Di Pusat Membenam Karbon di Tanah Rawa · tidak biasa di rawa yang berada di Teluk Chesapeake,...

1
BINTANG KRISANTI D ERETAN bilik kaca langsung memberikan isyarat adanya hal tidak biasa di rawa yang berada di Teluk Chesapeake, Maryland, Amerika Serikat. Lahan rawa (marshland) yang berada 41 km di timur Washington DC itu memang tidak biasa. Di lahan seluas 60 hektare yang ditutupi rumput rawa, sedges, dan pepohonan itu berlangsung riset terlama di dunia soal peningkatan penyerapan karbondioksida (CO2) di lahan basah. Kenyataannya, rawa itu pun merupakan laboratorium lahan basah milik Pusat Riset Lingkungan Smith- sonian (SERC). Dimulai pada 1987, bilik kaca digunakan para peneliti sebagai alat bantu untuk me- mantau efek CO2 pada tumbuhan. Sebagian besar dari 62 bilik kaca berisi tumbuhan jenis sedges yang kebanyakan dari spesies Schoenoplectus americanus dan sebagian lainnya berisi tumbuhan jenis Phragmites. Pada dasarnya, keduanya berbentuk seperti rumput, tapi dengan ukuran yang tinggi. Phragmites lebih mencolok lagi ka- rena memiliki semacam bunga di bagian pucuknya. Di luar bilik kaca, tumbuhan- tumbuhan yang sama juga tumbuh subur. “Pertanyaan yang ingin dijawab ialah apa- kah tumbuhan akan terus tumbuh dengan penambahan karbondioksida? Sekarang, pertanyaannya berkembang menjadi apa kalau memang terus tumbuh? selanjutnya apa yang terjadi?” tutur Gary Peresta, in- sinyur lingkungan SERC. Sembari berkeliling di laboratorium alam itu pada Jumat (21/8) waktu setempat, Peresta menjelaskan bahwa ke dalam bilik kaca itu, mereka memompakan CO2 dengan kadar dua kali lipat konsentrasi CO2 yang ada di lingkungan. Dengan konsentrasi CO2 dalam atmosfer saat ini yang mencapai 400 bagian persejuta bagian (ppm), Peresta dan sejawatnya memompakan sekitar 700-800 ppm CO2 ke bilik-bilik itu. Mereka menggunakan tiga subjek yang berbeda, yakni subjek yang dinamakan C3, C4, dan campuran C3 dan C4. Subjek C3 kebanyakan terdiri atas Schoenoplectus americanus. Sementara itu, C4 terdiri atas rumput rawa yang kebanyakan dari spesies Spartina patens. “Tanaman C3 tumbuh lebih besar, lebih banyak biomassa di dalam bilik. Pertum- buhannya mencapai sekitar 30% dengan konsentrasi CO2 yang digandakan,” jelas Peresta. Berdasarkan publikasi mereka pada 2013, dalam hitungan karbon, tumbuhan C3 menyerap sekitar 2,5 kilogram karbon per tahun per meter persegi. Hasil itu menun- jukkan bahwa tanaman rawa dapat diharap- kan berperan dalam penyerapan karbon, termasuk dalam kondisi tingkat emisi yang makin tinggi seperti sekarang ini. Ancaman Meski penelitian di lahan berumur 4.000-6.000 tahun itu berjalan positif, Peresta dan rekannya, peneliti postdoctoral Meng Lu, juga khawatir apakah kemampuan penyerapan karbon itu akan tetap atau justru berkurang. Pasalnya, sebagaimana ekosistem pesisir lain di dunia, lahan itu juga terancam dengan kenaikan muka air laut. Kenaikan itu berarti menaikkan salinitas air rawa. Padahal, telah umum diketahui bahwa stres terhadap salinitas akan meng- hambat pertumbuhan tanaman. Saat ini, kadar salinitas air wilayah tersebut berkisar 8-12 bagian perseribu bagian (ppt) atau masuk dalam kategori payau. “Tren jangka panjang dari tempat pe- nelitian kami juga menunjukkan adanya hubungan negatif antara salinitas air dan produktivitas tanaman. Ini berarti naiknya salinitas akibat kenaikan muka air laut di masa depan dapat menurunkan kemam- puan tanaman untuk menyerap CO2,” tutur Meng Lu dalam surelnya, Kamis (3/9). Namun, ia menambahkan bahwa lahan rawa itu mungkin saja tetap produktif jika pertumbuhan tanaman lebih cepat da- ripada kenaikan muka air laut. “Dengan tingkat kenaikan muka air laut sekarang ini, penelitian kami menunjukkan penye- rapan karbon. Dengan kadar kenaikannya sekarang ini, masih dapat meringankan stres atau dampak negatif akibat salinitas,” tambahnya. Ancaman lain terhadap kemampuan penyerapan karbon oleh rawa ialah kadar nitrogen dan kekeringan. Nitrogen ikut menjadi bagian penelitian karena peneliti melihat meningkatnya kadar nitrogen di lingkungan saat ini akibat polusi industri pertanian ataupun sumber lainnya. Nyatanya, peningkatan kadar nitrogen berakibat buruk pada tanaman karena membuat mereka malas menumbuhkan akar. “Padahal, di akar itulah karbon di- simpan,” tukas Peresta. Dalam kondisi kering, penelitian mereka menunjukkan adanya penurunan penye- rapan karbon. Selain itu, tanah yang tereks- pos udara juga dapat melepas karbon dalam fase yang cepat. Jika sudah begitu, lahan rawa itu nantinya bukan lagi sebagai rosot karbon, melainkan dapat menjadi sumber karbon. (M-5) [email protected] PEMBAHASAN masyarakat adat dalam produk hu- kum daerah dinilai masih kurang maksimal. Pasal- nya, dari 124 produk hukum, yang membahas secara spesik hingga tataran penetapan wilayah, tanah, dan hutan adat masih sedikit. Sejak dikeluarkan mulai 1979 hingga Mei 2015, sudah ada 124 produk hukum dengan pembagian 28 produk hukum daerah tingkat provinsi, sementara 96 lainnya merupakan produk hukum daerah tingkat kabupaten/kota. “Dari jumlah tersebut, 71 produk hukum bersifat pengaturan, sementara yang bersifat penetapan le- bih sedikit jumlahnya 53. Kalau bersifat pengaturan, baru sebatas mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara umum tanpa menyebut secara khusus. Sementara itu, produk hukum bersifat pe- netapan sudah menetapkan komunitas dan wilayah adat tertentu,” jelas Staf Program Epistema Institute dalam Policy Brief, Malik, pada acara Analisis Tren Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat, Rabu(26/8). Malik juga menyebutkan lima klasifikasi yang termuat dalam produk hukum daerah, pertama kelembagaan adat, peradilan adat, dan hukum adat. Kedua, mencakup wilayah, tanah, hutan adat, dan sumber daya alam lainnya. Ketiga, keberadaan ma- syarakat hukum adat. Desa adat ada pada klasikasi keempat, sementara kelembagaan pelaksanaan produk hukum daerah mengenai adat di klasikasi kelima. Dari kelima klasifikasi tersebut, yang paling banyak termuat dalam produk hukum daerah berupa kelembagaan, peradilan, dan hukum adat. Sementara untuk pe- nyebutan secara spesik luas wilayah adat, baru ada di 21 produk hukum dari jumlah keseluruhan. (Wnd/M-3) JIKA peneliti Smithsonian Institu- tion melirik marshland (lahan rawa) sebagai rosot karbon, para peneliti di Indonesia telah lama menyorot peatland untuk peran yang sama. Pada dasarnya, tanah marshland dan peatland memang terbentuk dengan proses serupa, yakni dari pelapukan tanaman. Kian lama, tanah rawa dan gam- but makin tebal karena timbun- an tumbuhan yang mati. Karbon yang tersimpan di dalam tubuh tumbuhan pun terus terendap se- lama tanah tersebut tidak terekspos udara (kering) atau terbakar. Laporan Page et al pada 2011 memperkirakan, dengan kisaran luas gambut Indonesia 20 juta hek- tare dan kedalaman 5,5 meter, ter- dapat kandungan karbon sebesar 57,4 gigaton (Gt). Direktur Wetlands Internatio- nal Program Indonesia, I Nyoman Suryadiputra mengakui kenaikan muka air laut juga mengancam lahan gambut Tanah Air. “Di Tem- bilahan, Riau, sudah sekitar 100.000 hektare terendam air laut,” ujarnya, Kamis (3/9). Kondisi lebih parah terjadi di negara tetangga. Nyoman mengung- kapkan sebuah studi yang memper- kirakan bahwa lahan gambut seluas 100 ribu hektare di Delta Rajang, Sarawak, Malaysia akan tenggelam oleh air laut secara bertahap dalam jangka waktu 100 tahun ke depan. Lahan gambut memang rentan intrusi air laut karena ketinggian- nya yang relatif rendah. Nyoman mengatakan, umumnya lahan gam- but Indonesia berada 30 meter di bawah permukaan air laut. Karena itu, ketika hutan mangrove banyak dibuka, intrusi air laut pun mudah masuk ke kawasan gambut. Namun, kelangsungan hidup lahan gambut di Indonesia sesung- guhnya sudah terancam sejak lama, yakni karena pengeringan untuk keperluan industri. Kanal-kanal dibangun para perusahaan untuk menguras air dari lahan gambut untuk dapat ditanami sawit dan akasia. Lebih menyedihkan karena ham- pir semua perusahaan itu me- ngeringkan gambut melewati batas Peraturan Pemerintah no 71 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Per- lindungan Ekosistem Gambut. Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa ekosistem gambut dinyata- kan rusak apabila muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut. Namun nyatanya, menurut Nyoman, peru- sahaan - perusahaan mengeringkan gambut hingga airnya hingga 0,7 meter, bahkan 1 meter di bawah permukaan gambut. “Padahal, kalau air dikeringkan sebanyak 70 cm, karbon yang terlepas sebesar 65 ton CO2 per hektare per tahun. Kalau 1 meter sampai 95 ton CO2 per hektare per tahun,” tukasnya. Ibarat spons yang tidak dapat kembali mengembang, sekali gam- but mengering, ia akan rusak. Le- bih dari itu, pengeringan gambut sesungguhnya menciptakan petaka cadangan air. “Air tawar di lahan gambut itu jauh lebih besar daripada seluruh jumlah air di sungai dan danau In- donesia. Jadi, ketika nanti ancaman kekeringan makin parah, kita justru sudah tidak punya cadangan air ta- war,” pungkas Nyoman. (Big/M-5) Ironi Indonesia DOK .SYAHRUL KARIM FOTO-FOTO: MI/BINTANG KRISANTI Bilik-bilik kaca terlihat di Pusat Riset Lingkungan Smithsonian (SERC) di Amerika Serikat, Jumat (21/8). Di dalam bilik berisi tumbuhan itu dipompakan CO2. Penelitian yang berlangsung sejak 1987 ini membuktikan bahwa penambahan CO2 membuat tanaman tumbuh lebih subur 30%. MINGGU, 6 SEPTEMBER 2015 7 J EJAK HIJAU TAMAN Nasional (TN) Alas Purwo dan Gunung Ijen di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, akan diusulkan sebagai nomine cagar biosfer dunia oleh pemerintah Indonesia. “Kami meminta rekomendasi Pemkab Banyuwangi untuk mendukung Taman Nasional Alas Purwo dan Gunung Ijen diusulkan sebagai nomine cagar bios- fer dunia,” kata Direktur Eksekutif Komite Nasional Program MAB-UNESCO Lembaga Ilmu Pengetahuan In- donesia (LIPI) Prof Dr Y Purwanto yang dikutip Humas Pemkab Banyuwangi di Banyuwangi, Kamis (3/9). Ia mengatakan, cagar biosfer merupakan situs yang ditunjuk berbagai negara melalui kerja sama program Man and The Biosphere Programme United Nations Education Social and Cultural Organization (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berke- lanjutan. Menurut dia, salah satu syarat sebuah situs bisa dijadikan nomine ialah rekomendasi dari pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah daerah tempat situs tersebut berada. Purwanto menjelaskan, pemerintah Indonesia melalui rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memilih sejumlah situs untuk menjadi nomine cagar biosfer, di antaranya TN Alas Purwo, Gunung Ijen, TN Meru Betiri, dan TN Baluran. Menurut dia, tidak akan ada konsekuensi terhadap status pengelolaan atau kepemilikan karena semua- nya tetap seperti semula. “Dengan menjadi cagar biosfer, hanya pola pikir kita yang akan berubah dalam mengelola cagar tersebut,” ujar Purwanto. (Ant/M-3) Membenam Karbon di Tanah Rawa Di Pusat Penelitian Lingkungan Smithsonian (SERC), karbondioksida dipompakan ke rumput-rumput rawa. Hasilnya, rumput rawa tumbuh lebih besar. INFO HIJAU Hukum Daerah Minim Berpihak pada Hutan Adat Alas Purwo-Ijen Menuju Cagar Biosfer Dunia ANTARA/ BUDI CANDRA SETYA Gary Peresta menunjukkan rumput rawa yang dominan disana. Berusia sekitar 6 ribu tahun, kedalaman tanah rawa mencapai sekitar 2 meter.

Transcript of Di Pusat Membenam Karbon di Tanah Rawa · tidak biasa di rawa yang berada di Teluk Chesapeake,...

Page 1: Di Pusat Membenam Karbon di Tanah Rawa · tidak biasa di rawa yang berada di Teluk Chesapeake, Maryland, Amerika Serikat. Lahan rawa (marshland) yang berada 41 km di timur Washington

BINTANG KRISANTI

DERETAN bilik kaca langsung memberikan isyarat adanya hal tidak biasa di rawa yang berada di Teluk Chesapeake, Maryland,

Amerika Serikat. Lahan rawa (marshland) yang berada 41 km di timur Washington DC itu memang tidak biasa.

Di lahan seluas 60 hektare yang ditutupi rumput rawa, sedges, dan pepohonan itu berlangsung riset terlama di dunia soal peningkatan penyerapan karbondioksida (CO2) di lahan basah. Kenyataannya, rawa itu pun merupakan laboratorium lahan basah milik Pusat Riset Lingkungan Smith-sonian (SERC).

Dimulai pada 1987, bilik kaca digunakan para peneliti sebagai alat bantu untuk me-mantau efek CO2 pada tumbuhan. Sebagian besar dari 62 bilik kaca berisi tumbuhan jenis sedges yang kebanyakan dari spesies Schoenoplectus americanus dan sebagian lainnya berisi tumbuhan jenis Phragmites.

Pada dasarnya, keduanya berbentuk seperti rumput, tapi dengan ukuran yang tinggi. Phragmites lebih mencolok lagi ka-rena memiliki semacam bunga di bagian pucuknya. Di luar bilik kaca, tumbuhan-tumbuhan yang sama juga tumbuh subur.

“Pertanyaan yang ingin dijawab ialah apa-kah tumbuhan akan terus tumbuh dengan penambahan karbondioksida? Sekarang, pertanyaannya berkembang menjadi apa kalau memang terus tumbuh? selanjutnya apa yang terjadi?” tutur Gary Peresta, in-sinyur lingkungan SERC.

Sembari berkeliling di laboratorium alam itu pada Jumat (21/8) waktu setempat, Peresta menjelaskan bahwa ke dalam bilik kaca itu, mereka memompakan CO2 dengan kadar dua kali lipat konsentrasi CO2 yang ada di lingkungan. Dengan konsentrasi CO2 dalam atmosfer saat ini yang mencapai 400 bagian persejuta bagian (ppm), Peresta dan sejawatnya memompakan sekitar 700-800 ppm CO2 ke bilik-bilik itu.

Mereka menggunakan tiga subjek yang berbeda, yakni subjek yang dinamakan C3, C4, dan campuran C3 dan C4. Subjek C3 kebanyakan terdiri atas Schoenoplectus americanus. Sementara itu, C4 terdiri atas rumput rawa yang kebanyakan dari spesies Spartina patens.

“Tanaman C3 tumbuh lebih besar, lebih banyak biomassa di dalam bilik. Pertum-buhannya mencapai sekitar 30% dengan konsentrasi CO2 yang digandakan,” jelas Peresta.

Berdasarkan publikasi mereka pada 2013, dalam hitungan karbon, tumbuhan C3 menyerap sekitar 2,5 kilogram karbon per tahun per meter persegi. Hasil itu menun-jukkan bahwa tanaman rawa dapat diharap-kan berperan dalam penyerapan karbon, termasuk dalam kondisi tingkat emisi yang makin tinggi seperti sekarang ini.

AncamanMeski penelitian di lahan berumur

4.000-6.000 tahun itu berjalan positif, Peresta dan rekannya, peneliti postdoctoral Meng Lu, juga khawatir apakah kemampuan penyerapan karbon itu akan tetap atau justru berkurang. Pasalnya, sebagaimana ekosistem pesisir lain di dunia, lahan itu juga terancam dengan kenaikan muka air laut.

Kenaikan itu berarti menaikkan salinitas air rawa. Padahal, telah umum diketahui bahwa stres terhadap salinitas akan meng-hambat pertumbuhan tanaman. Saat ini, kadar salinitas air wilayah tersebut berkisar 8-12 bagian perseribu bagian (ppt) atau masuk dalam kategori payau.

“Tren jangka panjang dari tempat pe-nelitian kami juga menunjukkan adanya hubungan negatif antara salinitas air dan produktivitas tanaman. Ini berarti naiknya salinitas akibat kenaikan muka air laut di masa depan dapat menurunkan kemam-puan tanaman untuk menyerap CO2,” tutur Meng Lu dalam surelnya, Kamis (3/9).

Namun, ia menambahkan bahwa lahan rawa itu mungkin saja tetap produktif jika pertumbuhan tanaman lebih cepat da-ripada kenaikan muka air laut. “Dengan tingkat kenaikan muka air laut sekarang ini, penelitian kami menunjukkan penye-rapan karbon. Dengan kadar kenaikannya sekarang ini, masih dapat meringankan stres atau dampak negatif akibat salinitas,” tambahnya.

Ancaman lain terhadap kemampuan penyerapan karbon oleh rawa ialah kadar

nitrogen dan kekeringan. Nitrogen ikut menjadi bagian penelitian karena peneliti melihat meningkatnya kadar nitrogen di lingkungan saat ini akibat polusi industri pertanian ataupun sumber lainnya.

Nyatanya, peningkatan kadar nitrogen berakibat buruk pada tanaman karena membuat mereka malas menumbuhkan akar. “Padahal, di akar itulah karbon di-simpan,” tukas Peresta.

Dalam kondisi kering, penelitian mereka menunjukkan adanya penurunan penye-rapan karbon. Selain itu, tanah yang tereks-pos udara juga dapat melepas karbon dalam fase yang cepat. Jika sudah begitu, lahan rawa itu nantinya bukan lagi sebagai rosot karbon, melainkan dapat menjadi sumber karbon. (M-5)

[email protected]

PEMBAHASAN masyarakat adat dalam produk hu-kum daerah dinilai masih kurang maksimal. Pasal-nya, dari 124 produk hukum, yang membahas secara spesifi k hingga tataran penetapan wilayah, tanah, dan hutan adat masih sedikit.

Sejak dikeluarkan mulai 1979 hingga Mei 2015, sudah ada 124 produk hukum dengan pembagian 28 produk hukum daerah tingkat provinsi, sementara 96 lainnya merupakan produk hukum daerah tingkat kabupaten/kota.

“Dari jumlah tersebut, 71 produk hukum bersifat pengaturan, sementara yang bersifat penetapan le-bih sedikit jumlahnya 53. Kalau bersifat pengaturan, baru sebatas mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara umum tanpa menyebut secara khusus. Sementara itu, produk hukum bersifat pe-netapan sudah menetapkan komunitas dan wilayah adat tertentu,” jelas Staf Program Epistema Institute dalam Policy Brief, Malik, pada acara Analisis Tren Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat, Rabu(26/8).

Malik juga menyebutkan lima klasifikasi yang termuat dalam produk hukum daerah, pertama kelembagaan adat, peradilan adat, dan hukum adat. Kedua, mencakup wilayah, tanah, hutan adat, dan sumber daya alam lainnya. Ketiga, keberadaan ma-

syarakat hukum adat. Desa adat ada pada klasifi kasi keempat, sementara

kelembagaan pelaksanaan produk hukum daerah mengenai adat di klasifi kasi kelima. Dari kelima klasifikasi tersebut, yang paling banyak termuat dalam produk hukum daerah berupa kelembagaan, peradilan, dan hukum adat. Sementara untuk pe-nyebutan secara spesifi k luas wilayah adat, baru ada di 21 produk hukum dari jumlah keseluruhan. (Wnd/M-3)

JIKA peneliti Smithsonian Institu-tion melirik marshland (lahan rawa) sebagai rosot karbon, para peneliti di Indonesia telah lama menyorot peatland untuk peran yang sama. Pada dasarnya, tanah marshland dan peatland memang terbentuk dengan proses serupa, yakni dari pelapukan tanaman.

Kian lama, tanah rawa dan gam-but makin tebal karena timbun-an tumbuhan yang mati. Karbon yang tersimpan di dalam tubuh tumbuhan pun terus terendap se-lama tanah tersebut tidak terekspos udara (kering) atau terbakar.

Laporan Page et al pada 2011 memperkirakan, dengan kisaran luas gambut Indonesia 20 juta hek-tare dan kedalaman 5,5 meter, ter-dapat kandungan karbon sebesar 57,4 gigaton (Gt).

Direktur Wetlands Internatio-nal Program Indonesia, I Nyoman Suryadiputra mengakui kenaikan muka air laut juga mengancam lahan gambut Tanah Air. “Di Tem-bilahan, Riau, sudah sekitar 100.000 hektare terendam air laut,” ujarnya, Kamis (3/9).

Kondisi lebih parah terjadi di negara tetangga. Nyoman mengung-kapkan sebuah studi yang memper-kirakan bahwa lahan gambut seluas 100 ribu hektare di Delta Rajang, Sarawak, Malaysia akan tenggelam oleh air laut secara bertahap dalam jangka waktu 100 tahun ke depan.

Lahan gambut memang rentan intrusi air laut karena ketinggian-nya yang relatif rendah. Nyoman mengatakan, umumnya lahan gam-but Indonesia berada 30 meter di bawah permukaan air laut. Karena itu, ketika hutan mangrove banyak dibuka, intrusi air laut pun mudah masuk ke kawasan gambut.

Namun, kelangsungan hidup lahan gambut di Indonesia sesung-guhnya sudah terancam sejak lama, yakni karena pengeringan untuk keperluan industri. Kanal-kanal dibangun para perusahaan untuk menguras air dari lahan gambut untuk dapat ditanami sawit dan akasia.

Lebih menyedihkan karena ham-pir semua perusahaan itu me-ngeringkan gambut melewati batas Peraturan Pemerintah no 71 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Per-lindungan Ekosistem Gambut.

Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa ekosistem gambut dinyata-kan rusak apabila muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut. Namun nyatanya, menurut Nyoman, peru-sahaan - perusahaan mengeringkan gambut hingga airnya hingga 0,7 meter, bahkan 1 meter di bawah permukaan gambut.

“Padahal, kalau air dikeringkan sebanyak 70 cm, karbon yang terlepas sebesar 65 ton CO2 per hektare per tahun. Kalau 1 meter sampai 95 ton CO2 per hektare per tahun,” tukasnya.

Ibarat spons yang tidak dapat kembali mengembang, sekali gam-but mengering, ia akan rusak. Le-bih dari itu, pengeringan gambut sesungguhnya menciptakan petaka cadangan air.

“Air tawar di lahan gambut itu jauh lebih besar daripada seluruh jumlah air di sungai dan danau In-donesia. Jadi, ketika nanti ancaman kekeringan makin parah, kita justru sudah tidak punya cadangan air ta-war,” pungkas Nyoman. (Big/M-5)

IroniIndonesia

DOK .SYAHRUL KARIM

FOTO-FOTO: MI/BINTANG KRISANTI

Bilik-bilik kaca terlihat di Pusat Riset Lingkungan Smithsonian (SERC) di Amerika Serikat, Jumat (21/8). Di dalam bilik berisi tumbuhan itu dipompakan CO2. Penelitian yang berlangsung sejak 1987 ini membuktikan bahwa penambahan CO2 membuat tanaman tumbuh lebih subur 30%.

MINGGU, 6 SEPTEMBER 2015 7JEJAK HIJAU

TAMAN Nasional (TN) Alas Purwo dan Gunung Ijen di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, akan diusulkan sebagai nomine cagar biosfer dunia oleh pemerintah Indonesia.

“Kami meminta rekomendasi Pemkab Banyuwangi untuk mendukung Taman Nasional Alas Purwo dan Gunung Ijen diusulkan sebagai nomine cagar bios-fer dunia,” kata Direktur Eksekutif Komite Nasional Program MAB-UNESCO Lembaga Ilmu Pengetahuan In-donesia (LIPI) Prof Dr Y Purwanto yang dikutip Humas Pemkab Banyuwangi di Banyuwangi, Kamis (3/9).

Ia mengatakan, cagar biosfer merupakan situs yang ditunjuk berbagai negara melalui kerja sama program Man and The Biosphere Programme United Nations Education Social and Cultural Organization (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berke-lanjutan.

Menurut dia, salah satu syarat sebuah situs bisa dijadikan nomine ialah rekomendasi dari pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah daerah tempat situs tersebut berada.

Purwanto menjelaskan, pemerintah Indonesia melalui rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memilih sejumlah situs untuk menjadi

nomine cagar biosfer, di antaranya TN Alas Purwo, Gunung Ijen, TN Meru Betiri, dan TN Baluran.

Menurut dia, tidak akan ada konsekuensi terhadap status pengelolaan atau kepemilikan karena semua-nya tetap seperti semula. “Dengan menjadi cagar biosfer, hanya pola pikir kita yang akan berubah dalam mengelola cagar tersebut,” ujar Purwanto. (Ant/M-3)

Membenam Karbon di Tanah Rawa

Di Pusat Penelitian Lingkungan

Smithsonian (SERC), karbondioksida dipompakan

ke rumput-rumput rawa. Hasilnya, rumput rawa

tumbuh lebih besar.

INFO HIJAU

Hukum Daerah Minim Berpihak pada Hutan Adat Alas Purwo-Ijen Menuju Cagar Biosfer Dunia

ANTARA/ BUDI CANDRA SETYA

Gary Peresta menunjukkan rumput rawa yang dominan disana.

Berusia sekitar 6 ribu tahun, kedalaman tanah rawa mencapai sekitar 2 meter.