Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar …repository.uinjambi.ac.id/855/1/UT140208...
Transcript of Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar …repository.uinjambi.ac.id/855/1/UT140208...
i
“Konsep Jihad Dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer
(Studi Komparatif Pemikiran Ibnu Katsir dan Buya Hamka)”
(Kajian Tafsir Komparatif)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Starata Satu (S1) Dalam Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh:
Ridwan
UT. 140208
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITA ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan jiwa dan raga
mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang sabar”. (QS. Al-
Hujurat: 15).1
1 Agus salim, “Jihad dalam Persepektif Al-Quran”, Jurnal Ushuluddin, XX, No. 2, (2013),
145.
vi
PERSEMBAHAN
حيم بسم ٱلله ه ٱلره حم ٱلره
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, kemudahan dan
kepuasan. Sholawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada insan
terbaik, Nabi Muhammad SAW.
Malu rasanya diri ini mengatakan aku lelah, dan tak pantas pula diri ini
mengatakan bahwa Skripsi ini telah mampu memuaskan kedua orangtuaku.
Meskipun begitu, harapan besar penulis semoga karya ini bisa memberikan
secercah senyum di bibir mereka. Maka kupersembahkan karya ini untuk kedua
orangtuaku tercinta.
Kupersembahkan juga karyaku ini untuk keluar-keluargaku, sahabat-sahabatku,
teman-temanku, rekan-rekanku, yang tak pernah putus memberikan semangat
selama proses penulisan karya ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian karya tulis ini. Semoga
kebaikan yang diberikan akan diberi balasan kebaikan yang berlipat ganda oleh
Allah SWT. Amiin
Your Dream is Your Choice, don‟t lazy.
vii
ABSTRAK
Skripsi ini yang berjudul “Konsep Jihad Dalam Perspektif Ulama Klasik
dan Kontemporer (Studi Komparatif Pemikiran Ibnu Katsir dan Buya
Hamka)” penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui konsep jihad yang
terkandung dalam dalam Al-Qur‟an dan bagaimana jihad menurut para ulama
Islam? Bagaimana jihad menurut Ibnu Katsir dan Buya Hamka?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kulitatif.
Dimana penulis harus berangkat dari suatu teori atau metode untuk menganalisis
permasalahan yang akan penulis angkat. Adapun teori atau metode yang penulis
gunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah adalah menngunakan
metode komparatif.
Konsep jihad Ibnu Katsir lebih cocok untuk diterapkan pada terdahulu
karena konsep beliau lebih megarah kepada peperangan fisik hal tersebut sesuai
dengan keadaan pada masa tersebut. karena pada masa itu islam benar-benar kuat
dalam menjalankan syariat islam dan sunnah rasul, sehingga aturan yang berlaku
benar-benar diterapkan dengan konsep islam secara murni.
Sedangkan dalam perspektif Buya hamka cendrung berpandangan lebih
inklusif (terbuka) cendrung kearah jalan tengah dalam memknai jihad itu sendiri
dan memiliki penafsiran yang berbeda-beda dalam mentafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan jihad. Jihad menurutnya adalah mencurahkan segala
kemampuan seperti kerja keras, bersungguh-sungguh atau berjuang dan amal
untuk membela agama agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi. Dimulai
jihad melawan setan, lalu jihad melawan kezaliman.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam hasil penelitian ini adalah
penggambaran umum mengenai tentang jihad, baik dalam sisi sejarah dan
pemaknaan kata jihad, lalu mengetahui ayat-ayat tentang jihad dalam Al-Qur‟an,
dan mengetahui bentuk jihad dalam Al-Qur‟an serta tujuan dari jihad agar
masyarakat tidak salah memahami tentang makna jihad yang sesunguhnya dan
juga bisa membedakan mana perjuangan yang berbentuk jihad dan mana jihad
yang berbentuk teroris.
Kata kunci: Jihad.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tiada henti-hentinya kehadirat Allah SWT.
Yang telah menganugerahkan penulis dengan sedikit ilmu pengetahuan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam, yakni
Nabi besar Muhammad SAW. Seorang Nabi yang membawa umatnya dari
kejahilan menuju lautan ilmu agama dan menegakkan kalimat tauhid Laa ilaa ha
illallah Muhammada rasulullah.
Adapun maksud dan tujuan penulis ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana Stara Satu ( S I) dalam Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir pada Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. tak luput
pula rasa terima kasih kepada yang terhormat.
1. Bapak Drs. H. Zikhwan, M.Ag Sebagai pembimbing I dan Bapak H.
Abdullah Firdaus, Lc, MA., Ph.d sebagai pembimbing II yang telah sabar
mebantu dalam menyelesaikan Skripsi ini.
2. Ibu Ermawati S.Ag, MA selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. H. Abdul Ghaffar, M.Ag Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama Universitas Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan, M.Ag Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc, M.A, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang
Adminisrasi Umum, Perencanaan dan keuangan. Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Bapak Dr. Firhat Abas, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan dan kerja sama Luar Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
8. Bapak Frof. H. Su‟aidi Asy‟ari M.A Ph.D selaku Wakil Rektor Bidang
Akademik dan pengembangan Lembaga. Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifudin Jambi.
ix
9. Bapak Dr. Hidayat, M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Administrasi
Umum, perencanaan dan keuangan. Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
10. Ibu Dr. Hj. Fadhilah M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan
dan Kerja sama Luar. Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
11. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
12. Bapak Ibu karyawan dan karyawati di lingkungan pakultas Ushuluddin
dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
13. Bapak Pimpinan Perpustaakaan umum dan Fakultas, beserta staf-stafnaya
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi..
14. Teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Al-Qur‟an da Tafsir yang telah
memberi Motivasi Kepada Penulis.
15. Kepada kedua orang tua Tercinta yang selalu melimpahkan kasih dan
sayang, memberi dukungan, baik moral maupun Do‟a yang tak henti-
hentinya sehingga penulis mampu menyelesaikan jenjang pendidikan di
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
16. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelasaikan skripsi ini,
yang tidak bisa penulis sebut namanya satu persatu.
Jambi, Oktober 2018
Penulis,
Ridwan
UT.140208
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
NOTA DINAS ........................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ......................... iii
PENGESAHAN ....................................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................... v
PERSEMBAHAN .................................................................................... vi
ABSTRAK .............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................ 9
C. Batasan Masalah ......................................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................. 12
E. Tinjauan Kepustakaan ................................................ 13
F. Metodologi Penelitian ................................................ 13
G. Sistematika Penulisan ................................................. 15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JIHAD
A. Pengertian Jihad ......................................................... 17
B. Lintas Sejarah Tentang Jihad ..................................... 19
C. Jihad Menurut Pandangan Ulama dan Para Tokoh .... 27
D. Macam-Macam Jihad ................................................. 32
E. Tujuan Jihad ................................................................. 34
F. Manfaat Jihad ............................................................... 36
BAB III BIOGRAFI IBNU KATSIR DAN BUYA HAMKA
A. Biografi Ibnu Katsir ..................................................... 40
1. Karya-karya Ibnu Katsir ......................................... 42
2. Lingkungan Sosial dan Politik Ibnu Katsir ............. 42
3. Metode Penafsiran Ibnu Katsir .............................. 44
B. Biografi Buya Hamka .................................................. 45
1. Karya-Karya Buya Hamka ..................................... 48
2. Lingkungan Sosial dan Politik Buya Hamka .......... 49
3. Metode Penafsiran Buya Hamka ........................... 51
xi
BAB IV PENELITIAN DAN ANALISA JIHAD MENURUT
PEMIKIRAN IBNU KATSIR DAN BUYA HAMKA DALAM
MENAFSIRKAN AYAT-AYAT TENTANG JIHAD A. Konsep Jihad Menurut Ibnu Katsir dan Buya Hamka 53
B. Ayat Al-Qur‟an Yang Sama Dalam Penfasiran Keduanya
Mengenai Jihad .......................................................... 58
C. Ayat Al-Qur‟an Yang Berbeda Dalam Penafsiran Keduanya
Mengenai Jihad .......................................................... 62
D. Kontektualitas Jihad Di Masa Sekarang ...................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................ 72
B. Rekomendasi .............................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 74
CURICULUM VITAE
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط ʼ ا
ẓ ظ B ة
„ ع T ث
Gh غ Ts ث
F ف J ج
Q ق ḥ ح
K ك Kh خ
L ل D د
M م Dz ذ
N ن R ر
H ه Z ز
W و S ش
, ء Sy ش
Y ي ṣ ص
ḍ ض
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
iˉ اى Ā ب a ا
Aw ا و Á ا ى u ا
Ay ا ى Ū ا و i ا
C. Tāʼ Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam:
1. Tāʼ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka transliterasinya
adalah /h/.
Contoh:
Arab Indonesia
Ṣalāh صلاة
Mirʼāh مراة
xiii
2. Tāʼ Marbūṭah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan
dammah, maka transliterasinya adalah /t/.
Contoh:
Arab Indonesia
Wizārat al-Tarbiyah وزراة التبيت
Mir‟āt al-zaman مراة السمه
3. Tāʼ Marbūṭah yang berharkat tanwin maka translitnya adalah /tan/tin/tun.
Contoh:
Arab Indonesia
Tan فجئت
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah jihad
Allah SWT memilih beberapa nama yang cocok untuk wahyu yang
diturunkannya. Nama-nama tersebut sangatlah berbeda dengan bahasa Arab yang
biasa dipakai oleh masyarakat. Di antara salah satu nana-nama tersebut ialah Al-
Quran, nama yang selalu dikenal oleh orang banyak dan juga sebuah nama yang
paling masyhur. Allah menamakan wahyunya dengan nama Al-Qur‟an, karena
Al-Quran mengandung pengertian bahwa, wahyu tersebut tersimpan didalam dada
seseorang ketika dia membacanya.2
Al-Qur‟an dikenal sebagai sumber hukum Islam yang pertama yang patut
dipahami dengan baik dan jelas yang mempunyai makna yang begitu besar di
dalamnya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh pakar ushul dan ahli bahasa
yang pernah penulis baca ialah, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalaui malaikatnya, yang mengandung banyak Mu‟jizat
didalamnya dan mempunyai nilai pahala jika membacanya.
Al-Qur‟an juga sebagai kitab yang suci dan mulia yang terdapat banyak
mukjizat di dalamnya dikenal paling bagus dan argumentasi di dalamnya paling
kuat dan kekal sepanjang zaman yang patut dijadikan hujjah untuk seluruh
manusia.3
Selain sebagai sumber hukum Islam Al-Qur‟an juga sebagai petunjuk bagi
seluruh umat manusia yaitu sebagai petunjuk yang benar yang membawa manusia
ke jalan yang lebih baik selagi mereka mau berpegang teguh kepadanya.4
Para ulama berbeda pendapat dalam menerangkan makna dari kata Al-
Qur‟an. Ada sebagian mereka berpendapat seperti Al-Zujaj beliau berpendapat,
kata Al-Quran diambil dari kata dasar yaitu ”al-qara” yang diturunkan melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Karena kitab itu menghimpun
2Muhammad Jamil, Ulum Quran (Jakarta: Restu Ilahi, 2005),1.
3Syeihk Muhammad bin Muhammad Abu Syubah, Studi Al-Qur‟an Al-Karim (Bandung: CV
Putaka Setia, 2002), 14. 4Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), 10.
1
2
seluruh surat, ayat, kisah-kisah, perintah, dan larangan yang ditetapkan oleh Allah
SWT. Sebagian lagi ada yang berpendapat seperti Al-Lihyani, kata Al-Qur‟an
merupakan dari kata jadian kata dasar “qara‟a” (membaca). Kata jadian ini
kemudian dijadikan sebagai nama firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.5
Al-Asy‟ari dan para pengikutnya mengatakan lafaz Al-Qur‟an adalah
kalimat yang musytaq (pecahan) dari kata akar qorn. Karena di dalamnya banyak
mengemukakan contoh dan kalimat qarnusyi syai bisysyai (menggabungkan
sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn dalam hal itu bermakna gabungan atau
kaitan, karena surah-surah dan ayat-ayatnya saling bergabung dan saling
berkaitan.6
Al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad selama 22 tahun 2 bulan
22 hari tepatnya pada malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi
Muhammad, sampai pada tanggal 9 Zulhijjah Haji Wada‟. Al-Quran diturunkan
secara berangsur-angsur sekaligus untuk menjawab permasalahan yang dihadapi
Rasulullah SAW saat itu.7
Dengan adanya Al-Qur‟an manusia bisa merujuk suatu hukum, yang
mana sebelumya mereka belum mengenal sama sekali tentang hukum dalam
Islam. Tetapi dengan adanya Al-Quran yang diturunkan oleh Allah melalui
malaikat nya mereka bisa mengetahuinya. Selain itu Al-Quran juga berfungsi
memberi petunjuk kepada semua manusia selagi manusia tersebut berpegang
kepada Al-Quran dan mengamalkannya. Sebagaimana telah dijelaskan didalam
oleh Allah dalam firmannya yang terdapat pada surah Al-Baqoroh ayat 2 yang
berbunyi:
5Rosihon Anwar,Ulum Al-Quran( Bandung: Cv Pustaka Setia, 2013), 31-32.
6Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2008), 5.
7Ibid.,34.
3
“Kitab Al-Qur‟an ini tidak ada keraguan padanya sebagai bagi mereka yang
bertaqwa”. (QS. Al-Baqoroh:2)8
Di dalam ayat yang lain dijelaskan.
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Baqarah: 185).9
Pengertian ayat di atas dapatlah difahami bahwa Al-Qur‟an sebagai kitab
yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya dan sekaligus memberi petunjuk bagi
manusia selagi mereka mengedepan Al-Qur‟an dalam kehidupannya. Karena Al-
Qur‟an sebuah kitab yang tidak pernah pudar kebenarannya hingga akhir zaman.
Al-Qur‟an juga banyak menerangkan berbagai aspek-aspek persoalan
tentang kehidupan, salah satu diantaranya ialah persoalan tentang jihad yang
8
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Special for woman, (Bandung:
Sygma), 2. 9Ibid., 28.
4
sekaligus menjadi penelitian penulis sendiri, persoalan jihad ini bukan hanya
terdapat dalam Al-Qur‟an saja, bahkan didunia maya sekarang pun persoalan
tentang jihad sedang hangatnya dibicarakan, karena jihad ini merupakan satu tema
besar yang ada dalam Al-Qur‟an. Jihad menjadi tema yang sangat unik, menarik
untuk diteliti dan dikaji, selain itu juga jihad sebagai salah satu tema selalu dalam
perdebatan yang terus menerus yang tidak pernah usai sehinggah banyak
menghasilkan banyak karya ilmiah, serta banyak mengeluarkan kajian-kajian yang
mendalam. Hal ini membuktikan bahwa jihad tema yang memiliki daya tarik yang
sangat tinggi dan tidak pernah kering untuk dikaji.
Dikarenakan jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut
penyerangan dan kekerasan. Oleh karenanya, makna jihad mestinya selalu
direkonstruksi sebagai sebuah ajaran yang substansial. Misalnya, membebaskan
makna jihad dari tirani kognitif-epistemologis yang sempit. Jihad harus diletakkan
sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam.10
Istilah jihad dalam islam, banyak dijelaskan didalam Al-Qur‟an salah satu
firmannya yang berbunyi ialah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan jiwa dan raga
mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang sabar”. (QS. Al-
Hujurat: 15).11
Jihad adalah suatu aturan yang harus dilakukan oleh umat Islam, hal ini
ditegaskan dalam Al-Qur`an yang menyebut jihad sebanyak empat puluh satu kali
dalam berbagai bentuk kalimat termasuk ayat yang diatas tadi, dengan maksud
bahwa jihad adalah konsep dasar bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan.
Jihad sering disalahartikan dan dikonotasikan kepada hal yang buruk, yang
10
Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-
Qur‟an Dan Hadis”, Jurnal Religia, 13, No. 1, April (2010), 81-102. 11
Agus salim, “Jihad dalam Persepektif Al-Quran”,Jurnal Ushuluddin, XX, No. 2, (2013),
145.
5
berakibat pada anggapan buruk masyarakat yang awam terhadap kalimat jihad dan
memiliki kesan kasar dan tidak berperi kemanusiaan, mendudukkan makna dan
penempatan jihad dalam Islam sendiri menjadi hal yang penting demi pemulihan
nilai-nilai islami yang terkandung di dalam jihad, dalam pandangan sebagian
kaum muslim juga mengartikan jihad dengan perjuangan senjata yang
beranggapan hidup mulya atau mati syahid .12
Dalam sejarah, pada masa klasik hingga abad pertengahan, pengaktifan
jihad sebagai ajaran tentang “perang” semata-mata merupakan konsekuensi dari
dinamika konteks sosial-politik yang agresif, saat masyarakat Islam yang baru
terbentuk berupaya mempertahankan eksistensinya dari musuh-musuhnya. Namun
dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada abad pertengahan hingga saat
ini, ajaran jihad berubah menjadi alat ganda, legitimasi teologis dan ideologis bagi
gerakan perlawanan kelompok Islam militan terhadap apa yang mereka
identifikasikan sebagai musuh-musuh Islam.
Dengan demikian jihad menjadi sesuatu yang problematik dalam konteks
ini, yang mana jihad memang seringkali dipergunakan untuk tujuan-tujuan
kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Padahal
sumber ajaran tentang jihad itu sendiri adalah ajaran agama Islam yang secara
tegas mempromosikan perdamaian, toleransi, dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia.13
Agama Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan
sikap saling menghargai tanpa memandang perbedaan suku dan agama, bahkan
melindungi agama-agama lain yang tinggal di dalam masyarakat Islam selama
menjaga keamanan masyarakat dan tidak mengganggu umat Islam.14
Islam adalah agama penebar kedamaian, keadilan dan rahmat bagi semesta
alam. Agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini didakwahkan melalui cara-
cara yang santun, damai dan penuh hikmah. Sayangnya, belakangan ini ada
12
Saidurrahman, “Fiqh Jihad Dan Terorisme Perspektif Tokoh Ormas Islam Sumatera
Utara”, Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum, l. 46 No. I, (2012), 56. 13
Syamsul Kurniawan, “Pendidikan Islam Dan Jihad”, XXVIII No. 3(2013),424. 14
Firman, “Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Al Qur‟an (Kajian terhadap Tafsir
Al-Azhar Karya Buya Hamka), Jurnal Syamil, 4 No.2, (2016), 34.
6
sebagian umat Islam sendiri telah mencoreng wajah Islam sehingga ia diklaim
oleh masyarakat dunia internasional sebagai agama yang keras, anarkis dan
bahkan terorisme.15
Hal ini disebabkan karena pada akhir-akhir ini kata jihad banyak
dibicarakan masyarakat, baik kalangan awam maupun intelektual. Kata jihad ini
menyeruak ke permukaan dengan terjadinya peristiwa pengeboman yang
dilakukan oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan jihad. Bagi kelompok
ini jihad diartikan perang melawan musuh Islam, sehingga tindakan pengeboman
terhadap segala sesuatu yang dianggap musuh Islam, merupakan perbuatan jihad.
Akibatnya kata jihad menjadi sesuatu yang mengerikan, dan mengakibatkan Islam
menjadi tertuduh. Islam dalam kacamata orang di luar Islam dan Barat diberi label
agama teroris, dan tindakan yang dilakukan disebut terorisme.
Dapat kita lihat, beberapa dekade belakangan ini berita tentang tindak
kekerasan (terorisme) yang menempati berita teratas yang merenggut nyali
segenap umat Islam. Betapa tidak, tindakan teror tersebut nyaris selalu dikaitkan
dengan kelompok-kelompok Islam radikal, Ada yang melakukan tindakan teror
mengatas namakan jihad tapi sebaliknya ada juga jihad yang dipandang sebelah
mata sebagai tindakan teror. Sehingga muncullah spekulasi bahwa Islam adalah
teroris.
Seruan jihad memang merupakan isu yang sangat sensitif karena sering
dikaitkan dengan terorisme. Jihad menjadi bahan perdebatan dalam media massa
dan buku-buku akademis, baik di Timur maupun di Barat. Jihad merupakan salah
satu ajaran Islam yang paling sering disalah pahami, bahkan jihad seringkali
disebut sebagai penyebab munculnya aksi kekerasan atau teror. Sebagai seorang
muslim tentunya kita sangat tidak sepakat dan menolak dengan sangat keras jika
jihad dipahami sebagai tindakan kekerasan (terorisme). Karena sangat jelas garis
pemisah antara keduanya, bagaikan kutup utara dan kutub selatan.16
15
Ainol Yaqin, “Rekontruksi Dan Reorientasi Jihad Di Era Kontemporer; Kajian Tematik
Atas Ayat-Ayat Jihad”,Okara Journal of Languages and Literature, Vol. 1, (2016),1.
16Musda Asmara, “Reinterpretasi Makna Jihad Dan Teroris”,Jurnal Hukum Islam,l, No.1,
(2016), 64.
7
Oleh karena itu Fenomena sekarang ini, ada semacam gejala untuk
mengalihkan dan mendangkalkan makna jihad dari selaras dengan prinsip-prinsip
utama Islam, menjadi pemaknaan jihad yang sebaliknya, atau pemaknaan jihad
yang cenderung mendekati faham ekstrimis yang pernah ada di dunia ini, contoh
paling kongkrit di saat sekarang adalah gejolak ISIS dan teroris yang ada
dibelahan dunia ini.
Pada hakikatnya jihad memiliki banyak arti, bukan hanya berperang
angkat senjata namun seiring waktu dan perkembangan zaman, jihad banyak
mengalami reduksi makna.17
Disatu sisi yang lain, Islam membolehkan dengan
tindak kekerasan (perang). Dengan adanya doktrin jihad yang dipahami oleh
sebagian ulama hanya sebagai tindakan mengangkat pedang terhadap musuh
Islam, dan juga adanya perintah perang.
Tetapi sisi lain, jihad sangat menekankan kepada suatu perdamaian.
Padahal perang dalam Islam hanya merupakan salah satu aspek dari jihad yang
pengertian dasarnya adalah melawan keburukan, baik yang ada dalam individu
maupun masyarakat.18
Oleh karena itu, pemaknaan jihad untuk saat ini semakin
relevan untuk dikaji ulang mengingat kondisi dan instrumen jihad selalu
mengalami perkembangan seiring perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Persoalan ini juga menjadi amat penting bagi seluruh umat Muslim
terlebih khususnya bagi non-Muslim umunya untuk memperoleh jawaban yang
lebih jelas dan bertanggung jawab secara ilmiah tentang konsep jihad. Ketika
masalah ini tidak diterangkan secara jelas, dikhawatirkan nantinya akan semakin
banyak arti kata jihad yang didasari oleh kepentingan umum semata.
Sejak terjadinya teragedi 11 september 2001 di Amerika Serikat, isu
tentang terorisme kembali menghangatkan dunia. Bahkan isu tersebut berkaitan
dengan keagamaan, muncul dengan topik utamanya meledaknya WTC dilakukan
oleh sekelopok dari umat Islam. Peristiwa tersebut membuat penduduk Islam yang
ada di Indonesia menjadi gencar, karena di Indonesia terkenal dengan umat yang
17
M.Coirun Nizar Dan Muhammad Aziz, “Kontekstualisasi Jihad Persepektif
Keindonesia”,Ulul Albab,XVI, No. (2015), 22. 18
Ma'mun Efendi Nur, “Hukum Jihad Dan Terorisme Perspektif Al-Qur‟an”,Maslahah,I,
No.I, (2010), 22.
8
mayoritas beragama Islam. Islam yang dikenal dengan umat yang damai,
sejahterah, tetapi menjadi faktor utama terjadinya peledakan bom salah satu
tempat hiburan di Bali. Infoermasi yang di dapati dari media bahwa pelakunya
adalah umat Islam yakni Amrozi dan kawan-kawan. Ironisnya mereka melakukan
perbuatan tersebut mengatasnamakan agama Islam dengan konsep jihad.19
Setelah kasus bom Bali sudah mulai pudar dari ingatan masyarakat
Indonesia, tidak lama kemudian dikejutkan kembali dengan kasus meledaknya
bom di Hotel JW Marriot Jakarta dan peledakan bom bunuh diri di Masjid Az-
Zikra, Kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat, yang dilakukan oleh seorang
yang bernama Muhammad Syarif dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan
yang mengatas namakan jihad. Padahal jika dikaji ulang tentang pemaknaan jihad
pada saat ini, konsep jihad tidak selalu mengarahkan kepada kekerasan apa lagi
sampai menumpahkan darah baik kepada diri pribadi ataupun orang lain.20
Dari beberapa kasus di atas dan beberapa kasus yang lainnya yang terjadi
sehingga nama Islam tercoreng dari mata orang non Muslim dan seakan-akan
umat Islam menjadi “terdakwa” dari kasus tersebut. Sehingga dengan lantang dan
berani mereka berkata bahwa agama Islam adalah agama yang selalu menebarkan
teror. Konsep jihad dianggap sebagai biang suburnya terorisme dalam Islam.
Inilah pemahaman-pemahaman salah yang sengaja dibentuk oleh orang-orang
kafir, agar mainstream masyarakat tertanam bahwa jihad identic dengan teroris.
Padahal jika kita mengkaji ulang dan menela‟ah kembali konsep dakwah
Allah melarang dakwah dengan kekerasan, Allah memerintahkan dakwah dengan
lemah lembut, namun ketika orang-orang kafir sudah mulai main fisik untuk
menyerang dakwah Islam, mereka sudah melakukan penganiayaan terhadap
orang-orang Islam, barulah turun ayat-ayat jihad yang memerintahkan umat Islam
untuk berperang guna mempertahankan diri dan dakwah Islam.
Oleh karena itu, penulis sangat menekankan kembali jangan sampai salah
dalam memaknai jihad dan jangan sampai dipahami dalam artian yang salah
19
Moh. Cholil, “ Relevansi pemikiran Tafsir Jihad M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al
misbah”, Jurnal Studi Keislaman, 1, No. 2, ( 2015), 540. 20
Mansur, “Perspektif Ham Dalam Fiqh Al-Jihad”, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia,
Vol. 4, No. 1, November (2014), 185.
9
apalagi bertentangan dengan ajaran agama Islam sebagai agama yang penuh
kedamaian.21
Dari latar belakang dan permasalahan di atas inilah timbul pertanyaan
yang pantas jadi kajian selanjutnya yaitu: “bagaimanakah konsep jihad yang
sebenarnya yang patut difahami bagi manusia yang menjadi tuntunan Allah
termaktub dalam Al-Qur‟an? Pertanyaan di atas mendorong penulis untuk
mengkaji lebih dalam lagi terhadap makna jihad yang sebenarnya tenang konsep
jihad yang dimaksudkan Al-Qur‟an) dengan alat pencarian berpedomankan
pendapat pakar khususnya (Dalam hal ini penulis tertarik memilih) pendapat Buya
Hamka dan Ibnu Katsir yang sudah termasyhur. Dari pendapat kedua fakar ini
penulis harapkan konsep jihad versi Al-Qur‟an yang sebenarnya bisa terwujud
sehingga tidak terjadi lagi di dalam masyarakat kesimpang siuran memaknai jihad
yang sebenarnya dari berbagai peristiwa berapa issue di dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang (masalah) jihad dalam bentuk pertanyaan di
atas maka sebelum menentukan konsep jihad perlu direview berbagai peristiwa
dalam praktek jihad yang berlaku di dalam masyarakat dan keabsahan dalam
mengambil fakar skripsi ini sebagai pembanding menemukan konsep jihad yang
dimaksud. Penulis sendiri ingin mencoba menarik benang merah tentag konsep
jihad yang dimaksudkan Al-Qur‟an berpedomankan metoda kedua fakar Buya
Hamka dan Ibnu Katsir terkait praktek sehari-hari di dalam masyarakat. Hasil
analisis pebandingan kedua fakar akan penulis tarik benang merah sebagai bentuk
konsep jihad dalam Islam. Begitu pula,konsep jihad ini nanti dapat menjadi
panduan sejauh mana praktek jihad yang difahami masyarakat ketepatannya
menurut Al-Qur‟an.
Perbedaan pandangan kedua mufassir pada dasarnya dilatarbelakangi oleh
latar belakang, situasi dan kondisi antara keduanya. Ibnu katsir dilahirkan pada
tahun 705 H. Ibnu katsir dilahirkan keadaan Islam dalam masa keemasan, pada
masa ini islam benar-benar kuat dalam menjalankan syariat islam dan sunnah
21
Syamsul Kurniawan, “Pendidikan Islam Dan Jihad”, Pendidikan Islam Dan Jihad. XXVIII
No. 3 (2013), 425.
10
rasul, sehingga aturan yang berlaku benar-benar diterapkan dengan konsep islam
secara murni. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, penulis mengambil dua
konsep jihad dari perspektif Ibnu Katsir dan Buya Hamka. Kedua mufassir ini
memiliki perbedaan pandangan yang signifikan. Adapun konsep jihad menurut
Ibnu Katsir secara umum yaitu memerangi orang-orang kafir, orang-orang
munafiq dan lain-lain.
Sedangkan menurut pandangan Buya Hamka, konsep jihad berbeda dan
agak luas maknanya dibandingkan pandangan Ibnu Katsir. Jihad menurut buya
Hamka adalah kerja keras, bersungguh-sungguh atau berjuang. Agama Islam
tidak akan berdiri jika tidak ada semangat untuk kerja keras, besungguh-sungguh
dan semangat berjuang. Ketiga hal yang dijelaskan oleh buya hamka menjadi
perbedaan dengan ibnu katsir.
Pada masa inilah kajian teroritis tentang jihad mengalami perkembangan
yang sangat signifikan. Ia tidak hanya menjadi bahan diskusi para ahli hukum dan
hadith, tetapi juga para filosof dan sufi. Di antara dikursus yang berkembang
dalam pemikiran mereka antara lain adalah tentang jihad dan kewajiban imam
(pemimpin negara). Menurut mereka, Islam berkewajiban menjalankan misi
utamanya yaitu menegakkan supremasi firman Allah di atas dunia yang dibawa
dan disebarkan dengan jihad. Untuk meningkatkan kebijakannya, imam
menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat dengan mereka yang
bukan umat, baik pada masa perang maupun masa damai, memutuskan kapan
jihad dilakukan dan kapan jihad harus dihentikan. Dalam menjalankan hubungan
luar negeri, imam mendelegasikan kewenangannya kepada para komandan di
lapangan atau gubernur untuk bernegosiasi, menjalankan jihad, dan membagi
harta rampasan perang.
Sedangkan Hamka dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 M, pada
masa ini Buya Hamka tidak dilahirkan di Negara Indonesia yang tidak
menerpakan hukum islam secara keseluruhannya, Meskipun, sebagai muslim ia
menginginkan jika negara Indonesia berasaskan aturan Islam. Namun, ketika
berbenturan dengan kondisi dan masyarakat menyepakati model negara Pancasila,
ia bisa menerima kesepakatan itu sambil berupaya untuk terus
11
menyempurnakannya. Apalagi baginya, bentuk negara tidaklah ditentukan secara
rinci dalam Al-Qur‟an. Ia bersifat sosiologis sesuai kadar perkembangan
masyarakat. Yang penting negara itu memungkinkan bagi pelaksanaan syari‟at
Islam. Sambil menghargai kesepakatan-kesepakatan yang ada, ia berupaya
melakukan penyempurnaan-penyempurnaan sesuai kadar dan kemampuan yang
dimiliki.
Sedangkan jihad di zaman sekarang ini ada sebagian kelompok atau
masyarakat yang lebih mengambil pendapat dari Ibnu Katsir di bandingkan Buya
Hamka. Menurut mereka konsep Ibnu Katsir lebih tepat di gunakan atau
diterapkan untuk menegakan hukum Islam yang bedasarkan tuntunan Al-Qur‟an
dan hadis Nabi sehingga mereka berani berbuat yang lebih ektrim yang konon nya
mereka memperjuangkan agama dengan harapan mati syahid tanpa mimikirkan
dampak akibat yang dialami dia, agama dan orang lain, sehingga agama lain
menganggap agama islam identik dengan terorisme.
Oleh kerena itu, hal inilah yang menjadi persoalan yang di angkat oleh
penulis. Penulis memandag perlu konsep jihad yang sesuai untuk diterapkan di
Negara indonesia.
Penulis mengambil dua pandangan dua mufassir ini karena kedua mufassir
ini sangat termasyhur dikalangan masyarakat umum nya di Indonesia, maka dari
itu, dapat ditarik tiga rumusan masalah pokok yang akan dikembangkan penulis
sebagai isi dan rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Gambaran Umum Tentang Jihad Dalam Al-Qur‟an?
2. Bagaimana Konsep Jihad menurut Ibnu Katsir dan Buya Hamka?
3. Bagaimana Mengaktualisasikan konsep Jihad kedua mufassir di zaman
sekarang?
C. Batasan Masalah
Pembahasan tentang permasalahan jihad konsepnya sangat luas, maka
memandang perlu sebuah batasan masalah agar lebih terarah dan tidak melebar
dalam pembahasan ini. Sehubungan dengan itu, penulis hanya mengambil dan
12
membatasi pada permasalahan, bagaimana pandangan Buya Hamka dan Ibnu
Katsir menjelaskan tentang jihad.)
Data yang digunakan dalam skripsi ini di dasarkan keterkaitan pemahaman
harian yang terjadi dalam bentuk berbagai peristiwa (social event) yang kalau di
cermati selayang pandang memerlukan kecermatan sebelum menetapkan peristiwa
itu adalah peristiwa jihad atau bukan peristiwa jihad. Oleh karena itu, penentuan
syarat minimum kefahman tentang jihad itu perlu ada, agar suatu peristwa atau
kejadian dapat diberi nama jihad atau justru bertentangan dengan petunjuk Al
Qur‟an. Kalau pemisahan belum terjadi di dalam konsep jihad tersebut tidak
sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an maka hal tersebut akan meresahkan
masyarakat.
Adapun data yang dipilih adalah telaahan berbagai peristiwa yang terjadi
diberitakan dalam media massa ataupun yang diamati sendiri oleh penulis.
Metoda pengambilan data melalui media massa di dengar, dibaca atau
dilihat. Pengambilan data peristiwa itu secara random kebetulan ketika peristiwa
itu masih ada sebagai issues. Peristiwa yang diangkat datanya adalah issue
kejadian mutahir dan atau dalam kurun waktu relative mutahir sebagai stimuli
(rangsangan) issue hidup (buah mulut) di dalam masyarakat.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Dalam penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menambah wawasan pembaca dalam memahami pemaknaan
tentang Jihad menurut pandangan Buya Hamka dan Ibnu Katsir.
b. Untuk menambah wawasan pembaca dalam mengetahui hukum jihad
dalam Al-Qur‟an
c. Untuk memberikan imformasi kepada pembaca tentang ayat-ayat jihad.
2. Manfaat penelitian
a. Penilitian ini diharapkan dapat menambah wawasan sekaligus menjadi
khazanah bagi penulis dan kita semua
b. Menerangkan kepada pembaca tentang konsep jihaddalam Al-Qur‟an
13
c. Agar pembaca tidak menganggap permasalahanjihad bukan hal yang
sepele
d. Sekaligus menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS
Jambi.
E. Tinjauan Kepustakaan
Sejauh tinjauan dan penelusuran yang telah penulis lakukan, penulis belum
menemukan skripsi mengenai Konsep Jihad Dalam Al-Quran (Studi Komparasi
Pemikiran Buya Hamka dan Ibnu Katsir).
Namun penulis banyak menemukan penelitian terhadap masalah Jihad
yang hanya menjelaskan secara umum. Tidak menjelaskan secara khusus Konsep
Jihad Dalam Al-Quran (Studi Komparasi Pemikiran Buya Hamka dan Ibnu
Katsir).
Beberapa karya ilmiah yang meneliti tentang persoalan Jihad ialah, jurnal
yang berjudul Pendidikan Islam dan Jihad, karya Syamsul Kurniawan, jurnal ini
berusaha mengungkap tentang pemaknaan jihad dalam Islam bahwa pemaknaan
jihad tidak identik kepada perang, tetapi bisa juga dengan pendidikan.
Karya ilmiah selanjutnya berjudul Kontekstualisasi Jihad Perspektif
Keindonesiaan, karya Muhammad Chairun Nizar dan Muhammad Aziz, jurnal ini
menjelaskan bahwa jihad yang terdapat dalam Quran tidak hanya bermakna
peperangan melawan musuh. Ada yang berhubungan dengan peperangan, dan ada
pula yang tidak ada hubungannya dengan peperangan sama sekali. Pada intinya,
jihad dapat diartikan sebagai segala upaya maksimal yang dilakukan oleh seorang
muslim untuk menggapai ridho Allah SWT.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang sumber datanya buku-buku
dalam perpustakaan dan literature-literatur lainnya terutama yang berkaitan
dengan kitab-kitabTafsir.
14
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian bersifat deskriftif
analisis, yaitu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan dan
penyusunan data, kemudian data yang telah terkumpul dianalisis sehingga dapat
memperoleh data yang jelas dan akurat.
2. Sumber data dan Jenis data
Penulisan karya ilmiah ini merupakan penelitian pustaka, karena itulah
sumber data yang digunakan penulis adalah data-data literatur yang berbentuk
buku-buku ilmiah.
Secara umumnya, sumber dan jenis data yang akan digunakan dalam
penelitian ini berasal dari bahan tertulis, yang secara garis besarnya terdiri dari
dua data, yaitu data primer dan skunder. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :
a. Data primer, yakni merupakan data literature yang secara langsung
memiliki keterkaitan dan berhubungan secara langsung dengan aspek
pembahasan penelitian. Diantaranya ialah kitab yang ditulis oleh para
ahli (khususnya ahli Tafsir). Diataranya seperti kitab Tafsir Ibnu Katsir,
karangan Ibnu Katsir dan kitab tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka.
b. Data skunder, yakni data-data penunjang dan pendukung dalam
penelitian ini seperti, jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.
Metode ini diterapkan untuk mendokumentasi data-data terkait dengan berbagai
karya literature tafsir maupun yang membahas tentang tafsir. Adapun cara
menghimpunkan data pokok persoalan yang diteliti yang selanjutnya data tersebut
diolah dengan menganalisis dan memahami sehingga dapat memberikan
pengertian dan kesimpulan sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis
yang telah di peroleh dari data-data literatur yang sesuai dengan pembahasan yang
15
ingin dikaji. Data yang telah terkumpul dianalisis melalui metode analisis data
atau analisis deskriptif, yaitu memaparkan data yang ada kaitannya dengan
permasalahan sesuai keterangan yang di dapat.
Dalam hal ini penulis menggunakan metode pendekatan Muqorron.
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema
tertentu, lalu mencari pandangan Al-Qur‟an tentang tema tersebut, dengan jalan
menghimpun ayat yang membicarakannya, menganalisis dan memahami ayat
demi ayat, lalu menghimpunnya kedalam yang bersifat umum, kemudian dikaitan
dengan yang khusus, muthlaq dengan muqayad, dan lain-lain, sambil memperkaya
uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam
satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas.22
Adapun langkah-langkah penerapan metode tersebut ialah:
a. Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbeda reaksinya satu dengan
yang lain, padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara
tentang persoalan yang sama.
b. Ayat-ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadis Nabi
SAW.
c. Perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama.23
G. Sistematika Penulisan
Untuk menjaga alur pembahasan dan mempermudahkan pembahasan,
maka penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab dan sub bab dengan
rasioanalisasi pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang mencakup pembahasan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Kemudian bab kedua sebagai pengantar untuk memasuki bab III dan IV,
dalam bab II penulis akan membahas tentang gambaran umum mengenai jihad,
22
Agus Sofyandi Kahfi, “Informasi dalam Perspektif Islam”, Jurnal Mediator, VII, II
(2006),324-325. 23
M.Quraish Shihab, Kaidah tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), 382.
16
Pengertian jihad, Lintasan Sejarah jihad, pandangan ulama tentang Jihad, Macam-
macam Jihad, tujuan jihad dan manfaat nya.
Bab ketiga penulis menjelaskan biografi Ibnu Katsir dan Buya Hamka,
riwayat hidup dan karya-karya.
Bab keempat analisa komparatif pemikiran Ibnu Katsir dan Buya Hamka
dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jihad . Dalam bab ini penulis mencoba
membahas tentang bagaimana jihad menurut pandangan Ibnu Katsir dan Buya
Hamka, Ayat Al-Qur‟an yang sama dalam penafsiran keduanya yang Mengenai
dengan permasalahan jihad, Ayat Al-Qur‟an yang berbeda dalam penafsiran
keduanya yang mengenai dengan pemasalahan jihad, aktualisasi jihad di masa
sekarang.
Bab kelima mengenai penutup, yang meliputi kesimpulan dari seluruh
upaya yang telah penulis lakukan dalam penelitian ini beserta saran-saran dan
penutup.
17
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG JIHAD
A. Pengertian Jihad
Jihad dalam tata bahasa Arab yang berasal dari kata tiga huruf yaitu: al-jim,
al-haa, ad-daal. Sedangkan huruf alif pada kalimat به د itu adalah huruf tambahan ج
(Ziyadah). Menurut etimologi bahasa Arab kata “Jihad” diambil dari kata Isim
mashdar kedua, berasal dari kata jaahada, yujaahidu, mujahadatan dan jihadan.
Jihad yang berarti bekerja keras dengan sepenuh hati jiwa dan raga dan
mengharap ridha dari Allah semata.24
Jihad yang berarti kemampuan, menuntut seorang mujahid mengeluarkan
segala daya dan kemampuannya demi mencapai tujuan. Tidak ada satu amalan
keagamaan yang tidak disertai dengan jihad karena setiap amalan keagamaan
menuntut kemampuan kita yang terkadang melelahkan dan meletihkan, bahkan
kita dituntut untuk bekerja keras atau berusaha mengalahkan rayuan nafsu yang
selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama.25
Syamsul Kurniawan di dalam tulisannya mengatakan bahwa Ibn Mandzur
dalam lisan al-Arab menulis, jihad ialah dapat diartikan dengan memerangi
musuh-musuh Islam, dengan mencurahkan segala kemampuan dan tenaga atau
berupa kata-kata yang bisa membuat hati musuh Islam luluh agar mereka
memeluk agama Islam. Ar-Raghib Al-Asfahani juga menyatakan dalam Al-
Mufradat li Gharib Al-Quran Jihad adalah mencurahkan segala kemampuan yang
dimiliki oleh sesoerang dalam menahan beberapa serangan musuh. Lebih lanjut
Al-Asfahani menambahkan, bahwa jihad itu terbagi kepada tiga macam, yaitu
berjuang menghadapi atau melawan musuh yang tampak, berjuang menghadapi
setan dan berjuang menghadapi hawa nafsu.26
Jihad juga memiliki dua pengertian umum dan khusus. Pengertian yang
umum adalah mencurahkan segala kemampuan dan kesungguhan dalam taat
24
Musthafa Al-khin dan musthafa Al-bugha, Konsep Kepemimpinan Dan Jihad Dalam Islam
( Jakarta: Darul Haq, 2014), 3. 25Agus Sutiyono, “Jihad Kontemporer di Indonesia (Solusi Alternatif dalam Membangun
Bangsa)”,Jurnal Ibda` . Vol. 3 No. 1 (2005),2. 26
Syamsul Kurniawan, “Pendidikan Islam Dan Jihad”, Pendidikan Islam Dan Jihad. XXVIII
No. 3 (2013), 426.
17
18
kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini jihad memiliki cakupan yang luas dan
sifatnya umum, meliputi jihad hawa nafsu, jihad politik, jihad lisan, jihad ibadah,
jihad ilmu, jihad dakwah, dan sebagainya. Sedangkan jihad khusus adalah perang
suci di jalan Allah swt. Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat al-Quran yang
berbicara tentang jihad.27
Disamping itu, ada juga yang berpendapat bahwa arti jihad ialah menjahui
dari pada kesenangan dunia ini dengan segala kenikmatannya, dengan membunuh
kehendak hawa nafsu dan pergi beruzla ke hutan dan gunung untuk mencari
ketengan jiwa dan raga di tengan kesunyian. Berjalan ke suatu tempat ke tempat
yang lain tanpa tujuan yang jelas untuk mengikuti para rahib yang anti dengan
segala perhiasa dunia ini. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa jihad melawan hawa
nafsu ialah jihad yang paling besar, sedangkan melawan musuh-musuh Islam
dengan cara berperang ialah jihad yang kecil.
Dengan pengertian ini lalu ia menyatakan bahwa Islam agama yang penuh
dengan kedamaian, ketenteraman Islam tidak mengajarkan tentang perkelahian,
permusuhan apalagi mengajarkan tentang peperangan. Akibat pemahaman yang
salah ini lah, musuh-musuh Islam semakin berani untuk menyerang agama Islam.
Akhirnya umat Islam hanya bisa menerima bantaian demi bantaian dari musuh-
musuh Islam tanpa perlawanan sehingga umat Islam terhina dan terbelakang
akibat dari pemahaman tersebut.28
Sedangkan menurut H. Amin Husein Nst seorang toko Nahdatul ulama
Sumut, ia membagi jihad itu kepada dua fase yaitu sebagai berikut:
Pertama fase pada masa Rasulullah saw dan Kedua fase masa sekarang.
Menurutnya jihad secara Qital atau perang hanya dilakukan ketika Rasul dan para
pengikutnya berada di kota Madinah dengan tujuan untuk mengembangkan
ajaran-ajaran Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT. Tetapi jihad yang
dilakukan memiliki beberapa aturan yang di antaranya adalah tidak membunuh
wanita, orang tua, menghancurkan rumah ibadah dan sebagainya.
27
Saidurrahman, “Fiqh Jihad Dan Terorisme Perspektif Tokoh Ormas Islam Sumatera Utara”,
Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum, l. 46 No. I, Januari-Juni (2012). 55-56. 28
Hilmy Bakar Almascaty, Panduan Jihad (Jakarta: Gema insani Pres, 2001), 12.
19
Sedangkan jihad untuk masa sekarang ini menurutnya harus benar-benar
dilakukan sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam yang berarti mengubah citra
dan pola pikir umat Islam agar menjadi lebih baik. Islam tidak mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu melakukan kekerasan yang tidak pada tempatnya,
hal inilah yang terkait dengan tanggapan terhadap aksi-aksi yang melakukan
tindakan Radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Mereka beranggapan bahwa
jihad sebagai ajaran Islam.29
dari pengertian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa jihad membutuhkan
kekuataan, kemampuan dan pengorbanan, baik tenaga, pikiran maupun harta.
Sementara pelaku jihad dinamakan mujahid, yaitu orang yang mengerahkan
seluruh daya dan kemampuannya dengan sukarela dalam berkorban, baik berupa
jiwa, harta, tenaga, pikiran dan apa pun yang bersangkut dengan totalitas diri
manusia.30
B. Lintas Sejarah Jihad
Jihad dalam Islam telah dimulai sejak awal Islam di mekkah, semenjak
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, pada hari senin, tanggal 17 Ramadhan
610 M. Beliau menerima wahyu dalam usia 40 tahun. Sebelum menyebarkan
agama Islam, terlebih dahulu beliau menyusun langkah-langkah yang akan
digunakan dalam menyebarkan Islam. Pertama memperhatikan fenomena yang
terjadi di kota mekkah, saat itu sedang mengalami dekadensi dalam segala segmen
kehidupan. Kedua, beliau mengajak umat muslim yang berada di kota mekkah
agar beriman kepada Allah SWT, secara sembunyi-sembunyi dan mengikuti
petunjuknya dan menerima kehadiran nabi Muhammad SAW.
Babak baru Perjuangan Nabi dalam menyiarkan agama dimulai sejak tahun
ketiga pada masa kenabiannya, setelah Allah memerintahkan menyiarkan Islam
secara terbuka. Nabi muhammad juga memperingatkan kepada umatnya agar
selalu mengingat kekuasaan Allah dan agar semua manusia terus berbakti kepada
Allah SWT, Artinya, perintah berjihad pada periode Mekkah lebih bermakna
29
Ibid.,69. 30
Ainol Yaqin, “Rekontruksi Dan Reorientasi Jihad Di Era Kontemporer; Kajian Tematik
Atas Ayat-Ayat Jihad”,Okara Journal of Languages and Literature, Vol. 1, (2016), 11.
20
perjuangan spiritual, etis dan moral demi mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan menundukkan nafsu dengan bersabar, yang hakikat dan hikmah dari jihad itu
sejatinya untuk umat Muslim sendiri.
Setelah Nabi Muhammad dan para pengikutnya berjihad di kota Makkah
kurang lebih 13 tahun lama nya. datanglah perintah Allah untuk berhijrah,
seketika itu juga umat Islam dan para pengikut yang lain meninggalkan kota
mekkah untuk berjihad ke tempat lain salah satunya ialah kota Madinah. Sebelum
Hijrah ke kota Madinah terlebih dahulu sebagian umat Islam Hijrah ke Habsyah
(Etiopia), setelah beberapa tahun kemudian barulah Nabi Muhammad menyusul
dengan kelompok nya yang lebih besar ke Yatsrib, yang diberi nama dengan kota
Madinah.31
Pada masa ini perang antara kaum muslim dengan kaum musyrikin belum
lah terjadi, walaupun sebagian umat Islam saat itu seringkali mengalami
penganiayaan dan siksaan dari kaum kafir dari mereka dipukul, dicambuk, tidak
diberi makan dan minum, diterlentangkan di atas padang pasir, ditindih dengan
batu besar. Salah satu penyiksaan yang sangat kejam yang dialami oleh Bilal bin
Rabbah dan keluarga Yasir. Di bawah sengatan matahari gurun pasir yang panas
membakar, tubuh Bilal bin Rabah dicambuk dan ditindih dengan batu besar oleh
majikannya, Umayyah bin Khalaf, selama berhari-hari tanpa diberi makan dan
minum. Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh Ammar bin Yasir dan
istrinya yang bernama Sumayyah, tidak hanya Bilal dan keluarga Yasir bahkan
hampir semua sahabat pernah mendapatkan perlakuan semacam itu dari para
kaum musyrikin pada saat itu demi untuk mempertahankan ke Islaman mereka.32
Bahkan tidak jarang ketika umat Islam mengadu kepada Nabi tentang
keadaan yang dialami mereka, penuh dengan bekas luka pukulan yang dilakukan
orang kafir. Mendengar pengaduhan dari para sahabat, Nabi pun merasa kasihan
dan berusaha menenangkan hati mereka dengan berkata “Bersabarlah kalian
semua, sesungguhnya aku belum diberi perintah untuk berperang” Jihad saat itu
belum diizinkan oleh Allah SWT, karena disamping Kaum Muslimin berada di
31
Mishbah Yazdi, Perlukah Jihad, (Jakarta: Al-Huda, 2006), 123. 32
Rustam Ibrahim, “Jihad Dalam Literatur Pesantren Salaf”, Teologia, Volume 23, Nomor 1,
( 2012), 178.
21
Tanah Haram (Mekah), juga karena jumlah mereka masih sangat sedikit maka
sangat tidak memngkinkan untuk berperang. Disamping itu, Allah juga ingin
menguji kualitas keimanan dan kesabaran kaum Muslimin ketika itu dalam
menjalankan perintah-Nya, apakah dengan siksaan yang demikian berat itu
mereka masih konsisten menjalankan perintah Allah atau malah sebaliknya.33
Hijrah juga suatu faktor untuk mencapai kehidupan dan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang yang tertindas. Mendengar Keadaan
kota Madinah saat itu dikenal dengan lemah lembut dan rakyatnya yang tenang
sehingga sangat mendorong umat Islam untuk berhijrah ke kota Madinah dan
menyebarkan ajaran Islam disana. Dalam menyebarkan ajaran Islam disana, tak
ada dari golongan bangsawan atau agama lain yang menentang ajaran agama
Islam saat itu.34
Faktor lain yang mendorong Nabi SAW untuk berhijrah ke
Madinah, menurut suatu analisis, adalah sebagai berikut:
Pertama, perbedaan iklim di kedua kota Mekkah dan Madinah,
mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim Madinah yang lembut dan watak
rakyatnya yang tenang sangat mendorong penyebaran dan pengembangan Islam di
sana. Sebaliknya, kota Makkah tidak mempunyai keuda kemudahan itu.
Kedua, Nabi-nabi pada umumnya tidak dihormati di negeri-negeri mereka.
Nabi saw juga tidak diterima oleh kaumnya sendiri. Beliau justru mendapat
tantangan paling keras di Makkah. Akan tetapi beliau diakui sebagai Nabi oleh
orang-orang Madinah dan beliau sungguh-sungguh diminta untuk datang ke kota
mereka, dengan harapan bahwa melalui pengaruh pribadi serta nasehat Nabi,
perang yang berkepanjangan antara kedua suku yang bermusuhan, yakni Aus dan
Khazrat, yang hampir melumpuhkan kehidupan yang normal dari orang-orang
Madinah akan berakhir.
Ketiga, golongan bangsawan Quraisy secara bernafsu menentang agama
baru ini, karena ia sangat bertentangan dengan kepentingan mereka. Akan tetapi di
33
Ach. Fajruddin Fatwa, “Islam Dan Doktrin Militerisme”, Jurnal Pemikiran Islam, Volume
22, Nomor 1, April (2012), 85. 34
Agus Salim, “Jihad Dalam Persepektif Al-Quran”,Jurnal Ushuluddin,Xx, No. 2, (2013),
147.
22
Madinah tidak ada golongan pendeta atau kaum bangsawan agama manapun yang
menentangnya.35
Jihad di periode Madinah ini umat Islam berhasil mendirikan masjid yang
pertama kali, diberi nama dengan masjid Quba‟, jaraknya lebih kurang tiga mil
menjelang Madinah, pada hari senin 8 Rabi‟ul Awal 1 H. Tahun ke 13 kenabian.
Setelah mendirikan masjid Quba‟, umat Islam juga mendirikan masjid di
berbagai tempat ibadah dan perkumpulan dan mempersaudarakan orang-orang
yang berhijrah (Muhajirin) dengan orang kaum Anshor atau dengan dikenal
(kaum penolong), tidak hanya itu saja umat Islam juga membuat suatu perjanjian
atau dikenal dengan “Piagam Madinah” bertujuan sebagai landasan kehidupan
masyarakat yang bersumber dari Islam, menetapkan hak-hak individual dan
Masyarakat.
Pada tahun kedua ditandai dengan perubahan arah Qiblat dari Yerussalaem
ke Ka‟bah (Masjidil Haram) di kota Makkah Al-Mukarromah, dan di tahun ini
juga perintah berjihad dalam tindakan perang fisik barulah dilakukan pertama kali
oleh Rasulullah SAW. Pada Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 H/17
Maret 623 M. Peperangan ini dilatar belakangi, karena kaum kafir selalu
menebarkan kebencian dan permusuhan terhadap umat Islam misalnya
menganiaya, memusuhi dan menghalangi umat Islam ketika hedak menyampaikan
dakwah, bahkan yang lebih kejamnya lagi mereka tidak segan-segan menghina
dan mengusir Nabi Muhammad dari negerinya.
Hijrah ke Madinah, beliau juga berhasil mempersaudarakan kedua suku
yang selalu bertikai yaitu suku Aus dan Khazraj, demikian pula umat Islam hidup
rukun di Madinah yang notabene bukan hanya satu suku satu agama akan tetapi
terdapat beberapa suku dan agama seperti Yahudi dan Nasrani.36
Perintah jihad pada periode Madinah tidak selalu diarahkan kepada suatu
peperangan fisik semata. Karena di sisi lain Rasulullah SAW. banyak juga
menjelaskan dan menegaskan beberapa aktivitas yang dikategorikan sebagai
35
Amin Sihabuddin, “Konsep Dakwah Dan Jihad Sulthan Mahmud Badaruddin II”, Jurnal
Wardah: Vol. 17 No. 1, (2016), 40. 36
Firman, “Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Al Qur‟an (Kajian terhadap Tafsir
Al-Azhar Karya Buya Hamka), Jurnal Syamil, 4 No.2, (2016), 34.
23
tindakan jihad, antara lain menyampaikan kalimat yang benar di depan pemimpin
yang zholim, berbakti kepada kedua orang tua, ibadah haji dan umrah, berjuang
melawan hawa nafsu karena Allah, dan lain sebagainya.37
Dalam hal ini dapat diketahui bagaimana Allah SWT memberikan tahapan-
tahapan bagi umat Muslimin pada ketika itu, dalam menerapkan konsep jihad
melawan kaum kafir. Tahapan pertama, ketika kondisi umat Islam belum
memiliki kekuatan penuh dan sempurna pada periode Mekkah, Allah mem
erintahkan umat Muslim untuk berjihad dengan bersabar dan dengan
menggunakan Al-Qur‟an. Kemudian tahapan kedua setelah umat Islam sudah
memiliki kekuatan yang cukup kuat, mereka diberiizin untuk berperang demi
mempertahankan harga diri mereka. Tingkatan jihad terakhir ketika Nabi dan
pengikutnya telah kuat keimanan dan pasukannya untuk menaklukkan kota
Mekkah pada tahun 630 M, barulah dikatakan kewajiban dan tugas mereka untuk
berjuang sampai tidak ada lagi fitnah dan kemusyrikan38
.
Di tahun-tahun berikutnya umat Islam juga diwarnai dengan berbagai
macam pertempuran dan peperangan yang tidak bisa dihindarkan lagi. Hal ini
karena dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang mengharuskan umat Islam
untuk berjihad dengan peperangan.
Seketika wafatnya Rasulullah SAW. Banyak berbagai peristiwa dan
kejadian yang dialami oleh para sahabat-sahabat nya, misalnya peristiwa yang
terjadi dimasa kehalifaan Abu Bakar as-Shiddiq, seperti yang kita ketahui baliau
adalah khalifah yang pertama di antara sahabat nabi yang empat dan umurnya
lebih muda dari Nabi Muhammad SAW, orang-orang percaya bahwa Abu Bakar
salah seorang Muslim yang pertama yang beriman kepada Allah dan
membenarkan risalah Rasulullah SAW, dari kaum laki-laki. Dia adalah orang
menemani Rasulullah tatkala berhijrah ke Yatsrib (Madinah) dan dia juga orang
37
Ibid.,147. 38
Zakiya Darajat, “Jihad dinamis: menelusuri konsepdan praktik jihad dalam sejarah Islam
“,Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan,Volume 16, No. 1, Juni (2016), 6-7.
24
yang membebaskan para budak dari cengkeraman kaum Quraisy yang tiram dan
lalim.39
Adapun di antara peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi oleh Abu
Bakar sejak menjabat sebagai khalifah adalah sebagai berikut. Pertama banyak
orang-orang yang sebelumnya memeluk agama Islam kembali menjadi murtad,
makna dari murtad disini ialah orang-orang yang kembali kepada agama asalnya
kembali kepada keyakinannya semula keyakinan yang mereka anut semula yaitu
Jahiliya mereka tidak mau menyembah Allah lagi mereka lebih percaya kepada
keyakinannya terdahulu, Kedua banyak dai antaramereka yang selalu melakukan
pemberontakan selalu menindas orang-orang yang lemah dan Ketiga ada juga di
antara mereka yang tidak mau membayar zakat, keempat orang-orang yang
mengaku sebagai nabi, dan lain sebagainya. Orang-orang semacam ini mereka
tidak mau mengikuti dan mengakui pemerintahan Madinah, karena dari itu lah
mereka tidak mau menyerahkan zakat mereka kepada pemerintahan Islam dan
banyak melalukan yang jauh dari ajaran Islam.40
Beberapa faktor-faktor yang tersebut di atas, jihad pada masa
kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq ra ditujukan untuk menghapuskan dan
melenyapkan bughat (pemberontakan) ini. Demikian juga pada masa kekhalifahan
Umar bin al-Khattab ra, di samping jihad dengan peperangan demi memperluas
dakwah Islamiyah, ia juga banyak melakukan jihad pemikiran (ijtihad), antara lain
menciptakan kalender Hijriyah sebagai permulaan penanggalan Islam, membuat
mata uang emas, mendirikan baitul mal, membagi wilayah kekuasaan Islam ke
dalam beberapa provinsi, membentuk korps tentara, dan masih banyak lagi.41
Dalam konteks sejarah pergerakan Islam di Indonesia, ideologi jihad
muncul beriringan dengan upaya membendung kolonialisme dan imperialisme
yang dilakukan Bangsa Barat. Kedatangan mereka ke Nusantara pada abad ke-16
dengan membawa missi gold, glory and gospel2 segera menerbitkan perasaan
39
Abdurrahman Umairah,Tokoh-tokoh yang diabadikan Al-Qur‟an (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002), 12. 40
Rasul Ja‟farian, Sejarah Islam Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani
Umayyah (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004), 20. 41
Ibid., 8.
25
permusuhan di kalangan bangsa Indonesia, terutama umat Islam beserta para
tokoh agamanya. Sejarah mencatat, Perang Sabil pertama di Nusantara terjadi
pada awal abad ke-16 M ketika Kerajaan Kristen Portugis, melalui panglima
perangnya bernama Alfonso de Albuquerque, pada tahun 1511 melakukan agresi
militer terhadap Kerajaan Islam Malaka yang saat itu diperintah Sultan Mahmud
Syah I (1488-1511M).42
Tercatat beberapa perlawanan di daerah antara lain Perang Jawa, Perang
Paderi, Perang Aceh, perlawanan Haji Wasidi di Cilegon, dan sebagainya, perang-
perang tersebut menjadikan faktor religiusitas dan semangat anti penjajahan kafir
dalam bingkai ideologi jihad (Perang Sabil), sekaligus menjadi faktor integratif
yang mampu memobilisir rakyat dan ulama dalam mempertahankan diri. Seruan
jihad melawan kolonialisme Belanda banyak yang mendukung dan ingin berjihad
oleh para ulama di berbagai daerah, yaitu seperti yang dilakukan Yusuf al-
Maqassari pada abad ke-17, Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Salim Haji
Mardjuki, dan Haji Wasid yang memimpin pemberontakan Banten pada tahun
1888. Demikian juga dengan seruan jihad yang digelorakan Abdussamad al-
Palimbani pada abad ke-19 serta Hadratussyaikh Hasyim Asy„ari pada abad ke-
20, tepatnya tahun 1945. Semua seruan jihad ini ditujukan untuk melawan
kolonialisme Belanda.43
Dalam Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo
(1825-1830), Peter Carey melihat gerakan Diponegoro ini sebagai Perang Sabil
melawan penjajah karena adanya unsur dan motivasi agama dalam perang ini.
Carey merasa heran dengan banyaknya kyai dan santri yang terlibat dalam perang
Jawa ini,‟ antara lain 108 kyai, 31 orang haji, 15 syaikh, 12 pegawai penghulu
keraton Yogyakarta, dan 12 kyai guru. Pengaruh Kyai Mojo, ulama terkenal asal
Surakarta, juga Kyai Baderan, Kyai Kwaron dan Kyai Hasan Besari diyakini
sebagai unsur yang sangat efektif dalam memobilisir kaum santri ini. Selain itu,
pribadi Pangeran Diponegoro yang aslinya bernama Bendara Raden Mas
Mustahar, juga dikenal sangat religius. Ibunya adalah Raden Ayu Mangkarawati,
42
Ibid.,12. 43
Ibid.,13.
26
merupakan seorang anak kyai dari Tembayat, sedangkan pengasuhnya adalah
anak seorang kyai dari Sragen. Untuk mengukuhkan posisinya tidak hanya
sebagai pemimpin sosial tetapi juga pemimpin agama. Diponegoro menyandang
gelar sebagai Sultan Ngabdulkamid Herucakra Kabirulmukminina Kalifatul
Rasulullah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga Sabilullah ing Tanah Jawa.44
Selain itu juga salah satu tokoh, ulama yang berjuang berperang dalam
merebut kemerdekaan Indonesia adalah Sulthan Mahmud Badaruddin II, sebagai
Sultan Palembang ke-8 yang taat beragama dan bijaksana. Nama lengkapnya,
ialah Raden Muhammad Hasan anak Sultan Muhammad Bahauddin bin Sultan
Ahmad Najamuddin bin Sunan Lemabang. Ibunya bernama Ratu Agung bin
Datuk Murni bin Abdullah al-Haddadi. Sultan Mahmud Badaruddin II, dilahirkan
pada hari Ahad tanggal 1 Rajab 1181 H atau 1767 M di lingkungan keraton.
Sulthan Mahmud Badaruddin II, sebagai da‟i memiliki posisi sentral dalam
dakwah, sehingga ia harus memiliki image atau citra yang baik dalam masyarakat.
Citra terhadap da‟i adalah penilaian mad‟u terhadap da‟i, apakah da‟i mendapat
citra positif atau negatif. Pencitraan mad‟u terhadap diri seorang da‟i sangat
berpengaruh dalam menentukan apakah mereka akan menerima informasi atau
pesan dakwah atau sebaliknya.45
Semangat jihad terus bergemah pada masa revolusi kemerdekaan ketika
para ulama menyerukan Resolusi Jihad demi memberikan dukungan penuh para
pemimpin bangsa yang tampak gamang menghadapi tentara sekutu yang berniat
kembali mencengkeram bumi pertiwi. Dalam pertempuran 10 November 1945
yang heroik inilah umat Islam dari berbagai komponen seperti Muhammadiyah
dan NU, bersatu dalam tentara Sabilillah dan Hizbullah yang dikomandani para
kyai melawan penjajah sampai titik darah penghabisan.
Para kyai ini membuat suatu keputusan bahwa menjadi kewajiban individu
(fardhu „ayn) bagi setiap Muslim untuk mempertahankan kedaulatan wilayah
Indonesia ketika musuh telah berupaya kembali menginjakkan kaki dan menjajah
44
Ibid.,14. 45
Amin Sihabuddin, “Konsep Dakwah Dan Jihad Sulthan Mahmud Badaruddin II”, Jurnal
Wardah: Vol. 17 No. 1, (2016), 36.
27
tanah air. Resolusi Jihad ini diseru oleh para kyai NU pada tanggal 22 Oktober
1945 dan kembali dipertegas oleh Masyumi pada tanggal 7 November 1945.46
Sehingga pada tahun 1945 terwujudnya impian semua rakyat indonesia
yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Dwi Tunggal Soekarno untuk
menyatu dalam Nasionalisme negara kesatuan RI. Cita-cita untuk menjadikan
negara kesatuan di bawah satu wujud nasionalisme menjadi kenyataan walaupun
hal itu tidaklah mudah. Pada masa revolusi kemerdekaan yang berlangsung sekitar
lima tahun sejak 1945 sampai 1950, berbagai bentuk perjuangan melawan
kolonial Belanda yang ingin kembali menguasai Nusantara, merupakan bentuk
perjuangan untuk mempertahankan Nasionalisme di bawah satu negara yang
berdaulat. Perjuangan untuk mewujudkan cita cita kebangsaan atau Nasionalisme
pada masa revolusi tahun 1945-1950 memang mempunyai satu musuh utama dan
jelas yaitu Belanda.47
C. Jihad Menurut Pandangan Para Ulama dan Para Tokoh
Jihad merupakan kata yang cukup familiar di kalangan umat Islam, tidak
sedikit para ulama berpendapat tentang masalah jihad ini, dalam perspektif
sejarah, pada era klasik, pandangan jihad terfokus pada perlawanan terhadap
musuh. Kemudian pada erapertengahan, pandangan ini berkembang sebagaimana
diungkapkan oleh IbnuTaimiyah bahwa jihad lebih cenderung bermakna universal
dan tidak hanyaterpaku pada musuh-musuh tersebut. Menurut Ibnu Taimiyyah
jihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai
Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.48
Selain itu, jihad sebagaimana tersebut diatas, mengandung arti
“kemampuan” yang menuntut sang mujahid mengeluarkan segala daya dan
kemampuannya demi untuk mencapai tujuan. Karena itu jihad adalah
pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut untuk diberi,
46
Ibid.,15. 47
Rusdi Muchtar, “Peran Jihad Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebangsaan”,Jurnal
Multikultural & Multireligius,Vol. VIII No. 32Oktober – Desember(2009), 13. 48
M.Coirun Nizar dan Muhammad Aziz, “Kontekstualisasi Jihad Persepektif
Keindonesia”,Ulul Albab,XVI, No. (2015), 24.
28
tetapi memberikan semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia tidak berhenti
sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis. Jihad adalah
pengorbanan baik harta maupun jiwa, kedudukan dan kehormatan, kekuatan dan
fikiran, tulisan dan ucapan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk
meninggikan kalimat Allah SWT, untuk menjaga dan menyebarluaskan agamanya
padamasyarakat luas dan melindungi negara yang berada dibawah panji-panji
Islam. Oleh karena itu jihad diwajibkan kepada kaum muslimin demi membela
serta melindungi kehormatan agama Allah SWT.
Rasyid Ridha menerengkan jihad ialah sebagai usaha sungguh-sungguh
dengan mencurahkan segala daya dan upaya untuk menegakkan kebajikan demi
mengharapkan rahmat Allah dan kebaikan-Nya. Jihad merupakan kepribadian
mukmin paling khas dan tanda kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang
paling menonjol. Jihad lebih luas maknanya daripada perang untuk
mempertahankan agama dan membela pemeluknya. Jihad terdiri dari dua hal:
jihadun-nafs, berjuang menghadapi diri sendiri dan jihadul-'aduw, berjuang
menghadapi musuh-musuh Islam yang menentang dakwah dan petunjuknya.
Ridha tidak memilah perintah jihad dalam Al-Qur‟an antara periode Mekkah dan
Madinah.49
Mayoritas fuqaha` (Ahli fiqh) dalam literatur kitab-kitab fiqh memberi
pengertian jihad dengan pengertian yang khusus. Bahasan jihad dalam fiqh
diidentikkan dengan peperangan, pertempuran dan ekspedisi militer. Kalangan
Hanafiyah mendefinisikan jihad adalah berupaya dalam mengajak orang lain
untuk memeluk agama yang haq dan memeranginya dengan segenap jiwa dan
harta terhadap mereka yang tidak mau menerimanya. Sedangkan pendapat Imam
Maliki jihad ialah hanya di peruntukkan untuk orang Islam untuk memerangi
orang-orang kafir tanpa terikat perjanjian damai demi menegakkan agama Allah.50
Dari kalangan Syafi‟iyah mengartikan jihad secara istilah sebagai
memerangi orang-orang kafir untuk menegakkan agama Islam.
49
Muhammad Chirzin, “Jihad Dalam Al-quran Perspektif Modemis Dan Fundamentalis”,
Jurnal Kajiari Islam Interdisipliner, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni (2003), 110. 50
Abdullah Azzam, Jihad adab dan Hukumnya (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), 12.
29
Sayyid Quthb berpandangan bahwa jihad merupakan fitrah mukmin. Setiap
Mukmin niscaya berjihad dengan segala bentuk perjuangan. Pesan jihad dalam
Al-Qur‟an itu bertahap, dari jihad secara damai dengan da'wah bil-lisan dan
bersabar menghadapi berbagai rintangan pada periode formatif Islam di Mekkah,
sesuai kondisi umat yang masih lemah, sampai dengan bentuk finalnya jihad
perang mengangkat senjata pada periode Madinah. Perang dalam Islam menurut
pandangan Sayyid Quthb bukan defensif melainkan ofensif , untuk merealisasikan
syariat Allah dalam kehidupan.51
Kemudian jihad juga dapat dibagi dengan kepada dua kategori ialah sebagai
berikut:
Pertama jihad hujjah, ialah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan
pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi kuat. Jihad dalam
bentuk ini memerlukan seseorang yang punya kemampuan ilmiah tinggi yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan sunnah-sunnah Nabi serta mampu berijtihad.
Kedua, jihad „amm, jihad yang mencakup segala aspek kehidupan, baik
bersifat moral maupun bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan
pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Jihad ini juga bersifat berkesinambungan, tanpa dibatasi oleh lingkup ruang dan
waktu, dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan atau hawa nafsu.
Jihad melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling besar. Perang Badar, perang
terbesar dan yang sangat menentukan bagi keberlangsungan komunitas Muslim.
Kemenangan kaum Muslim dalam perang Badar, dengan jumlah yang sedikit
melawan musuh yang berjumlah sangat banyak, memang dahsyat. Akan tetapi
Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa perang Badar adalah perang kecil dan
perang besar adalah perang melawan hawa nafsu. “Kita kembali dari jihad terkecil
menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.”52
Hasan Al-Banna sebagaimana dikutip Yusuf al-Qardhawi, menyebutkan,
jihad adalah suatu kewajiban muslim yang berkelanjutan hingga hari kiamat;
51Ibid.,11.
52 Deni Irawan, “Kontroversi Makna DanKonsep Jihad Dalam AlquranTentang
Menciptakan Perdamaian”, Religi, Vol. X, No. 1, Januari ( 2014), 73.
30
tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemungkaran dan
tertinggi berupa jalan di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan
dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan
penguasa dzalim.53
Selain beberapa pendapat di atas ada juga sebagian ulama yang berpendapat
seperti Wahbah al-Zuhaili beliau mendefinisikan jihad dengan mencurahkan
segala kemampuan yang dimiliki seseorang dan mengorbankan jiwa, harta dan
lisan untuk memerangi musuh-musuh Islam. „Abd al-Shamad al-Falimbani juga
berpendapat jihad tidak hanya dimaknai dengan peperangan fisik tetapi jihad juga
dapat dimaknai seperti menjaga keberlansungan hak-hak manusia dalam
berkelompok, seperti menjaga harkat, martabat, hak hidup dalam kesamaan
emosi, konteks dan keberagamaan.54
Menurut Imam Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad Jazari dalam
kitab An-Nihayah, jihad berarti bertempur melawan kaum kafir, dan hal ini adalah
perjuangan secara insentif (mubalanghah), dan berarti pula berjuang dengan
segala tenaga dan kekuatan baik dengan lisan (qaul) ataupun dengan perbuatan
(fi‟il).
Imam Ghozali seorang Mujaddid Islam abad ke lima Hijriah di dalam kitab
Mukasyafatul-Qulub beliau menulis sebagai berikut:
Diambil dari beberapa pendapat ahli ma‟rifah bahwa mereka mengatakan
bahwa jihad itu dibagi tiga macam:
pertama, jihad kepada musuh-musuh Islam, baik kafir ataupun munafiq
mereka menamakan jihad ini dengan jihad zhahir.
Kedua, jihad dengan Ilmu pengetahuan untuk menghadapi orang-orang
yang zhalim, baik itu pemimpin yang zhalim kepada rakyat nya yang tidak
menegakkan hukum dengan adil yang sering dikenal hukum lebih berpihak
kepada rakyat kecil semata dan samar kepada orang besar. dan lain sebagainya.
53
Ma'mun Efendi Nur, “Hukum Jihad dan Terorisme Perspektif Al-Qur‟an”,Maslahah,I,
No.I, (2010), 29. 54
Muhammad Julkarnain, “ Resulusi Jihad Muslim Nusantara Abad XVIII: Interpretasi Jihad
„Abd Al-Shamad Al-Falimbani, Tajdid, Vol. XV, No. 1, Januari - Juni (2016), 51.
31
Ketiga, jihad dengan melawan hawa nafsu.Nafsu yang ada pada tiap diri
manusia selalu mendorong pemiliknya untuk melanggar perintah-perintah Allah
SWT yang sudah ditetapkannya, dengan tetap setia menjalankan perintah-Nya,
berarti umat Islam berjihad melawan hawa nafsu ini sudah termasuk jihad yang
paling besar.55
Munawar Chalil dalam buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw.
mengutip pendapat Muhammad Abduh, Ibnul-Qayyim dalam Zaad Al-Ma‟ad, dan
Syeikh Thanthawi Jauhari, menyatakan bahwa orang-orang kurang mengerti,
menyangka bahwa jihad itu tidak lain adalah berperang dengan kafir. Sebenarnya
tidak begitu. Jihad itu mengandung arti, maksud, dan tujuan yang luas.
Memajukan pertanian, ekonomi, membangun negara, serta meningkatkan budi
pekerti umat termasuk jihad yang tidak kalah pentingnya ketimbang berperang.56
Musdar Sahdan, salah satu tokoh Hizbut Tahrir Indonesia Sumut yang
menjabat sebagai ketua Humas, dalam wawancaranya menyatakan bahwa Jihad
dalam Islam yang bermakna perang fisik dilakukan di medan perang, dan
berhadap-hadapan langsung dengan musuh, memiliki hukum, aturan, dan akhlak
mulia antara lain tidak boleh membunuh anak-anak, wanita, orang tua, merusak
rumah, rumah ibadah, dan termasuk pepohonan. Musdar juga mengatakan bahwa
jihad itu harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan Islam dan amar ma`ruf nahi
munkar, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan yang tidak terarah yang
berdampak pada kebencian.57
Dari pendapat diatas dapat di katakan bahwa pemaknaan jihad bisa saja
berubah seiring berjalannya waktu atau dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
oleh umat. Jihad pada hakikatnya bisa diartikan mencapai (meraih) sesuatu yang
di ridhoi oleh Allah kepada mahluknya, baik berupa iman dan amal shalih yang
dikerjakannya, seperti menjalankan ibadah sholat, puasa, zakat dan lain
sebagainya yang Allah perintahkan kepada semua mahluk yang ada di bumi ini,
55
Ali Syakir, Jihad Masa Kini( Jakarta:Darul Qutubi Islam, 2005), 15. 56 Deni Irawan, “Kontroversi Makna DanKonsep Jihad Dalam AlquranTentang
Menciptakan Perdamaian”, Religi, Vol. X, No. 1, Januari ( 2014), 72. 57
Saidurrahman, “Fiqh Jihad Dan Terorisme Perspektif Tokoh Ormas Islam Sumatera Utara”,
Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum, l. 46 No. I, Januari-Juni (2012). 59.
32
dan menjauhkan apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan
kemaksiatan. Selain itu juga pemaknaan jihad tidak terpaku kepada suatu
peperangan yang hanya dapat menimbulkan kerusuhan dan menumpahkan darah,
akan tetapi makna Jihad bisa diartikan dengan peperangan ketika umat Islam
berada dalam keadaan tertekan atau diserang oleh orang-orang kafir. Ketika jihad
diartikan dengan peperangan tidak semata-mata umat Islam langsung melakukan
tindakan anarkis dan pembunuhan, tetapi jihad juga mempunyai beberapa aturan
perang tidak dibenarkan bila dilakukan untuk memaksakan ajaran Islam kepada
orang non-Islam, untuk tujuan perbudakan, penjajahan, dan perampasan harta
kekayaan. Juga tidak dibenarkan membunuh orang yang tidak terlibat dalam
peperangan tersebut, seperti wanita, anak kecil, dan orang-orang tua yang harus
diketahui setiap orang Islam.
D. Macam-macam Jihad
Jihad fi sabillillah, dalam syariat Islam, tidak hanya bermakna memerangi orang-
orang kafir saja, tetapi jihad dalam perspektif syariat Islam dalam pengertian umum,
meliputi perkara:
1. Jihad melawan hawa nafsu,jihad melawan hawa nafsu adalah suatu bukti
bahwa jihad bukan hanya identik dengan perang mengangkat senjata. Jihad
melawan hawa nafsu adalah suatu bentuk jihad yang ada pada diri setiap
Muslim dan setiap Muslim adalah mujahid.
2. Jihad melawan setan, Quraish Shihab mengingatkan bahwa sumber dari
kejahatan adalah setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia.
Ketika manusia tergoda oleh setan, ia menjadi kafir, munafik, dan menderita
penyakit penyakit hati, atau bahkan pada akhirnya manusia itu sendiri menjadi
setan. Sementara setan sering didefinisikan sebagai “manusia atau jin yang
durhaka kepada Allah serta merayu pihak lain untuk melakukan kejahatan.”
Maka sebenarnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi umat manusia. Hal
ini sebagaimana firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 168. Artinya: “Janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu.” Adapun bentuk jihad terhadap hawa nafsu dan setan bisa dilakukan
dengan Mempertahankan keyakinan serta nilai-nilai ajaran Islam dengan
33
segala daya yang dimiliki, bersabar dalam mengemban tugas-tugas
keagamaan, dan tabah menghadapi rintangan hingga akhir umurnya.
3. Jihad melawan orang-orang kafir adalah bukan berarti memusuhi pribadinya,
atau memaksakan mereka masuk Islam, atau merusak tempat ibadah dan
menghalangi mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka.
Tetapi yang dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka,
atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin.
Apalagi jika mereka merebut hak-hak yang sah dari kaum muslimin. Quraish
Shihab menambahkan, dalam menerapkan jihad dengan cara yang sesuai.
Quraish Shihab memberikan contoh bahwa jihad tidak mencakup upaya
membela agama dengan senjata, tetapi juga dengan pena dan lidah serta cara-
cara yang lain sesuai dengan situasi dan perkembangan ilmu dan teknologi.
4. Jihad melawan orang-orang musyrikin. Secara literal, kata musyrik memiliki
dua makna, pertama orang yang menyekutukan Allah, kedua orang yang
menyembah berhala. Sedangkan secara terminologis, musyrikialah orang yang
menyekutukan Allah dengan yang lain, baik melalui keyakinan, ucapan,
ataupun perbuatan. Musyrik merupakan pebuatan dosa yang sangat besar dan
Allah tidak akan mengampuninya. Menurut Quraish Shihab jihad melawan
orang-orang musyrik disebutkan dalam Tafsir al-Mishbah pada QS. al-
Nah{l/16:110 yang turun berkenaan dengan sejumlah kaum Muslim yang
dianiaya seperti halnya pada sahabat „Ammar ibn Yasir sehingga mereka
terpaksa mengucap kalimat kufur, lalu setelah itu berhasil mengungsi dengan
berhijrah dari Makkah.
5. Jihad melawan orang-orang munafik. Menurut Quraish Shihab, Nabi
Muhammad diperintahkan untuk berjihad oleh Allah karena Nabi Muhammad
telah diabaikan dan dilecehkan oleh mereka. Orang-orang munafik yang
menyembunyikan dalam hati mereka kekufuran dan atau maksud buruk
terhadap Nabi Muhammad dan terhadap ajaran IslamSelain itu, orang-orang
kafir dan munafik sering kali „mengotori‟ Islam dengan ide dan perbuatan
mereka. Menurut Quraish Shihab jihad dalam menghadapi orang-orang
munafik, seperti halnya jihad dalam menghadapi orang-orang kafir, adalah
dengan jalan cara yang sesuai. Hal itu dikarenakan perbedaan pendapat para
ulama‟, ada yang mengatakan bahwa: “berjihadlah dengan senjata melawan
orang-orang kafir dan dengan lidah melawan orang munafik.” Ada juga yang
34
memahami perintah berjihad terhadap orang munafik dengan tangan atau lidah
dan paling sedikit dengan menampakan air muka yang keruh terhadap
mereka.58
E. Tujuan Jihad
Jihad adalah spirit utama dalam Islam untuk membangun perkembangan
dan kemajuan agam Islam. Tanpa semangat jihad, misi mulya Islam itu hanya
dalam impian semata. Untuk itu, spirit jihad mesti selalu menyala dalam dada
umat Islam dalam situasi dan kondisi apa pun disepanjang masa. Namun yang
penting dan harus digarisbawahi bahwa jihad dalam Islam tidaklah diidentikkan
dengan peperangan, pertempuran, pengeboman dan ekspedisi militer, sehingga
menimbulkan keresahan dan kegelisahan dikalangan masyarakat Islam dan non
Muslim. Tapi jihad memiliki pengertian yang komprehensif.
Sungguh sangat disayangkan, apabila makna jihad sebagai ajaran Islam
yang suci telah mengalami pergeseran makna sedemikian rupa. Ada sebagian
aliran dalam Islam yang menyalahgunakan jihad sebagai dalil untuk melakukan
tindakan kekerasan, terorisme dan pembunuhan manusia yang tidak berdosa.
Beberapa dekade terakhir ini, perjuangan melalui jihad dengan kekerasan dan
sangat efektif dipergunakan oleh kelompok-kelompok muslim ekstrim untuk
melegalkan bom bunuh diri dan aksi aksi anarkis yang lain sebagai simbol
perlawanan dan perjuangan.59
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia
agar menghiasi diri mereka dengan memerintahkan manusia agar
memperjuangkannya hinggah mengalahkan kebatilan. Artinya manusia harus bisa
melawan hak yang batil dan menghancurkannya demi untuk menegakkan dan
menjunjung agama Islam yang tinggi. Tetapi hal yang semacam itu tidak lah bisa
dilakukan dengan sendiri tetapi harus dilakukan perjuangan.60
58
Thoriqul Aziz, “Tafsir Moderat Konsep Jihad Dalam Perspektif M. Quraish Shihab”,
Jurnal Kontemplasi, Volume 05 Nomor 02, (2017), 470-475. 59
Mansur,” Perspektif Ham Dalam Fiqh Al-Jihad”, Jurnal Agama Dan Hak Azazi Manusia,
4, No. 1, (2014), 188. 60
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, ( jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007), 501.
35
Agama Islam datang ke muka bumi ini ialah sebagai agama yang mengajak
semua umat manusia untuk menuju agama yang benar ialah agama Islam, jadi
barang tentulah tujuan dari berjihad ini ialah untuk untuk melindungi sampainya
dakwah Islam kepada seluruh lapisan umat manusia.61
Jihad juga bertujuan dan berupaya untuk mengajak seluruh penduduk di
dunia ini untuk memeluk agama Islam agama yang di ridhoi oleh Allah SWT.
Jihad dalam Islam tidak akan pernah padam selama-lamanya karena syaitan terus
mengganggu manusia dan merayu manusia untuk berbuat kesesatan, pertarungan
antara hak dan bathil tidak akan pernah purnah hinggah akhir zaman.62
Selain itu juga tujuan dari jihad agar terlaksananya syariat Islam dalam arti
yang sebenarnya, serta terciptanya suasana damai dan tentram. Tanpa motivasi
tersebut, Islam tidak membenarkan pemeluknya untuk menyerang musuh-musuh
Islam. Di sini mengandung arti bahwa setelah tercapai syariat Islam yang
membawa kebajikan bagi Islam, serta adanya perlindungan terhadap Islam atau
ketika Islam tidak lagi dalam ancaman marabahaya, maka jihad harus segera
dihentikan.
kemudian jihad juga bertujuan menghilangkan kekafiran dan kesyirikan,
mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan, membawa mereka kepada
cahaya iman dan ilmu, menumpas orang-orang yang memusuhi Islam,
menghilangkan fitnah, meninggikan kalimat Allah, menyebarkan agamaNya, serta
menyingkirkan setiap orang yang menghalangi tersebarnya dakwah Islam. Jika
tujuan ini dapat dicapai dengan tanpa peperangan, maka tidak diperlukan
peperangan. Tidak boleh memerangi orang yang belum pernah mendengar
dakwah kecuali setelah mendakwah mereka kepada Islam. Namun jika dakwah
telah disampaikan dan mereka menolak maka pemimpin Islam harus
memerintahkan mereka untuk membayar jizyah, dan jika mereka tetap menolak,
maka barulah memerangi mereka.63
61
Dr.Abdullah Azzam, Perang Jihad Di Jaman Modern, (Jakarta:Gema Insani Press), 47. 62
Ali Bin Nafayyi‟al Al-Alyani, Tujuan dan Sasaran Jihad (Jakarta:Gema Insani Press,
1992), 69. 63
Agus Sutiyono, “Jihad Kontemporer di Indonesia (Solusi Alternatif dalam Membangun
Bangsa)”, Jurnal Ibda`, Vol. 3 No. 1 (2005), 4.
36
F. Manfaat Jihad
Dengan semangat luar biasa yang dilakukan oleh para mujahid Islam dari
sejak zaman Rosulullah SAW dan para sahabat nya, hingga kepada para pejuang
Indonesia para kyiai dan santri, menjadi sebuah bukti penting bahwa jihad harus
benar-benar dilakukan oleh setiap orang Muslim. Saudara Rusdi Muchtar dengan
judul “Peran Jihad dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebangsaan,” menunjukkan
betapa jihad telah memberikan semangat para pahlawan kemerdekaan dahulu.
Searah dengan itu, Achmad Rosidi, menegaskan bahwa ajaran agama harus lebih
dapat dijadikan sebagai faktor yang memperkuat NKRI kini.
Jihad merupakan suatu tonggak dan penyangga pondasi Islam bahkan ia
merupakan puncak urusan Islam. Jihad merupakan cara untuk menjaga dan
menolong negeri-negeri kaum muslimin dari setiap penjajahan dan penindasan, ia
merupakan perisai kokoh yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah dari
gangguan moncong senjata musuh-musuh Islam, ia merupakan sarana atau alat
yang bisa menjaga maqâshid as syarî‟ah sehingga agama, jiwa, harta, akal, nasab
dan kehormatan bisa terlindungi.
Salah satu contohnya adalah kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh
para pejuang Indonesia selain berkat dan pertolongan dari Allah kemudian juga
atas semangat jihad para ulama dan rakyat Indonesia yang beriman. Indonesia
dapat merdeka dan lepas dari cengkraman penjajah, salah satunya adalah karena
adanya semangat jihad dalam jiwa para ulama, santri dan masyarakat Islam.
Tokoh-tokoh yang tidak mau menyerahkan tanah kepada penjajah meskipun
hanya sejengkal bisa terlihat dari jihad dan perlawanan Teuku Umar dan Tjut Nja
Dhien dalam.64
Jihad juga untuk menegakkan sistem ajaran Islam dalam kehidupan
manusia, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memaksa manusia menerima
ajaran Islam. jihad tidaklah bersifat defensif (difâ‟iyyah), tetapi bersifat opensif
(indifâ‟). Oleh karena itu, tidak benar pandangan sebagian orang yang
memandang jihad Islam bersifat defensif, dalam arti jihad diwajibkan sekedar
64
Anung Al Hamat1, Endin Mujahidin1, Abas Mansur Tamam1, Didin Hafidhuddin2,
“Pendidikan Jihad Menurut Imam Bukhari (Studi Naskah Hadits-Hadits Kitab Al Jihad
Dalam Shahih Bukhari), JurnalTa‟dibuna, Vol. 5, No. 2, Oct,(2016) , 209.
37
untuk bertahan, melindungi Islam dan negeri Islam dari serangan musuh.
Pandangan seperti ini dinilai tidak berdasar dan tidak punya pijakan yang kuat
baik berdasarkan nash-nash Al-Qur‟an maupun fakta-fakta sejarah. Pandangan ini
adalah pandangan orientalis Barat yang tidak mengerti watak Islam, namun
berhasil mengelabui kaum Muslim yang lemah dan tidak berdaya menghadapi
mereka. Jihad dalam Islam berarti jihad untuk mengokohkan sistem ajaran Islam
dan mengokohkan pemerintahan Islam. Membangun pemerintahan Islam bukan
alternatif (pilihan), tetapi imperatif (kewajiban). Oleh karena itu, bilamana
perubahan dari dalam tidak mungkin dilakukan, maka jihad (perang suci) mesti
dilakukan dalam rangka menegakkan sistem Islam dan melawan sistem jahiliah.65
Jihad juga memiliki beberapa manfaat di antaranya ialah sebagai berikut:
pertama untuk melihat dan menyingkapi orang-orang munafik, orang-orang
munafik orang-orang yang mengaku dirinya beriman tetapi didalam hatinya tidak
beriman, maka dengan adanya jihad ini dapat membuka kedok dari pada mereka,
apakah mereka memang tulus memperjuangkan agama Allah atau tidak sama
sekali. Karena Jihad bukanlah suatu perkara main-main hal ini bersangkutan
dalam menegak agama Allah, sebab di dalam jihad terdapat suatu pengorbanan
yang sangat besar yang menyangkut segala potensi yang dimilikinya, bahkan
nyawa yang menjadi taruhannya demi untuk menegakan agama Allah.
Orang-orang munafik tidak mau memberikan potensinya dan mereka tidak
mau menyerahkan nyawanya untuk agama Allah mereka lebih memilih tidak ikut
berjihad bersama Rasulullah demi untuk menyelamatkan diri mereka. Maka ketika
mereka diseru berjihad, dengan jihad yang dilakukan orang-orang Islam jihad
yang sanggup mengorbankan jiwa dan raga, tetapi mereka menolaknya. Dengan
demikian nampklah kemunafikan mereka. Hal ini dinyatakan di dalam firman
Allah yang berbunyi:
65
.Sidi Ritaudin, “Ideologi Mati Syahid Bendera Pembenaran Melakukan Teror Kekerasan
Politik M”, Jurnal Tapis Vol.8 No.2 Juli-Desember,(2012) , 8.
38
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan
kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya karena itu berimanlah kepada
Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu
pahala yang besar”.66
Kedua untuk membersihkan dosa-dosa orang-orang mukmin bagi mereka
yang ikut berjihad untuk menegakkan agama Allah, sesungguhnya bagi orang-
orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya lalu mereka berjihad dijalan
Allah dengan yang tulus dan ikhlas hanya karena Allah semata maka baginya
pahala yang sangat besar. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam
Firmanya:
“jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum
(kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka
66
Dr. Ali bin Nafayy al-„Alyani, Tujuan dan sasaran Jihad (Jakarta: Gema Insani Press
1992), 60-64.
39
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman
(dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai)
syuhada' dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah
membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan
orang-orang yang kafir.Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihaddiantaramu dan belum
nyata orang-orang yang sabar.”
Dari ayat di atas dapatlah dikatakan bahwa Allah akan memberi pahala
kepada mereka yang berjihad karena Allah dan mengorbankan diri mereka untuk
agama Allah, hal inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat-sahabat nabi
terdahulu mereka berjuang menegakkan agama Allah dan mereka pula berlomba-
lomba ingin mendapatkan syahid di sisi Allah SWT dan banyak lagi manfaat dari
jihad lainnya.
40
BAB III
BIOGRAFI MUFASSIR
A. Biografi Ibnu Katsir
Dalam kajian ilmu Al-Qur‟an dan tafsir, nama Ibnu Katsir sama sekali tidak
asing lagi di kalangan masyarakat umum beliau adalah salah satu termasuk
mufassir yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Nama lengkap beliau adalah
Abul Fida‟, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-
Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H.
Ada jga yang berpendapat beliau dilahirkan pada tahun 705 H. Di sebuah desa
yang bernama mijdal di daerah Bashr sebelah timur kota Damaskus. Ibn Katsir
tumbuh besar di kota Damaskus. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di
kota Damaskus.
Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir
diasuh oleh pamannya. Ibnu Katsir adalah anak dari Shihab ad-Din Abu Hafsh
Amar Ibn Katsir Ibn Dhaw Ibn Zara‟ al- Quraisyi, yang merupakan seorang ulama
terkemuka pada masanya. Ayahnya bermazhab Syafi‟i dan pernah mendalami
mazhab Hanafi. Menginjak masa kanak- kanak, ayahnya sudah meninggal dunia.
Kemudian Ibnu Katsir tinggal bersama kakaknya (Kamalad-Din Abdul Wahhab)
dari desanya ke Damaskus dan beliau menetap di sana, di kota ini juga beliau
banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut.67
Dengan berbagai macam keahliannya dalam bidang ilmu beliaupun
mendapat gelar dari para ulama antara lain ialah ahli sejarah, pakar tafsir, ahli
fiqih,dan juga seorang yang ahli dalam bidang hadits. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Manna‟ al-Qatthan dalam Mabahits fil Ulum al-Qur‟an,sebagai
berikut:
“Ibn Katsir merupakan pakar fiqh yang dapat dipercaya, pakarhadits yang
cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang paripuna”.
67
KH. A. Baijuri Khotib, “Corak Penafsiran Al-Qur‟an (Periode Klasik – Modern)”,
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun (2016), 123.
40
41
Pada usia 11 tahun Ibnu Katsir menyelesaikan hafalan al-Qur‟an,
dilanjutkan memperdalam Ilmu Qiraat, dari studi Tafsir dan Ilmu Tafsirdari
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (661 – 728 H).
Ibnu Katsir dibesarkan di kota Damaskus, di sana beliau banyak menimba
Ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Burhanuddin al-Fazari
(660-729 H) yang merupakan guru utama Ibnu Katsir, terkenal dengan Ibnu al-
Farkah, syaikh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah, Isa bin Muth‟im, Syeh Ahmad bin
Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh
Syamsuddin al-Dzahabi (w. 748), Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-
Dabusi, Syaikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syaikh Muhamad bin Zurad.
Kemudian dia juga berguru kepada Syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi
(w. 742), pengarang kitab “Tahżīb al-kamāl” dan “Aṭrāf al-kutūbi al-sittah,“ dan
Ibnu Katsir dinikahkan dengan putrinya al-Mizzi dan dikaruniai 5 orang anak, dan
seorang puteri.68
Selain mepelajari ilmu tafsir Ibnu Katsir juga mendalami dalam bidang
ilmu Hadits, beliau belajar dari Ulama Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwani
serta meriwayatkannya secara langsung dari Huffadz terkemuka di masanya,
seperti Syeikh Najm al-Din ibn al-„Asqalani dan Syhihab al-Din al-Hajjar yang
lebih terkenal dengansebutan Ibnu al-Syahnah.
Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Ibnu Katsir adalah sosok yang
disibukkan dengan hadis, menelaah matan-matan dan para rijalnya, memiliki
ingatan yang sangat kuat. Beliau juga ahli dalam bidang ilmu Sejarah, peranan al-
Hafizh al-Birzali (w. 730 H), sejarawan dari kota Syam, cukup besar. Dalam
mengupas peristiwa–peristiwa Ibnu Katsir mendasarkan pada kitab Tarikh karya
gurunya tersebut. Berkat al-Birzali dan Tarikh nya, Ibnu Katsir menjadi sejarawan
besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam dalam penulisan
sejarah Islam.
68
Saifuddin Zuhri Qudsy Dan Mamat S. Burhanuddin, “Penggunaan Hadis-Hadis Poligami
Dalam Tafsir Ibnu Katsir”Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli (2016), 184.
42
1. Karya-karya Ibnu Katsir
Berkat kegigihan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, akhirnya beliau
menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8
H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim menjadi
kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir
Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu
Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki
berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-
Qur‟an dengan al-Qur‟an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur‟an
dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih
(pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi‟in dan tabi‟ut tabi‟in),
kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Selain Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, beliau juga banyak menulis kitab-kitab
lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di
antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan
umat-umat terdahulu, Jami‟ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar
„Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih
banyak lagi.69
Setelah menjalani kehidupan yang panjang, pada tanggal 26 Sya‟ban 774 H
bertepatan dengan bulan Februari 1373 M pada hari kamis, Ibn Katsir
menghembuskan napas terahirnya dan dimakamkan di sebelah makam gurunya
yang bernama Ibnu taimiyah.70
2. Lingkungan Sosial dan Politik Ibnu Katsir
Ibnu
Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana
yang ia utarakan “ Anak yang paling besar di keluarganya laki-
69
KH. A. Baijuri Khotib, “Corak Penafsiran Al-Qur‟an (Periode Klasik – Modern)”,
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun (2016), 124. 70
Muqtashidin Fahrusy Syakirin Al Hazmi, “Hukum Non Muslim Sebagai Pemimpin
Muslimin Ditinjau Dari Perspektif Tafsir Ibnu Katsir”, Tapis, Vol. 01, No. 02 Juli – Desember
(2017), 222.
43
laki, yang bernama Ismail, sedangkan yang paling kecil adalah saya”. Kakak
laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran ser
ta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu
Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya,
bahkan melebihi keluasan ilmu
ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat
beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-
nilai keilmuan, mampu melahirkan
sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-
mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras
Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan
keilmuan.
Beliau hidup di zaman yang penuh dengan kemajuan berbagai macam
ilmu pengetahuan karena di zaman ini Islam telah mencapai puncak keemasan
ialah di zaman Daulah „Abbasiyah yang telah berkuasa hampir selama 5 abad
(750-1258 M). Meski sering diwarnai dengan berbagai serangkaian konflik
politik, akan tetapi Daulah ini telah menorehkan tinta emas dalam sejarah
peradaban Islam. Al-Mansur, khalifah pengganti Abu al-„Abbas, pada bulan
Shaffar 146 H/762 M memindahkan ibu kota kekhalifahan dari Damaskus pada
masa Umayyah, ke Baghdad, sebuah kota yang dialiri Sungai Eufrat dan Tigris
yang sangat cocok bagi kemaharajaan „Abbasiyah. Nama resmi kota ini adalah
Madinatussalam, Kota Perdamaian.71
Pada masa „Abbasiyah, terutama pada masa kekhalifahan Harun Al-
Rasyid (786-809 M) dan dilanjutkan anaknya, Al-Ma‟mun (813-833 M), Islam
menjadi pusat peradaban dunia, bahkan ketika dunia Barat sedang dalam keadaan
masti suri (The Dark Age). Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan mengantarkan
masa kekhalifahannya mengalami apa yang disebut sebagai masa keemasan, The
71 Zakiya Darajat, “Jihad dinamis: menelusuri konsep dan praktik jihad dalam sejarah Islam”,
Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 16, No. 1 (2016), 10
44
Golden Age, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa ini,
lahir banyak intelektual Muslim dari berbagai bidang keilmuan, baik filsafat,
hukum, ilmu hadith, kedokteran, fisika, astronomi, arsitektur, geografi, sejarah,
matematika, dan sebagainya.
Ibnu katsir banyak menuai pujian berkat kepandaiannya dalam memahami
berbagai macam ilmu pengetahuan tidak sedikit murid-murid beliau yang
memujinya, diantaranya Syihabuddin bin haji.
Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu
Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya.
Ia mengetahui yang shahih dan dha‟if”. Guru-
guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja ulama
yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah. Sejarawan sekali
ber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibnu Katsir,
“Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan kapabel
dalam tafsir”.72
3. Metode Penafsiran Ibnu Katsir
Penafsiran yang dilakukan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an
ialah memiliki karakteristik tertentu karena dalam hal ini terlihat cara beliau
dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an didalam kitabnya yang berjudul Tafsir Al-
Qur‟anul „Azim. Dalam hal ini Ibnu Katsir menggunakan metode bil ma‟tsur yang
terkenal diseluruh penjuru tanah air. Selain itu ada juga tafsir yang sama metode
nya dalam menafsirkan Al-Qur‟an yaitu tafsir yang benama Ibnu Jarir al-Thabary.
Adapun karakteristik yang dilakukan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Al-
Qur‟an ialah sebagai berikut:
a. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, Ibnu Katsir menggunakan metode
bi al-ma‟sur, caranya ialah dengan mengemukakan seluruh ayat dalam Al-
Qur‟an dengan ayat-ayat yang lain yang mempunyai maksud yang sama dan
didukung beberapa hadis yang berhubungan dengan ayat tersebut lengkap
72 https://ibnkasir.blogspot.com/2016/10/biografi-ibnu-katsir.htm diakses pada tanggal 24
Oktober 2018.
45
dengan sanadnya, dan disertai dengan riwayat-riwayat dan pendapat para
shabat, tabi‟in dan tabi‟tabi‟in.
b. Dalam menfasirkan Al-Qur‟an Ibnu Katsir juga tidak memasukkan cerita-
cerita Israiliyyat dengan memberitahukan kesahihan dan tidaknya cerita
tersebut hal ini sekaligus memberitahukan kepada semua pembaca agar selalu
sigap dalam menaggapi cerita-cerita.
c. Mengenai ayat-ayat yang berkaitan tentang hukum, Ibnu katsir juga
menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang masalah hukum tersebut dan
terdadang beliau menolak pendapat tersebut.73
B. Biografi Buya Hamka
Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Abdulla. Ia
adalah orang yang mempunyai integritas yang tinggi dalam bidang moral dan
keilmuan.74
Hamka dilahirkan di Tanah Sirah desa Sungai Batang di tepi Danau
Maninjau (Sumatra Barat) tepatnya pada tanggal 16 Februari 1908 M atau 14
Muharram 1326 H. Belakangan ia diberikan gelar Buya yaitu panggilan untuk
orang Minang kabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab yang
berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya, Dr. H. Abdul Karim
Amrullah yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul termasuk keturunan Abdul Arif
bergelar Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang Pahlawan Paderi yang
juga dikenal dengan sebutan Haji Abdul Ahmad.
Dr. H. Abdul Karim Amrullah juga merupakan salah seorang ulama
terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai yaitu Syaikh Muhammad Jamil
Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad dan Dr. H.Abdul Karim Amrullah sendiri,
yang menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minangkabau. Ayahnya adalah
pelopor Gerakan Islam (Tajdîd) di Minangkabau, setelah dia kembali dari Makkah
73
Nurdin, ”Analisi Penerapan Metode Bi Alma‟sur Dalam Tafsir Ibnu Katsir Terhadap
Penafsiran Ayat-Ayat Hukum” Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum, Vol. 47. No 1, (2013), 86. 74
Novi Maria Ulfa, Dwi Istiyani, “Etika Dalam Kehidupan Modern: Studi Pemikiran Sufistik
Hamka”, Esoterik: Jurnal Akhlak Dan Tasawuf, Volume 2 Nomor 1 (2016), 97.
46
pada tahun 1906, sementara Ibunya bernama Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah,
wafat pada tahun 1934.75
Sedangkan kakeknya sendiri, Syaikh Muhammad Amrullah adalah
penganut tarekat mu‟tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati
bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali.
Kerapkali masyarakat setempat mencari berkah melalui sisa makanan, sisa
minuman atau sisa air wudhu dan sebagainya.76
Hamka mengawali masa pendidikan di dalam pengawasan langsung oleh
ayahnya. Ia juga termasuk salah satu ulama yang cendekiawan terkemuka di
Indonesia yang memiliki pemikiran yang cerdas bisa dikatakan manusia yang
bertalenta. Ahmad Syafei Maarif dalam kata pengantar buku Adicerita Hamka:
Visi Islam Sang penulis Besar untuk Indonesia , lima kualitas yang dimiliki oleh
Hamka, yakni pengarang, pemikir, sastrawan, sejarawan publik, dan mufasir (ahli
tafsir) menyatu dalam pribadi Hamka. Artinya, seorang Hamka tidak saja sebagai
seorang sastrawan, namun juga sebagai pemikir, penulis, mufasir, dan sekaligus
sejarawan77
.
Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang panjang.
Sebagaimana yang dilakukan umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau,
sewaktu kecil ia belajar mengaji dan silek serta tidur di surau. Selain itu, ia suka
mendengarkan kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional
Minangkabau. Ketika berusia tujuh tahun, ia dimasukkan ke Sekolah Desa, belajar
setiap paginya. Di samping itu, pada sore harinya, ia belajar di Diniyah School.
Namun sejak dimasukkan ke Thawalib (sekolah yang didirikan ayahnya), ia tidak
dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.
Beliau merupakan anak yang patuh dan menuruti perintah ayahnya. Karena
kepatuhan kepada ayahnya, sejak itu ia rela berhenti di Sekolah Desa dan
bersekolah di Thawalib pagi hari. Selama belajar di Thawalib, Hamka lebih sering
75
Avif Alviyah, “Metode Penafsiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar”, Ilmu
Ushuluddin, Vol. 15, No. 1 (2016), 26. 76
Muhammad Yusuf, “Pintu-Pintu Menuju Tuhan Telaah Pemikiran Hamka”, Teologia, Vol
25, Nomor 2, Juli-Desember (2014), 3. 77
Armini Arbain, “Pemikiran Hamka Dalam Novel-Novelnya:Sebuah Kajian Sosiologis”,
Jurnal Puitika Volume 13 No. 2, September (2017), 76.
47
berada di perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy. Dari
sinilah, ia leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa buku ia
pinjam untuk dibawanya pulang untuk dibaca dirumahnya. sedangkan sorenya
tetap belajar di Diniyah School dan malamnya kembali ke surau. Di surau, Hamka
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab di bawah bimbingan ulama
terkenal.78
Hamka dikenal sebagai sosok pengelana sehingga ayahnya memberi gelar
Si Bujang Jauh. Pada tahun 1924, ia berencana pergi ke Jawa dalam usia 16 tahun,
tapi sayang kepergian Hamka ke tanah Jawa tidak kesampaian karena Hamka
terkena wabah cacar di daerah Bengkulen. Kondisi tersebut membuat Hamka
harus terbaring di tempat pembaringan selama dua bulan, setelah sembuh ia tidak
melanjutkan perjalanannya malahan ia kembali ke Padang Panjang dengan wajah
penuh bekas luka cacar. Kegagalan Hamka untuk pergi ke Jawa tidak membuat
surut niatnya, setahun kemudian Hamka mewujudkan keinginannya untuk pergi
ke Jawa. Perjalanan kedua ini ternyata berhasil dan Hamka sampai di Jawa,
sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang
tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah.79
Dengan semangat keilmuan yang tinggi dan dengan tekat yang kuat yang
dimilikinya pada tahun 1927, ia pergi ke Mekah dengan biaya di tanggung sendiri
untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama dan bahasa
Arab. Dan setelah sampai disana ia bekerja di perusahaan percetakan yang
memberinya peluang untuk membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin
Islam dalam bahasa Arab.
Ketika beliau sampai di Mekah, disana ia berjumpa dengan seseorang yang
bernama Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di
Mekah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang. Ia pun
segera kembali ke tanah air, namun bukannya pulang ke Padang panjang, ia malah
menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.
Selama di Medan, Hamka bekerja sebagai guru agama di samping aktif
78
Ibid.,78. 79
Mulizar, S.Pd.I, M.Th,” Pengaruh Makanan Dalam Kehidupan Manusia (Studi Terhadap
Tafsir Al-Azhar)”, Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni (2016), 126.
48
berdakwah melalui tulisan. Selain itu, ia juga menuliskan laporan-laporan
perjalanannya.80
Pada tanggal 5 april 1929, ketika ia berumur 21 tahun, Hamka menikah
dengan seorang gadis yang bernama Siti Rahan, perkawinan yang dilaksanakan
sepulangnya dari Mekkah, yang kemudian selepas itu ia aktif sebagai pengurus
Muhammaddiyah, yang membuatnya berkeliling ke berbagai daerah di
Indonesia.81
Hamka juga termasuk salah satu ulama yang banyak menuai pujian dan
penghargaan misalnya yang pernah pujian yang lantunkan oleh presiden Indonesia
yang bernama Abdurrahman Wahid dalam artikelnya, beliau mengatakan, bahwa
meskipun bukan sebagai pendidik dalam arti guru profesional, Hamka merupakan
prototipe pendidik yang berhasil dan sangat meyakinkan pada zamannya. Kiprah
Hamka dalam perjuangan, pendidikan, dakwah Islam serta intelektualitasnya
menjadikan namanya melejit dalam dunia internasional dan mendapat kedudukan
terhormat pada berbagai organisasi, seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (1975-
1981). Ia pun mendapat berbagai penghargaan dari beberapa lembaga seperti
Doktor Honoris Causa dari Universitas al- Azhar.82
1. Karya-karya Buya Hamka
Sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama, sejarah, budaya, sastra
danpolitik, Buya Hamka banyak menuangkan pengetahuannya tersebut ke dalam
karya-karya tulis. Beliau adalah seorang penulis yang banyak menghasilkan
karya, hasil-hasil karya tulisnya baik yang berhubungan dengan sastra dan agama
semuanya berjumlah sekitar 79 karya. Diantara karya-karyanya tersebut yaitu
Khatib Ummah jilid 1-3 yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Arab, Layla Majnun
Di Bawah Lindungan Ka‟bah
80
Armini Arbain, “Pemikiran Hamka Dalam Novel-Novelnya:Sebuah Kajian Sosiologis”,
Jurnal Puitika Vol 13 No. 2, September (2017), 79. 81
Ahmad Muttaqin, “Pemimpin Non Muslim Dalam Pandangan Hamka (Kajian Tafsir Al-
Azhar),Al-Dzikra Vol.Xi No. 1 Januari-Juni (2017), 38. 82
Ris‟an Rusli, “Agama dan Manusia dalam Pendidikan Hamka(Studi Falsafat Agama)”,
JurnalIntizar, Vol. 20, No. 2, (2014), 211.
49
Tasawuf Modern
Islam dan Demokrasi
Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad
Mengembara di Lembah Nil
Di Tepi Sungai Dajlah
Islam dan Kebatinan
Ekspansi Ideologi
Falsafah Ideologi Islam
Urat Tunggang Pancasila
Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi
Muhammadiyah di Minangkabau
dan karyanya yang begitu masyhur, yakni Tafsir al-Azhar Juz 1-30,
dan masih banyak lagi.83
2. Lingkungan Sosial dan Politik Buya Hamka
Menelusuri sososk Hamka memang tidak akan pernah ada habisnya.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa beliau adalah Hamzah Fansuri-nya di masa
modern ini. Karena beliau selain seorang ulama, juga dari aspek sosial, peranan
beliau begitu signifikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim modern
Indonesia, sistem pemerintahannya, baginya bersifat lentur sesuai kondisi sosial
budaya sebuah negara. Dengan menunggangi kendaraan Muhammadiyyah,
Hamka melanjutkan perjuangan Ahmad Dahlan sebagai pendirinya untuk fokus
berdakwah melalui pendidikan dan layanan sosial masyarakat.84
Setelah beberapa lama menetap di kampung halamannya, beliau pindah ke
Jakarta dan meneruskan aktivitas menulis literatur dan budayanya. Disana beliau
mengikuti dunia politik dan mengikuti pemilu tahun 1955 di bawah partai Islam
Masyumi dan terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante. Beliau menemukan
adanya gerakan komunis secara terbuka dan menyebarkan paham ateis di tengah-
83
Avif Alviyah, “Metode Penafsiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar”, JurnalIlmu
Ushuluddin,Vol. 15, No. 1, (2016), 27. 84
Usep Taufik Hidayat, “Tafsir Al-azhar : Menyelami Kedalaman Tasawuf Hamka”, Al-
Turāṡ: Vol. XXI, No. 1, (2015), 50.
50
tengah masyarakat. Pada tahun 1959, partai Masyumi dibubarkan oleh Sukarno
karena kemajuan di Sumbar melibatkan para pemimpinnya. Selain Hamka,
diantaranya M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Kemudian Hamka
melanjutkan aktivitasnya dalam menulis dan menerbitkan majalah Panji
Masyarakat yang berorientasi dakwah dan kultur Islam. Kemudian beliau menjadi
Imam Besar Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru serta aktif memberikan Kuliah
Subuh dan Tafsir Al-Qur‟an. Pada tanggal 27 Agustus 1964 beliau dipenjara
dengan alasan telah melakukan Subversiv.85
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.86
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai
menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar
dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan
Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Selain itu Hamka juga terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama
Indonesia) pada tahun 1975 oleh pemerintahan Orde Baru, yang kemudian terpilih
kembali pada periode kedua tahun 1980, dengan salah satu ungkapannya yang
terkenal “Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan
tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli”. Hamka tidak hanya
memiliki kemampuan memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium,
akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya
85
Usep Taufik Hidayat1, “Tafsir Al-Azhar : Menyelami Kedalaman Tasawuf Hamka”, Al-
Turāṡ: Vol. Xxi, No. 1, Januari (2015), 54. 86
http://bio.or.id/biografi-buya-hamka/ diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.
51
dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah, dari Khatibul Ummah, Tasawuf
Modern (1939), dan yang terakhir Tafsir al-Azhar 30 Juz.87
Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah.
Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef
untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah
menjadi kebiasaan.
Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama
Alamsyah Ratu prawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang
perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak
keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana
pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas meminta
Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka memutuskan
mundur sebagai ketua MUI.88
3. Metode Penafsiran Buya Hamka
Tafsir Hamka dinamakan al-Azhar karena serupa dengan nama masjid yang
didirikan di tanah halamannya, Kebayoran Baru. Nama ini diilhamkan oleh
Syaikh Mahmud Syalthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh
intelektual tumbuh di Indonesia. Hamka awalnya mengenalkan tafsirnya tersebut
melalui kuliah subuh pada jama‟ah masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.
Pada Senin, 12 Rabi‟ul Awwal 1383/27 Januari 1964, Hamka ditangkap
penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah airnya sendiri
dan dipenjara selama 2 tahun 7 bulan (27 Januari 1964-21 Januari 1967). Di
sinilah Hamka memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan
tafsir 30 juznya. Dengan keinsyafan dan rasa syukur yang tinggi, ia menyatakan
penghargaannya terhadap berbagai dukungan yang telah diberikan padanya dari
para ulama, para utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang, ulama‟ dari
Mesir, ulama‟ di al-Azhar, Syaikh Muhammad al-Ghazali, Syaikh Ahmad
87
Muhammad Yusuf, “Pintu-Pintu Menuju Tuhan Telaah Pemikiran Hamka”, Teologia,
Volume 25, Nomor 2, Juli-Desember (2014), 6. 88 Ibid,.
52
Sharbasi, dari Makassar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan
lain-lain.20 Pada tahun 1967, akhirnya Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitkan.89
Kitab tafsir al-Azhar merupakan karya gemilang Hamka. Penulisan tafsir al-
Azhardi mulai sejak tahun 1958, yang berbentuk uraian dalam kuliah subuh
bagijama‟ah mesjid Agung al-Azhar. (Yunan Yusuf: 1990) Yang dimuat
dalammajalahGema Islam sejak tahun 1969. Penulisan hingga juz XXX pada
tanggal 11 Agustus 1964 di rumah tahanan politik Mega Bandung.
Penyempurnaan dan perbaikanterhadap penafsirannya dilakukan sejak dibebaskan
dari pemerintah Orde Baru padatanggal 21 Januari 1966 di rumahnya di
Kebayoran Baru hingga bulan Agustus 1975.
Hamka memulai aktivitas menafsirkan al-Qur‟an (tafsir al-Azhar) berasal
dari penghayatan terhadap perjalanan hidup sejak dia menerima pelajaran tafsir al-
Qur‟an dari KI Bagus Hadikusumo di Yogyakarta tahun 1924-1925. Dari
pertemuan itumengantar Hamka tampil sebagai intelektual dan pengajar Islam
baik lewatorganisasi, dakwah dan tulisan-tulisan. Di samping itu, salah satu niat
Hamka adalahhendak meninggalkan pusaka yang bermanfaat atau punya nilai
bagi bangsa danumat muslim Indonesia jika kelak kembali ke hadirat Allah swt.
(Hamka: 1984). Danniat itu sejak pertama kali menafsirkan atau menulis
tafsirnya. Salah satu hasil karyailmiah keislamannya dipublikasikan yang sangat
berharga adalah Kitab Tafsir al-Azhar yang terdiri dari 15 jilid.
Tafsir al-Azhar layak disebut tafsir Al-Qur‟an Karena pemahaman mufasir
(Hamka) memenuhi kriteria penafsiran. Di antara kriteria itu ialah dari segi
penjelasan lafaz, kalimat atau ayat dengan sumber, alat dan satuan kajian dan
pemahaman, mufassir telah menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang berlaku.
Secara umum metode yang digunakan dalam tafsir al-Azhar adalah metode tahlili
dengan pendekatan sastra, dan bercorak adaby ijtima‟i. Dengan metode tahlili
(analitis) Hamka menafsirkan Al-Qur‟an mengikuti sistem Al-Qur‟an
sebagaimana yang ada dalam mushaf, dibahas dari berbagai segi mulai dari asbab
al-nuzul, munasabah, kosa kata, susunan kalimat dan sebagainya. Pendekatan
89
Avif Alviyah, “Metode Penafsiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar”, Jurnal Ilmu
Ushuluddin,Vol. 15, No. 1, (2016), 28.
53
yang digunakan Hamka dalam menafsirkan adalah pendekatan sastra yakni
penjelasan dan pembahasan ayat atau lafaz dengan menggunakan ungkapan
sastra.90
90
Ratnah Umar, “Tafsir Al-Azhar Karya Hamka (Metode Dan Corak Penafsirannya)”,Jurnal
Al-Asas, Vol. Iii, No. 1, (2015). 21
54
BAB IV
PENELITIAN DAN ANALISA JIHAD MENURUT PEMIKIRAN
IBNU KATSIR DAN BUYA HAMKA DALAM MENAFSIRKAN AYAT-
AYAT TENTANG JIHAD
A. Konsep Jihad menurut Ibnu Katsir dan Buya Hamka
Berbicara tentang konsep jihad, tidak sedikit para ulama yang berpendapat
tentang permasalahan ini sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas tadi
banyak di kalangan ulama yang berpendapat tentang masalah ini diantaranya juga
Ibnu Katsir dan Buya Hamka, karena jihad merupakan ajaran yang begitu amat
penting dalam Islam karena Al-Qur‟an adalah sumber hukum Islam dan begitu
banyak memuat kata-kata jihad di dalamnya sebagaimana yang telah pnulis sebut
di atas yaitu sebanyak 41 kali dalamnya. Jihad juga merupakan bagian wacana
Islam sejak masa awal hingga masa kini banyak pemikir Muslim yang terlibat
dalam membicarakan tentang tentang jihad, baik dalam kaitannya dalam doktrin
fiqih maupun dalam politik Islam.
Dalam terminologis Islam, jihad bisa didefinisikan sebagai perjuangan
secara bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segenap potensi dan kemampuan
yang dimiliki untuk meraih tujuan, terutama dalam menghadapi musuh maupun
untuk menyuarakan kebenaran, menebarkan kebaikan dan keluhuran. Oleh karena
itu, tidak semua kata jihad yang termaktub dalam Al-Qur‟an diarahkan dalam arti
berperang di jalan Allah. Sebab didapati sejumlah kata jihad dalam ayat-ayat Al-
Qur‟an yang menunjukkan makna bersungguh-sungguh untuk memperoleh tujuan
secara mutlak.91
Mayoritas kata jihad yang tertera dalam Al-Qur‟an mengarah pada
pengertian umum. Dalam pengertian, makna jihad bersifat general tidak hanya
tersekat pada peperangan, pertempuran, penumpahan darah, perusakan,
penganiayaan dan sebagainya. Tetapi, ia meliputi segala bentuk perbuatan yang
mengandung kebaikan yang diupayakan secara maksimal dalam rangka
91
Ainol Yaqin, “Rekontruksi Dan Reorientasi Jihad Di Era Kontemporer; Kajian Tematik
Atas Ayat-Ayat Jihad”,Okara Journal of Languages and Literature, Vol. 1, (2016),13.
53
55
meninggikan ajaran Islam, menegakkan keadilan dan kebenaran, menumpas
kebathilan dan melawan kedhaliman serta segala bentuk Amar Ma‟ruf Nahi
Mungkar oleh karena itu, semangat jihad harus terus menyala dalam dada umat
Islam secara terus-menerus, baik dalam kondisi aman maupun situasi perang,
karena ia merupakan urat nadi tegak dan majunya agama Islam. Sebaliknya, bila
semangat jihad telah meredup dari jiwa umat Islam, maka gairah dalam meraih
hidup yang lebih baik dan maju akan merosot. Hal ini akan berdampak pada
kemunduran dan ketertinggalan umat Islam itu sendiri.92
Dalam Islam, jihad merupakan puncak ajaran, pagar penjaga dasar-dasar
agama, dan juga pelindung bagi negara Islam dan umat Islam. Jihad merupakan
salah satu dasar ajaran Islam yang paling utama sebab jihad merupakan media
untuk meraih kejayaan, kemuliaan, dan juga kedaulatan. Atas dasar itulah jihad
baik dalam artian fisik maupun non fisik diwajibkan hingga hari kiamat.93
Sedangkan menurut Ibnu Katsir jihad ialah memerangi musuh-musuh yang
nyata, memerangi orang-orang kafir yakni dengan menggunakan pedang atau
senjata. Beliau juga berpendapat bahwa jihad merupakan salah satu amal ibadah
yang bisa mendekatkan diri seorang hamba kepada rabnya, ketika mereka
mengerjakan suatu amalan yang di perintahkan oleh Allah SWT, maka amalan
tersebut kembali kepada dirinya sendiri, begitu pula ketika Allah memerintahkan
mereka orang-orang Isam untuk berjihad memerangi dan melawan orang-orang
kafir yang memusuhi umat Islam maka mereka yang beriman menyambutnya
dengan lapang dada dengan hati yang terbuka dan segera mengerjakannya.94
Ibnu Katsir menegaskan selain berjihad dengan menggunakan fisik, jihad
juga bisa menggunakan dengan harta benda yang dimiliki orang-orang muslim
untuk digunakan dalam kepentingan berperang melawan musuh-musuh Islam.95
Jihad dengan harta menjadi prioritas utama karena dilihat dari sisi kebututuhan,
para mujahid yang menginfakkan hartanya lebih bermanfaat untuk orang banyak,
92
Ainol Yaqin, “Rekontruksi Dan Reorientasi Jihad Di Era Kontemporer; Kajian Tematik
Atas Ayat-Ayat Jihad”,Okara Journal of Languages and Literature, Vol. 1, (2016),13 93
Musda Asmara, “Reinterpretasi Makna Jihad Dan Teroris”,Jurnal Hukum Islam,l, No.1, (2016), 66.
94Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir (Surabaya PT Bina Ilmu, 1990), 52.
95Ibid., 123-124.
56
karena secara langsung mereka akan memenuhi kebutuhan para pejuang ketika
dalam peperangan. Pada dasarnya jihad dengan perang bisa dikatakan hampir
sama pentingnya, akan tetapi para mujahid yang menginfakkan hartanya
dipandang memiliki kontribusi yang lebih dalam jihad karena harta yang mereka
infakkan dapat mencukupi semua kebutuhan mujahid yang lain yang tidak bisa
berinfak dengan harta terutama bagi mereka yang miskin atau tidak memiliki harta
untuk berinfak.96
Namun di sisi yang lain makna jihad juga di tekankan kepada sebuah
kesabaran dan ketabahan seseorang hamba dalam pengabdiannya kepada sang
penciptanya, baik dalam ujian berdakwah dalam menyampaikan misi dan visi
agama Islam ataupun ujian yang yang lainnya.
Achmad Mubarok mendefinisikan sabar sebagai tabah hati tanpa mengeluh
dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam
rangka mencapai tujuan. Karena sabar bermakna kemampuan mengendalikan
emosi, maka nama sabar berbeda-beda tergantung objeknya dalam sabar dibagi
mejadi delapan kategori :
1. Ketabahan menghadapi musibah, disebut sabar, kebalikannya adalah
gelisah dan keluh kesah.
2. Kesabaran menghadapi godaan hidup nikmat disebut mampu menahan diri
(dhobith an nafs), kebalikannya adalah tidaktahanan (bathar).
3. Kesabaran dalam peperangan disebut pemberani, kebalikannya disebut
pengecut.
4. Kesabaran dalam menahan marah disebut santun (hilm), kebalikannya
disebut pemarah (tazammur).
5. Kesabaran dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut lapang
dada, kebalikannya disebut sempit dadanya.
6. Kesabaran dalam mendengar gosip disebut mampu menyembunyikan
rahasia.
96
Abdul Fattah, “Memaknai Jihad Dalam Al-Qur‟an Dan Tinjauan Historis Penggunaan
Istilah Jihad Dalam Islam”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol, 03 No. 01(2016), 80.
57
7. Kesabaran terhadap kemewahan disebut zuhud, kebalikannya disebut
serakah.
8. Kesabaran dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana‟ah).97
Sedangkan Jihad menurut Buya Hamka sendiri di dalam tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Azhar, bahwa arti jihad ialah kerja keras, bersungguh-sungguh
atau berjuang dijalan Allah, agama tidaklah akan berdiri kalau tidak ada semangat
berjuang.98
Terkadang juga arti jihad dikhususkan kepada suatu peperangan apabila
peperangan sudah diserukan kepada semua orang, besar atau kecil, muda maupun
tua, dalam ringan ataupun berat. Arti dari ringan dan berat di sini banyak
dikalangan ulama yang berpendapat antara lain ialah, seperti Ibnu Zaid ia
berpendapat ringan adalah orang yang tidak banyak mempunyai harta benda,
sedangkan berat orang yang mempunyai banyak harta benda yang sukar untuk
meninggalkan. Sedangkan menurut An-Nakhai beliau berpendapat berat ialah
tentara pelopor yang baru atau pemula mengikuti peperangan dan berhadapan
dengan musuh sedangkan ringan ialah tentara yang sudah biasa dalam mengikuti
peperangan. Sedangkan menurut Al-Auz arti dari ringan ialah tentara yang tidak
menggunakan kendaraan, berat ialah tentara yang berjalan kaki dalam mengikuti
peperangan. 99
Arti yang pokok daripada jihad menurut Buya Hamka adalah bekerja keras,
bersungguh-sungguh, tidak mengenal kelalaian, siang dan malam, petang dan
pagi. Berjihad agar agama ini maju, jalan Allah tegak dengan utuhnya. Berjuang
dengan mengutamakan tenaga, harta benda, dan kalau perlu jiwa sekalipun. Arti
jihad adalah umum dan luas, perang adalah salah satu diantaranya, kesungguhan
dan kegiatan yang didorong oleh hati tulus ikhlas melakukan amar ma‟ruf nahi
munkar serta berdakwah dijalan Allah.100
97 M. Yusuf, “Sabar Dalam Perspektif Islam Dan Barat”, Jurnal Al-Murabbi, Vol 4, Nomor
2, (2018), 236. 98
AbdulMalik Karim Amrullah, Tafsir Al-azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1990), 2876. 99
Ibid., 2974. 100
AbdulMalik Karim Amrullah, Tafsir Al-azhar (Singapura pustaka Nasional, 1990), 2887.
58
Selain itu Buya Hamka juga menerangkan hukum pergi berjihad bagi
orang-orang Mu‟min ketika nafir atau panggilan berjihad telah dibunyikan dengan
dalam hal ini beliau mengambil pendapat yang lain salah satunya ialah pendapat
dari ulama Fiqh. Menurut ulama ahli Fiqh menetapkan bahwa hukum pergi jihad
ialah pardu kifayah, artinya terlepas semua kewajiban orang Mu‟min yang lain
jika telah ada Mu‟min yang lain untuk pergi berperang. Tetapi hukum jihad akan
menjadi wajib jika musuh-musuh Islam masuk ke dalam negeri orang Islam,
mereka menyerang, melakukan pemberontakan dan membunuh orang Islam maka
setiap orang Mu‟min wajib berjihad membela agamanya untuk melawan musuh-
musuh Islam.101
Umat Islam dalam kehidupannya diharuskan untuk memperbanyak amal
kebajikan, dengan demikian berjihad adalah suatu keharusan bagi mereka. Namun
perlu diinterpretasi lebih lanjut bahwa jihad dalam artian mengangkat senjata
melawan orang kafir adalah fardhu kifāyah, artinya bahwa jika sudah ada yang
melaksanakan-nya, maka kewajiban berjihad menjadi gugur bagi orang lain. Jika
tidak, maka siapa pun yang mengetahuinya berdosa, kecuali dalam tiga kondisi
yang merupakan merupakan „ain, yaitu :
a. Jika dua pihak sedang saling berhadapan, sehingga diharamkan untuk
mundur dan berbalik
b. Jika musuh menyerang suatu negeri dan mengepungnya, yang berarti
mengharuskan semua orang untuk menghadapinya.
c. Jika imam (pemimpin Islam atau pemimpin perang) meminta umat Islam
untuk berangkat berperang secara umum atau secara khusus ditujukan
kepada orang-orang tertentu.102
Hal yang senada juga di ungkapkan oleh fakar ahli tafsir yakni Quraish
Shihab mengenai permasalahan jihad beliau berpendapat arti jihad ialah tidak
hanya perjuangan berbentuk perang pisik atau perlawanan bersenjata saja karena
101
Ibid.,1366. 102 St. Jamilah Amin, “Ranah Jihad Perempuan Dalam Perspektif Hadis”, Jurnal Al-Maiyyah,
Vol 9 No. 1 (2016), 122.
59
arti dari jihad itu luas. Walaupun memang di akui bahwa salah satu bentuk jihad
adalah perjuangan fisik atau perang.103
Dari penjelasan yang di paparkan oleh Quraish Shihab di atas maka
dapatlah dipahami bahwa jihad banyak memiiki beragam makna dan bentuk,
seperti jihad melawan orang-orang kafir, munafik, setan, dan lain sebagainya.
Tidak hanya terhenti disitu saja jihad juga dapat dilakukan sesuai dengan profesi
dan kemampuan masing-masing individu, seperti seorang ilmuwan bisa jihad
dengan memanfaatkan ilmunya, pemimpin bisa jihad dengan keadilannya dan
lainnya, Asalkan semuanya itu diniatkan hanya karena Allah SWT.104
B. Ayat Al-Qur’an Yang sama dalam penafsiran keduanya Yang Berkenaan
Dengan Permasalahan Jihad
Pertama terdapat pada surah At-taubah ayat 41
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat,
dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.105
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas ialah bahwa Allah memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi musuh-musuhnya, seperti
orang-orang kafir dan ahli kitab dari bangsa Romawi, dan mengimbau kepada
kaum muslim buruh atapun para petani agar berangkat bersama-sama Rasulullah
menuju medan jihad. Menurut Assudi perintah Jihad ini Allah mengajak semua
orang baik kaya maupun miskin untuk bersama-sama jihad di jalan Allah.106
103
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, ( jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007), 505. 104
Mambaul Ngadhimah dan Ridhol Huda, “Konsep Jihad Menurut M. Quraish Shiahab
Dalam Tafsir Al-Mishbah Dan Kaitannya Dengan Materi Pendidikan Agama Islam”, Jurnal
Cendekia, 13, No.2 (2015), 06. 105
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Special for woman, (Bandung:
Sygma), 194. 106
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2005), 59.
60
Buya Hamka menafsirkan ayat di atas bahwa ketika ada panggilan perang
maka bersegeralah bersiap baik dalam keadaan ringan ataupun dalam keadaan
berat sekalipun. Adapun yag dimaksud berat dan ringan ialah, disni Buya Hamka
mengambil beberapa pendapat dari kalangan ulama yaitu sebagai berikut.
Pertama pendapat dari Ibnu Abbas dan Qatadah keduanya berpendapat bahwa
yang dimaksud ringan dan berat disni ialah seseorang memiliki badan yang sangat
lincah sedangkan kedaan ringan ialah seseorang sangat lambat.
Kedua pendapat dari al-Hasan beliau menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan Ringan ialah mereka yang masih muda sedangkan Berat mereka yang
sudah tua dan lain sebaginya. Di samping itu Buya Hamka menafsirkan ayat ini
dengan mengutip dari pendapat ahli tafsir lainnya bahwa ayat ini menerangkan
ketika panggilan jihad telah datang maka setiap orang akan masuk di dalam nya
tua dan muda semua harus siap.
Didalam tafsirnya juga Buya Hamka menceritakan bagaimana perjuangan
sahabat Nabi Muhammad SAW yang bernama Ibnu Ummi Makhtum sahabat
Nabi yang buta yang terkenal shahihnya dan menjadi seorang Mu‟azzin
Rasulullah, ketika ada peperangan uhudpun dia ikut berperang bersama Raulullah
walaupun dia dalam keadaan buta.
Bahkan dengan gagah dan berani nya Ibnu Ummi Makhtum meminta
supaya bendera diberikan kepadanya supaya dia yang memegangnya dan
mengibarkannya ketika peperangan berlangsung. Apa kata beliau “ saya adalah
orang yang buta yang tidak dapat melihat sama sekali, maka kepada sayalah
serahkan bendera itu, karena jika pembawa bendera telah jatuh maka akan
kalahlah pasukan umat Muslim dan tentaranya. Tetapi sedangkan aku tidaklah aku
ketahui siapa-siapa yang datang kepadaku dengan pedangnya, oleh sebab itu aku
tidak akan meninggalkan tempatku ini walaupun siapa yang datang
menghampiriku.” Meskipun bendera yang dia minta tidak diberikan kepadanya
malainkan kepada sahabat Nabi yang lainnya yang bernama Mush‟ab bin „Umair,
61
namun pelajaran yang bisa kita ambil dari beliau ialah semangat yang begitu luar
biasa dari diri nya walaupun keadannya yang dialaminya buta.107
Selain itu Hamka juga menafsirkan ayat ini bahwa makna berjihad itu
tidak semata-mata dengan menggunakan perang pisik tetapi jihad juga dapat
dilakukan dengan harta benda yang di miliki orang muslim. Berjihad dengan harta
ialah menyumbangkan sebagian dari hartanya bagi yang kaya raya sebagaimana
yang dilakukan oleh sahabat Nabi yang bernama Usman bin Affan beliau yang
telah menyumbangkan barang dagangannya dengan seratus ekor unta untuk
diserahkan kepada mujahid Islam.108
Surah At-taubah ayat 81
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira
dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata:
"Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini".
Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)" jika mereka
mengetahui”.109
Dalam tafsir Ibnu katsir ayat di atas menerangkan bahwa Allah mencela
orang-orang munafik yang tidak mau ikut berjihad dengan harta dan jiwa mereka
di jalan Allah. Mereka juga sangat bergembira dan senang karena tidak ikut
berperang bersama Rasulullah saw. Sampai-sampai merekapun berkata kepada
yang lain “ jangan lah kalian ikut berperang dalam keadaan cuaca yang sangat
pana ini”
107
H. Abdul Malik Adullah Amrullah, Tafsir Al-Azhar, ( Singapura: Pustaka Nasional, 2003)
2976 108Ibid,. 2977 109
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Special for woman, (Bandung:
Sygma), 200.
62
Sehingga Allah pun berfirman kepada nabi Muhammad, “katakanlah
wahai Muhammad, bahwa api neraka yang akan menjadi tempat kamu karena
ulah pelanggaranmu, lebih sangat panas dari pada cuaca yang kamu jadikan alasan
dan uzur tidak ikut perang”.110
Buya Hamka menafsirkan ayat ini bahwa mereka bergembira dan senang
karena tidak ikut memikul kewajiban yang telah dipikulkan tuhan kepada meraka,
supaya mereka berperang di bawah pimpinan Rasul. jiwa seprti inilah yang
merusak diri mereka sendiri bergembira dalam hal salah. Di samping itu mereka
juga bergembira karena tidak mengorbankan harta benda mereka untuk jihad di
jalan Allah, bahkan mereka mengajak kepada kelompok yang lain agar mereka
tidak ikut berperang di bawah pimpinan Rasul dengan berkata “ janganlah kamu
pergi berperang di waktu panas”. Mereka berkata dengan memberi alasan bahwa
di padang pasir sangat panas. Tetapi Rasulullah dan para sahabat sanggup pergi
berperang walaupun di pasan terik yang menyengat. Alasan panas yang mereka
berikan adalah salah satu alasan yang hanya timbul dari orang-orang munafik.111
Surah An-nisa ayat 95
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang
tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduksatu derajat.
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan
110
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2005), 113. 111
H. Abdul Malik Adullah Amrullah, Tafsir Al-Azhar, ( Singapura: Pustaka Nasional, 2003)
3058
63
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang dudukdengan
pahala yang besar”.112
Maksud dari ayat di atas ialah bagi mereka yang tidak bisa ikut berperang
karena ada uzur sehingga mereka tidak dapat ikut berjihad bersama Rasul dan
para sahabat yang yang lain.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat di atas memberi keringanan dan jalan
keluar bagi orang-orang yang mempunyai uzur yang membolehkan mereka untuk
tidak ikut berjihad, seperti tuna netra, pincang, dan sakit; hingga kedudukan
mereka tetap sama dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwanya. Setelah itu Allah memberitakan perihal keutamaan yang dimiliki
oleh orang-orang yang berjihad, bahwa keutamaan mereka berada di atas orang-
orang yang duduk tidak ikut berperang satu derajat.
C. Ayat Al-Qur’an Yang Berbeda Dalam Penafsiran Keduanya Yang
Berkenaan Dengan Pemasalahan Jihad
Surah At-Taubah ayat 73
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah
seburuk-buruknya tempat kembali.”113
Allah SWT menyuruh Rasulnya Nabi Muhammad SAW, berjihad
melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan agar besikap keras
terhadap mereka dan Allah memberitahukan bahwa orang-orang kafir dan
munafik kelak di akhirat akan dimasukkan kedalam neraka Jahannam.114
112
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Special for woman, (Bandung:
Sygma), 94. 113
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Special for woman, (Bandung:
Sygma), 198. 114
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2005), 100.
64
Seperti kita ketahui orang-orang kafir dan munafik ialah dua golongan
yang sangat berbahaya tujuan mereka ialah ingin menghancurkan umat Islam,
agar umat Islam mengikuti agama mereka. Di sini penulis ingin menerangkan
sedikit dari pengertian kafir dan munafik dan ciri-ciri mereka. Kafir ialah orang-
orang yang tidak mau sujud kepada Allah dan ingkar kepada apa yang orang
Mukmin dan tidak mempercayai terhadap apa yang Mukmin percayai dan mereka
termasuk orang-orang yang sesat. Kafir juga selalu menyembunyikan kebaikan
dan nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka.115
Ciri-ciri orang kafir ialah sebagai berikut:
1. Tidak mau beriman kepada kepada Allah, rasulnya, hari kiamat, hari
pembalasan, dan takdirnya Allah SWT.
2. Tidak mau menyembah kepada Allah, bahkan mereka lebih memilih
menyembah kepada yang tidak bisa memberi manfaat kepadanya.
3. Tidak senang kepada orang-orang yang beriman, dan selalu iri hati
kepadanya khusus nya kepada orang-orang yang beriman yang selalu
mendapat dari Allah SWT.116
Sedangkan orang munafik ialah orang yang mengaku beriman kepada
Allah dan rasul, tetapi iman mereka hanya di mulut saja, di dalam hati mereka
tidak beriman sama sekali kepada Allah dan rasul. Orang-orang munafik lebih
berbahaya dari orang-orang kafir, ketika mereka bertemu dengan orang beriman,
mereka mengaku dirinya beriman kepada Allah dan rasul, tetapi ketika mereka
bertemu sesama nya dan mereka ingkar tidak mengimani Alllah dan rasulnya.
Mereka hanya ingin menipu Allah dan orang-orang mukmin, walapun
sebenarnya perbuatan mereka itu hanya menipu diri mereka sendiri sedangkan
mereka tidak menyadari. Ciri-ciri munafik ialah:
1. Apabila mereka berbicara selalu berdusta.
2. Apabila mereka berjanji selalu mengingkari
115
Azhar, “Analisis Komparatif Konsep Takfir Antara Salaf Dan Khalaf” Jurnal Al-Lubb,
Vol.2, No.1 (2017) 121 116
Irfan Afandi, “Kafir dan Munafik : Politik Identitas Kewargaan di awal Islam (Kajian
Tentang Qs. Al-Baqoroh: 1-20) “ Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Hukum
Islam, Vol, IX , No 1: 66-85, ( 2017) 69.
65
3. Dan apabila diberi suatu amanah mereka selalu berkhianat atas amanah
yang diberikan tersebut.117
Dalam ayat ini juga, selain Allah memerintakan untuk berjihad melawan
orang-orang kafir, Allah juga menyeru agar umat Islam berjihad melawan orang-
orang munafik dan bersikap keraslah terhadap keduanya dan janganlah bersikap
lemah lembut terhadapnya serta sedapat mungkin harus menjahui mereka. Orang-
orang munafik mereka tidak hanya terhenti dengan kemunafikannya tetapi mereka
berusaha dan berupaya menarik orang-orang yang beriman untuk ikut kedalam
golongan mereka dengan harapan agar orang-orang beriman bersikap seperti
mereka.118
Muhammad Chizrin di dalam Jurnal nya yang berjudul Jihad dalam Al-
Qura‟an perspektif Modernis dan Fundamentalis mengutip pendapat dari Rasyid
Ridha dan Sayyid Qutb menulis bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada Nabi
agar mencurahkan tenaga, jerih payah dan perhatian menghadapi kelompok kafir
dan munafik, sebagaimana mereka memusuhi orang beriman. Orang munafik
diperlakukan seperti muslim, kecuali jika menampakkan kekafiran atau tindak
aniaya terhadap umat Islam melarang muslim menegakkan syiar agama Islam.
Menurut Quthb, Allah menggabungkan orang munafik dengan orang kafir untuk
dihadapi Nabi dengan jihad yang tak tanggung-tanggung. Jika tempo untuk
berlemah-lembut sudah habis, maka tiba saatnya bersikap keras.119
Sedangkan menurut Ibnu Katsir sendiri ayat di atas menjelaskan bahwa
Allah Ta‟ala berfirman seraya memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw. untuk
berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka, untuk menjelaskan bagaimana maksud dari bersikap
keras, Ibnu Katsir mengutip dari penafsiran beberapa para sahabat di antaranya
ialah Pendapat dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, Allah SWT, memerintahkan
kepada Nabinya untuk memerangi orang-orang kafir dengan menggunakan
117
Ibid., 70. 118
Taqi Misbah Yazdi, Perlukah Jihad? Meluruskan Salah Paham seputar Jihad, ( Jakarta:
Al-Huda, 2006), 144-145. 119
Muhammad Chirzin,”Jihad Dalam Al-Qur‟an Perspektif Modemis Dan Fundamentalis”,
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari- Juni (2003), 109.
66
pedang, sedangkan terhadap orang munafik yaitu dengan menggunakan kata-kata
dan bersikap keras. Sedangkan menurut ad-Daahak, ayat ini menerangkan dan
bermaksud perangilah orang-orang kafir itu dengan menggunakan pedang,
sedangkan dengan orang munafik menggunakan kata-kata dan ini sudah termasuk
jihad terhadap mereka.120
Adapun alasan Ibnu Katsir memaknai jihad dengan perang karena
dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi Islam yang cukup kuat di masa itu dan
masyarkat pada masanya sangat berpegang teguh pada ajaran Al-Qur‟an dan hadis
sehingga peraturan-peraturan yang diterapkan pada masa itu memang aturan yang
benar-benar yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Selain masa keemasan, pertengahan terakhir masa Daulah „Abbasiyah
ditandai dengan masa disintegrasi. Harun Nasution mencatat bahwa masa
disintegrasi terjadi pada tahun 1000-1250 M, ditandai dengan pecahnya keutuhan
umat Islam di bidang politik. Demikian juga khilafah sebagai lambang kesatuan
politik umat Islam menjadi hilang hingga Hulagu Khan menghancurkan Baghdad
pada tahun 1258. Kekuasaan khalifah di Baghdad hanyalah boneka saja.
Sementara di beberapa daerah, para sultanlah yang secara real berkuasa. Pada
masa-masa inilah hingga awal abad ke-20, jihad sering digunakan sebagai
panggilan untuk tindakan radikal melawan kekuasaan yang tidak legitimate.
Ibnu Taymiyyah menyerukan kewajiban revolusi melawan penguasa yang
melampaui atau meninggalkan hukum Islam. Karena itu, sejarah mencatat, mulai
dari Bani Almoravid abad ke-11, jihad Sholahuddin melawan kaum Salib pada
abad ke-12 (Perang Salib berlangsung dari tahun 1095-1291 M, pada tanggal 7
Juni 1099 tentara Salib berhasil menguasai Jerussalem, akan tetapi pada 2 Oktober
1189 Shalahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Baitul Maqdis. dari tentara
Salib), jihad melawan suku-suku kafir dan penguasa Spanyol, jihad di Kurdistan
melawan penguasa Timurid, dan awal abad ke-16 jihad sebagai kekuatan
antikolonial.121
120
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir (Surabaya PT Bina Ilmu, 1990), 101. 121
Zakiya Darajat, Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep Dan Praktik Jihad Dalam Sejarah
Islam, Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam Dan Kemanusiaan Vol. 16, No. 1 (2016), 10-11
67
Konsepsi jihad yang dipraktikkan umat Islam pada periode klasik dan
periode pertengahan paling tidak menggambarkan beberapa pola hubungan antara
otoritas religio-politik dunia Islam dengan praktik jihad di antaranya ialah.
Pertama, pada masa Islam klasik, khalifah yang merepresentasikan dirinya
sebagai penerus Nabi memiliki satu-satunya otoritas yang sah untuk memimpin
jihad, yang konsepsinya langsung berasal dari Al-Qur‟an dan Hadith Nabi. Perang
ofensif dilakukan melalui jihad melawan para pengganggu kedamaian Islam
seperti kaum bid„ah, mereka yang murtad, dan mereka yang menyimpang. Kedua,
jihad dan otoritas memimpin jihad berasal dari para ahli hukum klasik, tetapi
mengambil bentuk baru dalam perang untuk mengusir tentara Perang Salib.
Tokoh seperti Nuruddin dan Solahuddin al-Ayyubi melakukan perang defensif
dalam jihad yang bertujuan merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya
masuk dalam dar al-Islam. Ketiga, konsep jihad yang mengambil bentuk tradisi
ghaza yang dipraktikkan para Sultan „Uthmaniyyah, yaitu jihad ofensif yang
bertujuan untuk memperluas kekuasaan Islam pada ketika ketika itu.
Jihad melawan orang-orang kafir, ialah dilakukan dengan kekuatan
senjata, peperangan dan pertempuran, serta berperang di jalan Allah. Agar mereka
masuk dan memeluk agama Islam dan mengembalikan mereka kepada tujuan
Allah yang menciptakan mereka, kemudian agar mereka sujud dan menyembah
kepada Allah yang telah memeberikan mereka rizki serta nikmat-nikmatnya
kepada mereka. Maka hanya Allah lah yang wajib di sembah dan tidak boleh
memalingkan bentuk ibadah apa pun kepada selain Allah, seperti kepada berhala,
patung, sekutu pepohonan, bebatuan, jin dan lain sebagainya. Inilah tujuan
berjihad melawan orang-orang kafir serta meninggikan kalimat Allah.122
Sedangkan jihad dalam menangani orang munafik ialah bahwa mereka
tidak boleh langsung diperangi dengan menggunakan pedang, kecuali mereka
memberontak. Dalam pendapat ulama yang lain hukum orang-orang munafik ini
sama hal nya dengan orang-orang Mu‟min. Mereka tidak boleh diperang ataupun
122
Abul Asybal Ahmad bin Salim Al-Mishri, Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar Terorisme,
Jihad dan Mengkafirkan Muslim (Jakarta:Darul Haq, 2006), 498.
68
diserang kecuali mereka telah menyatakan kufur dan murtad secara terang-
terangan.
Sedangkan Buya Hamka menafsirkan ayat di atas dengan menghimpun
antara orang-orang kafir dan orang munafik, berkenaan dengan perintah berjihad
dan bersikap keras terhadap keduanya. Karena kedua kelompok ini memiliki
peran untuk mendatangkan ancaman dan bahaya bagi pasukan Islam, adapun misi
dari keduanya ialah ingin sama-sama menghancurkan dan mencerai beraikan umat
Islam dengan cara mereka. Oleh karena itu Allah SWT, menyuruh berjihad dan
bersikap keras terhadap mereka, sekaligus menunjukkan dan membuktikan
keteguhan hati seorang Mu‟min dalam menjalankan perintah Allah, yaitu berjihad
dan berperang melawan orang-orang musyrikin. Peperangan yang berturut itu
yang dilakukan oleh orang Mu‟min ialah sekaligus untuk menyaring mana di
anatara kaum Mu‟min yang benar-benar berjihad karena Allah dan mana di antara
mereka yang masih ragu-ragu dalam berjihad.123
Makna jihad dalam hal ini jangan sampai dipahami dalam artian yang
keliru apalagi sampai bertentangan dengan misi agama Islam sebagai agama
rahmatan lil „alamin. Peperangan/konflik (antar agama khususnya), pembakaran
rumah ibadah, bom bunuh diri yang diklaim sebagai gerakan jihad, tentu
menggambarkan sedikit banyak kecenderungan yaitu ketika jihad dipahami dalam
artian yang bertentangan dengan maknanya yang hakiki.
Selanjutnya Buya Hamka menafsirkan ayat di atas bahwa Allah SWT
memerintahkan Rasul untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik,
dalam ayat ini juga dikatakan bahwa kedudukan orang munafik itu sama dengan
orang-orang kafir, karena tingkah laku orang-orang munafik juga ingin menentang
Rasul dari dalam. Sedangkan orang kafir sudah nyata atau nampak mereka ingin
menentang dan melawan Rasul. Maka dari itu hendaklah mereka itu dijihad,
dilawan dan ditangkis tantangan mereka dengan berbagai cara.
Buya Hamka juga menegaskan jihad tidak semata kepada peperangan
yang hanya menimbulkan kepada pertumpahan darah, tetapi arti dari jihad disni
123
H. Abdul Malik Adullah Amrullah, Tafsir Al-Azhar, ( Singapura: Pustaka Nasional, 2003)
2876.
69
bermakna luas dan perangpun termasuk di dalamnya. Satu di antaranya juga
hendaklah bersikap keras atau gagah terhadap mereka.124
Alasan Buya Hamka dalam menafsirkan jihad dengan usaha sungguh-
sungguh, bekerja keras dalam artian tidak semata kepada peperangan karena Buya
Hamka adalah seorang ulama yang hidup di tengah-tengah menjamurnya berbagai
paham nasional dan keagamaan, serta pernah menyaksikan dan terlibat dalam
gerakan revolusi melawan penjajahan.
beliau juga menyaksikan semangat jihad anak bangsa yang luar biasa baik
saat merebut, mempertahankan, maupun mengisi kemerdekaan. Selain itu, ia juga
pernah mengabdikan dirinya secara formal pada negara sebagai PNS, anggota
parlemen, dan Ketua Majelis dari sisi substansi, pemaknaan Hamka terhadap ayat-
ayat kenegaraan dan jihad memperlihatkan konsistensinya dalam
memperjuangkan Islam di satu sisi namun juga memperlihatkan keterbukaan dan
kelenturannya dengan kondisi sosial yang dihadapinya. Terkait konsep
kenegaraan, ia misalnya, konsisten memandang bahwa relasi agama dan negara
bersifat integral. Baginya persoalan agama tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
bernegara.
Namun ia juga tidak bersikukuh untuk memaksakan bentuk negara menjadi
negara Islam. Meskipun, sebagai muslim ia menginginkan jika negara Indonesia
berasaskan Islam. Namun, ketika berbenturan dengan kondisi dan masyarakat
menyepakati model negara Pancasila, ia bisa menerima kesepakatan itu sambil
berupaya untuk terus menyempurnakannya. Apalagi baginya, bentuk negara
tidaklah ditentukan secara rinci dalam Al-Qur‟an. Ia bersifat sosiologis sesuai
kadar perkembangan masyarakat. Yang penting negara itu memungkinkan bagi
pelaksanaan syari‟at Islam. Sambil menghargai kesepakatan-kesepakatan yang
ada, ia berupaya melakukan penyempurnaan-penyempurnaan sesuai kadar dan
kemampuan yang dimiliki Ulama Indonesia (MUI). Karenanya, pemaknaannya
terhadap konsep negara dan jihad dalam kehidupan bernegara dan berbangsa perlu
124
Ibid., 3036.
70
kembali diapresiasi, terutama di tengah menjamurnya pemaknaan yang radikal
belakangan ini.125
Rifa‟at Husnul Ma‟afi mengutip dari kitab tafsir Al-Mishbah karangan
dari Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa orang kafir dan munafik
harus diperangi karena mereka sering mengotori lingkungan umat Islam dengan
ide-ide dan perbuatan-perbuatan mereka. Dalam penjelesan selanjutnya, Quraish
Shihab juga berpendapat bahwa perang melawan orang kafir dan munafik dalam
ayat di atas ialah bisa menggunakan hati, lisan, harta, dan jiwadan kemampuan
yang dimiliki seseorang.126
Menurut Mambaul Ngadhimah dan Ridhol Huda, di dalam jurnalnya yang
berjudul Konsep Jihad Menurut M. Quraish Shiahab dalam Tafsir Al-Mishbah
Dan Kaitannya Dengan Materi Pendidikan Agama Islam, mengutip pendapat dari
Quraish Shihab menurut Ibnu Mas‟ud jihad yang dilakukan kepada orang kafir
dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan menggunakan tangan atau dengan
jalan perang, menampakkan dengan muka masam dan mendoakan dalam hati.
Tetapi berbeda halnya dengan orang-orang munafik, karena orang-orang munafik
secara lahirya mereka bergaul seakan-akan mereka beriman dan menjadi orang
Islam, sehingga cara yang digunakan dalam meghadapi orang munafik ini dengan
cara berdialog. Kecuali jika mereka melakukan perlawan dan menyerang orang-
orang Mu‟min maka boleh dilawan dengan peperangan pula.127
D. Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Katsir dan Buya Hamka
Jihad Di Masa Sekarang
Jika dilihat dari kontekstualitas jihad di masa ini, sangat dapat dipahami
bahwa jihad sangat diperlukan dan dilaksanakan melihat keadaan situasi dan
kondisi sekarang ini sudah semakin kacau. Pada masa sekarang, pemikiran
125 Sidik, Deradikalisasi Pemaknaan Konsep Negara Dan Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar,
Jurnal Analisa , 19 No, 01, (2012), 70-71. 126
Rifa‟at Husnul Ma‟afi, “konsep Jihad dalam Perspektif Islam”, Jurnal Kalimah, II, No. 1,
(2013), 139. 127
Abdul Fattah,”Memaknai Jihad Dalam Al-Qur‟an Dan Tinjauan Historis Penggunaan
Istilah Jihad Dlam Islam”, Jurnal Pendidikan Islam, III, No.1 (2016), 81.
71
tentang jihad dari kedua tokoh yang dikaji oleh penulis sama-sama baik untuk
diterapkan. Namun ketika pendapat Ibnu Katsir ini di terapkan di zaman sekarang
yakni ketika agama Islam sedang terancam dan diserang oleh orang-orang kafir,
kaum kafir yang memberontak dan teraang-terangan menyerang umat Islam
seperti yang terjadi di Negara saudara orang muslim di Palestina, maka kita selaku
umat Islam wajib memerangi atau melawan kembali orang-orang kafir tersebut
yakni dengan menggunakan senjata, pedang atau dengan menggunakan alat
lainnya.Tetapi ketika orang-orang kafir tidak mengganggu kampung halaman
orang-orang Islam dan tidak menyakitinya maka umat Islam tidak boleh
memerangi mereka,karena agama Islam tidak mengajarkan kekerasan.
Jihad di era modern ini sangatlah luas maknanya sebagaimana telah
dijelaskan oleh Buya Hamka ialah dengan bekerja keras, dalam hal ini yang di
maksud dengan bekerja keras ialah dalam hal yang fositif seperti yang dilakukan
oleh seorang ayah sebagai kepala rumah tangga dalam mencari nafkah demi untuk
menghidupkan keluarganya. Bagi seorang yang pekerja keras, Allah SWT akan
mengganti setiap tetesan keringatnya tak hanya dengan materi di dunia tetapi juga
dengan pahala di akhirat kelak. Islam tidak menganjurkan umatnya untuk
menengadahkan tangan mengharap belas kasih orang lain.Selain itu juga agama
Islam memandang bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad, jika sang pekerja
bersikap konsisten terhadap peraturan Allah SWT, suci niatnya dan tidak
melupakan-Nya. Dengan bekerja, masyarakat bisa melaksanakan tugas
kekhalifahannya, menjaga diri dari maksiat, dan meraih tujuan yang lebih besar.
Kemuadian Buya Hamka menjelaskan arti dari jihad ialah dengan
berusaha sungguh-sungguh seperti yang dilakukan oleh seorang pelajar
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu untuk mencapai kesuksesan dunia dan
akhirat, selain bermanfaat untuk dirinya sendiri dan bermanfaat juga untuk orang
lain ketika dia mengajarkannya, karena di zaman sekarang ini perlawanan
terhadap Islam yang paling menonjol adalah melalui ilmu atau pemikiran, selain
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menuntut ilmu adalah bentuk jihad
rakyat Indonesia dalam melawan kepentingan asing di tanah pertiwi Indonesia.
72
Kekuasaan asing mengelola SDA di negeri ini mungkin berawal dari lemahnya
pengetahuan dan skill SDM kita yang kurang, maka dengan dengan menuntut
ilmu dengan bersungguh-sungguh menjadi jihad sangat penting untuk dizaman
sekarang ini.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai akhir dari berbagai uraian dan pemaparan mengenahi jihad di atas
yang berjudul “Konsep Jihad Dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer
(Studi Komparatif Pemikiran Ibnu Katsir dan Buya Hamka)” ada baiknya
disimpulkan secara ringkas agar mudah untuk dipahami dan dicerna oleh setiap
pembaca dengan beberapa kategori.
1. Jihad merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjukan perjuangan
dan usaha sungguh-sungguh dalam mendekatkan diri seorang hamba kepada
sang penciptanya karena jihad merupakan suatu amal ibadah yang sangat
tinggi nilai pahalanya jika dikerjakan dengan tulus dan ikhlas hanya
mengharap ridha Allah. tidak hanya demikian jihad juga dapat diartikan
dengan memerangi musuh-musuh Islam, dengan mencurahkan segala
kemampuan dan tenaga atau berupa kata-kata yang bisa membuat hati musuh
Islam luluh agar mereka memeluk agama Islam..
2. Jihad menurut Ibnu Katsir ialah memerangi orang-orang kafir yakni dengan
menggunakan senjata karena untuk menegakkan agama Allah SWT.
Sedangkan jihad menurut buya hamka ialah bekerja keras, bersungguh-
sungguh, tidak mengenal kelalaian, siang dan malam, petang dan pagi.
Berjihad agar agama ini maju, jalan Allah tegak dengan utuhnya.
3. Jihad di era zaman modern harus benar-benar dilakukan sesuai dengan
tuntunan ajaran agama Islam yang berarti dengan mengubah citra dan pola
pikir umat Islam agar lebih terbuka lagi dalam memahami makna jihad. Jihad
di masa sekarang lebih tepat digunakan dengan konsep jihadnya Buya hamka
mengapa karena Jihad di era modern ini sangatlah luas maknanya
sebagaimana telah dijelaskan di atas tadi jihad ialah dengan bekerja keras,
usaha sungguh-sungguh dan lainnya.
72
74
B. Rekomendasi
Jihad memang memiliki ganjaran pahala yang berlipat ganda yang Allah
janjikan kepada semua manusia yang berjihad dijalan Allah yang hanya
mengharapkan ridho darinya, tetapi dalam hal ini juga, kita harus berhati-hati
dalam menyikapi ajakan-ajakan ataupun seruan jihad yang menyimpang dari
ajaran agama Islam seperti yang banyak terjadi dizaman sekarang ini. Alih-alih
ingin mengharapkan mati syahid disisi Allah, ternyata mala sebaliknya yang
didapat ialah mati konyol. Sebagai umat Islam siapapun mereka dimanapun
mereka berada wajib mengamalkan perintah jihad, tapi harus sesuai dengan
rambu-rambu ajaran Islam.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah Amrullah, H. Abdul Malik, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka
Nasional, 2003.
Ahmad, Abul Asybal bin Salim Al-Mishri, Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar
Terorisme, Jihad dan Mengkafirkan Muslim, Jakarta:Darul Haq, 2006.
Al-Alyani, Ali Bin Nafayyi‟al, Tujuan dan Sasaran Jihad, Jakarta:Gema Insani
Press, 1992.
Al-khin, Musthafa dan musthafa Al-bugha, Konsep Kepemimpinan Dan Jihad
Dalam Islam, Jakarta: Darul Haq, 2014.
Almascaty, Hilmy Bakar, Panduan Jihad, Jakarta: Gema insani Pres, 2001.
Anwar, Rosihon, Ulum Al-Quran, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2013.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Pirdaus,
2008.
Azzam, Abdullah, Jihad adab dan Hukumnya, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Azzam, Abdullah, Perang Jihad Di Jaman Modern, Jakarta:Gema Insani Press.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Special for woman,
Bandung: Sygma.
Jamil, Muhammad, Ulum Quran, Jakarta: Restu Ilahi, 2005.
Ja‟farian, Rasul, Sejarah Islam Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya
Dinasti Bani Umayyah, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004.
Katsir, Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya PT Bina Ilmu, 1990.
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Muhammad, Syeihk bin Muhammad Abu Syubah, Studi Al-Qur‟an Al-Karim
Bandung: CV Putaka Setia, 2002.
Shihab, M.Quraish, Kaidah tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2013.
Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur‟an, jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007.
Syakir, Ali, Jihad Masa Kini, Jakarta:Darul Qutubi Islam, 2005.
Umairah, Abdurrahman, Tokoh-tokoh yang diabadikan Al-Qur‟an, Jakarta: Gema
Insani Press, 2002.
Yazdi, Mishbah, Perlukah Jihad, Jakarta: Al-Huda, 2006.
76
Yazdi, Taqi Misbah, Perlukah Jihad? Meluruskan Salah Paham seputar Jihad,
Jakarta: Al-Huda, 2006.
Jurnal
Afandi, Irfan, “Kafir dan Munafik : Politik Identitas Kewargaan di awal Islam
(Kajian Tentang Qs. Al-Baqoroh: 1-20) “ Jurnal Darussalam; Jurnal
Pendidikan aan Pemikiran Hukum Islam, Vol, IX , No 1: 66-85, 2017.
Al Hamat, Anung, Endin Mujahidin1, Abas Mansur Tamam1, Didin
Hafidhuddin2, “Pendidikan Jihad Menurut Imam Bukhari (Studi Naskah
Hadits-Hadits Kitab Al Jihad Dalam Shahih Bukhari), Ta‟dibuna, Vol. 5,
No. 2, Oct, 2016.
Alviyah, Avif, “Metode Penafsiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar”, Ilmu
Ushuluddin, Vol. 15, No. 1, 2016.
Arbain, Armini, “Pemikiran Hamka Dalam Novel-Novelnya: Sebuah Kajian
Sosiologis”, Jurnal Puitika Volume 13 No. 2, September, 2017.
Asmara, Musda, “Reinterpretasi Makna Jihad Dan Teroris”, Jurnal Hukum Islam,
l, No.1, 2016.
Azhar, “Analisis Komparatif Konsep Takfir Antara Salaf Dan Khalaf” Jurnal Al-
Lubb, Vol.2, No.1, 2017.
Chirzin, Muhammad, “Jihad Dalam Al-quran Perspektif Modemis Dan
Fundamentalis”, Jurnal Kajiari Islam Interdisipliner, Vol. 2 No. 1 Januari-
Juni, 2003.
Cholil, Moh., “ Relevansi pemikiran Tafsir Jihad M.Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-misbah”, Jurnal Studi Keislaman, 1, No. 2, 2015.
Darajat, Zakiya, “Jihad dinamis: menelusuri konsepdan praktik jihad dalam
sejarah Islam “,Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume
16, No. 1, Juni, 2016.
Fattah, Abdul, “Memaknai Jihad Dalam Al-Qur‟an Dan Tinjauan Historis
Penggunaan Istilah Jihad Dalam Islam”, Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Vol, 03 No. 01, 2016.
Fatwa, Ach. Fajruddin, “Islam Dan Doktrin Militerisme”, Jurnal Pemikiran Islam,
Volume 22, Nomor 1, April, 2012.
77
Firman, “Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Al Qur‟an (Kajian terhadap
Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka), Jurnal Syamil, 4 No.2, 2016.
Hidayat, Usep Taufik, “Tafsir Al-Azhar : Menyelami Kedalaman Tasawuf
Hamka”, Al-Turāṡ: Vol. Xxi, No. 1, Januari, 2015.
Ibrahim, Rustam, “Jihad Dalam Literatur Pesantren Salaf”, Teologia, Volume 23,
Nomor 1, Januari, 2012.
Irawan, Deni, “Kontroversi Makna Dan Konsep Jihad Dalam Alquran Tentang
Menciptakan Perdamaian”, Religi, Vol. X, No. 1, Januari, 2014.
Julkarnain, Muhammad, “ Resulusi Jihad Muslim Nusantara Abad XVIII:
Interpretasi Jihad „Abd Al-Shamad Al-Falimbani, Tajdid, Vol. XV, No. 1,
Januari – Juni, 2016.
Kahfi, Agus Sofyandi, “Informasi dalam Perspektif Islam”, Jurnal Mediator, VII,
II, 2006.
Khotib, A. Baijuri, “Corak Penafsiran Al-Qur‟an (Periode Klasik – Modern)”,
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016.
Kurniawan, Syamsul, “Pendidikan Islam Dan Jihad”, XXVIII No. 3, 2013.
Ma‟afi, Rifa‟at Husnul, “konsep Jihad dalam Perspektif Islam”, Jurnal Kalimah,
II, No. 1, 2013.
Mansur, “Perspektif Ham Dalam Fiqh Al-Jihad”, Jurnal Agama dan Hak Azazi
Manusia, Vol. 4, No. 1, November 2014.
Muchtar, Rusdi, “Peran Jihad Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebangsaan”,
Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. VIII No. 32 Oktober – Desember
2009.
Mulizar ” Pengaruh Makanan Dalam Kehidupan Manusia (Studi Terhadap Tafsir
Al-Azhar)”, Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni, 2016.
Muttaqin, Ahmad, “Pemimpin Non Muslim Dalam Pandangan Hamka (Kajian
Tafsir Al-Azhar), Al-Dzikra Vol.Xi No. 1 Januari-Juni, 2017.
Ngadhimah, Mambaul dan Ridhol Huda, “Konsep Jihad Menurut M. Quraish
Shiahab Dalam Tafsir Al-Mishbah Dan Kaitannya Dengan Materi
Pendidikan Agama Islam”, Jurnal Cendekia, 13, No.2, 2015.
78
Nizar, M.Coirun dan Muhammad Aziz, “Kontekstualisasi Jihad Persepektif
Keindonesia”, Ulul Albab, XVI, No. 2015.
Nurdin, ”Analisi Penerapan Metode Bi Alma‟sur Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Hukum” Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum,
Vol. 47. No 1, 2013.
Nur, Achmad, “Agama Populer Potret Gerakan Fpi Dalam Tatapan Budaya”,
Jurnal al-„Adâlah, Volume 16 Nomor 2 November 2013.
Nur, Ma'mun Efendi, “Hukum Jihad Dan Terorisme Perspektif Al-Qur‟an”,
Maslahah,I, No.I, 2010.
Ritaudin, Sidi, “Ideologi Mati Syahid Bendera Pembenaran Melakukan Teror
Kekerasan Politik M”, Jurnal Tapis Vol.8 No.2 Juli-Desember, 2012.
Rusli, Ris‟an “Agama dan Manusia dalam Pendidikan Hamka Studi Falsafat
Agama”, Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 2, 2014.
Saidurrahman, “Fiqh Jihad Dan Terorisme Perspektif Tokoh Ormas Islam
Sumatera Utara”, Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum, l. 46 No. I, 2012.
Salim, Agus, “Jihad dalam Persepektif Al-Quran”, Jurnal Ushuluddin, XX, No.
2, 2013.
Sihabuddin, Amin, “Konsep Dakwah Dan Jihad Sulthan Mahmud Badaruddin II”,
Jurnal Wardah: Vol. 17 No. 1, 2016.
Sutiyono, Agus, “Jihad Kontemporer di Indonesia (Solusi Alternatif dalam
Membangun Bangsa)”,Jurnal Ibda` . Vol. 3 No. 1, 2005.
Syakirin Al Hazmi, Muqtashidin Fahrusy, “Hukum Non Muslim Sebagai
Pemimpin Muslimin Ditinjau Dari Perspektif Tafsir Ibnu Katsir”, Tapis,
Vol. 01, No. 02 Juli – Desember, 2017.
Ulfa, Novi Maria, Dwi Istiyani, “Etika Dalam Kehidupan Modern: Studi
Pemikiran Sufistik Hamka”, Esoterik: Jurnal Akhlak Dan Tasawuf, Volume
2 Nomor 1, 2016.
Umar, Ratnah, “Tafsir Al-Azhar Karya Hamka (Metode Dan Corak
Penafsirannya)”, Jurnal Al-Asas, Vol. Iii, No. 1, 2015.
Qudsy, Saifuddin Zuhri Dan Mamat S. Burhanuddin, “Penggunaan Hadis-Hadis
Poligami Dalam Tafsir Ibnu Katsir” Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli, 2016.
79
Yaqin, Ainol, “Rekontruksi Dan Reorientasi Jihad Di Era Kontemporer; Kajian
Tematik Atas Ayat-Ayat Jihad”, Okara Journal of Languages and Literature,
Vol. 1, 2016.
Yusuf, Muhammad, “Pintu-Pintu Menuju Tuhan Telaah Pemikiran Hamka”,
Teologia, Vol 25, Nomor 2, Juli-Desember, 2014.
Zuhdi, Muhammad Harfin, “Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi
Pemahaman Al-Qur‟an Dan Hadis”, Jurnal Religia , 13, No. 1, April 2010.
Internet
http://bio.or.id/biografi-buya-hamka/
https://ibnkasir.blogspot.com/2016/10/biografi-ibnu-katsir.htm
80
CURRICULUM VITAE
A. Informasi Diri
Nama : Ridwan
Tempat dan Tanggal Lahir : Mersam 05-15-1993
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kasang rt 02 kec Jambi Timur
Email : [email protected]
No Hp : 081271609110
B. Riwayat Pendidikan
Ridwan memperoleh Ijazah S1 dari Kampus Biru UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi
pada Tahun 2018, Pernah menimbah Ilmu di Madrasah Saadatuddarein.
C. Pengalaman Organisasi dan Kerja
Ridwan mempunyai sejumlah pengalaman organisasi, sebagai COSMA Tafsir Hadis dari
semester dua sampai tujuh. Sedangkan pengalaman kerja yaitu : Pernah menjadi pengajar
private ilmu agama, dan Pernah menjadi guru Tahfiz di Yayasan Jelutung.