DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7697 Memahami Peran Pendidikan ...

20
MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017: 139-158 DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7697 Mobilitas Sosial di Indonesia Muhammad Husni Arifin Departemen Sosiologi Universitas Terbuka Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini menjelaskan hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia. Ada beberapa kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk menje- laskan hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial, salah satunya yang relevan adalah kerangka konseptual Inequality of Educational Opportunity (IEO) dan Inequality of Social Opportunity (ISO) yang dikemukakan oleh Raymond Boudon. Hasil analisis menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia ternyata dipengaruhi oleh faktor lainnya, yakni ketimpangan sosial-ekonomi dan disparitas geografi dan kultural. Semakin rendah ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akan berdampak pada semakin meningkatnya akses masyarakat ke pendi- dikan tinggi dan pada gilirannya akan mendorong terjadinya mobilitas sosial vertikal. Abstract This paper explains the connection between higher education and social mobility in Indonesia. Several theoretical frameworks as proposed by Raymond Boudon’s Inequality of Educational Opportunity (IEO) and Inequality of Social Opportunity (ISO) are relevant to explain the relation between the two variables. The result shows that the connec- tion between higher education and social mobility is influenced by social-economic inequality, geographical factors, and cultural disparities. The decrease of inequality in the society allows more individuals to achieve higher education and attain upward social mobility. Keywords: higher education, social mobility, educational opportunity, social opportunity PENDAHULUAN Kajian tentang peran pendidikan tinggi terhadap mobilitas sosi- al di Indonesia jarang ditemukan dalam berbagai literatur. Kajian mobilitas sosial menjadi hal penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat aksesibilitas suatu kelompok masyarakat terhadap pendidik- an serta tingkat ketimpangan ( inequality) dalam pendidikan (Mok 2016). Selain itu, mobilitas sosial pada umumnya tidak bisa terlepas dari aspek latar belakang sosial (social origins ) maupun reproduksi sosial (social reproduction). Reproduksi sosial maupun latar belakang demografi mahasiswa pada umumnya sangat penting untuk menge- Memahami Peran Pendidikan Tinggi terhadap

Transcript of DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7697 Memahami Peran Pendidikan ...

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017: 139-158DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7697

Mobilitas Sosial di Indonesia

Muhammad Husni ArifinDepartemen Sosiologi Universitas Terbuka

Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini menjelaskan hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia. Ada beberapa kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk menje-laskan hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial, salah satunya yang relevan adalah kerangka konseptual Inequality of Educational Opportunity (IEO) dan Inequality of Social Opportunity (ISO) yang dikemukakan oleh Raymond Boudon. Hasil analisis menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia ternyata dipengaruhi oleh faktor lainnya, yakni ketimpangan sosial-ekonomi dan disparitas geografi dan kultural. Semakin rendah ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akan berdampak pada semakin meningkatnya akses masyarakat ke pendi-dikan tinggi dan pada gilirannya akan mendorong terjadinya mobilitas sosial vertikal.

Abstract

This paper explains the connection between higher education and social mobility in Indonesia. Several theoretical frameworks as proposed by Raymond Boudon’s Inequality of Educational Opportunity (IEO) and Inequality of Social Opportunity (ISO) are relevant to explain the relation between the two variables. The result shows that the connec-tion between higher education and social mobility is influenced by social-economic inequality, geographical factors, and cultural disparities. The decrease of inequality in the society allows more individuals to achieve higher education and attain upward social mobility.

Keywords: higher education, social mobility, educational opportunity, social opportunity

PE N DA H U LUA N

Kajian tentang peran pendidikan tinggi terhadap mobilitas sosi-al di Indonesia jarang ditemukan dalam berbagai literatur. Kajian mobilitas sosial menjadi hal penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat aksesibilitas suatu kelompok masyarakat terhadap pendidik-an serta tingkat ketimpangan (inequality) dalam pendidikan (Mok 2016). Selain itu, mobilitas sosial pada umumnya tidak bisa terlepas dari aspek latar belakang sosial (social origins) maupun reproduksi sosial (social reproduction). Reproduksi sosial maupun latar belakang demografi mahasiswa pada umumnya sangat penting untuk menge-

Memahami Peran Pendidikan Tinggi terhadap

140 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

tahui faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan belajar (student persistence) dan keberhasilan belajar mahasiswa. Beberapa teori tentang student dropout dan student persistence di level perguruan tinggi men-jadikan aspek demografi sebagai faktor signifikan dalam menentukan keputusan mahasiswa untuk bertahan dalam menyelesaikan studi atau dropout (Kember 1989, 1995, 2007; Sweet 1986; Tinto 1975).

Seiring dengan adanya globalisasi dan evolusi ekonomi yang ber-basis pengetahuan (the knowledge-based economy), terjadi perubahan secara dramatis dalam konstelasi karakter dan fungsi pendidikan di seluruh dunia (Burbules & Torres 2000; Crossley 2000). Salah satu-nya adalah menjadikan perguruan tinggi sebagai instrumen penting dari persaingan global sehingga banyak negara di dunia berupaya untuk meningkatkan jumlah perguruan tinggi dan pendidikan pro-fesional. Namun, pertumbuhan jumlah perguruan tinggi yang pesat tersebut ternyata berdampak negatif terhadap ketenagakerjaan dan mobilitas sosial. Sebagai contoh, di Amerika Serikat (USA) hanya 52% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan keahlian (ijazah), sementara itu sekitar 48% lulusan ternyata memiliki kuali-fikasi berlebih terhadap pekerjaan yang dimiliki (Vedder, Denhart, dan Robe 2013).

Berbagai studi empiris menunjukkan hasil pro dan kontra terhadap hubungan antara level pendidikan dan mobilitas sosial. Beberapa studi empiris terutama yang menggunakan perspektif human capital theory menyimpulkan adanya korelasi yang positif antara jenjang pendidikan dan tingkat pendapatan (gaji). Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan yang diterima sehingga mendorong terjadinya mobilitas sosial naik (upward social mobility) (Checchi 2004; Becker 1993; Psacharopoulos, 1994; Psacharopoulos dan Patrinos, 2004). Sementara itu, beberapa sosiolog memiliki pandangan berbeda bahwa tingkat pendapatan dan mobilitas sosial tidak dipengaruhi terutama oleh faktor tingkat pen-didikan (Young 1990). Beberapa studi empiris menunjukkan hasil yang mengejutkan bahwa latar belakang keluarga ( family backgro-und) ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap mobilitas sosial (Brown et al. 2001; Dale 2015; Coleman et al. 1966). Dengan demikian, temuan beberapa penelitian ini menunjukkan bahwa studi tentang mobilitas sosial perlu mempertimbangkan bukan hanya faktor capaian level pendidikan tetapi juga pengaruh latar belakang keluarga dan reproduksi sosial. Oleh karena itu, bagaimana peran perguruan

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 141

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

tinggi terhadap mobilitas sosial serta munculnya pro dan kontra dari beberapa penelitian sebelumnya menjadi pendorong utama untuk me-lakukan investigasi peran pendidikan tinggi terhadap mobilitas sosial di Indonesia yang kemudian dituangkan menjadi tulisan artikel ini.

M E TODE PE N E L I T I A N

Studi peran pendidikan tinggi terhadap mobilitas sosial di Indo-nesia ini menggunakan penelitian data sekunder. Dalam studi ini, mobilitas sosial berperan sebagai variabel dependen dan pendidikan tinggi menjadi variabel independen. Selain itu, studi ini juga men-jelaskan fungsi dari beberapa variabel antara (latar belakang sosial, status ekonomi, disparitas geografi dan kultural) yang menjembatani antara variabel dependen dan independen.

Sumber data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang berupa data statistik dan laporan-laporan studi empiris tentang pendidikan tinggi di Indonesia, baik yang dipublikasikan dalam jur-nal nasional dan internasional maupun yang tidak dipublikasikan. Selain itu, sumber data sekunder juga meliputi data demografi ma-hasiswa dan latar belakang sosial-ekonomi. Analisis data sekunder dilakukan dengan metode deskriptif dengan tujuan untuk mengeta-hui pola hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di Indonesia.

PE N DI DI K A N T I NG GI, PE LUA NG PE N DI DI K A N ( EDUC AT IONA L OPPORT U NIT Y ),

DA N MOBI L I TA S SOSI A L

Institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran yang semakin penting karena telah mengambil alih peran-peran yang semula dijalankan oleh lembaga agama, keluarga dan lembaga--lembaga sosial lainya. Sejak 1950-an, peran perguruan tinggi sebagai kendaraan mobilitas sosial semakin meningkat dan tidak terbantah-kan. Sejak saat itu, perguruan tinggi menjadi sarana mobilitas sosial vertikal bagi masyarakat dan secara khusus membuka pintu kelas sosial menengah bagi masyarakat lapisan bawah (Burlutskaia 2014).

Terkait dengan peran perguruan tinggi dalam mempromosikan mobilitas sosial, John Goldthorpe (2002) mengungkapkan bahwa su-atu sistem yang berbasis prestasi (a merit-based system) dapat meng-gantikan peran kelas sosial dalam menentukan pendapatan ekonomi.

142 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

Goldthorpe (2002) menambahkan bahwa pendidikan di level per-guruan tinggi dapat menjadi suatu filter bagi para orang tua untuk mempertahankan posisi ekonomi keluarga, serta secara simultan dapat mendorong efisiensi ekonomi, keadilan sosial, dan mobilitas sosial.

Menurut Goldthorpe (2002), pendidikan tinggi juga memiliki pengaruh terhadap formasi kelas sosial. Oleh karena itu, suatu ma-syarakat dapat terhindar dari sekat-sekat kelas sosial (a less class-based society) apabila memenuhi setidaknya tiga persyaratan, yakni: a) hu-bungan antara asal-usul sosial individu dan tingkat pendidikannya harus tercermin dalam kemampuan yang dimiliki; b) hubungan an-tara pendidikan dan pekerjaan individu harus diperkuat oleh kuali-fikasi yang diperolehnya dari pendidikan; dan c) hubungan antara pendidikan dan pekerjaan harus menjadi konstan bagi setiap indivi-du dari berbagai latar belakang sosial (social origins). Kenyataannya, efek pendidikan tinggi terhadap mobilitas sosial tergantung pada dua efek, yakni efek pendapatan keluarga terhadap pendidikan dan efek pendidikan terhadap pendapatan para keturunan dari keluarga ter-sebut. Dengan demikian, mobilitas sosial menjadi sangat tergantung pada posisi ekonomi atau pendapatan keluarga. Sebagai contoh, anak--anak yang berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi, pada umumnya, lebih memiliki karakteristik meritokratis (seperti: ability, motivation, and preparedness) dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga miskin. Hasilnya, anak-anak dengan karakteristik meritok-ratis tersebut cenderung punya kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh mobilitas vertikal (Shapiro & Willen 2005). Pada konteks ini bisa dikatakan terdapat hubungan antara status sosial ekonomi, karakteristik meritokratis, dan mobilitas sosial.

Lebih jauh tentang hubungan antara akses pendidikan (educational opportunity), latar belakang sosial, dan mobilitas sosial maka kita bisa menengok konsep yang dikemukakan oleh Raymond Boudon (1974) tentang ‘inequality of educational opportunity’ (IEO) dan ‘inequality of social opportunity’ (ISO). IEO merupakan suatu perbedaan dalam capaian pendidikan berdasarkan latar belakang sosial (social backgro-und). Sementara itu, ISO merujuk pada perbedaan pada capaian sta-tus sosial berdasarkan latar belakang sosial.

Model peluang sosial (social opportunity) yang dibangun oleh Bou-don (1974) terdiri dari dua komponen utama, yakni suatu model IEO yang terus berubah berdasarkan pengaruh ekspansi pendidikan, dan suatu model ISO berdasarkan situasi di mana suplai individu-individu

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 143

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

terdidik terus meningkat lebih cepat dibandingkan dengan keterse-diaan posisi-posisi sosial dalam masyarakat. Dengan begitu, model Boudon mengandaikan suatu masyarakat yang meritokratis, yakni para individu yang memiliki pendidikan tinggi akan memperoleh posisi-posisi sosial yang tinggi pula dalam masyarakat.

Apabila kita coba membedah lebih mendalam model IEO, kita akan mendapati elemen yang krusial dari komponen IEO, yakni pem-bedaan Boudon terhadap efek primer (kultural) dan sekunder (posisi-onal) dari stratifikasi sosial terhadap ketimpangan dalam pendidikan. Efek primer di sini merujuk pada suatu kondisi yang merupakan hasil dari hubungan antara latar belakang sosial dan performa akademik. Sementara itu, efek sekunder terlihat melalui pilihan-pilihan pendi-dikan berdasarkan latar belakang sosial yang berbeda tetapi dengan tingkat performa yang sama. Dengan demikian, Boudon berupaya memisahkan antara efek kultural (primer) dan efek posisional (sekun-der) dari sistem stratifikasi sosial (Boudon 1974; Jackson & Jonsson 2013).

Terkait dengan IEP dan ISO, ada beberapa aksioma yang dike-mukakan oleh Boudon (1974) untuk mengidentifkasi IEO dan ISO. Ada empat aksioma yang dikemukakan oleh Boudon (E1-E4) untuk mengidentifikasi IEO. Aksioma-aksioma ini (E1-E4) menjelaskan cara di mana efek primer dan sekunder dari stratifikasi sosial bergabung untuk menghasilkan suatu kelompok siswa sebagai hasil pendidikan yang terdiferensiasi secara sosial. Aksioma-aksioma tersebut, antara lain:

• E1: Adanya suatu masyarakat yang terstratifikasi, dan efek pri-mer dari stratifikasi muncul di mana kemampuan akademik yang ada terdiferensiasi berdasarkan kelas sosial sejak awal. Be-berapa efek primer ini tetap bertahan karena bakat akademik seseorang dianggap tidak akan pernah berubah/hilang. Varia-bel-variabel untuk mengukur aksioma ini, antara lain: skor tes IQ (kognisi), umur saat mencapai jenjang pendidikan tertentu, atau dimensi lainnya yang menghasilkan suatu jenjang bakat akademik dan memberikan prediksi terhadap luaran pendidik-an nantinya. Asumsi yang dibangun berdasarkan aksioma ini adalah sedikit sistem sekolah yang mampu mereduksi secara signifikan diferensiasi kelas dalam capaian akademik.

• E2: Pendidikan yang tersedia bagi kaum muda terdiferensiasi berdasarkan proporsi karier sebagai hasil dari pendidikan. Be-

14 4 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

berapa rute menawarkan kemajuan sampai pada capaian pen-didikan tertinggi, sementara yang lainnya tidak menawarkan. Pada suatu titik transisi, para pelajar harus memilih apakah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan (kurikulum) yang le-bih tinggi atau tidak. Ketika si pelajar tidak menempuh suatu jenjang pendidikan tersebut, ia tidak sulit untuk menempuhnya kembali.

• E3: Pada tahap apapun, efek sekunder dari sistem stratifikasi akan bekerja. Karena itu munculnya peluang seseorang untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi merupakan bukti meningkatnya fungsi kelas sosial dan talenta akademik.

• E4: suatu masyarakat selalu terkondisikan untuk memperluas pendidikan. Kesempatan untuk melanjutkaan ke jenjang pendi-dikan yang lebih tinggi meningkat dari waktu ke waktu, mes-kipun tidak selalu sama bagi semua kelompok sosial.

Sementara itu, terdapat dua asumsi utama untuk mengidentifikasi ISO dalam masyarakat (Boudon 1974), yakni:

• S1: Struktur sosial yang meliputi jumlah posisi-posisi sosial yang tersedia di setiap level. Berbagai perubahan menyangkut ketersediaan posisi-posisi sosial akan dirasakan lebih lambat dibandingkan dengan perubahan dalam struktur pendidikan.

• S2: Capaian status sosial individu tergantung pada empat va-riabel independen, yakni latar belakang sosial, capaian pendi-dikan, struktur sosial, dan struktur pendidikan (jumlah orang yang mencapai level pendidikan tertentu).

Meskipun terdapat berbagai macam sebab yang mempengaruhi mobilitas sosial dan pentingnya menyadari aspek ketimpangan dalam membentuk peluang, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa sifat dan bentuk pendidikan memainkan peranan yang sangat pen-ting dalam pencapaian sosial individu. Dalam konteks ini, pemikiran Boudon menunjukkan kepada kita bahwa semakin besar diferensiasi dalam pendidikan akan meningkatkan ketimpangan dalam capaian level pendidikan, dan itu terutama dapat dijelaskan oleh pengaruh sosio kultural terhadap bakat akademik (Thompson & Simmons 2013).

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 145

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

GE N E A LOGI PE N DI DI K A N T I NG GI DI I N DON E SI A

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme yang telah mencengkeram kehidupan bangsa Indonesia. Penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun dan kemudian digantikan oleh Jepang pada tahun 1940-1945 memberikan pengaruh yang tidak sedikit terhadap perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia (Idrus 1999). Meskipun demikian, pendirian berbagai perguruan tinggi pada masa kolonial baik atas desakan politik etis atau untuk memenu-hi kepentingan kolonialisasi pada gilirannya justru membuka kotak pandora. Para lulusan berbagai perguruan tinggi kolonial akhirnya menciptakan kelompok elite intelektual bumiputra yang kritis dan menolak kolonialisme. Mereka akhirnya menjadi penggerak dan pe-juang nasionalisme Indonesia untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu kolonialisme Belanda dan Jepang (Buchori & Malik 2004; Cummings & Kasenda 1989).

Di era awal kemerdekaan Indonesia, perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi politik kemerdekaan. Pada tahun 1945, lembaga pendidikan Ika Daigaku bentukan Jepang dibubarkan oleh pemerintah Indonesia dan digantikan oleh Pergu-ruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Namun, seiring dengan masuknya kembali militer Belanda yang mengakibatkan perpindahan Ibukota Indonesia ke Yogyakarta maka pendidikan tinggi di Indonesia juga kembali diambil alih oleh Belanda. Perpindahan ibukota ke kota Jogjakarta tidak serta mer-ta mematikan perkembangan pendidikan tinggi karena pada 1946 berdirilah Universitas Gadjah Mada (UGM). Berdirinya UGM tidak terlepas dari hasil Konferensi Perguruan Tinggi di kota Yogyakar-ta pada 25 April-1 Mei 1947 yang menyimpulkan bahwa hambatan utama kemajuan perguruan tinggi adalah karena perguruan tinggi tidak berada dalam satu atap kementerian. Di pihak lain, setelah pemerintah Indonesia memindahkan ibukota maka pemerintah kolo-nial Belanda mendirikan De Nood-universiteit atau universitas darurat yang memiliki lima fakultas yang terpisah, yakni Fakultas Kedokter-an, Fakultas Hukum, Fakultas Sastra, dan Filsafat berada di Jakarta. Sedangkan Fakultas Pertanian berada di Bogor dan Fakultas Tehnik berada di Bandung. Pada 1947, De Nood-universiteit berubah nama menjadi Universiteit van Indonesia dan sekarang ini yang dikenal de-

146 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

ngan Universitas Indonesia (Buchori dan Malik 2004; Cummings & Kasenda 1989).

Pada masa Orde Baru, pendidikan tinggi diarahkan untuk mem-bantu suksesnya program-program pembangunan, salah satunya dengan cara menyediakan para tenaga ahli. Oleh karena itu, setiap provinsi didorong untuk memiliki perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri (PTN) atau swasta (PTS), untuk menyediakan tena-ga ahli dan untuk meningkatkan tingkat partisipasi. Kebijaksanaan ini berimplikasi pada menjamurnya perguruan tinggi swasta (PTS) dan pada 1980-an tercatat perguruan tinggi swasta sudah menca-pai lebih dari seribu PTS di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, tumbuhnya PTS telah berjasa untuk menampung angka mahasiswa yang tidak tertampung oleh PTN dan sekaligus berperan besar dalam meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi. Akhirnya, pada tahun 1990-an jumlah lulusan PTS telah melampui jumlah lulusan PTN (Logli 2016; Kristiansen &Pratikno 2006).

Menjamurnya PTS pada akhirnya menimbulkan persoalan sendiri terkait dengan mutu, baik itu mutu lulusan maupun mutu penye-lenggaraan pendidikan tinggi. Selain itu, persoalan mendasar lainnya adalah kontrol ketat rezim Orde Baru terhadap otonomi perguruan tinggi. Akibatnya, perguruan tinggi di zaman Orde Baru menjadi sangat birokratis dan sentralistik sehingga kurang leluasa untuk be-rinovasi.

Wacana tentang otonomi perguruan tinggi akhirnya terus ber-gulir sampai di awal era reformasi dan melahirkan kebijakan untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan kebijaksanaan ini, perguruan tinggi diharapkan memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan dan pengembangan institusi sehingga bisa menjadi perguruan tinggi riset yang bertaraf internasional (world class university). Penerapan kebijaksanaan ini di-legalkan dengan pengesahan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada 17 Desember 2008 (Brojonegoro 2012; DJKN 2013).

Perubahan perguruan tinggi menjadi PT-BHMN menuai kontra-versi karena dianggap perubahan status tersebut akan semakin mem-bebani biaya kuliah yang harus ditanggung oleh masyarakat dan akan semakin menimbulkan ketimpangan (inequality of education) (Purbayanto 2012; Prasetya 2005). Akhirnya, setelah melewati pro-ses persidangan yang panjang, UU BHP dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (Subhan 2012; DJKN 2013).

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 147

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

Kebutuhan terhadap otonomi perguruan tinggi tidak pernah su-rut. Jalan lain akhirnya ditempuh oleh pemerintah dengan merubah status perguruan tinggi menjadi PT-BLU (Badan Layanan Umum). Transformasi PT ke dalam bentuk BLU memberikan sedikit kelelu-asan bagi perguruan tinggi untuk mengelola keuangan namun tetap dirasakan belum memberikan otonomi pengelolaan yang lebih besar. Oleh karena itu, pemberian otonomi yang lebih luas kepada pergu-ruan tinggi dapat dilakukan setelah pengesahan UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dengan menetapkan PT eks-BHMN menjadi PTN-Badan Hukum (PTN-BH). Sampai tahun 2015, ter-dapat 11 PTN yang sudah ditetapkan menjadi PTN-BH. Melalui sistem pengelolaan badan hukum, perguruan tinggi memiliki otonomi akademik dan tata kelola yang lebih besar. Berbagai peraturan juag dikeluarkan untuk mendukung pengelolaan PTN-BH, salah satunya PP No. 58 tahun 2013 tentang bentuk dan mekanisme pendanaan perguruan tinggi negeri badan hukum (Basit 2017).

Meskipun demikian, penerapan PTN-BH juga tidak terlepas dari kritik bahwa sistem badan hukum dikhawatirkan akan mendorong PTN menjadi unit komersial sehingga akan menghilangkan fungsi sosialnya dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepa-da masyarakat (Brojonegoro 2012; Soegito et al. 2015). Dengan kata lain, implementasi PTN-BH ditakutkan akan membawa pada kondisi yang dikatakan oleh Boudon (1974) sebagai meluasnya ketimpangan dalam memperoleh pendidikan (inequality of educational opportunity).

SEBA R A N J U M L A H PE RGU RUA N T I NG GI DA N M A H A SIS WA

Seiring dengan besarnya kebutuhan dan tuntutan masyarakat ter-hadap pendidikan tinggi maka pemerintah Indonesia berupaya men-dirikan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di setiap daerah propinsi di Indonesia. Namun, jumlah PTN yang sudah berdiri ter-nyata tidak mampu untuk menampung besarnya minat masyarakat untuk masuk ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, pemerintah Indo-nesia mengizinkan pendirian perguruan tinggi swasta (PTS) namun tetapi di bawah kendali pemerintah terkait dengan penjaminan mutu pendidikan (Idrus 1999). Pada tahun 2016, jumlah total perguruan tinggi di Indonesia termasuk perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) sebanyak 4312 perguruan tinggi (lihat

148 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

diagram 1). Jumlah perguruan tinggi di Indonesia sekarang ini dua kali lebih banyak daripada jumlah perguruan tinggi di Cina yang hanya berjumlah setengahnya yakni 2000-an perguruan tinggi tetapi dengan jumlah mahasiswa aktif yang lebih besar sebanyak kurang lebih 6 juta mahasiswa (Mok 2016).

Diagram 1. Jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia

Sumber: http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/statistik-5/

Sementara itu, jumlah mahasiswa di perguruan tinggi negeri pada tahun 2016 sebanyak 1.978.584 mahasiswa yang tersebar di berbagai bidang keilmuan (lihat diagram 2). Bidang ilmu yang paling banyak diminati oleh mahasiswa PTN adalah bidang pendidikan (697,739) kemudian diikuti oleh bidang sosial sebanyak 312.525 mahasiswa (Ristekdikti, 2017). Besarnya jumlah mahasiswa PTN di bidang ilmu pendidikan mungkin didorong oleh transformasi institut pendidikan (IKIP) di berbagai daerah menjadi universitas (UNJ, UPI, UNNES, dan lain-lain) yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah program studi yang ditawarkan.

Dari total 4.084 perguruan tinggi swasta (PTS), mahasiswa yang belajar di PTS berjumlah dua kali lipat dari total mahasiswa PTN (2.966.686 mahasiswa). Selain itu, sebaran mahasiswa berdasarkan bidang ilmu ternyata sedikit berbeda dengan mahasiswa PTN. Ber-dasarkan diagram 3, sebagian besar mahasiswa PTS memilih bidang ekonomi, teknik, pendidikan, dan sosial. Pemilihan beberapa bidang keilmuan ini kemungkinan didasarkan pada asumsi terhadap kemu-dahan dalam mencari pekerjaan di pasar tenaga kerja.

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 149

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

Diagram 2. Jumlah Mahasiswa PTN

Sumber: http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/statistik-5/

Diagram 3. Jumlah Mahasiswa PTS

Sumber: http://forlap.dikti.go.id/mahasiswa/homegraphbidang

Segmentasi jumlah mahasiswa berdasarkan jenis kelamin menun-jukkan data yang menarik bahwa kaum perempuan di Indonesia se-dikit lebih berminat untuk memiliki kualifikasi pendidikan tinggi dibandingkan dengan kaum laki-laki. Data ini menunjukkan telah terjadi pergeseran budaya dalam masyarakat di mana kultur patri-arki mulai tergerus seiring dengan adanya globalisasi informasi yang dibantu oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi dan ko-munikasi. Mulai lunturnya cengkeraman kultur patriarki ini secara tidak langsung dapat dikatakan memunculkan social opportunity bagi kaum perempuan sehingga berimplikasi pada terbukanya akses ke pendidikan tinggi (educational opportunity).

150 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

Diagram 4. Jumlah Mahasiswa berdasarkan jenis kelamin

Sumber: http://forlap.dikti.go.id/mahasiswa/homegraphjk

PE R A N PE N DI DI K A N T I NG GI T E R H A DA P MOBI L I TA S SOSI A L DI I N DON E SI A

Mobilitas sosial dalam suatu masyarakat tentu dipengaruhi oleh banyak faktor dan pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong terjadinya mobilitas sosial (Ianneli & Peterson 2007; Haveman & Smeeding 2006). Beberapa studi empiris tentang hubung-an antara jenjang pendidikan dan gaji yang diperoleh menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan (Mok 2015). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan menjadi faktor determinan terhadap mobilitas sosial.

Hubungan positif antara pendidikan dan mobilitas sosial dite-gaskan pula oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pattinasarany (2012) di dua provinsi di Indonesia, yakni Jawa Barat dan Jawa Ti-mur. Hasil penelitian (estimasi mobilitas) menunjukkan bahwa sema-kin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar pula ia memperoleh mobilitas ke atas (upward mobility). Estimasi mobilitas vertikal naik (ayah-anak) menggambarkan bahwa responden dengan pendidikan setara SMP (Sekolah Menengah Pertama) memiliki pelu-ang 21,3% lebih tinggi untuk naik kelas sosial daripada mereka yang berpendidikan SD (Sekolah Dasar) atau lebih rendah. Sementara itu, peluang mobilitas naik semakin tinggi pada mereka yang berpendi-dikan setara SMA (25,2%) dan perguruan tinggi (46,1%).

Meskipun begitu, di balik korelasi positif antara pendidikan ting-gi dan mobilitas sosial vertikal terdapat isu ketimpangan sosial (so-cial inequality) yang seringkali diabaikan dalam analisis penelitian

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 151

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

mobilitas sosial. Hal ini terjadi umumnya karena para peneliti abai melakukan analisis kritis terhadap fakta dominasi dan opresi yang terjadi dalam masyarakat. Beberapa studi empiris menemukan fakta bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tidak ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang semata melainkan juga yang terutama adalah latar belakang sosial-ekonomi keluarga ( family background) (Gao 2011; Brown, Lauder & Ashton 2011). Kondisi ini ditambah dengana ada-nya perubahan global (globalisasi) yang berdampak pada perubahan prediktor mobilitas sosial di mana saat ini kepemilikan ijazah/serti-fikat pendidikan tinggi belum tentu berimplikasi langsung terhadap kemudahan dalam memperoleh pekerjaan, peningkatan pendapatan, dan terutama terjadinya mobilitas sosial vertikal.

Di Indonesia, apabila kita mengamati data Angka Partisipasi Kasar (APK) pada level perguruan tinggi (diagram 5) maka terlihat APK perguruan tinggi hanya sebesar 20,89% di tahun 2015 bahkan ang-ka ini lebih rendah dari data dua tahun sebelumnya (2013=23,06% dan 2014=25,76%). Sementara itu, apabila dibandingkan per jenjang pendidikan maka data APK perguruan tinggi terlihat lebih rendah dibandingkan dengan APK pada jenjang SD/MI (109,94%), SMP/MTs (90,63%), dan SM/SMA (77,39%) (BPS 2017).

Diagram 5. Angka Partisipasi Kasar (APK) Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: BPS, 2017

Rendahnya akses ke pendidikan tinggi tentu dipengaruhi oleh be-berapa faktor, antara lain: tingkat status sosial dan ekonomi, disparitas geografi, dan disparitas kultural (Moeliodihardjo 2013). Di antara beberapa faktor tersebut, tingkat status sosial dan ekonomi menja-di faktor yang paling determinan. Apabila data APK dihubungkan dengan data status sosial dan ekonomi, maka diperoleh data bahwa

152 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

tingkat aksesibilitas ke pendidikan tinggi sebagian besar dipengaruhi oleh tingkat status sosial dan ekonomi. Bagi kelompok sosial yang memiliki status sosial dan ekonomi yang rendah memiliki akses yang lebih kecil ke pendidikan tinggi dibandingkan dengan kelompok so-sial yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi (Bank Dunia 2014).

S TAT US SOSI A L-EKONOM I

Beberapa studi empiris telah menegaskan hubungan yang positif diantara status sosial-ekonomi, peluang pendidikan, dan mobilitas sosial (Haveman dan Smeeding 2006; Pattinasarany 2012; Triventi 2013). Hasil studi yang dilakukan oleh Pattinasarany (2012) di wi-layah perkotaan di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur menggam-barkan bahwa pola mobilitas sosial vertikal lebih banyak dinikmati oleh kelompok individu yang berasal dari kelas menengah ke atas. Fenomena serupa juga terjadi di belahan Eropa, terutama di Inggris di mana akses dan performa pendidikan cenderung lebih baik bagi kelompok individu dengan status sosial-ekonomi yg lebih tinggi dan mereka juga cenderung lebih mudah memperoleh akses ke institusi pendidikan tinggi yang lebih prestisius (Ball 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2014) terhadap pe-merataan pendidikan tinggi di Indonesia juga menguatkan hubung-an positif antara status sosial-ekonomi dan tingkat akses terhadap pendidikan tinggi dan pada gilirannya berpengaruh terhadap mobi-litas sosial. Penelitian tersebut menyajikan hasil bahwa siswa dengan status sosial dan ekonomi yang rendah memiliki peluang yang kecil untuk mengenyam pendidikan tinggi. Survei yang juga dilakukan oleh World Bank (2014) terhadap 1.800 siswa SMU di sembilan pro-vinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 94–95% responden berasal dari keluarga yang berkategori berpenghasilan rendah dan memiliki hambatan pendanaan untuk melanjutkan ke universitas-universitas negeri favorit.

Salah satu upaya untuk meningkatkan akses ke pendidikan tinggi yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menawarkan bantu-an pendanaan dalam skema beasiswa, seperti BIDIK MISI. Beasiswa BIDIK MISI bertujuan untuk meningkatkan akses siswa yang memi-liki status sosial-ekonomi rendah tetapi berprestasi akademik di atas rata-rata ke lembaga pendidikan tinggi yang bermutu. Penerima be-

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 153

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

asiswa BIDIK MISI dari Kemdikbud sesungguhnya meningkat terus dari tahun 2010 sebanyak 20.000 siswa menjadi 50.000 siswa pada tahun 2013 (World Bank 2014). Hal serupa juga dilakukan oleh Ke-mristekdikti yang menawarkan beberapa skema beasiswa dari berbagai pihak, seperti pihak swasta, filantropi, dan pemerintah daerah. Skema beasiswa ini mampu menjangkau sekitar 180.000 mahasiswa (World Bank 2014). Meskipun demikian, jumlah ini sesungguhnya relatif kecil dibandingkan dengan proporsi calon mahasiswa potensial yang tidak memliki akses ke pendidikan tinggi karena sebab pendanaan (Logli 2016).

Terlepas dari skema BIDIK MISI yang inovatif dan menargetkan siswa SMU dari keluarga miskin, beberapa skema pemberian bea-siswa lainnya masih belum mempertimbangkan aspek ketimpangan terkait peluang sosial dan pendidikan (inequality of social and edu-cational opportunities). Beberapa skema pemberian beasiswa sebagian besar didasarkan pada prestasi (meritokratik) akademik calon pene-rima beasiswa di jenjang pendidikan sebelumnya dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Persyaratan semacam ini seringkali menghambat akses bagi para siswa yang berasal dari ke-lompok masyarakat dengan status sosial-ekonomi yang rendah karena mereka memiliki keterbatasan biaya untuk membayar kursus-kursus ekstrakurikuler dalam rangka mendongkrak prestasi anak di sekolah. Selain itu, jumlah beasiswa yang diterima umumnya hanya mengganti sebagian biaya kuliah atau tunjangan hidup mahasiswa sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan status sosial ekonomi mahasiswa (World Bank 2014).

Diagram 6. Sebaran Penerima Beasiswa DIKTI

Sumber: Moeliodihardjo 2013 dalam Worldbank 2014.

154 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

DISPA R I TA S GEOGR A FI DA N K U LT U R A L

Istilah disparitas geografi merujuk pada kondisi tidak tersedianya infrastruktur sosial dan ekonomi di wilayah-wilayah tertinggal dan umumnya terpencil (Moeliodihardjo 2010). Disparitas geografi yang terjadi di Indonesia ternyata memiliki efek terhadap tingkat aksesibi-litas seseorang untuk memperoleh pendidikan tinggi. Gambaran hu-bungan antara keduanya terefleksikan dalam skema beasiswa BIDIK MISI. Implementasi skema beasiswa BIDIK MISI dari Dikti yang menjangkau calon mahasiswa dari masyarakat miskin ternyata masih terpusat di pulau Jawa dan belum menjangkau kelompok-kelompok masyarakat miskin di luar pulau Jawa (World Bank 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (2014) menunjukkan ketimpangan terkait dengan peluang pendidikan antara kelompok miskin di pulau Jawa dan Sumatera. Dalam konteks ini telah ter-jadi disparitas geografi antara kelompok miskin di pulau Jawa dan non-Jawa.

Lokasi wilayah yang jauh dari pusat kota juga seringkali menjadi hambatan akses ke pendidikan tinggi. Hasil penelitian World Bank (2014) menunjukkan bahwa hampir 58% siswa yang masuk ke per-guruan tinggi dari kelompok sosial terendah berasal dari daerah-dae-rah pedesaan. Minimnya jumlah perguruan tinggi yang bermutu dan kurangnya informasi menjadi hambatan utama bagi kelompok ma-syarakat di wilayah pedesaan dan daerah-daerah yang dikategorikan sebagai tiga T (Terluar, Terpencil, dan Tertinggal). Untuk konteks ini, pendidikan tinggi jarak jauh atau daring (online) bisa menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan akses masyarakat.

Disparitas kultural menggambarkan bahwa tingkat aksesibilitas ke pendidikan tinggi juga dipengaruhi oleh status suku, bahasa, dan aspek gender. Negara Indonesia yang memiliki hampir 300 ribu suku juga memiliki lebih dari 700 bahasa lokal yang digunakan. Pengguna-an bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran di sekolah seringkali menjadi hambatan bagi anak-anak yang menggunakan bahasa ibu (lokal) di rumah. Hasil penelitian Bank Dunia (2014) menunjukkan bahwa angka tinggal kelas dan putus sekolah anak-anak yang tidak berbahasa Indonesia di rumah jauh lebih tinggi daripada anak-anak yang mampu berbahasa Indonesia.

Disparitas karena gender juga seringkali menjadi hambatan sese-orang untuk memperoleh akses pendidikan tinggi. Meskipun data

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 155

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

statistik jumlah mahasiswa nasional memperlihatkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan namun jumlah kaum perempuan yang tidak memiliki akses karena faktor hegemoni kultur patriarki mungkin masih signifikan. Dengan demikian, hambatan yang di-miliki oleh kelompok sosial yang terendah untuk menikmati akses pendidikan tinggi yang notabene dapat menjadi faktor pendorong terjadinya mobilitas sosial menjadi berlapis yang tidak hanya berupa hambatan status sosial ekonomi tetapi juga faktor disparitas geografi dan kultural (jender, suku, dan bahasa).

K E SI M PU L A N

Diskursus tentang mobilitas sosial dalam suatu masyarakat sering-kali digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi sekaligus menutupi fakta tentang ketimpangan sosial. Kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin seringkali dihadirkan sebagai fakta lumrah seba-gai akibat dari prestasi akademik atau profesional seseorang. Padahal di balik semua itu terdapat berbagai fakta ketimpangan sosial yang mempengaruhi akses seseorang untuk memperoleh pendidikan tinggi sebagai sarana utama untuk memperoleh mobilitas vertikal.

Analisis terhadap mobilitas sosial di Indonesia menunjukkan bah-wa capaian dalam pendidikan tinggi merupakan faktor penting ter-hadap perolehan mobilitas sosial vertikal. Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat hambatan untuk memperoleh pendidikan tinggi yang disebabkan oleh berbagai ketim-pangan sosial. Pada konteks ini, kerangka konseptual IEO (Inequality of Educational Opportunity) dan ISO (Inequality of Social Opportunity) yang dikemukakan oleh Raymond Boudon (1974; 1976) relevan un-tuk dijadikan alat analisis mobilitas sosial di Indonesia.

Hubungan antara pendidikan tinggi dan mobilitas sosial di In-donesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berbagai ketimpangan dalam masyarakat, seperti ketimpangan sosial-ekonomi, geografi dan kultural. Dengan demikian, peningkatan mobilitas sosial vertikal me-rupakan konsekuensi dari penurunan ketimpangan sosial-ekonomi, geografi dan kultural dalam masyarakat.

156 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

DA F TA R PUS TA K A

Ball, S. 2012. “The reluctant state and the beginning of the end of state education.” Journal of Educational Administration and History 44(2):89–103.

Basit, A. 2017. “Perguruan Tinggi Neger Berbadan Hukum (PTN-BH).” Diakses 07 Februari 2017 (http://www.academia.edu/23955310/PERGURUAN_TINGGI_NEGERI_BERBADAN_HUKUM_PTN-BH_ANTARA).

Becker, G. S. 1993. Human Capital: A Theoretical and Empirical Anal-ysis, with special Reference to Education. 3rd ed. Chicago, IL: The University of ChicagoPress.

Boudon, R. 1974. Education, Opportunity and Social Inequality: Cha-nging Prospects in Western Society. London: John Wiley.

Boudon, R. 1976. “Comment on Hauser’s review of Education, Op-portunity andSocial Inequality.” American Journal of Sociology 81(5):1175–1187.

Brojonegoro, S. S. 2012. “Landasan implementasi perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara.” Dalam Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan, diedit oleh Sulistyowati Irianto. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Brown, P., H. Lauder, dan D. Ashton. 2011. The Global Auction: The Broken Promises of Education, Jobs, and Incomes. New York: Oxford University Press.

Burbules, N. C., dan C. A. Torres. 2000. Globalization and Educati-on: CriticalPerspectives. New York: Routledge.

Buchori, M. dan A. Malik. 2004. “The Evolution of Higher Edu-cation in Indonesia”. Pp. 249-277 in Asian Universities: Historical Perspectives and Contemporary Challenges, edited by Altbach, P. and T. Umakoshi. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Crossley, M. 2000. “Bridging Cultures and Traditions in the Recon-ceptualisation ofComparative and International Education.” Com-parative Education 36(3):319–332.

Checchi, D. 2006. The Economics of Education: Human Capital, Fa-mily Backgroundand Inequality. New York: Cambridge University Press.

Coleman, J. S., et al. 1966. Equality of Educational Opportunity. 3rd ed. Salem,OR: New Hampshire.

M E M A H A M I P E R A N P E N D I D I K A N T I N G G I | 157

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

Cummings, W. dan S. Kasenda. 1989. “The Origin of Modern Indo-nesian Higher Education.” Pp 143-166 in From Dependence to Au-tonomy: The Development of Asian Universities, edited by Altbach, P. & V. Selvaratnam. Boston, MA: Kluwer Academic.

Dale, R. 2015. “Employability and Mobility in the Valorization of Higher EducationQualifications.” Paper presented at the Interna-tional Symposium on Globalization, Changing Labout Market and Social Mobility: Challenges for Educationand Urban Governance, 20 January 2015, Hong Kong Institute of Education.

DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara). 2013. “Perguruan Tinggi Eks BHMN Lahir Kembali dengan Casing Baru.” Diak-ses07 Februari 2017 (https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/de-tail/perguruan-tinggi-eks-bhmn-lahir-kembali-dengan-casing-baru).

Gao, L. 2011. Impacts of Cultural Capital on Student College Choice in China. Lanham, MD: Lexington Books.

Haveman, R dan T. Smeeding. 2006. “The Role of Higher Education in Social Mobility.” The Future of Children 16(2):125-150.

Ianneli, C dan Paterson L. 2007. “Education and social mobility in Scotland.” Research in Social Stratification and Mobility 25(3):219-232.

Idrus, I. 1999. “Towards quality higher education in Indonesia”. Qu-ality Assurance in Education 7(3):134 -141

Jackson, M., dan J. Jonsson. 2013. “Inequality of Educational Op-portunity AcrossCountries.” In Determined to Succeed? Performance versus Choice inEducational Attainment, edited by M. Jackson. Stanford, CA: Stanford University Press.

Logli, C. 2016. “Higher Education in Indonesia: Contemporary Challenges in Governance, Access, and Quality.” In The Palgrave Handbook of Asia Pacific Higher Education, edited by C. S. Collins, et al. Santa Barbara USA: Palgrave Macmillan.

Mok, Ka Hok. 2016. “Massification of higher education, gradu-ate employmentand social mobility in the Greater China regi-on.” British Journal of Sociology of Education 37(1):51-71. DOI: 10.1080/01425692.2015.1111751

Moeliodihardjo, B.Y. 2013. Equity and Access in Higher Education. World Bank: Jakarta

Psacharopoulos, G. 1994. “Returns to Investment in Education: A Global Update.” World Development 22(9):1325–1343.

158 | M U H A M M A D H U S N I A R I F I N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 139-158

Psacharopoulos, G., and H. A. Patrinos. 2004. “Returns to Inves-tment in Education: A Further Update.” Education Economics 12(2):111–134.

Vedder, R., C. Denhart, & J. Robe. 2013. “Why Are Recent College GraduatesUnderemployed? University Enrollments and Labor-Mar-ket Realities.” Centerfor College Affordability and Productivity (NJ1). Retrieved February 7, 2017 (http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED539373.pdf).

Goldthorpe, J. 2002. “Education-Based Meritocracy: The Barriers to Its Realization,” paper presented to the Center for Policy Research, Maxwell School of Syracuse University, retrieved February 8, 2017 (www.cpr.maxwell.syr.edu/seminar/spring05/goldthorpe.pdf)

Shapiro, J. dan P. Willen. 2005. “Educational Opportunity and In-come Inequality,” Journal of Public Economics 89(5-6):841–70.

Thompson, R &R. Simmons. 2013.“Social mobility and post-compul-sory education: revisiting Boudon’s model of social opportunity”. British Journal of Sociology of Education 34(5-6):744-765.

Triventi, M. 2013. “The role of higher education stratification in the reproduction of social inequality in the labor market”. Research in Social Stratification and Mobility 32:45-63.

Pattinasarany, I. R. I. 2012. Mobilitas sosial antar generasi: Kajian terhadap masyarakat kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Disertasi S3, Departemen Sosiologi, Program Pascasarjana, Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok.

Prasetya Online. 2005. “Status BHMN Tak Ada Landasan Hukum Jelas.” diakses 07/02/2017 (http://prasetya.ub.ac.id/berita/Status--BHMN-Tak-Ada-Landasan-Hukum-Jelas-9779-id.html).

Purbayanto, Ari. 2012. “Ke Mana Arah Perguruan Tinggi BHMN Pasca UU BHP?” Dalam Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Kenisca-yaan, disunting oleh Sulistyowati Irianto. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Subhan, M. H. 2012. “Kajian Hukum atas Implikasi Putusan MK tentang Pembatalan UU BHP terhadap Eksistensi PTN BHMN.” Dalam Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan, disunting oleh Sulistyowati Irianto. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indo-nesia.

World Bank. 2014. “Mendorong Pemerataan Pendidikan Tinggi: Poli-cy Brief.” Washington, DC: World Bank Group. Diakses 2/2/2017 (http://documents.worldbank.org)