DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

26
MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017: 159-184 DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Studi Kasus Keterlibatan Pemuda dalam Tawuran Warga di Johar Baru, Jakarta Pusat 1 Dwi Sembodo Aji Abstrak Beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku kekerasan pada seseorang disebabkan oleh dua hal yaitu keluarga ( family effect) atau lingkungan kete- tanggaan (neighborhood effect). Praktik-praktik dalam keluarga seperti kekerasan yang dilakukan orang tua menentukan kecenderungan anak untuk berprilaku agresif atau tidak. Pada sisi lain, dalam konteks lingkungan komunitas ketetanggaan dengan kondisi yang buruk (padat, kumuh, miskin) munculnya kekerasan disebabkan oleh pengaruh buruk lingkungan tersebut. Hubungan antara lingkungan ketetanggaan yang buruk, peran keluarga, dan proses terbentuknya perilaku kekerasanbelum banyak dijelaskan. Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran keluarga dan mekanisme kontrol keluarga dalam mendukung atau mengurangi perilaku kekerasan serta keterlibatan anak pada kekerasan kolektif (tawuran) di lingkungan sosial ketetanggaan dengan kondisi yang buruk. Artikel ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Artikel dilakukan di sebuah komunitas miskin rawan konflik di Jakarta. Peneliti mengambil data primer pada keluarga yang memiliki anak dalam kategori pemuda (16-30 tahun), belum menikah serta terlibat dalam kasus kekerasan (tawuran). Hasilnya, penerapan pola asuh permisif menyebabkan lemahnya ikatan dan kontrol sosial. Abstract Various researches have found that violence is made by two major causes, family effect and neighbourhood effecct. Violence practices by parents in familial background con- tributes to aggressive behaviours in children. On the other hand, violence is also pro- duced by bad living conditions (populous, dirty, and poor health) in the neighourhood. However, the author discovered that the relations between neighbourdhood, family, and the process of violent behaviour formation has not been explained clearly. This paper attempts to explain the role of the family and family control mechanism could increase or reduce violent behavior and children’s involvement in collective violence (brawl) in a poor neighbourhood condition. This research uses qualitative methods in a conflictual society in Jakarta. The researcher collects primary data on youth category (16-30 years old), single, and involved in violence cases. The author also supports the findings from previous researches and other relevant studies. Keywords: violence, collective violence, neighborhood effect, family effect, social control, parenting 1 Penulis tidak dapat menyelesaikan artikel ini tanpa bantuan dari Daisy Indira, Diatyka Widya Permata, serta Andi Rahman Alamsyah. Tim Program Kelompok Kerja Revolusi Mental Email: [email protected] Kontrol Sosial Keluarga dan Kekerasan Kolektif :

Transcript of DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

Page 1: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017: 159-184DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759

Studi Kasus Keterlibatan Pemuda dalam Tawuran Warga di Johar Baru, Jakarta Pusat1

Dwi Sembodo Aji

Abstrak

Beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku kekerasan pada seseorang disebabkan oleh dua hal yaitu keluarga ( family effect) atau lingkungan kete-tanggaan (neighborhood effect). Praktik-praktik dalam keluarga seperti kekerasan yang dilakukan orang tua menentukan kecenderungan anak untuk berprilaku agresif atau tidak. Pada sisi lain, dalam konteks lingkungan komunitas ketetanggaan dengan kondisi yang buruk (padat, kumuh, miskin) munculnya kekerasan disebabkan oleh pengaruh buruk lingkungan tersebut. Hubungan antara lingkungan ketetanggaan yang buruk, peran keluarga, dan proses terbentuknya perilaku kekerasanbelum banyak dijelaskan. Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran keluarga dan mekanisme kontrol keluarga dalam mendukung atau mengurangi perilaku kekerasan serta keterlibatan anak pada kekerasan kolektif (tawuran) di lingkungan sosial ketetanggaan dengan kondisi yang buruk. Artikel ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Artikel dilakukan di sebuah komunitas miskin rawan konflik di Jakarta. Peneliti mengambil data primer pada keluarga yang memiliki anak dalam kategori pemuda (16-30 tahun), belum menikah serta terlibat dalam kasus kekerasan (tawuran). Hasilnya, penerapan pola asuh permisif menyebabkan lemahnya ikatan dan kontrol sosial.

Abstract

Various researches have found that violence is made by two major causes, family effect and neighbourhood effecct. Violence practices by parents in familial background con-tributes to aggressive behaviours in children. On the other hand, violence is also pro-duced by bad living conditions (populous, dirty, and poor health) in the neighourhood. However, the author discovered that the relations between neighbourdhood, family, and the process of violent behaviour formation has not been explained clearly. This paper attempts to explain the role of the family and family control mechanism could increase or reduce violent behavior and children’s involvement in collective violence (brawl) in a poor neighbourhood condition. This research uses qualitative methods in a conflictual society in Jakarta. The researcher collects primary data on youth category (16-30 years old), single, and involved in violence cases. The author also supports the findings from previous researches and other relevant studies.

Keywords: violence, collective violence, neighborhood effect, family effect, social control, parenting

1 Penulis tidak dapat menyelesaikan artikel ini tanpa bantuan dari Daisy Indira, Diatyka Widya Permata, serta Andi Rahman Alamsyah.

Tim Program Kelompok Kerja Revolusi Mental

Email: [email protected]

Kontrol Sosial Keluarga dan Kekerasan Kolektif :

Page 2: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

160 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

PE N DA H U LUA N

Kekerasan dan konflik sosial adalah salah satu permasalahan yang kerap muncul pada komunitas padat dan miskin di perkota-an (Winton, 2004). Data World Bank menunjukkan bahwa dari 50 kota di berbagai dunia, 32 kota memiliki rata-rata angka kekerasan termasuk pembunuhan lebih tinggi dibanding dengan angka rata-rata pada tingkat nasionalnya seperti di Panama, Managua, Kathmandu, London, dan lainnya (World Bank 2011:16-17)2. Seringkali dalam komunitas padat dan miskin, kekerasan telah membudaya serta men-jadi bagian dari kehidupan mereka. Menurut Data Statistik Kriminal BPS, tahun 2013 Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah laporan kejahatan terbesar di Indonesia yaitu mencapai total 49.498 kasus3. Data yang sama menunjukkan angka risiko kerawanan terkena ke-jahatan mencapai 213 orang per 100.000 penduduk. Angka tersebut menunjukkan tingkat kerawanan kejahatan yang cukup tinggi di In-donesia jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia seperti Jawa Barat, Riau, Kalimantan Tengah dan lainnya. Selaras dengan itu, publikasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta tahun 2015 mengenai peta kawasan rawan konflik di DKI Jakarta menunjukkan terdapat setidaknya 16 kecamatan dari 44 ke-camatan4 yang menjadi wilayah rawan konflik. Kerawanan konflik itu didasarkan pada beberapa indikator yaitu kemiskinan, kepadatan penduduk, kekumuhan, tindak pidana, dan kejadian konflik sosial yaitu tawuran. Data tersebut menunjukkan bahwa DKI Jakarta tidak hanya rawan terhadap kejahatan kriminal tetapi juga rawan terhadap konflik termasuk konflik sosial.

2 Angka pembunuhan menjadi salah satu indikator untuk melihat kondisi kekerasan di suatu wilayah meskipun ukuran kekerasan pada data ini tidak hanya di dasarkan pada indikator pembunuhan saja tetapi mencakup berbagai macam kekerasan. Lebih lanjut lihat publikasi world bank Violence and The City: Understanding and Supporting Community Responses to Urban Violence. 2011.3 Laporan mengenai kejahatan ini merupakan jumlah total dari berbagai bentuk tindakan kejahatan dan kriminalitas seperti penodongan, pencopetan, perampokan, pembunuhan, konflik massal (tawuran) dan lainnya yang dilaporkan kepada Polda Metro Jaya pada tahun 2013. Lebih lanjut lihat Katalog Badan Pusat Statistik: 4401002 tentang Statistik Kriminal Tahun 2014.4 Pemetaan wilayah rawan konflik hanya dilakukan di 16 kecamatan dari 44 kecamat-an (2015) yang ada di wilayah DKI Jakarta. Hal tersebut didasarkan pada data BPS yang menunjukan bahwa wilayah paling rawan konflik di DKI Jakarta ada 16 kecamat-an, meskipun tidak berarti bahwa wilayah yang lain tidak memiliki kerawanan konflik.

Page 3: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 161

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Berdasarkan Berita Statistik BPS tahun 2014 mengenai Indeks Po-tensi Kerawanan Sosial (IPKS) dan data Pemetaan Kawasan Rawan Konflik 2014 dari Kesbangpol DKI, Kecamatan Johar Baru masuk ke dalam wilayah dengan tingkat kerawanan sosial dan kerawanan konflik yang tinggi. Sebanyak 3 kelurahan di Johar Baru masuk ke dalam 10 besar kelurahan di DKI Jakarta dengan IPKS tertinggi (BPS 2014). Bahkan secara historis wilayah Johar Baru yang berada di sekitar wilayah Senen telah lekat dengan berbagai bentuk kejahatan, konflik dan kekerasan dari skala kecil dan menengah seperti penco-petan, perampokan, dan tawuran pelajar yang terjadi pada komunitas miskin dan padat penduduk sampai pada konflik dengan skala besar seperti kerusuhan Mei 1998 (Tadie 2009). Konflik sosial yang sering terjadi di wilayah Johar Baru adalah tawuran. Meskipun kondisi ling-kungan fisik, kepadatan, kemiskinan sedikit atau banyak bisa membe-rikan pengaruh pada munculnya konflik sosial, seperti tawuran, tapi penting juga untuk melihat pada proses sosial dalam unit-unit sosial yang ada di lingkungan sosial terutama keluarga sebagai kelompok sosial primer. Keluarga turut memberikan andil bagi perkembang-an anak-anak, dan pengawasan terhadap tindakan mereka. Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran kontrol sosial keluarga terhadap keterlibatan anak dalam kekerasan kolektif (tawuran) dan hubungannya dengan lingkungan sosial komunitas.

Studi sebelumnya menunjukkan sedikitnya ada dua kelompok yang berargumen mengenai terbentuknya perilaku kekerasan dalam diri seseorang. Pertama adalah berbagai studi yang fokus pada neigh-borhood effects (Baird 2012; Harding 2009; Zimmerman dan Messner 2010). Munculnya perilaku kekerasan sangat dipengaruhi oleh kon-disi lingkungan sosial sebuah komunitas. Kondisi lingkungan sosial ketetanggan dengan struktur sosial (kelompok-kelompok yangada di lingkungan), budaya (kebiasaan warga dalam komunitas) dan fisik (bentuk/struktur bangunan) yang buruk merupakan faktor dominan yang menentukan terbentuknya pandangan dan perilaku kekerasan dalam diri seseorang. Lingkungan seperti itu telah mengalami disor-ganisasi sehingga tidak lagi memiliki kontrol atau regulasi sosial yang baik. Akibatnya, seseorang menjadi lebih mudah terlibat dengan ber-bagai praktik kekerasan termasuk kekerasan kolektif seperti tawuran. Studi-studi itu terlalu meminggirkan posisi keluarga sebagai pihak yang berpengaruh. Studi tersebut tidak mampu menjelaskan hubung-an keluarga dengan lingkungan serta aspek proses sosial yang terjadi

Page 4: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

162 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

dalam pembentukan perilaku kekerasan. Kedua adalah studi-studi yang berpendapat bahwa konstruksi perilaku kekerasan ditentukan prosesnya di dalam keluarga (Relva, Monterio, dan Mota 2013; Davis 2011; Anderson 2010; Arthur dan Clark 2009).

Pengalaman seseorang di dalam keluarga menentukan kecende-rungannya untuk bertindak agresif atau tidak. Praktik di dalam kelu-arga seperti kekerasan orang tua terhadap anak menjadi penyebab dari munculnya pandangan dan perilaku kekerasan anak sehingga mereka cenderung melakukan tindakan agresif seperti melakukan pemukulan/perkelahian dengan orang lain. Analisis semacam itu mengabaikan pengaruh lain di dalam konteks yang lebih luas yaitu lingkungan sosial komunitas. Apa yang terjadi pada anak seolah-olah terlepas dari pengaruh lingkungan sosial ketetanggaan, padahal perkembangan serta kondisi anak dapat terpengaruh oleh kondisi lingkungan sosial ketetanggannya.

Berbagai studi di atas menunjukkan bahwa lingkungan sosial ke-tetanggaan dan keluarga saling bersaing dalam pembentukan perilaku kekerasan serta keterlibatan anak dalam berbagai praktik kekerasan. Artikel ini berargumen bahwa keluarga menjadi kelompok penting yang berperan dalam mengurangi pengaruh buruk lingkungan sosi-al ketetanggaan terhadap anak (pemuda). Keluarga memiliki peran dalam mendorong atau mengurangi tumbuhnya perilaku kekerasan, pandangan mengenai kekerasan maupun keterlibatan anak dalam kekerasan kolektif (tawuran). Mekanisme kontrol untuk mengurangi atau menumbuhkan perilaku kekerasan kepada anak ini dapat di-lihat dengan jelas prosesnya dalam pola-pola asuh yang diterapkan keluarga. Sayangnya, pola asuh yang permisif menyebabkan lemah-nya ikatan sosial antara anak dengan keluarga sehingga kontrol yang dilakukan keluarga menjadi lemah.

K EK E R A S A N KOL EK T I F DA N KON T ROL SOSI A L K E LUA RG A

Kekera san Kol ekt i f

Ada banyak definisi mengenai kekerasan, secara umum kekeras-an didefinisikan sebagai segala bentuk perilaku dari individu atau kelompok yang mengancam, menyebabkan kerusakan atau cedera fisik maupun psikologis kepada individu atau kelompok lain (Ray 2012). Kekerasan dapat dilakukan secara individu maupun kelompok

Page 5: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 163

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

(kolektif). Tulisan ini akan membatasi pembahasan pada kekerasan secara kolektif. Varshney (2010) menjelaskan bahwa kekerasan ko-lektif merupakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lain, kelompok terhadap individu, oleh negara terhadap sekelompok orang dan sekelompok orang terhadap badan atau lembaga negara. Kekerasan kolektif ada yang memiliki cakupan luas dan besar seperti kerusuhan dan ada yang cakupannya lebih kecil dan biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari misalnya adalah cekcok atau keributan antar kampung. Kekerasan kolektif dengan kekerasan individual memiliki perbedaan. Menurut Tilly (2003) kekerasan ko-lektif harus memenuhi beberapa syarat yaitu menyebabkan kerusakan fisik dan psikis, baik kekerasan secara langsung maupun tidak lang-sung, harus paling tidak terdiri dari dua atau lebih orang penyebab kerusakan dan kekerasan merupakan hasil dari koordinasi di antara orang yang melakukan kerusakan tersebut.

Ada beberapa aspek yang menurut Tilly harus diperhatikan dalam pembahasan mengenai kekerasan kolektif yaitu aspek ide, perilaku masyarakat, dan interaksi. Ide berkaitan dengan kesadaran yang me-landasi tindakan dari individu. Kesadaran ini secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai konsep, kepercayaan, nilai, tujuan yang mere-sap dalam diri dan menjadi landasan bertindak seseorang, sehingga ketika seseorang sudah memiliki nilai untuk cenderung bertindak agresi kepada pihak lain, maka lebih mudah baginya untuk terlibat dalam kekerasan kolektif. Kedua adalah aspek perilaku masyarakat (behavior people) yang menekankan pada otonomi atas motif, dorong-an serta kesempatan yang ada pada masyarakat umum. Aspek tersebut pada dasarnya menggambarkan respons dan tindakan yang biasa di-lakukan masyarakat luas dalam kaitannya dengan hal-hal yang dapat menimbulkan sikap agresi dan kekerasan kolektif misalnya isu-isu mengenai dominasi, penghormatan, keamanan, keadilan. Apakah da-lam hal-hal yang berkaitan dengan itu masyarakat cenderung untuk melakukan perilaku agresif atau kekerasan kolektif atau tidak. Ketiga dan merupakan aspek yang dapat menghubungkan kedua aspek di atas adalah aspek interaksi. Menurut Tilly aspek ini berkaitan de-ngan transaksi atau hubungan antara individu dan kelompok. Aspek interaksi menjadi aspek utama yang ditekankan Tilly karena interaksi dapat memunculkan ide mengenai agresi pada pihak lain serta mere-alisasikan ide tersebut menjadi tindakan agresi yang nyata. Bentuk-

Page 6: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

16 4 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

-bentuk kekerasan kolektif yang ada menurut Tilly misalnya violent rituals, coordinated destruction, opportunism, brawl dan scattred attack.

M E TODE PE N E L I T I A N

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus utama arti-kel ini adalah pembahasan mengenai proses kontribusi keluarga dalam mengontrol tumbuhnya perilaku kekerasan serta keterlibatan anak dalam kekerasan kolektif (tawuran) di komunitas miskin dan rawan konflik, sehingga pendekatan kualitatif yang mengedepankan pada as-pek proses secara mendalam dinilai sangat sesuai. Teknik pengumpul-an data yang digunakan peneliti adalah wawancara mendalam dengan teknik penentuan informan purposive. Ada tiga keluarga yang diteliti. Keluarga tersebut memiliki karakteristik tinggal di dalam komunitas ketetanggaan yang kumuh, padat dan miskin serta memiliki anak yang terlibat dalam kasus kekerasan (tawuran). Anak yang dimaksud merupakan anak yang masuk dalam kategori pemuda yaitu mereka yang berusia 16-30 tahun5 dan belum menikah. Pada masa inipemu-da masih memiliki kerawanan untuk terlibat dengan berbagai kasus kekerasan (Munawar 2013). Wawancara mendalam akan dilakukan kepada sembilan informan dengan rincian tiga orang informan dari masing-masing keluarga yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan satu anak terlibat dalam kasus kekerasan. Wawancara dilakukan kepada orang tua dan anak agar diperoleh informasi yang objektif mengenai pro-ses pembentukan atau kontrol keluarga terhadap perilaku kekerasan dan keterlibatan mereka dengan tawuran, termasuk informasi objektif mengenai kondisi lingkungan ketetanggaan yang mereka tempati. Pe-nelitian dilakukan di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat, yang meru-pakan salah satu wilayah di Jakarta dengan tingkat kerawanan sosial (konflik) yang tinggi. Sebagai penunjang, penulis juga menggunakan data sekunder tambahan dari hasil penelitian sebelumnya maupun data sekunder lain yang relevan dengan penelitian ini.

KON T ROL SOSI A L DA N POL A A SU H

Hirschi’s (dalam Aguirre 2002, Barsani 1988; Black 1984; Hof-fman, 2003; dan Krohn 1984) menjelaskan hubungan antara peri-

5 Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2009 mengenai kepemudaan. Pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun.

Page 7: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 165

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

laku kekerasan pada individu dengan kontrol sosial melalui ikatan sosial. Kontrol sosial sangat berkaitan dengan ikatan sosial individu dengan institusi di dalam masyarakat (keluarga, sekolah). Ada empat hal dasar yang bisa mempengaruhi ikatan sosial seseorang yaitu at-tachment, commitment, involvement, dan belief. Attachment berkaitan dengan perasaan sensitif dan penghargaan terhadap pendapat orang lain. Dalam keluarga attachment dapat terbangun melalui interaksi antar anggota keluarga. Commitment berhubungan dengan keputus-an untuk bertindak sesuai dengan aturan dan norma, baik di dalam maupun di luar keluarga. Komitmen terlihat dari kesungguhan ke-teguhan menjunjung tinggi nilai keluarga maupun masyarakat yang baik dalam berbagai hal. Involvement berkaitan dengan keterlibatan seseorang dalam kegiatan di dalam keluarga dan masyarakat. Belief berkaitan dengan keyakinan terhadap nilai dan norma konvensional yang ada dalam masyarakat. Empat elemen dasar ini berguna untuk melihat sejauh mana ikatan sosial yang dimiliki oleh individu.

Pada keluarga, kontrol dan ikatan sosial dibangun melalui sosiali-sasi dalam bentuk pola asuh. Parsons (dalam Klein dan White 2007) berpendapat bahwa keluarga merupakan kelompok mendasar dalam masyarakat serta memiliki fungsi sosialisasi. Sosialisasi merupakan proses belajar, serta berkaitan dengan proses sistem pola hubungan so-sial dan interaksi di antara anggota keluarga (Klein dan White 2007). Fungsi sosialisasi dalam keluarga adalah untuk memproduksi aktor yang akan menjadi bagian dari masyarakat. Keluarga berusaha meng-ajarkan, menanamkan, membangun serta mengontrol individu agar bisa hidup bermasyarakat, tidak bertindak menyimpang dan berlaku sesuai dengan nilai dan norma yang baik dalam masyarakat. Melalui mekanisme ini pula kontrol sosial dan ikatan sosial individu dengan institusi keluarga terbangun. Baumrind (1966) menjelaskan mengenai tiga jenis pola asuh, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh otoritatif. Pola asuh otoriter ditandai dengan pola asuh yang memberikan pengaturan dan batasan yang tegas dalam berbagai hal serta sedapat mungkin anak berlaku sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh orang tua. Pola asuh ini cenderung kurang responsif ter-hadap hak dan keinginan anak karena menekankan ketaatan anak tanpa memberi kesempatan anak untuk bernegosiasi.

Pola asuh permisif ditandai dengan pola asuh yang responsif yaitu orang tua lebih melihat keinginan anak serta tidak terlalu memberi-kan tuntutan untuk berlaku sesuai dengan yang mereka harapkan.

Page 8: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

166 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Dalam hal ini terdapat ketidak konsistenan dalam menerapkan nilai kedisiplinan, di mana perilaku anak cenderung dibiarkan dan tidak diberikan hukuman walaupun dinilai buruk. Pola asuh otoritatif di-maknai sebagai pola asuh yang mempertahankan dan responsif, yaitu keadaan di mana orang tua menggunakan pendekatan yang rasional dan demokratis. Orang tua memberikan peraturan dan pemahaman kepada anak mengapa hal itu diterapkan dalam keluarga serta mem-berikan ruang negosiasi mengenai nilai dan norma keluarga. Dari hal tersebut maka pola asuh juga dapat dikatakan sebagai sebuah meka-nisme sosialisasi dan kontrol terhadap tumbuh atau berkurangnya pe-rilaku kekerasan pada anak. Pengaruh dari lingkungan ketetanggaan yang buruk dapat dikontrol oleh keluarga melalui pola asuh tersebut. Kondisi keluarga yang berbeda termasuk penerapan pola asuh berbe-da dapat memberikan implikasi yang berbeda pula pada meknisme kontrol yang ada dalam keluarga dan terbentuknya perilaku anak.

POL A A SU H PE R M ISI F DA N L E M A H N YA I K ATA N SOSI A L

Pola asuh sebagai sebuah kesatuan interaksi diantara anggota ke-luarga (secara kusus antara orang tua dan anak) menjadi basis dalam pembentukan ikatan sosial individu dengan institusi keluarga (Klein dan White 2007). Artikel ini menunjukkan bahwa keluarga informan menerapkan pola asuh permisif. Ada 3 hal hal utama dalam interaksi sehari-hari di dalam keluarga informan yang menunjukkan penerap-an pola asuh permisif. Ketiga hal itu adalah konsistensi sosialisasi, praktik permisif (pembiaran) dan kecenderungan anggota keluarga terutama orang tua untuk mengikuti keinginan anak. Hanya pada waktu tertentu anak ditanamkan nilai dan norma secara langsung melalui peringatan verbal. Proses tersebut lebih sering dilakukan ke-tika anak telah terlibat dalam kasus tertentu misalnya kekerasan. Se-luruh keluarga informan hanya memberikan batasan nilai dan norma secara umum yang merupakan nilai normatif dalam masyarakat yaitu penghormatan. “Pokoknya anak itu yang penting hormat dan ga bikin susah orang tua” (wawancara dengan orang tua X, 17 April 2016). Term “menyusahkan orang tua” merujuk pada kegiatan anak yang dapat mengganggu kestabilan keuangan keluarga seperti berjudi dan semacamnya.

“Tidak menyusahkan orang tua” lebih banyak diartikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan konteks ekonomi menunjukkan kondisi

Page 9: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 167

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

kelas sosial keluarga mereka. Kondisi keluarga informan yang miskin membuat hal-hal yang berkaitan dengan uang menjadi masalah yang cukup sensitif serta dapat menimbulkan pertengkaran di dalam kelu-arga. Misalnya apa yang terjadi pada keluarga informan L.

Tuh si Y pernah minta modal buat bikin usaha pulsa ame yang lain. Emak kasih 500 rebu. Usaha kaga jalan, duit malah abis buat beli burung. Emak marahin banget udah tau keluarga susah, bikin repot aja. Engga sedikit itu duitnya, yah tapi emak maapin, namanya juga anak kan ujung-ujungnya yaudah-lah (wawancara dengan orang tua Y tanggal 23 April 2016)

Sosialisasi nilai dan norma yang tidak secara jelas dan menyeluruh disampaikan memungkinkan munculnya fleksibilitas intepretasi yang berbeda antara anak dengan orang tua terhadap nilai dan norma yang berusaha ditanamkan keluarga. Dalam konteks kekerasan anak dapat mengintepretasikan terlibat dengan kekerasan menjadi hal yang diper-bolehkan asal tidak menyinggung fungsi ekonomi keluarga. Kejelasan dan konsistensi nilai dan norma yang disampaikan orang tua kepada anak merupakan hal yang penting sebagai landasan bertindak serta menjadi tahap awal dalam usaha membangun kontrol sosial keluarga.

Kedua, praktek-praktek pembiaran banyak terjadi dalam kehidup-an sehari-hari. Bagi orang tua, rasa “kasihan” menjadi argumen klasik untuk melegitimasi tindakan-tindakan permisif terhadap perbuatan anak yang dapat merugikan diri atau keluarga. Berikut adalah salah satu contoh tindakan permisif yang dilakukan oleh orang tua.

gua pernah ketahuan nyimpen gele6 dirumah, gua bilang aja punya temen. Sebenernya nyokap gua sih tau tapi kayanya ga marah, cuma bilangin doang asal bukan punya gua. (wawancara dengan Z pada 4 Mei 2016)

Emak akui kalo setau emak emang lingga beberapa kali ikut tuh tawuran, pernah ampe luka, yudah-lah paling emak bilangin do-ang jangan gitu lagi tar die juga berubah, kasian kalo dimarah--marahin ape digimanain, namanya anak muda kan ada nakalnya udah gitu sama temen-temen juga kan bukan die doang die juga

6 Merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebut ganja.

Page 10: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

168 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

khawatir kali namanye diserang kan jaga kampung” (wawancara dengan orang tuadari informan Y pada 23 April 2016)

Apa yang disampaikan oleh informan di atas menunjukkan bah-wa praktik-praktik permisif terjadi pada hal yang berbahaya bah-kan dapat bersinggungan dengan hukum pidana. Tindakan permisif semacam itu menjadi awal dari pembiasaan untuk melakukan pe-nyimpangan atau kekerasan termasuk terlibat dalam tawuran. Kontrol langsung yang dilakukan oleh keluarga adalah kontrol verbal berupa nasihat dan omelan. Mekanisme hukuman atau pengawasan lanjutan sebagai salah satu bentuk kontrol kepada anak masih lemah. Kontrol dan pengawasan orang tua dan anggota keluarga cenderung bersifat sementara, yaitu pasca anak melakukan perbuatan yang dianggap merugikan. Implikasi yang muncul adalah tidak adanya efek jera pada anak. Secara sosiologis, proses sosialisasi dalam pola asuh tidak terbatas pada aspek verbal tetapi proses belajar dalam keluarga meli-puti seluruh rangkaian interaksi anak dan anggota keluarga terutama antara orang tua dan anak (Klein dan White 2007). Segala macam kegiatan dalam keluarga memiliki aspek simbolik dalam memberikan pembelajaran kepada anak. Praktik permisif yang dilakukan orang tua, seperti berpura-pura tidak tahu atau melindungi anak yang me-lakukan kesalahan secara simbolik menjadi pembelajaran atas pem-benaran perbuatan anak yang salah.

Ketiga, mengenai kecenderungan orang tua untuk menuruti kei-nginan anak. Orang tua informan cenderung hanya setuju ketikaa-nak sering membolos dari sekolah atau tempat bekerja dengan alasan malas atau tidak nyaman. Orang tua tidak menindaklanjuti lebih jauh dengan memberikan solusi. Tidak tanggapnya orang tua dalam memberikan solusi berpengaruh pada proses kontrol serta pendidikan nilai pada anak dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah (Cros-swhite dan Kelpermen 2008). Orang tua pada dasarnya merupakan pihak yang memiliki kuasa di dalam keluarga (Anderson 2010), tetapi fakta di atas memperlihatkan bahwa orang tua tidak menggunakan kekuatannya untuk memberikan batasan kepada anak dan memilih bersifat permisif.

Pola asuh menjadi sebuah proses sosialisasi dan pendidikan dalam keluarga. Salah satu tujuan dari pendidikan seperti diungkapkan oleh Freire (2005) untuk menciptakan individu yang merdeka. Merdeka tidak berarti bebas tanpa batasan, merdeka berarti memiliki kemam-

Page 11: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 169

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

puan untuk berpikir kritis dan berpihak kepada kebaikan dan kebe-naran. Senada dengan itu Ki Hajar Dewantara (dalam Suparlan 2014) menyatakan bahwa secara filosofis tujuan segala bentuk pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Keluarga menjadi salah satu dari tiga pusat pendidikan utama (selain pendidikan dalam pergu-ruan dan pendidikan dalam masyarakat luas) dalam mencapai tuju-an filosofis pendidikan tersebut. Pola asuh permisif yang diterapkan oleh keluarga informan kenyataannya menghasilkan individu yang “merdeka” tetapi bukan dalam makna seperti apa yang disampaikan oleh Freire maupun Ki Hajar Dewantara. Mereka merdeka karena minimnya batasan diri dalam bertindak dan rendahnya kemampuan melakukan self-control sehingga mudah melakukan kekerasan.

Baumrind (1991) menjelaskan bahwa semua jenis pola asuh pada dasarnya memiliki dua aspek dasar yaitu kontrol dan kasih sayang. Kontrol dalam pola asuh mengacu pada sejauh mana orang tua me-ngelola perilaku anaknya sedangkan kasih sayang berkaitan dengan sejauh mana orang tua dapat responsif dan menerima perilaku anak (Baumrind 1991). Penerapan pola asuh permisif pada keluarga in-forman diwarnai dengan aspek emosional yang ditunjukkan melalui sikap-sikap pembiaran atas dasar rasa “kasihan” pada anak. Dam-paknya, anak minim panduan nilai yang menjadi dasar bagi batasan--batasan dalam bertindak. Praktik–praktik permisif yang dilakukan orang tua atau anggota keluarga lain terus membangun pembiasaan (budaya) dalam diri anak untuk memaklumi kegiatan yang menyim-pang.

Penerapan pola asuh permisif menyebabkan keluarga informan memiliki ikatan sosial yang lemah dan kontrol sosial menjadi lebih sulit dilakukan. Hirschi’s (dalam Aguirre 2002, Barsani 1988; Black 1984; Hoffman, 2003; dan Krohn 1984) menunjukkan empat aspek yang dapat menjelaskan bagaimana kondisi ikatan sosial antara in-dividu dengan institusi. Keempat aspek tersebut adalah attachment, involvement, belief, dan commitment. Pola asuh permisif melahirkan ikatan emosial yang kuat tetapi di lain pihak menyebabkan komitmen yang lemah. Bagi anak, tindakan-tindakan permisif yang dilakukan orang tua dan anggota keluarga lain dianggap sebagai sebuah kasih sayang kemudian menimbulkan ikatan emosi mereka dengan orang tua dan keluarga.

Aspek attachment seperti diungkapkan Hirschi (dalam Aguirre 2002, Barsani 1988; Black 1984; Hoffman, 2003; dan Krohn 1984)

Page 12: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

170 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

adalah aspek yang sangat berhubungan dengan fungsi dasar dari ke-luarga yaitu proses bagaimana anggota keluarga memperlakukan ang-gota keluarga lainnya dengan kasih sayang. Attachment tidak selalu dinilai dari sudut pandang logika, tetapi juga dari moralitas dan aspek emosional, sehingga secara logis tindakan permisif pada keluarga in-forman menimbulkan kecenderungan pemahaman yang buruk tetapi secara emosional sikap permisif pada hal-hal yang berbahaya seperti terlibat dalam tawuran atau perjudian dianggap sebagai sebuah ben-tuk kasih sayang dan pembelaan kepada anak. Tindakan orang tua informan di Johar Baru lebih mengarah kepada tindakan emosional, dengan pemahaman bahwa orang tua yang baik adalah orang tua yang bisa memenuhi keinginan serta memaklumi tindakan anak.

Implikasi lain dari penerapan pola asuh permisif pada keluarga informan adalah komitmen yang lemah. Komitmen berkaitan dengan kegiatan individu dalam mematuhi serta memprioritaskan nilai dan norma yang disosialisasikan oleh keluarga. Komitmen tidak muncul tanpa adanya kepercayaan. Ada setidaknya dua hal yang menyebabkan anak tidak memiliki komitmen terhadap nilai yang baik dalam kelu-arga. Pertama adalah akibat sikap pola asuh permisif dalam keluarga, ada inkonsistensi dalam proses sosialisasi nilai yang baik dan buruk, sehingga anak tidak mendapatkan panduan nilai yang jelas dan cu-kup mengenai batasan tindakan yang baik dan buruk. Kedua adalah minimnya keterlibatan anak dengan kegiatan keluarga. Keterlibatan anak dalam kegiatan keluarga merupakan hal yang penting untuk menumbuhkan interaksi yang lebih intensif yang membangun ikatan sosial dengan keluarga.

Yah gua sih jarang di rumah. Lebih sering di luar maen sama anak-anak aja. Kalo pas kumpul ama keluarga paling nonton TV doang, kalo dateng ke saudara apa undangan apa kemana gua kaga ikut, males gua, kaga enak malu nanti ditanyain udah kerja apa belom. Lagian gua udah gede juga kaga perlu ikut-ikut gituan. (wawancara dengan Z, 4 Mei 2016)

Gua jarang dirumah paling malem doang, kumpul ama keluarga juga bentar doang, ya paling nonton TV atau pas gua balik ma-kan, yang lainnya mah kaga, pergi-pergi gitu, ikut ketemu saudara. (wawancara dengan Y, 4 Mei 2016)

Page 13: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 171

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Kutipan wawancara di atas menunjukkan interaksi yang minim antara anak dengan keluarganya terutama orang tua. Interaksi dan keterlibatan dengan kegiatan keluarga yang minim menyebabkan potensi ikatan sosial menjadi berkurang. Menurut informan (anak), mereka merasa yakin bahwa apa yang disampaikan keluarga adalah benar, sayangnya konsistensi orang tua dalam mengawasi tindakan anaknya menjadi permasalahan tersendiri. Gambaran komitmen anak kepada nilai yang diajarkan keluarga terlihat dari keterlibatan mereka dalam tawuran. Wawancara dengan informan X, Y dan Z menun-jukkan bahwa beberapa kali mereka melakukan kekerasan kepada orang lain hanya karena hal sepele. Misalnya secara tidak sengaja saling bertatapan dengan orang lain dan terprovokasi, atau mengikuti teman yang sedang tawuran tanpa mengetahui alasan dan tujuan, padahal ada larangan dari keluarga mereka melarang terlibat dalam tawuran jika bukan dalam rangka “membela kampung”.7 Keputusan untuk mengikuti ajakan teman yang berbeda nilai dengan keluarga menggambarkan komitmen yang lemah.

Elemen sosial yang diungkapkan oleh Hirschi’s tidaklah selalu sama pada setiap aspek. Kondisi yang baik pada suatu aspek tidak selalu diikuti kondisi yang baik pada aspek yang lain. Sangat me-mungkinkan bagi seluruh aspek untuk berdinamika. Lemahnya ikat-an sosial dalam diri informan kepada keluarganya bermakna sulitnya kontrol sosial kepada anak. Secara umum pola asuh melingkupi se-luruh rangkaian interaksi antara anak dan orang tua, akan tetapi konsep pola asuh sangat menekankan orang tua sebagai pihak utama yang memiliki kekuasaan dalam keluarga dan berperan dalam me-nentukan perkembangan anak. Kondisi pola asuh di dalam keluarga tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas orang tua. Masyarakat In-donesia masih menganggap bahwa pengasuhan merupakan kegiatan yang alami dapat dilakukan oleh ayah dan ibu tanpa perlu dipelajari bagaimana bentuk pola pengasuhan yang baik. Pandangan semacam itu ini-lah yang menjadi salah satu penyebab mengapa karakteristik pola asuh permisif yang muncul pada keluarga informan.

Kemampuan untuk menerapkan pola asuh yang tepat memang tidak lepas dari konteks kelas sosial. Masyarakat kelas bawah biasanya memiliki pendidikan yang rendah dan akses terhadap sumber daya yang meningkatkan pemahaman maupun keterampilan pengasuh-

7 Berdasarkan informasi dari orang tua Y dan Z

Page 14: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

172 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

an yang terbatas, akibatnya orang tua tidak dapat menerapkan pola asuh yang baik sesuai dengan kondisi keluarga atau lingkungan sosial mereka. Seluruh orang tua dalam keluarga informan memiliki latar pendidikan yang rendah terutama ibu. Proses pengasuhan yang dila-kukan hanya didasarkan pada apa yang mereka pelajari dari orang tua mereka dahulu serta nilai dan norma yang ada di lingkungan sosial komunitas. Praktik-praktik permisif yang dilakukan oleh orang tua lebih banyak dilakukan oleh ibu karena interaksi anak lebih banyak dilakukan dengan ibu dibanding dengan ayah. Penerapan pola asuh yang permisif pada keluarga menyebabkan ikatan sosial yang lemah. Lemahnya ikatan sosial berhubungan dengan kontrol sosial bagi pe-rilaku menyimpang dan keterlibatan anak dalam tawuran (kekerasan kolektif).

KON T ROL SOSI A L K E LUA RG A , PE NG A RU H L I NGK U NG A N K E T E TA NG G A A N

DA N K EK E R A S A N KOL EK T I F

Darmajanti (2013) menjelaskan bahwa tawuran sebagai bentuk kekerasan kolektif telah menjadi “kebiasaan” dalam kehidupan warga di Johar Baru. Jika kita merujuk pada konsep Tilly mengenai keke-rasan kolektif, tawuran yang sering terjadi di Johar Baru merupakan bentuk dari violent ritual atau brawls. Umumnya ada dua ciri tawuran di Johar baru. Pertama adalah ciri tawuran yang masuk ke dalam violent rituals, yaitu sebuah kekerasan kolektif lekat dengan persa-ingan dalam memperebutkan atau mempertahankan sumber daya (Tilly 2003). Hasil wawancara dengan informan ditunjang dengan hasil penelitian sebelumnya dari Darmajanti memperlihatkan bahwa tawuran yang terjadi di Johar Baru sering kali meluas dan berbasis wilayah spasial (wilayah tempat tinggal/pemukiman), artinya konflik sosial yang terjadi disebabkan ketika suatu pihak menyerang wilayah pemukiman pihak lain. Pihak yang merasa diserang harus memperta-hankan wilayahnya. Kedua tawuran melibatkan wilayah spasial tetapi terjadi karena adanya rasa ekspresif yaitu kekerasan yang disebabkan oleh rasa benci, tidak suka atau sekadar berusaha mengusik kelompok lain (Larry Ray 2012). Kekerasan ekspresif bisa terjadi di mana saja dan biasanya tidak direncanakan. Kekerasan ekspresif berbeda de-ngan kekerasan instrumental yaitu kekerasan yang terjadi merupakan kekerasan yang sengaja dilakukan sebagai sebuah instrumen untuk

Page 15: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 173

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

mendapatkan sumber daya atau menghindari kehilangan sumber daya serta direncanakan dengan baik (Larry Ray 2012). Di Johar Baru, tawuran dalam konteks ekspresif biasanya terjadi ketika sekelompok anak nongkrong bertemu dengan kelompok nongkrong lain. Gesekan antar kelompok terkadang disebabkan oleh tindakan iseng dari satu orang menggoda kelompok lain. “Di sana kalo gua ape lu iseng aja liatin orang juga bisa tawuran apalagi pas lagi pada nongkrong, gam-pang dah bikin tawuran, banyak yang kaya gitu” (wawancara dengan L pada 4 Mei 2016). Tawuran ini tidak selalu berbasis wilayah spasial dan bisa terjadi di mana saja misalnya perkelahian di jalan. Darma-janti (2013) juga menegaskan bahwa kekerasan di Johar Baru meru-pakan wujud ekspresi dari komunitas marginal yang terekslusi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Johar Baru memang memiliki konteks lingkungan sosial ketetanggaan yang buruk.

Darmajanti (2013) dan Munawar (2013) menjelaskan bahwa Johar Baru merupakan komunitas yang memiliki kerawanan sosial tinggi8. Selain seringnya terjadi konflik antar warga berupa tawuran, wilayah ini juga merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang besar, bahkan menjadi salah satu yang paling padat di wilayah Jakarta. Kondisi pemukiman yang padat diperparah dengan kondisi ekono-mi warga yang miskin. Secara sosiologis faktor struktur lingkungan sosial tersebut dapat menjadi penunjang mengapa kekerasan kolektif sering terjadi di wilayah ini. Informan mengatakan bahwa warga di komunitas ini memiliki kebiasaan berkumpul di pinggir jalan atau wilayah-wilayah yang dianggap “enak” seperti jembatan dan lainnya untuk bermain atau hanya duduk-duduk saja. Kelompok nongkrong bervariasi mulai dari anak-anak sampai pemuda dan orang tua. Ke-biasaan ini tidak lepas dari aspek struktural yaitu kondisi kepadatan pemukiman dan kondisi tidak nyaman di keluarga.

ya kalo nongkrong paling ngobrol duduk-duduk aje, sambil nge-rokok. Ya gua sih seringnya main deket kandang burung daerah rumah gua, kalo yang lain biasanya pada di jembatan, pinggir jalan. (wawancara dengan Y pada 4 Mei 2016).

Secara umum tawuran di Johar Baru melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua, pemuda dan anak-anak, meskipun dari segi

8 Kerawanan sosial tinggi merupakan indeks gabungan yang terdiri dari berbagai ma-cam indikator seperti kemiskinan, kepadatan, konflik sosial dll.

Page 16: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

174 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

pemicu, pemuda merupakan pihak yang sering menyebabkan tawuran terlebih dahulu baru kemudian meluas dan disusul keterlibatan dari pihak lain. “Wah kalo tawuran dari anak-anak remaja ampe orang tua pada ikut apa lagi kalo tawuran udah gede” (wawancara dengan X, 3 Mei 2016). Keterlibatan pemuda dalam tawuran serta kebiasaan un-tuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan merupakan salah satu produk dari pengaruh keluarga dan lingkungan sosial ketetanggaan di komunitas. Pemuda lebih sering terlibat dengan tawuran ketika mereka sedang bermain dengan teman. Interaksi yang intensif dengan teman bermain menumbuhkan kepercayaan dan solidaritas. Sayang-nya nilai yang disampaikan di dalam kelompok bermain belum tentu merupakan nilai yang baik. Kelompok pemuda termasuk kelompok bermain yang tidak terkontrol lebih memiliki potensi untuk mela-kukan kenakalan termasuk kekerasan (Nilan, Demartoto, Wibowo 2011; Harding 2009).

Jack dan Meyner (dalam South dan Crowder 1999; Levental dan Brook-Gunn 2000; Sampson, Marenoff dan Gannon-Rowley 2002; Galster 2010) menegaskan adanya mekanisme sosial interaktif dalam proses pengaruh lingkungan ketetanggaan terhadap perilaku anak. Proses interaksi dan proses belajar karena pengaruh pergaulan antara pemuda dengan teman sebaya di Johar Baru dapat diartikan sebagai sebuah mekanisme collective socialization. Dalam lingkungan ketetang-gaan, pemuda mendapatkan pemahaman mengenai nilai dan norma dari apa yang mereka saksikan dan dari aktor yang sering berinter-aksi dengan mereka di dalam terutama melalui teman bermain. Pada kelompok bermain/nongkrong biasanya keterlibatan dalam tawuran didasarkan pada rasa solidaritas untuk ikut membantu teman dalam bertahan dari serangan kelompok luar. Isu pertemanan (solidaritas) menjadi salah satu faktor pendorong untuk terlibat dalam tawuran.

Isu mengenai tindakan pemuda yang penuh kekerasan serta ke-terlibatan mereka dalam tawuran sebenarnya diwarnai oleh isu me-ngenai keamanan sumber daya (keamanan anggota keluarga, rumah, fasilitas, wilayah dan sebagainya). Seperti yang telah dijelaskan se-belumnya bahwa tawuran yang terjadi di Johar Baru bukan hanya berbasis pada kelompok bermain atau kelompok nongkrong tetapi juga biasanya berbasis pada konteks spasial wilayah. Seluruh informan me-ngatakan bahwa alasan mereka ikut terlibat dengan tawuran adalah untuk mempertahankan diri dan membela kampung serta melindungi keluarga dan teman.

Page 17: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 175

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Gua ikut tawuran karna gua kampung gua diserang, kalo kita ga lawan kampung kita bisa abis, mungkin bisa dibakar kali kaya bagian lain. Gua juga khawatir kan sama ortu gua apalagi gua punya ade kecil (Wawancara dengan informan Y pada 4 mei 2016)

Kekhawatiran mengenai kondisi keluarga yang akan mengalami luka serta kerusakan tempat tinggal membuat tawuran biasanya melu-as dan lebih banyak melibatkan lebih banyak pihak. Kekhawatiran ini juga menyebabkan mereka lebih memilih bereaksi dengan melakukan kekerasan dibanding melapor kepada polisi.

Isu keamanan sumber daya menjadi salah satu faktor yang dapat memperluas pihak yang terlibat dalam konflik termasuk orang tua. Kondisi itu menggambarkan bagaimana posisi/pandangan keluarga terhadap tawuran yang sering terjadi di Johar Baru. Meskipun orang tua informan tidak terlibat secara langsung ketika terjadi tawuran warga, mereka menyaksikan aksi tawuran yang dilakukan anaknya namun tidak mampu untuk menarik anak keluar dari tawuran. In-dikasi lemahnya ikatan sosial terlihat dari kondisi itu, karena kontrol langsung yang dilakukan orang tua kepada anak pada saat tawuran berlangsung, tidak mampu menghentikan anak untuk berhenti ikut tawuran.

Keterlibatan banyak orang tua dalam tawuran warga disaksikan oleh berbagai pihak di dalam komunitas termasuk anak-anak. Mela-lui apa yang disaksikan baik pemuda maupun anak-anak mengalami proses belajar dari orang lain. Keterlibatan orang tua dalam tawuran secara tidak langsung menjadi role model bagi anak dan menum-buhkan pandangan bahwa perilaku kekerasan merupakan perilaku yang boleh dilakukan. Terlibat dengan tawuran sebagai mekanisme jaga diri agar tidak kehilangan sumber daya merupakan hal yang harus dilakukan. Akers (dalam Hoffman 2003; dan Krohn 1984) telah membahas kondisi semacam itu, menurutnya kekerasan tidak semata dipelajari melalui pengalaman melakukan, secara langsung tetapi juga melalui social learning yang dipelajari melalui pemodelan. Perilaku kekerasan dan keterlibatan dalam kekerasan kolektif, seperti tawuran, merupakan hasil dari social learning yang dipelajari secara langsung maupun tidak langsung dalam interaksi sehari-hari. Melalui mekanisme ini rantai kekerasan berupa konstruksi ide mengenai agresi terus terpelihara di Johar Baru. Lemahnya kontrol keluarga dan tidak

Page 18: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

176 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

konsistennya keluarga pada konteks ini ikut menumbuhkan perilaku kekerasan anak dan keterlibatannya dengan tawuran.

Charles Tilly (2003) berargumen bahwa aspek penting dalam tin-dakan kekerasan kolektif adalah interaksi sosial. Temuan lapangan penelitian ini menegaskan hal itu. Interaksi sosial dengan orang lain yang berada di lingkungan ketetanggaan terutama peer group dan intensitas tawuran yang sering melibatkan orang-orang yang menjadi role model dalam komunitas berimplikasi pada tertanamnya pandang-an mengenai kekerasan di dalam diri anak/pemuda di lingkungan tersebut. Interaksi dengan pihak lain menegaskan nilai pribadi, per-bedaan dengan kelompok lain dan menumbuhkan ide, termasuk ide mengenai tindakan agresif.

Lalu di mana posisi dan peran keluarga? Parsons (dalam Klein dan White 2007) menjelaskan bahwa keluarga merupakan kelompok dasar dalam masyarakat dan memiliki fungsi sosialisasi primer. Pembahasan di subbab sebelumnya telah menjelaskan mengenai kondisi pola asuh dan ikatan sosial yang ada pada keluarga informan. Pola asuh permisif pada keluarga informan berimplikasi pada ikatan sosial yang lemah tetapi bukan berarti bahwa keluarga tidak melakukan mekanisme kontrol terhadap anaknya. Kontrol sosial yang dilakukan keluarga adalah kontrol yang berada pada level produksi ide. Aspek ide ini menjadi salah satu poin penting dalam keterlibatan anak dengan ta-wuran. Proses sosialisasi dalam keluarga baik secara verbal yaitu pesan langsung yang disampaikan orang tua atau anggota keluarga, maupun nonverbal berupa tindakan yang dilakukan orang tua menjadi basis untuk memproduksi atau mereproduksi makna mengenai perilaku kekerasan.

Pada keluarga permisif, penanaman mengenai konsep kekerasan dilakukan dalam dua momen. Pertama adalah momen pencegahan ketika sebelum anak terlibat dengan kekerasan. Penanaman ini bia-sanya tidak secara konsisten dilakukan tetapi lebih intensif dilakukan ketika ada momen tertentu, misalnya ketika terjadi kasus kekerasan di daerah lain di luar lingkungan tempat tinggalnya. Orang tua ber-usaha mengingatkan anak agar tidak terlibat atau memicu tawuran seperti yang terjadi di wilayah lain. “Ya saya udah sering bilangin apalagi kalo pas lagi musim misalnya pas puasa, sering saya nasehatin biar ga ikut tawuran” (wawancara dengan orang tua X pada 24 April 2016). Pada momen seperti itu proses kontrol lebih banyak dilakukan secara verbal dengan memberikan nasihat. Pemberian nasihat orang

Page 19: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 177

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

tua ini pada dasarnya menjadi salah satu upaya untuk mengontrol dan menegaskan nilai pada anak mengenai batasan dalam bertin-dak. Kontrol verbal melalui nasihat memiliki kekuatan pencegahan jika dilakukan secara terus-menerus dan konsisten menanamkan nilai bahwa terlibat dalam tawuran adalah hal yang buruk. Dalam tataran ide, nilai itu dapat tertanam dengan kuat.

Momen kedua adalah momen ketika anak telah terlibat dalam kekerasan, kontrol verbal, dan sedikit kekerasan fisik kembali mun-cul. Akan tetapi sama dengan penjelasan sebelumnya ada banyak pemakluman dan minim mekanisme punishment. Inkonsistensi me-nyebabkan jaring kontrol keluarga lemah. Secara normatif seluruh orang tua informan sepakat bahwa kekerasan merupakan hal yang buruk, meskipun demikian, bukan berarti konsep mengenai tindakan kekerasan tidak disosialisasikan oleh keluarga “ya kalo diserang mau gimana anak kan jadi serang balik buat bertahan”(wawancara dengan orang tua Z, 24 April 2016). Informasi tersebut menunjukkan bahwa orang tua informan pada kondisi tertentu menganjurkan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah. Dalam konteks bertahan, keke-rasan diperbolehkan. Artinya dalam konsep bertahan, tidak ada peng-utamaan negosiasi atau menghindarkan diri dari pertikaian. Bertahan memiliki arti melawan dan membalas hal yang sama terhadap pihak yang menyerang dengan kekerasan. Ini menunjukkan batasan dan inkonsistensi mengenai nilai dan norma mengenai kekerasan yang ditanamkan keluarga.

Pembahasan mengenai pola asuh akan sangat terbatas jika hanya membahas apa yang dilakukan dan disampaikan oleh orang tua, ka-rena sebagai seorang individu anak memiliki kemampuan bernegosi-siasi dan berpikir. Sering kali argumen bertahan menjadi argumentasi utama bagi anak untuk terlibat dalam tawuran meskipun tidak dalam konteks mempertahankan diri seperti yang disampaikan keluarga. In-konsistensi kontrol verbal dan minimnya mekanisme pemberian hu-kuman yang tepat ditambah dengan ikatan sosial yang lemah semakin menyulitkan keluarga untuk dapat mendekonstruksi nilai yang buruk yang didapatkan dari lingkungan maupun teman bermain.

Kontrol lain dilakukan dengan cara melakukan pengawasan terha-dap anak. Pengawasan dilakukan orang tua sesekali dengan melihat anak ke lokasi nongkrong. Biasanya hal ini dilakukan pada masa ke-tika intensitas tawuran lebih banyak terjadi. Informan yang terlibat dengan tawuran merupakan pemuda yang tidak memiliki pekerjaan.

Page 20: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

178 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Mereka lebih sering berada di luar rumah dan nongkrong dengan teman. Kontrol berupa pengawasan dengan sesekali melihat ke tem-pat bermain atau sekedar menanyakan apa yang dilakukan sedikit mampu mencegah anak untuk terlibat dalam kasus tawuran. Tawuran biasanya terjadi ketika anak-anak sedang bermain dengan kelompok nongkrong-nya. Proses pencegahan untuk ikut terlibat dengan kekeras-an dengan menghadirkan orang tua lebih mudah dibanding dengan menarik anak untuk mundur saat sudah terlanjur terlibat dengan ta-wuran.

Tindakan manipulatif anak menjadi penyebab lain gagalnya kon-trol sosial keluarga terhadap anak. Anak sebagai seorang aktor me-miliki kemampuan berpikir. Tindakan yang menghambat kontrol orang tua adalah tindakan anak yang bersifat manipulatif. Kondisi tersebut terjadi ketika anak berusaha mempengaruhi orang tua un-tuk berpihak dan merasa kasihan kepadanya dengan memanfaatkan rasa kasih sayang dan harapan orang tua sehingga kesalahan yang dilakukan anak dapat dimaklumi dengan berbagai cara seperti ber-bohong, membujuk, dan sebagainya. Biasanya tindakan manipulatif dilakukan kepada ibu. Implikasi dari tindakan itu adalah membuat ibu menjadi jauh berpihak kepada anak dan melakukan pembenaran kepada anak baik di hadapan anggota keluarga yang lain maupun orang diluar keluarga meskipun anak berada pada posisi yang salah. Melalui tindakan mempengaruhi ibu, ibu seolah menjadi tameng un-tuk membela anak dan memaklumi kesalahan yang dilakukan anak. Tindakan semacam ini mendorong sikap permisif serta melemahkan kontrol orang tua kepada anak. Jadi, tindakan permisif tidak semata muncul dari sisi orang tua, tetapi anak sebagai sebuah individu ber-pikir juga ternyata memiliki peran dalam terciptanya praktik-praktik permisif di dalam keluarga.

Pembahasan mengenai kontrol sosial keluarga pada kawasan rawan konflik berarti menggambarkan pertarungan pengaruh antara keluar-ga dengan lingkungan sekitarnya sehingga menjadi penting bagi kita untuk membahas jangkauan kontrol. Dari apa yang sudah diuraikan, dapat dipahami bahwa pola asuh dalam keluarga permisif mengah-asilkan jangkauan kontrol yang sempit. Keluarga tidak memiliki ke-mampuan dalam mengubah struktur sosial masyarakat lingkungan yang kawasan konflik. Hal tersebut bermakna bahwa keluarga tidak memiliki kemampuan yang besar ketika orang lain dalam komuni-tas (orang tua lain, pemuda lain) berperilaku penuh kekerasan dan

Page 21: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 179

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

mencontohkan kekerasan. Peran keluarga dalam kontrol sosial anak adalah peran pembentengan diri dengan penanaman nilai dan nor-ma. Ini menjadi salah satu keterbatasan dari kontrol sosial yang bisa dilakukan keluarga yang berada dalam lingkungan ketetanggaan yang buruk. Intervensi perbaikan untuk memutus rantai kekerasan di da-lam komunitas dengan kondisi lingkungan sosial ketetanggaan yang buruk tidak dapat dilakukan hanya melalui satu sisi yaitu keluarga saja atau intervensi pada struktur komunitas saja. Intervensi harus merupakan kombinasi dari keduanya.

Keluarga memiliki potensi yang besar untuk mengontrol keterlibat-an anak dalam kekerasan kolektif. Keluarga mempunyai keuntungan dalam aspek interaksi. Tilly (2003) mengungkapkan bahwa interaksi merupakan hal yang menjadi dasar mengapa seseorang dapat memi-liki ide untuk melakukan kekerasan, mewujudkan kekerasan kolek-tif. Lebih lanjut, menurut Tilly kunci untuk mengurangi kekerasan kolektif adalah dengan membangun interaksi yang mendekonstruksi kecenderungan nilai untuk bersifat agresif serta membatasi interaksi yang dapat membangun nilai yang bersifat mendorong pandangan agresivitas. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dengan po-tensi yang besar keluarga belum mampu secara signifikan untuk me-ngontrol keterlibatan anak dalam kekerasan karena hasil sosialisasi sekunder lebih kuat pengaruhnya dibanding sosialisasi primer.

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Tilly, pembentukan ke-kerasan kolektif harus diidentifikasi dalam hal ide, perilaku individu dan interaksi sosial. Keluarga memiliki potensi besar dalam dua aspek yaitu aspek interaksi dan konstruksi ide. Bagi Tilly kekerasan kolektif hanya dapat terwujud ketika ada interaksi. Ide juga merupakan hasil dari interaksi, maka keluarga seharusnya memberikan interaksi (pola asuh) yang baik dan berkualitas.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa interaksi anak lebih intens dengan teman bermain. Ada beberapa usaha pembatasan interaksi yang dapat mengurangi potensi keterlibatan dalam konflik misalnya melarang menginap bersama teman, melarang nongkrong pada malam hari atau pulang larut malam. Sayangnya hal itu tidak dilakukan secara kontinyu sehingga anak tidak memegang teguh apa yang di-sampaikan orang tua. Pada lain pihak usaha dekonstruksi nilai/ide juga tidak secara konsisten dilakukan. Ini menjadi “lubang besar” pola asuh permisif untuk mengontrol keterlibatan anak dalam tawuran di Johar Baru. Keluarga berada pada posisi yang potensial namun gagal

Page 22: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

180 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

mengantisipasinya. Pada konteks Johar Baru seringnya terjadi tawuran yang melibatkan berbagai golongan (orang tua, pemuda) menunjuk-kan bahwa dari aspek behaviour people, warga Johar Baru mudah untuk bereaksi dan melakukan kekerasan kolektif. Keluarga tidak memiliki kemampuan mengubah struktur dan kebiasaan/ kontrol ter-hadap pihak di luar keluarga misalnya orang-orang dewasa lain yang terlibat dalam tawuran yang secara tidak langsung mencontohkan kekerasan, sehingga kontrol sosial keluarga menjadi tidak maksimal. Untuk menanggulangi itu perlu dibangun kontrol sosial komunitas dengan memanfaatkan waktu luang pemuda dengan kegiatan yang lebih produktif.

K E SI M PU L A N

Artikel ini menunjukkan bahwa keluarga gagal melakukan kontrol sosial kepada anak dalam keterlibatannya dengan kekerasan. Pola asuh permisif yang diterapkan dalam keluarga tidak menumbuhkan ikat-an sosial yang kuat, sehingga komitmen anak untuk melaksanakan nilai yang baik dalam keluarga menjadi lemah. Anak tidak memiliki self-control dan pikiran yang “kritis” terhadap tindakan mereka. Ke-luarga memiliki potensi kontrol dalam produksi ide serta pembatasan interaksi anak kepada pihak lain yang memiliki potensi membuat anak terlibat dalam tawuran. Potensi itu tidak dimaksimalkan karena adanya kesalahan dalam penerapan pendekatan pola asuh yang tepat.

Dalam rangka menangkal pengaruh buruk lingkungan sosial ada usaha-usaha dari keluarga untuk menerapkan mekanisme kontrol langsung dan tidak langsung. Mekanisme langsung misalnya nasi-hat/omelan biasanya lebih sering dilakukan setelah anak melakukan kekerasan, sedangkan mekanisme kontrol tidak langsung misalnya melalui penanaman nilai norma dan batasan nilai bagi anak melalui kegiatan keseharian yang memiliki makna simbolik. Mekanisme kon-trol langsung berada pada jangkauan yang sempit dan hanya terbatas pada kontrol kepada anak. Mekanisme tidak langsung bisa menja-di benteng diri bagi anak dalam bertindak, sayangnya inkonsistensi orang tua dalam mengontrol anak menyebabkan pengaruh mereka dalam kondisi tertentu kalah dengan pengaruh lingkungan (teman bermain dan lainnya).

Artikel ini juga menunjukkan kelemahan penggunaan konsep ikat-an sosial yang dikemukakan Hirschi. Konsep Hirschi lemah dalam

Page 23: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 181

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

mengidentifikasi bagaimana aspek-aspek dalam ikatan sosial yang ada berdinamika dan digunakan dalam mengontrol anak. Selain itu konsep Hirscis seolah memandang bahwa ikatan sosial tidak selalu merujuk kepada “good institution”, padahal ada institusi yang memi-liki karakter tidak baik dan ikatan sosial dengan institusi seperti itu justru dapat menimbulkan perilaku kekerasan. Konsep Hirschi juga tidak mampu menjelaskan alasan mengapa institusi yang dianggap baik tidak berhasil di dalam komunitas dengan kondisi lingkungan sosial ketetanggaan yang buruk karena dalam konteks kontrol, ikatan seseorang dengan individu tidak dapat dipisahkan dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Selanjutnya, keluarga sebagai agen so-sialisasi primer memiliki potensi peran yang besar terutama dalam aspek interaksi untuk mengonstruksi dan dekonstruksi ide dan aspek attachment (ikatan emosional dan kepercayaan). Diperlukan pendekat-an dan penerapan pola asuh yang tepat oleh keluarga untuk mencegah dan mengontrol anak dari keterlibatan dalam kekerasan kolektif.

DA F TA R PUS TA K A

Aguiirre, Benigno. E. 2002. “Social Control in Cuba.” Latin Americn Politics and Society 44(2):67-98

Anderson, Kristin L. 2010. “Conflict, Power and Violence in Famili-es.” National Council on Family Relations 72(3):726-742

Arthur Christine and Roger Clark. 2009. “Determinants of Domestic Violence: A Cross-National Study.” International Journal of Socio-logy Of Family 35(2):147-167

Babbie, Earl. 2010. The Practice of Social Research. 12th ed. Belmont CA: Wadsworth Cengage Learning

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta. Peta Kawasan Rawan Konflik Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Diakses dari http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/download/bank-data/PETA_KAWASAN_RAWAN_KONFLIK_PROVINSI_DKI_JAKARTA.pdf

Baird, Adam. 2012. “The Violent Gang and The Construction Of Masculinity Amongst Socially Excluded Young Men.” Safer Com-munities 11(4):179-190

Baumrind, D. 1966. “Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior.” Child Development 37(4):887-907.

Page 24: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

182 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Baumrind, D. 1991. “The influence of parenting style on adoles-cent competence and substance use.” Journal of Early Adolescence 11(1):56-95

Berita Resmi Statistik Indeks Potensi Kerawanan Sosial. BPS DKI Jakarta. No 16/03/31/Th. XVI/27 Maret 2014

Black, Donald. 1984. Toward a General Theory of Social Control Vo-lume 1 Fundamentals. London: Academic Press Inc.

Booklet Informasi Statistik Data Strategis DKI Jakarta Desember 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.

Boyd, Denise G and Helen L. Bee. 2014. Lifespan Development. New York: Pearson.

Creswell, J. 2009. Research Design. Thousand Oaks, Calif.: Sage Pub-lications

Crosswhite, Jennifer M. and Jennifer L. Kerpelman. 2009. “Coercion Theory, Self-Control, and Social Information Processing: Unders-tanding Potential Mediators for How Parents Influence Deviant Behavior.” Deviant Behavior 30(7):611-46.

Darmajanti, Linda. 2013. “The Art of Violence”. Art Reconstruction of Violence Culture in Multicultural Community Urban Poor Ja-karta.” Prosiding. The 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globalization.

Davis, L. Ricard. 2011. “Violent Behaviour and Positive Parenting.” Journal of Aggression, Conflict and Peace Research 3(3):173-177

Freire, Paulo. 2005. “Pedagogy of the Oppressed (30th Anniversary Edi-tion Translate by Myra Bergman Ramos). Continuum: New York

Harding J David. 2009. “Violence, Older Peers and Socialization of Adolescent Boys in Disadvantaged Neighborhoods.” American So-ciological Review 74(3):445-464

Hoffman, John P. 2003. “A Contextual Analysis of Differential Asso-cition, Social Control, and Strain Theories of Deliquency.” Social Forces 81(3):753-785

Katalog Badan Pusat Statistik: 4401002 Statistik Kriminal 2014Klein, David M and James M. White. 2007. Family Theories: An

Introduction. Sage PublicationKrohn, Marvin D, Lonn Lanza-Kaduce, and Ronald L. Akers. 1984.

“Community Context and Theories of Deviant Behavior: An Exa-mination Of Social Learning and Social Bonding Theories.” The Sociological Quarterly 25(3):353-372

Page 25: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

K O N T R O L S O S I A L K E L U A R G A | 183

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

Kulis, Stephen, Flavio Francisco Marsiglia, Diane Sicotte, and Tanya Nieri. 2007. “Neighborhood Effect on Youth Substance Use in A Southwetern City.” Sociological Perspective 50(2):273-301

Leventhal, Tama and Jeanne Brooks-Gunn. 2000. “The Neighborho-ods They Live in: The Effect Of Neighbohood Residence on Child and Adolescent Outcomes.” Psychological Bulleti 126(2):309-337

Munawar, 2013.”Hubungan Konflik Antar Warga dengan Keaman-an Kemanusiaan dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Tawuran Warga di Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat 2010-2011).” Jurnal Ketahanan Nasional 19(1):26-31.

Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Qu-antiative Approaches. Toronto: Pearson.

Nilan, Pam, Argyo Demartoto and Agung Wibowo. 2011. “Young Men and Peer Fighting in Solo, Indonesia.” Men and Masculinities 14(4):470-490

Galster, George C. 2010. The Mechanism of Neighborhood Effect Theory, Evidance and Policy Implication: Wyne State University

Ray, Larry. Volence and Society. 2012. London: Sage PubRelva, Ines Carvalho, Otilia Monterio, and Catarina Pinheiro Mota.

2013. “An Exploration Of Sibling Violence Predictors.” Journal Of Peace Rsesearch 5(1):47-61

Sampson, Robet J., Jeffrey D. Morenoff, and Thomas Gannon-Rowley. 2002. “Assessing ‘Neighborhood Effects’: Social Processes and New Directions in Research.” Annual Review of Sociology.28:443-478

South, Scott J and Keyle D. Crowder. 1999. “Neighbor Effect on Family Formation: Concentrated Poverty and Beyond.” American Sociological Review 64(1):113-132

Suparlan, Henricus. 2014. “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia.” Jurnal Filsafat 25(1):1-19

Tadie, Jerome. 2009. Wilayah Kekerasan di Jakarta. Depok: Masup Jakarta

Tilly, Charles. 2003. The Politics of Collective Violence. New York: Cambridge University Press

Van Hasselt, Vincent B. Et . al. 1984. Handbook of Family Violence. New York: Plenum Press.

Varshney, Ashutosh. 2010. Collective Violence in Indonesia. New York: McGraw Hill

Page 26: DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759 Kontrol Sosial Keluarga dan ...

184 | D W I S E M B O D O A J I

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 22 , No. 2 , Ju l i 2017: 159-184

World Bank Social Development, Conflict, Crime and Violence Team. 2011. Violence and The City: Understanding and Supporting Community Responses to Urban Violence.

Winton, Ailsa. 2004. “Urban Violence: A Guide to the Literature.” Environment and Urbanization 16(2):165-84

Zimmerman, Gregory M and Steven F Messner. 2010. “Neighborho-od Context and the Gender Gap in Adolescent Violent Crime.” American Sociological Review 75(6):985-980