Deteksi Dini Alergi (Jember)
Click here to load reader
description
Transcript of Deteksi Dini Alergi (Jember)
DETEKSI DINI ALERGI
Zahrah Hikmah
Alergi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang penting pada anak. Oleh karena
alergi yang berkepanjangan dapat mengganggu tumbuh kembang seorang anak terutama bila
terjadi komplikasi seperti asma persisten, dermatitis atopi berat, dan rhinitis alergi persisten.
Salah satu contoh yang sering kita dapatkan adalah rhinitis alergi persisten dapat menyebabkan
tidak hanya gangguan kesehatan pada anak tetapi juga perkembangan social. Adanya hidung
yang gatal, sakit kepala, hidung mbeler, post nasal drip juga hidung buntu sering menyebabkan
antara lain gangguan tidur, anak tidak konsentrasi, malu, depresi dan sering tidak masuk sekolah.
Salah satu penelitian mendapatkan dampak terhadap persepsi kesehatan secara keseluruhan,
dampak emosi dari orangtua, dan juga keterbatasan aktivitas keluarga pada anak dengan alergi
makanan. Hal ini dapat disebabkan karena penyakitnya sendiri dan banyaknya jenis makanan
yang harus dihindari.
DEFINISI ALERGI
.Pada tahun 1906, Von Pirquet mengusulkan suatu istilah allergie yang digunakan untuk
menggambarkan suatu keadaan respons imun yang menyimpang dari respons imun yang
biasanya protektif. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas 2 akar kata: allos
= yang lain dan ergon = kerja. Istilah alergi mencakup semua keadaan penderita yang
bermanifestasi menyimpang dari respons imun yang biasa.
Pada tahun 1963, Robert Coombs dan Philip HH Gell membagi reaksi hipersensitivitas dalam 4
tipe berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I,II,III dan IV.
Reaksi hipersensititas tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan alergen. Sedangkan World Allergy
Organization (WAO) pada oktober 2003 menyampaikan hasil peninjauan ulang dan revisi
nomenklatur penyakit alergi secara global sebagai berikut:
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang dimediatasi oleh mekanisme imunologi.
Alergi dapat dimediasi antibodi atau sel. Pada kebanyakan kasus antibodi yang
bertanggung jawab atas reaksi alergi adalah yang berasal dari isotip Ig E dan reaksinya
disebut reaksi alergi yang dimediasi IgE ( IgE-mediated allergy). Tidak semua reaksi
1
alergi yang dimediasi IgE terjadi pada individu yang atopi. Pada reaksi alergi non IgE,
antibodi dapat berasal dari isotope IgG, misalnya anafilaksis oleh karena kompleks imun
yang terkandung pada dekstran, serum sikness yang digolongkan pada reaksi tipe III.
Antibodi IgE IgG ditemukan allergic bronchial pulmonary aspergillosis (ABPA).
Sedangkan dermatitis kontak alergi adalah penyakit alergi yang dimediasi oleh sel
limfosit.
Alergen adalah antigen yang menyebabkan reaksi alergi, kebanyakan allergen yang
bereaksi dengan antibodi IgE dan IgG adalah protein
Atopi adalah kecenderungan personal atau keluarga, biasanya pada anak atau dewasa
muda, untuk mengalami sensitisasi dan memproduksi antibodi IgE sebagai respon
terhadap paparan allergen, terutama protein. Akibatnya, individu tersebut akan
mengalami gejala asma, rinokonjungtivitis, dan eksema. Istilah atopi dan atopik
seharusnya ditunjukan untuk mendeskripsikan predisposisi genetik terjadi sensitisasi IgE
terhadap alergen yang secara umum tidak menyebabkan respon antibodi IgE pada
individu lain. Atopi adalah definisi klinis dari respon antibodi IgE yang tinggi. Istilah
atopi tidak dapat dipakai sampai terbukti adalahnya antibodi IgE yang tinggi pada serum
atau tes tusuk kulit positif.
Hipersensitivitas: menyebabkan timbulnya gejala atau tanda obyektif yang diprakarsai
oleh stimulus yang biasanya dapat ditoleransi oleh subyek normal.
Hipersensitivitas non alergi adalah istilah yang mendeskripsikan reaksi hipersensitivitas
dimana mekasnisme imunologi tidak dapat dibuktikan.
PATOGENESIS ALERGI
Ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas, tetapi untuk reaksi alergi terbanyak adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1, dan selalu diawali dengan fase sensitisasi. Pada fase sensitisasi atau
paparan awal, alergen akan dikenali oleh sel penyaji antigen (APC) untuk selanjutnya
diekpresikan pada sel limfosit T secara langsung atau melalui sitokin. Pada fase akut sel T
helper (Th2) memproduksi macam-macam sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Sitokin ini
menginduksi antibodi switching pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi endotel
sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Sel limfosit T tersensitisasi akan
merangsang sel limfosit B menghasilkan antibodi dari berbagai kelas. Alergen yang utuh
2
diserap oleh usus dan mencapai pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ
limfoid usus (plak Peyer) dan akan membentuk imunoglobulin tipe IgG, IgM, IgA dan IgE.
Pada anak atopi, IgE dibentuk secara berlebihan dan akan menempel pada reseptornya di sel
mast, basofil dan eosinofil yang terdapat sepanjang saluran cerna, kulit dan saluran nafas.21
Produksi dari IgE dipengaruhi dari sitokin yang diproduksi dari Th2 yaitu IL-4, IL-9, IL-13,
sedangkan sitokin yang berfungsi mengaktifkan makrofag dan mensupresi Th1 adalah IL-4,
IL-10 dan IL-13. 22,23
Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada
sel mast akan menimbulkan degranulasi mediator. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak
paparan awal dan berlanjut. Komplemen akan mulai mengalami aktivasi oleh kompleks
antigen antibodi.
Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel-T. Sitokin mempunyai
berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktifasi komplemen dan terjadinya
komplek imun akan menarik netrofil.
Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin dan kerusakan jaringan
yang ditimbulkannya.
Sensitisasi dapat terjadi sejak prenatal secara transplasental, juga makanan alergenik yang
terkandung dalam air susu ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap satu makanan
misalnya susu, juga mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi
terhadap makanan lain.
MANIFESTASI ALERGI
Manifestasi alergi yang sering didapatkan adalah urtikaria, muka merah, angioedema muka,
dan gatal di mulut dan palatum; muntah, diare dan kolik. Pada kasus yang berat terjadi
angioedema pada lidah, uvula, faring, atau saluran napas atas dapat terjadi. Urtikaria kontak
dapat terjadi tanpa disertai gejala sistemik. Gejala saluran cerna meliputi nyeri perut, mual,
muntah, dan diare ( 50-60%) dan gejala rhinitis, mengi (20-30%) Pada keadaan lebih berat
dapat terjadi reaksi sistemik berupa anafilaksis yang harus dibedakan dengan reaksi
anafilaktoid yang bukan disebabkan kelainan imunologik tetapi suatu reaksi toksik histamin
yang dihasilkan ikan yang tidak segar .
3
MENGAPA DETEKSI ALERGI DINI ANAK PENTING ?
Deteksi yang dimaksud disini adalah deteksi resiko infeksi maupun bila telah terjadi penyakit
alergi maka diketahui lebih awal. Karena dengan deteksi lebih dini maka si anak akan dapat
diberikan pengobatan yang tepat dan optimal .Termasuk menentukan dan kemudian
menghindari alergen atau zat penyebab alergi. Dengan mengontrol penyebab alergi maka
gejala alergi akan berkurang atau tidak timbul sama sekali, sehingga kualitas hidup anak dan
keluarga menjadi lebih baik
Apabila alergi tidak terdeteksi dini dan dikelola dengan baik , maka akan berkembang
menjadi bentuk lain, contohnya seorang anak yang berusia 6 bulan menderita dermatitis atopi
dan tidak ditangani dengan baik maka akan menderita asma di kemudian hari. Hal ini disebut
Allergic atau Atopic March (gambar 1). Seorang anak yang mempunyai orangtua kandung
atau saudara kandung dengan alergi maka dapat dikatakan dia mempunyai resiko tinggi
untuk mengalami alergi. Dengan mendeteksi sejak awal maka kita bisa melakukan
pencegahan primer dan sekunder terhadap anak tersebut. Sehingga alergi tidak berkembang
dan anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara normal.
Gambar 1. Allergic March dari bayi sampai dewasa muda
4
Oleh karenanya deteksi dini dan pencegahan alergi pada anak sangat penting untuk
mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang, gangguan kesehatan serta tumbuh kembang
seorang anak.
PENCEGAHAN PENYAKIT ALERGI PADA ANAK
Pencegahan Primer bertujuan menghambat sesitisasi imunologi oleh makanan terutama
mencegah terbentuknya Imunoglobulin E (IgE).. Pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi
sensitisasi atau terpapar dengan penyebab alergi. Hal ini dapat dilakukan sejak saat
kehamilan. Ini dilakukan terhadap individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
penyakit alergi.
Australian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA) pada tahun 2005
mengeluarkan rekomendasi tentang pencegahan primer alergi pada anak sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi bayi
dengan resiko alergi
Riwayat keluarga dengan asma dan alergi dapat digunakan
untuk mengidentifikasi anak dengan resiko tinggi alergi.
Salah satunya di Indonesia kita bisa dengan
menggunakan kartu deteksi dini resiko alergi.
2. Penghindaran makanan
pada ibu hamil
Pembatasan makanan pada kehamilan tidak dianjurkan.
Penghindaran alergen hirupan tidak dapat mengurangi
kejadi penyakit alergi dan tidak direkomendasikan.
3. Pemberian ASI ASI dianjurkan terutama untuk 4-6 bulan pertama.
Pembatasan makanan pada ibu menyusui juga tidak
dianjurkan.
4. Formula bayi Pada bayi dengan resiko tinggi, jika ASI tidak
memungkinkan maka pemberian formula hidrolisa
dianjurkan.
Formula berbasis soya atau susu kambing tidak
direkomendasikan untuk mengurangi resiko alergi.
5. Makanan bayi Makanan tambahan selain ASI harus ditunda paling tidak
sampai usia 4-6 bulan. Efek pencegahan hanya pada bayi
5
resiko tinggi.
Tidak ada bukti bahwa eliminasi diet setelah usia 4-6 bulan
mempunyai efek pencegahan.
Tidak ada bukti bahwa penghindaran kacang, dan kerang
sebelum usia setahun mempunyai efek pencegahan. .
6. Paparan kutu debu rumah
(house dust mite/HDM)
Diperlukan pendelitian lebih lanjut antara paparan HDM
dengan terjadinya sensitisasi dan timbulnya penyakit.
7. Paparan binatang Tidak ada rekomendasi bahwa paparan binatang peliharaan
saat usia dini dengan kejadian alergi.
8. Rokok dan iritan lain Wanita hamil tidak diperbolehkan merokok
Orang tua dilarang merokok dekat anak.
9. Peran Mikroba Belum ada rekomendasi yang mendukung penggunaan
probiotik untuk pencegahan penyakit alergi.
10. Strategi pencegahan
sekunder
Imunoterapi dapat dipertimbangkan sebagai terapi pilihan
pada anak dengan rinitis alergi sehingga dapat mencegah
timbulnya asma.
Gambar 2. Kartu Deteksi Dini Resiko Alergi
6
Pencegahan sekunder, bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya penyakit setelah
sensitisasi. Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi manifestasi penyakit
alergi belum muncul. Cara mengetahui adanya sensitisasi adalah dengan cara pemeriksaan
IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat atau uji kulit. Saat tindakan yang optimal
adalah usia 0 hingga 3 tahun. Penghindaran susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non
alergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi misalnya susu
kedele supaya tidak terjadi sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi.
Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi.
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi
penyakit yang masih dini tetapi belum menunjukkan gejala penyakit alergi yang lebih berat.
Saat tindakan yang optimal adalah usia 6 bulan hingga 4 tahun. Penghindaran juga dengan
pemberian susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan lain
seperti imunoterapi terhadap kutu debu rumah.
DIAGNOSIS ALERGI
1. Anamnesis
Kecurigaan adanya alergi dapat dimulai dengan riwayat penyakit secara rinci
terutama adanya pencetus baik makanan, alergen hirupan atau bulu binatang yang
mencetuskan kejadian alergi.
Riwayat keluarga dengan alergi juga penting untuk ditelusuri, salah satunya dapat
menggunakan kartu deteksi dini risiko alergi.
Dalam Kartu deteksi dini risiko alergi terbitan IDAI POGI apabila kedua orang tua
tidak memiliki riwayat alergi maka sekitar 5-15% bayi berisiko terkena alergi, apabila
kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi tetapi satu saudara sekandung terkena
alergi maka sekitar 25-30% bayi berisiko terkena alergi. Apabila salah satu orang tua
memiliki riwayat alergi maka 40% bayi berisiko terkena alergi, dan apabila kedua
orang tua memiliki riwayat alergi maka 40-60% bayi berisiko terkena alergi. Bila
kedua orang tua memiliki manifestasi alergi yang sama, maka risiko terkena alergi
meningkat 60-80% (IDAI, 2009). Nilai atopi keluarga : 2 diberikan pada keluarga
yang dinyatakan alergi oleh dokter, nilai 1 bila diduga alergi dan nilai 0 bila tidak ada
riwayat alergi
7
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dicari tanda-tanda penyakit atopi :
Kulit kering, dermatografi, bekas garukan, allergic shiners, Dennis morgan line, muka
adenoid, demographic tongue, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Diet eliminasi dan provokasi
Baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan adalah adalah DBPCFC
(double blind placebo control food challenge). Meskipun tanpa pembanding
plasebo, sebanyak 50% dianosis alergi makanan dapat ditegakkan. Tetapi karena
di Indonesia susah dilaksanakan maka bisa dilakukan diet eliminasi dan provokasi
berupa uji terbuka (open challenge).
b. Uji tusuk kulit :
Uji tusuk kulit berguna untuk menyingkirkan alergen tertentu karena nilai prediksi
negatif cukup tinggi bila alergen yang digunakan sangat baik. Nilai prediksi
positif paling tinggi hanya 50%.
c. Uji IgE rast
Uji diagnostik in vitro tidak spesifik dan memiliki nilai prediksi positif rendah,
kecuali dengan ELISA CAP yang sebanding dengan uji kulit tusuk untuk alergen
telur, susu sapi, kacang tanah, dan ikan.
Selain pemeriksaan di atas maka perlu diketahui bahwa banyak sekali pemeriksaan alergi yang
sebenarnya tidak bisa dibuktikan kebenarannya antara lain: Applied kinesiology,
Electrodiagnosis (Vega testing), Radionic, Iridologi, sehingga tidak perlu dilakukan ataupun
dipercaya.
KESIMPULAN
Alergi adalah permasalahan kesehatan yang penting pada anak dikarenakan dapat menganggu
tumbuh kembang seorang anak. Deteksi dini alergi yaitu dengan mengetahui seorang anak yang
mempunyai resiko alergi yang tinggi atau telah mengalami sensitisasi maupun gejala alergi yang
awal sangatlah membantu untuk memberikan tatalaksana yang optimal.
8
DAFTAR PUSTAKA
1. Bacal LR. The impact of food allergies on quality of life. Pediatr Ann. 2013
Jul;42(7):141-5. doi: 10.3928/00904481-20130619-12.(abstrak)
2. Fleischer DM, Spergel JM, Assa’ad AH, Pongracic JA. Primary prevention of allergic
disease through nutritional interventions. J Allergy Clin Immunol: In Practice
2013;1:29-36.(abstrak)
3. Sicherer SH, Noone SA, Muñoz-Furlong A. The impact of childhood food allergy on
quality of life. Ann Allergy Asthma Immunol. 2001 Dec;87(6):461-4.(abstrak)
4. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke_2. Philadelphia: Saunders, 2004.
5. Akib AAP. Mekanisme dasar penyakit Alergi. Dalam: Pediatric skin allergy and its
problem. Pendidikan kedokteran berkelanjutan LVIII di Jakarta tanggal 20-21 Juni 2010.
Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.2010;7-15.
6. Baratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Imunologi Dasar. Edisi ke-7.
Jakarta.Balai penerbit FKUI.2006;157-61.
7. Harsono A. Alergi Makanan. Dalam : Buku ajar alergi imunologi anak.
Jakarta.FKUI:2008.269-71.
8. Prescot SL, Tang MLK. The Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy
position statement: summary of allergy prevention in children. Med J Aust 2005; 182
(9): 464-7.
9. Bernstein L, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, ,. Spector SL, Tan,R, Sicherer S,
dkk..Allergy diagnostic testing: an updated practice parameter. Ann All Asthma
Immunol 2008;100:s1– 148.
10. Wüthrich B. Unproven techniques in allergy diagnosis. J Invest Allergol Clin Immunol
2005; Vol. 15(2): 86-90.
9