(Edit) Pola Distribusi....
-
Upload
mawar-firdausi-gerhana-septiana -
Category
Documents
-
view
248 -
download
1
description
Transcript of (Edit) Pola Distribusi....
POLA DISTRIBUSI DAERAH INTERTIDAL
I. PENDAHULUAN
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan
gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik
lautan yakni pasang surut. Menurut Nybakken (1992) zona intertidal merupakan
daerah yang paling sempit diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai
dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada
daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai
pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal
pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah
intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering terjadi menyebabkan
interaksi antar atmosfir dan perairan sangat tinggi sehingga difusi gas dari
permukaan keperairan juga tinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Webber
dan Thurman (1991) bahwa pantai berbatu di zona intertidal merupakan salah satu
lingkungan yang subur dan kaya akan oksigen. Selain oksigen daerah ini juga
mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok untuk beberapa
jenis organisme untuk berkembang biak.
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara
satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang
berpasir adapula yang berbatu. Hal lain yang dapat dilihat yakni pembagian zona
juga dapat dilihat dari pasang surutnya dan organismenya. Pada pokok bahasan ini
lebih ditekankan pada pembahasan intertidal daerah berbatu.
Ekosistem intertidal merupakan salah satu ekosistem pada daerah pesisir
yang sangat kompleks dan kaya. Banyak pola interaksi antar organisme laut yang
dapat ditemukan pada ekosistem ini. Hewan yang hidup pada daerah ini harus
dapat beradaptasi dengan keadaan yang ekstrim tersebut. Bentuk adaptasi
organisme sangat berkembang utamanya bentuk morfologi yang dibentuk
sedemikian rupa. Pada tiap zona intertidal organisme yang hidup sudah mampu
untuk bertahan dengan karakteristik lingkungan tersebut.
1
Gambar 1. Pembagian zona intertidal secara horizontal dilihat dari tinggi rendahnya pasang surut (Spring, 2002).
Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal
Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi
pada daerah intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian
besar yang saling terkait yaitu:
1. Faktor Fisika. Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada
ekosistem intertidal. Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor
pembatas pada daerah ini menjadi lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut
yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari. Ketiga faktor tersbeut saling
terkait. Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar matahari,
akibatnya suhu meningkat. Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan
dan dampaknya daerah menjadi kering.
2. Faktor Biologis. Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan.
Organisme berusaha untuk menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat
ekstrim tersebut. Ada berbagai macam cara organisme menyesuaikan diri
salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk cangkang agar
dapat hidup pada derah yang kering.
2
II. PEMBAHASAN
2.1. Pola Zonasi Universal Untuk Pantai Berbatu
Pantai Berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai dengan batu-batu
memanjang ke laut dan terbenam di air. Batuan yang terbenam ini menciptakan
zonasi kehidupan organisme yang menempel di batu karena pengaruh pasang.
Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah pasang laut dan
gelombang laut yang mengenainya. Pantai berbatu yang tersusun dari bahan yang
keras merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai
keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan.
Pada dasarnya pembagian zonasi untuk pantai berbatu dilihat dari pasang
surut yang terjadi. Pantai ini didominasi oleh substrat dari batu.
Gambar 2. Pantai berbatu
David Raffaelli dan Stephen Rawkins (1996), menjelaskan Alan dan Anne
Stephenson memulai pekerjaan zonasi pantai berbatu di Afrika Selatan pada tahun
1930, dan berlanjut di beberapa bagian di dunia, sekaligus mencatat pola biologi
yang mereka amati. Katalog tersebut dipresentasekan dalam sebuah buku
berilustrasi yang cukup menarik (Stephenson and Stephenson, 1972), dimana
semua ekologi intertidal perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui secara jelas
pantai lain di seluruh dunia.
Secara umum kita dapat membagi kawasan intertidal di pantai berbatu
sebagai kawasan pasang surut karena sangat dipengaruhi oleh pola naik dan
surutnya air laut kedalam tiga zona yang merupakan pemilahan dari pola
pergerakan pasang surut. Tiga zona utama di intertidal (gambar.2) tersebut adalah:
3
1. Supralitoral (high shore area)
2. Midlitoral (mid-shore zone)
3. Infralitoral (narrower low-shore zone)
Gambar 3. Pembagian Zonasi di Intertidal
1. Zona Supralitoral (high shore area) merupakan zona yang dapat dicapai air
pasang purnama yang sangat tinggi. Tetapi umumnya dicapai oleh deburan
ombak saja. Batas teratas adalah tepi supralitoral, dan batas bawahnya
merupakan batas untuk teritip, dan meluas ke batas atas untuk siput dari
genus littorina (siput). Organisme yang ditemui: Cyanobacteria, Lichens,
Siput (Littorina). Organisme yang dominan adalah siput littorina dan
tumbuhan lumut hitam yang berkulit keras.
2. Zona Midlitoral (mid-shore zone) merupakan zona yang terluas dan tergenang
saat pasang. Pada zona ini masih terdapat keterbatasan pada keterbukaan
udara. Batas teratasnya bertepatan dengan batas teratas teritip, sedangkan
batas bawahnya ditempati oleh klep yang besar (Luminaria dan lain-lain)
yang mencapai penyebaran paling tinggi. Organisme yang ditemui: Teritip,
Tiram. Kelompok yang dominan dan universal adalah teritip.
3. Zona Infralitoral (narrower low-shore zone) merupakan zona yang terdapat
pada pasang terendah dan setelahnya. Zona ini bebas dari keterbukaan udara
4
dan sangat kaya akan organisme. Zona yang terbawah dari skema ini adalah
tepi infralitoral yang membentang dari pasang turun terendah sampai kebatas
teratas kelp besar. Organisme yang ditemui: Alga merah, Calcareous,
Seaweeds
Sedangkan pembagian menurut Reseck (1980) zonasi pada pantai berbatu
dibagi menjadi empat zonasi :
1. Zone I : daerah yang paling tinggi dan selalu kering (spray zone/upper litoral
zone).
2. Zona II : Daerah yang mengalami kekeringan 2 kali sehari selama pasang
terendah, selama 4-6 jam.
3. Zona III : Daerah yang mengalami kekeringan dalam waktu yang agak
pendek, kurang lebih 1-3 jam.
4. Zona IV : Daerah yang mengalami kekeringan sangat relatif singkat, kurang
lebih 12 jam.
Gambar 4. Zonasi pada pantai berbatu
Pembagian zonasi pada pantai berbatu juga dapat didasarkan oleh
organisme yang hidup pada daerah tersebut (Barnes & Hughes, 1999). Pembagian
zonasi tersebut dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Zonasi dari mikroalga. Zonasi ini didasarkan oleh fotosintesis yang terjadi
didalam air. Pembagian tersebut yakni:
5
a. Pada spesies yang terdapat pada lower shore fotosintesis lebih baik di
udara dibanding dalam air.
b. Pada spesies yang terdapat pada mid hingga upper shore fotosintesis
lebih baik didalam air dibanding diatas daratan. Kekuatan fotosintesis
dalam air pada spesies ini yakni enam kali lebih kuat.
2. Zonasi dari hewan. Zonasi ini didasarkan oleh dua hal yang sangat signifikan
yaitu :
a. Makanan. Ketersediaan makanan sangat penting utamanya bagi
organisme yang pergerakannya sangat lambat atau yang tidak berpindah
tempat.
b. Pergerakan. Organisme perlu berpindah untuk mencari makan, sehingga
faktor ini juga sangat terkait dengan faktor yang pertama.
Gambar 5. Pembagian zonasi hewan pada daerah intertidal
Suatu gambaran yang sangat luar biasa dari pantai diseluruh dunia, yang
terlihat pada waktu pasang surut adalah, menonjolnya pembagian horizontal atau
zonasi organisme (Nybakken, 1992). Hal tersebut nampak pada gambar 5 yang
terlihat zonasi yang menunjukkan perbedaan organisme yang menempati daerah
yang berbeda untuk tiap kedalaman perairan. Keragaman tersebut tidak lepas
keterkaitannya dengan proses fisik pada perairan.
Stephensons juga mengkualifikasi beberapa aspek rencana mereka,
menyebutnya secara meluas dan menekankan untuk diaplikasikan pada
6
penghalang gelombang, tetapi tidak sepenuhnya melindungi pantai. Ciri umum
rencana tersebut, bagaimanapun nampak untuk pengaplikasian sebagian besar
pantai berbatu. Tetapi di beberapa tempat di dunia (Britain dan Eropa Utara,
Canada, dan England), perlindungan pantai tak dapat dilakukan dengan mudah
dalam rencana tersebut. Dimana lebih menjelaskan tiga zona mayor yakni tepi
litoral (pantai tinggi), zona eulitoral, dan sublitoral, mengadopsi ketentuan yang
digunakan oleh Lewis (1964), di dalam bukunya, berdasarkan pada studi yang
luas pola zonasi sekitar pantai berbatu Inggris.
Hal ini dapat dicatat bahwa rencana Stephenson dan Lewis, secara singkat
didasarkan pada posisi relative tipe komunitas mayor yang mereka amati
sepanjang gradien vertical. Suatu zona tidak didefinisikan oleh acuan tingkatan
pasang surut tertentu atau factor fisika lain. Meskipun pekerjaan tersebut
diharapkan lebih diutamakan untuk menunjukan bahwa umumnya factor ekologi
dapat dioperasikan pada pantai di seluruh dunia, rencana tersebut juga telah dibuat
perbandingan lebih mudah, untuk dikerjakan di pantai berbatu pada bagian bagian
sedikit berbeda di dunia. Sebagai tambahan, ekologis harus mendefinisikan
tingkatan pasang surut secara tepat dimana studi mereka dilaksanakan, mereka
semata-mata menyatakan bahwa suatu ekperimen dilaksanakan atau pengerjaan
observasi, misalnya di zona eulitoral lebih rendah. Acuan sebuah zona dibanding
tingkatan pasang surut tertentu lebih banyak berguna untuk para peneliti lain,
yang akan mempunyai ide bagus dengan karakteristik yang umum pada habitat
dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungannya. Kita percaya bahwa ini
merupakan pertimbangan praktis yang penting. Karena didefinisikan secara detail
tingkatan pasang surut di pantai yang membutuhkan banyak tenaga dan pekerjaan
tertentu, seperti halnya gerakan ombak memodifikasi lingkungan dan membentuk
pola zonasi. Meskipun demikian, beberapa penulis (Ritketts, 1968 dan Swinbanks,
1982), memiliki usulan rencana zonasi umum berdasarkan jumlah terbatas
tingkatan pasang surut dan itu digunakan di beberapa Negara bagian di Amerika
Utara.
Pekerjaan Stephensons juga dilakukan untuk memberikan perhatian
langsung tingkatan pasang surut, dengan menggabungkan banyak ahli ekologi.
(Colman, 1933; Doty 1946; Evans, 1957). Dengan demikian, banyak buku ekologi
7
pantai yang baru, tidak sebanding jumlah halaman, terkadang pendefinisian
terminologi di beberapa tingkatan pantai, bahwa pasang terjadi sepanjang tahun.
Pasang adalah ciri penting suatu pantai dan batas atas distribusi banyak spieses
dapat di asosiasikan dengan tinggi pasang maksimum dan surut terendah, seperti
yang ditunjukan pada bab I, pasang semata-mata meregang keadaan gradien
lingkungan sepanjang spesis itu dipetakkan.
Kelemahan asosiasi jelas antara tingkatan pasang surut dan zonasi. Zona
mayor pergeseran pantai relative untuk memprediksi tingkatan pasang surut yang
meningkat. Litoral tepi dapat terangkat paling atas, tingkat lebih atas dari zona
eulitoral. (zona bernakel). Dan zona pantai bagian bawah makin ke bawah, jika itu
terjadi. Cemplungan ekstra and percikan pada ombak pecah di pantai meluas dari
bagian laut ke tingkat pantai lebih tinggi, dan akan ditemukan pada pantai
terlindung. Pada bab sebelumnya, kita menyangkal bahwa pola distribusi
organisme pantai sepanjang satu gradien lingkungan tidak dapat dimengerti secara
tepat tanpa acuan untuk gradien pantai mayor yang lain. Hal ini dapat dikatakan
benar ketika interaksi antara gradien intertidal vertical dan horizontal diketahui.
2.2. Zonasi Pantai Berbatu Pada Bagian Berbeda di Dunia
Pekerjaan Stephenson menghasilkan satu rangkaian utuh tentang deskripsi
pantai diberbagai bagian belahan dunia, memanfaatkan pendekatan yang sama.
Banyak diantaranya ditemukan pada buku-buku lengkap dan berbagai dokumen
dengan daerah-daerah geografis tertentu. Di Amerika Utara, terutama pantai
pasifik, pola zonasi pantai berbatu telah didiskripsikan secara tradisional kedalam
kerangka empat zona, secara luas merefleksikan pengaruh dari Ricketts and
Calvin (Brusca, 1980; Foster, 1988). Karena empat subdivisi pantai yang
digambarkan pada dasar zona tingkatan pasang surut yang tidak bersamaan waktu
dengan Stephenson. Carefoot (1977) telah menunjukan bahwa pantai pasifik akan
didiskripsikan menggunakan pola Stephenson dan telah menunjukan bahwa itu
merupakan bagian dari pekerjaan mereka di Columbia, yang meletakkan fundasi
untuk pola universal pada posisi pertama. Mungkin satu jawaban mengapa pola
tersebut telah berkurang digunakan di pasifik bagian utara dan timur, adalah
lemahnya publikasi informasi tentang bagaimana distribusi dipengaruhi oleh
8
gradien pengunjungan horizontal, khususnya pengangkapan secara kedaerahan
(Foster, 1988), sehingga ketidaksepadanan antara zona dan tingkatan pasang surut
adalah tidak secara langsung nampak, kecuali untuk beberapa studi seperti
Stephenson.
Pada berbagai belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi pantai berbatu
yang terjadi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kemiringan permukaan batu yang
menyusunnya (Nybakken, 1992).
Gambar 6. Dampak dari pemaparan terhadap pola zonasi pada pantai berbatu diseluruh dunia (Stephenson and Stephenson, 1972 in Raffaelli and Hawkins, 1996)
Pada gambar di atas dapat dilihat perbedaan zonasi secara vertikal yang
terjadi. Perbedaan dapat dilihat dari organisme yang menghuni tiap zona dari
ekosistem intertidal. Persamaan terjadi pada lapisan paling atas, dimana kesemua
zonasi tersebut ditempati oleh black lichen, alga hijau biru / littorina. Pola seperti
ini juga dapat ditemukan pada gunung tetapi berbeda organisme. Pada daerah
gunung, organisme berganti terus mulai dari pepohonan sampai kebagian atas
dimana yang dapat ditemukan hanya semak atau tumbuhan kecil yang lain
(Nybakken, 1992).
9
2.2.1. Zonasi Pada Karang Barbatu dan Pantai Batuan Hampar
Raffaelli dan Hawkins (1996), seluruh dunia dan sepanjang gradien
pengunjukan, tepi litoral dikategorikan dengan kerang-kerang litorinid kecil,
syanobacteri berdasarkan kerangka disebut alga bluegreens dan linchens berkulit
keras. Kerang-kerang kecil ini telah menarik banyak perhartian pada beberapa
tahun terakhir (Raffaelli, 1982; Reid,, 1990), tetapi bluegreens dan lincens
berkulit keras telah diabaikan secara luas oleh ahli ilmu biologi laut, walaupun
informasi berguna tentang itu dapat ditemukan pada Whitton (1975) dan Flether
(1980). Meski demikian, itu jelas bahwa sejenis lumut Verrucaria, Celoplaca, and
Xanthoria memiliki distribusi luas seperti halnya Bluegreens Calothrix, Lyngbya,
Oscillatoria, and Rivularia (Russell, 1991). Zona hitam Verrucaria dan
Bluegreens, hampir menjadi ciri di seluruh dunia. Beberapa perbedaan jenis
invertebrate kecil juga terjadi di zona ini, termasuk isopoda, mites, nematode, dan
chironomids (Kronberg, 1988). Di temperature panas dan daerah tropis, ketam-
ketam sangat lincah memanfaatkan alga pantai.
Di tepi litoral juga mendukung pertumbuhan padang lamun dan alga
selama musim dingin di daerah temperate. Ini juga diputihkan sinar matahari pada
musim panas. Pada garis lintang lebih tinggi, bagaimanapun mereka hanya bisa
terjadi selama musim panas, oleh karena es menebal selama musim dingin. Bagian
yang luas zona eulitoral pada lintang lebih tinggi, pantai dapat ditutupi oleh es
setiap tahunnya. Midshore kemudian dikategorikan oleh alga oportunis dan
hewan-hewan gesit pada musim semi, seperti yang ditemukan di beberapa pantai
Amerika Utara (Vadas, 1990), dan di bagian Scandinavia, Artik dan Antartik,
mungkin ditempat tersebut menjadi zona terbuka hampir sepanjang tahun.
(Johannesson, 1989). Di Antartika, setelah musim dingin siput-siput di tepi
sublitoral, melakukan migrasi ke daerah pantai untuk memanfaatkan daerah yang
kaya nutrient tersebut. Bluegreens nampak tidak ada sama sekali dari supralitoral
Antartika.
Sebagian besar yang ditunjukan pantai eulitoral adalah didominasi oleh
pergerakan, tempat makan suspensi sessile, terutama mussel dan barnakel. Mussel
dari genus Mytilus terjadi di zona ini sepanjang Antartika dan Pasifik, tetapi
10
mereka tidak selalu menjadi grup dominan dan mereka juga terjadi di sublitoral.
Perna spp. adalah karakteristik di bagian Australasia, Afrika bagian timur dan
barat, dan Venezuela, sedangkan Aulacmya terjadi di Chili, Afrika Selatan dan
Kepulauan Kerguelan (Suchanek, 1985). Pada semua bagian pantai ini, barnakel
biji pohon menutupi sebagian besar eulitoral dan banyak spesis terwakili. Jenis
Balanus, Semibalanus, Elminius, Chthamalus, and Tetraclita adalah seperti
spesies pada umumnya. Barnakel angsa dan bertangkai, terutama Pollicipes spp,
menjadi karakter eulitoral pada daerah bersuhu hangat, seperti New Zealand,
pantai pasifik bagian barat dan utara Amerika, Spanyol, Portugal, serta Perancis
bagian Selatan dan Barat. Eulitoral juga mendukung hewan herbivore bergerak
cepat seperti siput (Patella, Acmaea, Cellana), siput berlubang Fissurella, siput-
siput pulmonate Siphonaria, dan beberapa spesies siput laut kecil dan topshells
(trochids). Whelks predator juga umumnya terdapat di seluruh dunia.
Pada pantai terbuka, hamparan rumput laut pada daerah eulittoral
cenderung berlangsung dalam waktu singkat. Pada daerah iklim bersuhu dingin,
rumput laut lebih besar menjadi merata dengan peningkatan pada daerah
terlindung. Pada Lautan Atlantik Utara, fucoid rumput laut sangat jelas terjadi
pada bagian pantai terbuka dalam jangka waktu yang sedang, cuma di daerah
telindung hampir menutupi seluruh eulittoral. Di pulau Isles di Inggris, Pelvetia
canaliculafa terdapat pada bagian atas daerah eulittoral, dengan urutan sebagai
berikut Fucus spira!is, kemudian zona Ascophyllum nodosum, F. vesiculosus,
kemudian F. serrat kemudian kelps, biasanya Laminaria digitata tetapi L.
saccharina pada daerah yang sangat terlindungi. Kadang zona F.vesiculosus
terbatas dan berada di atas Ascophylluni, terkadang ini hanya terjadi di bawahnya
tetapi di atas F. serratus (lihat Lewis, sebagai contoh, pada Stephenson dan
Stephenson, 1972). Selanjutnya di bagian Utara Norwegia dan Islandia, berbagai
jenis F. distichus terjadi secara kompleks. Pada pantai sebelah timur Kanada dan
Inggris Baru, pola zonasi berbeda lagi. Di sini F. spiralis berada pada daerah lebih
rendah kemudian F.distichus atau F.vesiculosus, diikuti oleh Ascophyllum
kemudian F.evanescens, dan biasanya zona Chondrus/Mastocarpus (Vadas dan
Elner, 1992). Pantai Pasifik dari Amerika Utara mungkin juga memiliki kelp
Hedophyllum sessile dan palem laut Postelsia palmaeloris pada lokasi terbuka.
11
Tidak semua daerah, bagaimanapun, di daerah midshore dipadati oleh
pertumbuhan rumput laut. Sebagai contoh, pada pantai dingin yang terlindung di
Selandia Baru yang merupakan satu-satunya daerah yang sama dengan midshore
fucoids adalah Horrnosira Banksii, cuma fucoids jenis ini tidak pernah berlimpah
dibandingkan pada daerah lain. Tiram mungkin dapat menandai daerah eulittoral
dari pantai yang terbuka dalam jangka waktu yang sedang dan terlindung pada
beberapa bagian di lautan Pasifik dan Indo-Pasifik. Tiram di daerah Pasifik yang
dibudidayakan juga membentuk satu zona di beberapa bagian di Barat Daya
Perancis.
Pada daerah eulittoral rendah dan tepi sublittoral, umumnya dicirikan
dengan hamparan rumput yang menyerupai alga. Kelp yang lebih besar terdapat
sepanjang daerah terbuka pada gradien yang lebih dingin dan pantai yang kaya
unsur hara. Kelp ini secara luas dibedakan dari bentuk, tetapi umumnya dapat
diukur dengan cepat sepanjang batang yang lentur atau mudah dilekukan, lamina
kadang-kadang juga bercabang. Beberapa jenis kelp berasal dari kelompok
laminarian. Yang tidak termasuk kelompok laminarians, seperti fucoid yang keras
Durviillea, yang mungkin mendominasi zona pada Lautan Atlantik Selatan dan
Pasifik. Pada daerah yang lebih hangat, daerah tepi sublittoral mungkin
mendukung padatnya tutupan dari ascidians, seperti bunga tulip laut atau umpan
merah Pyura, sebagai tambahan hamparan rumput laut merah. Pada laut yang
paling hangat, zona ini juga mencakup tepi bagian atas dari karang. Semua ini
merupakan hal penting bagi jenis spesies sublittoral yang baru diperluas ke daerah
intertidal, dimana seluruhnya kontinyu dipengaruhi ombak secara kontinyu, tetapi
tergolong daerah terlindung.
2.2.2. Mengapa Ciri-Ciri Ini Sangat Universal?
Dari pembahasan diatas sudah jelas karakteristik biologi dari tepi
infralittoral mencerminkan lingkungan fisik yang kasar pada pantai yang tinggi;
sedikit taxa yang dapat mengatasi lingkungan yang demikian. Di beberapa bagian
dunia, seperti timur laut Lautan Atlantik, keberadaan struktur komunitas midshore
tampak lebih mungkin terhadap pengaruh herbivora, terutama grazing limpets,
memperbolehkan organisme untuk menempati ruang dan mendominasi pantai
12
(Hawkins dan Hartnoll,. 1983a; Hawkins et at., 1992a). Dominasi pembentukan
kanopi atau tunicates dari kelp sama pada tepi sublittoral seperti Pyura
memungkinkan perkembangannya tidak dibatasi oleh pengeringan, zat hara dan
makanan tersedia dalam jumlah banyak. Jenis ini juga dapat menjadi tempat
perlindungan bulu babi untuk mencari makan dari bawah karena bulu babi dapat
menghindari gelombang disekitar lingkungan yang pergerakan airnya relatif
tenang pada pantai terbuka. Bagaimanapun, ini harus menjadi catatan bahwa ini
tidak bisa bertahan pada beberapa daerah seperti timur laut Pasifik (M.J. Foster et
al., 1991; M.S. Foster, 1992). Limpets tidak mungkin mampu untuk bergerak ke
bawah dari eulittoral ke daerah yang pertumbuhan alga yang padat, karena mereka
dapat dihanyutkan jika bergerak ke permukaan tumbuhan tersebut. Sementara
tidak adanya limpets pada tumbuhan ini, limpets akan menetap pada bagian yang
rendah dari pantai (Underwood dan Jernakoff, 1981; Hawkins et at., 1992a), tapi
mereka tidak dapat mempertahankan langkah, mengikuti perkembangan dan
kolonisasi alga yang cepat, sehingga kelaparan hingga akhirnya mati di tengah-
tengah tumbuhan yang tumbuh padat. (Stephensons, 1949 in Raffaelli dan
Hawkins, 1996).
Pola pada sublittoral
Walau ini tepat, bagi kebanyakan ahli ekologi pantai untuk membatasi
studi mereka ke daerah di atas permukaan air, sistem ini tentu diperluas ke dalam
daerah subtidal. Dari kedalaman zona sublittoral ini biasanya diambil sebagai
titik, dimana perkembangan makroalga berhenti. Biasanya sepuluh meter di
bagian bawah permukaan air, hanya saja ada beberapa catatan sampai pada
ketinggian 250 m (Russell 1991) dan ini merupakan satu prospek yang
mebingungkan ahli ekologi pantai.
Secara struktural, kelompok sublittoral dapat dibagi dalam sistem single-
layered atau multilayered. Lapisan pertama yang didominasi dari coralline
menjadi kerak ganggang merah (Lithophyllum) dan jenis pembentukan sedikit
hamparan rumput seperti Cerarnium Ectocarpus Laufrnaa dan Dictyota.
Umumnya ini terdapat di daerah hangat yang beriklim sedang. Sistem
multilayered ditandai oleh satu kanopi jenis tumbuhan laut yang besar seperti
Macrocystis pyrzfera atau Laminaria hyperborea. Dalam beberapa hal, kelp
13
mungkin dibatasi oleh anemon Metridium (Vadas dan Steneck, 1988). Antarctica
meruapakan daerah dingin sublittoral yang unik, kelp walaupun fucoid rumput
laut yang keras Durvillea antarctica terjadi pada bagian atas sublittoral dari pantai
lautan selatan. Di laut hangat iklim sedang, kanopi yang rendah dapat dibentuk
oleh jenis lain seperti Cystoseira pada Mediteranian. Pada daerah atidal Baltic,
hutan sublittoral terbentuk oleh kanopi besar membentuk Fucus Vesiculosus, dan
banyak fungsi paralel di antara sistem ini dan Amerika Utara dan Afrika Selatan
lebih dikenal dengan hutan kelp (Wallentinus, 1991). Di bawah Fucus ini hutan
sublittoral lebih dalam(> 20 m) didominasi oleh tikar dari kerang Mytilus edulis,
satu hak pola yang tidak biasa juga sangat jarang ditemukan moluska, binatang
berkulit keras dan pemangsa echinoderm pada berkadar garam rendah di daerah
Baltic sebelah timur. Di daerah subtidal komunitas Mytilus juga mengalami
kondisi yang sangat terbuka (Hiscock, 1983) secara umum mengotori kumpulan
pada struktur lepas pantai, terutama pada awal suksesi. Mereka juga umum pada
lingkungan dengan kadar garam rendah seperti dermaga yang tidak terpakai di UK
(Russell et al., 1983; Hawkins et al., 1992b).
Hutan kelp merupakan kumpulan yang sangat berbeda dan pada timur laut
dan barat daya Pasifik dan mungkin merupakan jenis yang paling tinggi
kesempurnaannya dan produktifitas diantara semua sistem iklim sedang (M.J.
Foster et al., 1991). Lebih dari 30 jenis dari makro invertebrata dan 125 jenis ikan
telah ditemukan dari karang berbatu dan hutan kelp di California selatan, bersama
dengan anjing laut dan berang-berang laut. Di hutan luas ini dari timur laut
Pasifik, spesies yang berbeda dari alga pembentuk kanopi menandai lokasi-lokasi
yang berbeda pula. Dengan demikian, pada di selatan Alaska di dominasi Alaria
fistulosa, dari sebelah timur Alaska ke California utara Macrocystis integrifolia
dan Nereocystis luetkeana dan dari Santa Cruz ke Baja California, Mexico,
Macrocystis pyrifera. Hutan kelp yang besar juga terjadi pada Belahan Bumi
Selatan, meliputi Cili, Falklands dan Australia. Mungkin belajar tentang kelp yang
paling terperinci pada Belahan Bumi Selatan telah dilakukan di Afrika selatan
hutan Nereocystis pada sistem Upwelling Benguela (Griffiths, 1991 untuk satu
ikhtisar, pada Bab 6). Hamparan rumput laut tidak terdapat pada perairan miskin
unsur haranya, walau kelp tropis menarik juga karena terdapat di daerah yang
14
pada musim tertentu tidak terjadi upwelling pantai di daerah Oman laut Arab.
(Stephensons, 1949 in Raffaelli dan Hawkins, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
Bengen D.G. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Indonesia
Eleftheriou A. and Mclntyre A. 2005. Methods for the Study of Marine Benthos (Third Edition). Blackwell Publishing. United Kingdom
Hossain Md.M.K., 2005. An Eximination o Sea Grass Monitoring Protocols as Applied to Two New South Wales Estuarine Settings. Australian Catholic University. Australia
Lara R.J., 2002. Amazonian mangroves – A multidisciplinary case study in Par´a State, North Brazil: Introduction. Kluwer Academic. Netherlands
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Jakarta.
Reseck J.R. 1980. Marine Biologi. Second Edition. Prenticce Hall, Englewood Cliffs.
Raffaelli D and Hawkins. S. 1996. Intertidal Ecology. Chapman & Hal. London. England.
15