DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

36
i DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian Analitis Kitab Syams al-Ma’arif) Tesis Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (M,Ag) Dalam Ilmu Agama Islam Oleh AHMAD FUADI 214410578 Pembimbing: Prof. Dr. Artani Hasbi, MA Dr. Mukhlis Hanafi, MA KONSENTRASI ‘ULUMUL QUR’AN DAN ‘ULUMUL HADIS PROGAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM PASCASARJANA MAGISTER INSTITUT ILMU AL QURAN (IIQ) JAKARTA 2017 M/1438 H

Transcript of DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

Page 1: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

i

DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK

(Kajian Analitis Kitab Syams al-Ma’arif)

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Magister Agama (M,Ag)

Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh

AHMAD FUADI

214410578

Pembimbing:

Prof. Dr. Artani Hasbi, MA

Dr. Mukhlis Hanafi, MA

KONSENTRASI ‘ULUMUL QUR’AN DAN ‘ULUMUL HADIS

PROGAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM

PASCASARJANA MAGISTER

INSTITUT ILMU AL QURAN (IIQ)

JAKARTA

2017 M/1438 H

Page 2: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

ii

PERNYATAAN PENULIS

Yang bertanda yangan di bawah ini :

Nama : Ahmad Fuadi

NIM : 214.410.578

Tempat/Tgl. Lahir : Kudus, 26 April 1992

Menyatakan bahwa Tesis dengan judul “ Dimensi Ilmu Hikmah dalam Ayat-

Ayat Esoterik (Kajian Anaitis Kitab Syams al-Ma’arif)” adalah benar hasil

karya saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan sumbernya.

Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung

jawab saya.

Jakarta, 1 Januari 2018

Ahmad Fuadi

Page 3: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

iii

MOTTO

ج ر ف ق ي ض ل ك ل

اح ت ف م ج ر ف ل ك ل و

ر ك ذ ج ر ف ال اح ت ف م و

ر و ن ه ن ك ل ,و ال ق م ال ة ر ث ك ب ل ,و ة اي و ر ال ة ر ث ك ب م ل ع ال س ي ل ف

ن ي ب و ه ن ي ب ه ب ز ي م ي ,و ق ح ال د ب ع ال ه ب م ه ف ي ب ل ق ىال ف ف ذ ق ي

ل اط ب ال 1

1 Hakikat Ilmu oleh Ibnu Rajab

Page 4: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi yang digunakan dalam penulisan tesis ini, bersumber

dari pedoman Arab-Latin yang diangkat dari panduan dan pedoman

penulisan skripsi, tesis dan disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

yang diadopsi dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987

dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut :

1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab, yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan huruf, dalam tulisan transliterasi ini sebagian

dilambangkan dengan huruf, sebagian dengan tanda, dan sebagian

dengan huruf dan tanda sekaligus, sebagai berikut :

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Nama

alif اTidak

dilambangkan Tidak dilambangkan

ba’ B ba ب

ta’ T te ت

Tsa Tsa Te dan es ث

jim J je ج

ha H حHa (dengan garis di

bawah)

kha Kh ka dan ha خ

dal D de د

dzal Dz De dan zet ذ

ra R er ر

za Z zet ز

sin S es س

syin Sy es dan ye ش

sad Sh Es dan ha ص

dald Dh De dan el ض

thad Th Te dan ha ط

dhad Zh De dan ha ظ

ain ‘ koma terbalik (di atas)‘ ع

ghain Gh Ge dan ha غ

fa F ef ف

qaf Q qi ق

kaf K ka ك

Page 5: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

v

lam L el ل

mim M em م

nun N en ن

wau W we و

ha H ha ه

hamzah ‘ apostrof ء

ya’ Y ye ي

2. Vokal

a. Vokal tunggal :

Tanda Vokal Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A

Kasrah I I

Dammah U U

b. Vokal Rangkap :

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan ya Ai a-i ي

Fathah dan Wau Au a-u و

Contoh :

haula ----- حول kaifa ---- كيف

c. Vokal Panjang (maddah)

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan alif A A dengan caping di ا

atas

Fathah dan ya A A dengan caping di ي

atas

Kasrah dan ya I I dengan caping di ي

atas

Dammah dan و

wau

u U dengan caping di

atas

Contoh :

qîla ---- قيل qâla ---- قال

Page 6: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

vi

yaqûlu ---- يقول rama ---- رمي

3. Ta marbutah

a. Transliterasi Ta’ Marbutah hidup adalah "t".

b. Transliterasi Ta’ Marbutah mati adalah "h".

c. Jika Ta’ Marbutah diikuti kata yang menggunakan kata sandang "ال"

("al-"), dan bacaannya terpisah, maka Ta’ Marbutah tersebut

ditransliterasikan dengan "h".

Contoh :

raudlatul athfâl atau raudhah al-athfâl ------- روضة الاطفال

المدينة المنورة ------- al-Madînatul Munawwarah, atau al-Madînah

al- Munawwarah

Talhatu atau Talhah ------------ طلحة

4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydid)

Transliterasi syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yang

sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata .

Contoh :

nazzala ------ نزل

al-birru ------- البر

5. Kata Sandang "ال"

Kata sandang "ال" ditransliterasikan dengan "al" diikuti dengan tanda

penghubung "-", baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun

huruf syamsiyyah.

Contoh :

al-qalamu -------- القلم

as-syamsu ------ الشمس

6. Huruf Kapital

Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam

transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan

sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama

diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali jika terletak pada

permulaan kalimat.

Page 7: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

vii

Contoh :

Wa mâ Muhammadun illâ rasûl----- ومامحمد الارسول

Page 8: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

viii

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذى علم بالقلم علم الإنسان مالم يعلم

ثم الصلاة و السلام على رسول الله صلى الله عليه و سلم

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang

Maha Pemurah, Sang Pemilik waktu, karena berkat kemurahanNya tesis ini

dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan, meski tertatih. Dia berikan

kekuatan dalam setiap kelemahan, Dia berikan kelapangan dalam setiap

kesulitan, dan Dia berikan harapan dalam setiap langkah.

Selanjutnya, shalawat serta salam teruntuk Nabi besar Muhammad SAW

yang telah mengingatkan umat manusia untuk menginsafi kebodohannya.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tesis ini yang berjudul

“Dimensi Ilmu Hikmah dalam Ayat-Ayat Esoterik (Kajian Analitis Kitab

Syams al-Ma’arif)”, dan secara umum terselesaikannya studi penulis, tidak

lepas dari dialektika dan pergesekan penulis dengan berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis berterima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Huzaeimah T Yahido, MA selaku rektor Institut Ilmu

Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

2. Bapak KH Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA, selaku Direktur

Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

3. Bapak Dr. H.M. Azizan Fitriana, MA, selaku kaprodi Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

4. Bapak Prof. Artani Hasbi, MA dan KH. Dr. Mukhlis Hanafi MA

selaku pembimbing, penulis menghaturkan banyak terimakasih atas

masukan yang bersifat akademis terhadap tesis ini termasuk motivasi

yang bersifat emosional terhadap diri penulis.

5. Maulana Prof. Dr. Quraish Shihab, MA, terima kasih untuk

perbincangan-perbincangan yang bersahabat dan mencerahkan, tidak

hanya itu darinya ku mengerti bagaimana etika berinteraksi dengan

Al-Qur’an sehingga berbuah mewujud dalam bersikap dan menapaki

kehidupan.

6. Bapak, Ibu 'dosen' Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta para

dewan pakar pusat studi Al-Qur’an (PSQ); cakrawala ilmu yang telah

penulis jelajahi selama tiga tahun belajar kepada dan bersama

mereka. Penulis hanya mampu mempersembahkan setitik terima

kasih untuk begitu banyak yang telah mereka berikan kepada penulis.

Page 9: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

ix

7. Keluarga Besar Tata Usaha dan karyawan Institut Ilmu Al-Qur’an

(IIQ) Jakarta, Bu Shofi dan Mbak Maya, atas bantuan selama ini,

sehingga penulis berhasil melewati fase studi ini.

8. Perpustakaan IIQ Jakarta, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ),

Perpustakaan pesantren Bayt Al-Qur`an; atas keramahan,

kenyamanan dan keseriusan dalam pelayanan, serta perpustakaan-

perpustakaan pribadi teman-teman. Terima kasih untuk telah berbagi

ilmu.

9. Abah – dan Uma; terima kasih atas selaksa peluh, jerih payah dan

kasih sayang, membesarkan dan mendidik kami, semoga Allah

membalas dengan sebaik-baik balasan. Seluruh keluarga di rumah

kakak dan adik tersayang, yang dengan tangan terbuka, senantiasa

menerima kepulangan penulis.

10. KHR. Najib Abdul Qadir dan Bu nyai, yang selalu mengingatkan

tujuan kami dari rumah.

11. Teman-teman angkatan 2014 dan sesepuh PKM (Mas Pur, Umi Elis,

Hanafi, Arfian, Hasnul, Kyai Syukron, Ra Kholi, Bro Mukhrij dan

lain-lain); terima kasih atas dinamika yang kita ciptakan bersama.

12. Sahabat penulis saat shout chourse PKM (pendidikan kader

mufassir); Azwar, Dona, Asriyadi, Bro Rizal, Hendrian, Mbak Hanik,

Mbak Ju, Mbak I`a, yang pada saat ini sama-sama sedang bertarung,

mencoba menatap masa depan dengan mata cerah dan berbinar-binar

–terima kasih untuk waktu-waktu yang telah kita isi bersama, ngantri

ngaji, makan, futsal. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa kembali.

13. Seluruh sahabat-sahabat BQ (Bait al-Qur`an), Ipul, Ahmad, Huda,

dan semuanya; terima kasih telah membuatku tersenyum dan tertawa,

membuat ceria dan bahagia, mengobarkan kembali semangatku,

memberikan energy kuantum atas kretifitasku.

14. Segenap warga komplek puri madani II, pak Isran, pak Arifin dan

bunda, pak Henri, Ust. Muhson, pak Julian, pak Ilham, terima kasih

sudah diterima sebagai keluarga besar puri madani

Akhirnya, karya ini bukanlah hasil akhir, akan tetapi merupakan

ketidaksempurnaan yang terus menuntut untuk selalu disempurnakan. Dan

milik Allah lah segala yang ada di langit dan di bumi, sehingga tidak ada

seorang manusia pun yang bisa mengklaim dirinya yang paling kuasa.

Page 10: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

x

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii

SURAT PERNYATAAN ..................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. iv

MOTTO .................................................................................................. v

TRANSLITERASI ............................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................ x

DAFTAR ISI........................................................................................ xii

ABSTRAK ............................................................................................ xv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................ 11

D. Penelitian Terdahulu ....................................................................... 12

E. Metode Penelitian ........................................................................... 15

F. Sitimatika Penulisan........................................................................ 17

BAB II: PATRON TAFSIR SUFI DALAM KAJIAN AL-QUR`AN

A. Hakikat Tafsir Esoterik ................................................................... 19

B. Sejarah Tafsir Esoterik ................................................................... 21

C. Kontroversi Polemik Tafsir Esoterik .............................................. 25

1. Kontroversi Makna Isyari ......................................................... 26

2. Tafsir Isyari dan Bathiniyyah .................................................... 29

3. Makna Zahir dan Bathin dalam Tafsir Sufi .............................. 34

4. Justifikasi Gnostisisme-Hellenis ............................................... 41

5. Interpretasi Mistis ..................................................................... 46

D. Instrumen Esoterik .......................................................................... 51

1. Simbol Khusus yang Dipakai Sufi ............................................ 51

2. Instuisi ....................................................................................... 53

3. Hakikat ...................................................................................... 56

BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG HIKMAH

Page 11: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

xi

A. Pengertian Hikmah.......................................................................... 58

B. Dasar Ilmu Hikmah ......................................................................... 65

1. Filsafat Yunani .......................................................................... 65

2. Al-Qur`an dan Sunnah Rasul .................................................... 67

3. Kisah Orang Salih ..................................................................... 68

C. Literatur Ilmu Hikmah .................................................................... 69

D. Ruang Lingkup Ilmu Hikmah ......................................................... 69

1. Pengertian Fadhail as-Suwar..................................................... 70

2. Tujuan Fadhail as-Suwar .......................................................... 72

3. Fadhail as-Suwar dalam Kitab Tafsir ....................................... 73

4. Perkembangan Fadhail as-Suwar .............................................. 79

E. Sejarah Ilmu Hikmah ...................................................................... 86

F. Pentingnya Guru dalam Ilmu Hikmah ............................................ 86

G. Metode Mempelajari Ilmu Hikmah ................................................ 87

BAB IV: KONSEP TASAWUF DALAM ILMU HIKMAH

A. Relasi Dzikir dengan Tasawuf ........................................................ 90

B. Ruang Lingkup Pengertian Dzikr ................................................... 92

C. Hakikat Dzikr ..................................................................................100

D. Adab Berdzkir .................................................................................103

1. Ikhlas .........................................................................................104

2. Tawadlu’ ...................................................................................105

3. Merendahkan volume suara ......................................................107

E. SaranaDzikr kepada Allah ..............................................................109

1. Basmalah .............................................................................111

2. Al-Fâtihah ...........................................................................119

3. Awâil as-Suwar ...................................................................130

4. Ayat al-Kursi .......................................................................134

5. Surat Yâsîn ..........................................................................139

6. Asma` al-Husna ..................................................................142

F. Signifikansi Dzikr ...........................................................................148

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan .....................................................................................153

B. Rekomendasi ...................................................................................154

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................155

INDEKS AL-QUR’AN. ............................................................................162

BIODATA PENULIS ...............................................................................164

Page 12: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

xii

ABSTRAK

Penelitian ini menunjukkan bahwa kaum sufistik menilai Al-Qur’an

dipahami sebagai kitab yang tidak selalu membahas firman-firman Allah

yang bernuansakan zahir berorientasi eksoterisme-formalistik. Al-Qur’an

menyimpan pesan bathin berorientasi esoterik-sufistik yang tersembul dalam

setiap ayat-ayatnya, melampaui pembacaan yang tidak terbaca (qirâ’ah mâ

lâ yuqra’), makna yang tidak tersurat (al-maskût ´anhu) dalam teks-teks

qur’anik sebagai anugerah Tuhan yang disebut dengan ilmu simbol Tanda

(‘ilm isyârah). Dialektika para sufi hikmah dengan berbagai ayat-ayat Al-

Qur’an memberikan informasi atau sesuatu hal yang berbeda dengan kaum

formalistik. Jelas termaktub dalam Al-Qur’an ajaran-ajaran mengenai sulûk

ruhiyah (tharîq ar-rûh) dan sulûk jasadiyah (tarîq al-jasad).

Konsep esoterisme ayat-ayat Al-Qur’an dalam ilmu hikmah

menekankan seseorang untuk mengolah sisi spiritualitas dirinya dengan

berbagai latihan ruhani, dalam istilah para sufi biasa disebut dengan

mujâhadah dan riyâdah melalui dzikir tilawah Al-Qur’an. Dengan dzikir

ayat-ayat Al-Qur’an diyakini akan mendapatkan anugerah Ilahi yang turun

ke dalam hati atau bathin manusia, pada umumnya hal tersebut datang secara

tiba-tiba, tanpa diusahakan atau berada di luar usaha manusia. Anugrah-

anugrah Ilahi yang datang secara tiba-tiba di luar usaha manusia ini disebut

al-wârid. Namun begitu wârid tersebut bukanlah menjadi tujuan utama, hal

itu hanyala wasilah perantara kita agar selalu ingat kepada-Nya. Dengan kata

lain, dzikir merupakan upaya mempersiapkan diri melalui pembersihan

segala kotoran hati untuk menerima anugrah Ilahi yang datang secara tiba-

tiba, meski datangnya anugrah Ilahi itu sendiri pada dasarnya tidak bisa

diusahakan manusia.

Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan termasuk dalam riset

perpustakaan (library research), penelitian yang sumber-sumbernya berasal

dari literature. Sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

berasal dari data primer (primary resources) dan sekunder (secondary

resources). Sumber primernya adalah literatur yang dikategorikan sebagai

ilmu hikmah, seperti halnya kitab Syams al-Ma'ârif wa Lathâif al-‘Awârif

dan Manba' Ushûl al-Hikmah tulisan Imam Ab al-Abbas Ahmad bin Ali Al-

Bûnî dll. Sedangkan data sekundernya penulis menggunakan karya-karya

lain yang menguak cakrawala pemikiran ulama’ sufi serta ilmu-ilmu yang

berhubungan dengan penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara

kualitatif, kajiannya dipaparkan secara deskriptif dan analitis, yakni

penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian,

sehingga didapati konklusi dari permasalahan penelitian.

Page 13: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

xiii

ص خ ل م

ه ن إ ل ع ث ح ب اال ذ ه ن ه ر ب د ق

ن ىأ

ال ل إ ن و ر ظ ن ي ن ي ي ف و الص ن م آن ر ق ى

ة ه ج و ه ي ف ن م ض ت ي ل ه ن أ

الل ال و ق أ

ت التي الج ه ج ت تعالى ب ان إلىالش ر اه الظ ف كل ي أيضاب س ح ي بل

ال ن م ض ت ي دل ال و ق فيه لها ت ل التي

ن م ة آي ل يك ف ى ل ج ت ت ة ي وف ص ة ي ن اط ب

ل م ة اء ر ق ل ل خ ن م ه ات آي ر ق ي ا ،أ

س م م ة ي ن آ ر ق ال ص و ص الن ه ن ع ت ك اة ي ه ل إ ة ح ن م ك

ي م ي أ ب م س ا م ل ع ى

ف ات ار ش ال ال ف و ص ت م ة ي ل د ج . ة م ك ح ي

التيآن ر ق ال ات آي ع م م ه ت ج ال ع م و م ط ع ت ات م و ل ع ي

أ معة ف ال خ م اء ي ش أو

ف ن ي ي ل ك الش ي ذ ال . الق ب ت ك ي رآن في

ة ق اب ط م ال ة ي ك و ل الس م ي ال ع الت و ه

.ة ي د س ج ال ة ي ك و ل الس و ة ي ح و لر ل

ات ي ل ة ي ن اط ب ال م ي اه ف م ال ف

م و ل يع ف القرآن ص خ الش ع ف د ت ة م ك ح ال

ال ل ع ق ي م ع لت ل ع م ة ي س ف الن ب ان و ج ى

ة ي ان ح و ر ت ال ج م أ ا م ي ف و ، ه ح ل ط ص ا

ن م ة اض ي الر و ة د اه ج م ال ب ن و ي ف و الص

ل ل خ ار ك ذ أ و ه ت و ل ت و رآن لق ا ن م .

ف رآن الق ات آي ر ك ذ ل ل خ د ق ت ع ي ه ن إ ،

ال ة نح م ال ن أ

ن ت ال ة ي ه ل ىل ع ت ل ز يب و ل ق ال

اس لن ل ة ي ن اط ب ال ب ان و ج ال و أ

Page 14: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

xiv

ال ح ل ك ع م و ي ه ن أ

ع ة ه ج و ن يم ت أ

ىل

ة د اه ج م ال ب ة ع ر الس ل ي ب س ن و د ب و أ

ال ة ح ن م ال ف .اس الن ة د اه ج م ة ي ه ل

ت ت ل ا ي ب ت أ اع ط ت س م ن و د ن م و ة ت غ ي

ال م س ت اس الن و د ي ر و ى م ن ك ل . ام ه ،ح ف د ه س ي ل و ه د ي ر و ال ان ك اي ق ي ق ا

ف ة ح ن م ال ه ذ ه ل ط ق ف و ه ر ك الذ ن إ ،

ع م س ف الن اد د ع ل ة ل او ح م ال ن م د اح و ل و ص ح ل ل ة ي لب ق ال ب و ن الذ ن ام ه ر ي ه ط ت

ال ة ح ن م ىال ل ع ة ت غ ب ت اء يج ت ال ة ي ه ل

ب س اك م ت س ي ل ة ح ن الم ه ذ ه ت ان اك م ه م

.اس االن ه ي ل ع

يذ ال ث ح ب ال ن إ ،ف ل ا االح ذ يه ف و

الر ف ل اخ د و ه ة ي ث ح ب ال ة ال س يا ة ي ب ت ك م ال ك ذ ال ث ح ب ل ، ه ع ج ر م ان ي

ت ت ال ر اد ص م ال ن م .ات ي ب د ال ن م د ع يال ذ ه ة اب ت ك ر د ص م ف ىل إ م س ق ن ي ث ح ب ان ي م س ق ال

ا و اس س ال ر د ص م ل : ر د ص م ال يف ي و ان الث ه اس س ال ر د ص م ال . ل ك و ي

س م ش ل ث م ن م ة م ك ح م و ل ع د ع ت ات ب و ت ك م و ر ب ك ال ف ار ع م ال ف ار و ع ال ف ائ ط ل ى

ع ب ن م و ص ت ل ا ة م ك ح ال ل و ص أ اه ف ن ي

ام م ل ا ال ب أ اس ب ع و

ب م ح أ يل ع ن د

و و ن يالب . ال م أ ي و ان الث ات ان ي ب ا

،ة ىر خ ل ا ات ف ن ص م ل ا ث ح ب اال ذ ه ل م ع ت اس ف ت ت ال اء م ل لع ا اق ف آ ن ع ف ش ك ي

Page 15: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

xv

ة ق ل ع ت م ال م و ل ع ال ع م ن ي ي ف و الص

ف ث ح ب ال ب س ت ال ات ان ي ب ال . ل ل ح ت يي ي ع و ن ع ه ض ر ع ا ل ا

أ ي ف ص و اس س ى

و ل ي ل ح ت و ي، ب ن ع أ ال ه ي يذ ال ث ح ب ا

ل ي ث م الت ع م ل اك ش م ال ل ي ل ح يت ف ل او ح

ة ي ل اع ف ة ال ح ل ة ي ث ح ب ات ع و ض و م و أ

ل إ أ ت ل ك ش م ن م ص ي خ ل الت ي ه ت ن ي ن ى

.ث ح ب ال

ABSTRACT

This study shows that the Sufis considered the Qur'an as a book that

does not only address the exoteric aspect of word of God but also preserves

the esoteric-oriented inner message in its every verse, reading what is unread

(qira’ah ma la yuqra), the unstated meaning (al-maskût'anhu) in the qur'anic

texts as God's grace called the science of the sign of symbol ( or it is what to

be called as 'ilm isyârah). The dialectics of the Sufi wisdom with the various

verses of the Qur'an provide information or something different from the

approach which the formalists used. Clearly Quran embodied teachings

about sulûk ruhiyah ‘spritual aspect’ (tharîq ar-rûh) and sulûk jasadiyah

‘surface aspect’ (tarîq al-jasad).

The concept of esoteric verses of the Qur'an in the science of wisdom

emphasizes a person to cultivate the side of his spirituality with various

spiritual sphere, or in terms of the Sufis, it is commonly called as the

mujâhadah and riyâdah through recitations of the Qur'an. By dhikr, the

verses of the Qur'an are believed to be gaining divine grace that descends

into the hearts of human beings and in general it comes suddenly, unattended

or outside of human endeavor. Divine grace that comes suddenly outside this

human effort is called also al wârid. However, wârid is not a primary goal, it

is just the intermediary level in which we are always to remember Him. In

other words, dhikr is an effort to prepare ourselves by cleansing all the dirt of

the heart to receive the divine grace that comes suddenly, although the

coming of divine grace itself basically cannot be cultivated man.

In this case, the research included here as the research library (library

research), research in which the sources derived from the literature. The

Page 16: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

xvi

source used in writing of this thesis is derived from the primary and

secondary data. The primary sources are literature categorized as the science

of wisdom, as well as the books of Shamsul-Ma'ârif and Lathâif al-'Awârif

and Manba Ushûl al-Hikmah which has been written by Imam Ab al-Abbas

Ahmad ibn Ali Al-Bûnî dll. The secondary data that the author uses other

works that reveal the horizon of scholars' Sufi thought and the sciences

related to research. The data obtained were analyzed qualitatively, the study

was presented descriptively and analytically, ie research that attempted to

describe the problem solving that was investigated by describing the

condition of the subject or the object of the research, so that the conclusion

of the research problem was obtained.

Page 17: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di antara paradigma1 yang biasa digunakan dalam memaknai

kitab suci agama adalah teosentris atau teo-ontologis (teosentris-

ontologis).2 Sesuai dengan istilah yang digunakan, berarti paradigma

yang diawali dari teks, memusat kepada teks, menjadikan teks segala-

galanya, baru kemudian ke realitas.3 Kaum sufistik menilai bahwa

Al-Qur’an dipahami sebagai kitab yang tidak selalu membahas

firman-firman Allah yang bernuansakan zahir berorientasi

eksoterisme-formalistik. Al-Qur’an menyimpan pesan bathin

berorientasi esoterik-sufistik yang tersembul dalam setiap ayat-

ayatnya, melampaui pembacaan yang tidak terbaca (qirâ’ah mâ lâ

yuqra’), makna yang tidak tersurat (al-maskût ´anhu) dalam teks-teks

qur’anik sebagai anugrah Tuhan yang disebut dengan ilmu simbol

Tanda (‘ilm isyârah).4

Faham tasawuf merupakan embrio berkembangnya corak

tafsir sufi. Eksistensi penafsiran sufi menghadapi berbagai macam

penolakan, yang merupakan antitesis dari tafsir fikih yang memahami

Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan hukum. Dengan bahasa

sederhana tafsir sufi ini merupakan kritikan terhadap tafsir fikih.5

Pada tahapan proses, tafsir sufi melampaui tafsir fikih dengan

menggunakan pendekatan bathin (isyâri) yang lebih menimbangkan

penggunaan hati. Kaum mufassir ma’tsûr, formalis fuqaha’, dan

muhaddits, secara praktis terlalu sibuk berkutat dan berputar-putar

dalam kubangan makna lahiriah. Lebih lanjut, menurut para sufi,

menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan analis kebahasaan saja tidak

cukup dan hal itu baru memasuki pada makna teks ayat, yang mana

1 Paradigma berarti cara pandang sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan: model, pola,

dan ideal. Di mana dari model-model ini fenomena dipandang, dijelaskan. Juga untuk

menyeleksi problem-problem dan pola-pola untuk memecahkan problem-problem riset.

Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 779 2 Lihat Aksin Wijaya, “Hermeneutika Al-Qur’an: Memburu Pesan Manusiawi

dalam Al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumuna, Vol. XV No 2, Desember 2001, h. 209 3 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris, (Jakarta: P3M, 2004), h. 96

4 As-Sarrâj at-Tusi, al-Luma’ fi Târikh at-Tasawuf al-Islâmi, (Beirut: Dâr al-Kutb

al-Ilmiyah 2001), cet. Ke 1, h. 100 5 Hasan Hanafi, ”Siginifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer”,

dalam Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No, Januari 2007, h. 204

Page 18: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

2

menurut sufi itu merupakan badan akidah, sedangkan tafsir sufi

menempati posisi ruhnya.6

Az-Zarkasyî (w. 749 H) menyatakan bahwa ucapan kaum sufi

dalam menafsirkan Al-Qur’an bukanlah produk tafsir melainkan

makna-makna dan penemuan inspiratif, yang muncul ketika

membaca Al-Qur’an (tilâwah).7 Karena itu, jika dianggap produk

penafsiran sesungguhnya telah merambah jalan bathiniah sehingga

lebih tepat disebut sebagai an-nazîr, yakni analogi dan persenyawaan

makna terhadap normativitas makna Al-Qur’an.8 Ibn Shalâh (w.643)

H) menyatakan bahwa tafisr sufi sebagai pelambang zikir dibanding

kitab tafsir.9 Senada dengannya, as-Suyûthi (w.911 H) juga

menganggap bahwa tafsir yang diproduksi oleh kaum sufistik tidak

layak dikatagorikan sebagai produk tafsir.

Kalangan sarjana Al-Qur’an dalam memberikan penilaian

terhadap tafsir sufi terkesan keliru, hal tersebut disebabkan tidak

adanya sikap terbuka untuk memahami kajian tafsir sufi lebih

mendalam. Pada dasarnya, bila kita mencoba menengok geneologi

tafsir sufi, sejatinya akan didapati sumber penguat yang berasal dari

Al-Qur’an. Meskipun terkadang tafsir sufi dalam kasus tertentu tidak

sesuai dengan makna lahiriah, akan tetapi hal tersebut bukan

merupakan kekeliruan, selama makna lahir tersebut mendapatkan

pembenaran menurut kaidah bahasa Arab.10

Di samping itu, jelas

termaktub dalam Al-Qur’an ajaran-ajaran mengenai sulûk ruhiyah

(tharîq ar-rûh) dan sulûk jasadiyah (tarîq al-jasad) seperti laku

asketik dalam perkara-perkara halal.11

Sebab Al-Qur’an merupakan

manifesto kebebasan upaya (al-huriyyah al-muktasibah) yang bisa

dicapai dan dilalui dengan dua cara asketis di atas, sesuai dengan

kapasitas keimanan individual dalam memahami dan

mengaplikasikan dalam kehidupannya.12

6 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2012),

h. 22 7 Az-Zarkasyî, al-Burhân fi Ulûm Al-Qur’an (Cairo: Dar at-Turath, tt), h. 171

8 Az-Zarkasyî, al-Burhân fi Ulûm Al-Qur’an), h. 171

9 Ibrahim Basyuni, dalam muqaddimah yang sangat panjang tentang posisi kaum

sufistik di hadapan kaum formalistik fuqaha’. Lihat al-Qusyairi, Latâif al-Isyârât (Cairo: al-

Hay’ah al-Mishriyyah, 2007), cet ke-4, vol, 4. 10

Oman Fathurrahman, Ithâf al-Dhakî, Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim

Nusantara, (Jakarta: Mizan, 2012), h.77 11

Ali Syami Nashar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Cairo: Dâr al-Ma’ârif,

tt), cet. Ke 9, vol III, h. 85 12

Ali Shami Nashar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, h. 85

Page 19: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

3

Al-Jilli (w. 805 H/ 1405 M) sebagaimana yang dikutip oleh

Yunasril Ali, bahwa Al-Qur’an memiliki tiga tingkatan pengetahuan

dan ajaran di dalamnya,13

yaitu:

a. Pengetahuan dan ajaran yang harus disampaikan kepada

umat secara umum. Pengetahuan dan ajaran yang

demikian disebut syariat. Pengetahuan dan ajaran yang

bersifat formal.

b. Pengetahuan dan ajaran yang disampaikan kepada umat

secara selektif kepada orang-orang tertentu saja. Hal ini

yang dikenal dengan ilmu hakikat, yaitu ajaran bathimiah

yang menjadi inti dari syariat.

c. Pengetahuan dan ajaran yang harus dirahasiakan, yaitu

yang berkaitan dengan rahasia-rahasia ketuhanan.

Pengetahuan ketiga ini hanya memiliki oleh orang-orang

tertentu yang melihat sesuatu dengan al-kasyf al-ilâhi.

Melihat hiraki di atas, maka pada level yang ke dua inilah

tafsir sufi berperan. Sebab menggunakan aspek bathin yang menjadi

isyarat untuk mendapatkan pengetahuan. Hal tersebut Senada dengan

penjelasan yang dikutip Amin al-Khulli (w. 1385 H), yang dijadikan

referensi oleh Sunawarto, bahwa khazanah intelektual Islam terbagi

ke dalam tiga hal, Yaitu: pertama, Ilmu yang yang dibangun matang

dan final, yaitu ilmu nahwu dan ilmu ushul. Kedua, ilmu yang

matang tapi belum final, yaitu ilmu fikih dan ilmu hadits. Ketiga,

ilmu yang belum matang dan belum final, yaitu ilmu bayan dan ilmu

tafsir.14

Tafsir Isyâri - dalam konteks menyelami makna Al-Qur’an –

memiliki dasar yang kuat dalam sejarah tafsir. Ini bukan merupakan

hal yang baru dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri juga mendorong

kita melakukan tafsir dan memahaminya. Lebih lanjut, di dalamnya

memberikan informasi pada kita bahwa Al-Qur’an memiliki dimensi

zahir dan dimensi bathin. Hal terpenting dalam tafsir isyâri adalah

argumentasi-argumentasi yang dibangun di atas. Tafsir isyâri

ternyata sudah tidak asing dikenal sejak masa Nabi di mana Al-

Qur’an memberikan argumentasinya dan kemudian ditetapkan oleh

Nabi serta menjadi bagian tradisi yang diikuti oleh para sahabat.

13

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibn

‘Arabi oleh Al-Jilli, (Jakarta: Paramadina, 1977), h. 169 14

Sunawarto, “Nasr Hamid Abu Zayd, Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an dalam

Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, ed. Syahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: Islamka,

2003), h. 103

Page 20: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

4

Karena itu, tafsir isyâri sejatinya sama-sama tuanya setua tafsir bil

ma’tsur.15

Setiap penggali tafsir akan mampu menemukan arkeologi

diskursus keilmuan apapun dalam kalam Tuhan itu.16

Ia merupakan

kitab suci yang bisa didekati berbagai pembacaan dan penafsiran.

Abu Nuaim dan Ibn Abbas dalam sebuah hadis meriwayatkan bahwa

Al-Qur’an mempunyai ragam wajah tafsir (dzû wujûh):

إن القرآن ذو شجون وفنون

وظهور وبطون لا تنقضي عجائبه

ولا تبلغ غايته فمن أوغل فيه

برفق نجا ومن أوغل فيه بعنف

17هوى

As-Suyûthi mensinyalir bahwa hadis ini muncul karena dua

kemungkinan: pertama, ayat atau kata-kata dalam Al-Qur’an

15

Seperti dalam surat an-Nasr (QS 110). Ketika semua sahabat bersuka cita dengan

berita gembira akan datangnya pertolongan Allah dan kemenangan kaum muslimin justru

Abu Bakar nampak bersedih dan menangis. Sahabat memahami secara tafsir zahir sementara

Abu Bakar memahaminya dengan pendekatan tafsir isyâri , khususnya kata perintah

”sabbih” dan “istaghfir” dalam surat itu mengisyaratkan ajal Rasulullah telah dekat sebab

Nabi hampir menyelesaikan misi dakwahnya. Jawaban inilah yang kemudian Rasulullah

langsung terharu. Lihat Mukhtar al-Fajjari, Hafariyyat fi alTa’wil al-Islami, (Yordania:

‘Âlam al-Kutub al-Hadis, 2008), h. 48. Teks hadis tersebut terdapat di beberapa kitab-kitab

hadis induk. Redaksi hadis tersebut berbunyi

ان موسى بن إسماعيل حدثنا أبو عوانة عن أبي بشر عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال ك حدثنا

أبناء مثله فقال عمر يدخلني مع أشياخ بدر فكأن بعضهم وجد في نفسه فقال لم تدخل هذا معنا ولنا

ل ليريهم قال ما تقولون عمر إنه من قد علمتم فدعاه ذات يوم فأدخله معهم فما رئيت أنه دعاني يومئذ إ

والفتح تعالى إذا جاء نصر الل ونستغفره إذا نصرنا وفتح في قول الل فقال بعضهم أمرنا أن نحمد الل

تقول قلت هو أجل علينا وسكت بعضهم فلم يقل شيئا فقال لي أكذاك تقول يا ابن عباس فقلت ل قال فما

والفتح وذلك علمة أج رسول عليه وسلم أعلمه له قال إذا جاء نصر الل صلى الل لك فسبحح بحمد الل

ابا { فقال عمر ما أعلم منها إل ما تقول ربحك واستغفره إنه كان توLihat Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Kairo: Dar al-Hadits, 2004),

vol. III, kitab tafsir Al-Qur’an, bab Surat idza jâ’ nashrullah, no hadis 4970, h.339 16

Pluralitas penafsiran dengan berbagai macam pendekatan metode ini, berlaku

juga dalam Injil yang multi-interpretasi itu, seperti pendapat Peter Werenfels seorang teolog-

interpreter kristiani dalam pembukaan buku Ignaz Goldizher. Lihat: Ignaz Goldizher,

Madzahib at-Tafsir al-Islami, terj Abdul Halim an-Najar (Cairo: Dar Iqra), cet/ ke 3. H. 1 17

Fahd ar-Rûmi, Ittijâhât at-Tafsir fi al-Qarn ar-Râbi’ al-’Asyr, (Saudi Arabia:

Buhûts al-’Ilmiyah, 1986), h. 369

Page 21: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

5

memungkinkan untuk dita’wilkan. Dengan demikian, baik sebagai

kerangka teori maupun praktek. Kedua, Al-Qur’an mengandung

wilayah perintah, larangan, sugesti, halal dan haram.18

Ketidak-hinggaan makna dalam Al-Qur’an menjadikannya

sebagai kalam Tuhan yang sangat eksotis, tidak lekang oleh zaman,

tidak rapuh oleh waktu, akan selalu memperbarui dan

mengadaptaskan diri kepada siapa pun, dan dalam disiplin ilmu

apapun. Sebagian ulama menyatakan makna Al-Qur’an sampai

80.0000, di mana setiap kata mengandung banyak ragam sumber

pengetahuan, sehingga bilangan itu masih memungkinkan berjumlah

empat kali lipat ketika Al-Qur’an disandarkan pada empat asspeknya:

lahir, bathin, awal, akhir.19

Selanjutnya perkembangan sufisme dalam khazanah Islam

ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang

dilakukan oleh generasi awal Islam. Oleh kalangan tertentu, praktik

semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar misitiknya. Itulah

mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul

dan wihdatul wujud. Dengan demikian, berkembanglah dua sayap

sufisme dalam dunia Islam, yaitu para praktisi (‘amali) yang lebih

mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof

(nadzari falsafi) yang lebih mengedepankan teori-teori mistisnya.

Pada gilirannya dari kedua model sufisme ini lahirlah dua corak

penafsiran sufistik yang biasa dikenal dengan istilah tafsir sufi

nadzâri dan tafsir sufi isyâri atau faydhi.20

Termasuk praktik (‘amaliyah) sufi adalah aktifitas interaksi

dengan kitab suci. Tak jarang, pembacaan Al-Qur’an yang dilakukan

kaum sufi memperoleh inspirasi-inspirasi yang tersembul dari ayat-

ayat Al-Qur’an sehingga memunculkan berbagai teori suluk, do’a-

do’a. Hal itu sesuai dengan ajaran tasawuf yang merupakan suatu

bentuk kesadaran fitriyah yang mendorong seseorang untuk

bermujahadah melakukan munajat sampai ia merasakan konektivitas

(wushûl) dengan Allah.21

Senada dengan Ibrahim Basyuni, Harun

Nasution menyatakan bahwa intisari dari tasawuf adalah kesadaran

18

Jalâluddin as-Suyûthi, al-Itqan fi Ulûm Al-Qur’an (Beirut: Dâr al-Fikr), Vol. 2, h.

180 19

Muhammad Abdul ‘Adzim az-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi Ulûm Al-Qur’an

(Beirut:Dâr al-Fikr), vol. 1, h. 23 20

Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 72 21

Ibrahim Basyuni, Nasyat at-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Ma’ârif bil

Misr), h. 28

Page 22: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

6

akan adanya komunikasi serta dialog antara ruh manusia dan Tuhan

dengan mengasingkan diri (khalwat) sehingga mereka dapat melihat

Tuhan (ma’rifah). Lebih dari itu, Nasution mengatakan bahwa

landasan filsafat tasawuf adalah Tuhan bersifat Immateri dan Maha

Suci. Oleh karena itu, unsur dari manusia dapat bertemu dengan

Tuhan adalah unsur immateri manusia, yaitu ruh, dan ruh tersebut

haruslah suci. Karena yang dapat mendekat kepada Yang Maha Suci

adalah jiwa yang suci.22

Sufi atau tasawuf pada intinya adalah upaya untuk melatih

jiwa dengan bermujahadah melakukan berbagai ‘amaliyah yang

dapat membebaskan seseorang dari pengaruh duniawi agar lebih

mendekatkan diri kepada Allah. Dari penjelasan tersebut, terlihat

bahwa tasawuf tidak mengesankan kejumudan, kemunduran atau

keterbelakangan, melainkan menunjukkan ketangguhan jiwa dalam

menghadapi problematika hidup yang senantiasa menghampiri.23

Ajaran sufi identik menerangkan dan mengajak kepada sisi moral dari

seorang hamba dalam rangka melakukan taqarrub kepada tuhannya,

dengan cara mengadakan Riyyadah, pembersihan diri dari moral yang

tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya

kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).

Pentingnya Al-Qur’an sebagai sumber asasi dipahami serta

direspon kaum sufi dengan menggunakan Al-Qur’an sebagai jalan

menuju kepada-Nya. Menurut Frederick M. Denny selain sebagai

sumber pengetahuan Islam tentang ajaran-ajaran Tuhan kepada

manusia, Al-Qur’an juga merupakan medium kontak ritual antara

manusia dengan Tuhan, dalam satu cara yang lain ia pandang betul-

betul melebihi pemanfaatan orang-orang Kristen atau bahkan Yahudi

atas Kitab-kitab Suci mereka. Maka, agar pandangan tentang Al-

Qur’an menjadi adil dan seimbang, dibutuhkan perhatian atas Al-

Qur’an sebagai sebuah Kitab Suci yang dibaca, di samping sebagai

Kitab Suci yang ditafsirkan.24

Ahmad Rafiq mengungkapkan ada dua kelompok indikator

agenda seseorang membaca Al-Qur’an. Pertama. Membaca Al-

22

Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan,

1995), h. 360 23

Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 289 24

Frederick M. Denny, Adab Membaca Al-Qur’an, Ulumul Qur’an, (Jakarta:

LSAF, 1990), h. 55

Page 23: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

7

Qur'an sebagai ibadah.25

Tujuan ini berkaitan dengan definisi Al-

Qur'an yang selama ini sudah diketahui kaum muslimin bahwa Al-

Qur'an adalah "Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril, yang disampaikan

secara mutawatir, dan membacanya dianggap sebagai ibadah."26

Pernyataan terakhir dari definisi tersebut yakni "membacanya

dianggap ibadah" telah memotifasi kaum muslimin untuk

membacanya sebanyak mungkin, dan biasanya berurutan sesuai

dengan urutan mushaf, terlepas dari ada tidaknya pemahaman

terhadap teks yang sedang dibaca. Tujuan ini juga diperkuat oleh

hadis-hadis Nabi SAW lainnya yang memberitakan tingginya nilai

membaca Al-Qur'an, semisal bacaan Al-Qur'an yang dihargai

kebaikannya di setiap huruf yang dibaca, bukan kelompok huruf,

serta orang yang terbata-bata dalam membaca Al-Qur'an

mendapatkan ganjaran yang besar lewat keterbata- bataannya tersebut

karena terus membaca Al-Qur'an.27

Kedua, Membaca Al-Qur'an untuk dijadikan alat justifikasi.28

Dalam hal ini pembaca menggunakan -bagian tertentu dari- Al-

Qur'an untuk mendukung pikiran ataupun keadaannya pada saat

tertentu. Pada hal yang kedua ini yang biasanya terjadi adalah orang

terlebih dahulu berhadapan dengan sebuah persoalan, maka dicarilah

bagian-bagian dari Al-Qur'an untuk kemudian memberikan penilaian

terhadap keadaan tersebut. Penilaian tersebut bisa untuk mendukung

ataupun menolaknya, tergantung tujuan dari si pembaca. Letak

25 Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik Terhadap Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi

Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 5 No 1, Januari 2004, h. 3 26

Definisi yang senada lazim ditemukan di kitab-kitab Ulumul Qur'an (Ilmu-ilmu

Al-Qur'an). Lihat misalnya Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâẖîs fî 'Ulûm Al-Qur'an,

(Madînah: Mansyûrât al-'Asr al-Hadîs, 1973), h. 21. Definisi senada dapat pula dilacak pada

banyak kitab lainnya. 27

Kedua pesan hadis ini sering digunakan untuk menyemangatkan pembacaan

(dalam pengertian melafalkan bacaan) Al-Qur'an, terlepas dari perdebatan tingkat kebenaran

(baca: kesahihan) hadis tersebut diukur dari kacamata perangkat Ilmu Hadis. Dalam Kitab

Riyâd ash-Sâlihîn, hadis-hadis semisal ini dimasukkan ke dalam kelompok "Kitab al-

Fadhâ'il" (Bab tentang Keutamaan-keutamaan), lihat Muhyiddîn Abî Zakariya Yahyâ bin

Syarf an-Nawâwî, Riyâd ash-Sâlihin min Kalâm Sayyid al-Mursalîn, (Mesir: Maktabah

Musthafâ al-Bâbî al-Halabi wa Awlâduh, 1938), h. 430-433. Ketika menutup karya

tafsirnya, Ibnu Kasir juga mengumpulkan sejumlah hadis senada. Hadis-hadis tersebut

menjadi bagian dari sekumpulan riwayat tentang Al-Qur'an yang diberinya judul "Fadhâ'il

Al-Qur'ân." Ismâ'îl Ibn Kasîr al-Qurasyî ad-Dimasyqî, Tafsîr Ibnu Kasîr Juz IV, (Beirut: Dâr

al-Fikr, 1986), h 608 dst. 28

Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik Terhadap Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi

Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 5 No 1, Januari 2004, h. 3

Page 24: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

8

perbedaan antara tujuan pembacaan untuk menemukan petunjuk dan

dan justifikasi adalah pada pemicu awal pembacaannya. Pada yang

pertama orang terlebih dahulu membaca Al-Qur'an, sedangkan pada

yang kedua orang terlebih dahulu berada pada kondisi tertentu.

Motifasi ini didasari dari berbagai macam riwayat mengenai

keutamaan-keutamaan yang dikandung oleh surat-surat dalam Al-

Qur’an (fadhâil as-suwar) dapat memecahkan persoalan yang

dihadapi.

Tafsir-tafsir esoterik terhadap Al-Qur’an pada dasarnya

disatukan melalui prinsip simbolisme, sebagaimana dipahami dalam

pengertian tradisionalnya. Bahkan, simbolisme berfungsi sebagai kata

kunci untuk semua itu sehingga tafsir-tafsir itu bisa juga disebut

sebagai “tafsir-tafsir simbolis”. Proses tafsir simbolis ini selanjutnya

dikenal sebagai takwil, yang secara teknis bermakna hermeneutika

simbolis dan spiritual.29

Makna bathin menjadi kunci dalam tafsir

esoterik ini. Makna bathin Al-Qur’an adalah makna yang terkandung

di dalam teks ayat, yang menjadi apa yang dimaksudkan oleh Allah.

Adapun zahir Al-Qur’an adalah apa yang diturunkan melalui lisan

Arab, yang bisa langsung dipahami oleh orang Arab yang tersusun

dengan kata-kata.30

Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami

makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas

keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah

meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat

adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif

adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.31

Penafsiran sufi atas makna rahasia (bathiniah) atas Al-Qur’an

didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui

kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan

bathiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga

menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu

29

Abdurrahman Habil, “Tafsir-Tafsir Tradisional Al-Qur’an” dalam Islamic

Spiritually Foundations. Settes Hossein Nasr (Ed), ter. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan,

2002), h. 33 30

Mohammad Husyen az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000), h. 265 31

Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Majlisi.

ارة، والإشارة، واللطائف، والحقائق. فالعبارة للعوام، كتاب الله عز وجل على أربعة أشياء: على العب

والإشارة للخواص، واللطائف للأولياء، والحقائق للأنبياءLihat Muhammad al-Baqir al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr al-Jâmi’ah li Durar Akhbâr al-

A’immah al-Athâr, (Beirut: Mu’assasah al-Wafâ’, 1984), Vol. 89, h. 103

Page 25: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

9

Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah,

maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud

tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga

ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui

jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai

mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan bathin).

Ahmad Ali al-Bûni (w. 622 H), tokoh sufi yang dikenal

dengan sufi hurufi yang merupakan praktisi ilmu hikmah. Karyanya

berjudul Syams al-Ma’ârif al-Kubra wa Latâif al-’Awârif, yang

berarti ‘matahari pengetahuan, rahasia-rahasia kearifan’. Ia

menjelaskan bahwa “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya32

adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas

tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam

material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah

rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia

spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Meskipun

dalam karyanya ini beliau tidak secara langsung membahas

penafsiran Al-Qur’an, namun begitu tidak sedikit usahanya untuk

mengungkap makna-makna bathin Al-Qur’an. Urgensitas Al-Qur’an

yang hanya dipahami sebagai kitab sumber petunjuk. Lebih dari itu,

Al-bûni memposisikan Al-Qur’an sebagai solusi dari masalah

(problem solver) yang menghinggapi setiap individu, dan tentunya

sebagai pintu jalan menuju ke jalan-Nya. Hal menarik lain dalam

karyanya tersebut adalah rahasia dan kegunaan huruf, ayat dan surah

Al-Qur’an dengan cara tertentu untuk suatu tujuan. Ruang lingkup

tersebut berkaitan dengan ilmu hikmah yang meliputi rahasia yang

terkandung dalam huruf apakah itu huruf secara keseluruhan atau

khususnya huruf-huruf dalam Mafâtih as-Suwar (permulaan surat)

seperti kâf hâ ya a’in shad, hâmim ‘ain sin qâf ( عسق حم, كهيعص ),

ayat-ayat tertentu seperti halnya Salâmun Qaulan Min Rabbi Rahîm

( رحيم رب من قول سلم ) , begitu pula surat tertentu seperti halnya

yasin, al-mulk, al-wâqi’ah, ar-rahman, al-mu’awidztain dan lain-

lainnya.33

32

Ahmad Ali al-Bûni, Syams al-Ma’ârif al-Kubra, (Semarang: Taha Putra, 1970),

h.5 33

Tidak hanya Al-Bûnî, ada beberapa ulama’ yang menulis kitab khusus

menguraikan rahasia huruf, surah atau ayat tertentu yang didasarkan pada beberapa riwayat

(ma’tsur). Misalnya Khazînat al-Asrâr karya Muhammad Haqqî an-Nâzilî, Muhammad

Jurah Shuwwan menulis al-Iqtida’ fi adz-Dzikr wa ad-Du’a.

Page 26: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

10

Melihat eksistensi “ilmu hikmah”, secara subtantif telah

diabadikan dalam Al-Qur’an, sesuai firman Allah Swt. Q.S. (2:269).

Dan “ilmu hikmah” itu semata-mata hanya dari Allah Swt. Dan

diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Proses

mendapatkannya melalui riyâdhah dan mujâhadah. Dalam ayat di

atas dijelaskan bahwa hikmah membawa kebaikan/karunia yang sangat banyak.

34 Al-Marzûqî menggambarkan bahwa kedudukan

ilmu hikmah dalam kehidupan ruhaniyah, ibarat sabun yang

membersihkan pakaian. Makin dalam ilmu hikmah digali, orang akan

lebih tertarik dan terjun ke alam rohani serta meninggalkan keinginan

syahwat jasmaniyah.35

Persoalannya, sejauh amatan peneliti, kajian mengenai

dimensi Al-Qur’an dari kacamata ilmu hikmah, masih sangat

terbatas. Tidak ada yang menggarap secara maksimal dan memadai-

terutama dalam jubah manhaj al-mufassirin (atau ‘ulûm Al-Qur’an)

versi sufistik. Maka dengan demikian, kiranya perlu adanya

penelitian bagaimana karakteristik dan konsep paradigma atau

pandangan dalam memposisikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang terkait dengan penelitian ini dapat

diidentifikasi sebagai berikut. Hasil pembacaan (interpretasi)

terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sangat dipengaruhi, sekurang-

kurangnya oleh tiga faktor. Pertama, paradigma mufassir terhadap

Al-Qur’an, kedua, Al-Qur’an sebagai objek tafsir, ketiga mekanisme

tafsir (metodologi) yang digunakan. Ketiga komponen itu

menunjukkan bahwa dimensi terkait ayat-ayat Al-Qur’an akan sangat

luas sehingga perlu mengidentifikasi terlebih dahulu masalah-

masalah yang dapat dibahas dalam penelitian ini.

Ilmu hikmah yang merupakan bagian dari cabang esoterisme

Islam menjadi obyek penelitian, merupakan hasil perspektif Al-

Qur’an dari sudut pandang sufi. Konsep ajaran ilmu hikmah sarat

dengan rahasia symbol, di mana sebuah do’a dalam ilmu hikmah

tidak digubah secara sembarang. Identifikasi dari materi-materi yang

34

Redaksi ayat tersebut ؤتى الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتى خيرا كثيرا 35

Al-Marzûqî, Al-Jawâhir al-Lumâ'ah, Maktabah Iqbal, Serang, 1962, h.3. Lihat

al-Buni, Manba' Ushûl al-Hikmah (al-Ta'rîf fi al-Kitab) h 3.

اعلم أن علم الحكمة يغسل النفوس من وسخ الطبيعة الظلمانية كما يغـسل الصابون الثياب، ميتة والنفس إذا عرفت الحكمة حنت واشتاقت إلـى عـالم الأرواح ومالت عن الشهوات الجسمانية الم

للنفس الحية، ونجت من أسرار الشهوات وحيالتها التى قد تعلق أهل العلم بها.

Page 27: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

11

termuat dalam literatur ilmu hikmah menunjukkan ayat-ayat Al-

Qur’an dipandang sebagai sesuatu berorientasi mistik yang memiliki

energi untuk dimanfaatkan dalam melaksanakan tujuan-tujuan

tertentu.

2. Pembatasan Masalah

Dari masalah-masalah yang teridentifikasi di atas yang

menjadi fokus kajian adalah ada pada permasalahan esoterisme ayat-

ayat Al-Qur’an dalam perspektif ilmu hikmah. Ada beragam topik

yang ada, penelitian ini difokuskan kepada bagian-bagian yang terkait

dengan urgensitas Al-Qur’an, serta implikasi pengamalan ajaran ilmu

hikmah.

3. Perumusan Masalah

Selanjutnya dari kerangka tersebut perlu dilihat dan diteliti

bagaimana karakteristik serta model makna-makna bathin Al-Qur’an

dalam lingkup ilmu hikmah. Untuk menjawab permasalahan di atas,

perlu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimana konsep esoterisme ayat-ayat Al-Qur’an dalam

perspektif ilmu hikmah?

2. Bagaimana implikasi pengamalan ayat-ayat Al-Qur’an

berdasarkan ilmu hikmah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dari judul yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, dan

juga dari latar belakang masalah di atas, maka tujuan dan signifikansi

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui esoterisme Islam ajaran tasawuf

secara lebih dalam pandangan ilmu hikmah mengenai

ayat-ayat Al-Qur’an.

b. Untuk mengetahui signifikansi pengamal ayat-ayat Al-

Qur’an. Sejauh mana dialektika para sufi hikmah

dengan berbagai ayat-ayat Al-Qur’an, serta

memberikan informasi tentang pengaruh serta

implikasi dari pandangan tersebut.

2. Signifikansi Penelitian

a. Secara substantif, penelitian ini diharapkan bisa

menjadi kontribusi dalam studi ‘Ulum Al-Qur’an,

kaitannya mengenai penafsiran. Dan juga dapat

Page 28: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

12

menambah khazanah literatur untuk Pasca Sarjana IIQ

Jakarta, terutama konsentrasi ‘Ulum Al-Qur’an. Selain

itu, diharapkan dapat menjadi salah satu studi banding

bagi penulis lainnya.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu

menjadi acuan bagi masyarakat secara umum, dan

khususnya bagi mahasiswa dalam mempelajari

dimensi eksoterik ayat-ayat Al-Qur’an dalam ilmu

hikmah.

D. Penelitian Terdahulu

Kajian mengenai penafsiran sufi bukanlah hal yang baru

untuk diperbincangkan. Kajian ini telah banyak dilakukan, baik

dalam literatur bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Setiap tulisan

memiliki keunggulan dan kekurangan. Hal itu disebabkan oleh focus

kajian mereka yang berbeda, ada yang dominan dalam kajian sejarah,

kajian tokoh, dan metodologi.

Kajian pustaka ilmu hikmah adalah buku standar, yakni kitab

Syams al-Ma’ârif al-Kubra dan Manba’ Ushûl al-Hikmah tulisan

Abu 'Abbas Ahmad bin 'Ali al-Bûnî, buku Fath al-Mâlik al-Majîd

atau Mujarrabât al-Dairâbî al-Kubrâ tulisan Ahmad al-Dairâbî

Khzînah al-Asrâr karya Haqî al-Nâzilî, Aj-Jawâhir al-Lumâ'ah

karya al-Marzûqi, buku Syumûs al-Anwâr tulisan al-Tilimsânî, Tâj al-

Mulûk karya Muhammad bin al-Hâj al-Kabîr, As-Sir al-Jalîl tulisan

as-Syâdzîlî, Dalâil al-Khairât karya aj-Jazûlî, Al-Aufâq karya al-

Ghazâlî Abû Ma’syar al-Falakî, dan lain-lain.

Al-Bûnî menyusun kitab Syams al-Ma’ârif al-Kubra karena

tertarik oleh tulisan orang-orang terdahulu, Hermus dan Aristoteles,

yang begitu bagus dan tinggi nilainya. Hikmahnya menyebar ke

seluruh ufuk, melebar barakatnya. Mereka telah menyusun asma,

sifat dan rahasia khuruf, zikir dan doa, sehingga tumbuh minat dalam

dirinya untuk menyusun bukunya ini dengan segala keterbatasannya.

Kitab yang disusunnya ini diberi nama Syams al-Ma'ârif wa Lathâif

al-'Awârif, didalamnya terdapat rahasia, implementasi, dan berbagai

pengetahuan tentang hal yang mempengaruhi (jiwa). Oleh karena itu,

kitab ini haram berada di tangan orang yang tidak bertanggung-jawab

atau menghalalkan segala cara, dan Allah mengharamkan manfaat

kitab ini, begitu pula faidah serta barakahnya. Implikasinya,

kesempurnaan hanya dapat tercapai oleh orang yang zikir dalam

pencarian apa yang dikehendaki jiwanya. Ini tidak bisa diterapkan

tanpa ridha Allah, karena ini merupakan kitab para wali, salihin,

Page 29: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

13

orang yang taat, orang yang berkemauan, amilin dan gemar berbuat

baik. Dianjurkan dalam hal ini untuk menjadi orang yang cermat

(tidak mengobral), berpegang kepada keyakinana sebagai kebenaran,

dan hakikat keyakinan, "Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya,

dan seseorang akan berhasil sesuai dengan yang diniatinya".36

Yakinlah kepada sabda Rasul bahwa setiap doa pasti diijabah,

terapkan amal dengan benar.37

Adapun tulisan yang berkaitan dengan pengkajian tafsir sufi

antara lain adalah: “Perspektif Interaksi Antar Penganut Agama

(Analisis Komparatif Tafsir Fiqih dan Tafsir Sufi)38

. Tulisan ini

merupakan disertasi karya Syarif di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Karyanya ini mengungkap batasan tentang

tafsir sufi dan tafsir fiqih. Selain hal itu, beliau membaerikan

penawaran solusi konflik dengan menggunakan tafsir sufi. Titik

lemah dalam tulisan ini adalah belum matangnya contoh-contoh serta

aplikasi dari tafsir sufi tersebut.

Berikutnya di dalam jurnal Al-Jami’ah Vol. 43, No. 1, 2005,

tulisan yang diuraikan oleh Machasin, berjudul “Bediuzzaman Said

Nursi and the Sufi Tradition”. Menurutnya, konsep sufi pada saat ini

adalah kontemplasi dari syariat dan tasawuf. Keidentikan dengan

pemahaman yang kolot dan banyak melakukan praktik bid’ah tidak

lagi melekat pada sufi. Kesimpulan terseebut ditemukan dalam

mendalami pemahaman dan aplikasi tasawuf Said Nursi. Pendapat ini

sesuai dengan Muhammad ‘Abd al-Qadir Azâd39

, “at-tasawuf kamâ

yusâ wiruhu al-Kitab wa as-Sunnah” (fi A’mâl Multaqî at-Tasawuf

al-Islami al-’Alami, 1995), yang menyimpulkan bahwa secara

praktik, tasawuf dan pola pemahamannya telah menjadi tradisi yang

kuat pada zaman sahabat Nabi.40

Tafsir Isyâri Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh

‘Abd al-Qadîr al-Jailani, (2012) yang ditulis oleh Aik Iksan Anshori

memberikan ruang untuk mendalami apa yang dimaksud dengan

36

HR Bukhari Muslim dari Umar bin al-Khattab. 37

Al-Bûnī, Syams al-Ma'ârif wa Lathâif al-'Awârif, hlm.2 38

Syarif, Perspektif Interaksi Antar Penganut Agama (analisis komporatif tafsir

fikih dan tafsir sufistik), (Jakarta: SPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009). 39

Seorang akademisi dan juga dikenal sebagai ulama’ yang menjabat sebagai ketua

majlis ulama’ Pakistan yang menghimpun seribu ulama’. Lihat

http://www.ghrib.net/vb/showthread.php?t=11343. 40

Kesimpulan ini disarikan dari sebuah konferensi tasawuf pada tahun 1995 yang

kemudian dikutip Muhammad ‘Abd al-Qadir Azâd dalam karyanya.

Page 30: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

14

tafsir sufi. Kesimpulan dalam risetnya bahwa tasir isyâri pada

dasarnya adalah legal selama tidak resistensi dan mematuhi kaidah

tafsir Al-Qur’an.41

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan bagi penulis

adalah sikap dari pengarang buku ini yang masih memposisikan tafsir

isyâri sebagai produk yang diletakkan tidak sejajar dengan tafsir

konvensial pada umumnya. Di sini terlihat, hasil penelitian ini belum

memberi ruang yang kuat, hanya memberi dasar untuk menjadikan

tafsir isyâri sebagai suatu alternative lain.

Selanjutnya, orientalis Ignaz Gooldizher menulis buku

berjudul “Madzâhib at-Tafsir al-Islami”42

diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia dengan judul “Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik

hingga Modern”. Buku ini memuat pembahasan terkait tafsir dalam

perspektif teolog, tasawuf, sekte keagamaan dan terakhir tafsir era

kebangkitan. Dalam ranah tasawuf, Goldizher membahas tentang

tafsir simbolik.43

Alexander D. Knysh dalam Esoterisme Kalam Tuhan:

Sentralitas Al-Qur’an dalam Tasawuf, (2007) menyimpulkan bahwa

“Intepretasi sufi merupakan suatu hasil dari proses pembacaan Al-

Qur’an yang tidak terputus selama bertahun-tahun dalam rangka

meng-ekstrak (istinbath) makna yang tersembunyi”.44

Penelitian

sangat membantu dalam memberikan pijakan bahwa tafsir sufi

memiliki dimensi rasional yang sangat kuat. Adapun isyâri yang

sering diperdebatkan merupakan hasil rasional dari ta fsir sufi yang

dilakukan sejak lama. Hal yang sama juga dibuktikan oleh Abd ar-

Rahîm Ahmad Az-Zaqah dalam “al-Ittijah al-Isyâri fi Tafsîr Al-

Qur’an al-Karîm Mafhûmuhu”, al-Majallah al-Urduniyah fi Dirâsah

al-Islâmiyah, Vol. 3, No. 1 2007.

Orientalis lain seperti Michael A. Sells, dalam Early Islamic

Mysticism: Sufi, Quran, Mi’raj, poetic and theological writings.45

Penelitian ini memandang tafsir sufi sebagai refleksi kejiawaan

41

Aik Iksan Anshari, Tafsir Isyâri Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh

‘Abd Qadîr al-Jailani, (Ciputat: Referensi, 2012), h. 190 42

Selengkapnya informasi kitab ini adalah: Ignaz Goldizher, Madzâhib at-Tafsîr

al-Islâmi, (Bierut: Dâr al-Iqra, 1983) 43

Ignaz Goldizher, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, ter. M.

Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), h. 3 44

Alexander D. Knysh, “Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas Al-Qur’an dalam

Tasawuf”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007 45

Michael A. Sells, (Ed) Early Islamic Mysticism: Sufi, Quran, Mi’raj, poetic and

theological writings, (New York: Paulist Press, 1996), h. 29

Page 31: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

15

terhadap estetika, dan sangat tidak mengandung unsur-unsur rasional.

Hal tersebut senada dengan Abdurrahman Habil (1997) dalam

“Tafsir-tafsir Esoteris Tradisional Al-Qur’an” menjelaskan bahwa

tafsir sufi memiliki landasan yang kuat berasal dari Al-Qur’an dan

sunnah. Menurutnya unsur-unsur pembacaan simbolis Al-Qur’an ini

dapat ditemukan dalam Al-Qur’an sendiri, sesungghnya tidak

berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip-prinsip tafsir esoterik-

simbolis atas Al-Qur’an terejawantahkan di dalam Al-Qur’an itu

sendiri. Dengan demikian Al-Qur’an adalah tafsir paling pertama dan

dengan sendirinya, paling baik atas dirinya.46

Adapun penelitian yang secara konsen membahas pemaknaan

Al-Qur’an dalam perspektif sufi diantaranya disusun oleh Apipudin,

Al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazînat al-

Asrâr karya Muhammad Haqqî al-Nâzilî). Pembahasan difokuskan,

bahwa polemic para mufassir yang mempertentangkan apakah Al-

Qur’an dapat menjadi media penyembuh beragam penyakit baik yang

bio, psio, sosio dan spiritual.47

Argument ini, yakni Al-Qur’an

sebagai penyembuh penyakit banyak digunakan oleh ulama’ sufi.

Kemudian Ahmad Athoullah, Tesis Makna Basmallah dalam

Perspektif Hikmah.48

Penelitian ini mencoba mengarungi keutamaan

basmallah dengan pendekatan sufi. Kedalaman maknanya yang

meliputi spritualisme dan ontologi ilmu. Yang menarik adalah tiap

huruf dalam basmallah mempunyai makna-makna rahasia.

Dari berbagai penelitian yang ada sebelumnya, penelitian ini

mencoba untuk mengurai bagian terpenting dari sufi, yaitu berkaitan

dengan karakteristik, dan sisi konsep ajaran tasawuf yang dihasilkan

dari pembacaan Al-Qur’an secara mendalam.

E. Metode Penelitian

Untuk mendukung aktifitas penelitian, sehingga dapat

tersusun dengan akurat dan terarah, maka diperlukan sebuah

kerangka untuk menghasilkan suatu kegiatan penelitian yang optimal

dan memuaskan. Berikut penjabaran dari kerangka tersebut:

1. Jenis Penelitian

46

Hossein Nasr (ed), Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam, ter. Rahmad Astuti,

(Bandung: Mizan, 2002), h. 35-36 47

Apipuddin, Al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazînat al-

Asrâr karya Muhammad Haqqî al-Nâzilî). (Tangerang Selatan: YPM, 2013) 48

Ahmad Athoullah, Makna Basmallah dalam Perspektif Hikmah, (Ciputat,

Pustaka Hikmah, 2001)

Page 32: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

16

Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan termasuk dalam riset

perpustakaan (library research), penelitian yang sumber-

sumbernya berasal dari literature yang dapat dijumpai di

perpustakaan maupun literatur49

lainnya seperti jurnal, majalah,

media online, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik

yang dikaji. Mengingat penelitian bersifat teoritis, metode yang

digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif secara

umum dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.50

2. Sumber Data

Sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

berasal dari data primer (primary resources) dan sekunder

(secondary resources). Sumber primernya adalah literatur yang

dikategorikan sebagai ilmu hikmah, seperti halnya kitab Syams

al-Ma'ârif wa Lathâif al-‘Awârif dan Manba' Ushûl al-Hikmah

tulisan Imam Ab al-Abbas Ahmad bin Ali Al-Bûnî. Mujarrabât

al-Dairâb (Fath al-Malik al-Majîd al-Muallaf li naf’ al-‘Abîd)

tulisan Syekh Ahmad al-Dairabî, Khazînah al-Asrâr Jalîlah al-

Adzkâr tulisan as-Sayyid Haqî an-Nâzilî, Syumûs al-Anwâr wa

Kunûz al-Asrâr tulisan Ibn al-Haj at-Tilimsâni al-Maghribî, Al-

Jawâhir al-Lumâ'ah fi Istihdhar Mulûk al-Jin fî al-Waqt wa al-

Sa’âh tulisan Syekh ‘Ali Ab Hayyullâh al-Marzûqî , Dalâil al-

Khairât tulisan Imam ‘Abdillah Muhammad bin Sulaiman, al-

Aufâq tulisan Imam at- Tashîl al-Manâfi' fî al-thib wa al-Hikmah

tulisan Syekh Ibrahin bin Abd al-Rahman al-Azraq, Al-thib al-

Nabawi tulisan syekh Muhammad bin Ahmad az-Dzahabî , ar-

Rahmah fî at-Thib wa al-hikmah tulisan Syekh Jalaluddin Abd ar-

Rahman al-Suyûthî. As-Sir al-Jalil fi Khawaddh Hasbunallâh wa

ni’mal-Wakîl tulisan Sayyid ab al-Hasan as-Syadzilî.dan lain-lain.

Sedangkan data sekundernya penulis menggunakan karya-

karya lain yang menguak cakrawala pemikiran ulama’ sufi serta

ilmu-ilmu yang berhubungan dengan penelitian yang hendak

penulis sajikan. Selanjutnya, karena penelitian ini ingin

mengungkap konsep ajaran tasawuf yang tertuang di dalamnya,

sebagaimana yang sudah popular hal tersebut bagian dari

esoterisme Islam, maka penulis merujuk pada beberapa literature

49

Sutrisno hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1995), Vol. 1, h. 3 50

Lexy J. Moleon, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja

Rosdakarya, 2013),h.4

Page 33: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

17

ilmu sufi atau hikmah, baik yang ditulis oleh ulama’ sufi sendiri

maupun di luar mereka.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan library research, yang

menggunakan metode kualitatif, maka pengumpulan data

dilakukan dengan teknik observasi.51

Teknik ini dilakukan dengan

cara mengumpulkan berbagai dokumen52

terkait objek penelitian

yang didapat dari perpustakaan.

4. Metode Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dengan membaca karya-karya

literatur dari praktisi ilmu hikmah sebagai data primer dan

meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang

topik pembahasan sebagai data sekunder. Kajiannya dipaparkan

secara deskriptif dan analitis, yakni penelitian yang berusaha

untuk menuturkan pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian, pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana

adanya.53

Deskriptif54

analisis55

yakni analisis dalam pengertian historis

dan filosofis. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan

dianalisis secara obyektif dengan mengkomparasikan pendapat

yang satu dengan yang lainnya, sehinga didapati konklusi dari

permaslahan penelitian.

5. Teknik Penulisan

Adapun mengenai teknik penulisan tesis ini, penulis

menggunakan buku standar penelitian tesis yang berlaku dan

masih relevan terutama mengacu pada pedoman penulisan yang

diterbitkan IIQ Jakarta.

51

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap

objek yang ditelitinya. Lihat Huzaemah T. Yanggo dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,

dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: IIQ Press, 2011),h.20 52

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari

seorang. Lihat Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:

Alfabeta, 2008),h.240 53

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2003), h. 63 54

Deskriptis adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat Departemen

Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 258 55

Analitis adalah penguraian sesuatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian

yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran

sesudah dikaji sebaik-baiknya. lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa

Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 43

Page 34: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

18

F. Sistimatika Penulisan

Sebagai bentuk konsistensi dan fokus penelitian yang hendak

dilakukan serta supaya tidak keluar dari rumusan masalah yang

diangkat, maka tesis ini akan dibagi dalam lima bab.

Bab Pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan signifikansi

penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan diakhiri

dengan sistematika penulisan.

Bab Kedua, berisikan patron tafsir esoterik dalam kajian Al-

Qur’an, sejarah tafsir esoterik. Dalam bab ini juga membahas

polemik hingga kontroversi tafsir sufi dari berbagai pandangan

akademisi. Selain itu juga menyajikan instrument esoterik yakni

identitas yang melekat pada sufi.

Bab Ketiga, akan mendeskripsikan tinjauan umum tentang

hikmah, definisinya, landasan ilmu hikmah, literatur klasik para

praktisi hikmah yang menjadi dasar pengamalan, serta ruang lingkup

ilmu hikmah.

Bab Keempat, menjabarkan analisis konsep ajaran tasawuf

dari perspektif ilmu hikmah yakni dzikir tilawah Al-Qur’an. Hakikat

dzikir, materi-materi dalam ilmu hikmah, hingga signifikansi bagi

pengamal ayat-ayat Al-Qur’an.

Bab Kelima, merupakan bab terakhir (penutup) yang berisi

kesimpulan dan rekomendasi.

Page 35: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

19

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa point yang dapat

disimpulkan oleh penulis, yaitu:

1. Pembacaan atas Al-Qur’an yang dilakukan oleh kaum sufi adalah

saham terbesar dalam mendapatkan pemahaman isyâri. Dialektika

sufi dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang ada di dalam Al-

Qur’an didasarkan atas pengalaman bathinnya, sehingga

melahirkan kitab-kitab hikmah yang tentunya dalam melihat ayat

Al-Qur’an sangat bebeda jauh dengan ulama tafsir pada

umumnya. Esensi dari membaca Al-Qur’an adalah mendapatkan

ma’ani, isyarat, dan lathâif. Manifestasi dan aktualisasi dari

kecintaan Al-Qur’an harus dinyatakan dengan senyata-nyatanya

melalui syarat mutlak intensitas membaca Al-Qur’an. Frekuensi

tilawah menjadi suatu aktifitas untuk mengingat Allah (dzikr

Allah). Di dalam tasawuf ritual khusus yang berupa dzikr

merupakan hal penting untuk taqarrub ila Allah. Konsep ajaran

tasawuf dalam ilmu hikmah menekankan seseorang untuk

mengolah sisi spritualitas dirinya dengan berbagai latihan ruhani,

dalam istilah para sufi biasa disebut dengan mujâhadah dan

riyâdah melalui dzikir tilawah Al-Qur’an.

2. Dengan dzikir ayat-ayat Al-Qur’an diyakini akan mendapatkan

anugerah Ilahi yang turun ke dalam hati atau batin

manusia, dan pada umumnya hal tersebut datang secara

tiba-tiba, tanpa bisa diusahakan atau berada di luar usaha

manusia. Anugerah-anugerah Ilahi yang datang secara

tiba-tiba di luar usaha manusia ini disebut al-wârid

dan suasana hati atau suasana batin tatkala mendapatkan

anugerah Ilahi ahwal). Dengan demikian, wirid (wiridan) adalah

amalan-amalan rutin keseharian yang dilakukan secara terus

menerus untuk menyongsong datangnya anugerah Ilahi (al-

wârid). Dengan kata, wirid adalah sebuah upaya mempersiapkan

diri melalui pembersihan segala kotoran hati untuk menerima

anugerah Ilahi yang datang secara tiba-tiba, meski datangnya

anugrah Ilahi itu sendiri pada dasarnya tidak bisa diusahakan

manusia.

Page 36: DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK (Kajian ...

20

B. Rekomendasi

Kajian terhadap kitab-kitab hikmah yang mengungkapkan

dimensi esoterik Al-Qur’an masih terasa belum begitu menyeluruh.

Selama ini yang masih mendominasi obyek penelitian adalah kitab-

kitab tafsir yang secara utuh membahas seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.

Namun dalam tafsir sufi masih sangat jarang diketemukan tafsir sufi

secara utuh, pada umumnya lebih ke tematik (maudhui’) tergantung

pada kecendrungan sufi.

Oleh karena itu, Dengan tersajinya karya ini harapan penulis

bermanfaat, baik di dunia akademik maupun di luar akademik.

Penelitian ini semoga menjadi stimulan (pendorong) agar kajian

terhadap karya-karya ulama’ sufi yang berorientasikan hikmah lebih

dikembangkan lagi secara komprehensif dan lebih membuka lagi

cakrawala keilmuan dari berbagai sudut pandang, sehingga

menambah Khazanah islam khususnya dibidang tafsir Al-Qur’an.