Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata
-
Upload
ayu-indria-paramitha -
Category
Documents
-
view
90 -
download
6
description
Transcript of Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata
BAB I
PENDAHULUAN
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati dan merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia.
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% di
Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk negara endemisitas
sedang sampai tinggi. Di negara-negara asia diperkirakan bahwa penyebaran
perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi
HBV yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HbeAg
positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya. Adanya
HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu
mengandung HbsAg positif namun HbeAg negatif, maka daya tularnya rendah.
Prevalensi anti HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia
menunjukkan angka di antara 0.5-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada
hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5-46,4%) menempati
urutan kedua setelah hepatitis A akut (39,8-68,3%) sedang urutan ketiga hepatitis
B (6,4-25,9%).1
Sirosis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandia dengan distorsi
dari arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif. Istilah sirosis hati
diberikan oleh Laennec pada tahun 1819 yang berasal dari kata Khirros yang
berarti warna oranye atau kuning kecoklatan karena perubahan warna pada nodul-
nodul yang terbentuk di permukaan hati pada saat autopsi.
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketifa
pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian.
Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati
merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian
Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama
ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan
saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites,
Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carsinoma. Gejala klinis
dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala
yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus
Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira 30% dari seluruh
populasi penyakit ini, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan
ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya ditemukan saat atopsi.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit infeksi akut yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan
oleh Virus Hepatitis B.1,3,4,5 Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis:
Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu.beberapa kasus berubah
menjadi hepatitis fulminan.
Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan.
2.1.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko
Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia, tetapi distribusi
carier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Di
area dengan prevalensi tinggi seperti Asia Tenggara, Cina, dan Afrika, lebih dari
setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus hepatitis B pada satu saat dalam
kehidupan mereka, dan lebih dari 8% populasi merupakan pengidap kronik virus
ini. Keadaan ini merupakan akibat infeksi VHB yang terjadi pada usia dini.1,5,6
Infeksi VHB yang terjadi pada masa bayi dan anak umumnya tidak
memberikan gejala klinis (asimtomatik), sehingga sering kali tidak diketahui.
Dengan demikian dapat dimengerti bila angka laporan mengenai jumlah pengidap
jauh di bawah angka yang sebenarnya.1,3,4,5,6
Pada bayi dan anak terdapat masalah hepatitis B yang serius karena risiko
untuk terjadinya infeksi hepatitis B kronis berbanding terbalik dengan usia saat
terjadinya infeksi. Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi VHB
sebelum usia 1 tahun mempunyai resiko kronisitas sampai 90%, sedangkan bila
infeksi VHB terjadi pada usia antara 2- 5 tahun risikonya menurun menjadi 50%,
bahkan bila terjadi infeksi pada anak berusia di atas 5 tahun hanya berisiko 5-10%
untuk terjadinya kronisitas.1,5,6
Prevalens HBsAg di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 3-20%,
dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Pada umumnya di luar Jawa angka ini
lebih tinggi. Di Jakarta prevalens HBsAg pada suatu populasi umum adalah 4,1%.
Angka-angka ini sangat tinggi sehingga diperlukan suatu cara untuk
menurunkannya. Pengobatan untuk menghilangkan virus hepatitis B sampai saat
ini belum memuaskan dan hanya dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
criteria yang sangat selektif serta menelan biaya yang cukup tinggi. Cara lain
yang dapat digunakan adalah dengan imunisasi hepatitis B secara universal.
Berdasarkan data di atas, menurut klasifikasi WHO, Indonesia tergolong dalam
Negara dengan prevalens infeksi VHB sedang sampai tinggi, sehingga strategi
yang dianjurkan adalah dengan pemberian vaksin pada bayi sedini mungkin.1,3.4,5
Tingginya angka prevalens hepatitis B di Indonesia terkait dengan terjadinya
infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar pengidap VHB ini diduga
mendapatka infeksi HBV melalui transmisi vertical, sedangkan sebagian lainnya
mendapatkan melalui transmisi horizontal karena kontak erat pada usia dini.
Tingginya angka transmisi vertical dapat diperkirakan dari tingginya angka
pengidap VHB pada ibu hamil pada beberapa rumah sakit di Indonesia. Oleh
sebab itu perlu dilakukan usaha untuk memutuskan rantai penularan sedini
mungkin, dengan cara vaksinasi bahkan bila memungkinkan diberikan juga
imunisasi pasif (HBIg).1,3,5
Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari)
Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi
akut
Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang
menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten
Infeksi persisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis, dan kanker
hati.
HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh
lain
Cara transmisi:
- Melalui darah (penerima produk darah, pasien hemodialisis, pekerja
kesehatan, pekerja yang terpapar darah)
- Transmisi seksual
- Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan
ulang alat medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur,
tato, akupuntur, penggunaan sikat gigi bersama
- Transmisi maternal neonatal
- Tak ada bukti penyebaran fecal-oral
2.1.3 Etiologi
Gambar 1. Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam
family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena
virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk
dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika
Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis
B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak
bersifat sitopatik.1,3,6
Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi
alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan
penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran
42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis
ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.
Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang
sebagian berantai ganda (partially double stranded) dengan bentuk sirkular.
Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah
yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus
yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong berukuran 22 nm, dapat
berbentuk seperti bola atau filament. 1
Gambar 3. Genom Virus Hepatitis B
Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui
adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan.
Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C
(core), X untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan
ORF6) telah dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.1
Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan
pre-C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri
dari 87 nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C
mengkode 212 asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian
pre-S2, pre-S2, dan S, mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226
asam amino. 1,3,4,5
Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen ini
juga berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang
bekerja sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi
virus. Gen ini merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan
protein X VHB (HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga
berperan pada pathogenesis karsinoma hepatoselualar (KHS).1,3,4
Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai
aktivitas replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi
atau dengan metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction
(PRC). DNA-VHB kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons
penyakit terhadap terapi.1.9,10
Gambar 4. Perkembangbiakan Virus Hepatitis B di Hati
Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu dari
beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai sebuah
bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel dengan cara
membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan masuk ke
sel tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus kemudian
membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam
covalently menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu
cetakan (template) untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar,
(adalah lebih panjang dari genom virus), digunakan untuk membuat copy baru
dari genom dan untuk membuat inti capsid protein serta DNA virus polymerase.
Empat catatan virus Ini mengalami pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk
membentuk keturunan virions yang bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta
re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi mengcopy. MRNA lama kemudian
mengangkut kembali ke cytoplasm dimana virion P protein mensintesa DNA
melalui nya kebalikan aktivitas transcriptase.3
2.1.4 Cara Transmisi
Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral)
yang terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal
terjadi dari ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat
antar keluarga/individu. Transmisi perinatal dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis
B (VHB) ke bayi adalah salah satu cara transmisi yang paling serius karena bayi
lahir akan memiliki risiko tertinggi untuk menjadi hepatitis kronis dan dapat
berlanjut menjadi sirosis atau karsinoma hepatoselular. Transmisi vertical ini
dapat terjadi intrauterine (pranatal), saat lahir (intranatal), dan setelah lahir
(pascanatal). Transmisi intrauterine sangat jarang, hanya terjadi pada <2% dari
seluruh kejadian transmisi perinatal. Besarnya risiko transmisi vertical ini sangat
ditentukan oleh status serologi ibu. Bila HBsAg dan HBeAg ibu positif, risiko
transmisi vertical sangat tinggi yaitu sebanyak 70-90%, sementara bila hanya
HBsAg yang positif, risiko transmisi vertical tersebut lebih rendah yaitu 10-67%.
Bila anti HBe ibu positif, berpotensi untuk menimbulkan hepatitis fulminan pada
bayi, walaupun jarang terjadi. 1,3,5
2.1.5 Patogenesis
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatis
yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun.
Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV,
menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting
dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg,
pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan protein
histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk
melisis sel T sitotoksis. 1,5,6
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan
baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein
MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau
beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran
hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang
mengandung virus harus bertahan hidup.1,5,6
Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan
ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang
sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang
mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika,
krioglobulinemia, dan sindrom Guillan Barre yang terkait.1,3
Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan
strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebebkan
kegagalan mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan
hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 1,3
Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme system imun diaktivasi untuk
mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi
peningkatan serum transaminase, dan terbentuk antibody spesifik terhadap protein
HBV, yang terpenting adalah anti-HBs.1
Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons
imun non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera
setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik
diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini men ingkatkan ekspresi HLA
kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga nantinya
memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan
melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC) seperti sel makrofag
atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah VHB. Sel APC ini kemudian
akan mempresentasikan antigen VHB dengan bantuan HLA kelas II pada sel CD4
(sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan membentuk suatu kompleks.
Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk sitokin. Sel CD4 ini mulanya
adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. Diferensiasi
ini tergantung pada adanya sitokin yang mempengaruhinya.1
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan
IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel
hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga
melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi.
Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun yang
dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.1
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan
mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara
non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis
dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK
yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi
resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan
fungsi sel NK ini.1
Perjalanan klinis HBV umumnya dibagi menjadi 4 stadium:1
1. Stadium I
Bersifat imun toleran. Pada neonatus, stadium ini dapat berlangsung hanya 2-4
minggu saja. Pada periode ini, replikasi virus dapat terus berlangsung
walaupun serum ALT hanya sedikit atau bahkan tidak meningkat sama sekali
serta tidak menimbulkan gejala klinis.
2. Stadium II
Mulai muncul respons imun dan berkembang. Hal ini akan mengakibatkan
stimulasi sitokin dan menyebabkan sitolisis hepatosit secara langsung dan
terjadi proses inflamasi. Pada stadium ini HBeAg tetap diproduksi, tetapi
serum DNA-VHB menurun jumlahnya karena sel yang terinfeksi juga
menurun. Pada hepatitis B akut, stadium ini merupakan periode simtomatik
dan umumnya berlangsung selama 3-4 minggu. Pada pasien dengan hepatitis
kronis stadium ini dapat berlangsung selama 10 tahun atau lebih, yang
kemudian akan melanjut sitosis dan komplikasinya.
3. Stadium III
Dimulai ketika pejamu mampu mempertahankan respons imunnya dan
mampu mengeliminasi sel hepatosit yang terinfeksi sehingga sel yang
terinfeksi menurun jumlahnya dan replikasi virus aktif berakhir. Pada stadium
ini tidak terdapat lagi HBeAg dan kemudian muncul antibody terhadap
HBeAg. Penurunan jumlah DNA virus yang bermakna ditemukan walaupun
DNA-VHB pasien tetap positif.
4. Stadium IV HBsAg menghilang dan timbul antibody terhadap HBsAg (anti-HBs).1
Petanda Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV
HbsAg + + + _
Anti-HBs _ _ _ +
DNA-VHB + kuat + _ _
Anti HBc + + + +
HbeAg + + _ _
Anti Hbe _ _ + +
AST&ALT N Meningkat N N
Seorang bayi dengan infeksi perinatal oleh HBV mempunyai predisposisi
untuk mengalami infeksi HBV kronis, karena:1
1. Pada neonatus sistem imunnya belum sempurna.
2. Diduga HBeAg ibu akan melewati barier plasenta dan HBeAg ini
menyebabkan sel T helper tidak responsive terhadap HbcAg.
3. HBeAg pada neonatus yang lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg positif.
4. Adanya IgG anti HBc ibu yang secara pasif masuk dalam sirkulasi bayi akan
menutupi ekspresi HBcAg di permukaasn hepatosit bayi, sehingga akan
mengganggu pengenalan dan penghancuran hepatosit oleh sel T sitotoksik.
2.1.6 Gejala Klinis
Hepatitis B biasanya asimtomatik atau dengan gejala yang ringan saja.
Walaupun demikian infeksi HBV yang terjadi pada masa anak-anak mempunyai
risiko untuk menjadi kronis. Kronisitas terutama terjadi pada anak yang mendapat
infeksi perinatal. Meskipun asimtomatik, sebetulnya tingkat replikasi DNA-VHB
tinggi. Tetapi hal ini tidak berarti infeksi hepatitis B kronis selalu ringan pada
anak-anak karena dapat langsung terjadi KHS.1,3 Pada pemeriksaan fisik,
hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan yang ditemukan.1
Infeksi hepatitis B kronis pada anak yang melanjut sampai dewasa
berhubungan dengan tingginya angka kejadian sirosis dan KHS. Karsinoma
hepatoseluler akibat hepatitis B walaupun jarang ditemukan telah diketahui dapat
terjadi pada anak pengidap hepatitis B kronis. Risiko pengidap VHB untuk
berkembang menjadi KHS 230x lebih besar dibandingkan populasi umum.
Frekuensi tertinggi terjadinya KHS ditemukan pengidap hepatitis B berjenis
kelamin lelaki dengan sirosis. Hubungan KHS dengan VHB pada anak telah
dilaporkan. Walaupun hampir semua kasus KHS yang dilaporkan terjadi pada
anak didahului terjadinya sirosis, tetapi adanya kasus yang tanpa sirosis mengarah
pada kesimpulan bahwa integrasi genom VHB mungkin bersifat onkogenik.4,5,6
Walaupun umumnya infeksi hepatitis B bersifat asimtomatik, tetapi pada
sebagian kecil kasus dapat terjadi hepatitis fulminan. Bila sudah hepatitis
fulminan, umumnya bersifat fatal. Hepatitis fulminan pada bayi berhubungan erat
dengan ibu pengidap dengan HBeAg negative dan anti-HBe positif. Selain itu
terdapat hubungan adanya mutan pre-core dengan gejala infeksi hepatitiS B yang
berat, termasuk hepatitis fulminan.1,3
Gambar 5. Keadaan Hati pada Hepatitis yang Menjadi Kronis
Diperkirakan akibat ketidakhadiran HBeAg di dalam serum menyebabkan
virus tidak mampu membuat respons imun untuk toleran terhadap VHB. Mutasi
pada daerah pre-core merupakan cara virus untuk melepaskan diri terhadap
tekanan respons imun. Adanya antibody terhadap HBeAg (anti-HBe) mendahului
timbulnya stop codon pre-core, sehingga tidak mengherankan bahwa sekuens pre-
core tipe wild dapat ditemukan bila terdapat anti-HBe.1,3
Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar virus.
Awalnya gejala seperti flu biasa. Gejala-gejala yang muncul antara lain:
- Kehilangan nafsu makan
- Cepat lelah
- Mual dan muntah
- Gatal seluruh tubuh
- Nyeri abdomen kanan atas
- Kuning, kulit dan atau sklera
- Warna urin seperti teh atau cola
- Warna feses lebih pucat
Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk akut,
dengan gejala:
- Ketidakseimbangan mental seperti : bingung, lethargy, halusinasi (hepatic
encephalopati)
- Kolaps mendadak disertai keadaan sangat lemah
- Jaundice
- Pembengkakan abdomen
Gagal hati, dengan gejala:
- Asites
- Jaundice yang persisten
- Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan
- Muntah disertai darah
- Perdarahan pada hidung, mulut, anus, atau keluar bersama feses
2.1.7 Diagnosis
Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya 2
pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang
muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang terinfeksi; kenaikannya
sangat bertepatan dengan mulainya gejala. HBeAg sering muncul selama fase
akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius. Karena kadar HBsAg turun
sebelum akhir gejala, antibody IgM terhadap antigen core hepatitis B (IgM anti
HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan menetap selama
beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap selama
beberapa tahun. IgM anti-HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi HBV perinatal.
Anti-HBcAg adalah satu pertanda serologis infeksi HBV akut yang paling
berharga karena ia muncul hampir seawal HBsAg dan terus kemudian dalam
perjalanan penyakit bila HBsAg telah menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada
pada orang-orang yang diimunisasi dengan vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg
dan anti-HBcAg terdeteksi pada orang dengan infeksi yang sembuh.1,3,4,5
Diagnosis Infeksi pada Hepatitis B11
2.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan
prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode
simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak efektif.
Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada hepatitis fulminan
akibat eksaserbasi akut HVB. 1,3,4,5,6
Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan
menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan
terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-
DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan terjadi pula serokonversi HBsAg
menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma hepatoseluler dapat dicegah.
Berdasarkan rekomendasi APASL (Asia Pacific Association for Study of the
Liver), anak dengan HBV dipertimbangkan untuk mendapat terapi antiviral bila
nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas normal selama lebih dari 6 bulan, terdapat
replikasi aktif (HBeAg dan/atau HBV-DNA positif). Sebaiknya biopsi hati
dilakukan sebelum memulai pengobatan untuk mengetahui derajat kerusakan hati.
Interferon dan lamivudin telah disetujui untuk digunakan pada terapi hepatitis B
kronis. Bila hanya memakai interferon (dosis 5-10 MU/m2, subkutan 3x/minggu)
dianjurkan diberikan selama 4-6 bulan, sedangkan bila hanya digunakan
lamivudin tersendiri diberikan paling sedikit selama 1 tahun atau paling sedikit 6
bulan bila telah terjadi konversi HBeAg menjadi anti HBe. 1,3,4,5,6
Faktor yang berpengaruh pada respon pengobatan adalah:
1. Faktor genetik
2. Adanya strain mutan
3. Transmisi vertikal
4. Lamanya infeksi singkat
5. Nilai transaminase basal
6. Level HBV-DNA rendah
7. Nilai alanin aminotransferase basal tinggi
8. Didapat pada dewasa
9. Imunokompeten
10. Tipe wild (HBeAg positif)
11. Penyakit hati kompensasi
2.1.8 Diagnosa Banding
Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi α1-
antitrypsin, tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau
gangguan metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak.
Penyebab lain dari hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilson’s,
hepatitis autoimun, dan pengobatan yang hepatotoksik.1,5
2.1.9 Komplikasi
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus
hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi
bersama atau superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar
dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif; perawatan
pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita sementara memberi
waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu-satunya pilihan
lain.1,3,6
Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat
menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa-2b
tersedia untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur 18 tahun
atau lebih dengan penyakit hati kompensata dan replikasi HBV. Glomerulonefritis
membranosa dengan pengendapan komplemen dan HBeAg pada kapiler
glomerulus merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang. 1,3,6
2.1.10 Pencegahan
Dasar utama imunoprofilaksis adalah pemberian vaksin hepatitis B sebelum
paparan.
1. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan
a. Vaksin rekombinan ragi
1) Mengandung HbsAg sebagai imunogen
2) Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HbsAg
pada > 95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3
dosis
3) Efektivitas sebesar 85-95% dalam mencegah infeksi HBV
4) Booster tidak direkomendasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi
awal
5) Booster hanya untuk individu dengan imunokompromais jika titer
dibawah 10mU/mL
b. Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa
untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak
(1/2 dosis dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian
c. Indikasi
1) Imunisasi universal untuk bayi baru lahir
2) Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun, bila belum
divaksinasi
3) Grup resiko tinggi: pasangan dan anggota keluarga yang kontak
dengan karier hepatitis B
2. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan (vaksin hepatitis B dan imunoglobulin
hepatitis B (HBIG).
a. Dosis 0,04-0,07mL/kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan
b. Vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada
deltoid sisi lain
c. Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian.
d. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HbsAg positif :
1) 0,5 ml HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di bagian
anterolateral otot paha atas.
2) Vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam
pada sisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan.1,3
3. Imunisasi Pada Bayi
Imunisasi bayi universal dengan vaksin hepatitis B sekarang dianjurkan oleh
American Academy of Pediatrics (AAP) dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat
AS karena strategi selektif telah gagal untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat infeksi VHB. Masa neonatus telah dijadikan sasaran karena lebih dari 90%
bayi yang mendapat infeksi perinatal akan menjadi pengidap kronis. Risiko
mendapat status pengidap kronis berkurang menurut umur; 50% anak yang lebih
tua dan 10% orang dewasa yang menjadi pengidap kronis. Dua vaksinDNA
rekombinan tersedia di Amerika Serikat; keduanya telah terbukti sangat
imunogenik pada anak. Vaksin yang berasal dari plasma asli sama imunogeniknya
tetapi tidak dibuat lagi di AS.5
Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang HBsAg positif harus mendapat
vaksin pada saat lahir, umur 1 bulan dan 6 bulan. Dosis pertama harus disertai
dengan pemberian 0,5 ml immunoglobulin hepatitis B (IGHB) sesegera mungkin
sesudah lahir karena efektivitasnya berkurang dengan cepat dengan bertambahnya
waktu sesudah lahir.
Upaya pencegahan umum terhadap HBV yang seyogianya dilakukan pula
adalah:6
a. Uji tapis donor darah terhadap HBV
b. Sterilisasi alat operasi, alat suntik, peralatan gigi
c. Penggunaan sarung tangan oleh tenaga medis
d. Mencegah kemungkinan terjadinya mikrolesi yang dapat menjadi tempat
masuknya virus, seperti pemakaian sikat gigi, sisir, alat pencukur rambut
pribadi
e. Untuk mencegah transmisi vertical, semua ibu hamil terutama yang berisiko
terinfeksi HBV sebaiknya dianjurkan untuk diperiksa terhadap HBV.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada awal dan trisemester ketiga
kehamilan.
2.2 Sirosis Hepatis
Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari
kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis adalah penyakit hepar menahun
difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul yang
mengelilingi parenkim hepar.9,12
Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala
sampai dengan gejala yang sangat jelas. Gejala patologik dari sirosis hepatis
mencerminkan proses yang telah berlangsung lama dalam parenkim hepar dan
mencakup proses fibrosis yang berkaitan dengan pembentukan nodul-nodul
regeneratif. Kerusakan dari sel-sel hepar dapat menyebabkan ikterus, edema,
koagulopati, dan kelainan metabolik lainnya.9,13
Secara lengkap, sirosis hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi
mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hepar
mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat
(fibrosis) di sekitar parenkim hepar yang mengalami regenerasi.9
2.2.1 Insidens dan Epidemiologi
Insidensi sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik dan
infeksi virus kronik. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya
laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat
di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun pada tahun 2004. Di
Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819
(4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.14
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika
dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.1
2.2.2 Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis
adalah virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang
tidak diketahui(10-20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara
lain:9,14
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik :
a. Hemokromatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alpha l-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia
4. Kolestasis
5. Gangguan imunitas ( hepatitis lupoid )
6. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-
lain)
7. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)
8. Kriptogenik
9. Sumbatan saluran vena hepatika
2.2.3 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-,1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang sangat kompleks.15 Hepar menempati daerah hipokondrium kanan
tetapi lobus kiri dari hepar meluas sampai ke epigastrium. Hepar berbatasan
dengan diafragma pada bagian superior dan bagian inferior hepar mengikuti
bentuk dari batas kosta kanan. Hepar secara anatomis terdiri dari lobus kanan
yang berukuran lebih besar dan lobus kiri yang berukuran lebih kecil. Lobus
kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiforme16. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar17. Pada daerah antara ligamentum
falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus
kuadratus dan lobus kaudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan
ligamentum venosum pada permukaan posterior16. Permukaan hepar diliputi oleh
peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat
langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum
membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat
yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ ;
bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka
untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis
adalah fisura pada hepar tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta
tempat keluarnya duktus hepatika15.
Gambar 6. Anatomi hepar9
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika
keluar dari aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk
ke hepar membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena
akan keluar sebagai vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari
hepar ke vena kava inferior. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena
mesenterika superior, mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini
mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh
limpa dan usus. Darah yang berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel
hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler
hepatika. Pembuluh darah halus yang berjalan di antara lobulus hepar disebut
vena interlobular17.
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari saluran
cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem arteri.
Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang lebih
kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik lamina hepatika.
Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah
masing-masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-prmbuluh ini
menbawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi yang
telah dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi.
Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis.
Anterior ini menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara
lobules yang berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid
hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis17.
Gambar 7. Pembuluh darah pada hepar18
Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,
sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang
bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium,
sel Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang15. Hepatosit sendiri
dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen vena hepatika dan
ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri hepatica dan vena
porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara
bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan
jaringan terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan langsung
dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada
sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat
permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan
penghubungan dan desmosom yang saling bertautan dengan disebelahnya15.
Gambar 8. Histologi hepar18
Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari
hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam
dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting
dalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau
perisit) yang memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan
aliran darah sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan
kerusakan hepar. Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor
kunci pembentukan fibrosis di hepar15.
2.2.4 Fisiologi Hepar
Hepar adalah suatu organ besar, dapat meluas, dan organ venosa yang
mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna di saat
volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan
volume darah. Selain itu, hepar juga merupakan suatu kumpulan besar sel reaktan
kimia dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan
energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan
mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan
berbagai fungsi metabolisme lain.16 Fungsi metabolisme yang dilakukan oleh
hepar adalah20:
a. Metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan
fungsi sebagai berikut :
1) Menyimpan glikogen dalam jumlah besar
2) Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
3) Glukoneogenesis
4) Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat
Hepar terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah
normal. Penyimpanan glikogen memungkinkan hepar mengambil kelebihan
glukosa dari darah, menyimpannya, dan kemudian mengembalikannya
kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah rendah. Fungsi ini disebut
fungsi penyangga glukosa hepar.
b. Metabolisme lemak. Beberapa fungsi spesifik hepar dalam metabolisme
lemak antara lain :
1) Oksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh yang lain
2) Sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein
3) Sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
Hepar berperan pada sebagian besar metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen
kolesterol yang disintesis didalam hepar diubah menjadi garam empedu yang
kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut dalam
lipoprotein dan dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid
juga disintesis di hepar dan ditranspor dalam lipoprotein. Keduanya digunakan
oleh sel untuk membentuk membran, struktur intrasel, dan bermacam-macam
zat kimia yang penting untuk fungsi sel.
c. Metabolisme protein. Fungsi hepar yang paling penting dalam metabolisme
protein adalah sebagai berikut :
1) Deaminasi asam amino
2) Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan tubuh
3) Pembentukan protein plasma
4) Interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam
amino
Diantara fungsi hepar yang paling penting adalah kemampuan hepar untuk
membentuk asam amino tertentu dan juga membentuk senyawa kimia lain
yang penting dari asam amino. Untuk itu, mula-mula dibentuk asam keto yang
mempunyai komposisi kimia yang sama dengan asam amino yang akan
dibentuk. Kemudian suatu radikal amino ditransfer melalui beberapa tahap
transaminasi dari asam amino yang tersedia ke asam keto untuk menggantikan
oksigen keto.
d. Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin. Hepar mempunyai
kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin dan telah lama diketahui
sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada pengobatan pasien. Vitamin
yang paling banyak disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah
besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan secara normal
e. Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Sel hepar mengandung sejumlah
besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik
dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak
tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin
membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hepar sampai
diperlukan.
Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang
rendah. Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid
hepar setiap menit, dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari
arteri hepatika dengan total rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27 persen
dari sisa jantung. Rata-rata tekanan di dalam vena porta yang mengalir ke dalam
hepar adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam vena hepatika yang
mengalir dari hepar ke vena cava normalnya hampir tepat 0 mmHg. Hal ini
menunjukkan bahwa tahanan aliran darah melalui sinusoid hepar normalnya
sangat rendah namun memiliki aliran darah yang tinggi. Namun, jika sel-sel
parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa yang
akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh darah, sehingga sangat
menghambat darah porta melalui hepar. Proses penyakit ini disebut sirosis
hepatis, Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar
yang berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta
tiba-tiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system aliran
darah porta hepar ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan
hipertensi portal.20
2.2.5 Patofisiologi
Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat.
Meskipun terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama
lainnya adalah hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi.
Tahap akhir penyakit kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :21
a. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar yang
menggantikan lobulus.
b. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran
bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul) hingga besar
(garis tengah beberapa sentimeter, makronodul).
c. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian
sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya
berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor.
Sebagai respons terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan
regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis,
hepar normal mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran
porta, sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis,
kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua
bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi
pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini
pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang dengan
pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi,
beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein
antara hepatosit dan plasma sangat terganggu.21,22
2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis,
yaitu:10,14
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang
terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas:10,14
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada
saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.
2.2.7 Diagnosis
a. Gambaran Klinik
Stadium awal sirosis hepatis sering tanpa gejala sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau
karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis hepatis meliputi:14
1) perasaan mudah lelah dan lemah
2) selera makan berkurang
3) perasaaan perut kembung
4) mual
5) berat badan menurun
6) pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar, dan hilangnya dorongan seksualitas.
Stadium lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hepar dan hipertensi portal,
meliputi:13
1) hilangnya rambut badan
2) gangguan tidur
3) demam tidak begitu tinggi
4) adanya gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh
pekat, muntah darah atau melena, serta perubahan mental, meliputi
mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain:14
1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau
ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST
lebih meningkat disbanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak
mengeyampingkan adanya sirosis.
2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier primer.
3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP.
Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi
karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit.
4) Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya
menginduksi immunoglobulin.
6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor koagulan
akibat sirosis
7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
8) Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan
hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
1) Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi
porta
2) USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk
melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran
vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada
pasien sirosis.
2.2.8 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut
berbagai macam komplikasi sirosis hati:14
a. Hipertensi Portal
b. Asites
c. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder
intra abdominal. Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam
d. Varises esophagus dan hemoroid. Varises esophagus merupakan salah satu
manifestasi hipertensi porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien
sirosis dengan varises esophagus pecah menimbulkan perdarahan
e. Ensefalopati Hepatik. Rnsefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri
akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut
sampai gangguan kesadaran dan koma. Ensefalopati hepatic terjadi karena
kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan
sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh
karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan asupan
protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan alkalosis.23 Berikut pembagian
stadium ensefalopati hepatikum :
Pembagian stadium ensefalopati hepatikum23
Stadium Manifestasi Klinis
0 Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya ingat,
konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.
1 Gangguan pola tidur
2 Letargi
3 Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia
4 Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang nyeri.
f. Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi
ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya
kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan
perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.
2.2.9 Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien
sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi progresi kerusakan
hati.
a. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
1) Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik
2) Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
3) Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
4) Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
5) Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
6) Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama satu tahun.
Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1 minggu
selama 4-6 bulan.
7) Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan dengann dosis 5 MIU,
3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam penelitian.
b. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
1) Asites
a) Tirah baring
b) Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
c) Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau
1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian spironolakton
tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari
(dosis max.160 mg/hari)
d) Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti
dengan pemberian albumin.
2) Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis dapat diberikan
norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
3) Varises Esofagus
a) Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta
(propanolol)
b) Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi
4) Ensefalopati Hepatik
a) Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
b) Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
c) Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya
asam amino rantai cabang
5) Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh
karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian utama
berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi
cairan yang berlebihan.
2.2.10 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai prognosis pasien
sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin,
albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi. Klasifikasi Child-
Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup
selama satu tahun untuk pasien dengan Child A,B, dan C berturut-turut
100%,80%, dan 45%.13
Klasifikasi Modifikasi Child-Pugh15
2.3 Sindrom Hepatorenal
2.3.1 Definisi
Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsional ginjal reversibel
yang terjadi pada seseorang dengan sirosis hati lanjut atau kegagalan hati
fulminan.24 Sindrom hepatorenal ditandai dengan berkurangnya laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan aliran plasma renal (RPF) tanpa adanya penyebab lain
dari disfungsi ginjal.24,25 Sindrom hepatorenal bersifat fungsional dan
progresif. Sindrom hepatorenal merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre
renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya
perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memper- baiki gangguan
fungsi ginjal ini.26,37
Berdasarkan International Ascites Club, sindrom hepatorenal adalah
sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronis dan kegagalan hati
lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan
abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas sistem vasoaktif
endogen.28
2.3.2 Patogenesis dan Patofisiologi
Sindrom Hepatorenal (SHR) merupakan salah satu komplikasi sirosis
hepatis. Karakteristik khas pada SHR adalah vasokonstriksi yang kuat dari
sirkulasi ginjal namun disertai pengurangan pengisian arteri sistemik yang
disebabkan oleh vasodilatasi arteri pada sirkulasi splanik.25,29 Mekanisme yang
mendasari SHR belum sepenuhnya dipahami, namun mungkin men- cakup
peningkatan faktor vasokonstriktor dan penurunan vasodilator pada sirkulasi
ginjal.24 Ada tiga faktor dominan yang terlibat dalam patogenesis SHR, yaitu:,28
a. Perubahan hemodinamik dimana terjadi vasodilatasi arteri perifer yang luas
dengan sirkulasi hiperdinamik dan vasokonstriksi sirkulasi ginjal.
b. Stimulasi sistem saraf simpatis ginjal.
c. Peningkatan sintesis humoral dan mediator vasoaktif ginjal.
Selain itu, ada tiga teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang
timbul pada penderita SHR, yaitu:
a. Hepatorenal Refleks
Teori ini berdasarkan percobaan binatang yang memperlihatkan bahwa
peningkatan tekanan intrahepatik menyebabkan peningkatan aktivitas
simpatoadrenal ginjal yang disertai dengan penurunan perfusi ginjal dan laju
filtrasi glomerular (GFR), serta peningkatan reabsorpsi natrium dan air.
Studi ini mendukung adanya refleks hepatorenal, yang mungkin da- pat
diaktivasi melalui reseptor adenosine seperti pada binatang. Pembe- rian
adenosine receptor antagonist dapat mencegah peningkatan retensi natrium
dan air setelah penurunan aliran darah vena portal.27 Meskipun demikian,
masih didebatkan apakah refleks heepatorenal juga ditemukan pada
manusia.
b. Teori Vasodilatasi Arteri
Patofisiologi yang sesuai dengan perubahan fungsi ginjal dan sirkulasi
dalam SHR adalah vasodilatasi arterial. Pasien dengan SHR ditandai dengan
vasodilatasi splanikus yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular
sistemik dan penurunan volume efektif arterial, yang selanjut- nya
menginduksi sistem neurohumoral, sistem saraf simpatis dan sistem renin-
angiotensin-aldosteron.35,27,29 Aktivasi dari sistem vasokonstriktor tersebut
akan menyebabkan hipoperfusi ginjal, penurunan GFR, dan retensi
natrium (sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis) serta
air (arginine vasopressin) yang terjadi pada sirosis hepatis tahap lanjut.27,30
Pada pasien dengan sirosis dan asites, konsentrasi nitrit dan nitrat serum
menunjukkan peningkatan. Nitrit oksida (NO) merupakan vasodilator dan
pada pasien dengan SHR terjadi peningkatan produksi NO endogen oleh
endothelium pada arteri splanik.29 Hal inilah yang diduga menye- babkan
sirkulasi splanikus terhindar dari efek vasokonstriktor karena adanya
rangsangan vasodilator lokal yang kuat.24,29,31
c. Vasokonstriksi Renal
Pada fase awal dari sirosis hepatis dekompensata, perfusi ginjal masih dapat
dipelihara dalam batas normal, karena adanya peningkatan sintesis dari
faktor-faktor vasodilatasi. Akan tetapi, pada fase lanjut, perfusi gin- jal tidak
dapat dipelihara lagi karena adanya vasodilatasi sistemik yang luar biasa
dan penurunan volume efektif arterial. Penurunan volume efektif arterial ini
dapat menyebabkan aktivasi progresif dari mediator baroreseptor dan
vasokonstriktor disertai dengan penurunan produksi vasodilator renal.28,31
Gambar 2. Patogenesis Sindroma Hepatorenal 27
Seperti penjelasan sebelumnya, pada pasien sindrom hepatorenal
ditemukan vasokonstriksi ginjal reversibel dan hipotensi sistemik. Penyebab
utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi
kemungkinan melibatkan banyak faktor antara lain perubahan sistem
hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor
dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal.27
a. Faktor Vasokonstriktor
Sistem renin – angiotension dan sistem saraf simpatis merupakan mediator
utama yang mempunyai efek vasokonstriksi sirkulasi ginjal pada sindrom
hepatorenal.27 Aktifitas dari sistem vasokonstriksi ini meningkat pada penderita
dengan sirosis dan asites, terutama penderita dengan sindrom hepatorenal dan
berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.27,29,30
Selain itu, penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan SHR
menunjukkan bahwa konsentrasi plasma endothelin-1 meningkat. Endothelin-1
merupakan salah satu substansi vasokonstriktor ginjal. Peningkatan level
endothelin-1 mungkin berkontribusi pada vasokonstriksi ginjal. Hipotesis ini juga
didukung dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pemberian
antagonis reseptor endotelin menginduksi peningkatan GFR pada pasien SHR.27
Cysteinyl leukotriene (leukotrien C4 dan D4) merupakan vasokonstriktor
ginjal yang poten dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial secara in vitro.
Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan cysteinyl leukotrien
pada SHR.29 Tromboxane A2 juga memberikan kontribusi pada vasokonstriksi
sirkulasi ginjal dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial pada SHR.29
Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostanes dapat juga
sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal
dalam SHR tapi mekanismenya masih belum diketahui 27
b. Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada hewan
memperlihatkan bahwa sintesa faktor vasodilator lokal pada ginjal memainkan
peran yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal den- gan melindungi
sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokon- striktor. Mekanisme
vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs).27,29
Bukti yang paling kuat menyokong peran PGs ginjal dalam memper-
tahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan asites diperoleh dari penelitian yang
menggunakan obat NSAIDs untuk menghambat pembentukan prostaglandin
ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis
hati dengan asites menyebabkan penurunan yang nya- ta dalam aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR
pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata.27,29
c. Sistem saraf simpatis
Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini
telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi
katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk menga- mati
vasokonstriksi pada arteriol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah
ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.27
Gambar 5. Patofisiologi Mekanisme dari Sindrom Hepatorenal Renal VD, renal
vasodilation; Renal VC, renal vasoconstriction; SNS, sympathetic nervous
system24
2.3.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai dengan
kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal
dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi
natrium dan air, yang menimbulkan asites, edema dan dilutional hyponatremia,
yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan pen- gurangan
kemampuan buang air (oliguri–anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat
ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan
penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik.27 Pada pasien sirosis
hepatis, 80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai ensefalopati hepatic, dan
40% disertai ikterus.25
Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada Sindrom
Hepatorenal diantaranya adalah penignkatan cardiac output, tekanan arterial
menurun, total tahanan pembuluh darah sistemik menurun, total volume darah
meninggi, aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi, tekanan portal meninggi,
portosystemic Shunt,t ekanan pembuluh darah splanik menurun, tekanan
pembuluh darah ginjal meninggi, tekanan arteri brachial dan femoral meninggi,
tahanan pembuluh darah otak meninggi.
Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:
a. Sindroma Hepatorenal tipe I
Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan
serum kreatinin dua kali lipat.3 Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan
progresif dari BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai
kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%,
keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.26,27 Gagal ginjal sering
dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi natrium dan
hiponatremi.27
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat
dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati.27,29
Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis
alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah
kasus Sindroma Hepatorenal tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi
yang diketahui, kadang- kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab
akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi, seperti
infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis. Peritonitis Bakteri
Spontan (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal.
b. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Merupakan bentuk kronis SHR.26 Tipe II SHR ini ditandai dengan
penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50
mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR
biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi
pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita
dengan kondisi ini lebih panjang dari pada Sindroma Hepatorenal tipe I.26,28,29
2.3.4 Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik sindrom hepatorenal.
Diagnosis SHR selalu dibuat setelah eksklusi gangguan-gangguan lain yang dapat
menyebabkan gagal ginjal pada pasien sirosis.31 Kriteria diagnostik yang dianut
sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of
Hepatorenal Syndrome.
a. Kriteria Mayor
1) Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi
portal.
2) GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 µmol/L) atau kreatinin klirens
24 jam < 40 ml/mnt.
3) Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan
dan mendapat obat nefrotoksik.
4) Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander
1,5 liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
pen- ingkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt).
5) Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau
penyakit- parenkim ginjal secara ultrasonografi
b. Kriteria Tambahan
1) Volume urin < 500 ml / hari
2) Natrium urin < 10 meg/liter
3) Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4) Eritrosit urin < 50 /lpb
5) Natrium serum <130 mEq/liter
Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnose Sindroma
Hepatorenal, sedangkan criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnose
Sindroma Hepatorenal.
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati
bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa
keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan
Pseudohepatorenal Syndrome. Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu
keadaaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati
yang tidak ada hubungan satu sama lain. Beberapa penyeebab Pseudohepatorenal
Syndrome adalah:26
1) Penyakit congenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati
2) Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit Wilson
3) Penyakit sistemik, misalnya SLE, arthritis rheumatoid, sarkoidosis
4) Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis virus, dan lain-
lain
5) Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisiensi jantung
6) Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka
bakar, dan lain-lain
7) Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamid,
parasetamol, tetrasiklin, iproniazid
8) Tumor, misalnya hipernefroma, metastasis
9) Eksperimenta, misalnya defisiensi kolin, dan lain-lain
BAB III
PENYAJIAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. J
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : -
Alamat : Tepuai
Pasien masuk melalui IGD dan dirawat di Ruangan Isolasi sejak tanggal 30
Desembar 2013.
B. ANAMNESIS
1) Keluhan Utama
Sesak napas
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Tiga tahun yang lalu pasien mengeluh demam hilang timbul
kemudian diikuti kuning pada mata dan kulit disertai mual, BAK
bewarna seperti air teh dengan frekuensi dan jumlah tidak berubah
sebelum sakit. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan diagnosisoleh
dokter sakit kuning kemudian diobati dan gejala hilang. Pasien tidak
pernah kontrol kembali.
Satu tahun perut pertama kali mulai membesar. Pasien tidak pergi
berobat. Perut semakin membesar 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
diikuti dengan bengkak pada kedua tungkai kaki. Semakin lama perut
terasa semakin penuh hingga terasa sesak jika berbaring. Sesak tidak
dipengaruhi oleh aktivitas. BAK berwarna seperti air teh dengan jumlah
sembab pada wajah (-), sedikit, nyeri saat berkemih (-),BAK berpasir (-),
darah (-). BAB konsistensi cair berwarna hitam sebanyak 1x, darah segar
(-), lendir (-), ampas (-). Pasien juga merasakan mual, namun tidak
muntah. Riwayat nyeri dada, batuk, demam, muntah, badan atau mata
menguning disangkal.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit perut terasa semakin penuh
sehingga sesak napas memberat dan badan terasa lemah. Sesak tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, keluhan tidak disertai nyeri dada, batuk,
gangguan BAB/BAK, demam, mual atau muntah. Pasien kemudian
berobat ke RSDS.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat sakit kuning 3 tahun yang lalu dan diobati
oleh dokter, minum obat dan keluhan hilang. Riwayat operasi batu ginjal
pada tahun 1990. Riwayat sakit jantung, kencing manis, sakit paru,
bengkak pada wajah disangkal.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa. Riwayat
anggota keluarga yang menderita sakit kuning, tekanan darah tinggi, dan
kencing manis disangkal.
5) Riwayat Kebiasaan, Sosial-Ekonomi
Riwayat konsumsi alkohol 20 tahun yang lalu, riwayat konsumsi
obat-obatan dan jamu-jamuan yang lama disangkal. Riwayat merokok
saat muda.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1) Status Generalis
Keadaan umum : WHO performance status grade 3
Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 kali/menit; reguler
Frekuensi napas : 25 kali/menit
Suhu : 36,5°C
2) Pemeriksaan Organ
Kulit : warna sawo matang, anemis (+), ikterik (-)
Kepala : normosefali
Rambut : rambut hitam, terdistribusi rata, tidak mudah
dicabut
Mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)
edem palpebra (-/-)
Telinga : sekret (-/-) nyeri tekan (-)
Hidung : sekret (-/-) deviasi septum (-)
Tenggorokan : hiperemi faring (-), tonsil T1//T1
Gigi dan Mulut : gigi lengkap, stomatitis (-)
Leher : distensi vena jugular (-); JVP 5+2 cmH2O
Dada : simetris, spider nevi (+)
Paru
Inspeksi : statis : simetris ; dinamis : dada tidak tertinggal
Palpasi : fremitus taktil kanan < kiri
Perkusi : Paru kanan: redup pada SIC V
Paru kiri: sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler, melemah pada paru
kanan rh(-/-) wh (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tampak pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Palpasi : iktus kordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi : batas kanan jantung SIC V linea parasternalis
dextra
batas kiri jantung SIC V 1 linea midclavicula
sinistra
pinggang jantung SIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II, reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi : perut membuncit, venektasi (+), caput medusa (+)
Auskultasi : BU sulit dinilai, bruit (-)
Palpasi : distensi (+), hepar dan lien sulit diraba, undulasi
(+)
Perkusi : redup, shifting dullness (+)
Alat Kelamin & Anus: pembesaran pada scrotum sinistra
Anggota Gerak : pitting edema pada ekstremitas atas dan bawah
KGB : tidak teraba pembesaran KGB
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 30 Desember 2013
WBC : 6,6 K/ul
RBC : 2,66 M/ul
HGB : 8,5 g/dl
HT : 23,2%
MCV : 87,4 fl
MCHC : 36,6 ng
PLT : 58 K/ul
Ureum : 94,5 mg/dl
Kreatinin : 1,3 mg/dl
GDS : 79 mg/dl
Albumin : 1,8 gr/dl
SGOT : 56,8 mg/dl
SGPT : 40,3 mg/dl
Bilirubin total : 0,3 mg/dl
Bilirubin direk : 0,1 mg/dl
HbsAg : reaktif
Anti-Hcv : non-reaktif
E. DIAGNOSIS
- Sirosis Hepatis dekompensata
- Hepatitis B
- Sindrom Hepatorenal
F. DIAGNOSIS BANDING
- Congestive heart failure
- Chronic kidney disease
G. TATA LAKSANA
Non medikamentosa
1) Tirah baring
2) Diet lunak, rendah garam, restriksi cairan, diet protein 1g/kgBB, dan
kalori 2000-3000 kkal/hari
3) Pemasangan kateter Foley 16”
4) Pemasangan akses IV
Medikamentosa
1) IVFD ringer asetat 10 tpm
2) Aminofusin hepar 50gr/hari, 45 tpm
3) Spironolactone tablet 2 x 100 mg p.o
H. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN
1) Parasentesis diagnosis
2) Pemeriksaan IgG anti-HBc, HbeAg, HBV DNA
3) Foto toraks PA
4) Endoskopi
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
J. FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assessment Plan
31-12-2013 Sesak, kaki, dan perut bengkak, mual, muntah (-), BAB hitam
Kes: compos mentisTD: 130/80mmHgHR: 16x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CCor: S1S2 murmur (-) gallop (-).Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri.Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 107 cm, BU sulit dinilai, hepar lien sulit teraba.Alat Ekstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawah.BB: 53 kg
Dx: Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Transfusi WBC 2 kolf- Inj dexametason 1 amp- Spironolactone tab
2x100mg
USG Abdomen
1-1-2014 Sesak↓, kaki dan perut bengkak, nyeri perut, mual (+), muntah (-), BAB (+) encer warna kuning
Kes: compos mentisTD: 110/80mmHgHR: 80x/m, regulerRR: 16x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 107 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 53 kg
Dx: Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab
2x100mg
2-1-2014 Nyeri perut (+), perut memberat, sesak (+), mual (+), muntah (+), 1 kali terdiri makanan , perut terasa penuh, BAB (+) normal, BAK sedikit-sedikit warna putih.
Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 107 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 51 kg
Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab
2x100mg
3-1-2014 Nyeri perut (+), sesak (+), mual (-), muntah (-),
Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg
Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab
2x100mg
4-1-2014 Sesak(-), kaki tangan, dan perut bengkak
Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg
Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab
2x100mg
USG abdomen:- Asites (+)- Hipertensi porta- Sirosis hati
5-1-2014 Sesak(-), kaki tangan, dan perut bengkak
Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg
Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab
2x100mg
6-1-2014 Sesak(-), Kes: compos mentis Dx:
kaki tangan, dan perut bengkak
TD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg
Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10
tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab
2x100mg
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sesak napas dan perut yamg
membesar. Perut membesar sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Pembengkakan
pada perut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya dipengaruhi oleh
peningkatan tekanan intrakapiler, penurunan tekanan onkotik plasma
intravaskuler, dan retensi cairan. Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam
rongga peritoneum. Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen.
Penimbunan cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan napas pendek karena
diafragma terdorong. Dengan semakin banyaknya penimbunan cairan peritoneum,
dapat dijumpai cairan lebih dari 500 ml pada saat pemeriksaan fisik dengan pekak
alih, gelombang cairan, dan perut yang membengkak.
Hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh perut membesar yang terasa
penuh dan sesak napas yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas, keluhan tidak
disertai nyeri dada, batuk, gangguan BAB/BAK, demam, mual atau muntah.
Pasien kemudian berobat ke RSDS. Pasien pernah mengalami BAB hitam eperti
ter dan cair sebanyak satu kali ± 1 bulan yang lalus.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya konjungtiva anemis,
asites, spider nevi pada dada atas, venektasi vena (caput medusa), ginekomastia,
redup pada perkusi paru kanan dimulai pada SIC V dan penurunan suara napas
dasar, dan edema perifer pada kedua tungkai kaki. Pada pemeriksaan laboratorium
pasien ini ditemukan adanya anemia, trombositopenia, peningkatan kadar SGOT,
penurunan kadar albumin, dan HBsAg reaktif.
Berdasarkan manifestasi klinis, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium pasien ini didiagnosis kerja sebagai sirosis hepatis dan hepatitis B.
Diagnosis sirosis ditegakan dengan kriteria Soebandiri yaitu asites, splenomegali,
venektasi/ vena kolateral, spider nevi, varises esophagus (hematemesis melena),
ratio albumin : globulin terbalik dan palmar eritem. Pada pasien ini didapatkan 5
kriteria klinis soebandiri yaitu asites, venektasi/vena kolateral, spider nevi,
kemungkinan varises esophagus dengan mempertimbangkan riwayat melena
pada pasien dan splenomegali dengan mempertimbangkan anemia dan
trombositopeni dalam pemeriksaan laboratorium. Pada pasien ini telah
mengalami sirosis hati dekompensata. Sirosis hati dapat dikatakan dekompensata
apabila memiliki satu atau lebih manifestasi ikterik, asites, ensefalopati atau
perdarahan varises. Diagnosis hepatitis B dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
HbsAg yang reaktif pada pasien ini. Komplikasi tersering hepatitis virus adalah
perjalanan klinis yang lebih lama hingga berkisar dari 2-8 bulan yang dikenal
sebagai hepatitis kronis persisten. Sekitar 5-10% hepatitis virus dapat mengalami
kekambuhan setelah sembuh dari serangan awal. Kekambuhan ikterus biasanya
tidak teralalu nyata, dan uji fungsi hati tidak memperlihatkan kekambuhan dalam
derajat yang samaseperti pada serangan awal. Setelah hepatitis virus akut,
sejumlah kecil pasien akan mengalami hepatitis agresif atau kronis aktif akan
terjadi kerusakan hati yang akan berakhir dengan sirosis hati. Kondisi ini
dibedakan dari hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati.
Pada anamnesis ditemukan keluhan berupa pembengkakan perut disertai
sesak napas, BAB cair dan hitam sebanyak satu kali. Asites merupakan
masifestasi cardinal sirosis dan bentuk berat lain dari penyakit hati. Beberapa
factor yang tururt terlibat dalam pathogenesis asites pada sirosis hati adalah
hipertensi porta, hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfa
hati, retensi natrium, dan gangguan ekskresi air.
Pada sirosis hati terjadi vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid yang
berakibat terjadinya peningkatan resistensi sistem porta sehingga terjadi hipertensi
porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi splanik
bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi system porta yang diikuti
oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanknik bed menyebabkan
hipertensi porta menetap. Hipertensi porta akan menyebabkan peningkatan
tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudate
akan terkumpul di rongga peritoneum.
Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis albumin yang
dihasilkan oleh sel-sel hati terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan osmotic koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang
meningkat dengan tekanan osmotic yang menurun dalam jaringan pembuluh
darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang intravascular
ke ruang interstisial.Hipertensi porta juga dapat meningkatkan pembentukan limfa
hepatikyang membuatnya keluar dari hati ke dalam rongga peritoneum sehingga
menyebabkan tingginya protein dalam cairan asites, dan meningkatkan tekanan
osmotic koloid dalam rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan
dari rongga intravascular ke ruang peritoneum. Hipertensi portal juga dapat
menyebabkan terjadinya vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan
mengakibatkan hipovolemi arterial sentral sehingga akan merangsang aktivasi
system renin-angiotensin-aldosteron yang dapat menyebabkan retensi natrium dan
air. Sehingga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intravascular yang
pada akhirnya menyebabkan transudasi cairan dari intravascular ke interstisial.
Pasien dengan perdarahan saluran cerna berupa hematemesis atau melena
sering terjadi pada sirosis. Penyebab perdarahan saluran cerna dapat berupa
varises esophagus, yang merupakan penyebab perdarahan terbanyak pada sirosis
hepatis. Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung dan duedonum (pada
sirosis insidensi gangguan ini meningkat), erosi lambung akut, dan kecendrungan
perdarahan akibat masa protrombin yang memanjang dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya konjungtiva anemis,
asites, spider nevi pada dada atas, venektasi vena (caput medusa), ginekomastia,
redup pada perkusi paru kanan dimulai pada SIC V dan penurunan suara napas
dasar, dan edema perifer pada kedua tungkai.
Spider nevi merupakan suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena-
vena kecil dan dapat ditemukan pada bahu, wajah, dan lengan atas. Spider nevi
dapat terjadi akibat peningkatan rasio ekstradiol/testosterone bebas. Caput medusa
terjadi akibat hipertensi porta. Ginekosmastia terjadi akibat penurunan level
serum testosterone dan penurunan aktivitas reseptor androgen hepatik. Adanya
redup pada perkusi paru kanan dan penurunan suara napas vesicular paru kanan
dapat disebabkan oleh karena efusi pleura. Efusi pleura pada pasien dengan sirosis
disebabkan kondisi hepatik hidrotoraks. Hal ini dapat dikarenakan defek pada
diafragma yang menyebabkan transfer cairan asites dari permukaan hepar
melewati langsung ke rongga pleura. Tekanan negatif intratoraks menarik cairan
asites rongga pleura. Efusi pleura juga dapat mengakibatkan sesak napas pada
pasien.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan dapat
dijelaskan sebagai akibat hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Kegegalan
sel hati untuk menginaktifkan aldosterone dan hormone antidiuretic merupakan
penyebab retensi natrium dan air.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien ini ditemukan adanya anemia,
trombositopenia, peningkatan kadar SGOT, penurunan kadar albumin serum, dan
hasil HbsAg reaktif. Gangguan hematologik yang sering terjadi pada sirosis
adalah kecendrungan perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
Penderita sering mengalami perdarahan hidung, gusi, dan mudah memar. Masa
protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya
pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leukopenia, dan
trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya
membesar (splenomegaly) tetapi juga aktif menghancurkan sel-sel darah dari
sirkulasi. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi folat,
vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan
peningkatan hemolisis eritrosit.
Pada pasien selain ditemukan HBsAg reaktif juga terjadi peningkatan
kadar SGOT dan penurunan kadar albumin. Pada pemeriksaan laboratorium
pasien dengan hepatitis B kronis dapat menunjukkan hasil dalam batas normal.
Peningkatan ringan hingga sedang dari kadar SGOT/SGPT merupakan satu-
satunya tes biokimia yang ditemukan. Penanda dari fungsi hepatis yang terganggu
(penurunan albumin, peningkatan bilirubin, dan perpanjangan protrombin dapat
ditemukan). Pasien dengan infeksi hepatitis B kronis juga dapat memiliki hasil
HBsAg dan IgG anti-HBc.
Pada pasien ini dapat terjadi sindrom hepatorenal yang ditandai dengan
adanya beberapa kriteria mayor sindrom hepatorenal yaitu penyakit hati akut atau
kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal, tidak ada syok, infeksi
bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat nefrotoksik,
tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 liter
dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau pen- ingkatan
kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt).
Tatalaksana pada pasien ini merupakan terapi suportif untuk mengurangi
keluhan pasien dan untuk tidak memperberat progresifitas penyakit. Tirah baring
disertai dengan pemeberian diuretic dapat memberikan manfaat. Hal ini
dihubungkna dengan peningkatan perfusi renal dan aliran darah vena porta.
Pemberian terapi cairan berupa aminofusin hepar dikarenakan aminofusin hepar
memiliki efek hepatoprotektor dan meningkatkan regenerasi sel hati serta bekerja
pada siklus urea untuk meningkatkan produksi urea dari ammonia. Aminofusin
hepar merupakan nutrisi parenteral untuk pasien dengan gangguan fungsi hati
kronis untuk membantu mempertahankan kesadaran. Diet lunak, rendah garam,
restriksi cairan dan diet rendah protein. Diet lunak dilakukan untuk tidak
memperberat kerja system pencernaan, diet rendah garam untujj mencegah retensi
natrium, menghindari intake cairan yang berlebihan dan diet protein untuk
menghindari terjadinya penumpukan ammonia yang berlebihan yang dapat
mengakibatkan ensefalopati hepatikum oleh karena peningkatan ammonia dalam
darah. Pemasangan foley kateter digunakan untuk observasi cairan input dan
output pasien sambil melihat fungsi ginjal.
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah spironolakton 1x100 mg,
Spironolakton merupakan antagonist aldosterone, dimana pada sirosis hepatis
terjadi hipertensi porta dan dilatasi splanknik sehingga terjadi aktivasi sistem
RAAS oleh karena itu spironolakton bermanfaat untuk mencegah retensi natrium
dan air. Pemberian ceftriakson 2x1 gr i.v diberikan untuk profilaksis. Setiap
penderita sirosis hati dengan asites dekompensata atau ensefalopati hepatic harus
diperhatikan kemungkinan adanya peritonitis bacterial spontan (PBS).
Pemeriksaan paracentesis diagnosis diperlukan untuk melihat cairan
asites. Parasintesis diagnostic harus selalu dilakukan pada pasien dengan
keluhan asites yang baru untuk dicari penyebab nya. Pada pasien dengan sirosis
hepatis, parasentesis diagnostic perlu dilakukan untuk mencari tahu apakah
terdapat SBP atau tidak. Cairan asites yang didapat bisa berwarna jernih, hijau,
kuning jerami ataupun berwarna kecoklatan serta kemerahan. Warna kemerahan
diindikasikan terdapat keganasan, bekas parasentesis ataupun bekas prosedur
invasive lainnya. Cairan asites yang didapatkan diperiksakan asites total protein
dan gradient serum asites albumin, asites polimorfonuklear sel, asites biological
kultur, elektrolit, dan jumlah total cairan asites. Pada pasien ini diperlukan
parasentesis diagnostic untuk melihat kecurigaan SBP pada sirosis hepatis.
Rencana pemeriksaan lanjutan pada pasien ini adalah pemeriksaan IgM
anti-Hbc dan IgG anti-Hbc yang diperlukan untuk menentukan apakah infeksi
hepatitis pada pasien ini bersifat akut atau kronis. Pada masa infeksi akut
hepatitis, anti-Hbc didominasi oleh IgM sehingga titer IgM anti-Hbc akan
meningkat pada fase akut dan juga sebagai solo marker pada masa window
period. Titer IgM anti-Hbc akan berkurang selama fase pemulihan dimana saat
fase pemulihan titer IgG anti-Hbc akan meningkat. Selama fase awal fase kronik
infeksi hepatitis B HBeAg dan peningkatan level HBV-DNA juga dapat
ditemukan. IgM anti-Hbc akan dipertahankan pada titer rendah pada infeksi
kronik hepatitis B pada kebanyakan pasien, titer IgM anti-Hbc akan meningkat
pada eksaserbasi akut infeksi kronik hepatitis B, sehingga kadang sulit untuk
membedakan antara infeksi kronis dan infeksi akut hepatitis B. pada pasien ini
diperlukan pemeriksaan titer antibody diatas untuk menentukan pemberian terapi
antiviral. Pemeriksaan toraks PA dilakukan untuk mengetahui keadaan paru dan
jantung pasien. Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kelainan pada jantung dan
memastikan kelainan pada paru yang ditemukan pada pemeriksaan fisik yaitu
redup pada paru kanan di SIC V dan suara napas dasar melemah pada paru kanan.
Pemeriksaan endoskopi diperlukan untuk menentukan adanya varises
esophagus atau tidak, serta untuk menentukan adanya gastropati hipertensi porta
sebab pada pasien ini didapatkan adanya melena untuk melihat apakah perdarahan
berasal dari varises esophagus atau lambung.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien laki-laki 41 tahun dengan keluhan sesak dan bengkak pada perut.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang disimpulkan pasien ini
mengalami sirosis hepatis dekompesata yang diduga disebabkan oleh hepatitis B.
Diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memastikan etiologis dan
komplikasi penyakit ini. Prognosis pasien secara keseluruhan dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In
Harrison’s : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical
Publishing Division, 2005.
2. Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011 February 23rd].
Available from : URL : http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789
/3386/1/ penydalam-srimaryani5.pdf
3. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD,
Michael P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders
Elsevier. Canada. 2006
4. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak – Tinjauan
Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
5. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif
Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
6. Julfina Bisanto. Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak
dengan Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Jakarta. 2007
7. Steffen R (Oktober 2005). "Changing travel-related global epidemiology of
hepatitis A". Am. J. Med. 118 Suppl 10A: 46S–49S. doi:10.1016/
j.amjmed.2005.07.016. PMID 16271541. http://linkinghub.elsevier.com/
retrieve/pii/S0002-9343(05)00609-1. Diakses tanggal 13 Januari 2014
8. Caruntu FA, Benea L (September 2006). "Acute hepatitis C virus infection:
Diagnosis, pathogenesis, treatment". Journal of Gastrointestinal and Liver
Diseases: JGLD 15 (3): 249–56. PMID 17013450. http://www.jgld.ro/
32006/32006_7.html. Diakses tanggal 17 Januari 2014.
9. Jolley DS, Lok AS, Burroughs AK, Heathtcote EJ. Sherlock’s Disease of The
Liver and Billiary System. 12th Edition. Blackwell Publishing. 2011.
10. Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis hepatis di
RSUD Dr. Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2014 Januari 13rd]. Available
from:URL:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishep
atis.pdf/09_150_Sonografisirosishepatis.html
11. Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. Cirrhosis and its complications. In :
Kasper DL et.al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th Edition.
USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62.
12. Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 443-53.
13. Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 415-6.
14. Faiz O, Moffat D. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a
glance. USA: Blackwell Publishing Company; 2002. p. 44-5.
15. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan
Pankreas. Dalam : Sylvia A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi
6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2006. Hal.472-5.
16. Netter FH. Surface and bed of liver. In : Atlas of Human Anatomy. 4 th
Edition. USA : Saunders Elsevier; 2006. p. 287.
17. Douglas Eder. Histology. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology.
4th Edition. USA : McGraw-Hill Science; 2001. p.35
18. Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 902-6.
19. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto
H, Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7 th Edition.
Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.
20. Wadei, HM, Martin LM, Nasimul A. Hepatorenal Syndrome: Pathophysiology
and Management. American Society of Nephrology [Internet]. 2006 [Diakses
pada 28 Januari 2014]. Didapat dari:
h t t p : // c j as n . a s n j o urn al s .o r g / c o n t e n t /i/ 5 / 10 6 6 . f u ll . p df .
21. Kuntz, Erwin, H. D. Kuntz. Hepatology Principles and Practice. Germany:
Springer; 2006.
22. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo, Ari W
dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
In- donesia; 2006. Hal 452 – 454
23. Sri Maryani S. Sindrom Hepatorenal. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara [Internet]. 2003 [Diakses 28 J a n u a r i 2014]. Didapat
dari; h t t p : // r e p o si t ory.u s u. ac . i d / b i t s t r e am / 1 2 345678 9 / 339 0 / 1 / p e n yd ala m - s r i ma -
ry a n i 6 . p d f
24. Charles, KF, Michael HM. Hepatorenal Syndrome. Department of Chemical
Pathology, The Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales Hospital,
Shatin, Hong Kong [Internet]. 2007. [Diakses 28 Januari 2014]. Didapat dari:
h t t p : // www . n c b i . n lm .n i h. g ov / p m c / a r t i c l e s / P M C 1 9 0 44 2 0 /
p d f /c b r 2 8 _ 1 p 01 1. p d f
25. Dagher, Moore. The Hepatorenal Syndrome. [Internet]. 2001. [Diakses 28
Januari 2014]. Didapat dari: h t t p : // www . n c b i . n lm .n i h. g ov / p m c / a r t i c l e s /
P M C 1 7 2 84 9 2 / p d f / v 0 4 9 p 00 729.pd f ?t oo l= p mc e n t r e z
26. Moreau, Richard. Hepatorenal Syndrome in Patients with Cirrhosis. Lancet
[Internet] 2003; 362: 739-747. Didapat dari: h t t p : // o n l i n e l i br a ry. w i le y. c o m /
s t or e / 1 0.1 0 46 /j . 1 440 1 746. 2 00 2 . 0 2 778.x / a ss e t /j . 1 4 4 0 - 1 746 . 2 00 2 . 0 2 778.x . pd f ?
v = 1 &t = g m n m 3 e f c & s =e e a f 38 2 37 c 6 ac e b 26 6 9 a 1 d48 c 4433 3 64 11 8 2 5 a e 9
27. Pere Glines. 2003. Hepatorenal Syndrome. Lancet 2003; 362: 1819-1826.
Didapat dari: http://www.med.upenn.edu/gas tro/documents/ LancetHRS.pdf
28. Wilkinson SP, KP Moore, V Arroyo. Pathogenesis of ascites and hepatorenal
syndrome. Gut Supplement [internet] 1991 [Diakses 18 April 2011]. Didapat
dari:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1405222/pdf/gut00594001
4.pdf?tool=pmcentrez
29. Fauci, dkk. Harrison’s Priciples of Internal Medicine Edisi 17. USA: Mc
Graw-Hill Company; 2008. Chapter 302
30. Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2014 January 28th].
Available from: URL : http://emedicine.medscape.com/article/366426-
overview
1