DK2P1 Ginjal
-
Upload
gusti-ahmad-faiz -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
description
Transcript of DK2P1 Ginjal
Fungsi ginjal dan saluran kemih (Nomor 3)
Ginjal memiliki beberapa fungsi, yaitu :
a) Fungsi Regulasi
Ginjal mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar elektrolit CES, termasuk
elektrolit yang penting dalam mempertahankan eksitabilitas saraf dan otot.
Ginjal membantu mempertahankan pH yang sesuai dengan membuang kelebihan
H+ (asam) atau HCO3- (basa) di urin.
Ginjal membantu mempertahankan volume plasma yang sesuai, yang penting
dalam regulasi jangka panjang tekanan darah arteri, dengan mengontrol
keseimbangan garam di tubuh. Volume CES, termasuk volume plasma,
mencerminkan jumlah garam total di CES, karena Na+ dan anion penyertanya,
Cl-, berperan dalam lebih dari 90% aktivitas osmotik (menahan air) CES.
Ginjal mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh, yang penting dalam
memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) CES. Peran ini penting dalam
mempertahankan stabilitas volume sel dengan menjaga air agar tidak berpindah
secara osmosis masuk atau keluar sel sehingga sel tidak membengkak atau
menciut.
b) Fungsi Ekskresi
Ginjal mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme di urin. Jika dibiarkan
menumpuk maka produk-produk sisa ini bersifat toksik bagi sel.
Ginjal juga banyak mengeluarkan senyawa asing yang masuk ke tubuh.
c) Fungsi Hormon
Ginjal menghasilkan eritropoietin, hormon yang merangsang sumsum tulang
untuk menghasilkan sel darah merah. Efek ini berperan dalam homeostasis
dengan membantu mempertahankan kandungan optimal O2 darah. Lebih dari 98%
O2 di darah terikat ke hemoglobin di dalam sel darah merah.
Ginjal juga menghasilkan renin, hormon yang memicu jalur renin-angiotensin-
aldosteron untuk mengontrol reabsorpsi Na+ di tubulus ginjal, yang penting dalam
pemeliharaan jangka panjang volume plasma dan tekanan darah arteri.
d) Fungsi Metabolik
Ginjal membantu mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Vitamin D
esensial untuk menyerap Ca2+ dari saluran cerna. Yang mana, kalsium juga
bermanfaat bagi tubuh karena memiliki beragam fungsi homeostatik.
Lauralee, Sherwood. 2011. Fisiologi Manusia. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Komposisi urin normal (Nomor 9 C)
Urin terdiri atas air (96%), urea (2%), dan 2% sisanya terdiri atas asam urat, kreatinin,
amonium, natrium, kalium, klorida, fosfat, sulfat, dan oksalat. Urin berwarna kuning jernih
karena adanya urobilin, suatu pigmen empedu yang diubah di usus, direabsorpsi, kemudian
diekskresikan oleh ginjal. Berat jenis urin antara 1020 – 1030. Sedangkan pH urin sekitar 6
(rentang normal 4,5 – 8). Orang dewasa yang sehat mengeluarkan 1000 – 1500 ml urin per
hari. Jumlah urin yang dihasilkan dan berat jenisnya bergantung pada asupan cairan dan
jumlah larutan yang diekskresi.
Nurachmah, elly, dan Rida angriani. 2011. Dasar-dasar Anatomi dan Fisiologi. Edisi Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.
Faktor yang mempengaruhi produksi urin (Nomor 10 B)
1. Pertumbuhan dan perkembangan
Usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urin. Pada usia lanjut volume
kandung kemih berkurang, perubahan fisiologis banyak ditemukan setelah usia 50 tahun.
Demikian juga wanita hamil sehingga frekuensi berkemih juga akan lebih sering.
2. Sosiokultural
Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat berkemih pada tempat tertutup
dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat berkemih pada lokasi terbuka.
3. Psikologis
Pada keadaan cemas dan stres akan meningkatkan stimulasi berkemih.
4. Kebiasaan seseorang
Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet sehingga ia tidak dapat berkemih
menggunakan pot urin.
5. Tonus otot
Eliminasi urin membutuhkan tonus otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis untuk
berkontraksi. Jika ada gangguan tonus otot, dorongan untuk berkemih juga akan berkurang.
Mekanisme awal yang menimbulkan proses berkemih volunter belum diketahui dengan pasti.
Salah satu peristiwa awal adalah relaksasi otot-otot dasar panggul, hal ini mungkin
menimbulkan tarikan yang cukup besar pada otot detrusor untuk merangsang kontraksi.
Kontraksi otot-otot perineum dan sfingter eksterna dapat dilakukan secara volunter sehingga
mampu mencegah urin mengalir melewati uretra atau menghentikan aliran urin saat sedang
berkemih.
6. Intake cairan dan makanan
Alkohol menghambat anti diuretik hormon, kopi, teh, coklat, dan cola (mengandung kafein)
dapat meningkatkan pembuangan dan ekskresi urin.
7. Kondisi penyakit
Pada pasien yang deman akan terjadi penurunan produksi urin karena banyak cairan yang
dikeluarkan melalui kulit. Peradangan dan iritasi organ kemih menyebabkan retensi urin.
8. Pembedahan
Penggunaan anastesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi urin akan menurun.
9. Pengobatan
Penggunaan diuretik meningkatkan output urin, anti kolinergik dan antihipertensi
menimbulkan retensi urin.
10. Pemeriksaan diagnostik
Intravenus pyelogram dimana pasien dibatasi intake sebelum prosedur untuk mengurangi
output urin. Eliminasi urin atau mikturisi biasanya terjadi tanpa nyeri dengan frekuensi lima
sampai enam kali sehari, dan kadang-kadang sekali pada malam hari. Rata-rata individu
memproduksi dan mengeluarkan urin sebanyak 1200-1500 dalam 24 jam. Jumlah ini
tergantung asupan cairan, respirasi, suhu lingkungan, muntah atau diare. Proses berkemih
pada seseorang dapat mengalami gangguan sehingga tidak dapat berjalan dengan normal.
Kondisi umum yang terjadi sebagian besar adalah ketidakmampuan individu untuk berkemih
karena adanya obstruksi uretra. Pada kondisi ini perlu dilakukan intervensi untuk
mengosongkan kandung kemih yaitu dengan pemasangan kateter.
Tarwoto dan Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
1. Anatomi Ureter (Nomor 1 B)
Ureter merupakan saluran muskuler silindris urine yang mentranspor urin dari ginjal
menuju vesica urinaria.
Merupakan organ retroperitoneal .
Panjang sekitar 20-30 cm diameter 1.7 cm
memiliki 3 penyempitan:
- Perbatasan pelvis renalis - ureter
- Peralihan ureter pars abdominalis ke pars pelvina
- Saat masuk ke dalam vesica urinaria
Penyempitan ini barperan sebagai lokasi stasis atau tersangkutnya batu pada saluran
kemih.
Untuk kepentingan pembedahan ureter dibagi menjadi 2 bagian :
1. Ureter pars abdominalis : yang berada dari pelvis renalis sampai menyilang vasa iliaka
2. ureter pars pelvika : mulai dari persilangan dengan vasa iliaka sampai masuk ke kandung
kemih
Untuk kepentingan radiology, dibagi 3 bagian :
1. 1/3 proksimal : dimulai dari pelvis renalis sampai batas atas sacrum
2. 1/3 medial : dimulai dari batas atas sacrum sampai batas bawah sacrum
3. 1/3 distal : dimulai dar batas bawah sacrum sampai masuk ke kandung kemih
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2. Lapisan tengah lapisan otot polos
3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik
yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Dibawah ini tampak
anatomi dari ureter.
Berbeda antara pria & wanita pada perjalanannya, dimana:
- Pada wanita berjalan dorsal ovarium dalam lig.cardinale 1-2 cm lateral cervix
uteri & ventral dari batas lateral vagina.
- Pada pria berjalan ventral dari cranial vesicula seminalis & lateral dari ductus
deferens.
Vaskularisasi :
- Arteriae : arteri yang memperdarahi ureter adalah ujung atas oleh arteri renalis,
bagian tengah oleh arteri testicularis atau arteri ovarica, dan didalam pelvis oleh
arteri vesicalis inferior
- Vena : vena dialirkan kedalam vena yang sesuai dengan arteri
Innervasi :
- plexus renalis, testicularis, dan plexus hypogastricus (didalam pelvis)
- serabut aferen berjalan bersama denga saraf simpatis dan masuk medulla spinalis
setinggi segmen lumbalis I dan II
Aliran limfe : Nodi aortici lateralis dan nodi iliaci
Richard S Snell. Clinical Neuroanatomy. 7th. Ed. Lippicott Williams and Wilkins. 2010.
Fisiologi ADH (Nomor 4 E)
Hormon ADH atau vasopresin memiliki fungsi untuk meningkatkan permeabilitas
tubulus distal dan duktus koligentes. Vasopresin diproduksi oleh beberapa badan sel saraf
spesifik di hipotalamus, yang kemudian disimpan di kelenjar hipofisis posterior, yang
melekat ke hipotalamus melalui sebuah tangkai tipis. Hipotalamus mengontrol pelepasan
vasopresin dari hipofisis posterior ke dalam darah. Dengan mekanisme umpan balik negative,
sekresi vasopresin dirangsang oleh defisit H2O ketika CES terlalu pekat/hipertonik dan dalam
keadaan dimana H2O harus dipertahankan dalam tubuh, sekresi vasopresin terhambat apabila
adanya kelebihan H20 ketika CES terlalu encer/hipotonik dan dalam keadaan dimana H2O
harus dikeluarkan melalui urin.
Vasopresin mencapai membrane basolateral sel tubulus yang melapisi tubulus distal dan
duktus koligentes melalui sistem sirkulasi. Di sini, vasopresin mengikat reseptor yang
spesifik untuknya. Pengikatan ini mengaktifkan sistem pembawa pesan kedua AMP siklik
(cAMP) di dalam sel tubulus, yang akhirnya meningkatkan permeabilitas membran luminal
terhadap H2O dengan mendorong penyisipan akuaporin di membran ini. Tanpa akuaporin ini,
membrane luminal bersifat impermeabel terhadap H2O. Setelah masuk ke dalam sel tubulus
dari filtrate melalui saluran air luminal yang diatur oleh vasopresin, H2O secara pasif
meninggalkan sel menuruni gradien osmotik menembus membran basolateral untuk masuk
ke cairan interstisium. Saluran H2O di membran basolateral selalu ada sehingga membran ini
selalu permeabel terhadap H2O. Dengan memungkinkan lebih banyak H2O merembes dari
lumen ke dalam sel tubulus, saluran-saluran luminal yang diatur oleh vasopresin ini
meningkatkan reabsorpsi H2O dari filtrat ke dalam cairan intersitisium.Respon tubulus
terhadap vasopresin bersifat berjenjang: semakin banyak terdapat vasopresin, dan semakin
banyak saluran air luminal yang disisipkan, maka semakin besar permeabilitas tubulus distal
dan duktus koligentes terhadap H2O. Namun, meningkatnya saluran air membran luminal
tidak permanen. Saluran diambil kembali ketika sekresi vasopresin berkurang dan aktivitas
cAMP juga berkurang. Karena itu, permeabilitas H2O berkurang ketika vasopresin
menghilang.
Lauralee, Sherwood. 2011. Fisiologi Manusia. Edisi 6. Jakarta: EGC.