Dyspneu
-
Upload
mustika-ayu-fitriani -
Category
Documents
-
view
49 -
download
5
Transcript of Dyspneu
![Page 1: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/1.jpg)
SKILL LAB
SESAK NAPAS
Oleh :
Rr. Okiningtyas Kun Cahyandari
07201110101014
Dosen Pembimbing :
dr. Edi Nurtjahja, Sp.P
Disusun untuk melaksanakan tugas
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSD dr. Soebandi Jember
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
![Page 2: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/2.jpg)
DEFINISI
Sesak napas sering disebut sebagai dispnea, napas pendek, breathlessness,
atau shortness of breath. Dispnea adalah gejala subjektif berupa keinginan
penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Karena
sifatnya subjektif, dispnea tidak dapat diukur. Keluhan dispnea tidak selalu
disebabkan karena penyakit; sering pula terjadi pada keadaan sehat tetapi terdapat
stres psikologis.
Seperti halnya rasa nyeri, dispnea sebagai gejala bersifat subjektif, tingkat
keparahannya dipengaruhi oleh respon penderita, kepekaan (sensitivitas) serta
kondisi emosi. Tingkatan dispnea dapat dirasakan sangat berbeda oleh masing-
masing penderita walaupun sebetulnya kondisinya sama. Meskipun sifatnya
subjektif, dispnea dapat ditentukan dengan melihat adanya upaya bernapas aktif
dan upaya menghirup udara lebih banyak (labored and distressful breathing).
Dalam mengevaluasi dispnea, perlu diperhatikan keadaan ketika dispnea
terjadi. Dispnea dapat terjadi pada perubahan posisi tubuh. Dispnea yang terjadi
pada posisi berbaring disebut ortopneu, biasanya disebabkan karena gagal jantung.
Ortopneu juga terjadi pada penyakit paru tahap lanjut dan paralisis diafragma
bilateral. Platipneu adalah kebalikan dari ortopneu, yaitu dispnea yang terjadi
pada posisi tegak dan akan membaik jika penderita dalam posisi berbaring;
keadaan ini terjadi pada abnormalitas vaskularisasi paru seperti pada COPD berat.
Disebut trepopneu jika dengan posisi bertumpu pada sebelah sisi, penderita
dispnea dapat bernapas lebih enak; ditemui pada penyakit jantung (perubahan
posisi menyebabkan perubahan ventilasi-perfusi). Paroxysmal nocturnal dyspnea
(PND) adalah sesak napas yang teijadi tiba-tiba pada saat tengah malam setelah
penderita tidur selama beberapa jam, biasanya terjadi pada penderita penyakit
jantung. Exertional dyspnea adalah dispnea yang disebabkan karena melakukan
aktivitas. Intensitas aktivitas dapat dijadikan ukuran beratnya gangguan napas,
misal setelah berjalan 50 langkah atau setelah menaiki 4 anak tangga timbul sesak
napas. Dispnea yang terjadi ketika berjalan di jalan datar, tingkatan gangguan
napasnya lebih berat jika dibandingkan dengan dispnea yang timbul ketika naik
tangga. Keluhan sesak napas juga dapat disebabkan oleh keadaan psikologis. Jika
![Page 3: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/3.jpg)
seseorang mengeluh sesak napas tetapi dalam exercise tidak timbul sesak napas
maka dapat dipastikan keluhan sesak napasnya disebabkan oleh keadaan
psikologis.
ETIOLOGI
Sesak napas dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan
penyebabnya, yaitu organik (adanya kelainan pada organ tubuh) dan non organik
(berupa gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik). Sesak napas organik
tidak hanya disebabkan oleh kelainan organ pernapasan, tetapi penyakit pada
organ seperti jantung dan ginjal pun dapat menyebabkan terjadinya keluhan sesak
napas. Selain karena kelainan organ, penyakit karena gangguan metabolisme
pada kelainan ginjal, jantung, paru, dan kelainan metabolisme lainnya seperti
diabetes, dapat pula menimbulkan sesak napas. Etiologi sesak nafas organic dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Dyspnea
Penyebab cardiovascular Penyebab pulmonal Penyebab Lainnya
Penyakit jantung
koroner
Gagal jantung
kongestif
Cardiomiopati,
obstruksi jalan nafas
1. asma
2. bronkiektasis
3. penyakit paru
obstruksi kronik
Pengaruh obat-obatan
Psikogenik
Kondisi metabolic
(contoh: asdosis
metabolic)
![Page 4: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/4.jpg)
meliputi:
1. Miokarditis
2. Kardiomiopati
hiprtrofi
3. LVH
4. Hipertrofi septal
asimetrik
Disfungsi valvular
Pericarditis
Aritmia
4. fibrosis kistik
5. bronkiolitis
Kelainan restriktif
parenkimal
1. Sarkoidosis
2. Fibrosis paru
idiopatik
3. pneumonokiosis
Kelainan restriktif non
parenkimal
1. Neuromuscular
a. Paralisis
diafragma
b. Myestenia gravis
c. GBS
d. Distrofi muscular
e. Cervical spine
injury
2. Kelainan dinding
dada
a. Kifoskoliosis
b. Ankylosing
spondilytis
Severe pain
Gangguan di telinga
dan tenggorokan
Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika
ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada
pertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi
makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini
hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam
keadaan patologis pada saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat.
![Page 5: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/5.jpg)
Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran
gas juga akan terganggu dan juga dapat menebab kan dispnea.
Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan
terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance
paru maka makinbesar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama
inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab
menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya
jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang
sama.
Berbagai mekanisme yang menyebabkan terjadinya sesak nafas, yaitu:
a. Gangguan pengambilan dan absorbsi oksigen
Gangguan sirkulasi paru
1. Emboli paru
2. Hipertensi pulmonal
3. Gagal jantung kongestif
Gangguan pada hemoglobin
1. Intoksikasi karbonmonoksida
2. methemoglobinemia
b. Gangguan perfusi
c. Gangguan transportasi
d. Gangguan dari peningkatan kebutuhan oksigen
e. Gangguan dari ekskresi karbon dioksida dan sisa metabolisme tubuh
KLASIFIKASI SESAK NAPAS
Berdasarkan onsetnya, sesak nafas dibedakan menjadi dyspnea kronik
dan akut.
Sesak nafas
Akut (
Dapat ditemukan pada:
a. Emboli paru
b. Edema paru
Kronis (> 1 bulan)
Dapat ditemukan pada:
a. Obstructive lung disease
(COPD, asma)
![Page 6: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/6.jpg)
c. Obstruksi jalan nafas
d. Pneumothoraks
e. Pneumoni
f. Asma dan amfisema
b. Restrictive lung disease
(penyakit paru interstisial,
kifoskoliosis, penyakit
neuromuscular)
c. Gagal jantung kongestif
d. Pneumoni
e. Anemia
f. Iskemi miokardial
g. Hipotiroid
h. Obesitas
i. Psikiatri dyspnea
Sesuai dengan berat ringannya keluhan, sesak napas dapat dibagi
menjadi:
American Thoracic Society (ATS)
Tingkat Derajat Kriteria
0 Normal Tidak ada kesulitan bernapas kecuali aktivitas berat
1 Ringan Terdapat kesulitan bernapas, napas pendek-pendek
ketika terburu buru atau ketika nenuju puncak
landai
2 Sedang Berjalan lebih lambat dari pada kebanyakan orang
yang berusia sama karena sulit bernapas atau harus
berhenti berjalan untuk bernapas
3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernapas
atau setelah berjalan beberapa menit
4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernapas bila meninggalkan
rumah atau memekai baju atau membuka baju
![Page 7: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/7.jpg)
Pembagian lain tentang sesak menurut tingkat sesak:
a. Sesak Napas Tingkat I
Tidak ada pembatasan atau hambatan dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Sesak napas akan terjadi bila penderita melakukan aktivitas
jasmani lebih berat dari pada biasanya. Pada tahap ini, penderita dapat
melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik.
b. Sesak Napas Tingkat II
Sesak napas tidak terjadi bila melakukan aktivitas penting atau
aktivitas yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-hari. Sesak baru
timbul bila melakukan aktivitas yang lebih berat. Pada waktu naik
tangga, sesak napas mulai terasa, tetapi bila berjalan di jalan yang datar
tidak sesak.
c. Sesak Napas Tingkat III
Sesak napas sudah terjadi bila penderita melakukan aktivitas
sehari-hari, seperti mandi atau berpakaian, tetapi penderita masih dapat
melakukan tanpa bantuan orang lain. Sesak napas tidak timbul di saat
penderita sedang istirahat. Penderita juga masih mampu berjalan-jalan di
daerah sekitar, walaupun kemampuannya tidak sebaik orang-orang sehat
seumurnya.
d. Sesak Napas Tingkat IV
Penderita sudah sesak pada waktu melakukan kegiatan/aktivitas
sehari-hari seperti mandi, berpakaian dan lain-lain sehingga tergantung
pada orang lain pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak napas
belum tampak waktu penderita istirahat, tetapi sesak napas sudah mulai
timbul bila penderita melakukan pekerjaan ringan sehingga pada waktu
mendaki atau berjalan-jalan sedikit, penderita terpaksa berhenti untuk
istirahat sebentar.
e. Sesak Napas Tingkat V
Penderita harus membatasi diri dalam segala tindakan atau
aktivitas sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin. Keterbatasan ini
menyebabkan penderita lebih banyak berada di tempat tidur atau hanya
![Page 8: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/8.jpg)
duduk di kursi. Untuk memenuhi segala kebutuhannya, penderita sangat
tergantung pada bantuan orang lain.
Untuk menentukan gawat napas, dengan Score Down:
0 1 2
Frekwensi
Nafas
< 60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Reraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang
denga O2
Sianosis menetap
walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk
bilateral baik
Penurunan
ringan udara
masuk
Tidak ada udara
masuk
Keterangan:
1. Skor < 4 maka tidak ada gawat nafas
2. Skor 4-7 maka ada gawat nafas
3. Skor >7 maka ancaman gagal nafas (perlu analisis gas darah)
Evaluasi
Total Diagnosis
1-3 Sesak napas ringan
4-5 Sesak napas sedang
≥ 6 Sesak napas berat
PATOFOSIOLOGI SESAK NAPAS
Terjadinya sesak nafas berhubungan erat dengan hal-hal berikut:
a. Sensasi sesak napas merupakan campuran dua komponen :
1. Input sensory ke korteks serebri
Informasi dari reseptor-reseptor khusus terutama mekanoresptor di
berbagai aparatus pernapasan dan di tempat lain. Input lain dari jalan
![Page 9: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/9.jpg)
napas, paru memelui nervus vagus, otot-otot pernapasan dan dinding
dada.
2. Sensasi persepsi
Interpretasi dari informasi yang tiba pada korteks sensor otot, hal ini
sangat bergantung pada psikologis penderita.
b. Usaha untuk bernapas
Hal ini berkaitan dengan rasio beban pada otot-otot pernapasan dan
kapasitas maksimun otot-otot pernapasan. Peningkatan rasa untuk bernapas
dapat disebabkan oleh beban yang meningkat, kapasitas paru yang berkurang,
seperti pada kelemahan otot, lelah, masalah mekanik dalam proses mekanik
paru (peningkatan volume paru).
c. Kemoreseptor
1. Rangsangan kemoreseptor perifer atau sentral akan meningkatkan ventilasi
paru sekaligus menimbulkan sensasi sesak napas.
2. Hipoksia, rangsangan respirasi melalui kemoreseptorperifer, dan dapat
menimbulkan sensasi sesak napas pada penderita dengan penyakit paru.
3. Hiperkapnia
d. Mekanoreseptor
Rangsangan mekanik akan merangsang berbagai reseptor yang tersebar di
aparatus pernapasan :
1. Reseptor saluran pernapasan dan atau wajah.
2. Reseptor paru : reseptor iritan di epitel jalan napas (rangsangan
mekanik dan kimia), reseptor pulmonary strech di jalan napas : inflasi
paru, serabut –C di dinding alveolar dan pembuluh darah respons
terhadap kongestif interstisial. Dan nervus vagus yang akan
mentransmisikan informasi aferen dari paru ke susunan saraf pusat.
e. Reseptor mekanik
Reseptor dinding dada berupa otot-otot dada akan mempengaruhi ventilasi
dan berdampak pada sensasi sesak napas.
![Page 10: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/10.jpg)
Gambar : Mekanisme yang terlibat dalam Sesak Nafas
Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea
bergantung pada beberapa hal berikut :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Ketinggian tempat
4. Jenis latihan fisik
5. Dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan tersebut.
Patofisiologi sesak napas dapat dibagi sebagai berikut:
a. Oksigenasi Jaringan Menurun
Penyakit atau keadaan tertentu secara akut dapat menyebabkan kecepatan
pengiriman oksigen ke seluruh jaringan menurun. Penurunan oksigenasi
jaringan ini akan meningkatkan sesak napas. Karena transportasi oksigen
tergantung dari sirkulasi darah dan kadar hemoglobin, maka beberapa
keadaan seperti perdarahan, animea (hemolisis), perubahan hemoglobin
![Page 11: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/11.jpg)
(sulfhemoglobin, methemoglobin, karboksihemoglobin) dapat menyebabkan
sesak napas.
Penyakit perenkim paru yang menimbulkan intrapulmonal shunt,
gangguan ventilasi juga mengakibatkan sesak napas. Jadi, sesak napas dapat
disebabkan penyakit-penyakit asma bronkial, bronkitis dan kelompok
penyakit pembulu darah paru seperti emboli, veskulitis dan hipertensi
pulmonal primer.
b. Kebutuhan Oksigen Meningkat
Penyakit atau keadaan yang meningkatkan kebutuhan oksigen akan
memberi sensasi sesak napas. Misalnya, infeksi akut akan membutuhkan
oksigen lebih banyak karena peningkatan metabolisme. Peningkatan suhu
tubuh karena bahan pirogen atau rangsang pada saraf sentral yang
menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan akhirnya menimbulkan
sesak napas. Begitupun dengan penyakit tirotoksikosis, basal metabolic rate
meningkat sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat. Aktivitas jasmani
juga membutuhkan oksigen yang lebih banyak sehingga menimbulkan sesak
napas.
c. Kerja Pernapasan Meningkat
Panyakit perenkim paru seperti pneumonia, sembab paru yang
menyebabkan elastisitas paru berkurang serta penyakit yang menyebabkan
penyempitan saluran napas seperti asma bronkial, bronkitis dan bronkiolitis
dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk mengimbangi keadaan ini
dan supaya kebutuhan oksigen juga tetap dapat dipenuhi, otot pernapasan
dipaksa bekerja lebih keras atau dengan perkataan lain kerja pernapasan
ditingkatkan. Keadaan ini menimbulkan metabolisme bertambah dan
akhirnya metabolit-metabolit yang berada di dalam aliran darah juga
meningkat. Metabolit yang terdiri dari asam laktat dan asam piruvat ini akan
merangsang susunan saraf pusat. Kebutuhan oksigen yang meningkat pada
obesitas juga menyebabkan kerja pernapasan meningkat.
![Page 12: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/12.jpg)
d. Rangsangan Pada Sistem Saraf Pusat
Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan
sesak napas secara tiba-tiba. Bagaimana terjadinya serangan ini, sampai
sekarang belum jelas, seperti pada meningitis, cerebrovascular accident dan
lain-lain. Hiperventilasi idiopatik juga dijumpai, walaupun mekanismenya
belum jelas.
e. Penyakit Neuromuskuler
Cukup banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem
pernapasan terutama jika penyakit tadi mengenai diagfragma, seperti
miastenia gravis dan amiotropik leteral sklerosis. Mekanisme yang
menyebabkan terjadinya sesak napas karena penyakit neuromuskuler ini
sampai sekarang belum jelas.
DIAGNOSIS
A. ANAMNESIS
Keluhan awal. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan
fisiologis akut. seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau
infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari
lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkembangan
proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif.
Gejala yang menyertai
a. Nyeri dada yang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan oleh
emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura;
b. Batuk yang disertai dengan sesak, khususnya sputum purulen mungkin
disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang kronik (misalnya
bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya);
c. Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi;
d. Hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskular, misalnya karena
emboli paru, tumor atau radang saluran napas.
![Page 13: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/13.jpg)
Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu.
a. Alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan terjadinya
bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak. Anamnesis harus mencakup
riwayat terpapar penyebab alergi.
b. Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas
berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitif. Menghindari
penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya penyakit ini.
c. Obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.
Yang Harus Ditanyakan pada Anamnesis :
Sejak Kapan: Baru saja ? Sudah lama dan kambuh-kambuhan ? Tiba-tiba
atau Perlahan-lahan?
Apakah timbul sesudah kegiatan fisik berat?
Apakah timbul bila berjalan jauh atau naik tangga?
Apakah disertai batuk-batuk?
Apakah disertai sputum : banyak? Berbuih? Mengandung darah?
Apakah disertai nyeri dada kiri?
Pada beberapa kasus sesak :
1. Pneumonia
a. Anamnesis
Gejala timbul mendadak, tetapi dapat didahului infeksi saluran
napas akut bagian atas dengan gejala batuk, demam terus
menerus, sesak, kebiruan di daerah mulut, nyeri dada,
menggigil pada anak, kejang pada bayi, dan nyeri dada.
Lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
b. Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan sesak napas, napas cepat, napas cuping
hidung, sianosis
![Page 14: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/14.jpg)
Terdapat retraksi dinding dada, perkusi sonor, suara vesikular
atau subbronkial sampai bronkial, ronki.
c. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah pada pneuminia bakterial menunjukkan
jumlah leukosit yang meningkat,
Analisis gas darah menunjukkan PCO2 menurun, dapat terjadi
asidosis respiratorik
Radioligi menunjukkan gambaran bervariasi dari infiltrat
ringan sampai bercak-bercak merata kedua lapang paru,
sarang-sarang infiltrat setempat bisa berkonsolidasi sehingga
memberi bayangan lebih padat (masif).
2. Tuberkulosis
a. Anamnesis
Batuk lama lebih dari 3 minggu,
Nafsu makan menurun, berat badan sulit naik, menetap atau
menurun
Demam tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar
superfisial daerah mandibula, supraklavikular, leher, aksila.
Ada kontak dengan penderita TB
Dapat pula disertai keluhan gastrointestinal seperti diare
persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan.
b. Pemeriksaan fisik
Berat badan atau gizi kurang
Limfadenopati supraklaviluar, leher, mandibula, aksila yang
bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (menyatu)
Pemeriksaa fisik paru sering tidak menunjukkan kelainan, bila
ditemui biasanya sudah proses lanjut.
Pada mata dapat ditemui konjungtivitis fliktenularis.
c. Pemeriksaan penunjang
![Page 15: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/15.jpg)
Uji tuberkulin, hasil dibaca setelah 48-72 jam. Hasil positif
jika terdapat indurasi lebih dari 10 mm, kurang dari 5 mm
negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan
memerlukan pengulangan tes dengan jarak minimal 2 minggu.
Radiologis menunjukkan gambaran pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal, konsolidasi segmen atau lobus, gambaran
milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis atau kalsifikasi.
Mikrobiologis dari bilasan lambung atau sputum untuk
mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung
dan M. Tuberkulosis dari biakan
Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT dan mycodot
Funduskopi dan lumbal pungsi pada TB milier dan meningitis
Pemeriksaan darah tepi, LED, urin dan feses rutin berperan
sebagai pelengkap.
3. Asma Bronkial
a. Anamnesis
Sering kambuh pada saat-saat tertentu (menjelang pagi, udara
dingin, banyak debu, dll)
Nafas berbunyi, disertai/ tanpa sputum
Kadang ada riwayat alergi (makanan tertentu, Obat, dll)
Ada riwayat alergi/ sesak pada keluarga lain yang sedarah
Kadang dicetuskan oleh stres.
b. Pemeriksaann fisik
Frekuensi napas meningkat, napas dangkal, sesak napas, napas
cuping hidung, sianosis, gerakan dada yang berkurang,
hipersonor, bunyi napas lemah, terdapat wheezing,
Terdapat dermatitis atopi,
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah terdapat peningkatan IgE dan eosinofil
![Page 16: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/16.jpg)
Foto thorak AP terdapat gambaran emfisematosa
Analisis gas darah dapat dijumpai peningkatan pCO2 dan
penurunan pO2
4. Efusi pleura
a. Anamnesis
Pasien sesak napas dan lebih enak tidur pada posisi yang
sakit, bisa diikuti dengan demam
b. Pemeriksaan fisik
Frekuensi napas meningkat
Lebih cembung dan ketertinggalan gerak pada paru yang
sakit
Perkusi redup, fremitus suara lemah pada bagian redup
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi terdapat gambaran sejumlah cairan
yang mengisi sudut costofrenikus
Pemeriksaan darah terdapat leukositosis bila infeksi
bakterial, terutama bila ada pus (empyema)
Pungsi terdapat cairan
USG untuk melihat cairan dan perkiraan jumlah cairan
5. Gagal jantung
a. Anamnesis
Pasien sering sesak napas saat melakukan aktivitas ringan
atau sedang
Sering berkeringat
Bayi kesulitan minum, bengkak pada kelopak mata
Anak mengalami bengkak pada tungkai
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada kasus
kronis
![Page 17: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/17.jpg)
Timbul setelah aktivitas fisik berat (jalan jauh, naik tangga,
dll) dan berkurang dengan istirahat
Lebih enak berbaring dengan bantal tinggi.
b. Pemeriksaan fisik
Takikardi: lebih dari 160x/menit pada bayi, lebih dari
100x/menit pada anak diam
Takipnea, sesak napas terutama saat aktivitas, ortopnea
Hepatomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, edema
perifer.
c. Pemeriksaan penunjang
Foto thorak didapatkan kardiomegali
EKG, frekuensi QRS yang cepat atau disritmia
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik paru merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memperkenalkan diri pada.
Langkah awal ini adalah langkah penting untuk memperoleh kepercayaan dari
pasien guna mendapatkan informasi yang akurat. Pasien ditempatkan pada posisi
yang nyaman, namun memudahkan pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
Baju pasien harus dibuka untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh
terhadap leher, dinding dada, dan abdomen. Namun pada anak yang lebih kecil
atau pada anak pre-pubertas, penutup yang tipis mungkin akan membuat pasien
lebih nyaman.
Sebelum melakukan pemeriksaan paru, lakukan anamnesis yang lengkap
mengenai keluhan dan perjalanan penyakit pasien. Pada sebuah penelitian,
anamnesis yang baik dan lengkap dapat lebih berguna dalam menegakkan
diagnosis suatu penyakit paru dibandingkan pemeriksaan fisik paru. Pemeriksa
harus membersihkan tangan sebelum melakukan pemeriksaan dengan air bersih
dan sabun. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan yang tenang, bersih,
hangat, terang, dan memberikan privasi.
![Page 18: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/18.jpg)
Inspeksi
William Osler, seorang dokter berpengaruh di AS, pernah mengatakan,”
Jangan sentuh pasienmu, catatlah dahulu apa yang kamu lihat!”. Inspeksi
merupakan pemeriksaan yang sangat penting, berhentilah dan lihatlah keadaan
pasien sebelum menyentuhnya.
Sebelum menyentuh pasien, lakukan inspeksi dengan mendalam. Inspeksi
merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada pemeriksaan fisik
paru. Pertama, amati apakah pasien terlihat sakit atau tidak. Amati keadaan
sekeliling tempat tidur adakah alat inhalasi terletak di sana dan apakah pasien
menggunakan oksigenasi atau tidak (apa jenisnya). Amati morfologi tubuhnya:
adakah tanda-tanda gagal tumbuh, atau dismorfologi wajah atau ekstremitas.
Penilaian terakhir adalah melihat apakah anak dalam keadaan sesak nafas atau
tidak. Penilaian obyektif sesak nafas dapat dilihat dari kerja nafasnya, apakah
anak bernafas cepat dan adakah tarikan dinding dada. Posisi tripod (posisi agak
membungkuk dengan kedua tangan bertopang di tepi tempat tidur) menandakan
adanya sesak nafas pada penyakit paru obstruktif kronik.
Inspeksi pada ekstremitas memberikan informasi yang mungkin berguna.
Jari tabuh (clubbing finger) ditemui pada penyakit paru obstruktif kronik,
menandakan adanya hipoksia kronik. Tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit
jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan untuk jari tabuh menggunakan perasat
tanda Shamroth (Shamroth’s sign), yaitu hilangnya sudut antara kuku dan
bantalannya. Jari tabuh terjadi bila sudut antara kuku dan bantalannya hilang,
bertambahnya fluktuasi bantalan kuku, dan bertambahnya jaringan ikat lunak pada
ujung jari, dan akhirnya menghasilkan peningkatan kurvatura kuku.
Selanjutnya pemeriksa mencermati adakah tanda sianosis pada ujung jari.
Sianosis terjadi bila kadar hemoglobin yang tidak mengangkut oksigen (tidak
tersaturasi) sama dengan atau di atas 5 g/dL. Sianosis adalah tanda yang lanjut
dari adanya hipoksemia, biasanya saturasi oksigen darah di bawah 90%. Sianosis
lebih mudah tampak pada anak dengan polisitemia. Pada anak yang anemia,
sianosis merupakan tanda sangat lanjut dari hipoksemia. Penghitungan laju nafas
harus dilakukan saat pasien tenang dan tidak sadar kalau nafasnya dihitung.
![Page 19: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/19.jpg)
Adanya takipneu merupakan tanda sensitif dari adanya gangguan sistem nafas,
meskipun tidak spesifik. Keadaan lain yang menyebabkan takipneu adalah demam
asidosis metabolik, aktivitas, dan psikologis. Frekuensi nafas yang sangat lambat
(bradipneu) terjadi pada keadaaan depresi sistem saraf pusat, misalnya pada
infeksi intrakranial.
Perubahan dalam pola nafas mungkin disebabkan oleh respon terhadap
oksigenasi, asidosis, alkalosis, atau menunjukkan adanya gangguan di pusat nafas
itu sendiri. Pasien dengan penyakit paru restriktif mempunyai tipe nafas yang
cepat dan dangkal. Pola nafas cepat dan dalam dapat disebabkan oleh keadaan
hipoksia dan asidosis metabolik. Alkalosis menyebabkan nafas yang lambat dan
dangkal. Nafas Biot, pola nafas yang ireguler, dengan periode takipneu dan apneu,
dapat terjadi pada meningitis, ensefalitis, atau tumor otak. Nafas Cheyne-Stokes
adalah tipe pernafasan dengan amplitudo pernafasan kecil kemudian makin
bertambah hingga maksimal, kemudian apneu, terdapat pada keadaan koma.
Pada sesak nafas berat, otot-otot tambahan inspirasi (misalnya m.
sternocleidomastoideus, m. alae nasi, m. scaleni) akan bekerja. Lihat adakah tanda
sianosis perifer dan sentral, atau gunakan alat monitor saturasi oksigen.
Dengarkan adakah stridor atau wheezing. Stridor dapat dibagi menjadi stridor
inspirasi, yang menandakan adanya obstruksi pada laring atau supralaring.
Sedangkan stridor inspirasi dan ekspirasi (bifasik) merupakan tanda adanya
obstruksi pada trakeal.
Pada bayi baru lahir dengan sindrom distress respirasi (biasanya pada bayi
prematur), akan didapatkan nafas grunting. Nafas grunting adalah bunyi nafas
saat ekspirasi, terjadi akibat penutupan rima glotis akibat dari kolapsnya alveoli
saat ekspirasi akibat defisiensi surfaktan. Nafas grunting adalah usaha sendiri dari
pasien untuk menaikkan tekanan akhir ekspirasi (PEEP=peak expiratory end
pressure). Bila dilakukan pemasangan ventilator, kita harus memberikan PEEP
ventilator yang adekuat untuk mencegah timbulnya gagal nafas.
Bila pasien batuk, perhatikan karakteristik batuknya, apakah bersifat
kering, berdahak, menyalak (misalnya pada sindroma Croup atau pertusis). Batuk
merupakan mekanisme untuk mengeluarkan sesuatu yang mengganggu di saluran
![Page 20: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/20.jpg)
nafas. Batuk timbul bila kalau reseptor dari arkus reflek batuk terangsang. Impuls
dikirim melalui serabut aferen ke pusat batuk. Pusat batuk akan bereaksi dengan
mengirimkan impuls balik melalui serabut eferen ke efektor (otot pernafasan).
Mekanisme batuk dimulai dengan inspirasi pendek (biasanya cukup dalam),
kemudian diikuti dengan penutupan glotis. Selanjutnya terjadi ekspirasi kuat
dengan peninggian mendadak tekanan intratorakal dan pembukaan glotis sehingga
timbul ledakan batuk.
Periksalah denyut jantung pada a.radialis. Hitunglah frekuensi nadi,
kekuatan, dan keteraturan nadi selama 1 menit. Takikardi adalah tanda penting,
namun kurang spesifik, didapatkan pada hipoksia, penggunaan beta-2-agonis, dan
demam. Pulsus paradoxus merupakan salah satu indikator beratnya serangan asma
atau pada perikarditis.
Nafas cuping hidung menandakan adanya kerja nafas yang meningkat.
Resistensi udara umumnya terjadi 50% di hidung dan 50% di saluran nafas
bawah. Bila terjadi kelainan obstruktif atau restriktif di saluran nafas distal, maka
tubuh akan melakukan kompensasi dengan menurunkan resistensi udara di
hidung, dengan manifestasi klinisnya berupa nafas cuping hidung.
Discar nasal mungkin didapatkan. Garis merah di atas pangkal hidung
didapatkan pada mereka yang mengalami rhinitis episodik. Pada bayi dengan
riwayat sianosis setelah netek dan hilang dengan menangis haruslah dicurigai
adanya atresia choanae. Adanya atresia choanae dapat dikonfirmasi dengan
memasukkan pipa nasogastrik ke dalam rongga hidung.
Pada pemeriksaan leher, perhatikan adakah deviasi trakea dengan
melakukan palpasi yang lembut pada fossa suprasternal. Lakukan juga perabaan
untuk melihat adanya pembesaran limfonodi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
posisi di belakang pasien. Lakukan palpasi dengan lembut, dengan menggunakan
bagian distal dari jari kedua dan ketiga kedua tangan. Mulailah dengan mencoba
meraba limfonodi submental, bergerak ke posterior ke arah limfonodi
submandibula, ke kranial meraba glandula parotis, limfonodi pre dan post
aurikuler, dan limfonodi occipitalis. Setelah itu, bergeraklah ke arah regio
sternocleidomastoideus. Palpasi diakhiri pada daerah fossa supraclavicula. Bila
![Page 21: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/21.jpg)
teraba limfonodi, sebutkan limfonodi mana yang membesar, berapa jumlah dan
ukurannya, apakah tunggal atau multipel, konsistensinya, saling melekat atau
tidak, dan apakah disertai nyeri tekan atau tidak. Amati juga adanya perubahan
warna kulit sekitar leher. Vena jugularis biasanya sulit diukur pada bayi dan anak
kecil, sehingga pemeriksaan ini biasanya tidak dilakukan.
Setelah melakukan pemeriksaan leher, pemeriksaan dilakukan pada dada.
Amati adakah tanda bekas luka seperti riwayat thorakostomi atau pemasangan
pipa pleura. Perhatikan adakah tanda depresi sternum, dan tanda peningkatan
kerja nafas seperti adanya retraksi. Retraksi dapat terjadi pada fossa suprasternal,
subkostal, maupun interkostal. Kelainan anatomi bawaan dapat didapati berupa
pectus carinatus atau pectus excavatum. Rabalah iktus jantung untuk menentukan
bagian apex jantung dengan tepat. Pergeseran apex jantung dapat terjadi sebagai
akibat pergeseran mediastium karena kelainan paru (misalnya pneumothorax,
pneumomediastinum, effusi pleura).
Amati juga gerakan dinding dada dan adakah asimetri dari dinding dada.
Pemeriksa dapat menempatkan telapak tangannya di atas dada si anak untuk
melihat gerakan dinding dadanya. Penyebab asimetri dinding dada dapat
disebabkan oleh pneumothorax, pneumonia, effusi pleura, atelektasis, atau nyeri.
Palpasi
Palpasi adalah teknik pemeriksaan dengan menggunakan telapak dan jari
tangan sebagai indra peraba. Pemeriksa menempatkan diri di depan pasien dengan
pasien telentang atau duduk. Tangan kanan pemeriksa diletakkan pada dinding
dada kiri pasien dan tangan kiri pada posisi sebaliknya. Pertama, rasakan dan
bandingkan apakah gerakan dinding dada kanan dan kiri sama dan sinkron atau
tidak. Setelah itu, rabalah daerah fossa suprasternal untuk menentukan apakah
terdapat deviasi trakea (misalnya pada pneumothorax atau atelektasis). Kemudian,
palpasi dilakukan pada sela iga apakah normal atau ada pencembungan atau
cekungan.
Bila pada palpasi didapatkan dada mencembung simetris (terdapat
penambahan diameter antero-posterior) berarti terdapat toraks emfisematosa.
![Page 22: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/22.jpg)
Bentuk dada ini terdapat pada penyakit paru obstruktif kronik seperti asma,
bronkitis kronis, atau emfisema. Bila pencembungannya hanya pada satu sisi saja
(asimetris) mungkin terdapat pneumothorax, pleuritis, efusi pleura, hematothorax
atau kardiomegali.
Ketinggalan gerak waktu inspirasi didapatkan pada fungsi paru yang
berkurang (misalnya pada fibrosis pulmonum, schwarte, atelektasis,
pneumothorax, efusi pleura, pleuritis, atau pneumonia), rangsang nyeri, atau
kelumpuhan otot pernafasan.
Fremitus adalah pemeriksaan untuk mengetahui getaran suara dari saluran
nafas. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan cara palpasi taktil atau
dengan stetoskop. Resonansi vokal terjadi sebagai akibat getaran fonasi yang
berjalan sepanjang cabang trakeobronkial melalui parenkim paru. Paru normal
yang terisi udara akan meneruskan bunyi dengan frekuensi rendah dan menyaring
bunyi dengan frekuensi tinggi. Peningkatan resonansi vokal disebut bronkofoni.
Suara yang didengar lebih jelas dan lebih keras pada daerah yang mengalami
kelainan. Ini terjadi pada peningkatan densitas paru, seperti pada konsolidasi paru
karena pneumonia atau atelektasis. Resonansi vokal menurun pada berkurangnya
densitas paru (karena bunyi akan lebih tersaring), seperti pada keadaan asma,
emfisema, penumothorak, atau efusi pleura. Egofoni terjadi bila resonansi vokal
meningkat dengan kualitas sengau, terjadi pada pneumonia lobaris. Bila ada
egofoni, penderita yang mengucapakan “i-i-i” akan terdengar “e-e-e”.
Perkusi
Perkusi pertama kali dilakukan oleh Auenbruger tahun 1761, diilhami oleh
kebiasaan bapaknya melakukan ketukan pada tong anggur untuk mengetahui
apakah isi tong masih penuh atau tidak. Suara paru normal seperti udara dalam
tong anggur.
Perkusi merupakan pemeriksaan yang berguna untuk menentukan lokasi
patologis dari kelainan paru dan penting untuk dilakukan dengan teknik yang
benar. Perkusi dilakukan dengan memukulkan jari ketiga di atas jari ketiga tangan
sebelahnya (yang diposisikan hiperekstensi) di sela iga rongga dada. Lakukan
![Page 23: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/23.jpg)
ketukan beberapa kali untuk menimbulkan kesimpulan suara yang didengar
pemeriksa. Pertama lakukanlah perkusi di atas kedua clavicula, kemudian
bergerak ke bawah dan ke lateral pada kanan dan kiri. Pada tiap ketinggian, selalu
bandingkan antara perkusi dada kanan dan kiri.
Suara perkusi paru yang sehat adalah sonor. Hipersonor dijumpai ada
keadaan pneumothorax, emfisema, asma, dan kaverna. Perkusi yang redup
dijumpai pada hati, jantung, konsolidasi, atelektasis, efusi pleura, inflitrat,
pleuritis, dan tumor paru. Pada dinding dada yang tipis seperti pada bayi, paru
normal juga akan terdengar hipersonor. Pada infiltrat masif (pneumonia lobaris
atau tumor), lumen bronkus masih menimbulkan gema perkusi sehingga suara
yang timbul adalah redup timpani. Pada infiltrat tersebar (misalnya
bronkopneumonia, tuberculosis milier), yang terperkusi adalah jaringan paru,
mungkin infiltrat sedikit saja terperkusi sehingga perkusinya masih sonor. Dengan
pemeriksaan perkusi kita juga bisa menentukan batas pengembangan paru dan
besar hepar.
Auskultasi
Auskultasi merupakan bagian dari pemeriksaan fisik paru dengan tujuan
untuk mendengarkan suara paru, sehingga secara tidak langsung menggambarkan
keadaan saluran nafas.
Pertama kali pemeriksa melakukan auskultasi, ia harus menempatkan
bagian diafragma stetoskop pada fossa supraclavicula, kemudian mulai bergerak
ke bawah dan ke lateral (seperti yang sudah didiskusikan pada bagian
pemeriksaan perkusi). Bandingkan lebih dahulu antara dada kanan dan kiri. Bila
ada perbedaan suara nafas, pastilah salah satu tidak normal.
Setelah melakukan pemeriksaan pada bagian dada anterior, pemeriksa
melakukan pemeriksaan pada dada bagian posterior. Lakukan auskultasi seperti
pada pemeriksaan dada depan, mulai di bawah bahu, bergerak ke bawah dan
lateral. Bandingkan auskultasi bagian kanan dan kiri. Jangan lupakan melakukan
auskultasi pada bagian axilla untuk melihat adanya kelainan pada paru kanan
![Page 24: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/24.jpg)
lobus medius. Kesalahan yang sering dilakukan adalah tidak melakukan auskultasi
pada daerah-daerah inferior.
Suara dasar paru
Suara dasar paru secara tradisional digolongkan menjadi 4 yaitu suara
trakeal, bronkial, bronkovesikuler, dan vesikuler.
Suara trakheal mempunyai ciri suara dengan frekuensi tinggi, kasar,
disertai dengan masa istirahat (pause) antara fase inspirasi dan ekspirasi, dengan
komponen ekspirasi terdengar sedikit lebih lama. Suara nafas trakeal dapat
ditemukan dengan menempelkan membran diafragma pada bagian lateral leher
atau pada fossa suprasternal. Sumber bunyinya adalah turbulensi aliran cepat pintu
glottis. Suara nafas bronkial mempunyai bunyi yang juga sama kasar, frekuensi
tinggi, dengan fase inspirasi sama dengan fase ekspirasi. Suara ini terdapat pada
saluran nafas dengan diameter 4 mm atau lebih, misalnya pada bronkus utama.
Suara nafas bronkial dapat didengarkan pada daerah antara kedua scapula. Karena
karakteristik suara trakeal dan bronkial hampir sama, beberapa penulis
menggolongkannya menjadi satu terminologi, yaitu suara trakeobronkial.
Gambar 4. Karakteristik suara dasar paru
![Page 25: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/25.jpg)
Suara nafas bronkovesikuler sedikit berbeda dari suara trakeobronkial,
terdengar lebih distal dari jalan nafas. Bunyinya kurang keras, lebih halus,
frekuensi lebih rendah dibanding suara bronkial, tetapi dengan komponen
inspirasi dan ekspirasi yang masih sama panjang. Bunyi nafas ini pada orang
normal dapat didengar pada segitiga auskultasi (area di bagian posterior rongga
dada yang dibatasi oleh m. trapezius, m. latissimus dorsi, dan m. rhomboideus
mayor) dan lobus otot kanan paru). lebih distal, dengan karakteristiknya halus,
lemah, dengan fase inspirasi merupakan bagian yang dominan, sedangkan fase
ekspirasi hanya terdengar sepertiganya. Suara vesikuler berasal dari jalan nafas
lobar dan segmental, ditransmisikan melalui parenkim paru normal.
Bila terdapat konsolidasi atau atelektasis pada saluran nafas distal, maka
suara yang normalnya vesikuler, akan menjadi suara bronkovesikuler atau
trakeobronkial. Ini terjadi karena penghantaran udara yang bertambah karena
adanya pemadatan pada jaringan paru. Ada pula yang berpendapat hal ini terjadi
karena suara vesikuler yang menurun pada daerah auskultasi, sehingga yang
masih terdengar adalah suara dari bronkus (suara bronkial).
Suara vesikuler yang diperlemah didapatkan pada keadaan fungsi paru
yang menurun (misalnya Schwarte, fibrosis pulmonum, emfisema) atau pada
gangguan penghantaran suara karena adanya cairan (efusi pleura) atau udara di
pleura (pneumothorax). Keadaan ini juga bisa didapati pada anak yang gemuk
atau atlet yang mempunyai lapisan otot yang tebal.
Fase ekspirium suara vesikuler juga bisa diperpanjang pada keadaan di
mana terdapat kesulitan mengelurkan udara waktu ekspirasi, seperti pada keadaan
asma bronkiale atau bronkiolitis. Kesulitan ini disebabkan oleh banyaknya sekret,
edema mukosa bronkus, dan konstriksi dari saluran nafas bawah. Ekspirasi yang
memanjang sangat berhubungan dengan bunyi tambahan paru yaitu wheezing, dan
dapat didengarkan dengan telinga telanjang.
Suara tambahan paru
![Page 26: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/26.jpg)
Terminologi suara tambahan paru merupakan hal yang kontroversial,
menjadi perdebatan mulai dari pertama ditemukannya stetoskop oleh Laennec
hingga sekarang. Laennec, seorang dokter Prancis, menggunakan istilah “rale”
untuk semua bunyi abnormal paru, dengan klasifikasi: lembab (moist), mukus
(mucous), sonor (sonorous), dan mencicit (sibilant). Pada prakteknya masa itu,
karena pasien merasa tidak nyaman dengan miripnya istilah rale dengan death
rattle, maka Laennec menggunakan istilah pengganti yaitu “rhoncus”. Tahun
1821, seorang dokter Inggris bernama John Forbes, menerjemahkan karya
Laennec ke bahasa Inggris. Istilah rale dan rhoncus diterjemahkan menjadi 2 hal
berbeda oleh Forbes, sehingga menjadi awal terjadinya perbedaan hingga
sekarang.
Salah satu rekomendasi berasal dari pertemua International Symposium on
Lung Sounds (Tokyo, 1985) dengan konsensus terminologi bunyi tambahan paru
yang membagi bunyi ini menjadi:
1. Bising tidak kontinyu (kurang dari 250 ms/2.5 detik)
a. Halus: frekuensi tinggi, amplitudo rendah, durasi pendek (fine
crackles)
b. Kasar: frekuensi rendah, amplitudo tinggi, durasi panjang (coarse
crackles)
2. Bising kontinyu (lebih dari 250 ms/2.5 detik)
a. Nada tinggi (wheezing)
b. Nada rendah (rhoncus)
Selain bising kontinyu dan tidak kontinyu, dikenal juga suara tambahan
paru yang lain yaitu stridor dan bunyi gesekan pleura (pleural friction rub).
Bising tidak kontinyu
Crackles (bunyi gemereletak) halus atau ronki basah halus, disebabkan
oleh terbukanya alveoli yang tertutup waktu ekspirasi sebelumnya secara tiba-tiba,
mungkin disebabkan tekanan antara jalan nafas yang terbuka dengan yang
menutup dengan cepat menjadi sama sehingga jalan nafas perifer mendadak
![Page 27: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/27.jpg)
terbuka. Bunyi ini terjadi saat inspirasi, yang dapat terjadi saat jalan nafas perifer
mendadak terbuka pada waktu daerah-daerah kolaps (atelektasis) terinflasi. Bising
ini terjadi pada kelainan paru restriktif dan atau menunjukkan berkurangnya
volume paru, seperti pada pneumonia, bronkitis, atau atelektasis. Bising ini juga
dapat terdengar pada bronkiolitis dan asma bronkiale. Ronki basah halus yang
terdengar pada daerah basal paru menunjukkan adanya edema paru. Pada
pneumonia lebih spesifik bila bunyi gemereletak ini didapatkan pada akhir
inspirasi (atau yang disebut krepitasi).
Crackles kasar atau ronki basah kasar, dihasilkan oleh gerakan udara
melalui sekret tipis di bronkus atau bronkiolus. Terjadi pada awal inspirasi dan
kadang waktu ekspirasi, bisa menghilang dengan perubahan posisi atau setelah
batuk. Bunyi ini dapat dijumpai pada kelainan paru dengan sekresi lendir yang
banyak, misalnya pada bronkitis kronis, bronkitis akut, bronkiektasi, atau fibrosis
kistik.
Tabel 2. Karakteristik suara tambahan pada auskultasi paru
Bising kontinyu
Bunyi tambahan kontinyu akibat dari aliran udara yang cepat yang
melewati jalan nafas yang mengalami obstruksi. Aliran udara yang lebih cepat
![Page 28: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/28.jpg)
akan menurunkan tekanan dinding lateral jalan nafas, dan menyebabkan dinding-
dinding yang berhadapan terdorong saling merapat dan bersentuhan untuk waktu
singkat. Akibatnya, aliran terganggu untuk waktu singkat dan tekanan jalan nafas
meningkat. Jalan nafas kemudian kembali terbuka memungkinkan aliran udara
kembali. Siklus ini berulang dengan cepat menyebabkan getaran dinding jalan
nafas. Tinggi nada pada bunyi tambahan kontinyu ditentukan oleh hubungan
antara kecepatan aliran dan derajat obstruksi. Lebih cepat aliran atau lebih rapat
obstruksi menyebabkan bunyi dengan nada tinggi (disebut wheezing atau mengi).
Bila aliran atau obstruksi kurang, maka terjadi bunyi dengan nada lebih rendah
(disebut ronki atau ronki kering). Wheezing ditemui pada asma, emfisema dan
bronkitis kronik, dan kadang ditemui pada edem paru. Ronki kering dijumpai
pada bronkitis akut atau kronik dan bronkiektasis.
Stridor
Stridor adalah bunyi kontinyu yang dihasilkan oleh getaran jalan nafas
ekstratoraks yang menyempit, dengan nada konstan. Hal ini terjadi karena karena
tekanan jalan nafas distal dari obstruksi berkurang secara bermakna dalam
hubungan dengan tekanan atmosfer di luar jalan nafas pada waktu inspirasi. Pada
waktu ekspirasi, peningkatan tekanan jalan nafas menyebabkan gradien tekanan
positif dari dalam ke luar jalan nafas dan obstruksi berkurang. Bila obstruksi
menetap, stridor akan terdengar waktu inspirasi maupun ekspirasi. Pe yebab
stridor adalah sumbatan laring atau trakea, seperti pada keadaan epiglotitis,
laringotrakeobronkitis akut (sindrom Croup), aspirasi benda asing, tumor, atau
edema laring setelah ekstubasi.
Bunyi gesekan pleura
Bunyi ini berasal dari regangan mekanik pleura yang menyebabkan vibrasi
dinding dada dan parenkim paru. Pada keadaan normal, lapisan pleura yang halus
dan lembab yang bergesekan pada waktu bernafas tidak mengeluarkan suara.
![Page 29: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/29.jpg)
Bising ini bersifat non-musikal, mempunyai nada rendah, dan terdengar saat
inspirasi dan ekspirasi. Bunyi ini terjadi pada pleuritis atau Schwarte. Setelah
melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat mengambil kesimpulan apakah ada
kelainan pada paru atau tidak. Sampaikan hasil pemeriksaan anda pada orang tua.
Terakhir kali, ucapkan salam dan terima kasih pada orang tua dan pasien.
Pemeriksa harus meyakinkan dirinya bahwa ia meninggalkan pasien dalam
keadaan nyaman.
![Page 30: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/30.jpg)
Tabel 4. Karakteristik penyakit paru dari pemeriksaan fisik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Evaluasi Laboratorium
1. Pemeriksaan dahak. pemeriksaan dahak harus mencakup
pemeriksaan bilasan sputum gram (gram-stained smear) untuk
membuktikan adanya radang saluran napas bawah dan penentuan jenis
gram patogen.
2. Analisis gas darah arterial. Pengukuran gas darah arterial dilakukan
pada evaluasi awal seluruh pasien sesak yang memperlihatkan tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mm Hg, suatu frekuensi napas lebih dari
35 kali/menit atau kurang dari 10 kali/menit atau sianosis. Apabila gas
darah arterial tidak diukur pada tahap awal dan kondisi pasien
memburuk di bawah perawatan, analisis gas darah tersebut harus tetap
perlu diperiksa. Nilai ini berguna sebagai petunjuk penggunaan
suplemen oksigen dan keputusan untuk penggunaan ventilasi mekanis.
![Page 31: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/31.jpg)
3. Spirometri/Peak Flow Meter (Peak Expiratory Flow Rate -
PEFR).
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi asma atau PPOK, spirometri
memberi kita informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan untuk
menentukan seriusnya keadaan penyakit tersebut. Pengukuran PEFR
bisa rnenggantikan pengukuran spirometri untuk menentukan berat
ringannya obstruksi, hasilnya dinyatakan dalam liter per menit. Nilai
normal ditentukan untuk setiap individu menurut jenis kelamin, usia
dan tinggi badan. Nilai kurang dari 50% dari yang diperkirakan
menunjukkan obstruksi yang parah. Pemeriksaan PEFR ini harus
diulangi setiap 30 menit untuk menentukan perjalanan penyakit.
b. Pencitraan (imaging). Pembuatan foto toraks postero·anterior dan lateral
dilakukan apabila dicurigai adanya kelainan pada pleura, parenkim paru
atau jantung. Adanya bula, kista, paru emfisematus atau diafragrna yang
mendatar (flattened diagraph) mendukung diagnosis PPOK. Adanya
kardiomegali mendukung kemungkinan penyebab sesak yang berkaitan
dengan jantung.
TATALAKSANA SESAK NAPAS
Penanganan sesak pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat atas
penyakit yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, apabila kondisi pasien
memburuk hingga mungkin terjadi gagal napas akut, maka lebih baik perhatian
ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang
melatarbelakanginya. Diagnosis gagal napas akut dengan analisis gas darah
ditentukan ketika PaO2 kurang dari 50 mm Hg atau PaCO2 lebih besar dari 50
mm Hg dengan pH di bawah norrnal.
a. Saluran Napas
Periksalah orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat
karena pembengkakan (edema) atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal
![Page 32: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/32.jpg)
dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau mengarah kepada
gagal napas progresif. .
b. Oksigen
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, yaitu :
1. Sistem aliran rendah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran
rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu
bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume
Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.
Contoh system aliran rendah ini adal;ah : (1) kataeter naal, (2) kanula
nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup muka dengan kantong
rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system :
a. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara
kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
- Keuntungan
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara,
murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter
penghisap.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%,
tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal,
dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir
nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan
nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah
tersumbat.
![Page 33: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/33.jpg)
b. Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter
nasal.
- Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan
teratur, mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas
makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan
nyaman.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2
berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena
kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
c. Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt
dengan konsentrasi O2 40 – 60%.
- Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula
nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing :
Suatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt
- Keuntungan
![Page 34: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/34.jpg)
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir
- Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih
rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa
terlipat.
e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai
99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi
- Keuntungan :
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
- Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.
2. Sistem aliran tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak
dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat
menambahkan konsentrasi O2 yang lebihtepat dan teratur.
Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan
ventury.
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari
tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk
mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar
dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara
pada alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
- Keuntungan
![Page 35: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/35.jpg)
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk
pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap
FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi
penumpukan CO2
- Kerugian
Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup
muka yang lain pada aliran rendah.
3. Ventilasi mekanis.
Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberi oksigen melalui
ambubag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai kelanjutannya.
![Page 36: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/36.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Bickley et al. 2008. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 8th Edition. USA: MCQs
Cabanes et al. 2001. Brain Natriuretic Peptide Blood Levels in the Differential Diagnosis of Dyspnea. Chest 120;2047-2050
Fauci et al. 2008. Harrison’s: Principle of Internal Medicine- 17th edition. USA: The Mc Graw Hill Comp. Inc.
Gent et al. 2007. Poor perception of dyspnoea in children with undiagnosed asthma. Eur Respir J. 30: 887–891
Green et al. 2008. Clinical Uncertainty, Diagnostic Accuracy, and Outcomes in Emergency Department Patients Presenting With Dyspnea. Arch Intern Med. 168(7):741-748
Guazzi et al. 2001. Exercise hyperventilation, dyspnea sensation, and ergoreflex activation in lone atrial fibrillation. Am J Physiol Heart Circ Physiol 287:2899-2905
Han et al. 2008. The Language of Medically Unexplained Dyspnea. Chest 133;961-968
Huijnen et al. 2006. Dyspnea in elderly family practice patients. Occurrence, severity, quality of life and mortality over an 8-year period. Fam. Pract. Jour. 23: 34-39.
Lanini et al. 2001. Perception of Dyspnea in Patients With Neuromuscular Disease. Chest 120;402-408
Laveneziana et al. 2006. Mechanisms of dyspnoea and its language in patients with asthma. Eur Respir J 27: 742–747
Mahler, A. Donald. 2008. Mechanisms and Measurement of Dyspnea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc 3: 234–238
Miles Weinberger and Mutasim Abu-Hasan. 2007. Pseudo-asthma: When Cough, Wheezing, and Dyspnea Are Not Asthma. Pediatrics J. 120:855
![Page 37: Dyspneu](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081502/55cf99a6550346d0339e78f1/html5/thumbnails/37.jpg)
Mularski et al. 2010. A Review of Quality of Care Evaluation for the Palliation of Dyspnea. Am J Respir Crit Care Med 181: 534–538
Newman et al. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Nishino, T. 2011. Dyspnoea: underlying mechanisms and treatment. British Journal of Anaesthesia 106 (4): 463–74
O’Donnel et al. 2007. Pathophysiology of Dyspnea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc 4: 145–168
PAPDI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbutan FK UI
Peiffer et al. 2008. Relief of Dyspnea Involves a characteristic Brain Activation and a Specific Quality of Sensation. Am J Respir Crit Care Med. 177: 440–449
RSUD dr. Setomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF. Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: FK UNAIR Press
Scano,G., Standarzi, L., dan Grazzini. 2005. Understanding dyspnoea by its language. Eur Respir J; 25: 380–385
Serradori,M dan Ambrosino,N. 2006. Determining the cause of dyspnoea: linguistic and biological descriptors. CRD journal 3: 117-122
Sinead et al. 2001. Dyspnea and Quality of Life in Older People at Home. Age and Aging 30: 155-159
Toni et al. 2008. Dyspnea on Exertion in Obese Women Association with an Increased Oxygen Cost of Breathing. Am J Respir Crit Care Med 178: 116–123
Witek dan Mahler. 2003. Minimal important difference of the transition dyspnoea index in a multinational clinical trial. Eur Respir J. 21: 267–272