DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …
Transcript of DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …
JANUARI 2019
Pernyataan
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab tim penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat
DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK
TENURIAL DI KAWASAN KONSERVASI
ii
DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL
DI KAWASAN KONSERVASI
Tim Penulis:
1. Ronggo Bayu Widodo (Direktorat KK – KSDAE)
2. Hayu Wibawa (USAID – BIJAK)
3. Wahyu Faturrahman Riva (Praktisi Sertifikasi)
4. Budi Susetyo (Direktorat PIKA – KSDAE)
Kontributor penilaian lapangan:
1. Suwito (Kemitraan)
2. Yudi Iskandarsyah (STTA)
3. Gunawan (Direktorat KK – KSDAE)
4. Suswaji (Direktorat KK – KSDAE)
5. Adrea Faradika (Spesialis GIS Direktorat KK – KSDAE)
6. Andhika Cahya Arianto (Direktorat KK – KSDAE)
Disusun Bersama oleh:
Direktorat Kawasan Konservasi
Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Dan USAID – BIJAK
2019
Foto Sampul: Kanal di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (USAID BIJAK)
Rumusan ini masih bersifat draft dan memerlukan pembahasan lebih lanjut Bersama dengan
GugusTugas Multipihak KSDAE, kelompok keahlian resolusi konflik dan analisis spasial, serta
pencermatan dari Bagian Hukum dan Kerjasama Teknis Setditjen KSDAE.
iii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................................................... 1
1.2. Tujuan .................................................................................................................................................................. 1
1.3. Ruang Lingkup .................................................................................................................................................... 1
1.4. Rujukan Peraturan ............................................................................................................................................ 1
BAB II. METODOLOGI PENENTUAN TIPOLOGI .................................................................................................... 4
2.1. Metode Pengambilan Data .............................................................................................................................. 4
BAB III. PENILAIAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL ............................................................................................ 5
3.1. Pemetaan Sosial (Social Mapping) ................................................................................................................. 5
3.2. Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping) .................................................................... 6
3.3. Tipologi Konflik Tenurial ................................................................................................................................ 8
BAB IV. POLA PENANGANAN KONFLIK TENURIAL .......................................................................................... 13
4.1. Konsep Penanganan Konflik Tenurial berdasarkan Prinsip Plan, Do, Check dan Act (PDCA) .. 13
4.2. Konsep Penyelesaian Konflik Tenurial Secara Bertahap ....................................................................... 14
4.3. Alur proses penaganan konflik tenurial pada Kawasan konservasi .................................................... 16
BAB V. MATRIKS RUMUSAN REKOMENDASI PENANGANAN KONFLIK TENURIAL ............................ 17
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................................................................................... 22
Lampiran 1. Laporan Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Gunung Leuser .................................................. 23
Lampiran 2. Laporan Hasil Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Rawa Aopa ............................................... 33
Lampiran 3. Rumusan Hasil Survei Lapangan di TN Bogani Nani Wartabone ............................................... 45
Lampiran 4. Laporan Hasil Kunjungan Lapangan di SM Dangku ......................................................................... 53
Lampiran 5. Laporan Hasil Pelaksanaan Kegiatan Survei Lapangan (Groundcheck) di Taman Nasional
Sebangau ........................................................................................................................................................................... 58
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan konservasi di Indonesia seluas 27,14 juta hektar yang terbagi dalam 552 unit kawasan saat
ini telah terjadi indikasi kerusakan yang cukup luas. Kerusakan tersebut terindikasi disebabkan oleh
kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengelolaan, penguasaan dan penggunaan hutan
konservasi tanpa persetujuan yang sah dari pihak berwenang seperti: penebangan liar, perburuan
liar, perambahan kawasan, klaim lahan, klaim batas kawasan, pertambangan dalam kawasan, serta
berbagai tindakan pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan ilegal lainnya.
Berbagai perselisihan dan pertentangan penguasaan, penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan
lahan di dalam kawasan hutan tersebut merupakan bentuk konflik tenurial yang harus segera
diselesaikan. Upaya penyelesaian konflik tenurial yang diharapkan dapat melindungi dan
mempertahankan fungsi kawasan hutan konservasi dengan tetap memberikan perlindungan hukum
atas hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan sesuai dengan koridor peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan
tentunya tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan kondisi kawasan hutan konservasi serta
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang tinggal maupun beraktivitas di dalam
kawasan hutan konservasi.
Konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi memiliki beberapa bentuk dan tipe dengan skala
dan intensitas yang berbeda-beda. Upaya penyelesaian konflik tenurial harus disesuaikan dengan
bentuk, tipe, skala dan intesitasnya, serta menampung dinamika aspirasi dan peran serta
masyarakat sehingga hak asasi manusianya tetap terjamin dengan tetap mengedepankan aspek
perlindungan fungsi kawasan konservasi. Pendekatan dalam penyelesaian konflik tenurial di
kawasan konservasi salah satunya dilakukan dengan menyajikan gambaran secara jelas masyarakat
dan aktivitasnya di dalam kawasan konservasi dan mengelompokkannya ke dalam tipologi-tipologi
konflik sehingga upaya pendekatan penyelesaiannya dapat disesuaikan dengan tipologinya masing-
masing.
1.2. Tujuan
Tujuan dari perumusan tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi ini adalah mengelompokkan
atau mengklasifikasikan konflik-konflik yang terjadi menjadi beberapa tipe dan jenis konflik tenurial
berdasarkan aktor/pelaku, lokasi, waktu, luas lahan, tipe pengelolaan/penggunaan/penguasaan lahan
dan zona/blok pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan klasifikasi konflik yang telah
dikelompokkan, akan dirumuskan arahan penanganan berdasarkan peraturan yang berlaku.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup perumusan tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi berdasarkan asesmen
lapangan yang dilaksanakan pada lima lokasi prioritas, yaitu:
1. Konflik tenurial di Desa Tapadaka Utara (Resort Dumoga Utara) dan Desa Toraut, (Resort
Dumoga Barat) Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
2. Konflik tenurial di Desa Tombekuku (Resort Basala) dan Desa Hukaia Laya (Resort Lakoala
dan Resort Palea) Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
3. Konflik tenurial di Desa Pangkalan Tungkal (Resort Dangku) Suaka Margasatwa Dangku.
4. Konflik tenurial di Desa Barak Induk Taman Nasional Leuser
5. Konflik ternusial di Desa Habaring Hurung, Desa Maran, Taman Nasional Sebangau
1.4. Rujukan Peraturan
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56),
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5217) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 330, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5798);
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemulihan Ekosistem Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Evaluasi Kesesuaian Fungsi Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam;
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
P.44/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.18/Menlhk-II/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan;
13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2015
tentang Hutan Hak;
14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015
tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional, Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam;
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.84/Menlhk-Setjen/2015
tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan;
16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.7/Menlhk/Setjen/OT:0/1/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.
17. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.8/Menlhk/Setjen/OT:0/1/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.
3
18. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
P.35/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan pada
Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam;
19. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor:
P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial;
20. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
P.43/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
21. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Selaku Tim Percepatan Penyelesaian
Penguasaan Tanah dalam Hutan Hutan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan;
22. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor: P.
4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016 tentang Pedoman Mediasi Penanganan Konflik Tenurial Kawasan
Hutan;
23. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor: P.
6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016 tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan;
24. Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: P.
6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
4
BAB II. METODOLOGI PENENTUAN TIPOLOGI
2.1. Metode Pengambilan Data
2.1.1. Pengambilan Data Sekunder
a. Data spasial
Data sekunder spasial yang dikumpulkan antara lain : peta administrasi (desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi), peta zonasi/blok pengelolaan kawasan konservasi, peta wilayah
kerja, peta identifikasi perambahan, citra satelit multi temporal, peta batas kawasan
konservasi, serta data spasial lainnya yang dianggap penting.
b. Data statistik
Data sekunder statistik berupa monografi, data kependudukan, sosial, ekonomi, budaya
(BPS), data statistik dari KLHK dan Bappenas, serta data pendukung lainnya yang
dianggap penting.
c. Laporan-laporan yang relevan
Data sekunder berupa laporan-laporan pelaksanaan kegiatan, rencana pengelolaan
kawasan, laporan RBM, SMART Patrol, rencana pemulihan ekosistem serta laporan
lainnya yang dapat digunakan dalam perumusan tipologi konflik tenurial.
2.1.2. Pengambilan Data Primer
a. Wawancara
Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara in depth interview baik secara
personal/individu maupun kelompok kecil yang dianggap mampu mewakili kelompok
masyarakat di lokasi konflik tenurial serta wawancara dengan pihak pengelola kawasan
konservasi serta stakeholder lain yang secara tidak langsung terkait.
b. Focused Group Discussion (FGD)
Data primer juga dikumpulkan melalui Focused Group Discussion (FGD) yang
melibatkan masyarakat selaku aktor/pelaku, pengelola kawasan, aparat pemerintah desa
dan stakeholder lainnya. FGD ini juga diharapkan tidak hanya mampu merangkum data
dan informasi gambaran masyarakat dan konflik juga menampung dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat.
c. Pengamatan lapangan (ground check)
Pengamatan lapangan dilakukan terutama pada lokasi-lokasi konflik baik lokasi
aktor/pelaku, aktivitas maupun lokasi penggunaan, penguasaan, pengelolaan, dan
pemanfaatan lahan oleh masyarakat serta untuk keperluan verifikasi / validasi data
sekunder yang ada.
5
BAB III. PENILAIAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL
Dalam penilaian tipologi konflik, dilakukan pengumpulan informasi yang lengkap untuk memastikan
penanganan dalam setiap konflik yang terjadi, bisa ditentukan dengan tepat. Beberapa tahap awal
dalam pengumpulan data konflik, diantaranya sebagai berikut:
3.1. Pemetaan Sosial (Social Mapping)
Pemetaan sosial (social mapping) dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang sistematik dari
masyarakat melaluipengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat, meliputi karakteristik,
profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Pemetaan sosial sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan data dan kemampuan pencari data serta kedalaman analisisnya. Keluaran
(output) yang diharapkan dari pemetaan sosial berupa identifikasi kondisi masyarakat dan peta
wilayah atau peta tematik berkaitan dengan kondisi masyarakat dan beragam permasalahan yang
terjadi pada masyarakat.
Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person-in-environment) merupakan
faktor penting dalam melakukan pemetaan sosial. Data dan informasi terkait dengan siapa pelaku
utama, masalah apa saja yang dihadapi, serta sumber-sumber apa yang tersedia untuk menangani
masalah tersebut. Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan
suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini. Tanpa data dan informasi ini,
akan mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi masyarakat
yang terlibat dalam konflik tenurial.
Kondisi masyarakat yang selalu berubah dan dinamis, memerlukan pemahaman mengenai kerangka
konseptualisasi masyarakat yang dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen
masyarakat antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Misalnya, beberapa masyarakat memiliki
atau menguasai suatu areal (luas-sempit), komposisi etnik (heterogen-homogen) dan status sosial-
ekonomi (kaya-miskin atau maju-tertinggal) yang berbeda satu sama lain.
Langkah awal untuk melakukan penilaian tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi adalah
dengan melakukan pemetaan sosial (social mapping) melalui pendekatan 3 komponen penilaian,
yaitu:
1. Skala konflik. Skala konflik mengacu pada ukuran yang terjadi dalam suatu konflik. Skala
konflik ini diantaranya adalah luas areal konflik, sejarah atau waktu/lamanya konflik
berlangsung, pelaku/aktor, motif dan sebagainya.
2. Intensitas konflik. Intensitas konflik berkaitan dengan jenis kegiatan, jenis produk, perkiraan
hasil produksi, penghasilan/pendapatan, tipe pengelolaan (subsisten atau komersial), serta
tingkat ketergantungan terhadap hutan dan sebagainya.
3. Risiko atau dampak konflik. Risiko atau dampak dari konflik meliputi dampak terhadap
aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya.
Besarnya skala dan intensitas yang terjadi pada suatu konflik tenurial akan memberikan dampak
yang berbeda untuk setiap tipe konflik tenurial tersebut. Untuk setiap penilaian skala dan intensitas
yang akan menghasilkan berbagai dampak, maka strategi penyelesaian konflik tenurial akan berbeda
sesuai dengan penilaian sala intensitas. Untuk skala konflik yang rendah dengan intensitas yang
rendah, kemungkinan akan menghasilkan dampak yang rendah terhadap kondisi lingkungan dan
sosial. Sementara itu, untuk penilaian skala konflik yang tinggi pada intensitas yang tinggi, maka
kemungkinan akan memberikan dampak yang besar terhadap kondisi lingkungan dan sosial
(Gambar 01).
6
Gambar 01. Hubungan antara Skala, Intensitas dan Dampak pada Konflik Tenurial.
3.2. Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping)
Identifikasi pemangku kepentingan dilakukan untuk mengatahu peran dan pengaruh pihak tertentu
terhadap konflik tenurial yang terjadi pada kawasan konservasi. Penekanan signifikan pada peran
dan pengaruh pemangku kepentingan, didefinisikan sebagai pihak-pihak yang memiliki peran (mulai
dari nilai kecil sampai besar) dan pengaruh (mulai dari lemah sampai kuat) terhadap setiap
permasalahan konflik tenurial, baik pada tingkat internasional, nasional, regional (provinsi) maupun
lokal (mulai dari kabupaten/kota, kecamatan, desa, dusun atau RT dan RW). Semakin detail
mengidentifikasi pemangku kepentingan ini, baik pada tingkatan, peran maupun pengaruh, maka
akan semakin memudahkan pengambil kebijakan dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu
proses penyelesaian dari suatu konflik tenurial (Gambar 02).
Gambar 02. Konsep Analisis Pemangku Kepentingan pada Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
Analisis pemangku kepentingan menjadi kebutuhan data dasar untuk merumuskan kebijakan dalam
penyelesaian konflik tenurial dan diperlukan sebagai langkah awal untuk mengetahui perkembangan
dari konflik tenurial dari aspek internal maupun eksternal yang terlibat – baik langsung maupun
tidak langsung – terhadap konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi. Hal ini untuk melihat
PERAN
PENGARUH
KUAT
BESAR
LEMAH
KECIL
SK
AL
A
INTENSITAS
DAMPAK 1
STRATEGI PENYELESAIAN?
DAMPAK 2
STRATEGI PENYELESAIAN?
DAMPAK 4
STRATEGI PENYELESAIAN?
DAMPAK 3
STRATEGI PENYELESAIAN?
7
pihak mana saja yang terlibat dan pihak mana saja yang berpotensi terkena dampak dari adanya
konflik tenurial ini.
Sejumlah pertanyaan kunci akan dikembangkan sebagai pedoman awal diskusi dengan berbagai
pemangku kepentingan seperti lembaga inernasional, pemerintah pusat, pemerintahan daerah,
asosiasi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat pengelola hutan,
lembaga donor, dan lembaga-lembaga yang relevan lainnya. Pertanyaan kunci ini bertujuan untuk
dapat menggali informasi mengenai kondisi, cakupan, manfaat, persepsi, jaringan, serta tantangan
terkait berbagai konflik tenurial di kawasan konservasi. Analisis kepentingan ini sebaiknya juga
mengidentifikasi serta menganalisis situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya, baik pada tingkat
internasional, nasional maupun lokal. Tabel identifikasi pemangku kepentingan yang terkait dengan
konflik tenurial di kawasan konservasi disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 01. Identifikasi Pemangku Kepentingan yang terkait dengan Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
No Pemangku Kepentingan Peran Pengaruh
I Tingkat Internasional
1.1.
1.2.
II Tingkat Nasional
2.1.
2.2
III Tingkat Provinsi
3.1.
3.2
IV Tingkat Kabupaten/Kota
4.1
4.2
V Tingkat Kecamatan
5.1
5.2
VI Tingkat Desa
6.1
6.2
VII Tingkat Dusun/RW/RT
7.1
7.2
Didalam analisis pemangku kepentingan juga akan dilakukan analisis yang menguraikan pemangku
kepentingan utama yang mungkin terpengaruh, baik secara positif maupun negatif, secara langsung
atau tidak langsung, berkaitan dengan konflik tenurial di kawaan konservasi. Untuk setiap kelompok
pemangku kepentingan yang diidentifikasikan, akan dilakukan analisis tentang:
1. Bagaimana konflik tenurial dapat mempengaruhi secara positif atau negatif terhadap aspek
lingkungan dan sosial?
2. Merekomendasikan cara untuk meningkatkan manfaat positif, atau mengurangi dampak negatif;
3. Merekomendasikan langkah-langkah untuk mendorong partisipasi pemangku kepentingan dalam
rangka menyelesaikan konflik tenurial.
4. Mengidentifikasi potensi dampak dari terjadinya konflik tenurial, konflik sosial dan aspek lain
yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi.
Tabel 02. Hasil Analisis Pemangku Kepentingan pada Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
Pengaruh Kuat Pengaruh Lemah
Peran Besar Pemangku Kepentingan? Pemangku Kepentingan?
8
Peran Kecil Pemangku Kepentingan? Pemangku Kepentingan?
Hasil analisis identifikasi pemangku kepentingan ini diharapkan dapat diintegrasikan dengan hasil
pemetaan sosial dan hasil analisis spasial penggunaan lahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hal
ini untuk menyusun rumusan penyelesaian konflik tenurial secara komprehensif, baik pada aspek
permasalahan sosial, pemangku kepentingan serta kondisi lapangan berdasarkan analisis spasial
penggunaan lahan. Hal ini dimaksudkan agar semua pihak dapat berkontribusi dan mampu
memberikan solusi sertaterlibat aktif dalam dalam penyelesaian konflik tenurial.
Monitoring dan evaluasi juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa proses penyelesaian konflik
dapat berjalan sesuai dengan rencana dan target waktu penyelesaiannya. Sebagai organisasi pemangku
kawasan hutan memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap kawasan yang
diembannya. Salah satu sistem pengawasan adalah dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi
yang merupakan serangkaian kegiatan yang tidak berdiri sendiri. Monitoring merupakan kegiatan
yang berkaitan dengan pengumpulan data mulai dari kondisi awal suatu kegiatan hingga kegiatan
tersebut selesai dilaksanakan. Monitoring adalah kegiatan pemantauan terencana terhadap kinerja,
proses atau kemajuan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkala untuk keperluan evaluasi,
pengawasan, pencarian umpan balik, kontrol dan lain sebagainya. Sedangkan evaluasi adalah
membandingkan kinerja, unjuk kerja, kemajuan suatu kegiatan/proses dengan standar capaian
tertentu. Hasil dari monitoring dan evaluasi ini menjadi bagian dari feedback atau umpan balik yang
bermanfaat untuk diintegrasikan kedalam rencana penyelesaian konflik pada tahun berikutnya
(Gambar 03).
Gambar 03. Integrasi dan Interaksi Pemangku Kepentingan dalam Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
3.3. Tipologi Konflik Tenurial
Suatu konflik terjadi karena terdapat perbedaan cara pandang antara beberapa pihak terhadap
obyek yang sama, dan antara beberapa individu atau kelompok tersebut merasa memiliki tujuan
yang berbeda. Konflik menyangkut hubungan sosial antarmanusia baik secara individual maupun
kolektif. Semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme, ketegangan, atau perasaan
negatif. Hal ini merupakan akibat dari keinginan individu atau kelompok untuk meningkatkan
Identifikasi Pemangku
Kepentingan
Peran dan Pengaruh
Pemangku Kepentingan
Analisis Peran dan Pengaruh
Pemangku Kepentingan
Umpan Balik
Integrasi dengan
Pemetaan Sosial
Integrasi dengan
Analisis Spasial
Intervensi
Kebijakan
Rekomendasi
Penyelesaian
Konflik Tenurial
Monitoring dan
Evaluasi
9
kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan lainnya (Sumartias dan
Rahmat, 2013)1.
Konflik penguasaan lahan kawasan hutan lebih banyak disebabkan karena kelemahan pengelolaan
hutan oleh pemerintah yang mengurangi fungsi kontrol atas hutan sebagai sumberdaya milik umum
(common pool resources-CPRs) (Ostrom, 2008)2, sehingga kawasan hutan menjadi open access dan rawan terhadap okupasi pihak lain yang tidak berhak. Konflik kawasan hutan berdasarkan jenis
kegiatan yang terjadi terdiri dari konflik perambahan hutan, illegal logging, konflik batas klaim,
kerusakan lingkungan, dan kebijakan alih fungsi lahan.
Menurut Ostrom (2008), hutan merupakan sumberdaya alam milik bersama (common pool resources) yaitu sebagai barang publik yang sulit untuk dilakukan pembatasan atas hak
pemanfaatannya. Ostrom dan Schlager (1996)3 mengidentifikasi 5 jenis hak yang paling relevan
dengan pemanfaatan sumberdaya alam milik bersama, yaitu: a) hak akses (right of access); b) hak
pemanfaatan (rights of withdrawal); c) hak pengelolaan (rights of management); d) hak pembatasan
(rights of exclusion); dan e) hak pelepasan (rights of alienation).
Tipologi konflik tenurial dilakukan dengan tujuan untuk mengidentidikasi dan mengklasifikasikan
tipe-tipe konflik tenurial yang berada dalam kawasan konservasi. Tipologi konflik tenurial perlu
disusun agar memudahkan pengelola kawasan konservasi untuk mengetahui secara pasti kondisi
dan sebaran serta proses penyelesaian yang akan dilakukan pada suatu konflik tenurial.
Berdasarkan hasil asesmen dan pengumpulan data lapangan dari Taman Nasional Gunung Leuser di
Provinsi Sumatera Utara, Suaka Margasatwa Dangku di Provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Kotamobagu di Sulawesi Utara dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, maka
dirumuskan rekomendasi, dalam penyusunan tipologi konflik tenurial di kawaan konservasi
didasarkan pada beberapa faktor penting sebagai berikut:
1. Zona atau Blok
Pembagian zona atau blok untuk setiap kawasan konservasi dikelompokkan sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.76/Menlhk-Setjen/2015 tentang
Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
2. Pelaku Konflik
Pelaku konflik tenurial di kawasan konservasi dapat dibagi menjadi 3 kriteria pelaku, yaitu:
a. Pelaku yang tinggal di dalam kawasan dan melakukan aktivitas di dalam kawasan;
b. Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun melakukan aktivitas di dalam kawasan;
c. Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun berperan sebagai pemodal. Dalam konteks ini
pelaku dapat berupa individu/perseorangan, lembaga, atau korporasi.
3. Sejarah atau Waktu Konflik
Sejarah atau waktu terjadinya konflik dapat dibagi menjadi 3 durasi, yaitu:
1. Durasi konflik berlangsung < 5 tahun
2. Durasi konflik berlangsung antara 5 – 10 tahun
3. Durasi konflik berlangsung > 10 tahun
4. Luas Areal Konflik
Luas areal konflik tenurial yang terjadi dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Luas areal < 2 hektar
1 Sumartias dan Rahmat. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Sosial. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran,
Bandung. 2 Ostrom, E. 2008. Private and Common Property Right. Indiana University Bloomington, School of Public & Environmental Affairs
(SPEA). Department of Political Science. 3 Ostrom, E. and Schlager, E. 1996. The formation of property rights dalam Suharjito, D. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di
Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. Pemikiran Konseptual. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009. ISSN:
2087-0469. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Indonesia.
10
2. Luas areal 2 – 10 hektar
3. Luas areal > 10 hektar
5. Orientasi Penguasaan
Orientasi penguasaan lahan dalam konflik tenurial dapat dibagi menjadi 2 penguasaan, yaitu:
a. Subsisten
b. Komersil
6. Klasifikasi Penggunaan Lahan
Klasifikasi penggunaan lahan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:
a. Lahan budidaya yang terdiri atas:
- Perambahan pertanian lahan kering
- Perambahan pertanian campur semak
- Perambahan sawah
- Tambak
- Penggembalaan
b. Perkebunan, yang terdiri atas:
- Hutan tanaman/monokultur/seumur
- Perkebunan
c. Pertambangan tanpa ijin
d. Permukiman yang terdiri atas:
- Fasilitas umum
- Permukiman dan transmigrasi
e. Klaim lahan yang terdiri atas:
- Klaim adat
- Tata batas (tumpang tindih)
7. Rekomendasi Penyelesaian
Rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dilakukan sesuai dengan skala dan intensitasnya
yaitu:
a. Mediasi dengan mengacu pada Perdirjen PSKL No. P.4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016.
Mediasi merupakan tahapan paling awal setelah tipologi konflik tenurial berhasil
dirumuskan. Alternatif penyelesaian konflik tenurial melalui mekanisme mediasi merupakan
alternatif penyelesaian wajib yang harus ditempuh pada setiap tipologi konflik tenurial di
kawasan konservasi. Mediasi paling awal dilakukan oleh UPT (KSDA/TN) selaku pemangku
kawasan konservasi, sebelum proses mediasi dilakukan dengan melibatkan pihak luar
sebagai mediator.
b. Penegakan hukum dengan mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990.
Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema Penegakan hukum
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian konflik melalui penegakan hukum harus mempertimbangkan :
1. Kemampuan dan kemauan aparat penegak hukum lainnya dan pemerintah daerah untuk
terlibat dalam upaya penegakan hukum.
2. kemungkinan terburuk yang terjadi sebagai akibat upaya penegakan hukum harus sudah
diukur dan diprediksi, termasuk skenario-skenario penanganannya beserta semua pihak
terkait.
3. Apabila dalam perkembangannya upaya penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan atau
pelaksanaanya menemui kendala sehingga tidak berjalan dengan baik, maka tahapan-
tahapannya secara runtut dan jelas secara kronologis dituangkan dalam suatu bentuk
dokumen/laporan yang menjadi bukti bahwa rekomendasi penyelesaian konflik tersebut
telah dilaksanakan namun menemui kendala/permasalahan.
11
c. Kemitraan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan dalam rangka pemulihan ekosistem
mengacu pada Pedirjen KSDAE No. P.6/KSDAE/SET/KUM.1/6/2018
1. Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau cagar alam, maka
skema penyelesaian konflik tenurial melalui kemitraan konservasi tidak berlaku.
2. Untuk konflik tenurial yang terjadi pada zona/blok pengelolaan yang belum diatur
secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang terkait penanganan konflik
tenurial, maka alternatif-alternatif rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dapat
mengacu pada lampiran Matriks 01 s/d Matriks 05.
.
d. Resettlement mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017.
1. Penyelesaian konflik tenurial dengan resettlement dilakukan pada bidang tanah yang
dikuasai atau dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan
hutan dengan fungsi konservasi.
2. Penyelesaian konflik tenurial dengan resettlement dilakukan dengan hati-hati dan sesuai
peraturan perundang-undangan.
3. Biaya penyelesaian dengan resettlement menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
4. Areal baru/lokasi untuk penempatan dalam rangka resettlement diusulkan oleh
Pemerintah Daerah dan diupayakan tidak jauh dari akses kelolanya dan akses pelayanan
publik untuk mendapatkan persetujuan Menteri
e. TORA/pelepasan mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017.
1. Tanah Obyek Reforma Agraria atau TORA adalah tanah yang dikuasai oleh negara
dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.
2. Penyelesaian konflik tenurial dengan skema TORA diawali dengan kajian area konflik
terhadap peta Indikatif TORA yang merupakan hasil usulan dari Pemerintah Daerah.
3. Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema TORA hanya dapat
dilakukan dengan pemanfaatan tanah.
4. Penyelesaian konflik tenurial dengan Skema TORA dilakukan dengan prinsip kehati-
hatian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok
perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku.
f. Review zona/blok mengacu pada PermenLHK No. P.76/Menlhk-Setjen/2015.
Beberapa kriteria yang digunakan dalam hal rekomendasi penyelesaian konflik tenurial
melalui review zona/blok pengelolaan meliputi :
1. Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan
untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang telah
berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai
hutan konservasi.
2. Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan
konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila terbukti dan
terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan
konservasi.
g. Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan mengacu pada regulasi terkait pengukuhan kawasan.
h. Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan mengacu pada PermenLHK No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 dan
Perdirjen PSKL No. P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/2016.
12
Gambar 04. Alur Perumusan Tipologi Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
Berdasarkan hasil asesmen dan pengumpulan data lapangan dari Taman Nasional Gunung Leuser di
Provinsi Sumatera Utara, Suaka Margasatwa Dangku di Provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Kotamobagu di Sulawesi Utara dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, dihasilkan
matriks rumusan tipologi konflik dan arahan penanganan konflik, yang disajikan di Bab V laporan
ini.
13
BAB IV. POLA PENANGANAN KONFLIK TENURIAL
4.1. Konsep Penanganan Konflik Tenurial berdasarkan Prinsip Plan, Do,
Check dan Act (PDCA)
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan plan
(rencanakan), do (kerjakan), check (cek), dan act (tindak lanjuti).
1. Plan (Rencana). Tahap ini merupakan langkah awal untuk meletakkan sasaran dan proses
yang dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan. Pada tahap ini perlu
disusun perencanaan yang sistematis dan matang sebagai pedoman dalam melaksanakan
kegiatan yang menjadi prioritas kerja atau program. Pada tahap ini juga disusun langkah-langkan
teknis dan strategis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Do (Kerjakan). Pada tahap ini melakukan kegiatan atau program yang telah direncanakan
pada tahap sebelumnya. Proses kerjanya berdasarkan jadwal atau time frame yang telah
disusun dan disepakati atau disetujui bersama. Didalam pelaksanaannya, kegiatan atau program
ini dapat melibatkan instansi atau orang yang terkait dengan permasalahan yang akan
diselesaikan.
3. Check (Cek). Tahap ini merupakan proses pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan atau
program yang telah dijalankan. Pemantauan dan evaluasi ini dilakukan berdasarkan hasil yang
telah dicapai terhadap sasaran yang telah direncanakan dan implementasinya pada tahap
sebelumnya. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian hasil perbaikan yang telah dikerjakan,
apakah hasil yang diraih telah sesuai dengan target perencanaan atau masih perlu ada yang
diperbaiki atau ditingkatkan lagi.
4. Act (Tindak lanjuti). Pada tahap ini dilakukan standarisasi berdasarkan hasil perbaikan
sehingga dapat digunakan secara berkelanjtan atau berkesinambungan. Tahap ini merupakan
dasar untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continual improvement) dari suatu
kegiatan atau program. Hasil dari Act ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam
memperbaiki proses perencanaan sehingga bermanfaat dalam proses-proses selanjutnya.
Pendekatan PDCA ini dapat menjadi solusi untuk menyusun mekanisme penyelesaian konflik
tenurial. Jika proses penyelesaian konflik tenural dapat menggunakan pendekatan ini maka
diperlukan upaya yang secara terus menerus atau berkesinambungan dan konsisten dalam
menerapkannya. Pendekatan PDCA dapat mengulangi siklus ini dengan kembali pada tahap awal
(Plan) dan mengulang semua tahap ini secara berurutan agar sistem yang telah disusun dan
diimplementasikan dapat mencapai kestabilan dan mengalami peningkatan secara terus menerus.
Secara umum, manfaat dari pendekatan PDCA dalam proses penyelesaian konflik adalah:
1. Untuk memudahkan pemetaan wewenang dan tanggung jawab dari sebuah unit organisasi;
2. Sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem di sebuah organisasi;
3. Untuk menyelesaikan serta mengendalikan suatu permasalahan dengan pola yang sistematis
dan terukur;
4. Untuk kegiatan continuous improvement dalam rangka memperpendek alur kerja;
5. Meningkatkan produktivitas kerja agar lebih efektif dan efesien.
Gambar 05. Alur Pendekatan Plan, Do, Check, dan Act.
14
4.2. Konsep Penyelesaian Konflik Tenurial Secara Bertahap
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial tidak dapat dilakukan secara terburu-buru dan dibatasi
dengan waktu yang sempit dan pasti. Dinamika masyarakat dilapangan sangat beragam dengan
berbagai variasi permasalahan yang dihadapi. Untuk itu, pendekataan mekanisme penyelesaian
secara bertahap bisa menjadi salah satu opsi dalam penyelesaian konflik tenurial.
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial secara bertahap ini dapat dilakukan melalui beberapa
tahap (Gambar 06), yaitu:
1. Tahap 1. Tahap ini dapat dilakukan pada rentang waktu mulai 0 – 1 tahun (T0 – T1). Pada
tahap ini dilakukan penilaian awal terhadap semua permasalahan yang terjadi yaitu dengan
mengumpulkan, mengolah dan menganalisis semua data sekunder dan data primer dengan
menggunakan pendekatan pemetaan sosial (social mapping), pemetaan pemangku kepentingan
(stakeholder mapping) dan merumuskan tipologi konflik tenurial yang terjadi di kawasan
konservasi. Hasil pada tahap ini akan menjadi acuan dalam merumuskan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari konflik tenurial yang terjadi.
2. Tahap 2. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi kegatan atau program yang telah
dilaksanakan selama tahun pertama (T1). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi
bahan utama dalam melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun
kedua (T2).
3. Tahap 3. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun
kedua (T2). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam
melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun ketiga (T3).
4. Tahap 4. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun
ketiga (T3). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam
melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun keempat (T4).
5. Tahap 5. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun
keempat (T4). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam
melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap pertama atau sebagai evaluasi menyeluruh
selama 5 tahun kegiatan atau program yang telah dijalankan.
Namun demikian, batasan atau target waktu penyelesaian konflik tenurial ini akan disesuaikan
dengan skala dan intensitas konflik yang terjadi. Pada skala dan intensitas yang relatif rendah atau
kecil, kemungkinan waktunya dapat lebih pendek dibandingkan dengan konflik yang terjadi pada
skala cukup luas dan intensitas yang tinggi.
Gambar 06. Alur Pendekatan Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial secara Bertahap.
T1 T2 T3 T4 T5 T0
Proses
Identifikasi
dan
Penilaian
Awal
Proses
penyusunan
workplan
Evaluasi
Tahun ke-1,
Implementasi
Tahun II
Evaluasi
Tahap Akhir
Penilaian awal dan
penyusunan workplan
Implementasi
workplan
Tahun I
Implementasi
workplan
Tahun II
Implementasi
workplan
Tahun III
Implementasi
workplan
Tahun IV
Evaluasi
Tahun ke-2,
Implementasi
Tahun III
Evaluasi
Tahunan ke-3,
Implementasi
Tahun IV
15
16
4.3. Alur proses penaganan konflik tenurial pada Kawasan konservasi
Telaah Usulan Penanganan Konflik
Tenurial
• Perorangan
• Badan Hukum/Usaha
• Masyarakat/MHA
• Pemda
• Pihak lainnya
Usulan Penanganan Konflik Tenurial
Penyelesaian Penanganan
Konflik Tenurial
Monitoring dan Evaluasi Penanganan Konflik
Tenurial
Umpan balik
UPT
DIREKTORAT TEKNIS
DIRJEN
Permohonan Usulan Penanganan
Konflik Tenurial
Asesmen Konflik
Tenurial
Tidak dapat
dilanjutkan
Laporan Identifikasi Konflik
oleh UPT
Dapat
dilanjutkan
17
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2 1,4,2,5 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Penyelesaian : Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau cagar alam, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui kemitraan konservasi tidak berlaku
1. Mediasi Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku
2. Penegakan Hukum
3. Kemitraan Konservasi
4. Resettlement / TORA
5. Review Zona/Blok
2-10 Ha > 10 Ha
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
< 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha < 2 Ha
2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha
< 2 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
2-10 Ha
5-10 Tahun
< 2 Ha
2-10 Ha > 10 Ha < 2 Ha
Pemodal
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Matriks 01. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona Inti, Zona Rimba dan Blok Perlindungan
Tipologi Konflik Tenurial
Tipologi Konflik Tenurial
Tipologi Konflik Tenurial
> 10 Ha
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
> 10 Tahun
< 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
< 5 Tahun
< 2 Ha
BAB V. MATRIKS RUMUSAN REKOMENDASI PENANGANAN KONFLIK TENURIAL
18
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Penyelesaian :
1. Mediasi
2. Penegakan Hukum
3. Kemitraan Konservasi
4. Resettlement / TORA
5. Review Zona/Blok
2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
> 10 Ha<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Tipologi Konflik Tenurial
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha
Matriks 02. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Pemanfaatan
Tipologi Konflik Tenurial
> 10 Ha<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
19
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Penyelesaian :
1. Mediasi
2. Penegakan Hukum
3. Kemitraan Konservasi
4. Resettlement / TORA
5. Review Zona/Blok
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha<= 2 Ha
5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Matriks 03. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Tradisional
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun
20
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2 1,4,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Penyelesaian :
1. Mediasi
2. Penegakan Hukum
3. Kemitraan Konservasi
4. Resettlement / TORA
5. Review Zona/Blok
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha
Tipologi Konflik Tenurial> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Matriks 04. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Rehabilitasi
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
<= 2 Ha 2-10 Ha
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
21
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2
Perkebunan 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2
Permukiman 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2
Perkebunan 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2 1,5,3 1,2
Permukiman 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2 1,4,5,3 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Lahan Budidaya 1,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Pertambangan Tanpa Ijin 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Perkebunan 1,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2,5,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
Permukiman 1,4,5,3 1,2 1,2,4,3,5 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,5 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2 1,2,4,3,6 1,2
Klaim Lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Penyelesaian :
1. Mediasi
2. Penegakan Hukum
3. Kemitraan Konservasi
4. Resettlement / TORA
5. Review Zona/Blok
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha<= 2 Ha
5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Matriks 05. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona / Blok Khusus dan Religi Budaya Sejarah
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun
22
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Gunung Leuser,
Sumatera Utara;
Lampiran 2. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara;
Lampiran 3. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, Sulawesi Utara;
Lampiran 4. Hasil penilaian lapangan di Suaka Margasatwa Dangku, Sumatera
Selatan;
Lampiran 5. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan
Tengah
23
Lampiran 1. Laporan Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Gunung
Leuser
Gugus Tugas Multipihak Penyelesaian Permasalahan Lahan, Perambahan
dan Usulan Wilayah Adat di Kawasan Konservasi
Taman Nasional Gunung Leuser
28 Mei – 2 Juni 2018
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu Kawasan Konservasi sudah ditetapkan
sebagai salah satu warisan dunia yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang mewakili
type hutan hujan dataran tinggi sampai dengan dataran rendah Sumatera yang dihuni oleh satwa kunci
sumatera seperti Orang Utan, Badak, Harimau serta Badak. Seiring dengan pesatnya pembangunan
telah memberikan tekanan yang sangat menghawatirkan terhadap keberadaan Kawasan tersebut.
Tekanan berupa perambahan, penguasaan lahan baik oleh masyarakat maupun korporasi sampai
dengan pemukiman di dalam Kawasan.
Tahun 1999/2000, tingkat kerusakan semakin bertambah luas dengan masuknya para pengungsi asal
Aceh Timur (akibat kondisi yang tidak kondusif) yang mendiami kawasan di Dusun Damar Hitam,
Dusun Sei Minyak, dan Barak Induk (Dusun V Aman Damai). Perambahan hutan, disebabkan adanya
kebutuhan lahan, pembukaan kebun, lemahnya penegakan hukum, persoalan batas yang tidak jelas,
keberadaan ex-pengungsi asal Aceh, ketergantungan ekonomi pada sector perkebunan/pertanian.
Hasil penafsiran Citra Landsat di Kawasan TNGL tahun 2002 menunjukkan total kerusakan seluas
±43.623 Ha termasuk adanya tutupan lahan non hutan seluas ±20.688 Ha. Tahun 2005, luas
kerusakan hutan mencapai ± 22.000 ha.
Dengan adanya tantangan tersebut, merujuk kepada tugas dan fungsinya, Balai Besar TNGL
merupakan institusi yang berkewajiban untuk melakukan pengelolaan Kawasan untuk menjaga
keberadaan keanekaragaman hayati dan keamanan Kawasan. Dengan berubahnya paradigma birokrasi
dibidang pengelolaan hutan maka berbagai terobosan telah dilakukan agar tercapainya tujuan “Hutan
Lestari Masyarakat Sejahtera”. Salah satu pendekatan untuk mewujudkan paradigma tersebut adalah
melalui pendekatan pengelolaan Kawasan konservasi melalui kemitraan dengan masyarakat. Selain
pendekatan kemitraan yang menyasar kepada masyarakat di sekitar Kawasan, ancaman terhadap
perambahan maupun perusakan Kawasan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga permasalahan perambahan
dan juga konflik tenurial di dalam Kawasan konservasi dapat dipetakan, yang mencakup kesejarahan,
tipologi dan juga aktornya. Pemetaan konflik ini akan menjadi rujukan di dalam menentukan pola
penanganan yang tepat yang dapat diukur keberhasilan penananganannya dalam janga pendek,
menengah dan Panjang.
1.2. Ruang Lingkup
Dalam pelaksanaan kegiatan, tim gugus tugas penyeleisaian permasalahan lahan dan perambahan,
memiliki tugas meliputi:
1. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;
2. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;
3. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai dengan
tipologi permasalahan.
1.3. Dasar Pelaksanaan
Keputusan Dirjen KSDAE No. SK.184/KSDAE/SET/REN.2/5/2018 tentang Penunjukan Gugus Tugas
Multipihak Penyelesaian Permasalahan Lahan, Perambahan dan Usulan Wilayah Adat di Kawasan
Konservasi.
24
1.4. Tujuan
1. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN
Gunung Leuser;
2. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.
II. Metodologi
2.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :
1. Observasi Lapangan
2. Interview langsung
3. Focus Group Diskusi
b. Kajian Data Sekunder
c. Analisa Deskripsi dan Spatial
2.2. Areal Pengamatan
Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN
Wilayah VI TN Gunung Leuser, yang meliputi:
a. Kelompok Tani Hutan Konservasi “Cinta Makmur”, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang;
b. Kelompok Barak Induk, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan;
c. Kelompok Sei Bamban, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang.
2.3. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2018.
III. Survey dan Pengamatan Lapangan
3.1. Sejarah Kawasan TN Gunung Leuser
Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai
sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem
Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat penting bagi
keberadaan beberapa spesies lambang/kebanggaan (flagship species). Namun demikian, TNGL juga
merupakan hotspot keterancaman degradasi keanekaragaman hayati yang tinggi, yang disebabkan oleh
illegal logging, perambahan kawasan, kebakaran, dan aktivitas vandalisme lainnya.
Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri
Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) TN di Indonesia,
yaitu; TN. Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.
Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah
792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal
Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung
Leuser dengan isi penting yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TNGL kepada Sub Balai
KPA Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TNGL seluas
1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan
Provinsi Sumatera Utara.
Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, maka pengelolaan TNGL harus didasarkan atas perencanaan jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek dengan mengakomodasikan aspirasi Publik serta pelibatkan para pihak
dan pakar untuk menjaring pendapat berbagai sektor dan disiplin ilmu untuk pengkayaan materi.
Pengelolaan TNGL didesain untuk mampu memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya
secara optimal dan menjamin legitimasi keberadaannya secara jangka panjang dengan semangat
25
perubahan demokratis, transparan dan bertanggung-gugat (accountable), serta tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
3.2. Perbandingan Perambahan
1. Perkembangan area terbuka (open area).
Berdasarkan Data Citra Landsat 1995 – 2015, menunjukan telah terjadi perkembangan
terhadap areal terbuka atau open akses yang disebabkan oleh berbagai kegiatan masyarakat baik
yang berada di dalam, disekitar maupun diluar areal BBTNGL, terutama di wilayah Besitang.
Gambar 01. Perkembangan open area menurut citra landsat 1990-2016 (TNGL, 2017)
Gambar 02. Series open area per tahun (TNGL, 2017)
26
Gambar 03. Peta open area di daerah Besitang (merah), yang berada di dalam Kawasan konservasi.
3.3. Upaya Penanganan Balai Besar TNGL
Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai Besar TNGL terhadap permasalahan tenurial yang terjadi,
meliputi:
1. Balai TNGL melakukan operasi gabungan diberbagai lokasi rawan kegiatan perambahan & illegal
logging di kab. Langkat.
2. Balai TNGL melakukan serangkaian sosialisasi, pemantauan dan tindakan hukum serta
mempersiapkan proses Relokasi pengungsi Aceh
3. Dengar pendapat dengan Komisi I dan IV DPRD Kabupaten Langkat yang intinya bahwa DPRD
Kabupaten Langkat mendukung upaya pengosongan pengungsi dan penggarap lainnya dari
kawasan TNGL
4. Rapat koordinasi dengan Pemda Sumatera Utara dimana diputuskan bahwa kawasan TNGL harus
kosong dari kegiatan perambahan dan penanganan terhadap pengungsi agar dikoordinasikan
dengan Pemda Kabupaten Aceh Timur
5. Rapat Koordinasi dengan DPRD Kab.Langkat, Komisi I dan Wakil Bupati Langkat. Disepakati
untuk melakukan cek batas lapangan secara bersama-sama. Upaya ini tidak dilanjutkan & pihak
DPRD sepakat terhadap batas yang telah ada saat ini.
6. Rapat Koordinasi dengan DPRD Kab.Langkat, Polres Langkat, BPKH I Medan, Balai TN.Gunung
Leuser. Batas kawasan TN.Gunung Leuser tetap mengacu pada batas lama (batas Suaka
Margasatwa) pada jaman Belanda
7. Koordinasi dengan Menko Kesra yang dihadiri oleh Ketua BRA, Polda Sumut, jajaran Pemda
Kab.Langkat (Dinas Sosial, Dinas Transmigrasi, Polres Langkat), Kakanwil BPN Sumut, wakil dari
Ditjen Cipta Karya, Kimpraswil, Dir.PPH, Ditjen PHKA, dan Balai TNGL. Presentasi disampaikan
oleh Kapolda Sumut dan Kepala Balai TNGL. Disepakati hal-hal sebagai berikut:
a. Segera dibentuk Tim terpadu (Pusat, NAD, Sumut) untuk membantu melakukan identifikasi
terhadap 5 target utama, yaitu unsure masyarakat (pengungsi, perambah), perusahaan, NGO
Internasional, tokoh intelektual, dan isntansi terkait;
b. Persoalan pal batas kawasan, akan dikoordinasikan antara BPN, jajaran Dep.Kehutanan,
al. Balai TNGL/BPKH/Dinas Kehutanan, dengan Depdagri.
27
8. Pembahasan usulan kegiatan dalam rangka penyelesaian perambahan kawasan TNGL di Resort
Sekoci. Rapat dipimpin oleh Kepala Bidang PTN Wilayah III Stabat dan dihadiri oleh Kepala SPTN
Wilayah VI Besitang dan Staf terkait.
9. Pelaksanaan pengelolaan program kerja BPTN Wilayah III Stabat T.A 2018 berfokus pada
penyelesaian kasus perambahan di Resort Sekoci, untuk itu BPTN Wilayah III Stabat mengajukan
usulan kegiatan DIPA untuk T.A 2018.
10. Penyusunan Role Model penyelesaian perambahan di Besitang dipimpin oleh Kepala Bidang PTN
Wilayah III Stabat. Penyusunan Role Model mengikuti arahan Dirjen KSDAE dan dilengkapi
dengan TOR.
11. Mengintensifkan patroli fungsional pengamanan kawasan.
3.4. Rencana tindaklanjut yang akan dilakukan Balai Besar TNGL
Upaya tindaklanjut yang akan dilakukan Balai Besar TNGL ke depan meliputi:
1. Mendorong percepatan tata batas di TNGL;
2. Melaksanakan kegiatan pengamanan Kawasan;
3. Mendorong penegakan hukum (perambahan) di kawasan TNGL;
4. Sosialisasi zonasi dan penyuluhan;
5. Pelaksanaan role model penanganan konflik tenurial;
6. Berkoordinasi dengan para pihak terkait.
3.5. Kunjungan dan Pengamatan Lapangan
1. Lokasi perambahan di Desa PIR ADB, Kelompok tani hutan konservasi “Cinta Makmur”.
Kelompok Tani Hutan Kenservasi (KTHK) ini diketuai oleh Hasan Sitepu yang beranggotakan 50
penggarap (KK) yang berlokasi di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat.
Sebagian besar anggota kelompoknya adalah masyarakat dari sekitar desa, meskipun ada yang
berasal dari Jawa yang sudah lama bermukim dan menetap di desa-desa sekitarnya.
Secara pembagian wilayah kerja di dalam BBTNGL, wilayah ini termasuk ke dalam Resort Sekoci
atau ada yang menyebutnya dengan Blok Lapangan Tembak dikarenakan sejarah pergolakan masa
lalu. Di blok ini telah terbentuk 7 (tujuh) KTHK dari 12 KTHK yang sudah terbantuk diwilayah
Besitang dengan anggota kelompok antara 26 – 50 penggarap.
Diskusi dengan para Ketua KTHK telah memberikan gambaran bahwa setelah Kongres Petani
pada Februari 2018, masih sedikit progress yang dicapai seperti pembentukan KTHK, pendataan
anggota KTHK dan sosialisasi tentang jenis tanaman dan luasan lahan garapan yang dibolehkan
untuk dijadikan program kemitraan konservasi.
Saat ini para anggota KTHK sudah mulai menanam lahan garapannya yang diperkirakan kurang-
lebih 2 (dua) hektar untuk masing-masing penggarap dengan tanaman buah-buahan seperti
Jengkol, Petai, Karet, Matoa dan saat ini masih terkendala dalam memperoleh bibit yang siap
untuk ditanam.
Lambatnya progress ini tidak terlepas dari trauma masa lalu dari beberapa program yang pernah
disampaikan tetapi tidak terialisasi oleh BBTNGL. Ditambah lagi adanya informasi dan provokasi
dari kelompok yang mengatasnamakan utusan dari Kedatukan Besitang.
Masyarakat yang tergabung dalam Program Kemitraan Konservasi melalui KTHK mengharapkan
konsistensi program yang sudah disepakati sehingga bisa meyakinkan bagi penggarap-penggarap
lainnya untuk bergabung dengan program ini. Dengan secepatnya program ini dilaksanakan maka
provokasi-provokasi oleh oknum-oknum tertentu dapat diminimalisasi.
Para penggarap juga bersepakat dalam mendukung program Kemitraan Konservasi melalui KTHK
yang telah difasilitasi oleh BBTNGL dan berkomitmen untuk mematuhi seluruh kesepakatan yang
telah dibuat dan tidak memberikan kesempatan bagi penggarap yang berada diluar Besitang yang
telah memiliki lahan untuk ikut serta dalam program ini.
28
Persetujuan tentang diberikannya kesempatan kepada Karang Taruna dan Kelompok PKK dari
Desa PIR ADB untuk terlibat di dalam program Kemitraan Konservasi telah pula disampaikan
oleh Ketua KTHK dan Kepala Desa PIR ADB
Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK
423/Menhut-II/2004), SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011 dan SK Menteri Kehutanan
Nomer SK 529/Menhut-II/2012, berada di dalam kawasan hutan taman nasional.
2. Lokasi perambahan di Kelompok Barak Induk, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan.
Kelompok Bara Induk berada dalam wilayah administrasi Desa Harapan Maju Kecamatan Sei
Lepan, Kabupaten Langkat adalah bekas pengungsi dari Aceh yang dikordinir oleh Bapak Darmo.
Pemukiman ini telah dimulai sejak 1999 dan berada di dalam Kawasan BBNTGL. Fasilitas umum
yang telah berdiri di dalam pemukiman ini antara lain, Sekolah (PAUD, Madrasah, SD dan SMP),
Masjid, Pasar dan beberapa kios milik masyarakat.
Sekolah merupakan gerakan swadaya masyarakat agar anak-anak bisa mendapatkan Pendidikan,
karena sampai saat ini keberadaan mereka belum diakui oleh Pemeritah Daerah Kabupaten
Langkat, meskipun sebagaian masyarakat telah memiliki Kartu Tanda Penduduk setempat sejak
2005.
Saat ini jumlah penduduk yang berada di pemukiman ini berkisar 500 kepala keluarga yang 90 %
adalah berasal dari pengungsi Aceh dan 10 % adalah masyarakat sekitarnya.
Setelah Kongres Petani, belum ada progress dan masyarakat berharap Program Kemitraan
Konservasi segera dilaksanakan karena dengan dilaksanakannya program ini maka legalitas
keberadaan mereka diakui oleh BBTNGL dan berharap dapat diakui oleh Pemerintah Daerah
untuk dijadikan Desa Defifnitip.
Masyarakat juga sudah berkomitmen untuk mengikuti program Kemitraan Konservasi dengan
menanam tanaman NON-Sawit, meskipun saat ini beberapa lahan sudah ditumbuhi oleh tanaman
Kelapa Sawit yang sudah berumur 8 – 10 tahun.
Masyarakat telah menyadari keberadaan mereka saat ini, untuk itu mereka berharap hanya untuk
dapat diakui legalitas keberadaanya bukanlah sertifikat hak sebagaimana di dalam Kawasan Non
Hutan.
3. Lokasi perambahan di Kelompok Sei Bamban, Desa PIR ADB.
Sei Bamban masih masuk ke dalam administrasi Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Kabupaten
Langkat. Kelompok Sei Bamban telah terbentuk 5 (lima) KTHK yang terdiri dari KTHK Bamban
Makmur yang beranggotakan 26 penggarap, KTHK Karya Lestari beranggotakan sekitar 30
penggarap, KTKH Bina Lingkungan beranggotakan 35 penggarap, KTHK Bemban Sejahtera yang
beranggotakan 25 penggarap, KTHK Bemban Bersemi yang beranggotakan 25 penggarap yang
merupakan satu-satunya dipimpin oleh perempuan yaitu Ibu Marlina.
Sebagian besar penggarap telah menanam tanaman Jeruk pada lahan garapan mereka dan saat ini
sudah menghasilkan. Setelah Kongres Petani, masyarakat merasa lebih tenang dalam menggarap
lahan mereka meskipun mereka harus menghentikan semua rencana menanam Kelapa Sawit.
Untuk selanjutnya msayarakat mengharapkan program Kemitraan KOnservasi segera dijalankan
terutama pengadaan bibit tanaman yang telah dianjurkan.
Masyarakat mengharapkan pemerintah memberikan jaminan kepada masyarakat di dalam
mengelolan lahan garapan mereka kerena saat ini masih ada gangguan-gangguan dating dari
kelompok yang mengatas namakan Perwakilan Kedatukan Besitang. Di lokasi Sei Bamban telah
berdiskusi pula dengan Bapak Radian dan Bapak Dani Sitepu sebagai utusan dari Kedatukan
Besitang yang di Koordinasikan oleh Lemhatabes yang telah menggarap lahan berdasarkan arahan
dari Kedatukan yang digarap oleh 120 – 150 penggarap. Mereka belum mengakui keberadaan
BBTNGL dan belum menerima program Kemitraan Konservasi seperti yang disampaikan.
29
IV. Analisis Tipologi Konflik
Dari identifikasi pada tiga lokasi kunjungan lapangan, pada tahap awal ditentukan beberapa actor
konflik yang meliputi sebagai berikut:
Analisa Aktor Konflik:
Penduduk Asli
Tanpa Lahan
(1)
Asal Masyarakat setempat
Keberadaan masyarakat dalam
kawasan
Sudah ada sebelum penetapan taman
nasional
Asal memperoleh lahan Jual beli secara bertahap, maupun
turun temurun
Motif Subsisten karena kemiskinan
Jenis penggunaan lahan Tanaman pangan subsisten
Jenis pertanian Buah-buahan
Kesadaran hukum Sebagian besar cukup rendah
kesadaran hukumnya
Dampak terhadap kawasan TN Berada di dalam Kawasan taman
nasional, berdekatan dengan batas TN
dan berpotensi semakin meluas kea
rah Kawasan taman nasional
Kebijakan lokal untuk hidup dengan
hutan
Masih memegang kebijakan local
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Direkomendasikan untuk pilihan
penyelesaian melalui mediasi-
kemitraan konservasi
Penduduk
Pendatang
(2)
Asal Imigran dari kabupaten, provinsi atau
pulau yang sama
Keberadaan masyarakat dalam
kawasan
Sesudah penetapan TN
Asal memperoleh lahan Jual beli lahan
Motif Komersil karena adanya peluang
ekonomi
Jenis penggunaan lahan Perkebunan
Jenis pertanian Kopi, coklat, kayu manis, kelapa sawit
Kesadaran hukum Mengetahui keberadaan Taman
Nasional
Dampak terhadap kawasan TN Berkurangnya luas kawasan, degradasi
tutupan lahan
Kebijakan lokal untuk hidup dengan
hutan
Tidak ada
Pemahaman lokal tentang kawasan Cukup paham
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Kemungkinan kecil menerima usulan
program dari TN
Pemilik ijin usaha
perkebunan
(3)
Asal Langkat dan Medan
Keberadaan Lokasi IUP overlap dengan Kawasan
TN
Motif Komersial
Jenis penggunaan lahan Perkebunan
Jenis pertanian Kelapa Sawit
Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal
kepemilikan lahan
Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi
terbuka, dan telah dilakukan
30
pembersihan lahan, serta telah
dibangun akses jalan dan tanaman
kelapa sawit sudah ditanam
Kebijakan lokal untuk hidup dengan
hutan
Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Direkomendasikan untuk penanganan
melalui penegakan hukum.
Spekulan lahan
(4)
Asal Langkat dan Medan dan daerah lainnya
Keberadaan Sesudah penetapan TN
Motif Bisnis maupun kepentingan politik
Jenis Penggunaan Lahan Perkebunan, pemukiman, jual beli
lahan
Jenis pertanian Kelapa sawit
Kesadaran hukum Sangat sadar
Dampak terhadap Kawasan TN Ancaman perluasan areal terbuka ke
dalam Kawasan taman nasional
Kebijakan local untuk hidup dengan
hutan
Tidak ada
Pemahaman local tentang kawasaan Paham
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Penanganan melalui penegakan hukum.
Oknum
pemerintahan
(5)
Asal Kota kabupaten/provinsi
Keberadaan Di luar Kawasan
Motif awal Jual beli tanah dan kepemilikan lahan
Jenis penggunaan lahan Perkebunan dan pemukiman
Jenis pertanian Diarahkan ke perkebunan kelapa sawit
Kesadaran hukum Seharusnya cukup tinggi karena
merupakan pejabat pemerintahan
Dampak terhadap kawasan TN Diindikasikan ada upaya pernggeseran
batas Kawasan untuk mengamankan
operandi klaim lahan
Kebijakan lokal untuk hidup dengan
hutan
Tidak ada
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Direkomendasikan untuk penanganan
melalui penegakan hukum.
Oknum
Kedatukan
Besitang
(6)
Asal Medan
Keberadaan Di luar Kawasan
Motif awal Klaim Kawasan adat
Jenis penggunaan lahan Kawasan lindung
Jenis pertanian Tanaman buah
Kesadaran hukum Paham, tapi masih berpegang pada
dasar hukum wilayah hutan adat pada
masa Kedatukan
Dampak terhadap kawasan TN Adanya proses bagi-bagi lahan garapan
kepada masyarakat
Kebijakan lokal untuk hidup dengan
hutan
Ada, sesuai aturan adat kedatukan
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Belum menerima pilihan kemitraan
konservasi
Pengungsi Aceh Asal Aceh Timur
31
(7) Keberadaan Di dalam Kawasan
Motif awal Pemukiman penampungan pengungsi
Jenis penggunaan lahan Pemukiman
Jenis pertanian Tanaman buah
Kesadaran hukum Sadar, namun tidak memiliki pilihan
lokasi yang lain
Dampak terhadap Kawasan TN Adanya wilayah pemukiman di Zona
rehabilitasi
Kebijakan lokal tentang Kawasan Tidak ada
Pemahaman lokal tentang Kawasan Paham, tapi menekankan pada upaya
pengakuan lokasi pemukiman
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Menerima dengan syarat adanya revisi
zonasi dan diakui lokasi
pemukimannya.
V. Arahan Penanganan
Pelaku (1) Penduduk Asli, tinggal di dalam kawasan, aktivitas di dalam kawasan
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun
Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK
Penggunaan lahan Lahan budidaya
Orientasi Subsiten
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona
dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan
lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik
ini adalah:
1. Mediasi untuk koordinasi kelompok
2. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem
Pelaku (2) Pendatang, tinggal di luar kawasan, lahan garapan di dalam kawasan
Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun
Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar per pendatang
Penggunaan lahan Perkebunan monokultur
Orientasi Komersil
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona
dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan
lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik
ini adalah:
1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive
untuk keluar kawasan
2. Penegakan hukum
Pelaku (3) Pemilik usaha perkebunan/pemodal
Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun
Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar per pemilik
Penggunaan lahan Perkebunan sawit
Orientasi Komersil
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona
dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan
32
lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik
ini adalah:
1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive
untuk keluar kawasan
2. Penegakan hokum
Pilihan penanganan ini juga berlaku untuk pelaku (4) spekulan lahan dan
(5) oknum pemerintahan
Pelaku (6) Oknum kedatukan Besitang
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun
Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar yang diklaim sebagai wilayah lindung adat
Penggunaan lahan Tanaman budidaya
Orientasi Subsisten
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona
dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan
lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik
ini adalah:
1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive
untuk pengelolan bersama
2. Kemitraan konservasi dengan skema pemberdayaan masyarakat
Pelaku (7) Eks Pengungsi Aceh
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun
Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK
Penggunaan lahan Pemukiman
Orientasi Subsisten
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona
dan blok rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan
lahan dan orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik
ini adalah:
1. Mediasi untuk sosialisasi batas kawasan dan pendekatan persuasive
untuk keluar dari kawasan
2. Resettlement/TORA.
33
Lampiran 2. Laporan Hasil Survei Lapangan (Groundcheck) TN.
Rawa Aopa
Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi Melalui
Pendekatan Keruangan dan Tipologi Permasalahan
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
10 – 15 Oktober 2018
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional (TN) Rawa Aopa Watumohai terletak dalam zona wallacea, dimana memiliki
keanekaragaman hayati yang cukup tinggi pada tiap tipe ekosistem penyusunnya (ekosistem mangrove,
savana, hutan dataran rendah, dan rawa). Kawasan ini sangat penting untuk dilestarikan disamping
keberadaanya secara internasional telah ditetapkan sebagai salah satu areal Ramsar Site.
Seiring laju perkembangan penduduk dan pembangunan daerah, tekanan kawasan TN Rawa Aopa
Watumohai semakin tinggi, dan menyebabkan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh konflik,
tekanan dan gangguan dalam bentuk penebangan haram (illegal logging), kebakaran maupun
perambahan yang secara langsung menyebabkan munculnya areal terbuka (open area) pada daerah
tutupan hutan. Kondisi ini memerlukan pendekatan penyelesaian yang lebih komprehensif.
Penanganan konflik pada kawasan konservasi saat ini menjadi fokus penyelesaian Direktorat Jenderal
KSDAE. Direktorat Kawasan Konservasi dalam hal ini membangun tim khusus yang menginisiasi
penyelesaian tipologi konflik kawasan konservasi dalam SK Direktur Kawasan Konservasi Nomor:
SK.37/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018 tanggal 1 Oktober 2018 perihal Penetapan Tim Efektif Pola
Penanganan Efektif Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi Melalui Pendekatan Keruangan dan
Tipologi Permasalahan. Tim efektif (Tim efektif PPEKTKK) selanjutnya melakukan groundcheck
lapangan sebagai perwakilan contoh konflik yang dirumuskan metode penyelesaiannya.
Pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan dengan penerapan analisis keruangan yang
dikombinasikan dengan analisis tipologi permasalahan di tingkat tapak sehingga dapat menjadi inovasi
solusi penanganan konflik tenurial di kawasan konservasi yang lebih fokus dan tepat sasaran dengan
menghasilkan pola-pola penanganan yang efektif.
Lokasi yang menjadi fokus groundceheck penyelesaian adalah kawasan konservasi yang memiliki
kecukupan data konflik tenurial. Salah satu lokasi adalah kawasan TN Rawa Aopa Watumohai dengan
beberapa tipologi konflik yang berkembang dan diperlukan pendekatan yang spesifik.
1.2. Ruang Lingkup
Dalam pelaksanaan kegiatan, tim efektif yang selanjutnya disebut tim PPEKTKK memiliki tugas
meliputi:
4. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;
5. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;
6. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai dengan
tipologi permasalahan.
1.3. Dasar Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi Nomor:
PT.421/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018 tanggal 8 Oktober 2018.
1.4. Tujuan
3. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN Rawa
Aopa Watumohai;
4. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.
34
II. Metodologi
2.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :
1. Observasi Lapangan
2. Interview langsung
3. Focus Group Diskusi
b. Kajian Data Sekunder
c. Analisa Deskripsi dan Spatial
2.2. Areal Pengamatan
Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN
Wilayah I TN Sebangau, yang meliputi:
d. Lokasi perambahan di Desa Tombekuku;
e. Lokasi klaim adat Morenene di Dusun Tiga, Desa Watu-Watu.
2.3. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 10 – 15 Oktober 2018.
III. Survey dan Pengamatan Lapangan
3.1. Sejarah Kawasan TN Rawa Aopa Watumohai
Kawasan TN Rawa Aopa Watumohai ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
756/Kpts-II/1990 tanggal 17 Desember 1990, namun sejarah keberadaan kawasan ini sebagai kawasan
konservasi telah ada sejak tahun 1976. Sebelum di tunjuk sebagai kawasan konservasi, TN Rawa Aopa
Watumohai merupakan penggabungan dari dua kelompok hutan yaitu kelompok hutan Watumohai
dan kelompok hutan Rawa Aopa.
Pada tanggal 15 Oktober 1976 kelompok hutan Watumohai ditunjuk sebagai Taman Buru (TB) oleh
Menteri Pertanian berdasarkan Keputusan Nomor 648/Kpts/Um/10/1976 dengan nama TB
Watumohai seluas 50.000 ha.
Pada tanggal 11 Juni 1985 kelompok hutan Rawa Aopa ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa (SM) oleh
Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan Nomor 138/Kpts-II/1985 dengan nama SM Rawa Aopa
seluas 55.560 ha.
Perkembangan selanjutnya pada tanggal 27 Juli 1985, Menteri Kehutanan berdasarkan keputusan
Nomor 189/Kpts-II/1985 merubah status sebagian kawasan TB Watumohai seluas 41.244 ha menjadi
SM Gunung Watumohai dan digabungkan menjadi satu dengan SM Rawa Aopa dengan nama SM Rawa
Aopa–Gunung Watumohai seluas 96.804 ha. Dengan perubahan status sebagian TB Watumohai
dimaksud, maka luas TB Watumohai menjadi 8.756 ha dan diberi nama TB Dataran Rumbia.
Bertepatan dengan penyelenggaraan Pekan Konservasi Alam di Kaliurang pada tanggal 1 April 1989,
Menteri Kehutanan mendeklarasikan SM Rawa Aopa–Gunung Watumohai sebagai Taman Nasional.
Mempertimbangkan usulan pemerintah daerah dan telah selesainya proses tata batas (1984 s/d 1987),
Menteri Kehutanan selanjutnya menetapkan kawasan TNRAW seluas 105.194 ha, dengan
menggabungkan SM Rawa Aopa–Gunung Watumohai dan TB Dataran Rumbia dikurangi dua lokasi
enclave persawahan Horodopi seluas 364 ha dan perkuburan Makaleleo seluas 2 ha.
3.2. Perbandingan Perambahan
Analisa spatial pada lokasi konflik perambahan di TN RAW dapat diperhatikan dalam tampilan series
peta citra sebagaimana berikut.
35
Citra 1972
- Indikasi perambahan
sedikit/kecil
Citra 1994
- Indikasi perambahan
meluas sepanjang batas
terluar
Citra 1997
- Indikasi perambahan
meluas dan hampir
separuh wilayah Desa
Tambekuku
36
Citra 2000
- Indikasi perambahan
meluas dan kawasan
tersisa dengan
penutupan hutan sedikit
Citra 2004
- Indikasi semua kawasan
hutan telah terjadi
perambahan
Citra 2009
- Indikasi semua kawasan
hutan telah terjadi
perambahan
Gambar 01. Perkembangan perambahan berdasarkan Citra dari tahun 1972 – 2009
Seiring dengan perkembangan waktu, peningkatan penduduk semakin tinggi dan menjadi ancaman
tersendiri dalam pengelolaan kawasan TN Rawa Aopa Watumohai. Perambahan tersebut semakin
masif dan bahkan tak terkendali. Pengelola TNRAW selanjutnya melakukan pendataan secara
menyeluruh terhadap bentuk-bentuk permasalahan tenurial di kawasan pada tahun 2011 dan 2018.
37
Hasil menunjukkan adanya penurunan luas perambahan dari 22.746,57 ha (2011) menjadi 21.564,64 ha
(2018). Luas penurunan perambahan sebesar 1.181,93 ha atau seluas 5,2%.
Beberapa hal yang mempengaruhi penurunan adalah:
1. Kesalahan pengolahan data terkait dengan penafsiran citra. Beberapa lokasi pada kelompok hutan
Awiu yang diklasifikan sebagai perambahan ternyata merupakan tutupan awan. Kesalahan
penafsiran citra tersebut terjadi mengingat bahwa kegiatan groundcheck dilakukan berdasarkan
perwakilan/cuplikan pada tahun 2011. Data tersebut saat ini telah diupdate dan dikeluarkan dari
kategori perambahan tahun 2018.
2. Lokasi perambahan telah ditinggalkan oleh penggarap setelah dilakukan sosialisasi kepada
masyarakat oleh petugas TNRAW.
Namun di sisi lain, berdasarkan hasil analisa citra, terjadi peningkatan luas areal penggunaan lahan
untuk permukiman dan pertanian oleh masyarakat. Hal ini karena terjadi pertumbuhan penduduk
dalam lingkungan masyarakat. Perubahan luas open area (permukiman, pekarangan dan lahan
pertanian) dapat diperhatikan dalam gambar series berikut.
38
Citra tahun 1995
- Kondisi tidak dijumpai
permukiman
Citra tahun 1996
- Kondisi tidak dijumpai
permukiman
Citra tahun 1997
- Kondisi dijumpai permukiman
yang mengelompok sepanjang
jalur jalan kampung
39
Citra tahun 2006
- Kondisi dijumpai permukiman
dan sudah mulai menyebar
meluas
Citra tahun 2015
- Kondisi dijumpai permukiman
dan tambah meluas, namun
masih di dalam zona tradisional
Citra tahun 2016
- Kondisi dijumpai permukiman
dan tambah meluas di luar zona
tradisional
3.3. Upaya Penanganan Balai TNRAW
Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai TNRAW terhadap permasalahan tenurial meliputi:
12. Melakukan kajian dan pendataan perambahan tahun 2011
13. Penetapan tipologi perambahan dilakukan dengan menggunakan aspek-aspek sebagai berikut : (1)
ekologi, (2) sosial budaya, (3) ekonomi dan (4) kewenangan wilayah yang dimiliki. Rekomendasi
40
penanganan dilakukan dengan kombinasi tipologi ekologi dan sosial ekonomi budaya serta
tipologi ekonomi dan kewenangan wilayah
14. Melakukan kajian dan Pendataan perambahan tahun 2018 (laporan final dalam proses
penyelesaian dengan penggunaan metode yang sama).
15. Peningkatan koordinasi dan sosialiasi dengan masyarakat desa penyangga.
16. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan TN, seperti pelibatan penanaman dalam pemulihan
ekosistem.
3.4. Rencana tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNRAW
Upaya tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNRAW ke depan meliputi:
7. Mendorong percepatan tata batas
8. Melaksanakan kegiatan pengamanan kawasan
9. Sosialisasi zonasi dan penyuluhan.
10. Berkoordinasi dengan para pihak terkait
3.5. Kunjungan dan Pengamatan Lapangan
1. Lokasi permasalahan tenurial di Desa Tombekuku.
Kunjungan lapangan dilakukan pada sample lokasi perambahan di Desa Tambekuku dimana
memiliki intensitas konflik yang laten (berdasarkan informasi Balai merupakan konflik yang sudah
lama dan dan tidak terselesaikan). Kegiatan dilakukan dengan diskusi dan pertemuan dengan
Kepala Desa dan Kelompok Masyarakat di Dusun Tiga dan Dusun Empat.
Kronologis adanya perambahan diawali dengan pengkaplingan dan penjualan tanah oleh Pewaris,
yaitu orang pribumi yang mempetak-petak hutan dan kemudian menjualnya. Kondisi lahan masih
berupa hutan. Pewaris yang melakukan kegiatan tersebut adalah orang Tolaki (Pak Nambo, Sunge
dan Musa). Saat ini, orang-orang tersebut sudah tidak diketahui keberadaannya (sudah
meninggal).
Proses beli tanah/ganti rugi dilakukan secara sederhana dari pewaris ke pendatang dari Bugis, dan
kota lain di Sulawesi Selatan. Rata-rata kepemilikan tanah adalah 1-4 hektar berupa pekarangan,
kebun, dan atau sawah. Pada Desa Tambekuku, lokasi yang menjadi konflik lahan kawasan berada
pada sebagaian Dusun Tiga dan Seluruh Dusun Empat.
Pemanfaatan lahan masih sebatas pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan sendiri). Status
kepemilikan lahan saat ini sering berpindah penggarapan dari penggarap satu ke penggarap lainnya
yang masih dalam satu lingkup dusun. Kepemilikan lahan paling banyak seluas 20 hektar dan
merupakan orang yang paling mampu/kaya. Dalam perkembangannya, pertumbuhan keluarga baru
menuntut pemenuhan kebutuhan lahan garap, maka perolehan lahan dilakukan dengan menganti
rugi pemilik yang telah pindah keluar kampung. Dalam artian, luas lahan garapan adalah tetap
tanpa adanya penambahan pembukaan lahan baru.
Mekanisme dalam kelompok memang tidak dijumpai pembeli tanah dari orang luar karena pada
saat ini telah tersebar informasi bahwa lahan tersebut merupakan kawasan taman nasional.
Dampaknya adalah masyarakat luar tidak mau membeli tanah-tanah tersebut (jual beli tanah
menurun). Dengan demikian, penggantian kepemilikan lahan garap bergulir dari masyarakat ke
masyarakat lainnya yang masih dalam kelompok dusun tersebut.
Dalam masyarakat Dusun 3 dan Dusun 4, terdapat 5 kelompok tani dengan masing masing-
masing anggota ± 30 KK, yaitu:
1. Kelompok Tani Matirowali dengan Ketua Bapak Baharuddin
2. Kelompok Tani Maminasa dengan ketua Ali Ampa
3. Kelompok Tani Harapan dengan ketua Jema
4. Kelompok Tani Purnama dengan ketua Abdullah
5. Kelompok Tani Merpati dengan ketua Andi Kasma
41
Jenis penggunaan lahan yang dapat diamati meliputi:
1. Penggunaan untuk kebun (kopi, kelapa, coklat, sawit) dan jenis kayu (jati)
2. Penggunaan untuk ladang
3. Penggunaan untuk pertanian lahan basah
4. Penggunaan lahan untuk permukiman
5. Penggunaan lahan untuk fasilitas umum (listrik, jalan, tempat ibadah)
Pilihan jenis tanaman pada umumnya mengikuti trend jenis komiditi yang memiliki nilai jual tinggi.
Harapan masyarakat adalah adanya kejelasan kepemilikan lahan menjadi hak milik pribadi, namun
demikian, opsi pengelolaan sesuai mekanisme TN relatif terbuka. Masyarakat menyatakan jika
tidak dapat memiliki tanah sebagai hak milik, masyarakat siap saja dengan mekanisme kelola TN
dengan jaminan tetap diperbolehkan atau memiliki hak pemanfaatan. Usulan kemitraan konservasi
secara umum dapat diterima oleh masyarakat.
Beberapa hal yang menjadi kelemahan adalah minimnya informasi ke masyarakat terhadap bentuk
kelola Kawasan.
2. Lokasi permasalahan tenurial Konflik adat Moronene.
Kunjungan dilakukan pada tokoh masyarakat suku Morenene di Dusun Tiga, Desa Watu-Watu.
Hasil kunjungan dan pengamatan lapangan sebagaimana berikut:
1. Situasional
• Informasi awal: terdapat bangunan rumah pertemuan warga yang didesign sebagai rumah
adat yang dibangun pada tahun 2013. Instrumen-instrumen adat dalam kontek ini
merupakan konstruksi baru yang dibangun.
• Kondisi awal: masyarakat tidak mau menerima tamu dari luar jika belum/tidak
mendapatkan ijin dari ketua adat yaitu pak Mansur.
• Pak Mansur sebagai ketua adat sekaligus merupakan anggota DPRD dari Partai Pan.
• Dalam hal ini disampaikan oleh Pak Mursidi (polhut BTNRAW) bahwa sudah dilakukan
upaya menghubungi ketua adat, namun nomor handpone ketua adat tidak dapat
dihubungi. Tokoh adat yang ada adalah sekretaris adat (Pak Darmon). Dalam hal ini,
sekretaris adat juga menunjukkan rasa sikap ketidaksenangan/penolakan secara halus.
Namun, Pak Mursidi sudah menyatakan telah menghubungi tokoh adat lainnya (Tasman)
untuk disampaikan ke pengurus yang ada.
• Tokoh masyarakat yang ada akhirnya menyatakan menerima dengan ketentuan tidak
mengambil keputusan/kesimpulan. Wawancara sebatas penyampaian aspirasi/harapan saja.
• Masyarakat menginginkan dari pihak Balai, agar wilayah tersebut dapat diserahkan ke
masyarakat, lokasi yang diukur seluas 26.000 ha usulan tahun 2013 dan pengukuran kedua
23.000 ha tahun 2017.
• Pemetaan bersama pendamping tanpa melibatkan pihak Balai TNRAW, Pemetaan
didampingin oleh pendamping dari tim AMAN.
• Luasan lokasi yang diusulkan adalah sekitaran lokasi permukiman.
• Lokasi luasan 23.000 ha meliputi 2 resort, padahal lokasi resort Langkoala (lokasi
permukiman masyarakat) hanya seluas 19.000 ha.
• Teknik pemetaan luas areal adalah menghubungkan lokasi titik-titik indikasi penemuan
makam terluar sehingga luasan areal sanagat luas meskipun beberapa lokasi bukan bagian
dari kegiatan aktivitas masyarakat adat.
42
• Topik luasan kawasan relatif isu sensitif sehingga masyarakat meminta untuk tidak
membahas lebih lanjut detail rincian lokasi tersebut.
• Struktur pengurus adat meliputi Kappala kampung (1), juru tulisi (1),
bendahara/unososoronga (1 orang), kaur-kaur/totonga, totonganolongo (pertanian)
menentukan tempat kebun.
• Terdapat 6 kelompok tani dengan rata-rata anggota kelompok adalah ± 15-25 anggota,
yaitu:
1. Kelompok Tani Ambau
2. Kelompok Tani Umbu Roda
3. Kelompok Tani Koro Bua
4. Kelompok Tani Pelawatia
5. Kelompok Tani Tailaku
6. Kelompok Tani Silea
• Matapencaharian meliputi: pertanian dan peternakan. Jumlah ternak sapi 125, kerbau 100
lebih, dan tidak semua orang memiliki ternak dengan cara dilepas liarkan.
• Jenis komoditi kebun: jambu mete dan nilam (panen per 3 bulan). Jenis nilam merupakan
jenis tanaman luar yang dimasukkan dan dibudidayakan oleh masyarakat setempat, dan
dilokasi kampung terdapat penyulingan minyak nilam dengan mekanisme perorangan.
Kepemilikan instalasi merupakan milik ketua adat. Hasil nilam per panen adalah puluhan
juta (informasi terbatas).
• Pertimbangan pemilihan jenis adalah komoditi yang bernilai
• Penghasilan rata-rata: tidak bisa menaksir
• Pendidikan paling tinggi SD-SMA
• Terdapat bangunan permanen berupa SD, sedangkan siswa SMP bersekolah di rumah
pertemuan adat. Jumlah siswa SD-SMP adalah 35 siswa.
• Kegiatan adat yang masih berjalan adalah pesta panen tiap tahun berupa molonda berupa
pukul lesung tumbuk padi, upacara permulaan penanaman padi (Mo’oli), upacara mo’oli
hunua yaitu upacara pemotongan kerbau untuk pembersihan kampung. Darah kerbau
dibuang ke suangi per dua tahun sekali pada bulan 10.
• Pemanfaatan lahan masyarakat yang digarap masing-masing 50x100 meter/kk (1,5 ha),
persawahan 2 ha per KK, namun jika sudah disahkan sebagai hutan adat maka akan ada
lahan-lahan pemanfaatan yang lebih luas.
• Pengaturan air sudah relatif maju dengan penerapan iriganis mekanis. Sistem irigasi saat ini
dengan menggunakan mesin sedot air. Pada awalnya menerapkan mekasnisme tadah
hujan, namun dalam perkembangan waktu, masyarakat menerapkan teknologi dengan
teknologi mekanis.
• Kesadaran hukum: Adapun apapun yang disampaikan oleh taman nasional tetap di-iyakan
dan tetap diikuti. Masyarakat menyadari keberadaan mereka tidak dibenarkan di taman
nasional, tetapi karena adanya keharmonisan pengelolaan (pengaturan tata ruang zona
tradisional) sesuai dengan kepentingan mereka. Berdasarkan penjelasan Pak Darmon
(sekretaris adat), masyarakat mengetahui bahwa mereka tinggal di zona tradisional, jika
berdasarkan pemetaan adat pada zona pemanfaatan (beda definisi). Zona tradisional dinilai
sangat pas/sesuai. Pengaturan zona tradisional sangat mendukung pola pertanian dan
perkebunan masyarakat.
43
• Kerjasama/hubungan taman nasional dengan masyarakat adat dinilai sudah mulai
baik/harmonis. Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai TNRAW adalah Pelibatan
masyarakat dalam kegiatan penanaman pemulihan ekosistem.
• Masyarakat merasa sudah cukup mendukung dengan kegiatan konservasi karena sudah
terlibat dalam kegiatan pemulihan ekosistem (penanaman), dilibatkan secara aktif.
• Kegiatan pelibatan masyarakat menjadikan peningkatan kesadaran masyarakat dalam
konservasi kawasan.
IV. Analisis Tipologi Konflik
4.1. Lokasi permasalahan tenurial di Desa Tombekuku.
Analisa Aktor Konflik:
1. Penduduk
Pendatang
Asal Pendatang Bugis
Keberadaan masyarakat dalam
kawasan
Sejak tahun 1990
Asal memperoleh lahan Lahan diperoleh dari orang lokal
(pewaris) yang mengklaim lahan-lahan
dalam kawasan untuk dijual-belikan.
Motif Kebutuhan subsisten
Jenis penggunaan lahan Kebun, ladang, sawah, permukiman
dan fasilitas umum
Jenis pertanian Pertanian, perkebunan
Kesadaran hukum Sadar bahwa lokasi merupakan
kawasan TN
Dampak terhadap kawasan TN Tingkat jual beli lahan sangat
berkurang, pengalihan penggarapan
dengan mekanisme ganti untung
Kebijakan lokal untuk hidup dengan
hutan
Tidak ada, tidak ada pranata adat
Pemahaman lokal tentang kawasan Minim
Penerimaan terhadap usulan
kemitraan
Masyarakat bersedia dengan
pengaturan yang akan diterapkan
dengan jaminan tetap dapat
menggunakan kawasan atau mendapat
hak guna pakai/pemanfaatan
4.2. Lokasi permasalahan tenurial di Klaim Adat Moronene.
Analisa aktor konflik: 1. Masyarakat
setempat
Asal Berasal dari desa-desa sekitar kawasan (hukaea
laya dan Lapopala)
Keberadaan Masuk tahun 1995 (setelah penetapan TN
tahun 1990 ataupun status kawasan sebelumnya
yang berupa TB Watumohai (1976) dan SM
Watumohai (1985)).
Motif awal Kebutuhan lahan, subsisten berkembang kea
rah pengusulan hutan adat
Jenis penggunaan lahan Pemukiman
Jenis pertanian Pertanian dan perkebunan
Kesadaran hukum Sadar jika lokasi merupakan kawasan TN
Dampak terhadap kawasan TN Perluasan penggunaan lahan untuk permukiman
dan pertanian
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Ada, tahun 2013, berupa perda masyarkat adat
Pemahaman lokal tentang kawasan Kurang
44
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Zonasi dinilai sesuai/cocok karena sangat
mendukung pola pertanian dan perkebunan
masyarakat.
V. Arahan Penanganan
Pelaku (1) Pendatang Bugis
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun
Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK
Penggunaan lahan Lahan budidaya dan pemukiman
Orientasi Subsiten
Zonasi Zona pemanfaatan
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 2 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok
pemanfaatan, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi
penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:
1. Mediasi untuk sosialisasi aturan kemitraan konservasi
2. Kemitraan Konservasi skema pemberdayaan masyarakat
Pelaku (2) Masyarakat adat
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun sebelum adanya penetapan
Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar klaim adat komunal
Penggunaan lahan Lahan budidaya dan pemukiman
Orientasi Subsiten
Zonasi Zona religi, budaya dan sejarah
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 5 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok khusus
dan religi budaya sejarah, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan
orientasi penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:
1. Mediasi untuk sosialisasi aturan kemitraan konservasi
2. Kemitraan konservasi dengan skema pemberdayaan masyarakat
3. Review zona/blok (termasuk di dalamnya usulan wilayah adat)
45
Lampiran 3. Rumusan Hasil Survei Lapangan di TN Bogani Nani
Wartabone
Tim Efektif Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik di Kawasan Konservasi
Melalui Pendekatan Keruangan dan Tipologi Permasalahan
Di TN Bogani Nani Wartabone
A. Dasar: Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi No.
PT.422/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018.
Surat Keputusan Direktur Kawasan Konservasi No.
SK.37/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018
B. Hari/tanggal : Sabtu, 13 Oktober 2018
C. Tempat: Kantor Balai TN Bogani Nani Wartabone, Kotamobagu
D. Penanggung jawab: Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah II Doloduo
E. Pelaksana:
1. Ronggo Bayu Widodo
2. Budi Susetyo
3. Hari Cahya P.
F. Hasil Survei lapangan
1) Agenda kunjungan survei lapangan terdiri tadi 2 lokasi, yaitu:
a. Resort Dumoga Utara
1. Kawasan yang menjadi fokus pertama adalah Open Area yang yang terletak di Resort
Dumoga Utara, SPTN Wilayah II Doloduo dan secara administrasi terletak di Desa
Tapadaka Utara, Kecamatan Dumoga Tenggara, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Kegiatan yang dilakukan yaitu:
• Dialog dengan Kepala Desa/Sangadi, tokoh masyarakat, kelompok masyarakat, dan
Kelompok Tani Hutan, Tapa Limau di Desa Tapadaka Utara.
• Survey lapangan ke lokasi pembibitan (nursery) Pala, Kemiri, Nantu dan Cempaka
yang merupakan inisiatif masyarakat Desa Tapadaka Utara. .
• Survey ke lokasi pemulihan ekosistem dengan jenis Pala, Kemiri, Nantu dan
Cempaka di dalam areal pemulihan ekosistem di Desa Tapadaka Utara. Model
penanaman merupakan kombinasi tanaman perambahan berupa coklat/kakao
dengan diselingi tanaman kayu bernilai ekonomis tinggi hasil kesepakatan kelompok
masyarakat dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
2. Melalui depth interview terdapat 2 (dua) kelompok masyarakat (mantan pelaku
perambahan) yang secara inisiatif telah melaksanakan penanaman pemulihan
ekosistem secara kolaboratif pada areal sempadan sungai seluas 5 Ha dari 77 Ha yang
direncanakan yaitu Kelompok Tapa Limau dan Kelompok Matobatu. Meskipun belum
terbangun PKS namun karena pendekatan secara terus-menerus oleh pihak balai
maka muncul kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kawasan taman nasional yang
sudah terdegradasi di sekitar desa mereka. Penyebarluasan program kemitraan
konservasi kepada masyarakat Tapadaka Utara perlahan-lahan dipahami sehingga
muncul kesadaran kelompok tersebut. Selain itu, dukungan pemerintah desa sangat
positif terhadap pemulihan ekosistem dengan skema kelitraan konservasi pada area
terdegradasi di Resort Dumoga Utara khususnya di sekitar Desa Tapadaka Utara.
46
b. Resort Dumoga Barat
Pada lokasi Kedua, yaitu Resort Dumoga barat dilakukan kunjungan, pertemuan dan
pendekatan kepada para mantan pelaku penambangan emas tanpa ijin (PETI) yang saat ini
menjadi anggota Komunitas Pecinta Alam (KPA) Tarsius, yang terletak di Desa Toraut,
Kecamatan Dumoga Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow. KPA Tarsius beranggotakan
sebanyak 30 orang yang sebagian besar merupakan anak muda Desa Toraut yang
mempunyai keinginan untuk merubah pandangan orang terhadap mereka sebagai preman,
orang berpendidikan rendah, dan pelaku penambangan emas liar. Selain itu, mereka
berkeinginan untuk merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik dan meninggalkan
aktifitas menambang emas liar.
2) Dalam berkomunikasi dengan masyarakat baik di Desa Tapadaka Utara maupun KPA Tarsius
di Toraut, tim menekankan pada beberapa hal:
a. Masyarakat Desa Tapadaka Utara dan Kelompok Tani Hutan Tapa Limau
• Konservasi adalah pembangunan yang tidak hanya pembangunan kawasan
konservasinya akan tetapi juga pembangunan sosial ekonomi masyarakat di
sekitarnya.
• Penanganan penguasaan dan pemanfaatan lahan (perambahan, PETI, klaim lahan,
usulan wilayah adat) dapat dilaksanakan dengan skema review zonasi/blok kawasan,
perhutanan sosial dengan kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan
masyarakat maupun pemulihan ekosistem bahkan hingga proses litigasi atau upaya
penegakan hukum.
• Mendorong peran masyarakat untuk turut aktif menjaga kawasan (mencegah
masuknya pendatang atau perambah baru, tidak menambah luas areal kebun
perambahan yang sudah ada serta selalu berkoordinasi dengan pihak taman nasional
apabila ada pihak-pihak luar yang mencoba masuk dan memanfaatkan masyarakat di
sekitar kawasan taman nasional).
• Tidak merekomendasikan jenis tanaman jagung untuk ditanam sebagai tanaman
sela/sisipan pada areal pemulihan ekosistem kolaboratif.
• Mendorong masyarakat bersama taman nasional untuk menggali opsi tanaman
sela/sisipan yang sesuai dengan konsep pemulihan ekosistem untuk dikombinasikan
dengan tanaman kehutanan namun memiliki nilai ekonomis/pasar yang prospektif,
serta secara aktif berkoordinasi dan membangun hubungan mutual kepada pihak-
pihak terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan lain-
lain.
b. KPA Tarsius
• Apresiasi kepada beberapa pemuda Desa Toraut yang mempunyai inisiatif
membentuk kelompok pemerhati lingkungan dan didukung oleh Kepala Resort
Dumoga Utara sehingga bertransformasi menjadi Komunitas Pecinta Alam (KPA)
Tarsius.
• Apresiasi kepada Balai TNBNW yang memberikan kepercayaan dan bimbingan
kepada KPA Tarsius sehingga dalam waktu yang sangat singkat sejak ditetapkan telah
banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan lingkup resort dan SPTN di Balai
TNBNW.
• Mendorong kepada KPA Tarsius untuk belajar dan meningkatkan kemampuan
masing-masing personel/anggota dengan bimbingan dari petugas TNBNW sebagai
47
bekal ketrampilan dan pengetahuan yang dapat berguna dimasa depan dan menjadi
bekal alternatif mata pencaharian baru selain buruh tani/pengangguran/penambang
dll.
• Mendorong anggota KPA Tarsius untuk menyusun rencana kegiatan secara lebih
detail/rinci dan mulai mengelompokkan spesialisasi masing-masing berdasarkan bakat
dan minat, serta selalu mendengarkan arahan dari pembina dan Balai TNBNW.
Potensi pengembangan KPA Tarsius antara lain : bergerak dibidang wisata alam
(menjadi guide/interpreter), bidang konservasi keanekaragaman hayati menjadi
pengamat satwa/peneliti/pendamping penelitian baik dalam lingkup TN maupun
bekerja sama dengan mitra-mitra lainnya serta bidang konservasi kawasan.
• Mendorong KPA Tarsius dan Balai TNBNW untuk mengidentifikasi dan
mengembangan bentuk-bentuk “investasi” baik kegiatan, ketrampilan, maupun usaha
yang dapat memberikan peluang usaha ataupun mata pencaharian lebih baik bagi
KPA Tarsius maupun masyarakat yang ada di Toraut sehingga dapat dilihat sebagai
alternatif penghidupan yang layak dan pelan-pelan mereka dapat meninggalkan
aktivitas sebagai penambang liar (profession shifting).
• KPA Tarsius harus dilihan sebagai peluang dan potensi jangka panjang yang dapat
dijadikan alternatif solusi penyelesaian permasalahan PETI meskipun tidak secara
total mampu menyelesaikan masalah. Harapan dan keinginan dari anggota KPA
Tarsius yang beberapa diantaranya menjadi penambang emas/eks penambang untuk
mencari mata pencaharian lain menjadi celah peluang jangka panjang secara bertahap
untuk mengalihkan motif ekonomi masyarakat sebagai penambang emas menjadi
penggiat konservasi dengan penghasilan yang memadai/minimal setara dengan
penghasilan yang diperoleh dari menambang emas. Berdasarkan pengakuan
responden, secara finansial hasil yang diperolah menjadi penambang emas tidak
terlalu tinggi, diperkirakan hanya 40-50% dari nilai emas yang diperolehnya yang bisa
dianggap sebagai penghasilan, sehingga masih memiliki peluang untuk secara bertahap
dan jangka panjang, masyarakat penambang emas diberi contoh dan bukti nyata
adanya peluang usaha/mata pencaharian lain yang pendapatannya tidak jauh berbeda
dengan menambang emas, namun lebih aman baik dari sisi kesehatan maupun
keselamatan.
3) Dijumpai tipologi permasalahan dan tipologi masyarakat sebagai berikut:
48
Tabel 1. Tipologi Permasalahan dan Tipologi Masyarakat Pada Open Area di SPTN II Doloduo
Perambahan/Pembukaan Lahan
Untuk Perkebunan
Asal Asli dan Pendatang (Transmigran)
Domisili Di luar kawasan TN
Kronologis keberadaan di dalam dan disekitar TN
Sebagian masyarakat sudah ada sebelum penetapan TN (sekitar tahun 1980), merupakan
penduduk suku asli maupun transmigran Jawa dan Bali dari sekitar Tapadaka Utara, meskipun
desa secara administratif baru ditetapkan tahun 1996 (kawasan TN ditetapkan tahun 1992).
Penduduk saat ini sebagian besar merupakan keturunan dari penduduk lama dan sebagian
pendatang setelah tahun penetapan TN.
Motif / Modus Ekonomi (memenuhi penghidupan/kebutuhan pokok sehari-hari)
Jenis Pertanian/Usaha Tanaman pertanian musiman dan palawija (Coklat, Cabai, Jagung, Kelapa).
Saat ini tertarik untuk menanam Pala, Kemiri, Nantu, Cempaka dan kedepannya menanam
Jahe ataupun Jahe Merah.
Kesadaran Hukum Menyadari sepenuhnya bahwa lahan yang digunakan merupakan bagian dari kawasan TN dan
sadar lokasi desa berada di luar/berbatasan langsung dengan kawasan TN.
Dilakukannya proses hukum kepada tersangka Taslim memberikan efek positif menurunkan
keberanian masyarakat merambah kawasan TNBNW
Dampak adanya Penetapan TN Tidak ada
Kearifan Lokal yang ada terkait dengan hubungan masyarakat dengan KK
Tidak ada, namun menyadari peran kawasan hutan sebagai sumber air.
Ketergantungan Terhadap Kawasan
1. Penduduk memiliki keterrgantungan tinggi terhadap kawasan dalam arti ketergantungan
terhadap lahan kebun yang berada di dalam kawasan TN, tidak memiliki opsi lain dalam
mata pencaharian atau sumber penghidupan yang mampu menggantikan peran ekonomi
kebun mereka saat ini, belum melihat peluang lain untuk hidup dan penghidupan mereka
selain berkebun di dalam kawasan.
2. Ketergantungan terhadap hutan dalam arti mengambil manfaat kawasan secara langsung
tidak ada/belum tergali. Tidak ada HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Keinginan Terhadap Pengelolaan Kawasan
Masyarakat berharap tetap dapat menggarap lahan kebun yang ada dalam konteks pemulihan
ekosistem yang saat ini sedang proses dikerjasamakan. Masyarakat menerima opsi pemulihan
ekosistem melalui skema kemitraan konservasi dengan jenis Pala, Kemiri, Cempaka, dan
Nantu karena jenis Pala dan Kemiri merupakan jenis yang mampu tumbuh di kawasan tersebut
dan dirasakan memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan hasil yang cukup
menjanjikan.
Masyarakat berharap ada opsi tanaman sisipan pengganti jagung dan kacang tanah apabila Pala
dan Kemiri sudah cukup tinggi. Pilihan tanaman saat ini yang sedang diupayakan sebatas jenis
tanaman jahe, jenis tanaman lain seperti bawang hutan tidak menarik perhatian masyarakat
karena tidak jelas pemasarannya.
Penambang Emas Tanpa Ijin Asal Asli dan Pendatang (Transmigran dan penduduk dari luar)
Domisili Secara umum penambang tinggal di luar kawasan TN. Lokasi penggalian dan gubuk penambang
(berupa gubuk terpal) berada di dalam kawasan TN.
Instalasi pengolahan emas (baik yang menggunakan merkuri maupun sianida) berada di desa-
desa sekitar TN.
49
Kronologis keberadaan di dalam dan disekitar TN
Penambangan telah dimulai sejak tahun 1987, dan terus berlangsung hingga tahun 2018.
(kronolgis PETI terlampir)
Motif / Modus 1. Ekonomi utama, menjadi pekerjaan utama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari;
2. Ekonomi tambahan, menjadi pekerjaan tambahan selain menjadi buruh/petani dll guna
mendapatkan tambahan penghasilan;
3. Bisnis/pemodal, umumnya dimiliki oleh para pemodal yang menyediakan tempat
penampungan dan pengolahan di desa-desa sekitar TN
Jenis Usaha Penambangan/penggalian emas
Kesadaran Hukum Sadar lokasi penggalian emas berada di dalam kawasan TN
Dampak adanya Penetapan TN Tidak ada
Kearifan Lokal yang ada terkait dengan hubungan masyarakat dengan KK
Tidak ada
Ketergantungan Terhadap Kawasan
Sangat tergantung dikarenakan lokasi penggalian berada di dalam kawasan TN.
Keinginan Terhadap Pengelolaan Kawasan
Beberapa mantan pelaku penambang sudah mulai memiliki keinginan untuk mencari peluang
mata pencaharian lain selain menjadi penambang emas.
Sebagian besar masih berkeinginan untuk tetap menambang emas dikarenakan faktor
ekonomi (tidak memilki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan harian).
Sumber : Hasil analisis lapangan, 2018
50
G. Gambaran Spasial Lokasi Survei
H. Pembelajaran
51
a. Insiatif dan stamina berdialog dengan pihak-pihak yang berkepentingan langsung terhadap
lahan di TNBNW harus terus dijaga dan dipelihara, agar peta pemain tersusun lebih
komprehensif dan terhindar dari solusi yang bias.
b. Perlunya revitalisasi pedoman penataan zona/blok di kawasan konservasi agar pada
prakteknya baik di pusat maupun di daerah tidak sekedar mengalokasikan ruang, namun
lebih berorientasi kepada bagaimana membangun kesepakatan kelola ruang yang rasional,
ilmiah, dan dapat dikelola.
c. Kesadaran masyarakat atak kelompok tani di Tapadaka Utara di Resort Dumoga Utara
masih sangat rentan (fragile) dan dapat berubah apabila tidak dilakukan pendampingan dan
pemberian pemahamanan yang terus menerus tentang tata kelola kawasan konservasi dan
kemitraan konservasi. Euforia yang sedang berkembang saat ini harus dijadikan tantangan
untuk tetap mempertahankan semangat (endurance of spirit) kerja bersama (collective
action) menuju tata kelola kawasan konservasi yang baik.
d. Kelompok tani Tapa Limau dapat dijadikan sebagai agen perubahan ataupun champion
dalam mendorong akselerasi perbaikan kawasan TNBNW.
e. KPA Tarsius mempunyai semangat yang tinggi untuk berubah karena didasarkan pada
kesamaan nasib dan sejarah kehidupan mereka. Semangat yang tinggi harus dijaga
ketahanannya (endurance) sehingga tidak patah di tengah jalan dan kembali pada kehidupan
sebelumnya sebagai penambang emas liar.
f. Sebagaimana Kelompok Tani di Tapadaka Utara, KPA Tarsius pun masih sangat rentan
karena euforia yang masih sangat terasa. Oleh karena itu pendampingan sangat penting dan
pemberian pemahaman terus-menerus dibutuhkan agar mereka tetap berada pada
semangat yang besar dan tidak salah pemahaman.
g. KPA Tarsius dapat diarahkan sebagai agen perubahan khususnya untuk mendorong para
generasi tua mereka meninggalkan kehidupan sebagai penambang emas liar.
h. Permasalahan PETI sangat kompleks sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam menangani.
Perlu tetap dilakukan patroli rutin sehingga kehadiran negara sebagai pengelola tidak hanya
terlihat tapi juga dirasakan masyarakat dan minimal menjaga tidak menambah area yang
dirambah untuk PETI.
I. Tindak Lanjut
a. Penyusunan rumusan dan strategi pola penanganan konflik tenurial TN Bogani Nani
Wartabone berdasarkan tipologi permasalahan dan tipologi masyarakat yang telah
dirumuskan.
b. Pemutakhiran data spasial kawasan TN Bogani Nani Wartabone
c. Perbaikan kualitas data open area yang ada di TN Bogani Nani Wartabone berdasarkan
citra satelit resolusi tinggi.
d. Memulai pembangunan basisdata spasial yang akan diintegrasikan ke dalam Sitroom KSDAE
m. Arahan Penanganan
Pelaku (1) Pelaku tinggal di luar, lahan garapan di dalam kawasan
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun
Luas penguasaan 5-10 hektar per KK
Penggunaan lahan Lahan budidaya dan perkebunan
Orientasi Subsiten
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok
rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi
penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:
52
1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menyerahkan lahan secara sukarela
kepada Taman Nasional
2. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem.
Pelaku (2) Pelaku tinggal di luar, lahan garapan di dalam kawasan
Waktu Penguasaan Lebih dari 10 tahun
Luas penguasaan Kurang dari 2 hektar per KK
Penggunaan lahan Penambangan tanpa ijin
Orientasi Subsiten
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok
rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi
penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:
1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menghentikan kegiatan
pertambangan dan mencegah bertambah luasnya PETI
2. Penegakan hokum terhadap penambang secara bertahap dan selektif, terutama
dengan sasaran para tokoh penambang
3. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem pada sekitar lokasi tambang dan
pemberdayaan masyarakat melalui pengalihan mata pencaharian..
53
Lampiran 4. Laporan Hasil Kunjungan Lapangan di SM Dangku
Tim Efektif Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik di Kawasan Konservasi
Di Suaka Margasatwa Dangku
J. Dasar: Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi No.
PT.440/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018.
Surat Keputusan Direktur Kawasan Konservasi No.
SK.37/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018
K. Hari/tanggal: Sabtu, 27 Oktober 2018
L. Tempat: Kantor Balai KSDA Sumatra Selatan, Palembang
M. Penanggung jawab: Kepala Seksi Pengendalian Pengelolaan KSA
N. Peserta:
4. Budi Susetyo
5. Andhika Chandra Ariyanto
6. Vischa Findanissa
O. PROSES KUNJUNGAN
Kawasan yang menjadi fokus kajian Open Area adalah Suaka Margasatwa (SM) Dangku dengan
kegiatan yang dilakukan yaitu:
• Dialog dengan tokoh masyarakat, kelompok masyarakat setempat di wilayah Sungai Petai,
Desa Pangkalan Tungkal, Kecamatan Bayung Lencir dan dan Desa Keluang, Kecamatan
Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin.
• Survey lapangan ke lokasi penanaman, lokasi pembibitan Tanaman Meranti dan Pulai bantuan
dari mitra ZSL, pengecekan/ validasi areal kebakaran dan open area.
• Penanaman yang dilakukan merupakan kombinasi antara tanaman perambahan berupa karet
dan diselingi tanaman kayu bernilai ekonomis tinggi hasil kesepakatan kelompok masyarakat
dengan KSDA Sumatra Selatan.
1) Pada proses komunikasi dengan masyarakat, beberapa hal yang menjadi catatan tim dan
beberapa hal yang disampaikan oleh Tim kepada masyarakat antara lain :
• Kawasan Konservasi adalah hutan negara yang dikelola oleh negara untuk melindungi
beberpa satwaliar yang hidup secara alami.
• Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi ada hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh masyarakat. Dengan kondisi sekarang, penguasaan lahan oleh masyarakat harus
diselesaikan dengan beberapa cara, salah satunya adalah kerja sama/kemitraan
konservasi. Tujuannya adalah untuk menghutankan kembali area yang telah terbuka/
digarap oleh masyarakat.
• Dalam proses menghutankan kembali, masyarakat membutuhkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu, penanaman tanaman hutan dapat
dikombinasikan dengan tanaman holtikultura yang dapat memberikan penghidupan.
• Berdasarkan data sementara, diketahui masyarakat pendatang pada umumnya memiliki
keseragaman pola dan waktu perambahan. Faktor ekonomi dan perbaikan taraf
kehidupan menjadi alasan utama mereka, ditambah dengan faktor ketidaktahuan
terhadap status lahan yang kemudian “dibeli” dari oknum masyarakat setempat/asli.
Perlu didalami pola dan aktor jual beli lahan oleh oknum penduduk asli yang berasal dari
desa sekitarnya, untuk mengantisipasi dan memetakan tingkat kerawanan di lokasi
tersebut karena praktek jual beli oleh penduduk setempat yang berada di luar Kawasan
berpotensi akan terus menarik pendatang-pendatang baru.
54
• Mendorong peran masyarakat untuk turut aktif menjaga kawasan dengan tidak
menambah luasan area garapan, tidak menambah orang yang datang ke dalam Kawasan,
dan tidak memindah-tangankan lahan kepada siapapun, serta selalu berkoordinasi
dengan pihak KSDA Sumatra Selatan.
• Tanaman singkong akan mengakibatkan tanah tidak subur dan sawit dilarang dalam
Kawasan konservasi. Saat ini orientasi masyarakat masih pada tanaman singkong,
beberapa individu masyarakat masih berharap pada tanaman karet. Perlu diwaspadai
keinginan beberapa individu masyarakat yang berharap dapat menanam tanaman sawit.
• Mendorong masyarakat bersama KSDA Sumatra Selatan untuk menggali opsi tanaman
sela/sisipan yang sesuai dengan konsep pemulihan ekosistem untuk dikombinasikan
dengan tanaman kehutanan namun memiliki nilai ekonomis/pasar yang prospektif.
Menekankan kepada masyarakat bahwa beberapa tanaman seperti padi, karet, sawit dan
akasia tidak diperbolehkan di dalam Kawasan suaka margasatwa, dan pengecualian
terhadap tanaman karet adalah solusi jangka pendek yang diberikan oleh pihak BKSDA
Sumatera Selatan sebelum menemukan alternative tanaman yang dapat menggantikan
peran tanaman karet sebagai sumber penghidupan utama mereka.
• Menekankan kepada masyarakat untuk mewaspadai pihak-pihak dari luar yang akan
menunggangi dan memanfaatkan masyarakat untuk membuka lahan baru, menanam
tanaman-tanaman yang dilarang seperti karet dan sawit pada lahan-lahan yang ada dan
praktek jual beli lahan baru/yang ditinggalkan dengan alasan apapun, termasuk upaya-
upaya menarik simpati masyarakat dengan janji pelepasan Kawasan dan sebagainya.
• Mendorong peran aktif masyarakat agar secara mandiri mengelola kelompoknya,
dengan membagi kelompok dalam kelompok yang lebih kecil dan aktif berdiskusi dan
berkomunikasi dengan pihak BKSDA Sumsel. Pengelompokan dalam jumlah anggota
yang lebih kecil diharapkan memudahkan pengelolaan, pemantauan dan pengawasan
terhadap dinamika jumlah kelompok yang sudah ada. Diskusi dalam jumlah kelompok
yang lebih kecil akan mereduksi friksi, konflik dan memudahkan merangkum keinginan-
keinginan individu dalam upaya meningkatkan kerjasama antara masyarakat dengan
pihak BKSDA Sumsel menjadi bentuk kolaboratif yang lebih kuat.
2) Dijumpai tipologi sementara sebagai berikut:
Tabel 1. Tipologi Sementara Masyarakat
Pemukiman dan Pembukaan
Lahan Untuk
Perkebunan/Pertanian
Asal Asli dan Pendatang
Mayoritas pendatang dengan asal sebagian besar dari
Lampung
Domisili Di Dalam Kawasan SM
Kronologis
keberadaan di dalam
dan disekitar SM
Sebagian masyarakat sudah ada sebelum penetapan SM
(sekitar tahun 2011-2013) merupakan penduduk asli
Sumatera Selatan (kawasan SM ditetapkan sebagai
KPHK tahun 2014). Sebagian kecil masuk setelah tahun
2014.
Motif / Modus Ekonomi
(Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari)
Jenis Pertanian/Usaha Tanaman Ketela, Palawija dan Karet
Kesadaran Hukum Sadar lahan yang digunakan merupakan bagian dari
kawasan SM dan sadar lokasi pondok/rumah yang
dibangun berada di dalam kawasan SM
55
Dampak adanya
Penetapan SM
Tidak ada
Kearifan Lokal yang
ada terkait dengan
hubungan masyarakat
dengan KK
Tidak ada, namun menyadari peran kawasan hutan
sebagai suaka margasatwa
Ketergantungan
Terhadap Kawasan
1. Penduduk tergantung terhadap kawasan dalam
artian ketergantungan terhadap lahan di dalam
kawasan yang digunakan sebagai tempat tinggal
dan lahan perkebunan mereka.
2. Ketergantungan terhadap hutan dalam artian
mengambil manfaat secara langsung tidak
ada/belum tergali. Tidak ada HHBK yang
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Keinginan Terhadap
Pengelolaan Kawasan
Masyarakat secara umum berharap dapat tetap tinggal
dan bercocok tanam di dalam karena tidak memiliki
pilihan tempat tinggal dan pekerjaan lainnya. Mulai
terbuka dengan beberapa pilihan tanaman yang
ditawarkan melalui kemitraan, namun sebagian
masyarakat masih berkeinginan menanam karet dan
sawit.
Pembukaan Lahan Untuk
Perkebunan / Pertanian Lahan
Kering
Asal Asli
Domisili Di luar kawasan SM
Kronologis
keberadaan di dalam
dan disekitar SM
Sebagian masyarakat sudah ada sejak tahun 2008
sebagaian besar merupakan penduduk asli Sumatera
Selatan (kawasan SM ditetapkan sebagai KPHK tahun
2014).
Motif / Modus Ekonomi
Jenis Pertanian/Usaha Tanaman Ketela, Palawija, Karet dan Sawit
Kesadaran Hukum Sadar lahan yang digunakan merupakan bagian dari
kawasan SM dan sadar lokasi desa berada di luar /
berbatasan langsung dengan kawasan SM
Dampak adanya
Penetapan SM
Tidak ada
Kearifan Lokal yang
ada terkait dengan
hubungan masyarakat
dengan KK
Tidak ada, namun menyadari peran kawasan hutan
sebagai suaka margasatwa
Ketergantungan
Terhadap Kawasan
3. Penduduk tergantung dalam artian memiliki
keinginan menguasai lahan yang akan digunakan
untuk menanam karet, sawit atau tanaman
lainnya.
4. Ketergantungan terhadap hutan dalam artian
mengambil manfaat secara langsung tidak
ada/belum tergali. Tidak ada HHBK yang
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Keinginan Terhadap
Pengelolaan Kawasan
Secara umum memiliki keinginan untuk tetap menguasai
lahan di dalam kawasan tersebut.
56
P. PEMBELAJARAN
a. Pentingnya kehadiran petugas di lapangan untuk berdialog dengan masyarakat secara
intensif dan menjalin hubungan baik agar masyarakat dapat turut serta dalam menjaga
kawasan.
b. Perlunya identifikasi aktor dan motif dari pihak luar, baik yang diluar masyarakat desa
sekitar maupun masyarakat di dalam kawasan, yang berpotensi mengganggu proses
pembangunan kemitraan konservasi yang sedang dirintis karena potensi pembukaan lahan
baru, peralihan/jual beli lahan yang sudah ada, perubahan pola tanaman serta perubahan
perilaku masyarakat terhadap kawasan. Pengaruh pihak luar yang ada masih mampu
mempengaruhi keinginan masyarakat terkait jenis tanaman, pemilihan jenis tanaman dan
aktivitas masyarakat sehingga masih terjadi “permainan” diluar pengawasan dan
koordinasi dengan pemangku kawasan.
c. Perlunya revitalisasi pedoman penataan zona/blok di kawasan konservasi agar pada
prakteknya baik di pusat maupun di daerah tidak sekedar mengalokasikan ruang, namun
lebih berorientasi kepada bagaimana membangun kesepakatan kelola ruang yang rasional,
ilmiah, dan dapat dikelola.
d. Masyarakat perlu pendampingan untuk menjalin hubungan baik dengan pengelola dan
tercipta pemahaman tentang pentingnya Kawasan konservasi. Euforia yang sedang
berkembang saat ini harus dijadikan tantangan untuk tetap mempertahankan semangat
(endurance of spirit) kerja bersama (collective action) menuju tata kelola kawasan
konservasi yang baik.
e. Kelompok masyarakat dapat dijadikan sebagai agen perubahan ataupun champion dalam
mendorong akselerasi perbaikan kawasan SM Dangku.
f. Dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya Kawasan konservasi, kesadaran
masyarakat bahwa kegiatan bercocok tanam dan/atau berkebun di dalamnya merupakan
sesuatu yang melanggar hukum akan muncul. Untuk mempertahankan hal tersebut, upaya
pemberian akses pemanfaatan merupakan salah satu pilihan untuk melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan Kawasan.
g. TINDAK LANJUT
1) Penyusunan rumusan dan strategi pola penanganan konflik tenurial SM Dangku
berdasarkan tipologi permasalahan dan tipologi masyarakat yang telah dirumuskan.
2) Pemutakhiran data spasial kawasan SM Dangku.
3) Perbaikan kualitas data open area yang ada di SM Dangku berdasarkan citra satelit resolusi
tinggi.
4) Memulai pembangunan basis data spasial yang akan diintegrasikan ke dalam Sitroom
KSDAE.
h. Arahan penanganan
Pelaku (1) Pelaku tinggal di dalam, lahan garapan di dalam kawasan
Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun
Luas penguasaan 5-10 hektar per KK
Penggunaan lahan Lahan budidaya dan perkebunan
Orientasi Subsiten
Zonasi Zona rehabilitasi
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 4 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok
rehabilitasi, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi
penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:
1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menyerahkan lahan secara sukarela
kepada BKSDA
2. Kemitraan Konservasi skema pemulihan ekosistem untuk mengantisipasi masuknya
sawit ke dalam kawasan
57
3. Resettlement ke tempat pemukiman yang baru.
58
Lampiran 5. Laporan Hasil Pelaksanaan Kegiatan Survei Lapangan
(Groundcheck) di Taman Nasional Sebangau
Pengembangan Pola Penanganan Efektif Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi
Melalui Pendekatan Keruangan dan Tipologi Permasalahan
di Taman Nasional Sebangau
26 – 30 Desember 2018
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Sebangau (TN Sebangau) ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Menhut- II/2004 pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004 tentang
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Sebangau dengan luas ± 568.700 Ha.
Tuntutan dinamika pembangunan dan optimalisasi fungsi kawasan hutan di sebagian wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah, maka pengelolaan TN Sebangau mengacu Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor SK.529/Menhut-II/2012 tanggal 25 September 2012 luas TN Sebangau menjadi
± 542.141 hektar. Secara administratif kawasan TN Sebangau terletak di 3 (tiga) wilayah
Kabupaten/Kota, yaitu Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau
Provinsi Kalimantan Tengah.
Ekosistem Sebangau pada saat kawasan ditunjuk menjadi taman nasional tidak sepenuhnya dalam
kondisi baik karena sebelumnya merupakan eks hutan produksi (HP) dan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK) kurang lebih 13 ijin perusahaan, serta maraknya kegiatan penebangan liar
setelah ijin perusahaan berakhir. Degradasi gambut Sebangau akibat pembukaan kanal untuk
pengangkutan kayu dan pembukaan hutan menyebabkan areal ini rawan terjadi kebakaran hutan.
Dengan demikian, isu strategis dan tantangan utama pengelolaan TN Sebangau sepuluh tahun
kedepan antara lain penyelesaikan program pemantapan kawasan TN Sebangau, restorasi kawasan,
kebakaran hutan, kolaborasi pengelolaan untuk menjamin konservasi ekosistem gambut Sebangau,
pengelolaan pariwisata alam, perlindungan kawasan dan penyelesaian permasalahan tenurial.
Fokus pada permasalahan tenurial, saat ini, fakta dilapangan juga menunjukan, banyak kegiatan
pemanfaatan lahan yang menerabas kawasan hutan, temasuk kawasan taman nasional Sebangau,
Permasalahan tenurial ini diindikasikan terjadi tidak hanya oleh masyarakat tapi juga melibatkan
perusahaan maupun oknum di pemerintahan. Secara aturan, kawasan hutan tidak boleh
dialihfungsikan, kecuali kawasan hutan produksi yang dikonversi (HPK) melalui Surat Keputasan
(SK) Pelepasan Kawasan Hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kondisi saat ini, perambahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Sebangau telah
menimbulkan dampak kerusakan yang parah, dan risiko kebakaran tiap tahun mengancam di lokasi
tersebut. Untuk menentukan pilihan penanganan yang efektif dan tepat sasaran, diperlukan adanya
kajian yang komprehensif untuk memetakan permasalahan tenurial yang mencakup kesejarahan,
tipologi dan juga aktornya.
1.2. Ruang Lingkup
Dalam pelaksanaan kegiatan, tim efektif yang selanjutnya disebut tim PPEKTKK memiliki tugas
meliputi:
7. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;
8. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;
9. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai
dengan tipologi permasalahan.
1.3. Dasar Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada Surat Tugas Direktur Kawasan Konservasi Nomor:
PT.421/KK/PPKK.2/KSA.1/10/2018 tanggal 8 Oktober 2018.
59
1.4. Tujuan
5. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN
Sebangau.
6. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.
II. Metodologi
2.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :
1. Observasi Lapangan
2. Interview langsung
3. Focus Group Diskusi
b. Kajian Data Sekunder
c. Analisa Deskripsi dan Spatial
2.2. Areal Pengamatan
Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN
Wilayah I TN Sebangau, yang meliputi:
f. Lokasi permasalahan tenurial di KM 17 berupa kebun sawit rakyat seluas 76 Ha terletak di
Desa Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya
g. Lokasi permasalahan tenurial di KM 36 berupa lahan transmigrasi di Desa Habaring Hurung,
Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya;
h. Lokasi permasalahan tenurial di KM 23 berupa perkebunan sawit di Desa Marang, Kecamatan
Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
2.3. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 26 – 30 Desember 2018.
III. Survey dan Pengamatan Lapangan
3.1. Sejarah Kawasan TN Sebangau
TN Sebangau ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Menhut-
II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004. Secara administratif kawasan TN Sebangau terletak di 3 (tiga)
wilayah Kabupaten/Kota, yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang
Pisau Propinsi Kalimantan Tengah.
Sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional, status kawasan hutan Sebangau adalah kawasan
hutan produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang dikelola oleh beberapa
perusahaan HPH sekitar awal tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an. Setelah
perusahaan HPH tersebut berhenti beroperasi, kegiatan illegal logging marak terjadi di kawasan
Sebangau. Hal ini mengakibatkan fungsi hidrologis kawasan hutan Sebangau menjadi rusak dan
fungsinya sebagai daerah resapan air (water catchments area) juga terganggu. Dampaknya apabila
terjadi kekeringan pada musim kemarau akan mudah menyebabkan kebakaran hutan. Sampai
dengan tahun 2015, di kawasan Sebangau telah terjadi beberapa insiden kebakaran besar yaitu pada
tahun 1992, 1994, 1997, 2002, 2009, 2014 dan 2015 .
Mengingat akan kerusakan dan potensi alam yang berada di kawasan Sebangau, World Wild
Fundation (WWF) Sunderand Bio Region mengusulkan Sungai Sebangau dan Sungai Katingan
menjadi kawasan perlindungan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/ Kota dan
Provinsi. Hutan Sebangau yang terletak di tiga wilayah Kalimantan Tengah yaitu Kota Palangka
Raya, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Katingan diusulkan menjadi kawasan perlindungan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Tengah pada pertemuan
terbatas pada tanggal 14 Desember 2002.
3.2. Perbandingan Perambahan
60
2. Lokasi perambahan di KM 17 seluas 76 Ha terletak di Kelurahan Marang, Kecamatan Bukit
Batu, Kota Pelangka Raya.
Lokasi perambahan seluas 76 Hektar berada di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Sebangau
yang berdasarkan hasil pengamatan sudah ditanami sawit. Terdapat pondok kerja dan
aktivitas penanaman dan pemeliharaan sawit dilokasi tersebut. Luas sawit 76 hektar tersebut
berdasarkan data dari 1 lahan kepemilikan dan di lokasi diidentifikasi terdapat lebih dari 2
kepemilikan lahan sawit dengan luas yang belum diperoleh datanya.
Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK
423/Menhut-II/2004), SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011 dan SK Menteri
Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012, berada di dalam kawasan hutan taman nasional.
3. Lokasi perambahan terkait areal Transmigrasi di Kelurahan Hambaring Hurung, Kecamatan
Bukit Batu, Kota Palangka Raya.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012 terdapat pencadangan
Transmigrasi Habaring Hurung yang masuk Kawasan TN Sebangau seluas ± 766,20 Ha :
berupa tanah bengkok, kuburan, lahan pekarangan dan pemukiman, lahan usaha I dan lahan
usaha II. Lokasi pemukiman transmigrasi dan lahan usaha tersebut berada di Zona Khusus
dan sebagian kecil dari lahan usaha II berada di Zona Rimba. Sebagian besar Lahan Usaha II
berada di HPK dengan tutupan lahan berupa sebagian kecil semak belukar rawa dan sebagian
besar berupa tutupan hutan rawa.
Pemukiman tersebut secara fisik sudah didominasi oleh bangunan fisik permanen, berupa
perumahan, sarana fasilitas umum dan fasilitas sosial berupa TK, SD, Puskesmas Pembantu,
Masjid, Gereja, Kantor Kelurahan dan Kantor Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan.
Dalam Peta Indikatif TORA Revisi II, lokasi transmigrasi Hambaring Urung ini sebagian
masuk dalam peta indikatif tersebut namun hingga akhir tahun 2011 belum dilakukan Inver
oleh Tim PPTKH.
Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK
423/Menhut-II/2004) berada di dalam kawasan hutan, namun pada SK Menteri Kehutanan
No. 292/Menhut-II/2011, Kelurahan Hambaring Urung tidak masuk di dalam kawasan hutan
TN Sebangau namun posisinya kembali berada didalam kawasan berdasarkan SK Menteri
Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012.
Pada SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011, Hambaring Urung statusnya berubah
dari kawasan hutan menjadi APL (Area Penggunaan Lain).
4. Lokasi perambahan IUP di KM 23, Kelurahan Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangka
Raya.
Lokasi perambahan ini berupa pembukaan lahan untuk akses jalan yang dibangun oleh Dinas
Ketahanan Pangan Kota Palangkaraya atas permintaan beberapa kelompok tani untuk
keperluan bongkar muat dan angkut hasil usaha pertanian. Dilokasi tersebut juga dijumpai
kegiatan illegal logging yang sudah ditangani oleh TN Sebangau hingga penegakan hukum.
Lokasi perambahan berada di Zona Rimba dan berada pada wilayah kerja SPTN 1 yang
belum ditata batas. Jalan yang dibangun tersebut masih berupa jalan tanah rawa gambut
dengan kanal berada di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat bekas-bekas aktivitas
penebangan pohon yang menggunakan kanal sebagai jalur angkut kayunya.
Lokasi perambahan berdasarkan Penunjukkan TN Sebangau oleh Menteri Kehutanan (SK
423/Menhut-II/2004), SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011 dan SK Menteri
Kehutanan Nomer SK 529/Menhut-II/2012, berada di dalam kawasan hutan taman nasional.
Perbandingan Posisi Lokasi Perambahan terhadap Batas Kawasan TN Sebangau berdasarkan
SK Penunjukan hingga SK Penetapan Sebagian TN Sebangau.
Titik/Lokasi SK 423/2004 SK 292/2011 SK 529/2012 SK 4731/2014
61
(SK Penetapan
Sebagian)
KM 17 Di dalam Di dalam Di dalam Di Luar*
Hambaring Urung Di dalam Di Luar Di dalam Di Luar*
KM 23 Di dalam Di dalam Di dalam Di Luar*
* berada diluar karena wilayah TN Sebangau yang berada di Kota Palangkaraya belum ditata
batas.
Sketsa gambaran perbedaan posisi lokasi perambahan terhadap batas kawasan hutan TN
Sebangau.
SK 423/Menhut-II/2004
Lokasi berada di dalam
batas kawasan TN
Sebangau.
SK Menteri Kehutanan
No. 292/Menhut-II/2011
Lokasi Hambaring Urung
berada di luar kawasan
hutan TN Sebangau dan
statusnya berubah
menjadi APL (Area
Penggunaan Lain)
62
SK Menteri Kehutanan
Nomer SK 529/Menhut-
II/2012
Lokasi Hambaring Urung
kembali masuk ke dalam
kawasan TN Sebangau
3.3. Upaya Penanganan Balai TNS
Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai TN Sebangau terhadap permasalahan tenurial TNS
meliputi:
17. Koordinasi dengan BPKH wilayah XXI untuk melaksanakan tata batas khususnya di Kota
Palangka Raya
a. Bersurat kepada Direktur Pengukuhan Penatagunaan dan Tenurial Kehutanan, Ditjen
Planologi Kehutanan perihal kegiatan penataan batas di SPTN Wil I Palangka Raya tanggal
19 Juni 2013
b. Bersurat kepada Ka BPKH Wil XXI perihal permohonan tata batas kawasan TNS, tanggal
30 September 2013
c. Bersurat kepada Ka Balai BPKH XXI perihal permohonan tata batas kawasan TNS,
tanggal 2 September 2015 (menindaklanjuti surat sebelumnya)
d. Bersurat kepada Ka Balai BPKH XXI perihal penataan batas luar TNS, tanggal 28 Feb
2018 (menindaklanjuti surat sebelumnya)
18. Dilakukan survey/pemetaan tutupan sawit pada wilayah SPTN I Palangkaraya pada Bulan
Desember 2018 dengan menggunakan drone (lokasi: Banturung, KM 44, KM 47, dan KM 50).
Lokasi yang belum disurvey adalah lokasi KM 17, KM 23 dan Desa Habaring Hurung. Hasil
survey/pemetaan penggunaan lahan untuk kebun sawit sebagaimana tabel berikut.
Tabel . Hasil survey luas penggunaan lahan untuk sawit I
No Lokasi Sawit Luas (ha)
1 Banturung 27,17
2 KM 44 13,84
3 KM 47 34,22
4 KM 50 34,03
Total 109,26
Sumber: KSPTN I Palangkaraya
19. Koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Palangka Raya
20. Koordinasi dengan Ditreskrimsus Polda Kalimantan Tengah dan Balai PHLHK Wilayah
Kalimantan
21. Melakukan Pengumpulan Bahan dan Informasi terkait kejadian di lapangan dengan melibatkan
PHLHK Wilayah Kalimantan
22. Mengintensifkan patroli fungsional pengamanan kawasan khususnya di SPTN Wilayah I.
3.4. Rencana tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNS
Upaya tindaklanjut yang akan dilakukan Balai TNS ke depan meliputi:
63
11. Mendorong percepatan tata batas di TN Sebangau wilayah Palangka Raya
12. Melaksanakan kegiatan pengamanan kawasan TN Sebangau dengan melibatkan Kepolisian,
Balai Gakkum dan masyarakat
13. Mendorong penegakan hukum (perambahan dan illegal logging) di kawasan penyangga TN
Sebangau untuk mendukung keutuhan ekosistem TN Sebangau
14. Sosialisasi zonasi dan penyuluhan.
15. Pemasangan plang informasi kawasan
16. Berkoordinasi dengan para pihak terkait
3.5. Kunjungan dan Pengamatan Lapangan
3. Lokasi permasalahan tenurial di KM 17 berupa kebun sawit rakyat seluas 76 Ha terletak di
Desa Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
Lokasi konflik lahan di KM 17 terletak di sekitar perbatasan antara Kecamatan Jekan Raya dan
Bukit Batu, Kota Palangkaraya yang masuk dalam wilayah kelurahan Marang. Akses masuk ke
lokasi melalui jalan Tjilik Riwut yang merupakan akses jalan menuju Sampit. Lokasi konflik
tersebut sebagian besar telah terbuka dan telah ditanami dengan kelapa sawit.
Ditemukan kebun kelapa sawit yang terletak di dalam kawasan TN Sebangau dan pondok
jaganya berada persis di garis batas kawasan. Menurut penjelasan dari penjaga kebun, bahwa
pemilik kebun tersebut pak Arton S Dohong yang pada saat ini sedang menjabat sebagai
bupati kabupaten Gunung Mas. Diceritakan bahwa dia bertemu pak Arton dan kemudian
dipercaya sebagai penjaga kebun tersebut sejak tahun 2012. Pada saat itu lahan sudah dalam
keadaan terbuka, semak belukar. Penguasan lahan kebun tersebut diceritakan bermula dari
pembelian seluas 20 ha dari seorang tentara (tidak diketahui namanya) dan kemudian
ditambah dengan membeli lahan kepada beberapa orang (tidak disebutkan nama-namanya)
sehingga luasnya mencapai kurang lebih 76 ha. Harga pembelian lahan kebun tersebut adalah
Rp 5 juta per ha.
Pada saat ini usia tanaman kelapa sawit telah mencapai 4-5 tahun, ada yang sudah mulai
berbuah “pasir”. Penjaga tersebut bekerja dengan sistem upah/gaji Rp 5 juta per bulan. Selain
sebagai penjaga kebun tersebut, keluarga (istri) penjaga itu juga membuka warung makan kecil
yang berada persis di simpang jalan masuk ke arah kebun (Km 17 kelurahan Marang). Dia
dijanjikan akan naik upah/gaji setelah sawitnya panen dan bisa dipasarkan.
Pemeliharaan atau perawatan kebun dilakukan secara terpisah dengan cara borongan atau
buruh harian. Penjaga bertindak sebagai “mandor” untuk mengatur kerja borongan tersebut.
Peralatan dan obat-obatan untuk perawatan kebun tersebut dibiayai secara terpisah oleh pak
Arton. Pengaturan pelaksanaan perawatan kebun diserahkan atau dipercayakan kepada
penjaga, termasuk pengaturan pembayaran upah borongannya. Salah satu upaya perawatan
adalah dengan menyemprot herbisida (garamoxon, round up) untuk mengontrol
pertumbuhan gulma (rumput). Para pekerja borongan atau buruh lepas dengan perjanjian
harga borongan pembersihan rumput per pokok pohom sebesar Rp 2.500. Dalam sehari rata-
rata bisa menyelesaikan sekitar 50 pokok pohon per orang. Sehingga penghasilan dari bekerja
borongan sekitar Rp 125.000,- per hari. Orang yang bekerja borongan itu pada umumnya
didatangkan dari Jawa atau mencari orang yang sedang merantu ke Palangkaraya.
4. Lokasi permasalahan tenurial di KM 36 berupa lahan transmigrasi di Desa Habaring Hurung,
Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
Kelurahan Habaring Hurung merupakah salah satu dari 7 kelurahan yang berada di Kecamatan
Bukit Batu, Kota Palangkaraya. Di kelurahan tersebut terdapat 2 Rukun Warga dan 7 Rukun
Tetangga dengan luas wilayah sekitar 7.344,12 ha dengan jumlah penduduk dari data BPS
Palangkaraya tahun 2016, sebanyak 238 kepala keluarga (895 jiwa). Kelurahan dipimpin oleh
seorang lurah yang merupakan Aparat Sipil Negara (ASN).
Kelurahan Habaring Hurung merupakan wilayah kelurahan eks Program Transmigrasi
Pengembangan Desa Potensial (Transbangdep) Tumbang Tahai penempatan awal tahun 1992.
Sebagaimana pada umumnya program transmigrasi, warga binaan transmigrasi menerima
pembagian lahan 2 ha yang terdiri atas Lahan Pekarangan (LP) seluas 0.25 ha, Lahan Usaha I
64
(LU-1) seluas 0.75 ha dan Lahan Usaha II (LU – II) seluas 1 ha. Seluruh kepemilikan lahan
tersebut telah mendapatkan Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
Pemerintah Kotamadya Palangkaraya pada tahun 2001 (sebelum terbit SK Penunjukan TNS
pada tahun 2004). Dari jumlah warga 250 KK yang telah menerima sertifikat sebanyak 234
KK, sedangkan 16 KK lainnya yang belum menerima karena mereka tidak berada di lokasi
kelurahan pada saat dilakukan pembagian sertifikat.
Sebagian dari kepemilikan tanah yang bersertifikat tersebut sudah ada yang telah berpindah
tangan kepemilikan melalui jual beli. Bangunan kantor TNS Resort Habaring Hurung itu juga
diinformasikan merupakan hasil dari pembelian dari warga. Ada juga sebagian sertifikat tanah
tersebut yang dijadikan agunan untuk pinjaman modal dana ke Bank.
Kondisi Lahan Pekarangan pada saat ini telah berupa pemukiman dengan bangunan rumah
semi permanen dan permanen (insert gambar foto-foto) dan tanaman pohon kebun dan
buah-buahan, palawija dan sayur mayur, serta ada sebagian yang digunakan untuk usaha
warung/rumah makan dan usaha peternakan ayam ras). Tanaman kebun dan buah-buahan
yang dibudidayakan seperti kelapa, rambutan, mangga, nangka, pisang, buah naga, melon dan
lain-lain). Sedangkan tanaman palawija, ubi kayu (singkong) dan sayur mayur yang
dibudidayakan diantaranya berupa jagung, kacang tanah, sorgum, terong, kacang panjang, cabe
dan lain-lain.
65
Fasilitas yang terdapat di kelurahan berupa pemukiman warga, kantor kelurahan, balai
pertemuan warga, sarana pendidikan (taman kanak-kanak serta sekolah dasar) serta pusat
kesehatan masyarakat pembantu (Puskesmas Pembantu) serta lapangan olah raga dan sarana
ibadah berupa masjid.
Pada Lahan Usaha I (LU-I) pada umumnya telah dilakukan budidaya tanaman kebun (kelapa
sawit), palawija (jagung, sorgum, kacang tanah), buah-buahan dan sayur-sayuran (Melon,
Ketimun, Kacang panjang, pisang, cabe dan lain-lain. Diinformasikan juga bahwa pada saat ini
sedang dipersiapkan untuk lokasi uji-coba penanaman sorgum seluas 1000 ha oleh Swasta (PT.
Oni Esang Gemilang) bekerjasama dengan masyarakat.
Pada Lahan Usaha II (LU-II) ada sebagian yang sudah diusahakan dengan tanaman perkebunan
(Kelapa Sawit). Namun juga ada sebagian Keluarga yang masih belum melakukan kegiatan
66
usaha budi daya (penggarapan) di LU-II dengan alasan tidak memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang cukup untuk budi daya pada lahan gambut.
Diinformasikan juga bahwa Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan (LKK) sedangan memiliki
gagasan dan telah melakukan pengorganisasian melalui pertemuan-pertemuan untuk
melakukan penggeseran lokasi LU-II ke lahan kawasan yang pada saat ini tidak masuk ke dalam
lahan yang telah disertifikasi. Ada sebagian warga yang menyetujui dan ada yang melakukan
penolakan atas gagasan pergeseran lokasi LU-II tersebut. Alasan yang menerima gagasan
tersebut adalah untuk pencadangan kebutuhan bagi keluarga baru (keluarga putra-putri warga
yang telah menikah) dan juga ada peluang kerjasama dengan pihak swasta untuk
pengembangan usaha kelapa sawit. Perusahaan swasta tersebut telah memberikan janji untuk
penyediaan bibit unggul kelapa sawit untuk memperbaiki kualitas dari yang telah dibudidayakan
oleh warga pada saat ini. Sedangkan warga yang melakukan penolakan terhadap gagasan
pergeseran LU-II tersebut adalah alasan kepastian hak lahan yang pada saat ini telah
bersertifikat, lahan pengganti tempat penggeseran tersebut pada saat ini berupa hutan dan
tidak ada bukti kepemilikannya. Salah satu warga yang diindikasikan menjadi “back-up” dari
gagasan pergeseran LU-II tersebut adalah mantan Lurah yang pada saat ini bertempat tinggal di
Habaring Hurung. Mantan Lurah tersebut (inisial R) pada saat ini masih aktif sebagai ASN di
kantor kecamatan Bukit Batu. Ada indikasi juga bahwa rencana pergeseran LU-II ini juga
bermotif perluasan lahan calon areal kebun kelapa sawit oleh Swasta. Dalam-rapat-rapat LKK
sudah diinformasikan bahwa pihak Swasta juga akan memberikan bantuan pinjaman modal
secara bertahap sebesar Rp 25 Juta per ha (ini selain janji penyediaan bibit kelapa sawit
berkualitas unggul).
Pada saat pengecekan di lapangan, terdapat kegiatan pembalakan andang dan gambangan
(cerucuk dan meranti) di dalam Kawasan Taman yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi
yang menjadi areal LU II baru.
67
Pada lokasi tersebut telah dibuatkan jalan sejauh kurang lebih 1,5 km. Dari penelusuran di
lapangan, dengan menelusuri jalan yang baru yang telah dibangun menggunakan alat berat,
dimulai dari lokasi awal patok batas BPN (yang telah dipindahkan), penelusuran sampai di
ujung jalan, tim tidak menemukan patok batas BPN yang telah dipindahkan tersebut. Namun
terdapat patok-patok bekas pengukuran jarak pada saat membangun jalan.
Dari analisis lokasi yang dikunjungi diperkirakan tumpang tindih (overlap) dengan areal izin
lokasi PT Central Sejahtera Sukses di kecamatan Bukit Batu.
68
Mata pencaharian:
Mata pencaharian warga kelurahan Habaring Hurung sebagian besar adalah petani. Disamping
itu ada sebagian yang menjadi pedagang, karyawan swasta, ASN, buruh harian lepas pada
perusahaan swasta dan juga ada yang merantau ke luar daerah (keluar kelurahan). Hasil-hasil
bumi yang berkontribusi pada ekonomi keluarga yaitu tanaman palawija (jagung dan kacang
tanah), ubi kayu (singkong), buah-buahan (pisang, kelapa, nangka, melon), sayur-sayuran
(terong, kacang panjang, cabe, ketimun) dan juga ternak (ayam, telor, kambing/domba) dan
ikan budidaya (lele). Pemasaran hasil-hasil bumi tersebut cukup mudah dilakukan di pasar
Tangkiling (setiap hari Minggu) dan pasar kota Palangkaraya dan melalui tengkulak yang datang
ke desa.
Kegiatan lain yang dilakukan masyarakat adalah mencari kayu cerucuk dan gambangan selain
galian C dan membuat arang.
Informasi Tambahan:
Diinformasikan juga bahwa kegiatan-kegiatan pertanian di kelurahan Habaring Hurung sering
dijadikan lokasi kunjungan belajar dari tempat lain yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pada umumnya dari Dinas Pertanian.
Juga diinformasikan terkait dengan keberadaan kegiatan demplot WWF kerjasama dengan
Body Shop dan Siemen pada lahan seluas 35 ha. Demplot itu berapa kegiatan penanaman
pohon Jelutung, Pulai dan Belangeran (Shorea blangeran). Kegiatan penanaman itu dilakukan
pada tahun 2010 dengan jumlah pohon keseluruhan 14.000 pohon. Pada saat ini tanaman
pohon demplot tersebut telah banyak yang mati dan lahannya sudah diakui oleh masyarakat
setempat (Dayak) dengan istilah “ayungku” (diaku sebagai miliknya). Terdapat informasi juga
adanya oknum dari Dinas Kehutanan Propinsi (M) yang diindikasikan mendukung upaya
tersebut.
5. Lokasi permasalahan tenurial di KM 23 berupa perkebunan sawit di Desa Marang, Kecamatan
Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
Permasalahan tenurial di KM 23 adalah adanya pembukaan lahan di Kawasan TN Sebangau
berupa akses jalan. Saat ini di sekitar areal yang sudah terbuka ditanami kelapa sawit serta
jenis tanaman kayu seperti jabon. Dari kunjungan lapangan, di sekitar areal tersebut terdapat
kebun sawit dan kayu yang masih belum produktif. Terdapat bangunan rumah bagi pengurus
69
kebun serta bangunan untuk sarang burung walet. Dari wawancara singkat dengan salah
seorang pengurus kebun didapat informasi bahwa pemilik kebun sawit berdomisili di kota
Palangkaraya dan berprofesi sebagai dokter. Sedangkan lokasi lain dimiliki oleh pejabat dan
anggota dewan di kota Palangkaraya. Lokasi tersebut berada di batas antara Kawasan dengan
APL. Namun demikian, terdapat areal Kawasan yang terbuka dan dibuatkan akses jalan
melalui program dari dinas ketahanan pangan Palangkaraya. Pembuatan jalan tersebut
membuka akses ke dalam Kawasan taman nasional.
Pada saat kunjungan, terdapat sejumlah kayu gergajian hasil pembalakan di areal Kawasan
yang dikeluarkan melalui sekat kanal.
IV. Analisis Tipologi Konflik
4.1. Lokasi permasalahan tenurial di KM 17 berupa kebun sawit rakyat seluas 76 Ha terletak di
Desa Marang, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
Analisa Aktor Konflik: 1. Penduduk
Pendatang
Asal Palangkaraya
Keberadaan masyarakat dalam kawasan Hanya sebagai pekerja, pemilik sekaligus
pemodal areal kelola berdomisili di luar
kawasan
Asal memperoleh lahan Jual beli secara bertahap, pemilik merupakan
oknum pejabat pemerintahan yang membeli
lahan dari oknum anggota militer
Motif Komersial
Jenis penggunaan lahan Perkebunan
Jenis pertanian Kelapa sawit
Kesadaran hukum Pemilik – Seharusnya cukup tinggi karena
mempunyai pengetahuan yang cukup
Dampak terhadap kawasan TN Berada di dalam Kawasan taman nasional,
berdekatan dengan batas TN dan berpotensi
semakin meluas kea rah Kawasan taman
nasional
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, tidak ada pranata adat
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk pilihan penyelesaian
melalui mediasi-penegakan hokum
2. Penduduk
Pendatang
Asal Kabupaten Gunung Mas
Keberadaan masyarakat dalam kawasan Kebun di dalam kawasan TN
Asal memperoleh lahan Jual beli lahan
Motif Komersil
Jenis penggunaan lahan Perkebunan (kelapa sawit)
Jenis pertanian Sayur mayur, buah-buahan, kelapa sawit
Kesadaran hukum Mengetahui keberadaan Taman Nasional
Dampak terhadap kawasan TN Berkurangnya luas kawasan, degradasi tutupan
lahan
70
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada
Pemahaman lokal tentang kawasan Minim
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Kemungkinan kecil menerima usulan program
dari TN
3. Pemilik ijin usaha
perkebunan
Asal Palangkaraya
Keberadaan Lokasi IUP berada di dalam Kawasan TN
Motif awal Komersial
Jenis penggunaan lahan Perkebunan skala besar
Jenis pertanian Kelapa Sawit
Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal kepemilikan
lahan
Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi terbuka,
dan telah dilakukan pembersihan lahan, serta
telah dibangun akses jalan dan sekat kanal
untuk persiapan usaha perkebunan kelapa sawit
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui
penegakan hukum.
4.2. Lokasi permasalahan tenurial di KM 36 berupa lahan transmigrasi di Desa Habaring Hurung,
Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
Analisa aktor konflik: 1. Masyarakat
setempat
Asal Pendatang, melalui mobilisasi transmigrasi pada
1991, Jawa Barat (Cirebon, Sukabumi,
Pandeglang) Jawa Tengah (Cilacap,
Banjarnegara, Banyumas, Pekalongan), Jawa
Timur (Surabaya, Jember, Madura).
Keberadaan Sesuai dengan SK terakhir di dalam Kawasan,
tetapi sebelum ditetapkan sebagai Kawasan,
lokasi transmigrasi berada di luar Kawasan.
Trans Bangdep 1992 dari program pemerintah
pusat
Motif awal Transmigrasi
Jenis penggunaan lahan Transmigrasi
Jenis pertanian Pertanian dan perkebunan
Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal kepemilikan
lahan
Dampak terhadap kawasan TN Dikarenakan areal transmigrasi sudah
dialokasikan sebelum lokasi tersebut ditunjuk
menjadi TN, lokasi transmigrasi teridentifikasi
sebagai areal terbuka di dalam Kawasan TN.
Akses ke zona-zona lain di TN Sebangau bias
semakin mudah.
Berkurangnya luas Kawasan, degradasi tutupan
lahan
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, tidak ada pranata adat
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi juga mempunyai basis legal
kepemilikan tanah berupa sertifikat resmi dari
BPN
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Mengharapkan ada pola kemitraan dalam
pengelolaan Bersama
Oknum pemerintahan
di Kota Palangkaraya
Asal Palangkaraya
Keberadaan
Motif awal Jual beli tanah dan kepemilikan lahan
Jenis penggunaan lahan Perkebunan
Jenis pertanian Diarahkan ke perkebunan kelapa sawit
Kesadaran hukum Seharusnya cukup tinggi karena merupakan
pejabat pemerintahan
71
Dampak terhadap kawasan TN Diindikasikan ada upaya pernggeseran batas
Kawasan untuk mengamankan operandi klaim
lahan
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui
penegakan hukum.
Oknum Pejabat Desa Asal Desa Habaring Hurung
Keberadaan Di dalam Kawasan
Motif awal Jual beli tanah dan kepemilikan lahan
Jenis penggunaan lahan Perkebunan
Jenis pertanian Diarahkan ke perkebunan kelapa sawit
Kesadaran hukum Seharusnya cukup tinggi karena merupakan
pejabat pemerintahan
Dampak terhadap kawasan TN Diindikasikan ada upaya pernggeseran batas
Kawasan untuk mengamankan operandi klaim
lahan dan mempengaruhi persepsi masyarakat
untuk melakukan hal yang melanggar hokum
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui
penegakan hukum.
4.3. Lokasi permasalahan tenurial di KM 23 berupa perkebunan sawit di Desa Marang, Kecamatan
Bukit Batu, Kota Palangkaraya.
Analisa aktor konflik: Pemilik ijin usaha
perkebunan
Asal Palangkaraya
Keberadaan Lokasi IUP berada di dalam Kawasan TN
Motif awal Komersial
Jenis penggunaan lahan Perkebunan skala besar
Jenis pertanian Kelapa Sawit
Kesadaran hukum Cukup tinggi, memahami basis legal kepemilikan
lahan
Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi terbuka,
dan telah dilakukan pembersihan lahan, serta
telah dibangun akses jalan dan sekat kanal
untuk persiapan usaha perkebunan kelapa sawit
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui
penegakan hukum.
Dinas Ketahanan
Pangan dan DInas
Pekerjaan Umum
Kota Palangkaraya
Asal Pemerintah Kota Palangkaraya
Keberadaan Lokasi jalan ketahanan pangan berada di dalam
Kawasan TN
Motif awal Jalur pengembangan ekonomi
Jenis penggunaan lahan Jalur pengangkutan hasil budidaya
Jenis pertanian Kelapa Sawit, Sengon dan Jabon
Kesadaran hukum Rendah
Dampak terhadap kawasan TN Seluruh Kawasan sudah dalam kondisi terbuka,
dan telah dilakukan pembersihan lahan, serta
telah dibangun akses jalan dan sekat kanal untuk persiapan usaha perkebunan kelapa
sawit. Mengancam daya dukung Kawasan
dikarenakan jalan yang dibangun berpotensi
membelah Kawasan TN
Kebijakan lokal untuk hidup dengan hutan Tidak ada, sepenuhnya bermotif bisnis
Pemahaman lokal tentang kawasan Paham, tetapi mengacuhkan
Penerimaan terhadap usulan kemitraan Direkomendasikan untuk penanganan melalui
penegakan hukum.
V. Arahan Penanganan
72
Pelaku (1) Pelaku tinggal di luar sebagai pemodal (meliputi oknum pemerintah, pemilik ijin
perkebunan, dan penduduk pendatang), lahan di dalam kawasan
Waktu Penguasaan Kurang dari 10 tahun
Luas penguasaan Lebih dari 10 hektar per pemilik
Penggunaan lahan Perkebunan kelapa sawit
Orientasi Komersial
Zonasi Zona Pemanfaatan
Pilihan penanganan Mengacu kepada Matriks 2 untuk penanganan konflik tenurial di zona dan blok
pemanfaatan, waktu penguasaan, luas penguasaan, penggunaan lahan dan orientasi
penguasaan, maka arahan penanganan untuk konflik ini adalah:
1. Mediasi untuk pendekatan agar pelaku bersedia menyerahkan lahan secara sukarela
2. Penegakan hukum karena seluruh actor konflik berorientasi komersial dan secara
jelas berada di dalam kawasan konservasi.