Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015...

37
Volume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected] Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina A2 pada Tanaman Kentang di Jawa Detection and Identification of Dickeya sp. as A2 Quarantine Pest on Potato in Java Haerani, Abdjad Asih Nawangsih*, Tri Asmira Damayanti Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 ABSTRAK Erwinia chrysanthemi (saat ini Dickeya sp.) merupakan salah satu organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) A2 yang harus diwaspadai penyebarannya pada tanaman kentang di Indonesia. Tujuan penelitian ialah mendeteksi dan mengidentifikasi E. chrysanthemi pada tanaman kentang di Jawa. Sebanyak 400 sampel tanaman kentang yang menunjukkan gejala busuk lunak dan layu diambil dari beberapa daerah di Pangalengan dan Garut (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), dan Batu-Malang (Jawa Timur). Kejadian penyakit E. chrysanthemi ditentukan dengan Indirect-ELISA menggunakan antiserum poliklonal. Isolasi E. chrysanthemi dilakukan dari sampel positif ELISA. Karakterisasi isolat dilakukan dengan GEN III OmniLog ID System dan PCR. Primer spesifik Ec3F/Ec4R dan primer universal 16S rRNA, yaitu 27F/1429R, digunakan untuk menentukan sikuen DNA. Insidensi E. chrysanthemi mencapai 26.25% berdasarkan hasil ELISA. Bakteri dari sampel positif ELISA terdiri atas 37 isolat. Berdasarkan uji Gram, katalase, oksidase, dan oksidasi-fermentasi, 4 isolat bakteri diduga sebagai E. chrysanthemi. Hasil konfirmasi dengan Gen III OmniLog System, PCR, dan analisis gen 16S rRNA membuktikan tidak ada isolat bakteri yang teridentifikasi sebagai E. chrysanthemi. Sebaliknya, dengan pengujian tersebut diindentifikasi bakteri Pseudomonas oryzihabitans, Pantoea agglomerans, dan Pseudomonas viridiflava. Oleh karena E. chrysanthemi tidak dapat dikonfirmasi keberadaannya pada tanaman kentang di Jawa maka status OPTK A2 E. chrysanthemi pada tanaman kentang tidak terbukti dan diusulkan sebagai OPTK A1. Kata kunci: Erwinia chrysanthemi, OmniLog, Pantoea agglomerans, Pseudomonas viridiflava ABSTRACT Erwinia chrysanthemi (currently Dickeya sp.) is one of the A2 quarantine pest that must be concerned of its distribution on potato in Indonesia. The aim of this study is to detect and identify E. chrysanthemi from potato in Java. A total of 400 samples of potato plants showing symptoms of soft rot were obtained from several potato areas in Pangalengan and Garut (West Java), Dieng (Central Java), and Batu- Malang (East Java). Disease incidence was determined by indirect enzyme-linked immunosorbent assay (I-ELISA) using polyclonal antiserum. E.chrysanthemi was isolated from plant samples with positive ELISA results. Furthermore, bacterial isolates were characterized by GEN III OmniLog ID System and PCR using specific primers Ec3F/Ec4R, as well as the universal 16S rRNA primer pair of 27F/1429R. The incidence of E. chrysanthemi based on ELISA was 26.25%. From these samples, 37 bacterial isolates 105

Transcript of Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015...

Page 1: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

Volume 11, Nomor 4, Agustus 2015Halaman 105–112

DOI: 10.14692/jfi.11.4.105ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina A2 pada

Tanaman Kentang di Jawa

Detection and Identification of Dickeya sp. asA2 Quarantine Pest on Potato in Java

Haerani, Abdjad Asih Nawangsih*, Tri Asmira DamayantiInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Erwinia chrysanthemi (saat ini Dickeya sp.) merupakan salah satu organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) A2 yang harus diwaspadai penyebarannya pada tanaman kentang di Indonesia. Tujuan penelitian ialah mendeteksi dan mengidentifikasi E. chrysanthemi pada tanaman kentang di Jawa. Sebanyak 400 sampel tanaman kentang yang menunjukkan gejala busuk lunak dan layu diambil dari beberapa daerah di Pangalengan dan Garut (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), dan Batu-Malang (Jawa Timur). Kejadian penyakit E. chrysanthemi ditentukan dengan Indirect-ELISA menggunakan antiserum poliklonal. Isolasi E. chrysanthemi dilakukan dari sampel positif ELISA. Karakterisasi isolat dilakukan dengan GEN III OmniLog ID System dan PCR. Primer spesifik Ec3F/Ec4R dan primer universal 16S rRNA, yaitu 27F/1429R, digunakan untuk menentukan sikuen DNA. Insidensi E. chrysanthemi mencapai 26.25% berdasarkan hasil ELISA. Bakteri dari sampel positif ELISA terdiri atas 37 isolat. Berdasarkan uji Gram, katalase, oksidase, dan oksidasi-fermentasi, 4 isolat bakteri diduga sebagai E. chrysanthemi. Hasil konfirmasi dengan Gen III OmniLog System, PCR, dan analisis gen 16S rRNA membuktikan tidak ada isolat bakteri yang teridentifikasi sebagai E. chrysanthemi. Sebaliknya, dengan pengujian tersebut diindentifikasi bakteri Pseudomonas oryzihabitans, Pantoea agglomerans, dan Pseudomonas viridiflava. Oleh karena E. chrysanthemi tidak dapat dikonfirmasi keberadaannya pada tanaman kentang di Jawa maka status OPTK A2 E. chrysanthemi pada tanaman kentang tidak terbukti dan diusulkan sebagai OPTK A1.

Kata kunci: Erwinia chrysanthemi, OmniLog, Pantoea agglomerans, Pseudomonas viridiflava

ABSTRACT

Erwinia chrysanthemi (currently Dickeya sp.) is one of the A2 quarantine pest that must be concerned of its distribution on potato in Indonesia. The aim of this study is to detect and identify E. chrysanthemi from potato in Java. A total of 400 samples of potato plants showing symptoms of soft rot were obtained from several potato areas in Pangalengan and Garut (West Java), Dieng (Central Java), and Batu-Malang (East Java). Disease incidence was determined by indirect enzyme-linked immunosorbent assay (I-ELISA) using polyclonal antiserum. E.chrysanthemi was isolated from plant samples with positive ELISA results. Furthermore, bacterial isolates were characterized by GEN III OmniLog ID System and PCR using specific primers Ec3F/Ec4R, as well as the universal 16S rRNA primer pair of 27F/1429R. The incidence of E. chrysanthemi based on ELISA was 26.25%. From these samples, 37 bacterial isolates

105

Page 2: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

was obtained. Based on physiological characters; Gram, catalase, oxidase, and oxidation-fermentation, there were 4 isolates similar to the genus of Erwinia. However, the results of Gen III OmniLog System, PCR, and nucleotide sequences analysis of 16S rRNA confirmed that none of the isolates were identified as E.chrysanthemi. Otherwise, those 4 isolates were identified as Pseudomonas oryzihabitans, Pantoea agglomerans, and Pseudomonas viridiflava. The result of this study indicated that the existence of E. chrysanthemi as an A2 quarantine pest on potato in Java can not be confirmed and remains as an A1 quarantine pest.

Key words: Erwinia chrysanthemi, OmniLog, Pantoea agglomerans, Pseudomonas viridiflava

PENDAHULUAN

Produksi kentang di Indonesia masih rendah, yaitu hanya sekitar 16 ton ha-1

dibandingkan dengan di Eropa yang rata-ratanya mencapai sekitar 25.5 ton ha-1. Salah satu penyebab rendahnya produksi kentang ialah terbatasnya benih kentang berkualitas yang hanya sekitar 10% dari kebutuhan nasional; 4.9% di antaranyadipasok dari dalam negeri, sedangkan sisanya berasal dari impor (Baharuddin et al. 2012). Salah satu organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) penting yang banyak diperhatikan saat ini ialah Dickeya sp. (Erwinia chrysanthemi). Supriadi et al. (2002) melaporkan E. chrysanthemi sebagai penyebab pembusukan pada daun dan pangkal batang tanaman lidah buaya di Semplak, Bogor, Jawa Barat. E. chrysanthemi biovar 3 (sinonim dengan D. dadantii) ditemukan oleh Supriyanto et al. (2011) pada lahan gambut di Kalimantan Barat. Selain tanaman lidah buaya, E. chrysanthemi juga menyebabkan penyakit busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Muharam et al. 2012). Beberapa laporan terkait identitas E. chrysanthemi di Indonesia mengarah pada D. dadantii dan masih didasarkan pada uji fisiologi dan biokimia, bukan berdasarkan uji molekuler.

Upaya untuk menelusuri kemungkinan masuk dan tersebarnya E. chrysanthemi ke wilayah Indonesia melalui umbi bibit kentang impor dapat dilakukan dengan mendeteksi keberadaan patogen tersebut di daerah yang diduga merupakan bagian dari daerah distribusi benih kentang impor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan SampelSampel tanaman kentang diambil dari

4 lokasi pertanaman, yaitu Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat dengan ketinggian 1459 m dpl (S 07° 07' 06.6" E 107° 21' 52.9"); Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan ketinggian 1380 m dpl (S 7° 14' 32.0" E 107° 29' 38.0"); kawasan Dieng Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dengan ketinggian 1400 m dpl (S 7° 07' 15.1" E 109° 27' 38.0"); dan Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang, Jawa Timur dengan ketinggian 1656 m dpl (S 7° 26' 57.7" E 112° 19' 13.8"). Dari setiap lokasi diambil 100 tanaman yang menunjukkan gejala layu serta busuk lunak. Tanaman sakit ini berumur 50–90 hari setelah tanam (HST). Bagian tanaman yang diambil ialah pangkal batang dan umbi dan dideskripsikan gejalanya.

Deteksi SerologiSampel pangkal batang dan umbi

tanaman kentang yang menunjukkan gejala khas layu dan busuk lunak dideteksi dengan indirect enzyme-linked immunosorbent assay (I-ELISA) menggunakan antiserum spesifik E. chrysanthemi (IgG Rabbit) dan conjugate Goat anti-Rabbit (IgG-AP) (Adgen). Dari setiap lokasi dibuat 20 sampel komposit (1 sampel komposit terdiri atas 5 sampel individual). Sampel komposit yang menunjukkan hasil positif ELISA selanjutnya diuji ulang secara individu untuk menentukan insidensi E. chrysanthemi. I-ELISA dilakukan sesuai dengan protokol yang dibuat oleh produsen antiserum. Intensitas warna pada hasil pengujian

106

Page 3: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

ELISA diukur menggunakan Thermo Scientific Multiscan® FC Microplate Photometer pada 60 menit setelah pemberian substrat. Uji dinyatakan positif jika nilai absorbansi ELISA (NAE) sampel uji ≥ 2 kali NAE kontrol negatif (tanaman sehat).

Isolasi dan Pemurnian IsolatBakteri yang berasosiasi dengan sampel

individu tanaman yang menunjukkan hasil positif E. chrysanthemi pada uji ELISA diisolasi menggunakan medium casamino acid peptone glucose (CPG) (Cuppels dan Kelman 1974). Potongan sampel direndam dalam akuades steril hingga keluar massa bakteri kemudian dihomogenkan. Suspensi bakteri diencerkan secara bertingkat, sebanyak 100 µL dari masing-masing pengenceran ditumbuhkan pada medium CPG. Tahapan pemurnian isolat menggunakan medium nutrient agar (NA). Isolat murni bakteri yang diduga E. chrysanthemi disimpan dalam akuades steril untuk kemudian diidentifikasi dengan uji hipersensitivitas, karakter fisiologi, uji penggunaan sumber karbon dan polymerase chain reaction (PCR).

Uji HipersensitivitasPenyiapan suspensi bakteri untuk uji

hipersensitif pada daun tembakau mengikuti prosedur De Boer dan Kelman (2001). Suspensi bakteri berumur 24 jam dengan kepadatan 109 CFU mL-1 disuntikkan pada bagian bawah daun tembakau. Gejala hipersensitif berupa nekrotik atau klorosis pada daun tembakau diamati setelah 24–48 jam.

Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi

Karakter fisiologi yang diuji untuk Erwinia mengikuti Hyman et al. (2002), yaitu oksidase, katalase, dan oksidasi-fermentasi. Kemampuan menyebabkan busuk pada umbi kentang mengikuti De Boer dan Kelman (2001).

Uji Penggunaan Sumber Karbon Isolat bakteri yang memiliki karakter

fisiologi mirip dengan E. chrysanthemi diidentifikasi berdasarkan pada penggunaan

sumber karbonnya menggunakan GEN III OmniLog® ID System (Biolog, Hayward, CA, USA) yang telah divalidasi oleh Sandle et al. (2013). E. chrysanthemi asal tanaman anggrek digunakan sebagai kontrol positif. Tahapan pengujian dilakukan sesuai dengan protokol yang dibuat oleh produsen GEN III OmniLog® ID System.

Deteksi Asam Nukleat dengan PCRDeteksi asam nukleat dengan PCR

dilakukan jika identifikasi berdasarkan uji fisiologi dan penggunaan sumber karbon menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan E. chrysanthemi. DNA bakteri diekstrak mengikuti metode Rahma (2013). Koloni bakteri diambil dengan ujung pipet tips dan dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 mL yang berisi 100 µL ddH2O. Suspensi bakteri dipanaskan 10 menit pada suhu 95 °C selama 1 menit. Selanjutnya suspensi bakteri tersebut menjadi cetakan untuk reaksi PCR. Kontrol positif uji ini menggunakan isolat E. chrysanthemi asal tanaman anggrek.

Amplifikasi DNA bakteri menggunakan primer spesifik E. chrysanthemi. Jika tidak teramplifikasi dengan primer spesifik maka deteksi DNA menggunakan primer universal 16S rRNA dan perunutan DNA. Reaksi PCR (total volume reaktan 25 µL) terdiri atas 12.5 μL Dream Taq Green PCR master mix (Thermo Scientific), masing-masing sebanyak 1 μL primer forward dan reverse 10 μM, 1 μL DNA templat, dan 9.5 μL air bebas nuklease.

DNA bakteri diamplifikasi dengan sepasang primer spesifik E. chrysanthemi [Ec3F (5’-AAA TGC TGG C(T/C)G GTA TGC CGT A-3’) dan Ec4R (5’-CAG CGT CAG GAA CGG ACA TAC-3’)] dengan target amplikon berukuran ~548 pb dan program PCR sesuai yang digunakan Hseu et al. (2007). Amplifikasi DNA bakteri secara umum menggunakan primer universal 16S rRNA dengan pasangan primer 27F (5’-AGA GTT TGA TCM TGG CTC AG -3’) dan 1429R (5’-CGG TTA CCT TGT TAC GAC TT -3’) dan target amplikon berukuran ~1500 pb (Pradhap et al. 2011).

107

Page 4: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

Perunutan DNA. Produk hasil PCR dikirim ke First Base,

Malaysia untuk perunutan DNA sikuen. Sikuen gen 16S DNA dibandingkan dengan sikuen DNA bakteri yang sama dari negara lain yang terdeposit dalam GenBank menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST) (www.ncbi.nlm.nih.gov). Homologi gen 16S DNA dilakukan menggunakan program ClustalW BioEdit yang dikalkulasi dengan pilihan “sequence identity matrix”.

HASIL

Gejala Layu dan Busuk LunakSampel tanaman kentang yang diambil dari

lokasi penelitian di Pangalengan (Gambar 1a,

e, dan i), Garut (Gambar 1b, f, dan j), Dieng (Gambar 1c, g, dan k), dan Malang (Gambar 1d, h, dan l) pada umumnya menunjukkan gejala khas layu dan busuk lunak.

Insidensi E. chrysanthemi berdasarkan ELISA

Frekuensi sampel tanaman kentang yang menunjukkan positif E. chrysanthemi berdasarkan hasil ELISA sebesar 26.25%, yaitu sebanyak 105 dari 400 sampel uji. Frekuensi sampel yang menunjukkan reaksi ELISA positif untuk E. chrysanthemi di Pangalengan, Garut, Malang, dan Dieng berturut-turut ialah 3, 1, 3, dan 98%. Sebanyak 37 isolat berhasil diisolasi dari 10 sampel tanaman positif ELISA.

Gambar 1 Gejala layu dan busuk lunak pada kentang. a, daun tanaman yang layu menggulung ke atas (Pangalengan); b, tanaman layu kemudian mengering mulai di bagian tepi daun (Garut); c, tanaman yang layu pertumbuhannya terhambat (Dieng); d, tanaman yang layu terlihat rebah (Malang); e, pangkal batang kehitaman dan mengecil (Pangalengan); f, batang kehitaman dan lunak (Garut); g dan h, batang busuk basah berturut-turut di Dieng dan Malang; i dan j, umbi membusuk berturut-turut di Pangalengan dan Garut; k dan l, umbi tidak menunjukkan gejala busuk, akan tetapi setelah dibelah bagian dalam terlihat berair dan lunak berturut-turut di Dieng dan Malang.

a b c d

e f g h

i j k l

108

Page 5: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

Uji HipersensitivitasSebanyak 18 dari 37 isolat menunjukkan

gejala lesio lokal nekrosis pada tanaman tembakau (Tabel 1). Hanya isolat 14M-6 yang menghasilkan nekrosis setelah 24 jam, sama dengan isolat positif E. chrysanthemi dari anggrek. Isolat 35P-3, 96P-2, 12M-1, 12M-2,12M-3, 12M-4, dan 14M-9 menimbulkan nekrosis setelah 48 jam, sedangkan isolat 35P-1, 35P-5, 49P-5, 71G-1, 71G-6, 3D-2,3D-3, 23D-2, 23D-3, dan 44D- menimbulkan gejala klorosis setelah 48 jam. Selanjutnya 18 isolat tersebut diuji karakter fisiologinya.

Karakter Fisiologi IsolatBerdasarkan hasil uji Gram, katalase,

oksidase, oksidasi-fermentasi, dan kemampuan menyebabkan busuk pada umbi kentang ter-dapat 4 isolat yang memiliki karakter fisiologi mirip dengan genus Erwinia, yaitu isolat 49P-5, 71G-1, 71G-6, dan 14M-6 (Tabel 1). Empat isolat tersebut menunjukkan reaksi Gram negatif, katalase positif, oksidase negatif

dan dapat memfermentasikan glukosa serta menyebabkan busuk pada umbi kentang. Kemampuan menyebabkan busuk pada umbi kentang seperti pada isolat kontrol positif, hanya ditunjukkan oleh isolat 14M-6, sedangkan isolat 49P-5, 71G-1, dan 71G-6 menyebabkan basah pada daerah yang diinokulasi.

Identifikasi Berdasarkan Pemanfaatan Sumber Karbon

Berdasarkan uji pemanfaatan sumber karbon menggunakan GEN III OmniLog System, 4 macam isolat yang diidentifikasi, yaitu Flavimonas oryzihabitan, Pantoea dispersa, P. agglomerans, dan Pseudomonas syringae pv. primulae (Tabel 2). Identifikasi berdasarkan pemanfaatan sumber karbon ini, tidak ada satu pun yang teridentifikasi sebagai E. chrysanthemi, walaupun ciri-ciri fisiologi menunjukkan genus Erwinia. Hasil identifikasi ini perlu dikonfirmasi dengan deteksi DNA melalui PCR dan perunutan DNA gen 16S rRNA karena identifikasi dengan GEN III

109

Tabel 1 Uji hipersensitivitas pada tanaman tembakau dan uji fisiologi isolat bakteri asal tanaman kentang dari beberapa sentra pertanaman di Jawa

Isolat bakteri Reaksi hipersensitif1

Uji Fisiologi

Gram Katalase Oksidase O/F Pembusukan umbi kentang

35P-1 (k) 48 jam + + - +/+ -35P-3 (n) 48 jam - - - +/+ -35P-5 (k) 48 jam - + + +/+ -49P-5 (k) 48 jam - + - +/+ >24 jam96P-2 (n) 48 jm - + - +/+ -71G-1 (k) 48 jam - + - +/+ >24 jam71G-6 (k) 48 jam - + - +/+ >24 jam3D-2 (k) 48 jam - + - +/+ -3D-3 (k) 48 jam - + - +/+ -23D-2 (k) 48 jam + - - +/- -23D-3 (k) 48 jam + - - +/- -44D-1 (k) 48 jam - + - +/+ -12M-1 (n) 48 jam - + + +/+ -12M-2 (n) 48 jam - + + +/+ -12M-3 (n) 48 jam - + + +/+ -12M-4 (n) 48 jam - + + +/+ -14M-6 (n) 24 jam - + - +/+ 24 jam14M-9 (n) 48 jam - - + +/- -K (+)2 (n) 24 jam - + - +/+ < 24 jam

1(k), gejala klorosis; (n), gejala nekrotik2Erwinia chrysanthemi asal anggrek

Page 6: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

OmniLog System terbatas pada spesies yang ada dalam basis data.

Identifikasi Bakteri Berdasarkan Sikuen 16S DNA

Hasil amplifikasi menggunakan primer spesifik Ec3F/Ec4R terhadap 4 isolat bakteri yang memiliki karakter fisiologi mirip E. chrysanthemi tidak menghasilkan amplikon berukuran 548 pb yang merupakan target untuk E. chrysanthemi. Dengan demikian, identitas 4 isolat bakteri yang diuji bukan E. chrysanthemi. Hasil deteksi gen 16S rDNA dari keempat isolat dan runutan sikuennya, diketahui ukuran gen 16S rDNA yang dapat diamplifikasi ialah ± 1500 pb (Gambar 2). Berdasarkan perunutan DNA, isolat 49P-5 adalah Pseudomonas oryzihabitans, isolat 71G-1 dan 71G-6 adalah Pantoea agglomerans, dan isolat 14M-6 adalah Pseudomonas viridiflava (Tabel 3). Tidak ada isolat yang teridentifikasi sebagaiE. chrysanthemi.

PEMBAHASAN

Hasil uji serologi mengindikasikan bahwa E. chrysanthemi terdeteksi pada sampel tanaman kentang yang diuji, tetapi uji GEN III Omnilog System, PCR dan analisis gen 16S rRNA tidak mendeteksi adanya E. chrysanthemi. Hal ini menunjukkan antiserum poliklonal E. chrysanthemi yang digunakan bersifat tidak spesifik karena antiserum poliklonal mengenali lebih dari 1 epitop (Emantoko 2001). Oleh karena itu, deteksi serologi bakteri dengan antiserum poliklonal bermanfaat hanya untuk penapisan awal bakteri target. Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan antiserum poliklonal menimbulkan reaksi silang dengan bakteri lain; antiserum dapat mendeteksi bakteri dari genus dan atau bahkan spesies lain.

Identifikasi menggunakan GEN III Omnilog System sangat praktis, cepat, serta dapat langsung mengidentifikasi isolat yang

Tabel 2 Hasil identifikasi isolat bakteri asal tanaman kentang berdasarkan uji pemanfaatan sumber karbon dengan GenIII Omnilog System.

Isolat bakteri Spesies PROBa SIMb DISTc

49P-5 Flavimonas oryzihabitans 0.646 0.646 5.16171G-1 Pantoea dispersa 0.847 0.641 3.41071G-6 Pantoea agglomerans 0.740 0.548 3.62114M-6 Pseudomonas syringae pv. primulae 0.582 0.582 6.115

aPROB, probability; bSIM, similarity; cDIST, distanceNilai PROB dan SIM berkisar 0-1, nilai DIST berkisar 0-10 (jika >10 maka isolat yang diuji tidak dapat teridentifikasi).

Gambar 2 Visualisasi pita DNA isolat bakteri hasil amplifikasi menggunakan a, primer spesifik Ec3F/Ec4R dengan M, 100 pb dan; b, primer universal 16S rRNA dengan M, 1 Kb. M, penanda DNA (Thermo Scientific); 1, isolat 49P-5; 2, isolat 71G-1; 3, isolat 71G-6; 4, isolat 14M-6; K+, kontrol positif; K-, kontrol negatif.

M K+K-432 1

548 pb

M K+K-432 1

1500 pb

a b

110

Page 7: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

diuji, namun metode ini memiliki kelemahan karena mikroorganisme yang ada pada basis data GEN III Omnilog System terbatas. Target pengujian yang belum tercatat dalam basis data, hasil identifikasinya menjadi kurang akurat.

Deteksi asam nukleat dengan PCR dan atau perunutan DNA dilakukan untuk mengatasi kelemahan deteksi serologi dengan antiserum poliklonal (Sudrajat et al. 2000). Seleksi awal bakteri target dapat dilakukan dengan uji serologi, kemudian dikombinasikan dengan deteksi asam nukleat pada sampel dengan NAE paling tinggi di antara sampel lainnya. Adapun ditemukannya produk dimer pada hasil PCR kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi primer yang terlalu tinggi sehingga menghasilkan produk yang tidak spesifik (Brownie et al. 1997).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sentra produksi kentang di Pangalengan, Garut, Dieng dan Malang ditemukan indikasi adanya E. chrysanthemi berdasarkan analisis ELISA, akan tetapi setelah dikonfirmasi uji PCR menggunakan primer spesifik E. chrysanthemi hasilnya negatif. Dengan demikian, status OPTK A2 E. chrysanthemi pada tanaman kentang masih belum dapat dibuktikan sehingga tetap perlu diwaspadai keberadaannya. Hasil penelitian ini juga mendukung langkah Badan Karantina Pertanian yang mengusulkan peningkatan status E. chrysanthemi menjadi OPTK A1 dan diperbaharui nama identitasnya sesuai penamaan terbaru menjadi Dickeya spp. berdasarkan Samson et al. (2005) dan Toth et al. (2011) yang telah melaporkan

tujuh spesies Dickeya: D. chrysanthemi, D. dadantii, D. dianthicola, D. dieffenbachiae, D. paradisiaca, D. solani, dan D. zeae.

Selain itu, Badan Karantina Pertanian perlu meningkatkan kewaspadaan terkait ditemukannya OPTK A1 Pantoea agglomerans dan Pseudomonas viridiflava, walaupun hasil temuan ini masih harus dikonfirmasi dengan deteksi PCR menggunakan primer spesifik. Selain itu perlu dipastikan juga sifat 2 spesies bakteri tersebut dengan melakukan uji patogenisitas pada tanaman inangnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok atas dukungan berupa fasilitas penelitian, serta Giyanto dan Refa Firgianto atas bantuan isolat kontrol positif E. chrysanthemi.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, Kuswinanti T, Lamba SE. 2012. Percepatan Ketersediaan Benih Kentang Unggulan Melalui Introduksi Paket Bioteknologi Ramah Lingkungan di Kabupaten Toraja Utara. Di dalam: Prosiding InSINas; 2012 Nov 29-30; Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 336–344.

Brownie J, Shawcross S, Theaker J, Whitcombe D, Ferrie R, Newton C, Little S. 1997. The elimination of primer-dimer accumulation in PCR. Nucl Acids Res. 25(16):3235–3241. DOI: http://dx.doi.org/10.1093/nar/25.16.3235.

Isolat bakteri Spesies Panjang DNA

(pb)Homologi

(%)Tanaman

Inang Asal No. Aksesi Genbank

49P-5 Pseudomonas oryzihabitans

1435 98 Tembakau Cina JX067903.1

71G-1 Pantoea agglomerans

1567 92 Bambu India FR872702.1

71G-6 Pantoea agglomerans

1173 85 Rumput Finlandia KJ529102.1

14M-6 Pseudomonas viridiflava

1446 97 Kapri Spanyol GQ398129.1

Tabel 3 Homologi basa nukleotida 16S rRNA isolat bakteri asal tanaman kentang

111

Page 8: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Haerani et al.

Cuppels D, Kelman A. 1974. Evaluation of selective medium for isolation of soft rot bacteria from soil and plant tissue. Phytopathology. 64:468–475. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/Phyto-64-468.

De Boer, Kelman. 2001. Gram negative bacteria: Erwinia soft rot group. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W, editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. 3rd edition. New York (US): APS Pr. hlm 56–72.

Emantoko S. 2001. Antibodi rekombinan: perkembangan terbaru dalam teknologi antibodi. Unitas. 9(2):29–43.

Hseu SH, Shentue HI, Tzeng KC, Lin CY. 2007. Development of specific primers for differential identification pathogen Erwinia carotovora subsp. caratovora and Erwinia chrysanthemi. Plant Pathol Bull. 16:19–29.

Hyman LJ, Toth IK, Pérombelon MCM. 2002. Isolation and identification. Di dalam: Perombelon MCM, Van Der Wolf J M, editor. Methods for the detection and quantification of Erwinia carotovora subsp. atroseptica (Pectobacterium carotovorum subsp. atrosepticum) on potatoes: a laboratory manual. Dunde (UK): Scottish Crop Research Institute Occasional Publication No. 10. hlm 66–71.

Muharam A, Indrasti R, Hanudin. 2012. Occurrence of Dickeya dadantii the causal agent of bacterial soft rot on orchids in DKI Jakarta and West Java Indonesia. Crop Environ. 3(1-2):37–44.

Pradhap M, Selvisabhanayakam, Mathvianan V, Parthasarathy, Ayyapan JVAA, Kumar SS. 2011. Study on 16S rRNA based PCR method for spesific detection of Salmonella entrica typhi from gut of infected silkworm Bombyx mori (Linn.). J Sci Ind Res. 70:909–911.

Rahma H. 2013. Penyakit layu stewart (Pantoea stewartii subsp. stewartii) pada jagung dan upaya pengendaliannya [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Samson R, Legendre JB, Christen R, Fischer-Le SauxM, Achouak W, Gardan L, 2005. Transfer of Pectobacterium chrysanthemi (Burkholder et al., 1953) Brenner I. 1973 and Brenneria paradisiaca to the genus Dickeya gen. nov. as Dickeya chrysanthemi comb. nov and Dickeya paradisiaca comb. nov. and delineation of four novel species, Dickeya dadantii sp. nov., Dickeya dianthicola sp. nov., Dickeya dieffenbachiae sp. nov. and Dickeya zeae sp. nov. Int J Syst Evol Microbiol. 55: 1415–27. DOI: http://dx.doi.org/10.1099/ijs.0.02791-0.

Sandle T, Skinner K, Sandle J, Gebala B, Kothandaraman P. 2013. Evaluation of the GEN III OmniLog® ID system microbial identification system for the profiling of clean room bacteria. Eur Parenter Pharmaceut Sci. 18(2):1–7.

Sudrajat D, Maria LR, Suhadi F. 2000. Deteksi cepat bakteri Escherichia coli enterohemoragik (EHEK) dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. 75–80.

Supriadi, Ibrahim N, Taryono. 2002. Karakterisasi Erwinia chrysanthemi penyebab penyakit busuk bakteri pada daun lidah buaya (Aloe vera). J Litri. 8(2):45–48.

Supriyanto, Priyatmojo A, Arwiyanto T. 2011. Uji penggabungan PGPF dan Pseudomonas putida strain Pf-20 dalam pengendalian hayati penyakit busuk lunak lidah buaya di tanah gambut. J HPT Trop. 11:11–21.

Toth IK, van der Wolf JM, Saddler G, Lojkowska E, He´ lias V, Pirhonen M,. Tsror (Lahkim) L, Elphinstone JG. 2011. Dickeya species: an emerging problem for potato production in Europe (review). Plant Pathol. 1–15. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-3059.2011.02427.

112

Page 9: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

Volume 11, Nomor 4, Agustus 2015Halaman 121–127

DOI: 10.14692/jfi.11.4.121ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Deteksi Virus Utama Bawang Merah dan Bawang Putih dari Daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah

Detection of Main Viruses Infecting Shallot and Garlic in

West and Central Java

Kadwati, Sri Hendrastuti Hidayat*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Penyakit yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan produksi bawang merah (Allium cepa) dan bawang putih (A. sativum). Penelitian dilakukan untuk mendeteksi virus utama bawang merah dan bawang putih dari pertanaman di lapangan dan dari umbinya menggunakan antibodi dengan metode ELISA. Sampel daun dan umbi diperoleh dari pertanaman bawang di Jawa Barat (Bandung, Bogor, dan Cirebon), Jawa Tengah (Brebes) serta Yogyakarta (Bantul). Infeksi Garlic common latent virus (GCLV), Shallot latent virus (SLV), dan Potyvirus berhasil dideteksi menggunakan antibodi spesifik. Ketiga jenis virus menginfeksi secara tunggal maupun bersama-sama (infeksi campuran). Rata-rata persentase infeksi virus di pertanaman berkisar 11.2–14.3% pada bawang merah dan 14.3% pada bawang putih; sedangkan pada sampel umbi berkisar 11.2–13.3% pada bawang merah, dan 9.18% pada bawang putih.

Kata kunci: Garlic common latent virus, ELISA, Potyvirus, Shallot latent virus

ABSTRACT

Viral disease has been reported to cause significant effect on production of shallot (A. cepa) and garlic (A. sativum). The study was conducted to detect main viruses from leaves and bulbs of shallot and garlic using specific antibodies by ELISA method. Leaf and bulb samples was collected from West Java (Bandung, Bogor and Cirebon), Central Java (Brebes), and Yogyakarta (Bantul). Single as well as mix infection of GCLV, SLV, and Potyvirus was successfully detected using specific antibodies. The average percentage of virus infection in the crop ranged from 11.2–14.3% on shallot, and 14.3% on garlic; whereas in the bulb ranged from 11.2–13.3% on shallot, and 9.18% on garlic.

Key words: Garlic common latent virus, ELISA, Potyvirus, Shallot latent virus

121

Page 10: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Kadwati dan Hidayat

PENDAHULUAN

Produksi bawang merah (Allium cepa) dan bawang putih (A. sativum) di Indonesia cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun (BPS 2013). Faktor penentu produksi bawang merah dan bawang putih secara nasional ialah lahan yang semakin sempit, perhatian terhadap infrastruktur pascapanen, pengetahuan budi daya dan teknologi petani, keadaan iklim yang tidak menentu, umbi atau benih berkualitas tinggi di pasaran, dan faktor biotik terutama gangguan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT).

Bawang merah dan bawang putih di Indonesia selalu diperbanyak secara vegetatif sehingga potensi virus yang ditularkan melalui umbi sangat tinggi. Virus tular umbi benih yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman bawang di antaranya ialah Shallot latent virus (SLV) dan Onion yellow dwarf virus (OYDV) (Torrico et al. 2010; Bagi et al. 2012). Kelompok virus yang umum menginfeksi tanaman bawang-bawangan berasal dari genus Carlavirus, Potyvirus, dan Allexivirus. Virus utama pada tanaman bawang di antaranya SLV dan Garlic common latent virus (GCLV) anggota Carlavirus; OYDV, Shallot yellow stripe virus (SYSV), dan Leek yellow stripe virus (LYSV) anggota Potyvirus; Mite-born filamentous virus (MbFV) anggota Allexivirus (Diekmann 1997).

Metode serologi Dot immunobinding assay (DIBA) dan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) serta metode molekuler Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) umum dilakukan untuk mendeteksi virus bawang. Gunaeni et al. (2011) melaporkan adanya infeksi OYDV (85%), SYSV (95%), dan gabungan OYDV dan SYSV (85%) pada 13 varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah menggunakan metode serologi Direct-ELISA. Kenyataan masih kurangnya informasi mengenai jenis-jenis virus yang menginfeksi tanaman bawang di Indonesia menjadi latar belakang penelitian ini.

Penelitian bertujuan mendeteksi keberada-an virus utama bawang merah dan bawang putih dari sentra pertanaman bawang di daerah

Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan metode ELISA dan menentukan persentase infeksi virus di lapangan dan infeksi virus terbawa umbi benih.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel BawangSampel daun diambil dari pertanaman

bawang merah dan bawang putih di Jawa Barat (Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung dan Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung), Yogyakarta (Desa Sri Gading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul), dan Jawa Tengah (Desa Pengabean, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes dan Desa Pangenan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon). Sampel diambil secara purposive sampling dari masing-masing lokasi sebanyak 35 sampel daun yang menunjukkan gejala penyakit yang diduga disebabkan oleh virus: mosaik kuning, mosaik hijau muda, bergaris kuning, daun pipih bergaris kuning pucat di tengah, keriting, bercak kuning, dan permukaan atas daun berlekuk.

Sampel umbi diperoleh dari petani di Jawa Tengah (Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, dan Desa Pangenan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon), dan dari pasar di Jawa Barat (Desa Bara, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor). Pengambilan sampel dilakukan secara acak karena tidak diketahui gejala infeksi virus pada umbi. Selanjutnya, 50 sampel umbi yang diambil dari masing-masing lokasi ditanam dengan memotong 1.5 cm bagian ujung umbi untuk mempercepat pertumbuhan. Umbi ditanam pada baki semai menggunakan medium tanam tanah dan pupuk dan dipelihara di rumah kasa selama 24 hari atau sampai muncul daun tunas.

Deteksi VirusSampel daun dan umbi sebanyak 0.1 g

untuk masing-masing sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik, selanjutnya disimpan pada suhu -80 °C atau langsung digunakan untuk deteksi virus dengan metode ELISA.

122

Page 11: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Kadwati dan Hidayat

Deteksi virus menggunakan 3 jenis antibodi secara terpisah, yaitu 2 antibodi spesifik GCLV dan SLV, dan antibodi umum Potyvirus. Cairan perasan sampel daun disiapkan dengan menggerus 0.1 g daun dalam bufer ekstraksi (pH 7.4) [200 mL PBST + 2% polyvinyl pyrrolidone (PVP)] dengan perbandingan 1:10 (b:v). Metode ELISA untuk masing-masing antibodi mengikuti pedoman yang dianjurkan untuk masing-masing kit (DSMZ, Jerman), yaitu metode double antibody sandwich (DAS)-ELISA untuk GCLV, metode triple antibody sandwich (TAS)-ELISA untuk SLV, dan metode indirect (I)-ELISA untuk Potyvirus. Reaksi positif ditentukan berdasarkan pada hasil pengukuran nilai absorbansi (NA) menggunakan spektrofoto-meter pada panjang gelombang 405 nm, yaitu NA sampel lebih besar atau sama dengan 2× NA kontrol negatif. Hasil deteksi kemudian digunakan untuk menentukan persentase infeksi virus, yaitu nisbah antara jumlah sampel terinfeksi dan jumlah total sampel yang diuji (× 100%).

HASIL

Gejala Infeksi Virus pada Tanaman Bawang di Lapangan

Sampel bawang yang diperoleh dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan gejala infeksi virus yang berbeda-beda. Gejala tersebut dapat dikelompokkan menjadi 7 jenis, yaitu gejala mosaik kuning, mosaik hijau muda, bergaris kuning, daun pipih bergaris kuning pucat di tengah, keriting, bercak kuning, dan permukaan atas daun berlekuk (Gambar 1). Gejala yang paling dominan ialah mosaik kuning dan bergaris kuning yang diperoleh dari semua sampel bawang merah (Bandung, Bantul, Brebes, dan Cirebon), sedangkan jenis gejala yang paling sedikit ditemukan ialah gejala permukaan atas daun berlekuk yang hanya ditemukan pada sampel bawang putih dari Bandung. Keragaman gejala tertinggi ditemukan pada sampel bawang merah dari daerah Brebes dengan 5 jenis gejala (mosaik kuning, mosaik hijau muda, bergaris kuning, daun pipih bergaris kuning pucat di tengah, dan keriting), sedangkan keragaman gejala

a b c d

e f g

Gambar 1 Gejala penyakit pada sampel daun bawang merah. a, mosaik kuning; b, mosaik hijau muda; c, bergaris kuning; d, daun pipih bergaris kuning pucat di tengah; e, keriting. Gejala penyakit pada sampel daun bawang putih. f, bercak kuning dan; g, permukaan atas daun berlekuk.

123

Page 12: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Kadwati dan Hidayat

terendah ditemukan pada bawang merah asal Bandung dengan 3 jenis gejala (mosaik kuning, bergaris kuning, dan daun pipih bergaris kuning pucat di tengah).

Deteksi Virus pada Sampel Daun dari Lapangan

Tiga jenis virus, yaitu GCLV, SLV, dan Potyvirus berhasil dideteksi dari lapangan baik secara tunggal maupun bersama-sama (infeksi campuran) (Tabel 1). Sampel dengan gejala mosaik kuning terinfeksi oleh ke-3 virus, baik sebagai infeksi tunggal, ganda, maupun campuran 3 virus. Selain pada gejala mosaik kuning, jenis infeksi tunggal dan campuran ke-3 virus sangat bervariasi. Infeksi tunggal oleh Potyvirus ditemukan pada semua sampel, infeksi GCLV hanya terdapat pada sampel bawang merah asal Bandung, infeksi SLV ditemukan pada sampel bawang merah asal Bandung, Bantul, dan Cirebon. Infeksi ganda SLV dan Potyvirus tidak terdeteksi pada bawang merah asal Bandung, infeksi ganda tersebut ditemukan pada sampel bawang merah asal Bantul, Brebes, dan Cirebon, serta sampel bawang putih asal Bandung. Infeksi ganda GCLV dan Potyvirus hanya ditemukan pada sampel bawang putih asal Bandung, sedangkan infeksi ganda GCLV dan SLV tidak ditemukan sama sekali pada semua sampel. Infeksi campuran 3 virus GCLV, SLV, dan

Potyvirus ditemukan pada sampel bawang merah asal Bantul dan Brebes, serta bawang putih asal Bandung (Tabel 2).

Rata-rata insidensi virus target dari masing-masing daerah asal sampel berkisar antara terendah 11.22% (bawang merah asal Bandung) dan tertinggi 14.29% (bawang merah asal Brebes dan Cirebon serta bawang putih asal Bandung) (Tabel 2). Infeksi tertinggi pada bawang merah berturut-turut disebabkan oleh Potyvirus (30.4%); SLV dan Potyvirus (28.6%); GCLV, SLV, dan Potyvirus (14.3%); GCLV (8.9%), dan SLV (8.9%); sedangkan infeksi ganda GCLV dan SLV serta GCLV dan Potyvirus tidak terdeteksi pada semua sampel. Kondisi yang berbeda ditemukan pada bawang putih, yaitu infeksi tertinggi berturut-turut disebabkan oleh GCLV dan Potyvirus (42.9%); GCLV, SLV, dan Potyvirus (42.9%); SLV dan Potyvirus (7.1%); Potyvirus (7.1%); sedangkan infeksi tunggal GCLV, SLV, dan infeksi ganda GCLV dan SLV tidak terdeteksi pada semua sampel (Tabel 2).

Deteksi Virus pada Sampel UmbiSeperti halnya pada sampel daun lapangan,

sampel umbi bawang merah dan bawang putih terinfeksi lebih dari 1 virus. Sampel umbi bawang merah asal Brebes dan bawang putih asal Bogor terinfeksi GCLV dan SLV secara tunggal, sedangkan infeksi tunggal Potyvirus

Tabel 1 Hasil deteksi virus dari sampel tanaman bawang berdasarkan reaksi ELISA

Jenis gejala

Jenis virus

GCLV SLV Potyvirus GCLV, SLV

GCLV, Potyvirus

SLV, Potyvirus

GCLV, SLV, danPotyvirus

MK + + + + + + +MH - - + - - - +GK + - + + + + +PB - - + - + + -K + + - + - + +BK - - + - - + +AB - + + + + + +

Jenis gejala: MK, Mosaik kuning; MH, Mosaik hijau muda; GK, Bergaris kuning; PB, Pipih bergaris kuning pucat di tengah; K, Keriting; BK, Bercak kuning; AB, Permukaan atas daun berlekuk.Jenis virus: GCLV, Garlic common latent virus; SLV, Shallot latent virus.Reaksi ELISA : (+), positif; (-), negatif.

124

Page 13: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Kadwati dan Hidayat

ditemukan pada sampel bawang merah asal Bogor, Brebes, dan Cirebon. Infeksi ganda GCLV dan SLV ditemukan pada sampel bawang merah asal Brebes dan bawang putih asal Bogor. Infeksi SLV dan Potyvirus ditemukan pada sampel umbi bawang merah Cirebon dan Bogor serta bawang putih Bogor. Infeksi GCLV dan Potyvirus hanya terdeteksi pada sampel umbi bawang merah asal Brebes, sedangkan infeksi campuran GCLV, SLV dan Potyvirus ditemukan pada sampel umbi bawang merah asal Brebes, Cirebon, dan bawang putih asal Bogor (Tabel 3).

Rata-rata infeksi virus target dari masing-masing daerah asal sampel umbi berkisar antara terendah 9.18% (bawang putih asal Bogor) sampai tertinggi 13.27% (bawang merah asal Bogor dan Brebes) (Tabel 3). Infeksi tertinggi pada umbi bawang merah berturut-turut disebabkan oleh SLV dan Potyvirus (33.3%); Potyvirus (21.4%); GCLV, SLV, dan Potyvirus (19%); GCLV dan Potyvirus (7.1%); GCLV dan SLV (2.4%); GCLV (2.4%); SLV (2.4%). Infeksi tertinggi pada umbi bawang putih berturut-turut disebabkan oleh SLV (28.6%);

SLV dan Potyvirus (14.3%); GCLV (7.1%); GCLV dan SLV (7.1%); GCLV, SLV, dan Potyvirus (7.1%); sedangkan infeksi tunggal Potyvirus dan infeksi ganda GCLV dan Potyvirus tidak ditemukan pada semua umbi.

PEMBAHASAN

Infeksi virus pada tanaman bawang merah dan bawang putih umumnya menyebabkan gejala mosaik bergaris hijau dan bergaris kuning. Gejala serupa dilaporkan oleh Gunaeni et al. (2011) pada bawang merah di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang terinfeksi OYDV dan SYSV. Berbeda dengan Klukackova et al. (2004) yang melaporkan bahwa infeksi SLV dan GCLV seringkali tidak menunjukkan gejala visual yang jelas. Oleh karena itu untuk menentukan virus-virus yang menginfeksi bawang di lapangan, deteksi di laboratorium menggunakan metode yang akurat dan cukup sensitif perlu dilakukan, misalnya dengan metode ELISA menggunakan antibodi spesifik. Potyvirus yang banyak dilaporkan menginfeksi bawang merah dan bawang putih

125

Tabel 2 Frekuensi insidensi virus pada sampel daun bawang dari lapangan berdasarkan hasil deteksi dengan metode ELISA

Jenis dan asal sampel lapangan

Varietas

∑ sampel positif ELISA/ ∑sampel yang diuji (%) Rata-rata insidensi

virus pada

masing-masing lokasi

GCLV SLV Potyvirus GCLV, SLV

GCLV, Potyvirus

SLV, Potyvirus

GCLV, SLV, dan Potyvirus

BM Bandung

Maja dan Trisula

5/14 (35.7)

2/14 (14.3)

4/14 (28.6)

0/14(0)

0/14 (0)

0/14 (0)

0/14 (0) 11.2

BM Bantul

Crok kuning

dan Biru0/14 (0)

2/14 (14.3)

8/14 (57.1)

0/14(0)

0/14(0)

1/14 (7.14)

1/14 (7.1) 12.2

BM Brebes

Bima curut

0/14 (0)

0/14 (0)

1/14 (7.1)

0/14(0)

0/14(0)

13/14 (92.9)

0/14 (0) 14.3

BM Cirebon

Bima curut

0/14 (0)

1/14 (7.1)

4/14 (28.6)

0/14(0)

0/14(0)

2/14 (14.3)

7/14 (50) 14.3

Rata-rata infeksi virus target pada bawang merah

8.9 8.9 30.4 0 0 28.6 14.3

BP Bandung Lokal 0/14

(0)0/14 (0)

1/14 (7.1)

0/14 (0)

6/14 (42.9)

1/14 (7.14)

6/14 (42.9) 14.3

BM, bawang merah; BP, bawang putih

Page 14: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Kadwati dan Hidayat

di antaranya OYDV, SYSV, dan LYSV (Klukackova et al. 2004; Lunello et al. 2007; Gunaeni et al. 2011; Kurniawan dan Suastika 2013). Deteksi menggunakan antibodi spesifik untuk kelompok Potyvirus perlu dilakukan untuk memastikan jenis Potyvirus yang menginfeksi bawang di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sampel yang memberikan reaksi positif terhadap lebih dari satu jenis antibodi menunjukkan gejala yang lebih kompleks dibandingkan dengan sampel yang memberikan reaksi positif terhadap satu jenis antibodi. Gejala mosaik kuning, garis kuning, dan keriting berasosiasi dengan infeksi GCLV, sementara gejala mosaik kuning, keriting, bagian atas daun berlekuk berasosiasi dengan infeksi SLV. Infeksi campuran GCLV dan SLV menghasilkan gejala yang lebih kompleks, yaitu mosaik kuning, garis kuning, keriting, dan bagian atas daun berlekuk. Kondisi yang sama juga ditemukan pada infeksi campuran SLV dan Potyvirus, dan GCLV, SLV, dan Potyvirus. Berdasarkan pengamatan gejala dan hasil deteksi tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus pada bawang merah tidak bersifat spesifik untuk suatu virus tertentu.

Mekanisme infeksi virus bawang umumnya terjadi melalui penularan secara

mekanis dengan gesekan antardaun, alat perkembangbiakan vegetatif (terbawa umbi), dan penularan melalui vektor (kutudaun dan tungau). Penularan secara mekanis dilaporkan terjadi pada SYSV dan MbFV, sedangkan SLV dan OYDV merupakan virus tular benih. Jenis virus yang ditularkan melalui vektor, yaitu GCLV, LYSV, OYDV, SYSV, dan MbFV (Diekmann 1997). Infeksi virus pada tanaman bawang akan terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya melalui organ perbanyakan vegetatif (umbi). Virus terbawa umbi (benih) menghambat pertumbuhan tanaman karena virus berkembang bersama. Virus terbawa benih dapat menjadi inokulum primer di lapangan, selanjutnya inokulum dapat menyebar dengan bantuan serangga vektor. Infeksi virus pada tanaman bawang dapat merugikan terutama pada penurunan kualitas dan kuantitas hasil. Ukuran umbi mengecil dan bobot umbi berkurang sehingga harga jual rendah (Sutarya dan Duriat 1991).

Hasil deteksi virus dari umbi yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan potensi umbi sebagai sumber infeksi sejak awal penanaman. Potyvirus yang menginfeksi secara tunggal maupun bersama dengan SLV merupakan insidensi yang dominan pada

126

Tabel 3 Frekuensi insidensi virus pada sampel umbi bawang berdasarkan hasil deteksi dengan metode ELISA

Jenis dan asal sampel

lapanganVarietas

∑ sampel positif ELISA/ ∑sampel yang diuji (%) Rata-rata insidensi

virus pada masing-masing lokasi

GCLV SLV Potyvirus GCLV, SLV

GCLV, Potyvirus

SLV, Potyvirus

GCLV, SLV, dan Potyvirus

BM Bogor

Tidak diketahui

0/14 (0)

0/14 (0)

6/14 (42.9)

0/14(0)

0/14(0)

5/14 (35.7)

0/14 (0) 13.3

BM Brebes

Bima curut

1/14 (7.1)

1/14 (7.1)

2/14 (14.3)

1/14 (7.1)

3/14 (21.4)

0/14 (0)

5/14 (35.7) 13.3

BM Cirebon

Bima curut

0/14 (0)

0/14 (0)

1/14 (7.1)

0/14(0)

0/14(0)

9/14 (64.2)

3/14 (21.4) 11.2

Rata-rata infeksi virus target pada bawang merah

2.4 2.4 21.4 2.4 7.1 33.3 19.0

BP Bogor

Tidak diketahui

1/14 (7.1)

4/14 (28.6)

0/14 (0)

1/14 (7.1)

0/14(0)

2/14 (14.3)

1/14 (7.1) 9.18

BM, bawang merah; BP, bawang putih

Page 15: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Kadwati dan Hidayat

bawang merah di lapangan maupun di tempat penyimpanan. Berbeda dengan bawang putih, infeksi yang dominan ialah SLV pada umbi di tempat penyimpanan dan infeksi ganda GCLV dan Potyvirus pada tanaman di lapangan. Upaya untuk mengurangi sumber penyakit di lapangan dapat dilakukan dengan menerapkan sistem sertifikasi bibit sehat dengan menanam umbi bibit bebas virus.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ACIAR atas dukungannya melalui kegiatan kerja sama penelitian berjudul Increasing Productivity of Allium and Solanaceous Vegetable Crops in Indonesia and Sub-Tropical Australia (Hort/2009/056).

DAFTAR PUSTAKA

Bagi F, Stojsin V, Budakov D, Salma MAE, Varga JG. 2012. Effect of Onnion yellow dwarf virus (OYDV) on yield components of fall garlic (Allium sativum L.) in Serbia. Afr J Agric Res. 7(15):2386-2390. DOI: http://dx.doi.org/10.5897/AJAR11.1772.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah dan Bawang Putih [Internet]. [diunduh 2013 Februari 13]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub?view.php.

Diekmann M. 1997. FAO/IPGRI Technical Guidelines for the Safe Movement of Germplasm. No. 18. Allium spp. Roma (IT): Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome/International Plant Genetik Resources Institute, Rome.

Gunaeni N, Wulandari AW, Duriat AS, Muharam A. 2011. Insiden penyakit tular umbi pada tiga belas varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah. J Hort. 21(2):164–172.

Klukackova J, Navratil M, Vesela M, Havranek P, Safarova D. 2004. Occurrence of garlic viruses in the Czech Republic. Acta Fytotechnica. 16(7):126-128.

Kurniawan A, Suastika G. 2013. Deteksi dan identifikasi virus pada bawang merah. J Fitopatol Indones. 9(2):47–52. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.9.2.47.

Lunello P, Rienzo JD, Conci VC. 2007. Yield loss in garlic by Leek yellow stripe virus Argentina isolate. Plant Dis. 91(2):153–158. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-91-2-0153.

Sutarya R, Duriat AS. 1991. Respon beberapa kultivar cabai terhadap Cucumber mosaic virus (CMV), Tobacco etch virus (TEV) dan campuran dari CMV+TEV. Bull Penel Hort. 21(1):72–76.

Torrico AK, Cafrune EE, Conci VC. 2010. First report of Shallot latent virus on garlic in Argentina. Plant Dis. 97(7):915. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-94-7-0915B.

127

Page 16: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

Volume 11, Nomor 4, Agustus 2015Halaman 128–136

DOI: 10.14692/jfi.11.4.128ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629362; Faks: 0215-8629362; Surel: [email protected]

Perlakuan Panas Kering dan Bakterisida untuk Menekan InfeksiPantoea stewartii subsp. stewartii pada Benih Jagung Manis

Dry Heat and Bactericide Treatment to Suppress Pantoea stewartii subsp. stewartii Infection on Sweet Corn Seed

Suswi Nalis, Gede Suastika, Giyanto*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Penyakit layu Stewart merupakan penyakit penting pada tanaman jagung, khususnya jagung manis. Penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii (sinonim Erwinia stewartii) dan bersifat tular benih. Salah satu cara pengendalian penyakit ini ialah dengan perlakuan benih. Penelitian bertujuan menentukan keefektifan perlakuan panas kering, bakterisida, dan kombinasinya untuk mengeliminasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis tanpa merusak kualitas benih. Penelitian terdiri atas 3 tahap percobaan. Percobaan I dilakukan untuk menentukan treatment window perlakuan panas kering dan bakterisida yang dilakukan pada benih jagung manis dan bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro. Percobaan II merupakan perlakuan panas kering atau bakterisida pada benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii. Percobaan III merupakan kombinasi perlakuan panas kering dan bakterisida pada benih yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan panas kering pada suhu 50 °C selama 24 jam mampu mematikan P. stewartii subsp. stewartii secara in vitro, namun tidak efektif pada benih yang terinfeksi (secara in vivo). Perlakuan panas kering pada benih sampai suhu 55 °C tidak menurunkan persentase daya berkecambah benih. Perlakuan bakterisida pada konsentrasi 100 ppm dapat mengurangi populasi bakteri yang terdapat dalam benih. Konsentrasi bakterisida 150 dan 200 ppm dapat secara nyata menurunkan populasi bakteri yang terdapat dalam benih, namun bersifat fitotoksik ke tanaman. Kombinasi perlakuan bakterisida (100 ppm) sebelum perlakuan panas kering (55 °C selama 24 jam) mampu mengeliminasi bakteri dalam benih dengan persentase daya kecambah di atas 85%.

Kata kunci: patogen tular benih, perlakuan benih, treatment window

ABSTRACT

Stewart’s Wilt is an important bacterial disease of sweet corn caused by Pantoea stewartii subsp. stewartii (synonim Erwinia stewartii). This bacteria is a seed transmitted pathogen therefore seed treatment is one method to control stewart’s wilt. The aim of this research was to study the effectiveness of dry heat, bactericide treatment, and their combinations to eliminate P. stewartii subsp. stewartii infection on sweet corn seed without damaging seed quality. The research was conducted in 3 experiments. Experiment I was conducted to determine the treatment window of dry heat and bactericide treatment. The treatment was carried out on sweet corn seed using the P. stewartii subsp. stewartii in vitro. Experiment II was conducted to study dry heat and bactericide treatment on sweet corn seed infested by P. stewartii subsp. stewartii. Experiment III was conducted to study combination of dry heat and bactericide treatment on sweet corn seed infested by P. stewartii subsp. stewartii. The results showed that dry heat treatment at 50 °C for 24 hours was able to eliminate pathogen populations in vitro but was unable to eliminate the

128

Page 17: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

pathogen on infected seed (in vivo). Germination tests indicated that seed treatments with dry heat up to 55 °C did not decrease the germination level. The use of bactericide treatment in 100 ppm could reduce the population of bacteria on sweet corn seeds. Bactericide concentration of 150 and 200 ppm could decrease the population of bacteria on sweet corn seeds, however it could cause phytotoxic effect. The combination of bactericide (100 ppm, w/v) ) with dry heat treatment (55 °C for 24 hours) was able to eliminate bacteria on infected seed with seed germination above 85%.

Key words: seed transmitted pathogen, seed treatment, treatment window

PENDAHULUAN

Penyakit layu Stewart merupakan penyakit bakteri penting pada tanaman jagung manis (Pataky 2004) yang disebabkan oleh bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii (sinonim Erwinia stewartii) (Dye 1969). Penyakit ini terutama menginfeksi jagung manis pada seluruh stadium tanaman dan dapat menyebabkan kehilangan hasil 40–100% bila terinfeksi sebelum munculnya daun ke-5 (Pataky 2004). Penyebaran bakteri dilakukan oleh perantara serangga vektor Chaetocnema pulicaria (Pataky 2004) dan merupakan patogen tular benih walaupun frekuensinya sangat kecil (Block et al. 1998; Michener et al. 2002; Rahma et al. 2013). Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Pertanian nomor 93 tahun 2011 bakteri ini termasuk organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) kategori A1, yaitu OPTK yang belum ada di wilayah Indonesia.

Pengendalian penyakit layu Stewart di beberapa negara saat ini masih sebatas pada pengendalian serangga vektor (C. pulicaria) dengan insektisida imidakloprid dan thiomethoxam (Pataky et al. 2000). Salah satu alternatif pengendalian dalam menekan penyakit ini ialah menggunakan benih yang sehat. Metode perlakuan benih yang sesuai diperlukan agar terbebas dari patogen tular benih dan tidak menurunkan kualitas benih.

Perlakuan panas kering merupakan salah satu perlakuan fisik pada benih yang secara luas diterapkan untuk tanaman. Grum et al. (2007) melaporkan bahwa kombinasi perlakuan panas kering pada benih dan termoterapi pada pembibitan dapat mengeradikasi bakteri patogen (Xanthomonas campestris pv. phaseoli) pada buncis. Bakterisida dengan

bahan aktif streptomisin sulfat merupakan bakterisida sistemik yang direkomendasikan untuk mengatasi masalah penyakit layu bakteri (FSANZ 2011).

Perlakuan untuk mengeliminasi patogen terbawa benih dapat dilakukan bila perlakuan tersebut memiliki treatment window. Treatment window merupakan daerah pada saat populasi patogen sudah mulai menurun, tetapi benih tetap memiliki perkecambahan yang tinggi setelah diberikan perlakuan benih (Forsberg 2004). Penelitian bertujuan menentukan keefektifan perlakuan panas kering, bakterisida, dan kombinasinya untuk mengeliminasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis tanpa merusak kualitas benih.

BAHAN DAN METODE

Percobaan I: Penentuan Treatment Window Perlakuan Panas Kering dan Bakterisida

Percobaan I dilakukan pada benih jagung manis dan bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro. Benih jagung manis yang digunakan ialah benih kemasan yang beredar di pasaran, sedangkan isolat bakteri P. stewartii subsp. stewartii (PSS 196) merupakan koleksi dari Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Perlakuan panas kering dan bakterisida pada benih jagung manis terdiri atas 4 ulangandan masing-masing ulangan berisi 100 benih. Perlakuan panas kering diberikan dengan memasukkan benih jagung manis ke dalam cawan petri kemudian ditempatkan dalam oven dengan suhu 40, 45, 50, 60, dan 70 °Cselama 24 jam serta tanpa pemanasan sebagai kontrol. Perlakuan bakterisida menggunakan

129

Page 18: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

benih jagung manis yang direndam dalam 100 mL larutan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat dengan konsentrasi 0 (Kontrol), 25, 50, 100, 150, 200, 400, 600, dan 800 ppm selama 20 menit, kemudian benih ditiriskan, dikeringanginkan. Benih yang telah diberi perlakuan panas kering dan bakterisida ditanam pada nampan plastik yang berisi pasir steril. Pengamatan dilakukan dengan menghitung daya berkecambah benih pada 7 hari setelah tanam (hst).

Perlakuan panas kering terhadap P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro diberikan dengan memasukkan 1 mL suspensi P. stewartii subsp. stewartii ke dalam tabung ependorf. Tabung berisi suspensi bakteri diberi perlakuan suhu 40, 45, 50, 60, dan 70 °C selama 24 jam serta tanpa pemanasan sebagai kontrol. Suspensi bakteri diencerkan berseri dengan larutan NaCl 0.8% sebagai pengencer. Sebanyak 100 µL suspensi bakteri diratakan pada medium yeast extract dextrosa-calcium carbonat agar (YDCA), kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan menghitung koloni bakteri yang tumbuh pada medium untuk mengetahui kepadatan populasinya.

Perlakuan bakterisida disiapkan dengan memasukkan 100 µL suspensi P. stewartii subsp. stewartii (OD = 0.4, λ = 600 nm) ke dalam tabung reaksi yang berisi 5 mL medium NB. Sebanyak 100 µL larutan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat dengan konsentrasi 0, 25, 50, 100, 150, 200, 400, 600, dan 800 ppm digunakan dalam uji ini. Kultur bakteri selanjutnya diinkubasi pada inkubator bergoyang selama 24 jam dengan kecepatan 110× g. Pengamatan dilaku-kan dengan menghitung nilai optical density (OD) pada spektrometer dengan λ = 600 nm.

Data yang diperoleh dibuat grafik hubungan antara dosis perlakuan (suhu dan konsentrasi) dan viabilitas benih jagung manis dan bakteri P. stewartii subsp. stewartii (Forsberg 2004). Interval suhu dan konsentrasi yang mampu menurunkan populasi bakteri dengan perkecambahan benih yang tinggi (treatment window) digunakan untuk perlakuan benih yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii.

Percobaan II: Perlakuan Panas Kering dan Bakterisida pada Benih Jagung Manis Terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii

Benih terinfeksi diperoleh dari inokulasi buatan dengan merendam benih jagung manis yang telah disterilisasi permukaan dengan larutan NaOCl 1% selama 2 menit ke dalam suspensi bakteri P. stewartii subsp. stewartii (PSS 196) usia 24 jam (OD = 0.4, λ = 600 nm) selama 30 menit. Benih yang telah direndam kemudian dikeringanginkan selama 24 jam.

Perlakuan panas kering diberikan dengan memanaskan benih jagung manis terinfeksi dengan oven. Suhu yang digunakan untuk perlakuan adalah 40, 45, 50, 55, dan 60 °C,selama 24 jam serta tanpa pemanasan sebagai kontrol. Sedangkan pada perlakuan bakterisida, benih jagung manis terinfeksi direndam dalam larutan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat. Konsentrasi yang digunakan adalah 0, 25, 50, 100, 150, dan 200 ppm selama 20 menit.

Percobaan III: Kombinasi Perlakuan Panas Kering dan Bakterisida pada Benih Jagung Manis Terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii

Benih jagung manis terinfeksi diberi kombinasi perlakuan bakterisida dan panas kering. Kombinasi perlakuan diberikan dengan merendam benih terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii pada larutan bakterisida konsentrasi 25, 50, dan 100 ppm selama 20 menit sebelum dan setelah perlakuan panas kering suhu 45, 50, dan 55 °C selama 24 jam.

Pengamatan Percobaan II dan IIIPengaruh perlakuan terhadap viabilitas

benih dilakukan dengan menanam benih yang telah diberi perlakuan pada nampan plastik berisi pasir steril. Pengamatan dilakukan terhadap vigor (4 hst) dan daya berkecambah benih (7 hst).

Pengaruh perlakuan terhadap viabilitas bakteri dilakukan dengan mengekstraksi 1 g benih yang telah diberi perlakuan dengan 10 mL larutan NaCl 0.8%. Sebanyak 100 µL suspensi disebar pada medium YDCA dengan glass beads steril, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Pengamatan

130

Page 19: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

dilakukan dengan menghitung koloni bakteri yang tumbuh pada medium untuk mengetahui kepadatan populasi bakteri per g benih.

Analisis Data Percobaan II dan IIIPenelitian disusun dalam rancangan acak

lengkap (RAL) untuk percobaan II dan RAL faktorial untuk percobaan III dengan masing-masing perlakuan sebanyak 4 ulangan. Data dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey α 1%.

HASIL

Penentuan Treatment Window Perlakuan Panas Kering dan Bakterisida

Perlakuan panas kering pada benih dengan suhu 40 dan 45 °C mampu meningkatkan daya berkecambah benih jagung manis dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan panas kering juga sangat berpengaruh terhadap populasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro yang ditandai dari adanya penurunan jumlah koloni bakteri setelah diberi perlakuan. Perlakuan panas kering pada suhu 50 °C selama 24 jam dapat mematikan P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro (Gambar 1a).

Perendaman benih jagung manis pada larutan bakterisida sangat berpengaruh terhadap daya berkecambah benih jagung manis. Konsentrasi 25–200 ppm mampu meningkatkan daya berkecambah benih jagung manis dibandingkan dengan kontrol

(Gambar 1b). Pengujian daya kecambah benih jagung manis pada konsentrasi 200 ppm menunjukkan adanya gejala fitotoksis atau keracunan pada kecambah (Gambar 2). Bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat mampu menghambat populasi P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro yang ditandai dengan semakin rendahnya nilai OD pada konsentrasi yang semakin tinggi (Gambar 1b).

Berdasarkan treatment window, suhu perlakuan panas kering dan konsentrasi bakterisida yang dapat dijadikan untuk perlakuan benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii masing-masing ialah antara 40 °C dan 60 °C (Gambar 1a) dan antara 25 ppm dan 200 ppm (Gambar 1b). Konsentrasi 400–800 ppm tidak di-rekomendasikan untuk perlakuan karena me-nyebabkan keracunan pada kecambah yang cukup tinggi (5.75–12.75%) walaupun memiliki daya berkecambah benih yang relatif baik.

Perlakuan Panas Kering dan Bakterisida pada Benih Jagung Manis Terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii

Perlakuan panas kering pada benih yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii dengan suhu 40–50 °C selama 24 jam memiliki vigor dan daya berkecambah benih yang baik, yaitu di atas 90% serta tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan panas kering pada suhu 60 °C selama 24 jam memiliki persentase vigor

131

0

2

4

6

8

10

12

0

20

40

60

80

100

120

25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75

tw

Day

a be

rkec

amba

h ta

nam

an (%

)

Jum

lah

kolo

ni b

akte

ri (c

fu m

l-1)

Suhu (°C)25 35 757065605550454030

120

100

80

60

40

20

0

12

10

8

6

4

2

0

a

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

0

20

40

60

80

100

120

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

Day

a be

rkec

amba

h ta

nam

an (%

)

Nila

i opt

ical

den

sity

;λ=6

00nm

Konsentrasi (ppm)

120

100

80

60

40

20

0

1.2

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.00 200 800700600500400300100 900

tw

b

Gambar 1 Pengaruh perlakuan terhadap daya berkecambah benih jagung manis ( ) dan populasi bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii ( ). a, panas kering; b, bakterisida; tw, daerah treatment window.

Page 20: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

dan daya berkecambah yang paling rendah, yaitu masing-masing sebesar 78.25% dan 82.50%. Perlakuan panas kering pada benih yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii kurang efektif untuk mematikan bakteri yang terdapat dalam benih. Penurunan populasi bakteri pada benih yang diberi perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Jumlah koloni bakteri pada benih terinfeksi setelah diberi perlakuan panas kering sampai suhu 55 °C selama 24 jam masih cukup tinggi, penurunan terjadi setelah pemanasan 60 °C selama 24 jam (Tabel 1).

Benih terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii yang telah diberi perlakuan bakterisida (bahan aktif streptomisin sulfat) pada konsentrasi 25–200 ppm memiliki persentase vigor dan daya berkecambah yang baik dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2). Konsentrasi 150 ppm dan 200 ppm tidak dapat direkomendasikan

untuk perlakuan benih jagung manis karena menyebabkan fitotoksis terhadap kecambah, yaitu masing-masing sebesar 1.50% dan 2.75%, yang ditandai dengan adanya klorosis pada kecambah (Gambar 2). Pemberian bakterisida pada benih yang terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii belum mampu mematikan bakteri yang terdapat dalam benih, namun secara nyata mampu menurunkan populasinya dibandingkan dengan kontrol. Populasi bakteri terus mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi bakterisida. Populasi terendah diperoleh pada perendaman bakterisida dengan konsentrasi 200 ppm (Tabel 2).

Kombinasi Perlakuan Panas Kering dengan Bakterisida pada Benih Jagung Manis Terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii

Perendaman benih terinfeksi dengan bakterisida konsentrasi 100 ppm sebelum dan

132

Gambar 2 Gejala keracunan bakterisida streptomisin sulfat (150 ppm dan 200 ppm) pada kecambah jagung manis pada 7 hst. a, klorosis pada bagian tulang daun utama; b, klorosis pada seluruh lamina daun dan; c, klorosis pada seluruh kecambah.

a b c

Tabel 1 Pengaruh perlakuan panas kering pada benih jagung manis yang terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii terhadap viabilitas benih dan populasi bakteri

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada α 1%

Suhu (°C)

Vigor (%)

Daya berkecambah (%)

Jumlah koloni bakteri (log 10 cfu g-1)

Kontrol 88.50 a 94.5 a 5.80 a40 89.50 a 96.0 a 5.52 ab45 87.00 ab 92.5 a 5.19 ab50 89.25 a 94.5 a 4.63 ab55 82.50 ab 85.5 b 4.17 ab60 78.25 b 82.5 b 3.85 b

Page 21: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

setelah perlakuan panas kering suhu 45, 50, dan 55 °C selama 24 jam cukup efektif untuk menekan bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada benih (Tabel 3) dibandingkan dengan konsentrasi 25 ppm dan 50 ppm. Hasil terbaik dalam penekanan populasi bakteri terjadi pada suhu pemanasan 55 °C dan konsenstrasi bakterisida 100 ppm. Perlakuan bakterisida konsentrasi 100 ppm sebelum perlakuan panas kering (55 °C) populasi bakterinya mencapai 0 cfu g-1 benih. Kombinasi kedua perlakuan tersebut (konsentrasi 100%, suhu 55 °C selama 24 jam) juga masih memiliki persentase daya berkecambah di atas 80%.

PEMBAHASAN

Perlakuan panas kering pada benih dengan suhu 40 °C dan 45 °C terbukti meningkatkan

daya berkecambah benih jagung manis dibandingkan dengan kontrol. Hal yang sama dilaporkan oleh Izli dan Isik (2010) bahwa pengeringan benih jagung pada suhu 45 °C memberikan hasil yang optimal terhadap vigor dan daya berkecambah. Perlakuan panas kering mampu mematikan P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro khususnya pada suhu 50 °C selama 24 jam. Secara umum pengaruh langsung dari panas terhadap bakteri patogen meliputi perubahan dalam struktur dinding dan inti sel, denaturasi protein, kerusakan mitokondria, keluarnya senyawa lipid, kerusakan hormon, berkurangnya oksigen pada jaringan, dan gangguan metabolisme sehingga menyebabkan bakteri menjadi inaktif (Palou 2013).

Perlakuan bakterisida tidak terlalu ber-pengaruh terhadap daya berkecambah benih,

133

Tabel 2 Pengaruh perlakuan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat pada benih jagung manis yang terinfeksi bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii terhadap viabilitas benih dan populasi bakteri

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada α 1%

Konsentrasi (ppm)

Vigor (%)

Daya berkecambah (%)

Toksisitas pada kecambah(%)

Jumlah koloni bakteri(log 10 cfu g-1)

Kontrol 88.75 a 91.75 a 0.00 5.36 a 25 89.25 a 92.00 a 0.00 3.75 b 50 87.00 a 89.50 a 0.00 2.73 b100 87.75 a 89.50 a 0.00 2.42 b150 89.25 a 92.50 a 1.50 1.98 bc200 88.25 a 91.50 a 2.75 1.67 c

Tabel 3 Pengaruh perlakuan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat dan perlakuan panas kering pada benih jagung yang terinfeksi bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii terhadap viabilitas benih dan populasi bakteri

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada α 1%

Waktu aplikasi

Konsen-trasi (ppm)

Vigor (%)

Daya berkecambah (%)

Populasi bakteri(log 10 cfu g-1)

45 °C 50 °C 55 °C 45 °C 50 °C 55 °C 45 °C 50 °C 55 °CSebelum perlakuan panas kering

25 90.25 ab 94.00 a 73.50 d 93.50 ab 96.50 a 82.50 c 3.20 a 3.23 a 2.53 ab50 90.25 ab 85.25 abc 78.50 bc 94.00 ab 96.00 ab 86.25 abc 2.16 ab 3.12 a 3.34 a100 93.25 ab 78.20 bc 77.50 bc 95.75 ab 88.50 abc 85.75 bc 1.74 ab 1.74 ab 0.00 b

Setelah perlakuan panas kering

25 92.00 ab 84.75 abc 83.75 abcd 96.00 ab 91.25 abc 90.75 abc 3.12 a 3.74 a 2.12 ab50 90.50 ab 81.25 bcd 88.25 abc 93.25 ab 90.50 abc 92.75 abc 1.67 ab 3.27 a 2.54 ab100 90.75 ab 82.00 bcd 81.25 bcd 94.25 ab 90.25 abc 87.50 abc 1.14 ab 2.05 ab 1.13 ab

Page 22: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

namun pada konsentrasi 200–800 ppm pada percobaan I menyebabkan gejala keracunan pada kecambah. Hasil berbeda dilaporkan oleh Rahmawati (2009), pemberian bakterisida yang sama dengan konsentrasi 0.1–0.4% tidak menunjukkan gejala toksisitas pada benih padi. Perbedaan ini dapat disebabkan karena bentuk morfologi dan fisiologi benih yang berbeda. Perlakuan bakterisida berpengaruh terhadap rendahnya populasi P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro. Rendahnya populasi bakteri terjadi karena pengaruh dari cara kerja streptomisin sulfat yang mengikat protein S12 dari subunit 30S ribosom sehingga menghambat sintesis protein dalam sel bakteri serta menyebabkan kesalahan pembacaan kode genetik dan akhirnya menyebabkan kematian sel bakteri (Sharma et al. 2007).

Pengaruh perlakuan panas kering dan bakterisida terhadap daya berkecambah benih jagung manis dan populasi P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro dapat dijadikan sebagai acuan untuk perlakuan benih yang terinfeksi bakteri tersebut. Suhu pemanasan dan konsentrasi bakterisida yang dapat digunakan untuk perlakuan benih ialah yang mampu mematikan bakteri secara in vitro, namun persentase daya berkecambah benih tetap tinggi. Daerah ini dikenal dengan istilah treatment window (Forsberg 2004). Pada interval suhu dan konsentrasi tersebut tanaman masih memiliki daya berkecambah yang tinggi dan bakteri P. stewartii subsp. stewartii secara in vitro sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Pengaruh perlakuan panas kering terhadap vigor dan daya kecambah benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii masih menghasilkan vigor dan daya kecambah yang cukup baik, yaitu di atas 90%, khususnya pada suhu 40–50 °C selama 24 jam.Hal yang sama dilaporkan oleh Farooq et al. (2006) bahwa perlakuan panas kering pada benih tomat pada suhu 40 °C dan 50 °C selama 24 jam mampu meningkatkan daya berkecambah dan vigor dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan. Penurunan persentase vigor dan daya berkecambah benih terjadi pada suhu 55 °C dan 60 °C selama

24 jam, tetapi memiliki persentase daya berkecambah benih di atas batas minimimal yang telah ditetapkan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), yaitu batas minimal daya berkecambah untuk sertifikasi benih jagung adalah 80%. Perlakuan panas kering pada benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii dapat menurunkan populasi bakteri yang terdapat di dalamnya,tetapi belum mampu mengeliminasinya. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi in vitro, pada suhu 50 °Cselama 24 jam mampu mematikan bakteri. Perbedaan ini disebabkan bakteri P. stewartii subsp. stewartii terdapat di dalam kalazal dan endosperm (Singh dan Mathur 2004) sehingga paparan panas yang dihasilkan pada suhu 50–60 °C selama 24 jam tidak dapat langsung mengenai sel bakteri dan merusak dinding sel bakteri yang ada di daerah tersebut karena terhalang oleh bagian dari benih, seperti kulit benih.

Pemberian bakerisida (streptomisin sulfat) pada benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii masih meng-hasilkan vigor dan daya kecambah yang baik, yaitu di atas 80%. Perlakuan bakterisida ini pada konsentrasi 25–100 ppm juga secara nyata mampu menurunkan populasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii yang terdapat dalam benih walaupun belum mampu mengeliminasinya. Milijašević et al. (2009) melaporkan bahwa streptomisin sulfat dengan konsentrasi 0.025% mampu mengurangi populasi patogen Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis pada persemaian tomat di rumah kaca.

Kombinasi perlakuan bakterisida konsentrasi 100 ppm dan dilanjutkan per-lakuan panas kering suhu 55 °C selama 24 jammenghasilkan daya berkecambah yang me-menuhi standar sesuai BPSB, yaitu di atas 80% serta mampu mengeliminasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii yang terdapat di dalam benih. Keberhasilan ini disebabkan pengaruh mode of action dari streptomisin sulfat yang mengikat subunit 30S ribosom yang menghambat sintesis protein dalam sel bakteri P. stewartii subsp. stewartii

134

Page 23: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

(Sharma et al. 2007) ditambah dengan proses pemanasan yang menyebabkan rusaknya dinding sel bakteri dan terjadinya denaturasi dan agregasi protein dalam sel sehingga menyebabkan kematian pada sel bakteri (Palou 2013). Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan pada benih jagung manis yang terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii kurang efektif bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa perlakuan benih, baik fisik maupun kimiawi dapat dijadikan sebagai alternatif pengendalian untuk mengeliminasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada benih.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberi beasiswa pascasarjana kepada penulis. Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian yang telah memberikan fasilitas selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Block CC, Hill JH, McGee DC. 1998. Seed transmission of Pantoea stewartii in field and sweet corn. Plant Dis. 82:775–780.

Dye DW. 1969. A taxonomic study of the genus Erwinia. III. The 'herbicola' group. N.Z. J Sci. 12(2):223–236.

Farooq M, Basra SMA, Salem BA, Nafees M. 2006. Germination, seedling vigor and electrical conductivity of seed leachates as affected by dry heat treatment of tomato seeds [abstrak]. Acta Horti. 771: XXVII. DOI :nh t tp : / /dx .do i .o rg /10 .17660 /ActaHortic.2008.771.5

Forsberg G. 2004. Control of cereal seed-borne diseases by hot humid air seed treatment [doctoral thesis]. Upsala (CH): Swedish University of Agricultural Sciences.

[FSANZ] Food Standards Australia New Zealand. 2011. Treatment of Apple Trees with Streptomycin and Potential Risk to Human Health. Canberra BC (AU): Food Standards Australia New Zealand.

Grum M, Camloh M, Rudolph K, Ravnikar M. 2007. Elimination of bean seed-borne

bacteria by thermoteraphy and meristem culture. Di dalam: Cassells AC, editor. Pathogen and Microbial Contamination Management in Micropropagation. Dordrecht (NL): Kluwer Academic Publisher. hlm 225–231.

Izli N, Isik E. 2010. Determination of economic cost, vigour and rate of germination in batch drying of maize seeds. Int Agrophys. 24:93–96.

[Kementan] Menteri Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang JenisOrganisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Jakarta (ID): Kementan.

Michener PM, Pataky JK, White DG. 2002. Rates of transmitting Erwinia stewartii from seed to seedlings of a sweet corn hybrid susceptible to Stewart’s wilt. Plant Dis. 86:1031–1035.

Milijašević S, Todorović B, Potočnik I, Rekanović E, Stepanović M. 2009. Effects of copper-based compounds, antibiotics and a plant activator on population sizes and spread of Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis in green house tomato seedlings. Pestic Phytomed (Belgrade). 24:19–27.

Pataky JK. 2004. Stewart’s Wilt Of Corn. St. Paul (US): The American Phytopathological Society.

Pataky JK, Michener PM, Freeman ND, Weinzierl R A, Teyker RH. 2000. Control of Stewart’s wilt in sweet corn with seed treatment insecticides. Plant Dis. 84:1104–1108.

Palou L. 2013. Heat treatments for the control of citrus postharvest green mold caused by Penicillium digitatum. Di dalam: Vilas M, editor. Microbial Pathogens and Strategies for Combating Them: Science, Technology and Education. Badajoz (ES): Formatex Research Center. hlm 508–514.

Rahma H, Sinaga MS, Surahman M, Giyanto. 2013. Tingkat kejadian penyakit layu Stewart pada benih dan respon beberapa varietas jagung terhadap infeksi Pantoea stewartii subsp. stewartii. J HPT Tropika. 13(1):1–9.

135

Page 24: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nalis et al.

Rahmawati AY. 2009. Pengaruh perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetis atau nabati untuk mengendalikan hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) terbawa benih serta meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi (Oryza sativa L.). [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Sharma D, Cukras AR, Rogers EJ, Southworth DR, Green R. 2007. Mutational analysis of S12 protein and implications for the accuracy of decoding by the ribosome. J Mol Biol. 374(4):1065–1076.

Singh D, Mathur SB. 2004. Histopathology of Seed-Borne Infection. Florida (US):CRC Pr.

136

Page 25: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

Volume 11, Nomor 4, Agustus 2015Halaman 137–141

DOI: 10.14692/jfi.11.4.137ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251- 8629364, Faks: 0251- 8629362, Surel: [email protected]

KOMUNIKASI SINGKAT

Ekspresi Rekombinan Gen Protein Selubung Pepper vein yellows virus

Expression of Recombinant Pepper vein yellow virus Coat Protein Gene

Rita Kurnia Apindiati, Gede Suastika*, Kikin Hamzah Mutaqin Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Pepper vein yellows virus (PeVYV) isolat Bali telah berhasil diidentifikasi dari tanaman cabai bergejala klorosis. Oleh karena belum tersedia antiserum spesifik PeVYV komersial, untuk kepentingan deteksi perlu upaya membuat antiserum. Salah satu teknik terbaru dalam menyediakan sumber antigen untuk pembuatan antiserum ialah melalui teknik ekspresi gen protein selubung virus pada bakteri ekspresi yang sesuai. Gen protein selubung PeVYV berukuran ~650 pb diamplifikasi dengan primer spesifik, dikloning pada vektor ekspresi pQE30, ditransformasi dan dikayakan ekspresi gen tersebut (overexpression) pada bakteri ekspresi E. coli galur M15 [pREP4]. Analisis SDS-PAGE menunjukkan rekombinan gen protein selubung PeVYV berhasil terekspresi dengan pita protein berukuran ~25 kDa setelah 6 jam diinduksi dengan 0.5 mM IPTG pada suhu 37 °C.

Kata kunci: antiserum,rekombinan, SDS-PAGE, vektor ekspresi

ABSTRACT

Pepper vein yellows virus (PeVYV) isolate from Bali have been identified from pepper plants with chlorosis symptoms. Specific antiserum of PeVYV had not available yet commercially. One of the advance techniques in providing a source of abundant antigen for antiserum production is through molecular approach by overexpressed the coat protein gene in suitable bacterial expression system. PeVYV coat protein gene of ~650 bp in size was amplified using specific primers, then was cloned into pQE30 expression vector and was over expressed in E. coli strain M15 [pREP4]. SDS-PAGE analysis showed that the recombinant coat protein gene of PeVYV was successfully expressed protein band with size of ~25 kDa at 6 hours after induction by 0.5 mM IPTG on 37 °C.

Key words: antiserum, expression vector, recombinant, SDS-PAGE

Pepper vein yellows virus (PeVYV- Luteoviridae; Polerovirus) dilaporkan sebagai penyebab penyakit klorosis. Gejala infeksi virus yang khas yaitu menguning namun tulang daun tetap hijau sehingga tampak menyirip. Gejala ini ditemukan pada tanaman

cabai di Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali (Suastika et al. 2012). Pada tahun 1981, tanaman paprika menunjukkan gejala klorosis dengan tulang daun menguning dan daun menggulung di beberapa daerah di Kitanakagusuku,

137

Page 26: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Apindiati et al.

Okinawa, Ishigaki, dan Miyako, Jepang. Gejala ini awalnya diduga disebabkan oleh defisiensi magnesium. Namun, Yonaha et al. (1995) menduga penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus. Buah sakit menunjukkan gejala berwarna tidak seragam dan berubah warna (diskolorisasi) pada tanaman paprika di Spanyol (Villanueva et al. 2013).

Berdasarkan pengamatan partikel virus yang diisolasi dari tanaman, partikel virus menyerupai Luteovirus, virus bereplikasi di jaringan floem, dapat ditularkan melalui penyambungan dan vektor Aphis gossypii Glover (Gray dan Gildow 2003; Murakami et al. 2011).

Genom PeVYV (no. aksesi AB594828) berukuran 6244 pb terdiri atas enam open reading frames (ORFs). ORF0 mengkode protein 0 (P0) terdiri atas 249 asam amino, ORF1 dan ORF2 mengkode fusion protein P1-P2 terdiri atas 1085 asam amino, yang diduga berperan sebagai RNA-dependent RNA polymerase (RdRp), ORF3 mengkode protein 3 (P3) terdiri atas 206 asam amino yang merupakan coat protein (CP; protein selubung), dan sejajar ORF4 yang mengkode protein 4 (P4) terdiri atas 156 asam amino yang merupakan protein VPg genome linked, dan ORF5 mengkode protein 5 (P5) yang terdiri atas 736 asam amino dan memiliki read-through domain (RTD) terdiri atas produk ORF3 (CP) serta berdekatan dengan ORF5 (NCBI 2013).

RT-PCR tidak efisien untuk deteksi rutin virus dalam skala besar, sehingga metode serologi seperti ELISA masih menjadi pilihan untuk deteksi dini sampel atau monitoring penyakit di lapangan. Produksi antiserum memerlukan antigen dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Namun, sangat sulit mendapatkan virus murni dalam jumlah yang cukup pada virus yang distribusinya dalam jaringan tanaman terbatas pada floem dan konsentrasi rendah seperti PeVYV. Berkembangnya teknik biologi molekuler seperti amplifikasi DNA, kloning, dan ekpresi gen pada bakteri ekspresi memungkinkan didapatkan sumber immunogen yang melimpah (Fajardo et al. 2007). Sebelumnya, ekspresi gen CP

Cucumber mosaic virus (CMV) berhasil dikayakan pada bakteri ekspresi E. coli galur M15 [pREP4] menggunakan vektor ekspresi pQE30 dan proteinnya digunakan sebagai sumber antigen dalam pembuatan antiserum (Khan et al. 2011). Ekpresi gen CP Rice stripe virus (RSV) berhasil dikayakan pada bakteri E. coli galur BL21(DE3) menggunakan vektor ekspresi pET28 dan pET30 (Lian et al. 2011). Selain itu, ekpresi gen CP Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) berhasil dikayakan pada bakteri E. coli galur BL21(DE3) menggunakan vektor ekspresi pRSET-A (Hema et al. 2003)

Gen protein selubung PeVYV diamplifikasi dengan primer spesifik gen CP yang mengandung situs enzim restriksi BamHI pada primer forward dan PstI pada primer reverse dengan program amplifikasi yang telah dilaporkan sebelumnya (Apindiati et al. 2015). Pita DNA berukuran ~650 pb berhasil teramplifikasi (Gambar 1). Selanjutnya, DNA CP-PeVYV dipotong dengan enzim BamHI dan PstI dan diligasi dengan enzim T4 DNA ligase ke vektor ekspresi pQE30 (Qiagen) pada situs enzim restriksi yang sama sehingga terbentuk plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV dengan ukuran fusi protein ~25 kDa (Gambar 2a).

Gambar 1 Hasil amplifikasi DNA sampel daun tanaman cabai bergejala klorosis (lajur 1). K(-), kontrol sehat; K(+), kontrol positif dari tanaman sakit dan; M, penanda 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US) (Apindiati et al. 2015).

750 pb

500 pb

K(-)M 1K(+)

~650 pb

138

Page 27: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Apindiati et al.

Plasmid rekombinan ditransformasi ke E. coli galur M15 (Qiagen) dengan metode heat shock dan ditumbuhkan pada media seleksi Luria Bertani Agar (LBA) yang mengandung antibiotik ampisilin (50 µg mL-1) dan kanamisin (25 µg mL-1). Koloni yang tumbuh pada media seleksi dikonfirmasi dengan PCR koloni menggunakan pasangan primer tersebut di atas.

Ekspresi rekombinan CP-PeVYV dilakukan dengan menginokulasi 500 µL bakteri ke dalam 30 mL media LB cair yang mengandung antibiotik ampisilin (50 µg mL-1)dan kanamisin (25 µg mL-1). Optimasi ekspresi rekombinan CP-PeVYV dilakukan pada beberapa suhu inkubasi yang berbeda yaitu suhu 25, 28, 30, dan 37 oC pada konsentrasi Isoprophyl-β-D-thiogalactoside (IPTG) final 0.25 mM, 0.5 mM, dan 1 mM dan waktu panen 3, 6, 9, 12, dan 15 jam setelah diinduksi IPTG. Biakan bakteri diinkubasi pada tiap suhu dalam orbital shaker dengan kecepatan 75 rpm hingga pertumbuhan bakteri mencapai OD600 0.5 (sekitar 3-4 jam), lalu diinduksi dengan IPTG dan diinkubasikan kembali agar bakteri mengekspresikan target protein rekombinan. Setelah dipanen, biakan bakteri dipeletkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Ekspresi protein yang dihasilkan dalam bentuk insoluble protein pada sel bakteri (pelet) dianalisis pada 12% sodium dedocyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE).

Gen CP-PeVYV berukuran ~650 pb mengkode ~217 asam amino (Apindiati et al. 2015). CP-PeVYV ~26 kDa (Murakami 2014, komunikasi pribadi). PeVYV memiliki kekerabatan yang dekat dengan Pepper yellow leaf curl polerovirus (PYLCV) (Dombrovsky et al. 2013).

Hasil optimasi ekpresi rekombinan CP-PeVYV pada suhu 25, 28, dan 30 oC dengan konsentrasi IPTG yang digunakan menunjukkan protein rekombinan CP-PeVYV tidak berhasil terekspresi; pita protein target tidak terbentuk (data tidak ditampilkan). Namun, inkubasi pada suhu 37 oC protein rekombinan CP menunjukkan terekspresi dengan pita protein berukuran ~25 kDa. Di

antara konsentrasi IPTG yang digunakan, ekspresi protein rekombinan CP terekspresi pada konsentrasi 0.5 mM dan waktu panen bakteri pada saat 6 jam setelah diinduksi IPTG (Gambar 2b).

Bakteri E. coli memiliki berbagai keunggulan, antara lain ialah kemampuannya untuk tumbuh dengan cepat, densitas sel yang tinggi, media pertumbuhan yang murah, karakteristik genetik yang jelas, serta ketersediaan galur mutan dengan yang sesuai berbagai pasangan vektor kloning. Meskipun tidak selalu ada jaminan bahwa protein heterologus akan dihasilkan oleh E. coli dalam jumlah yang tinggi dan aktif secara biologis, berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan performa dari mikroorganisme ini (Baneyx 1999).

Vektor pQE30 dan bakteri ekspresi M15 adalah termasuk bakteri ekspresi dengan low copy number (Qiagen 2013). Namun, hasil ekspresi protein rekombinan CP-PeVYV menunjukkan masih kurang melimpah. Hal ini menunjukkan perlu optimasi lebih lanjut kondisi ekspresi. Beberapa faktor yang perlu dioptimasi ialah suhu inkubasi yang lebih rendah seperti 20 oC dengan konsentrasi IPTG kisaran 0.25-1.0 mM, jenis bufer lisis protein yang digunakan, dan analisis ekspresi protein pada fraksi cair (soluble/ supernatan).

Berdasarkan hasil tersebut, rekombinan CP-PeVYV berhasil dibuat dan diekspresikan pada bakteri ekspresi. Namun, untuk men-dapatkan jumlah protein yang cukup melimpah sebagai imunogen untuk pembuatan antiserum, perlu optimasi lebih lanjut beberapa faktor yang tidak tercakup dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Apindiati RK, Suastika G, Mutaqin KH. 2015. Identifikasi Polerovirus penyebab klorosis pada cabai asal Bali, Indonesia. J Fitopatol Indones. 11(2):43–50. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.11.2.43.

Baneyx F. 1999. Recombinant protein expression in Escherichia coli. Curr Opinion Biotech 10:411–421. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0958-1669(99)00003-8.

139

Page 28: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Apindiati et al.

Dombrovsky A, Glanz E, Lachman O, Sela N, Doron-Faigenboim A, Antignus Y. 2013. The complete genomic sequence of Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV) and its implications for our understanding of evolution dynamics in the genus Polerovirus. Plos One. 8(7):1–11(e70722). DOI: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0070722.

Fajardo TVM, Barros DR, Nickel O, Kuhn GB, Zerbini FM. 2007. Expression of Grapevine leafroll-associated virus 3 coat protein gene in Escherichia coli

and production of polyclonal antibodies. Fitopatol Brasil. 32:496–500. DOI: h t t p : / / dx .do i . o rg /10 .1590 /S0100-41582007000600007

Gray S, Gildow FE. 2003. Luteovirus-aphid interactions. Annu Rev Phytopathol. 41:539–66. DOI: http://dx.doi.org/10.1146/annurev.phyto.41.012203.105815.

Hema M, Kirthi N, Sreenivasulu P, Savithri HS. 2003. Development of recombinant coat protein antibody based IC-RT-PCR for detection and discrimination of Sugarcane streak mosaic virus isolates from Southern

140

Gambar 2 a, Skematik konstruksi gen CP-PeVYV pada vektor ekspresi pQE30 dengan enzim restriksi BamHI dan PstI menunjukkan 0.84 kDa 6xHistag Protein dan 24.05 kDa fragmen yang terekspresi dari CP-PeVYV; b, Ekspresi gen CP-PeVYV pada SDS-PAGE. Lajur 1, pQE30 tanpa insert; lajur 2, CP rekombinan tidak diinduksi; lajur 3-5 diinduksi IPTG 0.25 mM, 0.5 mM, dan 1 mM; MW, berat molekul protein (kDa). Penanda protein SDS-PAGE Low Range dengan ukuran kDa(BioRad).

b

M 2 543197.4

31.0

45.0

66.2

~25 kDa

a

Page 29: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Apindiati et al.

India. Arch Virol. 148:1185–1193. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00705-003-0015-y.

Khan S, Jan AT, Mandal B, Haq QMR. 2011. Immunodiagnostics of Cucumber mosaic virus using antisera developed against recombinant coat protein. Arch Phytopathol and Plant Protection. 45(5):561–569. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/03235408.2011.588043.

Lian S, Jonson MG, ChoWK, Choi HS, Je YH, Kim KH. 2011. Generation of antibodies against Rice stripe virus proteins based on recombinant protein and synthetic polypeptides. Plant Pathol J. 27(1):37–43.D O I : – h t t p : / / d x . d o i . o rg / 1 0 . 5 4 2 3 /PPJ.2011.27.1.037.

Murakami R, Nakashima N, Hinomoto N, Kawano S, Toyosato T. 2011. The genome sequence of Pepper vein yellows virus (family Luteoviridae, genus Polerovirus). Arch Virol. 156:921–923. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00705-011-0956-5.

[NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2013. Pepper vein yellowsvirus genomic RNA, complete genome. Bethesda MD (USA): Nucleotide.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/AB594828.1 [diakses 5 Juli 2015].

Qiagen. 2013. Growth of Bacterial Cultures.https://www.qiagen.com/id/resources/technologies/plasmid-resource-center/ growth%20of%20bacterial%20cultures/ [diakses 2015 Juli 5].

Suastika G, Hartono S, Nyana IDN, Natsuaki T. 2012. Laporan pertama tentang infeksi Polerovirus pada tanaman cabai di daerah Bali, Indonesia. J Fitopatol Indones. 8(5): 151–154.DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.8.5.151.

Villanueva F, Castillo P, Font MI, Fernandez AA, Moriones E, Castillo JN. 2013. First Report of Pepper vein yellows virus Infecting Sweet Pepper in Spain. American Phytopathol Soc. 97(9):1261. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-04-13-0369-PDN.

Yonaha T, Toyosato T, Kawano S, Osaki T. 1995. Pepper vein yellows virus, a Novel Luteovirus from Bell Pepper Plants in Japan. Ann Phytopathol Soc Jpn. 61: 178–184. DOI: http://dx.doi.org/10.3186/jjphytopath.61.178.

141

Page 30: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

Volume 11, Nomor 4, Agustus 2015Halaman 113–120

DOI: 10.14692/jfi.11.4.113ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251- 8629364, Faks: 0251- 8629362, Surel: [email protected]

Identifikasi Nematoda Puru Akar, Meloidogyne graminicola, pada Tanaman Padi di Jawa Barat

Identification of Root Knot Nematodes, Meloidogyne graminicola, on Rice in West Java

Mochamad Yadi Nurjayadi, Abdul Munif*, Gede SuastikaInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Nematoda puru akar (NPA), Meloidogyne spp. merupakan salah satu patogen penting pada tanaman padi di beberapa wilayah di dunia. Informasi mengenai NPA pada tanaman padi di Jawa Barat penting untuk diketahui karena Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi nasional yang paling besar. Tujuan penelitian ialah menentukan keberadaan dan mengidentifikasi NPA pada tanaman padi di wilayah Jawa Barat. Sampel tanaman padi diambil dari 7 kabupaten penghasil padi di Jawa Barat. Gejala khas tanaman padi yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. ialah pertumbuhan tanaman terhambat dan bagian akarnya terbentuk puru. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa NPA ditemukan menginfeksi tanaman padi di beberapa daerah di wilayah Bogor, Cirebon, dan Sukabumi. Semua stadium perkembangan NPA yang meliputi telur; larva instar ke-2, 3, dan 4; betina dewasa dan jantan dewasa ditemukan di dalam jaringan akar padi. Berdasarkan pengukuran panjang tubuh, panjang stilet, lebar badan maksimum, dan panjang ekor larva instar ke-2 maupun morfologi pola perineal betina dewasa dibuktikan bahwa nematoda pada akar padi ialah M. graminicola.

Kata kunci: Morfologi, morfometrik, pola perineal.

ABSTRACT

Root knot nematodes (RKN), Meloidogyne spp. is one of the most important rice pathogen in some regions in the world. Information of RKN on rice plants in West Java is very important because West Java is one of the largest national rice production center. The purpose of this study was to determine and identify the presence of Meloidogyne spp. on rice plants in West Java. Rice plant samples were taken from 7 rice-growing districts in West Java. Typical symptoms of infected rice plants by Meloidogyne spp. are stunting and the formation of root galls. RKN was found to infect rice plants in several areas in Bogor, Cirebon, and Sukabumi. All stadia of the RKN development which include eggs, second, third, and fourth stage jeveniles, adult females and males were found inside the rice root tissues based on nematode staining observation. Morphometric measurements of the body and stylet length, maximum body width, length of the second stage juveniles, and female perineal pattern, indicated that Meloidogyne species found was M. graminicola.

Key words: Morphology, morphometric, perineal pattern.

113

Page 31: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

PENDAHULUAN

Meloidogyne spp. yang dikenal sebagai nematoda puru akar merupakan nematoda parasit penting yang memiliki distribusi yang luas dan mampu menginfeksi berbagai macam tanaman pertanian. Salah satu tanaman budidaya yang dapat terserang oleh nematoda ini ialah padi. Serangan nematoda puru akar (NPA) pada tanaman padi dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang bervariasi bergantung pada tingkat kepadatan populasi nematoda. Beberapa hasil laporan menyatakan bahwa kehilangan hasil yang disebabkan oleh NPA pada tanaman padi berkisar 20–80% di berbagai kawasan Asia Selatan dan Tenggara (Erlan 1993; Padgham et al. 2004; Pokharel et al. 2007; Jaiswal et al. 2011).

Gejala umum tanaman padi yang terinfeksi NPA di antaranya ialah daun menguning, pertumbuhan tanaman terhambat, tanaman menjadi layu dan puru terbentuk pada akar (Dutta et al. 2012). Spesies NPA yang mampu menginfeksi akar padi bukan hanya satu spesies saja melainkan beberapa spesies Meloidogyne. Beberapa laporan menyatakan bahwa spesies NPA yang dapat menyerang tanaman padi di antaranya ialah M. graminicola, M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. oryzae, M. salasi, dan M. triticozae (Bridge et al. 2005; Pokharel et al. 2007; Nguyen et al. 2014).

Keberadaan NPA pada tanaman padi sudah dilaporkan di Indonesia. Laporan pertama adanya infeksi nematoda puru akar pada tanaman padi terjadi pada tahun 1993 di Yogyakarta yang disebabkan oleh M. graminicola dengan persentase infeksi mencapai 80% (Erlan 1993). Febriyani (2003) juga melaporkan M. graminicola merupakan nematoda penyebab puru akar pada tanaman padi di Bogor. Laporan lain menyebutkan bahwa pertanaman padi di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu sudah terinfeksi juga oleh NPA (Sari 2014).

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang produksi padi terbesar nasional. Berdasarkan laporan dari Kementan (2015), Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi

padi nasional urutan ke-2 setelah Jawa Timur selama kurang lebih 5 tahun dengan rata-rata produksi mencapai 11 juta ton per tahun semenjak tahun 2010–2014. Penelitian mengenai keberadaan NPA pada tanaman padi di Jawa Barat perlu diidentifikasi agar upaya pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan lebih baik. Oleh karena itu, identifikasi NPA secara morfologi pada tanaman padi di beberapa wilayah di Jawa Barat menjadi tujuan dari penelitian ini.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel Akar Padi Sampel NPA diambil dari pertanaman padi

di beberapa daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Subang, dan Sukabumi. Pengambilan sampeldilakukan dengan metode purpossive sampling, yaitu setiap lahan diambil 10 tanaman yang terlihat terinfeksi NPA. Luas lahan yang diambil berukuran minimal 100 m2. Sampel tanaman padi dicabut dan dimasukkan ke dalam kantong plastik, kemudian disimpan ke dalam kotak pendingin. Proses ekstraksi nematoda dilaksanakan di laboratorium.

Ekstraksi NematodaEkstraksi nematoda dilakukan berdasar-

kan metode Hooper et al. (2009). Nematoda diekstraksi dengan metode pengabutan. Akar padi yang terinfeksi NPA dibersihkan dan dipotong-potong ± 1 cm. Potongan akar disimpan di atas saringan kasar dan diletakkan di atas corong yang di bagian bawahnya terdapat gelas plastik untuk menampung hasil ekstraksi. Proses ini dilakukan di dalam ruang pengabutan dengan kondisi air melalui nozle dialirkan ke potongan akar. Proses pengabutan dibiarkan selama 48 jam. Setelah itu, gelas plastik yang berisi air disaring dengan menggunakan penyaring 500 mesh. Nematoda yang akan diperoleh adalah larva instar ke-2. Hasil ekstraksi nematoda ini didibuat preparat untuk pengamatan morfologi dan morfometrik larva instar ke-2.

114

Page 32: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

Preparat SemipermanenPreparat semipermanen dibuat berdasarkan

metode Goodey (1973). Bagian permukaan atas kaca preparat dibuat cincin parafin menggunakan bor gabus yang dipanaskan. Larutan laktofenol (94 mL fenol, 83 mL asam laktat, 160 mL gliserin, dan 100 mL akuades) diteteskan 1 tetes di tengah lingkaran parafin baru. Nematoda hasil ekstraksi dimatikan di dalam larutan FAA (10 mL formalin, 1 mL asam asetat, 89 mL akuades) yang telah dipanaskan pada suhu 70 oC dengan perbandingan volume 1:1. Larva instar ke-2 yang yang telah mati diambil mengait dan memasukkannya ke dalam larutan laktofenol yang berada di cincin parafin. Pada setiap preparat diletakkan sebanyak 3–5 ekor nematoda. Tahap selanjutnya, bagian atas parafin diberi 3 helai glass woll secara radial untuk menahan kaca penutup, kemudian preparat difiksasi sebentar di atas api hingga parafin meleleh. Tahap akhir, bagian tepi kaca penutup yang merekat dengan parafin diolesi perekat menggunakan kuteks kuku agar menjadi kedap udara. Pembuatan preparat semipermanen dilakukan untuk mengamati morfologi dan morfometrik larva instar ke-2.

Pengamatan Morfologi Pengamatan morfologi mengikuti prosedur

Eisenback dan Hunt (2009). Sebanyak 20 ekor larva instar ke-2 pada preparat semipermanen diamati dan diukur dengan program komputer Dino Capture 2.0, The Versatile Digital Microscope yang tersambung dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 100× dan 400×. Bagian nematoda yang diukur ialah panjang tubuh nematoda, stilet, ekor, diameter tubuh maksimum, nilai a (perbandingan panjang badan/lebar badan maksimum) dan nilai c (perbandingan panjang badan/panjang ekor).

Pewarnaan Nematoda di AkarMetode pewarnaan nematoda di dalam akar

mengikuti metode Hussey (1985). Metode ini dilakukan untuk mewarnai nematoda yang berada di dalam jaringan akar. Akar padi yang menunjukkan gejala puru dibersihkan

dan dipotong-potong dengan ukuran 1–2 cm dan direndam di dalam campuran kloroks 5.25% selama 4 menit. Selanjutnya, akar dibilas dengan air mengalir selama 45 detik dan direndam dalam air selama 15 menit kemudian dibilas hingga aroma kloroks hilang. Akar direbus dalam larutan fuksin (3.5 g asam fuksin, 250 mL asam asetat, dan 750 mL akuades) yang mendidih selama30 detik di penangas. Rebusan akar diangkat dan larutan asam fuksin dibuang, kemudian akar dibilas dengan air mengalir. Akar dimasukkan ke dalam botol kecil dan ditambahkan dengan gliserin hingga akar terendam dan ditambah 2 tetes larutan HCl. Selanjutnya akar direbus kembali hingga mendidih dan warna akar terlarut. Akar yang sudah dingin disusun di atas kaca preparat dan diamati nematodanya menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100×.

Pengamatan Pola PerinealMetode pengamatan pola perineal

mengikuti prosedur Eisenback et al. (1981). Akar padi yang menunjukkan gejala terbentuk puru disimpan di dalam cawan sirakus yang berisi air untuk dibedah dan diambil nematoda betina dewasa. Nematoda betina dewasa diletakkan di atas kaca preparat yang berisi tetesan air. Bagian posterior nematoda dipotong dengan pisau bedah (scalpel blade no. 10) dan dibersihkan dari kotoran. Pada bagian posterior akan terlihat pola perineal yang dapat menentukan spesies Meloidogyne. Bagian pola perineal yang sudah bersih lalu ditutup dengan kaca penutup dan diamati menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 400×. Jumlah pengamatan pola perineal yang diamati sebanyak 40 ekor nematoda betina dewasa dari masing-masing wilayah.

HASIL

Gejala Nematoda Puru Akar PadiHasil pengamatan menunjukkan bahwa

NPA ditemukan di daerah Bogor, Cirebon, dan Sukabumi. Lahan sawah yang terinfeksi NPA berada dalam keadaan tidak tergenangi

115

Page 33: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

KarakterRerata Nepal (Pokharel

et al. 2007)Bogora) Cirebona) Sukabumia)

Panjang Tubuh (µm) 297.71±17.95 317.11±45.72 321.06±41.07 450.90Panjang Stilet (µm) 9.50 ± 0.45 9.52 ± 0.40 9.58 ± 0.67 11.37Panjang Ekor (µm) 50.10 ± 2.29 50.54 ± 3.36 50.52 ± 2.30 66.36Lebar Badan Maksimum (µm)

9.88 ± 0.58 9.85 ± 0.59 9.87 ± 0.65 17.34

Nilai ab) 30.12 32.18 32.51 25.80Nilai cc) 5.94 6.27 6.35 6.40

a b

Gambar 1 a, Gejala tanaman padi yang terinfeksi nematoda puru akar di Sukabumi dan; b, gejala puru di bagian akar padi.

air (macak-macak). Berdasarkan tampilan luar, tanaman padi yang terinfeksi NPA menunjukkan gejala pertumbuhan agak terhambat dan tidak merata di dalam lahan (Gambar 1a). Beberapa sampel tanaman yang menunjukkan pertumbuhan terhambat dicabut dan diperiksa. Gejala khas tanaman padi yang terinfeksi oleh NPA ialah terbentuknya puru akar. Puru terletak di bagian ujung akar padi yang bengkak dengan membentuk seperti pengait (hook) (Gambar 1b).

Hasil pewarnaan nematoda di dalam akar menampilkan seluruh stadium NPA dengan jelas. Tahap perkembangan stadium NPA dimulai dari pembentukan telur, larva instar ke-2, larva instar ke-3, larva instar ke-4, betina dewasa, dan jantan dewasa (Gambar 2).

Pada bagian anterior dari morfologi larva instar ke-2 terdapat stilet di bagian rongga mulut dan bagian bibir berbentuk set off (Gambar 3a). Bagian luar tubuh nematoda dilapisi oleh kutikula sebagai pelindung. Pada saluran pencernaan terdapat faring yang menghubungkan antara stilet dan median bulb

ke bagian pharyngeal gland lobe. Kelenjar faring ini memiliki posisi tumpang tindih dengan usus. Bagian posterior larva instar ke-2 ditandai dengan adanya bagian ekor runcing dengan ujung ekor bulat halus dan terdapat bagian hyaline tail terminus (Gambar 3b).

Morfologi Nematoda Puru Akar

Ukuran tubuh nematoda larva instar ke-2 dari Bogor, Cirebon, dan Sukabumi bervariasi. Rata-rata panjang tubuh larva instar ke-2 asal Jawa Barat ialah 297.71–321.06 µm (Tabel 1). Berdasarkan pada morfologi larva instar ke-2 maka NPA asal Jawa Barat diidentifikasikan sebagai Meloidogyne graminicola. Ciri khas terlihat pada bibir yang berbentuk set off dan ekor runcing dengan bagian ujung ekor bulat halus (Gambar 3).

Pola perineal pada betina dewasa NPA dari akar padi asal Jawa Barat menunjukkan pola yang berbentuk bulat hingga oval dan tidak adanya garis lateral (Gambar 4a). Hal ini diperkuat dengan perbandingan pola perineal M. graminicola asal Nepal (Gambar 4b) yang dilakukan oleh Pokharel et al. (2007). Pola perineal M. graminicola terlihat lebih jelas melalui sketsa seperti yang dilaporkan oleh Hunt dan Handoo (2009) (Gambar 4c).

PEMBAHASAN

Penemuan M. graminicola di Bogor menunjukkan bahwa patogen ini sudah ada sejak lama seperti yang dilaporkan oleh Febriyani (2003). M. graminicola yang ditemukan pada pertanaman padi di daerah

Gambar 2 Identifikasi nematoda puru akar (NPA) pada akar tanaman padi dengan perbesaran mikroskop cahaya 40×. a, telur; b, larva instar ke-2; c, larva instar ke-3; d, larva instar ke-4; e, betina dewasa seperti buah pir yang menghasilkan massa telur dan; f, jantan dewasa yang keluar dari akar padi.

a b c d e f

116

Page 34: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

a b

Bibir

Faring

Kutikula

Stilet

Pharingeal Gland Lobe

Median bulb

Hyaline tail terminus

Anus

Ekor

10 µm 10 µm

Gambar 3 Morfologi larva instar ke-2 Meloidogyne graminicola dari akar tanaman padi dengan perbesaran mikroskop cahaya 1000×. a, bagian anterior dan; b, bagian posterior.

Karakter Bogora Cirebona Sukabumia Nepal (Pokharel et al. 2007)

Panjang tubuh (µm) 297.71±17.95 317.11±45.72 321.06±41.07 450.90Panjang stilet (µm) 9.50 ± 0.45 9.52 ± 0.40 9.58 ± 0.67 11.37Panjang ekor (µm) 50.10 ± 2.29 50.54 ± 3.36 50.52 ± 2.30 66.36Lebar badan maksimum (µm)

9.88 ± 0.58 9.85 ± 0.59 9.87 ± 0.65 17.34

Nilai ab 30.12 32.18 32.51 25.80Nilai cc 5.94 6.27 6.35 6.40

Tabel 1 Perbandingan larva instar ke-2 Meloidogyne graminicola dari akar tanaman padi asal Bogor, Cirebon, dan Sukabumi dengan M. graminicola asal Nepal

a n, 20 ekor M. graminicola; b nilai a, panjang tubuh/lebar badan maksimum; cNilai c, panjang tubuh/panjang ekor.

117

Gambar 4 a, Pola perineal Meloidogyne graminicola asal Jawa Barat, Indonesia dengan perbesaran mikroskop cahaya 400×. b, pola perineal M. graminicola asal Nepal (Pokharel et al. 2007) dan; c, sketsa pola perineal M. graminicola (Hunt dan Handoo 2009).

a b c

Anus

Garis striae

Vulva

Dorsal

Ventral

20 µm

Page 35: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

Bogor, Cirebon, dan Sukabumi diduga berasal dari wilayah luar Jawa Barat. Bridge et al. (2005) menyatakan bahwa M. graminicola merupakan patogen tular tanah yang mampu menyebar pada lahan lain karena terjadinya kontak dengan tanah yang terinfestasi NPA. Penyebarannya sangat mudah terjadi, di antaranya melalui tanah maupun bibit persemaian padi yang terinfeksi (Erlan 1993). Awal mula daerah ini mulai terkontaminasi oleh patogen masih belum diketahui dengan pasti. Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang dilaporkan.

M. graminicola dapat menginfeksi seluruh jenis padi di berbagai negara di kawasan tropika maupun subtropika. Bridge et al. (2005) melaporkan M. graminicola memiliki distribusi yang luas pada tanaman padi gogo, padi sawah tadah hujan, dan padi sawah irigasi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Hampir semua varietas tanaman padi yang digunakan petani di Jawa Barat merupakan varietas yang rentan. Varietas Ciherang, Cisadane, Pelita, Waiseputih, IR33, IR36 dan IR64 telah terbukti mudah terinfeksi oleh M. graminicola (Erlan 1993; Febriyani 2003).

Pada umumnya jenis tanah yang digunakan untuk menanam padi di daerah Jawa Barat ialah tanah liat/lempung. Teknik penanamannya dilakukan dengan penggenangan air. M. graminicola tetap mampu menginfeksi akar tanaman padi di dalam tanah berlempung ketika kondisi sawah tidak tergenang air atau macak-macak, namun persebaran patogen ini tidak meluas dengan cepat terhadap lahan lainnya. Larva instar ke-2 nematoda ini lebih mudah bergerak dan menginfeksi akar di dalam tanah berpasir yang tidak tergenangi air. Kondisi tanah berpasir memungkinkannya cepat menyebar pada tanaman lainnya. Selain faktor jenis tanah dan teknik penggenangan, kondisi musim kemarau mampu meningkatkan populasi M. graminicola di dalam jaringan akar dibandingkan dengan musim hujan (Erlan 1993).

Keberadaan M. graminicola dapat ditentukan dengan ekstraksi akar, pewarnaan akar dan pengamatan pola perineal dari dalam akar padi. Larva instar ke-2 merupakan stadium

yang bersifat infektif terhadap jaringan akar. Stadium larva instar ke-2 masuk ke dalam jaringan dengan bergerak secara intersel menuju jaringan pembuluh dan membentuk giant cell untuk menyimpan nutrisi. Fase larva instar ke-2 akan berubah menjadi larva instar ke-3 dan ke-4 yang kemudian menjadi fase dewasa. Fase betina dewasa hidup sebagai parasit menetap (sedentary endoparasite) di dalam jaringan dengan mengambil nutrisi melalui giant cell (Abad et al. 2009).

Larva instar ke-2 asal Jawa Barat berbeda dengan larva instar ke-2 dari M. graminicola asal Nepal. Perbedaan yang terlihat jelas ialah pada ukuran panjang tubuh larva instar ke-2. Nematoda dari Jawa Barat, Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan dari Nepal yang memiliki kisaran rata-rata 450.9 µm. Perbedaan panjang tubuh larva instar ke-2 ini diduga karena adanya perbedaan geografi. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor yang masih belum diketahui.

Identifikasi M. graminicola dapat diperkuat melalui hasil pengamatan pola perineal betina dewasa. Pola perineal yang terbentuk memiliki ciri yang khas, yaitu berbentuk bundar atau oval. Bagian garis striae membentuk garis yang teratur dan halus, sedangkan garis lateral tidak terlihat (Hunt dan Handoo 2009). Yik dan Birchfield (1978) menyatakan bahwa pola perineal M. graminicola berdasarkan pengamatan mikroskop elektron pemindai memiliki garis striae yang halus dan garis bagian luar tebal dengan pola berbentuk oval. Bagian dorsal menuju vulva, garis striae saling terhubung membentuk tetragonal atau piramida yang terpusat pada ekor terminus. Masing-masing bagian sudut celah vulva memiliki striae yang berbentuk semi bulat yang tersusun atas dua atau tiga striae. Seluruh betina dewasa memiliki bibir vulva halus tanpa adanya invaginasi. Kutikula striae yang berbentuk tetragonal atau piramida merupakan ciri pembeda terhadap spesies Meloidogyne lainnya selain dari bentuk pola perineal yang oval atau bulat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa NPA yang menginfeksi tanaman padi di daerah Jawa Barat (Bogor, Cirebon dan Sukabumi)

118

Page 36: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

ialah M. graminicola. Informasi ditemukannya M. graminicola pada pertanaman padi di wilayah ini sangat penting diketahui agar selanjutnya dilakukan pencegahan sehingga patogen ini tidak menyebar lebih luas di wilayah lainnya. Daerah yang telah terinfeksi dapat dilakukan upaya pengendalian yang efektif, yaitu melakukan penggenangan terhadap tanaman padi sampai panen (Negretti et al. 2014) dan pemberian bahan organik yang cukup (Dangal et al. 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Abad P, Castagno-Sereno P, Rosso MN, Engler JA, Favery B. 2009. Invasion, feeding and development. Di dalam: Perry RN, Moens M, Starr JL, editor. Root Knot Nematodes. Cambridge (US): CABI. hlm 163–176. DOI: http://dx.doi.org/10.1079/9781845934927.0163.

Bridge J, Plowright RA, Peng D. 2005. Nematode parasite of rice. Di dalam: Luc M, Sikora RA, Bridge J, editor. Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and Tropical Agriculture. Ed ke-2. London (UK): CABI Publishing. hlm 87–130. DOI: http://dx.doi.org/10.1079/9780851997278.0087.

Dangal NK, Sharma-Poudyal D, Shrestha SM, Adhikari C, Duxbury JM, Lauren JG. 2008. Evaluation of organic amendments against rice root-knot nematode at seedling stage of rice. Nepal J Sci Technol. 9:21–27.

Dutta TK, Ganguly AK, Gaur HS. 2012. Global status of rice root rice root knot nematode, Meloidogyne graminicola. Afr J Microbiol Res. 6(31):6016–6021. DOI: 10.5897/AJMR 12.707. DOI: http://dx.doi.org/10.5897/AJMR.

Eisenback JD, Hirschman H, Sasser JN., Triantaphyllou AC. 1981. A Guide to the Four Most Common Species of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne spp.), with A Pictorial Key. North Carolina (US): North Carolina State University and U.S Agency International Development.

Eisenback JD, Hunt DJ. 2009. General morphology. Di dalam: Perry RN, Moens M, Starr JL, editor. Root

Knot Nematodes. Cambridge (US): CABI. hlm 18–50. DOI: http://dx.doi.org/10.1079/9781845934927.0018.

Erlan. 1993. Distribusi dan patogenisitas nematoda Meloidogyne cf. graminicola pada tanaman padi sawah di Daerah Istimewa Yogyakarta [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.

Febriyani D. 2003. Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada tanaman padi sawah di Kelurahan Situ Gede, Bubulak, Kecamatan Bogor Barat dan Desa Caringin, Kecamatan Darmaga, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Goodey T. 1973. Two methods for staining nematodes in plant tissue. J Helminthol. 15:137–144. DOI: http://dx.doi.org/10.1017/S0022149X00030790.

Hooper DJ, Hallmann J, Subbotin SA. 2005. Methods for extraction, processing and detection of plant and soil nematodes. Di dalam: Luc M, Sikora RA, Bridge J, editor. Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and Tropical Agriculture. Ed ke-2. London (UK): CABI. hlm 53–86. DOI: http://dx.doi.org/10.1079/9780851997278.0053.

Hunt DJ, Handoo ZA. 2009. Taxonomy, identification, and principal species. Di dalam: Perry RN, Moens M, Starr JL, editor. Root Knot Nematodes. Cambridge (US): CABI. hlm 55–88. DOI: http://dx.doi.org/10.1079/9781845934927.0055.

Hussey RS. 1985. Staining nematodes in plant tissue. Di dalam: Zuckerman BM, Mai WF, Harrison MB, editor. Plant Nematology, Laboratory Manual. Massachusetts (US): University of Massachusetts Agricultural Experiment Station Amherst.

Jaiswal IRK, Singh KP, Mishra RK. 2011. A Technique for the detection of soil infestation with rice root-knot nematode, Meloidogyne graminicola at farmer’s field. Acad J Plant Sci. 4 (4):110–113.

Kementrian Pertanian. 2015. Produksi padi sawah tahun 2010–2014. http://aplikasi.per tanian.go. id/bdsp/hasi l_lok.asp [diakses 4 Mei 2015].

Negretti RRD, Manica-Berto R, Agostinetto D, Thurmer L, Gomes CB. 2014. Host

119

Page 37: Deteksi dan Identifikasi Dickeya sp. sebagai Organisme ... fileVolume 11, Nomor 4, Agustus 2015 Halaman 105–112 DOI: 10.14692/jfi.11.4.105 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi:

J Fitopatol Indones Nurjayadi et al.

suitability of weeds and forage species to root knot nematode Meloidogyne graminicola as a function of irrigation management. Planta Daninha. 32(3):555–561.

Nguyen PV, Bellafiore S, Petitot AS, Haidar R, Bak A, Abed A, Gantet P, Mezzalira I, Engler JA, Fernandez D. 2014. Meloidogyne incognita-rice (Oryza sativa) interaction: a new model system to study plant-root knot nematode interactions in monocotyledons. Rice. 7:23:1–13. DOI: http://dx.doi.org/10.1186/s12284-014-0023-4.

Padgham JL, Duxbury JM, Mazid AM, Abawi GS, Hossain M. 2004. Yield loss caused by Meloidogyne graminicola on lowland

rainfed rice in Bangladesh. J Nematol. 36(1):42–48.

Pokharel RR, Abawi GS, Zhang N, Duxbury JM, Smart CD. 2007. Characterization of isolates of Meloidogyne from rice-wheat production fields in Nepal. J Nematol. 39(3):221–230.

Sari FNI. 2014. Nematoda parasit padi sawah di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Yik CP, Birchfield W. 1978. Host studies and reaction of rice cultivars to Meloidogyne graminicola. Am Phytopathol Soc. 69(5):497–499. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/Phyto-69-497.

120