Dikat PSD BAB I.pdf

33
Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 1 BAB I SINYAL DAN SISTEM DIGITAL I.1 Pendahuluan Sinyal adalah suatu fungsi yang mengandung informasi, umumnya tentang keadaan atau watak dari suatu sistem fisika. Sebagai contoh dari sinyal adalah : detak jantung atau tegangan efektif suatu jaringan listrik sebagai fungsi waktu, ketinggian tanah sebagai fungsi tempat (2 dimensi), intensitas radioaktif, suhu danau kawah, atau tekanan barometer sebagai fungsi posisi (3 dimensi) dan waktu. Dari contoh di atas juga terlihat bahwa sinyal dapat merupakan fungsi dengan beberapa variabel tak bebas. Pada tulisan ini hanya akan dibicarakan tentang sinyal satu dimensi (sinyal dengan satu variabel bebas). Untuk memudahkan pembicaraan, nilai dari sinyal disebut amplitudo sinyal sedang variabel bebasnya dinamakan variabel waktu, meskipun pada kenyataanya variabel bebas tersebut berupa variabel yang lain. Pada umumnya, seperti yang dicontohkan di atas, baik amplitudo maupun variabel waktu dari sinyal mempunyai harga yang kontinyu. Sinyal seperti ini dinamakan sinyal analog atau sinyal kontinyu (continuous time signal). Secara teori, istilah yang kedua sebenarnya diperuntukan bagi sinyal yang variabel waktunya kontinyu, sedang amplitudo tidak harus kontinyu. Namun oleh karena dalam praktek sinyal kontinyu sering diartikan sebagai sinyal analog. Untuk dapat memproses sinyal seperti ini dengan rangkaian elektronika digital (hardware atau software komputer), sinyal analog tersebut perlu diubah menjadi sinyal digital. Artinya, harga amplitudo dari sinyal pada waktu-waktu tertentu (diskrit) perlu dikuantisasikan dalam bentuk

description

pengolahan sinyal digital

Transcript of Dikat PSD BAB I.pdf

Page 1: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 1

BAB I

SINYAL DAN SISTEM DIGITAL

I.1 Pendahuluan

Sinyal adalah suatu fungsi yang mengandung informasi, umumnya tentang

keadaan atau watak dari suatu sistem fisika. Sebagai contoh dari sinyal adalah : detak

jantung atau tegangan efektif suatu jaringan listrik sebagai fungsi waktu, ketinggian

tanah sebagai fungsi tempat (2 dimensi), intensitas radioaktif, suhu danau kawah, atau

tekanan barometer sebagai fungsi posisi (3 dimensi) dan waktu. Dari contoh di atas juga

terlihat bahwa sinyal dapat merupakan fungsi dengan beberapa variabel tak bebas. Pada

tulisan ini hanya akan dibicarakan tentang sinyal satu dimensi (sinyal dengan satu

variabel bebas). Untuk memudahkan pembicaraan, nilai dari sinyal disebut amplitudo

sinyal sedang variabel bebasnya dinamakan variabel waktu, meskipun pada kenyataanya

variabel bebas tersebut berupa variabel yang lain.

Pada umumnya, seperti yang dicontohkan di atas, baik amplitudo maupun

variabel waktu dari sinyal mempunyai harga yang kontinyu. Sinyal seperti ini

dinamakan sinyal analog atau sinyal kontinyu (continuous time signal). Secara teori,

istilah yang kedua sebenarnya diperuntukan bagi sinyal yang variabel waktunya

kontinyu, sedang amplitudo tidak harus kontinyu. Namun oleh karena dalam praktek

sinyal kontinyu sering diartikan sebagai sinyal analog. Untuk dapat memproses sinyal

seperti ini dengan rangkaian elektronika digital (hardware atau software komputer),

sinyal analog tersebut perlu diubah menjadi sinyal digital. Artinya, harga amplitudo dari

sinyal pada waktu-waktu tertentu (diskrit) perlu dikuantisasikan dalam bentuk

Page 2: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 2

bilangan/kode biner. Proses ini juga dikenal dengan proses pencuplikan (sampling

process), karena harga (amplitudo) dari sinyal hanya dicuplik pada waktu-waktu

tertentu. Secara umum interval waktu cuplik tidak harus sama, namun dalam bahasan

ini hanya akan dibicarakan sinyal digital dengan interval cuplik (sampling interval)

yang seragam. Jadi misalnya saja kalau kita mengukur harga suhu pada waktu-waktu

tertentu dan menuangkan hasil pengukuran dalam bentuk deretan bilangan secara urut

waktu, yang kita peroleh adalah sinyal digital. Sinyal digital dengan demikian, dapat

didefinisikan sebagai sinyal yang amplitudo dan variabel waktunya berharga diskrit.

Sedang istilah sinyal diskrit (descrete time signal; sequence) digunakan untuk

menyatakan atau menyajikan secara matematis fungsi yang variabel bebasnya diskrit,

tanpa menghiraukan apakah amplitudonya diskrit atau kontinyu. Jadi sinyal digital juga

termasuk sinyal diskrit.

Secara elektronis digitalisasi sinyal dapat dilakukan dengan A/DC (Analog to

Digital Converter). Dengan cara ini pada setiap interval waktu tertentu (interval cuplik),

harga amplitudo yang kontinyu diubah menjadi harga diskrit dalam bentuk kode biner,

yang resolusi hasilnya tergantung pada jumlah bit dari A/DC.

Didalam upaya menggali informasi yang terkandung dalam suatu sinyal, sering

diperlukan pemrosesan. Memproses sinyal berarti mentransformasikan atau mengubah

sinyal dari bentuk aslinya ke bentuk lain yang untuk suatu tujuan tertentu lebih mudah

memahaminya. Dengan demikian pengetahuan serta pengembangan teknik pemrosesan

sinyal sangat penting artinya dalam melakukan analisa hasil pengukuran. Sebagai

contoh, untuk memahami gejala yang dihasilkan suatu sistem fisis, sinyal hasil

pengukuran sering tercampur dengan sinyal dari gejala sistem fisis yang lain (derau,

noise), sehingga diperlukan suatu proses untuk memisahkan kedua gejala tersebut.

Page 3: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 3

Menghilangkan derau dari sinyal umumnya dilakukan dengan cara pentapisan

(filtering), sedang untuk menentukan spesifikasi frekuensi dari tapis yang digunakan,

perlu diketahui spectrum dari sinyal (+ derau). Untuk tujuan ini diperlukan proses yang

lain, yaitu Transformasi Fourier.

Secara umum pemroses sinyal digital juga disebut dengan sistem atau filter

digital, sedang dalam bahasa matematika istilah transformator atau operator sering

digunakan. Sistem yang mempunyai masukan dan keluaran analog dinamakan sistem

analog, sedang yang berkaitan dengan masukan dan keluaran digital disebut sistem

digital. Pemrosesan sinyal analog, misalnya saja penapisan sinyal (filtering), umumnya

dilakukan secara hardware yaitu dengan rangkaian listrik atau elektronika. Keuntungan

pemroses hardware adalah cepat dan dapat dilakukan secara real time. Sedang

kelemahanya adalah, selain macam proses terbatas, juga untuk mengubah parameter

pemroses agak sulit dilakukan. Dengan berkembangnya komputer, pemroses sinyal

digital menjadi lebih menarik karena dapat dilakukan secara software sehingga dapat

dilakukan proses yang cukup rumit, yang tidak mungkin dilakukan dengan secara

hardware.

I.2 Sistem Analog : bahasan secara singkat

Pembahasan dalam sistem digital pada dasarnya serupa dengan apa yang

dilakukan dalam sistem analog. Pengertian seperti tanggap impuls (watak sistem dalam

kawasan waktu), tanggap frekuensi (watak sistem dalam kawasan frekuensi) juga

digunakan dalam menyatakan watak dari sistem digital. Demikian juga untuk

merancang sistem digital, seperti misalnya filter, algoritma yang digunakan sering

berasal dari persamaan filter analog. Dengan alas an tersebut, berikut ini dibicarakan

secara singkat beberapa hal dasar yang berkaitan dengan sistem analog.

Page 4: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 4

Dalam sistem analog, watak sistem yaitu ungkapan yang menyatakan hubungan

antara keluaran dan masukan dari sistem, dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

a. Persamaan diferensial : misalnya untuk tapis lolos-bawah (low-pass filter) sederhana

seperti terlihat pada gambar 1.1, berlaku persamaan :

)()(0)(0 tiVtV

dt

tdVRC =+ (1.1)

dengan persamaan (1.1) ini berlaku masukan Vi(t) diketahui, maka dapat dihitung

keluaran Vo(t), yang pegang peranan penting untuk menyelesaikan persamaan

diferensial seperti ini adalah Transformasi Laplace, yang mempunyai bentuk :

dtstetxsXtxL ∫∞

−∞−== )()()( (1.2a)

dimana s adalah variabel komplex, yang secara umum dapat dinyatakan sebagai

s = σ + jΩ. Hasil Transformasi Laplace dari beberapa macam fungsi pada umumnya

tersedia dalam bentuk tabel.

Untuk hal khusus dimana s = jΩ, persamaan (1.2a) berubah menjadi :

dtjetxjX ∫∞

−∞Ω−=Ω )()( (1.2b)

yang dikenal sebagai Transformasi Fourier.

Page 5: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 5

R

Vi(t) Vo(t)

Gambar 1-1 Tapis RC sederhana

Jika ruas kiri dan kanan pada persamaan (1.1) dikenakan Transformasi Laplace, dan

dengan mengandaikan keadaan awal sistem berharga nol, maka akan diperoleh :

)(1

1)(0 sVRCs

sV i+= (1.3a)

dengan menggunakan tabel, kalau Vi(t) diketahui, maka V0(t) dapat dicari

persamaan (1.3a) dapat ditulis dalam bentuk :

11)(

)()(0

+==−

RCssH

sVsV

i

(1.3b)

dimana H(s) dinamakan fungsi alih dari sistem.

b. Tanggap Impuls dari Sistem h(t) : didefinisikan sebagai keluaran dari sistem kalau

masukanya berupa fungsi dirac δ(t). Dengan menganggap sistem sebagai

transformator, secara umum dapat ditulis :

)()( tTth δ=

mengingat δ(t) = 0 untuk ε>t dengan 0⇒ε

dan (1.4) ∫∞

−∞=1)( dttδ

maka untuk setiap fungsi x(t) dapat dituliskan sebagai :

Page 6: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 6

∫ −= ττδτ dtXtx )()()( (1.5)

dengan demikian untuk sistem dengan transformasi T kalau mendapatkan masukan

x(t), keluaranya dapat dituliskan

∫ −== τττ dtdxTtxTty )()()()( (1.6)

Kalau sistemnya linear, yang berarti bahwa operasi terhadap penjumlahan/integrasi

dari operasi, maka (1.6) dapat ditulis sebagai :

ττδ dtTtxty )()()( −∫=

lebih lanjut kalau sistem time invariant, sehingga )()( ττδ −=− thtT , maka

hubungan antara masukan dan keluaran dapat dituliskan :

∫∞

−∞−= τττ dthxty )()()( (1.7)

bentuk persamaan (1.7) dinamakan konvolusi integral antara x(t) dan h(t). Untuk

tapis lolos bawah (gambar 1.1) misalnya, tanggap impulsnya dapat dicari dari

persamaan (1.3) dengan Vi(t) = δ(t), yang berarti Vi(s) = 1. Dengan substitusi Vi(s)

ke persamaan (1.4) diperoleh :

11)(+

=RCs

sH (1.8a)

yang penyelesaianya (dari Transformasi Laplace) adalah :

RCteRC

th /1)( −= (1.8b)

c. Tanggap frekuensi dari Sistem : telah diketahui bahwa kalau pada rangkaian pada

gambar 1.1 diberi masukan sinusoida, maka keluaranya juga berbentuk sinusoida,

Page 7: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 7

hanya saja mempunyai amplitudo dan fase yang berbeda dengan masukan. Dengan

masukan Vi(t) = A sinΩt maka keluaranya adalah :

tARCj

tV ΩΩ+

= sin1

1)(0 (1.9)

)sin()1( 2/1222 Φ−Ω

Ω+= t

CRA

dimana tgΦ = RCΩ. Dari persamaan (1.9) terlihat bahwa dengan masukan sinus,

keluaran sistem akan merupakan perkalian antara sinyal masukan dengan suatu

fungsi kompleks dari Ω, yang dinamakan tanggap frekuensi dari sistem. Jadi untuk

sistem gambar (1.1), tanggap frekuensinya dengan demikian adalah :

RCjjH

Ω+=Ω

11)( (1.10)

dengan membandingkan persamaan (1.10) dengan (1.8a), terlihat bahwa tanggap

frekuensi dari sistem tidak lain adalah fungsi H(s) untuk s = jΩ, atau dengan kata

lain tanggap frekuensi dari sistem adalah Transformasi Fourier dari tanggap impuls

h(t). Jadi secara umum, dari persamaan (1.2b), tanggap frekuensi dari sistem dapat

dihitung dari :

∫∞

−∞Ω−=Ω dttjethjH )()( (1.11a)

dengan Transformasi Fourier, kita dapat mengubah watak sistem dalam kawasan

waktu h(t), menjadi watak sistem dalam kawasan frekuensi H(jΩ). Untuk

melakukan transformasi kearah sebaliknya, dapat dilakukan dengan Transformasi

Fourier Balik (IFFT), yang mempunyai bentuk :

Page 8: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 8

Ω∫∞

−∞ΩΩ= dtjejHth )(

21)(π

(1.11b)

hubungan antar masukan dan keluaran dalam kawasan frekuensi dari sistem linear

dan tak gayut waktu (time invariant) dapat kita peroleh dengan melakukan

Transformasi Fourier terhadap persamaan (1.7), yaitu :

dttjedthxdttjetyjY Ω−∫ ∫ −=∫

Ω−=Ω τττ )()()()(

dengan substitusi t’ = t - τ atau t = t’ + τ, diperoleh :

'')'()()( dttjethdttjetxjY ∫ ∫Ω−Ω−=Ω

atau )()()( ΩΩ=Ω jHjXjY (1.12)

Persamaan (1.1), (1.3), (1.7) dan (1.12) yang dilakukan secara numerik akan

merupakan dasar dari program perhitungan dalam pemrosesan sinyal digital.

I.3. Sinyal Diskrit

Penulisan sinyal diskrit dalam bentuk fungsi dinyatakan dengan :

X(n) = x(nT) = x(t)|t=nT ; n = 0, +1, +2, +3 ….

Ini berarti bahwa sinyal tersebut terdiri dari deretan bilangan urut waktu dengan interval

cuplik T yang seragam, yang nilai amplitudonya pada pencuplikan yang ke-n adalah

x(n). Penulisan yang lebih lengkap untuk x(n) sebenarnya adalah x(nT) karena

pencuplikan ke n berkaitan dengan waktu t=nT. Penulisan dengan x(n) hanya

dimasudkan untuk memudahkan, sedang penulisan secara lengkap akan dilakukan jika

nilai T diperlukan. Istilah interval cuplik selalu dipakai meskipun pada kenyataanya

Page 9: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 9

deretan bilangan tersebut tidak diperoleh dari hasil pencuplikan. Penyajian secara grafik

dari suatu sinyal diskrit disajikan pada gambar 1.2.

x(n)

n0

Gambar 1-2 Contoh penggambaran sinyal diskrit

Dua buah sinyal diskrit yang penting diperlihatkan pada gambar 1.3. Sinyal impuls

satuan atau sinyal impuls δ(n) (descrete-time impulse; unit-sample sequence)

didefinisikan sebagai :

0)(10)(0)( ==

≠== nuntuknuntuknδ (1.13)

u ( n )

n

n10 2 3 4

)( nδ

Gambar 1-3 Sinyal impuls (atas) dan undak satuan (bawah)

Nanti akan kita lihat bahwa peranan fungsi ini pada sistem digital akan sama halnya

dengan peranan fungsi Dirac pada sistem analog. Untuk kemudahan, sinyal ini sering

disebut dengan sinyal impuls atau impuls. Sinyal lain yang juga penting adalah sinyal

undak satuan (unit-step sequence) u(n), yang didefinisikan :

Page 10: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 10

0)(10)(0)( ≥=<== nuntuk

untuknU (1.14a)

dapat dibuktikan bahwa sinyal undak satuan dapat dinyatakan sebagai :

∑∞

=−=

0)()(

kknnu δ (1.14b)

sebaliknya sinyal impuls dapat dinyatakan dalam sinyal undak dengan :

)1()()( −−= nununδ (1.15)

fungsi eksponensial real dan komplex dapat dituliskan berturut-turut sebagai :

nanx =)( dengan a = bilangan real (1.16a)

dan ωσ jenx +=)( (1.16b)

sedang fungsi sinus dapat dinyatakan dengan :

( )Φ+= nAnx ωcos)( (1.17)

satuan dari ω adalah radian (bukan radian per detik), dan merupakan besarnya sudut

yang ditempuh oleh gelombang sinus selama satu interval cuplik T. Hal ini dapat

dijelaskan sebagai berikut : kalau gelombang sinus yang kontinyu dinyatakan sebagai :

)2cos()cos()( φπφ +=+Ω= FtAtAtx

dimana Ω adalah frekuensi sudut (radian/detik), dan F adalah frekuensi (hertz), dan

kemudian kita cuplik dengan interval cuplik T, maka akan diperoleh sinyal sinus diskrit

)2cos()cos()( φπφ +=+Ω= FnTAnTAnx

)2cos()cos( φπφω +=+= fnanA

Page 11: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 11

dari sini jelas bahwa ω = ΩT = sudut yang ditempuh selama T detik, sehingga satuanya

adalah radian atau radian/cuplik. Jika frekuensi dari sinyal sinus kontinyu adalah F =

Ω/2π, dengan satuan hertz (Hz = jumlah gelombang/detik), frekuensi dari sinyal sinus

diskrit adalah f = ω/2π, dengan satuan gelombang/cuplik. Harga Fs = 1/T dinamakan

dengan frekuensi cuplik (sampling frequency), yang merupakan jumlah data per detik.

Dengan demikian dapat ditulis :

ω = 2πf = ΩT = 2πfT = 2πF/Fs dan f = F/Fs (1.18)

data runtun waktu x(n) dikatakan periodik dengan periode N kalau dipenuhi :

x(n+N) = x(n) (1.19)

Fungsi sinus dan eksponensial komplex dengan σ = 0 akan mempunyai periode 2π/ω

hanya kalau harga ini integer (kelipatan dari T). Kalau harga tersebut rasional fungsi-

fungsi tersebut akan periodik dengan periode kelipatan dari harga tersebut, sedang kalau

2π/ω tidak rasional maka fungsi-fungsi tersebut tidak periodik sama sekali. Parameter ω

tetap disebut sebagai frekuensi dari fungsi sinus atau fungsi eksponensial komplex

meskipun fungsi-fungsi tersebut tidak periodik. Harga ω dari fungsi sinus dapat

mempunyai sembarang harga dari nol sampai tak berhingga, namun mengingat harga

fungsi sinus untuk frekuensi 2πk < ω < 2π(k+1), sama dengan untuk frekuensi 0 < ω <

2π, maka jangkau ω dari fungsi sinus diskrit sering dibatasi 0 < ω < 2π atau -π< ω < π.

Untuk memudahkan pembicaraan selanjutnya perlu didefinisikan pengertian

tentang perkalian dan penjumlahan sebagai berikut :

Perkalian/penjumlahan dua runtun waktu mempunyai arti perkalian/penjumlahan antara

dua harga sinyal untuk waktu cuplik yang sama, dan dituliskan sebagai :

Page 12: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 12

Perkalian : z(n) = x(n)y(n) (1.20a)

Penjumlahan : z(n) = x(n) + y(n) (1.20b)

Sedang penulisan y(n) = x(n-n0), berarti y(n) mempunyai bentuk yang sama dengan

x(n), tetapi y(n) tergeser (shifted) kemuka/ke kanan sejauh n0T terhadap x(n).

Dengan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dibuktikan bahwa

sembarang sinyal diskrit x(n) dapat dituliskan sebagai :

∑∞

−∞=−=

kknkxnx )()()( δ (1.21)

I.4. Sistem Digital Linear dan Shift Invariant (LSI)

Secara matematis suatu sistem atau pemroses digital dapat dianggap sebagai

suatu transformator atau operator T, yang kalau dioperasikan terhadap masukan akan

menghasilkan suatu keluaran. Oleh karena masukan dan keluaran dari sistem digital

adalah deretan bilangan, maka sistem digital akan berupa prosedur numerik atau suatu

program jika prosedur tersebut akan dilakukan denga komputer. Operasi ini bersifat

unik. Hubungan antara masukan dan keluaran secara umum dapat dituliskan dengan :

y(n) = Tx(n) (1.22)

seperti halnya sistem analog, hubungan antara keluaran dan masukan dari sistem digital

dapat disajikan dengan beberapa bentuk.

I.4.1 Konvolusi Jumlah

Untuk sistem digital LSI (Linear dan Shift Invariant), hubungan antara keluaran

dan masukan dapat dituliskan sebagai konvolusi jumlah dengan bentuk :

Page 13: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 13

∑ ∑ −=−= )()()()()( knxkhknhkxny (1.23a)

yang juga lazim ditulis dengan :

y(n) = x(n) * h(n) (1.23b)

h(n) dinamakan tanggap impuls dari sistem, yaitu keluaran dari sistem kalau

masukannya adalah sinyal impuls δ(n). Hubungan tersebut dapat dibuktikan sebagai

berikut :

dengan substitusi persamaan(1.21) ke (1.22) didapat :

∑ −== )()()()( knkxTnxTny δ (1.24)

untuk sistem linear yang berarti :

Tax(n) + bx(n) = a Tx(n) + b Tx(n)

Diamana a dan b adalah suatu tetapan, maka persamaan (1.24) berubah menjadi :

∑ −= )()()( knTkxny δ (1.25)

Kalau sistemnya shift-invariant, maka Tδ(n-k) = h(n-k), sehingga terbuktilah

persamaan (1.23). Tanggap impuls h(n) dari sistem tidak lain merupakan watak dari

sistem dalam kawasan waktu.

I.4.2 Sistem Kausal dan Sistem Stabil

Seperti halnya sifat linear dan shift-invariant yang memang merupakan sifat dari

sistem fisis pada umumnya, demikian juga sifat kausal dan sifat stabil dari sistem.

Sistem dikatakan kausal apabila harga keluaran y(n) baru ada setelah ada masukan x(n).

Atau dapat dikatakan perubahan dari keluaran tidak pernah mendahului perubahan

Page 14: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 14

masukan. Dengan demikian jelas bahwa tanggap impuls dari suatu sistem LSI yang

kausal akan berharga nol untuk n<0, dan ini dapat digunakan untuk menentukan sifat

kausal dari sistem.

Sedang sistem yang stabil didefinisikan sebagai sistem yang kalau mendapatkan

masukan berhingga, keluaranya juga berhingga. Dengan pengertian tersebut dapat

dibuktikan bahwa untuk sistem LSI yang stabil berlaku :

∑ )(kh < ∞ (1.26)

Bukti : kalau x(n) berhingga berarti untuk setiap harga n, )(nx < M dengan M = harga

terbesar dari )(nx yang berhingga. Dari (1.23a) dapat dituliskan :

)()()()()( knxkhknxkhny −=−= ∑∑ (1.27)

< ∑ )(khM

Jadi untuk sistem stabil dimana )(ny berhingga jika x(n) berhingga untuk setiap harga

n, maka haruslah ∑ )(kh < ∞.

Contoh soal 1.1 :

Suatu sistem mempunyai tanggap impuls :

0)(0

0)()( <=

≥==

nuntuknuntukna

nh atau h(n) = an u(n)

dengan a<1, diberi masukan x(n) = u(n) – u(n-N)

Hitung dan gambar keluaran y(n), untuk gambar ambilah N=5 dan a=0.5

Page 15: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 15

Jawab :

a. dengan memasukan harga x(n) dan h(n) di atas pada rumus konvolusi jumlah :

∑∞

−∞=−=

kknhkxny )()()(

maka akan diperoleh :

)()()()( knuknak

Nkukuny −−∑∞

−∞=−−=

oleh karena :

10)(1

)arg(0)()( −≤≤−−−−=−−

Nkuntuklainyangkahuntuknkuku

dan )(1

)arg(0)( ≤−−−−=−

kuntuklainyangkahuntukknu

maka batas penjumlahan pada rumus konvolusi pada rumus konvolusi tersebut

di atas adalah :

k : 0 ⇒ n jika n < N-1

dan k : 0 ⇒ n-1 jika n ≥ N-1

sehingga :

11

110

)( −−

−−−=∑

=−=

a

nanan

kknany atau 0 ≤ n < N-1

atau 11

1

11

1)(

−−−−

=−−

−−=

a

naa

a

anany

dan 11

11

0)( −−

−−∑−

==−=

a

NaN

knaknany untuk n ≥ N-1

Page 16: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 16

atau naa

Na

111

−−−−

=

b. Jika a = ½ dan N = 5, dari rumus di atas didapat :

nny ⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛−=

212)( untuk 0 ≤ n < 4

sehingga : y(1) = 121 , y(2) = 1

43 , y(3) = 1

87

dan y(n) = 31n⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

21 untuk n ≥ 4

sehingga : y(4) = 11615 , y(5) =

3231 , y(6) =

6431 , dst.

Hasil ini beserta x(n) dan h(n) diperlihatkan pada gambar 1.4

Page 17: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 17

x(n)

n

n

h(n)

1

1

n

y(n)

1

2

Gambar 1-4 Tanggap impuls, masukan dan keluaran untuk

Contoh soal 2.1 skala y(n) dua kali h(n) dan x(n)

I.4.3 Program Penghitungan y(n) dengan konvolusi

Penghitungan y(n) dengan konvolusi sebenarnya hanya akan lebih muda

digunakan kalau panjang dari h(n) berhingga. Dengan h(n) berhingga oleh karena pada

umumnya masukan x(n) panjangnya berhingga, panjang dari y(n) akan berhingga.

Dapat dibuktikan bahwa kalau panjang x(n) adalah N dan panjang dari h(n) adalah M

maka panjang dari y(n) adalah N+M-1. Dalam melakukan penghitungan y(n) dengan

Page 18: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 18

suatu program komputer, harga dari x(n) dan h(n) biasanya masing-masing disimpan

pada sebuah array.

Kalau h(n) panjangnya tak berhingga jelas tidak mungkin menyimpan semua

h(n) dalam sebuah array, sehingga y(n) akan lebih mudah kalau dihitung dari persamaan

beda yang dibicarakan pada bab II.4. Jika y(n) harus dihitung dengan konvolusi, dalam

hal demikian ada 2 macam jalan yang dapat ditempuh. Mengingat untuk sistem yang

stabil harga h(n) akan menuju nol untuk n yang makin besar, maka kalau h(n) berupa

data runtun waktu, tidak semua h(n) yang disimpan dalam array, tetapi hanya sepanjang

M dimana untuk n>M harga dari h(n) sudah mendekati nol. Kalau h(n) berupa

persamaan, sebagai missal , untuk ini tidak diperlukan array untuk h(n)

tetapi dihitung pada saat h(n) diperlukan untuk komputasi. Secara teoritis panjang y(n)

tak berhingga, namun karena y(n) akan menuju nol setelah masukan berakhir, pada

umunya harga dari y(n) sudah sangat kecil untuk n > 2N (N = panjang masukan).

Dengan demikian, sebagai perkiraan y(n) cukup dihitung sampai harga n = 2N.

)()( nuanh n=

Program 1.1 : Program konvolusi untuk h(n) dan x(n) panjang berhingga, h(n) panjang

M dan x(n) panjang N

For I=0 to M+N-2

y(I) = 0

next I

For I=0 to M+N-2

IF I <= N then L=1 else then L = N

For J = 0 to L

y(I) = y(I) + x(J) * h(I-J)

next J

next I

Page 19: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 19

program di atas akan efisien kalau N<M, sedang untuk M<N, maka baris ke 5, N perlu

diganti dengan M, sedang baris 7 diganti dengan :

y(I) = y(I) + h(J) * x(I-J)

kalau h(n) diberikan dalam bentuk persamaan, misalnya , maka M+N-2

perlu diganti dengan 2N, sedang baris 7 diganti dengan :

)()( nuanh n=

y(i) = y(I) + x(j) * a^(I-J)

soal-soal latihan : Buktikan

1. x(n) * y(n) = y(n) *x(n)

2. x(n) * y(n)*z(n) = x(n) * y(n) * z(n)

3. x(n) * y(n)+z(n) = x(n) * y(n) * z(n)

I.4.4 Persamaan Beda (Difference Equation)

Seperti halnya sistem analog yang karateristiknya dapat dinyatakan dengan

persamaan diferensial, watak dari sistem digital dapat dinyatakan dengan suatu

persamaan beda (difference equation). Secara umum bentuk persamaan beda dari sistem

LSI adalah :

∑=

∑=

−=−N

k

M

rknxrbknyka

0 0)()( (1.28)

dengan persamaan beda seperti ini, sistem dapat kausal atau tidak kausal, hal ini

tergantung pada kaondisi awal dari sistem. Dengan persamaan beda, kita sudah dapat

menghitung secara langsung keluaran y(n) kalau masukan x(n) diketahui. Atau dari

persamaan beda kita hitung lebih dahulu tanggap impuls h(n), lalu kemudian y(n) kita

Page 20: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 20

hitung dengan konvolusi. Salah satu cara untuk memperoleh tanggap impuls sistem dari

sistem suatu persamaan beda adalah dengan mensubstitusi harga x(n) = δ(n). Sebagai

contoh suatu sistemmempunyai persamaan beda :

y(n) – ay(n-1) = x(n) (1.29)

kalau x(n) = δd(n), yang berarti y(n) = h(n), maka dapat ditulis :

h(n) – ah(n-1) = δ(n)

dengan memasukkan syarat h(n) = 0 untuk n<0 (sistem kausal), maka :

h(0) – ah(-1) = δ(0) ⇒ h(0) = 1

h(1) – ah(0) = δ(1) ⇒ h(1) = a

h(2) – ah(1) = δ(2) ⇒ h(2) = a2

dapat disimpulkan untuk n ≥ 0 ⇒ h(n) = an

atau dapat dituliskan )()( nunanh =

I.4.5 Filter Auto Regresive (AR)

Kalau pada persamaan (1.28) harga M = 0 dan N > 0, maka keluaran sistem pada saat

sekarang selain tergantung pada masukan sekarang juga tergantung pada harga keluaran

pada saat-saat sebelumnya (ada umpan balik). Filter seperti ini disebut filter auto

regressive, dan seperti yang terlihat pada contoh di atas, tanggap impuls dari filter AR

selalu mempunyai panjang tak berhingga, sehingga dinamakan juga dengan filter IIR

(Infinite Impuls Response).

Page 21: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 21

I.4.6 Filter Moving Average (MA)

Sebaliknya kalau filter pada persamaan (1.28) mempunyai harga N = 0 dan M > 0,

keluaranya akan merupakan rata-rata berbobot dari masukan sekarang dan masukan

saat-saat sebelumnya, dengan faktor bobot br, yaitu :

∑=

−=N

rknxrbny

0)()( (1.30)

dengan alasan tersebut filter seperti ini disebut dengan filkter MA. Kalau (1.30) kita

bandingkan dengan (1.23a), maka terlihat bahwa br tidak lain adalah tanggap impuls

h(n) yang panjangnya berhingga yaitu N+1. Oleh karena itu filter MA juga disebut

dengan filter FIR (Finite Impuls Response). Sedang kalau pada (1.28) M>0 dan N>0,

maka filter yang bersangkutan disebut dengan filter ARMA (Auto Regresive Moving

Average), yang juga merupakan filter IIR.

I.4.7 Program Penghitungan y(n) dengan Persamaan Beda

Sebagai contoh andaikan sistem kausal orde 2 mempunyai persamaan beda berbentuk

y(n) = x(n) + b1x(n-1) + b2x(n-2) – a1y(n-1) – a2y(n-2)

Ini adalah sistem ARMA, dengan panjang h(n) tak berhingga. Jadi kalau panjang x(n)

adalah N, panjang keluaran y(n) yang perlu dihitung kira-kira sampai harga n = 2N.

Kalau sistemnya kausal dan sinyal dimulai dari n = 0, maka pada saat menghitung y(0),

harga dari y(n-1), y(n-2), x(n-1) dan x(n-2) adalah nol.

y(n-1) dan x(n-1) ≠ 0 untuk n>1 sedang x(n-2) dan y(n-2) ≠ 0 untuk n>2. Harga x(n-1),

x(n-2), y(n-1) dan y(n-2) berubah untuk n yang berbeda dan pada program

penghitungan berikut, berturut-turut diberi notasi x1, x2, y1 dan y2.

Page 22: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 22

Program 1.2

y1 = 0 : y2 = 0 : x1 = 0 : x2 = 0

for I=0 to 2N

If I>0 then x1 = x(I-1)

If I>1 then x2 = x(I-2)

y(I) = x(I) + b1*x1 + b2*x2 – a1*y1 – a2*y2

y(2) = y1 : y1 = y(I)

Next I

I.4.8 Watak Sistem dalam Kawasan Frekuensi

Dalam bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa tanggap impuls h(n)

merupakan salah satu penyajian dari watak sistem dalam kawasan waktu. Seperti halnya

dengan sistem analog, watak dari sistem digital juga dapat dinyatakan dalam kawasan

frekuensi, yang juga disebut dengan tanggap frekuensi (frequency response) dari sistem.

Dalam pembahasan sistem analog telah dikemukakan bahwa jika masukan x(t) =

fungsi sinus, maka keluaran sistem akan berbentuk : y(t) = (tanggap frekuensi) * x(t).

Hal yang sama dapat kita lakukan pada sistem digital untuk mencari tanggap frekuensi

dari sistem.

Kalau sekarang pada sistem digital dengan tanggap impuls h(n) dimasukan

fungsi sinus njenx ω=)( , maka menurut (1.23a) keluaran sistem :

∑ −= )()()( knjekhny ω

∑ −= kjekhnje ωω )(

∑ −= kjekhnx ω)()( (1.31)

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa, tanggap frekuensi dari sistem digital adalah :

Page 23: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 23

∑∞

−∞=−=

nnjenhjeH ωω )()( (1.32)

Dalam membicarakan sistem analog telah dikemukakan bahwa tanggap frekuensi dari

sistem tidak lain adalah Transformasi Fourier dari tanggap impuls.

Dengan demikian persamaan (1.32) tidak lain adalah definisi dari Transformasi

Fourier untuk sinyal diskrit. Alasan mengapa tanggap frekuensi dituliskan dengan

)( ωjeH nanti akan jelas pada saat dibicarakan transformasi-Z, sedang untuk

memudahkan penulisan, tanggap frekuensi sering ditulis dengan H(jω) atau H(ω).

Untuk mendapatkan bentuk Transformasi Fourier baliknya, yaitu untuk

mendapatkan h(n) dari H(jω), perlu dikemukakan bahwa H(jω) adalah fungsi kontinyu

dari ω, dan lebih lanjut fungsi ini periodik terhadap ω dengan periode nje ω− . Seperti

telah diketahui bahwa untuk fungsi kontinyu x(t) yang periodik dengan periode T, dapat

diuraikan menjadi deret Fourier dengan bentuk :

∑∞

−∞==

nTntjenatx /2)()( π

(1.33a)

dimana dtTntjetxT

na ∫−= /2)(1)( π (1.33b)

dengan demikian (1.32) dapat diartikan sebagai penyajian dari )( ωjeH dalam deret

Fourier, dengan h(n) sebagai koefisien dari deret tersebut. Dengan pengertian ini h(n)

dapat diperoleh dari H(ω) dengan persamaan :

ωωωπ

ππdnjeHnh )(

21)( ∫−

= (1.34)

Page 24: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 24

Jadi dapat dikatakan (1.32) dan (1.34) merupakan pasangan Transformasi Fourier dari

tanggap impuls suatu sistem digital. Pasangan transformasi ini tidak hanya berlaku

umum untuk data runtun waktu. Sehingga untuk data runtun waktu x(n) kita dapat

menuliskan Transformasi Fouriernya sebagai :

∑∞

−∞=−==

nnjenxjeXX ωωω )()()( (1.35a)

atau ∑∞

−∞=−=

nfnjenxfX π2)()( (1.35b)

dan Transformasi Fourier pasangannya :

∫−

πωωω

πdnjeXnx )(

21)( (1.36a)

atau ∫−

=2/1

2/12)()( dffnjefXnx π (1.36b)

H(jω) pada umunya adalah komplex, sehingga dapat disajikan dalam bentuk :

H(jω) = HR(jω) + jHI(jω)

Dimana HR(jω) dan HI(jω) berturut-turut adalah bagian real dan bagian imaginer dari

H(jω). Demikian juga H(jω) juga dapat dinyatakan dalam harga mutlak (magnitude) dan

fasenya dalam bentuk :

)()()( ωφωω jejHjH =

dimana )(2)(22)( ωωω jHjHjH +=

dan )()(

)(ωω

ωφjRHjIH

tg =

Page 25: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 25

Dari (1.36) dapat diartikan bahwa setiap runtun waktu merupakan superposisi/jumlah

(kontinyu) dari fungsi eksponensial komplex. Sedang dari (1.31) telah diketahui bahwa

sistem dengan masukan fungsi eksponensial komplex keluaranya diperoleh dengan

mengkalikanya dengan H(ω).

Sehingga untuk sistem linear oleh karena keluaran dari suatu jumlah masukan

sama dengan jumlah dari keluaran untuk setiap masukan, maka untuk sistem linear

keluaran dapat dituliskan :

∫= ωωωωπ

dnjeXHny )()(21)( (1.37)

dari (1.36) dan (1.37) dapat disimpulkan bahwa kalau y(n) = h(n) * x(n), maka

Transformasi Fourier dari y(n) adalah :

Y(ω) = H(ω)X(ω) (1.38)

Yang merupakan hubungan antara masukan dan keluaran dari sistem linear dalam

kawasan frekuensi. Sebaliknya jika y(n) = h(n)x(n), maka dapat dibuktikan bahwa Y(ω)

akan merupakan konvolusi integral antara X(ω) dan H(ω), yang dapat ditulis sebagai :

∫−=

=−=π

πωωω

πω

vHXdvvHvXY )()()()(

21)( (1.39)

dengan persamaan (1.38) dimungkinkan untuk melakukan pentapisan dalam kawasan

frekuensi, asal panjang filternya berhingga (FIR filter). Transformasi Fourier yang

dituliskan pada persamaan (1.32) tidak lain adalah suatu deret, yang belum tentu

konvergen tergantung dari bentuk h(n). Transformasi Fourier dikatakan konvergen atau

jumlah deretnya berhingga jika harga mutlaknya berhingga. Misalnya jika h(n) = u(n),

maka akan tidak konvergen. Dapat dibuktikan bahwa jika sistem stabil, yang )( ωjeH

Page 26: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 26

berarti ∞<∑ )(nh , maka Transformasi Fourier dari sistem akan konvergen atau

∞<)( ωjeH . Hal ini dapat dilihat dari :

njenhnjenhjeH ωωω ∑=∑= )()()(

oleh karena 1)( =ωje , maka ∑= )()( nhjeH ω , dan harga ini akan berhingga

(konvergen) jika sistem stabil.

Jadi kalau tanggap frekuensi dari sistem H(jω) diketahui, kita dapat menghitung

Transformasi Fourier keluaran Y(jω) dari persamaan (1.38), dengan terlebih dahulu

menghitung X(jω), dan kemudian menghitung y(n) dengan Transformasi Fourier balik.

Perhitungan detail dari cara ini akan dibicarakan pada pembahasan Transformasi

Fourier Diskrit (DFT, Discret Fourier Transform). Cara lain adalah menghitung h(n)

dari H(jω) , kemudian menghitung y(n) dengan konvolusi jumlah.

Contoh soal 1.2 :

Sebuah filter lolos atas (high-pass filter) ideal dengan frekuensi pojok (corner

frequency) ωc, amplitudo dari tanggap frekuensinya terlihat seperti pada gambar 1-5,

dan mempunyai beda fase nol untuk semua harga ω. Hitunglah h(n) ?

Jawab :

Untuk jangkau -π < ω < π, H(ω) = 0 untuk ω < |ωc| dan h(ω) = 1 untuk |π| ≥ ω |ωc|,

sehingga :

Page 27: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 27

∫−

πωωω

πdnjeHnh )(

21)(

⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

∫+∫−

= ωπ

ωωπ

πωω

πd

c

njedvje21

untuk n=0 πω

−=1)0(h

untuk n≠0 n

ncnhπωsin

)( −= (1.40)

1

0cωπ +−2 cωπ −2cω− cωπ− π ω

h(n)

Gambar 1.5 Tanggap frekuensi dari filter lolos atas ideal

Hubungan antara frekuensi pojok dalam hertz (F) dan ωc (dalam radian) adalah :

ωc = ΩcT = 2πFc/Fs atau Fc = ωc/2πT = ωcFs/2π (1.41)

T adalah interval cuplik, sedang Fs = 1/T adalah frekuensi cuplik dari sinyal. Untuk ωc =

π/2, bentuk dari h(n) terlihat seperti pada gambar 1-6.

1 /2

π/1π5/1

π3/1

Gambar 1-6 Tanggap Impuls dari tapis lolos atas ideal

Page 28: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 28

1.5. Teori Pencuplikan (Sampling Teory)

Sinyal digital sering didapat dari sinyal analog dengan cara pencuplikan. Yang

menjadi pertanyaan adalah apakah hasil proses dari sinyal digital masih mencerminkan

informasi yang dikandung oleh sinyal analog atau berapakah besarnya interval cuplik T

sehingga x(t) masih dapat dihitung dari x(n) semakin dekat dengan x(t), tetapi dengan

demikian jumlah data menjadi semakin banyak.

Andaikan x(n) diperoleh dengan mencuplik x(t) dengan interval cuplik T yang

seragam, sehingga dengan demikian x(n) = x(t=nT). Fs = 1/T dinamakan frekuensi

cuplik (sampling frequency). Untuk mengkaji apakah x(n) masih mewakili sinyal

aslinya, berikut ini akan kita bandingkan hasil Transformasi Fourier dari keduanya.

Pasangan tranformasi Fourier dari sinyal analog x(t) adalah :

dttjetxX ∫∞

−∞Ω−=Ω )()( (1.41)

dan Ω∫∞

−∞ΩΩ= dtjeXtx )(

21)(π

(1.42)

sedang pasangan Transformasi Fourier dari sinyal diskrit x(n) adalah :

∑∞

−∞=−=

nnjenxX ωω )()( (1.43)

dan ωπ

πωω

πdnjeXnx ∫

−= )(

21)( (1.44a)

dari (1.18) dimana ω = ΩT, persamaan (1.44a) dapat ditulis sebagai :

Ω∫−

Ω= dT

TnTjeXTnx

/

/)(

2)(

π

πω

π (1.44b)

sedang karena x(n) = x(t)|t=nT, maka (1.42) dapat kita ubah menjadi :

Page 29: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 29

x(n) = x(nT) = Ω∫∞

−∞ΩΩ dnTjeX )(

21π

(1.45)

Persamaan (1.45) dapat ditulis dalam bentuk jumlah dari integral sebagai berikut :

Ω∑∞

−∞=∫

+

ΩΩ= dk

Tk

TknTjeXnx

/)12(

/)12()(

21)(

π

ππ

Ω+Ω= Ω

−∞=∫ ∑ de

TkX nTj

T

T k

)2(21

/

/

π

π

ππ

(1.46)

dengan membandingkan (1.44b) dengan (1.46), maka dapat disimpulkan bahwa :

∑∞

−∞=

+Ω=k

TkX

TX )2(1)( πω (1.47)

Jika x(t) adalah sinyal dengan pita frekuensi terbatas (band-limited signal), yaitu sinyal

yang tidak memuat frekuensi di atas frekuensi tertentu Ωh, maka X(Ω) dapat diandaikan

mempunyai bentuk seperti yang terlihat pada gambar (1.7a)

Dengan demikian menurut persamaan (1.47), bentuk dari X(ω) akan terlihat

seperti pada gambar (1.7b) jika π/T < Ωh, seperti gambar (1.7c) jika π/T = 2Ωh, dan

terlihat seperti gambar (1.7d) jika π/T > Ωh.

Page 30: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 30

cω− cω Ω

)( ΩjH

)( ΩjH

πhTΩ

hTΩ=π

hTΩ ππ− π2π2−

ω

ω

ω

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 1-7 Tanggap frekuensi dari

a) sinyal analog

b) sinyal digital dengan Fs < 2Fh

c) Fs = 2Fh

d) Fs > 2Fh

Jadi, jika interval cuplik T < π/Ωh atau frekuensi cuplik Fs > Ωh/π = 2Fh, maka bentuk

dari H(ω) untuk jangkau -π < ω < π (atau -π/T < Ω < π/T), identik dengan H(Ω). Atau

dengan kata lain H(Ω) dapat diperoleh dari H(ω), yaitu :

H(Ω) = TH(ω) untuk -π/T < ω < π/T (1.48)

Page 31: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 31

Selanjutnya h(t) dapat dihitung dari H(jΩ) dengan persamaan (1.42). Frekuensi cuplik

sebesar 2Fh dinamakan frekuensi Nyquist. Atas dasar hasil ini, kita dapat mengharap

bahwa jika x(n) diperoleh dari x(t) dengan frekuensi cuplik Fs > 2Fh, dengan interpolasi

kita dapat memperoleh kembali x(t) dari x(n). Sedang jika frekuensi cuplik terlalu kecil,

seperti yang terlihat pada gambar 1-8b, dimana bagian frekuensi rendah dari H(jΩ)

tercermin sebagai frekuensi atasnya, maka kalau dilakukan interpolasi akan

menghasilkan sinyal dengan frekuensi yang lebih rendah. Fenomena ini sering disebut

dengan aliasing.

Atas dasar teori tersebut, didalam praktek jika kita akan melakukan digitalisasi

sinyal kontinyu x(t) dengan A/DC, untuk menghindari terjadinya aliasing, sinyal harus

di-low-pass filter dulu secara hardware dengan frekuensi pojok Fc, paling tinggi sebesar

Fs/2.

Untuk menjabarkan rumus interpolasi guna mendapatkan x(t) dari x(n), kita

dapat berangkat dari persamaan (1.42), yaitu :

∫∞

∞−ΩΩΩ= dtjeXtx )(

21)(π

(1.49)

Dengan memperhatikan (1.47) dan (1.48), persamaan (1.49) dapat diganti dengan :

ΩΩ

−⎥⎥

⎢⎢

⎡ ∞

∞−

Ω−= ∫ ∑ dtjeT

T

nTjenxTtx/

/

)(2

)(π

ππ

Ω∞

−∞= −

−Ω= ∑ ∫ dn

T

T

nTtjenxTtx/

/

)()(2

)(π

ππ

Page 32: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 32

∑∞

−∞= −

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧ −

=

n nTtT

nTtTnxtx

)(

(sin)()(

π

π

(1.50)

I.5.1 Sifat Simetri Transformasi Fourier

Ada beberapa sifat simetri Transformasi Fourier (TF) yang sering berguna pada

pembicaraan selanjutnya. Untuk itu perlu diketahui beberapa istilah yang berkaitan

dengan runtun waktu. Runtun waktu simetri x(n) adalah runtun waktu komplex yang

mempunyai sifat x(n) = x(-n). Sedang runtun waktu antisimetri x(n) mempunyai sifat

x(n) = -x(-n). Untuk runtun waktu real sering digunakan istilah genap untuk simetri dan

ganjil untuk antisimetri. Setiap runtun waktu selalu dapat diuraikan dalam bentuk

)(0)()( nxnexnx += (1.51a)

dimana )()(21)( nxnxnxe −+= (1.51b)

)()(21)(0 nxnxnx −−= (1.51c)

demikian juga untuk runtun waktu komplex kita dapat menuliskan dalam bentuk

)()()( nIjxnRxnx += (1.52)

dimana xR dan xI berturut-turut adalah bagian real dan bagian imaginer dari x(n).

Penulisan pada (1.51) juga berlaku untuk X(ω), Transformasi Fourier dari x(n). dapat

dibuktikan bahwa :

Page 33: Dikat PSD BAB I.pdf

Bab I – Sinyal dan Sistem Digital 33

TF x*(n) = X*(-ω) (1.53a)

TF x*(-n) = X*(ω) (1.53b)

TF xR(n) =Xe(ω) (1.53c)

TF jxI(n) = X0(ω) (1.53d)

TF xe(n) = XR(ω) (1.53e)

TF xo(n) = jXI(ω) 1.53f)

Sedang kalau runtun waktu x(n) real maka berlaku

X(ω) = simetri = x*(-ω) (1.53g)

XR(ω) = genap = XR(-ω) (1.53h)

XI(ω) = ganjil = -XI(-ω) (1.53i)

|X(ω)| = genap = |x(-ω)| (1.53j)

arg H(ω) = ganjil = -arg X(-ω) (1.53k)

TF xe(n) = XR(ω) (1.53l)

TF xo(n) = j XI(ω) (1.53m)