Dinamika Coping pada Penderita Sirosis Hati dalam ......penyakit dan segala macam peristiwa dalam...

39
DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM MENGHADAPI PENYAKITNYA OLEH FENTY RATIKASARI 802007062 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Transcript of Dinamika Coping pada Penderita Sirosis Hati dalam ......penyakit dan segala macam peristiwa dalam...

  • DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM

    MENGHADAPI PENYAKITNYA

    OLEH

    FENTY RATIKASARI

    802007062

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari

    Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK

    KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang

    bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Fenty Ratikasari

    Nim : 802007062

    Program Studi : Psikologi

    Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

    Jenis Karya : Tugas Akhir

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW

    hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty freeright) atas karya ilmiah saya

    berjudul:

    DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM

    MENGHADAPI PENYAKITNYA

    Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih

    media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data , merawat dan

    mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

    penulis/pencipta.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di : Salatiga

    Pada Tanggal : 19 Juni 2015

    Yang menyatakan,

    Fenty Ratikasari

    Mengetahui,

    Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

    Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi. Rudangta A.S., M.Psi.

  • PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

    Yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Fenty Ratikasari

    Nim : 802007062

    Program Studi : Psikologi

    Falkultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

    Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

    DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM

    MENGHADAPI PENYAKITNYA

    Yang dibimbing oleh :

    1. Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi. 2. Rudangta A.S., M.Psi.

    Adalah benar-benar hasil karya saya.

    Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau

    gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk

    rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya

    saya sendiri tanpa meberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.

    Salatiga, 19 Juni 2015

    Yang memberi pernyataan

    Fenty Ratikasari

  • LEMBAR PENGESAHAN

    DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM

    MENGHADAPI PENYAKITNYA

    Oleh

    Fenty Ratikasari

    802007062

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk

    Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

    Disetujui pada tanggal : 29 Juni 2015

    Oleh :

    Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

    Ratriana Y.E. Kusumiati., M.Si., Psi. Rudangta A.S., M.Psi.

    Diketahui Oleh, Disahkan oleh,

    Kaprogdi Dekan

    Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM

    MENGHADAPI PENYAKITNYA

    Fenty Ratikasari

    Ratriana Y.E. Kusumiati

    Rudangta Arianti Sembiring

    Progam Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • i

    ABSTRAK

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi coping yang

    digunakan oleh seorang penderita sirosis hati dalam menghadapi penyakit yang diderita

    dan segala macam masalah dalam hidupnya. Penelitian ini merupakan rancangan studi

    kasus untuk melihat suatu keseluruhan yang mencakup hubungan-hubungan atau proses.

    Temuan penelitian ini menunjukkan individu melakukan coping sepanjang hidupnya

    untuk meredakan tekanan-tekanan dalam dirinya, dan setiap strategi yang digunakan

    mempunyai dampak tersendiri bagi kesehatannya. Individu menunjukkan kondisi

    kesehatan yang membaik setelah ia mampu menerima setiap peristiwa yang terjadi

    dalam hidupnya. Dengan demikian, seorang penderita sirosis hati diharapkan mampu

    melakukan coping yang efektif dan sesuai bagi dirinya untuk menghadapi kondisi

    penyakit dan segala macam peristiwa dalam hidupnya.

    Kata kunci : coping, sirosis hati

  • ii

    ABSTRACT

    The purpose of this study was to find the image of coping strategies used by a cirrhotic

    liver many patients in the face of events in his life that. This research is a case study

    design to see a whole includes relations or process. The research indicated that the

    individual doing her coping with the pressures, to calm her and every strategy has an

    impact that is used for his health. Improving the health condition of a person who is

    able to accept any after the incident happened in their lives. Thus, a cirrhosis is capable

    of coping with effective and suitable for themselves to deal with this disease and all

    kinds of conditions for life.

    Keywords : coping, liver cirrhosis.

  • 1

    PENDAHULUAN

    Terminal illness adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan

    penyakit yang aktif, ganas, dan tidak dapat disembuhkan. Penyakit tersebut biasanya

    bersifat progresif dan pada akhirnya akan mengakhiri hidup penderita. Sirosis hati

    merupakan salah satu penyakit yang dapat dikatakan sebagai terminal illness. Sirosis

    hati banyak ditemui di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang

    berkembang. Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

    akhir fibrosistik hepatik yang berlangsung progesif yang ditandai dengan distorsi dari

    arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Jaringan penunjang retikulin

    kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodulus

    parenkim hati (Nurdjanah, 2006).

    Sirosis secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum

    adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai dengan

    gejala-gejala klinis yang jelas. Secara konvensional sirosis hati diklasifikasikan sebagai

    sirosis makronodular, yaitu besar nodul lebih dari 3 mm, mikronodular, yaitu besar

    nodul kurang dari 3 mm, campuran makronodular dan mikronodular. Penyebab sirosis

    hati antara lain adalah karena adanya penyakit infeksi seperti bruselosis, ekinokokus,

    skistosomiasis, toksoplasmosis, hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D,

    siomegalovirus). Penyakit keturunan metabolik seperti sindrom fanconi, galaktosemia,

    penyakit gauncher, penyakit simpanan glikogen, hemokromatosis, intoleransi fruktosa

    herediter, tirosinemia herediter, dan penyakit Wilson. Sirosis hati juga dapat

    disebabkan oleh obat dan toksin antara lain alkohol, amidoran, arsenik, obstruksi bilier,

    penyakit perlemakan hati non alkoholik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis

  • 2

    primer. Ada juga penyebab lain atau tidak terbukti, seperti penyakit usus inflamasi

    kronik, fibrisis kistik, pintas jejunoileal, sarkoidosis (Nurdjanah, 2006).

    Gejala awal sirosis kompensata meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera

    makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki – laki

    dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, dan hilangnya dorongan

    seksualitas. Pada sirosis lanjut (dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama

    bila timbul kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya rambut badan,

    gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Dapat juga disertai adanya gangguan

    pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air

    kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/malena, serta perubahan mental

    meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah,

    2006).

    Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2008), sirosis hati menimbulkan

    berbagai dampak psikologis dan kognitif pada penderitanya, antara lain merasa bahwa

    hidupnya dibatasi dan bergantung pada obat-obatan, serta merasa rendah diri karena

    merasa tidak dapat melakukan pekerjaannya akibat dari penyakit yang dideritanya.

    Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa dukungan sosial dari keluarga

    terdekatnya dapat mengurangi dampak emosi yang bersifat negatif. Pasangan hidup

    adalah orang yang paling memungkinkan memberikan dukungan yang besar bagi

    seorang penderita sirosis hati. Sebuah pernikahan yang harmonis tentunya diharapkan

    untuk menunjang kesehatan seorang penderita sirosis hati. Namun demikian, masalah

    dapat saja timbul dalam sebuah hubungan pernikahan. Salah satu masalah yang

    seringkali terjadi dalam hubungan pernikahan adalah hadirnya orang ketiga, atau dapat

    disebut dengan perselingkuhan.

  • 3

    Perselingkuhan adalah suatu hubungan pribadi di luar nikah, yang di dalamnya

    terdapat unsur relasi yang pribadi dan melibatkan sekurang-kurangnya satu individu,

    baik yang berstatus sudah menikah dan yang satunya belum atau tidak menikah, atau

    keduanya sudah menikah. Perselingkuhan bisa terjadi karena dua pihak saling tertarik

    kepada orang lain (Satiadarma, 2001). Pasangan pelaku perselingkuhan sering kali

    merasakan sakit hati yang sangat mendalam karena merasa dikhianati, ditinggalkan,

    atau dicampakkan oleh pasangan yang melakukan perselingkuhan. Sakit hati yang

    dirasakan ini muncul akibat adanya cedera yang dialami pada kesatuan lembaga

    perkawinannya atau pada keasatuan hubungan interpersonal yang selama ini

    diyakininya sebagai selubung rasa aman di dalam kehidupannya (Hedva, dalam

    Satiadarma, 2001)

    Selain perselingkuhan, masalah lain yang dapat timbul dalam sebuah pernikahan

    adalah kematian pasangan hidup. Kematian orang yang dicintai merupakan sebuah

    pukulan, hal yang terasa menyakitkan, dan nampak mustahil untuk diterima. Dukacita

    merupakan respons adaptif dari kehilangan. Rasa dukacita adalah sebuah stressor.

    Dalam sebuah studi ditemukan bahwa stress dari rasa duka cita membuat orang lebih

    banyak mengeluarkan air mata, yang kemudian akan meningkatkan resiko dari

    gangguan kardiovaskuler, infeksi, dan gangguan inflamasi. Selanjutnya, terbukti bahwa

    stress berhubungan dengan hormon-hormon yang menjadi lebih aktif. Hall dan Irwin

    (dalam Kastenbaum, 2007) melaporkan bahwa tingkat tertinggi dari kortisol, epinefrin,

    dan norepinefrin menandakan bahwa orang yang sedang berduka cita mengalami

    sebuah ketidakstabilan sistem fisiologis yang menempatkan kesehatan dan

    kelangsungan hidup mereka dalam resiko yang tinggi. Kebingungan dan keputusasaan

    sering kali berlanjut sebagai dampak dari kehilangan pasangan hidup. Akan selalu

  • 4

    terdapat periode kesedihan di dalamnya, terutama untuk wanita. Kesedihan memberikan

    pengaruh terhadap kondisi fisik seseorang. Gejala -gejala pada gangguan fisik tersebut

    dapat terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Rasa sakit dan nyeri,

    kehilangan nafsu makan, kehilangan stamina, sakit kepala, pusing, dan menstruasi yang

    tidak teratur banyak dilaporkan (Kastenbaum, 2007).

    Seperti yang telah dipaparkan di atas, perselingkuhan dan kematian pasangan hidup

    merupakan masalah serius yang menimbulkan berbagai macam tekanan dan gangguan

    psikologis maupun kesehatan bagi orang yang mengalaminya. Bagi seorang penderita

    sirosis, mengalami kejadian tersebut tentu saja akan berpengaruh pada kesehatan dan

    menempatkan kelangsungan hidupnya pada resiko yang tinggi. Untuk dapat mengatasi

    masalah tersebut, seorang penderita sirosis diharapkan mampu melakukan coping yang

    efektif untuk mengurangi tekanan yang terjadi dalam hidupnya. Menurut Lazarus dan

    Folkman (1986) coping sendiri dibedakan menjadi dua macam strategi, yaitu problem

    focused coping dan emotional focused coping. Problem-focused coping adalah usaha

    mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan

    lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Sedangkan emotion-

    focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons emosional

    dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu

    kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Individu cenderung untuk

    menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang

    menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung

    menggunakan emotion-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang

    menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus & Folkman, 1986).

  • 5

    Carver, dkk (1998) merumuskan dimensi-dimensi untuk setiap tipe strategi coping

    sebagai berikut, problem-focused coping meliputi active coping (coping aktif) adalah

    suatu proses pengambilan langkah aktif untuk mencoba menghilangkan atau

    mengelabui penyebab stress atau memperbaiki akibatnya dengan cara langsung.

    Planning (merencanakan) adalah suatu usaha untuk menghilangkan sumber stress

    dengan cara memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi sumber stress tersebut, antara

    lain dengan membuat strategi untuk bertindak dan langkah yang perlu diambil untuk

    mengatasi masalah. Suppression of competing activities (penekanan pada aktivitas

    bersaing) yaitu usaha untuk membatasi ruang gerak atau aktivitas dirinya yang tidak

    berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada tantangan maupun

    ancaman yang sedang dialaminya. Restrain coping (coping menahan) yaitu latihan

    mengontrol diri atau mengendalikan tindakan langsung sampai ada kesempatan yang

    tepat untuk bertindak. Seeking support for instrumental reason (mencari dukunagn

    sosial untuk alasan instrumental) yaitu usaha individu untuk mencari informasi atau

    pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan. Folkman, dkk (dalam

    Chamberlain dan Lyons, 2006) mengemukakan bahwa bentuk strategi coping yang

    berorientasi pada problem-focused coping meliputi cautiousness (kehati-hatian),

    instrumental actions (tindakan instrumental), dan negosiation (negosiasi).

    Sedangkan emotional-focused coping mempunyai beberapa dimensi antara lain,

    seeking social support emotional reason atau mencari dukungan sosial emosional, yaitu

    mencari dukungan sosial melalui dukungan moral, simpati, atau pengertian. Positive

    reinterpretation atau menilai kembali keadaan secara positif, denial (pengingkaran)

    yaitu suatu respons atau tanggapan individu yang berbentuk penolakan terhadap sumber

    stress atau berusaha untuk bertindak seolah-olah stressor tidak nyata. Acceptance

  • 6

    (penerimaan), yaitu tanggapan individu terhadap situasi penuh tekanan dengan pasrah

    menerima kondisi tersebut sebagai sesuatu yang harus dijalani. Turning to religion

    (kembali pada agama), yaitu sikap individu dalam menenangkan dan menyelesaikan

    masalah dengan kembali pada agama yang dianggap dapat memberikan dukungan

    secara emosioanal. Folkman (dalam Chamberlain dan Lyons, 2006) menjabarkan aspek-

    aspek perilaku yang dikategorikan sebagai strategi emotional-focused coping antara lain

    avoidance (pelarian diri), yaitu usaha individu untuk menghindari atau melarikan diri

    dari situasi sress yang dihadapinya. Selain avoidance, perilaku lain yang dikategorikan

    dalam emotional-focused coping adalah minimalization, self blame (menyalahkan diri

    sendiri), seeking meaning, dan support mobilization. Tujuan yang ingin dicapai dalam

    penelitian ini yaitu mendeskripsikan gambaran dinamika copying dalam menghadapi

    penyakit pada setiap peristiwa hidup yang signifikan yang dialami oleh seorang

    penderita sirosis hati.

    METODE PENELITIAN

    Desain Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus yang

    merupakan desain penelitian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu

    organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu (Rahardjo,

    2010). Pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi. Selanjutnya, peneliti

    juga melakukan triangulasi data dengan keponakan dan kakak yang memiliki hubungan

    paling dekat dengan partisipan (Moleong, 2010). Triangulasi dilakukan sebanyak dua

    kali di rumah saudara partisipan setelah wawancara yang pertama dan kedua.

  • 7

    Partisipan

    Partisipan adalah seorang perempuan penderita sirosis hati berusia 40 tahun.

    Partisipan dinyatakan menderita sirosis hati sejak tahun 1999. Hasil pemeriksaan

    fisiologis hati terakhir menunjukkan fungsi hati partisipan tersisa kurang dari 50%.

    Partisipan menderita penyakit liver non hepatitis sejak berusia tujuh tahun karena

    adanya luka akibat benturan saat ia terjatuh. Karena penyakitnya, sejak kecil partisipan

    terbiasa dibatasi aktivitasnya dan hanya diperbolehkan untuk bermain di dalam rumah.

    Karena hal tersebut lah partisipan mengaku dirinya menjadi orang yang tidak mudah

    dekat dengan orang lain dan memiliki hobi membaca dan menulis untuk menceritakan

    isi hatinya.

    Partisipan menikah dan mempunyai dua orang anak. Hubungan partisipan

    dengan suami awalnya dirasakan sebagai hubungan yang harmonis dan sangat jarang

    menemui masalah. Dukungan dari anak dan suami partisipan dirasakan partisipan

    sebagai hal yang paling menumbuhkan semangat hidupnya. Namun, pada pernikahan

    tahun ke-14, partisipan harus tinggal terpisah dengan suami karena tuntutan pekerjaan.

    Tidak berapa lama setelah tinggal terpisah, partisipan menemukan suaminya memiliki

    hubungan dengan perempuan lain. Hal tersebut merupakan peristiwa yang sangat

    memukul bagi diri partisipan, merasa sakit hati dan harus berpura-pura tidak

    mengetahui perselingkuhan suami demi menjaga perasaan anak-anaknya membuat

    kesehatan partisipan memburuk dan penyakitnya menjadi sering kambuh. Keadaaan

    ekonomi juga berubah karena suami partisipan sering kali terlambat mengirimkan uang

    bulanan.

    Perselingkuhan suami partisipan akhirnya berakhir sepuluh bulan kemudian.

    Suami partisipan kemudian meminta maaf kepada partisipan dan anak-anaknya, serta

  • 8

    kembali menjadi suami yang memperhatikan partisipan seperti sebelumnya. Namun,

    setelah hubungan suami partisipan dengan pasangan selingkuhnya berakhir, partisipan

    mulai menerima teror dari wanita tersebut. Kesehatan suami pertisipan juga mulai

    memburuk, dan dinyatakan menderita leukemia oleh dokter. Pertisipan merasa penyakit

    suaminya bukanlah hal yang wajar karena ia tinggal di daerah yang masih sangat kental

    dengan hal-hal klenik. Partisipan dan suami kemudian memutuskan untuk kembali ke

    kampung halamannya dan melakukan pengobatan di kota tersebut. Tetapi suami

    partisipan meninggal tidak lama setelahnya, sebelum hasil pemeriksaan sumsum tulang

    belakangnya keluar.

    Anak sulung partisipan mulai menunjukkan perubahan sikap setelah kematian

    ayahnya. Ia terlihat menolak lingkungan barunya dan sulit untuk diajak berkomunikasi.

    Hal tersebut diakui partisipan menjadi sumber stress terbesar pada dirinya. Keadaan

    ekomoni yang berubah, partisipan yang tidak mempunyai pekerjaan, dan lingkungan

    yang baru juga menimbulkan berbagai masalah dalam diri partisipan. Untuk mengatasi

    berbagai masalah dalam hidupnya tersebut, partisipan banyak melakukan coping dan

    penyesuaian diri. Dengan banyaknya masalah yang berhasil ia selesaikan, partisipan

    merasakan kondisi kesehatannya membaik dari hari ke hari.

    Peneliti melakukan pengambilan data sebanyak dua kali yang dilakukan di

    rumah partisipan wawancara pertama dilakukan pada tanggal 23 Juli 2014 pukul 21.15-

    22.45. Selanjutnya, wawancara kedua dilakukan pada 29 November 2014 pukul 22.00-

    23.45 WIB. Kedua wawancara dilakukan pada malam hari atas permintaan partisipan

    agar suasana rumahnya tenang dan partisipan juga sudah selesai melakukan

    pekerjaannya.

  • 9

    Analisis Data

    Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara dengan

    mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata perkata. Peneliti juga mengetik

    hasil observasi lapangan yang didapatkan pada saat pengambilan data berlangsung.

    Selanjutnya, proses pengodean pada transkrip untuk memudahkan proses analisis data.

    Proses selanjutnya ialah penentuan tema serta makna di balik setiap kalimat yang

    diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal. Tema dan

    makna tersebut peneliti tambahkan pada bagian kiri transkrip. Kemudian berdasarkan

    tema dan makna yang peneliti mengelompokkannya menjadi beberapa kategorisasi tema

    (Moleong, 2010).

    HASIL

    Hasil analisis memunculkan kategorisasi tema sebagai berikut : gambaran strategi

    coping pada awal menderita penyakit sirosis, gambaran strategi coping saat pada saat

    terjadi perselingkuhan oleh suami, gambaran strategi coping saat suami menderita

    penyakit terminal, gambaran strategi coping setelah kematian suami.

    Gambaran strategi coping pada awal menderita penyakit sirosis

    Partisipan merasa tidak bisa berpikir saat pertama kali menerima diagnosis

    sirosis, ia merasa tidak percaya dan berusaha untuk melakukan pemeriksaan ulang.

    ”Aku nggak langsung percaya kalau aku sakit sirosis, setengahnya yakin kalau

    ada kesalahan diagnosis.”

    Partisipan kemudian berusaha mencari informasi terkait dengan penyakitnya,

    dalam hal ini pasien mengarahkan diri untuk menggunakan Seeking support for

    instrumental reason (mencari dukungan untuk alasan instrumental) yaitu usaha individu

    untuk mencari informasi atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan.

  • 10

    “Aneh ya mbak, yakin nggak sakit, tapi tetap berusaha cari tahu detilnya

    penyakit ini. Tante cari buku, artikel, waktu itu internet masih belum mudah

    diakses kayak sekarang.”

    Namun semakin banyak mencari informasi tentang penyakitnya, partisipan

    merasa semakin takut.

    “Semakin tante cari tahu, jadi tumbuh rasa takut.”

    Partisipan kemudian berhenti dan menghindari mencari informasi tentang

    penyakitnya (avoidance) sebagai strategi coping untuk mengatasi rasa takut karena

    penyakitnya.

    ”Tante banyak membaca, membaca eee tapi begitu divonis sirosis, tante jadi

    ketakutan, untuk sesedikit mungkin menghindari karena merasa itu akan

    menambah ketakutannya tante. Karena tante merasa aku akan mati bukan oleh

    penyakitku, tapi oleh ketakutanku.”

    Partisipan juga menghindari (avoidance) melakukan hal-hal yang akan

    membuatnya down dan menyebabkan penyakitnya kambuh.

    “Biasanya untuk hal-hal yang…eee…terutama untuk yang melayat segala

    macem tante hampir tidak pernah lakukan, karena justru akan membuat tante

    semakin down dan biasanya kalau sudah drop itu akan bleeding, hampir selalu

    bleeding, dan kemudian beberapa hari akan tidak bisa bangun.”

    Hal ini nampaknya tidak efektif untuk dilakukan, karena dengan menghindari

    mencari informasi tentang penyakitnya tidak membuat kondisi penyakit partisipan

    menjadi lebih baik, dan partisipan juga tetap menyimpan rasa takut dalam dirinya. Hal

    pertama yang dipikirkan oleh partisipan setelah menerima diagnosis sirosis hati adalah

    bagaimana jika dirinya mati sementara anaknya masih kecil.

    ”Kan terutama tentang kematian ya, karena anak masih kecil, waktu itu anak

    baru satu, begitu didiagnosa kena penyakit mematikan pastilah yang dipikirkan

    tentang kematian. Karena kan tidak ada rasa sakit sebetulnya, jadi tidak merasa

    sakit sakit secara fisik, sakit, sakit, nyeri atau apa. Jadi ketakutan itu bagaimana

    jika aku mati”

    Partisipan juga khawatir dengan kondisi anaknya, dan memikirkan apakah

    anaknya juga menderita penyakit yang sama.

  • 11

    “Yang tante pikirkan cuma anak, anak, dan anak. Tante mungkin merasa karena

    seumur hidup tante sakit, rasanya sudah tidak ada artinya apakah tante itu

    sakit, atau parah, apakah lebih parah dari sebelumnya atau tidak. Tapi

    bagaimana dengan anak tante apakah dia sakit juga seperti tante atau tidak.”

    Pada awal masa sakitnya partisipan mengaku menjadi lebih mudah tersinggung

    dan banyak merasakan emosi negatif, partisipan juga merasa menjadi orang yang tidak

    berguna dan merasa suatu hari suaminya akan meninggalkannya.

    “Saat itu tante menjadi mudah tersinggung, marah, takut, dan awal-awal tahu

    penyakit itu ya banyak pengaruh yang negatif, terutama ke suami tante, menjadi

    semakin sering merasa tidak berguna, merasa suatu saat dia akan

    meninggalkan tante, karena mungkin siapa yang akan tahan dengan orang yang

    sakit, begitulah.”

    Partisipan juga mengaku menyesal telah menjalani pemeriksaan, karena setelah

    mengetahui bahwa dirinya sakit, partisipan menjadi merasa lebih sakit. Dan setiap kali

    penyakitnya kambuh, partisipan menjadi tidak mampu melakukan apa-apa.

    “Jujur sebenernya tante menyesal sempat melakukan biopsy, karena merasa

    setelah tante tahu bahwa tante sakit sirosis itu jauh lebih membuat tante sakit.

    Kalau kambuh itu semakin terasa sangat merasa tidak punya kemampuan

    melakukan sesuatu. Dulu sebelum tante tahu bahwa tante sirosis, kambuh itu

    biasa, tante tetep melakukan kegiatan biasa, tapi sejak sirosis, dinyatakan

    sirosis tante menjadi terasa semakin sakit, semakin tidak berdaya.”

    Setiap kali penyakitnya kambuh, partisipan akan mengalami perdarahan dan

    harus beristirahat total saat kondisinya menurun. Ia juga harus menjalani transfusi darah

    jika perdarahannya terlalu banyak.

    ”Muntah darah, muntah darah, dan biasanya kalau sudah muntah darah

    diawali dengan bengkak di perut, kemudian kaki, itu biasanya kalau tante

    memaksakan untuk tidak bedrest biasanya tante muntah darah. Itu yang

    menyebabkan tante harus transfusi karena muntah darahnya terlalu banyak.

    Tapi tidak terlalu sering yang seperti itu. Kalau dibarengi dengan menstruasi

    biasanya, karena menstruasi tante menjadi tidak berhenti, terlalu banyak, jadi

    dibarengi dengan transfusi.”

    Namun, dukungan yang kuat dari suami dan umur anak partisipan yang masih

    kecil membuat partisipan merasa harus tetap hidup.

  • 12

    “Apalagi anak tante waktu itu baru berumur sekitar tiga empat tahun, jadi aku

    harus sembuh itu pasti ada. Terutama suami tante orang yang sangat gigih, kuat

    sekali merasa sakit ini bukan berarti apa-apa untuk kita.”

    Partisipan mulai meyakini dirinya positif menderita sirosis hati setelah muncul

    gejala-gejala yang mirip dengan sirosis.

    “Setelah beberapa bulan tante kan semakin sering muntah darah, menstruasi

    mulai nggak teratur, mulai bener-bener nggak teratur. Sebenernya seumur

    hidup tante nggak pernah teratur menstruasi ya, tapi akhir-akhir itu bener-

    bener sulit sekali. Dan itulah tante mulai…jangan-jangan benar.”

    Partisipan akhirnya menerima diagnosis tersebut setalah melakukan biopsy yang

    ke dua.

    “Jadi benar-benar ketika awalnya masih dugaan sirosis eee tante ketakutan dan

    segala macem, tapi begitu tante sudah biopsy dua kali, sudah…sudah…hasil

    biopsy yang pertama ditegaskan kembali bahwa itu sirosis, tante udah mulai

    siap.”

    Setelah partisipan dapat menerima jika dirinya menderita sirosis hati, partisipan

    mulai berusaha memperoleh dukungan sosial emosional (Seeking support for emotional

    reason) dengan mengikuti klub sesama penderita penyakit liver. Dalam klub tersebut

    partisipan juga banyak mendapatkan saran tentang apa yang harus dilakukan demi

    memperbaiki kesehatannya. Dengan adanya dukungan dari teman-teman yang memiliki

    masalah yang sama, partisipan merasa lebih mampu bertahan.

    “Kalau…eee…awalnya tante hanya bergatung pada pengobatan medis saja,

    bener-bener apa yang diberikan oleh dokter saja, sampai kemudian beberapa

    teman yang…bukan sirosis, tapi mereka kanker hati mengatakan jangan terlalu

    bergantung sama obat, gitu.. tante sempat ikut klub seperti itu selama hampir

    tiga tahun ternyata ya setidaknya mungkin sakit ini tidak berkurang, tapi juga

    tidak berkembang menjadi lebih sakit lagi. Ternyata eee…benar bahwa ketika

    kita tentram kita akan merasa punya teman, punya banyak teman yang senasib,

    kita akan lebih mampu bertahan.”

    Langkah ini terlihat efektif untuk dilakukan oleh partisipan, dukungan dari

    teman-teman sesama penderita penyakit tersebut membuat partisipan merasa dirinya

    tidak sendirian menghadapi penyakitnya, dan membuat ia merasa lebih mampu

    menghadapi penyakitnya.

    Gambaran strategi coping pada saat terjadi perselingkuhan oleh suami.

  • 13

    Pada pernikahan tahun ke 14, partisipan menemukan suaminya yang tinggal di

    luar kota berselingkuh dengan wanita lain. Partisipan bersikap seolah-olah tidak tahu

    tentang perselingkuhan suaminya demi menjaga perasaan anak-anaknya.

    “Pada saat…eee… perkawinan tante waktu itu ke..ke 14, itu ada peristiwa yang

    mungkin sangat memukul tante, karena kami harus tinggal terpisah kota karena

    pekerjaan suami tante yang menuntut seperti itu, ternyata suami tante

    berselingkuh dan tante harus menahan pura-pura tidak tahu. Berat sekali

    rasanya, karena ini tentang anak-anak.”

    Kesehatan partisipan memburuk saat ia mengetahui suaminya berselingkuh,

    pada saat itu hanya anak partisipan yang mengurusnya hingga sekolahnya terganggu.

    “Buruk sekali! Saat itulah saat terburuk dalam hidup tante karena hidup tidak

    berdampingan dengan suami, mengetahui suami di sana dengan orang lain,

    saat itu tante sering sekali muntah darah, sampai anak tante yang paling besar

    itu sekolahnya sempet terganggu karna tante sering telpon, pulang nak mama

    muntah darah, di sekolah itu dia sering pulang untuk mengurus tante.”

    Yang dikhawatirkan oleh partisipan jika sampai berpisah dengan suaminya

    adalah siapa yang akan mengurus anak-anaknya jika dirinya meninggal.

    “Yang tante khawatirkan ketika tante misalnya harus berpisah mungkin tante,

    kalau misalnya dalam kondisi tante masih hidup gitu mungkin tidak ada apa-

    apa. Tapi kalau misalnya tante tidak ada yang tante takutkan siapa yang akan

    mengurus anak-anak yang sudah sangat terbiasa hanya dengan tante? Mereka

    tidak pernah mau diurus sama siapapun, gitu. Jadi yang tante takutkan bukan

    bagaimana tante mengurus anak-anak saat tante ada, tante takutkan kalau

    misalnya tante tidak ada bagaimana dengan mereka? Gitu.”

    Partisipan mengaku perasannya yang tidak menentu membuat berat badannya

    turun drastis dan mengalami perdarahan yang tidak henti-henti.

    ”Ya itu perasaan yang makin, semakin tertekannya tante, buruk semakin

    buruknya perasaan tante, sakit tante itu semakin terasa semakin menggerogoti

    menggerogoti tante. Dan tante waktu itu “kalau aku berpisah bagaimana

    dengan anakku? Bagaimana jika aku tidak ada anakku bagaimana” sampai

    dengan ke tahapan itu waktu itu. Dan ternyata perasaan yang sangat tidak

    menentu itu membuat tante bener-bener eee sakitnya tu bener-bener semakin eee

    berat badan tante turun drastis sekali, pendarahan yang tidak berhenti-

    berhenti.”

  • 14

    Pada proses triangulasi, keponakan partisipan mengatakan bahwa kondisi

    partisipan saat itu terlihat lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, saat

    partisipan tidak pernah menceritakan perihal perselingkuhan suaminya kepada keluarga.

    Saat itu suami partisipan juga sering kali terlambat mengirimkan uang bulanan

    untuk partisipan dan anak-anaknya. Partisipan mengatasi rasa stress yang timbul karena

    hal tersebut dengan melarikan diri (avoidance) pada hal-hal yang menyenangkan, yaitu

    membelanjakan habis uangnya. Ia juga melanggar pantangan makan untuk

    membuktikan bahwa dirinya kuat.

    “Tante seperti perempuan umumnya tante itu suka belanja gitu. Duit udah

    nggak ada sekalian diabisin aja gitu, jadi kalau tante stress sekali misalnya kok

    bulan ini nggak dikirimin lagi gitu kan, ada berapa sih sisanya? Udah habisin

    aja lah, gitu. Tante biasanya belanja kacau gitu, belanja yang tidak…tante kan

    orangnya sangat cermat ya, kalau belanja itu selalu membawa catatan, dan

    hanya yang tertulis di catatan itu yang tante belanjakan. Tapi kalau pikiran

    tante sedang kacau, tante akan belanja apa saja tanpa ini berguna atau tidak

    gitu, pokoknya belanja, belanja, belanja gitu. Hehe karena itu tidak mengatasi

    apa-apa sebenernya, tapi itu cara tante, kadang-kadang tante menerjang

    makanan yang tidak boleh dimakan gitu, seperti itu. Tante beli apa yang

    mengandung banyak kacang, itu tante makan yang banyak gitu, seperti apa ya,

    eee…seperti “aku ni hebat kok, cuma makanan aja nggak akan bikin aku

    kenapa-kenapa”, gitu.”

    Dengan membelanjakan habis uangnya, partisipan merasa bisa melakukan hal

    apa saja yang ingin dilakukannya, sama seperti yang dilakukan suaminya, tetapi

    kemudian ia menyesal telah melakukan hal tersebut, dan berpikir bagaimana jika nanti

    uangnya habis dan kiriman tidak datang.

    ”Ada seperti dendam yang tersalurkan gitu mbak, ada seperti perasaan eee

    suka-suka aku gitu kan ya. Aku sudah diperlakukan seperti ini, tapi ya sama aja,

    setelah itu berlalu ada penyesalan yang besar sekali gitu, kenapa hal yang

    sangat buruk ini aku lakukan? Kenapa ego ego yang besar ini yang aku biarkan

    mendominasi gitu, lebih ke bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan nanti

    kalau kiriman semakin tidak datang? Selalu ada perasaan seperti itu dan tante

    eee merasa terlalu apa ya, terlalu merendahkan diri kalau minta, gitu. Dan ada

    kekacauan pikiran, terus besok bagaimana?”

  • 15

    Selain rasa menyesal karena membelanjakan habis uangnya, pada saat-saat

    tertentu, melanggar pantangan makan dapat membuat kondisi partisipan memburuk

    hingga muntah darah, namun partisipan berpikir pengaruh hal tersebut terhadap

    kesehatannya tidak sebesar pengaruh yang ditimbulkan oleh pikiran negatifnya.

    ”Eee ada saat-saat tertentu yang membuat bener-bener tante sampai muntah

    darah gitu mbak, seperti misalnya tante makan kacang, apa gitu kan langsung

    drop. Tapi kalau tante pikir sepertinya makanan itu tidak sebesar pengaruhnya

    daripada pikiran tante gitu, tidak sebesar pengaruh seperti kalau tante sedang

    down, sedang sedih, tante sedang bingung, sedang kecewa itu akan tante akan

    lebih sering bleeding kalau tante mengalami hal-hal yang buruk daripada

    karena makanan.”

    Hal tersebut menunjukkan bahwa avoidance yang dilakukan partisipan tidak

    efektif digunakan sebagai strategi coping, karena hanya bersifat sementara meredakan

    tekanan dan menimbulkan masalah yang lebih besar setelahnya.

    Karena partisipan merasa apa yang ia lakukan tidak banyak membantu

    menyelesaikan masalahnya, partisipan kemudian mulai menggunakan active coping,

    yaitu mengambil tindakan langsung untuk mengatasi stress karena masalah

    keuangannya.

    “Tante hidup di kota yang memerlukan biaya besar, sudah terbiasa dengan

    hidup yang serba mudah, kemuadian tante…sampai tante mulai mencari-cari

    pekerjaan gitu. Mulai membantu-bantu teman membuat sistem di kasir-kasir

    supermarket.

    Partisipan kemudian berusaha mencari tahu apa kesalahannya hingga suaminya

    berselingkuh, dan berpikir mungkin suaminya berselingkuh karena dirinya sakit.

    Partisipan juga berpikir alasan suaminya berselingkuh adalah karena menginginkan

    pasangan yang tidak sakit, dan mempersiapkan pengganti dirinya jika ia meninggal

    nanti.

    “Tante biasanya lebih banyak menggali eee aku kenapa? Apa karena aku sakit

    dia seperti ini? Atau apa? Aku salah apa?”

  • 16

    “Eee terutama karena tante merasa tante ini sakit gitu ya, kemungkinan besar

    suami tante pengen punya pasangan yang normal, dalam tanda kutip tidak

    membebani terlalu banyak, mungkin dia mempersiapkan suatu saat tante tidak

    ada, mungkin dia bersiap-siap untuk ada pendamping lain yang mungkin jauh

    lebih baik dalam kesehatan, atau apa pun, ada perasan seperti itu.”

    Pada akhirnya partisipan berpikir bahwa ia harus menerima perselingkuhan

    suaminya agar kondisi kesehatannya tidak semakin memburuk. Setelah ia dapat

    menerima perselingkuhan suaminya, kesehatannya membaik, ia juga dapat beraktifitas

    kembali.

    “Itu karena sudah sampai pada perasaan ikhlas, mungkin belum ikhlas

    sebetulnya ya, tapi eee lebih ke menerima, awalnya tante kondisinya itu kan

    sempat sangat apa ya, sakitnya tu bener-bener cukup berat, karena dalam

    berapa bulan tante bisa turun berat badan sampai 20 kg lebih. Itu kondisi tante

    merasa ya sudah mungkin harus seperti itu, tidak, mungkin tidak membaik gitu,

    tapi mungkin tidak lagi menjadi semakin buruk gitu, sepertinya penyakitnya

    tante masih bisa, masih bisa beraktifitas lebih baik gitu. Biasanya waktu dalam

    kondisi yang sangat tertekan gitu untuk mengantar anak tante yang masih TK

    itu tante nggak kuat gitu. Tante jalan itu sudah sangat kelelahan gitu, tapi ketika

    tante dalam tahap ya sudahlah mungkin harus seperti ini tante kembali bisa

    beraktifitas yang ringan-ringan seperi sehari-hari gitu.”

    Acceptance dan active coping ini terlihat efektif untuk dilakukan oleh partisipan,

    masalah keuangan partisipan mulai teratasi dengan tindakan langsung yang diambil oleh

    partisipan. Penerimaan partisipan pada perselingkuhan suaminya karena ia merasa

    bahwa suaminya berselingkuh karena diri partisipan yang sakit juga membuat kesehatan

    partisipan semakin membaik.

    Gambaran strategi coping pada saat suami menderita penyakit terminal.

    Suami partisipan mengakhiri hubungannya dengan wanita lain tersebut sepuluh

    bulan setelah menjalin hubungan. Namun kemudian partisipan menerima banyak teror

    dari mantan pasangan selingkuh suaminya, dan kesehatan suaminya mulai memburuk.

    “Iya. Tepat setahun setelah mereka berhubungan mbak, dari… sebenernya

    belum setahun ya, dari september ke juli, sepuluh bulan ya mbak ya, itu semua

    bener-bener berakhir dan aa…saat itulah tante bener-bener diteror apapun,

    dengan cara apapun, mulai dari tante pernah mengantarkan anak sekolah mau

    ditabrak, kejadian itu dalam tiga hari berturut-turut tante mau ditabrak. Ketika

  • 17

    mau keluar dari kompleks, itu tante mau..tante kan jalan kaki nganter anak, itu

    mau ditabrak, tiga kali. Teror sms yang terus menerus setiap hari, teror-teror

    mengerikan yang berupa seperti meletakkan apa, barang apa, seperti misalnya

    bangkai tikus di depan rumah, di depan pintu segala macam itu terus-terusan.

    Dan buruknya mbak, saat itulah suami tante mulai drop secara kesehatan.

    Kesehatannya memburuk, dia lemah sekali.”

    Partisipan mengaku telah memaafkan peselingkuhan suaminya, dan merasa

    penyakit suaminya bukanlah penyakit yang wajar.

    “Kalau masalah perselingkuhan tante benar-benar sudah, tante benar-benar

    sudah ikhlas, bener-bener memaafkan, tidak ada lagi bekas di hati gitu waktu

    itu kan.”

    “Tante merasa kita tinggal di suatu daerah yang..maaf, klenik gitu. Daerah

    yang sangat-sangat…kita di suku Dayak. Perempuan itu bersuku Dayak, yang

    mereka terkenal dengan magic yang luar biasa, dan tante..penyakit suami tante

    juga bukan penyakit yang wajar, karena Hbnya sampai 3,8, ketika ditransfusi 9

    bag, dalam tiga hari Hbnya turun lagi menjadi 3,2. Itu bukan penyakit wajar

    sepertinya.”

    Dokter menyatakan suami partisipan menderita leukemia, dan harus menjalani

    biopsy sumsum tulang untuk memastikan tipenya.

    “Makanya dokter bilang ini keganasan yang luar biasa, tidak pernah ditemukan

    dalam orang leukemia mana pun, tipe melanosit atau apa, tidak ada. Akhirnya

    satu-satunya jalan harus BMT.”

    Saat suami sakit, partisipan mengaku kesehatannya justru lebih baik dari

    biasanya. Partisipan merasa tidak lagi memiliki tempat untuk bergantung, sehingga ia

    tidak pernah mengalami perdarahan.

    “Tapi luar biasa, ketika suami tante mulai sakit tante justru menjadi orang yang

    jauh lebih sehat dari biasanya. Tante…mungkin ee.. “Aku tidak punya tempat

    bergantung!” Seperti itu, itu membuat tante tidak pernah bleeding.”

    Partisipan memutuskan untuk berhenti berobat dan tidak lagi mempedulikan

    kesehatannya, yang dipikirkan saat itu hanyalah suaminya harus tetap hidup.

    “Tante yang bergantung sama obat selama hampir sepuluh…dua belas tahun!

    Bergantung sama obat dua belas tahun tante tidak berobat lagi, tante sudah

    tidak peduli dengan kesehatan tante waktu itu, yang tante pikirkan suami tante

    harus hidup! Karena dalam mindset kita berdua dulu kan “aku akan titipkan

  • 18

    anak aku sama kamu”, tante selalu bilang gitukan sama suami tante ya, “aku

    tidak akan berumur panjang, anak-anak aku akan aku titipkan, tolong jaga dia

    baik-baik”.”

    Partisipan mengambil strategi minimalization atau tidak memikirkan masalah

    kesehatannya dan berfokus pada kesehatan suaminya. Partisipan juga mengambil

    tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung dan menyusun

    rencana yang diperlukan demi kesembuhan suaminya (instrumental action).

    “Waktu itu kan tante tidak berpikir suami tante meninggal, tidak seperti itu, kita

    sempet membuat rencana lain bahwa suami tante harus berhenti bekerja dan

    tante yang akan menggantikan posisi dia sebagai pencari nafkah, awalnya

    seperti itu. Kita akan pindah ke kota yang lebih kecil, ya mungkin di sana tante

    akan berusaha mencari uang gitu, awalnya rencananya seperti itu.”

    Tindakan yang diambil partisipan ini nampaknya efektif untuk mengatasi

    tekanan dalam diri partisipan, dan berdampak baik pula bagi kesehatannya.

    Gambaran strategi coping setelah kematian suami.

    Suami partisipan kemudian meninggal setelah menjalani biopsy sumsum tulang.

    Partisipan mengaku merasa sangat berat kehilangan suaminya, tetapi ia harus tegar dan

    terlihat kuat di depan anaknya. Ia juga mengaku hatinya sangat hancur dan harus

    menjadi orang yang super untuk menutupi perasannya.

    “Hal terbesar dalam hidup itu kehilangan ya mbak. Itu sungguh…berat sekali

    kehilangan gitu. Tante harus, harus tegar, harus terlihat kuat di depan anak tante. Tapi

    padahal di dalam hati tante kan hancur sekali gitu, jadi aku harus menjadi seorang

    yang super untuk menutupi hatiku yang sebetulnya sudah hancur, gitu.”

    Kesehatan partisipan kemudian sempat menurun setelah suaminya meninggal,

    tetapi tidak seburuk dibandingkan saat suaminya berselingkuh. Partisipan mengaku

    dirinya lebih kuat bertahan karena merasa tidak lagi mempunyai tempat untuk

    bergantung.

    Kalau masa itu jelas kesehatan tante berada dalam kondisi yang buruk gitu, tapi

    tidak seburuk ketika suami sedang berselingkuh. Fase terburuk tante adalah

    ketika suami berselingkuh. Tapi ketika suami tante sudah meninggal justru

    mungkin karena perasaan “aku tidak ada lagi tempat bergantung” itu membuat

  • 19

    tante lebih…lebih kuat bertahan. Tapi kalau dibandingkan dengan kondisi kita

    msih sangat harmonis, ini juga buruk gitu! Saat ini juga, saat…saat itu ini

    termasuk yang buruk, meskipun tidak seburuk waktu suami tante berselingkuh,

    gitu.”

    Partisipan merasa kematian suaminya adalah hal yang terbaik, namun ia juga

    merasa kepergian suaminya adalah hal yang tidak adil, karena ia harus memikirkan

    segala sesuatunya sendirian.

    “Ada hal yang berlawanan bahwa yang terbaik buat dia adalah pergi gitu,

    meninggal gitu. Tapi ada ego lain yang mengatakan “ini tidak adil, kenapa aku

    harus memikirkan segalanya sendirian?” ini bukan…ini bukan tentang materi

    ya mbak, tapi justru seandainya masih ada ayahnya, mungkin ketika anak-anak

    menjadi nakal, menjadi apa, tante tidak akan bingung menghadapinya harus

    seperti apa.

    Partisipan juga merasa sangat marah setiap ada orang yang menasehatinya agar

    tetap kuat karena orang tersebut belum pernah merasakan apa yang ia rasakan.

    “Tante akan marah sama orang yang mengatakan “tabahlah, yang kuat ya..”,

    tante selalu marah, gitu. “Kamu belum pernah menjadi aku, bagaimana kamu

    bisa menasehati aku?”

    Setelah suami meninggal, partisipan dan anak-anaknya pindah ke kota kecil dan

    tinggal bersama kakaknya. Anak sulung partisipan mulai memperlihatkan perubahan

    sikap dan sulit untuk diajak berkomunikasi. Pertisipan mengaku kesulitan menghadapi

    perubahan sikap anaknya, hal tersebut menimbulkan kekhawatiran pada diri partisipan,

    dan ia merasa sumber stress terbesarnya saat itu justru datang dari anaknya tersebut.

    “Dia sepertinya menolak, menolak terutama lingkungannya. Dia tidak suka

    berganti lingkungan yang seperti ini. Entah mungkin juga secara materi kita

    juga sangat berubah total ya, mungkin. Tante sulit sekali menghadapi, bahkan

    kekhawatiran terbesar tante tu justru sama dia gitu.”

    Kepindahan partisipan ke tempat yang baru juga menimbulkan kekhawatiran

    pada diri partisipan akan pandangan orang-orang di sekitarnya tehadap diri dan status

    barunya sebagai janda.

    “Ini sulit sebetulnya mbak ya, karena tante bukan orang yang bisa bergaul

    dengan cepat dengan lingkungan baru gitu. Terus status tante juga yang

  • 20

    membatasi tante untuk lebih…di sini maaf kalau yang namanya single parent itu

    cenderung mungkin orang lebih memandang lebih…kurang apa ya, kurang

    respect gitu, sepertinya seperti…terutama ketika kita terkadang tante kan ada

    ikut temen audit ya, pulang agak larut atau apa, dengan taksi atau apa, itu

    sempet tante merasa “aku harus bagaimana?”, takut atau apa gitu.”

    Partisipan menggunakan strategi negosiasi (negotiation) untuk mengatasi

    masalahnya karena anaknya. Partisipan mengajak anaknya berkomunikasi dan mencari

    jalan keluar bersama. Partisipan juga mengambil tindakan instrumental dengan

    berpindah dari rumah saudaranya dan mengontrak rumah sendiri.

    “Eee…si kakak ini sempat meminta tante untuk “Ma, aku mau tinggal sendiri”

    gitu, mau tinggal kita bertiga saja, gitu kan. Akhirnya dengan bagaimanapun

    caranya tante mengontrak rumah, di situ mulai dia, mulai…mungkin

    mulai…karena dia usianya juga udah mulai agak lebih besar, dia mulai

    lebih…lebih…tidak, tidak terlalu tertutup gitu.”

    Coping yang dilakukan oleh partisipan menunjukkan hasil yang positif dengan

    perubahan sikap anaknya yang menjadi lebih baik dan mengurangi sumber stress pada

    diri partisipan.

    Partisipan juga berusaha melakukan penyesuaikan diri dengan lingkungan

    barunya, berusaha untuk dekat dan mengenali masyarakat sekitarnya. Penyesuaian diri

    yang dilakukan partisipan tersebut terlihat efektif, karena dengan mengenal masyarakat

    sekitranya, partisispan tidak lagi khawatir akan pandangan masyarakat tentang dirinya.

    “Meskipun tante tidak mudah bergaul tapi nyatanya tante punya kebiasaan

    yang lebih memperhatikan ini ketika bertemu tante berusaha berusaha, bukan

    berusaha untuk akrab tapi berusaha mengerti, berusaha dekat, ternyata mereka

    bukan orang yang, biarpun di lingkungan kampung tapi bukan yang orang yang

    memandang aneh segala sesuatu gitu.”

    Dalam kondisi apapun, partisipan masih tetap berdialog dengan suaminya untuk

    mengatasi kerinduannya. Partisipan merasa harus berkomunikasi dengan suaminya

    untuk menguatkan dirinya.

    “Dalam kondisi kambuh, dalam kondisi apa… tante masih, sampai dengan hari

    ini tante masih berdialog dalam tanda kutip, ketika berdialog dengan suami

    tante gitu.”

  • 21

    “Tante selalu… masih sampai dengan hari ini tu tante bisa dibilang masih…

    ada kakak tante mengatakan mewek, kayak orang gila. Tante katakan “aku

    bukan gila, aku bukan ngomong sendiri, aku bener-bener butuh ini untuk

    menguatkan aku.”

    Anak partisipan mengakui jika partisipan memang selalu memeluk foto

    suaminya sebelum tidur. Partisipan juga kadang-kadang masih mengenakan baju

    suaminya saat tidur.

    Partisipan merasa suaminya masih berada di sekitarnya, ia tidak merasa

    berbicara sendiri, dan merasa sepertinya suaminya menjawab apa yang ia katakan.

    “Iya…tante merasa… tante tidak pernah merasa suami tante itu hilang, dia

    pasti ada di sekitar sini, dia pasti mendampingi aku. Makanya tante berbicara

    seperti dijawab gitu, bukan bericara…tante tidak melakukan bicara sendiri gitu.

    Sepertinya dia selalu menjawab apa yang tante katakan, selalu menyambut apa

    yang tante ceritakan seperti dulu gitu.”

    Pada akhirnya partisipan pun menyerahkan kepada Tuhan (turning to religion)

    atas apa yang terjadi pada hidupnya. Ia menghibur diri dengan berpikir Tuhan

    memilihnya untuk menjalani kehidupan yang sekarang karena dirinya lah yang paling

    kuat.

    “Jadi sepertinya aku sudah dipersiapkan Tuhan untuk jadi aku yang sekarang,

    gitu. “Aku yang dipilih karena aku yang paling kuat”. Tante selalu bisa dibilang

    menghibur diri seperti itu, tante merasa berprestasi menjadi seperti ini. Tante

    menjadi merasa lebih unggul dipilih Tuhan menjadi seperti ini.”

    Partisipan mengambil hikmah (seeking meaning) atas kematian suaminya, ia

    merasa kematian suaminya tersebutlah yang menyembuhkannya.

    “Ternyata kehilangan ini bisa dibilang menyembuhkan tante. Menyembuhkan

    penyakit yang mengerikan.”

    Turning to religion dan seeking meaning yang dilakukan oleh partisipan tersebut

    terlihat efektif untuk mengurangi tekanan pada diri partisipan, dengan menyerahkan

    segala sesuatu yang dialaminya kepada Tuhan, partisipan percaya bahwa dirinya kuat

    dan mampu melewati setiap masalah dalam hidupnya.

  • 22

    Namun partisipan juga tetap menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan

    masalah pada dirinya. Partisipan melakukan avoidance dengan tidak melakukan

    pemeriksaan tes fungsi hati yang tersisa karena ia tidak ingin mengetahui kondisi

    sirosisnya yang sebenarnya. Partisipan melakukan hal tersebut karena jika ia

    mengetahui kondisi penyakitnya yang sebenarnya, hal tersebut justru akan

    membunuhnya.

    “Eee jujur tante ada perasaan tidak mau lagi tahu tentang berapa persen

    penyakit ini menggerogoti tante, tante tidak ingin tahu lagi tentang itu. Karena

    ada kekhawatiran kalau tante tahu justru pengetahuan itu yang akan membunuh

    tante, gitu. Jadi sempat dua kali tante berpikir apakah mau biopsy lagi? Tapi

    biopsy itu, biopsy itu tidak akan menolong apa-apa, hanya akan me mengetahui

    penyakit ini seperti apa, penyakit itu dalam kondisi mana. Ya masih ada

    kemungkinan akan berkembang baik, akan menjadi lebih baik dari sebelumnya

    tinggal mungkin 11 sampai 12% mungkin akan meningkat gitu. Ada

    kemungkinan seperti itu menurut dokter, tapi itu juga tidak akan berarti apa-

    apa gitu. Takutnya justru akan menjadi semakin buruk, dan itu akan membunuh

    tante gitu.”

    Saat ini, partisipan bekerja lebih keras dan melakukan aktivitas fisik lebih berat

    dari sebelumnya namun kondisi sirosisnya tidak memburuk. Partisipan mengaku

    kondisi kesehatannya membaik dan kembali menjadi seperti awal-awal saat ia

    menderita sirosis.

    “Sampai sekarang tante juga bekerja, bisa dibilang lebih, jauh lebih keras

    daripada sebelum-sebelumnya gitu. Secara fisik tante beraktifitas jauh, sangat-

    sangat jauh lebih keras, tapi Alhamdulillah nggak ada yang…ya mungkin

    sebetulnya kekuatan pikiran tante mengatakan “aku harus hidup untuk mereka

    berdua”, yang kedua kan masih kecil ya, si kecil ini membutuhkan banyak

    perhatian karena dia manja, dia orang yang sangat dekat dengan tante, sangat

    dekat dengan tante, jadi mungkin tante sekarang bisa dibilang kondisi tante,

    kesehatan tante selama lima belas tahun terakhir, inilah kondisi tante yang

    terbaik.”

  • 23

    PEMBAHASAN

    Partisipan mampu bertahan dari penyakitnya hingga saat ini dan melewati

    berbagai masalah dalam hidupnya tidak terlepas dari coping yang terus menerus ia

    lakukan sepanjang hidupnya. Dari pemaparan sebelumnya dapat dikatakan jika

    partisipan menggunakan kedua strategi coping sesuai dengan kemampuan dan masalah

    yang ia hadapi. Strategi coping partisipan mengalami perubahan setiap kali terjadi

    peristiwa signifikan dalam hidupnya.

    Pada awal mendapatkan diagnosis dirosis hati, partisipan menolak untuk

    mempercayai apa yang dokter katakan, ia merasa dokter bisa saja melakukan kesalahan

    dan berusaha untuk melakukan pemeriksaan ulang. Hal ini sesuai dengan yang

    dikemukakan oleh Kubler-Ross (2005) bahwa pada awal menderita penyakit terminal,

    seseorang akan melakukan penyangkalan sebelum akhirnya ia dapat menerima penyakit

    tersebut. Partisipan melakukan penyangkalan (denial) untuk mengatasi rasa takut akan

    kondisi penyakitnya, hal tersebut ia lakukan dengan cara menghindari (avoidance)

    membaca buku yang memberikan informasi terkait kesehatannya, ia juga menghindari

    hal-hal yang membuatnya merasa down dan berpikir tentang kematian, salah satunya

    dengan tidak pernah pergi melayat. Namun kemudian partisipan berpikir bahwa

    penyakitnya harus dihadapi, ia pun kemudian mencari dukungan sosial emosional

    (seeking social support for emotional reason), baik dari keluarga maupun dari rekan

    sesama penderita penyakit terminal. Partisipan juga mulai mengumpulkan informasi

    tentang penyakitnya, meminta saran tentang apa saja yang harus ia lakukan untuk

    menghadapi panyakitnya (seeking support for instrument reason). Partisipan juga

    mengikuti saran dokter dengan menghindari hal-hal yang dapat memperparah

    kondisinya, yaitu dengan membatasi kegiatan yang menguras energinya, rutin menjalani

  • 24

    pengobatan, dan mentaati diet yang disarankan oleh dokter. Dukungan dari suami dan

    anak partisipan pun mampu memberikan semangat hidup pada diri partisipan, dan

    menimbulkan keyakinan pada dirinya jika ia dapat sembuh

    Partisipan kemudian mulai melanggar aturan diet yang ditetapkan dokter saat

    menghadapi perselingkuhan suaminya. Selain memakan apa saja yang seharusnya tidak

    boleh ia konsumsi, partisipan juga melarikan diri (avoidance) pada hal menyenangkan

    lainnya seperti membelanjakan habis uang yang ia punya saat kiriman dari suaminya

    tidak kunjung datang. Dengan membelanjakan habis uangnya, partisipan merasa bisa

    melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain,

    sama seperti suaminya yang berselingkuh tanpa mempertimbangkan bagaimana

    perasaannya. Melanggar pantangan makan ia lakukan untuk membuktikan bahwa

    dirinya kuat dan tidak akan mati hanya karena makanan. Lazarus dan Folkman (1986)

    menyebut hal ini sebagai pelarian diri (escapism avoidance). Namun kedua hal tersebut

    nampaknya tidak efektif karena tidak menyelesaikan masalah, hanya bersifat sementara

    dalam mengatasi tekanan, dan sering menimbulkan masalah kesehatan lain yang lebih

    serius. Rasa bersalah dan menyesal karena membelanjakan habis uang yang seharusnya

    menjadi hak anak-anaknya muncul pada diri partisipan.

    Partisipan kemudian mulai mencari strategi yang lebih efektif untuk

    menghilangkan sumber stressnya, ia mulai mencari alternatif tindakan yang bisa ia

    lakukan untuk mengatasi masalah keuangannya, dalam hal ini partisipan mulai kembali

    menggunakan problem-focused coping yaitu active coping dengan cara mencari

    pekerjaan untuk mengatasi masalah keuangannya.

    Strategi-strategi tersebut rupanya belum sepenuhnya dapat mengatasi tekanan

    pada diri partisipan, kesehatannya masih tetap memburuk. Partisipan kemudian mulai

  • 25

    berpikir apa yang menyebabkan suaminya berselingkuh, ia berpikir mungkin suaminya

    melakukan hal tersebut karena ia sakit. Menyadari hal tersebut, partisipan kemudian

    beruaha untuk menerima saja apa yang suaminya lakukan. Setelah partisipan dapat

    menerima perselingkuhan suaminya, ia merasa kesehatannya mulai membaik dan dapat

    melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa

    penerimaan (acceptance) efektif untuk mengurangi tekanan pada dirinya.

    Setelah perselingkuhan tersebut berakhir, kesehatan suami partisipan mulai

    menurun. Dokter menyatakan suaminya menderita leukemia, partisipan menyadari

    penyakit tersebut lebih berbahaya dari sirosis yang ia derita. Tidak seperti waktu dirinya

    menerima diagnosis sirosis hati, kali ini partisipan tidak menghindari untuk memperoleh

    informasi terkait penyakit suaminya. Partisipan melakukan banyak coping aktif,

    mengusahakan kesembuhan suami, mencari banyak informasi tentang penyakit dan

    berbagai alternatif pengobatan suaminya. Partisipan juga melakukan planning

    (perencanaan) dan instrumental action (melakukan tindakan instrumental) tentang hal-

    hal apa saja yang mungkin dilakukan untuk mengusahakan kesembuhan suaminya,

    seperti pindah ke kota yang lebih kecil dan bertukar posisi dengan suami sebagai

    pencari nafkah. Strategi ini nampak efektif untuk dilakukan, partisipan juga melakukan

    minimalization dengan tidak dulu memikirkan tentang kesehatannya, ia berfokus pada

    kesembuhan suaminya, hal tersebut membuat kesehatan partisipan juga ikut membaik,

    ia merasa harus tetap hidup karena saat itu ia merasa tidak memiliki tempat untuk

    bergantung.

    Setelah suaminya meninggal, partisipan tetap menghadirkan suaminya dalam

    kehidupan sehari-hari. Partisipan tetap melakukan komunikasi dengan suaminya dengan

    jalan berbicara pada foto suaminya setiap sebelum tidur atau menuliskan isi hatinya

  • 26

    untuk seolah-olah dibaca bersama suaminya. Teori duka cita yang diungkapkan oleh

    Bolwby (dalam Jeffreys, 2005) menyebut hal ini termasuk dalam fase kerinduan dan

    mencari (yearning and searching). Selama fase ini individu yang berduka mencoba

    memulihkan keadaan seseorang yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan

    “attachment behavior”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres seperti,

    memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai, menggunakan pakaian yang

    merupakan milik almarhum, dan merenungkan tentang apa yang telah hilang dari

    kehidupan pribadinya. Partisipan juga menghindari datang ke makam suaminya karena

    hal tersebut membuat ia merasa apa yang dialaminya adalah hal yang tidak adil. Hal ini

    menunjukkan partisipan kembali menggunakan avoidance untuk mengatasi tekanan

    yang sebenarnya ada dalam dirinya. Kedua orang terdekat partisipan juga menyatakan

    hal yang sama pada proses triangulasi. Keponakan partisipan menceritakan partisipan

    selalu menolak setiap kali keluarga mengajaknya untuk mengunjungi makam.

    Namun, selain melakukan avoidance, partisipan juga tetap menggunakan

    problem-focused coping untuk mengatasi tekanan yang timbul karena kematian

    suaminya. Masalah yang timbul dari kematian suaminya antara lain perubahan sikap

    anaknya, berpindah ke lingkungan yang baru dan masalah ekonomi yang sangat jauh

    berubah. Partisipan menghilangkan tekanan yang timbul karena masalah keuangannya

    dengan melakukan tindakan langsung (active coping) yaitu dengan berusaha mencari

    pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengatasi masalah dengan

    anaknya, partisipan berkomunikasi dan melibatkan anaknya untuk mencari jalan keluar

    (negotiation). Partisipan mengambil penyelesaian (instrumental action) dengan

    berpindah rumah sesuai dengan keinginan anaknya. Ia juga berusaha menyesuaikan diri

    dengan lingkungannya dan berusaha mengenal orang-orang sekitarnya hingga

  • 27

    kekhawatirannya tentang pandangan orang sekitar terhadap status barunya sebagai

    seorang janda tidak lagi ada. Partisipan terlihat menggunakan strategi problem-focused

    coping seperti active coping, instrumental action, dan negosiation saat ia merasa

    mampu dan mempunyai tenaga untuk melakukan sesuatu yang berguna. Penemuan ini

    sesuai dengan pernyataan lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) bahwa Individu

    cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi

    dapat diubah. Merasa tidak lagi memiliki tempat untuk bergantung adalah salah satu

    faktor yang membuat partisipan mampu melakukan tindakan-tindakan yang dulu tidak

    dapat dilakukaannya.

    Selain semua usaha tersebut, partisipan juga menyerahkan apa yang terjadi pada

    hidupnya kepada Tuhan (turning to religion). Ia berpikir bahwa Tuhan tidak akan

    memberikan cobaan di luar kemampuannya. Partisipan belajar untuk menerima saja

    semua yang terjadi pada hidupnya, seperti menderita penyakit sejak masih kecil, dan

    harus kehilangan suami di usia yang masih muda. Partisipan merasa kondisi

    kesehatannya saat ini membaik karena ia menerima segala sesuatu yang terjadi pada

    dirinya. Partisipan mengaku merasa menjadi orang yang hebat dan kuat karena dipilih

    Tuhan untuk menjalani kehidupannya yang sekarang. Dalam hal ini, partisipan

    menggunakan emotional-focused coping yaitu penerimaan (acceptance). Cara ini

    nampaknya efektif untuk mengatasi tekanan-tekanan pada diri partisipan.

    Kondisi kesehatan partisipan yang sebenarnya tetap menjadi masalah dalam diri

    partisipan saat ini, namun partisipan kembali lagi melakukan penyangkalan (denial)

    yang ditunjukkan dengan menolak melakukan pemeriksaan fungsi hati untuk

    mengetahui berapa prosentase dari organ hatinya yang masih berfungsi normal.

  • 28

    Partisipan kembali menolak untuk mengetahui kondisi kesehatannya yang sebenarnya

    karena merasa dirinya akan ketakutan dan hal tersebut justru akan membunuhnya.

    KESIMPULAN

    Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa strategi coping yang dilakukan

    oleh partisipan sepanjang hidupnya mempunyai dampak dan efektivitas yang berbeda-

    beda. Seiring berjalannya waktu, partisipan menunjukkan penggunaan coping yang

    positif untuk mengatasi segala tekanan dalam hidupnya. Partisipan akan melakukan

    tindakan langsung yang ia rasa dapat ia lakukan untuk mengatasi masalahnya. Partisipan

    juga tetap menggunakan emotional-focused coping untuk meredakan tekanan karena

    masalah yang tidak dapat ia atasi. Partisipan merasa kondisi kesehatannya akan semakin

    memburuk jika ia memikirkan segala sesuatu terlalu dalam. Partisipan kemudian belajar

    untuk menerima saja apapun yang terjadi dalam hidupnya dan menyerahkan semuanya

    kepada Tuhan. Hal tersebut dirasakan efektif untuk mengatasi tekanannya.

    Meskipun demikian, partisipan tetap melakukan penyangkalan (denial) dan

    avoidance dalam beberapa hal. Menghindari datang ke makam suami, dan menolak

    untuk melakukan pemerikasaan fungsi hati menjadi salah satu hal yang dilakukan

    partisipan sebagai bentuk coping. Dengan tidak melakukan pemeriksaan fungsi hati,

    maka partisipan tidak akan mengetahui kondisi sebenarnya dari penyakitnya saat ini,

    dan tidak dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap resiko penyakit yang lebih

    buruk. Menghindari datang ke makam suami menunjukkan sebenarnya partisipan masih

    mengalami duka cita yang mendalam atas kematian suaminya.

    Melalui penelitian ini, bagi penderita sirosis diharapkan untuk lebih aktif

    menggunakan tindakan-tindakan instrumental dan aktif yang terlihat efektif untuk

  • 29

    mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk meredakan tekanan psikologis

    karena keadaan yang tidak dapat diubah, penderita sirosis hati diharapkan mampu

    menerapkan problem-focused coping seperti menilai kembali keadaan secara positif

    (positive reinterpretation), juga menyerahkan kembali segala sesuatu yang terjadi

    kepada Tuhan (turning to religion), dan akhirnya dapat menerima (acceptance) apa

    yang terjadi pada dirinya.

    Selain itu, dukungan dari orang terdekat dan masyarakat nampaknya juga

    mempunyai pengaruh yang besar untuk memberikan semangat hidup bagi penderita

    sirosis, karenanya diharapkan pada masyarakat dapat memberikan dukungan moral

    kepada penderita sirosis dalam menghadapi penyakit dan segala masalah dalam

    hidupnya. Sebagai orang yang memiliki riwayat penyakit terminal, seseorang

    seharusnya lebih sadar akan pentingnya mengetahui kondisi penyakit yang sebenarnya

    agar dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap resiko penyakit yang terburuk.

    Dalam hal ini, seorang penderita sirosis diharapkan untuk tidak menghindari

    pemeriksaan dan tindakan medis yang diperlukan demi kesehatannya. Selanjutnya,

    mengingat masih adanya kekurangan pada penelitian ini, para peneliti selanjutnya

    diharapkan dapat mengkaji lebih lanjut mengenai coping yang efektif pada seorang

    penderita penyakit terminal dengan kasus yang serupa, dengan menambahkan jumlah

    partisipan agar diperoleh keragaman data yang lebih luas.

  • 30

    Daftar Pustaka

    Carver, C. S., Scheier, M. F., Weintraub, J. K. (1989). Assesing coping strategies: A

    theoritically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56,

    (2) ,pp. 267-283.

    Chamberlain, K., Lyons, A. (2006). Health psychology. Chambridge: Chambridge

    University Press.

    Jeffreys, J. S. (2005). Helping grieving people: When tears aren’t enough. New York:

    Brunner-Routlegde.

    Kastenbaum, R. J. (2007). Death, society, and human experience (9th

    ed.). USA:

    Pearson.

    Kubler-Ross, E. (2005). Encountering death and dying. USA: Chelsea House Publisher

    Lazarus, S., & Folkman, R.S. (1986). Stress, appraisal, and coping. New York:

    Springer

    Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja

    Rosdakarya.

    Nurdjanah, S. (2006). Ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Jakarta: FKUI

    Pamungkas, I. (2008). Dukungan sosial serta dampak-dampak psikologis dan sosial

    yang dialami oleh penderita sirosis. Skripsi yang tidak diterbitkan. Universitas

    Kristen Satya Wacana, Salatiga.

    Rahardjo, M. (2010). Jenis dan metode penelitian kualitatif. Diakses Juli 21, 2012, dari

    http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/215-jenis-dan-metode-penelitian-

    kualitatif.html

    Sarafino, E. P. (2006). Health psychology: Biopsychology interactions. Fifth Edition.

    US: John Wiley & Sons.

    Satiadarma, M. P. (2001) Menyikapi perselingkuhan. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

    http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/215-jenis-dan-metode-penelitian-kualitatif.htmlhttp://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/215-jenis-dan-metode-penelitian-kualitatif.html