DINAMIKA SISTEM BUNYI PANJANG DALAM BAHASA MELAYU … · 2017. 6. 6. · DINAMIKA SISTEM BUNYI...

12

Transcript of DINAMIKA SISTEM BUNYI PANJANG DALAM BAHASA MELAYU … · 2017. 6. 6. · DINAMIKA SISTEM BUNYI...

  • DINAMIKA SISTEM BUNYI PANJANG DALAM BAHASA MELAYU DI BALI

    I Nyoman Suparwa1); A.A. Pt. Putra2)

    Fak Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

    E-mail: [email protected]

    Abstrak

    Penutur bahasa Melayu di Bali adalah komunitas Orang Loloan yang merupakan campuran berbagai etnik

    di Indonesia, seperti Melayu-Pontianak (Kalimantan), Bugis (Sulawesi), Arab, Jawa, dan Bali. Karena orang Melayu-

    Pontianak sebagai pemuka agama dan ke-linguafranca-an bahasa Melayu, bahasa Melayu digunakan sebagai

    bahasa untuk komunitas tersebut. Dalam perkembangannya, bahasa ini digerakkan oleh daya sentripetal

    (pemertahanan) dan sentrifugal (akomodatif). Tujuan kajian ini adalah untuk menemukan dinamika bunyi prosodi

    panjang dengan teori Generatif serta metode deskriptif ekplanatori didukung pula dengan metode fonetik

    eksperimental.

    Hasil kajian menemukan bahwa dinamika ditemukan dalam sistem bunyi bahasa Melayu di Bali, khususnya dalam bunyi prosodi panjang. Perubahan tersebut didukung oleh fenomena lingual, terutama segmental

    berupa (a) pelemahan /i/ [ɪ], seperti bebir /bebir/[bebɪr] ‘bibir' dalam realisasi fonetis; (b) perendahan /u/

    /o/, seperti lurus dalam bahasa Indonesia lorus /lorus/ dalam bahasa Melayu Bali; (c) pelesapan schwa /ə/ Ø,

    seperti ke ulu (struktur batin) kulu /kulu/ ‘ke ulu’(struktur lahir); (d) pelesapan /h/, seperti seh ‘sih’ (struktur

    batin) direalisasikan sebagai se ‘sih’(struktur lahir).Dinamika bunyi prosodi panjang juga didukung oleh bunyi

    suprasegmentalnya berupa (a) pemendekan bunyi panjang, seperti tu di bawah talanan [tudi bawa:htalanan]‘itu di

    bawah talenan’terdapat bunyi /a/ panjang yang berdurasi sekitar 589, 98 milidetik menjadi lebih pendek dengan

    durasinya sekitar 107,39 milidetik pada perbandingan penutur golongan tua dan muda, ditemukan juga

    pemendekan pada konsonan panjang /r/, seperti tu telor ayam [tutəlɔrrayam]‘itu telor ayam’ yang berdurasi sekitar

    73,70 milidetik menjadi sekitar 49,21 milidetik; (b) fenomena dialektal juga memperkuat bahwa terjadi pemendekan

    pada dialek Loloan Barat. Dari data ditemukan bahwa durasi sekitar 589,98 milidetik dihasilkan oleh penutur

    dialek Loloan Timur, dan oleh penutur dialek Loloan Barat dihasilkan durasi sekitar 90,39 milidetik. Dengan

    demikian, dinamika bahasa Melayu di Bali memperlihatkan perubahan struktur batin ke struktur lahir, golongan

    tua ke muda, dialek Loloan Timur ke Loloan Barat sebagai akibat dari perubahan base lame ‘bahasa lama’ ke base

    karangni ‘bahasa sekarang’ yang cenderung berubah menjadi lebih pendek.

    Kata kunci: dinamika, sistem bunyi, prosodi, durasi, generatif

    Abstract

    Malay language in Bali spoken by the Loloan speech community was established as a mixture of various

    ethnic groups in Indonesia, such as Malay-Pontianak (Kalimantan), Bugis (Sulawesi), Arabic, Java, and Bali. Due to

    the Malay-Pontianak were mostly religious leaders, as well as the language they brought was easy, simple, and

    convenient to use, therefore, Malay are spoken as the lingua franca of the community. During its development, the

  • Malay language has been driven by centripetal (retention) and centrifugal force (accommodating). Therefore, the

    purpose of this study was to find the dynamic of sound length by applying the theory of generative, explanatory

    descriptive method, as well as supported by the experimental phonetics method.

    The results of the study showed that the dynamics of the sound length system were found in Malay

    language in Bali. The changes were supported by the lingual phenomenon such as the segmental factor of (a) vowel

    weakening, example /i/ [ɪ], in bebir /bebir/[bebɪr] ‘lips'; (b) vowel shifting (high to low), example /u//o/, in

    lurus‘straight’lorus /lorus/ in Malay language; (c) vowel deletion, such as /ə/ , in ke ulu (deep structure)

    kulu /kulu/ ‘to the headwater’ (surface structure); and (d) consonant deletion /h/, such as seh ‘interjection like

    ”you know!”’ (deep structure) was realized as se (surface structure). Furthermore, the dynamics were also found in

    the suprasegmental factors, such as the shortening of a long sound. The dynamics happened when the same

    utterances were compared by several variables. First was in between the elderly and young speakers, example tu di

    bawah talanan [tu di bawa:h talanan]‘that’s under the cutting board’ was in 589,98 ms, when said by the elderly,

    then it became shorter of about 107, 39 ms, when uttered by the young speaker. Besides, there were also found the

    shortening of the long consonant sound, example, the sound of /r/, in tu telor ayam [tu təlɔr rayam] ‘that is an egg’

    which lasted about 73.70 ms by the elderly speaker, then about 49.21 ms by young speaker. Second was seen from

    the dialectal phenomenon that also strengthen the shortening occurred. Example, in East Loloan dialect, the

    duration was 589.98 ms, meanwhile in West Loloan dialect about 90.39 ms. Overall, the dynamics of the Malay

    language in Bali showed that the changes from deep to surface structure of the elderly to the young, East to West

    Loloan dialect were the result of changes happened in base lame 'old language' to base karangni 'current language'

    which tend to be shorter.

    Keywords: dynamics, sound system, prosody, duration, generative

    1. PENDAHULUAN Etnis pendukung bahasa Melayu di Bali (disebut juga bahasa Melayu Loloan atau bahasa Melayu

    Bali) adalah campuran etnis, seperti Melayu-Pontianak (Kalimantan Barat), Bugis (Sulawesi), Trengganu

    (Malaysia), Arab, Jawa, dan Bali serta berdiam di Desa Loloan, Negara, Jembrana, Bali. Pemakaian BMB

    sebagai bahasa pengantar antaretnis tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa etnis Melayu-

    Pontianak dan Malaysia merupakan pemimpin (agama, perdagangan, pasukan perang) kelompok

    tersebut; di samping faktor lain seperti bahasa Melayu merupakan lingua franca dan secara

    intralinguistik bahasa Melayu lebih sederhana daripada bahasa daerah lain di Indonesia karena bahasa

    ini tidak memiliki tingkatan bahasa yang rumit.

    Kajian bahasa Melayu Loloan Bali sebagai warisan sejarah bangsa sangat menarik untuk ditelaah

    dan dikaji. Bahasa Melayu Loloan Bali sekarang ini masih digunakan sebagai salah satu bahasa daerah di

    Indonesia. Keterkaitan bahasa Melayu Loloan Bali sekarang dengan bahasa Melayu Kuna dan bahasa

    Melayu Klasik serta dengan bahasa Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas.

    Perkembangan bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal dan sentrifugal

    (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur bahasa untuk mempertahankan

    bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Daya

    sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat

    komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh bahasa Bali sebagai

  • bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia

    tidak bisa dihindari.

    Penelitian bahasa Melayu (Loloan) di Bali menjadi menarik karena bahasa itu memiliki ciri dan

    berada dalam ekologi bahasa tersendiri yang membedakannya dengan bahasa daerah atau bahasa Melayu

    yang lain di Indonesia, baik secara sosial-kebahasaan (makrolinguistik) maupun kebahasaan

    (mikrolinguistik). Keberadaan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa

    mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual. Penutur bahasa

    Melayu Loloan, umumnya, dwibahasawan (menguasai bahasa Melayu Loloan dan bahasa Indonesia serta

    mengerti bahasa Bali) dengan pemakaian bahasa Melayu Loloan dalam ranah informal, seperti

    intrakeluarga, upacara adat, dan pengajian.

    Suatu bentuk perubahan fonologis suprasegmental yang umumnya berada pada tataran kalimat

    pernah diteliti oleh Halim (1969) dengan judul Intonation in Relation to Syntax in Indonesia. Penelitian

    tersebut membuktikan bahwa proses perubahan intonasi (salah satu macam suprasegmental) berhubungan

    dengan kalimat bahasa Indonesia. Di dalam gramatika bahasa, intonasi berada dalam posisi setelah

    struktur lahir (surface structure)yang diikuti dengan penerapan kaidah secara siklis menurut komposisi

    fonologis (cyclic phonological mapping rules) serta kondisi pembentukan yang benar (well-formedness

    conditions). Hal itu menghasilkan bentuk fonologis purnasiklis dan logis.

    Halim (1984:73—74) memberikan contoh penerapan kaidah intonasi dalam kalimat bahasa

    Indonesia berikut.Jangan sekarang!

    2- 31t #

    Kalimat tersebut merupakan kalimat struktur lahir dari struktur batin Buku ini jangan dikembalikan

    sekarang. Hal itu diargumentasikan berdasarkan konteks pemakaian kalimat tersebut dalam dialog.

    Kalimat itu diawali dengan kalimat Bagaimana kalau saya kembalikan saja buku ini? Kemudian, terjadi

    pelesapan subjek buku ini karena telah dituturkanpada kalimat sebelumnya. Demikian juga terjadi

    pelesapan dikembalikan (opsional) dengan alasan yang sama, yaitu dituturkan sebelumnya. Setelah

    terbentuk struktur lahir barulah dilengkapi dengan intonasi suruh, sehingga terbentuk kalimat suruh

    seperti di atas.

    Keadaan kebahasaan, termasuk keadaan fonologis, yang meliputi perubahan struktur batin ke

    struktur lahir (dalam kajian Generatif) atau perubahan dari basa lame (bahasa lama/dulu) dengan basa

    karang ni (bahasa sekarang) dalam bahasa Melayu (Loloan) di Bali dimasukkan ke dalam dinamika

    bahasa pada kajian ini. Khusus dalam makalah ini, kajian difokuskan pada dinamika sistem bunyi prosodi

    panjang yang ditemukan dalam bahasa Melayu saat ini.

    2. PEMBAHASAN

    2.1 Dinamika Sistem Bunyi Vokal dan Konsonan

    2.1.1 Pengenduran Bunyi

    Dalam bahasa Melayu Loloan Bali ditemukan lima fonem vokal yang dapat mengalami

    pengeduran dalam realisasi fonetisnya. Vokal yang dapat mengalami pengenduran tersebut masing-

    masing adalah vokal /i/, /e/, /u/, dan /o/. Semua vokal tersebut tergolong vokal [-rendah], yaitu vokal

    tinggi dan vokal sedang. Jika vokal tersebut mengalami pengenduran, masing-masing berealisasi menjadi

    /i/ [ɪ], /e/ [ɛ], /u/ [ʊ], dan /o/ [ɔ].

    Realisasi fonetis masing-masing vokal tersebut terlihat dalam data berikut ini.

    bebir /bebir/ [bebɪr] ‘bibir

    aren /aren/ [arɛn] ‘enau’

    lorus /lorus/ [lorʊs] ‘lurus’

    belok /bəlok/ [bəlɔɁ] ‘bodoh’

  • Data di atas memperlihatkan adanya perubahan realisasi fonetis yang konsisten dari representasi

    fonemis vokal-vokal tersebut. Vokal /i/ direalisasikan sebagai [ɪ] apabila berada pada silabel tertutup,

    demikian juga vokal /e/, /u/, dan /o/ masing-masing direalisasikan sebagai [ɛ], [ʊ], dan [ɔ] apabila terdapat

    pada distribusi silabel tertutup. Bandingkan realisasi /i/ pada kata ni /ni/[ni]‘ini’ dengan kata bebir /bebir/

    [bebɪr] ‘bibir’. Vokal /i/ direalisasikan sebagai [i] pada ni /ni/[ni] ‘ini’ karena berada pada silabel

    terbuka, sedangkan /i/ direalisasikan sebagai [ɪ] pada kata bebir /bebir/ [bebɪr] ‘bibir’ karena berada pada

    silabel tertutup. Data tersebut memperlihatkan secara konsisten realisasi vokal tegang (/i/) menjadi vokal

    kendur ([ɪ]).

    Demikian juga dengan vokal yang lain, vokal /e/ direalisasikan sebagai [e] pada kata bebir /bebir/

    [bebɪr] ‘bibir’ karena berada pada silabel terbuka, sedangkan direalisasikan sebagai [ɛ] seperti pada kata

    aren /aren/ [arɛn] ‘enau’ karena berada pada silabe tertutup. Kemudian, vokal /u/ direalisasikan sebagai

    [u] seperti pada kata bute /butə/ [butə] ‘buta’ karena berada pada silabel terbuka, sedangkan

    direalisasikan sebagai [ʊ] seperti pada kata lorus /lorus/ [lorʊs] ‘lurus’ karena berada pada silabel

    tertutup. Seterusnya, vokal /o/ direalisasikan sebagai [o] seperti pada kata bolo /bolo/ [bolo] ‘buluh’

    karena berada pada silabel terbuka, sedangkan direalisasikan sebagai [ɔ] seperti pada kata belok /bəlok/

    [bəlɔɁ] ‘bodoh’ karena berada pada silabel tertutup. Berdasarkan data di atas dapat dirumuskan

    kaidah realisasi fonetis vokal-vokal tegang tersebut menjadi vokal kendur karena berada pada distribusi

    silabel tertutup. Untuk itu, kaidah pengenduran vokal tersebut terlihat sebagai berikut.

    K: Pengenduran Vokal Tegang

    Kaidah di atas merumuskan bahwa setiap vokal [+tegang] yang biasanya [-rendah] (tinggi atau sedang)

    akan mengalami pengenduran dalam realisasi fonetisnya apabila berada pada silabel tertutup (silabel yang

    diakhiri dengan konsonan). Kaidah tersebut akan merealisasikan vokal tegang yang bukan rendah , yaitu

    /i, e, u, o/, masing-masing menjadi vokal kendur dalam realisasinya, yaitu [ɪ, ɛ, ʊ, ɔ] apabila diikuti

    konsonan dalam silabel (silabel tertutup).

    Contoh penerapan kaidah tersebut terlihat dalam proses fonologis berikut ini.

    aren /aren/ [arɛn] ‘enau’ bebir /bebir/ [bebɪr]‘bibir’

    ______________________________________________________

    Bentuk (Dasar) Fonemis / aren / /bebir/

    Kaidah Pengenduran

    vokal tegang (K Pengenduran) [arɛn] [bebɪr]

    Bentuk (Turunan) Fonetis [arɛn] [bebɪr]

    Penerapan kaidah di atas menyebabkan vokal /e/ yang tegang menjadi [E] kendur pada silabel

    tertutup ren, sedangkan pada silabel be tidak menjadi kendur karena berada pada silabel terbuka.

    Demikian juga, vokal /i/ yang tegang dalam representasi fonemis menjadi kendur dalam representasi

    fonetis karena berada pada silabel tertutup bir.

    2.1.2 Pelesapan Bunyi Vokal (Pelesapan Schwa (/ə/) pada Kata Preposisi ke ‘ke’)

    Secara umum bunyi schwa /ə/ tergolong bunyi lemah jika dibandingkan dengan bunyi yang lain,

    seperti /a/, /i/, dan /u/. Schane (1973:12) menyebut bahwa vokal /a/, /i/, dan /u/ merupakan vokal

    dasar yang ditemukan di hampir semua bahasa di dunia dan vokal tersebut juga merupakan vokal

    pertama dalam pemerolehan bahasa anak. Semua vokal lain (selain ketiga vokal dasar itu) terdapat

    dalam ruang perseptual di antara vokal /i/, /u/, dan /a/ tersebut. Sementara itu, bunyi vokal /ə/ hanya

    V [ - tegang ] / __ K -

    rendah

    + tegang

  • ditemukan dalam bahasa tertentu saja; kalau pun ada, bunyi tersebut bersifat penyisipan; dan bunyi itu

    juga mudah hilang dalam pemakaian bahasa.

    Berdasarkan pernyataan tersebut di atas sangat wajar bila vokal /ə/ dalam bahasa Melayu

    Loloan Bali ditemukan mudah lesap. Contohnya ditemukan pada pemakaian kata preposisi ke ‘ke’

    berikut ini.

    (1) Kulu-kilir an kerjaan kao.‘Ke utara-selatan (jalan-jalan) saja pekerjaan kamu’ Kalimat di atas menunjukkan pemakaian kata kulu ‘ke utara’ dan kilir ‘ke selatan’ dalam bahasa

    Melayu Loloan Bali. Selain bentuk kulu yang berarti ‘ke utara’ dipakai juga bentuk ke ulu dengan arti

    yang sama, yaitu ‘ke utara’. Pemakaian bentuk ke ulu ‘ke utara’terlihat pada kalimat berikut yang

    merupakan kalimat jawaban atas pertanyaan, “Mau ke mana?”

    (2) Aku nak ke ulu lanan. ‘Saya mau ke utara dulu’

    Motivasi yang melatarbelakangi pemakaian bentuk abreviasi tersebut adalah situasi dan kondisi

    pemakaian bahasa (faktor fragmatik), yaitu berbahasa secara cepat dan praktis. Kata kulu ‘ke utara’

    digunakan dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan yang biasa (normal). Sementara itu, bentuk ke ulu

    ‘ke utara’ dipakai dalam suasana pemakaian bahasa yang pelan dan cenderung sopan, seperti berbicara

    dengan orang tua. Pemakaian bahasa biasa/normal dalam hal ini dimaksudkan sebagai pemakaian

    bahasa yang akrab (tidak tercermin adanya tinggi-rendah berbahasa), seperti berbicara dengan teman

    dalam situasi akrab. Hal itu jelas terlihat apabila kalimat (3) dipakai oleh pembicara antarteman

    (golongan muda) dalam situasi akrab, seperti berikut ini

    (2a) Aku nak kulu lan.‘saya mau ke utara dulu’

    Kaidah pelesapan schwa (/ə/) tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. K – PL 1:

    V Ø / __# # ulu #

    - tinggi ilir - rendah - belakang - depan

    Kaidah PL 1 merumuskan bahwa vokal tengah tidak rendah (schwa) akan menjadi lesap apabila

    berada pada kata ke ‘ke’ bertemu dengan kata ulu ‘utara’ atau ilir ‘selatan’. Vokal tersebut berada pada

    akhir kata, sehingga pertemuan tersebut berada pada posisi antarkata. Kaidah itu pelesapan /ə/tersebut

    tidak berlaku pada setiap preposisi ke ‘ke’ dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Preposisi ke ‘ke’ tidak

    berubah (/ə/-nya tidak lesap) apabila preposisi tersebut berada di tempat lain. Contoh berikut ini

    menunjukkan hal itu.

    (3) Kau liat ke mane dare tu busan. ‘kamu lihat ke mana gadis itu tadi’

    Kelompok kata ke mane ‘ke mana’ pada kalimat (4) menunjukkan bahwa preposisi ke ‘ke’ tidak

    selalu kehilangan /ə/ bila bertemu dengan kata lain. Kaidah pelesapan itu berlaku khusus pada

    kelompok kata ke ulu ‘ke utara’ dan ke ilir ‘ke selatan’ saja. Perubahan tersebut pun terjadi apabila

  • situasi pembicaraan akrab sesama teman. Perlu disampaikan bahwa pemakaian bahasa Melayu Loloan

    Bali umumnya adalah pada situasi informal dalam suasana akrab sesama teman. Dengan demikian,

    pemakaian bentuk singkatan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk yang dipakai dalam suasana

    pemakaian bahasa Melayu Loloan yang normal.

    2.1.3 Pelesapan Bunyi Konsonan (Pelesapan /h/ pada Akhir Kata Seh ‘sih’)

    Dalam bahasa Melayu Loloan, bunyi /h/ pada posisi akhir kata sangat lemah. Jarang ditemukan

    kata-kata yang berakhir dengan bunyi /h/. Jika ditemukan dalam beberapa kata, bunyi /h/ dalam kata-

    kata tersebut terdengar sangat lemah. Sering harus diucapkan berulang-ulang, sehingga bunyi /h/ itu

    bisa didengar keberadaannya. Misalnya, pada kata makasih ‘terima kasih’ atau peluh ‘keringat’ sepintas

    hanya didengar makasi ‘terima kasih’ atau pelu [pəlʊ] ‘keringat’. Sementara itu, banyak kata bahasa

    Indonesia yang berakhir dengan /h/ dalam bahasa Melayu Loloan Bali bunyi /h/-nya menjadi berubah

    atau lesap. Misalnya, kata bahasa Indonesia taruh, bawah, dan bersih dalam bahasa Melayu Loloan Bali

    menjadi tarok [tarɔɁ] ‘taruh’, bawak [bawaɁ] ‘bawah’, dan berse [bərse] ‘bersih’.

    Dalam kata seh ‘sih’ direalisasikan sebagai se ‘sih’ pada pemakaian bahasa normal (pada

    umumnya). Lafal seh [sɛh] ‘sih’ dilakukan bila pemakaian bahasa dalam suasana pelan atau kata itu

    umumnya berada pada posisi akhir kalimat. Contoh berikut ini menunjukkan hal tersebut.

    (4) Nak ape se kau makse aku?‘Kenapa sih kamu memaksa aku?’

    (5) Kalok aku dak mekot, nak ape seh? ‘Kalau saya tidak ikut, kenapa sih?'

    Kalimat (4) dan (5) menunjukkan perbedaan pemakaian se ‘sih’ dan seh ‘sih’. Pada kalimat (4)

    pemakaian se ‘sih’ muncul karena kata itu digunakan di tengah kata, sehingga pelafalannya cenderung

    cepat dan sebelum artikulasi mengucapkan bunyi /h/ sudah diantisipasi dengan pelafalan bunyi pada

    kata yang mengikutinya, yaitu bunyi /k/ pada kata kau ‘kamu’. Sementara itu, pada kalimat (5) dipakai

    seh ‘sih’ karena kata itu berada pada posisi akhir kalimat yang cenderung pelan karena tidak ada

    antisipasi pada alat ucap untuk mengucapkan kata berikutnya. Kadang-kadang kata seh ‘sih’ pada akhir

    kalimat mendapat penekanan guna memperoleh efek makna khusus, seperti sedang, yang diinginkan

    oleh pembicara.

    Kaidah pelesapan bunyi /h/ pada kata seh ‘sih’ dapat dirumuskan sebagai berikut.K-PL 2

    K Ø / __ # #…#

    + malar seh

    + rendah

    Kaidah di atas merumuskan bahwa bunyi /h/ pada kata seh ‘sih’ akan lesap bila berada pada posisi akhir

    kata di tengah kalimat. Posisi di tengah kalimat sama dengan diikuti oleh kata lain dalam sebuah kalimat.

    Dengan demikian, rumusan tersebut tidak melesapkan bunyi /h/ pada akhir kata seh ‘sih’ apabila kata

    itu berada pada akhir kalimat.

  • Dinamika sistem bunyi bahasa Melayu di atas juga menggambarkan adanya perubahan

    perendahan/pelemahan dan pelesapan bunyi jika dibandingkan antara bahasa Bali atau Indonesia

    dengan bahasa Melayu. Seperti kata bibih bahasa Bali dan bibir bahasa Indonesia menjadi bebir dalam

    bahasa Melayu. Artinya, bunyi /i/ suku pertama kata tersebut menjadi bunyi /e/. Sementara itu,

    pelesapan bunyi pepet (/ə/) juga ditemukan pada kata ke bahasa Bali seperti ke Tabanan atau ke

    bahasa Indonesiaseperti ke utara menjadi lesap dalam bahasa Melayu menjadi kulu ’ke hulu’.

    2.2 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Panjang

    Bunyi ucapan (speech) adalah sesuatu yang terjadi atau terbentuk dan terobservasi secara

    nyata. Getaran alat ucap seseorang, gelombang bunyi yang merambat di udara dan didengar oleh

    telinga pendengar merupakan sesuatu yang terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik

    eksperimental yang mampu mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi (yang digunakan dalam

    analisis ini) sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari tekanan terlihat refleksinya

    dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada (pitch), panjang (length), dan kenyaringan (loudness).

    Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara,

    panjang pendeknya suara, dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik. Dengan kata lain, bunyi

    panjang prosodi terlihat dalam realisasinya menyertai tekanan dalam pemakaian bahasa.

    Seperti terlihat dalam pemakaian bahasa Melayu (Loloan) di Bali, penempatan tekanan dalam

    suku kata menyebabkan suku kata tersebut menjadi lebih menonjol daripada suku kata yang lainnya.

    Malahan, di dalam beberapa kata, tekanan tersebut bisa menimbulkan kontras. Misalnya, dalam bahasa

    Melayu Loloan Bali yang juga berlaku dalam bahasa Indonesia, kata ekor ‘ekor’ diberi tekanan yang

    berbeda menimbulkan makna kalimat yang berbeda pula. Dalam konteks Berape ekor ayam tu?

    ’Berapa ekor ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ekor dari ayam. Sementara itu, apabila kara

    ekor digunakan dalam konteks Berape eḱor ayam tu?‘Berapa eḱor ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan

    jumlah ayam. Suku kata yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan, sedangkan

    yang lainnya disebut suku kata tidak bertekanan.

    Sama halnya dengan bentuk prosodi panjang dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Dalam

    menganalisis bunyi panjang yang terjadi tersebut digunakan teori mengenai durasi. Durasi berkaitan

    dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi

    panjang adalah titik dua (durasi) sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:) tanda ini yang disebut mora.

    Pada data bahasa Melayu Loloan, ditemukan bunyi panjang, baik pada bunyi vokal maupun

    konsonan. Panjang terjadi pada tataran kalimat dan pada dasarnya tidak mengubah makna secara

    literal, tetapi lebih bermakna secara pragmatis, seperti penyampaian emosi tertentu dan penegaskan

    maksud tuturan, dan faktor kebahasaan lainnya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.

  • 2.2.1 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Beda Generasi

    Pada data dalam tataran kalimat, ditemukan bunyi panjang pada bunyi vokal. Panjang umumnya

    terjadi pada tataran kalimat deklaratif, terutama tuturan-tuturan ketika informan menanggapi atau

    menjawab pertanyaan. Salah satu contoh yang ditemukan adalah tuturan deklaratif tu di bawah talanan

    ‘itu di bawah talenan’ (papan untuk mengiris bahan makanan), yang merupakan jawaban atas

    pertanyaan dimane wak tarok pisaunye? ‘dimana pisaunya bapak letakkan?’. Pada kalimat tersebut,

    terjadi pemanjangan bunyi vokal [a] pada suku kedua kata ‘bawah’. Secara fonetis, tuturan dapat

    dijabarkan sebagai berikut:

    (6) Tu di bawah talanan [tu di bawa:h talanan] ‘itu di bawah talenan’

    Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara fonetis, tanda mora digunakan untuk

    memarkahi bunyi panjang dalam satu tuturan, baik itu dalam satuan kata, frasa, maupun kalimat. Pada

    contoh 4.1 di atas, pemanjangan terjadi pada frasa ‘di bawah’, yaitu pada bunyi vokal [a] pada suku

    kedua. .Motivasi terjadinya panjang pada bunyi vokal di atas tersirat secara pragmatis, dan tidak

    mengubah makna literalnya. Panjang terjadi pada kata bawah, secara pragmatis dituturkan penutur

    untuk lebih menekankan tuturannya pada posisi dari benda yang ditanyakan (pisau). Dengan demikian,

    si penanya dapat dengan mudah menemukan pisau yang dicari.

    Lebih lanjut, bila kajian diperdalam dengan melihat dinamika yang terjadi pada bunyi panjang

    tersebut, perlu dilakukan perbandingan dalam realitanya. Berdasarkan atas data yang ditemukan di

    lapangan, ditunjukkan bahwa terjadi dinamika dalam panjang bunyi vokal pada bahasa Melayu Loloan

    Bali yang didasarkan atas faktor golongan usia pemakai bahasa tersebut. Faktor yang pertama adalah

    ketika diperbandingkan antara dua penutur dengan usia yang berbeda. Penutur satuan lingual yang

    ditunjukkan oleh grafik 4.1 di atas adalah penutur golongan tua (usia + 70 tahun) dengan durasi

    panjangnya ucapan bunyi mencapai sekitar 589,98 milidetik. Pada penutur usia muda, terjadi juga bunyi

    vokal panjang, tetapi jika dibandingkan dengan panjang vokal pada penutur usia tua, durasi pada

    penutur usia muda cenderung lebih pendek. Pada penutur usia muda (umur + 20 tahun), durasinya

    sekitar 107,39 milidetik

    2.2.2 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Dialek

    Ketika berbicara tentang dialek dalam bahasa Melayu Loloan Bali, terdapat beberapa dialek

    yang berkembang mengingat penuturnya tersebar di beberapa wilayah. Dua di antaranya adalah dialek

    Loloan Timur dan Loloan Barat. Bunyi panjang pada penutur dengan dialek Loloan Timur berdurasi

    sekitar 589, 98 milidetik. Sementara itu, pada penutur dengan dialek Loloan Barati lebih pendek sekitar

    90, 39 milidetik (selisih sekitar 499, 59 milidetik). Dilihat dari sejarah perkembangannya, penduduk

    Loloan Barat dikatakan cenderung memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap perubahan dan

    perkembangan dibandingkan dengan Loloan Timur. Dengan demikian, di daerah ini banyak terjadi

    perkawinan campur antara penduduk asli dengan pendatang. Hal tersebut pada akhirnya juga

    memengaruhi perkembangan bahasa Melayu yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

  • Sementara itu, penduduk Loloan Timur digambarkan cenderung lebih tertutup, sehingga pada

    perkembangannya, sebagian besar masyarakatnya merupakan penduduk asli keturunan Melayu. Dari

    sana dapat diperoleh simpulan bahwa keaslian bahasa Melayu Loloan lebih bertahan di Loloan Timur

    dibandingkan dengan Loloan Barat, termasuk di dalamnya adalah alunan ketika menuturkan bahasanya.

    3. SIMPULAN

    Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh beberapa simpulan dan saran sebagai berikut.

    Terdapat dinamika yang terjadi pada sistem bunyi bahasa Melayu di Bali. Pada sistem bunyi segmental

    ditemukan dinamika vokal dan konsonan berupa beberapa kaidah fonologis, yaitu kaidah pengenduran

    vokal tegang, kaidah pelesapan schwa (/ə/) pada kata preposisi ke ‘ke’, dan pelesapan /h/ pada akhir

    kata seh. Kaidah fonologis tersebut menggambarkan perubahan bunyi segmental dari struktur batin ke

    struktur lahir. Dalam hal ini, struktur batin memiliki struktur lebih tegang dan lebih lengkap. Dalam teori

    fonologi generatif struktur batin bisa dipandang sebagai struktur bahasa asal, sedangkan struktur lahir

    sebagai bahasa turunan. Dinamika itu mendukung fenomena dinamika suprasegmental (prosodi). Dalam

    hal ini, perubahan bunyi panjang menjadi lebih pendek; pada golongan penutur usia tua ke muda dan

    penutur dialek Loloan Timur ke dialek Loloan Barat. Hal itu menggambarkan dinamika perubahan base

    lame ’bahasa lama’ ke base karang ni ’bahasa sekarang’, yaitu struktur batin (bentuk asal), bahasa

    penutur golongan tua, dan dialek Loloan Timur sebagai base lame ’bahasa lama’ serta struktur lahir

    (bentuk turunan), bahasa penutur golongan muda, dan bahasa Melayu dialek Loloan Barat sebagai base

    karang ni ’bahasa sekarang’.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Disampaikan kepada LPPM Unud atas Dana Hibah Desentralisasi 2015; Pemerintah Kabupaten Jembrana

    atas izin penelitiannya serta para informan dan para pembantu penelitian ini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Gussmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: University Press.

    Hawkins, Peter. 1984. Introducing Phonology. London: Hutchinson.

    Kridalaksana, Harimurti. 1995. “Pendayagunaan Potensi Intern dan Ekstern dalam Pengembangan

    Bahasa Indonesia dan Peningkatan Budaya Bangsa”; makalah dalam Seminar Nasional Sejarah

    Bahasa Indonesia dalam Perjalanan Bangsa, 27—28 Juli 1995. Denpasar: FS Unud dan Program

    Magister (S2) Linguistik Unud.

    Lapoliwa, H. 1981. “A Generative Approach to the Phonology of Bahasa Indonesia”, in Pasific Linguistics

    Series D- No.34. Canberra: Departement of Linguistics Research School of Pasific Studies, The

    Australian National University.

    Lass, Roger. 1984. Phonology: An Introduction to Basic Concepts. Cambridge: Cambridge University

    Press.

  • Ledefoged, P. 1982. A Course in Phonetics. Second Edition. San Diego, New York, Chicago, Washington

    D.C. Atlanta, London, Toronto: Harcourt Brace Javanovich Publisher.

    Roca, Iggy and Wyn Johnson. 1999. A Course in Phonology. Oxford USA: Blackwell Publishers Inc.

    Rogers, Henry. 2000. The Sounds of Language: An Introduction to Phonetics. Harlo: Longman.

    Schane, Sanford A. 1973. Generative Fonology. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice- Hall.

    Sudaryanto. 1993. Metode Linguistik (Bagian Pertama dan Kedua). Yogyakarta: Duta Wacana University

    Press.

    Suparwa, I Nyoman. 2007. “Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan

    Posleksikal”. Disertasi Program Doktor Linguistik Unud. Denpasar: PPs Unud