e Jurnal Diny

23
PENGARUH HAMBATAN STRATUM KORNEUM TERHADAP PENETRASI APMS MELALUI MEMBRAN KULIT TIKUS SEBAGAI STUDI PRAFORMULASI SEDIAAN TOPIKAL Dini RAHMATIKA ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan parameter penetrasi dari asam p-metoksisinamat (APMS) melalui membran kulit tikus utuh dan kulit yang telah dihilangkan stratum korneumnya. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan ilmiah dalam formulasi suatu sediaan topikal dengan bahan aktif asam p- metoksisinamat. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan yaitu, penentuan dosis efektifitas dan uji penetrasi dari APMS. Penelitian diawali dengan uji aktifitas yang bertujuan untuk mengetahui dosis efektifitas APMS yang setara dengan natrium diklofenak, uji ini dilakukan dengan mengevaluasi efek anitiinflamasi yang dihasilkan menggunakan karagenan 1%. Pengamatan tebal udem hind paws dilakukan selama 6

description

menye

Transcript of e Jurnal Diny

PENGARUH HAMBATAN STRATUM KORNEUM TERHADAP PENETRASI APMS MELALUI MEMBRAN KULIT TIKUS SEBAGAI STUDI PRAFORMULASI SEDIAAN TOPIKALDini RAHMATIKAABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk menentukan parameter penetrasi dari asam p-metoksisinamat (APMS) melalui membran kulit tikus utuh dan kulit yang telah dihilangkan stratum korneumnya. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan ilmiah dalam formulasi suatu sediaan topikal dengan bahan aktif asam p-metoksisinamat. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan yaitu, penentuan dosis efektifitas dan uji penetrasi dari APMS.

Penelitian diawali dengan uji aktifitas yang bertujuan untuk mengetahui dosis efektifitas APMS yang setara dengan natrium diklofenak, uji ini dilakukan dengan mengevaluasi efek anitiinflamasi yang dihasilkan menggunakan karagenan 1%. Pengamatan tebal udem hind paws dilakukan selama 6 jam. Didapat hasil efek antiinflamasi yang dihasilkan APMS 0,632 kali Natrium diklofenak, atau setara 1,994 x 10-6 mol/mL

Selanjutnya dilakukan uji penetrasi sediaan APMS. Kadar APMS yang digunakan pada uji ini mengacu pada data penelitian penentuan kelarutan jenuh APMS pada pH 7 yaitu 5,739 mg/mL. Dikarenakan untuk memperoleh kadar sesuai kelarutan jenuh APMS memerlukan berbagai kondisi yang harus dipenuhi, maka pada penelitian ini digunakan kadar dibawah kelarutan jenuh APMS, yaitu 3,6 mg/ml. Uji penetrasi APMS dilakukan pada dua jenis membran kulit tikus wistar, membran kulit utuh dan membran kulit yang telah dihilangkan stratum korneumnya.. Dari uji ini diketahui terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua membran. Permeabilitas kulit yang tanpa stratum korneum lebih besar dibandingkan permeabilitas membran kulit utuh.Keywords: Asam p-metoksisinamat, antiinflamasi, penetrasi obat

ABSTRACT

The purpose of this experiment is to know parameter penetration of p-methoxycinnamic acid used wistar rat skin. The outcome of this experiment would subsequently be a scientific foundation for formulating a topical preparation of p-methoxycinnamic acid which safe, effective and quality.This research will be carried out in two stages those are determination of the value of effectiveness and the penetration testing. This experiment started with test activity which aims to determine effectiveness doses of p-methoxycinnamic that equivalent to sodium diklofenak, it was evaluated using carrageenan 1%. The survey of hind paws edema was done in 6 hour. The result of this study showed the effect of anti-inflamatory of p-methoxycinnamic acid are 0,632 times from Sodium Diclofenac or equal to 1,994 x 10-6 mol/mL

Doses have been obtained from test effectiveness used as levels in the test of penetration. The p-methoxycinnamic acid penetration test used two kind of of wistar rat skin membrane, the full thickness skin and the skin without Stratum corneum layer. From this test there found to be significant alteration between the full thickness skin and skin without Stratum corneum layer. The penetration rate of skin without Stratum corneum higher than penetration rate of full thickness skin.

Keywords: p-methoxycinnamic acid, anti-inflamatory, drug penetration, PENDAHULUANInflamasi salah satunya dapat disebabkan peradangan pada salah satu jaringan tubuh (inflamasi). Terapi penderita dengan peradangan mencakup dua sasaran utama: pertama, meredakan nyeri, yang menjadi keluhan utama yang umumnya dikeluhkan pasien, yang kedua perhambatan atau penghentian proses kerusakan jaringan (Katzung, 2007)

Salah satu pilihan untuk mengobati peradangan dapat juga menggunakan kencur (Kaempferia galangal L.) yang memiliki kandungan etil p-metoksisinamat (EPMS) (31,77%). Dalam tubuh, EPMS akan mengalami hidrolisis membentuk senyawa aktif biologis, yaitu asam p-metoksisinamat (APMS) yang aktif sebagai antiinflamasi (Sadono et al, 2000) yang bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Prostaglandin menyebabkan sensitivitas reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik maupun kimiawi. Dengan demikian terjadi hambatan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi (Ganiswara, 1995). Terapi yang diberikan untuk mengurangi peradangan salah satunya adalah menggunakan Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS). Golongan obat ini sering digunakan untuk meredakan nyeri untuk waktu yang cukup signifikan (Katzung, 2007). Tapi, beberapa golongan OAINS yang digunakan secara oral dapat menyebabkan pendarahan pada saluran cerna dan menyebabkan iritasi. Salah satu upaya untuk menghindari efek samping ini adalah penggunaan secara transdermal.Reseptor dari antiinflamsi terdapat pada daerah viable epidermis dan dermis pada jaringan kulit. Sehingga, untuk dapat berikatan dengan reseptor APMS harus berpenetrasi menembus lapisan epidermis. Namun pada lapisan teraebut terdapat lapisan stratum korneum yang bertindak sebagai Rate limiting step dalam proses penetrasi (Riviere, 1993). Untuk mengetahui pengaruh keberadaan Stratum corneum terhadap daya penetrasi APMS dapat di lihat dari daya penetrasinya yang diperoleh melalui uji penetrasi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya penetrasi asam p-metoksisinamat (APMS) melalui dua jenis kulit. Jaringan kulit yang digunakan yaitu hewan coba tikus wistar jantan. Jaringan kulit yang digunakan pada penelitian dibagi menjadi 2 tipe, yaitu jaringan kulit utuh dan kulit yang telah distripping (dihilangkan bagian stratum korneumnya). Dari penelitian ini akan ditentukan parameter penetrasi dari APMS dari membran kulit utuh dan membran tanpa stratum korneumMETODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, asam p-metoksisinamat (APMS) dan Na-Diklofenak yang diperoleh dari Sigma Aldrich, Ketamin, normal salin, karagenan diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan membran kulit tikus utuh dan yang telah di stripping, NaCl, KCl, NaHPO4. 12H2O dan KH2PO4 dan KBr diproduksi oleh PT. Bratako. Pelarut yang digunakan adalah aquadest diperoleh dari PT. Bratako. Alat-alat yang digunakan dalam peneletian ini adalah Rangkaian alat untuk uji penetrasi Franz cells, Double beam Spectrophotometer UV-Vis cary 50 Conc. Shimadzu, IR JASCO FT/IR-5300 Instrumen termometer, Neraca analitik, pH meter SCHOOT glas mainz tipe CG 842, alat uji suhu lebur Differential Thermal Analysis (DTA) SP 900 Thermal System Metler Toledo SP 85magnetic stirer, Mikroskop elektron, Thermostatic Waterbath Mermert, spet injeksi, dispossible mikro kuvet

Metode peneletian yang pertama kali dilakukan adalah pemeriksaan kualitatif bahan penelitian yaitu APMS diidentifikasi menggunakan DTA dengan mengamati suhu lebur dengan alat DTA FP 900 Thermal System. Pengamatan dilakukan pada rentang suhu antara 50oC- 250oC dengan kecepatan 10oC per menit (The United States Pharmacopeia, 2002). Pemeriksaan spektra inframerah menggunakan teknik pelet KBr. 2 mg zat digerus dengan 300 mg serbuk KBr kering kemudian dikompresi dengan penekan hidrolik yang dilengkapi alat penarik uap air agar diperoleh lempeng tipis yang tembus cahaya. Spektra inframerah APMS yang diperoleh dibandingkan dengan spektra inframerah dari pustaka (www.sigmaaldrich.com). Selanjutnya, dilakukan uji penentuan dosis APMS sebagai antiinflamasi, dengan cara membandingkan efektifitas sebagai antiinflamasi dari larutan Na-Diklofenak 1% dengan larutan APMS yang memiliki kesetaraan molaritasnya. Pada penelitian penentuan dosis efektifitas Na-Diklofenak 1 % dibandingkan dengan APMS 0,56% dan dilakukan 5 kali replikasi. Hewan coba menggunakan tikus wistar jantan yang terdiri atas 3 kelompok yaitu satu kelompok yang akan diuji dengan larutan APMS, 1 kelompok yang akan diuji dengan larutan Na-Diklofenak dan 1 kelompok kontrol negaatif. Tahap awal tikus dianestesi dengan pemberian ketamin 80mg/kg BB secara im kemudian ditempatkan pada papan dengan posisi terlentang. Setelah dianastesi, larutan dioleskan pada permukaan plantar dengan pengolesan sebanyak 50 kali dengan spatel logam. 30 menit setelah pengolesan larutan, tikus diinduksi inflamasi dengan injeksi 0,1 ml suspensi karagenan 1% dalam normal salin. Injeksi dapat dilakukan pada subplantar (di bawah kulit telapak kaki tikus) sebelah kanan hind paw dari tikus. Jarum 27G dengan syringe yang telah berisi karagenan disuntikan kedalam ruang antara kulit dan otot secara hati-hati dan perlahan-lahan. Setelah injeksi dilakukan tikus dimasukkan ke dalam kandang sesuai dengan kelompoknya. Evaluasi tebal plantar dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran tebal plantar dilakukan pada menit ke- 0, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360 setalah pemberian suspensi 1% karagenin.Selanjutnya dilakukan uji penetrasi dari larutan larutan APMS dengan kadar yang setara dengan dosis efektif Na-Diklofenak yang telah didapatkan terhadap dua jenis membran kulit tikus wistar jantan. Membran yang digunakan yaitu, membran kulit tikus utuh dan membran kulit yang telah dihilangkan startum corneumnya, untuk menghilangkan lapisan stratum corneum digunakan metode tape stripping sebanyak 40x. Uji penetrasi menggunakan Franz cells. Media reseptor yang digunakan adalah dapar fosfat salin pH 7,4 0,05. Penentuan daya penetrasi dilakukan dengan mengamati kadar bahan aktif yang terpenetrasi dengan metode spektrofotometer pada maks. Dari kadar yang diperoleh dihitung harga Fluks (Laju Penetrasi), selanjutnya dapat dihitung permeabilitas membran. Dari data yang diperoleh dilakukan analisis data secara statistik menggunakan Uji THASIL DAN PEMBAHASAN

Asam p-Metoksisinamat (APMS) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Sigma-Aldrich dimana telah dilakukan identifikasi kemurniannya secara kualitatif melalui spektrofotometer infra merah dan pemeriksaan suhu lebur dengan menggunakan Differential Thermal Analysis (DTA). Hasil identifikasi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah menunjukkan hasil yang identik dengan spektra infra merah APMS standar, sedangkan hasil identifikasi dengan dengan menggunakanDifferential Thermal Analysis(DTA) menunjukkan suhu lebur 174,4C yang sesuai dengan suhu lebur menurut literatur (173-175C) sehingga APMS dapat digunakan untuk penelitian.

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan, yaitu penentuan dosis efektifitas APMS yang setara dengan Natrium Diklofenak dan uji penetrasi. Kedua uji menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan sebagai subyek penelitian. Dipilih tikus jantan dengan tujuan mengurangi pengaruh hormonal dari subyek. Tikus yang digunakan berumur 3-4 bulan dengan berat 150-200 gram. Hal ini dimaksud agar meminimalkan terjadinya variasi biologis yang dapat mempengaruhi hasil dari efek antiinflamasi

Sebagai kontrol positif digunakan larutan Natrium Diklofenak 1% yang telah terbukti memiliki efektifitas sebagai antiinflamasi. Untuk menentukan dosis APMS dilakukan pada kadar molaritas yang sama dengan Natrium Diklofenak. Natrium Diklofenak 1 % setara dengan 3,14 x 10-2 molar, maka APMS yang digunakan juga 3,14 x 10-2 molar yang setara dengan 5,59%. Kedua bahan aktif dilarutkan dalam air, kemudian dioleskan pada telapak kaki tikus.

Hasil pengukuran tebal udem menunjukkan bahwa rerata tebal udem pada kelompok Natrium Diklofenak lebih kecil daripada rerata tebal udem plantar tikus pada kelompok APMS. Sedangkan rerata tebal udem plantar tikus pada kelompok APMS lebih kecil daripada kontrol negatif. Profil hubungan antara tebal udem tiap waktu dari larutan APMS, larutan Na-Diklofenak dan kontrol negatif dapat dilihat pada lampiran 1.

Berdasarkan data tebal udem yang didapat tiap waktu dibuat kurva antara waktu dan tebal udem selanjutnya dapat ditentukan Area Under Curve (AUC) dari masing-masing kurva tiap larutan, data AUC dapat dilihat pada lampiran 2 dan histogram rerata AUC dariaktivitas dari tiap larutan uji dapat dilihat pada lampiran 3. Dari data rerata data AUC antara tebal udem terhadap waktu dihitung % Daya Antiinflamasi (%DAI) yang dapat dilihat pada lampiran 4, dan histogram perbandingan %DAI larutan APMS dan larutan Natrium Diklofenak dapat dilihat pada lampiran 5.

Dari perhitungan %DAI didapat %DAI larutan APMS dan larutan Na-Diklofenak berturut-turut adalah 28,78% dan 18,28%, maka daya hambat Natrium Diklofenak > APMS. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa daya penghambatan udem APMS sebesar 0,6352 kali dari Natrium Diklofenak atau setara dengan 1,994 x 10-5 mol/mL. Pada tahap selanjutnya dosis inilah yang dijadikan sebagai kadar untuk melakukan uji selanjutnyaReseptor antiinflamasi terdapat pada daerah viable epidermis dan dermis pada jaringan kulit. Sehingga, untuk dapat berikatan dengan reseptor bahan aktif APMS harus dapat menembus lapisan epidermis. Pada lapisan epidermis terdapat lapisan stratum corneum yang bertindak sebagai Rate limiting step pada proses penetrasi. Lapisan stratum corneum tersebut sebagian besar terdiri dari keratin (70%) (Walters, 2000) yang merupakan protein serabut yang bersifat lebih larut lemak (Wirahadikusuma, 2008). Matriks keratin tersebut yang menyebabkan lapisan stratum corneum lebih mudah ditembus oleh bahan yang bersifat lipofilik seperti halnya Natrium Diklofenak. Tahap selanjutnya pada penelitian ini adalah uji penetrasi. Pada uji penetrasi kadar APMS yang digunakan disesuaikan dengan hasil penentuan dosis yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu 1,994 x 10-5 mol/mL. Digunakan dua macam membran kulit tikus, yaitu kulit tikus utuh dan kulit yang telah dihilangkan stratum corneumnya. Untuk memperoleh kulit tanpa stratum corneum, membran kulit utuh distripping sebanyak 40x. Uji ini penetrasi dilakukan menggunakan alat Franzcell, digunakan larutan dapar pH 7,4 0,05 suhu percobaan dikontrol untuk tetap konstan 37C 0,05. Pengujian penetrasi dilakukan pada 8 tikus dengan 4 kali replikasi untuk tiap jenis membran. Hasil perhitungan jumlah kumulatif APMS yang berpenetrasi pada membran kulit utuh dan membran kulit tanpa stratum corneum dapat dilihat selengkapnya pada lampiran 6 . Profil hubungan antara jumlah kumulatif APMS yang berpenetrasi pada membran kulit utuh dan membran kulit tanpa stratum corneum dapat dilihat pada lampiran 7. Demikian pula dengan perhitungan persamaan regresi linier habungan antara jumlah kumulatif APMS (g/cm2) vs waktu yang berpenetrasi dan hasil perhitungan fluks penetrasi larutan APMS pada membran kulit utuh dan membran tanpa stratum corneum selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8.Dari data serapan yang diperoleh dari uji penetrasi, dapat dihitung nilai fluks dari masing-masing membran. Nilai fluks rata-rata yang diperoleh untuk membran kulit utuh yaitu 0,299 g/cm2.menit sedangkan untuk membran kulit tanpa stratum corneum adalah 1,263 g/cm2.menit. Dari nilai fluks tersebut diketahui APMS lebih mudah berpenetrasi pada kulit yang telah dihilangkan stratum corneumnya.

Tiap lapisan kulit memiliki daya permeabilitas yang berbeda-beda, khususnya pada lapisan epidermis dan dermis, salah satu lapisan yang paling berperan dalam proses penetrasi adalah lapisan stratum corneum yang terletak di bagian terluar dari epidermis. Seperti yang telah diketahui penetrasi bahan aktif dapat terjadi melalui mekanisme transeluler, intraseluler, dan transappendegal (Ansel, 1993). Meskipun rute intraselluler memiliki laju penetrasi kecil tetapi mekanisme ini lebih banyak terjadi terutama pada obat-obat yang bersifat lipofilik, karena pada rute ini obat berpenetrasi melalui lapisan stratum coreum yang memiliki luas permukaan besar sehingga terjadi peningkatan konsentrasi bahan obat yang dapat terpenetrasi.

Pada membran kulit tanpa stratum corneum, lapisan yang bertindak sebagai barier utama pada proses penetrasi telah diangkat. Pengangkatan lapisan inilah yang menyebabkan peningkatan daya penetrasi dari APMS. Hal ini juga didukung oleh data yang didapat pada studi yang telah dilakukan oleh Menon (2012) terbukti bahwa dengan menyingkirkan lapisan stratum corneum memberikan daya permeabilitas yang meningkat dibandingkan dengan permeabilitas pada membran kulit utuh.

Besarnya variasi antar tikus disebabkan faktor biologis, pada setiap replikasi digunakan tikus berbeda yang sulit dikontrol secara seragam berat dan usianya sehingga kemungkinan terdapat perbedaan tebal kulit,permeabilitas kulit, besarnya pori-pori pada kulit dan jumlah folikel rambut. Oleh karena itu sangat diperlukan pengontrolan yang lebih ketat mengenai keseragaman usia dan berat tikus sehingga dapat meminimalkan adanya perbedaan tersebut.

Ucapan terima kasih

Rasa syukur dan terima kasih terdalam saya panjatkan kepada Allah SWT Sang Pemberi Inspirasi. Serta satu-satunya alasan sejati penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara materiil maupun moril. Oleh karena itu, saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, yaitu :

1. Prof. Widji Soeratri, Apt., DEA selaku pembimbing utama yang telah menyisihkan waktu, membagi ilmu serta pengalamannya untuk membimbing dan mendukung selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi.

2. Dra. Noorma Rosita, Apt., M.Si selaku pembimbing serta yang telah memberikan kesempatan menjadikan saya sebagai anak bimbing serta penuh dengan kesabaran dan pengertian membimbing dan mendukung selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi.

3. Dr. Umi Athijah, Apt., MS selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah memberikan pengalaman menyusun skripsi sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan program sarjana.

4. Dra. Esti Hendradi, Apt., M.Si., PhD selaku Ketua Departemen Farmasetika Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah memberikan dukungan serta fasilitas selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrich, 2009. Material Safety Data Sheet. Penerbit: Sigma-Aldrich Co. www.sigma-aldrich.com, diakses pada tanggal 28 Juli 2012Ganiswara, S.G., 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: Gaya Baru.

Katzung B. G., 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. 10th ed. Jakarta: Salemba Medika, hal 589-590Menon, G.K (2012) The strutcture and function of the stratum corneum, International journal of Pharmaceutics, 435, pp 3-8

Netzlaff, Frank., (2006) Permeability of the rconstructed human epidermis model epskin in comparision to various human skin preparations. European Jurnal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, Germany : Sciendirect, p. 127-134Riviere, J. E., 1993, Biological Factors in Absorbtion and Permeation , In : Zatz, J. A (Eds)., Skin Permeation Fundamentals and Application, Wheaton : Allured Publishing Corp, p. 113-125.

Sadono dan Hasmono, D., 2000 Ketersediaan Hayati/ Profil Farmskokinetik Kristal APMS (Isolat Bahan Aktif Serbuk Rimpang Kencur) padaHewan Coba Kelinci. Laporan Penelitian, Lemlit UNAIR.

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1Profil hubungan antara tebal udem tiap waktu (jam) vs tebal rerata tebal udem (mm) dari larutan APMS, larutan Na-Diklofenak dan kontrol negatif

Injeksi Karagenan

Pengolesan sediaan

LAMPIRAN 2Hasil AUC dari kurva tebal udem terhadap waktu

SediaanReplikasiAUC (mm.jam)AUC Rerata SD (mm.jam)

Natrium diklofenak16,9505.0851.6477

24,450

35,800

45.625

52,600

APMS14.3755,8352,6839

29.775

33,500

44.075

57,450

Kontrol Negatif16,0257,1401.4557

28,950

38,100

47,225

55,400

LAMPIRAN 3

Histogram rerata AUC aktivitas dari larutan APMS, larutan Natrium Diklofenak dan Larutan Kontrol Negatif.

LAMPIRAN 4

Data AUC dan %Daya Antiinflamasi

SediaanAUC (mm. jam)%DAI

Kontrol Negatif7.140-

Natrium Diklofenak5.08528.78

APMS5.83518.28

LAMPIRAN 5

Histogram perbandingan Persen Daya Antiinflamasi larutan APMS dengan larutan Natrium Diklofenak.

LAMPIRAN 6Kurva hubungan antara waktu vs jumlah kumulatif APMS yang berpenetrasi dalam media larutan dapar fosfat salin ph 7,4 0,05 tiap cm2 pada suhu 37C pada membran kulit utuh dan tanpa stratum corneum

LAMPIRAN 7

TabeL Nilai fluks uji penetrasi APMS pada membran kulit utuh dan kulit tanpa stratum corneum

MembranFluks%KV

ReplikasiRerata SD

Kulit utuh0,2320,299 0,07525,23

0,236

0,373

0,355

Kulit tanpa stratum corneum1,3391,263 0,0947,42

1,131

1,319

1,264

LAMPIRAN 8

Nilai Permeabilitas APMS pada membran kulit utuh dan membran kulit tanpa stratum corneum

MembranPermeabilitas SD (%KV)

(cm/menit)

Kulit utuh 8.42. 10-04 2.12 . 10-04 (25,23)

Kulit tanpa Stratum corneum3.56 . 10-04 2,64 . 10-04 (7,42)