perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id REKAYASA PESAN .../Rekayasa... · 2. Papi dan Mami, atas...
Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id REKAYASA PESAN .../Rekayasa... · 2. Papi dan Mami, atas...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI
(Studi Etnografi Komunikasi
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
Blimbingsari, Jembrana, Bali)
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Komunikasi
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI
(Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
SIH NATALIA SUKMI
NIM S220809012
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI
(Studi Etnografi Komunikasi
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
Blimbingsari, Jembrana, Bali)
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Komunikasi
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
i
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI
(Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
SIH NATALIA SUKMI
NIM S220809012
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI
(Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS
Oleh:
SIH NATALIA SUKMI
NIM S220809012
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing:
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Andrik Purwasito, DEA ....................... ...................
NIP: 195708131985031006
Pembimbing II Drs. Mursito BM, S.U ......................... ...................
NIP: 195307271980031001
Mengetahui,
Ketua Pascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi
Prof. Drs. H. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D
NIP: 194904281979031001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI
(Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas
Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat
Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS
Oleh :
SIH NATALIA SUKMI
NIM S220809012
Telah disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D …………... ………
NIP. 194904281979031001 Sekretaris Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D …………... ………
NIP. 197102171998021001
Anggota Prof. Andrik Purwasito, DEA .................. .............
NIP: 195708131985031006 Anggota Drs. Mursito BM, S.U .................. .............
NIP: 195307271980031001
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS NIP. 196107171986011001
………………..
Program Studi Ilmu Komunikasi
Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D NIP. 194904281979031001
………………..
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini saya :
Nama : Sih Natalia Sukmi
NIM : S220809012 Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Rekayasa Pesan
dan Proses Akulturasi (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi
Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh
Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali) adalah betul-betul karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi.
Sepanjang pengetahuan saya, dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemuidan terbukti saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang saya peroleh dari tesis ini.
Surakarta, Maret 2012
yang membuat pernyataan
Sih Natalia Sukmi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
”Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,
tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Tuhan
dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4 : 6)
”Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia
yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4 : 13)
Karya ini penulis persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat yang tidak dapat terlogika
2. Papi dan Mami, atas segala doa, cinta, kasih sayang yang luar biasa.
3. Mbak Ima, Mas Tanu, dan Dik Ayink untuk segala cinta dan dukungan.
4. Timotius Marsudi, untuk limpahan cinta dan spirit yang tak terungkapkan.
5. Bapak, Mamak, Kak, Nini, Blimbingsari, untuk ketulusan hati
6. Seluruh warga Blimbingsari untuk kesempatan dan cinta kasih.
7. Almamaterku Universitas Sebelas Maret Surakarta
8. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas segala kemurahan dan limpahan berkat dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, sehingga penulis mampu menyelesaikan Tesis pada Program Pasca
Sarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan
judul Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi (Studi Etnografi Komunikasi dengan
Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi
Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali).
Penulis menyadari karya sederhana ini tidak dapat tercipta tanpa campur
tangan dari berbagai pihak yang membantu. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Andrik Purwasito, DEA selaku pembimbing I atas bimbingan dan
arahannya dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Drs. Mursito BM, S.U selaku pembimbing II atas bimbingan dan masukan
yang membangun dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Segenap dosen pengampu mata kuliah, seluruh staf pengajar dan semua staf
kantor Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana UNS.
5. Perbekel Blimbingsari, Bapak John Ronny yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
6. Pdt. I Ketut Suyaga Ayub atas segala informasi penunjang tesis ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
7. Bendesa Adat Blimbingsari untuk kesempatan penulis mengumpulkan data
yang dibutuhkan.
8. Bapak, Mamak, Kak, Nini, Kak de, Chia untuk ketulusan hati memberi
tumpangan dan menganggap penulis sebagai bagian dari keluarga.
9. Seluruh warga Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali atas segala ketulusan
hati memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk penulis mengumpulkan
data
10. Pdt. Fritz Yohanes DP, SSi untuk diskusi data pendukung tesis
11. Keluarga besar penulis, Papi, Mami, Mbak Ima, Mas Tanu, Ayink, dan
Timoty atas segala dukungan, cinta, kasih dan hati yang luar biasa hingga
penulis dapat menyelesaikan studi.
12. Keluarga besar Pascasarjana Ilmu Komunikasi 2009 khususnya kelas Riset
dan Pengembangan Teori untuk persahabatan dan sharing selama ini.
Kiranya Tuhan melimpahkan kasih karunia kepada semua pihak yang membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapakan permohonan maaf
apabila dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini terdapat kesalahan dan
ketidakperkenanan dari berbagai pihak. Demikian pengantar untuk karya
sederhana ini, semoga bermanfaat bagi pembaca. Tuhan Memberkati.
Surakarta, Maret 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS .......................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ........................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii
ABSTRAK ................................................................................................... xiii
ABSTRACT ................................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 16
C. Pembatasan Masalah ............................................................ 16
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 17
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 17
BAB II ORIENTASI TEORITIK ....................................................... 18
A. Deskripsi Teoritik ................................................................. 18
1. Komunikasi .................................................................... 18
1.1.Komunikasi Kelompok ............................................ 18
1.2.Groupthink dalam Komunikasi Kelompok .............. 19
2. Komunikasi dan Budaya ................................................ 21
2.1. Komunikasi dalam Konteks Budaya ....................... 21
2.2. Persoalan Budaya dalam Kaitannya dengan
Komunikasi ............................................................. 24
2.3. Akulturasi sebagai Wujud Interaksi Makna ............ 28
2.4. Komunikasi sebagai Proses Share Meaning ........... 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
2.5. Komunikasi sebagai Proses Sosial ............................ 38
3. Studi Pesan ....................................................................... 43
3.1. Simbol Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi .. 43
3.2. Proses Produksi Pesan................................................ 44
3.3. Semiologi dan Mitologi ............................................. 49
B. Penelitian yang Relevan .......................................................... 51
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 53
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 53
B. Jenis Penelitian ........................................................................ 53
C. Data dan Sumber Data............................................................. 55
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 56
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ..................................... 57
F. Teknik Analisis Data ............................................................... 57
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PENYAJIAN
DATA .......................................................................................... 62
A. Sejarah Blimbingsari ............................................................. 62
B. Kondisi Masyarakat Blimbingsari Kini ................................. 67
1. Organisasi Sosial .............................................................. 67
2. Enjungan .......................................................................... 70
3. Suka Duka ........................................................................ 71
4. Sistem Mata Pencaharian Hidup ...................................... 71
5. Sistem Komunikasi Masyarakat Blimbingsari................. 74
6. Adat Istiadat Blimbingsari ............................................... 76
C. Sosial Kemasyarakatan Penduduk Pulau Bali ..................... 82
D. Korpus .................................................................................. 88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
BAB V ANALISIS DATA ...................................................................... 130
A. Upaya Masyarakat Blimbingsari untuk Membangun Akulturasi
Kristen dengan Hindu (Bali) .............................................. 131
B. Identitas Budaya sebagai Upaya Pertahanan
Masyarakat Blimbingsari ................................................... 188
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 194
A. Kesimpulan .......................................................................... 194
B. Saran .................................................................................... 200
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1.1. Tabel Kelompok Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 1930
2. Tabel 1.2. Tabel Kelompok Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Wawancara dengan I Made Suka Bagya. Bendesa Adat Desa Kristen
Bali (2009-2014). Mantan Perbekel (2003-2008).
2. Hasil Wawancara Dengan I Gedhe Sudikda. (Bagian Pariwisata Blimbingsari).
3. Wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub.
4. Hasil Wawancara Dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub.
5. Rabu, 17 Agustus 2011. Kematian Di Tempat Pak Hozia.
6. Hasil wawancara dengan Pak I Wayan Majus (Penatua) Dari Enjungan Kaja.
7. Hasil wawancara Dengan Ni Wayan Sitingsih.
8. Hasil wawancara dengan Pdt. Fritz Yohanes DP, S.Si.
9. Awig-Awig Desa Adat Kristen Blimbingsari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRAK
Sih Natalia Sukmi, S220809012. 2009. Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali). Tesis, Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan (1) bagaimana proses akulturasi terjadi pada masyarakat Blimbingsari (Kristen) Bali dengan (Hindu) Bali dapat terjadi masing-masing karakter budaya yang saling menyerap satu sama lain dalam “share meaning” dari generasi ke generasi. (2) Identitas budaya seperti apa yang diinginkan masyarakat Blimbingsari melalui proses akulturasi yang mereka lakukan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi komunikasi menggunakan pendekatan semiologi komunikasi. Penelitian mengambil lokasi di desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana Bali. Sumber data yang diambil adalah seluruh data yang berkaitan dengan Blimbingsari yang terbagi menjadi beberapa unsur budaya seperti; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Pengumpulan data dilakukan dari Oktober 2010 hingga Agustus 2011.
Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa proses akulturasi yang terjadi di Blimbingsari antara agama Hindu dan agama Kristen dilakukan melalui beberapa medium atau saluran dalam komunikasi yaitu: Arsitektur gereja Pniel Blimbingsari, Tata Ibadah gereja Pniel Blimbingsari, dan Sistem Sosial kemasyarakatan Blimbingsari
Blimbingsari menggunakan budaya sebagai media untuk melakukan perlawanan terhadap budaya dominan. Akulturasi budaya Hindu dengan Kristen di desa Blimbingsari adalah upaya yang mereka gunakan untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan dan sebuah bentuk konformitas yang coba dilakukan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali. Akulturasi budaya tersebut juga membentuk identitas budaya Blimbingsari, masyarakat Bali yang beragama Kristen dalam desa adat Kristen Blimbingsari.
Kata kunci: akulturasi budaya, rekayasa pesan, semiologi komunikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
ABSTRACT
Sih Natalia Sukmi, S220809012. 2009. Message Engineering in Acculturation Process (A Study About Communication Using Analysis in Semiology of Communication upon Message Engineering within The Process of Cultural Acculturation by Blimbingsari Community). Thesis: Program Studi Ilmu Komunikasi, Magister Program. University of Sebelas Maret, Surakarta.
The purposes of this research are to answer questions about (1) how acculturation process occurs within Christian and Hinduis society of Blimbingsari, in which every cultural character absorbs each other in “share meaning” from generation to generation.(2) Kind of Cultural Identity desired by Blimbingsari society with acculturation process conducted by them.
This research is a qualitative research with methods of communication ethnography using communication semiotic approach. It took place in Blimbingsari Village, in Melaya district, Jembrana regency, Bali. The source of data taken are entirely data concerning with Blimbingsari which divided into some cultural elements, such as: language, knowledge system, social organizations, technology and ways of life systems, religious system and arts. The collection of data was from October 2010 until August 2011.
The result of this research indicates that acculturation process within Cristianity and Hinduis in Blimbingsari conducted through some communication media or lines, i.e. the architectures of Pniel Church in Blimbingsari, the rituals of Pniel Church, and the social organization in villages with Christianity tradition.
Blimbingsari uses culture as one of the media to fight for the dominant culture. The acculturation within Hinduis and Christian culture in Blimbingsari village is an effort to fight for without violence, and a conformity which they try to use in reducing conflicts happened inside Bali society. The acculturation of culture creates self identity of Blimbingsari culture, in Bali society which embraces Christian in a village with Christianity tradition.
Keywords : Cultural Acculturation, Message engineering, Semiotic Communication.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bali merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang mempunyai keunikan
adat dan perilaku. Berdasarkan keunikan tersebut, maka menurut I Gede
Ardika, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Bali merupakan lokasi
ideal dalam mewujudkan interaksi budaya, sekaligus mewujudkan pusat
budaya dunia. (www.kompas.com, 4 Agustus 2011).
Bali dikatakan unik, karena dia memiliki simbol-simbol spesifik yang
menjadi cerminan identitas mereka. Ting-Toomey (1999:30) dalam Turnomo
Rahardjo (2005:1), mengungkapkan bahwa identitas kultural merupakan
perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of
belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi ke
dalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural
(cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri
mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Seseorang yang
tergabung dalam suatu kelompok masyarakat akan mengidentifikasikan
dirinya serupa dengan identitas kultural dalam lingkungan mereka.
There is a general agreement that recognizes identity as one of the few
fundamental human needs and part of condition of being human. (Ling Chen,
2011:213). Ada kesepakatan umum bahwa kesadaran identitas merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia dan menjadi bagian kondisi
kemanusiawian. Oleh karena itu, identitas menjadi bagian penting dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
kehidupan seseorang ataupun kelompok masyarakat. Identitas dalam
masyarakat mengandung sentimen primordial seperti etnis, agama dan lain
sebagainya. Bagi masyarakat, identitas adalah "harga diri" dan "senjata" untuk
menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol bahasa dan budaya.
(http://ejournal.unud.ac.id, 12 Januari 2011). Identitas etnis dibangun dari
dalam, karena identitas diri suatu etnis adalah integrasi dari etnisitas dan
perasaan kesamaan ras dalam satu konsep diri (Carmen Guanipa-Ho dalam
Alo Liliweri, 2005: 35).
Identitas menjadi lebih rumit apabila berada dalam masyarakat yang
plural. Bali mempunyai masyarakat yang plural. Secara historis, Bali dan
dinamikanya memiliki pluralitas dalam identitas Bali Mula atau Bali Aga1
(Bali Asli) dan Bali Majapahit (wong Majapahit)2. (Damayana, 2011: 91).
Pembedaan identitas terkait dengan akses terhadap pemenuhan kebutuhan
termasuk aspek budaya, agama, dan politik masyarakat. Dwipayana (2005:4)
dan Wiana (1993:97) dalam Damayana (2011:91-92) mengungkapkan,
“Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit bertempat tinggal di daerah Bali dataran yang melipah air, sehingga mereka mengenal perairan (subak). Secara politis, wong Bali dataran lebih memilih menerapkan sistem kepemimpinan tunggal dan monopolitik. Mereka lebih mengenal puri dan grya sebagai pemegang otoritas ekonomi politik dan kultural. Sedangkan Bali Aga wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemipinan kolektif.” Perkembangan kekuasaan dinasti Majapahit di Bali dan migrasi Jawa-Bali
melahirkan pembeda yang kedua yang didasarkan pada identitas kewangsaan
1 Bali Mula atau Bali Aga merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut identitas bagi penduduk lokal Bali. 2 Bali Majapahit adalah identitas yang dikukuhkan oleh Sri Kresna Kepakisan dari Kediri yang memegang kekuasaan Majapahit atas Bali sejak tahun 1350 SM.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(tri wangsa dan jaba wangsa) sebagai sistem kasta khas Bali. (Wiana 1993:
98; Dwipayana, 2005: 5, Putra 1998: 32 dalam Damayana, 2011:92).
Pluralitas Bali semakin terwujud ketika penganut agama Islam sebagai
pengiring raja berdatangan sejalan dengan kudeta Patih Agung Maruti yang
menyebabkan konflik dan perpecahan internal Bali menjadi beberapa
kerajaan. Identitas Islam semakin terwujud dalam terbentuknya beberapa
kampung Islam di Bali, seperti Kepaon, Serangan, Karangasem, Pegayaman di
Buleleng dan pendirian tempat pemujaan (persimpangan betara di Mekah)
pada beberapa pura di Bali (Mengwi, Badung, dan Bangli). (Ibid: 93).
Selain identitas Islam, identitas Kristen juga eksis di Bali sejak zaman
Kolonial Belanda, walaupun secara tidak langsung melalui beberapa
misionaris. Perjalanan berikutnya misionaris Katolik, Pastor Johanes Kersten
SVD menyusul membangun komunitas Katolik yang kini sebagian besar
bermukim di Palasari.
Kini, Bali semakin kompleks tatkala pariwisata menjadi roda
perekonomian masyarakatnya. Gelombang migrasi berdatangan dari dari
berbagai wilayah di Indonesia untuk mencari pendapatan di Bali. Pendatang
kebanyakan tergiur untuk memperoleh penghasilan melalui sektor pariwisata
dan perdagangan. Selain dari dalam negeri, wisatawan-wisatawan asing
berdatangan untuk menikmati keelokan pulau ini.
Pluralitas Bali memicu diskursus identitas yang semakin beragam. Dalam
konteks masyarakat Bali, apa yang dimaksud dengan identitas Bali? Prof. Dr. I
Made Suastra, PhD, berpendapat bahwa, sosok yang menunjukkan seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
beridentitas manusia Bali dapat berwujud dalam dua kenyataan, yakni bahasa
yang menampakkan diri sebagai identitas bunyi dan tradisi (pakaian dan
sarana lainnya) sebagai wujud fisik. (Suastra: http://ejournal.unud.ac.id, 12
Januari 2011).
Tradisi yang dipahami oleh masyarakat umum di luar konteks pluralitas
Bali adalah tradisi yang bersifat ke-Hindu-an. Identifikasi ke-Hindu-an tidak
dapat dipungkiri ketika mengamati data tentang jumlah penduduk Bali
menurut agama-agama yang mereka anut yang diungkapkan oleh
Swellengrebel pada tahun 1930. Data tersebut dapat digambarkan dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 1.1. Tabel Kelompok Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 1930
Kelompok-kelompok penduduk (berdasarkan agama)
1930 Jumlah Prosentase (%)
Hindu 1.062.885 97,33 Islam 16.992 1,56 Peduduk dari kelompok lain 12.160 1,11 Jumlah total 1.092.037 100
Sumber: Swellengrebel, 1930
Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa 97,33% penduduk Bali
beragama Hindu. Jumlah yang sangat menonjol dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang menganut agama lain. Dalam data tersebut, Swellengrebel
memaparkan terdapat 403 orang penduduk Eropa, penduduk tersebut
disinyalir berkebangsaan Belanda yang menganut agama Kristen. (Hasil
wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, 11 Agustus 2011, pukul 11.05
WITA)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali tahun 2009, Pulau
Bali memiliki luas sekitar 5.632,86 km2 atau berukuran hanya 0,3% dari
seluruh daratan di Indonesia. Jumlah penduduk sebanyak 3.471.195 jiwa
(1.739.526 jiwa atau 50, 10% laki-laki dan 1.732.426 jiwa atau 49,90%
perempuan), dengan komposisi penduduk berdasarkan agama dapat dilihat
pada tabel berikut ini,
Tabel 1.2. Tabel Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2009
Komposisi penduduk (berdasarkan agama)
2009 Jumlah (jiwa) Prosentase (%)
Hindu 2.751.828 87,44 Islam 323.853 10,29 Buddha 16.569 0,53 Kristen Protestan 30.439 0,97 Katolik 23.834 0,76 Lain-lain 476 0,002 Jumlah total 3.471.195 100
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010: 83-120
Berdasarkan data tersebut, maka dapat diamati bahwa agama yang
mendominasi Bali menurut survey di atas tetap Hindu, namun demikian
agama di luar Hindu juga mengalami perkembangan sehingga yang pada
mulanya 2,67 persen menjadi 12,56 persen.
Identifikasi Bali dengan Hindu juga dibenarkan oleh Bendesa Adat ( ketua
adat) desa pakraman (desa adat) Ekasari, I Wayan Winara, “Budaya Bali
memang sulit dilepaskan dengan Hindu. Bali terkenal dengan seni dan
budayanya. Sementara mayoritas masyarakat Bali adalah Hindu dan seni
budaya tersebut selalu berhubungan dengan keagamaan. Maka, secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
otomatis budaya yang dikenal sebagai budaya Bali adalah budaya Hindu.
(hasil wawancara Rabu, pukul 09.13 WITA).
Keunikan Bali identik dengan Hindu. Budaya Hindu itu pula yang
kemudian menjadi penyokong bisnis pariwisata di Bali. Sejak tahun 1970
pariwisata telah menjadi sebuah bagian dari budaya Bali. (Suryawan, 2005:
xxvii). Dengan kata lain, masyarakat Bali menggantungkan hidupnya melalui
pariwisata. Perlu diakui bahwa keelokan Bali mampu menjadi komoditas yang
luar biasa. Kekhasan budaya Bali yang juga identik dengan Hindu dilihat jelas
oleh Belanda pada waktu masa penjajahan. Belanda melihat potensi Bali dapat
dikembangkan sedemikian rupa terutama pariwisata, melalui keunikan sistem
sosial masyarakat yang dimilikinya. Belanda membuat sistem koloni, sebuah
sistem yang memisah-misahkan kelompok masyarakat Bali berdasarkan
keyakinan mereka. Beberapa agama yang berkembang di luar agama Hindu
dikelompokkan dalam wilayah tertentu. Pemerintah Bali pun berpikir
demikian, segala upaya dikerahkan untuk menjaga ke-‘originalitasan’ Bali
(walaupun untuk menjadi komoditas diperlukan penyesuaian-penyesuaian
standar pariwisata yang terkadang berlawanan dengan keaslian budaya lokal).
Namun, Agustus 2002 adalah bulan bersejarah bagi masyarakat Bali.
Bulan yang membawa perubahan besar bagi masyarakat dengan wilayah yang
terkenal dengan keeksotisan alam dan budayanya. Bom Bali merupakan
peristiwa tak terlupakan, peristiwa yang mengguncang dan menelan banyak
korban serta kerugian bukan saja bagi korban yang terkena bom secara
langsung tetapi juga bagi masyarakat Bali secara keseluruhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Peristiwa bom Bali tentu menjadi tragedi yang berseberangan dengan
upaya peningkatan devisa Bali. Pariwisata menjadi terpuruk, banyak
masyarakat terkena PHK karena hotel-hotel ditinggal begitu saja tanpa ada
wisatawan yang datang. Pendapatan warga menjadi menurun drastis dan
berimbas pada banyaknya pengangguran. Kacau, demikian gambaran Bali
pasca bom.
Sejalan dengan peristiwa itu, media massa mulai mengambil peranan yang
cukup eksklusif. Media massa menjadi saluran yang cukup efektif dalam
membangun opini publik. Hal tersebut sepakat dengan pendapat Gillespie
(1995: 21) dalam tulisannya yang berjudul Television, Ethnicity, and Cultural
Change, “Media mediate cultures as media viewers “create or conform to
personal and social identities through acts of consumption”. Media
memediasi budaya pemirsa mereka, menciptakan atau menyesuaikan identitas
personal dan identitas sosial melalui perilaku konsumsi. Media massa mampu
membuat agenda untuk menguatkan masyarakat Bali yang mulai terpuruk
pasca bom. Mereka, melalui kekuatan sebagai media, menghimpun opini
publik dengan membangun jargon-jargon yang telah dirancang.
Media yang gencar mempelopori gerakan ini tergabung dalam Kelompok
Media Bali Post (KMB). Selama akhir tahun 1990-an Bali Post merupakan
media provinsi yang kuat dan termasuk di dalamnya sebuah stasiun televisi
lokal, empat stasiun radio, koran Bali Post yang prestisius, harian Denpost dan
beberapa majalah lain. (Suryawan, 2005: xxx). KMB berupaya
membangkitkan masyarakat melalui berbagai jargon yang mereka ciptakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dengan sebutan ajeg Bali. Peluncuran jargon ajeg Bali tersebut bersamaan
dengan pembukaan Bali TV pada bulan Mei 2003 oleh Gubernur Bali, I Dewa
Made Beratha.
Pemahaman kata “ajeg” berpadanan dengan kata “jejeg” artinya tegak atau
tidak berubah, sehingga ajeg Bali dapat diartikan sebagai Bali yang kuat, tidak
berubah. (Damayana, 2011: 4). Henk Schulte Nordholt dalam Bali: an Open
Fortress mengemukakan bahwa “ajeg means that we should go back to the
origin. Back to the peaceful Bali, when things were in order and true.” “Ajeg
means that Bali is safe and can resist terrorists.” (Ajeg berarti kita seharusnya
kembali ke asal, kembali ke Bali murni dan damai, dimana semuanya teratur
dan asli, ajeg berarti Bali aman dan mampu melawan teroris). (Suryawan,
2005: xxxi).
Menurut seorang pemimpin Bali dalam sebuah rapat banjar (serupa desa),
“Meng-ajeg-kan Bali adalah mempertahanan tradisi adat dan nilai-nilai ke-
Bali-an yang kini mulai luntur di Bali.” (Suryawan, 2005: 66). Dua istilah
tersebut sering kali dipakai dalam dan dikumandangkan dalam setiap kegiatan
yang dicanangkan pemerintah Bali, dalam perlombaan adu layang-layang,
dialog interaktif, perbincangan karma (masyarakat) dalam bale banjar sampai
pada ikrar calon gubernur dan tanda tangan prasasti ajeg Bali oleh bupati dan
walikota di Bali. (Suryawan, 2005:67). Ajeg Bali dikuatkan dengan berbagai
jargon untuk menjaga utuhnya budaya Bali. “Mari Bersama Jaga dan
Amankan Bali, De Koh Ngomong (Jangan Malu Bicara)”. Dalam diskursus
yang melibatkan dan mempermainkan asli dan non-asli Bali, pernah ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
jargon, “Di sini Pemulung Dilarang Masuk” atau “Masuk Wilayah ini, Anda
Harus Dilengkapi Identitas Diri dan Melapor Dalam 1x24 Jam.” (ibid).
Jargon Ajeg Bali tidak hanya membius identitas “ke-Balian” masyarakat
Bali, tetapi secara tanpa sadar di samping ia—Ajeg Bali—telah membekukan
kebudayaan, menjadikannya hak milik, juga menyulut benih-benih gerakan
esensialisme kebudayaan, dan juga benih-benih fundamentalisme Hindu.
(Suryawan, 2009:130). Ajeg Bali menimbulkan pengerasan identitas kebalian,
antara apa yang disebut Bali dan “bukan Bali”. (Suryawan dalam Damayana,
2011: 4). Ini karena ajeg Bali-bagi pengikut gerakan esensialisme budaya-
seharusnya berdasar pada ajaran-ajaran Hindu yang mendasari kebudayan
Bali. Maka disebutlah kemudian Ajeg Bali seharusnya juga Ajeg Hindu.
(Suryawan, 2009:131). Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang
disampaikan haruslah Ajeg Hindu. Dalam pentas pertarungan itu, terdapat
pengokohan serta pelembagaan agama, dan di dalamnya termasuk sentiment
kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan Agama Hindu. Dasar
sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis,
seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme
yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali,
yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. (Media
Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, Edisi 21
November 2005.) (Suryawan, 2009: 143).
Media massa begitu gencar mengkampanyekan jargon tersebut. Talkshow
dengan kostum baju adat Bali lengkap, topik-topik tentang Bali, serial drama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
ber-setting Bali, terutama dalam talkshow Ajeg Bali, budaya Bali
dipresentasikan sebagai sesuatu yang seragam dan statis, yang religius secara
esensial dan berakar pada desa adat. Budaya Bali semakin ditampilkan dalam
bentuk Hindu secara ekslusif. (Suryawan, 2005: xxxii). Alhasil, agenda media
tersebut mampu menjadi agenda politik dan mainset masyarakat Bali kini.
Terbukti dengan berbagai upaya peng-ajeg-an Bali telah dilakukan.
Upaya peng-ajeg-an Bali menjadi lebih nyata dalam tataran kehidupan
keseharian masyarakat Bali dengan meningkatnya peran lembaga-lembaga
tradisi seperti desa adat/pakraman beserta seluruh perangkatnya, dan
pencalang atau satuan pengamanan tradisional Bali. Mereka menjaga Bali
dengan semangat puputan, semangat membela sampai titik darah penghabisan.
Pendataan atau sweeping penduduk pendatang dilakukan secara ketat.
Pada waktu peneliti hendak masuk Bali melakukan pengamatan, September
2011, pemeriksaan identitas di pelabuhan Gili Manuk sangat detail, bahkan
penumpang bus-pun diminta turun dulu untuk pendataan kartu tanda
penduduk. Hal sama juga dirasakan para pendatang yang tinggal di Bali,
pengurus desa adat/pakraman senantiasa lakukan cek identitas untuk
memastikan tidak ada hal yang mencurigakan. Di Denpasar, iuran bagi
pendatang dinaikkan supaya memberi efek jera pada pendatang supaya tidak
mudah untuk masuk Bali. Dan upaya tersebut menuai protes dari kaum
pendatang. Politik KTP tampak jelas. Lembaga adat, seperti desa pakraman,
pencalang dan sekaa teruna (organisasi pemuda) terkesan sangat berkuasa
untuk menentukan siapa saja yang berhak berada di pulau tersebut. Ini pula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
yang membuat opini bahwa, mereka hendak bermaksud menunjukkan
eksistensi yang terlihat deskriminatif dalam identitas (asli atau tidak asli) Bali,
dan termasuk juga dalam hal perebutan aset ekonomi masyarakat.
Kekhawatiran atas tindakan deskriminasi yang cukup keras tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat pendatang. Kondisi ini juga merisaukan masyarakat
Blimbingsari, sebuah desa di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana.
Kekhawatiran masyarakat Blimbingsari bukan karena mereka adalah
pendatang, namun fakta yang mengungkapkan bahwa ajeg Bali memang
diperuntukan untuk menjaga keaslian budaya Bali yang tak lain juga konsep
Hindu, agama yang diyakini hampir seluruh masyarakat Bali. Sementara itu
Blimbingsari, walaupun mereka asli warga Bali (kelahiran Bali) namun
seluruh warganya beragama Kristen.
Blimbingsari mempunyai sejarah cukup menarik. Bermula dari sebuah
pekabaran Injil (iman percaya kepada Tuhan Yesus) yang dilakukan di Bali
pada tahun 1800-an. Pekabaran Injil tersebut membuahkan hasil berpindahnya
beberapa masyarakat Bali yang semula menganut agama Hindu menjadi
Kristen.
Pada tahun 1888, Pemerintah Belanda mengeluarkan undang-undang
bahwa pemberitaan Injil dilarang untuk Pulau Bali. Larangan tersebut
diputuskan setelah Pendeta Jacob de Froom mati terbunuh di Singaraja tahun
1881. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang Bali yang bernama I Klana
yang telah menjadi Kristen. Larangan ini berlangsung selama 48 tahun. Baru
tahun 1929 pemerintah Belanda mengijinkan CMA dari Amerika bekerja di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Bali dengan mengutus Pdt. Tsang To Hang dari Chinesse Mission. Pada
tanggal 11 November 1935 membaptiskan dua belas orang Kristen Bali di
Tukad Yeh Poh. (Hasil wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, 24
Agustus 2011, 08.34 WITA).
Pendeta Tsang To Hang menjalankan pekerjaannya dengan sungguh-
sungguh, bahkan pada waktu itu terkesan ekstrim. Orang Bali Kristen menolak
semua budaya yang dianggap kafir, penyembahan berhala, dan pembakaran
mayat. Bahkan mereka menghancurkan sanggah (family temple) mereka.
Kondisi tersebut mengakibatkan ketegangan dan kekacauan di wilayah dimana
masyarakat Bali Kristen berada. Mereka menjadi sangat berbeda dengan
warga Bali pada umumnya. Budaya untuk menggunakan kamben (baju adat
perempuan Bali) pun diganti dengan memakai celana panjang atau celana
pendek. Mereka juga tidak mau terlibat dalam suka duka3.
Kekacauan semakin bertambah (di Untal-untal, Buduk, Abianbase,
Plambingan, Sading, Carang Sari, Bongan, Buleleng), manakala orang-orang
Bali Kristen diasingkan. Warga dilarang untuk berkomunikasi dengan orang
Kristen, bahkan tidak boleh berbelanja di warung orang Kristen. Demikian
pula dalam hal pertanian. Sistem perairan untuk persawahan orang-orang
Kristen dihentikan karena masyarakat Hindu menganggap bahwa air sawah
dipercaya berasal dari Dewi Sri. Akibatnya pertanian menjadi tidak
menghasilkan, lahan menjadi kering. Kondisi semakin diperparah dengan
3 Suka duka adalah istilah yang digunakan masyarakat Bali untuk menggambarkan aktivitas yang ada di masyarakat. Suka atau kesukaan adalah kondisi yang menggembirakan seperti kelahiran, perkawinan dan lain sebagainya. Sedangkan duka atau kedukaan adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang sedang mengalami musibah, seperti kematian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
pelemparan rumah, pembakaran gedung gereja, penjarahan lumbung, dan
pelarangan pemakaman mayat orang Kristen dikuburan desa, karena dianggap
akan menajiskan (leteh).
Kondisi tertekan yang dirasakan oleh penduduk Kristen Bali ternyata tidak
menyurutkan langkah mereka untuk meyakini agama baru mereka. Ajaran
yang mereka terima menguatkan mereka untuk tetap berada pada keyakinan
baru mereka. Sehingga, dalam kondisi tertindas penduduk Kristen Bali tetap
bertumbuh. Mereka merasa merdeka, karena ketika memeluk agama Kristen
mereka terbebas dari aturan adat, seperti metajen (sabung ayam). Metajen
adalah aktivitas sabung ayam yang telah menjadi tradisi masyarakat Bali
Hindu dan wajib dilaksanakan karena berkenaan dengan upacara tabuh rah
(dalam agama Hindu berarti menumpahkan darah ayam yang disabung).
Metajen identik dengan perjudian, karena dalam aktivitas ini akan dilakukan
taruhan uang oleh warga. Bagi yang menang maka berhak mendapatkan uang
tersebut.
Tradisi kedua yang dianggap meringankan penduduk Bali Kristen adalah
terbebasnya mereka atas adat banten. Banten adalah sesaji yang dibuat dari
daun kelapa yang masih muda berisikan bunga (sari) yang memang
pembiayaan banten sangat tinggi apalagi ada upacara-upacara besar seperti
manusa yadnya, melis, galungan dan kuningan dan banyak lagi lainnya.
Tradisi berikutnya yang dianggap memberatkan adalah ngaben. Ngaben
adalah pembakaran mayat yang dilakukan oleh Bali-Hindu sesuai kasta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
keluarganya dengan membuat suatu lembu atau sejenisnya setelah itu dibakar
dan abunya dibuang kelaut.
Namun kebebasan tersebut tidak menempatkan masyarakat Bali Kristen
terbebas dari semua permasalahan. Persoalan muncul ketika masyarakat Bali
Hindu tidak menganggap menjadi bagian mereka lagi maka masyarakat
melarang pemakaman orang Bali Kristen di desa adat. Padahal, setiap desa
hanya mempunyai satu pemakaman.
Melihat kondisi tersebut Pemerintah Belanda berupaya untuk mencari
penyelesaian masalah. Namun upaya tersebut tidak dapat menyelesaikan
konflik yang semakin menjadi parah. Dan pada akhirnya masyarakat Bali
Kristen memutuskan untuk melakukan migrasi ke Alas Angker (sekarang
dikenal sebagai sebagai desa Blimbingsari).
Migrasi ke Alas Angker dimaksudkan untuk mendapatkan lahan baru dan
dapat juga sebagai tempat baru bagi pemeluk agama Kristen. Migrasi
disetujui, karena bila tidak berpindah dikhawatirkan orang-orang Bali Kristen
akan mempengaruhi masyarakat yang lain. Terlebih lagi, alas angker adalah
wilayah yang sulit untuk ditaklukkan karena kondisi alamnya yang rumit,
rawa, dan masih banyak hewan buas. Maka terdapat pemikiran bahwa dengan
pengasingan tersebut Kekristenan tidak akan berkembang atau apabila
berkembang hanya akan terisolasi di wilayah tertentu saja.
Keyakinan dan kegigihan warga Bali Kristen membuahkan hasil. Alas
angker dapat ditaklukkan. Bus Sapakira yang terkenal tahun 1930, membawa
Kendaraan ini juga yang mengangkut para perintis (orang-orang Bali Kristen)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
pada tahun 1939 sebanyak 30 orang, tepatnya tanggal 1 Juni 1939 yang
berangkat dari bangsal untal-untal, Dalung Gaji menuju Melaya, wilayah Bali
Barat. Hal menarik dalam proses babat alas yang mereka lakukan, mereka
membangun sesuai dengan budaya Bali yang disebut nyegara gunung (gunung
di utara, laut di selatan) dan berbentuk salib. Tanda salib besar tersebut
ternyata mengagetkan orang yang melintasi desa yang berada di tengah hutan.
Kini desa Blimbingsari menjadi desa maju bahkan telah berhasil
meluaskan wilayahnya ke beberapa desa termasuk Ambyarsari dan Parigi.
Namun muncul persoalan ketika pemerintah semakin giat menjalankan
program ajeg Bali dengan berbagai cara. Blimbingsari terkesan mulai resah,
karena Blimbingsari adalah desa Kristen, sementara program membangkitkan
ke-bali-an identik dengan ke-hindu-an.
Hanya saja perilaku frontal dan ekstrim yang telah dilakukan generasi
pertama masyarakat Blimbingsari pada masa lampau tidak tampak lagi.
Blimbingsari justru terkesan berupaya menggabungkan (pengakulturasian) dua
budaya baik budaya Bali dengan budaya Kristen melalui perwujudan budaya
baik secara material maupun budaya nonmaterial. Warga Blimbingsari
membangun simbol-simbol yang seolah ingin mereka komunikasikan sebagai
identitas mereka. Bahkan mereka membuat sebuah Awig-awig atau aturan adat
yang mengesahkan beberapa bentuk perpaduan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
B. Rumusan Masalah
Masyarakat Blimbingsari adalah masyarakat Bali yang berkeyakinan
Kristen. Program “Ajeg Bali” yang dibuat oleh pemerintah provini Bali
mengarahkan wacana bahwa Bali adalah Hindu, sehingga dapat dikatakan
bahwa “Ajeg Bali” identik dengan “Ajeg Hindu”. Masyarakat Blimbingsari
yang berkeyakinan Kristen, merasa terancam dengan kebijakan tersebut,
sehingga mereka perlu melakukan beberapa penyesuaian dalam bentuk
akulturasi budaya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen melakukan akulturasi
dengan Hindu (Bali) agar identitas budaya mereka itu tetap Bali, sehingga
eksistensi mereka tetap terjamin
C. Pembatasan Masalah
Perkembangan komunitas Bali-Kristen semakin pesat hingga ke beberapa
wilayah, seperti Ambyarsari dan Parigi, namun kajian ini akan lebih spesifik
terhadap desa Blimbingsari, kecamatan Melaya, Bali karena desa ini
merupakan pusat dari desa-desa yang menjadi perluasan dari Blimbingsari.
Sentral disini dimaksudkan semua aktivitas komunitas Kristen di Bali kini
berada di desa ini.
D. Tujuan Penelitian
Menurut Koentjoroningrat akulturasi budaya bisa dilakukan melalui 7 unsur
budaya yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi social, sistem peralatan
hidup dan teknologi, sistem ata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Mengingat bahwa masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen
sebenarnya juga masyarakat asli Bali, maka tujuan penelitian lebih difokuskan
untuk menjelaskan upaya masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen
dalam melakukan akulturasi budaya melalui:
1. Arsitektur gereja Pniel Blimbingsari
2. Tata Ibadah gereja Pniel Blimbingsari
3. Sistem Sosial kemasyarakatan Blimbingsari
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan paparan di atas penelitian ini diharapkan untuk dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini diharapkan
mampu memberkan sumbangan peikiran bagi pengembangan ilmu itu
sendiri, khususnya komunikasi budaya.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini untuk memberikan pemahaman bahwa
budaya dapat menjadi sebuah medium bagi masyarakat dalam hal ini
Blimbingsari Jembrana Bali untuk mengkomunikasikan identitas serta
menunjukkan perlawanan mereka. Penelitian ini juga bermanfaat untuk
memberikan deskripsi dan informasi tentang keanekaragaman “ways of
speaking” sebagai legitimasi pengetahuan itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB II
ORIENTASI TEORITIK
A. Deskripsi Teoritik
1. Komunikasi
1. 1. Komunikasi Kelompok
Penelitian ini merupakan kajian komunikasi karena ingin menjelaskan
bagaimana budaya tampaknya menjadi sebuah medium untuk
mengkomunikasikan maksud atau pesan dari si komunikator. Komunikator
dalam penelitian ini adalah masyarakat Blimbingsari, sehingga komunikasi
yang diamati berada pada level komunikasi kelompok.
Kelompok adalah kumpulan individu-individu yang terhubung satu dengan
yang lain melalui beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat
organisasi di antara mereka. Sebuah kumpulan dapat dikatakan sebagai
kelompok apabila mempunyai beberapa karakteristik seperti berikut;
kelompok merupakan kumpulan sejumlah orang, anggota kelompok terhubung
satu dengan yang lain dengan tujuan yang sama, dan mereka terhubung oleh
beberapa aturan atau struktur kelompok. (Devito, 2003: 249).
Komunikasi kelompok merupakan komunikasi antar persona yang didasari
sebuah kebutuhan tertentu yang mengarah ke sebuah conformitas. Sebuah
proses komunikasi dimana tiga atau lebih anggota kelompoknya
mempertukarkan pesan verbal maupun nonverbal dalam usaha untuk
mempengaruhi satu dengan yang lain. Dalam wilayah kelompok atau group
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ini, partisipan terdiri atas beberapa orang yang didasarkan atas dasar beberapa
kesamaan mendasar seperti adanya persepsi, motivasi dan tujuan mereka
bergabung dalam kelompok tersebut. (Purwasito, 2003: 56).
Untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, kelompok biasanya
membentuk norma kelompok sebagai guideline mereka. Norma kelompok
adalah aturan atau standar-standar identifikasi tingkah laku di dalam mana
tindakan anggota kelompok dimengerti sebagai tindakan yang boleh atau tidak
boleh dilakukan. “Norm that regulated a particular group member’s behavior,
called role expectations, identify what each person in an organization is
expected to do.” Norma yang dibuat oleh kelompok pada dasarnya
disesuaikan dengan harapan yang akan dicapai oleh kelompok tersebut. (op
cit).
1.2. Groupthink dalam Komunikasi Kelompok
Harapan atas keharmonisan dalam sebuah kelompok membutuhkan
kesepakatan bersama antar anggota masyarakat. Dalam interaksi keseharian
kelompok akan menemui berbagai kendala dalam pencapaian konformitas,
maka ia akan membutuhkan sebuah pemecahan masalah yang akan
berorientasi bagi keakuran kelompok. Groupthink merupakan teori yang
diasosiasikan dalam tataran komunikasi kelompok. Janis memfokuskan
pandangannya terkait dengan teori ini pada problem-solving group dan task-
oriented groups.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Namun selain fokus yang diutarakan Janis tersebut, terdapat aktivitas lain
yang dapat dikaji dalam komunikasi kelompok. Other activities of small
groups include information sharing, socializing, relating to people and groups
external to the group, educating new members, defining roles, and telling
stories. (Aktivitas lain dalam kelompok meliputi pertukaran informasi,
sosialisasi, berhubungan dengan orang-orang dan kelompok eksternal,
mendidik anggota kelompok baru, mendefinisikan aturan atau norma, dan
berbagi cerita.) ( Frey and Sunwolf, 2005; Poole & Hirokawa, 1996 dalam
Richard West, 2007: 262)
Dalam kelompok, interaksi melibatkan pertukaran pesan antar anggota.
Pesan tersebut merupakan bentuk konsensus yang disepakati antar anggota
dan kemudian, pesan yang menjadi milik kelompok tersebut dikomunikasikan
keluar kelompok atau anggota kelompok yang akan masuk ke dalam
kelompok tersebut.
Tiga asumsi kritis dalam pendekatan ini adalah bahwa (1) kondisi dalam
kelompok berpengaruh terhadap tingginya kohesifitas, (2) penyelesaian
permasalahan kelompok adalah hal utama dalam proses penyatuan, (3)
kelompok dan pembuatan kebijakan kelompok merupakan proses yang
kompleks.
Kohesifitas merupakan kondisi yang diharapkan oleh kelompok.
Cohesiveness means that you and the other members are closely connected,
are attracted to one another, and depend on one another to meet your needs.
(West&Lynn, 2007: 249). Kohesifitas terjadi apabila antar anggota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mempunyai kedekatan yang intens. Anggota kelompok dengan kerelaannya
bekerja sama demi kepentingan bersama. Ernest Borman mengungkapkan
bahwa anggota kelompok pada dasarnya akan mempunyai kesamaan
emosional satu dengan yang lain, dan hasilnya mereka akan senantiasa
berupaya untuk membangun sebuah identitas kelompok. Upaya membangun
identitas tersebut karena menurut Giddens (1984) dalam Bakker (2008: 172)
mengungkapkan:
“Identitas sosial diasosiasikan sebagai hak-hak normatiif, kewajiban, sanksi, yang pada kolektivitas tertentu membentuk peran. Pemakaian tanda-tanda yang terstandarisasi, khususnya yang terkait dengan atribut badaniah umur, dan gender, merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat, sekalipun ada begitu banyak variasi lintas budaya yang dapat dicatat.” Pemahaman kohesifitas tersebut yang diupayakan pula oleh desa Kristen
Blimbingsari. Desa ini berusaha membangun sebuah identitas budaya sebagai
bentuk kebijakan untuk melepaskan mereka dari sebuah permasalahan
kelompok.
2. Komunikasi dan Budaya
2.1. Komunikasi dalam Konteks Budaya.
Pemahaman komunikasi kelompok dalam penelitian ini berada dalam
konteks budaya. Budaya memiliki definisi yang cukup beragam dari satu
ilmuwan dengan ilmuwan yang lain. Pada dasarnya budaya merupakan cara
manusia atau suatu kelompok untuk bertahan hidup, seperti yang diungkapkan
oleh Edward T. Hall. Culture is the medium evolved by humans to survive.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Sehingga dapat dikatakan manusia akan berupaya untuk membangun
kebudayaannya untuk mempertahankan kehidupan yang dia miliki dan cara
tersebut kemudian diturunkan.
Budaya merupakan sesuatu yang ditransmisi dari satu orang ke orang lain
dan juga dari satu generasi ke generasi yang lain. Lantas, kemudian muncul
pertanyaan apa yang disebut dengan “sesuatu” tersebut. Kata sesuatu
mengungkapkan adanya roh yang sama yang mendasari untuk mendefinisikan
sesuatu yaitu seperangkat keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, simbol-
simbol atau karakteristik yang dibagikan oleh sekelompok orang.
Walaupun didefinisikan dengan berbagai sudut pandang, many cultural
scholars explicitly define culture as something shared among people who
communicate with each other through some common language, and which is
further communicated to immigrant, children, and other new members of a
society (e.g., Triandis, 1994) (Fiedler, 2007. Fiedler, Klaus. Social
Communication, New York: Psychology Press. p.108). Beberapa ilmuwan
secara eksplisit mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang ditukarkan
seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain melalui kesamaan bahasa,
dan kemudian dikomunikasikan pula kepada imigrant, anak-anak, dan anggota
baru dalam suatu masyarakat. Artinya bahwa budaya akan ditransmisikan
kepada siapa saja yang berada dalam lingkungan yang sama ketika proses
komunikasi terjadi.
Komunikasi tidak dapat dilepaskan dari konteks dimana dia
dilangsungkan. Ketika kita ingin memahami komunikasi yang terjadi di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Blimbingsari, kita harus mempelajari karakteristik desa tersebut. Atau berarti
ketika kita ingin melihat komunikasi mereka, kita harus melihat budaya
mereka. Geertz mengungkapkan, “culture denotes an historically transmitted
pattern of meaning embodied in symbols, a system of inherited conceptions
expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate
and develop their knowledge about and attitudes towards life.” Budaya
merupakan pola transmisi perwujudan makna secara historis dalam simbol-
simbol, sebuah sistem pewarisan konsep-konsep yang diekspresikan dengan
bentuk-bentuk simbolik di dalam seseorang berkomunikasi, mengabadikan,
dan mengembangkan pengetahuan dan perilaku-perilaku kehidupan mereka.
(Martin&Nakayama, 1990:79).
Budaya terdiri dari hubungan yang spesifik atas gaya hidup kelompok baik
nilai, kepercayaan, artefak, tingkah laku dan cara berkomunikasi. Dalam
kelompok social, culture adalah segala sesuatu yang anggota kelompok
hasilkan dan kembangkan. “Culture is everything that members of that group
have produced dan developed-their language; ways thinking; artefact,
religion; and of course, communication theories styles, and attitudes.”
(Budaya adalah segala hal dimana anggota-anggota dalam kelompok
menghasilkan dan mengembangkan –bahasa, pola berpikir, artefak,
keyakinan; dan tentu saja gaya berkomunikasi dan perilaku mereka). (Devito,
2003:36).
Budaya dalam komunikasi melalui berbagai wujudnya merupakan pesan
yang dipertukarkan. Pesan tidak akan berguna tanpa makna. Mengutip Parsons
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dan Shils (1951: 25), Geertz menegaskan bahwa perbedaan antara kultur dan
sistem sosial berarti memperlakukan kultur sebagai sistem makna dan simbol
yang terorganisasi yang menjadi dasar interaksi sosial dan memandang sistem
sosial sebagai pola-pola interaksi sosial itu sendiri.
Geertz juga mengungkapkan bahwa “Culture is a fabric of meaning in
terms of which human being interpret their experience and guide their
action.” (Budaya adalah pabrik makna yang mana seseorang mengintepretasi
pengalaman mereka dan mengarahkan perilaku mereka). (Geertz, 1986: xiii).
2.2. Persoalan Budaya dalam Kaitannya dengan Komunikasi
Budaya dan komunikasi merupakan dua konsep yang berbeda namun
terhubung satu sama lain. Budaya dapat didefinisikan sebagai sistem
pertukaran keyakinan, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan artefak-artefak
yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk memahami satu sama lain dan
sekeliling mereka. Cultural can defined as a system of shared beliefs, values,
customs, behaviours, and artifacs that members of a society use to cope with
another and with their world. (Budaya dapat didefinisikan sebagai sistem
pertukaran keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, perilaku-
perilaku, dan artefak-artefak dimana anggota masyarakat menggunakannya
untuk mengatasi permasalahan satu dengan yang lain dan juga dunia mereka).
(Pearson&Nelson, 2000: 189). Budaya ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi yang lain melalui social learning. Budaya melibatkan banyak aspek
termasuk juga ras, kelompok etnik dan kebangsaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Dalam suatu kelompok budaya biasanya terdapat dominant culture dan co-
culture atau sub culture. Pilihan kata dominan dalam dominant culture
mengimplikasikan bahwa ada kekuasaan (power) yang dimiliki kelompok ini
terhadap kelompok yang lain. Kekuatan yang dimiliki biasanya mengarah
pada kontrol terhadap beberapa akses yang dibutuhkan anggota kelompok.
Folb dalam Samovar (2007:10), mengungkapkan bahwa “Power is often
defined as the ability to get others to do what you want.” (Kekuasaan sering
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa
yang kita inginkan). Ini dapat dimengerti bahwa kelompok dominan
memberikan pengaruh besar terhadap persepsi-persepsi, pola komunikasi,
keyakinan dan nilai yang dimiliki kelompok budaya tersebut. Kelompok
dominan biasanya menggunakan uang, rasa takut, militer dan lain sebagainya
untuk mewujudkan apa yang mereka kehendaki, namun hal ini tentu berbeda
antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Sementara disisi lain terdapat co-culture atau subculture, yaitu kelompok
yang mempunyai perbedaan keyakinan-keyakinan atau perilaku dengan
kebudayaan yang lebih besar dimana dia menjadi bagiannya. DeVito (1986)
mengungkapkan bahwa co-culture is “a group whose beliefs or behaviours
distinguish it from the larger culture of which it is a part and which it shares
numerous similarity.” (co-culture adalah kelompok yang keyakinan-
keyakinan atau perilaku-perilakunya berbeda dari budaya yang lebih besar
dimana dia menjadi bagian dan di dalam mana ia menukarkan sejumlah
persamaan). Pada kenyataannya akan terjadi superior dan inferioritas budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dalam masyarakat. Kelompok co-culture biasanya akan menjadi dominasi
kelompok yang dominan.
Kondisi masyarakat tersebut akan membentuk perasaan in-group dan
outgroup pada masing-masing kelompok. Problem terburuk yang dapat terjadi
adalah munculnya etnosentrisme budaya. Pemahaman bahwa budaya mereka
jauh lebih baik dibanding dengan budaya orang lain. Etnosentrisme juga
memberi kecenderungan kepada kelompok untuk menggunakan cara
kelompok kita dalam melakukan sesuatu sebagai ukuran untuk menilai orang
lain. (Henslin, 2006:39). Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan William
Summer bahwa, “Kelompok sendiri merupakan pusat segalanya, dan semua
kelompok lain ditimbang dan dinilai dengan menggunakannya sebagai
rujukan.” Dalam pandangan ini yang dianggap benar adalah pandangan dari
budaya yang mereka punyai. Orang atau kelompok yang berpikir etnosentris
akan memandang budaya lain melalui kaca mata budaya mereka sendiri.
Perbedaan budaya juga akan menimbulkan penerimaan dan penolakan
budaya. Di beberapa wilayah atau negara seperti Amerika, Inggris, Denmark,
Swedia, Singapura, Hongkong, Irlandia, dan India (Hofstede dalam
Pearson&Nelson, 2000:194) mereka cenderung mudah menerima budaya
asing. Namun tidaklah demikian dengan beberapa wilayah atau negara yang
lain. Perbedaan budaya-termasuk juga budaya dominan dan subculture-
menimbulkan penolakan antara satu dengan yang lain. Ada rasa kecurigaan
dan tidak nyaman apabila mereka terlibat interaksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Problem dari komunikasi budaya adalah munculnya stereotype dan
prasangka. Stereotipe merupakan kompleksitas kategorisasi yang dapat
menuntun kita untuk menilai suatu kelompok. Lippman dalam Samovar
(1998:246) mengindikasikan, “stereotype were a means of organizing our
images into fixed and simple categories that we use to stand for the entire
collection of people.” Sikap ini secara langsung atau tidak langsung akan
menjadi panduan kita dalam memandang kelompok lain dalam berbagai
klasifikasi. Sebenarnya sebuah kewajaran psikologis dalam kehidupan
masyarakat bahwa seseorang akan meletakkan orang lain atau kelompok lain
bahkan dirinya sendiri dalam sebuah klasifikasi tertentu, karena orang
senantiasa akan membandingkan antara satu dengan yang lain. Namun dalam
konteks komunikasi budaya, stereotype cukup mengganggu. Pandangan ini
akan membawa seseorang untuk membatasi dan terkadang meletakkan atau
mendeskripsikan seseorang hanya berdasarkan persepsi yang dia miliki-yang
biasanya negatif.
Selain stereotype, prasangka juga membawa efek yang kurang bermanfaat
dalam komunikasi budaya. Prejudice refers to an unfair, biased, or intolerant
attitude towards another group of people. Prasangka merujik pada perilaku
yang tidak adil, bias, atau tidak toleransi terhadap kelompok yang lain. Levin
dalam Samovar (1998:247) menambahkan bahwa “prejudice deals with
negative feelings, beliefs, and actiontendencies, or discriminatory acts, that
arise against human being by virtue of the status they occupy or are perceived
to occupy as members of a minority groups.” Prasangka senantiasa merujuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
pada keyakinan yang negatif dan memicu tindakan yang diskriminatif bagi
suatu kelompok tertentu-biasanya kelompok minoritas.
2.3. Akulturasi sebagai Wujud Interaksi Makna
Budaya adalah sebuah sistem yang dinamis. Budaya dapat berubah.
Perubahan budaya berkaitan erat dengan perkembangan masyarakatnya. Ada
beberapa mekanisme budaya dalam masyarakat, mekanisme itu terdiri dari
inovasi, difusi dan akulturasi. “Although cultures change throught several
mechanism, the three most common are innovation, diffusion, and
acculturation. (Samovar, 1998:45). Dalam kajian ini penulis akan
menitikberatkan penelitian pada mekanisme budaya yaitu akulturasi.
Acculturation occurs when a society undergoes drastic culture change
under the influence of a dominant culture and society with which it has come
in contact. Akulturasi terjadi ketika masyarakat mengalami perubahan budaya
yang begitu drastis tatkala mengalami kontak dengan masyarakat atau budaya
yang berbeda. (Samovar, 1998:45).
Acculturation is generally viewed as a process of change over time within
individuals as they adapt to a new cultural environtment. (Akulturasi pada
umumnya dipandang sebagai proses perubahan individu-individu dari waktu
ke waktu dalam mereka beradaptasi atas lingkungan budaya yang baru). Berry
(2003) dalam Chia-Fang (Sandy) Hsu. (2010). Acculturation and
Communication Traits: A Study of Cross-Cultural Adaptation among Chinese
in America. Communication Monographs (Vol. 77), No.3, hal. 414-425.
Akulturasi adalah proses perubahan individu-individu dalam beradaptasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
terhadap lingkungan mereka yang baru. Pendatang akan berkonfrontasi
dengan situasi yang tidak lazim, dimana situasi tersebut sering kali tidak
sesuai dengan harapan yang mereka inginkan. Tekanan bagi pendatang
berkaitan dengan nilai, perilaku, dan kemampuan berkomunikasi yang serba
baru.
Bates and Plog dalam Samovar mengungkapkan bahwa masyarakat
membutuhkan proses bertahap untuk beradaptasi atas budaya baru, tidak serta
merta mengadopsi semua perilaku dan keyakinan budaya baru tersebut.
Although many aspects of culture are subject to change, the deep structure
of a culture resist major alterations. (Samovar, 1998:46). Most of we call
culture is below the surface, or like the moon: we observe the front, which
appears flat and one-dimensional, but there are other dimensions that we
cannot see. (Ibid)
Akulturasi merupakan proses sosial yang muncul apabila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
Akulturasi dalam antropologi mempunyai beberapa makna (acculturation,
atau culture contact), ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial
yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-
unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.4 Hasil akulturasi
berupa budaya lokal atau sebuah budaya yang mempunyai kekhasan tersendiri
dengan ciri-ciri fisik dan non fisik yang dapat dibedakan dengan yang lain.
Dalam konteks budaya lokal desa adat Blimbingsari, akulturasi terjadi
ketika budaya Hindu Bali bertemu dengan budaya Kristen Bali. Dalam
interaksi tersebut, warga Blimbingsari membentuk simbol-simbol budaya baik
yang bersifat fisik maupun non-fisik. Bentukan tersebut dapat berupa
bangunan atau artefak, ritual-ritual adat, simbol-simbol keagamaan, gaya
hidup (pakaian, asesoris), bahkan cara berpikir. Budaya lokal Blimbingsari
merupakan identitas budaya tersendiri yang terbentuk dari perpaduan dua
kebudayaan atau tidak dapat dikatakan bahwa kebudayaan mereka murni dari
salah satu budaya saja (Bali Kristen atau Bali Hindu). Penelitian ini ingin
mencoba menguraikan bagaimana proses rekayasa simbol terjadi, pemaknaan
simbol dan cara mereka mengkomunikasikan identitas mereka tersebut.
Akulturasi dalam masyarakat dapat dipandang dari berbagai unsur budaya
yang mereka miliki. Menurut Koentjoroningrat (1979:203) unsur-unsur
kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat yaitu:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
4 Koentjaraningrat. 2005.Pengantar Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta. Hal.159
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
6. Sistem religi
7. Kesenian
Kajian bahasa dalam sebuah studi etnografi terhubung dengan posisi
penggunaan susunan sistem fonetik, fonologi, sintaks, dan semantik dalam
bahasa-bahasa yang ada pada rumpun-rumpun bahasa di dunia. Bahasa juga
dapat dipandang secara spesifik sebagai suatu variasi yang ditentukan oleh
perbedaan-perbedaan daerah secara geografi maupun oleh lapisan serta
lingkungan sosial dalam masyarakat suatu suku bangsa. (Koentjoroningrat,
1979:341).
Pemahaman unsur teknologi berkaitan dengan cara-cara memproduksi,
memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suatu kelompok
masyarakat. Teknologi tradisional mengenai paling sedikit delapan macam
sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia,
meliputi: alat-alat produktif, senjata, wadah, alat-alat menyalakan api,
makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-jamuan, pakaian dan
perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, dan alat-alat transpor.
(Koentjoroningrat, 1979:342).
Sistem mata pencaharian berkaitan dengan sistem ekonomi dimana suatu
masyarakat menggantungkan hidupnya. Biasanya dalam kajian berkaitan
dengan mata pencaharian hal-hal yang mendapat perhatian adalah beberapa
aspek ketenagakerjaan dan pengaruh berbagai industri terhadap perekonomian
masyarakat tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berkaitan dengan organisasi sosial, dalam tiap masyarakat kehidupannya
diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai
macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke
hari. (Koentjoroningrat, 1979:366). Kekerabatan keluarga inti adalah kesatuan
terdekat dalam masyarakat, kemudian ada ikatan diluar kekerabatan tersebut
namun masih berada dalam satu komunitas. Sistem pengetahuan berkaitan
dengan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh kelompok masyarakat. Semisal
pengetahuan bangsa Negrito di daerah sungai Konggo di Afrika Tengah untuk
mengolah dan memasak, pengetahuan tentang obat-obatan di suatu wilayah
tertentu, dan lain sebagainya. Sistem pengetahuan dimiliki oleh setiap suku
bangsa di dunia, biasanya terdiri dari alam sekitarnya, alam flora di daerah
tempat tinggalnya, alam fauna di daerah tempat tinggalnya, zat-zat, dan bahan
mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat-sifat dan
tingkah laku sesama manusia, dan ruang dan waktu. (Koentjoroningrat,
1979:373). Perwujudan sistem pengetahuan biasanya juga berkaitan dengan
unsur-unsur yang lain.
Sementara unsur yang lain adalah sistem religi. Sistem religi berkenaan
dengan keyakinan seseorang atau kelompok masyarakat kepada sesuatu
kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia
melakukan berbagai hal dengan cara yang beraneka warna, untuk
berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi.
(Koentjoroningrat, 1979:376).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Dan unsur yang terakhir adalah kesenian. Para antropolog memandang
kesenian berkaitan dengan segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan
dalam kebudayaan suku-suku bangsa. Deskripsi tentang kesenian biasanya
dihubungkan dengan bentuk, teknik pembuatan, motif perhiasan, dan gaya
dari benda-benda kesenian tadi. Koentjoroningrat mengungkapkan lapangan
kesenian dapat berupa seni rupa, seni musik, seni tari dan drama.
Dalam studi komunikasi antar budaya unsur-unsur kebudayaan manusia
terdiri dalam berbagai hal yaitu: sejarah kebudayaan, identitas sosial, budaya
material, peranan relasi, kesenian, bahasa dan interaksi, stabilitas kebudayaan,
kepercayaan atas kebudayaan&nilai, etnosentrisme, perilaku non verbal,
hubungan antar ruang, konsep tentang waktu, pengakuan dan ganjaran, pola
pikir dan aturan-aturan budaya. (Liliweri, 2002: 117).
Sejarah kebudayaan suatu masyarakat merupakan batu sendi bagi
kepentingan menganalisis dan memahami kebudayaan. (Liliweri, 2002: 118).
Sejarah memampukan kita untuk menelusuri dan menjelaskan beragam sikap
yang dipertukarkan antar anggota budaya. Identifikasi sosial berkaitan dengan
kecenderungan orientasi dalam sebuah masyarakat. Biasanya kecenderungan
tersebut akan menjadi penanda atau identitas bagi suatu kelompok masyarakat.
Penelitian Cattel (1951) menerangkan bahwa orientasi individu cenderung
tampil sebagai identitas kelompok.
Budaya material adalah hasil produksi suatu kebudayaan berupa benda
yang dapat ditangkap indera, misalnya makanan, pakaian, metode perjalanan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
alat-alat teknologi dll. (Liliweri, 2002: 120). Budaya material sering kali
dianggap sebagai simbol dari suatu kelompok masyakat.
Hal yang berkaitan erat dengan peran adalah status sosial. Status akan
mempengaruhi peran seseorang dalam kelompok masyarakat. Apabila status
adalah gambaran tentang kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat maka
peran menunjukkan aspek dinamis dari kedudukan orang itu.
Seni adalah segala sesuatu yang menampilkan estetika untuk dinikmati.
Taylor mengungkapkan bahwa seni dipandang sebagai sebuah proses yang
melatih ketrampilan, aktivitas manusia untuk menyatakan atau
mengkomunikasikan perasaan atau nilai yang dia miliki. Kesenian dapat
mempunyai wujud beragam seperti foklor, seni musik, tarian, drama, seni
permainan, dan teknologi seni.
Unsur berikutnya adalah bahasa dan interaksi. Banyak definisi bahasa
berkaitan dengan latar belakang keilmuan. Menurut Liliweri (2002:129)
penggunaan bahasa dapat dipandang memberikan penjelasan yang bermanfaat
tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan
kenyataan untuk tujuan praktis. Berhubungan dengan kebudayaan bahasa
diletakkan sebagai salah satu unsur kebudayaan. Sapir-Whorf mengungkapkan
bahwa bahasa atau peristiwa mempengaruhi cara seseorang dalam berpikir dan
memandang dunia.
Stabilitas kebudayaan berkaitan erat dengan dinamika kebudayaan, sebuah
studi tentang proses dan kondisi yang berkaitan dengan stabilitas kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dan perubahan kebudayaan. Menurut Taylor (1998) para antropolog
mengungkapkan bahwa semua kebudayaan selalu mengalami perubahan, juga
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dari ancaman perubahan
baik dari dalam maupun dari luar. Perubahan struktur sosial baru akan
mempengaruhi sistem relasi antar masyarakat dan memungkinkan masyarakat
untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat yang lain.
Setiap kebudayaan memiliki pandangan hidup dan sistem kepercayaan
yang menjadi dasar berperilaku bagi anggotanya. Nilai dasar tersebut
digunakan anggota masyarakat untuk melihat ke dalam dan juga memandang
keluar.
Etnosentrisme adalah paham dimana para penganut suatu kebudayaan atau
suatu kelompok suku bangsa selali merasa lebih superior daripada kelompok
lain di luar mereka. (Liliweri, 2002:138). Dalam masyarakat biasanya terdapat
kelompok etnis. Thomas Sowell mengungkapkan bahwa kelompok agama,
asal bangsa, kelompok ras, semua berada di bawah bendera yang namanya
kelompok etnik. Gordon mengemukakan bahwa kelompok etnik adalah
kelompok sosial yang dapat dibedakan oleh kebudayaan, agama, dan asal
kebangsaan.
Unsur kebudayaan berikutnya adalah perilaku non verbal. Komunikasi non
verbal merupakan tindakan dan atribusi yang dilakukan seorang kepada orang
lain bagi pertukaran makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar
oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu. (Burgoon and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Saine 1978). Komunikasi non verbal dapat pula merujuk pada variasi bentuk-
bentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seorang itu berpakaian,
bagaimana seseorang melindungi dirinya, menampilkan ekspresi wajah,
gerakan tubuh, suara, nada, dan kontak mata, dll (Eugene Matusov dalam
Liliweri, 2002: 139).
Aspek lain dari penggunaan komunikasi non verbal adalah penggunaan
ruang atau prosemik. Penggunaan ruang berkaitan dengan bagaimana kita
memanfaatkan ruang ketika kita berhadapan atau berkomunikasi dengan orang
lain. Seberapa jarak yang kita punyai untuk saling bercakap dipengaruhi juga
oleh budaya dimana aktivitas itu dilakukan. Selain prosemik budaya
berpengaruh pula terhadap kronemik atau konsep waktu. Persepsi waktu antar
budaya berbeda satu dengan yang lain. Sebagai contoh, orang Jepang dan
Amerika sangat tepat waktu sedang orang Arab akan mendahulukan basa basi
emosional terlebih dahulu.
Unsur kebudayaan yang lain adalah pengakuan dan ganjaran. Pengakuan
adalah sebuah konformitas terhadap suatu perilaku. Norma biasanya alat yang
digunakan masyarakat untuk memberikan pengakuan atau ganjaran. Dan
unsure budaya yang terakhir adalah pola pikir. Pola berpikir merupakan cara
yang menunjukkan bagaimana suatu kelompok memandang keputusan yang
diambil. Setiap kebudayaan mengajarkan pola berpikir berbeda sesuai dengan
kesepakatan anggotanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
2.4. Komunikasi sebagai Proses Share Meaning
Komunikasi antar anggota kelompok merupakan proses berbagi satu
dengan yang lain. Berdasarkan asal kata, komunikasi berasal dari Latin,
communicare. Kata ini mengandung pengertian “to make common”, “to
share”, atau berbagi. Maka dalam pemahaman ini, “communication is defined
as the process of understanding and sharing meaning.” Komunikasi dapat
didefinisikan sebagai proses memahami dan menukarkan makna. Komunikasi
lebih dari sekedar melemparkan pesan dari satu orang ke orang yang lain atau
kelompok ke kelompok yang lain, namun komunikasi lebih pada proses.
Sebuah aktivitas bahkan serangkaian perilaku yang diorganisir sedemikian
rupa untuk dapat dipahami.
Perilaku komunikasi diungkapkan oleh David Berlo (1960), “…When we
label something as a process, we also mean that it does not beginning, an end,
a fixed sequence of events. It is not static, as rest. It is moving. The ingredients
within a process interact; each affects all the others.” (Ketika kita menandai
sesuatu (perilaku komunikasi) sebagai proses, kita juga memaknainya tidak
hanya awal, akhir, bagian dari kejadian-kejadian. Ia tidak statis, seperti
berhenti sejenak. Ia bergerak. Komponen-komponen yang terlibat dalam
proses interaksi; masing-masing berpengaruh terhadap yang lain). Proses
berarti ada sebuah aktivitas yang dibangun terus menerus, sehingga ketika kita
melakukan (proses) komunikasi -misalnya, bercakap- kita tidak selesai hanya
dalam sekali pembicaraan. Namun kalimat dalam percakapan tersebut
mungkin akan menjadi dasar untuk percakapan nanti, keesokan harinya atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
bahkan minggu depan dan seterusnya. Oleh karena itu, proses tentu
membutuhkan pemahaman. Communication is a process that requires
understanding-perceiving, interpreting, and comprehending the meaning of
the verbal and nonverbal behavior of others. Komunikasi merupakan proses
yang menghendaki pemahaman, penafsiran, dan pengertian makna baik
perilaku verbal dan non verbal. (Pearson&Nelson, 2000:7).
Komunikasi juga melibatkan pemahaman tentang “sharing” yang dapat
dimengerti sebagai interaksi antara orang-orang untuk mempertukarkan
makna. Setiap orang atau kelompok pada dasarnya telah memiliki makna yang
dibangun bersama. Makna dalam sebuah kelompok didapat karena muncul
persamaan pemahaman terhadap pesan antar anggota mereka. Oleh karena itu
komunikasi dapat dilihat pula sebagai proses sosial.
2.5. Komunikasi sebagai Proses Sosial
Komunikasi merupakan sebuah proses pertukaran pesan dari komunikator
kepada komunikannya. Communication is a social process in which
individuals employ symbols to establish and interpret meaning in the
environment. (West&Turner, 2007:3). Atau dapat dikatakan bahwa
komunikasi merupakan sebuah proses sosial dimana individu-individu
menggunakan simbol-simbol untuk membangun dan mengintepretasi makna
yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut,
Gambar 2.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Unsur-Unsur dalam Definisi Komunikasi
Sumber: Richard West&Lynn H. Turner, 2007: 5
Konteks komunikasi di atas melibatkan beberapa unsur yang terdiri dari
lingkungan, sosial, proses, simbol-simbol, dan makna. Mengintepretasi
komunikasi sebagai proses sosial, berarti kita akan melibatkan orang-orang
dan interaksi. Dalam proses tersebut, seseorang cenderung mempunyai
intensitas, motivasi dan kemampuan berkomunikasi. Sebagai sebuah proses,
komunikasi akan bersifat dinamis, kompleks dan berkelanjutan. Dinamis yang
dimaksudkan dalam pandangan ini termasuk pula penciptaan pesan. Pada
kenyataannya, ketika seseorang melakukan proses komunikasi, maka pesan
tersebut akan tersimpan di dalam memori. Dan mungkin akan dapat muncul
lagi ketika bercakap dengan orang lain.
Communicationnn
Meaning Social
Environment
Symbols Process
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Unsur berikut dalam gambaran tersebut adalah simbol. Simbol merupakan
sebuah konsep yang dibangun melalui interaksi yang terus menerus antar
individu. Intensitas akan membentuk kesepakatan bersama atas sebuah
pemahaman makna. Itulah mengapa konsep yang sama terkadang dimaknai
berbeda oleh kelompok atau individu yang lain. Ketika manusia belajar maka
dia mempertukarkan simbol. Namun bukan hanya itu saja, manusia dapat
mengolah simbol-simbol sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Walaupun antara tanda dan obyek yang ditandai sering kali tidak ada
kaitannya, namun makna dapat dipahami melalui kesepakatan bersama.
Pembentukan makna terjadi melalui proses secara turun temurun atau
proses pewarisan budaya. Manusia memiliki pembawaan sosiokultural yang
membedakannya dengan hewan. Pembawaan sosiokultural terjadi ketika
seseorang berinteraksi dengan orang lain. Orang tua meneruskan nilai dalam
keluarga kepada anaknya. Adat dalam sebuah masyarakat menganggap tabu
suatu perilaku atau pandangan mengenai benar atau salah atas suatu masalah.
Dan berbagai contoh lainnya. Pemahaman budaya akan dilestarikan melalui
proses turun temurun tersebut. Hingga karena perilaku itu menjadi suatu
kewajaran maka orang akan menganggap itu sebagai identitas.
Simbol sangat berkaitan dengan proses intepretasi. Interpretasi terjadi
dalam pemikiran seseorang melalui proses encoding dan decoding seseorang
terhadap sesuatu. Atau dengan kata lain logika berpikir seseorang terbentuk
dari field of experience seseorang terhadap sebuah peristiwa atau sesuatu hal.
Intepretasi juga dapat diturunkan dan dipelajari seseorang dari lingkungannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Dan intepretasi tersebut kemudian disebarkan melalui keseharian interaksi
antar individu. Hasil dari sebuah intepretasi tersebut adalah pemaknaan.
A symbol is an arbritary label or representation of fhenomena. (Ibid,
hal.7). Simbol bersifat semena-mena atau merupakan representasi dari sesuatu
hal. Semisal, meja adalah simbol dari benda yang berkaki empat dan
digunakan untuk meletakkan sesuatu. Simbol tersebut bersifat arbriter, karena
mungkin di tempat lain, meja hanya menggunakan 3 kaki dan mempunyai
fungsi yang berbeda.
Sebuah label terkadang menimbulkan sebuah ambiguitas. Ia dapat
terbentuk melalui proses verbal maupun non verbal, dan dapat pula terjadi
dalam melalui komunikasi baik face-to-face maupun menggunakan media
tertentu. Simbol biasanya merupakan konsep yang dipahami oleh sebuah
kelompok tertentu. Namun menjadi ambigu bagi out-group sebuah kelompok.
Atau dengan kata lain, simbol cenderung bersifat in-group karena dibangun
melalui interaksi yang bersifat sehari-hari.
Simbol dapat berupa concrete symbol maupun abstract symbol. Concrete
symbol dapat dimaknai sebagai simbol yang merepresentasi sebuah obyek
dengan nyata. Sedangkan abstract symbol dipahami sebagai simbol yang
membangun ide atau pengetahuan. Dalam sebuah komunikasi, concrete
symbol lebih mudah dipahami daripada abstract symbol. Contohnya, orang
akan lebih mudah memahami bahwa kura-kura adalah salah satu jenis
binatang, daripada ketika seseorang mengatakan, “jalanmu seperti kura-kura.”
Seseorang mungkin akan mempunyai intepretasi berbeda dengan orang lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dalam memaknai kalimat tersebut. Proses intepretasi seseorang terhadap
obyek, juga dapat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman dia terhadap
obyek.
Komunikasi bersifat simbolik. Kenyataannya bahwa ketika seseorang
berkomunikasi pada dasarnya dia sedang mempertukarkan simbol. Gudykunst
and Kim mengungkapkan bahwa “The important thing to remember is that
symbols are symbols only because a group of people agree to consider them
as such.” (Samovar, 2007: 13). Simbol hanyalah simbol tanpa makna apabila
tidak ada kesepakatan antara anggota masyarakat. Tidak ada hubungan antara
simbol dengan referen mereka, hubungan tersebut bersifat arbitrair dan
beragam antara budaya satu dengan budaya yang lain.
Terkait dengan proses dan simbol, makna merupakan sesuatu yang sentral
terhadap definisi komunikasi. Meaning atau makna merupakan “extract” dari
pesan. Dalam komunikasi, pesan dapat mempunyai lebih dari satu makna.
Without sharing some meaning, we would all have a difficult time speaking the
same language or interpreting the same event. (Ibid, hal.7). Judith Martin dan
Tom Nakayama dalam Intercultural Communication in Context menekankan
bahwa makna mempunyai konsekuensi budaya. Budaya menjadi latar
belakang seseorang dalam memaknai sesuatu.
Unsur komunikasi yang terakhir adalah lingkungan. Lingkungan
merupakan situasi atau konteks dalam mana komunikasi terjadi. Lingkungan
melingkupi berbagai elemen, termasuk waktu, tempat, sejarah, hubungan, dan
latar belakang komunikator dan komunikannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
3. Studi Pesan
3.1. Simbol Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi
Komunikasi melibatkan pertukaran kode-kode. A code is a systematic
arrangement of symbols used to create meanings in the mind of another
person or persons. (Pearson&Nelson,2000:12). Kode merupakan rangkaian
sistematik simbol-simbol yang digunakan untuk menciptakan pemahaman
seseorang atau sekelompok orang. Bahasa mengatur syntax dan grammar
supaya dapat dipahami. Ketika kita sedang menyeberang dan ada seseorang
yang berteriak “stop!” maka secara otomatis kita akan berhenti karena
mengartikan teriakan itu sebagai tanda bahaya.
Apabila komunikasi dikaitkan dengan kode maka komunikasi dapat
dipandang sebagai proses encoding decoding. Encoding is defined as the act
of putting an idea or a thought into a code. Decoding is assigning meaning to
that idea or thought. (Encoding merupakan aktivitas meletakkan ide-ide ke
bentuk kode yang ada dalam pikiran kita, sementara decoding merupakan
proses memahami ide-ide tersebut). (Pearson&Nelson, 2000:12).
Komunikasi verbal dan Komunikasi non verbal. Komunikasi dapat
diwujudkan dalam bentuk verbal dan non verbal. Komunikasi verbal identik
dengan bahasa. Hal tersebut karena bahasa merupakan alat yang digunakan
oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memahamkan apa yang mereka
kehendaki. Language is a code, a collection of symbols, letters, or words with
arbitrary meanings that are arranged according to the rules of syntax and are
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
used to communicate. (Person&Nelon, 2000:52). Makna bahasa hanya dapat
dimengerti oleh kesamaan pemahaman antara komunikan dengan
komunikator, karena bahasa merupakan serangkaian simbol yang bersifat
arbitrer.
Bentuk komunikasi yang kedua adalah komunikasi nonverbal. Seperti
halnya komunikasi verbal, banyak gangguan yang terjadi atas pemaknaan
dalam komunikasi nonverbal. Kesulitan pemaknaan dalam komunikasi
nonverbal terjadi karena seringkali seseorang menggunakan kode yang sama
untuk mengkomunikasikan berbagai makna, mereka menggunakan bermacam
kode-kode untuk makna yang sama, atau orang-orang memiliki intepretasi
yang beragam atas sebuah kode nonverbal.
Nonverbal codes are codes of communication of symbols that are not
words, including nonword vocalizations. (Pearson&Nelson, 2000:75).
Pergerakan tubuh, logat bibir, kedipan mata, sentuhan, cara berpakaian,
artefak hingga dan semua kode nonverbal.
3.2. Proses Produksi Pesan
We intentionally send messages to change or modify the behavior of other
people. (Samovar, 2007:45) Pada dasar manusia atau kelompok akan berupaya
membuat menciptakan pesan untuk membangun pemahaman orang lain sesuai
dengan pemahaman yang diinginkan. Dipaparkan di atas bahwa akulturasi
adalah proses penyatuan dua budaya yang berbeda sehingga menghasilkan
budaya yang baru. Devito mengungkapkan, “In acculturation your original or
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
native culture is modified through direct contact with exposure to a new and
different culture.” Kalimat tersebut menerangkan bahwa akulturasi merupakan
proses modifikasi simbol-simbol atau pesan-pesan budaya.
Andrik Purwasito membahasakan proses tersebut dengan istilah Rekayasa
pesan atau Message engineering-bagaimana partisipan komunikasi yang
memiliki kebebasan seluas - luasnya tersebut merekayasa pesan sesuai dengan
kebebasan yang diberikan oleh ruang dan waktu dimana partisipan itu hidup,
(hal ini tidak menolak pengertian umum bahwa bahasa itu bersifat konvensi,
yakni digunakan dan dipertukarkan dalam kesepakatan bersama), sehingga
mendapatkan hasil yang optimal dalam berkomunikasi (power). Untuk
memahami pengertian tersebut, Prof Andrik Purwasito, DEA mengungkapkan,
“Seven Basic Theory on Messages Studies”
(http://ndalempoerwahadiningratan.wordpress.com), sebagai berikut:
1. Komunikasi itu adalah kekuasaan (Communication is a power)
Komunikasi adalah sarana untuk memperoleh power (kekuasaan), dari
tingkat yang paling elementer (kekuasaan sosial, haute couture
intellectuelle (mode intelektual, biasanya menyebut mode intelektual
strukturalis Prancis) sampai pada kekuasaan dalam kenegaraan dalam
pengertian politik. Dalil pertama ini setidaknya memberikan satu fondasi
bahwa studi pesan digunakan secara luas di semua bidang.
2. Bahasa itu simbol (language is symbole). Dalam rumusan ini seluruh
kegiatan komunikasi menggunakan bahasa yang berbentuk simbol verbal
dan simbol non-verbal. Keduanya mendasari pemikiran studi pesan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
mempunyai kedudukan sentral dalam studi pesan. Boleh dikatakan studi
pesan itu basis analisis (analysis unit) adalah seluruh perangkat (verbal
dan non-verbal) yang digunakan dalam proses komunikasi
(communication process) dalam sebuah tindak komunikasi
(communication actions). Meminjam F. De Saussure (1857-1913) bahwa
kegiatan komunikasi itu melibatkan langage (susunan atau bentuk bahasa),
langue (sistem bahasa) dan parole (pemakaian bahasa). Dengan demikian,
metoda analisa yang digunakan adalah metode tafsir tanda, yang disebut
semiologi (ilmu tentang tanda) atau kata yang mungkin mudah dimengerti
simbologi. Dalam buku studi pesan, saya lebih menyukai metode tafsir
pesan.
3. Pesan itu Kemasan (Message is Packaging). Dalam rumusan yang kedua
ini, saya memperkuat Mac Luhan bahwa message is medium. Berangkat
dari pemikiran tersebut, terdengar bahwa message itu sesungguhnya tidak
independen. Ia mempunyai kedudukan yang arbitrair (semena-mena,
menyangkut relasi signifiant dan signifie) mengambil istilah Ferdinand de
Saussure. Artinya para partisipan komunikasi memberi makna dan
membangun pesan sesuka hati saja. Dalam buku Message Studies, disebut
sebagai message engineering (rekayasa pesan).
4. Pesan itu Semena-mena (Message is arbitrair). Pada dasarnya pesan itu
arbitrair, karena partisipan komunikasi mempunyai kebebasan untuk
membangun simbol pesan. Dalam pengertian, partisipan mempunyai
kebebasan seluas-luasnya untuk merekayasa pesan sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
kebebasan yang diberikan oleh ruang dan waktu dimana partisipan itu
hidup. Hal ini tidak menolak pengertian umum bahwa bahasa itu bersifat
konvensi, yakni digunakan dan dipertukarkan dalam kesepakatan bersama.
5. Pesan itu logis (Message is logic). Dalam rumusan ini, meskipun pesan itu
semena-mena, meminjam istilah Saussure pesan itu mengandung unsur
signifiant (yang diucapkan, didengar atau yang dituliskan atau yang
dibacakan) kita sebut “penandanya.” Sedangkan pesan juga mengandung
unsur signifie (apa yang ada didalam pikiran dan mental kita berupa
konsep-konsep) sebagai “petandanya”. Keduanya seperti dua sisi dari
mata uang yang sama. Dasar inilah yang kita gunakan untuk membangun
simbol atau menafsirkan makna, haruslah menggunakan akal sehat sebagai
basis keputusan. Akal sehat itu bukanlah sesuatu keputusan yang semena-
mena, tetapi didasarkan atas dasar logika yang lurus (dalam buku Message
Studies saya sebut common-sense). Oleh sebab itu, untuk menghindari
penafsiran yang sesat, anda membutuhkan bantuan beberapa perangkat
metodologis yang dikembangkan oleh para pemikir atau filsuf. Dalam 9
formula yang saya tulis dalam buku Message Studies, antara lain 1).
intertekstualitas, meminjam apa yang digunakan oleh Julia Kristiva dalam
analisis teks atau menggunakan perangkat 2). inter-subyektivitas,
meminjam istilah filsafat, yang kurang lebih untuk menghindari kesesatan
tersebut dan mencapai tingkat obyektivitas yang diharapkan. Artinya,
melakukan tafsir terhadap pesan membutuhkan bantuan para penafsir lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
yang hasil tafsirnya telah diuji (biasanya dibukukan) dari orang yang
mempunyai kredibilitas keilmuan yang memadai.
6. Pesan itu kontekstual (Message is contextual). Pesan itu tergantung pada
konteks komunikasinya. Partisipan biasanya menggunakan dua bentuk
praktek komunikasi (terutama dalam interpersonal communication) yaitu
high-contex dan low-contex of communication. Kedua istilah tersebut
sebenarnya tetap mengacu pada pembahasan F.de Saussure tentang
linguistik yaitu langage, parole dan langue, signifiant dan signifie.
7. Pesan itu Ruang dan Waktu (Message is Time and Space). Dalil terakhir
dari studi pesan adalah ketergantungan pesan terhadap ruang dan waktu.
Hal ini wajib menjadi perhatian seluruh kegiatan interpretasi dan rekayasa
pesan, karena setiap tempat dan setiap waktu, meminjam metode sejarah
dan peradaban dari Ecole Annale Prancis, bahwa ruang dan waktu di
dalamnya latar budaya, mitologi, sejarah, ideologi, pragmatisme, nilai dan
norma serta adat kebiasaan yang berbeda-beda. Dalam ilmu bahasa yang
dikemukakan oleh F. de Saussure bahwa bahasa bersifat sinkroni
(bertepatan menurut waktu) dan diakronis (berdasar pada perjalanan
historis). Selanjutnya, ahli linguistik suksesor Saussure, yaitu Roland
Barthes, memberikan perhatian pada proses pemaknaan (dalam Message
Studies saya sebut proses semiosis) yang bersifat signifikansi dan kedua
bersifat komunikasi (pragmatik). Dalam proses semiosis komunikasi dan
signifikansi, pesan itu bersifat denotatif, yaitu pengertian yang diperoleh
dari terjemahan atau tafsir dari apa yang dipakai oleh masyarakat pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
umumnya. Sedangkan makna yang bersifat konotatif adalah pengertian
yang diperoleh melaui proses semiosis (dari penerjemahan atau tafsir di
luar pesan yang disampaikan tersebut). Dalam bahasa kita, pemaknaan itu
disebut mengungkapkan pesan yang tersirat (konotatif), itu bahasa kiasan
dan bukan pesan yang tersurat (denotatif), bahasa apa adanya.
3.3. Semiologi dan Mitologi
Semiologi atau semiotika adalah ilmu tentang tanda. Teori ini membantu
pemahaman kita terhadap pesan yang diorganisir secara struktural dan
bagaimana pesan hadir untuk diberi makna.
“Sejak pertengahan abad ke-20, semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh besar, melampaui di antaranya, kajian bahasa tubuh, bentuk-bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan, makanan, upacara-pendeknya semua yang digunakan, diciptakan, atau diadopsi oleh manusia untuk memproduksi makna.” (Danesi, 2004: 6).
Secara prinsip, penyebutan semiologi sebenarnya tidak mempunyai
perbedaan mendasar dengan istilah semiotika. Kalaupun ada, perbedaan itu
lebih mengacu pada orientasinya. Van Zoest (1991: 2) dalam Kurniawan
(2001: 51). Penambahan “logi” dalam semiologi juga tidak sepadan dengan
penggunaan untuk penyebutan ilmu-ilmu yang lain. Monaco mengungkapkan
sebutan ilmu dalam istilah semiologi bersifat lebih longgar. Akibatnya timbul
masalah tersendiri pada semiologi, apakah semiologi merupakan ilmu
tersendiri yang belum jelas bentuknya (sebagaimana diramalkan dan diyakini
Saussure) ataukah menjadi bagian dari ilmu lain (sebagaimana Roland Barthes
menganggapnya sebagai bagian dari linguistik). (Kurniawan, 2001:51-52).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Penggunaan semiologi menunjukkan pengaruh kubu Saussure5, sedangkan
penggunaan semiotika mengacu pada Peirce6.
Dalam perkembangan teori ini, Roland Barthes, seorang ilmuwan asal
Perancis, mengemukakan pandangan tentang semiologi yang kemudian biasa
disebut semiologi Barthes7. Hawkes dalam Kurniawan mengungkapkan bahwa
pandangan Barthes melihat hubungan penanda dan petanda bukan equality
tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain,
tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya.
Kurniawan menambahkan bahwa Barthes tidak sebatas itu saja dalam
memahami proses penandaan, tetapi melihat pula aspek lain dari penandaan
yaitu “mitos”. Kata “mitos” berasal dari bahasa Yunani mythos “kata”,
“ujaran”, “kisah tentang dewa-dewa”. Danesi (2010: 167-168) menambahkan
bahwa pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori
asli mengenai dunia, sehingga apabila mengkaji mitos, kita dapat mempelajari
bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus dengan
banyak adat istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik
nilai-nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi suatu
kelompok.
5 Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah seorang ilmuwan linguistik yang lahir di Genewa. Dalam materi kuliah berjudul Cours de Linguistique Generale (1916) yang dikumpulkan oleh dua muridnya di universitas, Saussure menggunakan istilah semiologi untuk merujuk pada kajian tanda. 6 Charles Sanders Peirce (1939-1914) adalah seorang filsuf dari Amerika. Peirce mempopulerkan istilah semiotika yang sebenarnya dilakirkan filsuf Inggris, John Locke, dalam tulisannya Essay Concerning Human Understanding (1690). 7 Semiologi Barthes merujuk pada Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Dalam semiologi Barthes, mitos diistilahkan dengan mitologi. Mitologi
adalah refleksi versi modern dari tema, plot, dan karakter mitos. (Danesi,
2010: 173). Kata mitologi merupakan gabungan dari mythos dan logos. Dalam
konteks ini, Barthes tetap menaruhnya mitos dalam diskursus semiologi. Ia
meletakkannya pada tingkat kedua penandaan; tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk
petanda baru. (Kurniawan, 2001: 23). Teori tentang mitologi ini membantu
peneliti dalam proses analisis.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah disertasi I Wayan
Damayana yang kemudian dibukukan dengan judul Menyama Braya, Studi
Perubahan Masyarakat Bali (2011) dari Fakultas Teologi Universitas Kristen
Satya Wacana. Konteks penelitian ini lebih pada perubahan masyarakat Bali
khususnya desa Pemogan Bali dari sudut pandang teologi. Karya berikutnya
yang relevan adalah tulisan I Ngurah Suryawan yang berjudul Bali, Narasi
dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali) (2005). Tema dalam buku ini
adalah konstruksi wacana tentang Bali, politik dan kekerasan.
Relevansi penelitian tersebut adalah lokasi penelitian yang sama yaitu di
Bali. Namun demikian, dua penelitian di atas lebih menyoroti Bali dalam
konteks luas. Sedangkan penelitian ini lebih spesifik di desa Kristen di Bali,
Blimbingsari. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Pendeta dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Bendesa Adat di Blimbingsari, selama ini belum ada penelitian berkaitan
dengan desa tersebut yang ditinjau dari pendekatan komunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Bali, tepatnya di desa Blimbingsari,
kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Pra survey penelitian sudah dimulai
sejak bulan Oktober 2010 dan pengumpulan data hingga Februari 2012.
B. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang terbangun dalam latar belakang maka
penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Induktif merupakan proses penelitian
dalam pendekatan kualitatif dengan mengangkat fakta empirik secara
kualitatif, mengembangkan asumsi, mengembangkan konsep, dan
mengkonstruksi teori (constructionism).
Jenis penelitian kualitatif yang diterapkan adalah etnografi komunikasi.
Etnography komunikasi merupakan sebuah bidang dikenal sejak publikasi
American Anthropologist muncul dengan judul tersebut (The ethnography of
communication). (Gumpez and Hymes 1964), dimana didalamnya terkandung
pendekatan sosiologi yang terpusat dengan analisis interaksional dan identitas
peran, studi secara antropologi terorientasi pada cerita-cerita rakyat dan kerja
filsuf bahasa sehari-hari. (Saviell, 2003). Dalam sebuah studi etnografi. Para
etnografer mengamati dan mengajukan pertanyaan ihwal cara orang-orang
berinteraksi, bekerjasama, dan berkomunikasi termasuk dengan peneliti secara
alamiah dalam konteks kehidupan sehari-hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Etnografi komunikasi mempunyai dua fokus: bersifat umum dan khusus.
Di satu sisi, ia mengarahkan deskripsi dan pemahaman "communication
bahavior" pada setting budaya yang spesifik, tetapi juga mengarahkan
kedalam formulasi konsep dan teori yang mana membangun metateori human
communication. Dasar pendekatan ini tidaklah melibatkan daftar fakta-fakta
untuk dipelajari sebagai pertanyaan namun juga menemukan jawaban diluar
hal tersebut. Untuk meraih tujuan pemahaman baik secara spesifik maupun
general, sederet data yang berasal dari bermacam-macam komunitas
dibutuhkan (1964:2).
Fokus dalam etnografi komunikasi adalah "the speech community",
sebuah cara komunikasi dimana didalamnya dia dipolakan dan
diorganisasikan sebagai sistem atas kejadian-kejadian komunikasi, dan cara-
cara didalam mana interaksi dengan semua sistem budaya yang lain.
Tujuan utama dalam pendekatan ini untuk memandu pengumpulan dan
analisis diskriptif data tentang cara-cara didalam mana makna sosial dibawa:
"If we ask of any form of communication the simple question what is being
communicated? The answer is: information from the social system" (Douglas
1971: 389).
Mengerjakan etnografi dalam budaya lain melibatkan berbagai lapangan
kerja, termasuk juga observasi, tanya-jawab, berpastisipasi dalam aktivitas
kelompok dan melakukan tes validitas. Hal yang esensial dalam etnografi
adalah kedalaman pemahaman relativisme budaya. Secara komplit keluar dari
subyektifitas merupakan hal yang mustahil karena pada dasarnya kita telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
memiliki kebudayaan yang menurut kita sebagai sesuatu yang wajar. Namun
demikian, berbagai batasan-batasan dan panduan-panduan metodologi
dibangun untuk meminimalisir bias persepsi dan analisis. Tradisi partisipant-
observation masih merupakan dasar untuk semua etnografi, namun ia dapat
didukung dengan berbagai macam koleksi data yang lain dan prosedur validasi
tergantung pada fokus investigasi dan hubungan investigator terhadap
komunitas amatan yang dipelajari.
Langkah yang dilakukan bermula dari data empirik dari lapangan. Faktor-
faktor yang terbentuk secara silmultan bersifat timbal balik, kemudian
mencoba untuk diuraikan. Berdasarkan data dan pengamatan di lapangan,
rancangan berkembang dengan kategori-kategori yang diidentifikasi selama
proses penelitian. Analisa menjadi konsep yang terus menerus dilakukan dan
diletakkan pada konteks alamiahnya. Pola-pola dan teori dikembangkan untuk
pemahaman. Teori dalam jenis penelitian ini menerangkan dan mendasarkan
diri pada data yang diperoleh di lapangan.
C. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
1. Data primer (korpus) dalam penelitian ini adalah data yang berkenaan
secara langsung dengan subyek yang diteliti yaitu kebudayaan Desa
Adat Kristen Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali. Data tersebut
terbagi menjadi beberapa unsur kebudayaan menurut Koentjoroningrat
yang terdiri dari bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi, dan kesenian.
2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah pemberitaan media massa,
literature, internet, dan buku.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik observasi dan
wawancara. Dalam konteks ilmu komunikasi, penelitian dengan metode
pengamatan atau observasi biasanya dilakukan untuk melacak secara sistemais
dan langsung gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial,
politis, dan kultural masyarakat. (Pawito, 2007: 111). Kata “langsung” berarti
bahwa peneliti langsung mengamati obyek kajian. Sekalipun dasar utama
daripada metode observasi adalah penggunaan indera visual, tetapi dapat juga
melibatkan indera-indera lain seperti pendengaran, rabaan dan penciuman.
(Slamet, 2006: 86). Observasi yang diterapkan adalah observasi berpartisipasi,
dimana peneliti mempunyai peran ganda, yaitu sebagai peneliti dan pelaku
kegiatan.
Teknik yang kedua adalah teknik wawancara. Teknik wawancara dalam
penelitian ini lebih untuk memahami bagaimana konteks kebudayaan
dibangun, selain sebagai bahan pertimbangan dan pembanding observasi.
Teknik pengumpulan data artefak atau dokumen juga dilakukan berdasarkan
studi literatur yang mendukung analisis data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Ada sejumlah cara untuk memeriksa keabsahan data. Teknik ini diterapkan
sebagai wujud pertanggungjawaban peneliti terhadap data-data dan analisa
yang digunakan. Dalam penelitian ini, teknik pemeriksaan keabsahan data
menggunakan beberapa teknik credibility. Pertama adalah prolonged
engagement. Teknik ini dilaksanakan dengan cara peneliti tinggal di lokasi
dalam jangka waktu cukup lama. Yang kedua adalah persistent observation.
Dengan teknik ini, peneliti diharapkan melakukan pengamatan secara terus
menerus. Yang ketiga adalah Trianggulation. Menurut Patton (1984) ada tiga
macam trianggulasi: (1) data triangulation (membandingkan sejumlah data
untuk melihat mana yang benar), (2) Investigator (menggunakan sejumlah
peneliti kemudian membandingkan satu sama lain, (3) Methodological
triangulation (menggunakan sejumlah metode untuk memperoleh kebenaran).
Dalam teknik triangulasi, peneliti lebih menggunakan teknik triangulasi data.
Dan teknik berikutnya adalah peer debriefing. Dalam teknik ini peneliti
melakukan diskusi dengan teman sejawat sesama ilmuwan.
F. Teknik Analisis Data
Semiologi merupakan sebuah pendekatan yang bermanfaat untuk
menjelaskan bagaimana unit-unit yang berbeda mengkomunikasikan atau
mempertukarkan makna. The procsess of production meaning is called
semiosis. (Proses produksi makna disebut semiosis). (Samovar, 2007: 207).
Pemahaman semiosis datang dari studi kritis yang dilakukan oleh Roland
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Barthes (1980). Semiologi berkembang menjadi ilmu untuk menafsirkan
berbagai hal berhubungan dengan tanda-tanda, termasuk berguna bagi analisis
kritik ideologi (semiologie comme la methode fundamentale de la critique
ideologique). Ia mengambil pembagian Roland Barthes, dalam L’Aventure
Semiologie. (Purwasito, 2003). Semiologi banyak pula digunakan dalam studi
linguistik dan dalam komunikasi, kita mengenal semiologi komunikasi.
Sebuah kaidah tafsir akan tanda-tanda. (digilib.uns.ac.id/upload/dokumen).
Semiologi komunikasi memberi makna pada tanda dalam perspektif,
bukan saja rujukan, tetapi fungsi itu digunakan oleh partisipan komunikasi.
Seperti dalam istilah semiotika sendiri yang berasal dari bahasa Yunani Kuno
“semion” yang berarti tanda, yang pada dasarnya mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Jadi ada perbedaan antara
memaknai (to signify) dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti dalam hal mana obyek itu dijelaskan, tetapi juga sistem atau
struktur dari tanda. Sedangkan mengkomunikasikan berarti obyek-obyek
memuat informasi (pesan) kepada komunikan, demikian sebaliknya.
Semiologi dapat dibagi menjadi dua pengertian mendasar. Pertama,
semiologi signifikansi dan yang kedua adalah semiologi komunikasi atau
semiologi pragmatik. Semiologi signifikansi adalah alat tafsir yang digunakan
masyarakat untuk memberi makna tanda-tanda sebagai pesan komunikasi, jadi
tanda mempunyai maksud tertentu yaitu pesan kepada komunikan, khalayak
atau publik. Jika komunikasi adalah produksi simbol-simbol oleh manusia,
maka semiologi komunikasi adalah tafsiran pesan dari seluruh produk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
komunikator yang ditujukan secara jelas kepada komunikan dengan subyek
berupa simbol-simbol komunikasi. (http:/andrikpurwasito.blog.com/ diunduh 3
Maret 2011, pk. 15.00)
Andrik Purwasito mengungkapkan bahwa semiologi bertujuan untuk
menginterpretasikan pesan dalam suatu komunikasi. Ketika proses interaksi,
maka di sana terjadi pertukaran tanda-tanda (pesan) antar partisipan
komunikasi. Proses ini dapat pula diistilahkan dengan penyandian. Penyandian
digunakan dalam membangun pesan komunikasi dalam bentuk simbol-simbol.
Simbol dipertukarkan oleh partisipan komunikasi secara terus menerus dalam
kegiatan interaksi dan transaksi sehari-hari. Komunikasi dapat berjalan secara
lancar karena simbol-simbol komunikasi yang diigunakan oleh partisipan
komunikasi telah tersedia di masyarakat dan para partisipan tinggal
menggunakannya. Proses interaksional dan transaksional tersebut merupakan
upaya sharing of idea dan sharing of experience untuk mencapai tingkat
tindak komunikasi yang berhasil. (Purwasito, 2002: 169).
Namun dalam pelaksanaannya proses decoding dan encoding dalam
komunikasi tidak senantiasa berjalan lancar. Atau dapat dikatakan bahwa
komunikasi merupakan pertukaran simbol (sharing of symbol), dan semiologi
komunikasi ini digunakan untuk menginterpretasikan simbol-simbol tersebut.
“semiologi komunikasi” hanya digunakan untuk menganalisis subyek kajian
yang berbasis pragmatik (praktek komunikasi). Prieto, Buyssens, Mounin,
yang banyak dipengaruhi oleh Louis Hjelmslev (1961), juga menyetujui dan
menganggap penting menganalisa tanda-tanda yang disertai maksud (signal)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
yang secara sadar digunakan oleh (komunikator) kepada mereka yang
menerimanya (komunikan).
Setelah melakukan studi lapangan, data yang terkumpul kemudian
dianalisis dengan 9 formula untuk tafsir pesan yang diungkapkan oleh Andrik
Purwasito, sebagai berikut:
1. Menguji pesan secara denotatif yaitu menguji berdasarkan konvensi
masyarakat (common sense). Caranya, ujilah dengan konteks sosial dan
budaya dimana pesan itu dibangun.
2. Menguji pesan secara konotatif yaitu pengujian lewat motif dan latar
belakang ideologi komunikator.
3. Menguji pesan secara kontekstual yaitu pengujian konteks fisik setempat
dan konteks waktu dimana tanda itu digunakan.
4. Menguji pesan secara struktural, yaitu menguji pesan dengan
menghubungkannya keterkaitan dengan pesan yang di dekatnya.
5. Menguji pesan secara fungsional, caranya melihat fungsi pesan-pesan yang
digunakan oleh partisipan komunikasi.
6. Menguji pesan secara intertekstual yaitu dengan cara membandingkan
pesan pada fakta yang sama pada peristiwa yang berbeda.
7. Menguji pesan secara intersubyektif, caranya adalah mengambil
penafsiran atas pesan tersebut dari penafsir lain yang digunakan untuk
peristiwa yang berbeda.
8. Menguji pesan dengan cara meminta pendapat dari penafsir lain yang
dianggap berkompenten dalam bidang yang berkaitan dengan pesan itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
9. Menguji pesan secara subyektif yaitu melakukan tafsir intuitif oleh peneliti
sendiri dengan mendasarkan pada pengalaman intelektual, keyakinan dan
pengembaraan ilmiahnya.
Dalam proses analisisnya, Andrik Purwasito menyederhanakan 9 formula
tersebut kedalam 7 kaidah pengujian. Adapun 7 kaidah (formula) pengujian
yang dimaksud adalah: (1) Partisipan komunikasi, (2) Konteks komunikasi
(motif komunikator), (3) Bentuk fisik non fisik tanda (konteks fisik dan
sosial), (4) Fungsi tanda (struktur tanda dan tanda lain), (5) Intertekstualitas
tanda, (6) Intersubyektifitas makna, dan (7) Intelektualitas penafsir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PENYAJIAN DATA
A. Sejarah Blimbingsari
Sejarah Blimbingsari memiliki berbagai macam versi. Berdasarkan
pengamatan peneliti terdapat tiga macam pendekatan. Namun pada dasarnya
tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Dalam penelitian ini, penulis
akan memaparkan sejarah perkembangan desa Blimbingsari berdasarkan hasil
wawancara dari Pendeta Ketut Suyaga Ayub, pemuka agama yang menjabat pada
waktu peneliti menjalankan studi lapangan. Alasan yang lain adalah pemahaman
sejarah yang akan penulis paparkan merupakan sejarah yang selama ini digunakan
oleh tim pariwisata Blimbingsari.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Belanda
mengeluarkan Undang-Undang larangan bagi pemberitaan Injil di pulau Bali.
Larangan tersebut diputuskan setelah Pdt. Jacob de Froom mati terbunuh di
Singaraja tahun 1881. Pada waktu itu Bali mempunyai ibukota di Singaraja dan
Pendeta tersebut tinggal di sana. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang Bali
yang bernama I Klana yang telah menjadi Kristen. Dia mempunyai satu-satunya
pengikut yang bernama I Gusti Karangasem. (nama I Gusti menggambarkan
bahwa dia berasal dari kasta yang tinggi). Pada tahun tersebut, Pendeta dibunuh
oleh I Gusti Karangasem karena dia mengharap sesuatu yang berlebih secara
jasmani, tetapi merasa tidak mendapatkan. Maka dari kejadian itu, Belanda
kemudian menutup pekabaran Injil di Bali selama 48 tahun. Pemikiran lain yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
dimiliki oleh Belanda pada waktu itu, mereka ingin menjadikan Bali sebagai
museum Hindu.
Namun pada tahun 1929, Pemerintah Belanda kembali membuka
pekabaran Injil di Bali khususnya CMA dari Amerika. Rombongan tersebut
dipimpin oleh Pdt. Tsang To Hang yang mempunyai ajaran yang sangat radikal.
Pemahaman yang diberikan adalah bahwa seseorang yang masuk agama Kristen
harus menghancurkan budaya. Hal ini membuat keresahan. Dan kerja pekabaran
Injil tidak dapat di stop. Injil mulai masuk dari pembantu-pembantu. Hingga pada
akhirnya pada 30 November 1931 dibabtislah 12 orang Bali Di Denpasar,
tepatnya di sungai Yeh Poh. (Yeh artinya air).
Tsang To Hang bekerja atas pimpinan Roh Kudus dan bersemangat masuk
ke desa-desa di sekitar Badung. Dia bekerja dengan radikal dan menolak semua
budaya yang dianggap kair, penyembahan berhala dan pembakaran mayat orang
Kristen yang baru percaya itu menghancurkan sanggah mereka (family temple).
Akibatnya terjadi ketegangan dan kekacauan dimana saja orang Kristen mulai
tumbuh. Orang Kristen baru ini menjadi asing di desanya, tidak mau ikut dalam
suka duka, memakai celana pendek atau celana panjang padahal orang Bali
memakai kamben. Ketegangan bertambah dan orang Kristen diasingkan, tidak
boleh berbicara dengan orang Kristen, tidak boleh berbelanja di warung orang
Kristen, sawah mereka tidak boleh mendapat air karena air sawah oleh orang
Hindu dipercayai dari Dewi Sri. Sawah menjadi kering, rumah mereka dilempari,
gedung gereja dibakar, isi lumbung mereka dijarah, orang Kristen tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
diperbolehkan menguburkan mayat di kuburan desa, karena dianggap menajiskan.
Orang Kristen yang baru ini mengalami banyak kesulitan dan kesengsaraan.
Sebaliknya orang Kristen baru ini menghadapi hambatan tersebut dengan
sukacita dan iman yang kuat. Mereka saling mengunjungi, dan saling menolong.
Berjalan kaki ke desa dimana orang Kristen mulai tumbuh. Dalam kesulitan
tersebut, mereka percaya Tuhan pasti memberi pertolongan. Kekacauan terjadi
dimana-mana, Untal-untal, Buduk, Abianbase, Plambingan, Sading, Carang Sari,
Bongan, Buleleng, dsb. Kekristenan tumbuh dari masyarakat bawah yang miskin
dan klepekan, yang bekerja sebagai penggarap. Tidak ubahnya seperti budak
Israel di Mesir. Karena itulah ada kerinduan dari umat Kristen mendapatkan tanah
untuk hidup mereka.
Dari sudut pandang Pemerintah Belanda, kekacauan yang muncul akibat
Kekristenan dapat membawa malapetaka yang lebih besar. Karena itulah,
Pemerintah Belanda mempunyai keinginan untuk memindahkan orang Kristen.
Keputusan ini jauh dari masyarakat umum dengan maksud memberhentikan
perkembangan agama Kristen, di pihak lain, kalaupun mereka hidup, biarlah
mereka hidup di tempat terasing.
Di Denpasar pada waktu itu bertugas asisten Yansen sebagai perwakilan
pemerintah Belanda. Beliau merestui rencana perpindahan tersebut karena beliau
juga orang Kristen. Orang Kristen tetap berdoa dan berusaha agar Tuhan
membuka jalan untuk memperoleh tanah yang baru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Sebuah tim yang terdiri dari Made Sela, Made Rungu, dan Nyoman Regig
berangkat untuk memeriksa tanah. Mereka sempat memeriksa tanah di sebelah
Timur Gumrih dan hutan sebelah utara Melaya. Setelah berunding tim
memutuskan memilih hutan Melaya yang sekarang bernama Blimbingsari.
Sebelumnya beberapa kelompok telah berusaha membuka hutan yang penuh
dengan nyamuk Malaria, binatang buas tetapi selalu gagal.
Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedan Agung, orang Kristen
berhasil membuka desa dan pertanian yang sangat subur. Untuk persiapan
kedatangan orang Kristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah
menugaskan bogolan untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya yang
sekarang disebut Dam Eka Santosa. Orang Kristen lalu datang pada tanggal 30
September 1939 dan menempati barak yang telah dipersiapkan. Perpindahan
berlangsung pada tahun 1939. Menurut cerita orang tua yang masih hidup, mereka
mengatakan bahwa mereka sudah dapat merayakan paskah bersama keluarga
mereka pada tahun 1940.
Angkatan pertama yang membuka hutan tidur barak. Mereka mulai
pekerjaan dengan berdoa di pagi dan mengakhiri pekerjaan mereka sore hari
dengan ibadah suryane sampun surup. Mereka bersukacita menggarap lahan yang
telah diberi oleh Tuhan, seperti orang Israel keluar dari Mesir menerima tanah
perjanjian Kanaan, yang penuh dengan susu dan madu. Mereka membangun desa
sesuai dengan budaya Bali yaitu nyegara gunung berbentuk salib. Gunung di
utara, laut di selatan. Desa di tengah hutan ini membuat kaget orang yang terbang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
melintasi daerah ini, karena mereka melihat salib besar di tengah hutan. Hal ini
banyak dilaporkan dalam sejarah.
Pembagian tanah dilakukan dengan cara lotere, masing-masing mendapat
2 hektar tanah termasuk 20 are pekarangan, sedangkan untuk kelian dan
pemimpin rohani diberikan tempat yang sentral. Desa ini disebut Blimbingsari
karena sebelum dirabas wilayah ini dipenuhi dengan pohon belimbing yang
berbunga tetapi tidak berbuah. Saudara-saudara yang ikut dalam rombongan
pertama adalah mereka yang membayar pajak tanah di Blimbingsari sedangkan
yang belakangan membeli lahan di sebelah selatan desa Blimbingsari, dan
membayar pajak ke Melaya. Rombongan dipimpin oleh Made Sela (pekak War)
yang bertindak selaku Klian. Dan pemimpin rohani mereka adalah penginjil Made
Cadug (Gurun Luh Sudarmi).
Kemudian setelah mengikuti pendidikan teologia di Pesraman Denpasar, I
Made Rungu bersama keluarganya datang untuk melayani menggantikan penginjil
Made Cadug menempati rumah jemaat di selatan tenggara SD sekarang. Pada
tahun 1943 Made Rungu pelayan kedua setelah Made Cadug dan sebagai Pendeta
pertama melayani jemaat Blimbingsari.
Blimbingsari berkembang begitu pesat. Pendatang-pendatang baru seperti
dari Madangan dan keluarga lainnya menyusul. Blimbingsari dikembangkan ke
Ambyarsari, Melaya, Negara, dan Gilimanuk. Penyebaran yang besar terjadi
menuju Parigi (pantai timur Sulawesi Tengah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Masyarakat membangun Blimbingsari dengan luar biasa, jalan-jalan diatur
dengan baik dan luas sampai ke kebun-kebun. Awalnya mereka menanam
palawija sehingga mereka dapat membantu keluarga-keluarga di asal mereka.
Pada tahun 1947, mereka merasakan pendidikan sangat mendesak, lalu
membangun SDK Maranatha. Ini merupakan sekolah swasta pertama di Bali.
Orang Kristen mempunyai pemahaman yang sangat baik dan mengirim anak-anak
mereka bersekolah sampai Perguruan Tinggi. Di bidang pendidikan Blimbingsari
mendapat rekor paling tinggi di kecamatan Melaya. Beberapa kali dipakai sebagai
teladan di Bali, di dalam bidang pembangunan, ekonomi, KB, dan lain-lain.
B. Kondisi Masyarakat Blimbingsari Kini
B.1. Organisasi Sosial
Blimbingsari adalah sebuah kelurahan atau desa yang mempunyai luas 430
Ha yang terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembarana. Bali Barat. Batas-
batas wilayah Blimbingsari sebagai berikut:
1. Sebelah utara : Hutan Negara
2. Sebelah timur : Desa Ekasari, Kecamatan Melaya
3. Sebelah selatan : Desa Melaya, Kecamatan Melaya
4. Sebelah barat : Hutan Negara
Blimbingsari merupakan kelurahan yang terdiri dari dua banjar atau dusun
Blimbingsari dan Ambyarsari. Namun dalam penelitian ini akan dikhususkan pada
banjar Blimbingsari, karena Ambyarsari pada dasarnya merupakan perluasan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Blimbingsari. Berdasarkan data Desa Blimbingsari, pada tahun 2010, Dusun
Blimbingsari mempunyai total penduduk 200 orang dengan komposisi 177 laki-
laki dan 23 perempuan. Dan menurut agama yang dianut, dari keseluruhan jumlah
penduduk hanya 1 orang saja yang menganut agama Katolik.
Organisasi Sosial di Bali pada dasarnya terdiri dari 2 struktur yaitu
Pemerintahan Dinas dan Pemerintahan Adat. Pemerintahan Dinas dipimpin oleh
Perbekel (Kepala Kelurahan) berkaitan dengan masalah kependudukan
masyarakat, permasalahan ekonomi, pembangunan dan perkembangan desa.
Sementara untuk Pemerintahan adat dipimpin oleh Bendesa Adat, dimana
mengurusi masalah-masalah adat. Pada masyarakat Bali, adat terkait dengan
kepercayaan yang dianut yaitu Hindu, oleh sebab itu adat di Bali sangat identik
dengan upacara-upacara keagamaan Hindu. Di Blimbingsari, sebelum menjadi
desa adat Kristen, permasalahan adat diatur oleh Gereja. Berikut ini pembagian
dua pemerintahan di Blimbingsari:
1. Pemerintahan Dinas
Berdasarkan wawancara dengan Perbekel (kepala desa) Blimbingsari, di
Kelurahan Blimbingsari terdapat 2 sistem pemerintahan, yang terdiri dari
pemerintahan dinas dan desa adat Bali. Pemerintahan Dinas dipimpin oleh
perbekel. Sejak tahun 1939 hingga sekarang Desa Blimbingsari mempunyai 11
Perbekel. Dan saat peneliti mengadakan penelitian, I Made John Ronny adalah
Perbekel yang sedang menjabat. Berikut ini adalah struktur pemerintahan desa
Blimbingsari. Tugas dari Pemerintahan Dinas adalah mengatur masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
kependudukan seperti pembuatan KTP dan hal-hal yang bersifat
kewarganegaraan.
2. Desa Adat Kristen Blimbingsari
Sejak tahun 2010 Blimbingsari mencoba mengupayakan desa ini menjadi
desa adat atau di Bali dikenal sebagai desa pakraman. Pada awalnya ide ini
ditentang karena syarat dari pembentukan desa pekraman Bali adalah adanya
Kayangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura Pasek dan Pura Dalam. Pura Desa
adalah Pura yang digunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewa dalam
wilayah tersebut. Pura Pasek adalah Pura yang digunakan sebagai pusat wilayah
untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini yang berkaitan dengan
permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan Pura Dalam adalah tempat
pemujaan untuk orang-orang meninggal.
Pertentangan pembentukan desa adat Blimbingsari juga ditentang keras
oleh beberapa pendahulu, hal tersebut karena pada umumnya adat Bali selalu
diidentikkan dengan Hindu. Sementara Kristen mempunyai adat sendiri yang
secara keyakinan bertentangan dengan Hindu. Pola masyarakat di Bali senantiasa
terkait dengan Hindu, bukan hanya masalah fisik yang terlihat, namun juga
masalah rohani. Namun dalam perkembanganya beberapa tokoh masyarakat
sepakat untuk membentuk desa adat.
Rencana untuk membuat sebuah desa pekraman dimulai dengan adanya
pertemuan warga desa untuk mencapai kesepakatan. Warga dikumpulkan di
gereja untuk bermusyawarah tentang hal tersebut. Setidaknya terdapat tiga kali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
sosialisasi tentang rencana pembentukan desa pekraman tersebut. Langkah
berikutnya adalah pembentukan tim yang khusus untuk membentuk awig-awig
desa pekraman. Tim formatur tersebut terdiri dari 9 orang yang dipilih yaitu: Pdt. I
Ketut Suyaga Ayub, I Made John Ronny, 2 Klian Banjar, Ketua BPD (Yohanes
Oka Mona), dan beberapa tokoh seperti Suparno, I Nyoman Muspo, I Ketut
Sukarya. Terdapat sedikit perdebatan dalam pembuatan awig-awig desa adat
Kristen Bali, sehingga menyebabkan anggota tim yang keluar dari presidium.
B.2. Enjungan
Sistem kemasyarakatan di Dusun Blimbingsari terdiri dari 6 enjungan
yang berada di bawah kepengurusan Kelian Dinas.
Enjungan adalah sistem pengelompokan untuk
memudahkan koordinasi di masyarakat. Enam
enjungan tersebut yaitu, enjungan kangin (timur),
enjungan tengah, enjungan kelod (utara), enjungan kaja (barat), enjungan kauh
(selatan), dan enjungan kelod kauh. Mereka mempunyai bale enjungan yang
digunakan sebagai tempat masyarakat berkumpul dan melakukan koordinasi.
Masing-masing enjungan memiliki kepengurusan yang berbeda, termasuk
pembedaan kepengurusan kelompok bapak-bapak
dan ibu-ibu. Mereka mempunyai aturan yang
disepakati bersama yang disebut awig-awig
enjungan. Aturan tersebut digunakan untuk
mengatur sistem kekerabatan yang ada di masing-masing wilayah. Kegiatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
dilakukan dalam enjungan terdiri atas dua macam kegiatan yaitu kegiatan rutin
dan tidak rutin. Kegiatan rutin adalah urusan simpan pinjam yang telah ditentukan
waktunya setiap bulan. Sementara kegiatan non rutin dilakukan jika ada beberapa
kegiatan berkaitan dengan himbauan dari pemerintah dinas atau gereja.
Contohnya kegiatan kerja bakti, atau ada anggota masyarakat yang meninggal
atau mempunyai hajatan perkawinan.
B.3. Suka Duka
Suka duka adalah sistem kekerabatan yang diterapkan oleh masyarakat
Blimbingsari. Mereka meyakini bahwa sebagai anggota masyarakat mereka harus
terlibat suka dan duka atas apa yang terjadi dengan anggota yang lain. Sistem
kekerabatan suka duka berkaitan dengan kerja adat dan pembagian enjungan.
Hasil kesepakatan bersama sejak nenek moyang Blimbingsari mereka bagi sistem
suka duka dengan berpasang-pasangan. Enjungan kauh berpasangan dengan
enjungan kaja, Enjungan Kangin berpasangan dengan enjungan tengah, sementara
enjungan kelod berpasangan dengan kelod kauh. Namun karena sempat terjadi
perselisihan antara enjungan kelod dan enjungan kelod kauh, kini mereka berjalan
sendiri sendiri. (Hasil wawancara dengan I Wayan Majus (Penatua), 17 Agustus
2011, Pk. 09.36 WITA)
B.4. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Berdasarkan data kependudukan Desa Blimbingsari tahun 2010, mata
pencaharian yang terbanyak penduduk adalah Petani, dengan jumlah 60 orang.
Dan yang lain mempunyai pekerjaan sebagai pegawai swasta 57 orang, PNS 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
orang, Wiraswasta 28 orang, dan Buruh 36 orang. Jumlah KK Miskin atau Gakin
tercatat hanya 1 KK dari 200 KK yang masuk dalam daftar keluarga miskin.
Berikut ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat Blimbingsari.
Pada permulaan perpindahan warga menuju dusun Blimbingsari, sesuai
dengan pembagian jatah, setiap warga mendapat 2hektar tanah dan 20 are untuk
rumah. Lahan itulah yang menyebabkan hampir seluruh warga desa, walaupun
mempunyai pekerjaan yang lain tetap juga mempunyai lahan untuk bertani.
Hasil pertanian yang pernah
dihasilkan oleh wargapun
beragam. Pada mulanya warga
berupaya bersawah dengan
menanam padi. Namun
kurangnya air maka banyak
warga yang beralih mengolah
tanah dengan berkebun. Berkebun dipilih warga karena tanah tidak terlalu banyak
membutuhkan air, dan tidak harus setiap hari untuk mengurus tanah. Hasil kebun
pun berubah-ubah sesuai tren yang ada. Warga pernah mencoba beberapa kali
jenis tanaman, seperti vanili, coklat, dan macam-macam. Namun hasil kebun yang
hingga kini masih bertahan dan mampu menjadi penghasilan bagi masyarakat
adalah kelapa.
Kelapa merupakan jenis tanaman yang paling banyak diminati warga.
Beberapa warga mempunyai usaha untuk mengirim kelapa yang telah dikupas ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Jawa, biasanya Jawa Timur. Selain itu, usaha kelapa juga member peluang bagi
warga yang lain yang tidak mempunyai kebun (biasanya warga pendatang atau
anak-anak dari generasi pertama).
Jenis pekerjaan yang pertama adalah panjat pohon
untuk memanen kelapa yang sudah masak. Untuk
memanen kelapa dibutuhkan sekelompok orang
yang memanjat. Satu pohon kelapa biasa dihargai
Rp. 1200,00. Sekali memanjat pohon dan memanen
kelapa hanya dibutuhkan tidak lebih dari 10 menit.
Jenis pekerjaan yang
kedua adalah mengusung kelapa dari tempat dia jatuh
dibawa menuju tempat pengepul. Biasanya dilakukan
ibu-ibu. Sekali angkat di atas kepala mereka biasanya
mampu mampu mengusung 20 kelapa.
Pekerjaan lain yang dilakukan warga
berkenaan dengan kelapa adalah
menyumbat. Menyumbat adalah pekerjaan
mengupas kelapa, memisahkan kelapa dari
kulitnya sehingga terlihat batoknya. Jenis
pekerjaan ini dilakukan pria dan wanita. Satu kelapa dihargai Rp. 60,00. Biasanya
dalam 1 hari penyumbat menghasilkan 1000 kelapa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Warga yang memilih usaha kelapa merasa bahwa berbisnis kelapa
menguntungkan karena hampir semua bagiannya dapat diolah. Selain buah kelapa
itu sendiri, sabut kelapa dapat dijual
sebagai bahan bakar pembuatan
bata. Kelapa yang rusak pada waktu
disumbat atau mempunyai kualitas
yang tidak baik dapat diolah
menjadi kopra.
Selain bertani, beberapa warga bermata
pencaharian ternak. Hewan yang paling
banyak diternak adalah babi. Di Bali, babi
merupakan daging yang banyak
dikonsumi, dapat diamati hampir sebagian
warung makan Bali menjual olahan daging babi sebagai menunya. Pada upacara
adat, baik Hindu ataupun Kristen, babi adalah bagian dari menu yang hampir
selalu tersedia.
B.5. Sistem Komunikasi Masyarakat Blimbingsari
Kentongan atau Kulkul
Di kalangan umat Hindu Bali pada umumnya,
kentongan tidaklah begitu asing, karena setiap organisasi
kemasyarakatan yang bersifat sosial memiliki kentongan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
atau di Bali dikenal dengan kulkul, baik itu kentongan besar maupun kecil. (H.
ahmad Yunus, dkk, 1994:24). Pada masyarakat Blimbingsari, komunikasi antar
enjungan atau kelompok-kelompok di desa juga menggunakan kulkul. Setiap
enjungan pada dasarnya memiliki kentongan untuk memanggil warga atau
mengingatkan mereka mengikuti kegiatan yang telah disepakati bersama. Sesuai
kesepakatan bersama kentongan akan berbunyi satu jam sebelum kegiatan
dimulai.
Dalam ajaran agama Hindu dalam proses pembuatan kentongan dari mencari
bahan sampai proses pembuatan kentongan dari mencari bahan sampai proses
pembuatannya selalu mencari hari baik (dewasa) yang baik dengan tujuan agar
masyarakat pendukungnya betul-betul dapat menjaga keunikan fungsi kentongan
itu, sebagaimana yang dapat dilihat bersama bahwa setiap banjar/enjungan dan
organisasi yang lain di Bali memiliki kentongan. (H. Ahmad Yunus, dkk,
1994:24). Namun tidak demikian dengan warga Blimbingsari, mereka hanya
menganggap kulkul sebagai alat komunikasi biasa sehingga tidak terkait dengan
kepercayaan mereka.
Pada dasarnya suara kentongan adalah sangat
menentukan gerak dan langkah bagi masyarakat
pendukungnya. Karena kentongan merupakan alat
komunikasi tradisional antara sesame masyarakat
terutama umat Hidup di Bali dalam keadaan aman
dan lebih-lebih lagi dalam menghadapi bahaya.
(H. Ahmad Yunus, dkk, 1994: 31). Demikian pula dalam masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Blimbingsari. Bunyi 3 kali secara lambat maka menandakan ada warga yang
meninggal. Jika bunyi 3 kali dan diikuti pukulan secara cepat maka dapat
diartikan sebagai peringatan bahwa satu jam lagi warga wajib berkumpul di
enjungan.
Selain kulkul, alat komunikasi masyarakat Blimbingsari adalah juru arah. Juru
arah adalah orang yang ditunjuk untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Biasanya juru arah akan memberitakan informasi-informasi yang mendadak,
bukan informasi yang rutin. Mereka akan datang ke setiap rumah warga dan
memberitakan suatu informasi.
B.6. Adat Istiadat Blimbingsari
B.6.1. Prosesi perkawinan di Blimbingsari
Prosesi perkawinan masyarakat Blimbingsari secara adat sealur dengan
perkawinan orang Bali pada umumnya. Ada beberapa prosesi dari perkenalan,
peminangan, hingga perkawinan yang dijalankan. Berikut ini ritual yang biasa
dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya.
a. Perkenalan
Masyarakat Bali yang sudah serius berpacaran dan akan melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan, diawali dengan perkenalan
antar keluarga. Biasanya pihak laki-laki akan datang ke rumah pihak
perempuan untuk memperkenalkan diri dan mengenal keluarga
perempuan. Dalam acara perkenalan tersebut biasanya membicarakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
kapan akan dilakukan peminangan. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga
besar dari pihak laki-laki.
b. Peminangan
Peminangan biasanya dilakukan 3 bulan sebelum perkawinan dilakukan.
Dalam peminangan terdapat beberapa sarana yang wajib dibawa oleh
pihak laki-laki dan diserahkan pihak perempuan. Sarana itu disebut
“sesajen”. Sesajen berisi beberapa perlengkapan sebagai berikut:
Makanan.
Makanan terdiri dari nasi, Ikan sate lilit (biasanya terbuat dari babi),
jumlahnya biasanya menyesuaikan dengan
jumlah keluarga perempuan.
1. Jajan yang terdiri dari: (a) Satu
mangkok putih dan satu mangkok
merah. Kedua jajan ini terbuat ketan.
Namun perbedaannya, jajan yang
mangkok merah diberi gula merah.
Arti dari dua makanan tersebut adalah lengket menjadi satu. (2) Batu
bedildau. Batu bedildau terbuat dari ketan dimana di dalamnya diberi
gula merah dan berbentuk bulat. Makanan ini bermakna bahwa pihak
laki-laki bermaksud meminang seorang perawan.
2. Tipat Bantal
Tipat bantal kalau di Jawa dikenal dengan nama ketupat. Jumlah yang
dibawa biasanya 36 biji. Hitungan tersebut diambil dari 3 kelan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
dimana 1 kelan berisi 12 biji ketupat. Makanan ini digunakan sebagai
penanda bahwa pihak laki-laki mengenal keluarga perempuan.
3. Runtutan. Isi dari runtutan adalah tebu dan dua kelapa.
Tebu mempunyai makna manis. Diharapkan dalam perkawinan
mereka akan hidup bahagia. Tebu juga merupakan tanaman yang
terus bertunas, maka artinya pasangan tersebut akan mempunyai
keturunan/dapat beranak. Selain tebu, dua kelapa dimaksudkan bahwa
kelapa adalah tanaman jangka panjang. Simbol ini menandakan
pasangan akan dapat menjamin kehidupan dalam jangka panjang.
Sesajen Pakaian sebagai Hantaran
Selain makanan, sesajen yang dibawa ke rumah perempuan dalam
peminangan adalah pakaian. Pakaian tersebut adalah pakaian lengkap.
Dari pakaian atas yang sudah jadi, kamben, sabuk, stagen, hingga alat-
alat make up yang diperlukan perempuan. Pakaian lengkap tersebut
disebut “besaluk”. Besaluk adalah pakaian “pebegat” atau pakaian
pemutus. Pakaian ini merupakan tanda bahwa anak perempuan keluarga
tersebut akan diambil oleh keluarga anak laki-laki. Maka dalam adat Bali,
jika dalam tempo dekat ada yang cerai, besaluk biasanya diminta
kembali.
Runtutan kegiatan.
Dalam meminang, hal yang dikerjakan adalah pembicaraan bahwa pihak laki-laki
akan meminang perempuan. Bahasa yang digunakan selama prosesi berlangsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
adalah bahasa Bali alus. Pakaian yang dikenakan juga pakaian adat Bali. Biasanya
pihak laki-laki akan duduk berhadap-hadapan dengan pihak perempuan. Proses
pembicaraan dipimpin oleh seseorang (biasanya wakil keluarga laki-laki)
berhadapan dengan seseorang wakil keluarga perempuan. Upacara peminangan
diikuti segenap keluarga, klian adat/bendesa adat, klian dinas dan juga saksi
(masing-masing 1 orang). Apabila diterima dan sepakat maka keluarga akan
memutuskan mengadakan perkawinan.
Selama menunggu sampai hari H perkawinan, kedua mempelai dilarang
untuk bertemu. Apabila ada hal-hal yang terpaksa harus menuntut mereka
bertemu, masing-masing mempelai harus meminta izin kepada saksi.
Dalam proses peminangan tersebut enjungan
yang warganya mempunyai hajatan dan
enjungan rekanan ikut membantu untuk
mengurus upacara yang ada.
Perkawinan adat Bali berbeda dengan perkawinan di Jawa. Sistem patrilineal
mereka membuat aturan bahwa yang mempunyai kerja dalam perkawinan adalah
pihak laki-laki. Di Jawa pihak perempuan yang punya kerja. Persiapan upacara
perkawinan biasanya dilakukan satu minggu sebelum hari H. Dalam pertemuan
tersebut biasanya ditentukan tingkatan upacara yang akan dijalankan. Di Bali pada
umumnya upacara perkawinan dibagi dalam 3 tingkatan, nista, madya, dan utama.
Hal yang mencolok dari 3 pernikahan adalah jumlah sate yang diberikan kepada
masyarakat, apabila nista 3 tusuk sate, madya 5 tusuk sate, dan utama 11 tusuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
sate. Dalam rapat tersebut biasanya di data berapa jumlah warga enjungan yang
dimana mempelai berada dan jumlah warga enjungan rekanan mereka. Jumlah
keluarga, dan juga jumlah tamu undangan yang diperkirakan hadir. Jumlah
tersebut akan menentukan berapa banyak nasi dan sate yang akan dibuat.
Menanak nasi biasanya dibuat oleh beberapa ibu-ibu enjungan yang ditunjuk.
Penyembelihan babi biasanya dilakukan satu hari sebelum hari H. Setelah
disembelih, ibu-ibu dari enjungan akan bergotong-royong untuk membuat sate.
Setelah matang mereka pulang. Pada jam yang ditentukan ibu-ibu yang bertugas
menanak nasi biasanya akan menyetorkan nasi yang sudah matang. Dan setelah
menyerahkan mereka akan dibalas dengan sejumlah upah berupa sate.
Warga yang sudah pulang kemudian akan datang kembali sambil
membawa nasi satu bakul. Nasi tersebut kemudian diserahkan kepada warga
enjungan yang bertugas, separuh diambil dan separuh dibawa pulang lagi dengan
diberi tambahan sate. Jumlah pemberian sesuai dengan tingkatan dan juga jumlah
nasi yang diberikan. Selain itu, di Blimbingsari, majelis gereja juga mendapat sate
lengkap, khusus dikirimkan ke masing-masing rumah mereka. Pemberian
hantaran tersebut disebut “jotan”.
B.6.2. Prosesi Kematian di Blimbingsari
Pada saat tinggal di Blimbingsari, peneliti mendapati salah satu warga
Blimbingsari (Hozia) yang meninggal dunia. Hari duka tersebut jatuh pada Rabu,
17 Agustus 2011. Rumah keluarga yang berduka terletak di wilayah Kauh (barat),
maka sesuai dengan kesepakatan desa, enjungan yang menjadi partner adalah
enjungan kaja (utara). Kesepakatan Banjar Blimbingsari wilayah kaja berpartner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
dalam suka duka dengan wilayah kauh. Kangin dengan Tengah. Sementara kelod
dan kelod kauh masing-masing. Berdasarkan cerita dari penduduk setempat kelod
dan kelod kauh berjalan sendiri-sendiri dalam suka duka karena pada zaman dulu
jika dalam pembuatan lubang kubur biasanya salah satu dari mereka membuat
terlalu kecil sehingga itu menjadi masalah pada waktu pemakaman.
Prosesi pada Upacara Kematian
Pada waktu ada berita meninggal yang dilakukan pertama adalah warga akan
melapor pada klian dinas. Klian dinas kemudian memukul kukul di Niti Graha
sebanyak 3 kali sebagai tanda bahwa ada warga yang meninggal. Kemudian juru
arah enjungan kauh memukul kentongan mereka sebanyak tiga kali sebagai tanda
bahwa yang meninggal berasal dari enjungan kauh. Warga dari desa kaja dan kauh
langsung menuju rumah duka untuk membantu mempersiapkan prosesi kematian.
1. Ibadah/Kebaktian Penghiburan
Kebaktian dimulai pukul 19.00 ini dihadiri oleh semua warga banjar
Blimbingsari. Warga yang datang biasanya akan membawa beras, gula, dan
sekarang ditambah mie atau makanan lainnya untuk dibawa dan diserahkan
kepada keluarga. Untuk mengikuti kebaktian penghiburan, warga
menggunakan baju adat terutama keluarga yang berduka.
Persiapan dan gotong rotong dilakukan oleh warga enjungan kaja dan kauh.
Untuk ibu-ibu sibuk untuk memasak hidangan kebaktian penghiburan.
Sementara bapak-bapak membuat peti dan mempersiapkan untuk upacara
pemakaman. Pada malam hari bapak-bapak dari enjungan setempat akan
melakukan magebagan atau tidak tidur hingga pagi, biasanya sampai pukul
05.00. Ibu-ibu selain memasa untuk kebaktian penghiburan juga menyediakan
untuk hidangan bagi yang magebagan.
2. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 2011, pukul 06.00 kukul berbunyai
menandakan persiapan satu jam kedepan akan ada gotong royong membuat
lubang kubur. Bapak-bapak dari enjungan partner (kaja) pukul 07.00
berkumpul di tempat pemakaman dan mulai membuat lubang. Sementara itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
ibu-ibu kembali berkumpul dari pukul 09.00 untuk mempersiapkan makanan
dan segala sesuai yang dibutuhkan seperti bunga, dan lain-lain.
Pukul 16.00 semua warga Blimbingsari datang untuk upacara pemakaman
atau dalam bahasa Bali disebut majengukan. Upacara tersebut berupa
kebaktian yang dipimpin pendeta. Kebaktian diadakan di rumah keluarga duka
kurang lebih satu jam. Pada waktu menghadiri upacara ini warga Blimbingsari
menggunakan baju adat dengan warna putih. Warna ini disepakati warga
sebagai penanda bahwa kematian itu bukan sesuatu yang mengerikan namun
sebuah suka cita karena kembali kepada Tuhan.
Setelah kebaktian selesai diadakan maka warga bersama-sama berjalan ke
kuburan dipimpinoleh pendeta. Arak-arakan ini terdiri dari seseorang yang
membawa kayu salib, pengusungan peti jenazah dan juga anak-anak yang
membawa rangkaian bunga yang diberikan.
3. Ketika sampai di kuburan maka jenazah akan dikuburkan di makam yang telah
digali dan dilanjutkan dengan kebaktian penutup.
4. Pada malam harinya sekitar pukul 19.00 diadakan kebaktian ucapan syukur
yang dihadiri oleh beberapa warga Blimbingsari. Dan dilanjutkan dengan
magebagan sampai pukul 24.00.
C. Sosial Kemasyarakatan Penduduk Pulau Bali
Bali menerapkan pembagian struktur masyarakat yang bersifat otonom dalam desa
pekraman. Desa pekraman dapat diartikan sebagai desa adat Hindu. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Bendesa Adat Ekasari, 26 Aguatus 2011, pk. 09.13
WITA, Hirarki struktur desa pekraman di Bali sebagai berikut:
PHDI (Tingkat Pusat)
Majelis Agung (Tingkat Propinsi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Desa Pekraman dipimpin oleh seorang Bendesa Adat. Sementara gabungan dari
bendesa adat dari Majelis Alit sampai PHDI akan mengurus permasalahan-
permasalahan adat dari tingkat kecamatan hingga pusat.
Panduan dalam menjalankan sistem tersebut adalah aturan atau awig-awig
desa pekraman. Dalam pelaksanaannya PHDI mempunyai awig-awig yang dapat
digunakan sebagai landasan dalam membuat awig-awig desa pekraman. Atau
dapat dikatakan bahwa ada beberapa aturan umum yang dilaksanakan oleh desa
pekraman di seluruh Bali, namun hak otonom diberikan kepada desa pekraman
untuk membuat awig-awig di masing-masing wilayah mereka.
Ekasari adalah sebuah desa pekraman di timur Blimbingsari yang
mempunyai penduduk dengan keyakinan yang beragam, yaitu Hindu, Kristen, dan
Islam. Bendesa adat Ekasari secara pribadi setuju dengan adanya otonomi
tersebut, karena masyarakat lebih tahu kondisi atau kebutuhan masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
desa. Namun di sisi lain, diakui bahwa sistem otonomi itu rawan dengan konflik.
Hal itu terjadi karena adanya perbedaan pandangan dan perbedaan aturan di
masing-masing wilayah.
Syarat sebuah desa dapat disebut sebagai desa pekraman apabila dia
mempunyai Kahyangan Tiga dan jumlah warga minimal 500KK. Kayangan Tiga
terdiri dari Pura Desa, Pura Pasek dan Pura Dalam. Pura Desa adalah Pura yang
digunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewa dalam wilayah tersebut. Pura
Pasek adalah Pura yang digunakan sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan
sosial. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah
tersebut. Dan Pura Dalam adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal.
Syarat utama untuk membangun desa pekraman adalah keharusan 3 item tersebut.
I Wayan Winara mengungkapkan, “Desa pekraman sangat identik dengan
agama Hindu. Hal tersebut karena segala permasalahan yang diurus oleh desa adat
senantiasa berkaitan dengan Hindu. Terlebih lagi, untuk menjadi desa pekraman
harus mempunyai Kahyangan Tiga.”
“Di Bali terdapat wacana bahwa apabila seseorang yang tidak masuk
sebagai anggota desa pekramana maka dia dianggap hanya menumpang saja.
Awig-awig desa Ekasari mengatur jika dalam 1x24 jam ada warga dari luar yang
berada di desa pekraman dia wajib melapor, dan jika lebih dari 1 tahun maka dia
harus memenuhi kewajiban dia khususnya dalam hal urunan sebagai warga desa
pekraman Ekasari.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Dalam aktivitasnya desa pekraman dipimpin oleh seorang bendesa adat dengan
struktur organisasi sebagai berikut:
Bendesa adat adalah pemimpin dalam desa pekraman. Bendesa adat
mempunyai masa kerja 5 tahun setiap periodenya dan disahkan oleh Majelis
Madya dengan memberikan patro pengeling-eling atau Surat keputusan (SK).
Pemerintah Bali pun memberikan sarana transportasi, nafkah dan operasional bagi
Bendesa Adat yang telah disahkan.
Dalam desa pekraman posisi Bendesa Adat sejajar dengan Perbekel,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam desa pekraman terdapat dua struktur
organisasi yang mengatur interaksi sosial dalam masyarakat. Dua organisasi
tersebut mempunyai peranan yang berbeda, Perbekel bertanggung jawab atas
permasalahan pemerintahan seperti kependudukan, administrasi kepemerintahan,
KTP, dll. Sementara Bendesa Adat bertanggung jawab terhadap permasalahan
Bendesa Adat
Sekretaris
Bendahara
Sonteng Pemangku Klian Adat Klian
Palemahan Pawongan Prahyangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
yang terkait dengan seni, budaya dan agama. Seni adalah segala sesuatu
menyangkut kreatifitas baik bersifat keagamaan atau bukan keagamaan. Contoh,
dalam prosesi Dewayadna maka terdapat beberapa tarian yang bersifat sakral dan
wajib ditarikan oleh karma Bali. Di Bali antar wilayah mempunyai seni yang
berbeda. Budaya dan agama adalah tuntunan kebiasaan masyarakat. Bendesa adat
juga melayani upacara dan upakara Hindu di desa pekraman.
Dalam menjalankan peranannya Bendesa adat dibantu oleh sekretaris,
bendahara, dan membawahi seksi-seksi seperti Prahyangan, Pawongan, dan
Palemahan. Prahyangan adalah bagian yang mengatur tempat suci, dalam hal ini
adalah Pura. Setiap Pura akan dipimpin oleh Pemangku Pura. Pemangku akan
membimbing permasalahan yang berhubungan dengan Tuhan atau diistilahkan
dengan Dewayadna.
Sementara dalam urusan-urusan agama yang terkait dengan hubungan
dengan manusia yang lain atau disebut “manusayadna” akan dibawahi oleh
“sonteng”. Upacara yang termasuk “manusayadna” adalah upacara “masangi”
yaitu upacara potong gigi yang biasanya dilaksanakan pada waktu pernikahan.
Upacara potong gigi adalah upacara wajib bagi umat Hindu yang bermakna
penghapusan “sadirpu”atau sifat keangkaramurkaan. Selain “masangi” upacara
yang lain adalah upacara “nyamutin”, yaitu upacara yang dilakukan pada anak
yang berumur 3 bulan, upacara ini bertujuan supaya kelak anak yang dilahirkan
dapat menjadi anak yang berguna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Perkawinan dalam desa pekraman masuk dalam masalah dewayadna dan
manusayadna. Dimulai dengan darmasuaka atau peminangan, kegiatan ini
diwujudkan dengan kedatangan pihak keluarga laki-laki untuk melamar ke
keluarga perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan minta pelepasan kepada
Dewa. Hal tersebut berkaitan dengan sanggah keluarga. Perempuan yang dipinang
akan mengikuti sanggah keluarga laki-laki, sehingga dia harus mepamit kepada
Dewa yang ada di Pura keluarga. Dalam konteks manusayadna, pamitan
dilaksanakan karena berarti perempuan akan pindah dari pelemahan keluarganya
menuju ke pelemahan keluarga laki-laki. Peranan sonteng dalam upacara ini
sebagai triupasaksi atau sebagai saksi perkawinan. Bendesa adat dalam upacara
juga bertindak sebagai saksi. Setelah adat dijalankan maka akan diadakan upacara
keagamaan yang disebut dengan natap pabio kawenan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Selain menangani manusayadna, Sonteng juga menangani masalah
Pitrayadna. Pitryadna adalah masalah-masalah yang terkait dengan orang
meninggal. Upacara yang biasa dilakukan adalah upacara Pangabenan dan
Panyekahan. Upacara Pangabenan diartikan sebagai upacara kembalinya manusia
ke asal mereka. Dan Upacara Panyekahan adalah upacara ketika atman menjadi
dewa. Dari pangabenan menuju ke
upacara panyekahan dapat berselang,
diseseuaikan dengan kemampuan.
Contohnya seperti pada upacara yang
dilakukan di desa Ekasari ini. Gambar ini
menunjukkan persiapan upacara panyekahan yang telah disepakati warganya
diadakan setiap 5 tahun sekali, Mereka yang ingin
melakukan upacara panyekehan akan dijadikan
satu grup dan akan diadakan secara bersama. Lama
upacara pada waktu peneliti melakukan
pengamatan adalah 38 hari sampai pada selesainya.
Prosesi yang dijalankan meliputi: (1) pencaruan, yaitu mengatur sesajen
untuk meminta restu kepada Tuhan atas upacara yang akan dilakukan, (2)
Pamenakan leluhur, adalah penjemputan leluhur dari laut untuk dibuat upacara,
(3) Penempatan leluhur adalah upacara kedatangan
leluhur yang dibawa dari laut, dan (4) Panyekahan
adalah upacara terakhir menuju ke Dewayadna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Seksi berikutnya dalam struktur desa adat adalah Pawongan, pawongan
bertugas untuk mengatur permasalahan kegiatan sosial masyarakat. Dan
Palemahan berfungsi untuk mengatur tata widang atau tata ruang di desa
pekraman
D. Korpus
Korpus adalah sebutan bagi data yang diperoleh melalui penelitian dalam
kajian ini. Dalam linguistik, korpus ialah himpunan data-data mentah yang bakal
digunakan untuk kajian. Contohnya adalah seperti himpunan manuskrip dan teks
bertulis yang lain. (http://ms.wikipedia.org/wiki/Korpus, 12 Maret 2012).
Menurut Prof. Andrik Purwasito kata “korpus” dipergunakan untuk menandai
data primer dengan data sekunder. Korpus adalah data utama yang digunakan
sebagai sumber analisis. Selanjutnya akan dilakukan korpusisasi atau pendataan.
Tujuan korpusisasi adalah memudahkan usaha analisa yang dilakukan terhadap
korpus itu sendiri.
Korpusisasi dalam penelitian dilakukan dengan menyajikan beberapa data
yang telah penulis bagi dalam beberapa kategori yaitu arsitektur gereja, prosesi
gereja, adat istiadat yang terdiri dari perkawinan dan kematian, pakaian, dan
sistem kesenian. Berikut pemaparan dari korpus tersebut:
Korpus 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Deskripsi:
Lanscape bangunan gedung gereja yang menyerupai bangunan bangunan Pura
umat Hindu. Namun dapat diamati bahwa di tengah gedung gereja tersebut
tampak tanda salib yang diletakkan sebagai pucuk tertinggi.
Korpus 2.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Gereja Pniel dibagi ke dalam 2 bagian. Bagian pertama adalah pelataran dan
bagian kedua adalah tempat beribadah. Apabila masuk gereja maka selayaknya
arsitektur Bali akan terlihat candi bentar. Candi bentar pada gereja Pniel adalah
ciptaan arsitektur yang dikombinasikan antara budaya Bali dan Kekristenan.
Korpus 3.
Deskripsi:
Pekarangan pertama ketika masuk gereja melalui candi gelung terdapat pintu
penghalang yang selalu ada dalam arsitektur Bali. Maka untuk masuk ke
pekarangan, jemaat harus mengarah melalui sisi kanan atau sisi kiri.
Korpus 4.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Pada tengah pintu penghalang terdapat tulisan “Kami membangun dan
mempersembahkan gedung gereja ini, sebagai jawaban atas berkat dan anugerah
Tuhan demi kemuliaan namaNya.” Gedung gereja ini diresmikan pada 11
November 1981 oleh Gubernur Bali yang menjabat pada waktu itu, Prof. Dr. Ida
Bagus Mantra.
Korpus 5
Deskripsi:
Sisi kiri pintu masuk tersebut terdapat gambar yang menceritakan tentang
perjumpaan Tuhan dengan nabi Musa, Pniel, yang kemudian digunakan warga
Blimbingsari sebagai nama gereja.
Korpus 6.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Deskripsi:
Di sisi kanan pintu terdapat ukiran yang menggambarkan tentang Kanaan, sebuah
daerah yang dalam cerita di perjanjian lama merupakan daerah yang dituju bangsa
Israel keluar dari perbudakan Mesir. Kanaan merupakan gambaran daerah yang
penuh kemakmuran, penuh dengan susu dan madu, dan makanan yang melimpah.
Korpus 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Deskripsi:
Ukiran tersebut terdapat pada sisi kiri dinding luar pelataran pertama yang
bercerita tentang asal penduduk pertama Blimbingsari dari Buleleng, Plambingan,
dan Abianbase yang berjalan menuju ke Alas Angker.
Korpus 8.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang perjumpaan Allah dengan nabi Musa di gunung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Korpus 9.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang penindasan bangsa Mesir terhadap bangsa Israel.
Cerita tersebut menggambarkan kekejaman pemerintahan Raja Firaun.
Korpus 10.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Meriam adik Musa yang sedang menemui Putri
Raja Firaun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Korpus 11.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Daniel yang mampu mengalahkan singa untuk
menguji keimanan yang dia miliki. Sebuah cerita yang diambil dari kitab Daniel.
Korpus 12.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang perkelahian Yakub dengan Tuhan di atas gunung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Korpus 13.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Musa yang menulis Hukum Taurat di atas dua
loh batu.
Korpus 14.
Deskripsi:
Pelataran pertama juga memuat dua bale, yaitu Bale Bengong dan Bale Kulkul.
Bale Bengong dapat digunakan bagi siapa saja yang ingin menemui tamu atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
sekadar bercakap-cakap. Sementara bale kulkul adalah tempat bagi koster
(penjaga gereja) untuk memukul kentongan sebagai pertanda bagi warga
Blimbingsari untuk bersiap-siap mengikuti acara gereja. Biasanya dipukul satu
jam sebelum kebaktian atau acara yang diadakan di gereja dimulai.
Korpus 15.
Deskripsi:
Selain dua bangunan tersebut, pada pelataran pertama juga terdapat bangunan
menyerupai kayu yang terpotong. Benda itu menggambarkan besarnya kayu
ketika generasi pertama mencoba untuk menerobos Alas Angker.
Korpus 16.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Deskripsi:
Pada potongan salah satu kayu tersebut ada sebuah simbol cukup menarik yaitu
cap tangan warga yang merupakan generasi pertama yang ikut menerabas hutan,
yaitu I Made Rentan. Sampai pada penelitian ini dilakukan, peneliti masih
bertemu secara langsung dengan beliau. Di atas cap tangan terdapat kalimat yang
menunjukkan bahwa Blimbingsari adalah tanah perjanjian dari Tuhan.
Korpus 17.
Deskripsi:
Masuk pelataran kedua ditandai dengan pintu yang berarsitektur Bali. Bangunan
tersebut berundak, terbuat dari batu bata yang tersusun rapi, menyerupai Pura.
Warna merah dan ukiran emas yang menghiasi pintu identik pula dengan
asesoris-asesoris bangunan Bali. Namun perbedaan cukup mencolok pada ujung
atas pintu tersebut terpasang Salib besar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Korpus 18.
Deskripsi:
Pada pintu masuk tempat ibadah terdapat ukiran salib dan dua merpati. Salib pada
masyarakat beragama Kristen pada umumnya tegak lurus. Namun dapat diamati
bahwa semua salib yang ada di GKPB berbentuk salib bengkok. Bagi warga
Kristen Bali, mereka memahami cross/salib bukan dari kayu dimana Tuhan Yesus
disalib, namun gambaran dari tubuh Yesus ketika disalib, sehingga mereka
menyebutnya sebagai dancing cross. Sementara merpati melambangkan Roh
Kudus yang datang menghampiri jemaat Pniel. Di bawah sabib dan Merpati
terdapat tulisan PNIEL, nama gereja jemaat Blimbingsari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Korpus 19.
Deskripsi:
Terdapat dua pintu besar yang diukir menggunakan warna emas. Pada pintu yang
kiri terdapat ukiran yang bercerita tentang sejarah bangsa Israel keluar dari tanah
perbudakan Mesir menuju ke tanah perjanjian yaitu Kanaan. Dan di bagian sisi
kanan pintu yang kiri terdapat ukiran tentang perjalanan Blimbingsari yang
merasa seperti bangsa Israel, mereka keluar dari perbudakan menuju tanah
perjanjian yaitu Blimbingsari. Mereka meyakini apa yang terjadi tersebut berkat
dari Tuhan melalui kematian Tuhan Yesus d kayu salib. Hal tersebut tampak dari
gambaran Tuhan Yesus disalib.
Sementara pintu sebelah kanan memuat ukiran burung Merpati dan salib GKPB.
Mereka beranggapan bahwa Roh Kudus yang digambarkan melalui merpati
senantiasa akan melindungi jemaat Kristen dan pekabaran Injil di Bali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Pada pelataran kedua terdapat ruangan tempat ibadah, namun bangunan ini
berbeda dengan gedung-gedung gereja pada umumnya. Gedung gereja Pniel
dibuat terbuka tanpa dinding.
Korpus 20.
Deskripsi:
Gedung Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Jemaat Pniel Blimbingsari
memahami bahwa Tuhan menghendaki umat memuliakanNya bersama segenap
alam ciptaanNya. Oleh karena itu, gedung gereja dibuat terbuka sehingga sinar
dan panas matahari, suara angin, gemercik air, hembusan angin sepoi-sepoi,
kicauan burung, indahnya bunga-bunga, suara gong yang gemerincing, dan pujian
umat merupakan pujian kepada Sang Pencipta oleh segenap ciptaanNya. Sinar
matahari yang menembus ke dalam gedung gereja, desiran angin, dan gemercik
air merupakan unsur yang sangat penting bagi kemuliaan nama Tuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Korpus 21.
Deskripsi:
Seperti halnya pelataran pertama, pelataran kedua juga dikelilingi oleh dinding
yang penuh dengan ukiran tentang cerita di Alkitab. Ukiran di atas bercerita
tentang Maria dan Yusuf yang sedang mencari tempat untuk bersalin.
Korpus 22.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang kelahiran Yesus di kandang domba. Tampak
gambar Maria dan Yusuf, orang majus, gembala dan malaikat yang bersuka.
Orang-orang majus yang datang untuk memberi persembahan mas, mur, dan
kemenyan bagi kelahiran bayi Yesus
Korpus 23.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Maria Magdalena yang membasuh kaki Yesus
sebagai bentuk penghormatannya.
Korpus 24.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang mukzizat yang dilakukan Tuhan Yesus, yaitu
membangkitkan orang mati, Lazarus.
Korpus 25.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridnya.
Korpus 26.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus berjalan di atas air. Tampak
gambar Petrus, muridnya, tidak mempercayai hal tersebut dan tenggelam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Korpus 27.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus yang sedang mengajar 5000 orang
di atas gunung. Dan member makan mereka dengan 5 roti dan 2 ikan.
Korpus 28.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang kenaikan Tuhan Yesus ke surge dan disaksikan
oleh murid-muridNya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Korpus 29
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang murid-murid Tuhan Yesus yang datang ke kubur
Yesus setelah kematianNya.
Korpus 30.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang mujizat Yesus mencelikkan orang buta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Korpus 31.
Deskripsi:
Ukiran tersebut menggambarkan cerita tentang Yohanes yang sedang membabtis
dengan air di sungai.
Korpus 32.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang perumpamaan domba yang hilang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Korpus 33.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Yohanes Pembabtis yang tengah membabtis
Tuhan Yesus di sungai Yordan menggunakan air.
Korpus 34.
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus yang tengah berdoa sebelum
disalib.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Korpus 35
Deskripsi:
Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus yang bercerita perumpamaan
tentang anak kecil. Tampak ketika sedang mengajar, Dia memangku anak kecil.
Korpus 36.
Deskripsi:
Dalam pelataran kedua selain dinding yang berukir cerita-cerita dalam Alkitab
juga terdapat beberapa simbol-simbol lain. Simbol dibawah terdapat pada dinding
bagian atas pintu masuk. Gambar pertama sebelah kiri adalah gambar mahkota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
yang berarti Kerajaan Allah. Sementara ukiran yang kedua berbentuk Merpati
yang merupakan simbol Roh Kudus.
Korpus 37.
Deskripsi:
Ukiran serupa mahkota yang berada di dalam ruangan tempat ibadah juga berarti
simbol Kerajaan Allah. Ukiran tersebut terdapat di Altar. Di atas altar terdapat
simbol mahkota (crown) yang bertuliskan Yunani, Alfa dan Omega yang berarti
Kerajaan Allah tidah berubah, dulu sekarang sampai selamanya. Kristus adalah
Sang Raja itu, yang diperoleh Yesus melalui salib (di bawah mahkota).
Korpus 38.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Deskripsi:
Pada Altar juga terdapat meja Altar. Meja ini dihiasi sedemikian rupa sebagai
tempat Maha Kudus dalam Bait Allah yang patut disucikan dan dihias dengan
indah. Di altar diletakkan alat-alat Perjamuan Kudus dan korban persembahan.
Altar ini diapit dengan dua tedung (payung). Payung tersebut selalu berganti
warna setiap tahunnya.
Korpus 39.
Deskripsi:
Mimbar adalah tempat pemberitaan Kabar Balik yang berintikan tiga panggilan
gereja, yaitu: bersekutu (koinonia), pelayanan (diakonia), pemberitaan Injil
(marturia). Koinonia bagian depan mimbar bersimbol Alkitab terbuka, simbol
perempuan dan laki-laki, dan persatuan umat seluruh dunia. Diakonia
digambarkan dengan “jabatan tangan” sebagai tanda kasih kepada sesama.
Membangun kesejahteraan dilambangkan dengan padi dan kapas. Dan Marturia
digambarkan dengan pelita, terang dunia. Firman Tuhan harus diberitakan sampai
ke ujung dunia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Korpus 40.
Deskripsi:
Di dalam tempat ibadah juga terdapat tongkat yang diletakkan di dinding luar
gereja dekat altar. Tongkat tersebut diletakkan di atas kolam.
Korpus 41.
Deskripsi:
Pada waktu kebaktian, maka di bagian altar akan diberi tanaman-tanaman atau
bunga-bunga segar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Korpus 42.
Deskripsi:
Bentuk patung dengan gaya Bali dan diletakkan di setiap sudut bale kulkul.
Korpus 43.
Deskripsi:
Kayu yang dibentuk seperti salib dan diletakkan di setiap depan rumah warga,
terdapat warna merah di bagian bawah tanda cross tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Korpus 44.
Deskripsi:
Gong adalah seperangkat alat musik tradisional Bali yang biasanya digunakan
untuk mengiringi upacara-upacara adat. Foto diatas menggambarkan para pemain
gong pada saat ibadah kontekstual.
Korpus 45.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Deskripsi:
Jegog adalah alat musik khas Kabupaten Jembarana. Alat musik ini terbuat dari
bambu. Cara memainkan alat musik ini dengan cara dipukul. Biasanya permainan
jegog dilakukan untuk menyambut tamu.
Korpus 46.
Deskripsi:
Jegog biasanya dipadu padankan dengan tarian pergaulan. Seperti Tayub, tari
pergaulan biasanya mengajak tamu untuk menari dengan menyentuhkan kipas
mereka kepada tamu yang hadir. Gambar di atas adalah gambar salah satu tarian
pergaulan yang diiringi dengan jegog untuk menyambut tamu gereja yang datang
dari Jerman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Korpus 47.
Deskripsi:
Ibadah kontekstual diadakan pada minggu pertama setiap bulan. Ibadah ini
mempunyai prosesi sebagai berikut: dimulai dari konsistori, Pendeta dan Majelis
berjalan keluar. Ada lilin yang menyala sebuah pertanda kehadiran Allah di
tempat itu, selain itu ada juga payung yang menandakan kemuliaan yang
dihadirkan, dan ada juga Alkitab yang dimaknai sebagai Firman Tuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Korpus 48.
Deskripsi:
Selama proses jalannya Pendeta dan Majelis
menuju gereja maka tabuh gong berkumandang.
Korpus 49.
Deskripsi:
Pendeta akan menerima Alkitab dari Majelis dan berdoa bahwa kebaktian akan
dimulai. Tabuh masih dimainkan hingga pendeta sampai di mimbar. Dalam
prosesi ini, jemaat berdiri sebagai simbol kesiapan kehadiran Allah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Korpus 50.
Deskripsi:
Kebaktian dilakukan dengan menggunakan bahasa Bali, dan ditutup dengan
berkat. Pada akhir kebaktian, pendeta selaku imam berdoa menghadap altar dan
menyerahkan Alkibab sebagai pertanda bahwa pelayanan ibadah telah selesai dan
ke depan untuk memberi salam kepada jemaat.
Korpus 51.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Masyarakat Bali yang sudah serius berpacaran dan akan melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi yaitu pernikahan, diawali dengan perkenalan antar keluarga.
Biasanya pihak laki-laki akan dating ke rumah pihak perempuan untuk
memperkenalkan diri dan mengenal keluarga perempuan. Dalam acara perkenalan
tersebut biasanya membicarakan kapan akan dilakukan peminangan. Acara
tersebut dihadiri oleh keluarga besar dari pihak laki-laki.
Korpus 52.
Deskripsi:
Peminangan biasanya dilakukan 3 bulan sebelum perkawinan dilakukan. Dalam
peminangan terdapat beberapa sarana yang wajib dibawa oleh pihak laki-laki dan
diserahkan pihak perempuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Korpus 53.
Deskripsi:
Dalam peminangan terdapat beberapa “sesajen”. Sesajen berisi beberapa
perlengkapan sebagai berikut: (1) Makanan terdiri dari nasi, Ikan sate lilit
(biasanya terbuat dari babi), jumlahnya biasanya menyesuaikan dengan jumlah
keluarga perempuan. Jajan yang terdiri dari: Satu mangkok putih dan satu
mangkok merah. Kedua jajan ini terbuat ketan. (2) Batu bedildau. Batu bedildau
terbuat dari ketan dimana di dalamnya diberi gula merah dan berbentuk bulat. (3)
Tipat Bantal. Tipat bantal kalau di Jawa dikenal dengan nama ketupat. Jumlah
yang dibawa biasanya 36 biji. Hitungan tersebut diambil dari 3 kelan, dimana 1
kelan berisi 12 biji ketupat. Runtutan. Isi dari runtutan adalah tebu dan dua
kelapa.
Korpus 54.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Deskripsi:
Selain makanan, sesajen yang dibawa ke rumah perempuan dalam peminangan
adalah pakaian lengkap. Dari pakaian atas yang sudah jadi, kamben, sabuk,
stagen, hingga alat-alat make up yang diperlukan perempuan. Pakaian lengkap
tersebut disebut “besaluk”. Besaluk adalah pakaian “pebegat” atau pakaian
pemutus.
Korpus 55.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Dalam proses peminangan tersebut enjungan yang warganya mempunyai hajatan
dan enjungan rekanan ikut membantu untuk mengurus upacara yang ada.
Korpus 56.
Perkawinan adat Bali diadakan di rumah. Biasanya masyarakat mempunyai lahan
yang luas. Mereka menggunakan besaluk dan kamben dan didudukkan sebagai
mempelai.
Korpus 57.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Perkawinan adat Bali berbeda dengan perkawinan di Jawa. Sistem patrilineal
mereka membuat aturan bahwa yang mempunyai kerja dalam perkawinan adalah
pihak laki-laki. Di Jawa pihak perempuan yang punya kerja. Persiapan upacara
perkawinan biasanya dilakukan satu minggu sebelum hari H. Dalam pertemuan
tersebut biasanya ditentukan tingkatan upacara yang akan dijalankan. Di Bali pada
umumnya upacara perkawinan dibagi dalam 3 tingkatan, nista, madya, dan utama.
Hal yang mencolok dari 3 pernikahan adalah jumlah sate yang diberikan kepada
masyrakat, apabila nista 3 tusuk sate, madya 5 tusuk sate, dan utama 11 tusuk
sate. Dalam rapat tersebut biasanya di data berapa jumlah warga enjungan yang
dimana mempelai berada dan jumlah warga enjungan rekanan mereka. Jumlah
keluarga, dan juga jumlah tamu undangan yang diperkirakan hadir. Jumlah
tersebut akan menentukan berapa banyak nasi dan sate yang akan dibuat.
Korpus 58.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Berbeda dengan warga Hindu di Bali, di Blimbingsari perkawinan dilanjutkan
pemberkatan setelah upacara adat. Pemberkatan dilakukan di gereja. Biasanya
keesokan harinya. Dan juga akan diadakan resepsi setelahnya.
Korpus 59.
Deskripsi:
Ibadah/Kebaktian Penghiburan adalah ibadah yang dilakukan oleh warga yang
tengah meninggal. Kebaktian yang biasanya dimulai pukul 19.00 ini dihadiri oleh
semua warga banjar Blimbingsari untuk memberikan penghiburan kepada
keluarga yang meninggal.
Korpus 60.
Deskripsi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Warga yang datang biasanya akan membawa beras, gula, dan sekarang ditambah
mie atau makanan lainnya untuk dibawa dan diserahkan kepada keluarga. Untuk
mengikuti kebaktian penghiburan, warga menggunakan baju adat terutama
keluarga yang berduka.
Korpus 61.
Deskripsi:
Gambar prosesi Magebagan. Persiapan dan gotong rotong dilakukan oleh warga
enjungan rekanan. Pada waktu foto tersebut diambil yang meninggal adalah warga
desa kaja maka yang bertugas adalah enjungan kaja dan kauh. Untuk ibu-ibu sibuk
untuk memasak hidangan kebaktian penghiburan. Sementara bapak-bapak
membuat peti dan mempersiapkan untuk upacara pemakaman. Pada malam hari
bapak-bapak dari enjungan setempat akan melakukan magebagan atau tidak tidur
hingga pagi, biasanya sampai pukul 05.00. Ibu-ibu selain memasak untuk
kebaktian penghiburan juga menyediakan untuk hidangan bagi yang magebagan.
Korpus 62.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Deskripsi:
Gambar Bapak-bapak dari enjungan partner (kaja) pukul 07.00 berkumpul di
tempat pemakaman dan mulai membuat lubang.
Korpus 63.
Deskripsi:
Ibu-ibu berkumpul dari pukul 09.00 untuk mempersiapkan makanan dan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk prosesi pemakaman.
Korpus 64.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Deskripsi:
Upacara pemakaman atau dalam bahasa Bali disebut majengukan. Upacara
tersebut berupa kebaktian yang dipimpin pendeta. Kebaktian diadakan di rumah
keluarga duka kurang lebih satu jam. Pada waktu menghadiri upacara ini warga
Blimbingsari menggunakan baju adat dengan warna putih.
Korpus 65.
Deskripsi:
Setelah majengukan selesai diadakan maka warga bersama-sama berjalan ke
kuburan dipimpin oleh pendeta. Arak-arakan ini terdiri dari seseorang yang
membawa kayu salib, pengusungan peti jenazah dan juga anak-anak yang
membawa rangkaian bunga yang diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Korpus 66.
Deskripsi:
Ketika sampai di kuburan maka
jenazah akan dikuburkan di makam yang telah digali dan dilanjutkan dengan
kebaktian penutup.
Korpus 67
Korpus ini berisi tentang awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
BAB V
ANALISIS DATA
Pada bab ini penulis akan menganalisis data sebagai upaya untuk
menjawab permasalahan penelitian tentang bagaimana masyarakat Blimbingsari
yang berkeyakinan Kristen melakukan akulturasi dengan Hindu (Bali) agar
identitas budaya mereka itu tetap Bali sehingga eksistensi mereka tetap terjamin.
Analisis akan dilakukan terhadap data-data yang telah dibangun melalui korpus-
korpus pada bab sebelumnya.
Metode semiotika tidak hanya dipusatkan pada transmisi pesan tapi juga
pada penurunan dan pertukaran makna. Dalam kajian semiotik setiap tokoh
mempunyai cara masing-masing dalam menganalis data untuk menjawab
problematik penelitian. Saussure memperkenalkan konsep diadik dalam
menganalisis tanda, sementara Charles Sanders Pierce mengenal konsep triadik
atau trikotomi dalam memaknai tanda. Sedangkan Barthes mempunyai kekhasan
analisis melalui konsep mitologinya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
formula yang telah dipaparkan oleh Andrik Purwasito yang dikenal dengan 9
formula analisis yang kemudian disederhanakan menjadi 7 tahapan analisis.
Adapun 7 kaidah (formula) pengujian yang dimaksud adalah:
1. Partisipan komunikasi (Desa Blimbingsari)
2. Konteks komunikasi (motif komunikator)
3. Bentuk fisik non fisik tanda (konteks fisik dan sosial)
4. Fungsi tanda (struktur tanda dan tanda lain)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
5. Intertekstualitas tanda
6. Intersubyektifitas makna
7. Intelektualitas penafsir
Dalam penelitian ini, penulis telah memaparkan seluruh data dan korpus
(data primer) sebagai hasil observasi melalui metode etnografi komunikasi.
Penulis menyajikan paparan data berdasarkan wujud kebudayaan yang dinyatakan
oleh pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A.L. Kroeber
yaitu artifacts atau benda-benda fisik, sistem tingkah laku dan tindakan yang
berpola, sistem gagasan, dan sistem gagasan yang ideologis. (Koentjoroningrat,
2005: 75). Keempat wujud kebudayaan tersebut memuat unsur-unsur masyarakat
yang dipaparkan lebih lanjut oleh Koentjoroningrat. Adapun unsur-unsur itu
adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Roh dari
etnografi adalah menjawab permasalahan melalui keseluruhan aspek yang
membangun sebuah masyarakat.
A. Upaya Masyarakat Blimbingsari untuk Membangun Akulturasi Kristen
dengan Hindu (Bali).
Berdasarkan hasil pengamatan, penulis menemukan proses akulturasi antara
Hindu dan Kristen terjadi pada masyarakat Blimbingsari. Akulturasi tersebut
terlihat dari beberapa unsur budaya yaitu:
1. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari
2. Tata Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
3. Sistem sosial kemasyarakatan Blimbingsari
Berdasarkan kategori tersebut berikut ini analisis hasil akulturasi budaya pada
masyarakat Blimbingsari.
1. Akulturasi budaya Hindu dengan Kristen dalam Arsitektur Gereja Pniel
Blimbingsari.
1.1. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata arsitektur
(architecture), berarti seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata
yang membentuknya, yaitu Archi berarti kepala, dan techton berarti tukang,
maka architecture adalah karya kepala tukang. Sebenarnya pemahaman
tentang arsitektur tidak hanya sebatas bentuk bangunan atau karya seni saja.
Arsitektur dapat pula diartikan sebagai suatu pengungkapan hasrat ke dalam
suatu media yang mengandung keindahan. Bahkan arsitektur dapat dipandang
sebagai alat komunikasi. Ia tidak hanya berbicara mengenai obyek itu sendiri,
melainkan fungsi dan latar belakang serta berbagai hal lain yang berkaitan dengan
obyek tersebut.
Semiotik adalah salah satu pisau analisis yang dapat mengungkapkan hal
tersebut. Semiotics is not just a science of signs or sign systems, but it deals
with all cultural phenomena as a sign system, identifying culture as
communication, which expression - architecture - is a relevant object of
analysis. (Kristina Juodinytė-Kuznetsova. Architectural Space And Greimassian
Semiotics. Socialinių Mokslų Studijos. 2011: 1269-1280). Semiotik bukan
hanya ilmu tanda-tanda atau sistem-sistem tanda, tetapi juga menganggap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
semua fenomena budaya sebagai sistem tanda, mengidentifikasi budaya
sebagai komunikasi.
Dalam memahami arsitektur, A.J. Greimas mengembangkan greimassian
semiotics untuk menganalisanya. The semiotics of architecture, as developed by
the Paris School, sees an architectural work first of all as a single
autonomous object and is concerned with its specific manifestation. (Ibid).
Semiotik arsitektur, yang dikembangkan oleh Mazhab Paris, memandang
arsitektur sebagai obyek yang otonom dan dikonsentrasikan dengan
manifestasi atau perwujudan tertentu.
Memaknai karya arsitektur perlu memahami berbagai manifestasi yang
ikut membangunnya, sehingga ketika mengkaji ruang dalam arsitektur
pemahaman tidak hanya didasarkan pada apa yang tampak secara fisik, namun
juga semua rasa yang terdapat di dalamnya. The semiotics of architecture may
be conceived as semiotics of space or spatial semiotics. Space is regarded as
utterance (fr. ėnoncė), which is constructed and modified by a human subject,
that perceives the space not only visually, but also using all the senses. (Ibid).
(Semiotik arsitektur dapat dipahami sebagai semiotik ruang. Ruang dipandang
sebagai ungkapan, yang dikonstruksi dan dimodifikasi oleh seseorang tidak
hanya secara visual namun juga menggunakan semua rasa).
Sepakat dengan Kristina Juodinytė-Kuznetsova (2011), Rasmussen
(1964) dalam Experiencing Architecture mengemukakan bahwa arsitektur
bukan hanya yang dapat dilihat dan diraba saja, yang didengar dan dirasa pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
merupakan bagian dari arsitektur. Atau dapat dikatakan bahwa arsitektur
adalah sebuah perwujudan seni yang kompleks. Seni ini dibangun untuk
menumbuhkan rasa yang lebih mendalam sesuai dengan tujuan yang ingin
diwujudkan. Tujuan yang dimaksudkan disini tentu bertalian erat dengan
maksud dari pencipta arsitektur tersebut.
Pura dan gereja merupakan salah satu aplikasi dari karya arsitektur. Menurut
keyakinan umat Hindu Bali “Pura” atau “Kahyangan” mempunyai tujuan dan
fungsi sebagai tempat “Suci” untuk menghubungkan diri dengan para leluhur
atau kawitan atau para Dewa atau Bhatara-Bhatari atau dengan Sang Hyang
Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) serta prabhawanya (manifestasinya)
untuk memohon anugrahnya. Di samping itu juga ada Pura atau Kahyangan
merupakan monument peringatan dari leluhur atau kawitan atau para Dewa
atau Bhatara-Bhatari yang telah berjasa terhadap umat atau pretisantana
(keturunannya). (Soebandi, 2007: 64).
Betapa pentingnya arsitektur Pura atau tempat ibadah juga dipahami
serupa oleh umat Kristen. Arsitektur gereja tidak hanya merefleksikan cara
orang-orang Kristen beribadah namun arsitektur juga membentuk ibadah atau
bisa membentuknya secara salah. (Kristianto, 2002:77). Arsitektur
merefleksikan ibadah Kristen dengan memberikan kita ruang dan pernaungan
yang diperlukan oleh suatu komunitas untuk melaksanakan ibadahnya
bersama-sama. (ibid). Sehingga untuk membangun tempat ibadah tidak boleh
sembarangan. Semua arsitektur gereja yang baik adalah suatu kompromi
dalam memenuhi kebutuhan jemaat. Seluruh sejarah bangunan gereja adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
sejarah kompromi-kompromi antara pengaturan-pengaturan terbaik untuk
berbicara dalam nama Allah dan semua yang terbaik untuk penjamahan dalam
nama Allah. (White, 2005:80).
Blimbingsari terkenal sebagai desa Kristen. Kekristenan tersebut semakin
tampak dengan keberadaan sebuah gereja unik dengan arsitektur Bali bernama
Pniel. Kata “Pniel” berarti perjumpaan dengan Tuhan. Apabila dilihat sekilas
tidak tampak apabila bangunan tersebut adalah gereja, karena lebih tampak
sebagai pura. Dalam perkembangannya, gereja ini telah mengalami 3 kali
pemugaran.
1.2. Layout atau Tata Letak Gereja Pniel Blimbingsari
Greimassian memandang perlu untuk membaca arsitektur dari sosial
masyarakat dimana dia dibangun. Space is also socio-cultural phenomenon,
involving the theme of place. So architectural object is not just created with
the help of measurement, but it is a result of socio-cultural processes.
Consequently, people arrange their space reflecting differences in social and
cultural life. (Kristina Juodinytė-Kuznetsova. Architectural Space And
Greimassian Semiotics. Socialinių Mokslų Studijos. 2011: 1269-1280). (Ruang
adalah fenomena sosial budaya, termasuk di dalamnya tempat. Jadi obyek
arsitektur tidak hanya diciptakan dengan bantuan alat ukur, tapi dia dihasilkan
dari proses-proses sosial budaya. Konsekuensinya, manusia mengatur refleksi
ruang mereka berbeda-beda dalam kehidupan sosial dan budaya).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Tata letak arsitektur pura berpedoman pada letak Gunung Agung
tempat dimana matahari terbit. Candi atau bentuk arsitektur pura merupakan
simbol dari gunung karena orang Bali percaya roh dan kehidupan yang datang
atau mengalir dari gunung, sedangkan laut (kelod/lod) adalah kematian. Oleh
karena itu untuk membangun pura, maka keyakinan Hindu selalu
meletakkannya di arah utara.
Berseberangan dengan Hindu, tidak ada keyakinan umat Kristen untuk
membangun gereja berdasarkan arah mata angin. Kristen selalu memandang
bahwa semua lokasi dan penjuru mata angin tidak terkait dengan bangunan
gereja, sehingga jika diamati gereja tidak mempunyai pedoman harus
mengarah ke mana.
Berdasarkan letak Gereja Pniel dapat diamati bahwa bangunan tersebut
terletak di bagian kaja atau utara desa dan berada di daerah yang paling tinggi
di desa Blimbingsari. Hal tersebut senada dengan pemahaman masyarakat
Hindu ketika mereka membangun sebuah Pura. Oleh karena itu, walaupun
bangunan yang dibangun adalah gereja, namun masyarakat Blimbingsari
masih memperhitungkan pemahaman tentang letak gereja berdasarkan filosofi
Hindu. Realitas tersebut disepakati Pdt. Ayub melalui pendapatnya yang
mengungkapkan bahwa Gunung juga mempunyai posisi yang sangat penting
bagi umat Kristen dalam Alkitab: “Engkaulah Gunung Batuku…” dan banyak
cerita yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Tata ruang gereja di Indonesia pada umumnya tidak terbagi dalam
beberapa tingkatan. Tata letak gereja juga tidak terbagi dalam beberapa
susunan yang bermakna khusus. Berikut ini adalah contohnya.
Foto GKPI di Bandung
Sumber: http://www.kabargereja.tk/2012/04
Berbeda dengan gereja, pura Bali mempunyai aturan yang khas. Aturan ini
berupa struktur pura yang bertingkat-tingkat. Bertingkat dalam hal ini bukan
hanya berarti bertingkat dalam hal peletakan dan ketinggian namun juga
dalam hal simbolisasinya. Struktur
pura ini berupa pembagian wilayah
pura Bali ke dalam tiga tingkatan
utama. Tiga tingkatan utama ini
adalah Bencingah atau disebut
dengan Jaba, Jaba Tengah serta
Jeroan. (http://pusathotel.com/bagian-bagian-pura-bali_418.htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Akulturasi tampaknya diterapkan
oleh masyarakat Blimbingsari untuk
membangun tempat ibadah mereka.
Gereja Pniel dibagi ke dalam 3
tingkatan. Bagian luar gereja,
Bagian kedua adalah pelataran dan
bagian ketiga adalah tempat beribadah. Pelataran yang ketiga yang digunakan
untuk kebaktian memiliki letak yang lebih tinggi dibanding pelataran pertama
dan kedua. Dan dapat dikatakan bahwa tempat ini merupakan tempat utama
Gereja Pniel.
Bangunan Gereja Pniel mempunyai tata letak atau layout yang sejenis
dengan Pura di Bali. Secara umum, arsitektur pura Bali pasti memiliki area
Utama atau disebut Mandala. Mandala ini biasanya memiliki nilai magis,
suci, hening dan menjadi tempat sembahyang yang utama.
(http://pusathotel.com/arsitektur-pura-di-bali_415.htm).
Pembagian struktur Pura sangat berkaitan dengan simbolisasi kesucian.
Pada bagian Bencingah atau
yang kadang disebut dengan
istilah Jaba saja merupakan
bagian pura yang paling luar.
Bencingah merupakan tempat
penyelenggarakan berbagai
kegiatan kemasyarakatan yang merupakan pertemuan ataupun kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
lainnya. Bencingah juga menjadi tempat beramah-tamah dan berbatasan
langsung dengan jalan. Upacara Tabuh Rah yang diplesetkan menjadi Tajen
juga diselenggarakan di area ini sehingga Bencingah akan selalu ramai oleh
orang-orang dan juga pedagang. (Ibid).
Pada gereja Pniel, tidak ada becingan yang khusus untuk jemaat. Sebelum
pintu masuk gereja hanya berjarak beberapa meter langsung jalan. Jadi
pelataran besar sebenarnya hanya 2 bagian. Pelataran ke dua dan pelataran ke
tiga. Pada pura, bagian setelah Becingan disebut sebagai posisi Jaba Tengah
atau sama dengan pelataran kedua. Posisi Jaba Tengah lebih suci dari
Bencingah dan digunakan untuk peletakan gong atau gambelan, bale Kulkul,
wantilan, dapur serta beberapa buah pelinggih (pura persembahyangan).
Bale Bengong dan Bale Kulkul di Gereja Pniel. (Korpus 14).
Berbeda dengan Posisi Jaba Tengah di Pura, bale Kulkul dan gong tidak
diletakkan pada pelataran kedua gereja Pniel. Dua bangunan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
diletakkan pada pelataran ketiga. Di pelataran kedua hanya terdapat halaman
dan bale bengong.
Bangunan yang paling dalam dan suci pada pura disebut sebagai Jeroan.
Istilah Jeroan berasal dari kata Jero yang berarti rumah. Jeroan merupakan
bagian pura paling dalam dan paling suci. Semua pelinggih ada di bagian ini
dan Jeroan ini ditujukan khusus untuk bersembahyang. Ada beberapa bangunan
di Jeroan, diantaranya pura-pura, pelataran untuk peletakan sesajen, balai untuk
pemangku yang memimpin upacara serta tempat untuk peralatan sembahyang.
Beberapa pura mempunyai gedungan untuk peletakan gong ataupun gambelan
di bagian Jeroan seperti misalnya pura Ulun Danu Batur. (Ibid). Pada pelataran
ke tiga di gereja Pniel terdapat ruang khusus untuk bersembahyang yang
terbuka tanpa dinding. Selain ada juga bale seko gong dan Bale Kulkul serta
ruang konsisturi atau ruang majelis.
Ketiga struktur pura bali tersebut melambangkan Tri Loka, atau tiga
bagian dunia menurut filosofi Hindu. Bagian Bencingah melambangkan dunia
Bhur, yaitu dunia manusia. Dunia manusia merupakan dunia paling rendah,
tempat paling kotor karena disana manusia banyak berbuat dosa. Bagian kedua
atau Jaba Tengah melambangkan dunianya para leluhur atau Bvah serta tingkat
ketiga merupakan dunia dewa. (ibid). Pemahaman tingkat kesucian pada Pura
juga berbeda dengan Gereja. Di Gereja Pniel tidak ada pemahaman bahwa
pelataran ketiga lebih suci daripada pelataran kedua. Hal tersebut terbukti dari
peletakkan Bale bengong pada pelataran kedua. Fungsi dari Bale Bengong
adalah menerima tamu atau sekedar bercakap-cakap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
Pada setiap bangunan rumah ibadah selalu ada pintu masuk. Di gereja
pada umumnya, pintu masuk hanyalah gerbang biasa. Tidak ada penanda
khusus untuk menandai pintu masuk gedung gereja. Namun dalam rumah
ibadah Hindu atau pura, selalu ada pintu masuk yang berbentuk candi. Dalam
budaya Bali atau Hindu terdapat dua candi yang selalu ada yaitu candi bentar
dan candi kurung.
Candi merupakan bangunan yang telah dikenal di Indonesia (sebelum
masuknya pengaruh India) sejak tradisi Megalitikum berupa Punden Berundak.
Bentuk bangunan yang berpadu antara budaya India dan di nusantara dikenal
sebagai candi. Dan di Bali candi banyak ditemui di berbagai tempat.
Ketika masuk pura, kita akan menjumpai candi bentar dan candi gelung.
Umat yang akan masuk pura akan menjumpai candi bentar dan kemudian candi
kurung. Awalnya umat masuk candi bentar dengan tujuan agar saat masuk pura
harus dapat memisahkan pikiran negatif sebelum bersembahyang. Lalu umat
akan menjumpai candi kurung supaya mereka memfokuskan diri kepada Sang
pencipta. (http://pusathotel.com/arsitektur-pura-di-bali_415.htm).
Candi Bentar terdiri dari dua buah bangunan yang sama dan sebangun
mengapit di sebelah kiri dan kanan sehingga ditengahnya tampak seperti
sebuah celah layaknya pintu masuk. Bentuknya mirip seperti gapura. Bagian
bawahnya menyatu dalam bentuk tangga sedangkan bagian atasnya terpisah
sempurna. Banyak pura di Bali yang memiliki bentuk candi bentar ini. Bentuk
mirip gapura ini biasanya terletak di bagian luar pura untuk menyambut para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
umat yang akan masuk. Candi Bentar ini memang berfungsi untuk memisahkan
sisi dalam atau Madya dengan sisi luar atau Nista dari pura. Di balik
bentuknya, ada makna yang terkandung yakni melambangkan selalu adanya
dua hal yang berbeda atau berkebalikan di bumi ini. Ada hal yang baik dan
jahat, ada waktu siang dan malam dan sebagainya. (ibid). Berikut ini adalah
contoh candi bentar.
Foto Candi Bentar Pura Eka Wira Anantha
Sumber: http://www.flickr.com
Dalam korpus 3 tampak candi bentar sebagai pintu masuk untuk pelataran
pertama Gereja Pniel. Bagi
masyarakat Blimbingsari makna
dibuatnya candi bentar berbeda
dengan pemahaman umat Hindu.
Bangunan ini adalah bagian dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
arsitektur saja. Candi bentar pada gereja Pniel adalah ciptaan arsitektur yang
dikombinasikan antara budaya Bali dan Kristen. Candi bentar Gereja Pniel
mempunyai dua pintu masuk. Pembuatan gedung gereja dimaksudkan pula
untuk menghargai pendahulu yang membangun gereja berbentuk salib dengan
menara dua pintu masuk. Pintu masuk direnovasi dengan posisi yang sama
dengan aslinya sehingga ada kelanjutan sejarah.
Foto Candi Gelung Pura Eka Wira Anantha
Sumber: wiraanantha.blogspot.com
Bentuk arsitektur pura yang lainnya adalah seperti candi kurung. Jika
candi bentar di tengahnya adalah jalan atau tidak bertemu di antara dua
bangunan, candi kurung tidak seperti itu. Kedua bangunan di sisi kiri dan kanan
candi kurung saling bertemu membentuk seperti kerucut. Kerucut ini
melambangkan puncak gunung yang dipercaya sebagai tempat suci. Candi
kurung sering disebut Kori Agung, Kori berarti pintu dan Agung berarti utama.
Berbeda dengan candi bentar, candi kurung memisahkan antara halaman tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
pura dan halaman utama pura. Tiap pura umumnya memiliki dua bentuk candi
ini. (ibid).
Pada arsitektur gereja Pniel yang tampak pada
korpus 17, terlihat bahwa gereja ini memiliki candi
kurung untuk masuk pelataran kedua. Bangunan
tersebut berundak, terbuat dari batu bata yang
tersusun rapi, menyerupai Pura. Warna merah dan
ukiran emas yang menghiasi pintu identik pula
dengan asesoris-asesoris bangunan Bali. Jika umat
Hindu memahami bahwa kerucut sebagai tempat suci. Di atas candi kurung
pada gereja tersebut diberi salib.
Selain melambangkan salib Tuhan Yesus, bagi umat Kristen, salib juga
dipahami sebagai simbol Trinitas Allah. Apabila salib diletakkan di atas candi
kurung dalam gereja Pniel berarti dapat diartikan bahwa bangunan tersebut
adalah tempat yang kudus karena melambangkan tempat hadirnya Allah. Selain
salib besar pada bagian pintu juga terdapat ukiran salib, seperti yang tertera
pada korpus 18.
Simbol salib Gereja
Kristen Protestan di Bali
(GKPB) berbeda dengan salib
umat Kristen yang lain. Salib
pada masyarakat beragama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Kristen pada umumnya tegak lurus. Namun dapat diamati bahwa semua salib
yang ada di GKPB berbentuk salib bengkok. Bagi warga Kristen Bali, mereka
memahami cross/salib bukan dari kayu dimana Tuhan Yesus disalib, namun
gambaran dari tubuh Yesus ketika disalib, sehingga mereka menyebutnya
sebagai dancing cross.
Bukan hanya di gereja, di setiap pintu rumah warga Blimbingsari mereka
memasang dancing cross sebagai simbol kekristenan mereka. Selain bentuknya
yang lain dengan salib yang lain, khusus untuk Blimbingsari salib mereka
diberi tanda merah. (Korpus 43). Tanda merah berarti darah. Seperti cerita
dalam Alkitab Perjanjian Lama, “Dan darah itu menjadi tanda bagimu pada
rumah-rumah dimana kamu tinggal: Apabila Aku melihat darah itu, maka Aku
akan lewat daripada kamu. Jadi tidak akan ada tulah kemusnahan di tengah-
tengah kamu, apabila Aku menghukum tanah Mesir.” (White: 2005:320).
Masyarakat Blimbingsari menganalogikan diri mereka seperti bangsa
Israel yang keluar dari penjajahan Mesir. Ketika Tuhan hendak menghukum
orang Mesir, Tuhan melindungi Israel melalui tanda darah yang dioleskan di
pintu. Maka filosofi itulah yang dianut oleh masyarakat Blimbingsari.
Selain simbol salib, di gereja Pniel juga terdapat simbol-simbol agama
yang dipaparkan dalam beberapa relief, seperti dalam korpus 36 dan 37. Relief
mahkota berarti Kerajaan Allah. Relief crown atau mahkota tersebut
diletakkan pada pintu masuk ruang ibadah. Sehingga, warga yang masuk ke
tempat beribadah berarti masuk ke Kerajaan Allah. Sedangkan relief
berbentuk Merpati merupakan simbol Roh Kudus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
Relief serupa mahkota yang berada di dalam ruangan tempat ibadah juga
berarti simbol Kerajaan Allah. Ukiran tersebut terdapat di Altar. Di atas altar
terdapat simbol mahkota (crown) yang bertuliskan Yunani, Alfa dan Omega
yang berarti Kerajaan Allah tidah berubah, dulu sekarang sampai selamanya.
Kristus adalah Sang Raja itu, yang diperoleh Yesus melalui salib (di bawah
mahkota). Warna pada relief dalam korpus 36 dan 37 adalah kuning emas
dengan dasar merah. Warna tersebut mengadopsi warna pada ornamen-
ornamen Bali.
Berdasarkan makna arsitektur gereja Pniel Blimbingsari dapat ditangkap
bahwa gereja tersebut mempunyai kerangka besar layaknya sebuah Pura.
Dikatakan diatas bahwa penciptaan sebuah arsitektur bukan dengan tanpa
sadar, namun dengan kesadaran dan maksud tertentu. Pameo mengatakan,
“Architecture is silent language.” (http://archipeddy.com/ess/term_ars.html).
Arsitektur adalah bahasa yang tak terkatakan atau dipahami bahwa melalui
arsitektur orang yang menciptakannya ingin mengirimkan sebuah pesan atau
tanda untuk dapat dimengerti komunikan mereka.
Sependapat dengan Andrik Purwasito yang merujuk pada pendapat Mc
Luhan bahwa “medium is message”. Melalui arsitektur gereja Pniel
Blimbingsari, masyarakat Blimbingsari ingin mengkomunikasikan bahwa
mereka adalah orang Bali. Mereka menggunakan berbagai kaidah arsitektur
Bali untuk membangun tempat ibadah mereka. Walaupun tidak murni
layaknya membangun pura, namun secara fisik mereka ingin menyampaikan
ke-Bali-an mereka dengan bangunan fisik gereja. Beberapa kaidah yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
dijalankan biasanya berkaitan dengan keyakinan Kristen mereka. Oleh karena
itu ada berbagai bentuk fisik yang mereka wujudkan dengan memadukan
unsur (Hindu) Bali dengan Kristen, seperti peletakan cross ataupun beberapa
simbol gereja Kristen pada umumnya.
Selain sebagai upaya mengkomunikasikan ke-Bali-an warga Blimbingsari,
seperti diketahui bahwa tulang punggung perekonomian Bali adalah
pariwisata, budaya adalah obyek komoditas yang dijual di Bali dan arsitektur
merupakan bagiannya. Melalui arsitektur gereja yang berbentuk pura
tampaknya Blimbingsari juga menghendaki bangunan ini juga sebagai aset
daerah. Hal tersebut terbukti ketika peneliti tinggal di sana, begitu banyak
wisatawan asing yang berkunjung ke Blimbingsari hanya untuk menyaksikan
keunikan gereja yang berbentuk pura tersebut. Hasil wawancara peneliti
dengan wisatawan Belanda dan Jepang yang berkunjung di sana
mengungkapkan bahwa wisatawan tersebut berkunjung ke Blimbingsari
memang untuk melihat gereja berbentuk pura tersebut. Mereka mendapatkan
informasi tersebut melalui web tentang desa Blimbingsari.
1.3. Ukir-Ukiran Gereja Pniel sebagai Perwujudan Akulturasi Kristen
dengan Hindu (Bali).
Pulau Bali adalah suatu pulau dengan penduduk yang mayoritas beragama
Hindu. Pemujaan terhadap dewa yang dilakukan masyarakat Bali telah
dilakukan sejak ratusan tahun silam. Setiap pura yang dibangun memiliki
suatu ciri khas tersendiri, yang membuatnya nampak istimewa. Salah satu
bentuk ciri khas tersebut adalah ukirannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
(http://eksotikabaliutara.wordpress.com). Sementara di sisi lain, apabila kita
mengamati dinding gereja-gereja yang ada di Indonesia kita jarang menemui
ukir-ukiran untuk mempercantiknya. Simbol yang dipergunakan hanyalah
simbol-simbol kekristenan seperti salib, burung merpati, dan lain sebagainya.
Ukiran yang terdapat pada lingkungan pura dimana umat Hindu
mengadakan persembahyangan disebut karang patra. Kata patra sendiri
memiliki makna keadaan (desa, kala, patra), namun juga berarti sastra. Dan
yang dimaksud dengan patra disini adalah pahatan seni ukir Bali, yang
menyimpan makna mendalam tentang ajaran agama Hindu.
(http://vaprakeswara.wordpress.com). Dalam penyampaian ajarannya Hindu
sangat memperhatikan tiga aspek yaitu keseimbangan antara kebenaran
(satyam) yang memudahkan hidup, kesucian (Siwam) yang mengarahkan
hidup, dan keindahan (Sundaram) yang menghaluskan hidup. Ketiganya
merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, sehingga antara satu dengan yang
lainnya saling mendukung.
Gereja Pniel tampaknya juga sama dengan Pura-Pura yang ada di Bali
yang memberikan ukiran-ukiran pada setiap dindingnya. Ukiran pada Gereja
Pniel diukir oleh seorang seniman yang berasal dari Ubud. Ide untuk membuat
ukiran tersebut berasal dari Pendeta Ketut Suyaga Ayub. Dia memberikan
Alkitab kepada seniman tersebut untuk dipelajari, dan direalisasikan dalam
bentuk ukiran. Ukiran tersebut tampak menggunakan pendekatan Bali.
Sebagai contohnya, kita akan lihat salah satu ukiran pada korpus 22 berikut
ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
Korpus di atas bercerita tentang kelahiran Tuhan Yesus. Tampak Yusuf
dan Maria berada di kandang di Betlehem. Bagian atas seperti gambar Burung
Merpati terbang yang menjadi simbol Malaikat Tuhan yang bersuka cita.
Gembala di sebelah kiri hadir untuk ikut bersuka juga. Cerita tersebut diambil
dari latar belakang Betlehem yang berada di Israel. Namun dengan sentuhan
Bali, maka dapat kita lihat bahwa seorang Yusuf yang berkebangsaan Israel
menggunakan udeng atau ikat kepala pria Bali. Sementara Maria juga
berkebangsaan Israel juga menggunakan kamben atau pakaian adat perempuan
Bali. Selain itu, tampak juga digambarkan bahwa di sekitar kandang begitu
subur tumbuh-tumbuhan seperti pohon kelapa, yang banyak di Bilmbingsari.
Padahal pada cerita sebenarnya Betlehem hanyalah padang gurun dan
tumbuhan disekitarnya hanyalah hamparan rumput. Dan hal tersebut tampak
di seluruh ukiran di Gereja Pniel.
Ukiran atau ornamen Bali mempunyai terispirasi dari dari benda-benda
alam seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai agama dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
kepercayaan. Bentuk-bentuk tersebut biasanya mempunyai maksud dan
makna-makna tertentu. Adapun arti dan maksud dari ornamen flora adalah
sebagai hiasan keindahan dan simbol ritual. Penampilannya dalam hubungan
dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofis yang dijadikan
landasan jalan pikiran. Ornamen pada bangunan tradisional Bali selain flora,
fauna dan alam, ada juga agama dan kepercayaan. Agama dengan filosofis,
etika dan ritualnya masing-masing diterapkan sebagai materi, tata cara dan
upacara dalam perwujudan suatu ornamen. Falsafah bangunan atau nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran agama diungkapkan dalam bentuk-bentuk
perwujudan ornamen pada bangunan. Tata cara penempatan, fungsi atau
pemakaiannya dan bentuk-bentuk penampilannya memperhatikan ketentuan-
ketentuan etika yang berlaku. Selain fungsinya untuk hiasan, juga berfungsi
menyampaikan nilai-nilai ajaran keagamaan, bentuk-bentuk pepulasan yang
mengungkapkan cerita-cerita. Arti dan maksud ornamen agama dan
kepercayaan adalah menginformasikan ajaran agama secara ritual dan
menanamkan kepercayaan, di dalamnya terkandung pula arti magis, sakral,
dan angker sesuai dengan bentuk penampilannya. Masing-masing elemen
ragam hias mengandung arti filosofis dengan maksud-maksud pengarahan dan
penertiban atau pembentukan sikap hidup sesuai ajaran agama. (Dimensi
Interior, Vol. 6, No.2, Desember 2008:78)
Pada bangunan gereja Pniel, motif ukiran mengarah ke ornamen Bali,
namun perbedaan terletak pada pemaknaan segala ornamen tersebut. Bagi
masyarakat Blimbingsari, ornamen hanyalah suatu hiasan yang mempercantik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
dinding ataupun bangunan gereja. Beberapa makna yang dimunculkan melalui
setiap ukiran atau ornamen ditujukan untuk membangun suasana ibadah,
namun tidak bersifat magis atau mengandung unsure filosofis layaknya
keyakinan masyarakat Hindu pada umumnya.
Korpus 7 menggambarkan dinding depan gereja sebelah kiri terdapat
beberapa ukiran yang melambang nenek moyang Blimbingsari yang berasal
dari beberapa daerah. Nama daerah tersebut tertera dalam ukiran seperti,
Abianbase, Plambingan, dan Buleleng. Ukiran tersebut bercerita tentang
sejarah masyarakat Blimbingsari mula-mula yang berpindah Kristen dan
berjalan menuju ke Alas Angker.
Pada dinding gereja sebelah kanan terdapat ukiran yang bercerita sejarah
jemaat Kristen di Bali mula-mula. Terukir tulisan “peristiwa 1881” yang
berarti pada tahun tersebut terjadi peristiwa dibunuhnya Pendeta Jacob De
Froom di Singaraja oleh orang Bali bernama I Klana. Pada dinding kanan
depan gereja juga terdapat ukiran yang bercerita tentang prosesi babtisan
jemaat mula-mula Blimbingsari.
Selain ukiran di dalam, pada pelataran ke dua atau halaman gereja, setiap
dindingnya dikelilingi oleh ukiran yang bercerita. Hal tersebut tampak pada
korpus 8 sampai 13. Pada pelataran ke dua ini cerita yang diusung terambil
dari cerita-cerita Perjanjian Lama dalam Alkitab. Perjanjian Lama adalah kitab
yang menceritakan kisah-kisah sebelum Tuhan Yesus lahir. Berbeda dengan
pelataran kedua, dinding pada pelataran ke tiga dipenuhi dengan ukiran-ukiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
cerita Alkitab Perjanjian Baru (cerita yang dimulai dari kelahiran Tuhan
Yesus). Hal tersebut tampak melalui korpus 23 sampai 35.
Selain dinding, ukiran juga dibuat pada pintu candi, seperti tampak pada
korpus 19. Terdapat dua pintu besar yang diukir menggunakan warna emas.
Pada pintu yang kiri terdapat ukiran yang bercerita tentang sejarah bangsa
Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju ke tanah perjanjian yaitu
Kanaan. Dan di bagian sisi kanan pintu yang kiri terdapat ukiran tentang
perjalanan Blimbingsari yang merasa seperti bangsa Israel, mereka keluar dari
perbudakan menuju tanah perjanjian yaitu Blimbingsari. Mereka meyakini apa
yang terjadi tersebut berkat dari Tuhan melalui kematian Tuhan Yesus d kayu
salib. Hal tersebut tampak dari gambaran Tuhan Yesus disalib. Sementara
pintu sebelah kanan memuat ukiran burung Merpati dan salib GKPB. Mereka
beranggapan bahwa Roh Kudus yang digambarkan melalui merpati senantiasa
akan melindungi jemaat Kristen dan pekabaran Injil di Bali.
Bentuk ukiran-ukiran pada Gereja Pniel memang memuat unsur-unsur
Bali. Cara mengukir atau pendekatannya, namun secara makna, ukiran pada
Gereja Pniel berbeda dengan ukiran atau patra pada masyarakat Hindu. Ukiran
pada gereja hanyalah sebuah asesoris yang bercerita tentang sejarah
Blimbingsari dan cerita yang terambil dari Alkitab. Sehingga tidak ada unsur
sakral layaknya patra bagi umat Hindu.
Berdasarkan ukir-ukiran maupun arsitektur di atas dapat dipahami bahwa
pesan akan dipengaruhi motif dari partisipan komunikasi dalam hal ini adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Blimbingsari. Banyak sekali jenis ornamen atau ukir-ukiran. Hampir tiap
daerah mempunyai kekhasan sendiri. Hingga terkadang kita dapat menandai
ukir-ukiran sebagai identifikasi dari suatu kelompok atau masyarakat tertentu.
Seperti contoh berikut,
Ukir-ukiran tersebut adalah ukir-ukiran dari Jepara. Bahan dan
motif dapat ditandai dan menunjukkan dari mana karya seni tersebut
berasal. (sumber: Indonesian.furniture.com)
Selain sebagai penanda dari mana asal ukir-ukiran tersebut. Seni ini juga
mampu mengkomunikasikan identitas si komunikator. Sebagai contoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
kaligrafi di atas (sumber: kaligrafiislam.wordpress.com). Kaligrafi tersebut
apabila dipasang di rumah akan menjadi penanda bahwa orang tersebut
memeluk agama Islam. Kaligrafi tersebut tentu tidak asal pasang. Ada motif
yang dimaksudkan oleh si pemasang kaligrafi tersebut (komunikator) kepada
siapa saja yang bertamu ke rumahnya.
Pada ukir-ukiran gereja Pniel Blimbingsari, Pendeta I Ketut Suyaga Ayub
memilih seorang seniman Ubud Bali yang sangat lihai untuk mengukir
dinding gereja khas Bali. Dia memilih seniman tersebut untuk menciptakan
ukir-ukiran khas Bali sebagai pananda bahwa warga Blimbingsari adalah
orang Bali. Seni ukir-ukiran adalah pesan yang disampaikan. Makna dari seni
tersebut dimaksudkan untuk menandai ke-Bali-an mereka. Walaupun
pemahaman seni tersebut tidak seluruhnya sama dengan orang Hindu (Bali)
dan obyeknyapun dipadupadankan dengan kekristenan (cerita Alkitab) namun
secara fisik goresan tampilan yang diwujudkan adalah budaya (Hindu) Bali.
2. Tata Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari
2.1. Ritual atau Prosesi di Gereja Pniel Blimbingsari
Ritual terdiri atas tindakan simbolis yang mewakili arti religius. Menurut
Malefijt dalam Samovar (2010:130), “Peranan ritual bagi agama dan budaya
adalah mengingatkan masa lalu, memelihara dan menyampaikan dasar suatu
masyarakat. Peserta dalam ritual tersebut diidentikkan dengan masa lalu yang
suci, sehingga mengabadikan tradisi ketika mereka menetapkan kembali
prinsip dimana suatu kelompok hidup dan berperan.” Dengan terlibat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
ritual, setiap anggota tidak hanya mengingat dan menegaskan kepercayaan
penting; mereka juga terhubung secara spiritual dengan agama mereka,
mengembangkan rasa identitas dengan meningkatkan ikatan sosial dengan
siapa mereka berbagi pandangan dan kenyataan bahwa hidup mereka memiliki
arti dan struktur. (Samovar, 2010: 130). Oleh karena itu, ritual berkaitan erat
dengan budaya masyarakat. Ritual dibangun masyarakat melalui simbol-
simbol yang kemudian mampu menyimpan makna berdasarkan kesepakatan
bersama.
Keberadaan ritual sangat penting bagi peribadatan umat Hindu, sehingga
dapat dikatakan bahwa segala kegiatan keagamaan Hindu senantiasa
menggunakan ritual. Keyakinan dan kepercayaan umat Hindu kepada
Penciptanya diwujudkan dengan berbagai ritual yang dijalankan. Mathews
dalam Samovar (2010: 131) mengungkapkan, “Ajaran Hindu kaya akan kode
moral…Dalam kitab Weda, Rita merupakan dasar dari tatanan yang benar
dalam alam semesta; semua hal sesuai dengan kontrolnya. Bagi seorang
individu dasar dari tindakan benar adalah dharma. Dharma adalah kesatuan
Rita dalam kehidupan seseorang.”
Ritual agama Hindu sebagai pondasi dasar adalah persembahan yang suci
tulus ikhlas, yang membutuhkan kesetiaan, kejujuran dan kebenaran dalam
pelaksanaannya. (http://www.parisada.org). Contohnya Tapa. Tapa merupakan
disiplin religius dalam usaha menemukan hakekat din yang sejati, menyadari
din menuju kesadaran universal. Dalam pelaksanaan ritual agama Hindu
pengendalian din sangatlah perlu supaya kita merasa tulus ihklas tanpa beban,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
menyesuaikan dengan kemampuan tanpa adanya unsur paksaan.
(http://www.parisada.org).
Radhakrishnan, don Oxford terdahulu, dan presiden kedua India,
mengamati, “Ajaran Hindu lebih cocok sebagai budaya dibandingkan sebagai
agama.” Kepercayaan ini membentuk dasar sistem sosial dan mengatur pola
interaksi dalam masyarakat kontemporer. (Samovar, 2010:163). Ajaran Hindu
diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya melalui ritual, baik
hubungan mereka dengan Tuhan, alam dan sesama. Masyarakat sarat dengan
berbagai perilaku ritual untuk menunjukkan bakti mereka pada Sang Hyang
Widhi Wasa.
Ritual dalam Hindu mempunyai aturan yang jelas, termasuk cara
berpakaian umat yang sedang melakukannya. Pada masyarakat Hindu, ibadah
dalam bentuk apapun harus mengenakan baju adat, seperti contohnya upacara
pemberian sesaji seperti gambar berikut ini. Ketika ada upacara perempuan
akan menggunakan kamben dan kebaya, begitu pula para pria.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Foto Upacara Panyekahan di Desa Ekasari
Sumber: Dok. Pribadi
Dalam peribadatan Kristen, istilah ritual jarang atau bahkan tidak
digunakan untuk menandai sebuah prosesi. Umat Kristen biasa menyebut
urutan ibadah mereka dengan tata ibadah Kristen. Tata ibadah tersebut
berbeda-beda tergantung dari denominasi gereja masing-masing. Dalam
pelaksanaannya prosesi ibadah diatur menggunakan liturgi. Liturgi akan
memandu jemaat untuk mengikuti tata ibadah secara komunal. Misal,
mengatur kapan saatnya memuji, membaca Firman, memujikan pujian sambil
berdiri atau duduk, dan lain-lain.
Gereja Protestan di Indonesia banyak yang menjiplak Eropa.8 Hampir
sebagian besar menggunakan western culture. Berikut ini adalah gambar
warga gereja Kristen ketika beribadah. Dalam berbusana ketika beribadah,
pada umumnya wanita akan menggunakan baju resmi seperti rok dan atasan,
sementara pria menggunakan hem atau jas serta celana panjang.
8 Misionaris dalam pekabaran Injil mempunyai 2 tipe, terbuka atau tertutup dengan budaya setempat. Misionaris yang berpandangan tertutup akan meniadakan budaya setempat, sehingga biasanya orang yang menjadi pengikutnya akan mengikuti budaya para misionaris tersebut (Eropa).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
Foto ibadah jemaat GKJ Manahan
Sumber: Dok. GKJ Manahan
Di Blimbingsari kebaktian dilakukan seperti gereja Kristen pada
umumnya. Namun ada perbedaan tata ibadah yang dilakukan pada awal bulan.
Gereja Pniel membedakannya menjadi ibadah hari biasa dan ibadah khusus.
Setiap awal bulan atau minggu pertama gereja akan mengadakan ibadah
kontekstual (ibadah dengan konteks Bali).
Ibadah ini mempunyai prosesi sebagai berikut: dimulai dari konsistori,
Pendeta dan Majelis berjalan keluar. Seperti dalam korpus 47. Ada lilin yang
menyala sebuah pertanda kehadiran Allah di tempat itu, selain itu ada juga
payung yang menandakan kemuliaan yang dihadirkan, dan ada juga Alkitab
yang dimaknai sebagai Firman Tuhan. Selama proses jalannya Pendeta dan
Majelis menuju gereja maka tabuh gong berkumandang. (Korpus 48). Pendeta
akan menerima Alkitab dari Majelis dan berdoa bahwa kebaktian akan
dimulai. (Korpus 50). Tabuh masih dimainkan hingga pendeta sampai di
mimbar. Dalam prosesi ini, jemaat berdiri sebagai simbol kesiapan kehadiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Allah. Kemudian kebaktian dilakukan dengan menggunakan bahasa Bali, dan
ditutup dengan berkat. Pada akhir kebaktian, pendeta selaku imam berdoa
menghadap altar dan menyerahkan Alkitab sebagai pertanda bahwa pelayanan
ibadah telah selesai dan ke depan untuk memberi salam kepada jemaat.
Apabila dalam pelayanan ibadah tersebut ada sakramen babtis dan perjamuan
kudus maka selama proses tersebut akan diiringi dengan tabuh gambelan yang
lembut. Hal tersebut mempunyai makna keagungan kehadiran Allah. Dan
demikian pula terjadi apabila Babtisan.
Ibadah Kontekstual Hari Raya Khusus. Ibadah kontekstual tersebut terdiri
dari: Jumat Agung, Paskah, Pentakosta, Natal, dan Ulangtahun Gereja. Semua
prosesi pada hari raya khusus dimulai dari Niti Graha yang terletak di depan
gereja, berjalan hingga ke gereja. Perjalanan ini melambangkan perjalanan
dari dunia ke gunung Allah atau hadirat Allah. Selama perjalanan tabuh dan
kentongan dimainkan. Dalam Hindu kentongan dibunyikan bila para dewa
setelah dimandikan dari pantai akan melawat ke daerah yang dituju. Prosesi
itu disebut “melis”. Maka kentongan juga dipakai pada prosesi Kristen
sebagai tanda atau simbol menggugah ke hadirat Allah.
Pada perayaan Jumat Agung, prosesi kemudian adalah penyalaan lilin,
pemikulan salib yang dilakukan oleh wakil wilayah (6 orang) dan kain yang
panjangnya sekitar 5 meter dan dipegang oleh perwakilan dari wilayah juga.
Warna dominan dari kain dan prosesi ini adalah hitam. Warna itu diambil
karena Jumat Agung adalah hari kematian Tuhan Yesus, dan warna hitam
menyimbolkan kematian. Dalam budaya Hindu, mereka juga ada prosesi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
memegang kain yang panjang. Kain tersebut dipegang oleh keluarga. Makna
yang kemudian diambil dari prosesi agama Kristen yang disimbolkan oleh
perwakilan warga enjungan/wilayah adalah bahwa mereka adalah keluarga
Kristus dan mereka ikut serta mengambil bagian dari kesengsaraan Tuhan
Yesus. Jumlah orang yang mengikuti prosesi tersebut sekitar 35 orang.
Setelah sampai di gereja, salib kemudian dikalungi kain hitam tadi. Kain
tersebut akan menjadi lambah tubuh Kristus. Dan acara berikutnya adalah tari
malaikat. Tari ini bermakna panggilan untuk beribadah dengan Tuhan melalui
malaikat. Prosesi kemudian adalah persembahan. Selama proses pengumpulan
persembahan maka iring-iringan tabuh terus dimainkan. Tabuh gong
menyanyikan lagu yang jika diterjemahkan intinya adalah bahwa mereka
(warga Blimbingsari) dulu disengsarakan dan kini telah mendapatkan tanah
dan memberi berkat. Persembahan pribadi maju ke depan dan berjalan sangat
khidmat. Di akhir kebaktian akan ada berkat dan ditutup dengan penyerahan
Alkitab sebagai tanda selesainya kebaktian.
Pada perayaan Paskah, prosesi sama, jalan dari Niti Graha menuju ke
Gereja, hanya yang membedakan, dalam ibadah Paskah semua warna yang
dikenakan adalah Putih. Putih berarti kemenangan dan sukacita karena Tuhan
Yesus telah bangkit. Salib yang ada dalam prosesi pada Paskah berjumlah 6,
sejumlah dengan enjungan di banjar Blimbingsari.
Perbedaan dengan prosesi Jumat Agung, setelah selesai kebaktian di
gereja. Seluruh jemaat (sekitar 1000-1500 orang) bersama-sama berjalan 1,5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
km dari gereja menuju ke Giri Astana Raga (kuburan desa). Mereka
mengusung 6 salib dan kain putih sepanjang 50 meter. Membawa kain putih
berarti mereka ikut menyalib namun ikut dibangkitkan. Sampai di kuburan
mereka melakukan ziarah. Ziarah di sini diartikan untuk mengingat kembali
kebangkitan Kristus. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh murid-murid
Tuhan Yesus yang pada pagi-pagi benar datang ke kubur Yesus. Selain itu
ziarah juga berarti menengok keluarga yang telah meninggal dan memberi
kesadaran bahwa kini mereka telah menjadi bagian dari kerajaan Allah dan
kelak saatnya kita juga akan masuk ke Kerajaan Allah juga pada kedatangan
Kristus yang kedua. Pada waktu ziarah biasanya dilakukan “mengibung”
(tradisi Bali) adalah makan satu nampan secara bersama-sama dengan
menggunakan tangan. Atau terkadang membawa makanan masing-masing dan
mereka berbagi makanan bersama.
Pada Pentakosta. Prosesi hampir sejenis hanya perlengkapan yang mereka
gunakan berbeda. Ada tambahan burung merpati, Obor dan Api. Burung
Merpati melambangkan kehadiran Tuhan. Sementara Obor dan Api berarti
Roh Kudus. Demikian pada waktu Hari Natal, prosesi sama hanya
ditambahkan simbol-simbol seperti kandang (tempat kelahiran Tuhan Yesus),
dan pohon terang sebagai simbol terang.
Prosesi bagi umat Kristen sebenarnya bukan hal utama, karena pandangan
Kristen memuat pemikiran tentang konsep keimanan secara personal. Namun
di Blimbingsari yang hidup di Bali ritual merupakan salah satu bagian yang
tak terpisahkan di ibadah awal bulan. Ibadah kontekstual di Gereja Pniel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
adalah ibadah yang prosesinya didasarkan pada budaya Bali. Jemaat hadir
dengan berpakaian adat Bali, lagu-lagu diiringi tabuh gong yang diawali
dengan prosesi. Prosesi dalam masyarakat Hindu Bali memiliki posisi yang
sangat penting. Dalam budaya Bali tidak ada ibadah apabila tidak ada prosesi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub,
(penggagas ibadah kontekstual di Blimbingsari), Kamis 1 September 2011,
Pkl.11.10 WITA, diungkapkan bahwa sebenarnya ritual penting untuk
dijalankan. Dalam agama Hindu, prosesi selalu berupa ceremony dan tabuh.
Berikut hasil wawancaranya,
“Dalam Alkitabpun disebutkan bahwa ketika Daud9 membawa tabut perjanjian, dia juga menari dan menabuh genderang. Alkitab juga menyebutkan bagaimana prosesi itu dilakukan ketika sebuah acara dilangsungkan. Di Indonesia, gereja protestan cenderung meniadakan ritual karena menganggap aliran protestan tidak mengutamakan ceremonial. Hal tersebut berbeda dengan Katolik yang masih kental dengan ceremony. Padahal Injil harus tumbuh dengan budaya setempat, entah dengan cara asimilasi maupun akulturasi sehingga nilai-nilai religious cultural dapat dirasakan. Prosesi adalah langkah-langkah menuju ke hadirat Allah, menuju ke persekutuan dengan Allah. Sementara, kontekstualisasi adalah action dari umat yang memahami sungguh-sungguh.”
Percampuran antara pandangan keimanan dan ritual masyarakat dalam
teologi biasa disebut kontekstualisasi. Kontekstualisasi menurut Pendeta Fritz
Yohanes DP adalah menjadikan kekristenan sesuai dengan konteks dan
mewarnai konteks dimana kekristenan tersebut berkembang. “Konteks” disini
berkaitan dengan tempat, budaya, dan nilai. (Hasil wawancara dengan Pdt. Fritz
Yohanes DP, SSi. (Pendeta Jemaat GKJ Manahan), 12 Februari 2012. Pk. 11.00
9 Daud adalah seorang umat pilihan Tuhan yang diceritakan sebagai teladan dalam kitab Perjanjian Lama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
WIB). Upaya nilai-nilai kekristenan tersebut pada umumnya mempunyai
landasan sesuai dengan Alkitab dan tata gereja setempat. “Misal, di Gereja
Kristen menggunakan tari ronggeng, maka pada saat bagian buka kelambu
tentu saja tidak dapat dihadirkan karena tidak sesuai dengan kekristenan,”
tambah Pdt. Fritz.
Di beberapa gereja Kristen kini kontekstualisasi mulai dikembangkan lagi,
walaupun sangat jarang. Pdt. Fritz mengungkapkan bahwa GKJ Manahan
Surakarta pada beberapa peristiwa tertentu menggunakan konteks budaya
Jawa. Contoh ketika ada upacara kematian, maka ada biston (persekutuan)
penghiburan yang disesuaikan dengan penanggalan jawa, seperti nyewu
(seribu harian), ulang tahun gereja, dan lain-lain. Kontekstualisasi gereja
biasanya diadakan apabila gereja sedang mengalami peristiwa yang dirasa
perlu dirayakan, seperti foto berikut ini,
Foto Pentahbisan Pendeta GKJ Manahan Surakarta
Sumber: Dok. GKJ Manahan
Ritual bagi sebuah agama Ibadah pada gereja protestan umumnya tidak
mengenakan baju adat. Kristen merupakan agama barat, sehingga cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
berpakaian ketika ibadah juga mengenakan pakaian lazimnya orang barat ke
gereja. Mengenakan hem dan celana formal bagi pria dan baju atau bawahan
formal bagi perempuan.
Pada masyarakat Blimbingsari, ibadah tidak selalu mengenakan baju adat.
Hanya ketika pada waktu ibadah kontekstual mereka mengenakan baju adat.
Pendeta Ayub mengakui bahwa Prosesi akan bisa didapatkan feel-nya apabila
seluruh anggota merasakan dan membangunnya. Oleh karena itu dalam
prosesi di ibadah kontekstual di Blimbingsari semua jemaat diwajibkan untuk
menggunakan baju adat Bali.
2.2. Liturgi dan Alat Musik Pengiring Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari
Liturgi merupakan penuntun tata ibadah dalam kebaktian Kristen.
Pedoman tertulis ini mengarahkan jemaat bagaimana harus bersikap tatkala
ibadah dilaksanakan. Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia menggunakan
bahasa Indonesia dalam penerapannya. Namun untuk beberapa gereja di
bawah Persatuan Gereja Indonesia (PGI) menggunakan bahasa sesuai
daerahnya. Semisal, Gereja Kristen Jawa, maka dalam 4 kali kebaktian maka
terdapat 2 kali ibadah berbahasa Jawa.
Blimbingsari mempunyai liturgi khusus dalam ibadah kontekstual mereka.
Liturgi atau tata urutan dalam kebaktian kontekstual menggunakan bahasa
Bali. Dan menariknya dalam setiap prosesi yang tertulis akan diterjemahkan
dalam bahasa Inggris. Hal tersebut dipahami karena banyaknya wisatawan
asing yang datang ke Blimbingsari untuk mengikuti kebaktian. Semisal, pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
judul awal liturgi tertulis Tata Pangubakti Redite 4 September 2011, maka
dibawahnya akan tertulis Order Of Worship, September 4, 2011. Kemudian
apabila terdapat prosesi mekidung atau menaikkan pujian, maka di sebelah
kanan tulisan mekidung akan diberi terjemahan Hymn Of Respons. Demikian
pula ketika ada prosesi Pituduh Kauripan Anyar maka akan diberi terjemahan
God’s Commandment, dan hal tersebut berlaku pada semua prosesi ibadah
kontekstual.
Dalam liturgi gereja Kristen pada umumnya, untuk mengawali kebaktian,
jemaat akan melakukan prosesi yang pertama yaitu votum dan salam, namun
di gereja Pniel dalam liturginya, dituliskan untuk mengawali ibadah, maka
mereka akan melakukan votum dan Swastiastu. Swastiastu adalah salam yang
biasa diucapkan oleh orang-orang yang beragama Hindu. Sedangkan bagi
orang Kristen, salam yang digunakan biasanya adalah kata Syallom. Namun
pada kenyataannya, swastiastu adalah kata yang dipilih untuk digunakan
sebagai salah satu prosesi ketika hendak beribadah di gereja Pniel.
Ketika memuji Tuhan, lagu pujian yang dinaikkan oleh jemaat Kristen di
Indonesia biasanya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah
dimana gereja setempat berada. Semisal Gereja Kristen Jawa (GKJ), maka
dalam beberapa ibadah akan ada satu atau dua kali ibadah menggunakan
bahasa Jawa dengan pujian juga berbahasa Jawa. Hal ini pun dilakukan oleh
gereja Pniel yang tergabung dalam Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB).
Lagu pujian tersebut terambil dari Kidung Pujian yang biasanya terjemahan
dari pujian asli yang berbahasa Inggris. Sehingga dengan iringan piano atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
organ, pujian itu akan dilantunkan. Namun di Gereja Pniel, ada beberapa hal
yang perlu disesuaikan. Hal tersebut berkaitan dengan bahasa dan alat musik
yang digunakan. Walaupun juga mengambil dari Kidung Pujian berbahasa
Inggris yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Bali, namun nada juga
sedikit disesuaikan, karena iringan gong merupakan nada pentatonis,
sementara lagu asli menggunakan nada diatonis. Berikut ini adalah salah satu
contoh teks Mekidung (Hymn Of Affirmation): KP 70: 1
Titiang Ngriring Sang Hyang Yesus
Titiang ngiring Sang Hyang Yesus
Sane Ngrahayuang titiang
Manah Titiang klintang liang
Tan Ajrih ring gagoan
Ih jiwan tiang da ajrih
Percaya ja Ring Ida
Jiwan titiang satitu ja
Ring Ida Sang Hyang Yesus
Musik dapat menunjukkan dari mana asal budaya dan komunitas
seorang/sekelompok orang. (Liliweri, 2002: 126). Bali mempunyai alat musik
khas yang ditabuh pada upacara-upacara adat, keagamaan atau kegiatan
bermasyakatnya. Segala prosesi yang digelar dalam berbagai upacara agama
menggunakan gong kebyar dengan penabuh yang disebut seka gong. Hanya
berbeda dengan gamelan (alat musik) Jawa, jenis alunan musiknya lebih
rancak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
Dalam upacara adat Hindu, gong kebyar selalu mengiringi setiap
prosesinya. Setiap tabuhnya mempunyai arti dan berbeda antara satu prosesi
dengan prosesi yang lain. Sementara di Kristen, musik yang digunakan dalam
beribadah bukanlah musik tradisional atau musik khas dimana masyarakat
tersebut berasal. Umat Kristen selama beribadah biasanya menggunakan
organ atau piano, bahkan beberapa gereja ada yang menggunakan band untuk
mengiringi ibadah mereka.
Masyarakat Blimbingsari melakukan proses akulturasi terhadap alat musik
yang mereka gunakan untuk beribadah. Pada kebaktian kontekstual,
masyarakat Blimbingsari menggunakan gong kebyar sebagai pengiring
ibadah. (Korpus 44 dan 48). Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu
pujian Kristen yang diubah menjadi bahasa Bali. Sementara ibadah di luar
ibadah kontekstual akan menggunakan organ sebagai pengiringnya.
Peran music of temple begitu penting. Di Muslim punya sholawat, Hindu
punya lagu-lagu yang selalu diputar selama prosesi demikian pula di
Blimbingsari. Maka spiritual sense harus dibangun untuk mendapatkan
religious feeling yang kuat. Oleh karena itu dibuatlah faktor-faktor pendukung
seperti beauty. Semisal keindahan dan kenyamanan rumah ibadah. Sound of
harmony. Gereja Pniel terletak di jantung Blimbingsari, maka sering digiatkan
acara-acara gereja sehingga lantunan musik selalu terdengar. Termasuk hal-hal
seperti penyinaran atau spotlight di gereja. Itu akan membangun nuansa
anggun rumah ibadah yang dimiliki warga. (Hasil wawancara dengan Pdt. I
Ketut Suyaga Ayub, Kamis 1 September 2011, Pkl.11.10 WITA)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
Kontekstualisasi dalam ibadah gereja di Blimbingsasi sengaja
diciptakan untuk membangun feel anggota jemaat sesuai konteks dimana
hubungan manusia dan Tuhan dijalankan. Gereja Pniel sebelum Pendeta Ayub
masuk menjadi pendeta jemaat, tidak menggunakan kontekstualisasi. Mereka
beribadah seperti gereja-gereja yang lain di Indonesia. Pakaian menggunakan
hem, celana panjang atau rok, bahasa menggunakan bahasa Indonesia dan
musik menggunakan piano atau organ. Namun ketika Pendeta Ayub menjadi
pendeta jemaat, bahasa yang digunakan dalam kebaktian kontekstual adalah
bahasa Bali, liturgi (tata cara ibadah) berbahasa Bali, baju adat Bali, iringan
Bali, dll. Pendeta Ayub mengupayakan budaya Bali sebagai pendekatan dalam
penyampaian pesan. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa pesan perlu
dikemas seperti Andrik Purwasito mengungkapkan bahwa message is
packaging. Pesan itu dibangun sedemikian rupa untuk tujuan yang ingin di
raih. Pesan bersifat arbitrair-semena-mena si pembuat pesan. Ada motif
membangun suasana untuk meningkatkan kualitas beribadah, selain juga
upaya bahwa ke-Bali-an juga dimiliki oleh orang-orang Blimbingsari yang
dipahami bukan beragama Hindu. Dari penggambaran tersebut, orang
Blimbingsari seolah ingin mengkomunikasikan bahwa mereka adalah orang
Bali walaupun beragama Kristen, karena mereka pun memiliki feeling yang
sama dengan orang-orang Bali pada umumnya.
Pdt. Ayub (salah seorang penggagas kontekstualisasi ibadah di gereja
Blimbingsari) mengungkapkan, akulturasi yang terjadi dalam prosesi ibadah
Kristen di Bali tidak berarti bahwa, “Kita meng-import. Harus dipahami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
bahwa budaya Bali bukan hanya budaya Hindu. Dan diakui pula bahwa
Blimbingsari hidup di Bali yang soul-nya adalah Hindu karena memang
mayoritas Hindu.” Oleh karena itu budaya yang di pakai pun budaya Hindu.
Upaya untuk membangun kesan ke-Bali-an melalui ibadah gereja Pniel
Blimbingsari membenarkan salah satu formula Seven Basic Theory on
Messages Studies, Andrik Purwasito yang ke enam bahwa pesan itu
kontekstual. Selaras dengan hal tersebut Martin&Nakayama (1999: 99) juga
mengungkapkan bahwa context typically is created by the physical or social
aspects of the situation in which communication occurs. Konteks secara tipikal
diciptakan melalui aspek fisik atau sosial situasi dimana komunikasi terjadi.
Dijelaskan bahwa konteks adalah sesuatu yang diciptakan atau direkayasa.
Ada maksud yang dikehendaki dari si komunikator atas perilaku komunikasi
yang dilakukan.
Pemikiran yang kemudian tumbuh ketika berhadapan dengan realitas yang
terjadi dalam prosesi ibadah kontekstual di Bali adalah bahwa akulturasi yang
terjadi tampaknta sedikit bergeser ke arah sinkretisme. Sinkretisme menurut
Kamus Filsafat (Lorens, 1996:1012) diambil dari bahasa Inggris Syncretism
dan bahasa Yunani, synkrasis (campuran, paduan, gabungan, bersama,
kesatuan). Berdasarkan pengertian tersebut maka sinkretisme dapat diartikan
sebagai penyatuan atau upaya penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan
ke dalam suatu kesatuan pikiran dan/atau ke dalam suatu hubungan sosial
yang harmonis, kerjasama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
Menurut Concise Oxford Dictionary, sinkretisme adalah upaya untuk
menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan di antara
berbagai sekte atau aliran filsafat. Dalam antropologi dan teologi modern
istilah sinkretisme paling sering dipakai untuk menggambarkan upaya
memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam bermacam pembicaraan
sehubungan dengan keagamaan, tanpa memecahkan perbedaan dasar dari
prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. (Mulder, 1999:3). Dengan kata lain,
sinkretisme merujuk pada perpaduan atau kontak antar budaya yang saling
bertemu.
Jemaat mula-mula Blimbingsari merupakan warga Hindu yang berpindah
ke Kristen. Dulu tidak mau menggunakan segala sesuatu yang mengarah ke
Hindu, termasuk juga pakaian Bali seperti kamben bagi perempuan dan udeng
bagi pria ketika beribadah. Mereka berpakaian layaknya orang barat10,
menggunakan jeans dan hem serta tidak mau melakukan ritual Bali yang
identik dengan keyakinan Hindu. Namun dalam prosesi yang dibangun
Blimbingsari kini tampaknya tengah bergeser.
Penggunaan kata Swastiastu sebagai salam, dan penyebutan Sang Hyang
dalam liturgi ibadah kontekstual merujuk pada salam dan keyakinan Hindu
akan penciptanya. Landasan pencarian religious feeling dalam penggunaan
baju adat Bali dan musik Bali selaras dengan ritual Hindu pada umumnya.
Dan berbagai pemahaman filosofi yang kemudian diterapkan dalam
10 Orang barat di sini adalah CMA, kelompok misionaris asal Amerika. Mereka terkenal sangat ekstrim dalam mengajarkan agama Kristen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
pembangunan gereja di utara desa seturut dengan filosofi arah yang suci
menurut Hindu mengungkapkan bahwa ada perpaduan prinsip yang
melahirkan Kristen Bali yang utuh dan khas.
Kekristenan yang tumbuh di Blimbingsari Bali adalah kekristenan
yang memiliki pandangan tersendiri berkaitan dengan akar kehidupan sosial
masyarakatnya. Pandangan dunia suatu komunitas adalah …Pandangan dunia
mereka adalah gambaran mereka tentang alam, diri, masyarakat. Kepercayaan
dan ritus religious berhadapan dan saling meneguhkan satu sama lain. (Geertz,
1992: 51). Yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian simbol
sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. (Geertz,
1992: 53).
Blimbingsari merupakan pertemuan antara Kristen dan Hindu (Bali).
Perpaduan dua prinsip ini tanpa disadari ditumbuhkan penggagas ibadah
kontekstual di Bali membentuk sebuah tatanan baru yang khas, bukan hanya
akulturasi namun juga mengarah ke sinkretisme karena sedikit banyak filosofi
yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali bercampur di dalamnya.
Konsep sinkretisme mungkin dapat sejajar dengan konsep lokalisasi.
Mulder dalam bukunya yang berjudul Agama, Hidup Sehari-Hari dan
Perubahan Budaya dalam konteks Jawa, Muangthai dan Filipina. Ia
memaparkan konsep lokalisasi sebagai konsep yang menyoroti inisiatif dan
sumbangan masyarakat-masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggung
jawab atas hasil-hasil pertemuan budaya. Dengan kata lain, budaya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
menerima pengaruh dari luarlah yang menyerap dan menyatakan kembali
unsur-unsur asing, dengan cara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan
pandangan hidup. Mulder mengungkapkan praktek-praktek semacam itu juga
berkembang di beberapa wilayah. Orang Thai mencampurkan unsur
Budhaisme dengan Brahmanisme dan Animisme, orang Jawa mencampurkan
praktek-praktek keagamaan asli mereka dengan Hinduisme, Budhaisme dan
Islamisme, dan orang Filipina memadukan tradisi mereka dari zaman sebelum
penjajahan Spanyol dengan agama Katolik. (Mulder, 1999: 3). Lebih lagi dia
mengungkapkan dalam Mulder (1999: 9),
“Hal serupa yang terjadi pula di Jawa, Thailand dan Filipina. Orang Jawa, Thai, dan Filipina menyambut berbagai gagasan secara selektif dan sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Mereka tidak mengambil segala unsure asing yang ditawarkan, dan tidak pernah mengorientasikan diri mereka pada “ortodoksi”. Mereka melulu memanfaatkan unsure-unsur yang sesuai dengan berbagai kebutuhan mereka, dan yang tidak jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan mereka mengenai kehidupan.”
Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu menemukan akar-akar
lokal atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat
dicangkokkan . Baru kemudian melalui peresapan oleh getah budaya asli itu,
cangkokkan itu akan berkembang dan berbuah. (Wolter, 1982:52 dalam
Mulder, 1999: 5). Blimbingsari dalam upaya mempertahankan identitas
kebalian mereka melakukan perpaduan budaya Kristen dengan Hindu (Bali).
Mereka menciptakan kekristenan Bali yang khas tanpa merusak pemahaman
konsep keyakinan mereka. Konsep Kristen Bali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
3. Sistem sosial kemasyarakatan Blimbingsari
3.1. Desa Adat Kristen Blimbingsari
Pemerintah Daerah Bali menerapkan sistem desa pakraman. Jadi selain
pemerintahan dinas selayaknya pemerintahan yang berada di seluruh provinsi
di Indonesia, Bali juga menerapkan otonomi desa yang dipimpin oleh seorang
Bendesa Adat. Desa pakraman dapat diartikan sebagai desa adat Hindu.
Hirarki struktur desa pakraman di Bali sebagai berikut11:
Dalam penyajian data diungkapkan bahwa syarat sebuah desa dapat
disebut sebagai desa pakraman apabila dia mempunyai Kahyangan Tiga dan
jumlah warga minimal 500KK. Kayangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura
11 Hasil wawancara dengan Bendesa Adat desa Ekasari, I Wayan Winara, tanggal 26 Agustus 2011, pukul 09.13 wita
Bendesa Adat
PHDI (Tingkat Pusat)
Majelis Agung (Tingkat Propinsi)
Majelis Alit (Tingkat Kecamatan)
Majelis Madya (Tingkat Kabupaten)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
Pasek dan Pura Dalam. Pura Desa adalah Pura yang digunakan untuk tempat
pemujaan terhadap Dewa dalam wilayah tersebut. Pura Pasek adalah Pura
yang digunakan sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam
hal ini yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan
Pura Dalam adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal.
Syarat utama untuk membangun desa pekraman adalah keharusan 3 item
tersebut. I Wayan Winara mengungkapkan, “Desa pakraman sangat identik
dengan agama Hindu. Hal tersebut karena segala permasalahan yang diurus
oleh desa adat senantiasa berkaitan dengan Hindu. Terlebih lagi, untuk
menjadi desa pakraman harus mempunyai Kahyangan Tiga. Di Bali terdapat
wacana bahwa apabila seseorang yang tidak masuk sebagai anggota desa
pakraman maka dia dianggap hanya menumpang saja.”
Itulah yang menjadi masalah bagi masyarakat Blimbingsari. Warga
Blimbingsari adalah orang Bali asli karena nenek moyang mereka berasal dari
Bali, dan mereka lahir dan hidup di Bali. Namun dengan keyakinan Kristen
yang dimiliki seluruh warga Blimbingsari, tidak memungkinkan dibangunnya
Kayangan Tiga yang menjadi syarat pembuatan desa pakraman.
Demikian pula dengan fungsi Bendesa Adat, dalam aktivitasnya desa
pakraman dipimpin oleh seorang bendesa adat dengan struktur organisasi
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
Bendesa adat adalah pemimpin dalam desa pakraman. Bendesa adat
mempunyai masa kerja 5 tahun setiap periodenya dan disahkan oleh Majelis
Madya dengan memberikan patro pengeling-eling atau Surat keputusan (SK).
Pemerintah Bali pun memberikan sarana transportasi, nafkah dan operasional
bagi Bendesa Adat yang telah disahkan.
Dalam desa pakraman posisi Bendesa Adat sejajar dengan Perbekel,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam desa pakraman terdapat dua struktur
organisasi yang mengatur interaksi sosial dalam masyarakat. Dua organisasi
tersebut mempunyai peranan yang berbeda, Perbekel bertanggung jawab atas
permasalahan pemerintahan seperti kependudukan, administrasi
kepemerintahan, KTP, dll. Sementara Bendesa Adat bertanggung jawab
terhadap permasalahan yang terkait dengan seni, budaya dan agama. Seni
adalah segala sesuatu menyangkut kreatifitas baik bersifat keagamaan atau
Sekretaris
Bendahara
Sonteng Pemangku Klian Adat Klian
Palemahan Pawongan Prahyangan
Bendesa Adat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
bukan keagamaan. Contoh, dalam prosesi Dewayadna maka terdapat beberapa
tarian yang bersifat sakral dan wajib ditarikan oleh karma Bali. Di Bali antar
wilayah mempunyai seni yang berbeda. Budaya dan agama adalah tuntunan
kebiasaan masyarakat. Bendesa adat juga melayani upacara dan upakara
Hindu di desa pekraman.
Dalam menjalankan peranannya Bendesa adat dibantu oleh sekretaris,
bendahara, dan membawahi seksi-seksi seperti Prahyangan, Pawongan, dan
Palemahan. Prahyangan adalah bagian yang mengatur tempat suci, dalam hal
ini adalah Pura. Setiap Pura akan dipimpin oleh Pemangku Pura. Pemangku
akan membimbing permasalahan yang berhubungan dengan Tuhan atau
diistilahkan dengan Dewayadna.
Sementara dalam urusan-urusan agama yang terkait dengan hubungan
dengan manusia yang lain atau disebut “manusayadna” akan dibawahi oleh
“sonteng”. Upacara yang termasuk “manusayadna” adalah upacara “masangi”
yaitu upacara potong gigi yang biasanya dilaksanakan pada waktu pernikahan.
Upacara potong gigi adalah upacara wajib bagi umat Hindu yang bermakna
penghapusan “sadirpu”atau sifat keangkaramurkaan. Selain “masangi”
upacara yang lain adalah upacara “nyamutin”, yaitu upacara yang dilakukan
pada anak yang berumur 3 bulan, upacara ini bertujuan supaya kelak anak
yang dilahirkan dapat menjadi anak yang berguna.
Konsep tentang desa pakraman dan peran Bendesa Adat di Blimbingsari
belum seperti desa pakraman pada umumnya. Berdasarkan pemilihan warga,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
Bendesa Adat Blimbingsari adalah Bapak Suka Bagya. Pembentukan desa
adat Kristen di Blimbingsari mulai dibentuk secara resmi pada November
tahun 2009. Pembentukan desa adat yang pada akhirnya disepakati dengan
nama Desa Adat Kristen Blilmbingsari ini direalisasikan secara sungguh-
sungguh sebagai upaya menyelaraskan dengan kebijakan pemerintah Bali
tentang ajeg Bali. Karena dipahami bahwa pemerintah bersama dengan
masyarakat (Hindu) Bali berupaya sekeras mungkin untuk menyukseskan
progran ajeg Bali ini.
Pada realitanya, sebenarnya masyarakat Blimbingsari telah menjalankan
adat atau budaya Bali dalam keseharian mereka. Ketika peneliti melakukan
penelitian di Blimbingsari, dalam keseharian, masyarakat menggunakan
bahasa Bali untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Demikian pula sistem
hubungan antar warga baik keseharian atau dalam organisasi sosial
masyarakat. Bahasa, sistem hubungan dan lain sebagainya merupakan simbol
budaya. Ferraro dalam Samovar (2010:45) mengungkapkan bahwa simbol
mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari kelompok yang
bersatu. Sehingga, apabila simbol budaya digunakan oleh suatu kelompok
tertentu pada dasarnya secara tidak langung dia akan terikat dengan budaya
dimana simbol tersebut disepakati.
Adat yang dijalankan oleh masyarakat Hindu dalam kesehariannya semisal
upacara perkawinan dan kematian, secara budaya Bali pun dilakukan oleh
warga Blimbingsari, namun perbedaannya apabila proses adat istiadat dalam
desa pakraman dijalankan oleh bendesa adat, di Blimbingsari upacara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
dipimpin oleh Pendeta. Seperti perkawinan atau kematian, akan juga diurus
oleh Pendeta yang dibantu Majelis.
Di desa pekraman, Pemangku adat berada di bawah bendesa adat, namun
di Blimbingsari, karena desa adat masih dalam proses transisi maka semua
kegiatan masih ditangani oleh gereja. Pendeta di Blimbingsari memiliki
peranan sentral. Bukan hanya masalah adat istiadat saja, namun termasuk juga
permasalahan kemasyarakatan. Pada suatu ketika, penulis sedang bertamu di
rumah Pendeta, dan datang pula sekretaris desa bertamu dan melapor kepada
Pendeta terkait dengan permasalahan remaja yang sering kebut-kebutan. Dan
hasilnya dibuatlah kegiatan sosialisasi tentang berkendaraan kerjasama dengan
Kepolisian. Begitu juga berkaitan dengan permasalahan kebersihan desa,
hingga perekonomian masyarakat. Sosialisasi mengenai kegiatan-kegiatan
apapun biasanya dikaitkan dengan ibadah setiap minggunya.
Berdasarkan pengamatan peneliti, gereja dan pendeta memiliki andil yang
cukup besar bagi kehidupan warga Blimbingsari. Posisi bendesa adat di
Blimbingsari belum sekuat posisi bendesa adat di desa pakraman yang lain.
Fungsi itu sampai pada pengamatan berlangsung masih dipegang oleh pendeta
jemaat. Itulah mengapa masyarakat dapat dikatakan sangat religius, karena
hampir semua aktivitas masyarakat Blimbingsari adalah kegiatan yang
berkaitan dengan gereja.
3.2. Awig-awig Desa Adat Kristen Blimbingsari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
Apabila desa pakraman adalah bentuk organisasi kemasyarakatannya,
awig-awig adalah tata cara untuk mengoperasionalkan komponen dalam desa
pakraman tersebut. Awig-awig desa adat merupakan landasan bertindak bagi
seluruh komponen desa. Bagi masyarakat Hindu, awig-awig desa pekraman
bersifat suci. Berdasarkan pengalaman ketika penulis mencoba untuk sekedar
melihat awig-awig desa pekraman Ekasari, I Wayan Winara (bendesa adat)
dengan halus tidak memperkenankan. Ia mengungkapkan bahwa tidak setiap
orang diperbolehkan melihat, menyentuh, apalagi membaca isi awig-awig,
bahkan warga desa itu sendiri. Awig-awig desa pakraman Ekasari terbuat dari
daun lontar, berbahasa Bali, dan berisi aturan-aturan yang disepakati warga
Ekasari yang bersifat turun temurun. Pembuatan awig-awig desa
membutuhkan upacara tersendiri sehingga untuk dapat membuka awig-awig
tersebut diperlukan ritual khusus dan tidak sembarangan. Hanya bendesa adat
yang berhak untuk menyimpan dan membukanya.
Namun bagi desa adat Kristen Blimbingsari, awig-awig desa tidak
dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Walaupun pemahaman tentang
kegunaan awig-awig sama dengan desa pakraman Hindu, namun persepsi
tentang kesakralan awig-awig berbeda. Awig-awig tidak hanya dipegang oleh
bendesa adat Blimbingsari, namun juga oleh perbekel dan pendeta. Ketika
peneliti meminta salinan data awig-awig, mereka memberikan begitu saja data
tersebut untuk dapat di fotocopy.
Berdasarkan isi awig-awig desa Blimbingsari tersurat bahwa Blimbingsari
mengkonstruksi dirinya menjadi desa adat Kristen. Hal tersebut telah disahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
sejak November 2009. Melihat isi awig-awig desa Blimbingsari, maka dapat
diamati bahwa desa ini memposisikan dirinya selayaknya desa Hindu. Mereka
menyebut Tuhan Yesus dengan Ida Sang Hyang Yesus Kristus. Sama seperti
umat Hindu yang menyebut junjungannya dengan Ida Sang Hyang. Kemudian
tampak dipaparkan pada dasar dan latar belakang awig-awig desa adat Kristen
Blimbingsari tertera Injil Matius 28:28-20; 1 Petrus 2:9, Injil Matius 28:18-20,
1 Petrus 2:9 sebagai landasannya. Perbedaan yang cukup mencolok dengan
awig-awig desa pekraman yang lain karena dasar yang diambil adalah Kitab
Suci Kristen, Alkitab.
Demikian penyebutan tempat ibadah atau tempat yang dianggap suci.
Umat Kristen biasa menyebut tempat ibadah dengan sebutan gereja.
Sementara umat Hindu menyebut dengan pura. Pura adalah bangunan suci
tempat beribadat bagi umat Hindu Bali. (Soebandi, 1983: v). Dalam pasal 3
ketentuan desa adat Kristen, Blimbingsari mengkonstruksi diri sama dengan
warga Bali pada desa pekraman yang lain. Sebutan Pura dipilih untuk
menyebut tempat ibadah mereka. Hasil wawancara dengan Pdt.I Ketut Suyaga
Ayub, Pura adalah bahasa Bali yang berarti tempat yang suci, maka mereka
memaknai gereja sebagai pura. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sudigda,
bagian pariwisata Blimbingsari, bahwa dulu apabila orang tua atau nenek
moyang Blimbingsari mau beribadah maka mereka mengatakan akan pergi ke
pura. Maka dalam awig-awig dipilih istilah pura untuk menyebut tempat suci.
Dalam pasal 3 tentang ketentuan-ketentuan, Desa Blimbingsari juga
mengungkapkan bahwa semua tempat yang telah disucikan meliputi Pura
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
Gereja Pniel Blimbingsari, Pura Gereja Immanuel Ambyarsari. Tempat
kuburan (tempat peristirahatan terakhir) Giri Istana Raga untuk kepentingan
masyarakat adat Kristen Blimbingsari dan kuburan Ambyarsari untuk
kepentingan masyarakat adat Kristen, Ambyarsari.
Hal tersebut selayaknya ketentuan untuk membuat sebuah desa pakraman.
Syarat untuk membentuk desa pekraman adalah Kahyangan Tiga yang terdiri
dari: Pura Desa/Bale Agung, Puseh dan Dalem hulun setra (kuburan), yang
terdapat pada tiap-tiap desa pekraman (adat). (Soebandi, 1983: v). I Wayan
Winara mengungkapkan bahwa Pura Puseh adalah Pura yang digunakan
sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini yang
berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan Pura Dalam
adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal.
Selain Pura, dalam menjalankan kehidupan, masyarakat Bali berpatokan
pada filsafat Tri Hita Kirana yang berarti tiga subyek yang mendatangkan
kesejahteraan. Ketiga subyek itu adalah:
1. Unsur Parahyangan, yaitu Ketuhanan, yang mengacu pada kekuatan yang
gaib (supernatural of powers).
2. Unsur Palemahan, yaitu territorial, yang merupakan unsur makro-kosmos.
3. Unsur Pawongan, yaitu manusia (yang menghuni teritorial itu), sebagai
unsur mikrokosmos. (Ayub, dkk, 2011: 5).
Berdasarkan Penjelasan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001, tentang Desa Pekraman (Ttp dan tth, hal.2 butir 11), Tri Hita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
Kirana adalah landasan desa pakraman, yang sebelumnya bernama desa adat.
Dalam penjelasan ini ditekankan, bahwa filsafat Tri Hita Kirana itu
“mengandung karakteristik konstitutif yang menjadi tolok ukur spiritual etis
bagi keseluruhan dasar-dasar yang disucikan dalam perikehidupan desa
pakraman.” (ibid).
Berdasarkan pemahaman itu pula awig-awig desa adat Kristen
Blimbingsari membuat ketentuan pada bab III tentang Tuhan, orang, dan
lingkungan. Bab IV sampai VII membahas tentang ritual secara adat untuk
menjalankan filsafat tersebut. Perbedaan antara desa pakraman yang lain
dengan awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari tentu saja berkenaan sumber
yang berpengaruh terhadap tata cara, dimana Blimbingsari mengacu pada
Kitab Suci atau ajaran Kristen sementara desa pakraman pada umumnya
berdasarkan Hindu.
3.3. Adat Istiadat Blimbingsari: Akulturasi Budaya Hindu Bali dan
Kristen
Adat istiadat dalam masyarakat Blimbingsari mengatur tatanan kehidupan
sosial warganya. Walau nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup
warga suatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum, memiliki
ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional
dan nyata. Namun justru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari
alam jiwa seseorang. (Koentjoroningrat, 2005:76).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
Dalam kehidupan masyarakat Bali yang disebut adat istiadat Bali sulit
dilepaskan dari agama Hindu. Hal tersebut karena kepercayaan Hindu
senantiasa tersurat dalam perilaku sehari-hari penganutnya. Di Blimbingsari
adat istiadat juga berkaitan dengan sistem religi yang mereka punya yaitu
Kristen. Dalam pembahasan mengenai adat istiadat ini, penulis menemukan
akulturasi terjadi pada prosesi perkawinan, kematian, dan warisan.
3.3.1. Perkawinan Masyarakat Blimbingsari
Kostum merupakan salah satu penanda identitas budaya anggotanya.
Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana, pakaian,
kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual (artifaktual
communication). Komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai
komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan pelbagai
artefak, misalnya, pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau
furniture di rumah anda dan penataannya, ataupun dekorasi ruang Anda.
Karena fashion, pakaian atau busana menyampaikan pesan-pesan
nonverbal, ia termasuk komunikasi non-verbal. Barnald dalam Idi
Subandy (1996: vii). Foto sebelah kiri adalah foto perkawinan warga
Hindu. Tampak mempelai menggunakan baju adat Bali dari kamben,
kebaya, stagen untuk perempuan dan kain, stagen, udeng untuk pria.
Sementara umat Kristen pada umumnya melakukan pemberkatan di gereja
menggunakan jas dan baju modern.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
Foto Pernikahan Hindu Bali
Sumber: dewasuryamaharga.blogspot.com
Adapun berikut ini adalah foto pernikahan salah satu warga Blimbingsari.
Apabila diamati tampilan kedua foto tersebut tidak banyak
perbedaan. Pakaian mempelai perkawinan umat Hindu sama dengan
mempelai perkawinan umat Kristen Blimbingsari. Pakaian yang mereka
kenakan adalah pakaian adat Bali dengan kamben, kancut, udeng dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
segala perlengkapannya. Sehingga secara adat Bali baik Hindu maupun
Kristen secara tampilan fisik tidak berbeda.
Akulturasi dalam upacara perkawinan Blimbingsari adalah prosesi
pemberkatan yang dilakukan oleh masyarakat Blimbingsari setelah
melakukan prosesi adat. Pemberkatan dilakukan di gereja dan dipimpin
oleh seorang pendeta. (Seperti pada gambar dibawah) Pada masyarakat
Hindu Bali, setelah upacara perkawinan secara adat mempelai dinyatakan
telah resmi menjadi suami istri dan tidak ada lagi prosesi selanjutnya.
Foto Pemberkatan Pernikahan Warga Blimbingsari
3.3.2. Kematian Masyarakat Blimbingsari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
Prosesi kematian dalam agama Kristen dipimpin oleh seorang pendeta.
Upacara tersebut meliputi acara kebaktian penghiburan atau biston di keluarga
yang tengah berduka. Pada masyarakat Hindu yang tergabung dalam desa
pakraman, upacara kematian termasuk dalam bagian upacara manusayadna.
Upacara ini dipimpin oleh Soteng di bawah Bendesa Adat.
Seperti halnya perkawinan, akulturasi yang terjadi dalam upacara kematian
masyarakat Blimbingsari adalah penggunaan baju adat Bali. Masyarakat
Hindu menganggap upacara kematian adalah upacara yang begitu sakral,
sehingga dalam prosesinya akan menggunakan baju adat. Sementara warga
Kristen pada umumnya hanya menggunakan baju keseharian saja. Namun
masyarakat Blimbingsari mengenakan baju adat dalam prosesi kematian
warga mereka. (Korpus 64).
3.3.3. Pengaturan Warisan pada Masyarakat Blimbingsari
Adat (Hindu) Bali mengatur bahwa warisan diberikan kepada laki-laki.
Perempuan dalam adat Bali tidak diperkenankan untuk menerima warisan.
Contoh: ada sebuah keluarga yang mempunyai anak 8 perempuan semua,
hanya 1 laki-laki. Ketika pembagian warisan sebesar 6 hektar tanah, hanya 1
laki-laki saja yang mendapat jatah tanah sementara 7 perempuan yang lain
tidak mendapat apapun.
Permasalahan terjadi apabila keluarga hanya mempunyai anak perempuan
saja, maka yang kemudian dilakukan adalah proses “pekidih”, yaitu meminta
anak laki-laki dari keluarga lain. Namun biasanya pewarisan ini diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
kepada suami dari anak perempuan keluarga tersebut. Nyentana apabila tidak
ada yang mau ambil maka jatuh ke keponakan laki-laki. Dalam adat Hindu,
“pekidih” tidak berarti hanya menerima warisan harta saja, namun juga
menerima sanggah keluarga dan segala tanggung jawab yang harus dipikul.
Biasanya mereka akan tinggal di rumah peninggalan tersebut tersebut. Namun
kebanyakan banyak laki-laki yang tidak mau menerima, hal tersebut karena
berarti laki-laki tersebut tidak berhak lagi untuk mengurus segala hal di
keluarga atau sama dengan dia dianggap menjadi “perempuan”. Bahkan untuk
memanggul jenazah keluarga aslinya yang meninggal saja tidak
diperkenankan.
Aspek gender dalam sistem religi Kristen merupakan nilai yang
berkembang dari zaman ke zaman. Efesus 5:23 (ayat dalam Alkitab perjanjian
baru) menyatakan bahwa perempuan haruslah di rumah dan menyibukkan diri
di rumah, karena “laki-laki adalah kepala perempuan, sama seperti Kristus
juga adalah kepala gereja…” maka berdasarkan pandangan tersebut dipahami
bahwa perempuan harusnya tunduk kepada kaum lelaki. Namun dalam ajaran
tersebut perkembangan zaman merubah kondisi, bahwa Kristus mengajarkan
dengan memberi teladan bagaimana Ia menempatkan perempuan dalam
masyarakat. “Agama yang baru menawarkan perempuan hanya status yang
lebih tinggi dan pengaruh dalam gereja, namun juga perlindungan lebih
sebagai istri dan ibu.” (Samovar, dkk, 2010:137). Hal itu kemudian dibuktikan
dengan banyaknya perempuan yang menjadi pendeta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
Pembagian warisan dalam konteks Kristen, tidak membedakan jenis
kelamin. Warisan akan dibagikan kepada anak-anak dari orang tua yang telah
meninggal berdasarkan kesepakatan keluarga. Pada masyarakat Blimbingsari,
pembagian warisan kini mengalami pergeseran. Blimbingsari menerapkan
peraturan yang berbeda dibanding masyarakat Hindu. Perempuan di
Blimbingsari akan mendapatkan bagian selayaknya pria, walaupun porsinya
mungkin tidak sebesar kaum pria. Pemahaman tersebut dijalankan karena
masyarakat Blimbingsari menggunakan hukum kasih yang diajarkan oleh
agama yang mereka anut, sehingga mereka menyamakan hak antara pria dan
wanita.
B. Identitas Budaya sebagai Upaya Pertahanan Masyarakat Blimbingsari
Setelah kita memahami makna yang terjadi dalam setiap unsur kehidupan
masyarakat Blimbingsari melalui akulturasi yang mereka bangun terhadap budaya
(Hindu) Bali, maka penulis akan menjawab pertanyaan penelitian yang kedua,
Identitas budaya seperti apa yang diinginkan masyarakat Blimbingsari melalui
proses akulturasi yang mereka lakukan?
Kebudayaan merupakan cara kelompok untuk mempertahankan hidupnya.
Upaya mempertahankan hidup dari lingkungan alam membuat suatu kelompok
berbeda dengan kelompok yang lain. Itulah mengapa budaya satu berbeda dengan
budaya yang lain. Strategi tersebut terwujud melalui kerjasama dan komunikasi
antar anggota kelompok hingga menumbuhkan rasa senasib dan rasa memiliki di
antara mereka. Our cultural identities are constructed, negotiated, challenged,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
and affirmed through communication behaviours (Collier&Thomas, 1988;
Philipsen, 2002). (Yangrong Chang.(2011). Performing Cultural and Personal
Identities through Talk. China Media Research 7(3), hal.21-32.
Pasca bom 2002, Bali semakin kuat untuk membangun kekuatan internal
mereka dengan ajeg Bali. Program yang sarat dengan budaya Hindu, karena adat
Bali seolah tak bisa lepas dari adat Hindu. Rasa senasib sepenanggungan terus
terbangun untuk menumbuhkan kesatuan dan dikomunikasikan dari generasi ke
generasi. Menurut Geerzt (1973), culture denotes an historically transmitted
pattern of meaning embodied in symbols, a system of inherited conceptions
expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate and
develop their knowledge about and attitude toward life (p.89 in Nakayama, 1999).
Atau dapat diungkapkan bahwa budaya merupakan transmisi pola pemaknaan atas
simbol secara turun temurun, pengabadian dan pengembangan pengetahuan
mereka tentang perilaku cara hidup.
Proses transmisi budaya berjalan dari generasi ke generasi. Manusia
mengalami internalisasi dan enkulturasi dari lingkungan dimana dia berada.
Proses pembudayaan atau penyesuaian tersebut berlangsung seumur hidup dan
turun temurun. Dalam konteks ini, masyarakat merupakan subyek bagi lestarinya
sebuah kebudayaan. Budaya ada karena masyarakat dan demikian sebaliknya.
Transmisi budaya yang terjalin dari generasi ke generasi membentuk sebuah pola.
Pola yang tampak tersebut dapat kita gunakan sebagai penanda kelompok. Dapat
dikatakan bahwa budaya merupakan identitas kelompok masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Ethnic identity may be seen as a set of ideas about one’s own ethnic
groups membership. (Identitas etnis dapat dipandang sebagai serangkaian
perangkat ide-ide tentang keanggotaan kelompok etnis mereka). (Nakayama,
1999:160). Budaya membentuk identitas etnik. Identitas ini begitu penting bagi
kelompok, secara internal identitas akan menguatkan kelompok. Having an etnhic
identity means experiencing a sense of belonging to a particular group and
knowing something about the shared experience of group members. (Kepemilikan
identitas etnis berarti berpengalaman atas rasa memiliki untuk menjadi bagian
kelompok dan memahami sesuatu tentang berbagi pengalaman antar anggota
kelompok). (Nakayama, 1999: 160). Hal ini sangat diperlukan untuk melestarikan
budaya yang mereka miliki.
Konteks eksternal, identitas akan menunjukkan eksistensi kelompok. Oleh
karena itu setiap kelompok akan merasa berharga apabila dia mendapat
pengakuan dari sekeliling tentang keberadaannya. Perubahan tatanan dunia yang
cepat dan pergolakan struktur sosial tradisional meningkatkan tingginya
ketidakpastian di antara banyak orang. Sebagai akibatnya, ”jutaan orang percaya,
bahwa tempat perlindungan mereka yang aman adalah kelompok dengan etnis,
iman kepercayaan, ekonomi atau pandangan politik yang sama.” (Samovar,
2010:183). Ditambahkan lagi oleh Fong dalam Samovar, identitas kebudayaan
adalah,
“Identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan non verbal yang memiliki arti dan dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
Bali merupakan salah satu wilayah yang memiliki etnisitas yang kuat.
Etnisitas tersebut dijaga secara turun temurun dengan kuat. Bukan hanya dengan
budaya namun agama merupakan aspek yang begitu menonjol dalam pola
kehidupan masyarakat Bali, sehingga seolah tidak dapat dibedakan antara budaya
dan agama Bali. Dari sejarah menunjukkan Belanda melihat etnisitas Bali
merupakan potensi yang cukup berharga untuk dilestarikan. Dan hal tersebut
sejalan dengan kebijakan yang hingga kini dijalankan oleh pemerintah Bali
melalui programnya ajeg Bali.
Program ajeg Bali dimaksudkan untuk melestarikan budaya Bali. Ajeg
Bali merupakan cara untuk mengkultuskan keberadaan Bali yang tidak dapat
dipisahkan dengan Hindu. Hal tersebut tampak dari syarat pembentukan desa
pakraman yang mewajibkan adanya Kahyangan Tiga atau tiga Pura dalam
kelompok masyarakat. Dimana syarat tersebut sulit bagi kelompok masyarakat
yang tidak memeluk agama Hindu, seperti desa Blimbingsari.
Kondisi tersebut menyatakan bahwa budaya sebenarnya bukan hanya
dipahami sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi suatu kelompok.
Namun budaya juga merupakan sebuah cara untuk membangun hegemoni
kekuasaan dengan landasan rasa memiliki.
Move beyond hegemonic definition of culture as “shared and transmmited from generation to generation” that assume that we all experience a “common culture” and…is passed down from one generation to the next in a linear and seemingly static fashion…that is dangerous myth…that works in invisible yet extremely powerful ways to suppress and erase marginalized voice and experiences. (Gust Yep, in Collier et al., 2002, p.231 in Nakayama ,81)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
Budaya seolah merupakan kontes untuk memperjuangkan kelas atau kelompok.
Perjuangan atas eksistensi kelompok dapat direalisasikan dengan berbagai cara,
dan akulturasi budaya merupakan cara yang ditempuh oleh Blimbingsari.
Resistance is the metaphor used in cultural studies to conceptualize the
relationship between culture and communication. (Nakayama, 1999: 99).
Perlawanan adalah kiasan yang digunakan dalam studi budaya untuk
mengkonsepsikan hubungan antara budaya dan komunikasi.
Blimbingsari menggunakan budaya sebagai medium untuk melakukan
perlawanan terhadap budaya dominan. Tidak dengan kekerasan yang dibangun
layaknya pemerintah Bali yang merasa perlu untuk mensukseskan ajeg Bali
melalui pencalang-nya namun dengan jalur budaya dan komunikasi. Trenholm
and Jensen communication is a powerful way of regulating and controlling our
world (Samovar, 2007:13). Moden dalam Samovar (2002:197) mengemukakan
bahwa “melalui komunikasilah kita dapat mengekspresikan kesamaan dan
ketidaksamaan dengan yang lain.” Ditambahkannya lagi, kegunaan komunikasi
dalam membentuk dan menetapkan identitas dapat dalam bentuk, termasuk
“percakapan, peringatan sejarah, musik, tarian, ritual, upacara, dan berbagai
drama sosial.
Blimbingsari sebagai desa Kristen tetap merasa bagian dari Bali. Mereka
berupaya membangun simbol-simbol akulturasi atas keyakinan Kristen yang
mereka imani dengan budaya (Hindu) Bali yang ada. Hasil akultutasi tersebut
merupakan media bagi masyarakat Blimbingsari untuk mengkomunikasikan
identitas mereka sebagai sebuah kelompok. Mereka membutuhkan pengakuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
Rekayasa simbol yang dilakukan masyarakat Blimbingsari melalui akulturasi
budaya yang mereka lakukan merupakan upaya mereka untuk mendapatkan
identitas etnis Bali. Etnisitas atau identitas etnis berasal dari warisan, sejarah,
tradisi, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama. (Samovar,
2002:187). Dalam beberapa unsur budaya yang dimiliki Blimbingsari
menunjukkan bahwa mereka memiliki etnis Bali dalam darah mereka. Terbukti
dengan asal daerah, kesamaan perilaku, nilai, bahasa dan lain sebagainya. Namun
ada beberapa budaya fisik yang dipahami masyarakat awam sebagai wujud
budaya yang tidak dimiliki Blimbingsari.
Tokoh-tokoh Blimbingsari melakukan akulturasi dengan merekayasa
pesan melalui penyesuaian dengan budaya Bali. Sebenarnya dalam kehidupan
sehari-hari, adat istiadat Bali telah dijalankan secara turun temurun, namun
pelembagaan itu belum ada, sehingga mereka perlu untuk menciptakannya.
Perekayasaan simbol dimulai dari kebudayaan fisik berupa artefak, bangunan
dalam masyarakat seperti yang dijelaskan di atas bagaimana gereja Pniel
dibangun. Simbol juga dibangun melalui tindakan mereka. Melalui akulturasi
kebudayaan fisik, dapat membangun gagasan yang dipahami oleh masyarakat
Blimbingsari sendiri dan masyarakat di luar Blimbingsari sebagai identitas
mereka. Sehingga mereka dapat diakui sebagai masyarakat Bali, walaupun
beragama Kristen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Menjawab rumusan masalah, bagaimana masyarakat Blimbingsari yang
berkeyakinan Kristen melakukan akulturasi dengan Hindu (Bali) agar identitas
budaya mereka itu tetap Bali sehingga eksistensi mereka tetap terjamin,
sebagaimana telah diuraikan dalam Bab V analisa data, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
Bahwa proses akulturasi yang terjadi di Blimbingsari antara agama Hindu
dan agama Kristen dilakukan melalui beberapa medium atau saluran dalam
komunikasi yaitu:
4. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari.
4.1. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari dan Layout atau Tata Letak Gereja
Pniel Blimbingsari
Akulturasi melalui medium arsitektur, unsur Hindu dan arsitektur
Kristen tampak dalam tata letak atau layout gereja yang mirip dengan pura
yakni bagian luar gereja, bagian pelataran dan bagian tempat beribadah.
Tata letak pura yang terdiri dari tiga tingkatan utama, yaitu Bencingah atau
disebut dengan Jaba, Jaba Tengah serta Jeroan.
Filosofi dalam membangun gereja juga serupa dengan bagaimana
umat Hindu membangun pura. Gereja Pniel berpedoman pada letak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
Gunung Agung tempat dimana matahari terbit yang melambangkan
kehidupan. Orang Bali percaya roh dan kehidupan yang datang atau
mengalir dari gunung, sedangkan laut (kelod/lod) adalah kematian.
Akulturasi tampak pula dari bentuk pintu masuk dan bangunan
yang berbentuk candi yakni berupa candi bentar dan candi gelung yang
melambangkan tentang tujuan umat saat masuk pura harus dapat
memisahkan pikiran negatif sebelum bersembahyang. Dan candi kurung
supaya mereka memfokuskan diri kepada Sang pencipta. Pada gereja Pniel
pintu masuk bangunan berbentuk candi bentar dan candi kurung namun
demikian hanya sebatas fisik, pemahaman secara dalam tentang makna
candi tidak dipahami serupa layaknya orang Hindu memahami makna
candi. Unsur-unsur Hindu di dalam arsitektur Kristen tersebut
menunjukkan adanya akulturasi Kristen dengan Hindu, namun dalam
tataran fisik saja.
4.2. Ukir-Ukiran Gereja Pniel sebagai Perwujudan Akulturasi Kristen dengan
Hindu (Bali).
Akulturasi melalui medium ukir-ukiran, unsur Hindu dalam ukir-
ukiran Kristen nampak dalam karya yang ada pada bangunan gereja Pniel.
Ukiran yang terdapat pada lingkungan pura dimana umat Hindu
mengadakan persembahyangan disebut karang patra. Kata patra sendiri
memiliki makna keadaan (desa, kala, patra), namun juga berarti sastra.
Dan yang dimaksud dengan patra disini adalah pahatan seni ukir Bali,
yang menyimpan makna mendalam tentang ajaran agama Hindu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
Secara bentuk goresan, ukir-ukiran yang ada di gereja Pniel
merupakan ukir-ukiran (Hindu) Bali yang serupa dengan ukiran di pura-
pura Bali, karena yang membuatpun orang Hindu dari Ubud. Namun,
akulturasi dalam ukir-ukiran gereja Pniel hanya bersifat fisik, karena isi
dari ukir-ukirannya adalah cerita yang terambil dari Alkitab baik
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sehingga makna ukir-ukiran
tentu berbeda dengan ukiran yang ada di pura yang memuat ajaran Hindu.
5. Tata Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari
5.1. Ritual atau Prosesi dan Liturgi Ibadah di Gereja Pniel Blimbingsari
Akulturasi melalui medium ritual atau prosesi, unsur Hindu dalam
ritual atau prosesi Kristen tampak pada pemaknaan ritual atau prosesi itu
sendiri. Bentukan Ritual Kristen pada dasarnya cukup berbeda dengan
keyakinan Hindu. Namun, dalam ritual atau tata ibadah kontekstualisasi
gereja Pniel Blimbingsari tampak unsur Hindu mempengaruhi prosesi,
sehingga pemikiran tentang penggabungan unsur Hindu dan Kristen bukan
hanya dalam tataran fisik namun juga bersifat sinkretik, yakni penggunaan
alat-alat pendukung seperti tata urutan ibadah atau liturgy, penggunaan
salam dan bahasa serta musik dalam beribadah. Dalam liturgy ritual
Kristen Blimbingsari terdapat penggunaan kata Swastiastu sebagai kata
votum atau salam, penggunaan Gong kebyar dan pujian berbahasa Bali
dalam ibadah kontekstual setiap awal bulan, serta pakaian adat Bali bagi
jemaatnya. Ritual atau prosesi oleh kedua keyakinan baik Hindu maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
Kristen diyakini memiliki manfaat yang sama, yakni membangun sense of
religious.
5.2. Alat Musik Pengiring Ibadah.
Akulturasi melalui medium kesenian (musik) unsur Hindu dalam
sistem kesenian Kristen tampak pada penggunaan gong kebyar bersama
seka gong-nya dalam upacara keagamaan. Kristen sebagai agama barat
pada umumnya menggunakan alat musik organ atau piano dalam
ibadahnya, sementara Hindu (Bali) biasanya menggunakan gong kebyar
beserta seka gong-nya. Pada kebaktian kontekstual di gereja Pniel
Blimbingsari, ibadah diiringi dengan gong kebyar beserta seka gong-nya
seperti layaknya umat Hindu ketika menggelar upacara keagamaan
mereka.
Tujuan dari akulturasi ini adalah membangun suasana dalam
ibadah. Gong Kebyar dipilih karena gereja Pniel ingin menunjukkan
bahwa mereka adalah orang Bali yang juga mempunyai kesenian Bali,
serta menggunakan alat tersebut untuk membangun feeling pada saat
mereka beribadah.
6. Sistem sosial kemasyarakatan Blimbingsari
6.1. Desa Adat Kristen Blimbingsari
Akulturasi unsur Hindu dalam organisasi sosial warga Kristen
Blimbingsari tampak dari pembentukan sebuah desa adat Kristen
Blimbingsari sebagai desa pakraman sejak tahun November, 2009.
Pembentukan tersebut sebagai upaya pengkomunikasian dan perlawanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
masyarakat Blimbingsari atas kebijakan pemerintah Bali tentang ajeg Bali.
Kebijakan tersebut dinilai kurang menguntungkan bagi warga non Hindu
(walaupun Bali) karena untuk menjadi warga Bali haruslah tergabung
dalam desa pakraman. Jika tidak, muncul asumsi bahwa mereka adalah
pendatang atau orang asing. Hal ini cukup merugikan warga Blimbingsari
karena mereka tidak dapat membentuk desa pakraman yang bersyarat
dibangunnya Kahyangan Tiga (Pura Pasek, Pura Dalam, dan Pura Desa).
Maka desa adat Kristen adalah upaya untuk membentuk organisasi sosial
kemasyarakatan yang sejenis dengan desa pakraman.
Desa adat Kristen Blimbingsari dibentuk dengan tata atau struktur
organisasi sejenis dengan desa pakraman. Urusan adat desa yang selama
ini dipegang oleh Pendeta sedikit demi sedikit akan digeser ke Bendesa
Adat yang dibentuk. Dan demikian pula untuk beberapa keputusan adat
yang lain.
6.2. Awig-awig Desa Adat Kristen Blimbingsari
Akulturasi unsur Hindu dan Kristen terhadap terhadap warga
Blimbingsari juga terjadi dalam awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari.
Awig-awig desa adat Kristen pada mulanya tidak ada. Namun seiring
dengan terbentuknya desa adat Kristen maka dibuatlah awig-awig.
Dalam awig-awig desa adat Kristen tercantum beberapa unsur Hindu
seperti penyebutan Tuhan Yesus dengan Ida Sang Hyang Yesus Kristus.
Ida Sang Hyang adalah sebutan yang biasa digunakan umat Hindu untuk
menyembah junjungannya. Penyebutan gereja dengan pura, sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
menjadi Pura Gereja Pniel Blimbingsari. Isi awig-awig desa adat Kristen
juga dibuat menggunakan filosofi masyarakat Bali tentang Tri Hita Kirana,
yakni Parahyangan, Palemahan, Pawongan.
Berdasarkan filosofi dan pembentukan awig-awig tersebut, warga
Blimbingsari ingin mengkomunikasikan bahwa mereka juga bagian dari
Bali. Mereka juga dapat menerapkan unsur Tri Hita Kirana dalam
kehidupan keseharian mereka karena mereka adalah orang Bali.
6.3. Adat Istiadat Blimbingsari: Akulturasi Budaya Hindu Bali dan Kristen
Akulturasi melalui medium adat istiadat, unsur Hindu dalam adat
istiadat Kristen (perkawinan, kematian, dan warisan) tampak bahwa
akulturasi terjadi pada tampilan fisik masyarakat ketika mereka melakukan
upacara. Pakaian adat Bali senantiasa menjadi penanda di setiap upacara
bahwa mereka adalah orang Bali. Selain itu, akulturasi tampak pada sistem
gotong royong yang dijalankan masyarakat, baik Hindu maupun Kristen.
Namun pemaknaan terhadap tampilan fisik ataupun bentuk prosesi adat
antara Kristen dengan Hindu memuat perbedaan. Hal tersebut berkaitan
dengan keyakinan mereka masing-masing.
Tiga medium di atas merupakan medium yang digunakan warga
Blimbingsari untuk mengkomunikasikan identitas mereka. Warga
Blimbingsari merasa perlu untuk mengkomunikasikannya karena kebijakan
Ajeg Bali dianggap merugikan mereka yang tidak berkeyakinan Hindu.
Akulturasi merupakan upaya yang mereka gunakan untuk melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
perlawanan tanpa kekerasan. Akulturasi budaya Kristen terhadap Hindu Bali
oleh masyarakat Blimbingsari adalah bentuk konformitas yang coba dilakukan
untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali.
Akulturasi budaya melalui tiga medium yang dimaksudkan oleh
masyarakat Blimbingsari lebih pada fisik tampilan luar, tidak menyentuh
aspek keyakinan kekristenan Blimbingsari. Namun pada tata ibadah atau ritual
gereja Pniel Blimbingsari yang terjadi tampaknya bukan hanya pada tataran
akulturasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh
masyarakat Blimbingsari, terutama pada ritual atau tata ibadah gereja
merupakan wujud sinkretisme antara Kristen dengan Hindu. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa sinkretisasi gereja Pniel Blimbingsari merupakan
identitas baru Kristen Bali, sebuah identitas bahwa walaupun masyarakat
Blimbingsari adalah masyarakat Kristen namun mereka tetap masyarakat Bali.
B. Saran
Saran yang diberikan penulis dalam penelitian ini berkaitan dengan
akulturasi yang terbangun adalah keberlangsungan budaya Blimbingsari. Selama
ini, Blimbingsari dipimpin oleh seorang pendeta yang mempunyai visi atas
pengakuan identitas Blimbingsari sebagai warga Bali. Hal tersebut diwujudkan
melalui simbol-simbol yang secara sengaja diciptakan melalui akulturasi budaya.
Permasalahan yang kelak dapat timbul adalah bagaimana kedepan jika pendeta
Ayub sudah tidak lagi menjadi pendeta jemaat di Blimbingsari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
Oleh karena itu saran yang hendak penulis berikan adalah membangun
kesadaran kaum muda di Blimbingsari dan penanaman nilai identitas budaya yang
kuat supaya budaya Blimbingsari dapat dipertahankan. Saran yang kedua adalah
bagi pemerintah Bali. Benar faktanya bahwa Bali lebih dari 90 persen warganya
adalah warga Hindu, namun demikian tidak berarti bahwa warga non-Hindu
adalah warga tamu atau orang asing. Mereka lahir dan beridentitas Bali maka
selayaknya warga Hindu Bali, pemerintah sepatutnya memberikan perlakuan yang
sama dengan memberikan ruang yang juga memadahi bagi warga Bali walaupun
non Hindu.