Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) pada Era Otonomi 2009 -Words...

20
Mata Kuliah : KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH Dosen : Dr. Roy V. Salomo KOMENTAR, IDENTIFIKASI MASALAH DAN REKOMENDASI TENTANG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH (Sumber : Kompas 22 Mei 2009 ) KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ( NAPBN 2009) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( PDRD ) ( Terkait UU no 34 tahun 2000 ) Nyoman Rudana NPM 08.D.040 Magister Administrasi Publik Manajemen Pembangunan Daerah STIA LAN Jakarta 0

Transcript of Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) pada Era Otonomi 2009 -Words...

Page 1: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

Mata Kuliah :

KEUANGAN NEGARA DAN DAERAHDosen : Dr. Roy V. Salomo

KOMENTAR, IDENTIFIKASI MASALAH DAN REKOMENDASI TENTANG

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

(Sumber : Kompas 22 Mei 2009 )

KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ( NAPBN 2009)

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( PDRD )

( Terkait UU no 34 tahun 2000 )

Nyoman Rudana

NPM 08.D.040

Magister Administrasi PublikManajemen Pembangunan DaerahSTIA LAN Jakarta

I. TANGGAPAN TENTANG KOMPAS 22 MEI 2009.

0

Page 2: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

Artikel yang akan dibahas adalah : (1) Sewindu Otda, Maish Jauh dari Harapan,

(2)Kacamata Kuda dan Hancurnya SDA, (3)Kewenangan Tumpang tindih menjadi

tidak produktif, (4)Sejarah Panjang Pengaturan Otonomi, (5)Kuncinya di Kapasitas

Birokrasi. Namun sesuai dengan mata kuliah Keuangan Negara dan Daerah, maka

pembahasan dititikberatkan kepada hal – hal terkait dengan transfer dana dari

pusat k daerah.

Dalam tulisan ini ada kerancuan mengenai pengertian pembangunan daerah

dan otonomi daerah yang dikaitkan dengan transfer dana dari pusat ke daerah.

Pada dasarnya semua pembangunan dilakukan di daerah termasuk di DKI Jaya.

Hanya sebelum otonomi daerah, daerah hanya menjadi pelaksana pada kegiatan

dekonsentrasi dan menyediakan dana serta pelaksana pada tugas pembantuan. Jadi

pembangunan ada di daerah dengan kebijakan , sumber dana dan serta

pelaksanaan semua ditentukan oleh pemerintah pusat. Dana yang digunakan

ditransfer dari pusat ke daerah da merupakan dana dekonsentrasi, dimana

pelaksana kegiatan adalah orang pusat yang ada di daerah.

Setelah ada otonomi, sebagian urusan pemerintahan diserahkan ke daerah

dengan asas desentralisasi. Untuk menunjang berjalannya desentralisasi

kewenangan di daerah , dilakukan desentralisasi fiskal dengan instrument utama

melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri atas dana perimbangan dan dana

otonomi khusus. Dana perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana

Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen

terbesar dari dana transfer ke daerah. Selain PAD, dana yang ditransfer dari pusat

ini merupakan salah satu bentuk pendapatan daerah.

Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dalam bagan Alur Belanja APBN

ke Daerah yg ada pada artikel Kewenangan Tumpang Tindih Menjadi Tidak

Produktif, Nampak bahwa PNPM, BOS, Jamkesmas dikategorikan sebagai dana

bantuan yang merupakan Belanja Pemerintah Pusat, padahal seharusnya termasuk

ke dalam DAK, yaitu specific grant, yang jelas dan spesifik tujuan penggunaan

dananya.

Kewenangan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah

menimbulkan banyak hal merugikan termasuk dalam pembuatan kebijakan yang

tumpang tindih yang berakibat ekonomi biaya tinggi yang membebangi pengusaha

sehingga menurunkan daya saing investasi daerah tersebut. Sedangkan ulasan

mengenai desentralisasi fiskal akan dibahas pada bab berikutnya.

1

Page 3: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

II. KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

Beberapa tantangan dan kendala terkait dengan Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan

Pengelolaan Keuangan Daerah 2009 adalah sebagai berikut :

1. Implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah.

Meskipun peningkatan transfer dari Pemerintah ke daerah diiringi perbaikan tingkat

kesejahteraan masyarakat,perlu diperhatikan kondisi daerah dan korelasi antara transfer

dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari data Depkeu dan BPS ditemukan bahwa

(1) indikator tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional menunjukkan perbaikan,

tetapi tidak semua daerah mengalami perbaikan. Dari 33 propinsi, terdapat 15 propinsi

dengan penurunan % penduduk miskin dan 18 propinsi dengan peningkatan % penduduk

miskin.

(2) Peningkatan transfer diiringi dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, tetapi korelasinya

sangat rendah yaitu kurang dari o,5 bahkan mendekati nol. Dari NAPBN 2009 nampak

bahwa beberapa daerah yang rata-rata transfer per kapitanya tinggi justru menunjukkan

rata- rata % penduduk miskin yang tinggi pula. Ini mengindikasikan transfer pemerintah ke

daerah masih terkonsentrasi pada daerah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah.

2. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD )

Akan dibahas di topik selanjutnya mengenai evaluasi UU 34 tahun 2000 tentang PDRD.

3. Penerapan Standar Pelayanan Minimum ( SPM )

Menindaklanjuti ketentuan dalam UU no 34 tahun 2004 dan mendorong implementasi

SPM, pemerintah menerbitkan PP no 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimum. Namun dalam pelaksanaannya terdapat

beberapa kendala terkait dengan :(1) kompleksitas penyusunan indikator SPM, (2

ketersediaan dan keterbatasan anggaran, (3) kompleksitas proses konsultasi publik dalam

menentukan norma dan standar untuk menghindari perbedaan persepsi dalam

memberikan pelayanan publik sesuai SPM.

4. Efektivitas kebijakan pengeluaran APBD

Efektivitas pengeluaran APBD sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal

pemda, antara lain proses penyusunan APBD, partisipasi masyarakat, dukungan politis

2

Page 4: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

dari DPRD, kesinambungan dengan APBD sebelum dan sesudah tahun anggaran yang

bersangkutan, dan sinergi dengan program Pemerintah. Proses penyusunan APBD terkait

dengan mekanisme perencanaan yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan

yang sangat beragam. Juga harus mampu mencerminkan kepentingan masyarakat yang

tercermin dalam anggaran yang efisien, sehingga menghasilkan output dan outcome

yang sesuai dengan perencanaannya. Tantangan dalam proses penyusunan APBD

adalah :

(1) Bagaimana menciptakan hubungan yang jelas antara input(anggaran dalam APBD)

dengan output dan outcome dari program dan kegiatan.

(2) Diperlukannya partisipasi masyarakat dan dukungan politik dari DPRD, mengingat kedua

hal tersebut akan menentukan outcome yang akan dicapai dan sekaligus menilai apakah

pemerintah daerah telah berhasil mencapainya.

(3) Kesinambungan antar program dan kegiatan yang disusun dalam APBD tersebut, yang

tercermin dalam pola belanja APBD, karena pada dasarnya sebagian besar program dan

kegiatan tidak akan bisa dilihat dampaknya secara nyata dalam waktu yang singkat, dan

juga harus selalu ditunjang dengan program/kegiatan lain yang saling terkait dalam

rentang waktu yang cukup panjang.

(4) Kurangnya sinergi antara program nasional dan kebijakan di daerah. Pengeluaran APBD

akan menjadi tidak efektif apabila tidak sejalan dengan program pembangunan nasional,

atau sebaliknya. Hal yang sama terhadap APBD kabupaten /kota dimana seringkali tidak

sinkron dengan kebijakan nasional, serta dengan kebijakan di tingkat regional di

propinsi

5. Efektivitas Proses Penyusunan APBD.

Tantangan yang dihadapi pemerintah pusat dan pemda dalam penyusunan APBD :

(1) Pemda seringkali tidak bisa menetapkan APBD secara tepat waktu untuk memperlancar

proses pelaksanaan anggaran dan dapat memberikan dampak yang positif bagi

pelayanan publik. Seringkali terjadi adalah sulitnya mencapai pengesahan APBD tersebut

dari DPRD.

(2) Sering ada hambatan teknis dalam proses penyusunan APBD, terkait kompleksitas proses

penganggaran berbasis kinerja.

(3)Penyusunan APBD dipengaruhi oleh proses penyusunan APBN, sehingga efektivitas

penyusunan APBD tidak terlepas dari efektivitas penyusunan APBN. Untuk itu diperlukan

sinergi antara pemerintah pusat dan pemda. Oleh sebab itu pemerintah pusat harus

sedini mungkin menetapkan alokasi dana yang akan ditransfer ke daerah dan

menginfomasikan kepada daerah, disertai petunjuk teknis,terutama untuk alokasi dana

tertentu, seperti DAK.

3

Page 5: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

6. Penyerapan anggaran APBD di daerah.

Ada kelambanan dalam penyerapan anggaran dimana rata-rata penyerapan APBN pada

semester pertama hanya mencapai 15—30 %. Akibatnya terjadi penumpukan program

dan kegiatan menjelang akhir tahun. Juga sering terjadi penyerapan anggaran di bawah

target. Keterlambatan penyerapan APBD ini bisa terjadi karena : (1) kesalahan dari

pemda sendiri dimana pemda terlambat melaporkan perda APBD ke pusat sehingga

terkena sangsi oleh pemerintah pusat dengan ditundanya transfer dana DAU / DAK dari

pusat ke daerah. (2) Kesengajaan daerah yang tidak mau susah payah membuat proyek.

(3) Ketakutan aparat pemda untuk berurusan dengan KPK dalam pelaksanaan program /

kegiatan di lapangan yang rawan terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu banyak pemda

memilih menternakkan uangnya di SBI ( Sertifikat Bank Indonesia ). Hal ini membuat

gerak pembangunan di daerah tertahan dan dana yang diinvestasikan dalam SBI

membebani keuangan negara karena bunganya yang tinggi harus dibayar dari APBN.

7. Implikasi pemekaran daerah terhadap keuangan negara.

Pemekaran daerah otonomi diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2007 tentang Tatacara

Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang merupakan revisi PP no 9

Tahun 2ooo tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan,

dan Penggabungan Daerah. PP ini memperketat syarat kelulusan suatu daerah untuk

dapat dimekarkan, dengan menetapkan nilai mutlak atau nilai minimal yang harus

dipenuhi yaitu kependudukan, kemampuan ekonomi, potensi daerah, kemampuan

keuangan, serta ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pelayanan

minimal.

(1) Berdasarkan data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 80 % kabupaten

baru hasil pemekaran dari 1999–2006, termasuk kategori kabupaten tertinggal. Ini

menunjukkan bahwa daerah pemekaran tidak memiliki kemampuan ekonomi dan

keuangan yang memadai untuk menjadi daerah otonom. Akibatnya kesejahteraan

masyarakat serta peningkatan pelayanan publik tidak tercapai.

(2) Berdasarkan hasil evaluasi sementara terhadap 147 daerah otonom baru, dari NAPBN

2009 diketahui bahwa daerah otonom baru menghadapi berbagai permasalahan, antara

lain (a) penyerahan pendanaan, personil, peralatan dan dokumen (P3D), (b) batas

wilayah, (c) dukungan dana kepada daerah otonom baru, (d) mutasi Pegawai Negeri Sipil

(PNS) ke daerah otonom baru, (e) pengisian jabatan, dan (f) rencana tata ruang dan

wilayah.

(3) Dari sisi pendanaan, pemekaran daerah mempunyai implikasi terhadap APBN, yaitu

penyediaan DAK bidang prasarana pemerintahan dan pembangunan instansi vertikal

4

Page 6: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

berpengaruh terhadap fungsi pemerataan DAU yang belum optimal, mengingat

peningkatan alokasi DAU akan tersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di

Indonesia

8. Sinkronisasi Dana Desentralisasi dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas

Pembantuan.

Berdasarkan PP no 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP Nno

21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga

(RKA-KL), anggaran untuk kementerian negara/ lembaga dibagi menurut anggaran kantor

pusat, anggaran kantor daerah, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Khusus untuk

penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan, selain harus mengikuti PP tersebut,

harus mengacu pada PP no 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

dan PP no 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Namun karena

sistem penganggaran tsb masih merupakan baru, masih banyak praktek pendanaan

program/ kegiatan di daerah cenderung tumpang tindih (overlapping), dimana satu

kegiatan yang didanai dari sumber APBN dan APBD. Hal tersebut antara lain :

(1) dalam proses penganggaran kurang memperhatikan aspek pembagian urusan/wewenang

dan aspek akuntabilitas Pagu anggaran sektoral pada kementerian negara/ lembaga

belum dipisahkan secara tepat menurut alokasi dana dekonsentrasi, dana tugas

pembantuan, dana untuk kantor vertikal di daerah, dan dana untuk satuan kerja tertentu,

sehingga alokasinya sulit untuk disinkronkan dengan alokasi dana desentralisasi.

(2) Sebagian kementerian negara/lembaga masih cenderung berpegang pada peraturan

perundang-undangan sektoral walaupun UU no 32 tahun 2004 telah mengamanatkan

bahwa semua undang-undang sektoral yang berkaitan dengan daerah otonom, wajib

mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan UU 32 tahun 2004

tersebut.

REKOMENDASI UNTUK DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN

DAERAH

1. Implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menyelaraskan pola alokasi dana ke

daerah dengan target pertumbuhan ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat.

Deangan demikian daerah yang mendapatkan transfer yang lebih tinggi mampu

memanfaatkan dananya secara riil untuk rmendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya

secara lebih optimal.

5

Page 7: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

2. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( PDRD ).

Dibahas di pertanyaan ketiga mengenai UU 34 tahun 2000 tentang PDRD .

3. Penerapan Standar Pelayanan Minimum ( SPM )

Dalam mengatasi kendala – kendala implementasi SPM, maka pemerintah pusat harus

memprioritaskan pengaturan mengenai kewenangan/urusan wajib yang harus

dilaksanakan sehingga dapat mempertegas pembagian kewenangan antara pemerintah,

pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan

publik yang lebih baik serta menghindari tumpang tindih pendanaan. Untuk itu

pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

4. Efektivitas kebijakan pengeluaran APBD

(1) Pemda harus membuat APBD yang mempunyai korelasi antara input, output dan

outcome. Pemda dapat meminta bantuan konsultan independen untuk mereview APBD

yang disusun.

(2) Pemda harus membuat program dan kegiatan dalam APBD yang saling

berkesinambungan yang tercermin dalam pola belanja APBD.

(3) Pemda harus menjalin hubungan yang harmonis dengan DPRD agar DPRD dapat lebih

cepat dalam mengesahkan APBD.

(4) Pemerintah harus melakukan evaluasi dan koreksi jika kebijakan pemerintah yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah propinsi belum diakomodasi dalam program dan kegiatan

beserta anggarannya yang diusulkan dalam RAPBD yang bersangkutan. Hal yang sama

juga dilakukan oleh gubernur terhadap APBD kabupaten / kota dimana APBD harus

sinkron dengan kebijakan nasional, dan propinsi. Bilamana perlu pemerintah pusat atau

daerah dapat mengundang konsultan independen untuk menilai sinkronisasi antara

kebijakan dan usulan program dan kegiatan.

5. Efektivitas Proses Penyusunan APBD.

(1) Pemerintah harus memberlakuan sangsi penundaan penyaluran DAU apabila daerah tidak

menyampaikan perda APBD kepada Pemerintah secara tepat waktu dan pelaksanaan

transfer DAK setelah perda tentang APBD disampaikan ke Pemerintah.

(2) Pemda harus secara berkala menyelenggarakan pelatihan teknis terkait penganggaran

berbasis kinerja untuk memperlancar penyusunan APBD agar dapat tepat waktu.

6

Page 8: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

(3) Harus ada sinergi antara Pemerintah dengan pemda karena APBD tergantung pada

APBN.

(4) Pemerintah harus sedini mungkin menetapkan alokasi dana yang akan ditransfer ke

daerah dan menginformasikan kepada daerah disertai petunjuk teknis, terutama untuk

alokasi dana tertentu, seperti DAK. Hal ini dilakukan agar daerah dapat mengalokasikan

dana tersebut dalam APBD nya dengan tepat waktu pula.

6. Penyerapan anggaran APBD di daerah.

(1) Dalam mencegah keterlambatan pelaksanaan anggaran, yang pertama – tama pemda

haruslah melaporkan perda APBDnya ke pusat tepat waktu sehingga tidak mendapat

sangsi dari pemerintah pusat dengan penundaan transfer dana ke daerah.

(2) Pendampingan dari pusat setelah dana cair dengan team bersama dari Depdagri,

Depkeu, Bappenas dan departemen teknis, kalau perlu dari BPK, BPKP, KPK yang 24 jam

bekerja memberikan saran dan pendampingan secara gratis. Hal ini untuk memberikan

rasa aman agi para eksekutor di daerah dalam mengimplementasikan program dan

kegiatannya tanpa ketakutan yang tidak perlu.

7. Implikasi pemekaran daerah terhadap keuangan negara.

(1) Pemerintah pusat harus melakukan evaluasi kebijakan PP no 78 tahun 2007 tentang

Tata Cara Daerah, dengan memperketat persyaratan kelulusan bagian daerah otonomi

baru dengan menetapkan nilai mutlak atau nilai minimal yang harus dipenuhi yaitu

kependudukan, kemampuan ekonomi, potensi daerah, kemampuan keuangan,

ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pelayanan minimal.

(2) Pemerintah melakukan evaluasi daerah baru berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008

tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tujuannya untuk

mengetahui kemampuan daerah otonom baru dan efektivitas pemberikan pelayanan

publik,dan sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penghapusan dan penggabungan

daerah.

(3) Pemerintah memberikan insentif baik fiskal maupun nonfiskal. Insentif fiskal diberikan

dalam rangka meningkatkan kemampuan APBD, sedangkan insentif nonfiskal diberikan

dalam bentuk dukungan teknis dan fasilitasi peningkatan kemampuan kelembagaan

pemerintahan daerah, SDM , kepegawaian daerah, pengelolaan keuangan daerah, dan

pelayanan publik.

8. Sinkronisasi Dana Desentralisasi dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana

Tugas Pembantuan.

7

Page 9: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

(1) Untuk menghindari tumpang tindihnya pendanaan oleh APBN dan APBD terhadap

program / kegiatan di daerah maka harus dilakukan pemisahan pagu anggaran sektoral

pada kementerian negara/ lembaga menurut alokasi dana nya, baik desentralisasi,

dekonsentrasi, dana tugas pembantuan dll.

(2) Prinsip money follows function dilakukan dengan memberikan sumber-sumber pendanaan

yang jauh lebih besar kepada daerah dan memberikan kewenangan untuk mengelola

sumber keuangan sendiri, dengan didukung oleh perimbangan keuangan antara

Pemerintah dan daerah.

(3) Kementerian / lembaga harus kembali mengacu kepada UU 32 tahun 2004 dan bukan UU

sektoral terkait daerah otonom dalam proses penyusunan APBN.

8

Page 10: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

III. PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ( PDRD )

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka Pemda

diberikan kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak

daerah, retribusi daerah, hasil usaha BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya. Keseriusan

untuk mendorong Pemda dalam menggali PAD ditunjukkan dengan telah direvisinya UU

Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan UU Nomor 34

Tahun 2000 dan aturan pelaksanaannya berupa PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak

Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

Karena pajak daerah untuk kabupaten/kota tidak bersifat limitatif masih memungkinkan untuk

menetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat 4 UU Nomor 34 Tahun

2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu : (1) Bersifat pajak dan bukan retribusi, (2) Obyek ada di

lokasi daerah dan tidak bergerak; (3) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum; (4 ) Bukan obyek

pajak propinsi dan pusat; (5 ) Potensi memadai; (6)Tidak ada dampak negatif ekonomi; (7) Aspek keadilan

dan kemampuan masyarakat, (8)Menjaga kelestarian lingkungan.

Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan

pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber

pembiayaan desentralisasi. Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan

penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh :

1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000

daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru.

Namun karena pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak

Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas,

serta bervariasi antar daerah. Hal ini bagi sementara daerah berarti memperkecil

kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.

2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan

daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi

“usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan

“negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.

3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah yang mengakibatkan

pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih

tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah karena diterapkan sistem “target”

dalam pungutan daerah. Akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target,

walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat

melampaui target.

9

Page 11: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

4. Adanya aspek teknis seperti tariff, dan dasar penetapan yang kurang mencerminkan asas

kemampuan dan keadilan sehingga menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya

misalnya si wajib pajak/retribusi tidak mampu atau bahkan tidak bersedia membayar

pungutan yang dibebankan kepada mereka.

5. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan

kebocoran. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah

sangat kecil kurang dari 10% hingga 50%. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi

dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya

menguntungkan daerah tertentu). (2) Distribusi pajak antar daerah timpang karena basis

pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600.

(3) Adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis

(berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga

mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. (4)

‘Sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada

Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial seperti : pajak penghasilan,

pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Distribusi kewenangan perpajakan antara daerah

dan pusat sangat timpang, penerimaan pajak yang dipungut daerah hanya 3,39% dari

total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah).

6. Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak memberikan

petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di

Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”. Dari gambaran

consolidated revenues APBD dan APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan

Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated

revenues, di lain pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30%

dari consolidated expenditures.

Selain itu dilihat dari pelaksanaannya, UUno 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah ( PDRD ) mempunyai beberapa kelemahan :

1. Ulah daerah yang berlebihan dalam mengartikan desentralisasi fiskal dimana terjadi

euphoria dalam arti sempit. Kebebasan menetapkan PDRD di luar yang ditetapkan secara

eksplisit dalam undang-undang tersebut telah dimanfaatkan oleh daerah untuk membuat

Perda mengenai PDRD yang bertentangan dengan apa yang diatur dalam undang-undang

tersebut dan menciptakan pungutan yang merugikan perekonomian daerah dengan

membebani masyarakat

2. Hal tsb menyebabkan banyak keluhan dari para pelaku usaha di daerah yang merasa

terganggu oleh banyaknya pungutan terutama PDRD yang meningkatkan compliance

10

Page 12: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

cost ( biaya pemenuhan perpajakan dan retribusi ) dalam melakukan kegiatan usaha di

daerah. Hal ini akan menurunkan daya saing invstasi daerah ybs.

3. Sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem

berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak

konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.

4. Dalam UU No. 34 tahun 2000 tidak diatur sanksi terhadap daerah yang menetapkan Perda

yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan serta mengganggu kepentingan

umum, sehingga daerah seenaknya menetapkan PDRD di daerah mereka. Pengawasan

yang represif namun tidak disertai sangsi atas pelanggaran pemungutan pajak dan

retribusi menyebabkan beberapa daerah yang Perda PDRD-nya dibatalkan masih berani

melakukan pungutan walau Perdanya secara hukum sudah dibatalkan

5. Lemahnya pengawasan juga menyebabkan banyak daerah yang tidak menyampaikan

Perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kepada pemerintah untuk

menghindari pembatalan.

6. Banyaknya Perda yang dibuat oleh daerah adalah karena misalnya pejabat pemerintah

daerah dibebani target oleh DPRD untuk meningkatkan PAD yang dijadikan sebagai tolok

ukur keberhasilan kinerja aparat daerah.

7. Retribusi beberapa Pemda yang dikenakan kepada industri pertambangan menyangkut

pajak lingkungan, padahal sejak awal sebelum industri tambang berdiri, perusahaan

sudah melalui berbagai kontrol dan monitoring dari pemerintah. Selain itu perusahaan

menyediakan dana untuk CSR ( Corporate Social Responsibility ).

Rekomendasi yang dapat diberikan

Dalam rangka penguatan taxing power daerah, maka ada beberapa kebijakan yang perlu

dilakukan antara lain : (1) menyelaraskan perpajakan dan retribusi daerah dengan

kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah; (2) memperluas basis pajak daerah

dan memberikan keleluasaan dalam penerapan tarif; dan (3) mempertegas dan memperkuat

dasar-dasar pemungutan pajak dan retribusi daerah. Implementasi kebijakannya dapat

dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut.

1. Perluasan basis pajak daerah, untuk :

(1) memudahkan daerah untuk menyesuaikan pendapatannya, juga untuk mengurangi

grey

area antara perpajakan pusat dan daerah.

(2) meningkatkan keadilan dalam perpajakan

Misalnya dalam : perluasan objek pajak kendaraan bermotor atas kendaraan,

perluasan objek pajak hotel, restoran

11

Page 13: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

2. Penetapan tarif

Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak sesuai dengan

tarif maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam rangka transparansi dan

akuntabilitas, pemerintah daerah harus dapat memberikan alasan yang kuat tentang

besarnya tarif yang ditetapkan.

3. Penetapan retribusi daerah

(1) Pemungutan retribusi harus dilakukan secara lebih transparan, agar beban retribusi

yang

harus dibayar oleh masyarakat dapat lebih jelas dan akuntabel.

(2) Pemungutan retribusi daerah harus terkait dengan fungsi pelayanan dan perizinan

yang menjadi urusan/ kewenangan daerah.

(3) Penambahan jenis retribusi baru tidak lagi diserahkan kepada daerah tetapi diatur

oleh Pemerintah dan akan disesuaikan dengan pengaturan mengenai pembagian

kewenangan antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota.

4. Penambahan jenis pajak daerah

Penambahan jenis pajak baru dilakukan dengan memperhatikan kriteria-kriteria pajak

daerah yang baik yang secara teori dan praktik telah teruji.

5. Reformulasi Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Reformulasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan dengan sasaran

mengurangi subsidi melalui pengurangan konsumsi BBM. Kepala daerah juga perlu diberi

peluang untuk menerapkan tarif progresif, khususnya tarif pajak kendaraan bermotor.

6 .Pengawasan

Daerah harus diawasi secara lebih ketat dalam pemungutan pajak dan retribusi.

Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pengawasan dilakukan

secara preventif dan represif. Hasil evaluasi perda dikoordinasikan dengan Menteri

Keuangan.

(1) Kepada daerah juga dikenakan sanksi apabila tidak menyampaikan perda kepada

Pemerintah, atau bagi daerah yang tetap melaksanakan perda yang telah dibatalkan,

dengan melakukan penundaan penyaluran transfer ke daerah.

(2) Pembatalan perda atau meminta pemda merevisi Perda yang dianggap memberatkan

pengusaha dan berlebihan serta tidak sesuai dengan UU no 34 tahun 2000.

12

Page 14: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

7. Mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan memperbaiki basis data wajib pajak

8. Menggunakan teknologi informasi secara terpadu dalam sistem perpajakan untuk

menggantikan sistem manual agar mengurangi kesalahan dan meningkatkan efisiensi

dalam penghitungan.

.

13

Page 15: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

14

Page 16: Desentralisasi Fiskal dan PDRD ( Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)  pada Era Otonomi 2009 -Words 2003

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Penguatan Taxing Power Daerah

Meskipun pemerintah provinsi memiliki penerimaan pajak yang cukup besar sumbangannyaterhadap APBD, provinsi masih tetap mengalami kesulitan untuk membiayai tambahankebutuhan pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan tarifpajaknya. Penetapan tarif pajak yang seragam untuk provinsi selama ini dilakukan untukmenghindari perang tarif yang berlebihan antardaerah. Perbedaan tarif akan berdampakterhadap pelarian objek, karena objek pajak provinsi relatif lebih tinggi tingkat mobilitasnyajika dibandingkan dengan pajak kabupaten/kota.

15