Dyspneu

56
SKILL LAB SESAK NAPAS Oleh : Rr. Okiningtyas Kun Cahyandari 07201110101014 Dosen Pembimbing : dr. Edi Nurtjahja, Sp.P Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2011

Transcript of Dyspneu

Page 1: Dyspneu

SKILL LAB

SESAK NAPAS

Oleh :

Rr. Okiningtyas Kun Cahyandari

07201110101014

Dosen Pembimbing :

dr. Edi Nurtjahja, Sp.P

Disusun untuk melaksanakan tugas

Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam

RSD dr. Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2011

Page 2: Dyspneu

DEFINISI

Sesak napas sering disebut sebagai dispnea, napas pendek, breathlessness,

atau shortness of breath. Dispnea adalah gejala subjektif berupa keinginan

penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Karena

sifatnya subjektif, dispnea tidak dapat diukur. Keluhan dispnea tidak selalu

disebabkan karena penyakit; sering pula terjadi pada keadaan sehat tetapi terdapat

stres psikologis.

Seperti halnya rasa nyeri, dispnea sebagai gejala bersifat subjektif, tingkat

keparahannya dipengaruhi oleh respon penderita, kepekaan (sensitivitas) serta

kondisi emosi. Tingkatan dispnea dapat dirasakan sangat berbeda oleh masing-

masing penderita walaupun sebetulnya kondisinya sama. Meskipun sifatnya

subjektif, dispnea dapat ditentukan dengan melihat adanya upaya bernapas aktif

dan upaya menghirup udara lebih banyak (labored and distressful breathing).

Dalam mengevaluasi dispnea, perlu diperhatikan keadaan ketika dispnea

terjadi. Dispnea dapat terjadi pada perubahan posisi tubuh. Dispnea yang terjadi

pada posisi berbaring disebut ortopneu, biasanya disebabkan karena gagal jantung.

Ortopneu juga terjadi pada penyakit paru tahap lanjut dan paralisis diafragma

bilateral. Platipneu adalah kebalikan dari ortopneu, yaitu dispnea yang terjadi

pada posisi tegak dan akan membaik jika penderita dalam posisi berbaring;

keadaan ini terjadi pada abnormalitas vaskularisasi paru seperti pada COPD berat.

Disebut trepopneu jika dengan posisi bertumpu pada sebelah sisi, penderita

dispnea dapat bernapas lebih enak; ditemui pada penyakit jantung (perubahan

posisi menyebabkan perubahan ventilasi-perfusi). Paroxysmal nocturnal dyspnea

(PND) adalah sesak napas yang teijadi tiba-tiba pada saat tengah malam setelah

penderita tidur selama beberapa jam, biasanya terjadi pada penderita penyakit

jantung. Exertional dyspnea adalah dispnea yang disebabkan karena melakukan

aktivitas. Intensitas aktivitas dapat dijadikan ukuran beratnya gangguan napas,

misal setelah berjalan 50 langkah atau setelah menaiki 4 anak tangga timbul sesak

napas. Dispnea yang terjadi ketika berjalan di jalan datar, tingkatan gangguan

napasnya lebih berat jika dibandingkan dengan dispnea yang timbul ketika naik

tangga. Keluhan sesak napas juga dapat disebabkan oleh keadaan psikologis. Jika

Page 3: Dyspneu

seseorang mengeluh sesak napas tetapi dalam exercise tidak timbul sesak napas

maka dapat dipastikan keluhan sesak napasnya disebabkan oleh keadaan

psikologis.

ETIOLOGI

Sesak napas dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan

penyebabnya, yaitu organik (adanya kelainan pada organ tubuh) dan non organik

(berupa gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik). Sesak napas organik

tidak hanya disebabkan oleh kelainan organ pernapasan, tetapi penyakit pada

organ seperti jantung dan ginjal pun dapat menyebabkan terjadinya keluhan sesak

napas. Selain karena kelainan organ, penyakit karena gangguan metabolisme

pada kelainan ginjal, jantung, paru, dan kelainan metabolisme lainnya seperti

diabetes, dapat pula menimbulkan sesak napas. Etiologi sesak nafas organic dapat

dilihat dalam tabel berikut:

Dyspnea

Penyebab cardiovascular Penyebab pulmonal Penyebab Lainnya

Penyakit jantung

koroner

Gagal jantung

kongestif

Cardiomiopati,

obstruksi jalan nafas

1. asma

2. bronkiektasis

3. penyakit paru

obstruksi kronik

Pengaruh obat-obatan

Psikogenik

Kondisi metabolic

(contoh: asdosis

metabolic)

Page 4: Dyspneu

meliputi:

1. Miokarditis

2. Kardiomiopati

hiprtrofi

3. LVH

4. Hipertrofi septal

asimetrik

Disfungsi valvular

Pericarditis

Aritmia

4. fibrosis kistik

5. bronkiolitis

Kelainan restriktif

parenkimal

1. Sarkoidosis

2. Fibrosis paru

idiopatik

3. pneumonokiosis

Kelainan restriktif non

parenkimal

1. Neuromuscular

a. Paralisis

diafragma

b. Myestenia gravis

c. GBS

d. Distrofi muscular

e. Cervical spine

injury

2. Kelainan dinding

dada

a. Kifoskoliosis

b. Ankylosing

spondilytis

Severe pain

Gangguan di telinga

dan tenggorokan

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika

ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada

pertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi

makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini

hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam

keadaan patologis pada saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat.

Page 5: Dyspneu

Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran

gas juga akan terganggu dan juga dapat menebab kan dispnea.

Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan

terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance

paru maka makinbesar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama

inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab

menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya

jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang

sama.

Berbagai mekanisme yang menyebabkan terjadinya sesak nafas, yaitu:

a. Gangguan pengambilan dan absorbsi oksigen

Gangguan sirkulasi paru

1. Emboli paru

2. Hipertensi pulmonal

3. Gagal jantung kongestif

Gangguan pada hemoglobin

1. Intoksikasi karbonmonoksida

2. methemoglobinemia

b. Gangguan perfusi

c. Gangguan transportasi

d. Gangguan dari peningkatan kebutuhan oksigen

e. Gangguan dari ekskresi karbon dioksida dan sisa metabolisme tubuh

KLASIFIKASI SESAK NAPAS

Berdasarkan onsetnya, sesak nafas dibedakan menjadi dyspnea kronik

dan akut.

Sesak nafas

Akut (

Dapat ditemukan pada:

a. Emboli paru

b. Edema paru

Kronis (> 1 bulan)

Dapat ditemukan pada:

a. Obstructive lung disease

(COPD, asma)

Page 6: Dyspneu

c. Obstruksi jalan nafas

d. Pneumothoraks

e. Pneumoni

f. Asma dan amfisema

b. Restrictive lung disease

(penyakit paru interstisial,

kifoskoliosis, penyakit

neuromuscular)

c. Gagal jantung kongestif

d. Pneumoni

e. Anemia

f. Iskemi miokardial

g. Hipotiroid

h. Obesitas

i. Psikiatri dyspnea

Sesuai dengan berat ringannya keluhan, sesak napas dapat dibagi

menjadi:

American Thoracic Society (ATS)

Tingkat Derajat Kriteria

0 Normal Tidak ada kesulitan bernapas kecuali aktivitas berat

1 Ringan Terdapat kesulitan bernapas, napas pendek-pendek

ketika terburu buru atau ketika nenuju puncak

landai

2 Sedang Berjalan lebih lambat dari pada kebanyakan orang

yang berusia sama karena sulit bernapas atau harus

berhenti berjalan untuk bernapas

3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernapas

atau setelah berjalan beberapa menit

4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernapas bila meninggalkan

rumah atau memekai baju atau membuka baju

Page 7: Dyspneu

Pembagian lain tentang sesak menurut tingkat sesak:

a. Sesak Napas Tingkat I

Tidak ada pembatasan atau hambatan dalam melakukan kegiatan

sehari-hari. Sesak napas akan terjadi bila penderita melakukan aktivitas

jasmani lebih berat dari pada biasanya. Pada tahap ini, penderita dapat

melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik.

b. Sesak Napas Tingkat II

Sesak napas tidak terjadi bila melakukan aktivitas penting atau

aktivitas yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-hari. Sesak baru

timbul bila melakukan aktivitas yang lebih berat. Pada waktu naik

tangga, sesak napas mulai terasa, tetapi bila berjalan di jalan yang datar

tidak sesak.

c. Sesak Napas Tingkat III

Sesak napas sudah terjadi bila penderita melakukan aktivitas

sehari-hari, seperti mandi atau berpakaian, tetapi penderita masih dapat

melakukan tanpa bantuan orang lain. Sesak napas tidak timbul di saat

penderita sedang istirahat. Penderita juga masih mampu berjalan-jalan di

daerah sekitar, walaupun kemampuannya tidak sebaik orang-orang sehat

seumurnya.

d. Sesak Napas Tingkat IV

Penderita sudah sesak pada waktu melakukan kegiatan/aktivitas

sehari-hari seperti mandi, berpakaian dan lain-lain sehingga tergantung

pada orang lain pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak napas

belum tampak waktu penderita istirahat, tetapi sesak napas sudah mulai

timbul bila penderita melakukan pekerjaan ringan sehingga pada waktu

mendaki atau berjalan-jalan sedikit, penderita terpaksa berhenti untuk

istirahat sebentar.

e. Sesak Napas Tingkat V

Penderita harus membatasi diri dalam segala tindakan atau

aktivitas sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin. Keterbatasan ini

menyebabkan penderita lebih banyak berada di tempat tidur atau hanya

Page 8: Dyspneu

duduk di kursi. Untuk memenuhi segala kebutuhannya, penderita sangat

tergantung pada bantuan orang lain.

Untuk menentukan gawat napas, dengan Score Down:

0 1 2

Frekwensi

Nafas

< 60/menit 60-80/menit >80/menit

Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Reraksi berat

Sianosis Tidak ada Sianosis hilang

denga O2

Sianosis menetap

walaupun diberi O2

Air entry Udara masuk

bilateral baik

Penurunan

ringan udara

masuk

Tidak ada udara

masuk

Keterangan:

1. Skor < 4 maka tidak ada gawat nafas

2. Skor 4-7 maka ada gawat nafas

3. Skor >7 maka ancaman gagal nafas (perlu analisis gas darah)

Evaluasi

Total Diagnosis

1-3 Sesak napas ringan

4-5 Sesak napas sedang

≥ 6 Sesak napas berat

PATOFOSIOLOGI SESAK NAPAS

Terjadinya sesak nafas berhubungan erat dengan hal-hal berikut:

a. Sensasi sesak napas merupakan campuran dua komponen :

1. Input sensory ke korteks serebri

Informasi dari reseptor-reseptor khusus terutama mekanoresptor di

berbagai aparatus pernapasan dan di tempat lain. Input lain dari jalan

Page 9: Dyspneu

napas, paru memelui nervus vagus, otot-otot pernapasan dan dinding

dada.

2. Sensasi persepsi

Interpretasi dari informasi yang tiba pada korteks sensor otot, hal ini

sangat bergantung pada psikologis penderita.

b. Usaha untuk bernapas

Hal ini berkaitan dengan rasio beban pada otot-otot pernapasan dan

kapasitas maksimun otot-otot pernapasan. Peningkatan rasa untuk bernapas

dapat disebabkan oleh beban yang meningkat, kapasitas paru yang berkurang,

seperti pada kelemahan otot, lelah, masalah mekanik dalam proses mekanik

paru (peningkatan volume paru).

c. Kemoreseptor

1. Rangsangan kemoreseptor perifer atau sentral akan meningkatkan ventilasi

paru sekaligus menimbulkan sensasi sesak napas.

2. Hipoksia, rangsangan respirasi melalui kemoreseptorperifer, dan dapat

menimbulkan sensasi sesak napas pada penderita dengan penyakit paru.

3. Hiperkapnia

d. Mekanoreseptor

Rangsangan mekanik akan merangsang berbagai reseptor yang tersebar di

aparatus pernapasan :

1. Reseptor saluran pernapasan dan atau wajah.

2. Reseptor paru : reseptor iritan di epitel jalan napas (rangsangan

mekanik dan kimia), reseptor pulmonary strech di jalan napas : inflasi

paru, serabut –C di dinding alveolar dan pembuluh darah respons

terhadap kongestif interstisial. Dan nervus vagus yang akan

mentransmisikan informasi aferen dari paru ke susunan saraf pusat.

e. Reseptor mekanik

Reseptor dinding dada berupa otot-otot dada akan mempengaruhi ventilasi

dan berdampak pada sensasi sesak napas.

Page 10: Dyspneu

Gambar : Mekanisme yang terlibat dalam Sesak Nafas

Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea

bergantung pada beberapa hal berikut :

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Ketinggian tempat

4. Jenis latihan fisik

5. Dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan tersebut.

Patofisiologi sesak napas dapat dibagi sebagai berikut:

a. Oksigenasi Jaringan Menurun

Penyakit atau keadaan tertentu secara akut dapat menyebabkan kecepatan

pengiriman oksigen ke seluruh jaringan menurun. Penurunan oksigenasi

jaringan ini akan meningkatkan sesak napas. Karena transportasi oksigen

tergantung dari sirkulasi darah dan kadar hemoglobin, maka beberapa

keadaan seperti perdarahan, animea (hemolisis), perubahan hemoglobin

Page 11: Dyspneu

(sulfhemoglobin, methemoglobin, karboksihemoglobin) dapat menyebabkan

sesak napas.

Penyakit perenkim paru yang menimbulkan intrapulmonal shunt,

gangguan ventilasi juga mengakibatkan sesak napas. Jadi, sesak napas dapat

disebabkan penyakit-penyakit asma bronkial, bronkitis dan kelompok

penyakit pembulu darah paru seperti emboli, veskulitis dan hipertensi

pulmonal primer.

b. Kebutuhan Oksigen Meningkat

Penyakit atau keadaan yang meningkatkan kebutuhan oksigen akan

memberi sensasi sesak napas. Misalnya, infeksi akut akan membutuhkan

oksigen lebih banyak karena peningkatan metabolisme. Peningkatan suhu

tubuh karena bahan pirogen atau rangsang pada saraf sentral yang

menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan akhirnya menimbulkan

sesak napas. Begitupun dengan penyakit tirotoksikosis, basal metabolic rate

meningkat sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat. Aktivitas jasmani

juga membutuhkan oksigen yang lebih banyak sehingga menimbulkan sesak

napas.

c. Kerja Pernapasan Meningkat

Panyakit perenkim paru seperti pneumonia, sembab paru yang

menyebabkan elastisitas paru berkurang serta penyakit yang menyebabkan

penyempitan saluran napas seperti asma bronkial, bronkitis dan bronkiolitis

dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk mengimbangi keadaan ini

dan supaya kebutuhan oksigen juga tetap dapat dipenuhi, otot pernapasan

dipaksa bekerja lebih keras atau dengan perkataan lain kerja pernapasan

ditingkatkan. Keadaan ini menimbulkan metabolisme bertambah dan

akhirnya metabolit-metabolit yang berada di dalam aliran darah juga

meningkat. Metabolit yang terdiri dari asam laktat dan asam piruvat ini akan

merangsang susunan saraf pusat. Kebutuhan oksigen yang meningkat pada

obesitas juga menyebabkan kerja pernapasan meningkat.

Page 12: Dyspneu

d. Rangsangan Pada Sistem Saraf Pusat

Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan

sesak napas secara tiba-tiba. Bagaimana terjadinya serangan ini, sampai

sekarang belum jelas, seperti pada meningitis, cerebrovascular accident dan

lain-lain. Hiperventilasi idiopatik juga dijumpai, walaupun mekanismenya

belum jelas.

e. Penyakit Neuromuskuler

Cukup banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem

pernapasan terutama jika penyakit tadi mengenai diagfragma, seperti

miastenia gravis dan amiotropik leteral sklerosis. Mekanisme yang

menyebabkan terjadinya sesak napas karena penyakit neuromuskuler ini

sampai sekarang belum jelas.

DIAGNOSIS

A. ANAMNESIS

Keluhan awal. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan

fisiologis akut. seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau

infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari

lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkembangan

proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif.

Gejala yang menyertai

a. Nyeri dada yang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan oleh

emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura;

b. Batuk yang disertai dengan sesak, khususnya sputum purulen mungkin

disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang kronik (misalnya

bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya);

c. Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi;

d. Hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskular, misalnya karena

emboli paru, tumor atau radang saluran napas.

Page 13: Dyspneu

Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu.

a. Alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan terjadinya

bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak. Anamnesis harus mencakup

riwayat terpapar penyebab alergi.

b. Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas

berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitif. Menghindari

penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya penyakit ini.

c. Obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi

hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.

Yang Harus Ditanyakan pada Anamnesis :

Sejak Kapan: Baru saja ? Sudah lama dan kambuh-kambuhan ? Tiba-tiba

atau Perlahan-lahan?

Apakah timbul sesudah kegiatan fisik berat?

Apakah timbul bila berjalan jauh atau naik tangga?

Apakah disertai batuk-batuk?

Apakah disertai sputum : banyak? Berbuih? Mengandung darah?

Apakah disertai nyeri dada kiri?

Pada beberapa kasus sesak :

1. Pneumonia

a. Anamnesis

Gejala timbul mendadak, tetapi dapat didahului infeksi saluran

napas akut bagian atas dengan gejala batuk, demam terus

menerus, sesak, kebiruan di daerah mulut, nyeri dada,

menggigil pada anak, kejang pada bayi, dan nyeri dada.

Lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.

b. Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan sesak napas, napas cepat, napas cuping

hidung, sianosis

Page 14: Dyspneu

Terdapat retraksi dinding dada, perkusi sonor, suara vesikular

atau subbronkial sampai bronkial, ronki.

c. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium darah pada pneuminia bakterial menunjukkan

jumlah leukosit yang meningkat,

Analisis gas darah menunjukkan PCO2 menurun, dapat terjadi

asidosis respiratorik

Radioligi menunjukkan gambaran bervariasi dari infiltrat

ringan sampai bercak-bercak merata kedua lapang paru,

sarang-sarang infiltrat setempat bisa berkonsolidasi sehingga

memberi bayangan lebih padat (masif).

2. Tuberkulosis

a. Anamnesis

Batuk lama lebih dari 3 minggu,

Nafsu makan menurun, berat badan sulit naik, menetap atau

menurun

Demam tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar

superfisial daerah mandibula, supraklavikular, leher, aksila.

Ada kontak dengan penderita TB

Dapat pula disertai keluhan gastrointestinal seperti diare

persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan.

b. Pemeriksaan fisik

Berat badan atau gizi kurang

Limfadenopati supraklaviluar, leher, mandibula, aksila yang

bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (menyatu)

Pemeriksaa fisik paru sering tidak menunjukkan kelainan, bila

ditemui biasanya sudah proses lanjut.

Pada mata dapat ditemui konjungtivitis fliktenularis.

c. Pemeriksaan penunjang

Page 15: Dyspneu

Uji tuberkulin, hasil dibaca setelah 48-72 jam. Hasil positif

jika terdapat indurasi lebih dari 10 mm, kurang dari 5 mm

negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan

memerlukan pengulangan tes dengan jarak minimal 2 minggu.

Radiologis menunjukkan gambaran pembesaran kelenjar hilus

atau paratrakeal, konsolidasi segmen atau lobus, gambaran

milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis atau kalsifikasi.

Mikrobiologis dari bilasan lambung atau sputum untuk

mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung

dan M. Tuberkulosis dari biakan

Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT dan mycodot

Funduskopi dan lumbal pungsi pada TB milier dan meningitis

Pemeriksaan darah tepi, LED, urin dan feses rutin berperan

sebagai pelengkap.

3. Asma Bronkial

a. Anamnesis

Sering kambuh pada saat-saat tertentu (menjelang pagi, udara

dingin, banyak debu, dll)

Nafas berbunyi, disertai/ tanpa sputum

Kadang ada riwayat alergi (makanan tertentu, Obat, dll)

Ada riwayat alergi/ sesak pada keluarga lain yang sedarah

Kadang dicetuskan oleh stres.

b. Pemeriksaann fisik

Frekuensi napas meningkat, napas dangkal, sesak napas, napas

cuping hidung, sianosis, gerakan dada yang berkurang,

hipersonor, bunyi napas lemah, terdapat wheezing,

Terdapat dermatitis atopi,

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah terdapat peningkatan IgE dan eosinofil

Page 16: Dyspneu

Foto thorak AP terdapat gambaran emfisematosa

Analisis gas darah dapat dijumpai peningkatan pCO2 dan

penurunan pO2

4. Efusi pleura

a. Anamnesis

Pasien sesak napas dan lebih enak tidur pada posisi yang

sakit, bisa diikuti dengan demam

b. Pemeriksaan fisik

Frekuensi napas meningkat

Lebih cembung dan ketertinggalan gerak pada paru yang

sakit

Perkusi redup, fremitus suara lemah pada bagian redup

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologi terdapat gambaran sejumlah cairan

yang mengisi sudut costofrenikus

Pemeriksaan darah terdapat leukositosis bila infeksi

bakterial, terutama bila ada pus (empyema)

Pungsi terdapat cairan

USG untuk melihat cairan dan perkiraan jumlah cairan

5. Gagal jantung

a. Anamnesis

Pasien sering sesak napas saat melakukan aktivitas ringan

atau sedang

Sering berkeringat

Bayi kesulitan minum, bengkak pada kelopak mata

Anak mengalami bengkak pada tungkai

Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada kasus

kronis

Page 17: Dyspneu

Timbul setelah aktivitas fisik berat (jalan jauh, naik tangga,

dll) dan berkurang dengan istirahat

Lebih enak berbaring dengan bantal tinggi.

b. Pemeriksaan fisik

Takikardi: lebih dari 160x/menit pada bayi, lebih dari

100x/menit pada anak diam

Takipnea, sesak napas terutama saat aktivitas, ortopnea

Hepatomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, edema

perifer.

c. Pemeriksaan penunjang

Foto thorak didapatkan kardiomegali

EKG, frekuensi QRS yang cepat atau disritmia

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik paru merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memperkenalkan diri pada.

Langkah awal ini adalah langkah penting untuk memperoleh kepercayaan dari

pasien guna mendapatkan informasi yang akurat. Pasien ditempatkan pada posisi

yang nyaman, namun memudahkan pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.

Baju pasien harus dibuka untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh

terhadap leher, dinding dada, dan abdomen. Namun pada anak yang lebih kecil

atau pada anak pre-pubertas, penutup yang tipis mungkin akan membuat pasien

lebih nyaman.

Sebelum melakukan pemeriksaan paru, lakukan anamnesis yang lengkap

mengenai keluhan dan perjalanan penyakit pasien. Pada sebuah penelitian,

anamnesis yang baik dan lengkap dapat lebih berguna dalam menegakkan

diagnosis suatu penyakit paru dibandingkan pemeriksaan fisik paru. Pemeriksa

harus membersihkan tangan sebelum melakukan pemeriksaan dengan air bersih

dan sabun. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan yang tenang, bersih,

hangat, terang, dan memberikan privasi.

Page 18: Dyspneu

Inspeksi

William Osler, seorang dokter berpengaruh di AS, pernah mengatakan,”

Jangan sentuh pasienmu, catatlah dahulu apa yang kamu lihat!”. Inspeksi

merupakan pemeriksaan yang sangat penting, berhentilah dan lihatlah keadaan

pasien sebelum menyentuhnya.

Sebelum menyentuh pasien, lakukan inspeksi dengan mendalam. Inspeksi

merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada pemeriksaan fisik

paru. Pertama, amati apakah pasien terlihat sakit atau tidak. Amati keadaan

sekeliling tempat tidur adakah alat inhalasi terletak di sana dan apakah pasien

menggunakan oksigenasi atau tidak (apa jenisnya). Amati morfologi tubuhnya:

adakah tanda-tanda gagal tumbuh, atau dismorfologi wajah atau ekstremitas.

Penilaian terakhir adalah melihat apakah anak dalam keadaan sesak nafas atau

tidak. Penilaian obyektif sesak nafas dapat dilihat dari kerja nafasnya, apakah

anak bernafas cepat dan adakah tarikan dinding dada. Posisi tripod (posisi agak

membungkuk dengan kedua tangan bertopang di tepi tempat tidur) menandakan

adanya sesak nafas pada penyakit paru obstruktif kronik.

Inspeksi pada ekstremitas memberikan informasi yang mungkin berguna.

Jari tabuh (clubbing finger) ditemui pada penyakit paru obstruktif kronik,

menandakan adanya hipoksia kronik. Tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit

jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan untuk jari tabuh menggunakan perasat

tanda Shamroth (Shamroth’s sign), yaitu hilangnya sudut antara kuku dan

bantalannya. Jari tabuh terjadi bila sudut antara kuku dan bantalannya hilang,

bertambahnya fluktuasi bantalan kuku, dan bertambahnya jaringan ikat lunak pada

ujung jari, dan akhirnya menghasilkan peningkatan kurvatura kuku.

Selanjutnya pemeriksa mencermati adakah tanda sianosis pada ujung jari.

Sianosis terjadi bila kadar hemoglobin yang tidak mengangkut oksigen (tidak

tersaturasi) sama dengan atau di atas 5 g/dL. Sianosis adalah tanda yang lanjut

dari adanya hipoksemia, biasanya saturasi oksigen darah di bawah 90%. Sianosis

lebih mudah tampak pada anak dengan polisitemia. Pada anak yang anemia,

sianosis merupakan tanda sangat lanjut dari hipoksemia. Penghitungan laju nafas

harus dilakukan saat pasien tenang dan tidak sadar kalau nafasnya dihitung.

Page 19: Dyspneu

Adanya takipneu merupakan tanda sensitif dari adanya gangguan sistem nafas,

meskipun tidak spesifik. Keadaan lain yang menyebabkan takipneu adalah demam

asidosis metabolik, aktivitas, dan psikologis. Frekuensi nafas yang sangat lambat

(bradipneu) terjadi pada keadaaan depresi sistem saraf pusat, misalnya pada

infeksi intrakranial.

Perubahan dalam pola nafas mungkin disebabkan oleh respon terhadap

oksigenasi, asidosis, alkalosis, atau menunjukkan adanya gangguan di pusat nafas

itu sendiri. Pasien dengan penyakit paru restriktif mempunyai tipe nafas yang

cepat dan dangkal. Pola nafas cepat dan dalam dapat disebabkan oleh keadaan

hipoksia dan asidosis metabolik. Alkalosis menyebabkan nafas yang lambat dan

dangkal. Nafas Biot, pola nafas yang ireguler, dengan periode takipneu dan apneu,

dapat terjadi pada meningitis, ensefalitis, atau tumor otak. Nafas Cheyne-Stokes

adalah tipe pernafasan dengan amplitudo pernafasan kecil kemudian makin

bertambah hingga maksimal, kemudian apneu, terdapat pada keadaan koma.

Pada sesak nafas berat, otot-otot tambahan inspirasi (misalnya m.

sternocleidomastoideus, m. alae nasi, m. scaleni) akan bekerja. Lihat adakah tanda

sianosis perifer dan sentral, atau gunakan alat monitor saturasi oksigen.

Dengarkan adakah stridor atau wheezing. Stridor dapat dibagi menjadi stridor

inspirasi, yang menandakan adanya obstruksi pada laring atau supralaring.

Sedangkan stridor inspirasi dan ekspirasi (bifasik) merupakan tanda adanya

obstruksi pada trakeal.

Pada bayi baru lahir dengan sindrom distress respirasi (biasanya pada bayi

prematur), akan didapatkan nafas grunting. Nafas grunting adalah bunyi nafas

saat ekspirasi, terjadi akibat penutupan rima glotis akibat dari kolapsnya alveoli

saat ekspirasi akibat defisiensi surfaktan. Nafas grunting adalah usaha sendiri dari

pasien untuk menaikkan tekanan akhir ekspirasi (PEEP=peak expiratory end

pressure). Bila dilakukan pemasangan ventilator, kita harus memberikan PEEP

ventilator yang adekuat untuk mencegah timbulnya gagal nafas.

Bila pasien batuk, perhatikan karakteristik batuknya, apakah bersifat

kering, berdahak, menyalak (misalnya pada sindroma Croup atau pertusis). Batuk

merupakan mekanisme untuk mengeluarkan sesuatu yang mengganggu di saluran

Page 20: Dyspneu

nafas. Batuk timbul bila kalau reseptor dari arkus reflek batuk terangsang. Impuls

dikirim melalui serabut aferen ke pusat batuk. Pusat batuk akan bereaksi dengan

mengirimkan impuls balik melalui serabut eferen ke efektor (otot pernafasan).

Mekanisme batuk dimulai dengan inspirasi pendek (biasanya cukup dalam),

kemudian diikuti dengan penutupan glotis. Selanjutnya terjadi ekspirasi kuat

dengan peninggian mendadak tekanan intratorakal dan pembukaan glotis sehingga

timbul ledakan batuk.

Periksalah denyut jantung pada a.radialis. Hitunglah frekuensi nadi,

kekuatan, dan keteraturan nadi selama 1 menit. Takikardi adalah tanda penting,

namun kurang spesifik, didapatkan pada hipoksia, penggunaan beta-2-agonis, dan

demam. Pulsus paradoxus merupakan salah satu indikator beratnya serangan asma

atau pada perikarditis.

Nafas cuping hidung menandakan adanya kerja nafas yang meningkat.

Resistensi udara umumnya terjadi 50% di hidung dan 50% di saluran nafas

bawah. Bila terjadi kelainan obstruktif atau restriktif di saluran nafas distal, maka

tubuh akan melakukan kompensasi dengan menurunkan resistensi udara di

hidung, dengan manifestasi klinisnya berupa nafas cuping hidung.

Discar nasal mungkin didapatkan. Garis merah di atas pangkal hidung

didapatkan pada mereka yang mengalami rhinitis episodik. Pada bayi dengan

riwayat sianosis setelah netek dan hilang dengan menangis haruslah dicurigai

adanya atresia choanae. Adanya atresia choanae dapat dikonfirmasi dengan

memasukkan pipa nasogastrik ke dalam rongga hidung.

Pada pemeriksaan leher, perhatikan adakah deviasi trakea dengan

melakukan palpasi yang lembut pada fossa suprasternal. Lakukan juga perabaan

untuk melihat adanya pembesaran limfonodi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan

posisi di belakang pasien. Lakukan palpasi dengan lembut, dengan menggunakan

bagian distal dari jari kedua dan ketiga kedua tangan. Mulailah dengan mencoba

meraba limfonodi submental, bergerak ke posterior ke arah limfonodi

submandibula, ke kranial meraba glandula parotis, limfonodi pre dan post

aurikuler, dan limfonodi occipitalis. Setelah itu, bergeraklah ke arah regio

sternocleidomastoideus. Palpasi diakhiri pada daerah fossa supraclavicula. Bila

Page 21: Dyspneu

teraba limfonodi, sebutkan limfonodi mana yang membesar, berapa jumlah dan

ukurannya, apakah tunggal atau multipel, konsistensinya, saling melekat atau

tidak, dan apakah disertai nyeri tekan atau tidak. Amati juga adanya perubahan

warna kulit sekitar leher. Vena jugularis biasanya sulit diukur pada bayi dan anak

kecil, sehingga pemeriksaan ini biasanya tidak dilakukan.

Setelah melakukan pemeriksaan leher, pemeriksaan dilakukan pada dada.

Amati adakah tanda bekas luka seperti riwayat thorakostomi atau pemasangan

pipa pleura. Perhatikan adakah tanda depresi sternum, dan tanda peningkatan

kerja nafas seperti adanya retraksi. Retraksi dapat terjadi pada fossa suprasternal,

subkostal, maupun interkostal. Kelainan anatomi bawaan dapat didapati berupa

pectus carinatus atau pectus excavatum. Rabalah iktus jantung untuk menentukan

bagian apex jantung dengan tepat. Pergeseran apex jantung dapat terjadi sebagai

akibat pergeseran mediastium karena kelainan paru (misalnya pneumothorax,

pneumomediastinum, effusi pleura).

Amati juga gerakan dinding dada dan adakah asimetri dari dinding dada.

Pemeriksa dapat menempatkan telapak tangannya di atas dada si anak untuk

melihat gerakan dinding dadanya. Penyebab asimetri dinding dada dapat

disebabkan oleh pneumothorax, pneumonia, effusi pleura, atelektasis, atau nyeri.

Palpasi

Palpasi adalah teknik pemeriksaan dengan menggunakan telapak dan jari

tangan sebagai indra peraba. Pemeriksa menempatkan diri di depan pasien dengan

pasien telentang atau duduk. Tangan kanan pemeriksa diletakkan pada dinding

dada kiri pasien dan tangan kiri pada posisi sebaliknya. Pertama, rasakan dan

bandingkan apakah gerakan dinding dada kanan dan kiri sama dan sinkron atau

tidak. Setelah itu, rabalah daerah fossa suprasternal untuk menentukan apakah

terdapat deviasi trakea (misalnya pada pneumothorax atau atelektasis). Kemudian,

palpasi dilakukan pada sela iga apakah normal atau ada pencembungan atau

cekungan.

Bila pada palpasi didapatkan dada mencembung simetris (terdapat

penambahan diameter antero-posterior) berarti terdapat toraks emfisematosa.

Page 22: Dyspneu

Bentuk dada ini terdapat pada penyakit paru obstruktif kronik seperti asma,

bronkitis kronis, atau emfisema. Bila pencembungannya hanya pada satu sisi saja

(asimetris) mungkin terdapat pneumothorax, pleuritis, efusi pleura, hematothorax

atau kardiomegali.

Ketinggalan gerak waktu inspirasi didapatkan pada fungsi paru yang

berkurang (misalnya pada fibrosis pulmonum, schwarte, atelektasis,

pneumothorax, efusi pleura, pleuritis, atau pneumonia), rangsang nyeri, atau

kelumpuhan otot pernafasan.

Fremitus adalah pemeriksaan untuk mengetahui getaran suara dari saluran

nafas. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan cara palpasi taktil atau

dengan stetoskop. Resonansi vokal terjadi sebagai akibat getaran fonasi yang

berjalan sepanjang cabang trakeobronkial melalui parenkim paru. Paru normal

yang terisi udara akan meneruskan bunyi dengan frekuensi rendah dan menyaring

bunyi dengan frekuensi tinggi. Peningkatan resonansi vokal disebut bronkofoni.

Suara yang didengar lebih jelas dan lebih keras pada daerah yang mengalami

kelainan. Ini terjadi pada peningkatan densitas paru, seperti pada konsolidasi paru

karena pneumonia atau atelektasis. Resonansi vokal menurun pada berkurangnya

densitas paru (karena bunyi akan lebih tersaring), seperti pada keadaan asma,

emfisema, penumothorak, atau efusi pleura. Egofoni terjadi bila resonansi vokal

meningkat dengan kualitas sengau, terjadi pada pneumonia lobaris. Bila ada

egofoni, penderita yang mengucapakan “i-i-i” akan terdengar “e-e-e”.

Perkusi

Perkusi pertama kali dilakukan oleh Auenbruger tahun 1761, diilhami oleh

kebiasaan bapaknya melakukan ketukan pada tong anggur untuk mengetahui

apakah isi tong masih penuh atau tidak. Suara paru normal seperti udara dalam

tong anggur.

Perkusi merupakan pemeriksaan yang berguna untuk menentukan lokasi

patologis dari kelainan paru dan penting untuk dilakukan dengan teknik yang

benar. Perkusi dilakukan dengan memukulkan jari ketiga di atas jari ketiga tangan

sebelahnya (yang diposisikan hiperekstensi) di sela iga rongga dada. Lakukan

Page 23: Dyspneu

ketukan beberapa kali untuk menimbulkan kesimpulan suara yang didengar

pemeriksa. Pertama lakukanlah perkusi di atas kedua clavicula, kemudian

bergerak ke bawah dan ke lateral pada kanan dan kiri. Pada tiap ketinggian, selalu

bandingkan antara perkusi dada kanan dan kiri.

Suara perkusi paru yang sehat adalah sonor. Hipersonor dijumpai ada

keadaan pneumothorax, emfisema, asma, dan kaverna. Perkusi yang redup

dijumpai pada hati, jantung, konsolidasi, atelektasis, efusi pleura, inflitrat,

pleuritis, dan tumor paru. Pada dinding dada yang tipis seperti pada bayi, paru

normal juga akan terdengar hipersonor. Pada infiltrat masif (pneumonia lobaris

atau tumor), lumen bronkus masih menimbulkan gema perkusi sehingga suara

yang timbul adalah redup timpani. Pada infiltrat tersebar (misalnya

bronkopneumonia, tuberculosis milier), yang terperkusi adalah jaringan paru,

mungkin infiltrat sedikit saja terperkusi sehingga perkusinya masih sonor. Dengan

pemeriksaan perkusi kita juga bisa menentukan batas pengembangan paru dan

besar hepar.

Auskultasi

Auskultasi merupakan bagian dari pemeriksaan fisik paru dengan tujuan

untuk mendengarkan suara paru, sehingga secara tidak langsung menggambarkan

keadaan saluran nafas.

Pertama kali pemeriksa melakukan auskultasi, ia harus menempatkan

bagian diafragma stetoskop pada fossa supraclavicula, kemudian mulai bergerak

ke bawah dan ke lateral (seperti yang sudah didiskusikan pada bagian

pemeriksaan perkusi). Bandingkan lebih dahulu antara dada kanan dan kiri. Bila

ada perbedaan suara nafas, pastilah salah satu tidak normal.

Setelah melakukan pemeriksaan pada bagian dada anterior, pemeriksa

melakukan pemeriksaan pada dada bagian posterior. Lakukan auskultasi seperti

pada pemeriksaan dada depan, mulai di bawah bahu, bergerak ke bawah dan

lateral. Bandingkan auskultasi bagian kanan dan kiri. Jangan lupakan melakukan

auskultasi pada bagian axilla untuk melihat adanya kelainan pada paru kanan

Page 24: Dyspneu

lobus medius. Kesalahan yang sering dilakukan adalah tidak melakukan auskultasi

pada daerah-daerah inferior.

Suara dasar paru

Suara dasar paru secara tradisional digolongkan menjadi 4 yaitu suara

trakeal, bronkial, bronkovesikuler, dan vesikuler.

Suara trakheal mempunyai ciri suara dengan frekuensi tinggi, kasar,

disertai dengan masa istirahat (pause) antara fase inspirasi dan ekspirasi, dengan

komponen ekspirasi terdengar sedikit lebih lama. Suara nafas trakeal dapat

ditemukan dengan menempelkan membran diafragma pada bagian lateral leher

atau pada fossa suprasternal. Sumber bunyinya adalah turbulensi aliran cepat pintu

glottis. Suara nafas bronkial mempunyai bunyi yang juga sama kasar, frekuensi

tinggi, dengan fase inspirasi sama dengan fase ekspirasi. Suara ini terdapat pada

saluran nafas dengan diameter 4 mm atau lebih, misalnya pada bronkus utama.

Suara nafas bronkial dapat didengarkan pada daerah antara kedua scapula. Karena

karakteristik suara trakeal dan bronkial hampir sama, beberapa penulis

menggolongkannya menjadi satu terminologi, yaitu suara trakeobronkial.

Gambar 4. Karakteristik suara dasar paru

Page 25: Dyspneu

Suara nafas bronkovesikuler sedikit berbeda dari suara trakeobronkial,

terdengar lebih distal dari jalan nafas. Bunyinya kurang keras, lebih halus,

frekuensi lebih rendah dibanding suara bronkial, tetapi dengan komponen

inspirasi dan ekspirasi yang masih sama panjang. Bunyi nafas ini pada orang

normal dapat didengar pada segitiga auskultasi (area di bagian posterior rongga

dada yang dibatasi oleh m. trapezius, m. latissimus dorsi, dan m. rhomboideus

mayor) dan lobus otot kanan paru). lebih distal, dengan karakteristiknya halus,

lemah, dengan fase inspirasi merupakan bagian yang dominan, sedangkan fase

ekspirasi hanya terdengar sepertiganya. Suara vesikuler berasal dari jalan nafas

lobar dan segmental, ditransmisikan melalui parenkim paru normal.

Bila terdapat konsolidasi atau atelektasis pada saluran nafas distal, maka

suara yang normalnya vesikuler, akan menjadi suara bronkovesikuler atau

trakeobronkial. Ini terjadi karena penghantaran udara yang bertambah karena

adanya pemadatan pada jaringan paru. Ada pula yang berpendapat hal ini terjadi

karena suara vesikuler yang menurun pada daerah auskultasi, sehingga yang

masih terdengar adalah suara dari bronkus (suara bronkial).

Suara vesikuler yang diperlemah didapatkan pada keadaan fungsi paru

yang menurun (misalnya Schwarte, fibrosis pulmonum, emfisema) atau pada

gangguan penghantaran suara karena adanya cairan (efusi pleura) atau udara di

pleura (pneumothorax). Keadaan ini juga bisa didapati pada anak yang gemuk

atau atlet yang mempunyai lapisan otot yang tebal.

Fase ekspirium suara vesikuler juga bisa diperpanjang pada keadaan di

mana terdapat kesulitan mengelurkan udara waktu ekspirasi, seperti pada keadaan

asma bronkiale atau bronkiolitis. Kesulitan ini disebabkan oleh banyaknya sekret,

edema mukosa bronkus, dan konstriksi dari saluran nafas bawah. Ekspirasi yang

memanjang sangat berhubungan dengan bunyi tambahan paru yaitu wheezing, dan

dapat didengarkan dengan telinga telanjang.

Suara tambahan paru

Page 26: Dyspneu

Terminologi suara tambahan paru merupakan hal yang kontroversial,

menjadi perdebatan mulai dari pertama ditemukannya stetoskop oleh Laennec

hingga sekarang. Laennec, seorang dokter Prancis, menggunakan istilah “rale”

untuk semua bunyi abnormal paru, dengan klasifikasi: lembab (moist), mukus

(mucous), sonor (sonorous), dan mencicit (sibilant). Pada prakteknya masa itu,

karena pasien merasa tidak nyaman dengan miripnya istilah rale dengan death

rattle, maka Laennec menggunakan istilah pengganti yaitu “rhoncus”. Tahun

1821, seorang dokter Inggris bernama John Forbes, menerjemahkan karya

Laennec ke bahasa Inggris. Istilah rale dan rhoncus diterjemahkan menjadi 2 hal

berbeda oleh Forbes, sehingga menjadi awal terjadinya perbedaan hingga

sekarang.

Salah satu rekomendasi berasal dari pertemua International Symposium on

Lung Sounds (Tokyo, 1985) dengan konsensus terminologi bunyi tambahan paru

yang membagi bunyi ini menjadi:

1. Bising tidak kontinyu (kurang dari 250 ms/2.5 detik)

a. Halus: frekuensi tinggi, amplitudo rendah, durasi pendek (fine

crackles)

b. Kasar: frekuensi rendah, amplitudo tinggi, durasi panjang (coarse

crackles)

2. Bising kontinyu (lebih dari 250 ms/2.5 detik)

a. Nada tinggi (wheezing)

b. Nada rendah (rhoncus)

Selain bising kontinyu dan tidak kontinyu, dikenal juga suara tambahan

paru yang lain yaitu stridor dan bunyi gesekan pleura (pleural friction rub).

Bising tidak kontinyu

Crackles (bunyi gemereletak) halus atau ronki basah halus, disebabkan

oleh terbukanya alveoli yang tertutup waktu ekspirasi sebelumnya secara tiba-tiba,

mungkin disebabkan tekanan antara jalan nafas yang terbuka dengan yang

menutup dengan cepat menjadi sama sehingga jalan nafas perifer mendadak

Page 27: Dyspneu

terbuka. Bunyi ini terjadi saat inspirasi, yang dapat terjadi saat jalan nafas perifer

mendadak terbuka pada waktu daerah-daerah kolaps (atelektasis) terinflasi. Bising

ini terjadi pada kelainan paru restriktif dan atau menunjukkan berkurangnya

volume paru, seperti pada pneumonia, bronkitis, atau atelektasis. Bising ini juga

dapat terdengar pada bronkiolitis dan asma bronkiale. Ronki basah halus yang

terdengar pada daerah basal paru menunjukkan adanya edema paru. Pada

pneumonia lebih spesifik bila bunyi gemereletak ini didapatkan pada akhir

inspirasi (atau yang disebut krepitasi).

Crackles kasar atau ronki basah kasar, dihasilkan oleh gerakan udara

melalui sekret tipis di bronkus atau bronkiolus. Terjadi pada awal inspirasi dan

kadang waktu ekspirasi, bisa menghilang dengan perubahan posisi atau setelah

batuk. Bunyi ini dapat dijumpai pada kelainan paru dengan sekresi lendir yang

banyak, misalnya pada bronkitis kronis, bronkitis akut, bronkiektasi, atau fibrosis

kistik.

Tabel 2. Karakteristik suara tambahan pada auskultasi paru

Bising kontinyu

Bunyi tambahan kontinyu akibat dari aliran udara yang cepat yang

melewati jalan nafas yang mengalami obstruksi. Aliran udara yang lebih cepat

Page 28: Dyspneu

akan menurunkan tekanan dinding lateral jalan nafas, dan menyebabkan dinding-

dinding yang berhadapan terdorong saling merapat dan bersentuhan untuk waktu

singkat. Akibatnya, aliran terganggu untuk waktu singkat dan tekanan jalan nafas

meningkat. Jalan nafas kemudian kembali terbuka memungkinkan aliran udara

kembali. Siklus ini berulang dengan cepat menyebabkan getaran dinding jalan

nafas. Tinggi nada pada bunyi tambahan kontinyu ditentukan oleh hubungan

antara kecepatan aliran dan derajat obstruksi. Lebih cepat aliran atau lebih rapat

obstruksi menyebabkan bunyi dengan nada tinggi (disebut wheezing atau mengi).

Bila aliran atau obstruksi kurang, maka terjadi bunyi dengan nada lebih rendah

(disebut ronki atau ronki kering). Wheezing ditemui pada asma, emfisema dan

bronkitis kronik, dan kadang ditemui pada edem paru. Ronki kering dijumpai

pada bronkitis akut atau kronik dan bronkiektasis.

Stridor

Stridor adalah bunyi kontinyu yang dihasilkan oleh getaran jalan nafas

ekstratoraks yang menyempit, dengan nada konstan. Hal ini terjadi karena karena

tekanan jalan nafas distal dari obstruksi berkurang secara bermakna dalam

hubungan dengan tekanan atmosfer di luar jalan nafas pada waktu inspirasi. Pada

waktu ekspirasi, peningkatan tekanan jalan nafas menyebabkan gradien tekanan

positif dari dalam ke luar jalan nafas dan obstruksi berkurang. Bila obstruksi

menetap, stridor akan terdengar waktu inspirasi maupun ekspirasi. Pe yebab

stridor adalah sumbatan laring atau trakea, seperti pada keadaan epiglotitis,

laringotrakeobronkitis akut (sindrom Croup), aspirasi benda asing, tumor, atau

edema laring setelah ekstubasi.

Bunyi gesekan pleura

Bunyi ini berasal dari regangan mekanik pleura yang menyebabkan vibrasi

dinding dada dan parenkim paru. Pada keadaan normal, lapisan pleura yang halus

dan lembab yang bergesekan pada waktu bernafas tidak mengeluarkan suara.

Page 29: Dyspneu

Bising ini bersifat non-musikal, mempunyai nada rendah, dan terdengar saat

inspirasi dan ekspirasi. Bunyi ini terjadi pada pleuritis atau Schwarte. Setelah

melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat mengambil kesimpulan apakah ada

kelainan pada paru atau tidak. Sampaikan hasil pemeriksaan anda pada orang tua.

Terakhir kali, ucapkan salam dan terima kasih pada orang tua dan pasien.

Pemeriksa harus meyakinkan dirinya bahwa ia meninggalkan pasien dalam

keadaan nyaman.

Page 30: Dyspneu

Tabel 4. Karakteristik penyakit paru dari pemeriksaan fisik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Evaluasi Laboratorium

1. Pemeriksaan dahak. pemeriksaan dahak harus mencakup

pemeriksaan bilasan sputum gram (gram-stained smear) untuk

membuktikan adanya radang saluran napas bawah dan penentuan jenis

gram patogen.

2. Analisis gas darah arterial. Pengukuran gas darah arterial dilakukan

pada evaluasi awal seluruh pasien sesak yang memperlihatkan tekanan

darah sistolik kurang dari 90 mm Hg, suatu frekuensi napas lebih dari

35 kali/menit atau kurang dari 10 kali/menit atau sianosis. Apabila gas

darah arterial tidak diukur pada tahap awal dan kondisi pasien

memburuk di bawah perawatan, analisis gas darah tersebut harus tetap

perlu diperiksa. Nilai ini berguna sebagai petunjuk penggunaan

suplemen oksigen dan keputusan untuk penggunaan ventilasi mekanis.

Page 31: Dyspneu

3. Spirometri/Peak Flow Meter (Peak Expiratory Flow Rate -

PEFR).

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi asma atau PPOK, spirometri

memberi kita informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan untuk

menentukan seriusnya keadaan penyakit tersebut. Pengukuran PEFR

bisa rnenggantikan pengukuran spirometri untuk menentukan berat

ringannya obstruksi, hasilnya dinyatakan dalam liter per menit. Nilai

normal ditentukan untuk setiap individu menurut jenis kelamin, usia

dan tinggi badan. Nilai kurang dari 50% dari yang diperkirakan

menunjukkan obstruksi yang parah. Pemeriksaan PEFR ini harus

diulangi setiap 30 menit untuk menentukan perjalanan penyakit.

b. Pencitraan (imaging). Pembuatan foto toraks postero·anterior dan lateral

dilakukan apabila dicurigai adanya kelainan pada pleura, parenkim paru

atau jantung. Adanya bula, kista, paru emfisematus atau diafragrna yang

mendatar (flattened diagraph) mendukung diagnosis PPOK. Adanya

kardiomegali mendukung kemungkinan penyebab sesak yang berkaitan

dengan jantung.

TATALAKSANA SESAK NAPAS

Penanganan sesak pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat atas

penyakit yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, apabila kondisi pasien

memburuk hingga mungkin terjadi gagal napas akut, maka lebih baik perhatian

ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang

melatarbelakanginya. Diagnosis gagal napas akut dengan analisis gas darah

ditentukan ketika PaO2 kurang dari 50 mm Hg atau PaCO2 lebih besar dari 50

mm Hg dengan pH di bawah norrnal.

a. Saluran Napas

Periksalah orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat

karena pembengkakan (edema) atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal

Page 32: Dyspneu

dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau mengarah kepada

gagal napas progresif. .

b. Oksigen

Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, yaitu :

1. Sistem aliran rendah

Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara

ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe

pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran

rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu

bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume

Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.

Contoh system aliran rendah ini adal;ah : (1) kataeter naal, (2) kanula

nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup muka dengan kantong

rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.

Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system :

a. Kateter nasal

Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara

kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.

- Keuntungan

Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara,

murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter

penghisap.

- Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%,

tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal,

dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir

nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan

nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah

tersumbat.

Page 33: Dyspneu

b. Kanula nasal

Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu

dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter

nasal.

- Keuntungan

Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan

teratur, mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas

makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan

nyaman.

- Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2

berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena

kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.

c. Sungkup muka sederhana

Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt

dengan konsentrasi O2 40 – 60%.

- Keuntungan

Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula

nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan

sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi

aerosol.

- Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat

menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.

d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing :

Suatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%

dengan aliran 8 – 12 L/mnt

- Keuntungan

Page 34: Dyspneu

Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak

mengeringkan selaput lendir

- Kerugian

Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih

rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa

terlipat.

e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing

Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai

99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak

bercampur dengan udara ekspirasi

- Keuntungan :

Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak

mengeringkan selaput lendir.

- Kerugian

Kantong O2 bisa terlipat.

2. Sistem aliran tinggi

Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak

dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat

menambahkan konsentrasi O2 yang lebihtepat dan teratur.

Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan

ventury.

Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari

tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk

mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar

dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara

pada alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.

- Keuntungan

Page 35: Dyspneu

Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk

pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap

FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi

penumpukan CO2

- Kerugian

Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup

muka yang lain pada aliran rendah.

3. Ventilasi mekanis.

Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberi oksigen melalui

ambubag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai kelanjutannya.

Page 36: Dyspneu

DAFTAR PUSTAKA

Bickley et al. 2008. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 8th Edition. USA: MCQs

Cabanes et al. 2001. Brain Natriuretic Peptide Blood Levels in the Differential Diagnosis of Dyspnea. Chest 120;2047-2050

Fauci et al. 2008. Harrison’s: Principle of Internal Medicine- 17th edition. USA: The Mc Graw Hill Comp. Inc.

Gent et al. 2007. Poor perception of dyspnoea in children with undiagnosed asthma. Eur Respir J. 30: 887–891

Green et al. 2008. Clinical Uncertainty, Diagnostic Accuracy, and Outcomes in Emergency Department Patients Presenting With Dyspnea. Arch Intern Med. 168(7):741-748

Guazzi et al. 2001. Exercise hyperventilation, dyspnea sensation, and ergoreflex activation in lone atrial fibrillation. Am J Physiol Heart Circ Physiol 287:2899-2905

Han et al. 2008. The Language of Medically Unexplained Dyspnea. Chest 133;961-968

Huijnen et al. 2006. Dyspnea in elderly family practice patients. Occurrence, severity, quality of life and mortality over an 8-year period. Fam. Pract. Jour. 23: 34-39.

Lanini et al. 2001. Perception of Dyspnea in Patients With Neuromuscular Disease. Chest 120;402-408

Laveneziana et al. 2006. Mechanisms of dyspnoea and its language in patients with asthma. Eur Respir J 27: 742–747

Mahler, A. Donald. 2008. Mechanisms and Measurement of Dyspnea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc 3: 234–238

Miles Weinberger and Mutasim Abu-Hasan. 2007. Pseudo-asthma: When Cough, Wheezing, and Dyspnea Are Not Asthma. Pediatrics J. 120:855

Page 37: Dyspneu

Mularski et al. 2010. A Review of Quality of Care Evaluation for the Palliation of Dyspnea. Am J Respir Crit Care Med 181: 534–538

Newman et al. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC

Nishino, T. 2011. Dyspnoea: underlying mechanisms and treatment. British Journal of Anaesthesia 106 (4): 463–74

O’Donnel et al. 2007. Pathophysiology of Dyspnea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc 4: 145–168

PAPDI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbutan FK UI

Peiffer et al. 2008. Relief of Dyspnea Involves a characteristic Brain Activation and a Specific Quality of Sensation. Am J Respir Crit Care Med. 177: 440–449

RSUD dr. Setomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF. Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: FK UNAIR Press

Scano,G., Standarzi, L., dan Grazzini. 2005. Understanding dyspnoea by its language. Eur Respir J; 25: 380–385

Serradori,M dan Ambrosino,N. 2006. Determining the cause of dyspnoea: linguistic and biological descriptors. CRD journal 3: 117-122

Sinead et al. 2001. Dyspnea and Quality of Life in Older People at Home. Age and Aging 30: 155-159

Toni et al. 2008. Dyspnea on Exertion in Obese Women Association with an Increased Oxygen Cost of Breathing. Am J Respir Crit Care Med 178: 116–123

Witek dan Mahler. 2003. Minimal important difference of the transition dyspnoea index in a multinational clinical trial. Eur Respir J. 21: 267–272