DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI...

12
EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. I, No. 2, Desember 2010, 123 - 134 DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH Agnes Ratih Ari Indrayani Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan melihat tingkat disparitas pendapatan antar wilayah pada 10 kabupaten / kota dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah pada dua kurun waktu, yaitu tahun 1996- 1999 dan tahun 2004-2007. Kajian ini berlandaskan pada hipotesis Simon Kuznets (1955) yang menyebutkan bahwa ketimpangan (disparitas) pendapatan cenderung meningkat pada tahap awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya mengikuti kurva U-terbalik. Dengan menggunakan Indeks Williamson diperoleh hasil bahwa semakin tinggi pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atau semakin besar pendapatan per kapita, semakin besar pula disparitas pendapatan yang terjadi. Disparitas berfluktuasi dan cenderung meningkat pada tahap-tahap pembangunan berikutnya. Kata kunci : distribusi pendapatan, disparitas pendapatan. PENDAHULUAN Proses pertumbuhan pendapatan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang semakin mengglobal. Tingkat dan laju pertumbuhan rata-rata pendapatan nasional bukanlah pencerminan keberhasilan upaya pembangunan. Meskipun tingkat pertumbuhan perekonomian Indonesia semakin membaik, namun ditinjau dari sisi struktural ternyata ekonomi nasional masih rapuh. Bahkan tingkat kesenjangan pendapatan antar sektor ekonomi, antar daerah dan antar pelaku ekonomi semakin timpang, tingkat pengangguran yang masih tinggi dan penduduk miskin secara absolut dan relatif cenderung meningkat. Pada tahun 1975, propinsi termiskin hanya mendapat satu per enam dari PDB per kapita propinsi terkaya, tidak termasuk migas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar dalam pendapatan antar daerah. Jika Pendapatan dari kekayaan alam dimasukkan, maka perbandingannya akan semakin membesar menjadi satu per dua puluh lima. Setelah 25 tahun kesenjangan tidak pudar, bahkan terlihat semakin jelas. Pada tahun 2000, propinsi termiskin hanya mendapat satu per sembilan dari PDRB per kapita daerah propinsi terkaya di luar migas. Jika migas dimasukkan, perbandingannya akan melonjak menjadi satu per dua belas (Hill, 2000). Tabel berikut memberikan gambaran mengenai kondisi ketimpangan pendapatan (income inequality) yang terjadi di negara- negara berkembang.

Transcript of DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI...

Page 1: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

Agnes Ratih Ari IndrayaniDesember 123EfEktif Jurnal Bisnis dan EkonomiVol. I, No. 2, Desember 2010, 123 - 134

DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

Agnes Ratih Ari IndrayaniFakultas Ekonomi Universitas Janabadra

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan melihat tingkat disparitas pendapatan antar wilayah pada 10 kabupaten / kota dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah pada dua kurun waktu, yaitu tahun 1996-1999 dan tahun 2004-2007. Kajian ini berlandaskan pada hipotesis Simon Kuznets (1955) yang menyebutkan bahwa ketimpangan (disparitas) pendapatan cenderung meningkat pada tahap awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya mengikuti kurva U-terbalik.

Dengan menggunakan Indeks Williamson diperoleh hasil bahwa semakin tinggi pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atau semakin besar pendapatan per kapita, semakin besar pula disparitas pendapatan yang terjadi. Disparitas berfluktuasi dan cenderung meningkat pada tahap-tahap pembangunan berikutnya.

Kata kunci : distribusi pendapatan, disparitas pendapatan.

PENDAHULUANProses pertumbuhan pendapatan,

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang semakin mengglobal. Tingkat dan laju pertumbuhan rata-rata pendapatan nasional bukanlah pencerminan keberhasilan upaya pembangunan. Meskipun tingkat pertumbuhan perekonomian Indonesia semakin membaik, namun ditinjau dari sisi struktural ternyata ekonomi nasional masih rapuh. Bahkan tingkat kesenjangan pendapatan antar sektor ekonomi, antar daerah dan antar pelaku ekonomi semakin timpang, tingkat pengangguran yang masih tinggi dan penduduk miskin secara absolut dan relatif cenderung meningkat.

Pada tahun 1975, propinsi termiskin hanya mendapat satu per enam dari PDB per kapita propinsi terkaya, tidak termasuk migas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar dalam pendapatan antar daerah. Jika Pendapatan dari kekayaan alam dimasukkan, maka perbandingannya

akan semakin membesar menjadi satu per dua puluh lima. Setelah 25 tahun kesenjangan tidak pudar, bahkan terlihat semakin jelas. Pada tahun 2000, propinsi termiskin hanya mendapat satu per sembilan dari PDRB per kapita daerah propinsi terkaya di luar migas. Jika migas dimasukkan, perbandingannya akan melonjak menjadi satu per dua belas (Hill, 2000).

Tabel berikut memberikan gambaran mengenai kondisi ketimpangan pendapatan (income inequality) yang terjadi di negara-negara berkembang.

Page 2: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember124

NegaraKuintil 10%

tertinggi Tahunpertama ke-2 ke-3 ke-4 ke-5BangladeshBodswanaBrasilKolombiaKostarikaGhanaGuatemalaHondurasIndiaJamaikaPakistanPeruFiliphina Afrika selatanZambia

9,02,22,02,74,25,62,62,78,96,78,82,95,42,03,3

12,54,95,76,68,910,15,96,712,310,712,58,38,84,37,6

15,98,210,010,813,714,99,811,816,015,015,914,113,18,312,5

21,214,418,018,021,722,817,619,921,221,720,621,520,518,920,0

41,370,364,461,951,546,664,158,941,646,042,353,252,366,556,6

25,456,646,746,534,830,648,342,227,430,328,337,236,346,941,0

200019931998199920001999200019992000200019992000200019951998

Sumber: World Development Indicators 2004, Tabel 2.7., hal. 60-62.

Dalam tabel 1 terlihat bahwa di Zambia 20% penduduk termiskin (kuintil pertama) dari populasi hanya menerima 3,3% dari pendapatan, sementara 10% dan 20% kelompok terkaya (kuintil kelima) masing-masing menerima 41,0% dan 56,6%. Sebaliknya di dalam sebuah negara maju seperti Jepang, 20% penduduk termiskin menerima pangsa pendapatan yang lebih tinggi, sekitar 8,7%, sementara 10% dan 20% penduduk terkaya masing-masing hanya menerima 22,4% dan 37,5%.

NegaraGNI Per

Kapita 2002 (SAS)

Pangsa Pendapatan 40% Rumah Tangga

Termiskin

Rasio 20% Terkaya dengan 20% Termiskin

Koefisien Gini

KenyaBangladeshIndonesiaSri LangkaFilipinaParaguayJamaikaBrazilMalaysiaKosta Rika

360380710850

1.0301.1702.6902.8303.5404.070

14, 921,520,319,814,28,7

17,47,7

12,513,1

9,14,65,25,49,7

27,46,7

32,212,312,3

0,450,320,340,340,460,380,380,590,490,47

Sumber: World Development Indicators, 2004, tabel 1.1 dan tabel 2.7

Tabel 1. Perkiraan Distribusi Pendapatan, Dekade Akhir 1990-an & Awal 2000-an

Tabel 2. Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan di Negara Berkembang

1990 – 2000-an

Pada tabel 2 disajikan angka tingkat pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan pada sepuluh negara berkembang. Di sini distribusi pendapatan diukur dalam tiga cara: sebagai persentase atau porsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk termiskin terhadap pendapatan nasional, sebagai rasio porsi pendapatan yang diterima oleh 20% penduduk terkaya dibagi dengan porsi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin; diukur oleh

Page 3: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

Agnes Ratih Ari IndrayaniDesember 125

koefisien Gini. Urutan negara dalam tabel tersebut diatur dari yang terkecil hingga tertinggi menurut pendapatan per kapita tahun 2002.

Yang terlihat pada tabel 2 tersebut adalah bahwa pendapatan perkapita tidak terlalu berkorelasi dengan ketiga ukuran ketimpangan distribusi pendapatan. Sebagai contoh, Bangladesh dan Kenya memiliki pendapatan yang sama rendahnya, tetapi Kenya lebih timpang. Dari pengamatan yang sama bias didapat di antara Negara-negara berpendapatan menengah seperti Jamaika dan Brazil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di berbagai Negara berkembang tidak terdapat hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan perkapita dengan tingkat konsentrasi atau ketimpangan distribusi pendapatan. Walaupun ketimpangan tidak mempunyai korelasi yang tinggi dengan pendapatan per kapita, namun masih ada sedikit kemungkinan terdapat korelasi nonlinear, seperti yang diisyaratkan oleh hipotesis kurva U-terbalik, jika Negara-negara berpendapatan tinggi ikut dimasukkan ke dalam pembahasan.

Dalam 30 tahun terakhir (sejak tahun 1975), kedudukan penting Jawa sebagai pusat ekonomi dan populasi nyaris tidak mengalami perubahan berarti. Bahkan Jawa terlihat semakin mengokohkan supermasi ekonominya atas wilayah lain dengan meningkatkan pangsanya dalam PDB dari 47% pada tahun 1975 menjadi 55% pada tahun 2002 dan pada saat yang sama menurunkan pangsanya dalam populasi nasional dari 63 persen menjadi 59 persen (BPS, 1975-2006). Untuk periode yang hampir sama (1975-1995), secara daerah pertumbuhan ekonomi antar daerah di kawasan timur Indonesia jauh tertinggal dibanding kawasan barat Indonesia.

Studi empiris konvergensi di Indonesia oleh Esmara (1975) menunjukkan bahwa disparitas pendapatan antar daerah propinsi di Indonesia termasuk tinggi di antara negara-negara dunia ketiga

lainnya. Dengan menggunakan indeks Williamson, Esmara menghitung nilai indeks pada tahun 1972 adalah sebesar 0,522. Namun dengan mengeluarkan pendapatan migas, kesenjangan antar daerah tergolong rendah.

Perbedaan kemajuan pembangunan antar kabupaten/kota ini, salah satunya, disebabkan oleh karakteristik yang berbeda antara satu daerah dan daearah lainnya. Perbedaan dimaksud dapat berupa letak geografis, sumber daya (resources) dan sebagainya. Implikasinya masing-masing daerah memiliki keunggulan yang berbeda di dalam sector ekonominya. Keunggulan ini sangat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Sejauhmana tingkat ketidakmerataan pendapatan antarwilayah di Propinsi Jawa Tengah beserta kecenderungannya.

LANDASAN TEORI1. Ketimpangan Pendapatan dan

Pertumbuhan EkonomiDiasumsikan bahwa kesejahteraan sosial

berhubungan positif dengan pendapatan per kapita, namun berhubungan negatif dengan kemiskinan dan tingkat ketimpangan. Masalah yang ditimbulkan oleh kemiskinan absolut sudah jelas. Ketimpangan relatif juga merupakan masalah yang tidak bisa diabaikan.

Ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien, pendapatan rata-rata dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah seiring tingginya ketimpangan. Ketimpangan yang terjadi di antara penduduk yang berada di atas garis kemiskinan adalah bahwa disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Ketimpangan yang tinggi juga memperkuat kekuatan politis golongan kaya, di samping kekuatan tawar-menawar ekonomi mereka.

Page 4: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember126

Berkaitan berbagai hal tersebut maka dapat dituliskan rumus kesejahteraan (W) sebagai berikut:

W = W ( Y, I, P ) Dimana Y adalah pendapatan per kapita dan berhubungan positif dengan fungsi kesejahteraan, I adalah ketimpangan dan berhubungan negatif, dan P adalah kemiskinan absolut dan juga berhubungan negatif. Ketiga komponen ini mempunyai signifikansi yang berbeda-beda, dan perlu mempertimbangkan ketiga elemen tersebut untuk mendapatkan penilaian menyeluruh terhadap kesejahteraan di negara berkembang.

Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di Negara-negara sedang berkembang (Todaro, 2008). Banyak Negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan orang tidak memberikan pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaan maupun perkotaan. Ditribusi pendapatan antara kelompok kaya dan dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.

Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak Negara sedang berkembang terutama negra-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi (Tambunan, 2001). Semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar

perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Studi Ahuja (1997) mengenai negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama periode 19701-qan dan 1980-an, pada saat negara-negara tersebut mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi (Asian miracle) pada awal dekade 1990-an ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali.

Sejumlah studi empirik berusaha menjelaskan faktor-faktor penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan. Beberapa studi menunjukkan beberapa variabel makro-ekonomi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan seperti inflasi dan pengangguran, Sementara studi lain menunjukkan pengaruh kebijakan fiskal terutama tingkat pajak juga berpengaruh terhadap ketidakmerataan distribusi pendapatan menurut Auten dan Carrol (1999). Beberapa studi empiris berfokus pada hipotesis kurva U terbalik Kuznets, antara lain Mushinski dan Thomson (2001) yang menguji hubungan antara ketidakmerataan distribusi pendapatan dan tingkat pembangunan.

2. Hipotesis Kuznets dan WilliamsonPembahasan di antara para ahli

ekonomi pembangunan tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi di negara-negara sebagi negara sedang berkembang (NSB) terhadap distribusi pendapatan dan kadar kemiskinan masih berlanjut. Kajian Kuznets (1955), dan Wiliamson (1965) menemukan ketidakseimbangan (sering disebut ketimpangan) cenderung meningkat pada tahap awal pembangunan ekonomi dan menurun pada tahap-tahap berikutnya mengikuti bentuk kurva U-terbalik.

Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjtnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets ”U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan seperti yang diukur, misalnya, oleh koefisien

Page 5: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

Agnes Ratih Ari IndrayaniDesember 127

Gini, tampak seperti kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI per kapita, pada beberapa kasus penelitian Kuznets, seperti terlihat pada bagan berikut:

Gambar 1. Kurva Kuznets

Dewasa ini terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal pembangunan distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengkaitkan dengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut model Lewis, tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi.

Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Di samping itu imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun. Jadi walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihat bahwa dampak pengayaan sektor tradisional dan sektor modern terhadap ketimpangan pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah,

sehingga perubahan neto pada ketimpangan bersifat mendua dan validitas empiris kurva Kuznets masih patut dipertanyakan.

Terlepas dari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunan tetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari. Sekarang ini telah cukup banyak studi kasus dan contoh-contoh spesifik dari berbagai negara seperti Taiwan, korea Selatan , Kosta Rika, dan Sri Lanka yang menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan nasional dapat dibarengi dengan penurunan ketimpangan pendapatan atau pemerataan. Namun hal ini tergantung pada karakter proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara.

Ketidakmerataan antar daerah cenderung meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan. Lebih-lebih bila laju pertumbuhan menempati urutan terdepan dalam tujuan pembangunan nasional, sehingga kegiatan investasi akan lebih efisien dan tingkat rentabilitas relatif tinggi bila lokasinya berada di wilayah yang telah berkembang. Kemudian setelah wilayah makmur mencapai kejenuhan, ketidakmerataan pertambahannya mengecil, kemudian konstan, dan akhirnya menurun pada saat laju pertumbuhan antar daerah sudah lebih mapan, di mana tingkat produktivitas antar daerah dan antar sektor sudah relatif tinggi. Konsep ini lebih dikenal dengan hipotesis ”U” terbalik. Konsep ”U” terbalik ini bagi Williamson mengartikan bahwa ketidakmerataan antar daerah akan menelusuri kurva ”U” terbalik sepanjang jalur pertumbuhan nasional yang berkelanjutan.

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsenterasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang” dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

0,75 – 0,50 – 0,35 – 0,25 – 0

Koe

fisie

n G

ini

Pendapatan nasional bruto per kapita

Page 6: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember128

Kesenjangan yang tercermin pada perbedaan tingkat kemakmuran penduduk antar daerah, dapat diterangkan melalui pola spasial, yang menyatakan bahwa perbedaan regional muncul dari pembangunan ekonomi yang tak terelak oleh kekuatan-kekuatan dalam proses mekanisme pasar. Tak ada suatu daerah yang dapat mencapai kemakmuran tanpa pengaruh dari kemakmuran daerah lain. Pembangunan ekonomi bertitik tolak dari pemanfaatan sumberdaya alam seperti migas. Hasil pengolahannya dapat meningkatkan pendapatan dan akumulasi modal untuk pembangunan sektor lainnya terutama industri. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung melalui suatu proses kausasi kumulatif, jika pengaruh pembangunan industri strategis dapat merangsang investasi pada sektor lainnya yang terkait serta dapat memperluas kesempatan kerja, dan pada gilirannya dapat mendorong kemakmuran daerah sekitarnya.

Elizando dan Krugman berpendapat ketidakseimbangan antara wilayah (inter-regional inequalities) dapat terjadi jika tingkat campur tangan pihak pemerintah pusat semakin besar, terutama bila aktivitas ekonomi berpindah dari rejim perdagangan liberal (bebas) kepada perdagangan terbatas (restrictive trade regime), dan sebaliknya. Walaupun demikian disadari campur tangan pemerintah pusat dalam peraturan perdagangan cenderung bertujuan menurunkan ketidakseimbangan antar wilayah.

Dalam konteks lingkungan internasional, masalah ketidakseimbangan antar wilayah lebih banyak ditemui di NSB, di banding di negara-negara maju. Menurut Myrdal (Todaro, 2008) ada dua alasan, pertama, pengaruh penyebaran (spread effect) menjadi lebih kuat dan pengaruh tarikan (backwash effect) lebih lemah pada tingkat ketidakseimbangan yang lebih tinggi; dan kedua, menyangkut peranan pemerintah.

METODE PENELITIAN1. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder, meliputi data pendapatan (Produk Domestik Regional Bruto-PDRB migas dan non migas), PDRB per kapita, dan Jumlah Penduduk dari sepuluh (10) kabupaten/kota dengan PDRB terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Kesepuluh daerah tersebut adalah: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Klaten, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes, Kotamadya Surakarta, Kotamadya Salatiga, Kotamadya Semarang.

Data kajian adalah selama dua kurun waktu. Kurun waktu pertama tahun 1996-1999, kurun waktu ke dua tahun 2004-2007. Pada Kabupaten Cilacap terdapat 2 (dua) data pendapatan per kapita. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data pendapatan per kapita Kabupaten Cilacap tanpa memasukkan pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi.

2. Teknik Analisis DataUntuk melihat arah ketidakseimbangan

/ ketimpangan pendapatan antar wilayah digunakan formula koefisien Williamson, yaitu:

Vw = [Σ(y1 - y)2 F1/N] / y

Dimana:Vw = koefisien WilliamsonY1 = Pendapatan per kapita kabupaten /

kota i dalam propinsi Jawa TengahY = Pendapatan per kapita Propinsi Jawa

TengahN = Jumlah penduduk Propinsi Jawa

TengahFi = Jumlah penduduk kabupaten/kota i dalam

wilayah Propinsi Jawa Tengah

Pendapatan wilayah dinilai seimbang jika nilai koefisien sama dengan atau mendekati nol. Demikian pula sebaliknya, ketidakseimbangan akan terwujud jika

Page 7: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

Agnes Ratih Ari IndrayaniDesember 129

nilai koefisien semakin lebih besar dari nol. Ketidakseimbangan juga dapat ditunjukkan melalui arah aliran koefisien dari tahun ke tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN1. Situasi Disparitas Distribusi

Pendapatan Kurun Waktu Pertama (1996-1999)Situasi disparitas distribusi pendapatan

di 10 kabupaten / kota di Jawa Tengah yang memiliki PDRB tertinggi adalah sebagai berikut:

NO WILAYAHTAHUN

1996 1997 1998 1999

1 Kab. Cilacap 0,86 0,89 0,94 0,96

2 Kab.Klaten 0,16 0,18 0,12 0,17

3 Kab.Karanganyar 0,40 0,13 0,38 0,40

4 Kab. Kudus 0,23 0,23 0,20 0,24

5 Kab. Semarang 0,20 0,21 0,16 0,17

6 Kab. Kendal 0,05 0,05 0,01 0,05

7 Kab.Brebes 0.59 0,58 0,59 0,67

8 Kota Surakarta 0,59 0,52 0,43 0,37

9 Kota Salatiga 0,24 0,21 0,24 0,17

10 Kota Semarang 0,48 0,53 0,62 0,60Sumber: Data diolah

Angka Indeks Williamson pada 10 wilayah kabupaten / kota tersebut sebagian besar menunjukkan angka yang fluktuatif. Indeks Williamson yang fluktuatif dalam kurun waktu 4 tahun tersebut meliputi wilayah: Klaten, Karanganyar, Kudus, Kendal, Brebes, dan Salatiga.

Angka pendapatan per kapita Kabupaten Cilacap didasarkan pada angka pendapatan tanpa minyak dan gas. Selama empat tahun wilayah tersebut mengalami peningkatan angka indeks Williamson yang

terus menerus. Artinya Kabupaten Cilacap dari waktu ke waktu mengalami situasi ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin lama semakin besar. Angka indeks Williamson di wilayah itu pada tahun 1996 pada pendapatan per kapita tanpa minyak dan gas menunjukkan angka Indeks sebesar 0,86; tahun 1997 sebesar 0,89; tahun 1998 sebesar 0,94 dan tahun 1999 sebesar 0,96. Hal ini mengartikan bahwa distribusi pendapatan di Kabupaten Cilacap dari waktu ke waktu semakin memburuk, kesenjangan ekonomi / ketimpangan distribusi pendapatan semakin melebar.

Tabel 3. Indeks Williamson Kurun Waktu Pertama (1996-1999)

Pendapatan per kapita kabupaten Cilacap dengan memasukkan pendapatan yang berasal dari minyak dan gas memunculkan angka Indeks Williamson yang lebih besar daripada pendapatan per kapita tanpa minyak dan gas. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan yang semakin besar justru memunculkan kesenjangan/ketimpangan dis-tribusi pendapatan yang semakin besar.

Sedangkan yang terjadi pada Kotamadya Surakarta adalah sebaliknya. Di Kotamadya Surakarta, selama kurun waktu tersebut

Page 8: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember130

mengalami penurunan angka Indeks Williamson. Angka Indeks Williamson di wilayah tersebut terlihat pada tahun 1996 sebesar 0,59; satu tahun berikutnya turun menjadi 0,52. Kemudian pada tahun 1998 sebesar 0,43 dan turun lagi menjadi sebesar 0,37 pada tahun 1999. Hal ini berarti di wilayah Kotamadya Surakarta selama kurun waktu 4 tahun tersebut terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan dengan terjadinya kemerataan yang semakin baik dalam hal distribusi pendapatan.

Pada daerah-daerah lain, kabupaten Klaten Indeks Williamson pada kurun waktu pertama menunjukkan angka ketimpangan yang masuk kategori rendah. Pada tahun 1996 indeks sebesar 0,16; tahun 1997 naik menjadi 0,18; tahun 1998 turun lagi menjadi 0,12 sedangkan tahun 1999 kembali naik menjadi 0,17. Dengan demikian situasi ketimpangan ekonomi di kabupaten klaten masuk kategori rendah dan bersifat fluktuatif pada periode pertama.

Pada kabupaten Karanganyar, angka indeks relatif lebih tinggi daripada kabupaten Klaten, pada beberapa waktu mengalami situasi ketimpangan yang masuk kategori sedang, yaitu sebesar 0,4 pada tahun 1996 dan tahun 2000. Indeks pada tahun 1997 mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu menjadi sebesar 0,13; kemudian naik lagi menjadi 0,38 pada tahun 1998, dan tahun 1999 situasi ketimpangm kembali terlihat seperti pada tahun 1996 yaitu kembali naik menjadi 0,4.

Pada wilayah kabupaten Kudus pada 2 tahun pertama mengalami angka indeks yang sama yaitu sebesar 0,23; kemudian tahun berikutnya yaitu tahun 1998 turun menjadi 0,2; tetapi satu tahun kemudia naik lagi menjadi sebesar 0,24. Hampir sama dengan kabupaten Kudus, kabupaten Semarang juga memiliki angka ketimpangn ekonomi yang cukup fluktuatif.

Pada kabupaten Kendal dan Brebes, fluktuasi yang terjadi tidak terlalu tajam. Selama 2 tahun pertama kondisi ketimpangan yang terjadi menunjukkan angka besaran yang sama yaitu 0,05; kemudian tahun 1998

mengalami penurunan menjadi sebesar 0,01 dan yahun berukutnya 1999 angka indeks kembali naik pada angka sebelumnya yaitu 0,05. Sedangkan pada Kabupaten Brebes angka ketimpangan ekonomi ternyata cukup tinggi. Indeks Williamson menunjukkan angka yang masuk kategori ketimpangan yang tinggi karena lebih dari 0,5. Selama 4 tahun tersebut ketimpangan ekonomi menunjukkan kecenderungan untuk meningkat dari tahun ke tahun, karena angka indeks secara berturut-turut menunjukkan angka sebesar 0,59; kemudian tahun berikutnya sempat menurun menjadi 0,58; dan kemudian 2 tahun berikutnya terus mengalami kenaikan menjadi sebesar 0,59 dan 0,67. Hal ini mengindikasikan bahwa hipotesis Kuznet tidak terbukti terjadi di kabupaten Brebes karena dengan seiring terjadinya proses pembangunan ekonomi justru ada kecenderungan terjadi peningkatan ketimpangan ekonomi.

Pada Kotamadya Salatiga angka indeks menunjukkan situasi yang sangat fluktuatif, yaitu tahun 1996 sebesar 0,24; tahun 1997 turun menjadi 0,21 dan tahun berikutnya naik lagi menjadi 0,24 dan kemudian tahun 1999 kembali turun menjadi 0,17.

Melihat kecenderungan yang terjadi selama kurun waktu pertama yaitu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1999. ketimpangan distribusi pendapatan di Jawa tengah bersifat fluktuatif, tetapi kecenderungan yang ada adalah cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat pada 8 wilayah kabupaten / kota dari 10 wilayah kabupaten / kota yang diteliti. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan sementara, bahwa proses pembangunan ekonomi yang mengakibatkan peningkatan angka pertumbuhan ekonomi, tidak dengan sendirinya menciptakan kesejahteraan ekonomi yang merata / menciptakan pemerataan distribusi pendapatan seperti yang diteorikan oleh Simon Kuznets dengan hipotesis U terbalik-nya. Situasi yang ada justru sebaliknya, semakin meningkat angka pertumbuhan ekonomi karena terjadinya proses pembangunan ekonomi justru memunculkan ketimpangan distribusi pendapatan. Selain itu, melihat pada hasil

Page 9: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

Agnes Ratih Ari IndrayaniDesember 131

perhitungan pada Kabupaten cilacap yang memiliki dua angka pendapatan per kapita dengan dan tanpa memasukkan pendapatan dari minyak dan gas, menunjukkan bahwa pendapatan per kapita yang lebih besar (termasuk pendapatan dari minyak dan gas) ternyata justru memunculkan angka indeks Williamson yang semakin besar. Dengan demikian mengartikan bahwa dalam hal ini pendapatan daerah yang semakin besar tidak selalu mengakibatkan pemerataan distribusi pendapatan.

2. Situasi Disparitas Pendapatan pada Kurun Waktu ke Dua (2004-2007)Tahun 2004 sampai dengan 2007

merupakan kurun waktu ke dua dalam analisis yang dilakukan. Hasil perhitungan indeks Williamson adalah sebagai berikut:

NO WILAYAHTAHUN

2004 2005 2006 2007

1 Kab. Cilacap 0,82 0,86 1,88 0,89

2 Kab. Klaten 0,26 0,28 0,26 0,27

3 Kab. Karanganyar 0,05 0,01 0,02 0,02

4 Kab.Kudus 0,65 0,71 0,68 0,72

5 Kab. Semarang 0,08 0,06 0,15 0,03

6 Kab.Kendal 0,38 0,36 0,36 0,38

7 Kab.Brebes 0.51 0,49 0,47 0,48

8 Kota Surakarta 0,68 0,65 0,60 0,66

9 Kota Salatiga 0,11 0,12 0,10 0,10

10 Kota Sematarang 0,55 0,58 0,68 0,55Sumber: Data diolah

Pada tabel 4 terlihat bahwa angka indeks pada tingkat pendapatan dengan dan tanpa minyak dan gas, menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan / semakin besar. Hal ini mengartikan bahwa distribusi pendapatan di kabupaten Cilacap menunjukkan situasi

ketimpangan yang terus membesar dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu pertama, kondisi demikian juga terjadi, tetapi dengan angka indeks Willimson yang relative lebih kecil. Dengan demikian pada Kabupaten Cilacap, seiring terjadinya pembangunan ekonomi, justru terjadi ketimpangan ekonomi yang semakin besar dari waktu ke waktu. Pada tingkat pendapatan per kapita yang semakin besar juga memunculkan angka indeks Williamson yang semakin besar juga. Dengan demikian hipotesis U terbalik dari Simon Kuznets tidak terbukti. Justru situasi berkebalikan di mana semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula ketimpangan ekonomi yang terjadi.

Pada kabupaten Klaten indeks Williamson menunjukkan besaran yang fluktuatif. Pada tahun 2004 sebesar 0,26; tahun

Tabel 4. Indeks Wlliamson Kurun Waktu ke Dua (2004-2007)

2005 meningkat menjadi 0,28; kemudian tahun 2006 kembali pada angka 0,26; dan 2007 naik kembali menjadi 0,27. Situasi ini memiliki kemiripan dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu pertama tahun 1996-1999.

Page 10: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember132

Hal ini menunjukkan bahwa seiring melajunya proses pembangunan ekonomi di wilayah Klaten, terjadi dinamika yang sedemikian rupa dalam hal / usaha pemerataan distribusi pendapatan. Situasi demikian tentunya memunculkan harapan yang lebih besar, bahwa proses pembangunan ekonomi yang salah satunya ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan per kapita (Todaro, 2008) akan cukup mampu menciptakan kemerataan yang lebih baik / mempekecil ketimpangan ekonomi yang terjadi di Kabupaten Klaten.

Pada Kabupaten Karanganyar, indeks Williamson pada tahun 2004 sebesar 0,05; tahun 2005 turun menjadi 0,01; tahun 2006 dan 2007 memiliki angka indeks yang sama yaitu sebesar 0,02. Dengan demikian pada tahun 2006 mengalami penurunan secara signifikan, sebelum akhirnya mengalami sedikit kenaikan yaitu menjadi sebesar 0,02. Sedangkan pada kurun waktu pertama, Kabupaten Karanganyar memiliki angka indeks Williamson yang sangat fluktuatif dengan selisih angka Indeks yang sangat besar.

Dengan demikian perkembangan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar dalam hal kondisi kemerataan ekonomi bisa disimpulkan bahwa dalam dua kurun waktu yang berbeda, telah menunjukkan perbaikan ekonomi yang cukup baik. Kurun waktu pertama dengan angka yang sangat fluktuatif, kemudian terjadi perbaikan karena angka indeks tidak lagi terlalu fluktuatif, atau dengan kata lain meskipun fluktuatif tetapi perbedaan angka semakin kecil / lebih stabil.

Untuk Kabupaten Kudus, pada kurun waktu pertama menunjukkan sedikit fluktuasi dengan besaran angka rendah. Artinya distribusi pendapatan di Kabupaten Kudus tidak terlalu timpang, dan relatif stabil dari waktu ke waktu. Hal ini berbeda dengan kondisi yang terjadi dalam kurun waktu ke dua. Dalam kurun waktu ini angka Indeks Williamson mengalami peningkatan yang cukup besar dengan tingkat fluktuasi yang tidak terlalu besar. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah kabupaten Kudus mengalami kondisi yang cukup berbeda dalam dua

kurun waktu tersebut dalam hal distribusi pendapatannya. Kondisi ketimpangan ekonomi yang semakin tampak pada kurun waktu ke dua mengindikasikan situasi yang hampir sama dengan daerah-daerah lain, di mana dengan angka berturut-turut dari tahun 2004-2007 sebesar 0,65; 0,71; 0,68 dan 0,72, maka terlihat dari waktu ke waktu terjadi kecenderungan tingkat ketimpangan ekonomi semakin besar, meski peningkatannya dalam angka yang kecil. Dengan demikian hipotesis U terbalik kembali tidak terbukti.

Dalam 2 kurun waktu, Kabupaten Semarang memiliki pola perkembangan indeks Williamson yang hampir sama. Pada kurun waktu pertama, terjadi kecenderungan dimana angka indeks mengalami penurunan. Pada kurun waktu pertama angka indeks secara berturut-turut sebesar 0,20; 0,21,; 0,16 dan 0,17. Sedangkan pada kurun waktu kedua angka indeks sebesar 0,08 pada tahun 2004, 0,06 pada tahun 2005 sedangkan tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 0,05. Hal ini berarti mengindikasikan bahwa pada wilayah kabupaten Semarang terlihat kecenderungan di mana seiring kemajuan perkembangan ekonomi maka terjadi penurunan ketimpangan ekonomi atau distribusi pendapatan yang semakin merata. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa untuk wilayah Kabupaten Semarang hipotesis U terbalik dari Simon Kuznet terbukti kebenarannya.

Pada wilayah Kabupaten Kendal, Indeks Williamson pada dua kurun waktu menunjukkan pola perkembangan yang hampir sama. Pada kurun waktu pertama angka indeks tidak terlalu fluktuatif dari tahun ke tahun serta angka indeks itu sendiri tidak terlalu besar, di mana angka Indeks berturut-turut adalah 0,05; 0,05; 0,01 dan tahun 1999 sebesar 0,05. Berarti ketimpangan pendapatan di kabupaten Kendal tidak terlalu parah karena angka indeks tidak terlalu jauh dari angka 0. Sedangkan pada kurun waktu ke dua, terjadi peningkatan angka indeks yang cukup signifikan, yaitu pada tahun 2004 angka indeks sebesar 0,38; tahun 2005 sebesar 0,36 sedangkan tahun 2006 sebesar 0,36 dan 2007 sebesar 0,38. Hal ini mengindikasikan, selama empat tahun terakhir kabupaten

Page 11: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

Agnes Ratih Ari IndrayaniDesember 133

Kendal mengalami peningkatan ketimpangan ekonomi, yang sangat mungkin akan terus mengalami peningkatan angka indeks dari waktu ke waktu. Dengan demikian sering pekembangan pembangun ekonomi, terjadi peningkatan ketimpangan ditribusi pendapatan. Dengan demikian terjadi situasi yang berkebalikan dengan Hipotesis Simon Kuznets.

Kotamadya Surakarta menunjukkan fenomena yang cukup menarik dalam perkembangan distribusi pendapatannya. Pada kurun waktu pertama Kotamadaya Surakarta memunculkan angka Indeks yang relatif cukup besar, berkisar 0,5, tetapi dari tahun ke tahun semakin menunjukkan penurunan, atau dengan kata lain tingkat ketimpangan pendapatan semakin kecil. Hal ini tentunya merupakan indikasi yang bagus bagi proses pembangunan ekonomi di wilayah itu.

Pada kurun waktu ke dua, Indeks Williamson mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 sebesar 0,68, tahun 2005 sebesar 0,65, tahun 2006 sebesar 0,61 dan tahun 2007 kembali meningkat menjadi 0,66. hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi di kotamadya Surakarta semakin lebar dan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan demikian dari sisi distribusi pendapatan, Kotamadia Surakarta mengalami perkembangan yang cukup baik pada kurun waktu pertama, sedangkan pada kurun waktu ke dua, perkembangan ekonomi cenderung semakin tidak merata. Dengan demikian Hipotesis Kuznets hanya berlaku pada kurun pertama.

Kotamadya Salatiga menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun ke tahun. Meskipun dalam dua kurun waktu tersebut dari tahun ke tahun tidak selalu mengalami penurunan dalam angka Indeks Williamsonnya, tetapi jika dilihat dalam perspektif jangka panjang mengindikasikan kecenderungan untuk terjadi perbaikan dalam distribusi pendapatannya. Dalam dua kurun waktu itu memang terjadi fluktuasi. Tetapi selanjutnya mengarah pada situasi kemerataan yang semakin membaik. Jika pada kurun waktu pertama Indeks menunjukkan angka

berkisar pada 0,2; tetapi pada kurun waktu ke dua, meskipun sempat berfluktuasi tetapi angka indeks telah mengalami penurunan dari periode sebelumnya, yaitu menjadi berkisar 0,1. Hal ini tentunya suatu kondisi yang diharapkan menuju perbaikan ekonomi bagi masyarakat terutama bagi masyarakat yang masuk kategori masyarakat miskin. Jadi bagi wilayah kotamadya Surakarta, Hipotesis Simon Kuznets tidak terjadi secara mutlak, tetapi dalam jangka panjang, kcenderungan yang ada mengindikasikan bahwa proses pembangunan ekonomi akan mampu membawa perbaikan bagi usaha-usaha meminimalkan ketimpangan ekonomi di kotamadaya Surakarta.

Kotamadya Semarang memiliki angka ketimpangan ekonomi yang relatif tinggi di antara wilayah-wilayah yang lain. Pada dua kurun waktu angka indeks memunculkan perkembangan yang fluktuatif. Pada kurun waktu pertama meskipun cukup fluktuatif tetapi menunjukkan kecenderungan penurunan angka indeks Williamson. Tetapi pada kurun waktu ke dua, lebih menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Artinya situasi ketimpangan ekonomi tidak menunjukkan penurunan meskipun terjadi peningkatan pendapatan per kapita karena proses pembangunan ekonomi yang terus terjadi. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Hipotesis Kurva U Terbalik dari Simon Kuznet tidak terbukti kebenarannya untuk wilayah Kotamadya Semarang.

KESIMPULAN DAN SARAN1. Kesimpulan

Dengan menggunakan pembedaan 2 kurun waktu maka terlihat bahwa kurun waktu ke dua memunculkan angka indeks yang lebih besar (yang terjadi pada 6 wilayah kabupaten / kotamadya). Hal ini berarti di sebagian besar wilayah penelitian di Jawa Tengah pada kurun waktu ke dua (2004-2007) mengalami ketimpangan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kurun waktu pertama (1996-1999).

Page 12: DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI …jurnalefektif.janabadra.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Efektif... · awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya

EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember134

Berkaitan dengan kesimpulan (a) maka dari 10 wilayah (kabupaten / kotamadya), hanya ada 4 wilayah (Karanganyar, Kab. Semarang, Brebes, dan Salatiga) yang menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hipotesis Kuznets dan Williamson, sedangkan enam (6) wilayah menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Dengan kata lain hasil temuan ini cenderung menunjukkan bahwa hasil temuan tidak sejalan dengan hipotesis Kuznets dan Williamson yang menyatakan bahwa arah ketimpangan akan meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan, lalu akan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya. Sementara kajian ini menunjukkan bahwa arah ketimpangan masih berfluktuasi dan meningkat pada tahap-tahap pembangunan berikutnya.

Pada wilayah yang merupakan wilayah industri angka indeks lebih besar daripada wilayah lain, yang artinya pada wilayah industri yang memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih besar, justru mengalami ketimpangan pendapatan yang lebih besar.

2. SaranPemerintah bisa melakukan intervensi

kebijakan yang pada prinsipnya menyentuh langsung faktor-faktor penentu utama distribusi pendapatan. Berbagai kebijakan tersebut misalnya berkaitan dengan upaya perbaikan tingkat upah pekerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan upaya pemerataannya, program redistribusi pendapatan dan juga upaya peningkatan distribusi pendapatan secara langsung.

DAFTAR PUSTAKAAkita ,T. dan Alisyahbana, A (2002). Income

Inequility in Indonesia and the Initial Impact of the Economic Studies, Vol.38, No. Pp 201-222

Esmara, H (1975).”Regional Income Disparities”. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.11, No.1, pp.41-57

Hill, H. (2000). The Indonesian Economy, Second Edition., New York. Cambridge University Press.

Mason, Andrew, “Savings, Economic Growth and Demograpic Change,” Population and Development Review, Maret 1988.

Todaro, Michael P.and Stephen C. Smith (2008). Economic Development. Ninth Edition. Pearson Education Limited, United Kingdom.

Uppal, J.S., dan Budiono Sri Handoko, (1986), “Regional Income Disparities in Indonesia”, dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. XXXIV, No.3, h. 287- 304

Willamson, J.G.,(1965), ”Regional Ine-quality and the Process of National Development: A Description of Patterns”, Dalam Needleman, L. 1968. Regional Analysis, Selected Readings, Penguin Books Inc., Baltimore.