DRAFT 2

37
LAPORAN KASUS MENINGITIS SEROSA PEMBIMBING : dr. Ellen R Sianipar, Sp.A DISUSUN OLEH Citra Anggraini 110.2009.066

description

menser

Transcript of DRAFT 2

LAPORAN KASUSMENINGITIS SEROSA

PEMBIMBING :dr. Ellen R Sianipar, Sp.A

DISUSUN OLEHCitra Anggraini110.2009.066

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAKRUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO JAKARTAKEPANITERAAN KLINIK PERIODE 25 MEI 1 AGUSTUS 2015

BAB ISTATUS PASIENA. Identitas Pasien Nama: An. MZTTL / Umur: 3 Mei 2014 / 1 Tahun 1 bulanBB: 9,9 kgTB: 76 cmJenis Kelamin: Laki-lakiAgama: IslamAlamat: Jl. Beringin No.50 Pondok Rangon, Cipayung, JakartaMasuk RS: 6 Juni 2015Keluar RS: -Tgl.Pemeriksaan: 26 Juni 2015No. RM: 2015-620927 B. Identitas Orang TuaAyahIbuNama :Tn. HNy. NUmur :26 tahun23 tahunPendidikan :SMASMAPekerjaan :MontirIRTAgama :IslamIslam

C. AnamnesaAlloanamnesa dengan orangtua pasien tanggal 26 juni 2015 di bangsal mawar RSUD Pasar Rebo Keluhan utama: Pasien tidak sadar atau selalu tidur sejak 3 hari SMRS. Keluhan Tambahan: Demam, batuk. Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo rujukan dari RS Adiyaksa dengan penurunan kesadaran sejak 3 hari SMRS.Pasien batuk sejak 3 minggu SMRS, batuk berdahak namun sulit keluar, nyeri menelan (-), darah (-), sesak (-). Keluhan batuk disertai demam sejak 3 minggu SMRS, demam naik turun dengan suhu tertinggi 39C, diberi obat penurun panas suhu kembali normal namun demam lagi 6 jam setelah minum obat, disertai kejang satu kali pada hari ke 3 demam, kejang seluruh badan selama , PMN : 92 : 8CT Scan kepala : HidrocephalusRiwayat demam, disertai kejang hari ke 3 demam.Perekaman dilakukan selama 40 menit dalam keadaan tidak sadar (Soporocomatous/GCS 6). Rekaman didominasi gelombang lambat teta bercampur dengan teta difus. Reaktifitas terhadap buka tutup mata tidak dapat dinilai. Reaktifitas terhadap rangsang nyeri.Beberapa kali tampak cetusan gelombang tajam didaerah frontal kiri (F3).Kesan :EEG interiktal Abnormal berupa :1. Perlambatan umum.2. Aktifitas epileptiform fokal di frontak kiri.Kolerasi klinis : sesuai dengan disfungsi kortikal difus (encephalopathy/edema cerebri difus) dengan potensial epileptogenik di frontal kiri.

F. Resume Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo rujukan dari RS Adiyaksa dengan penurunan kesadaran sejak 3 hari SMRS. Pasien batuk sejak 3 minggu SMRS dan diserat demam serta kejang 1x saat demam. Pasien sudah sering batuk sejak usia 6 bulan dan sembuh dengan obat dari dokter namun kembali batu 1-2 minggu setelah obat habis. Orang tua pasien tidak mengetahui apakah sekitar pasien ada penderita TB atau tidak. Pemeriksaan Fisis GCS 9 Mata : Refleks cahaya (+/-), pupil bulat anisokor 3/4. Ekstremitas : Edema + +, spasme + + , akral hangat, tidak ada deformitas. + + + + Rangsang meningeal : saat diperiksa (-) Pemeriksaan penunjang LCS : Glukosa 6, CT.scan kepala hydrocephalus Test Mauntoux (+) positif

G. Diagnosis KerjaMeningitis serosa (tuberkulosa) H. Diagnosis BandingEnsefalitis

I. TatalaksanaMinum susu 125cc/3jamSanmol drip 100mg/6jamKalmetasone 3x1mgCeftriaxone 3x300mgRimcure 1tabx1

J. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam Quo ad functionam: dubia ad bonam Quo ad sanationam: dubia ad bonam

K. Follow Up27/6/201528/6/201529/6/201530/6/2015

S: Pasien sudah respon terkadang apabila disentuh, demam (+), muntah (-), Minum susu 125 cc/3 jam, BAK BAB baik.O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 39,1C, N: 112x/, Rr: 28x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)A: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Kalmetasone tap off 3x1 mg, Sanmol drip 4x100mgS: Pasien sudah respon jika disentuh, menguap, demam (+), muntah (-), Minum susu 125 cc/3 jam, BAK baik, BAB (-).O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 40,1C, N: 132x/, Rr: 32x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)A: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Kalmetasone tap off, Sanmol drip 4x100mgS: Pasien sudah respon jika disentuh, menguap, demam (+) naik turun, muntah (-), Minum susu 125 cc/3 jam, BAK baik, BAB (-).O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 37,6C, N: 120x/, Rr: 28x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)A: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Kalmetasone tap off, Sanmol drip 4x100mgS: Pasien semakin respon jika disentuh, menguap, demam (+) naik turun, muntah (-), Minum susu 125 cc/3 jam, BAK baik, BAB (-).O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 36,7C, N: 124x/, Rr: 32x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)A: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Kalmetasone tap off, Sanmol drip 4x100mg

1/7/20152/7/20153/7/2015

S: Demam (-), respon pasien masih sama dengan kemarin, muntah (-), minum susu (+), BAB dan BAK baik.O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 37,9C, N: 112x/, Rr: 28x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)A: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Kalmetasone stop, Sanmol drip 4x100mgS: Demam (+),muntah (-), minum susu (+), BAB 3x/hari ampas (+) dan BAK baik.O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 38,7C, N: 132x/, Rr: 28x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)A: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Sanmol drip 4x100mgS: Demam (-), minum susu (+), BAB 1x/hari ampas (+), dan BAK baik.O : KU : TSB, Kes : Apatis.S: 37,9C, N: 112x/, Rr: 28x/.Kepala : dbnMata : Pupil anisokor 3/4, RCL (-/-), RCTL (-/-)THT : dbnThorax : dbnAbd : dbnEks : Spasme (+)Lab:DL: 10,6/34/4,2/6820 /201000.MCV/CH/CHC: 79/25/32SGOT/PT: 89/40Ur/Cr: 12/0,34Ct.scanHidrocephalusMeningitisA: Meningitis TBP : Minum susu 125 cc x 8, Sanmol drip 4x100mg

BAB ITINJAUAN PUSTAKA2.1. Anatomi dan FisiologiMeningen terdiri dari tiga lapis, yaitu:1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel- ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter.3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar (periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi

Gambar 2.3.1 Struktur meningen dari luar

Gambar 2.1.1. Struktur meningen dari luar

Gambar 2.1.2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

2.2. DefinisiMeningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru.Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya. Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru.

2.3. EpidemiologiMeningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani.Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan.Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. Angka kejadian TB paru di Indonesia dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara dengan urutan ketiga dengan kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001, dilaporkan perubahan dari tahun sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang menjadi 43 oreng per 100.000 penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83 orang per 100.000 penduduk.Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.

2.4. Tuberkulosis EkstrapulmonerGejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif yang persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk darah, sesak napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia. Limfadenopati dengan TB paru juga dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk, gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada infeksi saluran napas akut, asma, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Walaupun begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan digunakan pada guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan prevalensi TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan kondisi selain TB.Dengan memfokuskan terhadap dewasa dan anak dengan batuk kronik, kesempatan mengidentifikasi pasien dengan TB paru dapat dimaksimalkan. Selain gejala batuk, pada pasien anak penting mengevaluasi berat badan yang sulit naik dalam kurun waktu 2 bulan terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak semua pasien dengan gejala respiratori menerima evaluasi yang adekuat untuk TB. Kegagalan ini terjadi karena kurangnya deteksi dini TB sehingga menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit pada pasien dan meningkatnya kemungkinan transmisi Mycobacterium tuberculosis ke orang-orang di sekitarnya.Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan kelainan. Pada umumnya kelainan paru terletak di lobus superior terutama apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Temuan yang bisa didapatkan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.Pada pleuritis TB, apabila cairan di rongga pleura cukup banyak, dapat ditemukan redup atau pekak pada perkusi. Pada auskultasi suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher.Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling banyak terjadi di nodus limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi, meningen, peritoneum, dan perikardium. Secara singkat tuberkulosis ekstrapulmoner diterangkan sebagai berikut:Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan supraklavikular).Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil, hingga efusi besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu. Pemeriksaan fisik menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara napas menghilang). Jenis efusi perlu ditentukan dengan melakukan pungsi pleura. Dapat pula terjadi empiema tuberkulosis yang lebih jarang, pada umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis paru dengan kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring, dan/atau epiglotis sehingga memunculkan gejala serak, disfonia, dan disfagia disertai dengan batuk produktif.Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria, nokturia, hematuria, serta nyeri abdomen.Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan patogenesisnya terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan penyebaran melalui nodus limfa paravertebra. Dapat pula mengenai vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal (Potts disease atau spondilitis tuberkulosis). Tuberkulosis meningitis dan tuberkulomaTuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal atau hilus.Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling banyak ditemukan pada ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA dengan hitung CD4 yang lebih rendah.Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis tuberkulosis ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru. Selain itu terdapat kecenderungan jumlah mikroorganisme M. tuberculosis pada situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh, pemeriksaan cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis hanya berhasil menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus, dan temuan sama rendahnya pada meningitis tuberkulosis. Mengingat fakta ini, kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan foto toraks juga sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier bersamaan dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan dahak.

2.5. Diagnosis dan Suspek Meningitis TuberkulosaDiagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil My-cobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa focisub- ependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan meningitis.Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.Tabel 2.5.1 Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB

Berdasarkan tabel di atas, diagnosis kemungkinan meningitis TB (probable) adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis mungkin bisa meningitis TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10. Penilaian cairan serebrospinalis pada pasien dengan meningitis TB dapat menunjukkan warna yang jernih, pleocytosis sedang dengan peningkatan pada limfosit, peningkatan kandungan protein dan konsentrasi glukosa yang sangat rendah. Penemuan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan penemuan meningitis bakterial lain, yaitu pada meningitis bakterial tipikal penemuan pada cairan serebrospinalis adalah berwarna keruh putih, pleocytosis yang sangat tinggi dan dengan peningkatan pada neutrofil.Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis di bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500 per L sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas 1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda. Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan serebrospinal (CSF). Namun segala metode untuk memastikan sebuah diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi. Kultur memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik untuk basil tahan asam dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah namun dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi.

2.6. Penatalaksanaan Meningitis TBPenatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda: administrasi obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau penatalaksanaan tekanan intrakranial yang meningkat. Berikut adalah guideline dan dosis pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak baik lini pertama dan lini kedua:

Tabel 2.6.1 Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak

Tabel 2.6.2 Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak lini kedua

Sedangkan rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk lini pertama obat TB adalah sebagai berikut:Tabel 2.6.3 Rekomendasi dosis obat TB lini pertama dari WHO

Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua atau lebih jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari penggunaan FDC adalah menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap obat dan medication errors yang lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu diresepkan. Anak-anak di atas usia 8 tahun dengan berat badan lebih dari 30 kg dapat diberikan standard four-drug FDC atau FDC yang memiliki kandungan 4 jenis obat TB standar yang digunakan pada pasien dewasa selama fase intensif (dua bulan) terapi.Tabel 2.6.4 FDC untuk TB pada usia > 8 tahun dan berat badan > 30 kg

Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin. Isoniazid 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 1 g). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian maksimum 2 g). Meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan kortikosteroid, biasanya yang digunakan adalah prednisone oral yang diberikan dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu (total penggunaan kortikosteroid 6 minggu).

2.7. PrognosisAngka kematian pada umumnya 50%. Prognosis buruk pada bayi dan orang tua. Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa. Umur penderita juga mempengaruhi prognosis. Anak dibawah 3 tahun dan dewasa diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek.

DAFTAR PUSTAKA Epidemiologi tbc Indonesia. http://www.tbindonesia.or.id. Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3: Treatment of Tuberculosis Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis guidelines of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases. South Afr J Epidemiol Infect. 2009;24(3). Bidstrup C, Andersen PH, Skinhj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Universit degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda Ospedale Maggiore Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis 2012: 92; 377-383