DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

75
JANUARI 2019 Pernyataan Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab tim penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN KONSERVASI

Transcript of DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

Page 1: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

JANUARI 2019

Pernyataan

Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan

Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab tim penulis dan

tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat

DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK

TENURIAL DI KAWASAN KONSERVASI

Page 2: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

ii

DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL

DI KAWASAN KONSERVASI

Tim Penulis:

1. Ronggo Bayu Widodo (Direktorat KK – KSDAE)

2. Hayu Wibawa (USAID – BIJAK)

3. Wahyu Faturrahman Riva (Praktisi Sertifikasi)

4. Budi Susetyo (Direktorat PIKA – KSDAE)

Kontributor penilaian lapangan:

1. Suwito (Kemitraan)

2. Yudi Iskandarsyah (STTA)

3. Gunawan (Direktorat KK – KSDAE)

4. Suswaji (Direktorat KK – KSDAE)

5. Adrea Faradika (Spesialis GIS Direktorat KK – KSDAE)

6. Andhika Cahya Arianto (Direktorat KK – KSDAE)

Disusun Bersama oleh:

Direktorat Kawasan Konservasi

Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Dan USAID – BIJAK

2019

Foto Sampul: Kanal di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (USAID BIJAK)

Rumusan ini masih bersifat draft dan memerlukan pembahasan lebih lanjut Bersama dengan

GugusTugas Multipihak KSDAE, kelompok keahlian resolusi konflik dan analisis spasial, serta

pencermatan dari Bagian Hukum dan Kerjasama Teknis Setditjen KSDAE.

Page 3: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

iii

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................................................................................... 1

1.2. Tujuan .................................................................................................................................................................. 1

1.3. Ruang Lingkup .................................................................................................................................................... 1

1.4. Rujukan Peraturan ............................................................................................................................................ 1

BAB II. METODOLOGI PENENTUAN TIPOLOGI .................................................................................................... 4

2.1. Metode Pengambilan Data .............................................................................................................................. 4

BAB III. PENILAIAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL ............................................................................................ 5

3.1. Pemetaan Sosial (Social Mapping) ................................................................................................................. 5

3.2. Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping) .................................................................... 6

3.3. Tipologi Konflik Tenurial ................................................................................................................................ 8

BAB IV. POLA PENANGANAN KONFLIK TENURIAL .......................................................................................... 13

4.1. Konsep Penanganan Konflik Tenurial berdasarkan Prinsip Plan, Do, Check dan Act (PDCA) .. 13

4.2. Konsep Penyelesaian Konflik Tenurial Secara Bertahap ....................................................................... 14

4.3. Alur proses penaganan konflik tenurial pada Kawasan konservasi .................................................... 16

BAB V. MATRIKS RUMUSAN REKOMENDASI PENANGANAN KONFLIK TENURIAL ............................ 17

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................................................................................... 22

Lampiran 1. Laporan Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Gunung Leuser .................................................. 23

Lampiran 2. Laporan Hasil Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Rawa Aopa ............................................... 33

Lampiran 3. Rumusan Hasil Survei Lapangan di TN Bogani Nani Wartabone ............................................... 45

Lampiran 4. Laporan Hasil Kunjungan Lapangan di SM Dangku ......................................................................... 53

Lampiran 5. Laporan Hasil Pelaksanaan Kegiatan Survei Lapangan (Groundcheck) di Taman Nasional

Sebangau ........................................................................................................................................................................... 58

Page 4: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan konservasi di Indonesia seluas 27,14 juta hektar yang terbagi dalam 552 unit kawasan saat

ini telah terjadi indikasi kerusakan yang cukup luas. Kerusakan tersebut terindikasi disebabkan oleh

kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengelolaan, penguasaan dan penggunaan hutan

konservasi tanpa persetujuan yang sah dari pihak berwenang seperti: penebangan liar, perburuan

liar, perambahan kawasan, klaim lahan, klaim batas kawasan, pertambangan dalam kawasan, serta

berbagai tindakan pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan ilegal lainnya.

Berbagai perselisihan dan pertentangan penguasaan, penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan

lahan di dalam kawasan hutan tersebut merupakan bentuk konflik tenurial yang harus segera

diselesaikan. Upaya penyelesaian konflik tenurial yang diharapkan dapat melindungi dan

mempertahankan fungsi kawasan hutan konservasi dengan tetap memberikan perlindungan hukum

atas hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan sesuai dengan koridor peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan

tentunya tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan kondisi kawasan hutan konservasi serta

perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang tinggal maupun beraktivitas di dalam

kawasan hutan konservasi.

Konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi memiliki beberapa bentuk dan tipe dengan skala

dan intensitas yang berbeda-beda. Upaya penyelesaian konflik tenurial harus disesuaikan dengan

bentuk, tipe, skala dan intesitasnya, serta menampung dinamika aspirasi dan peran serta

masyarakat sehingga hak asasi manusianya tetap terjamin dengan tetap mengedepankan aspek

perlindungan fungsi kawasan konservasi. Pendekatan dalam penyelesaian konflik tenurial di

kawasan konservasi salah satunya dilakukan dengan menyajikan gambaran secara jelas masyarakat

dan aktivitasnya di dalam kawasan konservasi dan mengelompokkannya ke dalam tipologi-tipologi

konflik sehingga upaya pendekatan penyelesaiannya dapat disesuaikan dengan tipologinya masing-

masing.

1.2. Tujuan

Tujuan dari perumusan tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi ini adalah mengelompokkan

atau mengklasifikasikan konflik-konflik yang terjadi menjadi beberapa tipe dan jenis konflik tenurial

berdasarkan aktor/pelaku, lokasi, waktu, luas lahan, tipe pengelolaan/penggunaan/penguasaan lahan

dan zona/blok pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan klasifikasi konflik yang telah

dikelompokkan, akan dirumuskan arahan penanganan berdasarkan peraturan yang berlaku.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup perumusan tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi berdasarkan asesmen

lapangan yang dilaksanakan pada lima lokasi prioritas, yaitu:

1. Konflik tenurial di Desa Tapadaka Utara (Resort Dumoga Utara) dan Desa Toraut, (Resort

Dumoga Barat) Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

2. Konflik tenurial di Desa Tombekuku (Resort Basala) dan Desa Hukaia Laya (Resort Lakoala

dan Resort Palea) Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

3. Konflik tenurial di Desa Pangkalan Tungkal (Resort Dangku) Suaka Margasatwa Dangku.

4. Konflik tenurial di Desa Barak Induk Taman Nasional Leuser

5. Konflik ternusial di Desa Habaring Hurung, Desa Maran, Taman Nasional Sebangau

1.4. Rujukan Peraturan

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

Page 5: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

2

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4412);

3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5432);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta

Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56),

Tambahan Lembaran Negara Nomor 5217) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 330, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5798);

8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian

Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan;

9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pemulihan Ekosistem Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Evaluasi Kesesuaian Fungsi Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam;

11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama

Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:

P.44/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka

Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.18/Menlhk-II/2015 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan;

13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2015

tentang Hutan Hak;

14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015

tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional, Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam;

15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.84/Menlhk-Setjen/2015

tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan;

16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.7/Menlhk/Setjen/OT:0/1/2016

tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.

17. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.8/Menlhk/Setjen/OT:0/1/2016

tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.

Page 6: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

3

18. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:

P.35/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan pada

Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam;

19. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor:

P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial;

20. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:

P.43/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

21. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Selaku Tim Percepatan Penyelesaian

Penguasaan Tanah dalam Hutan Hutan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan;

22. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor: P.

4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016 tentang Pedoman Mediasi Penanganan Konflik Tenurial Kawasan

Hutan;

23. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor: P.

6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016 tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan;

24. Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: P.

6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

Page 7: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

4

BAB II. METODOLOGI PENENTUAN TIPOLOGI

2.1. Metode Pengambilan Data

2.1.1. Pengambilan Data Sekunder

a. Data spasial

Data sekunder spasial yang dikumpulkan antara lain : peta administrasi (desa, kecamatan,

kabupaten, provinsi), peta zonasi/blok pengelolaan kawasan konservasi, peta wilayah

kerja, peta identifikasi perambahan, citra satelit multi temporal, peta batas kawasan

konservasi, serta data spasial lainnya yang dianggap penting.

b. Data statistik

Data sekunder statistik berupa monografi, data kependudukan, sosial, ekonomi, budaya

(BPS), data statistik dari KLHK dan Bappenas, serta data pendukung lainnya yang

dianggap penting.

c. Laporan-laporan yang relevan

Data sekunder berupa laporan-laporan pelaksanaan kegiatan, rencana pengelolaan

kawasan, laporan RBM, SMART Patrol, rencana pemulihan ekosistem serta laporan

lainnya yang dapat digunakan dalam perumusan tipologi konflik tenurial.

2.1.2. Pengambilan Data Primer

a. Wawancara

Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara in depth interview baik secara

personal/individu maupun kelompok kecil yang dianggap mampu mewakili kelompok

masyarakat di lokasi konflik tenurial serta wawancara dengan pihak pengelola kawasan

konservasi serta stakeholder lain yang secara tidak langsung terkait.

b. Focused Group Discussion (FGD)

Data primer juga dikumpulkan melalui Focused Group Discussion (FGD) yang

melibatkan masyarakat selaku aktor/pelaku, pengelola kawasan, aparat pemerintah desa

dan stakeholder lainnya. FGD ini juga diharapkan tidak hanya mampu merangkum data

dan informasi gambaran masyarakat dan konflik juga menampung dinamika aspirasi dan

peran serta masyarakat.

c. Pengamatan lapangan (ground check)

Pengamatan lapangan dilakukan terutama pada lokasi-lokasi konflik baik lokasi

aktor/pelaku, aktivitas maupun lokasi penggunaan, penguasaan, pengelolaan, dan

pemanfaatan lahan oleh masyarakat serta untuk keperluan verifikasi / validasi data

sekunder yang ada.

Page 8: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

5

BAB III. PENILAIAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL

Dalam penilaian tipologi konflik, dilakukan pengumpulan informasi yang lengkap untuk memastikan

penanganan dalam setiap konflik yang terjadi, bisa ditentukan dengan tepat. Beberapa tahap awal

dalam pengumpulan data konflik, diantaranya sebagai berikut:

3.1. Pemetaan Sosial (Social Mapping)

Pemetaan sosial (social mapping) dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang sistematik dari

masyarakat melaluipengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat, meliputi karakteristik,

profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Pemetaan sosial sangat dipengaruhi

oleh ketersediaan data dan kemampuan pencari data serta kedalaman analisisnya. Keluaran

(output) yang diharapkan dari pemetaan sosial berupa identifikasi kondisi masyarakat dan peta

wilayah atau peta tematik berkaitan dengan kondisi masyarakat dan beragam permasalahan yang

terjadi pada masyarakat.

Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person-in-environment) merupakan

faktor penting dalam melakukan pemetaan sosial. Data dan informasi terkait dengan siapa pelaku

utama, masalah apa saja yang dihadapi, serta sumber-sumber apa yang tersedia untuk menangani

masalah tersebut. Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan

suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini. Tanpa data dan informasi ini,

akan mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi masyarakat

yang terlibat dalam konflik tenurial.

Kondisi masyarakat yang selalu berubah dan dinamis, memerlukan pemahaman mengenai kerangka

konseptualisasi masyarakat yang dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen

masyarakat antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Misalnya, beberapa masyarakat memiliki

atau menguasai suatu areal (luas-sempit), komposisi etnik (heterogen-homogen) dan status sosial-

ekonomi (kaya-miskin atau maju-tertinggal) yang berbeda satu sama lain.

Langkah awal untuk melakukan penilaian tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi adalah

dengan melakukan pemetaan sosial (social mapping) melalui pendekatan 3 komponen penilaian,

yaitu:

1. Skala konflik. Skala konflik mengacu pada ukuran yang terjadi dalam suatu konflik. Skala

konflik ini diantaranya adalah luas areal konflik, sejarah atau waktu/lamanya konflik

berlangsung, pelaku/aktor, motif dan sebagainya.

2. Intensitas konflik. Intensitas konflik berkaitan dengan jenis kegiatan, jenis produk, perkiraan

hasil produksi, penghasilan/pendapatan, tipe pengelolaan (subsisten atau komersial), serta

tingkat ketergantungan terhadap hutan dan sebagainya.

3. Risiko atau dampak konflik. Risiko atau dampak dari konflik meliputi dampak terhadap

aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya.

Besarnya skala dan intensitas yang terjadi pada suatu konflik tenurial akan memberikan dampak

yang berbeda untuk setiap tipe konflik tenurial tersebut. Untuk setiap penilaian skala dan intensitas

yang akan menghasilkan berbagai dampak, maka strategi penyelesaian konflik tenurial akan berbeda

sesuai dengan penilaian sala intensitas. Untuk skala konflik yang rendah dengan intensitas yang

rendah, kemungkinan akan menghasilkan dampak yang rendah terhadap kondisi lingkungan dan

sosial. Sementara itu, untuk penilaian skala konflik yang tinggi pada intensitas yang tinggi, maka

kemungkinan akan memberikan dampak yang besar terhadap kondisi lingkungan dan sosial

(Gambar 01).

Page 9: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

6

Gambar 01. Hubungan antara Skala, Intensitas dan Dampak pada Konflik Tenurial.

3.2. Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping)

Identifikasi pemangku kepentingan dilakukan untuk mengatahu peran dan pengaruh pihak tertentu

terhadap konflik tenurial yang terjadi pada kawasan konservasi. Penekanan signifikan pada peran

dan pengaruh pemangku kepentingan, didefinisikan sebagai pihak-pihak yang memiliki peran (mulai

dari nilai kecil sampai besar) dan pengaruh (mulai dari lemah sampai kuat) terhadap setiap

permasalahan konflik tenurial, baik pada tingkat internasional, nasional, regional (provinsi) maupun

lokal (mulai dari kabupaten/kota, kecamatan, desa, dusun atau RT dan RW). Semakin detail

mengidentifikasi pemangku kepentingan ini, baik pada tingkatan, peran maupun pengaruh, maka

akan semakin memudahkan pengambil kebijakan dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu

proses penyelesaian dari suatu konflik tenurial (Gambar 02).

Gambar 02. Konsep Analisis Pemangku Kepentingan pada Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.

Analisis pemangku kepentingan menjadi kebutuhan data dasar untuk merumuskan kebijakan dalam

penyelesaian konflik tenurial dan diperlukan sebagai langkah awal untuk mengetahui perkembangan

dari konflik tenurial dari aspek internal maupun eksternal yang terlibat – baik langsung maupun

tidak langsung – terhadap konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi. Hal ini untuk melihat

PERAN

PENGARUH

KUAT

BESAR

LEMAH

KECIL

SK

AL

A

INTENSITAS

DAMPAK 1

STRATEGI PENYELESAIAN?

DAMPAK 2

STRATEGI PENYELESAIAN?

DAMPAK 4

STRATEGI PENYELESAIAN?

DAMPAK 3

STRATEGI PENYELESAIAN?

Page 10: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

7

pihak mana saja yang terlibat dan pihak mana saja yang berpotensi terkena dampak dari adanya

konflik tenurial ini.

Sejumlah pertanyaan kunci akan dikembangkan sebagai pedoman awal diskusi dengan berbagai

pemangku kepentingan seperti lembaga inernasional, pemerintah pusat, pemerintahan daerah,

asosiasi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat pengelola hutan,

lembaga donor, dan lembaga-lembaga yang relevan lainnya. Pertanyaan kunci ini bertujuan untuk

dapat menggali informasi mengenai kondisi, cakupan, manfaat, persepsi, jaringan, serta tantangan

terkait berbagai konflik tenurial di kawasan konservasi. Analisis kepentingan ini sebaiknya juga

mengidentifikasi serta menganalisis situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya, baik pada tingkat

internasional, nasional maupun lokal. Tabel identifikasi pemangku kepentingan yang terkait dengan

konflik tenurial di kawasan konservasi disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 01. Identifikasi Pemangku Kepentingan yang terkait dengan Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.

No Pemangku Kepentingan Peran Pengaruh

I Tingkat Internasional

1.1.

1.2.

II Tingkat Nasional

2.1.

2.2

III Tingkat Provinsi

3.1.

3.2

IV Tingkat Kabupaten/Kota

4.1

4.2

V Tingkat Kecamatan

5.1

5.2

VI Tingkat Desa

6.1

6.2

VII Tingkat Dusun/RW/RT

7.1

7.2

Didalam analisis pemangku kepentingan juga akan dilakukan analisis yang menguraikan pemangku

kepentingan utama yang mungkin terpengaruh, baik secara positif maupun negatif, secara langsung

atau tidak langsung, berkaitan dengan konflik tenurial di kawaan konservasi. Untuk setiap kelompok

pemangku kepentingan yang diidentifikasikan, akan dilakukan analisis tentang:

1. Bagaimana konflik tenurial dapat mempengaruhi secara positif atau negatif terhadap aspek

lingkungan dan sosial?

2. Merekomendasikan cara untuk meningkatkan manfaat positif, atau mengurangi dampak negatif;

3. Merekomendasikan langkah-langkah untuk mendorong partisipasi pemangku kepentingan dalam

rangka menyelesaikan konflik tenurial.

4. Mengidentifikasi potensi dampak dari terjadinya konflik tenurial, konflik sosial dan aspek lain

yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi.

Tabel 02. Hasil Analisis Pemangku Kepentingan pada Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.

Pengaruh Kuat Pengaruh Lemah

Peran Besar Pemangku Kepentingan? Pemangku Kepentingan?

Page 11: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

8

Peran Kecil Pemangku Kepentingan? Pemangku Kepentingan?

Hasil analisis identifikasi pemangku kepentingan ini diharapkan dapat diintegrasikan dengan hasil

pemetaan sosial dan hasil analisis spasial penggunaan lahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hal

ini untuk menyusun rumusan penyelesaian konflik tenurial secara komprehensif, baik pada aspek

permasalahan sosial, pemangku kepentingan serta kondisi lapangan berdasarkan analisis spasial

penggunaan lahan. Hal ini dimaksudkan agar semua pihak dapat berkontribusi dan mampu

memberikan solusi sertaterlibat aktif dalam dalam penyelesaian konflik tenurial.

Monitoring dan evaluasi juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa proses penyelesaian konflik

dapat berjalan sesuai dengan rencana dan target waktu penyelesaiannya. Sebagai organisasi pemangku

kawasan hutan memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap kawasan yang

diembannya. Salah satu sistem pengawasan adalah dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi

yang merupakan serangkaian kegiatan yang tidak berdiri sendiri. Monitoring merupakan kegiatan

yang berkaitan dengan pengumpulan data mulai dari kondisi awal suatu kegiatan hingga kegiatan

tersebut selesai dilaksanakan. Monitoring adalah kegiatan pemantauan terencana terhadap kinerja,

proses atau kemajuan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkala untuk keperluan evaluasi,

pengawasan, pencarian umpan balik, kontrol dan lain sebagainya. Sedangkan evaluasi adalah

membandingkan kinerja, unjuk kerja, kemajuan suatu kegiatan/proses dengan standar capaian

tertentu. Hasil dari monitoring dan evaluasi ini menjadi bagian dari feedback atau umpan balik yang

bermanfaat untuk diintegrasikan kedalam rencana penyelesaian konflik pada tahun berikutnya

(Gambar 03).

Gambar 03. Integrasi dan Interaksi Pemangku Kepentingan dalam Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.

3.3. Tipologi Konflik Tenurial

Suatu konflik terjadi karena terdapat perbedaan cara pandang antara beberapa pihak terhadap

obyek yang sama, dan antara beberapa individu atau kelompok tersebut merasa memiliki tujuan

yang berbeda. Konflik menyangkut hubungan sosial antarmanusia baik secara individual maupun

kolektif. Semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme, ketegangan, atau perasaan

negatif. Hal ini merupakan akibat dari keinginan individu atau kelompok untuk meningkatkan

Identifikasi Pemangku

Kepentingan

Peran dan Pengaruh

Pemangku Kepentingan

Analisis Peran dan Pengaruh

Pemangku Kepentingan

Umpan Balik

Integrasi dengan

Pemetaan Sosial

Integrasi dengan

Analisis Spasial

Intervensi

Kebijakan

Rekomendasi

Penyelesaian

Konflik Tenurial

Monitoring dan

Evaluasi

Page 12: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

9

kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan lainnya (Sumartias dan

Rahmat, 2013)1.

Konflik penguasaan lahan kawasan hutan lebih banyak disebabkan karena kelemahan pengelolaan

hutan oleh pemerintah yang mengurangi fungsi kontrol atas hutan sebagai sumberdaya milik umum

(common pool resources-CPRs) (Ostrom, 2008)2, sehingga kawasan hutan menjadi open access dan rawan terhadap okupasi pihak lain yang tidak berhak. Konflik kawasan hutan berdasarkan jenis

kegiatan yang terjadi terdiri dari konflik perambahan hutan, illegal logging, konflik batas klaim,

kerusakan lingkungan, dan kebijakan alih fungsi lahan.

Menurut Ostrom (2008), hutan merupakan sumberdaya alam milik bersama (common pool resources) yaitu sebagai barang publik yang sulit untuk dilakukan pembatasan atas hak

pemanfaatannya. Ostrom dan Schlager (1996)3 mengidentifikasi 5 jenis hak yang paling relevan

dengan pemanfaatan sumberdaya alam milik bersama, yaitu: a) hak akses (right of access); b) hak

pemanfaatan (rights of withdrawal); c) hak pengelolaan (rights of management); d) hak pembatasan

(rights of exclusion); dan e) hak pelepasan (rights of alienation).

Tipologi konflik tenurial dilakukan dengan tujuan untuk mengidentidikasi dan mengklasifikasikan

tipe-tipe konflik tenurial yang berada dalam kawasan konservasi. Tipologi konflik tenurial perlu

disusun agar memudahkan pengelola kawasan konservasi untuk mengetahui secara pasti kondisi

dan sebaran serta proses penyelesaian yang akan dilakukan pada suatu konflik tenurial.

Berdasarkan hasil asesmen dan pengumpulan data lapangan dari Taman Nasional Gunung Leuser di

Provinsi Sumatera Utara, Suaka Margasatwa Dangku di Provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional

Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Kotamobagu di Sulawesi Utara dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, maka

dirumuskan rekomendasi, dalam penyusunan tipologi konflik tenurial di kawaan konservasi

didasarkan pada beberapa faktor penting sebagai berikut:

1. Zona atau Blok

Pembagian zona atau blok untuk setiap kawasan konservasi dikelompokkan sesuai dengan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.76/Menlhk-Setjen/2015 tentang

Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

2. Pelaku Konflik

Pelaku konflik tenurial di kawasan konservasi dapat dibagi menjadi 3 kriteria pelaku, yaitu:

a. Pelaku yang tinggal di dalam kawasan dan melakukan aktivitas di dalam kawasan;

b. Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun melakukan aktivitas di dalam kawasan;

c. Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun berperan sebagai pemodal. Dalam konteks ini

pelaku dapat berupa individu/perseorangan, lembaga, atau korporasi.

3. Sejarah atau Waktu Konflik

Sejarah atau waktu terjadinya konflik dapat dibagi menjadi 3 durasi, yaitu:

1. Durasi konflik berlangsung < 5 tahun

2. Durasi konflik berlangsung antara 5 – 10 tahun

3. Durasi konflik berlangsung > 10 tahun

4. Luas Areal Konflik

Luas areal konflik tenurial yang terjadi dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Luas areal < 2 hektar

1 Sumartias dan Rahmat. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Sosial. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran,

Bandung. 2 Ostrom, E. 2008. Private and Common Property Right. Indiana University Bloomington, School of Public & Environmental Affairs

(SPEA). Department of Political Science. 3 Ostrom, E. and Schlager, E. 1996. The formation of property rights dalam Suharjito, D. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di

Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. Pemikiran Konseptual. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009. ISSN:

2087-0469. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Indonesia.

Page 13: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

10

2. Luas areal 2 – 10 hektar

3. Luas areal > 10 hektar

5. Orientasi Penguasaan

Orientasi penguasaan lahan dalam konflik tenurial dapat dibagi menjadi 2 penguasaan, yaitu:

a. Subsisten

b. Komersil

6. Klasifikasi Penggunaan Lahan

Klasifikasi penggunaan lahan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:

a. Lahan budidaya yang terdiri atas:

- Perambahan pertanian lahan kering

- Perambahan pertanian campur semak

- Perambahan sawah

- Tambak

- Penggembalaan

b. Perkebunan, yang terdiri atas:

- Hutan tanaman/monokultur/seumur

- Perkebunan

c. Pertambangan tanpa ijin

d. Permukiman yang terdiri atas:

- Fasilitas umum

- Permukiman dan transmigrasi

e. Klaim lahan yang terdiri atas:

- Klaim adat

- Tata batas (tumpang tindih)

7. Rekomendasi Penyelesaian

Rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dilakukan sesuai dengan skala dan intensitasnya

yaitu:

a. Mediasi dengan mengacu pada Perdirjen PSKL No. P.4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016.

Mediasi merupakan tahapan paling awal setelah tipologi konflik tenurial berhasil

dirumuskan. Alternatif penyelesaian konflik tenurial melalui mekanisme mediasi merupakan

alternatif penyelesaian wajib yang harus ditempuh pada setiap tipologi konflik tenurial di

kawasan konservasi. Mediasi paling awal dilakukan oleh UPT (KSDA/TN) selaku pemangku

kawasan konservasi, sebelum proses mediasi dilakukan dengan melibatkan pihak luar

sebagai mediator.

b. Penegakan hukum dengan mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990.

Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema Penegakan hukum

dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti peraturan perundang-undangan.

Penyelesaian konflik melalui penegakan hukum harus mempertimbangkan :

1. Kemampuan dan kemauan aparat penegak hukum lainnya dan pemerintah daerah untuk

terlibat dalam upaya penegakan hukum.

2. kemungkinan terburuk yang terjadi sebagai akibat upaya penegakan hukum harus sudah

diukur dan diprediksi, termasuk skenario-skenario penanganannya beserta semua pihak

terkait.

3. Apabila dalam perkembangannya upaya penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan atau

pelaksanaanya menemui kendala sehingga tidak berjalan dengan baik, maka tahapan-

tahapannya secara runtut dan jelas secara kronologis dituangkan dalam suatu bentuk

dokumen/laporan yang menjadi bukti bahwa rekomendasi penyelesaian konflik tersebut

telah dilaksanakan namun menemui kendala/permasalahan.

Page 14: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

11

c. Kemitraan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan dalam rangka pemulihan ekosistem

mengacu pada Pedirjen KSDAE No. P.6/KSDAE/SET/KUM.1/6/2018

1. Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau cagar alam, maka

skema penyelesaian konflik tenurial melalui kemitraan konservasi tidak berlaku.

2. Untuk konflik tenurial yang terjadi pada zona/blok pengelolaan yang belum diatur

secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang terkait penanganan konflik

tenurial, maka alternatif-alternatif rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dapat

mengacu pada lampiran Matriks 01 s/d Matriks 05.

.

d. Resettlement mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017.

1. Penyelesaian konflik tenurial dengan resettlement dilakukan pada bidang tanah yang

dikuasai atau dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan

hutan dengan fungsi konservasi.

2. Penyelesaian konflik tenurial dengan resettlement dilakukan dengan hati-hati dan sesuai

peraturan perundang-undangan.

3. Biaya penyelesaian dengan resettlement menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

4. Areal baru/lokasi untuk penempatan dalam rangka resettlement diusulkan oleh

Pemerintah Daerah dan diupayakan tidak jauh dari akses kelolanya dan akses pelayanan

publik untuk mendapatkan persetujuan Menteri

e. TORA/pelepasan mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017.

1. Tanah Obyek Reforma Agraria atau TORA adalah tanah yang dikuasai oleh negara

dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.

2. Penyelesaian konflik tenurial dengan skema TORA diawali dengan kajian area konflik

terhadap peta Indikatif TORA yang merupakan hasil usulan dari Pemerintah Daerah.

3. Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema TORA hanya dapat

dilakukan dengan pemanfaatan tanah.

4. Penyelesaian konflik tenurial dengan Skema TORA dilakukan dengan prinsip kehati-

hatian berdasarkan peraturan perundang-undangan.

5. Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok

perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku.

f. Review zona/blok mengacu pada PermenLHK No. P.76/Menlhk-Setjen/2015.

Beberapa kriteria yang digunakan dalam hal rekomendasi penyelesaian konflik tenurial

melalui review zona/blok pengelolaan meliputi :

1. Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan

untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang telah

berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai

hutan konservasi.

2. Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan

konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila terbukti dan

terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan

konservasi.

g. Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata

Lingkungan mengacu pada regulasi terkait pengukuhan kawasan.

h. Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan mengacu pada PermenLHK No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 dan

Perdirjen PSKL No. P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/2016.

Page 15: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

12

Gambar 04. Alur Perumusan Tipologi Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.

Berdasarkan hasil asesmen dan pengumpulan data lapangan dari Taman Nasional Gunung Leuser di

Provinsi Sumatera Utara, Suaka Margasatwa Dangku di Provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional

Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Kotamobagu di Sulawesi Utara dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, dihasilkan

matriks rumusan tipologi konflik dan arahan penanganan konflik, yang disajikan di Bab V laporan

ini.

Page 16: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

13

BAB IV. POLA PENANGANAN KONFLIK TENURIAL

4.1. Konsep Penanganan Konflik Tenurial berdasarkan Prinsip Plan, Do,

Check dan Act (PDCA)

Mekanisme penyelesaian konflik tenurial dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan plan

(rencanakan), do (kerjakan), check (cek), dan act (tindak lanjuti).

1. Plan (Rencana). Tahap ini merupakan langkah awal untuk meletakkan sasaran dan proses

yang dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan. Pada tahap ini perlu

disusun perencanaan yang sistematis dan matang sebagai pedoman dalam melaksanakan

kegiatan yang menjadi prioritas kerja atau program. Pada tahap ini juga disusun langkah-langkan

teknis dan strategis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

2. Do (Kerjakan). Pada tahap ini melakukan kegiatan atau program yang telah direncanakan

pada tahap sebelumnya. Proses kerjanya berdasarkan jadwal atau time frame yang telah

disusun dan disepakati atau disetujui bersama. Didalam pelaksanaannya, kegiatan atau program

ini dapat melibatkan instansi atau orang yang terkait dengan permasalahan yang akan

diselesaikan.

3. Check (Cek). Tahap ini merupakan proses pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan atau

program yang telah dijalankan. Pemantauan dan evaluasi ini dilakukan berdasarkan hasil yang

telah dicapai terhadap sasaran yang telah direncanakan dan implementasinya pada tahap

sebelumnya. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian hasil perbaikan yang telah dikerjakan,

apakah hasil yang diraih telah sesuai dengan target perencanaan atau masih perlu ada yang

diperbaiki atau ditingkatkan lagi.

4. Act (Tindak lanjuti). Pada tahap ini dilakukan standarisasi berdasarkan hasil perbaikan

sehingga dapat digunakan secara berkelanjtan atau berkesinambungan. Tahap ini merupakan

dasar untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continual improvement) dari suatu

kegiatan atau program. Hasil dari Act ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam

memperbaiki proses perencanaan sehingga bermanfaat dalam proses-proses selanjutnya.

Pendekatan PDCA ini dapat menjadi solusi untuk menyusun mekanisme penyelesaian konflik

tenurial. Jika proses penyelesaian konflik tenural dapat menggunakan pendekatan ini maka

diperlukan upaya yang secara terus menerus atau berkesinambungan dan konsisten dalam

menerapkannya. Pendekatan PDCA dapat mengulangi siklus ini dengan kembali pada tahap awal

(Plan) dan mengulang semua tahap ini secara berurutan agar sistem yang telah disusun dan

diimplementasikan dapat mencapai kestabilan dan mengalami peningkatan secara terus menerus.

Secara umum, manfaat dari pendekatan PDCA dalam proses penyelesaian konflik adalah:

1. Untuk memudahkan pemetaan wewenang dan tanggung jawab dari sebuah unit organisasi;

2. Sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem di sebuah organisasi;

3. Untuk menyelesaikan serta mengendalikan suatu permasalahan dengan pola yang sistematis

dan terukur;

4. Untuk kegiatan continuous improvement dalam rangka memperpendek alur kerja;

5. Meningkatkan produktivitas kerja agar lebih efektif dan efesien.

Gambar 05. Alur Pendekatan Plan, Do, Check, dan Act.

Page 17: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

14

4.2. Konsep Penyelesaian Konflik Tenurial Secara Bertahap

Mekanisme penyelesaian konflik tenurial tidak dapat dilakukan secara terburu-buru dan dibatasi

dengan waktu yang sempit dan pasti. Dinamika masyarakat dilapangan sangat beragam dengan

berbagai variasi permasalahan yang dihadapi. Untuk itu, pendekataan mekanisme penyelesaian

secara bertahap bisa menjadi salah satu opsi dalam penyelesaian konflik tenurial.

Mekanisme penyelesaian konflik tenurial secara bertahap ini dapat dilakukan melalui beberapa

tahap (Gambar 06), yaitu:

1. Tahap 1. Tahap ini dapat dilakukan pada rentang waktu mulai 0 – 1 tahun (T0 – T1). Pada

tahap ini dilakukan penilaian awal terhadap semua permasalahan yang terjadi yaitu dengan

mengumpulkan, mengolah dan menganalisis semua data sekunder dan data primer dengan

menggunakan pendekatan pemetaan sosial (social mapping), pemetaan pemangku kepentingan

(stakeholder mapping) dan merumuskan tipologi konflik tenurial yang terjadi di kawasan

konservasi. Hasil pada tahap ini akan menjadi acuan dalam merumuskan perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari konflik tenurial yang terjadi.

2. Tahap 2. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi kegatan atau program yang telah

dilaksanakan selama tahun pertama (T1). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi

bahan utama dalam melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun

kedua (T2).

3. Tahap 3. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun

kedua (T2). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam

melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun ketiga (T3).

4. Tahap 4. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun

ketiga (T3). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam

melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun keempat (T4).

5. Tahap 5. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun

keempat (T4). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam

melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap pertama atau sebagai evaluasi menyeluruh

selama 5 tahun kegiatan atau program yang telah dijalankan.

Namun demikian, batasan atau target waktu penyelesaian konflik tenurial ini akan disesuaikan

dengan skala dan intensitas konflik yang terjadi. Pada skala dan intensitas yang relatif rendah atau

kecil, kemungkinan waktunya dapat lebih pendek dibandingkan dengan konflik yang terjadi pada

skala cukup luas dan intensitas yang tinggi.

Gambar 06. Alur Pendekatan Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial secara Bertahap.

T1 T2 T3 T4 T5 T0

Proses

Identifikasi

dan

Penilaian

Awal

Proses

penyusunan

workplan

Evaluasi

Tahun ke-1,

Implementasi

Tahun II

Evaluasi

Tahap Akhir

Penilaian awal dan

penyusunan workplan

Implementasi

workplan

Tahun I

Implementasi

workplan

Tahun II

Implementasi

workplan

Tahun III

Implementasi

workplan

Tahun IV

Evaluasi

Tahun ke-2,

Implementasi

Tahun III

Evaluasi

Tahunan ke-3,

Implementasi

Tahun IV

Page 18: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

15

Page 19: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

16

4.3. Alur proses penaganan konflik tenurial pada Kawasan konservasi

Telaah Usulan Penanganan Konflik

Tenurial

• Perorangan

• Badan Hukum/Usaha

• Masyarakat/MHA

• Pemda

• Pihak lainnya

Usulan Penanganan Konflik Tenurial

Penyelesaian Penanganan

Konflik Tenurial

Monitoring dan Evaluasi Penanganan Konflik

Tenurial

Umpan balik

UPT

DIREKTORAT TEKNIS

DIRJEN

Permohonan Usulan Penanganan

Konflik Tenurial

Asesmen Konflik

Tenurial

Tidak dapat

dilanjutkan

Laporan Identifikasi Konflik

oleh UPT

Dapat

dilanjutkan

Page 20: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

17

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Penyelesaian : Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau cagar alam, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui kemitraan konservasi tidak berlaku

1. Mediasi Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku

2. Penegakan Hukum

3. Kemitraan Konservasi

4. Resettlement / TORA

5. Review Zona/Blok

2-10 Ha > 10 Ha

Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

< 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha < 2 Ha

2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha

2-10 Ha > 10 Ha

< 2 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

2-10 Ha

5-10 Tahun

< 2 Ha

2-10 Ha > 10 Ha < 2 Ha

Pemodal

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

2-10 Ha > 10 Ha

Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang

telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila

terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Matriks 01. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona Inti, Zona Rimba dan Blok Perlindungan

Tipologi Konflik Tenurial

Tipologi Konflik Tenurial

Tipologi Konflik Tenurial

> 10 Ha

Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)

> 10 Tahun

< 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

< 5 Tahun

< 2 Ha

BAB V. MATRIKS RUMUSAN REKOMENDASI PENANGANAN KONFLIK TENURIAL

Page 21: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

18

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Penyelesaian :

1. Mediasi

2. Penegakan Hukum

3. Kemitraan Konservasi

4. Resettlement / TORA

5. Review Zona/Blok

2-10 Ha > 10 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

> 10 Ha<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha

Tipologi Konflik Tenurial

Tipologi Konflik Tenurial

Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang

telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila

terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Pemodal / Korporasi / Lembaga

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)

2-10 Ha > 10 Ha

<= 2 Ha

Matriks 02. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Pemanfaatan

Tipologi Konflik Tenurial

> 10 Ha<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha

Page 22: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

19

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Penyelesaian :

1. Mediasi

2. Penegakan Hukum

3. Kemitraan Konservasi

4. Resettlement / TORA

5. Review Zona/Blok

2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha

2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

2-10 Ha > 10 Ha<= 2 Ha

5-10 Tahun > 10 Tahun

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

Tipologi Konflik Tenurial

Matriks 03. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Tradisional

Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang

telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila

terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Tipologi Konflik Tenurial

Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha

Tipologi Konflik Tenurial

Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)

Pemodal / Korporasi / Lembaga

< 5 Tahun

Page 23: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

20

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Penyelesaian :

1. Mediasi

2. Penegakan Hukum

3. Kemitraan Konservasi

4. Resettlement / TORA

5. Review Zona/Blok

2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha

2-10 Ha

2-10 Ha > 10 Ha

<= 2 Ha

Tipologi Konflik Tenurial> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha

Tipologi Konflik Tenurial

Matriks 04. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Rehabilitasi

Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang

telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila

terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.

<= 2 Ha 2-10 Ha

Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)

Tipologi Konflik Tenurial

Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)

Pemodal / Korporasi / Lembaga

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

Page 24: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

21

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2

Perkebunan 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2

Permukiman 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2

Perkebunan 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2

Permukiman 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom

Lahan Budidaya 1,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Perkebunan 1,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2

Permukiman 1,4,5,3 1,2 1,2,4,3,5 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,5 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2

Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Penyelesaian :

1. Mediasi

2. Penegakan Hukum

3. Kemitraan Konservasi

4. Resettlement / TORA

5. Review Zona/Blok

2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

<= 2 Ha 2-10 Ha

2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

2-10 Ha > 10 Ha<= 2 Ha

5-10 Tahun > 10 Tahun

< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun

> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha

Tipologi Konflik Tenurial

Matriks 05. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona / Blok Khusus dan Religi Budaya Sejarah

Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang

telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila

terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.

Tipologi Konflik Tenurial

Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)

<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha

Tipologi Konflik Tenurial

Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)

Pemodal / Korporasi / Lembaga

< 5 Tahun

Page 25: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

22

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Gunung Leuser,

Sumatera Utara;

Lampiran 2. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Rawa Aopa

Watumohai, Sulawesi Tenggara;

Lampiran 3. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Bogani Nani

Wartabone, Sulawesi Utara;

Lampiran 4. Hasil penilaian lapangan di Suaka Margasatwa Dangku, Sumatera

Selatan;

Lampiran 5. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan

Tengah

Page 26: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

23

Lampiran 1. Laporan Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Gunung

Leuser

Gugus Tugas Multipihak Penyelesaian Permasalahan Lahan, Perambahan

dan Usulan Wilayah Adat di Kawasan Konservasi

Taman Nasional Gunung Leuser

28 Mei – 2 Juni 2018

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu Kawasan Konservasi sudah ditetapkan

sebagai salah satu warisan dunia yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang mewakili

type hutan hujan dataran tinggi sampai dengan dataran rendah Sumatera yang dihuni oleh satwa kunci

sumatera seperti Orang Utan, Badak, Harimau serta Badak. Seiring dengan pesatnya pembangunan

telah memberikan tekanan yang sangat menghawatirkan terhadap keberadaan Kawasan tersebut.

Tekanan berupa perambahan, penguasaan lahan baik oleh masyarakat maupun korporasi sampai

dengan pemukiman di dalam Kawasan.

Tahun 1999/2000, tingkat kerusakan semakin bertambah luas dengan masuknya para pengungsi asal

Aceh Timur (akibat kondisi yang tidak kondusif) yang mendiami kawasan di Dusun Damar Hitam,

Dusun Sei Minyak, dan Barak Induk (Dusun V Aman Damai). Perambahan hutan, disebabkan adanya

kebutuhan lahan, pembukaan kebun, lemahnya penegakan hukum, persoalan batas yang tidak jelas,

keberadaan ex-pengungsi asal Aceh, ketergantungan ekonomi pada sector perkebunan/pertanian.

Hasil penafsiran Citra Landsat di Kawasan TNGL tahun 2002 menunjukkan total kerusakan seluas

±43.623 Ha termasuk adanya tutupan lahan non hutan seluas ±20.688 Ha. Tahun 2005, luas

kerusakan hutan mencapai ± 22.000 ha.

Dengan adanya tantangan tersebut, merujuk kepada tugas dan fungsinya, Balai Besar TNGL

merupakan institusi yang berkewajiban untuk melakukan pengelolaan Kawasan untuk menjaga

keberadaan keanekaragaman hayati dan keamanan Kawasan. Dengan berubahnya paradigma birokrasi

dibidang pengelolaan hutan maka berbagai terobosan telah dilakukan agar tercapainya tujuan “Hutan

Lestari Masyarakat Sejahtera”. Salah satu pendekatan untuk mewujudkan paradigma tersebut adalah

melalui pendekatan pengelolaan Kawasan konservasi melalui kemitraan dengan masyarakat. Selain

pendekatan kemitraan yang menyasar kepada masyarakat di sekitar Kawasan, ancaman terhadap

perambahan maupun perusakan Kawasan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga permasalahan perambahan

dan juga konflik tenurial di dalam Kawasan konservasi dapat dipetakan, yang mencakup kesejarahan,

tipologi dan juga aktornya. Pemetaan konflik ini akan menjadi rujukan di dalam menentukan pola

penanganan yang tepat yang dapat diukur keberhasilan penananganannya dalam janga pendek,

menengah dan Panjang.

1.2. Ruang Lingkup

Dalam pelaksanaan kegiatan, tim gugus tugas penyeleisaian permasalahan lahan dan perambahan,

memiliki tugas meliputi:

1. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;

2. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;

3. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai dengan

tipologi permasalahan.

1.3. Dasar Pelaksanaan

Keputusan Dirjen KSDAE No. SK.184/KSDAE/SET/REN.2/5/2018 tentang Penunjukan Gugus Tugas

Multipihak Penyelesaian Permasalahan Lahan, Perambahan dan Usulan Wilayah Adat di Kawasan

Konservasi.

Page 27: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

24

1.4. Tujuan

1. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN

Gunung Leuser;

2. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.

II. Metodologi

2.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui:

a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :

1. Observasi Lapangan

2. Interview langsung

3. Focus Group Diskusi

b. Kajian Data Sekunder

c. Analisa Deskripsi dan Spatial

2.2. Areal Pengamatan

Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN

Wilayah VI TN Gunung Leuser, yang meliputi:

a. Kelompok Tani Hutan Konservasi “Cinta Makmur”, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang;

b. Kelompok Barak Induk, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan;

c. Kelompok Sei Bamban, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang.

2.3. Waktu Pelaksanaan

Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2018.

III. Survey dan Pengamatan Lapangan

3.1. Sejarah Kawasan TN Gunung Leuser

Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai

sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem

Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat penting bagi

keberadaan beberapa spesies lambang/kebanggaan (flagship species). Namun demikian, TNGL juga

merupakan hotspot keterancaman degradasi keanekaragaman hayati yang tinggi, yang disebabkan oleh

illegal logging, perambahan kawasan, kebakaran, dan aktivitas vandalisme lainnya.

Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri

Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) TN di Indonesia,

yaitu; TN. Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.

Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah

792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal

Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung

Leuser dengan isi penting yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TNGL kepada Sub Balai

KPA Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah

dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TNGL seluas

1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan

Provinsi Sumatera Utara.

Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 Tahun

2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam, maka pengelolaan TNGL harus didasarkan atas perencanaan jangka panjang, jangka

menengah, dan jangka pendek dengan mengakomodasikan aspirasi Publik serta pelibatkan para pihak

dan pakar untuk menjaring pendapat berbagai sektor dan disiplin ilmu untuk pengkayaan materi.

Pengelolaan TNGL didesain untuk mampu memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya

secara optimal dan menjamin legitimasi keberadaannya secara jangka panjang dengan semangat

Page 28: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

25

perubahan demokratis, transparan dan bertanggung-gugat (accountable), serta tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance).

3.2. Perbandingan Perambahan

1. Perkembangan area terbuka (open area).

Berdasarkan Data Citra Landsat 1995 – 2015, menunjukan telah terjadi perkembangan

terhadap areal terbuka atau open akses yang disebabkan oleh berbagai kegiatan masyarakat baik

yang berada di dalam, disekitar maupun diluar areal BBTNGL, terutama di wilayah Besitang.

Gambar 01. Perkembangan open area menurut citra landsat 1990-2016 (TNGL, 2017)

Gambar 02. Series open area per tahun (TNGL, 2017)

Page 29: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

26

Gambar 03. Peta open area di daerah Besitang (merah), yang berada di dalam Kawasan konservasi.

3.3. Upaya Penanganan Balai Besar TNGL

Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai Besar TNGL terhadap permasalahan tenurial yang terjadi,

meliputi:

1. Balai TNGL melakukan operasi gabungan diberbagai lokasi rawan kegiatan perambahan & illegal

logging di kab. Langkat.

2. Balai TNGL melakukan serangkaian sosialisasi, pemantauan dan tindakan hukum serta

mempersiapkan proses Relokasi pengungsi Aceh

3. Dengar pendapat dengan Komisi I dan IV DPRD Kabupaten Langkat yang intinya bahwa DPRD

Kabupaten Langkat mendukung upaya pengosongan pengungsi dan penggarap lainnya dari

kawasan TNGL

4. Rapat koordinasi dengan Pemda Sumatera Utara dimana diputuskan bahwa kawasan TNGL harus

kosong dari kegiatan perambahan dan penanganan terhadap pengungsi agar dikoordinasikan

dengan Pemda Kabupaten Aceh Timur

5. Rapat Koordinasi dengan DPRD Kab.Langkat, Komisi I dan Wakil Bupati Langkat. Disepakati

untuk melakukan cek batas lapangan secara bersama-sama. Upaya ini tidak dilanjutkan & pihak

DPRD sepakat terhadap batas yang telah ada saat ini.

6. Rapat Koordinasi dengan DPRD Kab.Langkat, Polres Langkat, BPKH I Medan, Balai TN.Gunung

Leuser. Batas kawasan TN.Gunung Leuser tetap mengacu pada batas lama (batas Suaka

Margasatwa) pada jaman Belanda

7. Koordinasi dengan Menko Kesra yang dihadiri oleh Ketua BRA, Polda Sumut, jajaran Pemda

Kab.Langkat (Dinas Sosial, Dinas Transmigrasi, Polres Langkat), Kakanwil BPN Sumut, wakil dari

Ditjen Cipta Karya, Kimpraswil, Dir.PPH, Ditjen PHKA, dan Balai TNGL. Presentasi disampaikan

oleh Kapolda Sumut dan Kepala Balai TNGL. Disepakati hal-hal sebagai berikut:

a. Segera dibentuk Tim terpadu (Pusat, NAD, Sumut) untuk membantu melakukan identifikasi

terhadap 5 target utama, yaitu unsure masyarakat (pengungsi, perambah), perusahaan, NGO

Internasional, tokoh intelektual, dan isntansi terkait;

b. Persoalan pal batas kawasan, akan dikoordinasikan antara BPN, jajaran Dep.Kehutanan,

al. Balai TNGL/BPKH/Dinas Kehutanan, dengan Depdagri.

Page 30: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

27

8. Pembahasan usulan kegiatan dalam rangka penyelesaian perambahan kawasan TNGL di Resort

Sekoci. Rapat dipimpin oleh Kepala Bidang PTN Wilayah III Stabat dan dihadiri oleh Kepala SPTN

Wilayah VI Besitang dan Staf terkait.

9. Pelaksanaan pengelolaan program kerja BPTN Wilayah III Stabat T.A 2018 berfokus pada

penyelesaian kasus perambahan di Resort Sekoci, untuk itu BPTN Wilayah III Stabat mengajukan

usulan kegiatan DIPA untuk T.A 2018.

10. Penyusunan Role Model penyelesaian perambahan di Besitang dipimpin oleh Kepala Bidang PTN

Wilayah III Stabat. Penyusunan Role Model mengikuti arahan Dirjen KSDAE dan dilengkapi

dengan TOR.

11. Mengintensifkan patroli fungsional pengamanan kawasan.

3.4. Rencana tindaklanjut yang akan dilakukan Balai Besar TNGL

Upaya tindaklanjut yang akan dilakukan Balai Besar TNGL ke depan meliputi:

1. Mendorong percepatan tata batas di TNGL;

2. Melaksanakan kegiatan pengamanan Kawasan;

3. Mendorong penegakan hukum (perambahan) di kawasan TNGL;

4. Sosialisasi zonasi dan penyuluhan;

5. Pelaksanaan role model penanganan konflik tenurial;

6. Berkoordinasi dengan para pihak terkait.

3.5. Kunjungan dan Pengamatan Lapangan

1. Lokasi perambahan di Desa PIR ADB, Kelompok tani hutan konservasi “Cinta Makmur”.

Kelompok Tani Hutan Kenservasi (KTHK) ini diketuai oleh Hasan Sitepu yang beranggotakan 50

penggarap (KK) yang berlokasi di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat.

Sebagian besar anggota kelompoknya adalah masyarakat dari sekitar desa, meskipun ada yang

berasal dari Jawa yang sudah lama bermukim dan menetap di desa-desa sekitarnya.

Secara pembagian wilayah kerja di dalam BBTNGL, wilayah ini termasuk ke dalam Resort Sekoci

atau ada yang menyebutnya dengan Blok Lapangan Tembak dikarenakan sejarah pergolakan masa

lalu. Di blok ini telah terbentuk 7 (tujuh) KTHK dari 12 KTHK yang sudah terbantuk diwilayah

Besitang dengan anggota kelompok antara 26 – 50 penggarap.

Diskusi dengan para Ketua KTHK telah memberikan gambaran bahwa setelah Kongres Petani

pada Februari 2018, masih sedikit progress yang dicapai seperti pembentukan KTHK, pendataan

anggota KTHK dan sosialisasi tentang jenis tanaman dan luasan lahan garapan yang dibolehkan

untuk dijadikan program kemitraan konservasi.

Saat ini para anggota KTHK sudah mulai menanam lahan garapannya yang diperkirakan kurang-

lebih 2 (dua) hektar untuk masing-masing penggarap dengan tanaman buah-buahan seperti

Jengkol, Petai, Karet, Matoa dan saat ini masih terkendala dalam memperoleh bibit yang siap

untuk ditanam.

Lambatnya progress ini tidak terlepas dari trauma masa lalu dari beberapa program yang pernah

disampaikan tetapi tidak terialisasi oleh BBTNGL. Ditambah lagi adanya informasi dan provokasi

dari kelompok yang mengatasnamakan utusan dari Kedatukan Besitang.

Masyarakat yang tergabung dalam Program Kemitraan Konservasi melalui KTHK mengharapkan

konsistensi program yang sudah disepakati sehingga bisa meyakinkan bagi penggarap-penggarap

lainnya untuk bergabung dengan program ini. Dengan secepatnya program ini dilaksanakan maka

provokasi-provokasi oleh oknum-oknum tertentu dapat diminimalisasi.

Para penggarap juga bersepakat dalam mendukung program Kemitraan Konservasi melalui KTHK

yang telah difasilitasi oleh BBTNGL dan berkomitmen untuk mematuhi seluruh kesepakatan yang

telah dibuat dan tidak memberikan kesempatan bagi penggarap yang berada diluar Besitang yang

telah memiliki lahan untuk ikut serta dalam program ini.

Page 31: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

28

Persetujuan tentang diberikannya kesempatan kepada Karang Taruna dan Kelompok PKK dari

Desa PIR ADB untuk terlibat di dalam program Kemitraan Konservasi telah pula disampaikan

oleh Ketua KTHK dan Kepala Desa PIR ADB

Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK

423/Menhut-II/2004), SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011 dan SK Menteri Kehutanan

Nomer SK 529/Menhut-II/2012, berada di dalam kawasan hutan taman nasional.

2. Lokasi perambahan di Kelompok Barak Induk, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan.

Kelompok Bara Induk berada dalam wilayah administrasi Desa Harapan Maju Kecamatan Sei

Lepan, Kabupaten Langkat adalah bekas pengungsi dari Aceh yang dikordinir oleh Bapak Darmo.

Pemukiman ini telah dimulai sejak 1999 dan berada di dalam Kawasan BBNTGL. Fasilitas umum

yang telah berdiri di dalam pemukiman ini antara lain, Sekolah (PAUD, Madrasah, SD dan SMP),

Masjid, Pasar dan beberapa kios milik masyarakat.

Sekolah merupakan gerakan swadaya masyarakat agar anak-anak bisa mendapatkan Pendidikan,

karena sampai saat ini keberadaan mereka belum diakui oleh Pemeritah Daerah Kabupaten

Langkat, meskipun sebagaian masyarakat telah memiliki Kartu Tanda Penduduk setempat sejak

2005.

Saat ini jumlah penduduk yang berada di pemukiman ini berkisar 500 kepala keluarga yang 90 %

adalah berasal dari pengungsi Aceh dan 10 % adalah masyarakat sekitarnya.

Setelah Kongres Petani, belum ada progress dan masyarakat berharap Program Kemitraan

Konservasi segera dilaksanakan karena dengan dilaksanakannya program ini maka legalitas

keberadaan mereka diakui oleh BBTNGL dan berharap dapat diakui oleh Pemerintah Daerah

untuk dijadikan Desa Defifnitip.

Masyarakat juga sudah berkomitmen untuk mengikuti program Kemitraan Konservasi dengan

menanam tanaman NON-Sawit, meskipun saat ini beberapa lahan sudah ditumbuhi oleh tanaman

Kelapa Sawit yang sudah berumur 8 – 10 tahun.

Masyarakat telah menyadari keberadaan mereka saat ini, untuk itu mereka berharap hanya untuk

dapat diakui legalitas keberadaanya bukanlah sertifikat hak sebagaimana di dalam Kawasan Non

Hutan.

3. Lokasi perambahan di Kelompok Sei Bamban, Desa PIR ADB.

Sei Bamban masih masuk ke dalam administrasi Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Kabupaten

Langkat. Kelompok Sei Bamban telah terbentuk 5 (lima) KTHK yang terdiri dari KTHK Bamban

Makmur yang beranggotakan 26 penggarap, KTHK Karya Lestari beranggotakan sekitar 30

penggarap, KTKH Bina Lingkungan beranggotakan 35 penggarap, KTHK Bemban Sejahtera yang

beranggotakan 25 penggarap, KTHK Bemban Bersemi yang beranggotakan 25 penggarap yang

merupakan satu-satunya dipimpin oleh perempuan yaitu Ibu Marlina.

Sebagian besar penggarap telah menanam tanaman Jeruk pada lahan garapan mereka dan saat ini

sudah menghasilkan. Setelah Kongres Petani, masyarakat merasa lebih tenang dalam menggarap

lahan mereka meskipun mereka harus menghentikan semua rencana menanam Kelapa Sawit.

Untuk selanjutnya msayarakat mengharapkan program Kemitraan KOnservasi segera dijalankan

terutama pengadaan bibit tanaman yang telah dianjurkan.

Masyarakat mengharapkan pemerintah memberikan jaminan kepada masyarakat di dalam

mengelolan lahan garapan mereka kerena saat ini masih ada gangguan-gangguan dating dari

kelompok yang mengatas namakan Perwakilan Kedatukan Besitang. Di lokasi Sei Bamban telah

berdiskusi pula dengan Bapak Radian dan Bapak Dani Sitepu sebagai utusan dari Kedatukan

Besitang yang di Koordinasikan oleh Lemhatabes yang telah menggarap lahan berdasarkan arahan

dari Kedatukan yang digarap oleh 120 – 150 penggarap. Mereka belum mengakui keberadaan

BBTNGL dan belum menerima program Kemitraan Konservasi seperti yang disampaikan.

Page 32: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

29

IV. Analisis Tipologi Konflik

Dari identifikasi pada tiga lokasi kunjungan lapangan, pada tahap awal ditentukan beberapa actor

konflik yang meliputi sebagai berikut:

Analisa Aktor Konflik:

Penduduk Asli

Tanpa Lahan

(1)

Asal Masyarakat setempat

Keberadaan masyarakat dalam

kawasan

Sudah ada sebelum penetapan taman

nasional

Asal memperoleh lahan Jual beli secara bertahap, maupun

turun temurun

Motif Subsisten karena kemiskinan

Jenis penggunaan lahan Tanaman pangan subsisten

Jenis pertanian Buah-buahan

Kesadaran hukum Sebagian besar cukup rendah

kesadaran hukumnya

Dampak terhadap kawasan TN Berada di dalam Kawasan taman

nasional, berdekatan dengan batas TN

dan berpotensi semakin meluas kea

rah Kawasan taman nasional

Kebijakan lokal untuk hidup dengan

hutan

Masih memegang kebijakan local

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Direkomendasikan untuk pilihan

penyelesaian melalui mediasi-

kemitraan konservasi

Penduduk

Pendatang

(2)

Asal Imigran dari kabupaten, provinsi atau

pulau yang sama

Keberadaan masyarakat dalam

kawasan

Sesudah penetapan TN

Asal memperoleh lahan Jual beli lahan

Motif Komersil karena adanya peluang

ekonomi

Jenis penggunaan lahan Perkebunan

Jenis pertanian Kopi, coklat, kayu manis, kelapa sawit

Kesadaran hukum Mengetahui keberadaan Taman

Nasional

Dampak terhadap kawasan TN Berkurangnya luas kawasan, degradasi

tutupan lahan

Kebijakan lokal untuk hidup dengan

hutan

Tidak ada

Pemahaman lokal tentang kawasan Cukup paham

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Kemungkinan kecil menerima usulan

program dari TN

Pemilik ijin usaha

perkebunan

(3)

Asal Langkat dan Medan

Keberadaan Lokasi IUP overlap dengan Kawasan

TN

Motif Komersial

Jenis penggunaan lahan Perkebunan

Jenis pertanian Kelapa Sawit

Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal

kepemilikan lahan

Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi

terbuka, dan telah dilakukan

Page 33: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

30

pembersihan lahan, serta telah

dibangun akses jalan dan tanaman

kelapa sawit sudah ditanam

Kebijakan lokal untuk hidup dengan

hutan

Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Direkomendasikan untuk penanganan

melalui penegakan hukum.

Spekulan lahan

(4)

Asal Langkat dan Medan dan daerah lainnya

Keberadaan Sesudah penetapan TN

Motif Bisnis maupun kepentingan politik

Jenis Penggunaan Lahan Perkebunan, pemukiman, jual beli

lahan

Jenis pertanian Kelapa sawit

Kesadaran hukum Sangat sadar

Dampak terhadap Kawasan TN Ancaman perluasan areal terbuka ke

dalam Kawasan taman nasional

Kebijakan local untuk hidup dengan

hutan

Tidak ada

Pemahaman local tentang kawasaan Paham

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Penanganan melalui penegakan hukum.

Oknum

pemerintahan

(5)

Asal Kota kabupaten/provinsi

Keberadaan Di luar Kawasan

Motif awal Jual beli tanah dan kepemilikan lahan

Jenis penggunaan lahan Perkebunan dan pemukiman

Jenis pertanian Diarahkan ke perkebunan kelapa sawit

Kesadaran hukum Seharusnya cukup tinggi karena

merupakan pejabat pemerintahan

Dampak terhadap kawasan TN Diindikasikan ada upaya pernggeseran

batas Kawasan untuk mengamankan

operandi klaim lahan

Kebijakan lokal untuk hidup dengan

hutan

Tidak ada

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Direkomendasikan untuk penanganan

melalui penegakan hukum.

Oknum

Kedatukan

Besitang

(6)

Asal Medan

Keberadaan Di luar Kawasan

Motif awal Klaim Kawasan adat

Jenis penggunaan lahan Kawasan lindung

Jenis pertanian Tanaman buah

Kesadaran hukum Paham, tapi masih berpegang pada

dasar hukum wilayah hutan adat pada

masa Kedatukan

Dampak terhadap kawasan TN Adanya proses bagi-bagi lahan garapan

kepada masyarakat

Kebijakan lokal untuk hidup dengan

hutan

Ada, sesuai aturan adat kedatukan

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Belum menerima pilihan kemitraan

konservasi

Pengungsi Aceh Asal Aceh Timur

Page 34: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

31

(7) Keberadaan Di dalam Kawasan

Motif awal Pemukiman penampungan pengungsi

Jenis penggunaan lahan Pemukiman

Jenis pertanian Tanaman buah

Kesadaran hukum Sadar, namun tidak memiliki pilihan

lokasi yang lain

Dampak terhadap Kawasan TN Adanya wilayah pemukiman di Zona

rehabilitasi

Kebijakan lokal tentang Kawasan Tidak ada

Pemahaman lokal tentang Kawasan Paham, tapi menekankan pada upaya

pengakuan lokasi pemukiman

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Menerima dengan syarat adanya revisi

zonasi dan diakui lokasi

pemukimannya.

V. Arahan Penanganan

Pelaku (1) Penduduk Asli, tinggal di dalam kawasan, aktivitas di dalam kawasan

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun

Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK

Penggunaan lahan Lahan budidaya

Orientasi Subsiten

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona

dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan

lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik

ini adalah:

1. Mediasi untuk koordinasi kelompok

2. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem

Pelaku (2) Pendatang, tinggal di luar kawasan, lahan garapan di dalam kawasan

Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun

Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar per pendatang

Penggunaan lahan Perkebunan monokultur

Orientasi Komersil

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona

dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan

lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik

ini adalah:

1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive

untuk keluar kawasan

2. Penegakan hukum

Pelaku (3) Pemilik usaha perkebunan/pemodal

Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun

Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar per pemilik

Penggunaan lahan Perkebunan sawit

Orientasi Komersil

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona

dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan

Page 35: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

32

lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik

ini adalah:

1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive

untuk keluar kawasan

2. Penegakan hokum

Pilihan penanganan ini juga berlaku untuk pelaku (4) spekulan lahan dan

(5) oknum pemerintahan

Pelaku (6) Oknum kedatukan Besitang

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun

Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar yang diklaim sebagai wilayah lindung adat

Penggunaan lahan Tanaman budidaya

Orientasi Subsisten

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona

dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan

lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik

ini adalah:

1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive

untuk pengelolan bersama

2. Kemitraan konservasi dengan skema pemberdayaan masyarakat

Pelaku (7) Eks Pengungsi Aceh

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun

Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK

Penggunaan lahan Pemukiman

Orientasi Subsisten

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona

dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan

lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik

ini adalah:

1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive

untuk keluar dari kawasan

2. Resettlement/TORA.

Page 36: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

33

Lampiran 2. Laporan Hasil Survei Lapangan (Groundcheck) TN.

Rawa Aopa

Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi Melalui

Pendekatan Keruangan dan Tipologi Permasalahan

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai

10 – 15 Oktober 2018

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional (TN) Rawa Aopa Watumohai terletak dalam zona wallacea, dimana memiliki

keanekaragaman hayati yang cukup tinggi pada tiap tipe ekosistem penyusunnya (ekosistem mangrove,

savana, hutan dataran rendah, dan rawa). Kawasan ini sangat penting untuk dilestarikan disamping

keberadaanya secara internasional telah ditetapkan sebagai salah satu areal Ramsar Site.

Seiring laju perkembangan penduduk dan pembangunan daerah, tekanan kawasan TN Rawa Aopa

Watumohai semakin tinggi, dan menyebabkan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh konflik,

tekanan dan gangguan dalam bentuk penebangan haram (illegal logging), kebakaran maupun

perambahan yang secara langsung menyebabkan munculnya areal terbuka (open area) pada daerah

tutupan hutan. Kondisi ini memerlukan pendekatan penyelesaian yang lebih komprehensif.

Penanganan konflik pada kawasan konservasi saat ini menjadi fokus penyelesaian Direktorat Jenderal

KSDAE. Direktorat Kawasan Konservasi dalam hal ini membangun tim khusus yang menginisiasi

penyelesaian tipologi konflik kawasan konservasi dalam SK Direktur Kawasan Konservasi Nomor:

SK.37/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018 tanggal 1 Oktober 2018 perihal Penetapan Tim Efektif Pola

Penanganan Efektif Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi Melalui Pendekatan Keruangan dan

Tipologi Permasalahan. Tim efektif (Tim efektif PPEKTKK) selanjutnya melakukan groundcheck

lapangan sebagai perwakilan contoh konflik yang dirumuskan metode penyelesaiannya.

Pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan dengan penerapan analisis keruangan yang

dikombinasikan dengan analisis tipologi permasalahan di tingkat tapak sehingga dapat menjadi inovasi

solusi penanganan konflik tenurial di kawasan konservasi yang lebih fokus dan tepat sasaran dengan

menghasilkan pola-pola penanganan yang efektif.

Lokasi yang menjadi fokus groundceheck penyelesaian adalah kawasan konservasi yang memiliki

kecukupan data konflik tenurial. Salah satu lokasi adalah kawasan TN Rawa Aopa Watumohai dengan

beberapa tipologi konflik yang berkembang dan diperlukan pendekatan yang spesifik.

1.2. Ruang Lingkup

Dalam pelaksanaan kegiatan, tim efektif yang selanjutnya disebut tim PPEKTKK memiliki tugas

meliputi:

4. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;

5. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;

6. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai dengan

tipologi permasalahan.

1.3. Dasar Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi Nomor:

PT.421/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018 tanggal 8 Oktober 2018.

1.4. Tujuan

3. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN Rawa

Aopa Watumohai;

4. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.

Page 37: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

34

II. Metodologi

2.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui:

a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :

1. Observasi Lapangan

2. Interview langsung

3. Focus Group Diskusi

b. Kajian Data Sekunder

c. Analisa Deskripsi dan Spatial

2.2. Areal Pengamatan

Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN

Wilayah I TN Sebangau, yang meliputi:

d. Lokasi perambahan di Desa Tombekuku;

e. Lokasi klaim adat Morenene di Dusun Tiga, Desa Watu-Watu.

2.3. Waktu Pelaksanaan

Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 10 – 15 Oktober 2018.

III. Survey dan Pengamatan Lapangan

3.1. Sejarah Kawasan TN Rawa Aopa Watumohai

Kawasan TN Rawa Aopa Watumohai ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

756/Kpts-II/1990 tanggal 17 Desember 1990, namun sejarah keberadaan kawasan ini sebagai kawasan

konservasi telah ada sejak tahun 1976. Sebelum di tunjuk sebagai kawasan konservasi, TN Rawa Aopa

Watumohai merupakan penggabungan dari dua kelompok hutan yaitu kelompok hutan Watumohai

dan kelompok hutan Rawa Aopa.

Pada tanggal 15 Oktober 1976 kelompok hutan Watumohai ditunjuk sebagai Taman Buru (TB) oleh

Menteri Pertanian berdasarkan Keputusan Nomor 648/Kpts/Um/10/1976 dengan nama TB

Watumohai seluas 50.000 ha.

Pada tanggal 11 Juni 1985 kelompok hutan Rawa Aopa ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa (SM) oleh

Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan Nomor 138/Kpts-II/1985 dengan nama SM Rawa Aopa

seluas 55.560 ha.

Perkembangan selanjutnya pada tanggal 27 Juli 1985, Menteri Kehutanan berdasarkan keputusan

Nomor 189/Kpts-II/1985 merubah status sebagian kawasan TB Watumohai seluas 41.244 ha menjadi

SM Gunung Watumohai dan digabungkan menjadi satu dengan SM Rawa Aopa dengan nama SM Rawa

Aopa–Gunung Watumohai seluas 96.804 ha. Dengan perubahan status sebagian TB Watumohai

dimaksud, maka luas TB Watumohai menjadi 8.756 ha dan diberi nama TB Dataran Rumbia.

Bertepatan dengan penyelenggaraan Pekan Konservasi Alam di Kaliurang pada tanggal 1 April 1989,

Menteri Kehutanan mendeklarasikan SM Rawa Aopa–Gunung Watumohai sebagai Taman Nasional.

Mempertimbangkan usulan pemerintah daerah dan telah selesainya proses tata batas (1984 s/d 1987),

Menteri Kehutanan selanjutnya menetapkan kawasan TNRAW seluas 105.194 ha, dengan

menggabungkan SM Rawa Aopa–Gunung Watumohai dan TB Dataran Rumbia dikurangi dua lokasi

enclave persawahan Horodopi seluas 364 ha dan perkuburan Makaleleo seluas 2 ha.

3.2. Perbandingan Perambahan

Analisa spatial pada lokasi konflik perambahan di TN RAW dapat diperhatikan dalam tampilan series

peta citra sebagaimana berikut.

Page 38: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

35

Citra 1972

- Indikasi perambahan

sedikit/kecil

Citra 1994

- Indikasi perambahan

meluas sepanjang batas

terluar

Citra 1997

- Indikasi perambahan

meluas dan hampir

separuh wilayah Desa

Tambekuku

Page 39: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

36

Citra 2000

- Indikasi perambahan

meluas dan kawasan

tersisa dengan

penutupan hutan sedikit

Citra 2004

- Indikasi semua kawasan

hutan telah terjadi

perambahan

Citra 2009

- Indikasi semua kawasan

hutan telah terjadi

perambahan

Gambar 01. Perkembangan perambahan berdasarkan Citra dari tahun 1972 – 2009

Seiring dengan perkembangan waktu, peningkatan penduduk semakin tinggi dan menjadi ancaman

tersendiri dalam pengelolaan kawasan TN Rawa Aopa Watumohai. Perambahan tersebut semakin

masif dan bahkan tak terkendali. Pengelola TNRAW selanjutnya melakukan pendataan secara

menyeluruh terhadap bentuk-bentuk permasalahan tenurial di kawasan pada tahun 2011 dan 2018.

Page 40: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

37

Hasil menunjukkan adanya penurunan luas perambahan dari 22.746,57 ha (2011) menjadi 21.564,64 ha

(2018). Luas penurunan perambahan sebesar 1.181,93 ha atau seluas 5,2%.

Beberapa hal yang mempengaruhi penurunan adalah:

1. Kesalahan pengolahan data terkait dengan penafsiran citra. Beberapa lokasi pada kelompok hutan

Awiu yang diklasifikan sebagai perambahan ternyata merupakan tutupan awan. Kesalahan

penafsiran citra tersebut terjadi mengingat bahwa kegiatan groundcheck dilakukan berdasarkan

perwakilan/cuplikan pada tahun 2011. Data tersebut saat ini telah diupdate dan dikeluarkan dari

kategori perambahan tahun 2018.

2. Lokasi perambahan telah ditinggalkan oleh penggarap setelah dilakukan sosialisasi kepada

masyarakat oleh petugas TNRAW.

Namun di sisi lain, berdasarkan hasil analisa citra, terjadi peningkatan luas areal penggunaan lahan

untuk permukiman dan pertanian oleh masyarakat. Hal ini karena terjadi pertumbuhan penduduk

dalam lingkungan masyarakat. Perubahan luas open area (permukiman, pekarangan dan lahan

pertanian) dapat diperhatikan dalam gambar series berikut.

Page 41: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

38

Citra tahun 1995

- Kondisi tidak dijumpai

permukiman

Citra tahun 1996

- Kondisi tidak dijumpai

permukiman

Citra tahun 1997

- Kondisi dijumpai permukiman

yang mengelompok sepanjang

jalur jalan kampung

Page 42: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

39

Citra tahun 2006

- Kondisi dijumpai permukiman

dan sudah mulai menyebar

meluas

Citra tahun 2015

- Kondisi dijumpai permukiman

dan tambah meluas, namun

masih di dalam zona tradisional

Citra tahun 2016

- Kondisi dijumpai permukiman

dan tambah meluas di luar zona

tradisional

3.3. Upaya Penanganan Balai TNRAW

Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai TNRAW terhadap permasalahan tenurial meliputi:

12. Melakukan kajian dan pendataan perambahan tahun 2011

13. Penetapan tipologi perambahan dilakukan dengan menggunakan aspek-aspek sebagai berikut : (1)

ekologi, (2) sosial budaya, (3) ekonomi dan (4) kewenangan wilayah yang dimiliki. Rekomendasi

Page 43: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

40

penanganan dilakukan dengan kombinasi tipologi ekologi dan sosial ekonomi budaya serta

tipologi ekonomi dan kewenangan wilayah

14. Melakukan kajian dan Pendataan perambahan tahun 2018 (laporan final dalam proses

penyelesaian dengan penggunaan metode yang sama).

15. Peningkatan koordinasi dan sosialiasi dengan masyarakat desa penyangga.

16. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan TN, seperti pelibatan penanaman dalam pemulihan

ekosistem.

3.4. Rencana tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNRAW

Upaya tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNRAW ke depan meliputi:

7. Mendorong percepatan tata batas

8. Melaksanakan kegiatan pengamanan kawasan

9. Sosialisasi zonasi dan penyuluhan.

10. Berkoordinasi dengan para pihak terkait

3.5. Kunjungan dan Pengamatan Lapangan

1. Lokasi permasalahan tenurial di Desa Tombekuku.

Kunjungan lapangan dilakukan pada sample lokasi perambahan di Desa Tambekuku dimana

memiliki intensitas konflik yang laten (berdasarkan informasi Balai merupakan konflik yang sudah

lama dan dan tidak terselesaikan). Kegiatan dilakukan dengan diskusi dan pertemuan dengan

Kepala Desa dan Kelompok Masyarakat di Dusun Tiga dan Dusun Empat.

Kronologis adanya perambahan diawali dengan pengkaplingan dan penjualan tanah oleh Pewaris,

yaitu orang pribumi yang mempetak-petak hutan dan kemudian menjualnya. Kondisi lahan masih

berupa hutan. Pewaris yang melakukan kegiatan tersebut adalah orang Tolaki (Pak Nambo, Sunge

dan Musa). Saat ini, orang-orang tersebut sudah tidak diketahui keberadaannya (sudah

meninggal).

Proses beli tanah/ganti rugi dilakukan secara sederhana dari pewaris ke pendatang dari Bugis, dan

kota lain di Sulawesi Selatan. Rata-rata kepemilikan tanah adalah 1-4 hektar berupa pekarangan,

kebun, dan atau sawah. Pada Desa Tambekuku, lokasi yang menjadi konflik lahan kawasan berada

pada sebagaian Dusun Tiga dan Seluruh Dusun Empat.

Pemanfaatan lahan masih sebatas pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan sendiri). Status

kepemilikan lahan saat ini sering berpindah penggarapan dari penggarap satu ke penggarap lainnya

yang masih dalam satu lingkup dusun. Kepemilikan lahan paling banyak seluas 20 hektar dan

merupakan orang yang paling mampu/kaya. Dalam perkembangannya, pertumbuhan keluarga baru

menuntut pemenuhan kebutuhan lahan garap, maka perolehan lahan dilakukan dengan menganti

rugi pemilik yang telah pindah keluar kampung. Dalam artian, luas lahan garapan adalah tetap

tanpa adanya penambahan pembukaan lahan baru.

Mekanisme dalam kelompok memang tidak dijumpai pembeli tanah dari orang luar karena pada

saat ini telah tersebar informasi bahwa lahan tersebut merupakan kawasan taman nasional.

Dampaknya adalah masyarakat luar tidak mau membeli tanah-tanah tersebut (jual beli tanah

menurun). Dengan demikian, penggantian kepemilikan lahan garap bergulir dari masyarakat ke

masyarakat lainnya yang masih dalam kelompok dusun tersebut.

Dalam masyarakat Dusun 3 dan Dusun 4, terdapat 5 kelompok tani dengan masing masing-

masing anggota ± 30 KK, yaitu:

1. Kelompok Tani Matirowali dengan Ketua Bapak Baharuddin

2. Kelompok Tani Maminasa dengan ketua Ali Ampa

3. Kelompok Tani Harapan dengan ketua Jema

4. Kelompok Tani Purnama dengan ketua Abdullah

5. Kelompok Tani Merpati dengan ketua Andi Kasma

Page 44: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

41

Jenis penggunaan lahan yang dapat diamati meliputi:

1. Penggunaan untuk kebun (kopi, kelapa, coklat, sawit) dan jenis kayu (jati)

2. Penggunaan untuk ladang

3. Penggunaan untuk pertanian lahan basah

4. Penggunaan lahan untuk permukiman

5. Penggunaan lahan untuk fasilitas umum (listrik, jalan, tempat ibadah)

Pilihan jenis tanaman pada umumnya mengikuti trend jenis komiditi yang memiliki nilai jual tinggi.

Harapan masyarakat adalah adanya kejelasan kepemilikan lahan menjadi hak milik pribadi, namun

demikian, opsi pengelolaan sesuai mekanisme TN relatif terbuka. Masyarakat menyatakan jika

tidak dapat memiliki tanah sebagai hak milik, masyarakat siap saja dengan mekanisme kelola TN

dengan jaminan tetap diperbolehkan atau memiliki hak pemanfaatan. Usulan kemitraan konservasi

secara umum dapat diterima oleh masyarakat.

Beberapa hal yang menjadi kelemahan adalah minimnya informasi ke masyarakat terhadap bentuk

kelola Kawasan.

2. Lokasi permasalahan tenurial Konflik adat Moronene.

Kunjungan dilakukan pada tokoh masyarakat suku Morenene di Dusun Tiga, Desa Watu-Watu.

Hasil kunjungan dan pengamatan lapangan sebagaimana berikut:

1. Situasional

• Informasi awal: terdapat bangunan rumah pertemuan warga yang didesign sebagai rumah

adat yang dibangun pada tahun 2013. Instrumen-instrumen adat dalam kontek ini

merupakan konstruksi baru yang dibangun.

• Kondisi awal: masyarakat tidak mau menerima tamu dari luar jika belum/tidak

mendapatkan ijin dari ketua adat yaitu pak Mansur.

• Pak Mansur sebagai ketua adat sekaligus merupakan anggota DPRD dari Partai Pan.

• Dalam hal ini disampaikan oleh Pak Mursidi (polhut BTNRAW) bahwa sudah dilakukan

upaya menghubungi ketua adat, namun nomor handpone ketua adat tidak dapat

dihubungi. Tokoh adat yang ada adalah sekretaris adat (Pak Darmon). Dalam hal ini,

sekretaris adat juga menunjukkan rasa sikap ketidaksenangan/penolakan secara halus.

Namun, Pak Mursidi sudah menyatakan telah menghubungi tokoh adat lainnya (Tasman)

untuk disampaikan ke pengurus yang ada.

• Tokoh masyarakat yang ada akhirnya menyatakan menerima dengan ketentuan tidak

mengambil keputusan/kesimpulan. Wawancara sebatas penyampaian aspirasi/harapan saja.

• Masyarakat menginginkan dari pihak Balai, agar wilayah tersebut dapat diserahkan ke

masyarakat, lokasi yang diukur seluas 26.000 ha usulan tahun 2013 dan pengukuran kedua

23.000 ha tahun 2017.

• Pemetaan bersama pendamping tanpa melibatkan pihak Balai TNRAW, Pemetaan

didampingin oleh pendamping dari tim AMAN.

• Luasan lokasi yang diusulkan adalah sekitaran lokasi permukiman.

• Lokasi luasan 23.000 ha meliputi 2 resort, padahal lokasi resort Langkoala (lokasi

permukiman masyarakat) hanya seluas 19.000 ha.

• Teknik pemetaan luas areal adalah menghubungkan lokasi titik-titik indikasi penemuan

makam terluar sehingga luasan areal sanagat luas meskipun beberapa lokasi bukan bagian

dari kegiatan aktivitas masyarakat adat.

Page 45: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

42

• Topik luasan kawasan relatif isu sensitif sehingga masyarakat meminta untuk tidak

membahas lebih lanjut detail rincian lokasi tersebut.

• Struktur pengurus adat meliputi Kappala kampung (1), juru tulisi (1),

bendahara/unososoronga (1 orang), kaur-kaur/totonga, totonganolongo (pertanian)

menentukan tempat kebun.

• Terdapat 6 kelompok tani dengan rata-rata anggota kelompok adalah ± 15-25 anggota,

yaitu:

1. Kelompok Tani Ambau

2. Kelompok Tani Umbu Roda

3. Kelompok Tani Koro Bua

4. Kelompok Tani Pelawatia

5. Kelompok Tani Tailaku

6. Kelompok Tani Silea

• Matapencaharian meliputi: pertanian dan peternakan. Jumlah ternak sapi 125, kerbau 100

lebih, dan tidak semua orang memiliki ternak dengan cara dilepas liarkan.

• Jenis komoditi kebun: jambu mete dan nilam (panen per 3 bulan). Jenis nilam merupakan

jenis tanaman luar yang dimasukkan dan dibudidayakan oleh masyarakat setempat, dan

dilokasi kampung terdapat penyulingan minyak nilam dengan mekanisme perorangan.

Kepemilikan instalasi merupakan milik ketua adat. Hasil nilam per panen adalah puluhan

juta (informasi terbatas).

• Pertimbangan pemilihan jenis adalah komoditi yang bernilai

• Penghasilan rata-rata: tidak bisa menaksir

• Pendidikan paling tinggi SD-SMA

• Terdapat bangunan permanen berupa SD, sedangkan siswa SMP bersekolah di rumah

pertemuan adat. Jumlah siswa SD-SMP adalah 35 siswa.

• Kegiatan adat yang masih berjalan adalah pesta panen tiap tahun berupa molonda berupa

pukul lesung tumbuk padi, upacara permulaan penanaman padi (Mo’oli), upacara mo’oli

hunua yaitu upacara pemotongan kerbau untuk pembersihan kampung. Darah kerbau

dibuang ke suangi per dua tahun sekali pada bulan 10.

• Pemanfaatan lahan masyarakat yang digarap masing-masing 50x100 meter/kk (1,5 ha),

persawahan 2 ha per KK, namun jika sudah disahkan sebagai hutan adat maka akan ada

lahan-lahan pemanfaatan yang lebih luas.

• Pengaturan air sudah relatif maju dengan penerapan iriganis mekanis. Sistem irigasi saat ini

dengan menggunakan mesin sedot air. Pada awalnya menerapkan mekasnisme tadah

hujan, namun dalam perkembangan waktu, masyarakat menerapkan teknologi dengan

teknologi mekanis.

• Kesadaran hukum: Adapun apapun yang disampaikan oleh taman nasional tetap di-iyakan

dan tetap diikuti. Masyarakat menyadari keberadaan mereka tidak dibenarkan di taman

nasional, tetapi karena adanya keharmonisan pengelolaan (pengaturan tata ruang zona

tradisional) sesuai dengan kepentingan mereka. Berdasarkan penjelasan Pak Darmon

(sekretaris adat), masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di zona tradisional, jika

berdasarkan pemetaan adat pada zona pemanfaatan (beda definisi). Zona tradisional dinilai

sangat pas/sesuai. Pengaturan zona tradisional sangat mendukung pola pertanian dan

perkebunan masyarakat.

Page 46: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

43

• Kerjasama/hubungan taman nasional dengan masyarakat adat dinilai sudah mulai

baik/harmonis. Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai TNRAW adalah Pelibatan

masyarakat dalam kegiatan penanaman pemulihan ekosistem.

• Masyarakat merasa sudah cukup mendukung dengan kegiatan konservasi karena sudah

terlibat dalam kegiatan pemulihan ekosistem (penanaman), dilibatkan secara aktif.

• Kegiatan pelibatan masyarakat menjadikan peningkatan kesadaran masyarakat dalam

konservasi kawasan.

IV. Analisis Tipologi Konflik

4.1. Lokasi permasalahan tenurial di Desa Tombekuku.

Analisa Aktor Konflik:

1. Penduduk

Pendatang

Asal Pendatang Bugis

Keberadaan masyarakat dalam

kawasan

Sejak tahun 1990

Asal memperoleh lahan Lahan diperoleh dari orang lokal

(pewaris) yang mengklaim lahan-lahan

dalam kawasan untuk dijual-belikan.

Motif Kebutuhan subsisten

Jenis penggunaan lahan Kebun, ladang, sawah, permukiman

dan fasilitas umum

Jenis pertanian Pertanian, perkebunan

Kesadaran hukum Sadar bahwa lokasi merupakan

kawasan TN

Dampak terhadap kawasan TN Tingkat jual beli lahan sangat

berkurang, pengalihan penggarapan

dengan mekanisme ganti untung

Kebijakan lokal untuk hidup dengan

hutan

Tidak ada, tidak ada pranata adat

Pemahaman lokal tentang kawasan Minim

Penerimaan terhadap usulan

kemitraan

Masyarakat bersedia dengan

pengaturan yang akan diterapkan

dengan jaminan tetap dapat

menggunakan kawasan atau mendapat

hak guna pakai/pemanfaatan

4.2. Lokasi permasalahan tenurial di Klaim Adat Moronene.

Analisa aktor konflik: 1. Masyarakat

setempat

Asal Berasal dari desa-desa sekitar kawasan (hukaea

laya dan Lapopala)

Keberadaan Masuk tahun 1995 (setelah penetapan TN

tahun 1990 ataupun status kawasan sebelumnya

yang berupa TB Watumohai (1976) dan SM

Watumohai (1985)).

Motif awal Kebutuhan lahan, subsisten berkembang kea

rah pengusulan hutan adat

Jenis penggunaan lahan Pemukiman

Jenis pertanian Pertanian dan perkebunan

Kesadaran hukum Sadar jika lokasi merupakan kawasan TN

Dampak terhadap kawasan TN Perluasan penggunaan lahan untuk permukiman

dan pertanian

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Ada, tahun 2013, berupa perda masyarkat adat

Pemahaman lokal tentang kawasan Kurang

Page 47: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

44

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Zonasi dinilai sesuai/cocok karena sangat

mendukung pola pertanian dan perkebunan

masyarakat.

V. Arahan Penanganan

Pelaku (1) Pendatang Bugis

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun

Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK

Penggunaan lahan Lahan budidaya dan pemukiman

Orientasi Subsiten

Zonasi Zona pemanfaatan

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 2 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok

pemanfaatan, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi

penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:

1. Mediasi untuk sosialisasi aturan kemitraan konservasi

2. Kemitraan Konservasi skema pemberdayaan masyarakat

Pelaku (2) Masyarakat adat

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun sebelum adanya penetapan

Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar klaim adat komunal

Penggunaan lahan Lahan budidaya dan pemukiman

Orientasi Subsiten

Zonasi Zona religi, budaya dan sejarah

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 5 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok khusus

dan religi budaya sejarah, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan

orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:

1. Mediasi untuk sosialisasi aturan kemitraan konservasi

2. Kemitraan konservasi dengan skema pemberdayaan masyarakat

3. Review zona/blok (termasuk di dalamnya usulan wilayah adat)

Page 48: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

45

Lampiran 3. Rumusan Hasil Survei Lapangan di TN Bogani Nani

Wartabone

Tim Efektif Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik di Kawasan Konservasi

Melalui Pendekatan Keruangan dan Tipologi Permasalahan

Di TN Bogani Nani Wartabone

A. Dasar: Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi No.

PT.422/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018.

Surat Keputusan Direktur Kawasan Konservasi No.

SK.37/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018

B. Hari/tanggal : Sabtu, 13 Oktober 2018

C. Tempat: Kantor Balai TN Bogani Nani Wartabone, Kotamobagu

D. Penanggung jawab: Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah II Doloduo

E. Pelaksana:

1. Ronggo Bayu Widodo

2. Budi Susetyo

3. Hari Cahya P.

F. Hasil Survei lapangan

1) Agenda kunjungan survei lapangan terdiri tadi 2 lokasi, yaitu:

a. Resort Dumoga Utara

1. Kawasan yang menjadi fokus pertama adalah Open Area yang yang terletak di Resort

Dumoga Utara, SPTN Wilayah II Doloduo dan secara administrasi terletak di Desa

Tapadaka Utara, Kecamatan Dumoga Tenggara, Kabupaten Bolaang Mongondow.

Kegiatan yang dilakukan yaitu:

• Dialog dengan Kepala Desa/Sangadi, tokoh masyarakat, kelompok masyarakat, dan

Kelompok Tani Hutan, Tapa Limau di Desa Tapadaka Utara.

• Survey lapangan ke lokasi pembibitan (nursery) Pala, Kemiri, Nantu dan Cempaka

yang merupakan inisiatif masyarakat Desa Tapadaka Utara. .

• Survey ke lokasi pemulihan ekosistem dengan jenis Pala, Kemiri, Nantu dan

Cempaka di dalam areal pemulihan ekosistem di Desa Tapadaka Utara. Model

penanaman merupakan kombinasi tanaman perambahan berupa coklat/kakao

dengan diselingi tanaman kayu bernilai ekonomis tinggi hasil kesepakatan kelompok

masyarakat dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

2. Melalui depth interview terdapat 2 (dua) kelompok masyarakat (mantan pelaku

perambahan) yang secara inisiatif telah melaksanakan penanaman pemulihan

ekosistem secara kolaboratif pada areal sempadan sungai seluas 5 Ha dari 77 Ha yang

direncanakan yaitu Kelompok Tapa Limau dan Kelompok Matobatu. Meskipun belum

terbangun PKS namun karena pendekatan secara terus-menerus oleh pihak balai

maka muncul kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kawasan taman nasional yang

sudah terdegradasi di sekitar desa mereka. Penyebarluasan program kemitraan

konservasi kepada masyarakat Tapadaka Utara perlahan-lahan dipahami sehingga

muncul kesadaran kelompok tersebut. Selain itu, dukungan pemerintah desa sangat

positif terhadap pemulihan ekosistem dengan skema kelitraan konservasi pada area

terdegradasi di Resort Dumoga Utara khususnya di sekitar Desa Tapadaka Utara.

Page 49: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

46

b. Resort Dumoga Barat

Pada lokasi Kedua, yaitu Resort Dumoga barat dilakukan kunjungan, pertemuan dan

pendekatan kepada para mantan pelaku penambangan emas tanpa ijin (PETI) yang saat ini

menjadi anggota Komunitas Pecinta Alam (KPA) Tarsius, yang terletak di Desa Toraut,

Kecamatan Dumoga Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow. KPA Tarsius beranggotakan

sebanyak 30 orang yang sebagian besar merupakan anak muda Desa Toraut yang

mempunyai keinginan untuk merubah pandangan orang terhadap mereka sebagai preman,

orang berpendidikan rendah, dan pelaku penambangan emas liar. Selain itu, mereka

berkeinginan untuk merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik dan meninggalkan

aktifitas menambang emas liar.

2) Dalam berkomunikasi dengan masyarakat baik di Desa Tapadaka Utara maupun KPA Tarsius

di Toraut, tim menekankan pada beberapa hal:

a. Masyarakat Desa Tapadaka Utara dan Kelompok Tani Hutan Tapa Limau

• Konservasi adalah pembangunan yang tidak hanya pembangunan kawasan

konservasinya akan tetapi juga pembangunan sosial ekonomi masyarakat di

sekitarnya.

• Penanganan penguasaan dan pemanfaatan lahan (perambahan, PETI, klaim lahan,

usulan wilayah adat) dapat dilaksanakan dengan skema review zonasi/blok kawasan,

perhutanan sosial dengan kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan

masyarakat maupun pemulihan ekosistem bahkan hingga proses litigasi atau upaya

penegakan hukum.

• Mendorong peran masyarakat untuk turut aktif menjaga kawasan (mencegah

masuknya pendatang atau perambah baru, tidak menambah luas areal kebun

perambahan yang sudah ada serta selalu berkoordinasi dengan pihak taman nasional

apabila ada pihak-pihak luar yang mencoba masuk dan memanfaatkan masyarakat di

sekitar kawasan taman nasional).

• Tidak merekomendasikan jenis tanaman jagung untuk ditanam sebagai tanaman

sela/sisipan pada areal pemulihan ekosistem kolaboratif.

• Mendorong masyarakat bersama taman nasional untuk menggali opsi tanaman

sela/sisipan yang sesuai dengan konsep pemulihan ekosistem untuk dikombinasikan

dengan tanaman kehutanan namun memiliki nilai ekonomis/pasar yang prospektif,

serta secara aktif berkoordinasi dan membangun hubungan mutual kepada pihak-

pihak terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan lain-

lain.

b. KPA Tarsius

• Apresiasi kepada beberapa pemuda Desa Toraut yang mempunyai inisiatif

membentuk kelompok pemerhati lingkungan dan didukung oleh Kepala Resort

Dumoga Utara sehingga bertransformasi menjadi Komunitas Pecinta Alam (KPA)

Tarsius.

• Apresiasi kepada Balai TNBNW yang memberikan kepercayaan dan bimbingan

kepada KPA Tarsius sehingga dalam waktu yang sangat singkat sejak ditetapkan telah

banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan lingkup resort dan SPTN di Balai

TNBNW.

• Mendorong kepada KPA Tarsius untuk belajar dan meningkatkan kemampuan

masing-masing personel/anggota dengan bimbingan dari petugas TNBNW sebagai

Page 50: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

47

bekal ketrampilan dan pengetahuan yang dapat berguna dimasa depan dan menjadi

bekal alternatif mata pencaharian baru selain buruh tani/pengangguran/penambang

dll.

• Mendorong anggota KPA Tarsius untuk menyusun rencana kegiatan secara lebih

detail/rinci dan mulai mengelompokkan spesialisasi masing-masing berdasarkan bakat

dan minat, serta selalu mendengarkan arahan dari pembina dan Balai TNBNW.

Potensi pengembangan KPA Tarsius antara lain : bergerak dibidang wisata alam

(menjadi guide/interpreter), bidang konservasi keanekaragaman hayati menjadi

pengamat satwa/peneliti/pendamping penelitian baik dalam lingkup TN maupun

bekerja sama dengan mitra-mitra lainnya serta bidang konservasi kawasan.

• Mendorong KPA Tarsius dan Balai TNBNW untuk mengidentifikasi dan

mengembangan bentuk-bentuk “investasi” baik kegiatan, ketrampilan, maupun usaha

yang dapat memberikan peluang usaha ataupun mata pencaharian lebih baik bagi

KPA Tarsius maupun masyarakat yang ada di Toraut sehingga dapat dilihat sebagai

alternatif penghidupan yang layak dan pelan-pelan mereka dapat meninggalkan

aktivitas sebagai penambang liar (profession shifting).

• KPA Tarsius harus dilihan sebagai peluang dan potensi jangka panjang yang dapat

dijadikan alternatif solusi penyelesaian permasalahan PETI meskipun tidak secara

total mampu menyelesaikan masalah. Harapan dan keinginan dari anggota KPA

Tarsius yang beberapa diantaranya menjadi penambang emas/eks penambang untuk

mencari mata pencaharian lain menjadi celah peluang jangka panjang secara bertahap

untuk mengalihkan motif ekonomi masyarakat sebagai penambang emas menjadi

penggiat konservasi dengan penghasilan yang memadai/minimal setara dengan

penghasilan yang diperoleh dari menambang emas. Berdasarkan pengakuan

responden, secara finansial hasil yang diperolah menjadi penambang emas tidak

terlalu tinggi, diperkirakan hanya 40-50% dari nilai emas yang diperolehnya yang bisa

dianggap sebagai penghasilan, sehingga masih memiliki peluang untuk secara bertahap

dan jangka panjang, masyarakat penambang emas diberi contoh dan bukti nyata

adanya peluang usaha/mata pencaharian lain yang pendapatannya tidak jauh berbeda

dengan menambang emas, namun lebih aman baik dari sisi kesehatan maupun

keselamatan.

3) Dijumpai tipologi permasalahan dan tipologi masyarakat sebagai berikut:

Page 51: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

48

Tabel 1. Tipologi Permasalahan dan Tipologi Masyarakat Pada Open Area di SPTN II Doloduo

Perambahan/Pembukaan Lahan

Untuk Perkebunan

Asal Asli dan Pendatang (Transmigran)

Domisili Di luar kawasan TN

Kronologis keberadaan di dalam dan disekitar TN

Sebagian masyarakat sudah ada sebelum penetapan TN (sekitar tahun 1980), merupakan

penduduk suku asli maupun transmigran Jawa dan Bali dari sekitar Tapadaka Utara, meskipun

desa secara administratif baru ditetapkan tahun 1996 (kawasan TN ditetapkan tahun 1992).

Penduduk saat ini sebagian besar merupakan keturunan dari penduduk lama dan sebagian

pendatang setelah tahun penetapan TN.

Motif / Modus Ekonomi (memenuhi penghidupan/kebutuhan pokok sehari-hari)

Jenis Pertanian/Usaha Tanaman pertanian musiman dan palawija (Coklat, Cabai, Jagung, Kelapa).

Saat ini tertarik untuk menanam Pala, Kemiri, Nantu, Cempaka dan kedepannya menanam

Jahe ataupun Jahe Merah.

Kesadaran Hukum Menyadari sepenuhnya bahwa lahan yang digunakan merupakan bagian dari kawasan TN dan

sadar lokasi desa berada di luar/berbatasan langsung dengan kawasan TN.

Dilakukannya proses hukum kepada tersangka Taslim memberikan efek positif menurunkan

keberanian masyarakat merambah kawasan TNBNW

Dampak adanya Penetapan TN Tidak ada

Kearifan Lokal yang ada terkait dengan hubungan masyarakat dengan KK

Tidak ada, namun menyadari peran kawasan hutan sebagai sumber air.

Ketergantungan Terhadap Kawasan

1. Penduduk memiliki keterrgantungan tinggi terhadap kawasan dalam arti ketergantungan

terhadap lahan kebun yang berada di dalam kawasan TN, tidak memiliki opsi lain dalam

mata pencaharian atau sumber penghidupan yang mampu menggantikan peran ekonomi

kebun mereka saat ini, belum melihat peluang lain untuk hidup dan penghidupan mereka

selain berkebun di dalam kawasan.

2. Ketergantungan terhadap hutan dalam arti mengambil manfaat kawasan secara langsung

tidak ada/belum tergali. Tidak ada HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat.

Keinginan Terhadap Pengelolaan Kawasan

Masyarakat berharap tetap dapat menggarap lahan kebun yang ada dalam konteks pemulihan

ekosistem yang saat ini sedang proses dikerjasamakan. Masyarakat menerima opsi pemulihan

ekosistem melalui skema kemitraan konservasi dengan jenis Pala, Kemiri, Cempaka, dan

Nantu karena jenis Pala dan Kemiri merupakan jenis yang mampu tumbuh di kawasan tersebut

dan dirasakan memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan hasil yang cukup

menjanjikan.

Masyarakat berharap ada opsi tanaman sisipan pengganti jagung dan kacang tanah apabila Pala

dan Kemiri sudah cukup tinggi. Pilihan tanaman saat ini yang sedang diupayakan sebatas jenis

tanaman jahe, jenis tanaman lain seperti bawang hutan tidak menarik perhatian masyarakat

karena tidak jelas pemasarannya.

Penambang Emas Tanpa Ijin Asal Asli dan Pendatang (Transmigran dan penduduk dari luar)

Domisili Secara umum penambang tinggal di luar kawasan TN. Lokasi penggalian dan gubuk penambang

(berupa gubuk terpal) berada di dalam kawasan TN.

Instalasi pengolahan emas (baik yang menggunakan merkuri maupun sianida) berada di desa-

desa sekitar TN.

Page 52: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

49

Kronologis keberadaan di dalam dan disekitar TN

Penambangan telah dimulai sejak tahun 1987, dan terus berlangsung hingga tahun 2018.

(kronolgis PETI terlampir)

Motif / Modus 1. Ekonomi utama, menjadi pekerjaan utama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari;

2. Ekonomi tambahan, menjadi pekerjaan tambahan selain menjadi buruh/petani dll guna

mendapatkan tambahan penghasilan;

3. Bisnis/pemodal, umumnya dimiliki oleh para pemodal yang menyediakan tempat

penampungan dan pengolahan di desa-desa sekitar TN

Jenis Usaha Penambangan/penggalian emas

Kesadaran Hukum Sadar lokasi penggalian emas berada di dalam kawasan TN

Dampak adanya Penetapan TN Tidak ada

Kearifan Lokal yang ada terkait dengan hubungan masyarakat dengan KK

Tidak ada

Ketergantungan Terhadap Kawasan

Sangat tergantung dikarenakan lokasi penggalian berada di dalam kawasan TN.

Keinginan Terhadap Pengelolaan Kawasan

Beberapa mantan pelaku penambang sudah mulai memiliki keinginan untuk mencari peluang

mata pencaharian lain selain menjadi penambang emas.

Sebagian besar masih berkeinginan untuk tetap menambang emas dikarenakan faktor

ekonomi (tidak memilki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan harian).

Sumber : Hasil analisis lapangan, 2018

Page 53: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

50

G. Gambaran Spasial Lokasi Survei

H. Pembelajaran

Page 54: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

51

a. Insiatif dan stamina berdialog dengan pihak-pihak yang berkepentingan langsung terhadap

lahan di TNBNW harus terus dijaga dan dipelihara, agar peta pemain tersusun lebih

komprehensif dan terhindar dari solusi yang bias.

b. Perlunya revitalisasi pedoman penataan zona/blok di kawasan konservasi agar pada

prakteknya baik di pusat maupun di daerah tidak sekedar mengalokasikan ruang, namun

lebih berorientasi kepada bagaimana membangun kesepakatan kelola ruang yang rasional,

ilmiah, dan dapat dikelola.

c. Kesadaran masyarakat atak kelompok tani di Tapadaka Utara di Resort Dumoga Utara

masih sangat rentan (fragile) dan dapat berubah apabila tidak dilakukan pendampingan dan

pemberian pemahamanan yang terus menerus tentang tata kelola kawasan konservasi dan

kemitraan konservasi. Euforia yang sedang berkembang saat ini harus dijadikan tantangan

untuk tetap mempertahankan semangat (endurance of spirit) kerja bersama (collective

action) menuju tata kelola kawasan konservasi yang baik.

d. Kelompok tani Tapa Limau dapat dijadikan sebagai agen perubahan ataupun champion

dalam mendorong akselerasi perbaikan kawasan TNBNW.

e. KPA Tarsius mempunyai semangat yang tinggi untuk berubah karena didasarkan pada

kesamaan nasib dan sejarah kehidupan mereka. Semangat yang tinggi harus dijaga

ketahanannya (endurance) sehingga tidak patah di tengah jalan dan kembali pada kehidupan

sebelumnya sebagai penambang emas liar.

f. Sebagaimana Kelompok Tani di Tapadaka Utara, KPA Tarsius pun masih sangat rentan

karena euforia yang masih sangat terasa. Oleh karena itu pendampingan sangat penting dan

pemberian pemahaman terus-menerus dibutuhkan agar mereka tetap berada pada

semangat yang besar dan tidak salah pemahaman.

g. KPA Tarsius dapat diarahkan sebagai agen perubahan khususnya untuk mendorong para

generasi tua mereka meninggalkan kehidupan sebagai penambang emas liar.

h. Permasalahan PETI sangat kompleks sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam menangani.

Perlu tetap dilakukan patroli rutin sehingga kehadiran negara sebagai pengelola tidak hanya

terlihat tapi juga dirasakan masyarakat dan minimal menjaga tidak menambah area yang

dirambah untuk PETI.

I. Tindak Lanjut

a. Penyusunan rumusan dan strategi pola penanganan konflik tenurial TN Bogani Nani

Wartabone berdasarkan tipologi permasalahan dan tipologi masyarakat yang telah

dirumuskan.

b. Pemutakhiran data spasial kawasan TN Bogani Nani Wartabone

c. Perbaikan kualitas data open area yang ada di TN Bogani Nani Wartabone berdasarkan

citra satelit resolusi tinggi.

d. Memulai pembangunan basisdata spasial yang akan diintegrasikan ke dalam Sitroom KSDAE

m. Arahan Penanganan

Pelaku (1) Pelaku tinggal di luar, lahan garapan di dalam kawasan

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun

Luas penguasaan 5-10 hektar per KK

Penggunaan lahan Lahan budidaya dan perkebunan

Orientasi Subsiten

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok

rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi

penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:

Page 55: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

52

1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menyerahkan lahan secara sukarela

kepada Taman Nasional

2. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem.

Pelaku (2) Pelaku tinggal di luar, lahan garapan di dalam kawasan

Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun

Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK

Penggunaan lahan Penambangan tanpa ijin

Orientasi Subsiten

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok

rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi

penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:

1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menghentikan kegiatan

pertambangan dan mencegah bertambah luasnya PETI

2. Penegakan hokum terhadap penambang secara bertahap dan selektif, terutama

dengan sasaran para tokoh penambang

3. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem pada sekitar lokasi tambang dan

pemberdayaan masyarakat melalui pengalihan mata pencaharian..

Page 56: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

53

Lampiran 4. Laporan Hasil Kunjungan Lapangan di SM Dangku

Tim Efektif Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik di Kawasan Konservasi

Di Suaka Margasatwa Dangku

J. Dasar: Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi No.

PT.440/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018.

Surat Keputusan Direktur Kawasan Konservasi No.

SK.37/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018

K. Hari/tanggal: Sabtu, 27 Oktober 2018

L. Tempat: Kantor Balai KSDA Sumatra Selatan, Palembang

M. Penanggung jawab: Kepala Seksi Pengendalian Pengelolaan KSA

N. Peserta:

4. Budi Susetyo

5. Andhika Chandra Ariyanto

6. Vischa Findanissa

O. PROSES KUNJUNGAN

Kawasan yang menjadi fokus kajian Open Area adalah Suaka Margasatwa (SM) Dangku dengan

kegiatan yang dilakukan yaitu:

• Dialog dengan tokoh masyarakat, kelompok masyarakat setempat di wilayah Sungai Petai,

Desa Pangkalan Tungkal, Kecamatan Bayung Lencir dan dan Desa Keluang, Kecamatan

Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin.

• Survey lapangan ke lokasi penanaman, lokasi pembibitan Tanaman Meranti dan Pulai bantuan

dari mitra ZSL, pengecekan/ validasi areal kebakaran dan open area.

• Penanaman yang dilakukan merupakan kombinasi antara tanaman perambahan berupa karet

dan diselingi tanaman kayu bernilai ekonomis tinggi hasil kesepakatan kelompok masyarakat

dengan KSDA Sumatra Selatan.

1) Pada proses komunikasi dengan masyarakat, beberapa hal yang menjadi catatan tim dan

beberapa hal yang disampaikan oleh Tim kepada masyarakat antara lain :

• Kawasan Konservasi adalah hutan negara yang dikelola oleh negara untuk melindungi

beberpa satwaliar yang hidup secara alami.

• Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi ada hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan

oleh masyarakat. Dengan kondisi sekarang, penguasaan lahan oleh masyarakat harus

diselesaikan dengan beberapa cara, salah satunya adalah kerja sama/kemitraan

konservasi. Tujuannya adalah untuk menghutankan kembali area yang telah terbuka/

digarap oleh masyarakat.

• Dalam proses menghutankan kembali, masyarakat membutuhkan penghasilan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu, penanaman tanaman hutan dapat

dikombinasikan dengan tanaman holtikultura yang dapat memberikan penghidupan.

• Berdasarkan data sementara, diketahui masyarakat pendatang pada umumnya memiliki

keseragaman pola dan waktu perambahan. Faktor ekonomi dan perbaikan taraf

kehidupan menjadi alasan utama mereka, ditambah dengan faktor ketidaktahuan

terhadap status lahan yang kemudian “dibeli” dari oknum masyarakat setempat/asli.

Perlu didalami pola dan aktor jual beli lahan oleh oknum penduduk asli yang berasal dari

desa sekitarnya, untuk mengantisipasi dan memetakan tingkat kerawanan di lokasi

tersebut karena praktek jual beli oleh penduduk setempat yang berada di luar Kawasan

berpotensi akan terus menarik pendatang-pendatang baru.

Page 57: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

54

• Mendorong peran masyarakat untuk turut aktif menjaga kawasan dengan tidak

menambah luasan area garapan, tidak menambah orang yang datang ke dalam Kawasan,

dan tidak memindah-tangankan lahan kepada siapapun, serta selalu berkoordinasi

dengan pihak KSDA Sumatra Selatan.

• Tanaman singkong akan mengakibatkan tanah tidak subur dan sawit dilarang dalam

Kawasan konservasi. Saat ini orientasi masyarakat masih pada tanaman singkong,

beberapa individu masyarakat masih berharap pada tanaman karet. Perlu diwaspadai

keinginan beberapa individu masyarakat yang berharap dapat menanam tanaman sawit.

• Mendorong masyarakat bersama KSDA Sumatra Selatan untuk menggali opsi tanaman

sela/sisipan yang sesuai dengan konsep pemulihan ekosistem untuk dikombinasikan

dengan tanaman kehutanan namun memiliki nilai ekonomis/pasar yang prospektif.

Menekankan kepada masyarakat bahwa beberapa tanaman seperti padi, karet, sawit dan

akasia tidak diperbolehkan di dalam Kawasan suaka margasatwa, dan pengecualian

terhadap tanaman karet adalah solusi jangka pendek yang diberikan oleh pihak BKSDA

Sumatera Selatan sebelum menemukan alternative tanaman yang dapat menggantikan

peran tanaman karet sebagai sumber penghidupan utama mereka.

• Menekankan kepada masyarakat untuk mewaspadai pihak-pihak dari luar yang akan

menunggangi dan memanfaatkan masyarakat untuk membuka lahan baru, menanam

tanaman-tanaman yang dilarang seperti karet dan sawit pada lahan-lahan yang ada dan

praktek jual beli lahan baru/yang ditinggalkan dengan alasan apapun, termasuk upaya-

upaya menarik simpati masyarakat dengan janji pelepasan Kawasan dan sebagainya.

• Mendorong peran aktif masyarakat agar secara mandiri mengelola kelompoknya,

dengan membagi kelompok dalam kelompok yang lebih kecil dan aktif berdiskusi dan

berkomunikasi dengan pihak BKSDA Sumsel. Pengelompokan dalam jumlah anggota

yang lebih kecil diharapkan memudahkan pengelolaan, pemantauan dan pengawasan

terhadap dinamika jumlah kelompok yang sudah ada. Diskusi dalam jumlah kelompok

yang lebih kecil akan mereduksi friksi, konflik dan memudahkan merangkum keinginan-

keinginan individu dalam upaya meningkatkan kerjasama antara masyarakat dengan

pihak BKSDA Sumsel menjadi bentuk kolaboratif yang lebih kuat.

2) Dijumpai tipologi sementara sebagai berikut:

Tabel 1. Tipologi Sementara Masyarakat

Pemukiman dan Pembukaan

Lahan Untuk

Perkebunan/Pertanian

Asal Asli dan Pendatang

Mayoritas pendatang dengan asal sebagian besar dari

Lampung

Domisili Di Dalam Kawasan SM

Kronologis

keberadaan di dalam

dan disekitar SM

Sebagian masyarakat sudah ada sebelum penetapan SM

(sekitar tahun 2011-2013) merupakan penduduk asli

Sumatera Selatan (kawasan SM ditetapkan sebagai

KPHK tahun 2014). Sebagian kecil masuk setelah tahun

2014.

Motif / Modus Ekonomi

(Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari)

Jenis Pertanian/Usaha Tanaman Ketela, Palawija dan Karet

Kesadaran Hukum Sadar lahan yang digunakan merupakan bagian dari

kawasan SM dan sadar lokasi pondok/rumah yang

dibangun berada di dalam kawasan SM

Page 58: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

55

Dampak adanya

Penetapan SM

Tidak ada

Kearifan Lokal yang

ada terkait dengan

hubungan masyarakat

dengan KK

Tidak ada, namun menyadari peran kawasan hutan

sebagai suaka margasatwa

Ketergantungan

Terhadap Kawasan

1. Penduduk tergantung terhadap kawasan dalam

artian ketergantungan terhadap lahan di dalam

kawasan yang digunakan sebagai tempat tinggal

dan lahan perkebunan mereka.

2. Ketergantungan terhadap hutan dalam artian

mengambil manfaat secara langsung tidak

ada/belum tergali. Tidak ada HHBK yang

dimanfaatkan oleh masyarakat.

Keinginan Terhadap

Pengelolaan Kawasan

Masyarakat secara umum berharap dapat tetap tinggal

dan bercocok tanam di dalam karena tidak memiliki

pilihan tempat tinggal dan pekerjaan lainnya. Mulai

terbuka dengan beberapa pilihan tanaman yang

ditawarkan melalui kemitraan, namun sebagian

masyarakat masih berkeinginan menanam karet dan

sawit.

Pembukaan Lahan Untuk

Perkebunan / Pertanian Lahan

Kering

Asal Asli

Domisili Di luar kawasan SM

Kronologis

keberadaan di dalam

dan disekitar SM

Sebagian masyarakat sudah ada sejak tahun 2008

sebagaian besar merupakan penduduk asli Sumatera

Selatan (kawasan SM ditetapkan sebagai KPHK tahun

2014).

Motif / Modus Ekonomi

Jenis Pertanian/Usaha Tanaman Ketela, Palawija, Karet dan Sawit

Kesadaran Hukum Sadar lahan yang digunakan merupakan bagian dari

kawasan SM dan sadar lokasi desa berada di luar /

berbatasan langsung dengan kawasan SM

Dampak adanya

Penetapan SM

Tidak ada

Kearifan Lokal yang

ada terkait dengan

hubungan masyarakat

dengan KK

Tidak ada, namun menyadari peran kawasan hutan

sebagai suaka margasatwa

Ketergantungan

Terhadap Kawasan

3. Penduduk tergantung dalam artian memiliki

keinginan menguasai lahan yang akan digunakan

untuk menanam karet, sawit atau tanaman

lainnya.

4. Ketergantungan terhadap hutan dalam artian

mengambil manfaat secara langsung tidak

ada/belum tergali. Tidak ada HHBK yang

dimanfaatkan oleh masyarakat.

Keinginan Terhadap

Pengelolaan Kawasan

Secara umum memiliki keinginan untuk tetap menguasai

lahan di dalam kawasan tersebut.

Page 59: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

56

P. PEMBELAJARAN

a. Pentingnya kehadiran petugas di lapangan untuk berdialog dengan masyarakat secara

intensif dan menjalin hubungan baik agar masyarakat dapat turut serta dalam menjaga

kawasan.

b. Perlunya identifikasi aktor dan motif dari pihak luar, baik yang diluar masyarakat desa

sekitar maupun masyarakat di dalam kawasan, yang berpotensi mengganggu proses

pembangunan kemitraan konservasi yang sedang dirintis karena potensi pembukaan lahan

baru, peralihan/jual beli lahan yang sudah ada, perubahan pola tanaman serta perubahan

perilaku masyarakat terhadap kawasan. Pengaruh pihak luar yang ada masih mampu

mempengaruhi keinginan masyarakat terkait jenis tanaman, pemilihan jenis tanaman dan

aktivitas masyarakat sehingga masih terjadi “permainan” diluar pengawasan dan

koordinasi dengan pemangku kawasan.

c. Perlunya revitalisasi pedoman penataan zona/blok di kawasan konservasi agar pada

prakteknya baik di pusat maupun di daerah tidak sekedar mengalokasikan ruang, namun

lebih berorientasi kepada bagaimana membangun kesepakatan kelola ruang yang rasional,

ilmiah, dan dapat dikelola.

d. Masyarakat perlu pendampingan untuk menjalin hubungan baik dengan pengelola dan

tercipta pemahaman tentang pentingnya Kawasan konservasi. Euforia yang sedang

berkembang saat ini harus dijadikan tantangan untuk tetap mempertahankan semangat

(endurance of spirit) kerja bersama (collective action) menuju tata kelola kawasan

konservasi yang baik.

e. Kelompok masyarakat dapat dijadikan sebagai agen perubahan ataupun champion dalam

mendorong akselerasi perbaikan kawasan SM Dangku.

f. Dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya Kawasan konservasi, kesadaran

masyarakat bahwa kegiatan bercocok tanam dan/atau berkebun di dalamnya merupakan

sesuatu yang melanggar hukum akan muncul. Untuk mempertahankan hal tersebut, upaya

pemberian akses pemanfaatan merupakan salah satu pilihan untuk melibatkan masyarakat

dalam pengelolaan Kawasan.

g. TINDAK LANJUT

1) Penyusunan rumusan dan strategi pola penanganan konflik tenurial SM Dangku

berdasarkan tipologi permasalahan dan tipologi masyarakat yang telah dirumuskan.

2) Pemutakhiran data spasial kawasan SM Dangku.

3) Perbaikan kualitas data open area yang ada di SM Dangku berdasarkan citra satelit resolusi

tinggi.

4) Memulai pembangunan basis data spasial yang akan diintegrasikan ke dalam Sitroom

KSDAE.

h. Arahan penanganan

Pelaku (1) Pelaku tinggal di dalam, lahan garapan di dalam kawasan

Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun

Luas penguasaan 5-10 hektar per KK

Penggunaan lahan Lahan budidaya dan perkebunan

Orientasi Subsiten

Zonasi Zona rehabilitasi

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok

rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi

penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:

1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menyerahkan lahan secara sukarela

kepada BKSDA

2. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem untuk mengantisipasi masuknya

sawit ke dalam kawasan

Page 60: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

57

3. Resettlement ke tempat pemukiman yang baru.

Page 61: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

58

Lampiran 5. Laporan Hasil Pelaksanaan Kegiatan Survei Lapangan

(Groundcheck) di Taman Nasional Sebangau

Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi

Melalui Pendekatan Keruangan dan Tipologi Permasalahan

di Taman Nasional Sebangau

26 – 30 Desember 2018

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Sebangau (TN Sebangau) ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Menhut- II/2004 pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004 tentang

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Sebangau dengan luas ± 568.700 Ha.

Tuntutan dinamika pembangunan dan optimalisasi fungsi kawasan hutan di sebagian wilayah

Provinsi Kalimantan Tengah, maka pengelolaan TN Sebangau mengacu Surat Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor SK.529/Menhut-II/2012 tanggal 25 September 2012 luas TN Sebangau menjadi

± 542.141 hektar. Secara administratif kawasan TN Sebangau terletak di 3 (tiga) wilayah

Kabupaten/Kota, yaitu Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau

Provinsi Kalimantan Tengah.

Ekosistem Sebangau pada saat kawasan ditunjuk menjadi taman nasional tidak sepenuhnya dalam

kondisi baik karena sebelumnya merupakan eks hutan produksi (HP) dan hutan produksi yang

dapat dikonversi (HPK) kurang lebih 13 ijin perusahaan, serta maraknya kegiatan penebangan liar

setelah ijin perusahaan berakhir. Degradasi gambut Sebangau akibat pembukaan kanal untuk

pengangkutan kayu dan pembukaan hutan menyebabkan areal ini rawan terjadi kebakaran hutan.

Dengan demikian, isu strategis dan tantangan utama pengelolaan TN Sebangau sepuluh tahun

kedepan antara lain penyelesaikan program pemantapan kawasan TN Sebangau, restorasi kawasan,

kebakaran hutan, kolaborasi pengelolaan untuk menjamin konservasi ekosistem gambut Sebangau,

pengelolaan pariwisata alam, perlindungan kawasan dan penyelesaian permasalahan tenurial.

Fokus pada permasalahan tenurial, saat ini, fakta dilapangan juga menunjukan, banyak kegiatan

pemanfaatan lahan yang menerabas kawasan hutan, temasuk kawasan taman nasional Sebangau,

Permasalahan tenurial ini diindikasikan terjadi tidak hanya oleh masyarakat tapi juga melibatkan

perusahaan maupun oknum di pemerintahan. Secara aturan, kawasan hutan tidak boleh

dialihfungsikan, kecuali kawasan hutan produksi yang dikonversi (HPK) melalui Surat Keputasan

(SK) Pelepasan Kawasan Hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kondisi saat ini, perambahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Sebangau telah

menimbulkan dampak kerusakan yang parah, dan risiko kebakaran tiap tahun mengancam di lokasi

tersebut. Untuk menentukan pilihan penanganan yang efektif dan tepat sasaran, diperlukan adanya

kajian yang komprehensif untuk memetakan permasalahan tenurial yang mencakup kesejarahan,

tipologi dan juga aktornya.

1.2. Ruang Lingkup

Dalam pelaksanaan kegiatan, tim efektif yang selanjutnya disebut tim PPEKTKK memiliki tugas

meliputi:

7. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;

8. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;

9. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai

dengan tipologi permasalahan.

1.3. Dasar Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi Nomor:

PT.421/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018 tanggal 8 Oktober 2018.

Page 62: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

59

1.4. Tujuan

5. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN

Sebangau.

6. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.

II. Metodologi

2.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui:

a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :

1. Observasi Lapangan

2. Interview langsung

3. Focus Group Diskusi

b. Kajian Data Sekunder

c. Analisa Deskripsi dan Spatial

2.2. Areal Pengamatan

Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN

Wilayah I TN Sebangau, yang meliputi:

f. Lokasi permasalahan tenurial di KM 17 berupa kebun sawit rakyat seluas 76 Ha terletak di

Desa Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya

g. Lokasi permasalahan tenurial di KM 36 berupa lahan transmigrasi di Desa Habaring Hurung,

Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya;

h. Lokasi permasalahan tenurial di KM 23 berupa perkebunan sawit di Desa Marang, Kecamatan

Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

2.3. Waktu Pelaksanaan

Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 26 – 30 Desember 2018.

III. Survey dan Pengamatan Lapangan

3.1. Sejarah Kawasan TN Sebangau

TN Sebangau ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Menhut-

II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004. Secara administratif kawasan TN Sebangau terletak di 3 (tiga)

wilayah Kabupaten/Kota, yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang

Pisau Propinsi Kalimantan Tengah.

Sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional, status kawasan hutan Sebangau adalah kawasan

hutan produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang dikelola oleh beberapa

perusahaan HPH sekitar awal tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an. Setelah

perusahaan HPH tersebut berhenti beroperasi, kegiatan illegal logging marak terjadi di kawasan

Sebangau. Hal ini mengakibatkan fungsi hidrologis kawasan hutan Sebangau menjadi rusak dan

fungsinya sebagai daerah resapan air (water catchments area) juga terganggu. Dampaknya apabila

terjadi kekeringan pada musim kemarau akan mudah menyebabkan kebakaran hutan. Sampai

dengan tahun 2015, di kawasan Sebangau telah terjadi beberapa insiden kebakaran besar yaitu pada

tahun 1992, 1994, 1997, 2002, 2009, 2014 dan 2015 .

Mengingat akan kerusakan dan potensi alam yang berada di kawasan Sebangau, World Wild

Fundation (WWF) Sunderand Bio Region mengusulkan Sungai Sebangau dan Sungai Katingan

menjadi kawasan perlindungan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/ Kota dan

Provinsi. Hutan Sebangau yang terletak di tiga wilayah Kalimantan Tengah yaitu Kota Palangka

Raya, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Katingan diusulkan menjadi kawasan perlindungan

dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Tengah pada pertemuan

terbatas pada tanggal 14 Desember 2002.

3.2. Perbandingan Perambahan

Page 63: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

60

2. Lokasi perambahan di KM 17 seluas 76 Ha terletak di Kelurahan Marang, Kecamatan Bukit

Batu, Kota Pelangka Raya.

Lokasi perambahan seluas 76 Hektar berada di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Sebangau

yang berdasarkan hasil pengamatan sudah ditanami sawit. Terdapat pondok kerja dan

aktivitas penanaman dan pemeliharaan sawit dilokasi tersebut. Luas sawit 76 hektar tersebut

berdasarkan data dari 1 lahan kepemilikan dan di lokasi diidentifikasi terdapat lebih dari 2

kepemilikan lahan sawit dengan luas yang belum diperoleh datanya.

Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK

423/Menhut-II/2004), SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011 dan SK Menteri

Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012, berada di dalam kawasan hutan taman nasional.

3. Lokasi perambahan terkait areal Transmigrasi di Kelurahan Hambaring Hurung, Kecamatan

Bukit Batu, Kota Palangka Raya.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012 terdapat pencadangan

Transmigrasi Habaring Hurung yang masuk Kawasan TN Sebangau seluas ± 766,20 Ha :

berupa tanah bengkok, kuburan, lahan pekarangan dan pemukiman, lahan usaha I dan lahan

usaha II. Lokasi pemukiman transmigrasi dan lahan usaha tersebut berada di Zona Khusus

dan sebagian kecil dari lahan usaha II berada di Zona Rimba. Sebagian besar Lahan Usaha II

berada di HPK dengan tutupan lahan berupa sebagian kecil semak belukar rawa dan sebagian

besar berupa tutupan hutan rawa.

Pemukiman tersebut secara fisik sudah didominasi oleh bangunan fisik permanen, berupa

perumahan, sarana fasilitas umum dan fasilitas sosial berupa TK, SD, Puskesmas Pembantu,

Masjid, Gereja, Kantor Kelurahan dan Kantor Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan.

Dalam Peta Indikatif TORA Revisi II, lokasi transmigrasi Hambaring Urung ini sebagian

masuk dalam peta indikatif tersebut namun hingga akhir tahun 2011 belum dilakukan Inver

oleh Tim PPTKH.

Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK

423/Menhut-II/2004) berada di dalam kawasan hutan, namun pada SK Menteri Kehutanan

No. 292/Menhut-II/2011, Kelurahan Hambaring Urung tidak masuk di dalam kawasan hutan

TN Sebangau namun posisinya kembali berada didalam kawasan berdasarkan SK Menteri

Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012.

Pada SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011, Hambaring Urung statusnya berubah

dari kawasan hutan menjadi APL (Area Penggunaan Lain).

4. Lokasi perambahan IUP di KM 23, Kelurahan Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangka

Raya.

Lokasi perambahan ini berupa pembukaan lahan untuk akses jalan yang dibangun oleh Dinas

Ketahanan Pangan Kota Palangkaraya atas permintaan beberapa kelompok tani untuk

keperluan bongkar muat dan angkut hasil usaha pertanian. Dilokasi tersebut juga dijumpai

kegiatan illegal logging yang sudah ditangani oleh TN Sebangau hingga penegakan hukum.

Lokasi perambahan berada di Zona Rimba dan berada pada wilayah kerja SPTN 1 yang

belum ditata batas. Jalan yang dibangun tersebut masih berupa jalan tanah rawa gambut

dengan kanal berada di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat bekas-bekas aktivitas

penebangan pohon yang menggunakan kanal sebagai jalur angkut kayunya.

Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK

423/Menhut-II/2004), SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011 dan SK Menteri

Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012, berada di dalam kawasan hutan taman nasional.

Perbandingan Posisi Lokasi Perambahan terhadap Batas Kawasan TN Sebangau berdasarkan

SK Penunjukan hingga SK Penetapan Sebagian TN Sebangau.

Titik/Lokasi SK 423/2004 SK 292/2011 SK 529/2012 SK 4731/2014

Page 64: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

61

(SK Penetapan

Sebagian)

KM 17 Di dalam Di dalam Di dalam Di Luar*

Hambaring Urung Di dalam Di Luar Di dalam Di Luar*

KM 23 Di dalam Di dalam Di dalam Di Luar*

* berada diluar karena wilayah TN Sebangau yang berada di Kota Palangkaraya belum ditata

batas.

Sketsa gambaran perbedaan posisi lokasi perambahan terhadap batas kawasan hutan TN

Sebangau.

SK 423/Menhut-II/2004

Lokasi berada di dalam

batas kawasan TN

Sebangau.

SK Menteri Kehutanan

No. 292/Menhut-II/2011

Lokasi Hambaring Urung

berada di luar kawasan

hutan TN Sebangau dan

statusnya berubah

menjadi APL (Area

Penggunaan Lain)

Page 65: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

62

SK Menteri Kehutanan

Nomer SK 529/Menhut-

II/2012

Lokasi Hambaring Urung

kembali masuk ke dalam

kawasan TN Sebangau

3.3. Upaya Penanganan Balai TNS

Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai TN Sebangau terhadap permasalahan tenurial TNS

meliputi:

17. Koordinasi dengan BPKH wilayah XXI untuk melaksanakan tata batas khususnya di Kota

Palangka Raya

a. Bersurat kepada Direktur Pengukuhan Penatagunaan dan Tenurial Kehutanan, Ditjen

Planologi Kehutanan perihal kegiatan penataan batas di SPTN Wil I Palangka Raya tanggal

19 Juni 2013

b. Bersurat kepada Ka BPKH Wil XXI perihal permohonan tata batas kawasan TNS, tanggal

30 September 2013

c. Bersurat kepada Ka Balai BPKH XXI perihal permohonan tata batas kawasan TNS,

tanggal 2 September 2015 (menindaklanjuti surat sebelumnya)

d. Bersurat kepada Ka Balai BPKH XXI perihal penataan batas luar TNS, tanggal 28 Feb

2018 (menindaklanjuti surat sebelumnya)

18. Dilakukan survey/pemetaan tutupan sawit pada wilayah SPTN I Palangkaraya pada Bulan

Desember 2018 dengan menggunakan drone (lokasi: Banturung, KM 44, KM 47, dan KM 50).

Lokasi yang belum disurvey adalah lokasi KM 17, KM 23 dan Desa Habaring Hurung. Hasil

survey/pemetaan penggunaan lahan untuk kebun sawit sebagaimana tabel berikut.

Tabel . Hasil survey luas penggunaan lahan untuk sawit I

No Lokasi Sawit Luas (ha)

1 Banturung 27,17

2 KM 44 13,84

3 KM 47 34,22

4 KM 50 34,03

Total 109,26

Sumber: KSPTN I Palangkaraya

19. Koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Palangka Raya

20. Koordinasi dengan Ditreskrimsus Polda Kalimantan Tengah dan Balai PHLHK Wilayah

Kalimantan

21. Melakukan Pengumpulan Bahan dan Informasi terkait kejadian di lapangan dengan melibatkan

PHLHK Wilayah Kalimantan

22. Mengintensifkan patroli fungsional pengamanan kawasan khususnya di SPTN Wilayah I.

3.4. Rencana tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNS

Upaya tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNS ke depan meliputi:

Page 66: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

63

11. Mendorong percepatan tata batas di TN Sebangau wilayah Palangka Raya

12. Melaksanakan kegiatan pengamanan kawasan TN Sebangau dengan melibatkan Kepolisian,

Balai Gakkum dan masyarakat

13. Mendorong penegakan hukum (perambahan dan illegal logging) di kawasan penyangga TN

Sebangau untuk mendukung keutuhan ekosistem TN Sebangau

14. Sosialisasi zonasi dan penyuluhan.

15. Pemasangan plang informasi kawasan

16. Berkoordinasi dengan para pihak terkait

3.5. Kunjungan dan Pengamatan Lapangan

3. Lokasi permasalahan tenurial di KM 17 berupa kebun sawit rakyat seluas 76 Ha terletak di

Desa Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Lokasi konflik lahan di KM 17 terletak di sekitar perbatasan antara Kecamatan Jekan Raya dan

Bukit Batu, Kota Palangkaraya yang masuk dalam wilayah kelurahan Marang. Akses masuk ke

lokasi melalui jalan Tjilik Riwut yang merupakan akses jalan menuju Sampit. Lokasi konflik

tersebut sebagian besar telah terbuka dan telah ditanami dengan kelapa sawit.

Ditemukan kebun kelapa sawit yang terletak di dalam kawasan TN Sebangau dan pondok

jaganya berada persis di garis batas kawasan. Menurut penjelasan dari penjaga kebun, bahwa

pemilik kebun tersebut pak Arton S Dohong yang pada saat ini sedang menjabat sebagai

bupati kabupaten Gunung Mas. Diceritakan bahwa dia bertemu pak Arton dan kemudian

dipercaya sebagai penjaga kebun tersebut sejak tahun 2012. Pada saat itu lahan sudah dalam

keadaan terbuka, semak belukar. Penguasan lahan kebun tersebut diceritakan bermula dari

pembelian seluas 20 ha dari seorang tentara (tidak diketahui namanya) dan kemudian

ditambah dengan membeli lahan kepada beberapa orang (tidak disebutkan nama-namanya)

sehingga luasnya mencapai kurang lebih 76 ha. Harga pembelian lahan kebun tersebut adalah

Rp 5 juta per ha.

Pada saat ini usia tanaman kelapa sawit telah mencapai 4-5 tahun, ada yang sudah mulai

berbuah “pasir”. Penjaga tersebut bekerja dengan sistem upah/gaji Rp 5 juta per bulan. Selain

sebagai penjaga kebun tersebut, keluarga (istri) penjaga itu juga membuka warung makan kecil

yang berada persis di simpang jalan masuk ke arah kebun (Km 17 kelurahan Marang). Dia

dijanjikan akan naik upah/gaji setelah sawitnya panen dan bisa dipasarkan.

Pemeliharaan atau perawatan kebun dilakukan secara terpisah dengan cara borongan atau

buruh harian. Penjaga bertindak sebagai “mandor” untuk mengatur kerja borongan tersebut.

Peralatan dan obat-obatan untuk perawatan kebun tersebut dibiayai secara terpisah oleh pak

Arton. Pengaturan pelaksanaan perawatan kebun diserahkan atau dipercayakan kepada

penjaga, termasuk pengaturan pembayaran upah borongannya. Salah satu upaya perawatan

adalah dengan menyemprot herbisida (garamoxon, round up) untuk mengontrol

pertumbuhan gulma (rumput). Para pekerja borongan atau buruh lepas dengan perjanjian

harga borongan pembersihan rumput per pokok pohom sebesar Rp 2.500. Dalam sehari rata-

rata bisa menyelesaikan sekitar 50 pokok pohon per orang. Sehingga penghasilan dari bekerja

borongan sekitar Rp 125.000,- per hari. Orang yang bekerja borongan itu pada umumnya

didatangkan dari Jawa atau mencari orang yang sedang merantu ke Palangkaraya.

4. Lokasi permasalahan tenurial di KM 36 berupa lahan transmigrasi di Desa Habaring Hurung,

Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Kelurahan Habaring Hurung merupakah salah satu dari 7 kelurahan yang berada di Kecamatan

Bukit Batu, Kota Palangkaraya. Di kelurahan tersebut terdapat 2 Rukun Warga dan 7 Rukun

Tetangga dengan luas wilayah sekitar 7.344,12 ha dengan jumlah penduduk dari data BPS

Palangkaraya tahun 2016, sebanyak 238 kepala keluarga (895 jiwa). Kelurahan dipimpin oleh

seorang lurah yang merupakan Aparat Sipil Negara (ASN).

Kelurahan Habaring Hurung merupakan wilayah kelurahan eks Program Transmigrasi

Pengembangan Desa Potensial (Transbangdep) Tumbang Tahai penempatan awal tahun 1992.

Sebagaimana pada umumnya program transmigrasi, warga binaan transmigrasi menerima

pembagian lahan 2 ha yang terdiri atas Lahan Pekarangan (LP) seluas 0.25 ha, Lahan Usaha I

Page 67: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

64

(LU-1) seluas 0.75 ha dan Lahan Usaha II (LU – II) seluas 1 ha. Seluruh kepemilikan lahan

tersebut telah mendapatkan Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan

Pemerintah Kotamadya Palangkaraya pada tahun 2001 (sebelum terbit SK Penunjukan TNS

pada tahun 2004). Dari jumlah warga 250 KK yang telah menerima sertifikat sebanyak 234

KK, sedangkan 16 KK lainnya yang belum menerima karena mereka tidak berada di lokasi

kelurahan pada saat dilakukan pembagian sertifikat.

Sebagian dari kepemilikan tanah yang bersertifikat tersebut sudah ada yang telah berpindah

tangan kepemilikan melalui jual beli. Bangunan kantor TNS Resort Habaring Hurung itu juga

diinformasikan merupakan hasil dari pembelian dari warga. Ada juga sebagian sertifikat tanah

tersebut yang dijadikan agunan untuk pinjaman modal dana ke Bank.

Kondisi Lahan Pekarangan pada saat ini telah berupa pemukiman dengan bangunan rumah

semi permanen dan permanen (insert gambar foto-foto) dan tanaman pohon kebun dan

buah-buahan, palawija dan sayur mayur, serta ada sebagian yang digunakan untuk usaha

warung/rumah makan dan usaha peternakan ayam ras). Tanaman kebun dan buah-buahan

yang dibudidayakan seperti kelapa, rambutan, mangga, nangka, pisang, buah naga, melon dan

lain-lain). Sedangkan tanaman palawija, ubi kayu (singkong) dan sayur mayur yang

dibudidayakan diantaranya berupa jagung, kacang tanah, sorgum, terong, kacang panjang, cabe

dan lain-lain.

Page 68: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

65

Fasilitas yang terdapat di kelurahan berupa pemukiman warga, kantor kelurahan, balai

pertemuan warga, sarana pendidikan (taman kanak-kanak serta sekolah dasar) serta pusat

kesehatan masyarakat pembantu (Puskesmas Pembantu) serta lapangan olah raga dan sarana

ibadah berupa masjid.

Pada Lahan Usaha I (LU-I) pada umumnya telah dilakukan budidaya tanaman kebun (kelapa

sawit), palawija (jagung, sorgum, kacang tanah), buah-buahan dan sayur-sayuran (Melon,

Ketimun, Kacang panjang, pisang, cabe dan lain-lain. Diinformasikan juga bahwa pada saat ini

sedang dipersiapkan untuk lokasi uji-coba penanaman sorgum seluas 1000 ha oleh Swasta (PT.

Oni Esang Gemilang) bekerjasama dengan masyarakat.

Pada Lahan Usaha II (LU-II) ada sebagian yang sudah diusahakan dengan tanaman perkebunan

(Kelapa Sawit). Namun juga ada sebagian Keluarga yang masih belum melakukan kegiatan

Page 69: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

66

usaha budi daya (penggarapan) di LU-II dengan alasan tidak memiliki pengetahuan dan

ketrampilan yang cukup untuk budi daya pada lahan gambut.

Diinformasikan juga bahwa Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan (LKK) sedangan memiliki

gagasan dan telah melakukan pengorganisasian melalui pertemuan-pertemuan untuk

melakukan penggeseran lokasi LU-II ke lahan kawasan yang pada saat ini tidak masuk ke dalam

lahan yang telah disertifikasi. Ada sebagian warga yang menyetujui dan ada yang melakukan

penolakan atas gagasan pergeseran lokasi LU-II tersebut. Alasan yang menerima gagasan

tersebut adalah untuk pencadangan kebutuhan bagi keluarga baru (keluarga putra-putri warga

yang telah menikah) dan juga ada peluang kerjasama dengan pihak swasta untuk

pengembangan usaha kelapa sawit. Perusahaan swasta tersebut telah memberikan janji untuk

penyediaan bibit unggul kelapa sawit untuk memperbaiki kualitas dari yang telah dibudidayakan

oleh warga pada saat ini. Sedangkan warga yang melakukan penolakan terhadap gagasan

pergeseran LU-II tersebut adalah alasan kepastian hak lahan yang pada saat ini telah

bersertifikat, lahan pengganti tempat penggeseran tersebut pada saat ini berupa hutan dan

tidak ada bukti kepemilikannya. Salah satu warga yang diindikasikan menjadi “back-up” dari

gagasan pergeseran LU-II tersebut adalah mantan Lurah yang pada saat ini bertempat tinggal di

Habaring Hurung. Mantan Lurah tersebut (inisial R) pada saat ini masih aktif sebagai ASN di

kantor kecamatan Bukit Batu. Ada indikasi juga bahwa rencana pergeseran LU-II ini juga

bermotif perluasan lahan calon areal kebun kelapa sawit oleh Swasta. Dalam-rapat-rapat LKK

sudah diinformasikan bahwa pihak Swasta juga akan memberikan bantuan pinjaman modal

secara bertahap sebesar Rp 25 Juta per ha (ini selain janji penyediaan bibit kelapa sawit

berkualitas unggul).

Pada saat pengecekan di lapangan, terdapat kegiatan pembalakan andang dan gambangan

(cerucuk dan meranti) di dalam Kawasan Taman yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi

yang menjadi areal LU II baru.

Page 70: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

67

Pada lokasi tersebut telah dibuatkan jalan sejauh kurang lebih 1,5 km. Dari penelusuran di

lapangan, dengan menelusuri jalan yang baru yang telah dibangun menggunakan alat berat,

dimulai dari lokasi awal patok batas BPN (yang telah dipindahkan), penelusuran sampai di

ujung jalan, tim tidak menemukan patok batas BPN yang telah dipindahkan tersebut. Namun

terdapat patok-patok bekas pengukuran jarak pada saat membangun jalan.

Dari analisis lokasi yang dikunjungi diperkirakan tumpang tindih (overlap) dengan areal izin

lokasi PT Central Sejahtera Sukses di kecamatan Bukit Batu.

Page 71: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

68

Mata pencaharian:

Mata pencaharian warga kelurahan Habaring Hurung sebagian besar adalah petani. Disamping

itu ada sebagian yang menjadi pedagang, karyawan swasta, ASN, buruh harian lepas pada

perusahaan swasta dan juga ada yang merantau ke luar daerah (keluar kelurahan). Hasil-hasil

bumi yang berkontribusi pada ekonomi keluarga yaitu tanaman palawija (jagung dan kacang

tanah), ubi kayu (singkong), buah-buahan (pisang, kelapa, nangka, melon), sayur-sayuran

(terong, kacang panjang, cabe, ketimun) dan juga ternak (ayam, telor, kambing/domba) dan

ikan budidaya (lele). Pemasaran hasil-hasil bumi tersebut cukup mudah dilakukan di pasar

Tangkiling (setiap hari Minggu) dan pasar kota Palangkaraya dan melalui tengkulak yang datang

ke desa.

Kegiatan lain yang dilakukan masyarakat adalah mencari kayu cerucuk dan gambangan selain

galian C dan membuat arang.

Informasi Tambahan:

Diinformasikan juga bahwa kegiatan-kegiatan pertanian di kelurahan Habaring Hurung sering

dijadikan lokasi kunjungan belajar dari tempat lain yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan

pada umumnya dari Dinas Pertanian.

Juga diinformasikan terkait dengan keberadaan kegiatan demplot WWF kerjasama dengan

Body Shop dan Siemen pada lahan seluas 35 ha. Demplot itu berapa kegiatan penanaman

pohon Jelutung, Pulai dan Belangeran (Shorea blangeran). Kegiatan penanaman itu dilakukan

pada tahun 2010 dengan jumlah pohon keseluruhan 14.000 pohon. Pada saat ini tanaman

pohon demplot tersebut telah banyak yang mati dan lahannya sudah diakui oleh masyarakat

setempat (Dayak) dengan istilah “ayungku” (diaku sebagai miliknya). Terdapat informasi juga

adanya oknum dari Dinas Kehutanan Propinsi (M) yang diindikasikan mendukung upaya

tersebut.

5. Lokasi permasalahan tenurial di KM 23 berupa perkebunan sawit di Desa Marang, Kecamatan

Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Permasalahan tenurial di KM 23 adalah adanya pembukaan lahan di Kawasan TN Sebangau

berupa akses jalan. Saat ini di sekitar areal yang sudah terbuka ditanami kelapa sawit serta

jenis tanaman kayu seperti jabon. Dari kunjungan lapangan, di sekitar areal tersebut terdapat

kebun sawit dan kayu yang masih belum produktif. Terdapat bangunan rumah bagi pengurus

Page 72: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

69

kebun serta bangunan untuk sarang burung walet. Dari wawancara singkat dengan salah

seorang pengurus kebun didapat informasi bahwa pemilik kebun sawit berdomisili di kota

Palangkaraya dan berprofesi sebagai dokter. Sedangkan lokasi lain dimiliki oleh pejabat dan

anggota dewan di kota Palangkaraya. Lokasi tersebut berada di batas antara Kawasan dengan

APL. Namun demikian, terdapat areal Kawasan yang terbuka dan dibuatkan akses jalan

melalui program dari dinas ketahanan pangan Palangkaraya. Pembuatan jalan tersebut

membuka akses ke dalam Kawasan taman nasional.

Pada saat kunjungan, terdapat sejumlah kayu gergajian hasil pembalakan di areal Kawasan

yang dikeluarkan melalui sekat kanal.

IV. Analisis Tipologi Konflik

4.1. Lokasi permasalahan tenurial di KM 17 berupa kebun sawit rakyat seluas 76 Ha terletak di

Desa Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Analisa Aktor Konflik: 1. Penduduk

Pendatang

Asal Palangkaraya

Keberadaan masyarakat dalam kawasan Hanya sebagai pekerja, pemilik sekaligus

pemodal areal kelola berdomisili di luar

kawasan

Asal memperoleh lahan Jual beli secara bertahap, pemilik merupakan

oknum pejabat pemerintahan yang membeli

lahan dari oknum anggota militer

Motif Komersial

Jenis penggunaan lahan Perkebunan

Jenis pertanian Kelapa sawit

Kesadaran hukum Pemilik – Seharusnya cukup tinggi karena

mempunyai pengetahuan yang cukup

Dampak terhadap kawasan TN Berada di dalam Kawasan taman nasional,

berdekatan dengan batas TN dan berpotensi

semakin meluas kea rah Kawasan taman

nasional

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, tidak ada pranata adat

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk pilihan penyelesaian

melalui mediasi-penegakan hokum

2. Penduduk

Pendatang

Asal Kabupaten Gunung Mas

Keberadaan masyarakat dalam kawasan Kebun di dalam kawasan TN

Asal memperoleh lahan Jual beli lahan

Motif Komersil

Jenis penggunaan lahan Perkebunan (kelapa sawit)

Jenis pertanian Sayur mayur, buah-buahan, kelapa sawit

Kesadaran hukum Mengetahui keberadaan Taman Nasional

Dampak terhadap kawasan TN Berkurangnya luas kawasan, degradasi tutupan

lahan

Page 73: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

70

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada

Pemahaman lokal tentang kawasan Minim

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Kemungkinan kecil menerima usulan program

dari TN

3. Pemilik ijin usaha

perkebunan

Asal Palangkaraya

Keberadaan Lokasi IUP berada di dalam Kawasan TN

Motif awal Komersial

Jenis penggunaan lahan Perkebunan skala besar

Jenis pertanian Kelapa Sawit

Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal kepemilikan

lahan

Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi terbuka,

dan telah dilakukan pembersihan lahan, serta

telah dibangun akses jalan dan sekat kanal

untuk persiapan usaha perkebunan kelapa sawit

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui

penegakan hukum.

4.2. Lokasi permasalahan tenurial di KM 36 berupa lahan transmigrasi di Desa Habaring Hurung,

Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Analisa aktor konflik: 1. Masyarakat

setempat

Asal Pendatang, melalui mobilisasi transmigrasi pada

1991, Jawa Barat (Cirebon, Sukabumi,

Pandeglang) Jawa Tengah (Cilacap,

Banjarnegara, Banyumas, Pekalongan), Jawa

Timur (Surabaya, Jember, Madura).

Keberadaan Sesuai dengan SK terakhir di dalam Kawasan,

tetapi sebelum ditetapkan sebagai Kawasan,

lokasi transmigrasi berada di luar Kawasan.

Trans Bangdep 1992 dari program pemerintah

pusat

Motif awal Transmigrasi

Jenis penggunaan lahan Transmigrasi

Jenis pertanian Pertanian dan perkebunan

Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal kepemilikan

lahan

Dampak terhadap kawasan TN Dikarenakan areal transmigrasi sudah

dialokasikan sebelum lokasi tersebut ditunjuk

menjadi TN, lokasi transmigrasi teridentifikasi

sebagai areal terbuka di dalam Kawasan TN.

Akses ke zona-zona lain di TN Sebangau bias

semakin mudah.

Berkurangnya luas Kawasan, degradasi tutupan

lahan

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, tidak ada pranata adat

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi juga mempunyai basis legal

kepemilikan tanah berupa sertifikat resmi dari

BPN

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Mengharapkan ada pola kemitraan dalam

pengelolaan Bersama

Oknum pemerintahan

di Kota Palangkaraya

Asal Palangkaraya

Keberadaan

Motif awal Jual beli tanah dan kepemilikan lahan

Jenis penggunaan lahan Perkebunan

Jenis pertanian Diarahkan ke perkebunan kelapa sawit

Kesadaran hukum Seharusnya cukup tinggi karena merupakan

pejabat pemerintahan

Page 74: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

71

Dampak terhadap kawasan TN Diindikasikan ada upaya pernggeseran batas

Kawasan untuk mengamankan operandi klaim

lahan

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui

penegakan hukum.

Oknum Pejabat Desa Asal Desa Habaring Hurung

Keberadaan Di dalam Kawasan

Motif awal Jual beli tanah dan kepemilikan lahan

Jenis penggunaan lahan Perkebunan

Jenis pertanian Diarahkan ke perkebunan kelapa sawit

Kesadaran hukum Seharusnya cukup tinggi karena merupakan

pejabat pemerintahan

Dampak terhadap kawasan TN Diindikasikan ada upaya pernggeseran batas

Kawasan untuk mengamankan operandi klaim

lahan dan mempengaruhi persepsi masyarakat

untuk melakukan hal yang melanggar hokum

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui

penegakan hukum.

4.3. Lokasi permasalahan tenurial di KM 23 berupa perkebunan sawit di Desa Marang, Kecamatan

Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Analisa aktor konflik: Pemilik ijin usaha

perkebunan

Asal Palangkaraya

Keberadaan Lokasi IUP berada di dalam Kawasan TN

Motif awal Komersial

Jenis penggunaan lahan Perkebunan skala besar

Jenis pertanian Kelapa Sawit

Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal kepemilikan

lahan

Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi terbuka,

dan telah dilakukan pembersihan lahan, serta

telah dibangun akses jalan dan sekat kanal

untuk persiapan usaha perkebunan kelapa sawit

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui

penegakan hukum.

Dinas Ketahanan

Pangan dan DInas

Pekerjaan Umum

Kota Palangkaraya

Asal Pemerintah Kota Palangkaraya

Keberadaan Lokasi jalan ketahanan pangan berada di dalam

Kawasan TN

Motif awal Jalur pengembangan ekonomi

Jenis penggunaan lahan Jalur pengangkutan hasil budidaya

Jenis pertanian Kelapa Sawit, Sengon dan Jabon

Kesadaran hukum Rendah

Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi terbuka,

dan telah dilakukan pembersihan lahan, serta

telah dibangun akses jalan dan sekat kanal untuk persiapan usaha perkebunan kelapa

sawit. Mengancam daya dukung Kawasan

dikarenakan jalan yang dibangun berpotensi

membelah Kawasan TN

Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis

Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan

Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui

penegakan hukum.

V. Arahan Penanganan

Page 75: DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …

72

Pelaku (1) Pelaku tinggal di luar sebagai pemodal (meliputi oknum pemerintah, pemilik ijin

perkebunan, dan penduduk pendatang), lahan di dalam kawasan

Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun

Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar per pemilik

Penggunaan lahan Perkebunan kelapa sawit

Orientasi Komersial

Zonasi Zona Pemanfaatan

Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 2 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok

pemanfaatan, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi

penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:

1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menyerahkan lahan secara sukarela

2. Penegakan hukum karena seluruh actor konflik berorientasi komersial dan secara

jelas berada di dalam kawasan konservasi.