Dikat PSD BAB I.pdf
-
Upload
wisnu-hendra-pratama -
Category
Documents
-
view
118 -
download
9
description
Transcript of Dikat PSD BAB I.pdf
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 1
BAB I
SINYAL DAN SISTEM DIGITAL
I.1 Pendahuluan
Sinyal adalah suatu fungsi yang mengandung informasi, umumnya tentang
keadaan atau watak dari suatu sistem fisika. Sebagai contoh dari sinyal adalah : detak
jantung atau tegangan efektif suatu jaringan listrik sebagai fungsi waktu, ketinggian
tanah sebagai fungsi tempat (2 dimensi), intensitas radioaktif, suhu danau kawah, atau
tekanan barometer sebagai fungsi posisi (3 dimensi) dan waktu. Dari contoh di atas juga
terlihat bahwa sinyal dapat merupakan fungsi dengan beberapa variabel tak bebas. Pada
tulisan ini hanya akan dibicarakan tentang sinyal satu dimensi (sinyal dengan satu
variabel bebas). Untuk memudahkan pembicaraan, nilai dari sinyal disebut amplitudo
sinyal sedang variabel bebasnya dinamakan variabel waktu, meskipun pada kenyataanya
variabel bebas tersebut berupa variabel yang lain.
Pada umumnya, seperti yang dicontohkan di atas, baik amplitudo maupun
variabel waktu dari sinyal mempunyai harga yang kontinyu. Sinyal seperti ini
dinamakan sinyal analog atau sinyal kontinyu (continuous time signal). Secara teori,
istilah yang kedua sebenarnya diperuntukan bagi sinyal yang variabel waktunya
kontinyu, sedang amplitudo tidak harus kontinyu. Namun oleh karena dalam praktek
sinyal kontinyu sering diartikan sebagai sinyal analog. Untuk dapat memproses sinyal
seperti ini dengan rangkaian elektronika digital (hardware atau software komputer),
sinyal analog tersebut perlu diubah menjadi sinyal digital. Artinya, harga amplitudo dari
sinyal pada waktu-waktu tertentu (diskrit) perlu dikuantisasikan dalam bentuk
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 2
bilangan/kode biner. Proses ini juga dikenal dengan proses pencuplikan (sampling
process), karena harga (amplitudo) dari sinyal hanya dicuplik pada waktu-waktu
tertentu. Secara umum interval waktu cuplik tidak harus sama, namun dalam bahasan
ini hanya akan dibicarakan sinyal digital dengan interval cuplik (sampling interval)
yang seragam. Jadi misalnya saja kalau kita mengukur harga suhu pada waktu-waktu
tertentu dan menuangkan hasil pengukuran dalam bentuk deretan bilangan secara urut
waktu, yang kita peroleh adalah sinyal digital. Sinyal digital dengan demikian, dapat
didefinisikan sebagai sinyal yang amplitudo dan variabel waktunya berharga diskrit.
Sedang istilah sinyal diskrit (descrete time signal; sequence) digunakan untuk
menyatakan atau menyajikan secara matematis fungsi yang variabel bebasnya diskrit,
tanpa menghiraukan apakah amplitudonya diskrit atau kontinyu. Jadi sinyal digital juga
termasuk sinyal diskrit.
Secara elektronis digitalisasi sinyal dapat dilakukan dengan A/DC (Analog to
Digital Converter). Dengan cara ini pada setiap interval waktu tertentu (interval cuplik),
harga amplitudo yang kontinyu diubah menjadi harga diskrit dalam bentuk kode biner,
yang resolusi hasilnya tergantung pada jumlah bit dari A/DC.
Didalam upaya menggali informasi yang terkandung dalam suatu sinyal, sering
diperlukan pemrosesan. Memproses sinyal berarti mentransformasikan atau mengubah
sinyal dari bentuk aslinya ke bentuk lain yang untuk suatu tujuan tertentu lebih mudah
memahaminya. Dengan demikian pengetahuan serta pengembangan teknik pemrosesan
sinyal sangat penting artinya dalam melakukan analisa hasil pengukuran. Sebagai
contoh, untuk memahami gejala yang dihasilkan suatu sistem fisis, sinyal hasil
pengukuran sering tercampur dengan sinyal dari gejala sistem fisis yang lain (derau,
noise), sehingga diperlukan suatu proses untuk memisahkan kedua gejala tersebut.
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 3
Menghilangkan derau dari sinyal umumnya dilakukan dengan cara pentapisan
(filtering), sedang untuk menentukan spesifikasi frekuensi dari tapis yang digunakan,
perlu diketahui spectrum dari sinyal (+ derau). Untuk tujuan ini diperlukan proses yang
lain, yaitu Transformasi Fourier.
Secara umum pemroses sinyal digital juga disebut dengan sistem atau filter
digital, sedang dalam bahasa matematika istilah transformator atau operator sering
digunakan. Sistem yang mempunyai masukan dan keluaran analog dinamakan sistem
analog, sedang yang berkaitan dengan masukan dan keluaran digital disebut sistem
digital. Pemrosesan sinyal analog, misalnya saja penapisan sinyal (filtering), umumnya
dilakukan secara hardware yaitu dengan rangkaian listrik atau elektronika. Keuntungan
pemroses hardware adalah cepat dan dapat dilakukan secara real time. Sedang
kelemahanya adalah, selain macam proses terbatas, juga untuk mengubah parameter
pemroses agak sulit dilakukan. Dengan berkembangnya komputer, pemroses sinyal
digital menjadi lebih menarik karena dapat dilakukan secara software sehingga dapat
dilakukan proses yang cukup rumit, yang tidak mungkin dilakukan dengan secara
hardware.
I.2 Sistem Analog : bahasan secara singkat
Pembahasan dalam sistem digital pada dasarnya serupa dengan apa yang
dilakukan dalam sistem analog. Pengertian seperti tanggap impuls (watak sistem dalam
kawasan waktu), tanggap frekuensi (watak sistem dalam kawasan frekuensi) juga
digunakan dalam menyatakan watak dari sistem digital. Demikian juga untuk
merancang sistem digital, seperti misalnya filter, algoritma yang digunakan sering
berasal dari persamaan filter analog. Dengan alas an tersebut, berikut ini dibicarakan
secara singkat beberapa hal dasar yang berkaitan dengan sistem analog.
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 4
Dalam sistem analog, watak sistem yaitu ungkapan yang menyatakan hubungan
antara keluaran dan masukan dari sistem, dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Persamaan diferensial : misalnya untuk tapis lolos-bawah (low-pass filter) sederhana
seperti terlihat pada gambar 1.1, berlaku persamaan :
)()(0)(0 tiVtV
dt
tdVRC =+ (1.1)
dengan persamaan (1.1) ini berlaku masukan Vi(t) diketahui, maka dapat dihitung
keluaran Vo(t), yang pegang peranan penting untuk menyelesaikan persamaan
diferensial seperti ini adalah Transformasi Laplace, yang mempunyai bentuk :
dtstetxsXtxL ∫∞
−∞−== )()()( (1.2a)
dimana s adalah variabel komplex, yang secara umum dapat dinyatakan sebagai
s = σ + jΩ. Hasil Transformasi Laplace dari beberapa macam fungsi pada umumnya
tersedia dalam bentuk tabel.
Untuk hal khusus dimana s = jΩ, persamaan (1.2a) berubah menjadi :
dtjetxjX ∫∞
−∞Ω−=Ω )()( (1.2b)
yang dikenal sebagai Transformasi Fourier.
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 5
R
Vi(t) Vo(t)
Gambar 1-1 Tapis RC sederhana
Jika ruas kiri dan kanan pada persamaan (1.1) dikenakan Transformasi Laplace, dan
dengan mengandaikan keadaan awal sistem berharga nol, maka akan diperoleh :
)(1
1)(0 sVRCs
sV i+= (1.3a)
dengan menggunakan tabel, kalau Vi(t) diketahui, maka V0(t) dapat dicari
persamaan (1.3a) dapat ditulis dalam bentuk :
11)(
)()(0
+==−
RCssH
sVsV
i
(1.3b)
dimana H(s) dinamakan fungsi alih dari sistem.
b. Tanggap Impuls dari Sistem h(t) : didefinisikan sebagai keluaran dari sistem kalau
masukanya berupa fungsi dirac δ(t). Dengan menganggap sistem sebagai
transformator, secara umum dapat ditulis :
)()( tTth δ=
mengingat δ(t) = 0 untuk ε>t dengan 0⇒ε
dan (1.4) ∫∞
−∞=1)( dttδ
maka untuk setiap fungsi x(t) dapat dituliskan sebagai :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 6
∫ −= ττδτ dtXtx )()()( (1.5)
dengan demikian untuk sistem dengan transformasi T kalau mendapatkan masukan
x(t), keluaranya dapat dituliskan
∫ −== τττ dtdxTtxTty )()()()( (1.6)
Kalau sistemnya linear, yang berarti bahwa operasi terhadap penjumlahan/integrasi
dari operasi, maka (1.6) dapat ditulis sebagai :
ττδ dtTtxty )()()( −∫=
lebih lanjut kalau sistem time invariant, sehingga )()( ττδ −=− thtT , maka
hubungan antara masukan dan keluaran dapat dituliskan :
∫∞
−∞−= τττ dthxty )()()( (1.7)
bentuk persamaan (1.7) dinamakan konvolusi integral antara x(t) dan h(t). Untuk
tapis lolos bawah (gambar 1.1) misalnya, tanggap impulsnya dapat dicari dari
persamaan (1.3) dengan Vi(t) = δ(t), yang berarti Vi(s) = 1. Dengan substitusi Vi(s)
ke persamaan (1.4) diperoleh :
11)(+
=RCs
sH (1.8a)
yang penyelesaianya (dari Transformasi Laplace) adalah :
RCteRC
th /1)( −= (1.8b)
c. Tanggap frekuensi dari Sistem : telah diketahui bahwa kalau pada rangkaian pada
gambar 1.1 diberi masukan sinusoida, maka keluaranya juga berbentuk sinusoida,
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 7
hanya saja mempunyai amplitudo dan fase yang berbeda dengan masukan. Dengan
masukan Vi(t) = A sinΩt maka keluaranya adalah :
tARCj
tV ΩΩ+
= sin1
1)(0 (1.9)
)sin()1( 2/1222 Φ−Ω
Ω+= t
CRA
dimana tgΦ = RCΩ. Dari persamaan (1.9) terlihat bahwa dengan masukan sinus,
keluaran sistem akan merupakan perkalian antara sinyal masukan dengan suatu
fungsi kompleks dari Ω, yang dinamakan tanggap frekuensi dari sistem. Jadi untuk
sistem gambar (1.1), tanggap frekuensinya dengan demikian adalah :
RCjjH
Ω+=Ω
11)( (1.10)
dengan membandingkan persamaan (1.10) dengan (1.8a), terlihat bahwa tanggap
frekuensi dari sistem tidak lain adalah fungsi H(s) untuk s = jΩ, atau dengan kata
lain tanggap frekuensi dari sistem adalah Transformasi Fourier dari tanggap impuls
h(t). Jadi secara umum, dari persamaan (1.2b), tanggap frekuensi dari sistem dapat
dihitung dari :
∫∞
−∞Ω−=Ω dttjethjH )()( (1.11a)
dengan Transformasi Fourier, kita dapat mengubah watak sistem dalam kawasan
waktu h(t), menjadi watak sistem dalam kawasan frekuensi H(jΩ). Untuk
melakukan transformasi kearah sebaliknya, dapat dilakukan dengan Transformasi
Fourier Balik (IFFT), yang mempunyai bentuk :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 8
Ω∫∞
−∞ΩΩ= dtjejHth )(
21)(π
(1.11b)
hubungan antar masukan dan keluaran dalam kawasan frekuensi dari sistem linear
dan tak gayut waktu (time invariant) dapat kita peroleh dengan melakukan
Transformasi Fourier terhadap persamaan (1.7), yaitu :
dttjedthxdttjetyjY Ω−∫ ∫ −=∫
Ω−=Ω τττ )()()()(
dengan substitusi t’ = t - τ atau t = t’ + τ, diperoleh :
'')'()()( dttjethdttjetxjY ∫ ∫Ω−Ω−=Ω
atau )()()( ΩΩ=Ω jHjXjY (1.12)
Persamaan (1.1), (1.3), (1.7) dan (1.12) yang dilakukan secara numerik akan
merupakan dasar dari program perhitungan dalam pemrosesan sinyal digital.
I.3. Sinyal Diskrit
Penulisan sinyal diskrit dalam bentuk fungsi dinyatakan dengan :
X(n) = x(nT) = x(t)|t=nT ; n = 0, +1, +2, +3 ….
Ini berarti bahwa sinyal tersebut terdiri dari deretan bilangan urut waktu dengan interval
cuplik T yang seragam, yang nilai amplitudonya pada pencuplikan yang ke-n adalah
x(n). Penulisan yang lebih lengkap untuk x(n) sebenarnya adalah x(nT) karena
pencuplikan ke n berkaitan dengan waktu t=nT. Penulisan dengan x(n) hanya
dimasudkan untuk memudahkan, sedang penulisan secara lengkap akan dilakukan jika
nilai T diperlukan. Istilah interval cuplik selalu dipakai meskipun pada kenyataanya
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 9
deretan bilangan tersebut tidak diperoleh dari hasil pencuplikan. Penyajian secara grafik
dari suatu sinyal diskrit disajikan pada gambar 1.2.
x(n)
n0
Gambar 1-2 Contoh penggambaran sinyal diskrit
Dua buah sinyal diskrit yang penting diperlihatkan pada gambar 1.3. Sinyal impuls
satuan atau sinyal impuls δ(n) (descrete-time impulse; unit-sample sequence)
didefinisikan sebagai :
0)(10)(0)( ==
≠== nuntuknuntuknδ (1.13)
u ( n )
n
n10 2 3 4
)( nδ
Gambar 1-3 Sinyal impuls (atas) dan undak satuan (bawah)
Nanti akan kita lihat bahwa peranan fungsi ini pada sistem digital akan sama halnya
dengan peranan fungsi Dirac pada sistem analog. Untuk kemudahan, sinyal ini sering
disebut dengan sinyal impuls atau impuls. Sinyal lain yang juga penting adalah sinyal
undak satuan (unit-step sequence) u(n), yang didefinisikan :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 10
0)(10)(0)( ≥=<== nuntuk
untuknU (1.14a)
dapat dibuktikan bahwa sinyal undak satuan dapat dinyatakan sebagai :
∑∞
=−=
0)()(
kknnu δ (1.14b)
sebaliknya sinyal impuls dapat dinyatakan dalam sinyal undak dengan :
)1()()( −−= nununδ (1.15)
fungsi eksponensial real dan komplex dapat dituliskan berturut-turut sebagai :
nanx =)( dengan a = bilangan real (1.16a)
dan ωσ jenx +=)( (1.16b)
sedang fungsi sinus dapat dinyatakan dengan :
( )Φ+= nAnx ωcos)( (1.17)
satuan dari ω adalah radian (bukan radian per detik), dan merupakan besarnya sudut
yang ditempuh oleh gelombang sinus selama satu interval cuplik T. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut : kalau gelombang sinus yang kontinyu dinyatakan sebagai :
)2cos()cos()( φπφ +=+Ω= FtAtAtx
dimana Ω adalah frekuensi sudut (radian/detik), dan F adalah frekuensi (hertz), dan
kemudian kita cuplik dengan interval cuplik T, maka akan diperoleh sinyal sinus diskrit
)2cos()cos()( φπφ +=+Ω= FnTAnTAnx
)2cos()cos( φπφω +=+= fnanA
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 11
dari sini jelas bahwa ω = ΩT = sudut yang ditempuh selama T detik, sehingga satuanya
adalah radian atau radian/cuplik. Jika frekuensi dari sinyal sinus kontinyu adalah F =
Ω/2π, dengan satuan hertz (Hz = jumlah gelombang/detik), frekuensi dari sinyal sinus
diskrit adalah f = ω/2π, dengan satuan gelombang/cuplik. Harga Fs = 1/T dinamakan
dengan frekuensi cuplik (sampling frequency), yang merupakan jumlah data per detik.
Dengan demikian dapat ditulis :
ω = 2πf = ΩT = 2πfT = 2πF/Fs dan f = F/Fs (1.18)
data runtun waktu x(n) dikatakan periodik dengan periode N kalau dipenuhi :
x(n+N) = x(n) (1.19)
Fungsi sinus dan eksponensial komplex dengan σ = 0 akan mempunyai periode 2π/ω
hanya kalau harga ini integer (kelipatan dari T). Kalau harga tersebut rasional fungsi-
fungsi tersebut akan periodik dengan periode kelipatan dari harga tersebut, sedang kalau
2π/ω tidak rasional maka fungsi-fungsi tersebut tidak periodik sama sekali. Parameter ω
tetap disebut sebagai frekuensi dari fungsi sinus atau fungsi eksponensial komplex
meskipun fungsi-fungsi tersebut tidak periodik. Harga ω dari fungsi sinus dapat
mempunyai sembarang harga dari nol sampai tak berhingga, namun mengingat harga
fungsi sinus untuk frekuensi 2πk < ω < 2π(k+1), sama dengan untuk frekuensi 0 < ω <
2π, maka jangkau ω dari fungsi sinus diskrit sering dibatasi 0 < ω < 2π atau -π< ω < π.
Untuk memudahkan pembicaraan selanjutnya perlu didefinisikan pengertian
tentang perkalian dan penjumlahan sebagai berikut :
Perkalian/penjumlahan dua runtun waktu mempunyai arti perkalian/penjumlahan antara
dua harga sinyal untuk waktu cuplik yang sama, dan dituliskan sebagai :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 12
Perkalian : z(n) = x(n)y(n) (1.20a)
Penjumlahan : z(n) = x(n) + y(n) (1.20b)
Sedang penulisan y(n) = x(n-n0), berarti y(n) mempunyai bentuk yang sama dengan
x(n), tetapi y(n) tergeser (shifted) kemuka/ke kanan sejauh n0T terhadap x(n).
Dengan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dibuktikan bahwa
sembarang sinyal diskrit x(n) dapat dituliskan sebagai :
∑∞
−∞=−=
kknkxnx )()()( δ (1.21)
I.4. Sistem Digital Linear dan Shift Invariant (LSI)
Secara matematis suatu sistem atau pemroses digital dapat dianggap sebagai
suatu transformator atau operator T, yang kalau dioperasikan terhadap masukan akan
menghasilkan suatu keluaran. Oleh karena masukan dan keluaran dari sistem digital
adalah deretan bilangan, maka sistem digital akan berupa prosedur numerik atau suatu
program jika prosedur tersebut akan dilakukan denga komputer. Operasi ini bersifat
unik. Hubungan antara masukan dan keluaran secara umum dapat dituliskan dengan :
y(n) = Tx(n) (1.22)
seperti halnya sistem analog, hubungan antara keluaran dan masukan dari sistem digital
dapat disajikan dengan beberapa bentuk.
I.4.1 Konvolusi Jumlah
Untuk sistem digital LSI (Linear dan Shift Invariant), hubungan antara keluaran
dan masukan dapat dituliskan sebagai konvolusi jumlah dengan bentuk :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 13
∑ ∑ −=−= )()()()()( knxkhknhkxny (1.23a)
yang juga lazim ditulis dengan :
y(n) = x(n) * h(n) (1.23b)
h(n) dinamakan tanggap impuls dari sistem, yaitu keluaran dari sistem kalau
masukannya adalah sinyal impuls δ(n). Hubungan tersebut dapat dibuktikan sebagai
berikut :
dengan substitusi persamaan(1.21) ke (1.22) didapat :
∑ −== )()()()( knkxTnxTny δ (1.24)
untuk sistem linear yang berarti :
Tax(n) + bx(n) = a Tx(n) + b Tx(n)
Diamana a dan b adalah suatu tetapan, maka persamaan (1.24) berubah menjadi :
∑ −= )()()( knTkxny δ (1.25)
Kalau sistemnya shift-invariant, maka Tδ(n-k) = h(n-k), sehingga terbuktilah
persamaan (1.23). Tanggap impuls h(n) dari sistem tidak lain merupakan watak dari
sistem dalam kawasan waktu.
I.4.2 Sistem Kausal dan Sistem Stabil
Seperti halnya sifat linear dan shift-invariant yang memang merupakan sifat dari
sistem fisis pada umumnya, demikian juga sifat kausal dan sifat stabil dari sistem.
Sistem dikatakan kausal apabila harga keluaran y(n) baru ada setelah ada masukan x(n).
Atau dapat dikatakan perubahan dari keluaran tidak pernah mendahului perubahan
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 14
masukan. Dengan demikian jelas bahwa tanggap impuls dari suatu sistem LSI yang
kausal akan berharga nol untuk n<0, dan ini dapat digunakan untuk menentukan sifat
kausal dari sistem.
Sedang sistem yang stabil didefinisikan sebagai sistem yang kalau mendapatkan
masukan berhingga, keluaranya juga berhingga. Dengan pengertian tersebut dapat
dibuktikan bahwa untuk sistem LSI yang stabil berlaku :
∑ )(kh < ∞ (1.26)
Bukti : kalau x(n) berhingga berarti untuk setiap harga n, )(nx < M dengan M = harga
terbesar dari )(nx yang berhingga. Dari (1.23a) dapat dituliskan :
)()()()()( knxkhknxkhny −=−= ∑∑ (1.27)
< ∑ )(khM
Jadi untuk sistem stabil dimana )(ny berhingga jika x(n) berhingga untuk setiap harga
n, maka haruslah ∑ )(kh < ∞.
Contoh soal 1.1 :
Suatu sistem mempunyai tanggap impuls :
0)(0
0)()( <=
≥==
nuntuknuntukna
nh atau h(n) = an u(n)
dengan a<1, diberi masukan x(n) = u(n) – u(n-N)
Hitung dan gambar keluaran y(n), untuk gambar ambilah N=5 dan a=0.5
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 15
Jawab :
a. dengan memasukan harga x(n) dan h(n) di atas pada rumus konvolusi jumlah :
∑∞
−∞=−=
kknhkxny )()()(
maka akan diperoleh :
)()()()( knuknak
Nkukuny −−∑∞
−∞=−−=
oleh karena :
10)(1
)arg(0)()( −≤≤−−−−=−−
Nkuntuklainyangkahuntuknkuku
dan )(1
)arg(0)( ≤−−−−=−
kuntuklainyangkahuntukknu
maka batas penjumlahan pada rumus konvolusi pada rumus konvolusi tersebut
di atas adalah :
k : 0 ⇒ n jika n < N-1
dan k : 0 ⇒ n-1 jika n ≥ N-1
sehingga :
11
110
)( −−
−−−=∑
=−=
a
nanan
kknany atau 0 ≤ n < N-1
atau 11
1
11
1)(
−−−−
=−−
−−=
a
naa
a
anany
dan 11
11
0)( −−
−−∑−
==−=
a
NaN
knaknany untuk n ≥ N-1
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 16
atau naa
Na
111
−−−−
=
b. Jika a = ½ dan N = 5, dari rumus di atas didapat :
nny ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛−=
212)( untuk 0 ≤ n < 4
sehingga : y(1) = 121 , y(2) = 1
43 , y(3) = 1
87
dan y(n) = 31n⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
21 untuk n ≥ 4
sehingga : y(4) = 11615 , y(5) =
3231 , y(6) =
6431 , dst.
Hasil ini beserta x(n) dan h(n) diperlihatkan pada gambar 1.4
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 17
x(n)
n
n
h(n)
1
1
n
y(n)
1
2
Gambar 1-4 Tanggap impuls, masukan dan keluaran untuk
Contoh soal 2.1 skala y(n) dua kali h(n) dan x(n)
I.4.3 Program Penghitungan y(n) dengan konvolusi
Penghitungan y(n) dengan konvolusi sebenarnya hanya akan lebih muda
digunakan kalau panjang dari h(n) berhingga. Dengan h(n) berhingga oleh karena pada
umumnya masukan x(n) panjangnya berhingga, panjang dari y(n) akan berhingga.
Dapat dibuktikan bahwa kalau panjang x(n) adalah N dan panjang dari h(n) adalah M
maka panjang dari y(n) adalah N+M-1. Dalam melakukan penghitungan y(n) dengan
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 18
suatu program komputer, harga dari x(n) dan h(n) biasanya masing-masing disimpan
pada sebuah array.
Kalau h(n) panjangnya tak berhingga jelas tidak mungkin menyimpan semua
h(n) dalam sebuah array, sehingga y(n) akan lebih mudah kalau dihitung dari persamaan
beda yang dibicarakan pada bab II.4. Jika y(n) harus dihitung dengan konvolusi, dalam
hal demikian ada 2 macam jalan yang dapat ditempuh. Mengingat untuk sistem yang
stabil harga h(n) akan menuju nol untuk n yang makin besar, maka kalau h(n) berupa
data runtun waktu, tidak semua h(n) yang disimpan dalam array, tetapi hanya sepanjang
M dimana untuk n>M harga dari h(n) sudah mendekati nol. Kalau h(n) berupa
persamaan, sebagai missal , untuk ini tidak diperlukan array untuk h(n)
tetapi dihitung pada saat h(n) diperlukan untuk komputasi. Secara teoritis panjang y(n)
tak berhingga, namun karena y(n) akan menuju nol setelah masukan berakhir, pada
umunya harga dari y(n) sudah sangat kecil untuk n > 2N (N = panjang masukan).
Dengan demikian, sebagai perkiraan y(n) cukup dihitung sampai harga n = 2N.
)()( nuanh n=
Program 1.1 : Program konvolusi untuk h(n) dan x(n) panjang berhingga, h(n) panjang
M dan x(n) panjang N
For I=0 to M+N-2
y(I) = 0
next I
For I=0 to M+N-2
IF I <= N then L=1 else then L = N
For J = 0 to L
y(I) = y(I) + x(J) * h(I-J)
next J
next I
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 19
program di atas akan efisien kalau N<M, sedang untuk M<N, maka baris ke 5, N perlu
diganti dengan M, sedang baris 7 diganti dengan :
y(I) = y(I) + h(J) * x(I-J)
kalau h(n) diberikan dalam bentuk persamaan, misalnya , maka M+N-2
perlu diganti dengan 2N, sedang baris 7 diganti dengan :
)()( nuanh n=
y(i) = y(I) + x(j) * a^(I-J)
soal-soal latihan : Buktikan
1. x(n) * y(n) = y(n) *x(n)
2. x(n) * y(n)*z(n) = x(n) * y(n) * z(n)
3. x(n) * y(n)+z(n) = x(n) * y(n) * z(n)
I.4.4 Persamaan Beda (Difference Equation)
Seperti halnya sistem analog yang karateristiknya dapat dinyatakan dengan
persamaan diferensial, watak dari sistem digital dapat dinyatakan dengan suatu
persamaan beda (difference equation). Secara umum bentuk persamaan beda dari sistem
LSI adalah :
∑=
∑=
−=−N
k
M
rknxrbknyka
0 0)()( (1.28)
dengan persamaan beda seperti ini, sistem dapat kausal atau tidak kausal, hal ini
tergantung pada kaondisi awal dari sistem. Dengan persamaan beda, kita sudah dapat
menghitung secara langsung keluaran y(n) kalau masukan x(n) diketahui. Atau dari
persamaan beda kita hitung lebih dahulu tanggap impuls h(n), lalu kemudian y(n) kita
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 20
hitung dengan konvolusi. Salah satu cara untuk memperoleh tanggap impuls sistem dari
sistem suatu persamaan beda adalah dengan mensubstitusi harga x(n) = δ(n). Sebagai
contoh suatu sistemmempunyai persamaan beda :
y(n) – ay(n-1) = x(n) (1.29)
kalau x(n) = δd(n), yang berarti y(n) = h(n), maka dapat ditulis :
h(n) – ah(n-1) = δ(n)
dengan memasukkan syarat h(n) = 0 untuk n<0 (sistem kausal), maka :
h(0) – ah(-1) = δ(0) ⇒ h(0) = 1
h(1) – ah(0) = δ(1) ⇒ h(1) = a
h(2) – ah(1) = δ(2) ⇒ h(2) = a2
dapat disimpulkan untuk n ≥ 0 ⇒ h(n) = an
atau dapat dituliskan )()( nunanh =
I.4.5 Filter Auto Regresive (AR)
Kalau pada persamaan (1.28) harga M = 0 dan N > 0, maka keluaran sistem pada saat
sekarang selain tergantung pada masukan sekarang juga tergantung pada harga keluaran
pada saat-saat sebelumnya (ada umpan balik). Filter seperti ini disebut filter auto
regressive, dan seperti yang terlihat pada contoh di atas, tanggap impuls dari filter AR
selalu mempunyai panjang tak berhingga, sehingga dinamakan juga dengan filter IIR
(Infinite Impuls Response).
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 21
I.4.6 Filter Moving Average (MA)
Sebaliknya kalau filter pada persamaan (1.28) mempunyai harga N = 0 dan M > 0,
keluaranya akan merupakan rata-rata berbobot dari masukan sekarang dan masukan
saat-saat sebelumnya, dengan faktor bobot br, yaitu :
∑=
−=N
rknxrbny
0)()( (1.30)
dengan alasan tersebut filter seperti ini disebut dengan filkter MA. Kalau (1.30) kita
bandingkan dengan (1.23a), maka terlihat bahwa br tidak lain adalah tanggap impuls
h(n) yang panjangnya berhingga yaitu N+1. Oleh karena itu filter MA juga disebut
dengan filter FIR (Finite Impuls Response). Sedang kalau pada (1.28) M>0 dan N>0,
maka filter yang bersangkutan disebut dengan filter ARMA (Auto Regresive Moving
Average), yang juga merupakan filter IIR.
I.4.7 Program Penghitungan y(n) dengan Persamaan Beda
Sebagai contoh andaikan sistem kausal orde 2 mempunyai persamaan beda berbentuk
y(n) = x(n) + b1x(n-1) + b2x(n-2) – a1y(n-1) – a2y(n-2)
Ini adalah sistem ARMA, dengan panjang h(n) tak berhingga. Jadi kalau panjang x(n)
adalah N, panjang keluaran y(n) yang perlu dihitung kira-kira sampai harga n = 2N.
Kalau sistemnya kausal dan sinyal dimulai dari n = 0, maka pada saat menghitung y(0),
harga dari y(n-1), y(n-2), x(n-1) dan x(n-2) adalah nol.
y(n-1) dan x(n-1) ≠ 0 untuk n>1 sedang x(n-2) dan y(n-2) ≠ 0 untuk n>2. Harga x(n-1),
x(n-2), y(n-1) dan y(n-2) berubah untuk n yang berbeda dan pada program
penghitungan berikut, berturut-turut diberi notasi x1, x2, y1 dan y2.
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 22
Program 1.2
y1 = 0 : y2 = 0 : x1 = 0 : x2 = 0
for I=0 to 2N
If I>0 then x1 = x(I-1)
If I>1 then x2 = x(I-2)
y(I) = x(I) + b1*x1 + b2*x2 – a1*y1 – a2*y2
y(2) = y1 : y1 = y(I)
Next I
I.4.8 Watak Sistem dalam Kawasan Frekuensi
Dalam bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa tanggap impuls h(n)
merupakan salah satu penyajian dari watak sistem dalam kawasan waktu. Seperti halnya
dengan sistem analog, watak dari sistem digital juga dapat dinyatakan dalam kawasan
frekuensi, yang juga disebut dengan tanggap frekuensi (frequency response) dari sistem.
Dalam pembahasan sistem analog telah dikemukakan bahwa jika masukan x(t) =
fungsi sinus, maka keluaran sistem akan berbentuk : y(t) = (tanggap frekuensi) * x(t).
Hal yang sama dapat kita lakukan pada sistem digital untuk mencari tanggap frekuensi
dari sistem.
Kalau sekarang pada sistem digital dengan tanggap impuls h(n) dimasukan
fungsi sinus njenx ω=)( , maka menurut (1.23a) keluaran sistem :
∑ −= )()()( knjekhny ω
∑ −= kjekhnje ωω )(
∑ −= kjekhnx ω)()( (1.31)
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa, tanggap frekuensi dari sistem digital adalah :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 23
∑∞
−∞=−=
nnjenhjeH ωω )()( (1.32)
Dalam membicarakan sistem analog telah dikemukakan bahwa tanggap frekuensi dari
sistem tidak lain adalah Transformasi Fourier dari tanggap impuls.
Dengan demikian persamaan (1.32) tidak lain adalah definisi dari Transformasi
Fourier untuk sinyal diskrit. Alasan mengapa tanggap frekuensi dituliskan dengan
)( ωjeH nanti akan jelas pada saat dibicarakan transformasi-Z, sedang untuk
memudahkan penulisan, tanggap frekuensi sering ditulis dengan H(jω) atau H(ω).
Untuk mendapatkan bentuk Transformasi Fourier baliknya, yaitu untuk
mendapatkan h(n) dari H(jω), perlu dikemukakan bahwa H(jω) adalah fungsi kontinyu
dari ω, dan lebih lanjut fungsi ini periodik terhadap ω dengan periode nje ω− . Seperti
telah diketahui bahwa untuk fungsi kontinyu x(t) yang periodik dengan periode T, dapat
diuraikan menjadi deret Fourier dengan bentuk :
∑∞
−∞==
nTntjenatx /2)()( π
(1.33a)
dimana dtTntjetxT
na ∫−= /2)(1)( π (1.33b)
dengan demikian (1.32) dapat diartikan sebagai penyajian dari )( ωjeH dalam deret
Fourier, dengan h(n) sebagai koefisien dari deret tersebut. Dengan pengertian ini h(n)
dapat diperoleh dari H(ω) dengan persamaan :
ωωωπ
ππdnjeHnh )(
21)( ∫−
= (1.34)
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 24
Jadi dapat dikatakan (1.32) dan (1.34) merupakan pasangan Transformasi Fourier dari
tanggap impuls suatu sistem digital. Pasangan transformasi ini tidak hanya berlaku
umum untuk data runtun waktu. Sehingga untuk data runtun waktu x(n) kita dapat
menuliskan Transformasi Fouriernya sebagai :
∑∞
−∞=−==
nnjenxjeXX ωωω )()()( (1.35a)
atau ∑∞
−∞=−=
nfnjenxfX π2)()( (1.35b)
dan Transformasi Fourier pasangannya :
∫−
=π
πωωω
πdnjeXnx )(
21)( (1.36a)
atau ∫−
=2/1
2/12)()( dffnjefXnx π (1.36b)
H(jω) pada umunya adalah komplex, sehingga dapat disajikan dalam bentuk :
H(jω) = HR(jω) + jHI(jω)
Dimana HR(jω) dan HI(jω) berturut-turut adalah bagian real dan bagian imaginer dari
H(jω). Demikian juga H(jω) juga dapat dinyatakan dalam harga mutlak (magnitude) dan
fasenya dalam bentuk :
)()()( ωφωω jejHjH =
dimana )(2)(22)( ωωω jHjHjH +=
dan )()(
)(ωω
ωφjRHjIH
tg =
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 25
Dari (1.36) dapat diartikan bahwa setiap runtun waktu merupakan superposisi/jumlah
(kontinyu) dari fungsi eksponensial komplex. Sedang dari (1.31) telah diketahui bahwa
sistem dengan masukan fungsi eksponensial komplex keluaranya diperoleh dengan
mengkalikanya dengan H(ω).
Sehingga untuk sistem linear oleh karena keluaran dari suatu jumlah masukan
sama dengan jumlah dari keluaran untuk setiap masukan, maka untuk sistem linear
keluaran dapat dituliskan :
∫= ωωωωπ
dnjeXHny )()(21)( (1.37)
dari (1.36) dan (1.37) dapat disimpulkan bahwa kalau y(n) = h(n) * x(n), maka
Transformasi Fourier dari y(n) adalah :
Y(ω) = H(ω)X(ω) (1.38)
Yang merupakan hubungan antara masukan dan keluaran dari sistem linear dalam
kawasan frekuensi. Sebaliknya jika y(n) = h(n)x(n), maka dapat dibuktikan bahwa Y(ω)
akan merupakan konvolusi integral antara X(ω) dan H(ω), yang dapat ditulis sebagai :
∫−=
=−=π
πωωω
πω
vHXdvvHvXY )()()()(
21)( (1.39)
dengan persamaan (1.38) dimungkinkan untuk melakukan pentapisan dalam kawasan
frekuensi, asal panjang filternya berhingga (FIR filter). Transformasi Fourier yang
dituliskan pada persamaan (1.32) tidak lain adalah suatu deret, yang belum tentu
konvergen tergantung dari bentuk h(n). Transformasi Fourier dikatakan konvergen atau
jumlah deretnya berhingga jika harga mutlaknya berhingga. Misalnya jika h(n) = u(n),
maka akan tidak konvergen. Dapat dibuktikan bahwa jika sistem stabil, yang )( ωjeH
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 26
berarti ∞<∑ )(nh , maka Transformasi Fourier dari sistem akan konvergen atau
∞<)( ωjeH . Hal ini dapat dilihat dari :
njenhnjenhjeH ωωω ∑=∑= )()()(
oleh karena 1)( =ωje , maka ∑= )()( nhjeH ω , dan harga ini akan berhingga
(konvergen) jika sistem stabil.
Jadi kalau tanggap frekuensi dari sistem H(jω) diketahui, kita dapat menghitung
Transformasi Fourier keluaran Y(jω) dari persamaan (1.38), dengan terlebih dahulu
menghitung X(jω), dan kemudian menghitung y(n) dengan Transformasi Fourier balik.
Perhitungan detail dari cara ini akan dibicarakan pada pembahasan Transformasi
Fourier Diskrit (DFT, Discret Fourier Transform). Cara lain adalah menghitung h(n)
dari H(jω) , kemudian menghitung y(n) dengan konvolusi jumlah.
Contoh soal 1.2 :
Sebuah filter lolos atas (high-pass filter) ideal dengan frekuensi pojok (corner
frequency) ωc, amplitudo dari tanggap frekuensinya terlihat seperti pada gambar 1-5,
dan mempunyai beda fase nol untuk semua harga ω. Hitunglah h(n) ?
Jawab :
Untuk jangkau -π < ω < π, H(ω) = 0 untuk ω < |ωc| dan h(ω) = 1 untuk |π| ≥ ω |ωc|,
sehingga :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 27
∫−
=π
πωωω
πdnjeHnh )(
21)(
⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧
∫+∫−
= ωπ
ωωπ
πωω
πd
c
njedvje21
untuk n=0 πω
−=1)0(h
untuk n≠0 n
ncnhπωsin
)( −= (1.40)
1
0cωπ +−2 cωπ −2cω− cωπ− π ω
h(n)
Gambar 1.5 Tanggap frekuensi dari filter lolos atas ideal
Hubungan antara frekuensi pojok dalam hertz (F) dan ωc (dalam radian) adalah :
ωc = ΩcT = 2πFc/Fs atau Fc = ωc/2πT = ωcFs/2π (1.41)
T adalah interval cuplik, sedang Fs = 1/T adalah frekuensi cuplik dari sinyal. Untuk ωc =
π/2, bentuk dari h(n) terlihat seperti pada gambar 1-6.
1 /2
π/1π5/1
π3/1
Gambar 1-6 Tanggap Impuls dari tapis lolos atas ideal
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 28
1.5. Teori Pencuplikan (Sampling Teory)
Sinyal digital sering didapat dari sinyal analog dengan cara pencuplikan. Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah hasil proses dari sinyal digital masih mencerminkan
informasi yang dikandung oleh sinyal analog atau berapakah besarnya interval cuplik T
sehingga x(t) masih dapat dihitung dari x(n) semakin dekat dengan x(t), tetapi dengan
demikian jumlah data menjadi semakin banyak.
Andaikan x(n) diperoleh dengan mencuplik x(t) dengan interval cuplik T yang
seragam, sehingga dengan demikian x(n) = x(t=nT). Fs = 1/T dinamakan frekuensi
cuplik (sampling frequency). Untuk mengkaji apakah x(n) masih mewakili sinyal
aslinya, berikut ini akan kita bandingkan hasil Transformasi Fourier dari keduanya.
Pasangan tranformasi Fourier dari sinyal analog x(t) adalah :
dttjetxX ∫∞
−∞Ω−=Ω )()( (1.41)
dan Ω∫∞
−∞ΩΩ= dtjeXtx )(
21)(π
(1.42)
sedang pasangan Transformasi Fourier dari sinyal diskrit x(n) adalah :
∑∞
−∞=−=
nnjenxX ωω )()( (1.43)
dan ωπ
πωω
πdnjeXnx ∫
−= )(
21)( (1.44a)
dari (1.18) dimana ω = ΩT, persamaan (1.44a) dapat ditulis sebagai :
Ω∫−
Ω= dT
TnTjeXTnx
/
/)(
2)(
π
πω
π (1.44b)
sedang karena x(n) = x(t)|t=nT, maka (1.42) dapat kita ubah menjadi :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 29
x(n) = x(nT) = Ω∫∞
−∞ΩΩ dnTjeX )(
21π
(1.45)
Persamaan (1.45) dapat ditulis dalam bentuk jumlah dari integral sebagai berikut :
Ω∑∞
−∞=∫
+
−
ΩΩ= dk
Tk
TknTjeXnx
/)12(
/)12()(
21)(
π
ππ
Ω+Ω= Ω
−
∞
−∞=∫ ∑ de
TkX nTj
T
T k
)2(21
/
/
π
π
ππ
(1.46)
dengan membandingkan (1.44b) dengan (1.46), maka dapat disimpulkan bahwa :
∑∞
−∞=
+Ω=k
TkX
TX )2(1)( πω (1.47)
Jika x(t) adalah sinyal dengan pita frekuensi terbatas (band-limited signal), yaitu sinyal
yang tidak memuat frekuensi di atas frekuensi tertentu Ωh, maka X(Ω) dapat diandaikan
mempunyai bentuk seperti yang terlihat pada gambar (1.7a)
Dengan demikian menurut persamaan (1.47), bentuk dari X(ω) akan terlihat
seperti pada gambar (1.7b) jika π/T < Ωh, seperti gambar (1.7c) jika π/T = 2Ωh, dan
terlihat seperti gambar (1.7d) jika π/T > Ωh.
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 30
cω− cω Ω
)( ΩjH
)( ΩjH
πhTΩ
hTΩ=π
hTΩ ππ− π2π2−
ω
ω
ω
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1-7 Tanggap frekuensi dari
a) sinyal analog
b) sinyal digital dengan Fs < 2Fh
c) Fs = 2Fh
d) Fs > 2Fh
Jadi, jika interval cuplik T < π/Ωh atau frekuensi cuplik Fs > Ωh/π = 2Fh, maka bentuk
dari H(ω) untuk jangkau -π < ω < π (atau -π/T < Ω < π/T), identik dengan H(Ω). Atau
dengan kata lain H(Ω) dapat diperoleh dari H(ω), yaitu :
H(Ω) = TH(ω) untuk -π/T < ω < π/T (1.48)
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 31
Selanjutnya h(t) dapat dihitung dari H(jΩ) dengan persamaan (1.42). Frekuensi cuplik
sebesar 2Fh dinamakan frekuensi Nyquist. Atas dasar hasil ini, kita dapat mengharap
bahwa jika x(n) diperoleh dari x(t) dengan frekuensi cuplik Fs > 2Fh, dengan interpolasi
kita dapat memperoleh kembali x(t) dari x(n). Sedang jika frekuensi cuplik terlalu kecil,
seperti yang terlihat pada gambar 1-8b, dimana bagian frekuensi rendah dari H(jΩ)
tercermin sebagai frekuensi atasnya, maka kalau dilakukan interpolasi akan
menghasilkan sinyal dengan frekuensi yang lebih rendah. Fenomena ini sering disebut
dengan aliasing.
Atas dasar teori tersebut, didalam praktek jika kita akan melakukan digitalisasi
sinyal kontinyu x(t) dengan A/DC, untuk menghindari terjadinya aliasing, sinyal harus
di-low-pass filter dulu secara hardware dengan frekuensi pojok Fc, paling tinggi sebesar
Fs/2.
Untuk menjabarkan rumus interpolasi guna mendapatkan x(t) dari x(n), kita
dapat berangkat dari persamaan (1.42), yaitu :
∫∞
∞−ΩΩΩ= dtjeXtx )(
21)(π
(1.49)
Dengan memperhatikan (1.47) dan (1.48), persamaan (1.49) dapat diganti dengan :
ΩΩ
−⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢
⎣
⎡ ∞
∞−
Ω−= ∫ ∑ dtjeT
T
nTjenxTtx/
/
)(2
)(π
ππ
Ω∞
−∞= −
−Ω= ∑ ∫ dn
T
T
nTtjenxTtx/
/
)()(2
)(π
ππ
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 32
∑∞
−∞= −
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧ −
=
n nTtT
nTtTnxtx
)(
(sin)()(
π
π
(1.50)
I.5.1 Sifat Simetri Transformasi Fourier
Ada beberapa sifat simetri Transformasi Fourier (TF) yang sering berguna pada
pembicaraan selanjutnya. Untuk itu perlu diketahui beberapa istilah yang berkaitan
dengan runtun waktu. Runtun waktu simetri x(n) adalah runtun waktu komplex yang
mempunyai sifat x(n) = x(-n). Sedang runtun waktu antisimetri x(n) mempunyai sifat
x(n) = -x(-n). Untuk runtun waktu real sering digunakan istilah genap untuk simetri dan
ganjil untuk antisimetri. Setiap runtun waktu selalu dapat diuraikan dalam bentuk
)(0)()( nxnexnx += (1.51a)
dimana )()(21)( nxnxnxe −+= (1.51b)
)()(21)(0 nxnxnx −−= (1.51c)
demikian juga untuk runtun waktu komplex kita dapat menuliskan dalam bentuk
)()()( nIjxnRxnx += (1.52)
dimana xR dan xI berturut-turut adalah bagian real dan bagian imaginer dari x(n).
Penulisan pada (1.51) juga berlaku untuk X(ω), Transformasi Fourier dari x(n). dapat
dibuktikan bahwa :
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 33
TF x*(n) = X*(-ω) (1.53a)
TF x*(-n) = X*(ω) (1.53b)
TF xR(n) =Xe(ω) (1.53c)
TF jxI(n) = X0(ω) (1.53d)
TF xe(n) = XR(ω) (1.53e)
TF xo(n) = jXI(ω) 1.53f)
Sedang kalau runtun waktu x(n) real maka berlaku
X(ω) = simetri = x*(-ω) (1.53g)
XR(ω) = genap = XR(-ω) (1.53h)
XI(ω) = ganjil = -XI(-ω) (1.53i)
|X(ω)| = genap = |x(-ω)| (1.53j)
arg H(ω) = ganjil = -arg X(-ω) (1.53k)
TF xe(n) = XR(ω) (1.53l)
TF xo(n) = j XI(ω) (1.53m)