Duktus Nasolakrimal
-
Upload
robiniskandar -
Category
Documents
-
view
395 -
download
8
description
Transcript of Duktus Nasolakrimal
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Duktus nasolakrimal adalah saluran yang menghubungkan sakus
lakrimalis ke bagian anterior meatus inferior dari hidung, tempat mengalirnya air
mata ke hidung.1 Obstruksi pada duktus nasolakrimal, menyebabkan air mata
tidak dapat mengalir ke kavum nasi. Hal ini sering menimbulkan gejala epifora.
Selain gejala epifora yang sering dikeluhkan, pasien yang mengalami obstruksi
pada saluran ini, sering mengalami rekuren infeksi mata atau infeksi saluran air
mata.2
Kanalisasi ductus nasolakrimal biasanya telah terbentuk sempurna pada
bulan ke delapan gestasi.3 Namun, 2-4% dari seluruh bayi yang dilahirkan
mengalami keterlambatan perkembangan, dimana masih terdapat sisa membran di
ujung saluran ini, tidak terdapatnya pungtum, stenosis dari sistem pengeluaran air
mata, infeksi, atau tulang hidung yang menghambat pengeluaran air mata.4
Terdapat 90% pasien obstruksi ductus lakrimal kongenital mengalami patensi
saluran pada usia kurang dari 1 tahun namun sisanya berlanjut hingga usia lebih
dari 1 tahun.5
Kejadian obstruksi duktus nasolakrimal cukup sering, namun tidak
terdapat data pasti yang menyatakan angka kejadian pastinya. Terdapat banyak
hal yang dapat menimbulkan obstruksi duktus nasolakrimal didapat, misalnya
infeksi, inflamasi, neoplasi, trauma, mekanikal.6
Obstruksi duktus nasolakrimal menimbulkan beberapa komplikasi,
komplikasi yang tersering salah satunya adalah konjungtivitis dan komplikasi
lainnya adalah dracyocystitis. Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanaan untuk
membuat saluran nasolakrimal yang paten. Banyaknya hal yang dapat
menimbulkan obstruksi duktus nasolakrimal dan komplikasi penyakitnya
membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai penegakan diagnosis dan
tatalaksana obstruksi duktus nasolakrimal
I.2 Tujuan
Telaah ilmiah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai penegakan diagnosis dan penatalaksanaan obstruksi duktus
nasolakrimal.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM LAKRIMAL
II.1 Anatomi
Bola mata (bubus oculi), atau organ penglihatan, berada pada kavitas
orbita, dimana organ ini dilindungi dari cedera dan pergerkan oleh otot-otot okular
serta tulang (os sphenoidale, zygomaticum, frontale, ethmoidale, lacrimale, dan
maxilla). Selain itu, ada pula struktur aksesorius yang berhubungan dengan mata,
seperti otot-otot, fascia, alis, kelopak mata, konjungtiva, dan badan lakrimal.1
Salah satu sistem organ asesorius yang lain adalah apparatus lacrimalis
(lacrimal apparatus). Apparatus lakrimal terdiri dari glandula lakrimalis, sakus
lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.1,8
Gambar 1. Anatomi Apparatus Lakrimalis (Dikutip dari : Glasglow, Ben,. 2006)
Lacrimal gland (glandula lacrimalis) terdapat pada fossa lakrimal, sisi
medial prosesus zigomatikum os frontal. Berbentuk oval, kurang lebih bentuk dan
besarnya menyerupai almond, dan terdiri dari dua bagian, disebut kelenjar
lakrimal superior (pars orbitalis) dan inferior (pars palpebralis). Duktus kelenjar
ini, berkisar 6-12, berjalan pendek menyamping di bawah konjungtiva.1,7
Lacrimal ducts (lacrimal canals), berawal pada orifisium yang sangat
kecil, bernama puncta lacrimalia, pada puncak papilla lacrimales, terlihat pada
tepi ekstremitas lateral lacrimalis. Duktus superior, yang lebih kecil dan lebih
pendek, awalnya berjalan naik, dan kemudian berbelok dengan sudut yang tajam,
dan berjalan ke arah medial dan ke bawah menuju lacrimal sac. Duktus inferior
awalnya berjalan turun, dan kemudian hamper horizontal menuju lacrimal sac.
Pada sudutnya, duktus mengalami dilatasi dan disebut ampulla. Pada setiap
lacrimal papilla serat otot tersusun melingkar dan membentuk sejenis sfingter.1,7
Lacrimal sac (saccus lacrimalis) adalah ujung bagian atas yang dilatasi
dari duktus nasolakrimal, dan terletak dalam cekungan (groove) dalam yang
dibentuk oleh tulang lakrimal dan prosesus frontalis maksila. Bentuk lacrimal sac
oval dan ukuran panjangnya sekitar 12-15 mm; bagian ujung atasnya membulat;
bagian bawahnya berlanjut menjadi duktus nasolakrimal.1,8
Nasolacrimal duct (ductus nasolacrimalis; nasal duct) adalah kanal
membranosa, panjangnya sekitar 18 mm, yang memanjang dari bagian bawah
lacrimal sac menuju meatus inferior hidung, dimana saluran ini berakhir dengan
suatu orifisium, dengan katup yang tidak sempurna, plica lacrimalis (Hasneri),
dibentuk oleh lipatan membran mukosa. Duktus nasolakrimal terdapat pada kanal
osseous, yang terbentuk dari maksila, tulang lakrimal, dan konka nasal inferior.
Gambar 2. Lapisan Air Mata (Dikutip dari : Anonim. 2008)
Permukaan depan bola mata ditutupi oleh suatu lapisan yang disebut Tear
film yang berperan juga untuk pembentukan dan mempertahankan kualitas air
mata. Tear film terdiri dari tiga lapisan: 1,7
Lapisan superfisial (lipid), yang dihasilkan oleh kelenjar meibom dan
kelenjar sebasea, berfungsi mencegah evaporasi. Tebalnya 0,1 um terdiri dari
sedikitnya sembilan jenis lemak yaitu hydrokarbon (7,54 %), sterol ester
(27,3 %), wax ester (32,3 %), diester region (7,54 %), tryacyl gliserol (3,7
%), post tryacyl gliserol (2,98 %), free sterol (1,63 %), free fatty acid (1,98
%) dan polar lipid (14,8 %) 16, dengan titik leleh yang berbeda–beda, namun
pada komposisi fraksi lemak yang ideal seluruh komponen akan meleleh pada
suhu tubuh. Perubahan komposisi fraksi lemak akan menimbulkan deviasi
dan corakan lipid normal yang dinilai berdasarkan interferensi warna dan
selanjutnya akan mengganggu kestabilan air mata. Lapisan lipid bersifat
hidropobik, memperlambat evaporasi dan untuk lubrikasi
Lapisan akuos, yang disekresi oleh kelenjar lakrimalis dan kelenjar Krause
serta Wolfring. Mengandung garam–garam inorganik, glukosa, urea, protein
dan glikoprotein yang berfungsi dalam pengambilan oksigen untuk
metabolisme kornea. Tebalnya 6,5 um–7,5 um, merupakan komponen
terbesar dari air mata, seperti juga pada lapisan yang lain gangguan pada
komposisi akan mempunyai dampak pada kualitas air mata.
Lapisan mukus, dihasilkan oleh sel–sel goblet konjuntiva dan merupakan
lapisan terdalam. Tebal 0,02 um–0,05 um. variasi musin lain dihasilkan
kelenjar lakrimalis yang teriritasi. Kualitas lapisan ini secara klinis dapat
dinilai dengan uji Ferning. Mukus merupakan faktor penting untuk
hidropobik, sehingga permukaan tersebut dapat dibasahi air mata.
Sekresi air mata pada satu mata adalah 60 gram/hari, sedangkan sekresi
basal 0,6 ml–1,2 ml permenit. 10 %–25 % dari total air mata yang disekresi akan
hilang melalui evaporasi. Bila tidak ada lapisan lipid eveporasi akan meningkat
10–20 kali.7
II.2 Fisiologi
Sistem lakrimal terbagi menjadi dua, yakni:7
1. Sistim sekresi
2. Sistim ekskresi
Ada beberapa komponen sekresi yang terdiri dari: Glandula lakrimal (kel.
Utama), glandula lakrimal asesoris (Krause dan Wolfring), glandula sebasea
palpebra (kel. Meibom) dan sel–sel goblet dari konjuntiva (Musin). Persyarafan
dari sistim sekresi oleh syaraf trigeminus (V) dan syaraf simpatik tidak
memberikan efek pada sekresi. Sistim sekresi terdiri dari sekresi basal dan reflek
sekresi. Sekresi basal terdiri dari kelenjar asesoris air mata dari Krause dan
Wolfring sedangkan reflek sekresi dari kelenjar air mata yang utama terdiri dari
porsi orbita dan palpebra.1,7
Sistim ekskresi dari air mata dimulai dari puntum lakrimalis superior dan
inferior, ampula, kanalikulus, kanalikulus komunis, sakkus lakrimalis, duktus
nasolakrimalis dibagian akhir terdapat katup Hasner dan berakhir dimeatus nasi
inferior. Persyarafan juga berasal dari syaraf trigeminus dan simpatetik yang
berasal dari simpatetik orbita.
Fungsi dari pengeluaan air mata ini, antara lain:7
1. Sebagai optik yang mempertahankan permukaan kornea.
2. Menghapus benda asing dari permukaan kornea.
3. Sumber oksigen terhadap epitel kornea dan konjuntiva.
4. Pelicin antara kelopak mata dan permukaan mata.
5. Jalur untuk sel–sel lekosit menuju kebagian sentral kornea avaskuler bila
terjadi trauma kornea.
6. Sebagai anti bakterial.
7. Media untuk membuang debris dan sel yang mengalami deskuamasi.
Air mata (tear film) yang diekskresikan kemudian berjalan menutupi
permukaan bola mata dan kelopak mata kemudian masuk ke pungtum lakrimal
terus ke kanalikuli, sakus lakrimal, duktus naso lakrimal terus kehidung.
Kebanyakan tear film dieliminasi secara langsung melalui evaporasi dan
diabsorbsi disakus lakrimal. Pengaliran dari air mata merupakan proses yang aktif
dengan mekanisme yang beragam adanya keaktifan pompa palpebra-kanalikuler.
Sewaktu kelopak mata membuka sebelum mata mulai berkedip maka
kanalikuli siap untuk diisi air mata. Kelopak mata atas turun sebagai awal
berkedip dan bagian medial kelopak mata sekitar puntum akan naik, puntum
bagian atas dan bawah akan berkontak lebih kuat dan hanya setengah jalan yang
tertutup. Sewaktu puntum tertutup sewaktu berkedip akan menekan kanalikuli dan
sakkus lakrimal air mata terdorong melalui duktus nasolakrimalis dan melalui
hidung, volume air mata akan minimum sewaktu berkedip.
Teori Pompa lakrimal yang dikembangkan oleh Jones menyatakan
sewaktu kelopak mata menutup fisura kelopak mata berpindah kenasal dan air
mata pindah ke daerah puntum, antara kelopak mata, konjuntiva dan karunkulae
daerah lakrimal. Sewaktu relaksasi kelopak pada saat mata terbuka kanalikuli dan
ampula ditekan oleh otot pretarsal superfisial dan pretarsal dalam, yang sangat
elastis dan akan menghasilkan tekanan negatif di dalam ampula- kanalikuler
sistim menyebabkan air mata terhisap kedalam puntum, kemudian sewaktu
kelopak mata menutup lagi, air mata yang sebelumnya di ampula–sistim
kanalikuli selanjutnya apabila kelopak mata terbuka air mata ditekan ke sakus
lakrimal.7
BAB III
OBSTRUKSI DUKTUS NASOLAKRIMAL
III.1 Definisi
Obstruksi duktus nasolakrimal adalah sumbatan pada saluran yang
menghubungkan dari salah satu sakus lakrimal ke bagian anterior meatus inferior
dari hidung, tempat mengalirnya air mata ke hidung.9
Sesuai dengan fungsi ductus nasolakrimal sebagai tempat mengalirnya air
mata dari sakus lakrimal ke nasal cavity, obstruksi pada ductus nasolakrimal
menyebabkan air mata yang mengalir berlebihan secara abnormal pada pipi
(epifora).
III.2 Etiologi dan Klasifikasi
Obstruksi duktus nasolakrimal terbagi menjadi dua berdasarkan usia terjadinya,
yakni:6
1. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
Sistem nasolakrimal berkembang sebagai tabung yang solid yang
kemudian mengalami kanalisasi dan paten tepat sebelum cukup bulan. Obstruksi
duktus nasolakrimal kongenital (CLDO) adalah gangguan patensi duktus
nasolakrimal yang didapatkan semenjak dari lahir. Ujung distal duktus
nasolakrimal bisa tetap imperforata sehingga menyebabkan mata berair. Sekitar
6% bayi mengalami pengeluaran air mata walau saat tidak menangis.
Penyebab tersering (50%) dari obtruksi duktus nasolakrimal kongenital
adalah kegagalan dari membran di ujung duktus nasolakrimal (katup Hasner)
untuk membuka pada atau mendekati kelahiran.5
Penyebab lainnya adalah tidak ada punctum pada kelopak mata atas dan
bawah, stenosis, infeksi, dan tulang hidung yang mengobstruksi saluran air mata
saat memasuki hidung.3
Obstruksi kanalikuli menyebabkan sebagian kumpulan air mata dalam
sakus lakrimal dapat terinfeksi dan menimbulkan mukocelle atau mengakibatkan
drakiosistitis. Kebanyakan obstruksi menghilang pada tahun pertama kehidupan
namun jika epifora masih terjadi setelah tahun pertama kehidupan dapat dilakukan
patensi dengan melewatkan suatu probe melalui pungtum ke duktus lakrimalis
untuk melubangi membran yang tertutup (probing).10
2. Obstruksi duktus nasolakrimal didapat
Obstruksi duktus nasolakrimalis didapat terbagi menjadi dua, yakni primer
dan sekunder. Obstruksi duktus nasolakrimalis primer adalah keadaan obstruksi
duktus yang disebabkan inflamsi atau fibrosis tanpa faktor yang mendasarinya.
Penyebab obstruksi duktus nasolakrinalis antara lain :6
1. Infeksi, dapat disebabkan bakteri, virus, parasit, dan jamur.
a. Bacteria : Actinomyces, Propionibacterium, Fusobacterium,
Bacteroides, Mycobacterium, Chlamydia species, Nocardia,
Enterobacter, Aeromonas, Treponema pallidum, dan
Staphylococcus aureus.
b. Virus : herpes simplex, herpes zoster, chickenpox, epidemic
keratoconjunctivitis
c. Jamur : Aspergillus, Candida, Pityrosporum, and Trichophyton.
d. Parasit : Ascaris lumbricoides.
2. Inflamasi baik yang bersifat endogen maupun eksogen.
a. Endogen: Wegener granulomatosis, sarcoidosis, cicatricial
pemphigoid, sinus histiocytosis, Kawasaki disease,
danscleroderma.
b. Eksogen : obat tetes mata, radiasi, kemoterapi sistemik, transplantasi
sum-sum tulang.
3. Neoplasia, baik yang bersifat primer, sekunder, atau metastatic.
a. Neoplasma primer, misalnya tumor pada puncta, canaliculi,
lacrimal sac, atau nasolacrimal duct.
b. Neoplasma sekunder atau tumor akibat penyebaran tumor di sekitar
strktur anatomi, misalnya kanker kelopak mata contohnya basal
cell carcinoma, squamous cell carcinoma.
c. Penyebaran metastatik jarang terjadi namun pernah dilaporkan
misalnya kanker payudara atau prostat.
4. Traumatik
a. Iatrogenic : scar yang timbul akibat pembedahan misalnya pada
probing saluran lakrimal, dekompresi orbita, paranasal, nasal,
craniofacial.
b. Non-iatrogenik.
5. Mekanik.
a. Benda asing intraluminal merupakan penyumbatan akibat benda
asing di dalam saluran air mata seperti dacryolith,
b. Kompresi dari luar adanya benda saing diluar menghambat
pengeluaran air mata dari salurannya misalnya rhinolith, benda
asing di hidung, mucocelle.
IIII.3 Epidemiologi
Prevalensi terjadinya obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital di
amerika serikat adalah sebesar 2-4% dari seluruh kelahiran dan sepertiganya
mengalami obstruksi duktus nasolakrimal bilateral. Sebanyak 35% pasien
obstruksi duktus nasolakrimal, mengalami obstruksi pada katup Hasner pada
ujung duktus nasolakrimal, 15% punctal agenesis, 10% kongenital fistul, 5%
defek craniofacial. Kebanyakan duktus terbuka pada minggu ke 4-6 kelahiran.
Munculnya manifestasi klinis pada usia minggu sampai beberapa bulan.4,5
III.4 Patofisiologi
Obstuksi duktus nasolakrimalis primer lebih tinggi pada wanita dan pada
usia lanjut. Hal ini disebabkan anatomi fossa lakrimal bagian bawah dan duktus
nasolakrimal bagian tengah. Terdapat perubahan dimensi anteroposterior pada
tulang canal nasolakrimal pada pasien osteoporosis. Hal lain yang mempengaruhi
terjadinya obstruksi adalah fluktuasi hormon, menstruasi, dan sistem imun.
Perubahan hormon menyebabkan perubahan secara general re-epitelisasi di tubuh
termasuk di sakus dan duktus nasolakrimal.6
Obstruksi duktus nasolakrimal sekunder, disebabkan karena infeksi,
inflamasi, mekanikal, tumot, trauma. Bakteri seperti Actinomyces,
Propionibacterium, Fusobacterium, Bacteriodes, Mycobacterium, Chlamydia.
Pada infeksi virus, obstruksi disebabkan kerusakan substansia propia dari jaringan
elastis kanalikuler dan atau perlekatan baris membran epitel kanalikuli. Jamur
juga dapat menimbulkan sumbatan melalui sumbatan batu, atau dacryolith. Parasit
jarang menimbulkan obstruksi namun pernah dilaporkan Ascaris lumbricoides
memasuki sistem lakrimal melalui katup Hasner.6
Inflamasi endogen yang menyebabkan obstruksi seperti granulomatosis,
sarcoidosis, pemphigoid, Kawasaki. Inflamasi eksogen yang menimbulkan
obstruksi antara lain obat tetes mata, radiasi, kemotherapy sistemik.6
III.5 Manifestasi Klinis
Beberapa hal yang menjadi manifetasi klinis obstruksi duktus nasolakrimal antara
lain:6
1. Epifora.
2. Iritasi.
3. Pandangan kabur yang disebabkan penambahan meniskus air mata.
4. Dacryosistitis, konjungtivitis, pemphigus okular yang bersifat rekuren.
5. Sisi medial kantus yang nyeri dan bengkak.
III.6 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis obstruksi duktus nasolakrimal dimulai dari
anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala dan
tanda berupa epifora; mukoid atau purulen discharge; gejala infeksi ulangan
berupa dracyosistitis, konjungtivitis, pemphigus; nyeri dan bengkak pada medial
kantus. Pada anamnesis digali riwayat penyakit mata terdahulu seperti
pembedahan mata (dacryosistorhinotomi), operasi kelopak mata, penggunaan obat
galukoma atau tetes mata lainnya. Selain riwayat penyakit mata, pda anamnesis
dapat diperoleh riwayat penyakit sistemik sebelumnya seperti, limpoma, wegener
granulomatosis, sarcoidosis, ocular cicatricial pemphigoid, kawasaki disease,
scleroderma, sinus histiocytosis, riwayat pengobatan dengan radiasi ke kantus
medial dengan kemoterapi sistemik dengan 5-FU, infeksi parasit, trauma facial,
pembedahan nasal atau sinus sebelumnya. 6
Pada obstruksi duktus nasolakrimal terjadi epifora. Hal-hal yang dapat
membedakan epifora dan lakrimasi antara lain:11
Sifat pengeluaran air mata (konstan atau intermiten).
Periode remisi atau lack of.
Kondisi unilateral atau bilateral.
Rasa subjektif tidak nyaman di sekitar mata.
Riwayat alergi
Penggunaan obat topikal
Riwayat probing
Penyakit infeksi sebelumnya
Riwayat penyakit sinus, pembedahan sebelumnya, trauma midfacial,
fraktur nasal.
Episode infeksi sakus lakrimal sebelumnya
Air mata yang jernih atau bercampur darah atau mukopurulen.
Terdapat beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan untuk
membedakan epifora dan lakrimasi. Pada lakrimasi dapat dilakukan uji:
Pemeriksaan Tear meniskus, cara pemeriksaan produksi air mata normal
menghasilkan meniskus air mata, penuh dan sedikit konkaf, kira–kira 0,5
mm- 1,0 mm. Pada defesiensi air mata meniskus akan berkurang atau tidak
ada dan mungkin mengandung mukus atau debris.
Tear Film Breakup Time (TBUT), Pasien didudukkan didepan slit lamp,
kemudian diberi zat fluoresen kedalam sakus konjuntiva, pasien menutup
mata dengan tujuan agar fluoresen menyebar kepermukaan kornea. Dengan
memakai sinar filter cobalt warna biru dilihat gambaran bintik kering (dry
spot) pada kornea yaitu daerah bebas fluoresen berwarna hitam. Normal
waktu 15 detik–30 detik, bila kurang 10 detik berarti defisiensi musin.
Pemeriksaan ini digunakan pada pemeriksaan defisiensi musin.
Uji Schirmer, untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi air
mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm–30 mm dan
salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas . Kertas lakmus
merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan warna. Perbedaan kertas
lakmus dengan kertas filter hanya sedikit. Rata–rata hasil bila memakai
Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm–27 mm) sedangkan lakmus merah 10 mm
(0 mm–27 mm).
Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk
diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan
1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–
lahan tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat
keatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah,
diukur mulai dari lekukan. Nilai normal adalah 10 mm–25 mm 11.
Untuk membantu penegakan diagnosa obstruksi duktus nasolakrimal dapat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisiknya didapatkan:
- Observasi umum :
o Aliran air mata
o Massa yang menonjol pada sakus lakrimal atau area medial kantus.
o Sekret bola mata yang mukoid atau purulen (sering tidak terjadi regurgitasi
karena fungsi katup Rossenmuler.
o Tes regurgitasi : keluarnya cairan mukoid setelah penekanan pada lakrimal
menunjukan terdapat obstruksi pada nasolakrimal.
- Pada slit lamp ditemukan:
o Tear meniskus dengan cairan flourensence, positif bila >2mm
o Stenosis puntal.
o Kanalikulitis
- DDT (Dye Disappearance Test).11
Tujuan nya untuk menilai terdapat atau tidak keadekuatan aliran air mata,
terutama yang bersifat unilateral. DDT sulit dilakukan pada anak-anak karena
diperlukan sedasi dalam melakukan irigasi lakrimal.
DDT menggunakan tetesan cairan steril flourescein 2% atau strip
flourescein. Pemeriksa memasukan flourescen ke forniks konjungtiva tiap mata
dan mengobservasi lapisan air mata dengan sinar kobalt biru. Peristennya
perwarnaan terutama terutama yang asimetris pada lapisan air mata bila meniskus
air mata tetap pada > 5 menit mengindikasikan adanya obstruksi.
Bila hasil DDT normal kemungkinan kecil adanya obstruksi aliran air
mata. Namun, penyebab obstruksi yang bersifat intermiten seperi alergi,
dacryolith, obstruksi intranasal tidak dapat disingkirkan.
- Jones Test I dan II.
Gambar 3. Irigasi Sistem Nasolakrimalis
Tes jones I dan II digunakan untuk mengevaluasi epifora. Sama seperti
DDT, tes Jones I atau tes pewarnaan primer, digunakan untuk menilai aliran air
mata pada fungsi fisiologi normal.
Teknik pemeriksaan tes jones I (Dye tes primer) adalah: 11,13
Pasien duduk bersandar sehingga pemeriksa dapat melihat dasar hidung
pasien.
Pada konjungtiva pasien diteteskan 1-2 tetes flouresein.
Lalu dimasukan kapas aplikator yang telah diteteskan pantokain ke dalam
meatus inferior hidung dan ditunggu selama 2-3 menit.
Kemudian kapas dikeluarkan dari rongga hidung.
Bila kapas berwarna hijau maka tes ini positif yang artinya tidak ada
penyumbatan pada duktus nasolakrimal.
Tes Jones II ( Dye test sekunder) dilakukan bila asil tes Jones I negatif.
Caranya hampir sama dengan tes Jones I yaitu: 11,13
Semprit 2 ml yang diisi dengan larutan garam dan dipasang kanula
lakrimal.
Kanula dimasukan ke kanalikulus inferior melalui pungtum dan disuntikan
larutan garam tersebut.
Pasien bersandar ke depan dan rongga hidungnya diamati.
Jika pasien merasa ada larutan garam dalam tenggorokannya atau jika
flouresein keluar dari rongga hidung maka hasil tes positif.
Tes nonfisiologi Jones II membedakan ada atau tidak ada floresen di
cairan irigasi salin yang didapatkan dari hidung. Tes ini dapat membedakan
terdapatnya suatu refluks selama irigasi. Irigasi saluran dari sistem saluran
lakrimal didapatkan cairan salin yang bersih dari bagian dalam hidung. Walau
sebagian klinisi menggunakan tes Jones ini, kebanyakan klinisi meyakini tes ini
suli dilakukan.
Sistem irigasi aliran lakrimal sering dilakukan setelah tes DDT
menunjukan adanya oklusi sistem drainase lakrimal. Setelah diberikan anastesi
topikal, pungtum kelopak mata bawah berdilatasi dan setiap stenosis pungtum
dinilai. Untuk mencegah kinkin kanalikular dan masalah saat irigasi kanula,
klinisi membutuhkan traksi lateral kelopak mata bawah. Observasi dan
interpretasi hasil yang cermat dilakukan untuk menilai area obstruksi. 11,13
Gambar 4. Irigasi Lakrimal (Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology.
2008-2009 )
Hambatan saat mengirigasi kanula mungkin merupakan suatu obstruksi
kanalikular total. Namun, bila irigasi salin dapat dilakukan tapi terdapat refluks
paada sistem kanalikular bagian atas tanpa distensi sakus lakrimalis mungkin
terdapat blokade komplit dari kanalikulus. Refluks cairan mukoid atau floresen
dari satu puntal ke pungtal lainnya dengan disertai distensi sakus lakrimal
didiagnosis sebagai obstruksi duktus nasolakrimal komplit. Bila irigasi salin tanpa
diikuti refluks kanalikular atau cairan mampu melewati duktus nasolakrimal,
namun terdapat inflasi sakus lakrimal disertai rasa tidak nyaman pada pasien
mungkin terjadi obstruksi duktus nasolakrimal komplit dengan fungsi katup
Rosenmuller yang masih baik untuk mencegah refluks. Kombinasi atara adanya
refluks pada kanalikular lainnya disertai keberhasilan irigasi mungkin terdapat
obstruksi yang bersifat parsial. 11
- Diagnostic probing
Diagnostic probing pada sistem nasolakrimal atas (punta, kanalikuli, sakus
lakrimal) digunakan untuk mengokonfirmasi level obstruksi. Pada pasien dewasa
tindakan ini relatif lebih mudah dan dapat dilakukan dengan topikal anastesi.
Suatu probe yang kecil digunakan untuk menilai adanya obstruksi kanalikular.
Bila terdapat suatu obstruksi probe terjepit pada pungtum sebelum ditarik. Hal ini
dapat menilai sejauh mana obstruksinya. Probe yang lebih besar dapat digunakan
untuk menilai adanya obstruksi parsial. Diagnostic probing jarang dilakukan pada
obstruksi duktus nasolakrimal didapat, namun pada obstruksi duktus nasolakrimal
kongenital sering dilakukan dan sangat bermanfaat.11
- Uji Anel
Caranya pasien duduk atau tidur mata diberi tetes anastetik dan ditunggu
sampai rasa pedas hilang lalu pungtum lakrimalis diperlebar dengan dilator. Jarum
anel dimasukan horizontal melalui kanalikuli sampai masuk sakus lakrimal
kemudian dimasukan garam fisiologik ke dalam sakus. Pasien ditanya apakah
terasa ada sesuatu pada tenggorokan dan apakah terlihat reaksi menelan berarti
garam fisiologik masuk tenggorokan. Hal ini menunjukan fungsi ekskresi normal
sebaliknya bila tidak ada refleks menelan dan garam fisiologik keluar melalui
pungtum lakrimal berarti ada sumbatan pada sistem ekskresi lakrimal atau duktus
nasolakrimal tertutup.13
- Uji Floresein
Pemeriksaan ini sederhana dan hanya dapat dilakukan untuk satu sisitem ekskresi
lakrimal pada satu kali pemeriksaan. Caranya dengan meneteskan satu tetes
flouresein pada satu mata. Pasien diminta berkedip nenerapa kali. Pada akhir
menit ke enam, pasien diminta bersin dan menyekanya dengan tisu atau pasien
diminta meludah maka jika sistem eksresi lakrimal baik maka akan terlihat adanya
zat warna yang menempel pada kertas tisu baik dari hidung maupun dari mulut.13
- Nasal endoskopi
Nasal endoskopi digunakan untuk menilai aliran air mata. Keuntungan
nasal endoskopi adalah hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk menilai
anatomi hidung.11
- Contrast dracyosystography dan dracyoscintiagraphy.
Contrast dracyosystography dan dracyoscintiagraphy bertujuan untuk
menilai anatomi dan fungsi sistem lakrimal. Kontras radioopak disuntikan ke satu
atau kedua sistem kanalikular kemudian dilakukan pencitraan pada menit ke-10.
Pencitraan tersebut selain dapat digunakan untuk menilai level obstruksi, dapat
juga digunakan untuk menilai keterlambatan perkembangan sakus lakrimal,
deteksi tumor. Dracyoscintiagraphy digunakan bila hasil tes irigasi sistem
lakrimal berubah-ubah. Kerugiannya tidak menggambarkan anatomi hidung yang
sesungguhnya.11,13
- CT-scan dan MRI
CT-scan dan MRI digunakan pada pasien yang memiliki riwayat trauma
cranio-facial, deformitas tulang wajah kongenital, dan kemungkinan neoplasia. 11
III.7 Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari obstruksi duktus nasolakrimal, antara lain:12
a. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital, misalnya glaukoma kongenital
(akut), pungtal atresia
b. Obstruksi duktus nasolakrimal didapat misalnya:
a. Infeksi dan inflamasi (tanda-tanda nyeri, discharge, bengkak,
nyeri, kemerahan, refluks mukus, riwayat sistitis), misalnya
kanalikulitis, dacryosistitis.
b. Tumor lakrimal sac atau kanalikuli.
c. Bell’s palsy disebabkan kegagalan pompa lakrimal berdasarkan
kelemahan otot orbikularis.
III.8 Tatalaksana
1. Intubasi dan Pemasangan Sten
Intubasi dilakukan bila terdapat obstruksi duktus nasolakrimal parsial dan
hanya dapat dilakukan bila tube mampu melewati duktus.11
2. Dracyocystorhinotomy
Dracyocystorhinotomy (DCR) adalah suatu tindakan bedah yang bertujuan
untuk membuat anastomosom antara sakus lakrimal dan kavitas nasal
melalui ostium tulang. DCR dilakukan bila terdapat infeksi rekuren
dracyosistitis, refluks muokoid kronik, nyeri pada sakus lakrimalis, dan
epifora yang mengganggu.11
Terdapat beberapa macam variasi dari tindakan bedah DRC yakni:
a. Pendekatan eksternal (transkutaneus)
Gambar 5 . Transkutaneus Dracyocystochinotomy (Dikutip dari :
American Academy of Ophthalmology. 2008-2009 )
DRC eksternal menggunakan anastesi infiltrat lokal yang dikombinasi
dengan anastesi dan vasokontriksi pada hidung. Pada DRC eksternal dibuat insisi
10 mm di daerah medial epikantus dimulai dari tendon medial kantus hingga ke
bagian yang lebih inferior. Kemudian dilakukan osteotomi dari fosa lakrimal ke
anterior lacrimal crest. Saluran pada anterior sakus lakrimal dihubungkan dengan
saluran pada anterior mukosa hidung setelah tabung silikon dimasukan. Kemudian
dilakukan penutupan insisi kulit yang telah dibuat.
Keuntungan DRC eksternal adalah tingkat kesuksesan lebih tinggi dari
pada interna DRC yakni sebesar 90% namun pada internal DRC sebesar 70%.
Namun kerugiannya menimbulkan jaringan parut di wajah.11
b. Pendekatan internal (intranasal)
DRC intranasal adalah tindakan operati DRC yang membuang lapisan
mukosa nasal yang berhubungan dengan saluran duktus nasolakrimal. Dilakukan
suatu osteotomy untuk membuang proccesus frontal di maxilla dan tulang
lakrimal yang menutupi sakus lakrimal. Kemudian setelah sakus lakrimal dibuka
dan dinding medial sakus lakrimal dibuang, dilakukan marsupiliasi pada sakus.
Setelah itu dilakukan intubasi bikanalikular.
Keuntungannya adalah tanpa skar yang tampak di wajah, masa
penyembuhan yang relatif singkat, masa pengerjaan yang relatif lebih singkat.
DRC cukup berhasil pada sebagian besar pasien. Namun kegagalan
tindakan pernah dilaporkan. Kegagalan mungkin disebabkan fibrosis, oklusi
tulang, dan obstruksi kanalikular. Hasil DRC dipegaruhi oleh beberapa faktor
misalnya riwayat trauma, riwayat aktif dracyocystitis, infeksi post operasi, dan
reaksi hipersensitifitas terhadap bahan sten.11
III.9 Prognosis
Pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital, janrang terjadi komplikasi
serta kanalisasi spontan pada usia kurang dari 1 tahun sering terjadi (95%).4
Namun, apabila tidak terjadi kanalisasi spontan, dilakukan prosedur tindakan
bedah misalnya dracyocystorhinostomy dan endoskopi laser
dracryocystorhinostomy yang angka kesembuhan bisa mencapai 90%.6
III.10 Komplikasi
Komplikasi obstruksi duktus nasolakrimal antara lain:6,14
Mukokel
Dermatitis (pada kelopak mata)
Selulitis
Granuloma pyogenik
Dracyocystitis
BAB IV
KESIMPULAN
Obstruksi duktus nasolakrimal adalah sumbatan pada saluran yang
menghubungkan dari salah satu sakus lakrimal ke bagian anterior meatus inferior
dari hidung, tempat mengalirnya air mata ke hidung.
Obstruksi duktus nasolakrimal terbagi menjadi dua, yakni obstruksi
duktus nasolakrimal kongenital dan obstruksi duktus nasolakrimal didapat.
Terdapat banyak hal yang dapat menyebabkan obstruksi duktus nasolakrimal pada
pasien dewasa, antara lain infeksi, inflamasi, mekanik, traumatik, neoplasia.
Namun pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital sebanyak 50% disebabkan
karenan kegagalan katup Heissner untuk membuka pada waktu mendekati
kelahiran.
Penegakan diagnosa pasien yang mengalami obstruksi duktus
nasolakrimal dimulai dari anamnesi. Pada pasien yang mengalami obstruksi
duktus nasolakrimal masalah yang sering dikeluhkan antara lain epifora, kotoran
mata yang purulen, atau masalah infeksi yang sering berulang seperti
konjungtivitis atau pemphigus dan nyeri dan bengkak pada medial kantus.
Pemeriksaan fisik pasien yang mengalami obstruksi duktus nasolakrimal
akan ditemukan adanya aliran air mata yang lebih banyak, massa yang menonjol
pada sakus lakrimal atau area medial kantus, atau sekret bola mata yang mukoid
atau purulen. Pemeriksaan fisik yang dapat membantu penegakan diagnosis antara
lain melalui tes regurgitasi. Pada tes regurgitasi, akan keluar cairan mukoid
setelah penekanan pada lakrimal.
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan diagnosa
obstruksi duktus nasolakrimal antara lain: DDT (Dye Disappearance Test), tes
Jones I dan II, diagnostic probing, endoskopi hidung, contrast dracyosystograph,
dracyoscintiagraphy, CT-scan, dan MRI.
Penatalaksanaan pasien yang mengalami obstruksi pada duktus
nasolakrimal antara lain melalui intubasi dan pemasangan sten pada pasien yang
mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimal parsial dan tindakan bedah
dracyocystorhinotomy (DCR). Dracyocystorhinotomy adalah suatu prosedur
untuk membuat saluran yang membuat anastomosom antara sakus lakrimal dan
kavitas nasal melalui ostium tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fransisika D.K., 2010. Anatomi Indra Penglihatan. (Dikutip dari : http://fransiscakumala.wordpress.com/2010/02/08/anatomi-mata/ , 11 Juli 2010)
2. John Hopkins. 2008. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari : http://www.hopkinsmedicine.org/sinus/sinus_conditions/nasolacrimal_duct_obstruction.html , 11 Juli 2010)
3. Scott Olivia. 2010. Congenital Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari : http://www.patient.co.uk/doctor/Congenital-Nasolacrimal-Duct-Obstruction-(CNLDO).htm , 11 Juli 2010)
4. Basahour Mounir. 2009. Nasolacrimal Duct. Congenital Anomalies. (Dikutip dari : http://emedicine.medscape.com/article/1210252-overview , 11 Juli 2010)
5. Anonim. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari : http://www.aapos.org/faq_list/congenital_nasolacrimal_duct_obstruction , 11 Juli 2010)
6. Camara. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari : http://emedicine.medscape.com/article/1210141-overview , 11 Juli 2010)
7. Sadri Irsad, 2003. Uji Schimmer I sebelum dan sesudah 2 jam menggunakan komputer . Dikutip dari :
8. 4. Vaughan DG, Asbury T. Lensa. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Alih
Bahasa Tambajong J, Pendit UB. Widya Medika. Jakarta, 2000 :
175,183-4.
9. Dorland. W.A. Kamus Kedokteran, Edisi 29, Alih Bahasa Setiawan. A.,
Bani. A. P., dkk.EGC. Jakarta, 2005
10. James Bruce, dkk. Lecture Note Oftalmologi. Edisi 9, Alih Bahasa
Rachmawati A.D., Erlangga. Jakarta, 2005 : 58-59
11. American Academy of Ophthalmology. 2008-2009.
12. Anonim. 2009. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip Dari :
http://www.med-support.org.uk/IntegratedCRD.nsf/Nasolacrimal
%20duct%20obstruction%20FINAL.pdf , 11 Juli 2010)
13. Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang. 2006. Buku Panduan Ketrampilan Diagnostik
Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK- Universitas Sriwijaya.
14. Zwaan Johan. 1997. Treatment of Congenital Nasolacrimal Duct
Obstruction Before and After the Age of 1 Year. (Dikutip Dari :
http://ipac.kacst.edu.sa/eDoc/2005/146142_1.pdf 11 Juli 2010)