titrate seperlunya
Dapat menyebabkan
Agranulositosis. Dosis
diatas 400 mg dapat
menyebabkan kejang.
Olanzapine 5-20 mg 5-20 mg Aman
Quetiapine 150-600 mg 150-600 mg -
Risperidone 1-4 mg 0,5-2 mg Sedatif
Ziprasidone 20-80 mg 20-80 mg
Dapat meningkatkan
interval QT (pada
EKG)
Piracetam 800-4800 mg 800-4800 mg Aman
B. TERAPI ECT (ELECTROCONVULSIVE THERAPY)
Hingga saat ini masih sedikit data mengenai pengaruh penggunaan ECT untuk pengobatan depresi
terhadap pasien dengan ESRD yang melakukan hemodialisis. Walaupun pernah diketahui bahwa
seorang pasien bipolar laki-laki berumur 60 tahun dengan ESRD berhasil disembuhkan dengan ECT,
namun dikhawatirkan ECT dapat berdampak lain, mengingat hal-hal seperti hiperalkemia, perubahan
tingkat keasaman, penggunaan anastesi lokal, serta peningkatan resiko penyakit kardiovaskular
merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pasien ESRD. (5)
C. PSIKOTERAPI
Psikoterapi kognitif bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengubah sudut pandang pasien yang
sudah tidak mampu beradaptasi dalam hal menilai diri sendiri dan kenyataan yang sebenarnya.
Psikoterapi interpersonal lebih terfokus untuk mengetahui hal yang lebih dalam (atau lebih pribadi),
mengenai masalah atau hal yang diduga berhubungan dengan gejala dari gangguan mental yang
sedang ia alami. Terapi supportif umum digunakan pada penderita penyakit kronik (dalam hal ini
penyakit ginjal kronik) yang diharapkan dapat memfasilitasi dan mengontrol situasi pasien dengan
lebih baik. Hal-hal seperti menjadi pendengar yang baik (yang bersifat empati), memberi dukungan
kognitif dan emosional, persiapan strategi-strategi adaptif, serta intervensi langsung ke pasien tetap
merupakan hal yang penting. Namun perlu diketahui bahwa ahli medis juga mesti melihat apakah
pasien tersebut lebih cocok dengan terapi grup atau dengan terapi individual. (3)
VI. PROGNOSIS GANGGUAN PSIKIATRI PADA PENYAKIT GINJAL
Dilihat dari aspek psikiatrik, prognosis dari gangguan yang disebabkan oleh penyakit ginjal adalah
dubia. Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat memiliki peranan penting mengingat penyakit
ginjal, terutama yang bersifat kronik dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang secara drastis,
juga ditambah dengan fakta bahwa jumlah pasien yang bertahan hidup dari penyakit ginjal tersebut
tidaklah banyak. (3)
KESIMPULAN
1. Penyakit ginjal yang diderita pasien dapat berdampak ke sisi psikis pasien tersebut, terutama
bila itu tergolong dalam penyakit ginjal kronik yang bersifat progresif, beberapa gangguan
yang dapat timbul antara lain seperti depresi, gangguan cemas, maupun gangguan kognitif
seperti delirium.
2. Beberapa penatalaksanaan penyakit ginjal (ESRD) seperti dialisis dan transplantasi ginjal
juga dapat memicu timbulnya gangguan mood maupun gangguan kognitif.
3. Penatalaksanaan gangguan psikiatrik pada penyakit ginjal berupa psikofarmaka yaitu
antidepresan,anti cemas dan obat untuk delirium,psikoterapi dan ECT