Disfungsi Testikuler Pada Penyakit Sistemik Edit
-
Upload
antonius-darmawan -
Category
Documents
-
view
97 -
download
1
description
Transcript of Disfungsi Testikuler Pada Penyakit Sistemik Edit
1
DISFUNGSI TESTIKULER PADA PENYAKIT SISTEMIK
Latar Belakang
Penyakit sistemik non-testikuler memiliki efek-efek utama pada testis meskipun tidak
cukup dikenali. Penanganan klinis gangguan medis apapun seharusnya mencakup
pertimbangan yang teliti akan efek-efek penyakit dan perlakuannya terhadap
kesehatan reproduksi pria (termasuk fertilitas, status androgenic dan fungsi seksual).
Pria sangat menghargai kesehatan reproduksi mereka sebagai bagian dari kehidupan
yang sepenuhnya. Konsekuensinya pemeliharaan kesehatan reproduksi adalah
pertimbangan esensial dalam perawatan medis.
Mekanisme Gangguan Reproduksi oleh Penyakit-penyakit Sistemik
Efek terhadap sistem reproduksi dari penyakit-penyakit non-testikuler tergantung dari
keparahan dan kronisitas penyakit yang mendasarinya. Disfungsi reproduksi pria dapat
diakibatkan oleh dampak selektif pada level spesifik dari aksis hipotalamus-pituitari-
gonad, namun sering pada penyakit non-testikuler kronik, level-level beragam terkena
secara bersamaan. Durasi dan reversibilitas gangguan aksis testikuler tergantung pada
keparahan dan mekanisme-mekanisme patofisiologis yang terlibat pada penyakit
dasarnya dan terapinya. Gangguan-gangguan spermatogenesis dapat bersifat sementara,
berlangsung kurang dari satu siklus spermatogenik, secara khas dikaitkan dengan
gambaran-gambaran non-spesifik seperti demam, kehilangan berat badan atau efek-efek
sitokin dari penyakit non-testikuler. Hal ini dapat bertahan lama atau bahkan menjadi
ireversibel setelah terapi obat sitotoksik untuk kanker atau penyakit-penyakit serius
lainnya.
Hipogonadisme
Ekspresi defisiensi androgen adalah nyata pada tiap tahap yang berbeda dari kehidupan.
Defisiensi androgen prenatal menyebabkan berbagai derajat perkembangan yang tidak
lengkap dari genitalia interna dan eksterna pria, yang bervariasi dari tidak adanya
perkembangan seksual maskulin secara komplit hingga ke berbagai derajat hipospadia,
2
ginekomasti dan/atau cryptorchidism. Defisiensi androgen pubertas bermanifestasi
sebagai pubertas terlambat, proporsi tulang rangka yang eunuchoidal dan gangguan
virilisasi, sedangkan defisiensi androgen pascapubertas dapat hadir dengan gambaran-
gambaran klasik defisiensi androgen dewasa yang sudah dikenal baik.
Karena tidak mengancam nyawa, defisiensi androgen yang terjadi dalam kaitan
dengan penyakit kronis biasanya terabaikan dan kurang terdiagnosis. Keadaan ini
secara khusus sering terjadi ketika defisiensi androgen ditutupi oleh penyakit sistemik
yang berat dengan gambaran-gambaran klinis yang lebih dramatis. Gambaran-
gambaran klasik dari defisiensi androgen adalah semburan panas pada pria yang
dikastrasi, manifestasi-manifestasi dari defisiensi androgen moderat hingga berat
yang memanjang.
Defek-defek dalam spermatogenesis hanya bermanifestasi setelah pubertas dan tidak
memiliki gejala-gejala selain infertilitas, hanya terdeteksi saat evaluasi diagnostik untuk
infertilitas atau secara kebetulan (misalnya cryostorage sebelum terapi gonadotoksik).
Level Gangguan pada Aksis Reproduksi Pria
Penyakit-penyakit non-testikuler dapat mengganggu level-level yang berbeda dari aksis
hipotalamus-pituitari-testis. GnRH, gonadotropin dan sekresi dapat disupresi oleh
penyakit-penyakit akut atau kronis melalui gangguan mekanisme pengaturan
hipotalamus, sedangkan penyakit kronik yang mendasari dapat berdampak secara
langsung pada steroidogenesis sel Leydig atau spermatogenesis.
Penyakit-penyakit sistemik kronik atau berat seringkali menghasilkan secara
karakteristik pengaturan aksis hipotalamus-pituitari yang mengalami gangguan, yang
mana serupa dalam mekanismenya dengan mekanisme fisiologis yang bekerja pada
pubertas dan juga pada siklus-siklus gonadal tahunan dari hewan-hewan yang kawin
musiman. Mekanismenya secara karakteristik menunjukkan gambaran trias: inhibisi
sekresi GnRH, hipersensitivitas terhadap umpan balik negatif testikulker, dan resistensi
terhadap nalokson yang telah diistilahkan dengan ontogenic regression. Regresi
ontogenik melibatkan suatu variasi yang reversible dalam sensitivitas terhadap umpan
3
balik negatif testikuler yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam hal sekresi
gonadotropin dan testosteron.
Regresi ontogenik adalah suatu mekanisme dasar yang umum pada berbagai penyakit
sistemik, termasuk penyakit-penyakit ginjal, respirasi, hati, peradangan, gizi kronis dan
juga penyakit akut dan luka bakar yang berat. Dalam konteks penyakit kronis, dampak
gagal organ kronik dan transplantasi adalah contoh yang jelas dari regresi ontogenik,
baik itu dalam aplikasi manusia yang positif maupun negatif.
Penyakit atau trauma non-gonad sistemik yang paling berat seperti luka bakar, infark
miokard, cedera traumatic atau bedah, dan penyakit kritis akut menekan fungsi
testikuler seperti yang dibuktikan dengan level testosterone darah yang rendah, level-
level inhibin imunoreaktif yang tidak berubah, level-level gonadotropin imunoreaktif
yang menurun atau sedikit meningkat dengan level-level LH bioaktif yang rendah dan
hambatan sekresi LH pulsatil. Defisiensi androgen biokimiawi sementara
(hipogonadisme sekunder) ini adalah sangat umum sehingga ini harus dipikirkan
sebagai pendamping yang regular dari penyakit akut atau kronis berat. Hipogonadisme
sekunder bahkan lebih sering daripada hipotiroidisme hipopituitarisme fungsional yang
reversible sehubungan dengan penyakit non-gonadal sistemik. Dalam teori, defisiensi
androgen yang berat dan bertahan yang disebabkan oleh suatu penyakit kronis dapat
berkontribusi pada morbiditas penyakit dasarnya. Walau demikian untuk menentukan
apakah defisiensi androgen bioimiawi adalah bersifat insidental atau bahkan protektif
membutuhkan RCT yang didesain dengan baik yang mengevaluasi efek-efek jangka
pendek dan jangka panjang dari pergantian androgen fisiologis.
Fungsi testikuler ditekan oleh gambaran-gambaran umum penyakit sistemik
seperti sitokin-sitokin, demam, penurunan berat badan dan penyakit kronis atau
katabolisme dan pembedaan antara efek-efek ini adalah sulit. Hal-hal ekstrim dari
nutrisi mempengaruhi fungsi testikuler namun fungsi reproduksi pria lebih rentan
daripada sistem reproduksi wanita selama keadaan-keadaan katabolic seperti kurang
gizi, trauma dan latihan fisik yang ekstrim. Latihan fisik yang berat memiliki efek
minimal pada fungsi testikuler dan spermatogenesis namun latihan fisik yang ekstrim
4
menyebabkan inhibisi profunda sekresi androgen testikuler yang dapat dimodifikasi
dengan latihan anaerobic jangka panjang.
Gangguan spermatogenesis dapat mengakibatkan infertilitas terutama melalui reduksi
dalam jumlah sperma yang diejakulasi dan mungkin juga dalam hal fungsi sperma.
Replikasi DNA dan seluler yang intens dari epitel germinal membuatnya secara tunggal
rentan terhadap sitotoksin seperti iradiasi peng ion, obat-obat sitotoksik (terutama
bahan-bahan peng alkilasi), zat-zat terapeutik lainnya (misalnya beberapa antibiotika)
dan paparan lingkungan atau pekerjaan. Zat-zat itu menyebabkan semua derajat
hipospermatogenesis dari penekanan yang reversible hingga ablasi permanen dari
deplesi sel stem germinal. Karena spermiogenesis membentuk dasar morfologis bagi
fungsi sperma, maka interupsi pada stadium spermatogenesis ini dapat menghasilkan
sperma yang hipofungsional (infertil).
Usia adalah pengubah yang penting untuk respons testikuler terhadap penyakit sistemik.
Aksis hipotalamus pituitary testikuler yang semakin matur telah meningkatkan
kerentanan, membuat para remaja secara khusus rentan terhadap pubertas tertunda
selama penyakit kronis. Pria-pria yang lanjut usia menunjukkan penurunan level
testosterone sedangkan level SHBG dan gonadotropin meningkat, perubahan-perubahan
yang secara nyata dipengaruhi oleh koeksistensi penyakit kronis dan/atau terapinya.
Perubahan-perubahan ini mencerminkan perubahan umum pada fungsi hipotalamik
sebagai gambaran dari regresi ontogenik yang mencakup penurunan testosterone,
perubahan-perubahan sekresi LH pulsatil dan sensitivitas terhadap baik umpan balik
steroid negative maupun opioid dan juga manifestasi testikuler yang berkorespondensi
seperti penurunan-penurunan progresif dalam ukuran testis, isi sel dan spermatogenesis.
Obat-obatan dapat mengganggu kerja androgen melalui banyak sekali cara dan
kadangkala beragam mekanisme yang mencakup (i) menurunkan sekresi LH (misalnya
opiat-opiat), (ii) menghambat enzim-enzim steroidogenik (misalnya aminoglutethimide,
ketoconazole, finasteride, dutasteride), (iii) metabolisme testosteron yang meningkat
(misalnya, barbiturat, antikonvulsan dan penginduksi enzim hepatic lainnya), (iv)
antagonis-antagonis reseptor androgen yang memblok kerja testosterone (misalnya,
5
simetidin, spironolakton, cyproterone acetate), atau (v) bekerja sebagai antagonis-
antagonis fisiologis dari kerja androgen (efek-efek estrogenik digoksin,
hiperprolaktinemia yang diinduksi-obat). Namun, sangat sedikit obat-obat terapeutik
yang telah dipelajari secara detail efek-efek potensial mereka terhadap sistem
reproduksi pria.
Penyakit-penyakit dan Gangguan-gangguan Spesifik
Penyakit Ginjal
Fungsi ginjal yang menurun dapat mengakibatkan defisiensi androgen dan
spermatogenesis abnormal. Tergantung pada waktu terjadinya, disfungsi gonad
bermanifestasi sebagai pubertas terlambat pada remaja dan/atau sebagai atrofi testis,
gangguan spermatogenesis, infertilitas, disfungsi seksual atau ginekomasti pada pria-
pria dewasa.
Gagal ginjal mengakibatkan perubahan pada level-level yang berbeda dari aksis
hipotalamo-pituitari dengan perubahan-perubahan dalam pengaturan hipotalamik akan
fungsi pituitari gonadal menjadi predominan, daripada defek-defek perifer yang intrinsic
pada testis. Inhibisi baik spermatogenesis dan steroidogenesis yang disertai oleh
peningkatan refleks yang sedang hingga minimal dalam gonadoropin, bersama dengan
gambaran-gambaran histologis testikuler adalah indikasi akan suatu kondisi
hipogonadotropik fungsional. Namun demikian, angka klirens gonadotropin yang
menurun jelas pada uremia menutupi efek-efek sekresi gonadotropin yang secara tidak
tepat rendah untuk angka produksi testosterone yang berkurang. Konsekuensinya,
meskipun level testosterone darah rendah, kegagalan kenaikan yang sesuai dalam hal
level LH darah, bersama dengan defek-defek dalam sekresi LH pulsatil dan regulasi
opiatergik hipotalamik mempengaruhi akan sekresi gonadotropin, mencerminkan
predominansi regulasi hipotalamik dalam pathogenesis hipogonadisme uremic manusia,
sebagai suatu manifestasi karakteristik dari regresi ontogenik. Frekuensi denyut GnRH
dipertahankan, sedangkan kekuatan denyut menurun, yang menyebabkan penurunan
dalam LH per ledakan, namun frekuensi denyut LH plasma yang tidak berubah.
Konsekuensi sekunder tambahan dari uremia yang mendasari dan terapinya mencakup
6
insensitivitas LH relative dari sel-sel Leydig, meningkatnya klirens metabolic
testosterone seluruh tubuh dan gangguan spermatogenesis.
Gagal ginjal akut disertai dengan penurunan level testosterone dengan perubahan
minimal dalam hal level gonadotropin atau SHBG dan respons-respons yang bertahan
terhadap stimulasi GnRH, juga konsisten dengan hipogonadisme hipotalamik
(sekunder) yang dibalikkan menyertai pemulihan fungsi ginjal. Studi-studi
eksperimental pada hewan pengerat (rodents) mengkonfirmasi predominansi regulasi
hipotalamik yang aberrant akan fungsi pitutari gonadal dalam pathogenesis
hipogonadisme uremic.
Disfungsi reproduksi menjadi terbukti pada stadium dini dari gagal ginjal akut atau
kronik perburukan saat perawatan peritoneal or hemodialisis dibalikkan secara penuh
hanya dengan transplantasi ginjal yang berhasil.
Kebanyakan pria dengan uremia pre-dyalisis memiliki level testosteron yang rendah
atau rendah-normal dan prevalensi dan keparahan defisiensi androgen biokimiawi
meningkat pada pasien-pasien yang membutuhkan dialisis. Transplantasi ginjal adalah
satu-satunya terapi yang efektif untuk merestorasi fungsi testis dan membalikkan
hampir semua gangguan dalam hal sekresi testosteron dan spermatogenesis. Meski
demikian, minoritas pria dengan transplant ginjal yang berhasil memiliki defisiensi
androgen biokimiawi yang menetap ringan dan gangguan spermatogenesis, dapat
disebabkan oleh normalisasi yang tidak komplit akan fungsi ginjal. Meskipun temuan-
temuan yang konsisten tentang defisiensi androgen pada uremia kronik, studi-studi
terkontrol tentang terapi penggantian androgen masih sangat jarang namun menjanjikan.
Farmakokinetika testosteron transdermal pada pria dengan gagal ginjal stadium akhir
dapat diperbandingkan dengan pria hipogonadal yang sehat, sehingga ini dapat
digunakan untuk pria-pria yang kekurangan androgen dengan gagal ginjal. Bahkan jika
terapi penggantian testosteron tidak menjanjikan, terapi testosteron farmakologis
mungkin memiliki manfaat bagi pria-pria dengan insufisiensi ginjal kronik. Sebagai
contoh, terapi androgen farmakologis dengan testosteron atau androgen-androgen
7
sintesis sebagai terapi adjuvant untuk anemia ginjal, kekurangan gizi dan osteodistrofi
selama fase-fase pre-dyalisis dan dialysis telah diketahui dengan baik dan seringkali
dianggap sebagai terapi alternatif yang cukup efektif namun berbiaya rendah daripada
terapi mahal modern seperti eritropoietin atau bisphosphonates.
Pernyataan bahwa terapi-terapi lain, termasuk supresi hiperprolaktinemia, suplementasi
seng atau eritropoietin, memperbaiki fungsi testikuler belum dikonfirmasi pada studi-
studi yang terkontrol baik. Regimen-regimen imunosupresif konvensional yang
melibatkan prednisone, azathioprine, cyclosporine A, mycophenolate mofetil atau
rapamycin inhibitors (sirolimus, tacrolimus, everolimus) tampaknya memiliki sedikit
atau tidak ada efek-efek signifikan yang secara klinis konsisten terhadap fungsi
testikuler manusia. Namun, keterbatasan studi-studi retrospektif membuatnya sulit
untuk mengevaluasi laporan-laporan observasional tentang efek-efek merugikan yang
potensial.
Penyakit Hati
Penyakit hati akut yang mencakup hepatitis menyebabkan peningkatan jelas dalam
level-level SHBG sirkulasi, yang menghasilkan kenaikan reflex dalam hal sekresi
gonadotropin dan steroid seks untuk mempertahankan testosteron testikuler dan suplai
androgen jaringan. Patofisiologis dari gangguan biokimiawi sementara seperti itu
selama penyakit akut masih belum jelas.
Gagal hati kronik dikaitkan dengan gambaran-gambaran yang menonjol untuk
hipogonadisme, termasuk infertilitas, gangguan spermatogenesis, atrofi testis,
ginekomasti, berkurangnya rambut badan dan disfungsi seksual.
Angka produksi testosteron menurun, menyebabkan level testosteron sirkulasi yang
lebih rendah meskipun terjadi kenaikan dalam hal level SHBG sirkulasi dengan
konsekuensi kejatuhan angka klirens testosteron menutupi keparahan defisiensi
androgen. Meskipun level-level testosteron subnormal, namun level gonadotropin masih
dalam kisaran rendah hingga normal dengan penurunan sekresi LH pulsatil,
menekankan arti penting disregulasi hipotalamik dalam pathogenesis hipogonadisme
8
pada penyakit hati kronik. Pada penyakit hati kronik, testosteron sirkulasi yang
meningkat dapat mewakili sebuah faktor risiko untuk karsinoma hepatoseluler.
Data eksperimental menunjukkan bahwa porto-caval shunting, aromatase over-
expression atau defisiensi insulinlike growth factor I semuanya telah dipikirkan
memiliki peran-peran yang mungkin dalam disfungsi gonad sehubungan dengan sirosis,
meskipun belum ada yang terkonfirmasi pada manusia.
Karena alkohol adalah penyebab yang paling sering untuk gagal hati kronik pada
masyarakat kaya, maka gambaran-gambaran klinis yang sering dari penyakit hati kronis
adalah manifestasi-manifestasi klinis sehubungan dengan penyakit hati kronis itu sendiri
dan toksisitas alkoholik kronik. Para pria dengan penyakit hati alkoholik menunjukkan
level-level gonadotropin yang jelas tinggi yang mengisyaratkan akan kerusakan testis
langsung tambahan dari alcohol, selain dari efek-efek hipotalamik yang predominan
untuk gagal hati kronik; pria dengan gagal hati cenderung memiliki level gonadotropin
yang rendah secara tidak sesuai, khususnya dengan gagal hati berat dan koma dimana
level gonadotropin sangat berkurang.
Terpisah dari toksisitas alcohol langsung terhadap testis, faktor-faktor patogenik utama
untuk efek-efek reproduktif dari penyakit hati adalah kehilangan parenkima hati dan
portacaval shunting (menyebabkan kelebihan dopamine serebral yang mungkin), namun
peran-peran relative mereka masih perlu diklarifikasi. Pada umumnya, jumlah jaringan
hati fungsional sisa berkorelasi dengan derajat defisiensi androgen biokimiawi.
Demikian pula disfungsi endokrin testikuler dan konsekuensi-konsekuensi defisiensi
androgen parsial terhadap prostat adalah proporsional terhadap keparahan fungsi hati
yang mendasari dan dibalikkan oleh transplantasi hati yang berhasil.
Pemberian testosteron memperbaiki kondisi, meningkatkan protein-protein serum dan
mengurangi edema tanpa efek-efek merugikan yang serius namun meta-analisis
komprehensif tentang bukti terbaik yang ada mengindikasikan tidak adanya manfaat
biokimiawi maupun klinis yang signifikan atau bertahan lama. Terapi standar saat ini
untuk hepatitis C kronis dengan interfern alpha2b dan ribavirin menyebabkan
9
penurunan level testosteron darah, tanpa perubahan konsisten dalam level LH, FSH atau
SHBG, sebuah efek yang reversible setelah penghentian terapi, konsisten dengan efek
obat langsung dan/atau sebuah efek yang dimediasi melalui perbaikan penyakit yang
mendasari.
Pria dengan hepatitis aktif kronis yang membutuhkan imunosupresi pada prinsipnya
spermatogenesis normal meskipun diberikan dosis azathioprine hingga 150 mg sehari.
Sedikit informasi tersedia mengenai parameter-parameter semen pada penyakit-penyakit
hati kronik lainnya.
Kelebihan muatan zat besi sistemik oleh karena baik itu genetik maupun
hemokromatosis pascatransfusi yang didapat seringkali menyebabkan hipogonadisme
hipogonadotropik oleh karena deposisi zat besi pituitari, yang menyebabkan kerusakan
yang relatif selektif terhadap gonadotropes. Pada penyakit yang lebih lanjut, efek-efek
tambahan dari sirosis dan diabetes selanjutnya menggarisbawahi presentasi klinis
defisiensi androgen. Gangguan ini dahulu seringkali hadir dengan defisiensi androgen
progresif pada pria-pria setengah dengan terapi penggantian androgen atau jika
dibutuhkan fertilitas, maka dipakai terapi gonadotropin. Hipogonadisme yang diinduksi-
kelebihan zat besi jarang dibalikkan oleh desaturasi besi dari vena seksi kecuali pada
pria-pria muda (<40 tahun). Terapi pengganti testosteron seringkali perlu dan efektif
baik secara simptomatis dan dalam merestorasi kehilangan densitas tulang karena
defisiensi androgen. Induksi gonadotropin untuk spermatogenesis secara khusus efektif
pada hemokromatosis genetic, karena awitan defisiensi gonadotropin menyertai
pubertas normal sedangkan terapi GnRH pulsatil tidak efektif karena sekresi
gonadotropin tidak bisa diinduksi. Penemuan defek genetic pada hemokromatosis dan
perkembangan skrining keluarga dan komunitas pra-simptomatik yang efektif telah
menurun secara dramatis, namun tidak tereliminasi, presentasi-presentasi lambat dari
hemokromatosis genetik dengan manifestasi-manifestasi klinis yang nyata akan
defisiensi androgen.
10
Penyakit-penyakit Respirasi
Infeksi-infeksi sinopulmonaris kronik (bronchitis, bronkiektasis, kambuh-kambuhan,
sinusitis dan/atau otitis media kronis) dikaitkan dengan infertilitas yang berhubungan
dengan Young syndrome, cystic fibrosis (CF), and dyskinetic cilia syndromes (termasuk
immotile cilia dan Kartagener syndrome).
Baik Young syndrome maupun CF memiliki azoospermia obstruktif yang disebabkan
oleh ketiadaan kongenital vas deferens pada CF, sedangkan pada Young syndrome
epididymis dan vas deferens secara anatomis intak namun epididymis menjadi
terhambat secara intraluminal. Sebaliknya, sistem dan luaran sperma normal pada
sindrom-sindrom silia diskinetik namun sperma adalah imotil karena defek-defek dalam
fungsi axonemal, meskipun jarang namun telah dikemukakan adanya varian-varian
sindrom silia diskinetik yang kurang penyakit respirasi, dengan defek-defek silia yang
terbatas pada paru-paru atau sperma atau dengan obstruksi duktuler.
CF klasik, oleh karena mutasi-mutasi pada gen CFTR, juga dikaitkan dengan pubertas
terlambat yang dilatarbelakangi oleh penyakit kronik dan juga nutrisi suboptimal dari
disfungsi pankreas eksokrin. Hampir semua (95%) para pria dengan CF mengalami
ketiadaan bilateral congenital vas deferens (CBAVD), namun CBAVD sendiri dikenali
sebagai suatu varian CF genital primer, dengan para pria yang paling banyak terkena
yang membawa heterozigot-heterozigot compound untuk dua mutasi CFTR yang
berbeda. Mutasi-mutasi yang paling sering yang terkait dengan CBAVD adalah
penghilangan ΔF508 dari gen CFTR dan suatu varian intron 8 (IVS8-5T), namun sekitar
1.500 mutasi lain dari gen ini telah teridentifikasi sejauh ini, kebanyakan dari mereka
adalah perubahan-perubahan nukleotida tunggal, seringkali “private” bagi keluarga
tertentu. Genotipe-genotipe ini membuat skrining bagi kasus-kasus sporadik sulit karena
tidak mungkin untuk melakukan skrining secara komprehensif untuk semua mutasi,
banyak dari mereka yang mungkin masih belum ditemukan. Namun, karena ART dapat
secara regular mencapai paternitas dari aspirasi sperma testkuler maka setiap anak
adalah carrier CF obligat dan konseling genetika yang terinformasi dengan baik adalah
penting. Apa yang menentukan pola klinis penyakit (CF vs CABVD) masih suatu teka-
teki biologis.
11
Sekitar setengah dari pasien-pasien pria dengan sarcoidosis menunjukkan
hipogonadisme hipogonadotropik yang independen akan penggunaan glukokortikoid.
Keterlibatan neural pada 5% dapat menghasilkan hipogonadisme hipogonadotropik oleh
infiltrasi pituitari. Kurangnya temuan-temuan morfologis spesifik pada traktus
reproduksi adalah konsisten dengan efek dari mekanisme regresi ontogenik penyakit
kronik. Apakah level-level testosteron sirkulasi yang rendah berkontribusi pada
kelelahan, kelemahan otot dan mood yang depresif masih akan ditentukan.
Sleep apnea obstruktif dikaitkan dengan disfungsi seksual dan level-level testosteron
yang menurun tanpa kenaikan refleks dalam hal level-level gonadotropin yang indikatif
akan suatu mekanisme hipogonadotropik sentral. Efek-efek ini, yang dapat dibalikkan
oleh pemeliharaan mekanis patensi jalan nafas atas tanpa kehilangan berat badan terjadi
pada umumnya bersama dengan obesitas dan gejala-gejala sindrom metabolic.
Kontribusi-kontribusi relatif hipoksia dan fragmentasi tidur terhadap hipogonadisme
sentral masih perlu diklarifikasi. Pemberian testosteron dapat mempresipitasi apnea
tidur yang obstruktif pada beberapa pria obese yang berpredisposisi dan efek-efek
jangka pendek yang merugikan pada tidur dan pernafasan pada dosis-dosis lebih tinggi
pada pria tua. Hasil-hasil dari RCTs menunjukkan bahwa pemberian testosteron dosis
tinggi dapat memiliki efek-efek jangka-pendek yang merugikan terhadap tidur dan
pernafasan, namun efek-efek dari dosis yang lebih rendah masih perlu dievaluasi.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) terkait dengan penundaan pubertas
sehubungan dengan penyakit kronik dan terapi kortikosteroid sistemik namun efek-efek
yang dilaporkan pada fungsi reproduksi pria pascapubertas masih tidak konklusif.
Defisiensi androgen biokimiawi pada COPD telah dihubungkan dengan hipoksemia,
inflamasi sistemik dan penggunaan kortikosteroid yang berdampak pada regulasi aksis
hipotalamik-pituitari yang konsisten dengan mekanisme regresi ontogenik yang
mendasari. Sebagai contoh, di antara 138 pria dengan COPD, eksaserbasi
mengakibatkan penurunan level-level testosteron sirkulasi (berkorelasi positif dengan
PaO2) dan suatu peningkatan refleks dalam gonadotropin-gonadotropin yang
dinormalisasi secara parallel dengan perbaikan dalam hal gas-gas darah arterial selama
pemulihan. Beberapa bukti menunjukkan efek-efek yang merugikan dari terapi
12
glukokortikoid jangka panjang seperti kehilangan massa otot atau tulang dapat diatasi
dengan terapi androgen. Emfisema yang terkait dengan defisiensi α1-antitrypsin genetik
dihubungkan dengan fungsi testikuler normal dan fertilitas. Awitan lambat dari gejala-
gejala berat dapat menjelaskan prevalensi tinggi yang tidak biasa dari penyakit genetik
deleterious ini yang sepertinya tidak mampu mengganggu “kebugaran” genetik hingga
setelah usia reproduksi.
Penyakit Keganasan
Kanker dan terapinya dengan obat-obat sitotoksik atau irradiasi memiliki efek yang
dramatis terhadap fungsi reproduksi pria dan secara regular menghasilkan kerusakan
spermatogenik sementara atau permanen, infertilitas dan, kurang sering, defisiensi
androgen. Ini secara khusus mengenai keganasan-keganasan umum dari hidup
reproduksi pria yang ditangani secara medis dengan intent kuratif selama kehidupan
reproduksi yang terdiri atas tumor-tumor testikuler (teratoma, seminoma) dan
hematologis (Limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin) dan sarcoma. Meskipun
perencanaan keluarga seringkali menjadi isu yang penting bagi para pria yang berusia
reproduksi dengan kanker, beberapa pria masih belum mendapatkan informasi yang
baik tentang infertilitas sebagai suatu efek samping terapi kanker. Sebuah survey
tentang pasien kanker pria di Amerika Serikat yang berusia 14-40 tahun menunjukkan
bahwa 51% menginginkan anak di masa mendatang, namun hanya 60% yang ingat
bahwa mereka telah diberi informasi mengenai infertilitas sebagai efek samping dari
terapi.
Secara virtual semua pria yang datang dengan kanker menunjukkan disfungsi testikuler
yang moderat termasuk khususnya penekanan spermatogenesis bahkan sebelum terapi
sitotoksik. Mekanisme patogenesisnya masih belum jelas, namun kontribusi-kontribusi
dari demam, kehilangan berat badan, prosedur-prosedur diagnostik atau sitokin-sitokin
dan juga efek-efek regresi ontogenik dari penyakit kronik sepertinya berkontribusi dan
sulit untuk membedakannya. Pasien-pasien kanker seringkali mengalami penyakit
dalam hal massa otot, anoreksia, kelemahan, kelelahan, depresi dan disfungsi seksual.
Gejala-gejala non-spesifik tersebut sulit untuk dibedakan dari gejala-gejala defisiensi
androgen. FSH serum meningkat secara konsisten sesuai dengan derajat kerusakan
13
germinal dari terapi kanker sitotoksik, perubahan-perubahan dalam level-level sirkulasi
LH, T dan SHBG adalah inkonsisten. Sepertinya bahwa suatu variasi dari faktor-faktor
individual seperti sitokin-sitokin (IL 6, IGF-1 dan lainnya), variasi-variasi dalam terapi
sitotoksik dan terapi nyeri berbasis-opiat dan faktor-faktor lain mempengaruhi status
androgen bersih pada survivors kanker pria. Di antara studi-studi yang terkontrol-baik
yang sangat sedikit adanya tentang terapi androgen pada beragam kanker, temuan-
temuannya tidak menetapkan manfaat yang konsisten akan terapi androgen dan
dibutuhkan uji coba klinis lebih lanjut sebelum terapi ini dijustifikasi.
Pembedahan
Orkidektomi unilateral untuk kanker testis memiliki efek konsisten yang sedikit pada
luaran sperma atau fertilitas, jika testis kontralateral normal. Namun, kanker testis dan
pembedahan memiliki efek-efek sementara dan reversibel terhadap produksi sperma dan
luarannya. FSH dan LH darah pasca-orkidektomi meningkat secara moderat, namun
testosteron tidak dipengaruhi oleh orkidektomi unilateral. Prostatektomi radikal atau
operasi kanker rectal dapat menghasilkan angka yang tinggi disfungsi erektil pasca-
bedah. Perbaikan teknik-teknik bedah, seperti operasi nerve-sparing atau unilateral
bukannya diseksi nodus limfe retroperitoneal radikal bilateral, dapat memperbaiki
fungsi ereksi dan ejakulasi pascabedah untuk mengurangi prevalensi ejakulasi kering
dan disfungsi ereksi.
Kemo-/Radioterapi
Terapi dengan kombinasi kemoterapi dan/atau irradiasi terapeutik secara virtual selalu
menyebabkan azoopsermia dan infertilitas. Namun, durasi azoospermia dan derajat dan
kecepatan pemulihan spermatogenic bervariasi menurut regimen yang digunakan dari
reversibilitas penuh (misalnya, cisplatinum/vinblastine/bleomycin untuk teratoma),
parsial (misalnya kemoterapi kombinasi untuk untuk sarcoma) dan tergantung dosis
(misalnya irradiasi pelvis dengan pelindungan testis untuk seminoma) selama beberapa
tahun setelah terapi hingga sterilisasi ireversibel yang esensial (misalnya MOPP untuk
penyakit Hodgkin [Whitehead dkk. 1982]). Pada pria dengan penyakit Hodgkin
sterilisasi yang tidak terhindarkan dari suatu perjalanan standar MVPP atau MOPP
mungkin dapat dihindari dengan menggunakan siklus-siklus MOPP yang lebih sedikit,
14
MOPP yang diselang-seling dengan regimen ABVD (doxorubicin, bleomycin,
vinblastine, dacarbazine) atau ABVD sendiri yang memiliki efikasi terapeutik yang
setara namun lebih kurang toksisitas spermatogenik daripada MOPP mungkin
sehubungan dengan tidak adanya zat-zat pengalkilasi yang poten, yang secara khusus
bersifat gonadotoksik.
Regimen-regimen terapeutik yang digunakan untuk menangani limfoma Non-Hodgkin
seperti VAPEC-B, atau VEEP adalah kurang bersifat gonadotoksik daripada regimen-
regimen yang biasanya dipakai untuk penyakit Hodgkin, mungkin karena zat-zat
pengalkilasi yang poten procarbazine dan dacarbazine .
Testis sangat sensitive terhadap irradiasi pengion, dengan dosis-dosis tunggal 20 rads
(cGy) yang menyebabkan azoospermia dan waktu-untuk-pemulihan menjadi
proporsional terhadap dosis . Perlindungan testis yang efektif dapat sangat mengurangi
dosis testikuler selama irradiasi pelvis namun dosisnya (tipikalnya ~2% dari dosis)
masih melebihi ambang batas untuk kerusakan spermatogenik (<0,5% dari dosis).
Berlawanan dengan jaringan-jaringan lain, fraksionasi dosis meningkatkan kematian
spermatogonial.
Total body irradiation (TBI) yang diberikan untuk pengkondisian sebelum
hematopoietic stem cell transplantation (HSCT) yang allogeneik menyebabkan
kerusakan spermatogenik yang berat. Pemulihan spermatogenik lebih cenderung pada
pria muda (<25 tahun) dan ketika mereka masih bebas dari penyakit Graft-versus-Host
kronik (Rovo dkk. 2006). Sebuah study yang mengevaluasi para survivors jangka
panjang setelah HSCT melaporkan bahwa 19% dari pasien-pasien pria melaporkan
hipogonadisme hipogonadotropik 1,5 tahun setelah HSCT, namun level-level
testosterone dinormalisasi setelah 3 tahun.
Pasien-pasien kanker tiroid yang mendapatkan dosis standar tunggal atau sedikit dosis
radioiodine131I, mengalami biasanya hanya gangguan spermatogenesis sementara.
15
Selain cryostorage sperma praterapi, cara-cara untuk memproteksi kesehatan reproduksi
selama terapi mencakup meminimalkan kemoterapi gonadotoksik, shielding testikuler
yang maksimal selama radioterapi, teknik-teknik operasi nerve-sparing dan di masa
depan, mungkin transplantasi sel germ autologous. Pilihan-pilihan yang lebih spekulatif
untuk di masa mendatang, khususnya untuk anak-anak laki-laki prapubertas,
memasukkan xenografting atau autografting ektopik jaringan testis, maturasi in vitro
jaringan testis atau penggunaan sel-sel stem embrionik yang pluripoten. Terapi-terapi
sitoproteksi hormonal ekspermental dengan menggunakan baik itu steroid dan/atau
analog-analog GnRH untuk menghambat fungsi testis selama kemoterapi menunjukkan
hanya sedikit harapan pada model-model eksperimental atau studi-studi awal pada
manusia atau primata bukan-manusia.
Disfungsi testis praterapi adalah sesuatu yang terbatas pada cryopreservation sperma,
meskipun kebanyakan pria mampu untuk melakukan cryostore sperma jika mereka mau.
Cryopreservation sperma bagi para pria tanpa keluarga-keluarga yang lengkap
merepresentasikan persiapan yang efektif biaya dan menguatkan secara psikologis
untuk pemulihan dari terapi. Sebagai suatu bentuk jaminan fertilitas, hanya penggunaan
terbatas dari material yang di cryostored pada inseminasi artificial atau faktor pria
IVF/ICSI dapat diharapkan dan follow-up yang tepat, termasuk saran yang tepat
mengenai kontrasepsi, prognosis untuk sembuh dan analisis semen, dibutuhkan untuk
menentukan apakah akan membuang atau melanjutkan cryostorage sperma.
Hal yang sering menjadi pemikiran para survivor kanker adalah risiko defek-defek
kelahiran pada keturunan mereka pasca-terapi. Data yang paling komprehensif yang
tersedia mengindikasikan bahwa tidak ada risiko teratogenik atau genetik yang
meningkat terhadap keturunan mereka. Dalam konteks ini, cryopreservation sperma
yang elektif sebelum terapi kanker menghindarkan paparan sperma terhadap efek-efek
genetik yang potensial dari terapi sitotoksik meskipun sperma itu terus terpapar dengan
irradiasi lingkungan selama cryostorage. Meski demikian, peningkatan aneuploidy
dan/atau kerusakan DNA in vitro pada sperma manusia telah dilaporkan pada pria-pria
dengan kanker. Disparitas antara mereka secara in vitro jelas temuan-temuan yang
merugikan pada integritas DNA sperma dengan observasi-observasi klinis negatif yang
16
menunjukan bahwa seleksi embrio yang alami (dan mungkin sperma) dan mekanisme
surveilans yang berkulminasi pada kemungkinan angka keguguran yang meningkat
dapat melindungi pasangan-pasangan terhadap risiko-risiko teratogenik dan/atau genetik
dari terapi kanker yang dimediasi-secara paternal.
Penyakit-penyakit Neurologis
Mekanisme-mekanisme yang dengan mana penyakit-penyakit neurologis menghasilkan
disfungsi testis masih hanya sebagian diketahui. Selain efek-efek dominan dari regulasi
hipotalamik akan fungsi pituitari-testis melalui sekresi GnRH, terdapat pula bukti bagi
regulasi neural langsung akan fungsi testis dan efek-efek steroid seks langsung pada
beragam fungsi otak seperti membentuk perkembangan otak, plastisitas neural dan
fungsi-fungsi otak yang lebih tinggi seperti kemampuan mood dan kognisi.
Gangguan-gangguan Genetik
Distrofi miotonik, suatu gangguan multi-sistem yang dominan otosomal adalah penyakit
otot orang dewasa yang paling sering diwariskan, dan dikaitkan dengan penurunan
fertilitas, atrofi testis, hipospermatogenesis, peningkatan gonadotropin dan level
testosteron rendah atau normal. Defek testikuler tidak memiliki hubungan dengan
keparahan, durasi atau terapi penyakit otot ataupun terapi testosteron farmakologis tidak
juga memperbaiki kekuatan otot meskipun meningkatkan massa otot.
Mutasi genetik adalah suatu ekspansi polimorfik akan ulangan-ulangan codon triplet
CTG tandem (>35) pada regio 3’ yang tidak ditranslasi dari gen myotonin protein
kinase pada 19q13, yang menyebabkan pendiaman transkripsional dari SIX5 allele.
Kehilangan SIX5 mengakibatkan sterilitas pada pria dan penurunan yang tergantung-
umur pada massa testis. Namun demikian, penggunaan ART memberi luaran reproduksi
yang baik, namun konseling genetika yang terinformasi dengan baik, mungkin dengan
memasukkan plihan diagnosis genetik praimplantasi, adalah hal yang penting.
Dasar genetika dari penyakit Kennedy (atrofi otot bulbospinal resesif terkait-X, awitan
lambat) telah diidentifikasi sebagai suatu peningkatan variable dalam jumlah ulangan-
ulangan triplet CAG jauh dari kisaran fisiologis (<38) dalam exon pertama dari reseptor
17
androgen pada suatu regio yang memberi kode untuk non-binding nya, domain terminal.
Atrofi neuromuscular progresif mulai pada pinggang dan bahu, berlanjut ke otot-otot
bulbar yang diinervasi-batang otak, yang mengakibatkan kesulitan dalam berjalan,
berbicara dan menelan dan akhirnya seringkali kematian karena kesulitan pernafasan.
Selain itu terdapat bukti samar akan resistensi androgen ringan yang didapatkan
termasuk ginekomastia, gejala-gejala defisiensi androgen, atrofi testis dan
oligo-/azoospermia. Keparahan gejala dan usia awitan berkorelasi dengan jumlah
ulangan triplet CAG tandem. Patogenesis masih belum dipahami dengan jelas dengan
faktor-faktor utama adalah efek-efek gain-of-function yang toksik seperti penyakit-
penyakit neurodegeneratif lain ataupun defek-defek dalam fungsi reseptor androgen.
Meskipun temuan-temuan histopatologis khusus pada jaringan-jaringan neural dan
muskuler dan beberapa model tikus yang ditetapka.
Sindroma fragile-X, penyebab yang paling umum untuk retardasi mental dengan sekitar
satu dalam 4.000 pria yang dipengaruhi dan yang menjelaskan kelebihan pria pada
institusi-institusi mental, adalah suatu gangguan yang terkait-X yang disebabkan oleh
ekspansi-ekspansi hipermetilasi hingga lebih dari 200 kopian triplet CGG pada 5’UTR
dari gen FMRI. Ini dikaitkan dengan derajat-derajat retardasi mental yang berbeda-beda,
gambaran dismorfik yang tersamar dan macroorchidism, yang sering menjadi
termanifestasi tepat sebelum pubertas, namun menunjukkan fungsi gonadal normal.
Sebuah subkelompok pria tua yang membawa allele pra-mutasi yang relatif umum
(FMRI) (didefinisikan dengan sekitar 55-200 ulangan CGG), dapat mengembangkan
tremor/sindrom ataksia yang terkait fragile-X yang dapat saja disalahdiagnosis sebagai
sindroma Parkinson.
Penyakit Huntington (HD) adalah suatu penyakit neurodegeneratif, yang dikarakterisir
oleh kelainan-kelainan motorik, neuropsikiatrik dan kognitif. Ini disebabkan oleh suatu
ekspansi trinukleotida CAG dalam gen HD pada kromosom 4p16.3, yang memberi
kode. Individu-individu yang terkena penyakit Huntington telah dtunjukkan memiliki
penurunan level testosteron total dan LH namun fertilitas normal, sedangkan evaluasi
histopatologis testes pascakematian dari empat pasien HD menunjukkan penurunan
18
angka sel-sel germ, dan suatu morfologi tubulus seminiferus abnormal dan temuan
untuk disfungsi testikuler awitan lambat pada model-model tikus dari penyakit ini.
Alasan bahwa penyakit-penyakit ini dengan replikasi DNA yang tidak stabil yang dapat
diwariskan semua manifestasi disfungsi testikuler dan neurologic masih belum jelas.
Variasi penyakit-penyakit neurologis genetik langka lainnya yang melibatkan beragam
defek congenital dikaitkan dengan hipogonadisme hipogonadotropik, agaknya
dikarenakan oleh sirkuit neural yang rusak yang melibatkan neuron-neuron GnRH
hipotalamik dan/atau generator denyut mereka. Sindrom-sindrom ini mencakup
sindroma Prader-Labhart-Willi, retardasi mental, hipotonia, perawakan pendek dan
obesitas yang disebabkan oleh penghilangan atau disomi uniparental kromosom 15,
sindroma Laurence-Moon-Biedl retinitis pigmentosa, obesitas, reardasi mental dan
polidaktili atau gambaran dismorfik lainnya, sindroma Friedreich dan ataksia serebelar
lain, sindroma lentigines multipel, defisiensi sulfatase steroid (ichtyosis congenital
terkait-X) dan sindroma-sindroma neurologis congenital yang jarang lainnya seperti
sindroma Woodhouse-Sakati , sindroma-sindroma Moebius, RUD, CHARGE, Lowe,
Martsolf, Rothmund-Thompson, Borjeson-Forssman-Lehman (Rimoin dan Schimke
1971). Pasien-pasien demikian mungkin membutuhkan penggantian androgen meskipun
faktor-faktor sosial biasanya mendiktasi bahwa fertilitas yang membutuhkan induksi
gonadotropin untuk spermatogenesis adalah jarang diminta.
Penyakit-penyakit yang Didapat
Beberapa studi baru-baru ini mengamati korelasi negatif antara penyakit Alzheimer
dengan level testosteron darah, paling mungkin dikarenakan oleh efek-efek regresi
ontogenik non-spesifik dari demensia kronik pada regulasi hipotalamo-pituitari fungsi
testikuler, yang umum dengan banyak penyakit kronik. Sebuah penelitian perintis
tentang terapi penggantian testosteron pada pria-pria dengan penyakit Alzheimer awal
yang memiliki level testosteron sirkulasi yang rendah menghasilkan perbaikan marginal
dalam hal kemampuan spasial. Evaluasi lanjut dengan RCTs yang terkontrol-baik dan
diberi tenaga yang sesuai untuk penggantian testosteron, yang mengontrol efek-efek
mood non-spesifik pada kognisi, akan dibutuhkan sebelum aplikasi klinis terapi itu
dijustifikasi.
19
Penurunan level testosteron yang terkait-umur pada pria-pria yang menua dengan
penyakit Parkinson dilaporkan serupa dengan kelompok-kelompok kontrol tanpa
demensia atau penyakit neurodegenerative dan sebuah RCT menunjukkan tidak adanya
efek manfaat dari terapi penggantian testosteron pada pria-pria yang terkena dengan
level testosteron borderline.
Demikian pula, sekitar 25% pria dengan multiple sclerosis (MS) memiliki level
testosteron sirkulasi yang menurun dengan level LH yang bervariasi yang mungkin
dikarenakan oleh efek-efek non-spesifik dari proses radang kronik yang mendasari.
Selain itu, demielinisasi spinal mengakibatkan gangguan ereksi dan fungsi ejakulasi
namun spermatogenesis tidak terganggu oleh penyakit ini atau terapinya dengan
interferon beta. Efek-efek neuroprotektif yang menjanjikan yang diklaim untuk terapi
testosteron pada suatu studi saling-silang kecil pada para pria dengan MS kambuh-
remisi memerlukan konfirmasi.
Epilepsi lobus temporal dikaitkan dengan hipogonadisme dan disfungsi seksual,
sedangkan bentuk-bentuk lain dari epilepsy memiliki dampak sistematik yang sedikit
diketahui terhadap fungsi testikuler. Data hewan klinis dan eksperimental menunjukkan
sistem temporolimbik mengubah regulasi hipotalamo-pituitari untuk GnRH dan sekresi
gonadotropin. Operasi lobus temporal menormalkan angka testosteron darah. Level-
level testosteron yang rendah dan hiposeksualitas adalah umum pada epilepsy yang
diterapi-antikonvulsan. Antikonvulsan meningkatkan sekresi sekresi SHBG hepatic
yang mengakibatkan penurunan angka klirens metabolik untuk testosteron bersamaan
dengan peningkatan dalam testosteron total dan gonadotropin, sedangkan level
testosteron bebas menurun. Parameter-parameter semen tampaknya sedikit terpengaruh
pada pria-pria epileptic yang tidak diterapi dan yang diterapi-fenitoin, meskipun data
masih sangat kurang. Luaran sperma masih normal namun morfologi dan motilitas
terganggu selama terapi jangka panjang dengan fenitoin. Testosteron memiliki efek
antikejang pada model-model hewan eksperimental namun efek-efek terhadap kejang-
kejang eksperimental pada manusia adalah campuran. Peranan aromatisasi testosteron
terhadap estradiol, yang memiliki efek-efek prokonvulsan, masih perlu diklarifikasi.
20
Namun, studi-studi klinis terkontrol yang lebih besar akan efek-efek pemberian
androgen pada kontrol kejang atau status androgenic akan menjadi hal yang menarik.
Kerusakan korda spinalis dari trauma atau penyakit neurologis menyebabkan disfungsi
testikuler yang tergantung pada keparahan pada level dan luasnya interupsi korda
spinalis. Fungsi testikuler diganggu oleh termoregulasi yang aberrant, infeksi saluran
kemih asenden yang rekuren dari kateterisasi kandung kemih dan disfungsi neurogenik
serta faktor-faktor iatrogenic (irradiasi diagnostic, obat-obatan). Hipospermatogenesis
dan atrofi testis biasanya teramati pada pria-pria dengan cedera spinal jangka panjang,
namun fertilitas dapat dipertahankan dengan cryopreservation sperma yang berjangka
dengan menggunakan electroejaculation yang dipasangkan dengan fertilisasi yang
dibantu . Impotensi predominan disebabkan oleh interupsi jalur neural yang mengontrol
ereksi dan emisi sedangkan libido masih sesuai untuk usia. Konservasi fungsi seksual
tergantung pada level dan luasnya cedera spinal.
Cedera kepala dapat menyebabkan defisiensi gonadotropin oleh karena gangguan aliran
darah portal pituitary dan/atau infark pituitary yang menyertai fraktur tengkorak basal.
Level testosteron darah yang menurun dihubungkan dengan beragam gangguan
psikiatrik, seperti skizofrenia dimana efek-efek utama dikaitkan dengan gejala-gejala
negatif .
Gangguan distimik pada pria lanjut usia dihubungkan dengan level testosteron darah
yang rendah ketika dibandingkan dengan pria-pria yang tidak depresi atau tidak
mengalami depresi berat. Cluster headache juga telah dikaitkan dengan testosteron
darah rendah dan beberapa manfaat terapeutik sederhana dari terapi testosteron. Tanpa
evaluasi sistematik lanjut, paling mungkin bahwa hal-hal ini merepresentasikan efek-
efek non-spesifik dari penyakit non-testikuler kronik terhadap fungsi testikuler.
Penyakit-penyakit Gastrointestinal
Penyakit Coeliac dikaitkan dengan pubertas terlambat, subfertilitas, gangguan luaran
sperma, morfologi dan motilitas bersama dengan kenaikan testosteron darah, SHBG dan
level gonadotropin, sedangkan dengan penurunan level dihidrotestosteron. Perubahan-
21
perubahan ini adalah reversibel terhadap perbaikan diet dari enteropati gluten. Pola
endokrin yang menonjol ini adalah petanda akan resistensi androgen yang didapat
(mislanya level testosteron yang tinggi yang tidak mampu mensupresi sekresi LH)
dan/atau inhibisi reduksi 5-α; walau demikian, studi-studi rinci untuk fungsi atau aksi
reseptor androgen 9farthing dan Dawson 1983) adalah kurang. Aktivasi hipotalamik
opioidergik oleh peptide-peptida gluten telah ditunjukkan sebagai suatu mekanisme
yang deranges aksis gonadal.
Inflammatory bowel disease (IBD) seringkali dikaitkan dengan pubertas terlambat, yang
lebih umum pada penyakit Crohn daripada pada colitis ulseratif. Level-level
gonadotropin serum adalah secara inkonsisten dilaporkan naik ataupun turun.
Mekanisme yang mendasarinya mungkin melibatkan suatu efek kombinasi dari kurang
gizi dan sitokin-sitokin sebagai TNFα. Fungsi endokrin testikuler pascapubertas
seringkali tidak terpengaruh, namun spermatogenesis seringkali terganggu.
Hipospermatogenesis pada penyakit Crohn kemungkinan terkait dengan demam,
penyakit kronik, mediator-mediator inflamasi dan/atau status gizi. Demikian pula
dengan para pria dengan colitis ulseratif yang memakai salazopyrine memperlihatkan
gangguan spermatogenesis, fungsi sperma dan fertilitas pria. Penggunaan rutin
salazopyrine baik untuk terapi akut ataupun rumatan preventative awal dalam perjalanan
kolitis ulseratif pada beberapa negara pada pria-pria yang tidak diterapi untuk
menentukan luasnya efek-efek kolitis ulseratif itu sendiri. Parameter-parameter semen
membaik pada pasien-pasien yang beralih dari salazopyrine ke 5-aminosalicylic acid
pasien-pasien yang belum melengkapi keluarga-keluarga mereka seharusnya diterapi
dengan obat terakhir. Pasien-pasien dengan IBD memiliki frekuensi yang lebih tinggi
akan antibodi-antibodi antisperma (ASA), mungkin sehubungan dengan permeabilitas
intestinal yang meningkat dan imunisasi terhadap antigen-antigen flora intestinal. ASA
menunjukkan reaktivitas-silang dengan antigen-antigen spermatozoa dan beberapa
mikroorganisme, sebagai flora gastrointestinal dan genital yang fisiologis dan patologis.
ASA juga meningkat setelah penyakit diare pada shigellosis dan salmonellosis.
Tidak ada studi terkontrol yang telah mengevaluasi efek dari penggantian testosteron
pada IBD pada pria dewasa. Penggunaan terapi testosteron jangka pendek untuk
22
menginduksi pubertas tidak dievaluasi juga, namun sebagaimana pada penyakit-
penyakit kronik lainnya yang terkait dengan pubertas yang terlambat, terapi testosteron
yang dimonitor dengan teliti tampaknya masuk akal.
Ulserasi peptic tidak memiliki efek yang dilaporkan mengenai fungsi testikuler,
meskipun terapi dengan simetidin pemblok reseptor-H2 mengganggu fungsi testikuler
oleh antagonisme reseptor androgen yang tidak terkait dengan aktivitas pemblokingan
reseptor-H2 (Knigge dkk. 1983). Efek-efek ini tida teramati dengan ranitidine dan
pemblok reseptor H2 atau obat-obat anti-asam lainnya.
Penyakit-penyakit Hematologis
Hemoglobinopathies dihubungkan dengan pubertas terlambat. Pada anak-anak yang
ditransfusi secara regular dengan kelebihan muatan zat besi yang diinduksi-transfusi β-
thalassemia mengakibatkan defisiensi gonadotropin yang didapat yang secara
fungsional serupa dengan hemokromatosis genetik. Awitan pra-pubertas terapi zat besi
meningkatkan maturasi pubertas, agaknya dengan cara mencegah siderosis pituitary.
Sebagian besar pria-pria dewasa dengan β-thalassemia major menderita hipogonadisme
hipogonadotropik dan gangguan-gangguan parameter seme. Kelebihan muatan zat besi
dapat mempredisposisikan sperma terhadap cedera oksidatif dan terhadap meningkatnya
kerusakan DNA. Data tentang sickle cell anemia masih belum pasti dengan mayoritas
studi, menunjukkan masalah testikuler primer dengan level gonadotropin yang tinggi
dan suatu respons gonadotropin normal terhadap stimulasi GnRH , namun pasien-pasien
sickle cell mengalami hipogonadisme sekunder dan memiliki spermatogenesis yang
buruk (Agbaraji dkk. 1988). Variasi dapat tergantung pada lokasi predominan dari
mikroinfark iskemik sehubungan dengan episode sickling. Dampak terapi hidroksiurea,
yang digunakan untuk terapi atau mencegah krisis sickling, pada fungsi reproduksi pria
belum diteliti dan sebab itu belum diketahui.
Anemia defisiensi besi tidak memiliki efek-efek yang dikenali pada fungsi testikuler
namun anemia megaloblastik dari defisiensi-defisiensi folat atau vitamin B12 yang
menginhibisi replikasi DNA dalam sumsum tulang dan dapat menyebabkan
23
penangkapan epithelium; namun demikian, tidak ada laporan tentang spermatogenesis
di antara para pria dengan megaloblastosis tersedia untuk menguji hipotesis ini, agaknya
mencerminkan paucity defisiensi vitamin B12 atau folat pada pria-pria muda non-
alkoholik di negara-negara maju. Hemofilia dikaitkan dengan penurunan hebat pada
fertilitas pria meskipun apakah ini dijelaskan secara penuh dengan voluntary restraint of
fertility masih belum jelas, karena tidak ada studi fungsi testikuler pada pasien
hemofilia yang tersedia.
Penyakit-penyakit Endokrin dan Metabolik
Penyakit tiroid mempengaruhi fungsi reproduksi pria dengan efek-efek yang paling
hebat bermanifestasi melalui perubahan-perubahan pada level SHBG sirkulasi dan
kerusakan spermatogenik sementara akibat terapi iodine radioaktif unuk kanker tiroid.
Hormon-hormon tiroid menstimulasi sintesis SHBG hepatik sehingga hipertiroidisme
meningkatkan level SHBG sirkulasi dan hipotiroidisme menyebabkan level SHBG yang
rendah, perubahan-perubahan yang dibalikkan oleh normalisasi level hormon tiroid.
Kenaikan SHBG menurunkan laju klirens testosteron, mengakibatkan kenaikan
testosteron total, level estradiol dan gonadotropin. Efek bersih pada keseluruhan
jaringan aksi androgen masih belum jelas. Gambaran-gambaran klinis mencakup
ginekomastia, disfungsi ereksi dan gangguan ejakulasi pada sejumlah besar kasus.
Gejala-gejala ini menghilang dengan dicapainya kembali status eutiroid.
Spermatogenesis tertekan pada tirotoksikosis dan hipotiroidisme waktu lama dari awitan
pra-pubertas namun sedikit dipengaruhi oleh hipotiroidisme pascapubertas. Motilitas
sperma adalah parameter fertilitas utama yang dipengaruhi oleh hiperiroidisme dan
membaik pada terapi.
Hiperplasia adrenal congenital, yang paling banyak disebabkan oleh 21-hydroxylase-
deficiency dapat mengakibatkan kegagalan testkuler sekunder, gangguan
spermatogenesis dan infertilitas , meskipun mayoritas pria yang diterapi maupun yang
tidak diterapi adalah fertile. Disfungsi gonadal dapat disebabkan oleh inhibisi sekresi
gonadotropin oleh konsentrasi darah yang tinggi dari androgen-androgen adrenal,
namun sel-sel adrenal aberrant dalam testes, yang disebut tumor-tumor rest adrenal
testikuler, apat menyebabkan azoospermia dan akhirnya kerusakan testis yang berat
24
oleh obstruksi dan kongesti tubulus seminiferus setelah stimulasi oleh
adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang naik secara kronis.
Hiperkortisolisme dari sebab apapun dapat menghambat fungsi testis pada berbagai
level aksis HPT, yang mengakibatkan reduksi level-level gonadotropin dan testosteron
sirkulasi yang dibalikkan oleh interupsi dari paparan terhadap glukokortikoid yang
berlebih. Derajat hingga mana defisiensi androgen berkontribusi pada status katabolic
dan gejala-gejala disfungsi seksual dan kelemahan selama hiperkortisolisme masih
belum jelas. Mekanisme melibatkan beragam level aksis HPT termasuk inhibisi dari
sekresi GnRH hipotalamik, dari sekresi LH pituitary yang terstimulasi GnRH serta dari
stimulasi LH akan biosintesis testosteron sel Leydig.
Efek-efek diabetes mellitus (DM) terhadap fungsi reproduksi pria terutama disebabkan
oleh komplikasi-komplikasi vaskuler dan neuropatik dari diabetes yang menyebabkan
disfungsi ereksi dan/atau ejakulasi sedangkan efek-efek langsung dari hiperglikemia
pada fungsi testikuler tidak diketahui dengan baik. Beberapa studi cross-sectional
melaporkan penurunan ringan level testosteron pada pria dengan DM tipe 2, yang paling
cenderung mencerminkan beragam faktor yang memperantarai efek-efek penyakit
kronik (melalui mekanisme regresi ontogenik hipotalamik), obesitas (melalui penurunan
SHBG) dan gangguan steroidogenesis sel Leydig. Subjek-subjek dengan DM tipe I
sebaliknya dilaporkan memiliki level gonadotropin dan TT yang normal.
Sedangkan beberapa bukti awal menunjukkan bahwa terapi penggantian testosteron
memperbaiki sensitivitas pada pria-pria sehat denga level testosteron yang rendah dan
memiliki efek-efek bermanfaat terhadap resistensi insulin, penurunan hiperglikemia dan
lemak visceral pada pria-pria paruh baya yang obese dan pasien-pasien dengan DM tipe
2, studi-studi yang lebih kuat tampaknya dijamin untuk mengevaluasi secara kritis
manfaat dan risiko terapi adjuvant testosteron pada pria-pria diabetic untuk mengurangi
komplikasi-komplikasi vaskuler.
Spermatogenesis dan fertilitas sedikit terpengaruh pada pria-pria dengan diabetes yang
fungsi seksualnya intak. Selain dari penurunan volume semen yang disebabkan oleh
25
fungsi ejakulasi yang diperantarai-saraf yang mengalami kerusakan, para pria dengan
diabetes memiliki parameter-parameter sperma konvensional yang normal, meskipun
telah dilaporkan beberapa kenaikan dalam hal kerusakan DNA mitokondria dan inti
sperma yang makna klinisnya masih belum pasti.
Studi-studi baru telah melaporkan suatu hubungan antara sindroma metabolik dengan
defisiensi androgen biokimiawi. Hal ini telah didefinisikan sebagai suatu hubungan
positif antara level testosteron darah yang rendah dengan insensitivitas insulin yang
dimanifestasikan secara klinis sebagai suatu tumpang tindih antara hiperglikemia,
hiperinsulinemia dan obesitas. Kausalitas asosiasi ini masih belum pasti namun
sepertinya bahwa defisiensi testosteron adalah konsekuensinya bukannya penyebab dari
status metabolic yang terganggu.
Anoreksia nervosa jarang terjadi pada pria namun dapat menyebabkan inhibisi profunda
akan fungsi endokrin testikuler (Buvat dkk. 1983). Pria-pria yang anorektik
menunjukkan level testosteron yang rendah dengan gonadotropin yang rendah dan
respons yang buruk terhadap stimulasi GnRH. Penambahan berat badan dikaitkan
dengan peningkatan level LH dan testosteron, yang konsisten dengan korelasi positif
dengan level leptin (Wabitsch dkk. 2001). Efek-efek dari kekurangan gizi yang moderat
atau defisiensi mikronutrien diet yang selektif (misalnya, vitamin-vitamin, kofaktor)
pada fungsi testikuler manusia adalah kurang jelas.
Obesitas menghambat fungsi endokrin testis dan memiliki efek-efek negatif pada
spermatogenesis dan fertilitas. Anak-anak laki-laki yang obese menunjukkan
perkembangan pubertas yang tertunda dengan penurunan level testosteron untuk usia
kronologis, namun akhirnya pertumbuhan normal dan perkembangan testikuler normal
(Denzer dkk. 2007). Penurunan testosteron darah dan level SHBG adalah proporsionat
terhadap derajat overweight, sedangkan level estradiol darah meningkat, mungkin
dikarenakan oleh meningkatnya konversi testosteron ke estradiol yang perifer dan
tergantung-aromatase. Yang terakhir menjelaskan observasi bahwa penurunan level
testosteron darah mungkin sebagian dibalikkan oleh suatu inhibitor aromatase (Loves
dkk. 2008). Mekanisme patogenik utama penurunan level testosteron darah yang
26
diinduksi-obesitas dapat melibatkan hiposomatotropisme fungsional dan/atau resistensi
insulin yang menyebabkan penurunan dalam hal sekresi SHBG hepatic. Perubahan-
perubahan hormonal ini tidak disertai dengan gambaran klinis yang jelas untuk
defisiensi androgen dan dibalikkan dengan penurunan berat badan. Obesitas sedang
memiliki efek nyata yang sedikit terhadap fungsi reproduksi pria namun dapat
berkontribusi pada penurunan fungsi hipotalamus dan pituitary testikuler pada pria-pria
tua.
Konsentrasi dan luaran sperma terkait dengan body mass index (BMI) pada cara yang
berbentuk U dengan produksi sperma yang tertinggi dalam kelompok dengan BMI
antara 20 dan 25 kg/m2. Mekanisme patofisiologis spermatogenesis yang menurun pada
BMI yang tinggi maupun rendah masih belum jelas, termasuk apakah mereka
merupakan efek langsung dari berat badan atau secara tidak langsung karena faktor-
faktor metabolic gaya hidup dan/atau gizi. Meski demikian, terdapat sedikit bukti yang
konsisten bagi obesitas sebagai suatu penyebab infertilitas pria.
Penyakit-penyakit Imun
Otoantibodi-otoantibodi terhadap spermatozoa berkembang pada sekitar 70% pria
setelah vasektomi namun tidak memiliki efek-efek deleterious yang nyata pada
kesehatan umum (Petitti 1986) meskipun mereka menghambat fungsi sperma dan
fertilitas setelah vasectomy reversal (Linnet dkk. 1981). Otoantibodi-otoantibodi sperma
teramati pada 5% pria infertile yang non-vasektomi yang juga memiliki peningkatan
prevalensi otoantibodi spesifik-organ lainnya (lihat Bab 15). Kompleks-kompleks imun
yang belum diketahui makna pentingnya telah teramati pada membran-membran basal
tubulus seminiferus dari pria-pria yang infertile.
Kebanyakan penyakit-penyakit otoimun memiliki predominan wanita yang nyata (>5:1)
(misalnya systemic lupus erythematosus, hepatitis kronik aktif, sirosis biliaris kronik)
yang masih juga belum terjelaskan dan keterlibatan testikuler pada penyakit imun
adalah tidak biasanya jauh dari poliarteritis nodosa dimana biopsy testikuler dapat
diagnostik. Artritis rheumatoid menyebabkan penekanan yang panjang pada level
testosteron selama flares of aktivitas penyakut dengan pemulihan spontan saat remisi
27
(Cutolo dkk. 1991). Di antara para pria dengan artritis rheumatoid yang lama dengan
dan tanpa terapi glukokortikoid, terdapat prevalensi yang tinggi gangguan fungsi
endokrin testikuler (Martens dkk. 1994; Silva dkk. 2002). Namun, sebuah ujicoba klinis
acak tentang substitusi testosteron menunjukkan tidak adanya manfaat terhadap
aktivitas penyakit pada pria-pria dengan artritis rheumatoid (Hall dkk. 1996). Fungsi
endokrin testikuler adalah normal pada pria-pria dengan ankylosing spondylitis (Stahl
dan Decker 1978; Gordon dkk. 1986), systemic lupus erythematosus (Stahl dan Decker
1978) atau osteoarthritis (Spector dkk. 1988). Terapi penyakit-penyakit imunologis
dengan obat-obat sitotoksik dapat mengakibatkan kerusakan spermatogenik yang berat,
tergantung-dosis dan kadangkala ireversibel yang tipikal dari zat-zat peng alkylasi.
Orchitis otoimun adalah suatu komponen yang jarang dari cluster otoimun yang
spesifik-organ dan hipofisitis otoimun yang menyebabkan defisiensi gonadotropin
terisolasi atau panhypopituitarisme juga masih jarang (Obermayer-Straub dan Manns
1998).
Penyakit-penyakit Infeksius
Infeksi-infeksi sistemik seringkali mempengaruhi fungsi testis bahkan tanpa
menyebabkan orchitis. Banyak mekanisme terlibat, termasuk efek-efek demam,
mediator-mediator radang seperti tumor necrosis factor-α dan sitokin-sitokin,
kehilangan berat badan dan katabolisme kronik. Efek-efek bersih tergantung pada
keparahan dan durasi, dan juga lokasi infeksi.
Epididymo-orchitis adalah jarang pada anak laki-laki prapubertas, namun terjadi pada
15-30% pria pubertal atau pascapubertas yang terkena-gondongan dengan 15-30%
adalah bilateral (Philip dkk. 2006; Hviid dkk. 2008), dengan demikian, meskipun
asosiasi yang telah diketahui dengan baik, secara keseluruhan, gondongan hanya jarang
mengakibatkan infertilitas yang kemudian dapat ditangani sebagaimana layaknya
bentuk-bentuk infertilitas pria lainnya (Lin dkk. 1999).
Mekanisme patofisiologis mencakup infeksi virus langsung pada tubulus, nekrosis
dinduksi-tekanan pada tubulus seminiferus oleh karena edema parenkim di dalam
28
kapsul testis yang ketat dan juga reaksi radang yang terasosiasi kuat. Kerusakan
testikuler langsung adalah terbukti pada fase akut dengan penurunan yang nyata
testosteron darah dan kenaikan refleks pada gonadotropin darah sebelum atrofi
testikuler yang terjadi pada hingga setengah dari pria-pria yang terinfeksi. Laporan-
laporan bahwa terapi mumps-orchitis dengan interferon Alfa 2B mencegah atrofi testis
dan mungkin melindungi fertilitas membutuhkan verifikasi lebih lanjut (Ku dkk. 1999).
Namun demikian, vaksinasi masih menjadi proteksi terbaik terhadap infertilitas yang
terkait gondongan.
Prevalensi defisiensi androgen simptomatis di antara para pria yang positif-HIV dengan
penyakit lanjut sebelum highly active antiretroviral therapy (HAART) adalah
dilaporkan 6% (Dube dkk. 2007). Sebelum HAART tersedia, defisiensi androgen
dilaporkan pada ~50% pria dengan AIDS, sedangkan sekarang ~20% pasien AIDS
memiliki level testosteron darah yang rendah (Rietschel dkk. 2000). Mayoritas pria
yang terinfeksi-HIV menunjukkan hipogonadisme hipogonadotropik atau
normogonadotropik, yang mengindikasikan gangguan regulasi hipotalamo-pituitari,
sedangkan setelah progresi menjadi AIDS maka level LH dan FSH naik dan evaluasi
pascakematian menunjukkan atrofi testis (Salehian dkk. 1999). Berapa banyak dari
efek-efek yang berhubungan dengan terapi obat masih belum jelas (Dube dkk. 2007).
Kerusakan spermatogenik pada pria-pria dengan AIDS hampir universal pada
pascakematian (de Paepe dan Waxman 1989), sedangkan spermatogenesis (Crittenden
dkk. 1992) tidak dipengaruhi pada pria asimptomatik, yang seropositif HIV (van
Leeuwen dkk. 2008).
Defisiensi androgen pada AIDS dikaitkan dengan kehilangan berat badan, termasuk
kehilangan massa otot, yang konsisten dengan efek-efek non-spesifik dari penyakit-
penyakit non-testis kronik lainnya (Grinspoon dkk. 1996).
Keganasan yang terkait-HIV seperti limfoma-limfoma atau infeksi-infeksi oportunistik
seperti toksoplasmosis dapat menyebabkan lesi-lesi massa yang mengganggu aksis
hipotalamo-pituitari-testikuler pada semua level. Faktor-faktor tambahan yang
29
berkontribusi pada hipogonadisme pada pasien-pasien HIV mencakup medikasi-
medikasi yang umumnya digunakan pada kelompok ini (seperti ketokonazol, megestrol-
asetat, ganciclovir, spironolactone) atau penggunaan obat-obat yang prevalen seperti
opiate, alcohol dan marijuana.
Terapi penggantian testosteron pada pria-pria positif-HIV yang simptomatik memiliki
efek-efek manfaat pada komposisi tubuh (Bhasin dkk. 1998, 2007) dan memperbaiki
kualitas hidup pada pria-pria yang kekurangan androgen dengan sindroma wasting
AIDS (Grinspoon dkk. 1998).
Penyakit menular seksual dapat mempengaruhi fertilitas dengan cara mengganggu
spermatogenesis (misalnya ureaplasma urealyticum dapat menyebabkan
asthenozoospermia dan gangguan kondensasi DNA) atau dengan menyebabkan striktur-
striktur uretra dan epididymo-orchitis (misalnya gonorrhoea). Dampak negative infeksi
Chlamydia pria pada fertilitas pasangan (sehubungan dengan transmisi ke pihak wanita)
sudah diketahui dengan baik, namun pengaruh langsung pada fertilitas pria masih belum
pasti, meskipun meningkatnya kerusakan DNA sperma dan interaksi langsung antara
sperma dengan Chlamydia telah dilaporkan (Cunningham dan Beagley 2008).
Manifestasi genital lepromatous leprosy mengakibatkan hingga 50% subjek-subjek yang
terkena mengalami atrofi testikuler dan hipogonadisme hipergonadotropik (Martin dkk.
1968), sedangkan tuberculoid leprosy jarang mengakibatkan hipogonadisme, yang
terutama sekunder terhadap penyakit granulomatosa dari hipotalamus.
Toksoplasmosis kongenital (Massa dkk. 1989) dan infeksi-infeksi kongenital lainnya
dengan keterlibatan serebral dilaporkan muncul sebagai hipogonadisme
hipogonadotropik. Toksoplasmosis akut pada pria dapat mempresipitasi hipogonadisme
hipogonadotropik baik melalui ensefalitis toksoplasma yang jarang atau melalui
mekanisme penyakit akut yang berat. Selain itu dalam infeksi-infeksi oligosimptomatik,
reaksi radang yang diinduksi-sitokin dari hipotalamus dapat mengakibatkan
terganggunya pelepasan GnRH yang menyebabkan hipogonadisme hipogonadotropik
dengan respons normal terhadap GnRH eksogen (Oktenli dkk. 2004).
30
Tuberkulosis dapat mengakibatkan hipogonadisme hipogonadotropik denga cara
gangguan pada aksis gonadal (Post dkk. 1994) dan dapat menginfiltrasi traktus genitor-
urinarius, yang menyebabkan epididymitis dan konsekuensinya adalah infertlitas.
Meskipun kasus-kasus kebanyakan ditemuakan di negara-negara yang sedang
berkembang dan Negara-negara yang sedang mengalami transisi, maka penegakan
diagnosis harus mempertimbangkan kemungkinan ini khususnya pada populasi migrant
(Al-Ghazo dkk. 2005; Tzvetkov dan Tzvetkova 2006).
Penyakit tidur yang disebabkan oleh infeksi-infeksi parasitic dengan Trypanosoma
brucei menyebabkan suatu hipogonadisme hipogonadotropik yang hanya sebagaian
reversible, mungkin terkait dengan kombinasi infiltrasi parasitic langsung dan efek-efek
sentral sekunder dari suatu reaksi radang sistemik yang berat (Petzke dkk. 1996).
Penyakit-penyakit Kardiovaskuler
Hipertensi dikaitkan dengan level-level testosterone sirkulasi yang menurun (Hughes
dkk. 1989) dan medikasi antihipertensi dikaitkan dengan level-level testosterone yang
bahkan lebih rendah (Suzuki dkk. 1988). Ini atau confounding dengan obesitas mungkin
menjelaskan asosiasi epidemiologis terbalik (tidak tergantung usia dan obesitas) antara
tekanan darah dan level testosterone (Svartberg dkk. 2004). Penurunan-penurunan kecil
seperti itu dalam hal level testosterone darah tidak mencukupi untuk bertanggung jawab
atas disfungsi ereksi yang berprevalensi tinggi yang tidak proporsional pada pria-pria
hipertensif yang diterapi. Hal ini agaknya mencerminkan aterogenesis yang lebih lanjut
maupun faktor-faktor hemodinamika bukannya efek-efek hormonal dari medikasi
antihipertensif (Jaffe dkk. 1996).
Studi-studi epidemiologis observasional menunjukkan secara konsisten bahwa level-
level testosterone yang rendah dikaitkan dengan meningkatnya angka penyakit
kardiovaskuler, namun arah kausalitas masih belum diketahui. Apakah terdapat faktor-
faktor tambahan lain di luar efek-efek penyakit kronik non-spesifik (regresi ontogenik)
akan penurunan sedang level testosterone darah karena adanya penyakit kardiovaskuler
akut atau kronik masih harus ditentukan. Beberapa (Khaw dkk. 2007; Laughlin dkk.
31
2008), namun tidak semua (Smith dkk. 2005; Araujo dkk. 2007), studi-studi prospektif
baru-baru ini menunjukkan bahwa level-level testosterone serum yang rendah dapat
memprediksi kematian kardiovaskuler. In conjunction with level-level testosterone
rendah yang dikaitkan dengan beberapa faktor-faktor risiko kardiovaskuler lainnya, ini
masih perlu di elucidated apakah level-level testosterone yang rendah adalah lebih dari
hanya suatu epiphenomenon universal yang mencerminkan beragam aspek penyakit
kardiovaskuler kronik. Pada konsentrasi-konsentrasi farmakologis, testosterone
memiliki kandungan vasodilator yang tergantung-dosis ex vivo pada arteri-arteri
resistensi hewan coba dan manusia (Jones dkk. 2004; Malkin dkk, 2006a).
Ujicoba klinis terapi penggantian testosterone telah dilaksanakan di antara para pria
dengan penyakit jantung koroner (Jaffe 1977; English dkk. 2000; Webb dkk. 2008) dan
pada gagal jantung kongestif (Malkin dkk. 2004, 2006b). Namun demikian, manfaat-
manfaat masih marginal dan inkonsisten namun menjamin studi-studi yang lebih lama
dan lebih besar, yang diperlukan sebelum terapi adjuvant testosterone itu dijustifikasi.
Terdapat hubungan yang kuat antara penyakit kardiovaskuler aterosklerotik dengan
disfungsi ereksi. Selain dari sindroma Leriche klasik (suatu penyakit oklusi aortoiliac
yang mengakibatkan disfungsi ereksi, klaudikasio intermiten dan tidak adanya atau
menurunnya denyut femoral), terdapat prevalensi yang tinggi penyakit kardiovaskuler
yang diketahui dan yang tidak terdiagnosis (angina, iskemia, infark, stroke trombotik,
insufisiensi vaskuler perifer) di antara para pria dengan disfungsi erektil organik.
Sekarang ini semakin dipahami bahwa awitan disfungsi ereksi adalah suatu kejadian
peringatan sentinel awal bagi incipient, namun biasanya masih belum terdiagnosis,
penyakit kardiovaskuler. Hal ini membentuk suatu dasar patologis yang penting bagi
vaskulogenik, bentuk yang paling sering dari disfungsi ereksi organik. Lagipula,
interaksi dengan terapi nitrat untuk penyakit kardiovaskuler menciptakan efek
merugikan yang paling serius dari phosphodiesterase -5-inhibitor dalam terapi disfungsi
ereksi. Terdapat pula bukti bahwa aterosklerosis adalah suatu determinan yang penting
dari degenerasi testikuler pada pria-pria lanjut usia.
32
Penyakit-penyakit Dermatologis
Psoriasis dihubungkan dengan gangguan spermatogenesis yang berkorelasi dengan luas
dan keparahan penyakit bukannya dengan terapi methotrexate atau kortikosteroid
(Grunnert dkk. 1977).
Penyakit-penyakit Kronis Lain
Hereditary angioedema (HAE) adalah suatu gangguan sistem komplemen yang
diwariskan secara dominan otosomal yang disebabkan oleh mutasi-mutasi gen C1-INH
pada kromosom 11q12, yang dapat mengakibatkan defisiensi (HAE tipe 1) atau
gangguan fungsi (HAE tipe 2) dari inhibitor C1-esterase. Penyakit ini dikarakerisir oleh
serangan-serangan edema episodic yang kebanyakan pada tangan dan kaki, namun
kadangkala juga mengenai genitalia, badan, wajah, lidah, dinding usus besar dan sistem
respirasi, yang bisa jadi fatal, jika tidak ditangani secara adekuat (Frank 2008).
Meskipun ini merupakan suatu kondisi dimana androgen-androgen teralkilasi 17-α
sintetik telah membuktikan efek-efek bermanfaat pada perjalanan klinis penyakit
(Banerji dkk. 2008) dengan cara meningkatkan level-level inhibitor C1 sirkulasi in vivo
dan in vitro (Falus dkk. 1990), namun fungsi testis yang mendasar masih kurang diteliti
dan mungkin normal (Thon dkk. 2007). Hal ini menggambarkan bahwa eksistensi
disfungsi testikuler yang mendasari dari suatu penyakit bukanlah prasyarat bagi terapi
androgen farmakologis yang efektif untuk kondisi tersebut.
Amiloidosis testis jarang adanya, terjadi paling sering sebagai AA-amiloidosis sistemik
sekunder. Namun demikian, infiltrasi testikuler primer yang massif yang menyebabkan
macro-orchidism telah dilaporkan (Handelsman dkk. 1983). Hypogonadisme
sehubungan dengan deposisi amiloid testikuler dan parameter-parameter semen
abnormal dan infertilitas telah digambarkan (Ozdemir dkk. 2002; Scalvini dkk. 2008).
Familial Mediterranean fever (FMF) adalah suatu penyakit yang dikarakterisir oleh
episode-episode kambuhan dari demam, peritoneal, pleuritis dan arthritis dengan
amiloidosis sebagai salah satu komplikasi utama. Penyakit ini dikaitkan dengan
penangkapan sel-germ testikuler dan oligo atau azoosprmia (Ben-Chetrit dan Levy
2003). Demikian pula efek-efek merugikan pada spermatogenesis juga dilaporkan pada
33
penyakit Behcet, suatu penyakit radang multisystem yang melibatkan sistem urogenital
dengan cirri ulkus-ulkus aphtous genital dan juga cystitis, urethtitis dan epididymitis
serta dengan awitan setelah pubertas dan kecenderungan pada pria yang begitu kuat
sehingga menunjukkan peran androgen dalam patogenesisnya (Sakane dkk. 1999).
Efek-efek ini paling mungkin disebabkan oleh efek-efek deleterious dari demam
kambuhan terhadap spermatogenesis (Mieusset dk. 1991). Efek-efek tambahan potensial
dari colchicines, suatu alkaloid yang umumnya digunakan untuk pencegahan dan terapi
episode-episode arthritis pada arthritis gout, FMF dan penyakit Behcet, terhadap testis
masih spekulatif (Haimov-Kochman dan Ben-Chetrit 1998).
Konsumsi opioid kronik mengakibatkan defisiensi androgen yang diinduksi-opioid
dengan menurunnya level testosteron dan gonadotropin yang proporsional terhadap
dosis opiate bersih namun tidak tergantung dari rute pemberian (oral, transdermal,
intrathecal) atau sumber (diresepkan, illicit). Sebagai contoh, pemberian intrathecal
untuk nyeri kronik menghasilkan level testosterone yang mendekati kastrasi pada ~90%
kasus. Efek-efek pemodifikasi dari faktor-faktor confounding seperi penyakit kronik,
nyeri, gizi, penggunaan zat tambahan masih sulit untuk dipisahkan atau dikuantifikasi
namun masih kecil secara kuantitas dibandingkan dengan dosis opiate. Mekanisme-
mekanisme patofisiologis predominan karena efek-efek reseptor µ-opiatergic yang
memiliki pengaruh kuat pada pola-pola fisiologis sekresi GnRH hipotalamik (Abs dkk.
2000; Rajagopal dkk. 2004). Data tentang produksi sperma dan fertilitas di antara para
pengguna opiate kronik masih sangat jarang, namun asthenozoospermia dilaporkan di
antara para pecandu obat dan data eksperimental memberikan dasar bagi efek-efek
opioid farmakologis pada fungsi sperma (Agirregoitia dkk. 2006). Penggantian
testosterone transdermal pada pria-pria yang tergantung-opiat yang diterapi untuk nyeri
bukan keganasan telah dilaporkan memperbaiki kualitas hidup namun studi-studi
terkontrol placebo masih kurang (Daniell dkk. 2006).
Efek-efek dari obat-obat rekreasional seperti marijuana, kokain atau ecstasy terhadap
fungsi testikuler belum dipahami dengan baik; sedikit studi yang telah dilaporkan dan
tak satupun yang terkontrol baik untuk efek-efek confounding dari kekurangan gizi,
penggunaan obat multipel, faktor-faktor sosioekonomik dan psikologis.
34
Asupan alkohol berat kronis memiliki efek-efek multipel dan kumulatif terhadap sistem
reproduksi pria sehubungan dengan toksisitas testikuler langsung yang ireversibel
(Villalta dkk. 1997) dan juga efek-efek toksik tidak langsung (misalnya, gizi,
hepatotoksik; lihat Sect. 18.3.2). Ethanol menurunkan produksi testosteron testikuler
melalui modifikasi yang berbeda pada aksis pituitary-gonadal (Emanuele dan Emanuele
2001), termasuk penurunan sekresi LH yang diinduksi-alkohol pada pria-pria yang
dewasa (Frias dkk. 2002). Efek-efek asupan alcohol terhadap parameter-parameter
semen dan fertilitas masih belum jelas, namun bahkan konsumsi regular alcohol jumlah
sedang (>40g/hari) mungkin saja terkait dengan gangguan-gangguan spermatogenesis
dengan cara yang tergantung dosis (Pajarinen dkk. 1996) dan paparan alcohol kronik
moderat menurunkan fertilitas (Jensen dkk. 1998).
Merokok memiliki efek-efek merusak pada spermatogenesis, fungsi sperma (Zavos dkk.
1998; Wallock dkk. 2001) dan fertilitas pria pada kecuali pria-pria sehat (Bolumar dkk.
1996; Chia dkk. 2000), yang mengakibatkan menurunnya angka keberhasilan pada ART
termasuk IVF dan ICSI (Zitzmann dkk. 2003). Pembalikan subfertilitas pria apapun
setelah penghentian merokok belum ditentukan dengan baik.
Steroid-steroid anabolik, yang seringkali disalahgunakan oleh para atlit elit dan
rekreasional untuk meningkatkan performa fisik dan citra tubuh, menghambat sekresi
gonadotropin melalui mekanisme umpan balik negative dan bekerja sebagai kontrasepsi
hormonal, yang biasanya reversible pada penghentian steroid-steroid.
Implikasi-implikasi Terapeutik
Secara teleologis, makna penting evolusioner dari inhibisi reversible fungsi-fungsi
reproduksi selama penyakit akut atau kronik yang belum jelas dipahami. Banyak
gambaran-gambaran umum yang teramati pada mekanisme-mekanisme fisiologis yang
mendasari yang dipakai oleh mamalia selama pubertas, musiman, kurang gizi, status
katabolik dan penyakit sistemik telah menggiring pada istilah “regresi ontogenik” untuk
menggambarkan mekanisme yang mendasari yang umum, yang dapat juga dianggap
35
suatu bentuk adaptasi fungsional dari regulasi fisiologis sebagai apoptosis adalah untuk
turnover seluler yang teratur.
Dalam situasi ini, waktu siklus spermatogenik yang panjang membutuhkan periode-
periode yang panjang untuk meregresi ke level-level infertile. Hal ini mungkin telah
mengharuskan inhibisi yang lebih cepat akan fertilitas yang dibawa oleh inhibisi fungsi
seksual melalui penghentian sekresi androgen. Namun demikian, mekanisme adaptif
terakhir ini, yang ideal untuk periode singkat, dapat menjadi deleterious selama
penyakit nonfatal yang lama. Pada kondisi ini pemanjangan regresi ontogenik dapat
menggiring pada efek-efek jaringan defisiensi androgen yang ter superimposed pada
efek-efek penyakit yang mendasari. Ini analog dengan efek-efek merusak dari otoimun,
yang mana pada korupsi fungsi imun yang penting, mengakibatkan kerusakan sistem-
sistem tubuh. Meskipun dari sudut pandang evolusioner, fertilitas yang berkurang
sementara selama penyakit berat dapat dianggap sebagai isu umum, yang adaptif
berguna tentang apakah defisiensi androgen yang disebabkan oleh penyakit kronis
adalah protektif , berbahaya atau netral tidak bisa langsung dijawab dan mungkin
tergantung pada kondisi yang lebih khusus dari kehidupan modern.
Implikasi-implikasi terapeutik disfungsi gonadal selama penyakit-penyakit sistemik
non-gonadal bervariasi dari minimal hingga berpotensi besar. Mereka tergantung pada
manifestasi pasti dari disfungsi gonad, kronisitas dan keparahan. Pada minimum,
penyakit sistemik dapat mengubah tes-tes rutin fungsi testikuler yang dapat
mengganggu evaluasi kesuburan atau gangguan-gangguan andrologis lainnya. Nilai
suplementasi androgen dalam rectifying defisiensi androgen parsial yang terkait dengan
penyakit medis kronis belum ditentukan dengan jelas. Contoh-contoh khusus tertentu
defisiensi androgen terkait penyakit kronis, seperti orchidectomy bilateral atau
hipogonadisme yang didapat sehubungan dengan kelebihan muatan zat besi yang
mengkhawatirkan, pengggantian androgen sebagai penyebab defisiensi androgen yang
klasik. Pada banyak penyakit sementara seperti episode infeksius febril, trauma bedah
atau kecelakaan, respons hipotalamik terhadap penyakit sistemik dengan defisiensi
androgen akut yang attendant tidak memiliki efek lama yang diketahui terhadap
kesehatan umum dan keadaan sehatnya.
36
Meskipun reduksi sementara dalam hal sekresi androgen dalam kondisi demikian,
bukti yang tersedia saat ini tidak menjustifikasi terapi testosteron namun akan
memungkinkan untuk studi-studi yang sesuai. Pada penyakit medis kronis yang
lebih memanjang yang mengakibatkan penurunan level-level androgen yang
persisten dan bertahan atau saat status katabolik lama yang berat, seperti penyakit
kritis, mungkin terdapat rasional yang plausible untuk terapi penggantian
testosteron.
Hal ini akan bertujuan untuk menurunkan morbiditas jangka panjang dari defisiensi
androgen yang bertahan yang menyebabkan kehilangan massa tulang dan otot. Bukti
yang meyakinkan dari ujicoba-ujicoba klinis acak terkontrol-plasebo untuk
menjustifikasi terapi seperti itu sayangnya masih kurang. Studi-studi jangka pendek dan
terkontrol selama tahun 1960an menunjukkan bahwa suplementasi androgen awalnya
menambah status anabolic; namun, respons ini tidak bertahan selama terapi yang
panjang. Meskipun suplementasi testosterone tidak bisa direkomendasikan saat ini,
ujicoba-ujicoba klinis yang dirancang dengan baik untuk mengevaluasi intervensi-
intervensi demikian adalah dapat dilakukan dan diinginkan.
Infertilitas adalah suatu masalah umum yang semakin banyak ada di antara para pria
dengan penyakit-penyakit medis kronis.
Hal-hal ini mencakup para pria dengan transplan-transplan ginjal yang saat ini dapat
mengharapkan angka harapan hidup yang lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik
dan, semakin banyak di antara para pria dengan transplant jantung, hati atau sumsum
tulang yang pada mereka angka harapan hidup mungkin bertambah panjang. Mengikuti
banyak transplant organ yang berhasil, terganggunya fungsi reproduksi sehubungan
dengan kegagalan organ seringkali membaik atau menjadi normal. Selain itu, banyak
pria sekarang ini yang bertahan hidup dari terapi kanker tumor-tumor testis,
kegananasan darah atau sarcomata namun efektif diterapi keganasan mereka namun
dengan imbalan kerusakan testis yang bertahan, berat dan seringkali ireversibel. Pada
pria-pria ini, konseling tentang kecenderungan pemulihan spermatogenik, sara
kontrasepsi dan juga aplikasi yang sesuai teknik-teknik reproduksi yang dibantu seperti
37
cryostorage sperma praterapi, inseminasi atau faktor pria IVF/ICSI mungkin dibutuhkan
dan harus diberikan secara simpatetis. Para pria dengan infeksi-infeksi virus kronik
seperti HIV dan hepatitis B dan C yang menghadapi harapan hidup yang memanjang
dengan penyakit infeksi yang mengancam nyawa membutuhkan konseling ahli dan teliti
untuk kesehatan reproduksi mereka. Keputusan psiko-sosial dan etika yang sulit
mungkin dihadapi mengenai tanggung jawab orangtua dengan harapan hidup yang
terbatas, risiko malformasi yang diperantarai secara paternal dan inseminasi pasca-
kematian. Datangnya transplantasi sel germ autoloous dapat menambah pilihan-pilihan
lanjut bagi jaminan fertilitas untuk perawatan medis para pria yang menghadapi
gangguan fungsi reproduksi sebagai suatu efek samping yang dapat diprediksi dari
terapi-terapi medis yang menyelamatkan nyawa.
Disfungsi seksual yang termasuk impotensia adalah suatu gambaran umum dari penuaan
dan kebanyakan penyakit-penyakit kronis yang berakumulasi pada pria-pria lanjut usia.
Defisiensi androgen adalah suatu penyebab disfungsi seksual yang mudah ditentukan
dan ditangani dengan memuaskan namun relatif jarang adanya.