Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

16
DISKURSUS LIBERALISME PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi atas Ijtihad Kontroversial Umar Ibn Khattab) Brought By: Mazizaacrizal a.k.a Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com : www.facebook.com/mazizaacrizal E-mail : [email protected] 12

description

 

Transcript of Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

Page 1: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

DISKURSUS LIBERALISME

PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

(Studi atas Ijtihad Kontroversial Umar Ibn Khattab)

Brought By: Mazizaacrizal

a.k.a

Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com

: www.facebook.com/mazizaacrizal

E-mail : [email protected]

12

Page 2: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

ABSTRAK

The thought of Islam liberalism Law has been developed recently. This things related with creative effort from the scholars of Islamic Law, who recite the normative texts continuously for answering human needs. Ijtihad is the existence of those creativities to find out the meanings and the messages with the frame of Al-Quran and Sunnah Nabi.

Kata kunci: Liberalisme Pemikrian, Hukum Islam, Ijtihad Kontroversial

PendahuluanKehadiran Islam Liberal (IL) dalam panggung pemikiran Islam dewasa ini

cukup menghentak banyak kalangan. Karena pemikiran yang diusung oleh Islam Liberal ini bercorak kontekstual, progresif dan liberatif. Berbeda dengan gerakan Islam normatif-tekstual yang bercorak skripturalis dalam memahami sumber ajaran Islam.

Islam liberal dianggap sebagai alternatif pilihan untuk mengembangkan wacana keberagamaan yang toleran, inklusif dan demokratis untuk masa depan kehidupan keberagamaan. Dalam bahasa yang lebih tegas, Islam liberal juga merupakan protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks.1 Apalagi di tengah menguatnya wacana Islam politik dan formalisasi syariat Islam.

Islam Liberal mengambil pendekatan yang berbeda dengan cara pandang pemikiran Islam tekstual-skriptural dalam melakukan pembacaan terhadap teks-teks normatif Islam. Walaupun demikian, bukan berarti Islam Liberal lepas begitu saja dari ketentuan-ketentuan hukum Islam itu sendiri. Tetapi juga berpijak terhadap otentisitas teks dengan tanpa meninggalkan semangat di balik teks itu sendiri.

Tentang Islam liberal, Mohammad Nasih memberikan penjelasan yang menarik sebagai berikut:

Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru tetapi sebenarnya tidak selalu demikian atas agama Islam dengan wawasan keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang. Juga penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna literal teks, kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, pemihakan pada yang minoritas dan tertindas, kebebasan beragama dan berkepercayaan, bahkan untuk tidak beragama sekalipun, dan pemisahan otoritas agama dan otoritas politik.2

Penafsiran yang dilakukan dalam semangat Islam liberal adalah berusaha memahami pesan-pesan hukum Islam dengan pemaknaan baru agar hukum Islam itu tetap hidup selaras dengan tuntutan zaman. Karena al-qur’ân dan Sunnah sebagai

1 Luthfi Asyaukanie, “Perlawanan Islam Liberal”, Gatra, 1 Desember 2001, hal. 30. Mengenai Islam ortodoks bisa dilihat dalam Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Sunni di Indonesia Abad XXI (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 77-82.

2 Mohammad Nasih, Memahami Konsep Islam Liberal, (Online) http://islamlib.com/id/index. php?page=article&id=265. (diakses September 2007). Tulisan ini juga dimuat dalam Suara Merdeka, 30 September 2002.

13

Page 3: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

sumber hukum Islam tidak memuat penjelasan secara detil tentang persoalan-persoalan yang muncul kemudian.

Inti utama dari pemikiran Islam liberal seperti yang dijelaskan oleh Leonard Binder,3 bahwa bahasa al-qur’ân adalah sederajat dengan hakikat wahyu, namun isi dan makna pewahyuan pada dasarnya tidak bersifat harfiah-verbal. Dengan demikian diperlukan upaya pemaknaan yang tidak terbatas pada kata-kata yang terungkap semata, tetapi berusaha memahami esensi dan hakikat wahyu tersebut untuk menemukan arti yang sebenarnya.

Mengenai penggunaan istilah ”Islam Liberal” memang terkesan agak aneh dan unik. Dalam bahasa Charles Kurzman,4 istilah tersebut terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a contradiction in terms). Karena menurutnya, Barat mengenal Islam pada hal-hal yang eksotik. Islam disamakan dengan sebutan fanatisme. Yudi Latif mendefinisikan fanatisme sebagai paham yang menolak represntasi.5 Fenomena ini juga diperparah oleh propaganda Barat tentang berkembangnya Islam Radikal, Islam Revivalis, Islam Fundamental yang merupakan representasi dari bentuk fanatisme. Sehingga wajah Islam terkesan keras dan sangar dalam menyapa umatnya.

Seperti diakui Kurzman, bahwa pemakaian istilah Islam Liberal bukan dari dirinya sendiri, tetapi mengikuti anjuran pemikir India, Asaf ’Ali Asghar Fyzee (1899-1981). Penggunaan ajektif ini bukan tanpa resiko yang akan dihadapi, bahkan dengan label liberal inilah proyek Islam liberal menuai sejumlah tantangan dan penolakan dari sejumlah kalangan. Karena istilah liberal diidentikkan dengan Barat dan sekularisme yang harus ditolak.

Meskipun Islam Liberal tidak menjadi gerakan mainstream dalam pemikiran Islam kontemporer, namun gagasan-gagasan yang diusung menarik untuk dijadikan diskursus intelektual dalam membaca doktrin-doktrin normatif hukum Islam.

Kemunculan Islam liberal menurut Kurzman, seperti dikutip Rudhy Suharto,6 adalah dalam rangka melepaskan diri dari Islam adat dan Islam revivalis. Islam adat (customary Islam) yang ditandai dengan kombinasi-kombinasi kedaerahan dan kebisaaan-kebisaaan yang banyak dilakukan di seluruh dunia Islam. Seperti bercampurnya ajaran-ajaran Islam murni dengan adat-adat lokal yang dianggap mereduksi otentisitas Islam.

Di Indonesia banyak dijumpai pelaksanaan ritual-ritual keagamaan yang bercampur-baur dengan ekspresi tradisi-tradisi budaya masyarakat setempat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Fenomena ini memang banyak dijumpai di negara-negara Islam. Di Indonesia, gerakan purifikasi Muhammadiyah, menyebut tradisi-tradisi, adat, atau budaya yang menyimpang dari Islam itu dengan tahayul, bid’ah dan khurafat. Di Saudi Arabia dikenal dengan gerakan wahabisme yang menjadi mazhab negara.

3 Leonard Binder, Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, terj, Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 5.

4 Charles Kurzman (Ed), Liberal Islam: A Sourcebook, (New York: Oxford University Press, 1998), hal. 3

5 Yudi Latif, “Kebebasan dan Fanatisme”, dalam Abd Hakim (eds), Bayang-Bayang Fanatisme: Esai-Esai untuk Mengenang Nurcholis Madjid, (Jakarta: Paramadina, 2007), hal. 140

6 Rudhy suharto, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Terhadap Metode Ijtihad Islam Liberal, Jurnal Al-Huda, Volume II. No. 6. 2002. hal. 35

14

Page 4: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

Sedangkan Islam revivalis (revivalist Islam) adalah gerakan keagamaan yang bisaa disebut Islamisme, Fundamentalisme, atau Wahabisme.7 Gerakan ini menyerang habis interpretasi dari Islam adat. Bagi Islam revivalis, perlunya mengembalikan bentuk Islam pada keadaan semula untuk menjamin kemurnian dan keotentikan ajaran Islam.

Keotentikan dalam pandangan Robert D. Lee digambarkan sebagai sebuah pencarian akan landasan-landasan hidup baru yang lebih kukuh dan lebih absah.8 Kelompok ini merasa tidak puas terhadap produk-produk modernisasi yang banyak menawarkan janji-janji dan juga sebagai kritik intelektual terhadap developmentalisme dan liberalisme yang dianggap gagal memberikan kesejahteraan.

Kemudian Islam liberal menemukan bentuknya yang relatif sistematis setelah Charles Kuzman mengintrodusir istilah ”Islam Liberal” untuk sebuah judul bukunya Liberal Islam: A Sourcebook.9 Buku ini menampilkan karya-karya muslim yang dianggap otoritatif dari berbagai negara. Seperti Mohamed Arkoun, Nurcholis Madjid, Mahmoud Muhamed Toha, Fazlur Rahman, dan lain-lain.

Tipologi Liberalisme IslamKurzman membuat tipologi diskriptif sebagai formula dari gerakan Islam

liberal. Dia menjelaskan sebagai berikut: Kita dapat mengidentifikasi tiga ”bentuk” (modes) utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam: kitab wahyu (al-Qur’an) dan praktik-praktik dari Rasulullah saw. (sunnah) yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam (syari’ah). Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung olehsyari’ah; bentuk kedua menyatakan bahwa kaum muslimin bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberikan kesan bahwa syari’ah, yang bersifat ilahiah, ditujukan kepada manusia yang beragama. Saya menyebut tiga bentuk ini dengan syari’ah yang liberal, silent, dan interpretatif.10

Diskripsi yang dilakukan Kurzman ini memberikan peta dan rujukan mengenai hubungan liberalisme Islam dengan al-qur’ân dan Sunnah. Penjelasan dari tiga tipologi ada sebagai berikut. Pertama, liberal syari’ah. Bentuk ini menyatakan bahwa pada dasarnya syari’ah itu liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara benar. Hal ini bisa dilihat dalam Piagam Madinah, dimana konstitusi Madinah mampu menyelesaikan masalah kontemporer dengan sangat liberal.

Madinah sebenarnya patut menjadi model bagaimana sistem hukum berlaku dalam kehidupan masyarakat yang plural. Sejak konstitusi Madinah terbentuk dibawah kepemimpinan Nabi, hak-hak minoritas terlindungi serta mendapat jaminan keamanan yang merupakan hak asasi setiap manusia. Dalam hal ini, Mohammed

7 Charles Kurzman. Op. Cit., hal. 5.8 Robert D. Lee, Mencari Islam Otentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkuon, (terj)

Ahmad Baiquni, (Mizan: Bandung, 2000), hal. 13. 9 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaidi

dengan judul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global,, (Paramadina: Jakarta, 2001).

10 Charles Kurzman. Op. Cit., hal. 13-14

15

Page 5: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

Fathi Osman,11 memberikan penjelasan bahwa konstitusi Madinah menunjukkan unsur-unsur utama struktur sosial dalam negara kota yang juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kaum minoritas.

Syari’ah liberal, lanjut Kurzman, memberikan semangat liberar karena sifat dan karakter awalnya demikian. Ada tiga penjelasan tentang syari’ah liberal. Pertama, menghindari tuduhan-tuduhan ketidakotentikan dengan mensandarkan diri pada sumber-sumber Islam ortodoks. Kedua, bahwa syari’ah liberal bukan sekedar pilihan-pilihan semata, tetapi sebagai perintah Tuhan. Ketiga, sebagai bentuk kebanggaan tentang penemuan terutama sebagai inspirasi bagi liberalisme Barat. Walaupun demikian, tambah Kurzman, liberalisme Islam sangat rentan dari serangan-serangan mengenai teologi ortodoks.

Berikutnya adalah syari’ah yang diam (silent shari’a). Bentuk kedua ini menjelaskan bahwa syari’ah tidak memberikan penjelasan secara rinci terhadap topik-topik tertentu. Dengan demikian, mengutip Muhammad Salim Al-’awwa, Kurzman mengatakan bahwa jika Islam tidak menyebutkan sesuatu secara jelas, hal ini menunjukkan satu dari dua hal. Pertama, apakah hal ini tidak disebutkan dalam sumber-sumber tradisoanal atau kaum muslimin tidak pernah mempraktikkan dalam sejarah. Jika demikian, maka hal tersebut dibolehkan kecuali dalam hal ibadah. Kedua, mungkin hal ini termasuk hal alamiah dimana kaum Mulimin harus respon terhadap perkembangan-perkembangan yang selalu muncul dalam kehidupan ini.

Ketiga, syari’ah yang ditafsirkan (interpreted shari’a). Menurut bentuk ini bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran-penafsiran walaupun pada dasarnya berdimensi ilahiah. Namun demikian, masih terbuka oleh jenis-jenis penafsiran akal manusia. Karna akal manusia sebagai alat untuk memahami pesan al-qur’ân dan Sunnah. (al-dînu huwa al-'aqlu, lâ dîna liman lâ 'aqla lahû). Dengan mengutik Mohammad Ayyub, tafsirkanlah menurut kemungkinan cara yang terbaik. Karena setiap pendekatan yang berbeda terhadap al-qur’ân akan menimbulkan perbedaan interpretasi.

Dalam sejarah penafsiran terhadap al-qur’ân dan Sunnah, banyak beberapa mufassir yang berbeda dalam menafsirkan sesuatu. Keanekaragaman kitab tasir merupakan wujud konkrit yang alamiah dan niscaya. Sehingga tidak ada pemahaman tunggal dan paling benar. Dan ketiga model liberalisme Islam ini merupakan lensa pembacaan terhadap sumber gerakan liberalisme pemikiran Islam.

Kendatipun demikian, munculnya pemikiran Islam liberal menimbulkan kegelisahaan dan polarisasi yang sangat tajam di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi gagasan-gagasan Islam liberal disanjung-sanjung dan juga banyak yang menghujatnya di sisi yang lain. Terkadang istilah ”liberal” diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme, pendewaan terhadap kebenaran akal, dan permusuhan kepada Islam. Sehingga Islam liberal menjadi nomenklatur yang menakutkan dan dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai ancaman terhadap kemapanan teologi Islam.

Jika kita menggunakan paradigma dialektika Hegal, Islam liberal merupakan antitesis dari paradigma pemikiran Islam normatif-tekstual yang konvensional. Dan sebagai alternatif ketiga antara Islam adat dan Islam revivalis. Polarisasi ini menjadi suatu keniscayaan dalam pengembangan pemikiran Islam.

11 Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, (terj) Irfan Abu Bakar, (Paramadina: Jakarta, 2006), hal. 42-43.

16

Page 6: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

Jika di Indonesia, Islam liberal disematkan pada Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh Ulil Absar Abdallah dan pemikir-pemikir yang dianggap menyalahi dari pakem pemikiran Islam klasik. Pemikiran-pemikirannya yang menerobos batas-batas doktrin Islam tekstual, telah dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Sehingga ketika terdengar istilah Islam Liberal, dalam benak masyarakat yang mucul adalah Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

Dalam sketsa sejarah peradaban Islam, kita menemukan sejumlah fakta tentang perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam sendiri, tidak hanya dalam masalah furu’ tetapi juga masalah yang prinsip (teologis). Ini menandakan bahwa perbedaan penafsiran terhadap doktrin agama adalah suatu keniscayaan. Salah satu contoh penting adalah tentang perdebatan apakah al-qur’ân itu makhluk atau firman Allah.

Dalam kerangka pemikiran di atas, bahwa domain Islam liberal adalah melakukan penafsiran terhadap doktrin Islam agar ajaran Islam itu berkesinambungan dan responsif terhadap tuntutan zaman (shôlih likulli zamân wa makân). Tentunya, diperlukan pemakanaan dan penafsiran yang lebih kontekstual terhadap doktrin-doktrin Islam. Karena doktrin Islam yang turun pada waktu dulu terkait dengan ruang dan waktu. Aspek historis inilah yang oleh pemikiran Islam liberal digali untuk menemukan semangat kekinian. Dan juga agar kita tidak terjebak pada dogmatisme apalagi Arabisme.

Manusia sebagai aktor dan pembaca tentunya harus banyak berdialog dan berinteraksi dengan al-Qur’an. Interaksi yang dimaksud adalah suatu upaya memahami hamparan teks al-qur’ân demi kemaslahatan. Kemaslahatan disini sebagai upaya mewujudkan pesan al-qur’ân sebagai petunjuk terhadap manusia.

Terkait dengan interaksi manusia dengan al-Qur’an, Farid Esack12 memberikan penjelasan cukup menarik. Menurut Esack, ada enam tipe interaksi atau pergumulan manusia dengan al-qur’an. Pertama, tipe pecinta tak kritis. Interaksi tipe ini menganggap bahwa segala sesuatu ada di dalam al-Qur’an. Al-qur’ân ibarat kekasih yang sempurna yang harus dicintai dengan sepenuh hati. Sehingga kita tidak perlu bertanya apalagi menggugat al-qur’ân secara kritis.

Kedua, pecinta akademis. Tipe ini menjelaskan kepada dunia mengapa ia harus mencintai. Pecinta ini banyak mengurai kelebihan-kelebihan obyek cintanya dan tidak mau masuk pada kekurangan-kekurangan yang ada. Sehingga yang tampak adalah kelebihan-kelebihannya semata. Pecinta ini hanya memandang dari sisi baiknya semata.

Ketiga, tipe pecinta kritis. Tipe ini tidak asal menyinta. Kendatipun kekasihnya sangat baik dan bagus, namun ia tidak cinta buta dan menerima mentah-mentah. Ia kagum terhadap kekasihnya, tetapi juga kritis dalam menyikapinya. Pecinta seperti ini yang diharapkan oleh Esack untuk tetap menghidupakan al-qur’ân dengan semangat kekinian.

Keempat, teman dari pecinta. Tipe ini juga menimbulkan dua tipe lagi yaitu, tukang pencela dan tukang polemik. Tukang pencela hanya bisa menelisik kekurangan-kekurangan dan kelemahan semata. Sedangkan tukang polemik lebih suka membongkar dan membandingkan dengan obyek cinta lain yang juga disukainya. Sebenarnya tipe ini tidak punyak komitmen yang jelas.

12 Farid Esack, Menghidupkan al-qur’an dalam Wacana dan Prilaku, (terj). Norma Arbi’a Juli Setiawan, (Jakarta: Inisiasi Press, 2006), hal. ix-xvii

17

Page 7: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

Di sini perlu dipahami adalah makna liberalisme Islam. Menurut Luthfi Assaukanie, kendatipun term liberalisme Islam tidak ada dalam term Islam, tetapi dalam sejarah Islam, akar-akarnya sudah ada. Paling tidak hal ini bisa dilihat dalam dua bidang yaitu filsafat dan sufisme. Term liberalisme Islam baru ditemukan sekitar setengah abad lebih yang lalu oleh penulis Barat bernama Wilfred Cadwel Smith. Bagi Cadwel Smith, liberalisme Islam adalah semangat membebaskan diri dari penafsiran yang jumud, kaku dan ortodoks.

Liberalisme Islam berupaya melakukan liberasi dan rasionalisasi. Liberasi dan rasionalisasi terhadap setiap pemikiran, doktrin, maupun produk pemahaman. Sehingga menghasilkan tafsir yang relevan terhadap kepentingan manusia. Karena tujuan (maqâshid syariah) dari Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia.

Islam liberal mengatakan bahwa al-qur’ân dan Sunnah memerlukan kontekstualisasi dan tidak ada penafsiran tunggal terhadap keduanya. Karena tidak ada yang mempunyai otoritas penuh untuk menyatakan bahwa ijtihad seseorang itu paling benar. Setelah Nabi Muhammad wafat, mulai dari Sahabat hingga para mujtahid modern tidak mempunyai wewenang mengabsahkan suatu hasil ijtihad.

Umar dan Semangat LiberalismeDan Umar Ibn Khattab adalah salah satu sahabat Nabi yang sering melakukan

ijtihad baik pada masa Nabi hidup terlebih ketika Nabi wafat. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, Umar tersebut sebagai sahabat yang banyak melakukan ijtihad.

Ijtihad dilakukan Umar adalah sebagai upaya untuk mendialogkan teks dengan konteks. Dengan kata lain, membaca teks dan memperhatikan konteks masyarakat dan teks itu sendiri. Karena ayat-ayat al-Qur’an maupun Sunnah tidak hadir dalam ruang yang kosong.

Begitu pula apa yang digagas oleh pemikiran Islam liberal tentang kontekstualisasi, karena tidak semua pernik-pernik persoalan hidup manusia direkam jelas oleh al-qur’ân maupun Sunnah. Disinilah medan ijtihad manusia untuk melakukan penafsiran terhadap dua sumber hukum Islam tersebut.

Sejak awal perkembangan Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, keseluruhan hukum Islam diformulasikan dan diorientasikan pada al-Qur’ân dan Sunnah. Karena keduanya merupakan sumber rujukan utama umat Islam dalam menetapkan hukum. Ketika para sahabat tidak menemukan hukum terhadap masalah yang dihadapinya, bisa langsung bertanya kepada Nabi. Sehingga para sahabat tidak perlu berijtihad sendiri karena masih ada Nabi sebagai tempat bertanya.

Namun kondisi saat sekarang sangat jauh berbeda dengan masa Nabi. Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, mulai masa khulâfaurrasyidîn hingga khalifah-khalifah berikutnya, persoalan-persoalan baru muncul dan terkadang tidak diterangkan secara jelas status hukumnya dalan al-qur’ân dan Hadist. Sehingga diperlukan upaya istimbath hukum untuk menemukan jawaban terhadap persoalan tersebut.

Ijtihad merupakan suatu cara untuk menemukan hukum (istimbath) terhadap persoalan yang tidak jelas aturannya itu. Ini meniscayakan agar hukum Islam bisa terus hidup dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang muncul kemudian setelah Nabi wafat.

Al-qur’ân maupun Sunnah tidak lahir secara tiba-tiba dari ruang yang hampa. Tetapi sebagai respon dan petunjuk terhadap persoalan umat Islam yang ada pada

18

Page 8: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

waktu itu (asbabul wurud). Tentunya, persoalan umat Islam yang ada pada masa Nabi berbeda dengan kondisi umat Islam saat sekarang, dimana perkembangan masyarakat semakin pesat.

Sehingga dibutuhkan upaya untuk merespon tuntutan-tuntutan baru yang dihadapi generasi sekarang. Untuk itulah ijtihad menjadi sangat penting untuk memecahkannya dengan menangkap spirit universal dari al-Qur’ân dan Sunnah.

Setelah Nabi wafat hingga saat sekarang dimana para mujtahid tidak menemukan tempat konsultasi sabagaimana sahabat waktu dulu kepada Nabi. Sepenuhnya ijtihad diserahkan kepada mujtahid sendiri dengan merujuk pada al-qur’ân dan sunnah, karena tidak ada yang otoritatif untuk dimintai pendapat seperti Nabi. Dan tanggungjawab dari hasil ijtihad dipikul sendiri oleh mujtahid.

Keperluan ijtihad pada saat sekarang tidak bisa dielakkan karena tuntutan perkembangan hidup masyarakat yang terus berubah dan membutuhkan pemecahan. Ijtihad tidak hanya dalam masalah ibadah mahdah semata tetapi juga dalam masalah-masalah sosial kemanusiaan yang sering dihadapi oleh umat Islam.

Terkait dengan masalah ijtihad, menurut Muhammad Baltaji,13 bahwa ada tiga problem yang sering ditemui dan harus diselesaikan oleh mujtahid dalam melakukan ijtihad. Pertama, masalah-masalah yang hukumnya tidak secara eksplisit dijelaskan dalam al-qur’an. Kedua, masalah-masalah yang terjadi pada masa Nabi yang mempunyai implikasi hukum dan sekarang mengalami perubahan. Ketiga, masalah-masalah yang disinggung oleh teks-teks keagamaan namun maknanya tidak begitu jelas atau terkesan kontradiktif. Sehingga dalam ijtihad sendiri juga timbul persoalan-persoalan baru.

Ketiga masalah di atas memerlukan pendekatan yang berbeda dalam melakukan ijtihad. Bagi Baltaji, untuk masalah-masalah yang kondisinya berbeda dengan zaman Nabi, tidak semua teks dapat diaplikasikan secara tekstual, tetapi perlu peninjauan ulang dengan mempertimbangkan tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia.

Menurut Amiur Nuruddin,14 bahwa ijtihad sebenarnya telah berlangsung sejak masa Nabi. Semangat ijtihad tumbuh subur di kalangan sahabat pada waktu itu karena Nabi memberi kesempatan besar kepada sahabat untuk berijtihad. Namun para sahabat yang berijtihad selalui dikonsultasikan kepada Nabi apakah ijtihadnya itu benar atau salah. Ada yang ijitihadnya dibenarkan dan yang ditolak oleh Nabi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semangai ijtihad untuk harus tetap ada dalam menghadapi perkembangan hidup manusia.

Mengenai ijtihad Umar, Muhammad Abdul Aziz al-Halawi dalam bukunya Fatawa wa Aqdhiyah Amiril Mukminin Umar ibn al-Khattab,15 membahas relatif panjang seluk beluk ijtihad dan fatwa Umar. Dibanding dengan sahabat yang lain, mungkin Umarlah satu-satunya sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa dan ijtihad. Sosok kepribadiannya yang cerdas, jenius dan tegas memungkinkan bagi Umar untuk melakukan hal itu.

Terkadang, ijtihad yang dilakukan oleh Umar ada yang (tidak sejalan) dengan hukum Islam yang telah ada sebelumya. Ijtihad Umar itu dianggap oleh sebagian

13 Muhammad Baltaji, Minhaju Umar ibn Khattab fi Tasyri’ Dirasah Mustau’ibat li Fiqhi Umar, (terj) Masturi Ilham, Jakarta: Khalifah, 2005, hal. 26.

14 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Perss, 1991), hal. X

15 Buku ini membahas secara rinci dasar-dasar ijtihad dan fatwa Umar ibn Khattab mulai dari masalah aqidah sampai pada masalah ibadah dan muamalah.

19

Page 9: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

orang tidak sesuai dengan ajaran al-qur’ân maupun sunnah Nabi. Seperti keputusan Umar yang tidak memotong tangan orang yang mencuri karena kelaparan. Menghentikan hak muallaf dalam menerima pembagian zakat Tidak membagi harta rampasan perang (ghanimah) kepada tentara-tentara pasukan muslim.16

Kenyataan ini menimbulkan berbagai pendapat dan penafsiran di kalangan umat Islam sendiri. Ada yang berpendapat bahwa tindakan ijtihad Umar tersebut dipandang menyimpang dan bertentangan dengan al-qur’ân dan Sunnah Nabi. Sehingga tidak perlu diikuti karena kejadian tersebut khusus pada Umar. Sebagian berpendapat bahwa tindakan Umar itu tidak bertentangan dengan al-qur’ân dan Sunnah Nabi.

Menurut Ahmad Hasan, bahwa tindakan Umar semacam itu justeru bukanlah merupakan suatu penyimpangan, tetapi berangkat dari ketaatan yang sejati terhadap semangat al-Quran yang dilakukannya berdasarkan pertimbangan pribadi.17

Kontroversi tentang ijtihad Umar ini memberikan inspirasi generasi-generasi muslim berikutnya untuk lebih kreatif dan inovatif. Seperti diakui oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif bahwa Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kontemporer asal Pakistan yang hijrah ke Amerika ini dianggap sebagai orang yang mendapat inspirasi dari tindakan dan kebijakan ijtihad Umar. Sehingga Rahman menjadi salah satu pemikir Islam yang kritis dan kontekstual dan menganjurkan pengujian kembali terhadap tradisi Islam itu sendiri.18

Ijtihad yang dilakukan Umar tidak semata-mata berdasar pada makna teks semata. Dalam ijtihad Umar ada liberasi, rasionalisasi dan kontekstualisasi bagaimana seharusnya menerapkan teks itu dalam kondisi dan situasi yang berbeda. Disinilah (seolah-olah) tanpak sekali Ijtihad Umar yang terlihat ”liberal”.

PenutupWacana liberalisme Islam seperti di ungkapkan oleh Kurzman adalah sebuah

bentuk pemahaman baru diantara dua kekuatan pemikiran yaitu Islam adat (costumary Islam) dan Islam revivalis (revivalis Islam). Dalam harapan yang agak idealis bahwa gerakan pemikiran Islam liberal diharapkan menjadi pemikiran alternatif yang lebih inklusif, toleran dan progresif apalagi di tengah menguatnya arus konservatisme Islam dewasa ini.

Pemikiran-pemikiran Islam liberal yang progresif pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dengan semangat ijtihadiah. Karena semangat liberalisme mengikuti konsturksi

16 Amiur Nuruddin, Op. Cit., hal. XII17 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka,1984), hal. 11018 Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, (eds) Sufyanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 119

20

Page 10: Diskursus Liberalisme Pemikiran Hukum Islam

Daftar Pustaka

Asyaukanie, Luthfi. 2001. Perlawanan Islam Liberal, Gatra, 1 Desember, hal. 30. Baltaji, Muhammad. 2005. Minhaju Umar ibn Khattab fi Tasyri’ Dirasah

Mustau’ibat li Fiqhi Umar, (terj) Masturi Ilham. Jakarta: KhalifahBinder, Leonard. 2001. Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi

Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka PelajarD. Lee, Robert. 2000. Mencari Islam Otentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga

Nalar Kritis Arkuon, (terj) Ahmad Baiquni. Mizan: Bandung Esack, Farid. 2006. Menghidupkan al-qur’ân dalam Wacana dan Prilaku, terj.

Norma Arbi’a Juli Setiawan, Jakarta: Inisiasi PressFathi Osman, Mohammed. 2006. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan:

Pandangan al-qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, (terj) Irfan Abu Bakar. Paramadina: Jakarta.

Hasan, Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: PustakaKurzman, Charles. (Ed), 1998. Liberal Islam: A Sourcebook,(New York: Oxford

University PressLatif, Yudi. “Kebebasan dan Fanatisme”, 2007, (eds) Abd Hakim, Bayang-

Bayang Fanatisme: Esai-Esai untuk Mengenang Nurcholis Madjid, Jakarta: Paramadina

Nasih, Mohammad. Memahami Konsep Islam Liberal, (online) http://islamlib. com/id/index.php?page=article&id=2652002. (diakses Nopember 2007)

Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar Ibn Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Perss

Raharjo, Dawam. Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme, (online) http://www.icrp-online. org/wmview.php?ArtID=64 (diakses Nopember 2007)

Rahman, Fazlur. Cita-Cita Islam, 2000. (eds) Sufyanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saleh, Fauzan. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Sunni di Indonesia Abad XXJ . Jakarta: Serambi

Sayyid Tantawi, Muhammad. 2005. Ijtihad dalam Teologi Keselarasan, Surabaya: JP Books

Suharto, Rudhy. Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Terhadap Metode Ijtihad Islam Liberal, Jurnal Al-Huda, Volume II, No. 6, 2002.

Syarifudin, Amir . 2005. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press

1