Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

34
Dinamika Desentralisasi dan Demokrasi Lokal 1 Sutoro Eko 2 Desentralisasi dan demokratisasi merupakan dua arus utama perubahan politik di Indonesia selama lima tahun transisi dan reformasi politik. Secara teoretis antara desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan keuangan dari pusat ke daerah, melainkan juga hendak membawa negara lebih dekat pada masyarakat atau membuat demokrasi lokal bekerja (akuntabilitas lokal, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat). Voice, akses dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah akan lebih dekat apabila terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. Tanpa demokrasi dan partisipasi, maka desentralisasi dan otonomi daerah hanya memindahkan sentralisasi dan korupsi dari Jakarta ke daerah, atau hanya menghasilkan raja-raja kecil di daerah yang lebih mengutamakan pemeliharaan kekuasaan dan penumpukan kekayaan. Sebaliknya demokratisasi yang terjadi di level nasional harus didesentralisasikan ke tingkat lokal. Jika tidak ada desentralisasi, maka sama saja menjauhkan pemerintah dari masyarakat dan sekaligus mempersempit akses masyarakat dalam proses politik. Demokratisasi tidak hanya mencakup masalah pemilihan umum nasional atau check and balances antara DPR dan Presiden yang terjadi di Jakarta, melainkan yang jauh lebih penting adalah praktik demokrasi 1 Makalah Disajikan dalam Lokakarya “Wawasan Pembangunan Nasional” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor, 17-19 September 2003. 2 Ketua SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (STPMD) “APMD” Yogyakarta dan Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta. 1

description

Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Transcript of Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Page 1: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Dinamika Desentralisasi danDemokrasi Lokal1

Sutoro Eko2

Desentralisasi dan demokratisasi merupakan dua arus utama perubahan politik di Indonesia selama lima tahun transisi dan reformasi politik. Secara teoretis antara desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan keuangan dari pusat ke daerah, melainkan juga hendak membawa negara lebih dekat pada masyarakat atau membuat demokrasi lokal bekerja (akuntabilitas lokal, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat). Voice, akses dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah akan lebih dekat apabila terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. Tanpa demokrasi dan partisipasi, maka desentralisasi dan otonomi daerah hanya memindahkan sentralisasi dan korupsi dari Jakarta ke daerah, atau hanya menghasilkan raja-raja kecil di daerah yang lebih mengutamakan pemeliharaan kekuasaan dan penumpukan kekayaan.

Sebaliknya demokratisasi yang terjadi di level nasional harus didesentralisasikan ke tingkat lokal. Jika tidak ada desentralisasi, maka sama saja menjauhkan pemerintah dari masyarakat dan sekaligus mempersempit akses masyarakat dalam proses politik. Demokratisasi tidak hanya mencakup masalah pemilihan umum nasional atau check and balances antara DPR dan Presiden yang terjadi di Jakarta, melainkan yang jauh lebih penting adalah praktik demokrasi di tingkat lokal, termasuk partisipasi masyarakat dalam urusan publik yang berkenaan dengan hidupnya sehari-hari.

Belajar dari kasus Italia, Robert Putnam, misalnya, membangun argumen yang kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horisontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam komunitas sipil (civic community).3

Indikator-indikator civic engagement -- solidaritas sosial dan partisipasi massal -- yang merentang pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokratis. Selama seperempat abad terahir, desentralisasi politik di

1Makalah Disajikan dalam Lokakarya “Wawasan Pembangunan Nasional” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor, 17-19 September 2003.

2Ketua SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (STPMD) “APMD” Yogyakarta dan Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta.

3Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1993). Gagasan Putnam tentang civic community ini sangat dipengaruhi oleh repiblikenisme dan pemikiran Tocqueville ketika dia mengkaji tentang kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di Amerika Serikat. Lihat Alexis de Tocqueville, Democracy in America, ed. J.P. Mayer (Garden City, NY: Anchor Books, 1969).

1

Page 2: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Itali telah secara luas mentransformasikan kultur politik elite dalam suatu arah yang demokratis. Pembentukan pemerintahan regional, yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumber-sumber daya, menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai'. Secara berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan level pemerintahan lokal dan bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional.

Putnam juga menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal yang lebih menawarkan cakupan terbesar bagi organisasi-organisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan problem-problem yang menuntut perhatian -- dari layanan sosial sampai transportasi dan lingkungan -- berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Keterlibatan langsung warga dalam penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang penting untuk memperkuat keterampilan para warga secara individual dan akumulasi modal sosial, seraya membuat penyampaian layanan publik lebih accountable.

Keterkaitan antara desentralisasi dan demokrasi di atas kemudian melahirkan konsep desentralisasi-demokratis atau model otonomi daerah berbasis masyarakat (ODBM). Secara prinsipil, ODBM adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi, dan demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Semuanya berawal dari masyarakat dan dikembalikan untuk masyarakat. Yaitu otonomi daerah yang dibangun “dari” partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggungjawab “oleh” masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif “untuk” masyarakat. Dilihat dari bawah, otonomi daerah berarti ruang dan kapasitas daerah melakukan akses terhadap proses kebijakan di tingkat pusat, supaya kebijakan pusat mempunyai basis yang legitimate di hadapan masyarakat lokal. Dari segi proses, pembuatan kebijakan regional dan nasional harus berlangsung melalui partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat tidak semata dijadikan sebagai obyek kebijakan.

Dari segi substansi (kontens), kebijakan regional dan nasional harus mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan (needs) masyarakat, berpihak pada masyarakat serta mampu memberikan jaminan (kepastian) bagi upaya penanganan keterbatasan (constrains) yang dihadapi masyarakat. Dilihat dari atas, pemerintah —dengan dalih kewenangan, regulasi, hirarkhi dan wacana negara kesatuan—tidak bisa menggunakan kekuasaan atas (power over) melalui kontrol dan intervensi yang ketat, melainkan harus menggunakan semangat kekuasaan untuk (power to) memberdayakan masyarakat melalui melalui visi transformatif dan pendekatan fasilitatif.

ODBM juga identik dengan konsep desentralisasi demokratis (democratic decentralisation), yakni sebagai bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal dan antara pemerintah lokal dengan warga masyarakat. Desentralisasi demokratis hendak mengelola kekuasaan untuk mengembangkan kebijakan, perluasan proses demokrasi pada level pemerintahan yang lebih rendah, dan mengembangkan standar (ukuran) yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung secara berkelanjutan.4 Seperti terlihat dalam bagan 1, desentralisasi

4Camille Barnett, Henry Minis dan Jerry VanSant, Democratic Decentralization, Working Paper, RTI dan USAID, 1997.

2

Page 3: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

demokratis menggabungkan desentralisasi dan pemerintahan lokal yang demokratis (democratic local governance).

Bagan 1Skema desentralisasi demokratis

PemerintahPusat

Desentralisasi (Transfer kewenangandan tanggungjawab)

Desentralisasi PemerintahDemokratis Lokal

Pemerintahan Lokal Demokratis (akses,

akuntabilitas dan masyarakat sipil)

Warga Masyarakat

Unsur desentralisasi dalam konteks desentralisasi demokratis mengandung dua elemen penting. Pertama, pelembagaan pembaharuan konstitusional dan hukum untuk membagi kekuasaan pada struktur pemerintahan lokal (perubahan dalam konteks hubungan antar level pemerintahan). Kedua, peningkatan kemampuan pemerintah daerah/desa untuk bertindak (kapasitas SDM dan finansial serta tanggungjawab yang signifikan). Sedangkan tata pemerintahan daerah/desa yang demokratis mencakup tiga elemen. Pertama, pengelolaan pemerintahan daerah/desa secara transparan, akuntabel dan responsif (perubahan dalam konteks hubungan antara pemerintah daerah/desa dengan warga masyarakat lokal). Kedua, penguatan peran elemen-elemen masyarakat sipil (partisipasi warga masyarakat baik secara individual maupun kolektif). Ketiga, perbaikan kualitas hidup warga masyarakat (pemberdayaan warga, kualitas layanan publik dan pemerataan akses).

Dalam konteks Indonesia, pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman desentralisasi dan demokrasi lokal selama 3-5 tahun terakhir? Kemajuan apa yang telah diraih? Pengalaman buruk dan masalah apa saja yang muncul? Apakah teori yang ideal tersebut bisa jalan di Indonesia? Jika tidak bisa jalan, mengapa hal itu bisa terjadi? Sederet pertanyaan ini merupakan basis bagi kita semua untuk melakukan refleksi terhadap konteks kekinian dan sekaligus sebagai pijakan awal untuk membangun desentralisasi dan demokrasi lokal yang lebih baik di masa depan.

Distorsi Wacana Ketika Orde Baru bangkrut empat tahun lalu, demokrasi dan desentralisasi

mengalami kebangkitan yang luar biasa. Pemerintahan transisi di bawah Habibie secara responsif (jika bukan reaktif dan tergesa-gesa) mengeluarkan UU No. 22/1999, yang konon dinilai jauh lebih baik ketimbang UU No. 5/1974. Banyak pujian dan juga kecaman terhadap UU transisional itu, tetapi secara empirik ia telah diterapkan sebagai sebuah “perintah” yang cepat untuk menjalankan otonomi daerah sejak awal 2001.

3

Page 4: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Banyak pihak telah mengkritisi substansi dan pasal demi pasal UU No. 22/1999, bahkan berbagai kalangan telah memberikan rekomendasi agar UU itu diamandemen meskipun tidak didasarkan pada assessment yang memadai terhadap implementasi selama satu tahun. Pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, secara sepihak telah mencoba mengeluarkan draft amandemen UU No. 22/1999, tetapi agena revisi akhirnya ditunda sementara karena memperoleh tekanan penolakan dari banyak pihak: asosiasi pemerintah kabupaten, asosiasi DPRD, elemen-elemen NGO, dan lain-lain. Sekarang Depdagri mencoba lagi untuk melakukan revisi UU No. 22/1999, tetapi prosesnya sangat tertutup yang sampai sekarang naskah revisi belum bisa diakses secara terbuka oleh publik.

Praktik otonomi daerah di era refomasi yang dibingkai oleh UU No. 22/1999 mempunyai sejumlah kemajuan ketimbang otonomi daerah masa lalu, tetapi secara empirik juga menimbulkan sejumlah paradoks dan masalah yang kompleks. Tabel 1 barangkali bisa memberikan mapping perubahan paradigmatik dari UU No. 5/1974 ke UU No. 22/1999. Beberapa critical issue akan saya uraikan di bawah.

Tabel 1Perubahan paradigmaUU Otonomi daerah

No Lama (UU No. 5/1974) Baru (UU No. 22/1999)1 Centralisation with deconcentration

heavyDesentralisation heavy

2 Pemerintahan di daerah (local state government)

Pemerintahan daerah (local government)

3 Efisiensi, teknokrasi & korporatisme Demokrasi 4 Keseragaman Keragaman5 Bureaucratic government Party government6 Vertical loyalty Local accountability7 Executive heavy Legislative heavy8 Function follows money Money follows function

Paradigma otonomi daerah di atas kertas (formalistik) sudah banyak yang berubah tetapi tidak diikuti dengan perubahan pola pikir (pemahaman) secara substantif terhadap otonomi daerah. Banyak orang mempunyai pemahaman secara keliru terhadap otonomi daerah, yang akan saya beberkan di bawah.

Pertama, otonomi daerah dalam negara kesatuan berbeda dengan otonomi daerah dalam negara serikat (federal). Wacana ini umumnya dikemukakan oleh para pendukung status quo sentralisme, terutama pemerintahan Megawati dan pendukungnya. Dengan terus-menerus mereproduksi wacana negara kesatuan, rezim Megawati ingin menunjukkan kontrol yang terpusat kepada daerah, dan kelihatannya ia mengidap “malaise psikologis” terhadap gagasan otonomi daerah yang seluas-luasnya.

Kedua, kewenangan selalu menjadi perhatian utama otonomi daerah, sehingga perlu diatur secara tegas. Pandangan ini lebih bersifat instrumentalis ketimbang pandangan yang substantif. Kalau bicara tentang regulasi maka substansinya adalah kewenangan, kalau bicara tentang kewenangan maka pemilik otonomi hanya pemerintah. Otonomi daerah secara sempit dipahami hanya sebagai milik pemerintah daerah, serta tidak lebih sebagai domain hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

4

Page 5: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

atau autonomy within bureaucracy. Yang paling berkepentingan terhadap konflik kewenangan adalah pemerintah, bukan masyarakat. Pada level empirik, regulasi dan kewenangan itu menjadi medan tempur antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Lalu apa ruang yang bisa diberikan kepada masyarakat dalam regulasi itu? Adakah regulasi yang menegaskan bahwa pemilik otonomi lokal adalah masyarakat lokal?

Ketiga, otonomi daerah dipahami sebagai otonomi dalam hal uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan: autonomy means automoney. Pemahaman yang keliru inilah yang mendorong pemda bernafsu mengeruk PAD dari masyarakat. Sangat berbahaya. Padahal secara substantif, otonomi daerah adalah sebuah semangat untuk membangkitkan potensi dan kreativitas lokal, yang secara berkelanjutan bakal diikuti dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Yang lebih penting bukan PAD tetapi PDRB-nya, sebab PAD hanya jadi domain pemda sedangkan PDRB adalah pendapatan riil masyarakat. PAD umumnya hanya untuk membayar pegawai negeri dan untuk konsumsi DPRD maupun bupati/walikota. Kalau PDRB meningkat maka PAD bakal meningkat, tetapi kalau PAD meningkat belum tentu meningkatkan PDRB. Bisa jadi kalau PAD yang meningkat akan diikuti dengan peningkatan konsumsi dan korupsi elite lokal. Karena itu masyarakat tidak perlu bangga kalau yang meningkat hanya PAD, peningkatan PAD malah harus diwaspadai.

Keempat, dalam wacana publik selalu terdengar bahwa daerah belum siap dan belum mampu. Wacana ini tidak hanya diungkap oleh elite Jakarta, tetapi juga masyarakat luas. Indikator yang digunakan untuk mengukur kesiapan dan kemampuan adalah uang dan juga kapasitas SDM. Karena itu orang yang mempunyai pikiran konyol lebih menghendaki sentralisasi ketimbang otonomi daerah. Uang memang sangat penting, tetapi secara empirik daerah tidak mungkin mampu membiayai sendiri rumah tangganya, karena kontribusi PAD tidak pernah mencapai 20%. Yang lebih penting sebenarnya adalah semangat kemandirian dan jaminan keleuasaan daerah yang memberikan ruang bagi daerah dan masyarakat mengembangkan potensi dan kreativitasnya.

Apakah SDM daerah sudah siap dan mampu? Secara empirik orang yang menyangsikan kapasitas SDM sangat masuk akal, karena selama ini SDM daerah tidak mempunyai komitmen dan tidak mau mengembangkan diri secara substantif, melainkan hanya bekerja sesuai dengan perintah, juklak dan juknis dari pusat. Apa yang dilakukan pusat selama ini betul-betul merupakan pembodohan terhadap SDM daerah. Yang tidak siap sebenarnya adalah elite Jakarta untuk membagi kekuasaan dan sumberdaya kepada daerah. Jakarta takut kehilangan semua itu. Karena itu, poin penting pertama bagi SDM adalah perubahan pola pikir dan semangat berkarya untuk maju dan mandiri. Mereka harus yakin betul bahwa otonomi daerah adalah keniscayaan untuk membangun daerah yang lebih di masa depan. Kemampuan SDM bisa ditempa melalui proses learning by doing. Pusat harus memfasilitasi capacity building bagi SDM daerah, dan para perangkat daerah harus belajar banyak pada elemen-elemen masyarakat sipil.

Kelima, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk memfasilitasi daerah. Wacana ini direproduksi terus-menerus oleh berbagai pihak. Banyak orang khawatir, jangan-jangan dengan otonomi ini pusat akan melepaskan sepenuhnya kepada Daerah, terutama dalam bidang keuangan. Orang lebih takut pada hilangnya subsidi dari pusat, tetapi tidak begitu khawatir terhadap campur tangan pusat. Sebagai konsekuensi negara kesatuan, pusat tetap berkewajiban memberikan subsidi pada daerah, bertanggungjawab terhadap supervisi pelaksanaan

5

Page 6: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

otonomi daerah, dan memfasilitasi capacity building bagi SDM daerah. Kalau pelaksanaan otonomi daerah tidak beres, maka kambing hitamnya bukan hanya daerah tetapi juga pusat yang harus dijadikan sebagai terdakwa karena pusat tidak memberikan uluran tangan melalui subsidi, supervisi dan capacity building. Toh UU No. 22/1999 telah menganut falsafah ”no mandate without funding”, yang berarti setiap pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup. Karena itu, subsidi merupakan elemen yang sangat penting dalam hal keuangan Daerah, apakah itu berbentuk Dana Alokasi Umum, ataupun Dana Alokasi Khusus, serta bantuan keuangan yang lainnya, misalnya kalau terjadi bencana alam yang sangat mengganggu roda perekonomian Daerah. Daerah bisa menolak tugas pembantuan dari pusat bila tidak disertai dengan pembiayaan dari pusat.

Keenam, dengan otonomi daerah daerah bisa melakukan apa saja. Keleluasaan memang merupakan inti otonomi daerah, tetapi bukan keleluasaan yang liar. Para penganjur desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah, bagaimanapun tetap mendorong keleluasaan yang didasarkan pada prinsip local accountability. Kalau meminjam bahasa klasik adalah “kebebasan yang bertanggungjawab”. Setiap kebijakan dan tindakan pemerintah daerah harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, serta harus berbasis pada aspirasi masyarakat. Sebagai contoh, pemda tidak bisa membabibuta membuat Perda untuk mengeruk pajak dan retribusi, tetapi ternyata perda itu bertentangan dengan UU (tidak ada akuntabilitas legal) dan merugikan masyarakat (tidak ada akuntabilitas politik). Kalau pemda tidak sensitif terhadap persoalan akuntabilitas legal dan akuntabilitas politik itu, maka ia akan menghadapi krisis legitimasi dan kepercayaan masyarakat, yang bakal mendorong masyarakat melakukan perlawanan terus-menerus terhadap pemda.

Ketujuh, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Wacana ini berkembang sangat kuat karena memang bersandar pada sejumlah bukti-bukti empirik di daerah, misalnya arogansi daerah dan meluasnya korupsi yang dilakukan oleh pemda dan DPRD. Problem ini muncul karena lemahnya akuntabilitas dan kontrol masyarakat. Korupsi terjadi karena tidak ada demokrasi di daerah. Secara formal UU sebenarnya telah menghapus “penguasa tunggal” yang dulu direkayasa oleh Orde Baru. Namun, secara empirik, untuk membangun akuntabilitas dan pemerintahan yang bersih sangat membutuhkan hadirnya kontrol elemen-elemen masyarakat sipil seperti ormas, LSM, pers, organisasi petani, ombudsman, dan lain-lain. Elemen-elemen ini harus membangun jaringan untuk melakukan daily control terhadap sepak terjang pemda dan DPRD.

Kedelapan, otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan kesempatan pada “putera daerah”. Wacana keasilan (nativisme) ini sudah lama muncul sejak Orde Baru, yang dimaksudkan untuk melawan campur tangan atau titipan dari Jakarta ketika terjadi pemilihan kepala daerah. Sekarang di era otonomi daerah, wacana sangat kuat berkembang. Wacana putera daerah sekarang tidak lagi dimaksudkan untuk melawan intervensi pusat, tetapi lebih bernuansa politik yang eksklusif dan nativis. Dalam era otonomi daerah dan demokrasi, wacana putera daerah sebenarnya tidak terlalu relevan, karena tidak sesuai dengan prinsip pluralisme dan inklusivitas. Daerah lebih baik dipimpin oleh orang luar yang sudah lama “mengabdi” dan mempunyai komitmen yang serius, daripada dipimpin oleh putera daerah yang sudah lama tercerabut dari lokalitas karena mengembara di tempat lain. Oleh karena itu, otonomi daerah bukan sebagai arena untuk membangkitkan nativisme tetapi untuk memupuk pluralisme.

6

Page 7: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Kesembilan, otonomi daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk melakukan kapling-kapling wilayah dan kekayaannya. Wacana ini berkembang luas dan bahkan dipraktikkan secara empirik di daerah, bahkan di tingkat desa. Banyak daerah yang rebutan lahan, banyak desa yang saling berebut sumber air maupun tanah bengkok. Bagaimanapun masalah eksternalitas tidak bisa dihindari. Banyak sumberdaya suatu daerah berada di daerah lain, banyak masalah di sebuah daerah yang mempunyai akibat pada daerah lain, misalnya limbah pabrik yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain. Dalam otonomi daerah, problem klaim dan kapling itu sebenarnya bisa diselesaikan melalui kontrak kerjasama antar daerah yang menguntungkan satu sama lain.

Daftar MasalahParadigma baru otonomi daerah yang hanya bersifat formalistik, pemahaman

yang keliru, komitmen elite yang sangat lemah, kepemimpinan nasional yang lemah tetapi tetap ingin dominan, dan seterusnya menyebabkan praktik otonomi daerah mengandung sejumlah masalah krusial. Ada sejumlah problem krusial populer yang hendak saya tampilkan di bawah ini.1. Perebutan kewenangan, lempar tanggungjawab

Konflik kewenangan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan juga desa merupakan masalah klasik yang hampir setiap hari bisa dibaca di media massa. Ujung konflik adalah perebutan sumberdaya. Kalau sudah bicara soal kewenangan antar tingkatan pemerintahan akan melakukan klaim, tetapi kalau sudah sampai pada tanggungjawab atau kewajiban mereka saling cuci tangan atau lempar tanggungjawab. Antara pusat dan daerah kini terus berebut soal pertanahan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, otorita, kehutanan, PTP, pertambangan, TKI, dan lain-lain. Dulu dari pengadaan sampai perawatan terhadap aset-aset itu ditanggung oleh pusat, dan semua hasilnya disedot ke Jakarta. Sekarang di era otonomi daerah, berhubung aset-aset gemuk itu berada di wilayah daerah, maka daerah berusaha merebut kewenangan dari pusat. Tetapi kalau sudah berurusan dengan jalan rusak, banjir, bencana, pengungsian, dll, maka antara pusat dan daerah saling lempar tanggungjawab. Orang pusat akan mengatakan bahwa jalan rusak merupakan tanggungjawab daerah karena sudah diserahkan pada daerah. Sebaliknya orang daerah mengatakan, biarkan jalan rusak itu urusan pusat karena sejak dulu menjadi proyeknya orang pusat.

Kalau ketegangan antara provinsi dan kabupaten/kota tidak hanya terkait dengan rebutan sumberdaya, tetapi juga masalah politik, administratif, dan bahkan simbolik. Di zaman Orde Baru yang hirarkhis, bupati/walikota memang harus tunduk secara total pada gubernur karena gubernur adalah atasannya langsung. Hanya sekadar pergi, bupati/walikota harus izin pada gubernur. Sekarang para gubernur adalah aktor yang sangat gerah dengan otonomi daerah, karena tidak lagoi punya gigi untuk mengontrol kabupaten/kota. Banyak bupati yang melakukan “pembangkangan” terhadap gubernur, misalnya tidak mau dikoordinasi dan tidak menghadiri undangan gubernur.

2. Masalah rekrutmen lokalRekrutmen lokal secara formal dijamin lebih terbuka dan kompetitif. Akan tetapi

rekrutmen kepala daerah yang terbuka dan demokratis itu juga diikuti dengan keterbukaan praktik money politics. Sudah menjadi rahasia umum di berbagai daerah, bahwa para calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli secara langsung suara para anggota DPRD maupu membayar kelompok-kelompok sosial (pers, LSM, ormas, preman) untuk membuat opini publik. Masyarakat hingga lembaga peradilan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap money politics, sebab makluk yang satu ibarat

7

Page 8: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

kentut, baunya terasa tetapi barangnya tidak kelihatan. Bagaimanapun juga money politics adalah sisi paradoks keterbukaan rekrutmen politik, yang kemudian membawa perilaku kepala daerah yang bersangkutan cenderung rakus, tidak akuntabel dan tidak transparan dalam mengelola keuangan daerah. Orang awam bilang, sang kepala daerah itu pasti bakal “mencari pulihan” atas uang yang ia gunakan untuk membeli jabatan.

3. Masalah DPRDDPRD di era otonomi daerah sangat kuat. Akan tetapi, secara empirik, DPRD

sekarang mengidap banyak penyakit yang membuat muak banyak orang. Penyakit DPRD sekarang jauh lebih kompleks ketimbang penyakit dulu: datang, duduk, dengar, dan duit (D4). DPRD telah melampaui batas-batas kewenangannya dari sekadar fungsi pengawasan menjadi fungsi peradilan, jauh lebih arogan, campur tangan terlalu dalam dalam urusan birokrasi sipil, tidak becus, tidak punya etika, korup, tidak peka terhadap aspirasi rakyat, dan seterusnya. Di berbagai daerah, praktik perampasan terhadap keuangan daerah baik secara terang-terangan maupun korupsi, dilakukan oleh DPRD, sehingga tidak heran kalau muncul suara publik bahwa kantor DPRD adalah “sarang koruptor”.

Selain itu banyak daftar masalah yang melekat pada DPRD: kemitraan yang tidak jelas; arogansi DPRD; kekacauan LPJ bupati/walikota; kuatnya pengaruh konspirasi partai dalam proses pemilihan kepala daerah; DPRD tidak aspiratif; intervensi DPRD terhadap promosi jabatan karir; lemahnya pemahaman dan kemampuan legislasi; lemahnya komitmen dan kompetensi DPRD; lemahnya akuntabilitas DPRD, DPRD menjadi calo proyek, DPRD tidak mau belajar pada masyarakat, dan lain-lain.

4. Masalah Keuangan DaerahKeuangan daerah merupakan problem yang sangat krusial dalam implementasi

otonomi daerah. Masalah pertama yang paling kontroversial adalah pemda yang sangat bernafsu mengeruk PAD. Tampaknya jargon autonomy is automoney merupakan ortodoksi (ideologi) yang dipegang kuat oleh pemda. Ada sentimen kuat bahwa otonomi akan benar-benar "nyata" apabila daerah bisa meningkatkan peran PAD terhadap anggaran daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) yang selama ini kurang dari 20%. Nafsu membara itu tercermin dari berbagai pungutan pemerintah daerah secara legal (dilegalkan dengan Perda) yang merebak di beberapa tempat. Pemda mengeruk pajak dan retribusi yang merugikan masyarakat. Ada yang merupakan pungutan lama yang pernah dihapus dengan berlakunya UU No 18 Tahun 1997, dan tidak sedikit pula pungutan-pungutan baru.

Belakangan beberapa institusi, seperti KADIN, melaporkan lebih dari 1000 perda bermasalah yang merugikan dunia usaha dan masyarakat. Provinsi Lampung yang menjadi sorotan paling utama. Provinsi Lampung mengeluarkan peraturan daerah (Perda No 6 Tahun 2000) yang bernama "Retribusi Izin Komoditas Keluar Provinsi Lampung." Pungutan itu dilakukan terhadap 180 jenis komoditas yang diperdagangkan (ekspor) keluar Provinsi Lampung, dengan tarif mulai dari Rp 2 per kg sampai dengan Rp 180.000 per kg. Dalam praktiknya, barang yang bukan berasal dari Lampung akan dipungut pajak sejauh tidak ada dokumen yang menunjukkan asal sebenarnya barang tersebut. Kasus lain adalah jembatan timbang di Sulawesi Selatan, dan tentu di beberapa daerah lain. Setelah pemberlakuan UU No 18/1997, sebagai bentuk deregulasi, sebenarnya seluruh jembatan timbang di Indonesia dihapuskan. Tetapi UU tidak digubris. Sejak 1999, praktik jembatan timbang di beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan mulai berjalan kembali. Tujuan jembatan timbang ini adalah untuk menjaga

8

Page 9: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

jalan dari kerusakan akibat truk-truk yang kelebihan beban. Tetapi praktiknya juga digunakan untuk pungutan. Pungutan terhadap setiap truk berkisar dari Rp 5.000 sampai Rp 20.000, di luar pungutan lain-lain yang tidak resmi. Praktik ini tentu menambah biaya bagi barang pertanian yang didistribusikan.5

Di NTT, kasus produksi dan perdagangan kayu cendana sarat dengan kontrol dan pajak pemerintah daerah. Tujuan utamanya adalah untuk konservasi kayu cendana. Namun karena kontrol dan pajak yang terlalu berat, ada kecenderungan tidak tercapai. Sebab, walaupun para petani bertanggung jawab atas perawatan/pelestarian pohon-pohon kayu cendana (yang tumbuh secara alamiah), mereka tidak diperkenankan untuk memiliki pohon-pohon tersebut. Bahkan, ada denda yang mesti dibayar apabila pohon-pohon itu mati sebelum waktunya. Jika kayu cendana dijual, maka petani hanya berhak atas separuh dari harga jualnya. Sebagian lagi menjadi milik Pemda. Walaupun harga kayu cendana cukup tinggi, tidak heran jika petani kurang bersemangat untuk mengusahakannya.

Masalah kedua adalah DAU. DAU dimaksudkan untuk pemerataan, yaitu untuk mengatasi potensi ketimpangan antardaerah, karena ketidakmerataan penerimaan pajak maupun SDA. Karena itu, jumlah alokasi DAU ditentukan sekaligus oleh kapasitas keuangan/fiskal dan beban pengeluaran dari daerah. Isu yang mencuat dewasa ini adalah keluhan dari beberapa daerah (terutama provinsi) bahwa jumlah DAU tidak mencukupi sehingga sebagian kebutuhan belanja pegawai tidak terpenuhi. Masalah ini cenderung bermula dari pemahaman keliru, bahwa DAU itu dimaksudkan juga untuk membiayai seluruh belanja pegawai daerah. Selain itu, kekurangan DAU banyak dikeluhkan oleh provinsi karena memang desain formula dirumuskan dengan asumsi bahwa otonomi berada di kabupaten/kota, sehingga beban untuk provinsi tidak akan terlalu berat.

5. Inovasi yang LambatDesentralisasi dan demokrasi lokal tentu menuntut reformasi birokrasi dan

inovasi penyelenggaraan pemerintahan. Banyak pemerintah daerah, terutama sosok bupati, secara sadar memprakarsai inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Banyak daerah telah mengadopsi gagasan good governance dan reinventing government sebagai bingkai inovasi pemerintahan daerah. Setiap pemerintah daerah sekarang sibuk membuat rencana strategis sebagai pijakan untuk mengarahkan agenda pembangunan, pemerintahan dan perumusan anggaran daerah. Pemda Kebumen telah menggariskan visi ke depan dan melakukan kampanye media besar-besaran untuk mempromosikan local good governance. Kota Surakarta telah melangkah lebih maju menerapkan model perencanaan pembangunan secara partisipatif. Pemda Solok adalah “pelari terdepan” dalam desentralisasi yang maju terdepan dalam mendorong desentralisasi kewenangan dan keuangan kepada nagari. Demikian juga dengan kabupaten Selayar yang maju dalam melakukan devolusi keuangan kepada desa secara lebih pasti. Dan lain-lain.

Tentu saja berbagai inovasi itu tidak cukup merata di semua daerah. Banyak kabupaten yang tidak sempat berpikir tentang inovasi pemerintahan karena bupatinya sibuk mengumpulkan harta haram melalui korupsi, seperti yang terjadi di Klaten dan Kepulauan Riau. Bahkan inovasi yang terjadi di sebuah kabupaten pun masih terbatas pada penampilan sosok bupati. Pengalaman di Sleman, Bantul, Kulonprogro, Purworejo, Kebumen, Yogyakarta, Agam, Solok, dan lain-lain menunjukkan bahwa gagasan-gagasan maju sang bupati tidak diikuti oleh respons yang cepat oleh birokrasi di

5Robert A Simanjuntak, “Otonomi Daerah Mulai Timbulkan Masalah”, Kompas, Senin 30 April 2001.

9

Page 10: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

bawahnya. Wacana tentang “birokrasi yang kedodoran” sering mengemuka di banyak daerah, sebagai bukti ketidakmampuan birokrasi menterjemahkan secara konkret terhadap visi kepemimpinan bupati. Hingga sekarang birokrasi daerah lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sekitar 60% hingga 70% anggaran daerah (APBD) dimakan dan dibelanjakan oleh birokrasi. Pekerjaan sehari-hari birokrasi daerah adalah menunggu pulang. Mereka lebih sibuk berpikir tentang kesejahteraan sendiri ketimbang berpikir tentang pelayanan publik. Tetapi mereka bersikap resah dan getir terhadap kebijakan rasionalisasi birokrasi pemerintah pusat melalui PP No. 8/2003 karena PP itu dianggap sebagai bentuk intervensi pusat terhadap daerah.

6. Masalah Ketidakpercayaan (Distrust)desentralisasi dan demokrasi lokal telah mendorong tumbuhnya kemitaraan dan

kerjasama yang terbuka antara pemerintah daerah dengan unsur-unsur nonpemerintah. Banyak bupati sangat sadar bahwa kemajuan daerah harus dibangun dengan kemitraan strategis antara pemerintah daerah, sektor swasta dan elemen-elemen masyarakat sipil (seperti NGO dan perguruan tinggi). Mereka mulai membuka diri membangun kemitraan dengan NGO lokal maupun internasional untuk keperluan partisipasi dalam perencanaan pembangunan, penelitian, pelatihan maupun asistensi teknis lainnya. Sejauh yang bisa dilihat, ada perubahan model kemitraan dari era sebelumnya ke era sekarang. Model kemitraan di masa lalu sangat bersifat subordinatif, yang menempatkan lembaga mitra (konsultan, perguruan tinggi, LSM) sebagai “tukang” bayaran untuk membantu (baca: menjustifikasi) kerja-kerja proyek pemerintah daerah tanpa proses pembelajaran dan menyentuh problem-problem krusial dalam dalam masyarakat. Meskipun paradigma itu belum hilang secara sempurna, tetapi model kemitraan sekarang mulai mengarah pada semangat keseteraan dan pembelajaran. Sekarang pemerintah daerah mulai membuka diri terhadap kritik dari mitra, belajar pada gagasan-gagasan alternatif baru yang kritis, memperoleh informasi yang lebih komplet dan akurat tentang problem-problem dalam masyarakat, dan lain-lain.

Berkembangnya model kemitraan baru tentu saja akan memperkuat modal sosial vertikal antara negara dan masyarakat lokal. Di satu sisi kemitraan akan membawa negara lebih dekat pada masyarakat melalui pembelajaran dan lahirnya kebijakan-kebijakan yang responsif. Di sisi lain kemitraan akan menumbuhkan trust serta membuat lembaga-lembaga mitra sebagai struktur mediasi yang menjembatani respons pemerintah daerah dengan partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat. Perpaduan antara respons dan partisipasi akan membuka ruang-ruang publik di daerah serta mendorong akuntabilitas pemerintah daerah dan membuat kebijakan lokal lebih legitimate di mata masyarakat.

Tetapi, desentralisasi dan demokrasi lokal juga menyajikan problem rendahnya kepercayaan, bahkan distrust, antar elemen. Partai dan parlemen lokal adalah dua elemen utama yang menunai badai distrust paling serius di mata masyarakat karena keduanya tidak mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan oleh rakyat. Meskipun pemerintah daerah sudah mulai terbuka, tetapi belum menaruh kepercayaan penuh kepada masyarakat desa. Masyarakat, bagi mereka, harus dibina dan diarahkan, meski secara riil pembinaan dan pengarahan berbentuk penipuan. Penguasa gampang sekali menjatuhkan stigma “asal bunyi” kepada elemen-elemen masyarakat yang menyampaikan aspirasi (voice) secara kritis. Pemerintah daerah memang mempunyai legalitas formal di mata masyarakat, tetapi sangat lemah dari sisi legitimasi sosial, sehingga mengapa pemda selalu all out melakukan mobilisasi dan kampanye untuk “memaksa” masyarakat membayar pajak. Di setiap kota selalu terpampang spanduk

10

Page 11: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

bertuliskan “Orang Bijak Taat Bayar Pajak” atau “Partisipasi Anda Membayar Pajak Berarti Menyukseskan Keberhasilan Otonomi Daerah”, dan lain-lain.

Pemerintah daerah yang tidak responsif terhadap perubahan juga cenderung memandang desa dengan sebelah mata, menempatkan desa sebagai objek kebijakan dan regulasi kabupaten. Sampai sekarang lebih banyak kabupaten yang tidak responsif mendorong desentralisasi dan otonomi desa. Sebagaimana pemerintah pusat memandang daerah, para pejabat daerah selalu mengungkapkan stigma “tidak siap” pada desa untuk mengelola otonomi desa. Demikian ungkap seorang pejabat daerah memahami desa dalam konteks desentralisasi:

Apa yang terjadi kalau desa diberi otonomi? Desa itu punya apa. Pendapatan tidak ada. SDM sangat terbatas. Desa tidak siap mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Kami yang di daerah ini sudah berpengalaman lama, betapa susahnya mengatur desa. Saya khawatir, otonomi desa itu hanya menganggu otonomi daerah dan menimbulkan masalah baru.

Problem low-trust tampaknya juga menimpa NGO meski pemerintah daerah sudah mulai terbuka pada NGO. Elemen-elemen pemerintah dan sebagian masyarakat yang berpandangan konyol, yang notabene belum berkomunikasi dengan NGO, menaruh sikap tidak percaya pada NGO sebagaimana ditunjukkan dengan sejumlah stigma: LSM agen provokasi, LSM UUD (Ujung-ujungnya Duit), LSM VCD (Visinya cari duit), LSM penjual bangsa, LSM bediri di atas kemiskinan rakyat, dan seterusnya. Problem low-trust yang kasuistik ini tentu merupakan tantangan bagi LSM untuk bermain sebagai struktur mediasi dan mengorgansir masyarakat. Sebaliknya, banyak juga LSM menaruh sikap tidak percaya kepada pemerintah daerah sehingga membuat sulit membangun kemitraan strategis dan mendorong LSM menerapkan strategi “mengambil alih” peran pemerintah.

7. Masalah Desentralisasi dan Otonomi Desadesa sejak lama berada dalam konteks formasi negara (state formation) yang

hirarkhis-sentralistik. Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret self-governing community yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan desa punya “otonomi asli” karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Tetapi kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen, karena masuknya negara dan modal ke desa. Ketika desa sudah diintegrasikan ke negara, self-governing community tidak ada lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain di desa. Negara juga menjadikan desa sebagai “keranjang sampah”, yang membawa semua urusan politik, pembangunan, dan administratif ke desa. Negara juga bertindak menjadi pengawal masuknya modal ke desa sehingga terjadilah kapitalisasi yang sudah dimulai sejak Revolusi Hijau. Dulu malah Golkar juga masuk ke desa menjadi beban berat bagi pemerintah desa. “Semua departemen itu masuk ke desa, termasuk departemen pemenangan pemilu Golkar. Yang tidak masuk hanya departemen luar negeri”, demikian ungkap seorang kepala desa. “Kami bukan saja sebagai ujung tombak, tetapi juga sering menjadi ujung tombok”, ungkap kades.

Kini desa memasuki babak baru ketika desentralisasi dan demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya UU No. 22/1999. Bagaimanapun desentralisasi dan demokrasi lokal merupakan solusi yang manusiawi dan paling canggih bagi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Keduanya, secara normatif, bisa mendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan

11

Page 12: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

prakarsa lokal, mendekatkan pelayanan publik, meningkatkan pemerintahan lokal yang transparan dan akuntabel, dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal. UU No. 22/1999, sebuah undang-undang yang paling populer, sedikit-banyak telah memberikan ruang bagi eforia kebangkitan semangat lokalitas dan otonomi desa. Dulu, desa selalu memperlihatkan kepatuhan yang luar biasa kepada kecamatan dan kabupaten. Sekarang, meski otonomi desa belum sempurna dibingkai, tetapi suara menuntut otonomi desa dari bawah membahana di berbagai tempat. Di Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, Purworejo, Rembang, Pekalongan, Indramayu, dan lain-lain telah tumbuh asosiasi kepala desa maupun BPD yang berupaya mempengaruhi kebijakan kabupaten agar memberikan otonomi desa yang lebih besar.

Tetapi praktik desentralisasi, mulai dari kebijakan sampai praktik empirik pengelolaan kekuasaan, mengandung sejumlah kelemahan yang ujungnya adalah ruang yang terbatas bagi otonomi daerah. Kelemahan pertama bisa dilihat dari sisi paradigmatik atau pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah kerapkali dipahami secara sempit hanya sebagai bentuk penyerahan urusan secara administratif, otonomi dalam keuangan, maupun pengelolaan kewenangan pemerintah. Pemahaman itu antara lain telah mengabaikan aspek pembagian kewajiban dan tanggungjawab publik pemerintah serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan daerah.

Kelemahan kedua bisa dibidik dari sisi kebijakan maupun regulasi pemerintah. UU No. 22/1999 justru lebih menekankan otonomi daerah berbasis pada kabupaten/kota, sehingga tidak memberikan jaminan formal bagi otonomi desa. UU maupun PP No. 76/2001 memang telah menggariskan bahwa desa merupakan kesatuanmasyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Tetapi konsepsi ini tidak memberikan batas-batas otonomi yang lebih besar dan konkret sebagaimana otonomi yang diterima kabupaten/kota. Desa bagaimanapun tetap dipandang sebelah mata oleh pemerintah supradesa, yang tetap menjadi subordinat yang harus tunduk pada perintah kabupaten. Para penguasa kabupaten umumnya mengatakan bahwa otonomi berhenti di kabupaten. Desa hampir hilang dari peta wacana, pemikiran dan kebijakan desentralisasi.

Kelemahan ketiga, dari sisi praktik empirik, desa hanya mempunyai kewenangan yang sangat terbatas karena semuanya telah dikuasai kabupaten/kota. Setiap urusan pemerintahan dan keuangan desa dikendalikan dengan regulasi kabupaten. “Pembagian tanah bengkok dan pengarem-arem saja, kabupaten campur tangan ke desa. Padahal dulu diatur sendiri oleh desa”, demikian ungkap seorang kepala desa di Imogiri, Bantul. Dalam praktiknya tidak sedikit Perda Kabupaten tentang pemerintahan desa yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks kebutuhan desa dan dari sisi proses tidak melibatkan partisipasi desa. Karena itu tidak mengherankan kalau kerapkali muncul kegelisahan dan bahkan resistensi desa (terutama dari perangkat desa) terhadap regulasi dari atas. Berkembangnya asosiasi (paguyuban) lurah desa di berbagai kabupaten tampaknya juga didorong oleh resistensi para lurah desa terhadap kebijakan kabupaten, yang kini terus berkembang menjadi basis akses desa dalam proses pembuatan kebijakan kabupaten.

Dari sisi hubungan keuangan, tidak ada kejelasan dan ketegasan formula perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Desa tidak memperoleh transfer keuangan yang jelas, sebagaimana dana pusat yang didaerahkan melalui Dana Alokasi Umum. Dalam praktiknya, sebagian dana kabupaten/kota memang didesakan tetapi tidak

12

Page 13: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

dibingkai melalui kerangka regulasi yang menjamin kepastian dan keberlanjutan, melainkan hanya tergantung pada kebaikan hati (benevolent) sang Bupati.

8. Masalah Demokratisasi DesaSebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi

relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop. Karena itu kepala desa senantiasa siap membawa tas kecil dan stempel untuk meneken surat yang dibutuhkan warga masyarakat. “Kalau ada warga mengetuk pintu rumah jam dua pagi tetap saya layani”, demikian tutur seorang kepala desa.

Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai “pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Para pamong desa beserta elite desa lainnya dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam praktiknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di desa sering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana (jagong, layat dan sanja).

Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa (lurah desa) merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua mata di desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. “Hitam putihnya desa ini tergantung pada lurahnya”, demikian ungkap seorang warga desa. Kades harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, sekalipun hanya selembar daun yang jatuh dari pohon. Karena itu kepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul, mempunyai sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat setiap hari. Umumnya kepala desa yakin betul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap kepala desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala desa umumnya membangun legitimasi

13

Page 14: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain.

Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Pak Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural desa yang bias elite, sentralistik dan feodal.6

Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya.

Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan desa.

Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Kecuali segelintir elite, warga masyarakat tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan

6Sutoro Eko (dkk.), Pembaharuan Pemerintahan Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2003).

14

Page 15: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

biaya memperoleh pelayanan administratif. “Saya tidak tahu persis cara ngurus kelahiran dan berapa biayanya. Biayanya kok beda-beda. Warga desa sini biasanya tidak ngurus sendiri, tapi dititipkan dan diurus oleh pamong desa. Nanti kita menambah biaya administrasi dan transport”, demikian tutur seorang warga desa. Fenomena ini memperlihatkan praktik-praktik “pasar gelap” dalam penjualan pelayanan publik, meski warga desa sudah lama mahfum.

Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di tingkat desa. Di zaman Orde Baru, dua institusi yang seharusnya menjadi basis partisipasi (LMD dan LKMD) ternyata tidak memainkan peran penting mewadahi partisipasi masyarakat, karena keduanya adalah institusi korporatis untuk pengendalian masyarakat dan wadah oligarki elite desa. Sampai sekarang, elite desa tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala desa, partisipasi adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah desa. Karena mengikuti instruksi dari atas, pemerintah desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan desa yang didesain secara sentralistik. Di atas kertas, Indonesia mengenal perencanaan pembangunan dari bawah yang dimulai dari forum RT, Musbangdus dan Musbangdes. Tetapi alur perencanaan dari bawah ini tidak otentik dan tidak bermakna partisipatif karena sarat dengan manipulasi yang akhirnya semua agenda pembangunan dirumuskan menurut preferensi kepala desa.

Lemahnya praktik-praktik demokrasi desa di atas dibungkus dalam kultur dan struktur kekuasaan desa yang paternalistik-klientelistik. Kultur kepamongan yang klientelistik melekat betul pada pemerintah desa. Pamong desa berarti harus bisa menjadi pengayom, pelindung, panutan, teladan, murah hati, ringan tangan, dan seterusnya. Intikator kinerja menurut versi masyarakat itu tidak menjadi masalah sejauh tidak bersentuhan dengan masalah kekuasaan, kekayaan dan barang-barang publik. Tetapi berurusan dengan pemerintahan dan birokrasi negara, dimensi kekuasan dan kekayaan itu tidak bisa diabaikan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pemerintah desa yang mengelola kekuasaan dan kekayaan dalam bingkai birokratisasi negara justru menyebabkan pergeseran makna pamong desa: dari pamong desa yang populis dan egaliter menjadi perangkat desa yang birokratis. Pamong tidak lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat, melainkan telah menjadi tangan-tangan negara yang membenani dan mengendalikan masyarakat

Tetapi pamong desa sebenarnya telah menjadi mitos karena terus-menerus mengalami kritis. Krisis pamong desa tidak bisa dihindarkan ketika terjadi kasus penyimpangan terjadi yang diikuti dengan gelombang protes masyarakat. Pada era reformasi, protes sosial masyarakat pada pemimpin lokal (baik bupati maupun pamong desa) membahana ke seluruh pelosok negeri. Seperti halnya bola salju, reformasi di tingkat nasional bergulir meluas dan membesar sampai ke daerah dan bahkan pelosok desa. Fenomena ini, menurut Kompas (12 Desember 1998), merupakan bentuk kebangkitan rakyat pedesaan yang mendadak memperoleh kedaulatan setelah sekian lama hidup mereka sangat tertekan. Seperti halnya gerakan reformasi nasional, semangat reformasi yang berkobar di tingkat lokal tampaknya hendak merombak tatanan politik lama yang tidak adil dan tidak demokratis, yang lebih khusus adalah “mengkudeta” para pemimpin lokal yang bermasalah atau mengidap penyakit “KKN”.

Fenomena protes sosial masyarakat tentu merupakan indikator krisis pamong desa, yang hanya mengutamakan legitimasi simbolik secara personal ketimbang legitimasi politik secara institusional. Protes sosial masyarakat desa yang setiap saat bisa

15

Page 16: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

berkobar merupakan pertanda tuntutan masyarakat yang melambung tinggi untuk mendesak pemerintah desa agar menunjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Ketika pemerintah desa lebih mengedepankan paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan, maka ia jauh dari prinsip akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas.

Dari sisi demokrasi desa, orang yang berhaluan populis dan romantis selalu “membela” desa sebagai level pemerintahan yang paling demokratis. Dari sisi prosedural, demokrasi desa dilihat dari praktik pemilihan kepala desa secara langsung serta kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga legislatif yang merumuskan kebijakan desa dan melakukan kontrol terhadap desa. Dari sisi kultural, orang sering menjustifikasi solidaritas sosial dan kebersamaan dalam gotong royong sebagai indikator abadi demokrasi dalam komunitas desa.

Akan tetapi, secara empirik, pemilihan kepala desa secara langsung, keberadaan BPD dan gotong royong tidak mencerminkan indikator yang sempurna (atau bahkan tidak otentik) bagi demokrasi desa. Mengapa? Pertama, sejarah membuktikan secara gamblang bahwa pilkades di berbagai tempat selalu rawan permainan politik uang dan yang lebih serius adalah praktik-praktik kekerasan, protes sosial serta “perang dingin” berkepanjangan antarkelompok warga di komunitas desa. Fenomena itu terus-menerus berlanjut dalam setiap pilkades. Tetapi tidak ada kajian yang lebih mendalam dan upaya pemecahan masalah yang serius dari berbagai pihak terhadap pilkades bermasalah. Orang hanya bisa mengatakan bahwa masyarakat desa belum dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi, termasuk dalam hal menerima kekalahan dan menghargai kemenangan.

Kedua, lembaga perwakilan sebagai institusi demokrasi desa tidak memberikan jaminan secara substantif terhadap tumbuhnya demokrasi desa. Masyarakat berharap bahwa kehadiran BPD menjadi dorongan baru bagi demokrasi desa, yakni sebagai artikulator aspirasi dan partisipasi masyarakat, pembuat kebijakan secara partisipatif dan alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa. Kehadiran BPD di era transisi demokrasi desa memang telah membuat pemerintah desa lebih “hati-hati” dalam bertindak dan membuat ruang politik desa semakin semarak.7 Akan tetapi kehadiran BPD juga menimbulkan masalah baru, seperti ketegangan antara kades dengan BPD. Di satu sisi ketegangan ini disebabkan karena kepala desa memang tidak mau berbagi kekuasaan dengan BPD dan takut kehilangan kekuasaan. Di sisi lain, di mata kades, BPD sering melanggar batas-batas kekuasaan dan kewenangan yang telah digariskan dalam regulasi.8 Sekarang lurah mengahadapi tekanan dan instruksi dari atas (kabupaten), gencetan dari samping (Badan Perwakilan Desa, BPD) dan tuntutan dari

7Sutoro Eko, “Badan Perwakilan Desa: Arena Baru Kekuasaan dan Demokrasi Desa”, Makalah Dipresentasikan Dalam Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal: Politik Pemberdayaan”, Kerjasama Yayasan Percik, Riau Mandiri, The Ford Foundation, Pekanbaru, 13-16 Agustus, 2001.

8Lihat “Otonomi Daerah Menumbuhkan Arogansi Desa”, Kompas, 13 Februari 2002; “Badan Perwakilan Desa: Konfrontasi atau Kompromi”, Kompas, 3 Agustus 2002; “BPD Belum Tentu Mewakili Kepentingan Masyarakat Desa”, Kompas, 19 Agustus, 2002.

16

Page 17: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

masyarakat.9 Sebagai contoh, demikian ungkap seorang lurah desa, Kabupaten Rembang:

Kepala desa itu seperti kerbau yang digiring ke kanan, ke kiri. Dari atas ditekan, dari bawah dituntut. Kami kehilangan muka dan harga diri di hadapan masyarakat, karena “demokrasi pokoke” maupun ulah dan arogansi BPD. BPD menganggap dirinya seperti “dewa”, yang menggunakan masyarakat sebagai “kereta”, mengatasnamakan masyarakat untuk menekan kepala desa. Padahal itu hanya keinginan beberapa anggota BPD.

BPD, sekarang, dianggap sebagai musuh atau ancaman terhadap kekuasaan, kewenangan dan kekayaan kepala desa. Di Bantul, misalnya, BPD diplesetkan menjadi Badan Pemborosan Desa, di Kalimantan Timur BPD dikatakan sebagai Badan Provokasi Desa. Keresahan ini sampai sekarang belum padam, karena berbeda dengan bupati/walikota (yang dengan gampang membungkam DPRD dengan uang), kepala desa tidak mempunyai duit untuk membungkam BPD.

Ketiga, gotong-royong tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Salah satu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa “menguangkan” gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial, bukan modal finansial sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen umumnya juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk keswadayaan masyarakat desa. Banyak proyek yang turun dari atas dengan jumlah pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yang mengagumkan. Pada hampir semua proyek pembangunan prasarana phisik kontribusi gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Dana dari pusat hanya untuk memancing partisipasi masyarakat yang bila dijabarkan dalam nilai uang jumlahnya selalu (jauh) lebih besar dibanding dengan dana dari pusat itu. Di era Orde Baru, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.10

Mengapa Bermasalah?Mengapa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal menghadapi sejumlah

kerentanan dan bermasalah? Daerah-daerah di Indonesia umumnya mewarisi tradisi politik feodal, otoritarian, birokratis dan sentralistik. Tradisi yang relatif kekal ini membentuk paradigma kolot para elite dalam mengelola kekuasaan, mengatur rakyat dan menguasai sumberdaya ekonomi. Para gubernur misalnya, sangat berang karena kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli oleh UU No. 22/1999. Gubernur sekarang

9Sutoro Eko, “Membuat Desentralisasi dan Demokrasi Lokal Bekerja”, Makalah Disampaikan pada International Conference on Indonesia: Democracy and Local Politics, Kerjasama Pusat Studi Sosial dan Asia Tenggara UGM, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD", FISIP Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 7-8 Januari 2003.

10Lihat Rahardjo, “Gotong-royong Sebagai Modal Sosial: Sebuah Wawasan Sosiologis”, JENDELA, Buletin STPMD "APMD", No. 4, 2002.

17

Page 18: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

tidak bisa lagi memerintah bupati, memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-pajak daerah seperti dulu. Bahkan sekadar undangan pun diabaikan oleh bupati. Karena itu para gubernur menuntut agar otonomi daerah diletakkan di provinsi atau meminta agar kekuasaan dan kewenangan mereka dipulihkan seperti sedia kala. Sementara, bupati sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Mereka di atas angin, ibarat raja-raja kecil yang secara leluasa bisa menguasai sumberdaya politik dan ekonomi daerah. “Otonomi daerah berhenti di tangan saya”, demikian ungkap arogan seorang bupati ketika menanggapi masalah otonomi desa. “Bupati bukanlah seorang pemimpin yang betul-betul mengayomi masyarakat, melainkan hanya seorang pejabat yang pekerjaannya adalah tandatangan, marah-marah dan jalan-jalan”, demikian ungkap seorang pegawai di Boyolali. DPRD Kabupaten/kota sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang luar biasa, yang mereka gunakan untuk menekan bupati/walikota dengan senjata Laporan Pertanggungjawaban. Tetapi ulah DPRD yang tidak bertanggungjawab itu dengan mudah bisa dipadamkan oleh bupati/walikota setelah memperoleh kucuran duit, proyek dan fasilitas.

Paradigma patron-klien (yang menekankan hubungan vertikal secara hirarkhis-sentralistis), bagaimanapun, masih melekat pada alam pikiran para penguasa di Indonesia, mulai dari presiden, jenderal, gubernur, bupati sampai kepala desa. Mereka lebih mengutamakan paradigma bagaimana memperbesar dan mempertahankan kekuasaan, bukan paradigma bagaimana menggunakan kekuasaan untuk kemanfaatan yang lebih besar bagi rakyat. Paradigma patron-klien memang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan. Tetapi penguasa bawahan sanggup loyal, bertanggungjawab dan memelihara prinsip Asal Bapak Senang (ABS) pada penguasa atasan, asalkan keuntungan dan kekayaan mereka tidak terganggu oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat yang dikuasainya. Karena itu, para penguasa menganggap bahwa desentralisasi dan demokrasi sebagai gangguan jika tidak mendatangkan keuntungan dan kekayaan bagi mereka.

Dalam konteks ini, para penguasa selalu memandang sebelah mata pada masyarakat yang dikuasainya. Masyarakat, bagi mereka, harus dibina dan diarahkan, meski secara riil pembinaan dan pengarahan berbentuk penipuan. Penguasa gampang sekali menjatuhkan stigma “asal bunyi” kepada elemen-elemen masyarakat yang menyampaikan aspirasi (voice) secara kritis. Alam pikiran semacam ini sampai sekarang membuat penguasa tidak mau belajar pada elemen-elemen masyarakat. Partisipasi masyarakat, bagi penguasa, adalah barang yang tidak populer, kecuali partisipasi membayar pajak dan retribusi.

Problem akut dalam praktik desentralisasi dan demokrasi lokal di Indonesia bisa juga dilihat dari sisi masyarakat. Kerentanan otonomi daerah di satu sisi dan masih kuatnya dominasi elite di sisi lain disebabkan karena lemahnya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Secara horizontal kondisi multikultural lebih banyak menyajikan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas. Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktor-aktor civil society harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat lainnya. Bahkan gerakan demokratisasi yang terus maju tidak didukung oleh elemen-elemen partai oposisi yang pro perubahan. Di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. Di banyak daerah, gerakan demokratisasi civil society terus bergelora menentang “raja-raja kecil” yang bermasalah, tetapi gerakan itu dengan

18

Page 19: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

mudah dilumpuhkan oleh para preman bayaran maupun paramiliter yang dipelihara oleh partai politik. Semua ini memang tidak mengehentikan gerakan demokratisasi meski harus dibayar dengan risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society terseok-seok, tunggang-langgang dan menghadapi anomalie yang serius.

Agenda PerubahanBagaimana membuat desentralisasi dan demokrasi lokal bisa bekerja dengan

baik? Bagaimana mendorong dan mendesakan perubahan? Siapa yang memulai? Dari mana memulainya? Untuk menjawab sejumlah pertanyaan praksis ini saya menampilkan sejumlah pendekatan strategis yang biasa digunakan untuk mendorong desentralisasi dan demokrasi lokal bisa bekerja. Seperti terlihat dalam bagan 1, tipologi pendekatan strategis dibagi menjadi dua garis: garis vertikal (negara-masyarakat) dan garis horizontal (struktur-agen).

Bagan 1Tipologi pendekatan strategis

desentralisasi dan demokrasi lokal

Agen Struktur

Negara

Crafting elite Konvergensi elite Kepemimpinan yang kuat

Kerangka kebijakan dan legal.

Capacity building Reorganisasi dan reformasi

birokrasi

Masyarakat

Pendidikan politik masyarakat Penguatan voice aktor-aktor

masyarakat sipil.

Penguatan institusi lokal Penguatan partisipasi

masyarakat Jaringan sosial Aksi kolektif organisasi

masyarakat sipil

Sumber: Sutoro Eko, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Makalah Disajikan Dalam dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.

Dalam berbagai kesempatan setiap orang yang menghendaki perubahan selalu gelisah, jika bukan frustasi, dan mengharapkan perubahan secara instan dengan obat yang betul-betul mujarab. Tetapi tidak ada satu pun orang di Indonesia yang mampu memberikan jaminan dan menyajikan resep mujarab yang bisa membuahkan perubahan secara cepat. Bagaimanapun perubahan tidak mungkin berhasil dengan cepat meski dengan “revolusi sosial”, dan tidak ada satu pun pendekatan yang mujarab, karena lingkaran setan yang betul-betul rumit. Agenda perubahan yang terdapat dalam empat kuadran di atas memang harus berjalan secara simultan, baik di level negara maupun masyarakat serta dari sisi agen dan struktur. Tetapi masing-masing pendekatan bisa

19

Page 20: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

dianalisis baik secara teoretik dan empirik, yang kemudian penting untuk membangun pendekatan paling kuat untuk mendesakkan perubahan.

Sebuah pendekatan elitis mengatakan bahwa kondisi transisional masyarakat Indonesia sekarang ini membutuhkan hadirnya kepemimpinan transformatif, yakni pemimpin visioner, bersih, berbasis massa, “bertangan besi” dan berani mengambil risiko termasuk berani menjadi “korban reformasi”. Orang sering berharap akan hadirnya seorang “ratu adil” yang punya komitmen kuat, mampu dan berani membawa perubahan, termasuk berani merombak birokrasi yang korup dan meminggirkan militer yang represif. Inggris, misalnya, mampu keluar secara cepat dari krisis finansial negara pada awal dekade 1980-an antara lain karena hadirnya Margareth Tatcher, seorang pemimpin “bertangan besi” yang berani merombak birokrasi negara meski dia harus berhadapan dengan gelombang protes dari elemen-elemen birokrasi negara. Namun, di Indonesia, solusi kepemimpinan ini hanya masuk akal secara teoretik, tetapi tidak masuk akal secara empirik. Solusi kepemimpinan mungkin bersifat voluntaristik, karena tidak ada tanda-tanda cerah yang melahirkan pemimpin yang bersih, bertangan bersih, dan berbasis massa. Sebelumnya elemen-elemen pendukung denokratisasi sangat berharap pada Gus Dur karena dia tampil sebagai pemimpin visioner, berbasis massa dan bertangan besi, tetapi sayang dia tidak bersih dari praktik KKN yang kemudian membuatnya terdepak oleh patronase politik.

Pendekatan elitis lain yang bersifat voluntaristik adalah konvergensi elite, yang menekankan perlunya konsensus bersama di kalangan elite untuk membawa Indonesia keluar dari kritis, dan sekaligus menjadi titik awal untuk membangun Indonesia yang demokratis dan desentralistik. Lagi-lagi solusi ini hanya masuk akal secara teoretis, tetapi tidak masuk akal secara politik dan empirik. Mengapa? Masyarakat Indonesia selama era reformasi justru menyaksikan oligarki elite yang lebih banyak memperjuangkan kepentingan kekuasaan mereka sendiri ketimbang mendorong demokratisasi untuk Indonesia. Elite politik tidak punya komitmen terhadap perubahan; sebaliknya mereka sibuk menghabiskan energinya untuk berbagi-bagi kekuasaan dan kekayaan.

Di sektor struktur negara, pendekatan yang sering dikemukakan adalah capacity building dan reformasi birokrasi. Sejauh mana pendekatan ini relevan secara empirik? Penguatan kapasitas birokrasi negara adalah pendekatan kuno, yang dalam khazanah pemerintahan di Indonesia dikenal sebagai pengembangan SDM. Di atas kertas pendekatan ini sangat penting untuk mendorong kemampuan birokrasi negara agar mereka mampu bekerja secara akuntabel, responsif dan profesional. Tetapi capacity building tidak pernah bekerja di ruang yang kosong. Secara empirik birokrasi Indonesia memang sangat lemah kapasitasnya. Tetapi problem dasarnya bukan terletak pada lemahnya kapasitas, tetapi pada struktur birokrasi negara yang terlalu besar, dominatif, feodal, korup, dan lain-lain. Ketika struktur birokrasi ini masih mencengkeram, maka capacity building hanya mampu membuahkan peningkatan kapasitas personal tetapi tetap tidak mampu membuahkan perubahan secara institusional.

Birokrasi yang lemah kapasitasnya tetapi tetap dominan selalu menjadi sorotan publik. Presiden Megawati Soekarnoputri pernah melontarkan kritik bahwa birokrasi adalah “keranjang sampah” dan sarat dengan korupsi, tetapi dia hampir tidak pernah membuat kebijakan radikal (radical policy) untuk mereformasi birokrasi. Demikian juga dengan Menpan Faisal Tamin yang mengedepankan data bahwa sejumlah 60% PNS di Indonesia tidak produktif sehingga harus dipotong. Tetapi Menpan tidak membuat kebijakan konkret untuk memotong birokrasi itu. Karena itu agenda reformasi birokrasi hanya masuk akal secara teoretis, tetapi tidak masuk akal secara empirik.

20

Page 21: Dinamika Desentralisasi Dan Demokrasi Lokal

Tanpa menafikkan pendekatan yang berpusat pada negara, pendekatan di sektor masyarakat, terutama pada kuadran keempat (struktur dan masyarakat), merupakan pendekatan paling kuat untuk mendesakkan perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa transisi demokrasi di belahan dunia dimulai dari kebangkitkan civil society, bukan karena pemimpin yang bermurah hati. Jaringan dan gerakan aksi kolektif di ranah masyarakat sipil adalah kekuatan utama untuk perubahan terhadap struktur negara yang bermasalah bagi demokratisasi dan desentralisasi. Ada sejumlah agenda dan tantangan berkelanjutan di arena civil society untuk membuat desentralisasi dan demokrasi lokal bekerja. Pertama, membuka ruang publik seluas-luasnya secara bebas dan otonom melalui forum-forum di level komunitas, organisasi masyarakay sipil, organisasi rakyat, kampus dan seterusnya. Kedua, memprakarsai resolusi konflik dan membina perdamaian, sekaligus menumbuhkan pluralisme di tengah-tengah konteks multikultural masyarakat. Ketiga, menggelar pendidikan politik masyarakat di berbagai ranah untuk mendekonstruksi pendidikan hegemonik massa lalu dan sekaligus mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan civic culture masyarakat. Keempat, memperkuat institusi lokal, prakarsa lokal, dan partisipasi masyarakat (voice, akses dan kontrol) masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Kelima, mentransformasikan gerakan civil society yang berbasis pada kelas menengah kota menjadi jaringan dan gerakan sosial secara massif yang berbasis pada berbagai komunitas dan organisasi rakyat di tingkat lokal. Organisasi civil society harus mampu membangun gerakan yang lebih besar antara lain dengan cara “merebut” dukungan massa rakyat yang selalu dimobilisasi secara tidak otentik oleh kekuatan partai politik. Gerakan secara massif ini menjadi kekuatan oposisi yang menekan partai politik dan elite politik agar mereka mempunyai komitmen dan tanggungjawab terhadap perubahan menuju desentralisasi dan demokrasi, baik di level nasional maupun lokal.

Akhirnya, meski demokratisasi dan desentralisasi membuahkan segudang masalah baru, meski gerakan civil society untuk perubahan terseok-seok, tetapi semua itu tidak boleh berhenti. Kita tidak boleh mundur ke belakang. Semuanya harus digerakkan maju untuk mencapai kemenangan di masa depan. Bagaimanapun desentralisasi dan demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan kekuatan pendorong perubahan mencapai masyarakat Indonesia yang makmur, sejahtera dan berkeadilan.

21