diare syok bidai

31
A. Konsep dasar diare akut 1. Pengertian Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. (Mansjoer, 2005). Diare akut didefinisikan sebagai keluarnya buang air besar satu kali atau lebih yang berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang dari empat belas hari. (Soegijanto, 2002). Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal, biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi buang air besar lebih dari 3x sehari dengan atau tanpa lendir dan darah. (Hidayat,2006). 2. Etiologi Penyebab diare menurut Ngastiyah (1997) dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu : a. Faktor infeksi 1) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral meliputi : a) Infeksi bakteri : (1) Golongan noninvasif (tidak dapat menembus mukosa) yaitu : Vibrio cholerae, E. coli patogen. (2) Golongan invasif yaitu : Salmonella, Shigella, E. coli infasif, E. coli hemorrhagic dan Campylobacter. b) Inveksi virus : Enterovirus (Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus. c) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides); protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis); jamur (Candida albicans). 2) Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis. b. Faktor malabsorbsi 1) Malabsorbsi karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa); monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang paling sering adalah intoleransi laktosa. 2) Malabsorbsi lemak 3) Protein : asam amino, laktoglobulin. c. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. d. Faktor psikologis : rasa takut, cemas, stres. Menurut Guyton dan Hall (1997) stres mengakibatkan adanya stimulasi ke usus oleh saraf parasimpatis yang mencetuskan peningkatan motilitas maupun sektresi mukus.

description

ok

Transcript of diare syok bidai

Page 1: diare syok bidai

A. Konsep dasar diare akut

1. PengertianDiare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. (Mansjoer, 2005).Diare akut didefinisikan sebagai keluarnya buang air besar satu kali atau lebih yang berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang dari empat belas hari. (Soegijanto, 2002).Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal, biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi buang air besar lebih dari 3x sehari dengan atau tanpa lendir dan darah. (Hidayat,2006).

2. EtiologiPenyebab diare menurut Ngastiyah (1997) dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu :

a. Faktor infeksi1) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral meliputi :a) Infeksi bakteri :(1) Golongan noninvasif (tidak dapat menembus mukosa) yaitu : Vibrio cholerae, E. coli patogen.(2) Golongan invasif yaitu : Salmonella, Shigella, E. coli infasif, E. coli hemorrhagic dan Campylobacter.b) Inveksi virus : Enterovirus (Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus.c) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides); protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis); jamur (Candida albicans).2) Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis.

b. Faktor malabsorbsi1) Malabsorbsi karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa); monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang paling sering adalah intoleransi laktosa.2) Malabsorbsi lemak3) Protein : asam amino, laktoglobulin.c. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.d. Faktor psikologis : rasa takut, cemas, stres. Menurut Guyton dan Hall (1997) stres mengakibatkan adanya stimulasi ke usus oleh saraf parasimpatis yang mencetuskan peningkatan motilitas maupun sektresi mukus.

3. PatofisiologiAdanya bahan makanan yang tidak dapat diabsorbsi oleh lumen usus akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi penyerapan air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga terjadi diare. Bakteri non-patogen (bakteroides, laktobasilus, klostridium) di dalam lumen usus halus (sering disebut flora usus) dapat menyebabkan diare. Normalnya melalui proses fermentasi bakteri non-patogen usus memetabolisir berbagai macam substrat terutama zat – zat makanan dengan hasil akhir asam lemak dan gas. Metabolisme anaerob ini akan memberikan tambahan energi bagi tubuh. Akibat stasis usus, obstruksi dan malnutrisi menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri non-patogen sehingga pada proses fermentasi zat makanan menghasilkan metabolit yang tidak diinginkan oleh tubuh. Sebagai contoh : laktosa (dari susu) merupakan makanan yang baik bagi bakteri non-patogen. Laktosa akan difermentasikan menghasilkan gas lambung dan menyebabkan distensi. Akibat dari tingginya konsentrasi laktosa menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat. Keadaan hiperosmolar ini akan menyerap air dari intra selluler yang diikuti dengan peningkatan peristaltik usus sehingga terjadi diare.(Markum,1996).

4. Manifestasi klinika. Anak cengeng dan gelisahb. Suhu tubuh meningkat lebih dari 38ºC

Page 2: diare syok bidai

c. Nafsu makan berkurang, mual, muntahd. Berat badan turune. Membran mukosa keringf. Nadi cepatg. Takipneah. Turgor kulit tidak elastis, mata cekung, ubun – ubun cekungi. Feces cair dengan/tanpa lendir dan darahj. Peningkatan bising ususk. Haluaran urine berkurang(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005 & Pillitteri, 2002)

Menurut Soegijanto (2002) berdasarkan penurunan berat badan, dehidrasi dibagi menjadi :1) Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%2) Dehidrasi ringan, bila terjadi penurunan berat badan 2,5 – 5 %3) Dehidrasi sedang, bila terjadi penurunan berat badan 5 – 10%4) Dehidrasi berat, bila terjadi penurunan berat badan > 10%

Skor Maurice KingBagian tubuh yang diperiksa Nilai untuk gejala yang ditemukan0 1 2

Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, apatis, ngantuk Mengigau, koma, syokKekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurangMata Normal Sedikit cekung Sangat cekungUbun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekungMulut Normal Kering Kering dan sianosisDenyut nadi / menit Kuat <> 140(Markum, 1996)Catatan :1. Untuk menentukan kekenyalan kulit, kulit perut “dijepit” antara ibu jari dan telunjuk selama 30 – 60 detik, kemudian dilepas. Jika kulit kembali normal dalam waktu :- 1 detik : turgor agak kurang (dehidrasi ringan)- 1 – 2 detik : turgor kurang (dehidrasi sedang)- 2 detik : turgor sangat kurang (dehidrasi berat)2. Berdasarkan skor yang didapat pada seorang penderita dapat ditentukan derajat dehidrasinya :- Jika mendapat nilai 0 – 2 : dehidrasi ringan- Jika mendapat nilai 3 – 6 : dehidrasi sedang- Jika mendapat nilai 7 – 12 : dehidrasi berat

5. KomplikasiKomplikasi yang terjadi pada anak dengan diare antara lain :a. Dehidrasi : ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik.

b. Renjatan hipovolemik : pada dehidrasi berat menyebabkan volume darah berkurang sehingga terjadi renjatan

hipovolemik dengan gejala nadi cepat dan lemah, pasien sangat lemah dan kesadaran menurun.c. Asidosis metabolik : terjadi karena kehilangan NaHCO3 bersama feces, metabolisme lemak tidak sempurna sehingga bahan keton tertimbun dalam tubuh, penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam tertimbun dalam tubuh karena terjadi oliguria dan anuria serta berpindahnya ion Na dari cairan ekstrasel ke cairan intrasel. Asidosis metabolik ditandai dengan pernapasan cepat, dalam dan teratur (pernapasan kuszmaull).d. Hipokalemia : dengan gejala meteorismus, hipotoni, otot, lemah, bradikardia, perubahan elektrokardiogram.e. Hipoglikemia : gejala hipoglikemia berupa lemas, apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, kejang sampai koma.f. Intoleransi sekunder akibat keruakan villi mukosa usus dan defisiensi enzim laktase.g. Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik.h. Malnutrisi energi protein akibat muntah dan diare jika lama atau kronik

Page 3: diare syok bidai

(Ngastiyah, 1997)

6. Pemeriksaan penunjangBerdasarkan Mansjoer (2005) dan Nettina (2002) pemeriksaan penunjang pada diare adalah :a. Pemeriksaan Feses : makroskopis dan mikroskopis untuk melihat adanya leukosit, eritrosit, parasit; pH bila dibawah 6,0 (asam) disertai tes reduksi positif menunjukkan adanya intoleransi glukosa; kultur feces untuk mencari bakteri penyebab diare.b. Pemeriksaan darah : darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na, K, Ca dan P serum pada diare yang disertai kejang).c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi ginjal.d. Duodenal intubation, untuk mengetahui kuman penyebab diare.e. Kultur darah untuk mengetahui septikemia, studi serologi dapat mendeteksi virus.

7. PenatalaksanaanMenurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (2005) dasar pengobatan diare adalah :

a. Pemberian cairanJenis cairan1) Cairan per orala) Formula lengkap (oralit) : mengandung NaCl, NaHCO3, KCL dan glukosa.b) Formula sederhana : hanya mengandung NaCL dan Sukrosa atau karbohidrat lain, misalnya larutan gula garam, larutan air tajin garam, larutan tepung beras garam.2) Cairan parenterala) DG AA (1 bagian larutan Darrow + 1 bagian glukosa 5% atau sama dengan cairan KA-EN 3B).b) RL G (1 bagian Ringer Laktat + 1 bagian glukosa 5% atau sama dengan RD 5%).c) RL (Ringer laktat).d) 3A (1 bagian NaCl 0,9 % + 1 bagian glukosa 5% + 1 bagian Na-laktat 1/6 mol/L atau sama dengan KA-EN 3A).e) DG 1 : 2 (1 bagian larutan Darrow + 2 bagian glukosa 5%).f) RL G 1 : 3 (1 bagian Ringer laktat + 3 bagian glukosa 5-10%).g) Cairan 4 : 1 (4 bagian glukosa 5-10% + 1 bagian NaHCO3 1½% atau 4 bagian glukosa 5-10% + 1 bagian NaCl 0,9% atau sama dengan N5).b. Pemberian makanan (Dietetik)1) Untuk anak umur <> 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg.Jenis makanan :a) Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam lemak tak jenuh, misalnya LLM, Almiron).b) Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan padat (nasi tim).c) Susu khusus yaitu susu yang tidak mengandung laktosa atau susu dengan asam lemak tidak jenuh, sesuai dengan kelainan yang ditemukan.2) Untuk anak di atas 1 tahun dengan berat badan lebih dari 7 kg. Jenis makanan : makanan padat atau makanan cair/susu sesuai dengan kebiasaan makan dirumah.c. Obat – obatan1) Obat anti sekresia) Asetosal : dosis 25 mg/tahun, minimum 30 mg.b) Klorpromazin : dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/hari.2) Obat anti spasmolitik : papaverine, ekstrak beladona, opium, loperamid.3) AntibiotikaDiberikan bila penyebab diare diketahui :a) Kolera, diberikan tetrasiklin 25 – 50 mg/kgBB/hari.b) Campylobacter, diberiakan eritromisin 40 – 50 mg/kgBB/hari.Antibiotika untuk penyakit penyerta :a) Infeksi ringan (OMA, faringitis), diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari.b) Infeksi sedang (bronkitis), diberikan penisilin prokain atau ampisilin 50 mg/kgBB/hari.c) Infeksi berat (bronkopneumonia), diberikan penisilin prokain dengan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari atau ampisilin 75–100 mg/kgBB/hari ditambah gentamisin 6 mg/kgBB/hari atau derivat sefalosforin 30 – 50 mg/kgBB/hari.

Page 4: diare syok bidai

B. Konsep dasar asuhan keperawatan diare akut

1. Pengkajian keperawatanMenurut Wong (2004) pengkajian anak dengan diare akut meliputi :a. Data biografib. Riwayat Kesehatan1) Penyakit yang pernah diderita (terutama penyakit infeksi).2) Riwayat imunisasi.Vaksin Pemberian Selang waktu Umur pemberianBCG 3 kali 4 minggu 0 – 11 bulanDPT 4 kali 4 minggu 2 – 12 bulanPolio 1 kali 4 minggu 0 – 11 bulanCampak 3 kali 4 minggu 9 – 11 bulanHepatitis B 1 kali 0 – 11 bulan

3) Riwayat tumbuh kembangTahap pertumbuhan dan perkembangan untuk anak usia 12 sampai 18 bulan menurut Soetjiningsih (1995) :Tahap pertumbuhan :a) Perkiraan berat badan ideal untuk usia 1 tahun dengan menggunakan rumus “umur (tahun) x 2 + 8” = 10 kg.b) Perkiraan tinggi badan untuk umur 1 tahun = 75 cm.c) Perkiraan jumlah pertumbuhan gigi untuk anak usia 1 tahun yaitu sebanyak 6 – 8 gigi.d) Lingkar lengan atas ideal untuk anak usia 1 tahun = 16 cm.Tahap perkembangan :a) Berjalan dan mengeksplorasikan rumah serta sekeliling rumah.b) Menyusun 2 – 3 kotak.c) Dapat mengucapkan 5 – 10 kata.d) Memperlihat rasa cemburu dan rasa bersaing.Penilaian perkembangan berdasarkan Test Denver.a) Motorik kasar : berdiri sendiri, berjalan dengan baik, membungkuk dan berdiri, berjalan mundur.b) Motorik halus : mencorat – coret, menaruh kubus di cangkir.c) Bahasa : mengucapkan 3 kata.d) Sosial : bermain bola, menirukan gerakan, minum dari cangkir, menggunakan sendok / garpu.4) Riwayat pemberian makan.5) Riwayat kesehatan lingkungan : kebersihan lingkungan tempat tinggal, sumber air bersih, ventilasi.c. Pemeriksaan fisik1) Kaji status dehidrasi (warna kulit, suhu akral, turgor kulit, membran mukosa, mata, ubun – ubun, suhu tubuh, nadi, pernapasan, perilaku, penurunan berat badan).2) Observasi adanya manifestasi diare akuta) Serangan diare tiba - tibab) Demamc) Anoreksia, mual, muntahd) Penurunan berat badane) Nyeri dan kram abdomen, distensi abdomenf) Peningkatan bising usus / hiperperistaltikg) Malaiseh) BAB lebih dari 3x sehari, konsistensi feces cair, dengan/atau tanpa lendir dan darah3) Kaji status psikososial keluarga4) Kaji tingkat pengetahuan keluargaa) Pengetahuan tentang penanganan diare dirumahb) Pengetahuan tentang dietc) Pengetahuan tentang pencegahan diare berulang2. Diagnosa keperawatanBerdasarkan Wong (2004) diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada anak dengan diare akut adalah :a. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan melalui feces atau emesis ditandai

Page 5: diare syok bidai

dengan :Data subyektif : Klien haus, mual, anoreksia.Data objektif :• Ketidakcukupan masukan cairan per oral• Keseimbangan negatif antara intake dan output• Penurunan berat badan• Membran mukosa kering• Penurunan haluaran urine• Penurunan turgor kulit• Peningkatan Natrium serumb. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare, intake yang tidak adekuat ditandai dengan :Data subyektif :• Keluarga klien melaporkan penurunan porsi makanan yang dihabiskan• Kram abdomenData obyektif :• Penurunan berat badan di bawah berat badan ideal• Lingkar lengan atas di bawah ideal• Konjungtiva anemis• Anoreksia• Kelemahan otot• Penurunan albumin serumc. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menembus saluran gastrointestinal.d. Kerusakan integritas kulit perianal berhubungan dengan iritasi karena diare ditandai dengan :Data subyektif : perubahan kenyamanan : nyeri, gatalData obtektif :• Kerusakan pada lapisan kulit (dermis) : lesi dan iritasi kulit karena popok• Daerah perianal lembab dan kemerahane. Cemas/takut berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stres ditandai dengan :Data subyektif : melaporkan perasaan cemas, ketakutanData obyektif :• Gelisah• Fokus pada diri sendiri• Kontak mata kurang• Mudah tersinggung• Tremor• Ketegangan wajah• Peningkatan pernapasan dan nadi• Berkeringatf. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang pengetahuan tentang penyakit, pengobatan klien ditandai dengan :Data subyektif :• Keluarga mengekspresikan perasaan tidak menerima keadaan• Keluarga melaporkan ketidaktahuan terhadap kondisi klienData obyektif :• Keluarga tidak mampu beradaptasi terhadap situasi krisis• Keluarga tidak mau berpartisipasi dalam program terapeutik klien• Perilaku keluarga yang tidak sesuai dengan kebutuhan pengobatan dan perawatan klien3. Intervensi Keperawatana. Dx. 1 Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan melalui feces atau emesis.Tujuan : Pasien mempertahankan hidrasi adekuat.Kriteria hasil :- Tidak ada tanda – tanda dehidrasi : turgor kulit elastis, ubun – ubun tidak cekung, pasien tidak gelisah, membran mukosa lembab, tidak ada penurunan berat badan.

Page 6: diare syok bidai

- Tanda – tanda vital dalam batas normal : N = 90 – 140 x/menit, RR = 15 – 30 x/menit, S = 36 – 37ºC.- Intake dan Output seimbang, kebutuhan cairan untuk anak usia 13 bulan = 120 – 135 ml/kgBB/hari (900 – 1000 ml/hari).- Nilai elektrolit dalam batas normal : Na = 135–145 mmol/L, K = 3,5 –5,5 mmol/L, Cl = 98 – 105 mmol/L.Intervensi :1) Catat Observasi Intake Output setiap 24 jam. R/ Mengetahui status dehidrasi dan mengevaluasi keefektifan intervensi.2) Timbang berat badan anak setiap hari. R/ mengobservasi dehidrasi.3) Ukur tanda – tanda vital dan evaluasi turgor kulit, membran mukosa, status mental. R/ mengobservasi dehidrasi.4) Beri tahu keluarga untuk memberikan anak minum secara bertahap. R/ meningkatkan hidrasi.Kolaborasi :5) Berikan larutan rehidrasi oral (oralit). R/ rehidrasi dan pengganti kehilangan cairan melalui feces.6) Berikan dan pantau cairan IV sesuai indikasi (kolaborasi). R/ pengganti kehilangan cairan.7) Observasi hasil pemeriksaan elektrolit. R/mengetahui tingkat hidrasi dan keefektifan intervensi.

b. Dx. 2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare, intake yang tidak adekuat.Tujuan : Pasien mengkonsumsi intake nutrisi yang adekuat.Kriteria hasil :- Tidak terjadi penurunan berat badan (berat badan stabil), berat badan ideal untuk anak umur 13 bln=10 kg.- Makan habis 1 porsi.- Tidak ada mual, muntah.- Nilai Hb dan albumin dalam batas normal : Hb = 13,2 – 17,3 g/dL, Albumin = 4 - 5,8 g/dL.Intervensi :1) Evaluasi status nutrisi dan penurunan berat badan. R/ Mengindentifikasi kebutuhan untuk intervensi selanjutnya.2) Beritahu dan motivasi ibu/keluarga untuk melanjutkan pemberian ASI. R/ ASI mengurangi kehebatan dan durasi penyakit serta memberikan tambahan nutrisi.3) Beri tahu ibu untuk memberikan anak makan dalam porsi kecil tapi seringR/ meningkatkan intake makanan.4) Observasi dan catat respon terhadap pemberian makan. R/ mengetahui toleransi terhadap pemberian makanan.Kolaborasi :5) Berikan diet yang tepat sesuai indikasi. R/ memberikan diet yang tepat sesuai kebutuhan tubuh dapat mengurangi diare dan memperbaiki status nutrisi. Kebutuhan kalori anak umur 1 tahun = 100 – 200 kkal/kgBB/hari, kebutuhan protein = 15 g/hari, kebutuhan lemak = 15 – 20% energi total.6) Observasi nilai laboratorium khususnya Hb dan albumin. R/ menurunnya nilai hemoglobin menyebabkan distribusi nutrisi oleh darah keseluruh tubuh menurun. Albumin merupakan komponen protein yang membentuk lebih dari setengah protein plasma.

c. Dx. 3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menembus saluran gastrointestinal.Tujuan : Pasien tidak menunjukkan infeksi gastrointestinal.Kriteria hasil :- Tanda – tanda vital dalam batas normal : N = 90 – 140 x/menit, RR = 15 – 30 x/menit, S = 36 – 37ºC.- Nilai leukosit dalam batas normal : 6000 – 17500 /µL.Intervensi :1) Ajarkan orang tua klien cara mencuci tangan yang benar. R/ mencegah penyebaran infeksi.2) Beritahu orang tua untuk memakaikan popok dengan benar dan sekali pakai. R/ Mengurangi kemungkinan penyebaran feces dan menurunkan kemungkinan terjadinya dermatitis karena popok.3) Beritahu keluarga untuk melakukan tindakan perlindungan infeksi terhadap anak seperti mencuci tangan sebelum berinteraksi dengan anak dan sebelum memberikan makan, menjaga kebersihan diri ibu terutama sebelum memberikan ASI.d. Dx. 4 Kerusakan integritas kulit perianal berhubungan dengan iritasi karena diare.Tujuan : Mempertahankan integritas kulit.Kriteria hasil : Kulit sekitar anus tidak lecet dan lembab.Intervensi :1) Observasi daerah bokong terhadap tanda – tanda iritasi. R/ menentukan intervensi yang tepat.2) Beritahu orang tua klien untuk mengganti popok jika sudah kotor. R/ menjaga agar kulit tetap bersih dan kering3) Beritahu orang tua klien untuk membersihkan bokong klien dengan sabun lunak non-alkalin / sabun bayi.

Page 7: diare syok bidai

R/ pencucian bokong yang tidak bersih dapat merusak integritas kulit .Kolaborasi : 4) Berikan salep topikal sesuai indikasi. R/ mengurangi iritasi.e. Dx. 5 Cemas/takut berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stres.Tujuan : Klien menunjukkan tanda – tanda kenyamananKriteria hasil :- Tidak ada tanda – tanda distres fisik atau emosional- Keluarga berpartisipasi dalam perawatan klienIntervensi :1) Berikan tindakan atau aktivitas kenyamanan pada anak, ajak anak bermain, membacakan cerita bergambar dan aktivitas yang sesuai dengan toleransi anak. R/ mencegah kejenuhan pada anak.2) Libatkan orang tua klien dalam aktivitas perawatan. R/ mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan.3) Berikan sentuhan, berbicara dengan anak dan stimulasi sensoris sesuai tingkat perkembangan anak.R/ memberikan kenyamanan dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.

f. Dx. 6 Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang pengetahuan tentang penyakit, pengobatan klien .Tujuan : Keluarga memahami tentang penyakit anak dan pengobatannya serta mampu memberikan perawatan.

Kriteria hasil : Keluarga menunjukkan kemampuan untu merawat anak khususnya untuk perawatan di rumah.Intervensi :1) Berikan informasi kepada keluarga tentang penyakit anak dan program pengobatan. R/ meningkatkan kepatuhan keluarga terhadap program terapeutik, khususnya jika sudah berada di rumah.2) Beritahu dan motivasi keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan diare berulang. R/ mencegah terjadinya diare berulang.3) Beritahu dan motivasi keluarga cara perawatan anak di rumah dan melanjutkan program pengobatan anak yang masih didapat. R/ keluarga melaksanakan program terapeutik secara optimal dan mencegah diare berulang.

4. Implementasi KeperawatanImplementasi merupakan suatu pengelolaan dari rencana tindakan / intervensi keperawatan yang telah dibuat sebelumnya yang dilakukan secara mandiri dan berkolaborasi dengan tim kesehatan lain.

5. Evaluasi keperawatanEvaluasi merupakan proses akhir dari asuhan keperawatan dimana hasil yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan klien dan keluarga :a. Klien mempertahankan hidrasi adekuat / intake cairan yang adekuat : tidak ada tanda – tanda dehidrasi : turgor kulit elastis, ubun – ubun tidak cekung, pasien tidak gelisah, membran mukosa lembab, tanda – tanda vital dalam batas normal : N = 90 – 140 x/menit, RR = 15 – 30 x/menit, S = 36 – 37ºC, intake dan output seimbang, nilai elektrolit dalam batas normal : Na = 135–145 mmol/L, K = 3,5 –5,5 mmol/L, Cl = 98 – 105 mmol/L.b. Klien mengkonsumsi intake nutrisi yang adekuat : tidak terjadi penurunan berat badan (berat badan stabil), makan habis 1 porsi, tidak ada mual, muntah, nilai Hb dan albumin dalam batas normal : Hb = 13,2 – 17,3 g/dL, Albumin = 4 - 5,8 g/dL.c. Klien tidak menunjukkan infeksi gastrointestinal : tanda – tanda vital dalam batas normal : N = 90 – 140 x/menit, RR = 15 – 30 x/menit, S = 36 – 37ºC, nilai leukosit dalam batas normal : 6000 – 17500 /uL.d. Klien mempertahankan integritas kulit, kulit sekitar anus tidak lecet dan lembab.e. Klien menunjukkan tanda – tanda kenyamanan, tidak ada tanda – tanda distres fisik atau emosional, keluarga berpartisipasi dalam perawatan klien.f. Keluarga memahami tentang penyakit anak dan pengobatannya serta mampu memberikan perawatan, keluarga menunjukkan kemampuan untu merawat anak khususnya untuk perawatan di rumah.

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.• Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)Adakah hal-hal berikut :. Sianosis. Luka tembus dada

Page 8: diare syok bidai

. Flail chest

. Sucking wounds

. Gerakan otot nafas tambahan• Palpasi / raba (FEEL). Pergeseran letak trakhea. Patah tulang iga. Emfisema kulit. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks• Auskultasi / dengar (LISTEN). Suara nafas, detak jantung, bising usus. Suara nafas menurun pada pneumotoraks. Suara nafas tambahan / abnormal• Tindakan ResusitasiJika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.Catatan Khusus• Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil• Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.• Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan kelengkapan alat.Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.

‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien trauma keadaan ini paling

sering disebabkan oleh hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis :Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. (lihat Appendix-3)Jenis-jenis syok :Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :• Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.• Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.• Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 literSyok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain akibat :• Kontusioo miokard• Tamponade jantung• Pneumotoraks tension• Luka tembus jantung• Infark miokardPenilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta takhikardiaa atau vasokonstriksi.Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar.Langkah-langkah resusitasi sirkulasiTujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan prioritas1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.

Page 9: diare syok bidai

3. Hindari cairan yang mengandung glukose.4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.UrineProduksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine.Transfusi darahPenyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko ketidak sesuaian golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan penyakit juga ada meski donornya adalah keluarga sendiri. Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil meskipun telah mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif. Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7g / dl jika pasien masih terus berdarah.Prioritas pertama : hentikan perdarahan• Cedera pada anggota gerak :Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma reperfusi dan menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu sering disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata) diseluruh bagian anggota gerak tersebut.

Intravenous Cannulation and Infusion Protocolrevised October 2008PreambleIntravenous cannulation and infusion has two major roles in the EMS workplace:1. administration of fluids as primary therapy2. provide access for administration of medicationsThis protocol includes protocols for intravenous cannulation and infusion for pediatric, adolescent, and adult Patient Categorization by Age· age 0 to 9 years – refer to pediatric section· age 10 to 15 years – refer to adolescent section· age 16 years or greater – refer to adult sectionIndications1. patients who have suffered cardiac arrest2. patients with clinically significant chest pain3. patients with clinically significant respiratory distress4. patients with depressed levels of consciousness5. patients who have suffered significant traumatic injury6. patients who have suffered significant burns

7. patients displaying symptoms or signs of shock8. patients who are actively seizingContraindications1. transport time less than time required to initiate intravenous line.Infusion Solutions, Rates, and Intravenous Catheter Sizesabbreviations used: NS – normal saline TKVO – to keep vein opennote: there will be circumstances when a large bore intravenous catheter is desirable but not possible – a smaller bore intravenous catheter may be used under these circumstancesPediatric patients – 20 or 22 gauge catheter1. patients who have suffered cardiac arrest: NS, TKVO2. patients with depressed levels of consciousness: NS, TKVO

3. patients who have suffered significant traumatic injury: NS, TKVO if no evidence of shockNS 20 ml / kg bolus, wide open, if evidence of shock-reassess when half bolus is completed- decrease to TKVO when response noted- may repeat 10 ml / kg bolus if shock persists despite initial bolus4. patients who have suffered significant burns:

Page 10: diare syok bidai

NS 20 ml / kg bolus to run in transit, if no evidence of shock

NS 20 ml / kg bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when half bolus is completed- decrease to TKVO when response noted- may repeat 10 ml / kg bolus if shock persists despite initial bolus5. patients displaying symptoms or signs of shock:NS 20 ml / kg bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when half bolus is completed- decrease to TKVO when response noted- may repeat 10 ml / kg bolus if shock persists despite initial bolusAdolescent patients – 16 or 18 gauge catheter1. patients who have suffered cardiac arrest: NS, TKVO2. patients with depressed levels of consciousness: NS, TKVO3. patients who have suffered significant traumatic injury: NS, TKVO if no evidence of shockNS 20 ml / kg bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when 500 ml has been infused- decrease to TKVO when response noted- may repeat bolus if shock persists despite initial bolus4. patients who have suffered significant burns:NS 20 ml / kg bolus to run in transit, if no evidence of shockNS 20 ml / kg bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when half bolus has been infused- decrease to TKVO when response noted- may repeat bolus if shock persists despite initial bolus

5. patients displaying symptoms or signs of shock:

NS 20 ml / kg bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when half bolus has been infused- decrease to TKVO when response noted- may repeat bolus if shock persists despite initial bolus6. patients who have had a seizure or are actively seizing: NS, TKVOAdult patients – 16 gauge catheter1. patients who have suffered cardiac arrest: NS, TKVO2. patients with clinically significant chest pain: NS, TKVO3. patients with clinically significant respiratory distress: NS, TKVO4. patients with depressed levels of consciousness: NS, TKVO5. patients who have suffered significant traumatic injury: NS, TKVO if no evidence of shockNS 1000 ml bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when 500 ml has been infused- decrease to TKVO when response noted or if evidence of fluid overload- may repeat bolus if shock persists despite initial bolus6. patients who have suffered significant burns:NS 150 ml / hour if no evidence of shockNS 1000 ml bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when 500 ml has been infused- decrease to TKVO when response noted or if evidence of fluid overload- may repeat bolus if shock persists despite initial bolus7. patients displaying symptoms or signs of shock:NS, TKVO if no evidence of shockNS 1000 ml bolus, wide open, if evidence of shock- reassess when 500 ml has been infused- decrease to TKVO when response noted or if evidence of fluid overload- may repeat bolus if shock persists despite initial bolus8. patients who have had a seizure or are actively seizing: NS, TKVO

Page 11: diare syok bidai

Procedure1. Perform patient assessment and record vital signs.2. Assess that patient meets criteria for this protocol.3. Ensure there are no contraindications to use of this protocol.4. Initiate basic life support treatment measures, including supplemental oxygen.- these take precedence over management using this protocol5. Obtain patient consent if possible.If patient refuse treatment,intravena cannulation shouldnt be carried out.6. Carry out intravenous cannulation and establish intravenous infusion based on established method (see appendix for acceptable method).7. A maximum of two attempts at intravenous cannulation can be made on each patient.- further attempts may be made en route, at the discretion of the medical director or from physician on-line medical control8. Transport should not be delayed to carry out intravenous cannulation and establish an intravenous infusion. Cannulation may be performed while en route.

PEADiagnosis PEA is the term used to describe the features of cardiac arrest despite normal (or near normal) electrical excitation. The diagnosis is made from a combination of the clinical features of cardiac arrest in the presence of an ECG rhythm that would normally be accompanied by cardiac output. The importance of recognising PEA is that it is often associated with specific clinical conditions that can be treated when PEA is promptly identified.

Causes The causes of PEA can be divided into two broad categories. In “primary” PEA, excitation-contraction coupling fails, which results in a profound loss of cardiac output. Causes include massive myocardial infarction (particularly of the inferior wall), poisoning with drugs (for example, _ blockers, calcium antagonists), or toxins, and electrolyte disturbance (hypocalcaemia, hyperkalaemia). In “secondary” PEA, a mechanical barrier to ventricular filling or cardiac output exists. Causes include tensionpneumothorax, pericardial tamponade, cardiac rupture, pulmonary embolism, occlusion of a

prosthetic heart valve, and hypovolaemia. These are summarised in the 4Hs/4Ts mnemonic (see base of

algorithm). Treatment in all cases is directed towards the underlying cause. Management of asystole and PEA Guidelines for the treatment of cardiopulmonary arrest caused by asystole or PEA are contained in the universal advanced life support algorithm. Treatment for all cases of cardiac arrest is determined by the presence or absence of a rhythm likely to

respond to a countershock. In the absence of a shockable rhythm “non-VF/VT” is diagnosed. This category

includes all patients with asystole or PEA. Both are treated in the same way, by following the right-hand side of the algorithm. When using a manual defibrillator and ECG monitor, non-VF/VT will be recognised by the clinical appearance of the patient and the rhythm on the monitor screen.

When using an automated defibrillator, non-VF/VT rhythms are diagnosed when the machine dictates that no shock is indicated and the patient has no signs of a circulation. When the rhythm is checked on a monitor screen, the ECG trace should be examined carefully for the presence of P waves or other electrical activity that may respond to cardiac pacing. Pacing is often effective when applied to patients with asystole due to atrioventricular block or failure of sinus node discharge. It is unlikely to be successful when asystole follows extensive myocardial impairment or systemic metabolic upset. The role of cardiac pacing in the management of patients with cardiopulmonary arrest is considered further in Chapter 17. As soon as a non-VF/VT rhythm is diagnosed, basic life support should be performed for three minutes, after which the rhythm should be reassessed. During this first loop of the obtained, and the first dose of adrenaline (epinephrine) given. If asystole is present atropine, in a single dose of 3mg intravenously (6 mg by tracheal tube), should be given to block the vagus nerve completely. The best chance of resuscitation from asystole or PEA occurs when a secondary, treatable cause is responsible for the arrest.

For this reason the search for such a cause assumes major importance. The most common treatable causes are listed as the 4Hs and 4Ts at the foot of the universal algorithm. Loops of the right-hand side of the algorithm are repeated, with further doses of adrenaline (epinephrine) given every three minutes while the search for an underlying cause is made and treatment instigated. If, during the treatment of asystole or PEA, the rhythm changes to VF (which will be evident on a

Page 12: diare syok bidai

monitor screen or by an automated external defibrillator advising that a shock is indicated) then the left-hand side

of the universal algorithm should be followed with attempts at defibrillation. Causes of cardiopulmonary arrest The British Heart Foundation statistics indicate that acute myocardial infarction is the cause of cardiac arrest in 70% of patients in whom resuscitation is attempted by general practitioners, and in the majority of the remaining patients severe coronary disease without actual infarction is responsible for the cardiac arrest. In only 12% of patients is cardiac arrest caused by non-cardiac disease. Other disorders, including valve disease, cardiomyopathy, aortic aneurysm, cerebrovascular disease, and subarachnoid haemorrhage, are among some of the vascular causes of cardiac arrest treated by general practitioners. Non-vascular causes include trauma, electrocution, respiratory disease, near drowning,

intoxication, hypovolaemia, and drug overdose. In many of these conditions, appropriate management

(particularly of the airway) by someone trained in resuscitation skills may prevent cardiacarrest.

Breathing Once the airway has been secured, attention must be turned to assessment of breathing and identification of any life-threatening conditions. The chest must be exposed and examined carefully. Assess the respiratory rate and effort and examine for symmetry of chest excursion. Look for any signs of injury, such as entry wounds of penetrating trauma or bruising from blunt trauma. Feel for surgical emphysema, which is often associated with rib fractures, a pneumothorax, flail segment, or upper airway disruption.Five main life-threatening thoracic conditions that must be identified and treated immediately are:● Tension pneumothorax● Haemothorax● Flail chest● Cardiac tamponade● Open chest wound.

Tension pneumothorax causes respiratory and circulatory collapse within minutes and is often exacerbated by positive pressure ventilation. Asymmetric chest wall excursion, contralateral tracheal deviation, absent breath sounds, and hyperresonance to percussion all indicate a significant tension pneumothorax. Initial treatment by needle decompression aims to relieve pressure quickly before insertion of a definitive chest drain. Needle decompression is performed by inserting a l4G cannula through the second intercostal space (immediately above the top of the third rib) in the midclavicular line. In the 5% of patients who have a chest wall thickness greater than 4.5 cm, a longer needle or rapid insertion of a chest drain is required. Haemothorax is suggested by absent breath sounds and stony dullness to percussion. The presence of air (haemopneumothorax) may mask dullness to percussion, particularly in a supine patient. It requires prompt insertion of a chest drain. Bleeding at more than 200 ml/hour may require surgical intervention. Flail chest occurs when multiple rib fractures result in a free segment of chest wall that moves paradoxically with respiration. Patients are at risk of both haemothorax and pneumothorax and will rapidly progress to respiratory failure. Early endotracheal intubation is required. Not all these features may be present in clinical practice. Heart sounds are often quiet in

hypovolaemic patients and central venous pressure may not be raised if the patient is hypovolaemic.

Pericardiocentesis is performed by insertion of a needle 1-2 cm inferior to the left xiphochondral junction with a wide bore cannula aimed laterally and posteriorly at 45_ towards the tip of the left scapula. Connecting an electrocardiogram (ECG) to the needle and observing for injury potential as the needle penetrates the myocardium has traditionally been advocated as a means of confirming anatomical location. Nowadays, many accident and emergency departments have access to portable ultrasound, which provides better visualisation. Open chest wounds require covering with a three-sided dressing (to prevent formation of a tension pneumothorax) or an Asherman seal together with early insertion of a chest drain. Blunt trauma is associated with pulmonary contusion, which may not be apparent on early chest x ray examination but can result in significantly impaired gas exchange.

Circulation Hypovolaemic shock is a state in which oxygen delivery to the tissues fails to match oxygen demand.

It rapidly leads to tissue hypoxia, anaerobic metabolism, cellular injury, and irreversible damage to vital organs. Although external haemorrhage is obvious, occult bleeding into body cavities is common and the chest, abdomen, and pelvis must be examined carefully in hypovolaemic patients. Isolated head injuries rarely cause hypotension (although blood loss from scalp lacerations can be significant). Estimation of blood loss, particularly on scene, is inaccurate but

Page 13: diare syok bidai

nevertheless provides some indication of the severity of external haemorrhage. Assessment of the circulatory system begins with a clinical examination of the pulse, blood pressure, capillary refill time, pallor, peripheral circulation, and level of consciousness. Most physiological variables in adults change little until more than 30% blood volume has been lost; children compensate even more effectively. Any patient who is hypotensive through blood loss has, therefore, lost a

significant volume and further loss may result in haemodynamic collapse. Hypovolaemic shock has been

classified into four broad classes (I-IV).● Class I is blood loss less than 15% total blood volume (750 ml)during which physiological variables change little● Class II is blood loss of 15-30% (800-1500 ml), which results in a moderate tachycardia and delayed capillary refill but no change in systolic blood pressure● Class III is blood loss of 30-40% (1500-2000 ml), which is associated with a thready tachycardic pulse, systolic hypotension, pallor, and delayed capillary refill● Class IV blood loss is in excess of 45% (more than 2000 ml) and is associated with barely detectable pulses, extreme hypotension, and a reduced level of consciousness● Some texts claim that the radial, femoral, and carotid pulsesdisappear sequentially as blood pressure falls below specificlevels. This technique tends to overestimate blood pressure; the radial pulse may still be palpable at pressures considerably lower than a systolic of 80mmHg.

Intravenous access Two large-bore intravenous cannulae (14G_) should be inserted. These can be used to draw blood samples for cross-match, full blood count, urea, and electrolytes. Central venous access allows measurement of central venous pressure as a means of judging the adequacy of volume expansion. It should only be undertaken by an

experienced physician because the procedure may be difficult in a hypovolaemic patient. Recent

guidelines from the National Institute for Clinical Excellence recommend using ultrasound to locate the vein. After insertion, a chest x ray examination is necessary to exclude an iatrogenic pneumothorax. Over the past decade, management of hypovolaemic shock has moved away from restoration of blood volume to a normovolaemic state to one of permissive hypotension. Blood volume is restored only to levels that allow vital organ perfusion (heart, brain) without accelerating blood loss, which is generally considered to be a systolic blood pressure of about 80 mmHg. Permissive hypotension has been shown to improve morbidity and mortality in animal models and clinical studies of acute hypovolaemia secondary to penetrating trauma. The benefits of permissive hypotension may also apply to haemorrhage secondary to blunt trauma. Patients with raised intracranial pressure may need higher blood pressures to maintain adequate cerebral perfusion. The same may be true for trauma patients with chronic hypertension. Debate still continues

as to the optimal fluid for resuscitation in acute hypovolaemia. It is the volume of fluid that is probably the most

important factor in initial resuscitation. As a general rule, isotonic saline (0.9%) is a suitable fluid with which to commence volume resuscitation. After the initial 2000 ml of 0.9% saline, colloid may be considered if further volume expansion is required. Once 30-40% blood volume has been replaced, it is necessary to consider the additional use of blood. Intravenous fluid resuscitation in children should begin with boluses of 20 ml/kg,titrated according to effectFluid and electrolyte balancePlasma electrolyte differences between patients who aspire fresh water and seawater are seldom clinically important. In

either situation, the patient is often hypovolaemic and in need of intravenous fluid replacement, preferably

using a crystalloid. Metabolic acidosis should be corrected by adequate oxygenation and plasma expansion; administration of sodium bicarbonate should be unnecessary. Water intoxication resulting in fits has been reported in infants after neardrowning in backyard pools.InfectionLung infection is common after near drowning, especially if brackish water has been aspirated. Embolism of infected material from the lungs to the arterial tree may result in brain abscesses or death from systemic aspergillosis. A blood culture should be undertaken in all instances in which aspiration has occurred. Leptospirosis has been reported after immersion in lakes or reservoirs, possibly due to ingestion of water contaminated with rats’ urine. Outpatient follow-up with a chest x ray taken two weeks later is advisable for all patients who have been immersed in water, irrespective of their clinical state on admission.Prognostic signs

Page 14: diare syok bidai

A pH of 7 or less indicates severe acidosis and is a poor prognostic sign. A low PaO2 provides an early indication that water has been inhaled with the attendant risk of pulmonary oedema. The presence of ventricular fibrillation is an adverse sign and responds poorly to defibrillation when the core temperature is below 28_C. The circulation must be supported by chest compression until further attempts can be made when the core temperature has been raised above this level.Resuscitation on scene● Chest compression alone for circulatory arrest● No re-warming for deep hypothermia● Intubate unconscious patients● Defibrillation is unlikely to succeed● Associated trauma may include fracture of the cervical spineSPLINTING and IMMOBILIZATIONEMS personnel routinely splint and immobilize patients to prevent or minimize secondary injury. All EMS personnel must be familiar with techniques for axial and extremity splinting and immobilization, with particular attention to indications and precautions with each procedure. EMS personnel should refer to specific treatment protocols regarding use of these techniques.SPLINTING: AXIALIndicationspain, swelling, or deformity of spine which may be due to fracture, dislocation, or ligamentous instabilityneurologic deficit which might be due to spinal injuryprevention of neurologic deficit or further deficit in patients with any suspected spinal injury or instability due to any mechanismin all trauma victims who are unconscious or with impaired consciousness due to head injury or drug ingestion, to protect against damage or further damage in patientsPrecautionsall patients with significant head trauma should be immobilized because of the potential for unrecognizedcoexistent neck traumaif at all possible, perform and document complete neurologic exam prior to movementreassess and document after your splinting is completeCervical Splinting Techniqueperform cervical splinting following primary assessment if indicateduse partner to maintain cervical stabilization while completing primary surveyuse two persons to apply splint if at all possibledo not use force to straightengently restore normal alignmentadvise patient of procedure and purpose before and during applicationimmobilize the cervical spine with a semi-rigid collar of appropriate sizeuse long or short spine board or orthopedic scoop to support patient as situation dictatesuse tape, straps, or both to secure patient effectively and allow turning as a unit for airway controlcontinue to monitor airway and effectiveness of immobilizationSpinal Immobilization Techniqueprimary surveysecondary survey of head, neck and upper chestsplint cervical spine with a rigid c-collarcomplete secondary survey and splint fractures prior to movement of patient when possibledocument neurologic findingsin a sitting patient, use KED or short board for extricationslide device behind patientapply straps snuglyuse padding as needed to keep neck (in cervical collar) in a neutral positionsecure head to deviceuse long back board for spinal patients (or sitting patients) after KED or short board is appliedif the patient is unclothed or insufficiently clothed (e.g. pajamas, nightgown), then the board should be padded with a double layer of blanket or other suitable material. A patient should never be transported on a board with bare skin against an unpadded boardlog roll or lift patient as a unit to board

Page 15: diare syok bidai

one person should apply continuous cervical stabilization until patient is secured on devicedo not use force to straighten spinerelease leg straps if KED or short board was useduse padding as needed behind knees to support a neutral axis under small of back, neck and kneesapply straps or tape to secure chest, thighs, and lower legs and to allow turning as a unit in case of vomiting or airway difficultyuse towel rolls and tape (or head blocks or similar device) to secure head and neck immobilizationreassess patient status, particularly airway and neurologic findingsmonitor airway and head and neck immobilizationComplicationsvomiting is common in head or spinal injury patientsyour splinting must be good enough to allow turning of the patient as a unit for airway protectionit is easy to miss injuries below the level of a neurological deficitlook carefully for abdominal and chest injuries, pelvic fractures, and extremity injuries without symptomswith loss of sensation below T-8, there will be no guarding, rebound pain, or tenderness to clue you tointernal abdominal injuriesSpecial Notespelvic fractures are difficult to diagnose in the fieldsuspected pelvic injury can be immobilized by use of the long board or scoop during spinal immobilization with padding secured over the pelvisSPLINTING: EXTREMITYIndicationspain, swelling, or deformity in extremity which may be due to fracture or dislocationin an unstable extremity injury: to reduce pain; limit bleeding at the site of injury; and prevent further injury to soft tissues, blood vessels or nervesPrecautionscritically injured trauma victims should not be delayed in transport by lengthy evaluation of possible noncritical extremity injuriesprevention of further damage may be accomplished by securing the patient to a spine board when otherinjuries demand prompt hospital treatmentthe patient with altered level of consciousness from head injury or drug/alcohol influences should be carefully examined and conservatively treated, because his ability to recognize pain and injury is impairedmake sure the obvious injury is also the only oneit is particularly easy to miss fractures proximal to the most visible onein a stable patient where no environmental hazard exists, splinting should be done prior to moving the patient.Extremity Splinting Techniquecheck pulse and sensation distally prior to movement or splintingremove bracelets, watches, or other constricting bands prior to splint applicationidentify and dress open woundsto minimize pain and soft tissue damage, avoid sudden or unnecessary movement of fracture sitestabilize the affected extremity in the position foundreduce angulated fractures if no distal pulses are presentuse gentle axial traction as needed to immobilize properlychoose splint to immobilize joint above and below injurypad rigid splints to prevent pressure injury to extremitycheck distal pulses and sensation after reduction splintingif splinting results in loss of distal circulation or sensation, loosen splinting devicePossible Complications of Splintingcirculatory compromise from excessive constriction of limbcontinued bleeding not visible under splintpressure damage to skin and nerves from inadequate paddingdelayed treatment of life-threatening injuries due to prolonged splinting proceduresSpecial Notestraction splints should only be used if the leg can be straightened easily and patient is comfortable with the traction device on

Page 16: diare syok bidai

for injuries within 5 cm / 2 inches of a joint, forced application of traction device can cause increased pain and damageif such an injury is present, do not use traction devicesupport in position of most comfort and best neurovascular statuswhen in doubt and the patient is stable, splintdo not be deceived by absence of deformity or disabilityfractured limbs often retain some ability to functionsplinting body parts together can be a very effective way of immobilizing: arm-to-trunk or leg-to-legpadding will increase comfortthis method can be very useful in children when traction devices and pre-made splints do not fitjoints must be immobilized and left in the position they are foundthey are not to be manipulated or repositioned

SyokSyok adalah suatu sindrom klinis yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik. Tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.---------memperburuk hantaran O2 + nutrisi +pembuangan sisa metabolit jaringan.-----dari mtblsme aerob jd anaerob---------asam laktat---kruskakn multi system.

1. tahap terkompensasi2. tahap progresif, manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ.

3. tahap refrakter/ ireversibel.

Page 17: diare syok bidai

KASUS 2Anak perempuan berusia 10 tahun datang dengan keluhan muntah‐muntah berat selama 5 hari. Pasientidak memiliki riwayat penyakit ginjal dan saluran cerna sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkanpenurunan ringan turgor kulit dan penurunan tekanan darah orthostatic sebesar 7 mmHg. Pemeriksaanlaboratorium menunjukkan natrium 136 mEq/l, kalium 3,0mEq/l, klorida 89 mEq/l, bikarbonat 35 mEq/l,BUN 30mg/dl, kreatinin 1,2 mg/dl, dan pH arteri 7,55. Natrium urin sebesar 42 mEq/l, kalium 12 mEq/l,dan klorida 68 mEq/l. Fraksi ekskresi klorida sebesar 0.08%.Apakah diagnosis yang paling mungkin?A. HiperaldosteronismeB. Sindrom LiddleC. MuntahD. Sindrom BartterJawaban yang benar adalah C. Riwayat penyakit pasien menunjukkan adanya muntah biasa, namun darikadar klorida urin yang tinggi menunjukkan kemungkinan penggunaan diuretik, sindrom Bartter, atauhiperaldosteronisme. Bagaimanapun juga, penting untuk diingat bahwa kadar klorida urin ditentukan

oleh volume urin, selain juga reabsorpsi klorida tubular. Sehingga pasien hipovolemik dapat memiliki

jumlah klorida urin yang rendah, namun menunjukkan kadar klorida urin yang relatif tinggi akibatmeningkatnya daya ikat molekul air. Pengukuran fraksi ekskresi klorida yang menyingkirkanfaktor/kontribusi air dapat membedakan metabolik alkalosis dengan klorida urin yang rendah (ECFkontraksi volume) dari ekskresi klorida urin yang tinggi (pada kelainan adrenal). Pada pasien ini, fraksiekskresi klorida sangat rendah yaitu 0,08%, konsisten dengan adanya muntah dan kontraksi volum yangmendasari.KASUS 18Anak perempuan 14 tahun datang dengan hiponatremia, amenore primer, dan anoreksia. Pasien tidakmengkonsumsi obat‐obatan. Pemerksaan fisik menemukan bahwa tekanan darah pasien normal dantidak ada temuan fisik yang mengarah pada gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/CHF) ataupenyakit hati. Abdomen lunak dan tidak nyeri tanpa adanya massa atau organomegali. Daa laboratoriummenunjukkan Na+ serum 127, K+ 4.1, Cl− 93, HCO3− 25 (semua dalam mEq/L), BUN 6mg/dl, kreatinin0.6mg/dl, glukosa 103mg/dl, osmolaltias urine 684mOsm/kg, Na+ urin 99 mEq/l, K+ urin 65mEq/l, dankreatinin urin 105mg/dl. Hormon yang menstimulasi tiroid (Thyroid Stimulating Hormone/TSH),trigliserida, dan kadar protein serum dalam batas normal. Pencitraan tomografi (computed tomographic(CT) scan) kepala dan dada normal.Manakah dari tes berikut yang paling mungkin dapat mengungkapkan penyebab hiponatremia yangdiderita pasien kasus ini?A. Pencitraan tomografi (CT scan) abdomenB. Osmolalitas plasmaC. Kadar Luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dalam plasmaD. Kadar aldosterone dalam plasmaJawaban yang tepat adalah D. Pasien menderita hiponatremia. Hampir semua penyebab hiponatremianon hipotonik (pseudohiponatremia) disingkirkan oleh kondisi kasus ini dan hasil laboratorium. Pasientidak tampak kekurangan cairan ataupun mengalami edema, dan memiliki urin yang pekat dengan kadarnatrium urin yang tinggi. Temuan‐temuan ini konsisten dengan diagnosis SIADH. Penyebabnya harusdicari. Hasil pemeriksaan pencitraan tomografi dada menyingkirkan kemungkinan adanya hal patologispada paru, bronkoskopi juga demikian. Begitu pula dengan pencitraan tomografi (CT scan) abdomen, kecil kemungkinannya dapat membantu, karena SIADH jarang disebabkan oleh penyakit selain paru dansusunan saraf pusat (SSP). Pemeriksaan osmolalitas plasma juga kecil kemungkinan dapat membantu.Karena data sebelumnya telah menyingkirkan hiponatremia non hipotonik, diagnosis hipopituitarimeakibat defisiensi kortisol dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis karena dapat muncul denganmanifestasi klinik SIADH. Diagnosis hipopituitarisme mungkin sulit dilakukan. Kadar gonadotropin yangrendah mungkin dapat membantu dalam penegakan diagnosis karena kadar hormon ini biasanyameingkat pada amenore primer pada kondisi aksis hypothalamus‐pituitari yang utuh. Berlawanan

dengan penyakit Addison (yang terjadi dengan manifestasi klinis hipovolemia dan hiperkalemia), pada

kondisi hipopituitarisme kadar aldosteron ditemukan normal.

Page 18: diare syok bidai

KASUS 19Dua belas jam setelah terapi dimulai, pasien pada kasus 18 menjadi koma. Tekanan darah 90/50 mmHg,kadar natrium serum 151 mEq/l, gula darah 200 mg/dl, dan kalium serum 2,5mEq/l.Manakah dari berikut ini yang dapat memperbaiki status kesadaran pasien ini?A. Dekstrosa 5% dalam air (D5W) sebanyak 2 literB. NaCL 3% 200 mlC. KCl 80mEqD. 1 ampul dekstrosa 50%E. 2 liter larutan NaCl 0,9%Jawaban yang tepat adalah B. Pasien menunjukkan gejala klinis peningkatan tekanan intrakranialselama pemberian terapi untuk ketoasidosis. Tekanan plasma (plasma tonicity) [2 (natrium plasmamEq/l) + (glukosa plasma mg/dl:18)+ BUN mg/dl: 2,8] telah turun dari 260mOsm/l menjadi 310mOsm/l.Pemberikan larutan salin (NaCl) hipertonik telah dilaporkan efektif untuk kondisi ini.

KASUS 42 Pasien laki‐laki berusia 18 tahun mengalami poliuria setelah dilakukan reseksi pada kraniofaringioma rekuren. Tumor otak yang dialaminya pertama kali ditemukan saat pasien berusia 10 tahun. Reseksi operasi saat itu diikuti dengan terjadinya panhipopituitarisme dan diabetes insipidus yang memerlukan terapi sulih hormon. Saat berusia 14 tahun, tumor rekuren diterapi dengan radiasi dan pemasangan pintas ventrikuloperitoneal. Pertumbuhan tumor menyebabkan dilakukannya operasi lagi pada enam hari yang lalu. Prosedur berjalan dengan mulus dan proses penyembuhannya tidak mengalami penyulit hingga satu hari yang lalu ketika pasien mengalami poliuria disertai nyeri kepala dan letargi yang semakin bertambah. Pasien baru saja mengalami kejang tonik‐klonik umum. Pengobatannya meliputi sintiroid (natrium levo‐tiroksin), carafate (sukralfat), hidrokortison, dan desmopressin asetat. Pemeriksaan menunjukkan obesitas, tidak ada demam, takikardi (denyut jantung 102/menit) dan hipotensi relatif (104/56 mmHg). Pemeriksaan toraks bersih dan pemeriksaan jantung normal. Pasien tampak mendapatkan perfusi perifer yang adekuat. Urinalisis menunjukkan berat jenis urin 1,012, pH 6, dipstick negatif dan pemeriksaan mikroskopi yang tidak bermakna. Natrium serum 123 mEq/l, kalium 3,4 mEq/l, klorida 92 mEq/l, bikarbonat 25 mEq/l, BUN 17 mg/dl, kreatinin 0,6 mg/dl, glukosa 118 mg/dl, asam urat 5,2mg/dl, dan osmolalitas 259 mOsm/kg. Natrium urin sebesar 224 mEq/l, kalium 22 mEq/l, klorida 261 mEq/l, kreatinin 15 mg/dl, dan osmolalitas 509 mOsm/kg. Ekskresi natrium fraksi sebesar 21%. Keluaran urin selama tiga hari terakhir rata‐rata 290 ml/jam, melebihi asupan cairan.Manakah dari pilihan berikut yang merupakan penyebab yang paling mungkin dari hiponatremia pasien ini?A. SIADHB. Diabetes insipidusC. HipoaldosteronismeD. Cerebral salt wasting syndromeE. Nefritis interstitial

Jawaban yang tepat adalah D. Pasien ini tiba‐tiba mengalami poliuria, hipovolemia, dan hiponatremia

simtomatik lima hari setelah operasi intrakranial. Diagnosis diferensial dari poliuria pasien ini dapat dipersempit dengan memeriksa osmolalitas urin. Osmolalitas kurang dari 100 mOsm/kg mengindikasikan defisiensi atau resistensi terhadap ADH, sementara hiperosmolar urin mengindikasikan diuresis solut. Osmolalitas urin pasien ini melebihi 500 mOsm/kg, berarti desmopressin cukup efektif untuk menghasilkan absorbsi air bebas dengan laju yang tinggi (laju alir urin yang tinggi setelah bedah) yang tanpa diragukan lagi berperan pada terjadinya hiponatremia. Diabetes insipidus bukan merupakan faktor utama dekompensasi pada pasien ini.

Etiologi diuresis solute dapat ditentukan dari pengukuran kadar elektrolit urin. Jumlah kadar natrium plus klorida mendekati osmolalitas urinnya. Berarti, pasien mengalami diuresis salin, bersamaan dengan keadaan hipovolemia dan hiponatremia, yang mencerminkan pembuangan garam oleh ginjal yang tidak sesuai. Penyebab pembuangan garam meliputi penyakit ginjal yang mendasari, obat‐obatan, hipoaldosteronisme, cerebral salt wasting. Riwayat penyakit pasien ini tidak memberikan bukti adanya kehilangan garam akibat nefritis interstitial atau uropati obstruktif. Pasien tidak menerima pengobatan yang mempengaruhi sekresi natrium. Sekresi mineralokortikoid secara umum normal pada pasien dengan hipopituitarisme, dan kadar kalium pasien yang rendah tidak sesuai dengan hipoaldosteronisme. Terjadinya natriuresis berlebih dan hiponatremia segera setelah operasi otak sesuai dengan sindrom cerebral salt wasting. Kelainan ini dapat dibedakan dengan SIADH dengan melihat adanya balans air dan natrium yang negatif bermakna, ekskresi air

Page 19: diare syok bidai

dan natrium dengan laju yang lebih tinggi, dan normalnya kadar asam urat serum. Terapi yang diberikan terdiri dari penggantian salin intensif, dan dapat ditambah pemberian dosis farmakologis mineralokortikoid.

Lab/SMF Anestesiologi FKUA/RSUP Dr. M. Djamil, Padang mengklasifikasikan penyebab syoksebagai berikut :1. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantung sendiri) ; Penyakit jantung iskemik (IHD), Obat-obatan yang mendepresi jantung, Gangguan irama jantung

2. Syok hipovolemik ; Kehilangan darah , misalnya pada perdarahan Kehilangan plasma ,

misalnya pada luka bakar, Deidrasi , misalnya puasa terlalu lama, diare, muntah-muntah3. Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat dari luar); Tamponade jantung, Pneumotoraks, Emboli paru

4. Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer) ; Syok neurogenik, Cedera medulla spinalis, Syok anafilaktik, Obat-obatan, Syok sepsis Menurut Tjokronegoro, A., dkk syok dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori etiologi yakni ; syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik syok neurogenik dan syok lainnya (reaksi anafilaktik, ipoglikemia, kelebihan dosis obat, emboli paru, tamponade jantung, dll). National Heart Lung and Blood Intitute of Diseases and Conditions Index U.S. Department ofHealth and Human Services membagi syok berdasarkan etiologinya menjadi syok hipovolemik dan syok vasodilatasi.

Syok vasodilatasi ditandai dengan terjadinya dilatasi pembuluh darah sehingga mengakibatkan turunnya tekanan

darah dan sebagai hasil akhir, darah tidak dapat mencapai organ (targetorgan). Infeksi bakteri dalam sirkulasi darah, reaksi alergi yang luas atau kerusakan system saraf dapat mengakibatkan terjadinya syok vasodilatasi. Menurut American College of Surgeons Committee on Trauma, diferensiasi klinis berdasarkan etiologinya, syok terbagi atas syok hemoragik dan non-hemoragik. Yang termasuk dalam syok non-hemoragik antara lain syok kardiogenik, tension pneumotoraks, syok neurogenik dan syok septik.

Gejala dan Tanda1. Sistem kardiovaskuler: Gangguan sirkulasi perifer (vasokonstriksi perifer) berupa kulit pucat, ekstremitas teraba dingin Nadi cepat dan halus (takikardi) pada Bayi > 160 x/menit, Anak usia pra sekolah > 140 x/menit, Anak usia sekolah - pubertas > 120 x/menit, Dewasa > 100 x/menit. Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan ⅓ dari volume sirkulasi. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik, CVP (Central Venous Return) rendah2. Sistem Respirasi :Pernafasan cepat dan dangkal

3. Sistem Saraf Pusat : Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai

menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan.4. Sistem Saluran Pencernaan : Bisa terjadi mual dan muntah5. Sistem Saluran Kencing : Produksi urin berkurang. Normalnya produksi urin pada : Bayi 2 ml/kg/jam, Anak-anak 1 ml/kg/jam, Dewasa 0,5 ml/kg/jam ‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien trauma keadaan ini paling sering

disebabkan oleh hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis : Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. (lihat Appendix-3)Jenis-jenis syok :Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter

Page 20: diare syok bidai

Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain akibat :Kontusioo miokardTamponade jantungPneumotoraks tensionLuka tembus jantungInfark miokardPenilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta takhikardiaa atau vasokonstriksi.Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar.Hipovolemia adalah keadaan darurat mengancam jiwa Yang harus dikenali dan diatasi secara agresifKarena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan prioritas1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.3. Hindari cairan yang mengandung glukose.4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.UrineProduksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika

pasien tidak sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine.

Akibat dari sindroma kompartemen sering diabaikan:Kerusakan jaringan akibat hipoksemia: Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera remuk (crushed), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan sistolik sekitar 80 mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada tekanan darah lebih tinggi.

Kerusakan akibat reperfusi adalah lebih buruk : Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang ekstensif. Pada kasus-kasusekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas dan tungkai bagian bawah. Jika sumber perdarahan dapat dikuasai, kami menganjurkan fasciotomi untuk kompartemen lengan atas dan tungkai bawah dikerjakan di lokasi kejadian jika waktu untuk evakuasi mencapai 4 jam atau lebih. Fasciotomi harus dapat dikerjakan oleh setiap dokter atau perawat terlatih dengan anestesia ketamine.

Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak, terutama anak laki. Angka survival trauma berat sangat dipengaruhi oleh kualitas pertolongan pra rumah sakit dan kecepatan resusitasi.Penilaian awal (Initial Assessment) pada pasien trauma anak sama seperti trauma dewasa. Prioritas utama adalah : Airway, Breathing, Circulation , Disability neurologis dan Exposure (pemeriksaan lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki). Selama pemeriksaan harus diwaspadai bahaya hipotermi.Masalah khusus pada resusitasi dan intubasi anak :Ukuran kepala, lubang hidung dan lidah yang relatif besar.Bayi kecil cenderung bernafas melalui hidung ( nose breather)Sudut rahang bawah lebih besar, letak larynx lebih tinggi serta epiglottis yang lebihbesar dan berbentuk U.Cricoid adalah bagian tersempit dari larynx yang menentukan ukuran ETT. Pada orang dewasa, bagian tersempit adalah pita suara.Panjang trakea bayi aterm adalah 4 cm dan diameter ETT yang sesuai adalah 2,5 – 3 mm (dewasa sekitar 12 cm).Distensi lambung sering terjadi setelah resusitasi dan perlu dekompresi dengan pemasangan NGT (Naso-Gastric Tube).Pada anak usia kurang dari 10 tahun, jangan memakai ETT dengan cuff (balon) untuk menghindari pembengkakan subglottis dan ulserasi. Pada bayi dan anak, intubasi oral lebih mudah dibandingkan intubasi nasal .

Page 21: diare syok bidai

Syok pada anak : Perabaan denyut nadi anak mudah dilakukan pada daerah pelipatan paha (groin) utk arteria

femoralis dan pada daerah fossa antecubiti untuk arteria brachialis. Jika denyut nadi tidak teraba,resusitasi harus segera dimulai.Tanda-tanda syok pada anak :Takhikardiaa.Denyut nadi perifer lemah atau tidak teraba.Pengisian kapiler (capillary refill ) > 2 detikTakhipnea.GelisahKesadaran menurunProduksi urine berkurang.Hipotensi sering merupakan tanda klinis yang terlambat, ketika syok sudah berat.Akses vaskuler dilakukan dengan kateter I.V. ukuran besar di dua vena yang terpisah (v. saphena longus dan v. femoralis). Gunakan vena perifer lebih dahulu, hindari vena sentralAkses intraoseus adalah aman dan cukup efektif. Bila tidak tersedia jarum khusus intraoseus, dapat digunakan jarum spinal ukuran besar. Tempat pemasangan adalah daerah antero medial tibia dibawah tuberositas tibia. Hindari menusuk daerah epiphyseal growth plate.Pemberian cairan ditujukan agar diuresis mencapai 1-2 ml/kg BB pada bayi dan 0,5 – 1 ml/kg BB pada anak/ remaja. Dimulai dengan bolus NaCl 0,9% 20 ml/kg BB..Bila tidak ada respons, berikan bolus kedua dengan jumlah yang sama. Bila tetap tidak ada respons, berikan darah dari golongan yang sama atau PRC golongan O sebanyak 10 ml/kg BB.(sebaiknya Rh (-))Hipothermi adalah masalah yang besar bagi anak. Kehilangan panas melalui daerah kepala cukup besar jumlahnya. Luas permukaan tubuh yang relatif lebih besar, meningkatkan risiko hipotermi. Segera setelah memeriksa sekujur tubuh pasien pasangkan selimut kembali. Infusi cairan harus dihangatkan. Materi lengkap di 16. Ike-The Role of Crystalloid, Colloid and Blood