DESA PAKRAMAN WAHANA

download DESA PAKRAMAN WAHANA

of 19

Transcript of DESA PAKRAMAN WAHANA

DESA PAKRAMAN WAHANA PENGAMALAN AJARAN AGAMA HINDU DI BALI

Prof. Dr. I Made Titib, Ph. D Yatnavanto yavadvpa saptarjyopaobhita Suvararpyakadvpa suvarkaramaita Yavadvpa matikramya iiro nma parvata Diva spsati gea deva dnava sevita (Rmyaa, Kiskindhkaa 40.30.31.) (Sugriva yang merupakan raja para kera memerintahkan kepada pengikutnya yang bernama Vinata): untuk pergi ke pulau Jawa (Javadvpa) yang terdiri dari tujuh buah kerajaan dan dua buah pulau yang bernama Suvarnadvpa (pulau emas) dan Rupyakadvpa (pulau perak). Setelah Javadvipa akan menjumpai gunung yang bernama iira (gunung Agung, Bali),dengan puncaknya yang mencapai Svargaloka. Dewadewa dan Danawa-Danawa bersthana di sana).

Nusaning Nusa, Hyang-Hyang Sagara Giri

Bali sebagai pulau kecil sudah sejak jaman dahulu menjadi perhatian dunia. Bila saat ini globalisasi melanda pulau yang indah dan terletak diantara ribuan pulau dihamparan biru persada Nusantara, maka dimasa yang silampun Bali telah kena pengaruh internasional, yakni masuknya agama dan peradaban Hindu di pulau ini. Orang-orang asing yang datang ke Bali pada masa yang silam adalah mereka para pedagang China dan peziarah (Ytri) dari India. Pengaruh Hindu di Bali di samping dari India Selatan (Amaravati), juga Kamboja, Malaya (Ligor) dan Jawa. Pada jaman Majapahit kitab Ngaraktgama menjelaskan bahwa, kondisi masyarakat Bali dinyatakan sama dengan pulau Jawa (Nusa Bali i scara lawan bhmi Jawa) menunjukkan betapa kentalnya hubungan antara Bali dengan Jawa pada waktu itu. Di pulau yang disebut Nusaning Nusa atau Hyang Hyang Ning Sagara Giri itu tersebar banyak peninggalan purbakala berupa candi, pertapaan atau ashram terutama di sepanjang sungai Petanu dan Pakerisan menunjukkan cukup banyak adanya pusat-pusat pendidikan dan pengembangan Agama Hindu.

Bali, pulau yang mungil memiliki keunikan tersendiri. Berbagai julukan telah diberikan kepada pulau yang memikat ini diantaranya adalah The Last Paradise onEarth (Sorga terakhir bumi),The morning of the Word (Paginya dunia),The Islandof Gods (Pulau dewata ), The Intresting Peacefull Island (Pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona), dan seseorang akhli purbakala bernama Bernet Kempers menyebutnya dengan Land of One Thousand Themples, pulau dengan seribu pura (1977: 73). Kenyataanya menurut akhli purbakala ini, jumlah pura di Bali lebih dari 20.000 buah.

Kepopuleran pulau Bali bukanlah hal yang baru, sebab sejak jaman purbakala pulau ini sudah dikenal. Keterangan tentang kemuliaan gunung agung, yang disebut juga To Langkir atau Udaya Parwata, diyakni sebagai bagian dari pegunungan Mahmeru (yang pada jaman dahulu disebut iira Parvata ) sudah diungkapkan dalam Rmyaa, bagian Kiskindh Kaa, karya agung adikawi mahai Vlmki, sebagai sthana para Dewa (Rajendra Misra,1989 : VI) dan bila kita melihat peninggalan purbakala di daerah Goa Gajah dan Gunung kawi ( Gianyar ) seperti yang telah disebutkan diatas, maka jelaslah pada jaman dahulu tidak sedikit orang dari luar Bali yang melakukan Trthaytra berkunjung ke daerah ini dan menetap beberapa lama pada goa-goa pertapaan yang ada.

Bila dewasa ini wisatawan datang ke Bali untuk tujuan memperoleh kepuasaan dan kesenangan dunia (walaupun ada juga beberapa orang yang mendalami spiritual di Bali), pada jaman dahulu peziarah ke Bali adalah untuk mencari kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Hal ini adalah hal yang wajar, karena trend dunia sekarang (pada jaman Kali) adalah material and pleasureoriented, yakni mencari kekayaan dan kesenangan, sedang pada jaman dahulu para ytri (orang yang melakukan perjalanan suci/Trtaytra) lebih menekankan untuk mencari kedamain yang sejati (peacefull oriented) dan di balik kedamaian itu, terdapat kebahagiaan yang sejati (anandam).

Pulau Bali sebagai tujuan wisata dunia ditengah-tengah globalisasi saat ini menghadapi berbagai tantangan dan cobaan baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal yang diakibatkan oleh konskuensi logis dari kepariwisataan dan globalisasi. Untuk itu berbagai permasalahan telah dan akan terus muncul ke permukaan. Bilamana umat Hindu sebagai penghuni pulau dewata ini tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang dihadapi, maka akan terjadi kehancuran yang tidak diharapkan.

Upaya-upaya untuk melestarikan pulau Bali dengan aneka kekayaan yang dimiliki patut dilakukan oleh semua pihak, terlebih lagi generasi muda terpelajar dan cendekiawan Hindu hendaknya terpanggil untuk melakukan karya-karya nyata yang bertujuan mengangkat harkat derajat dan kesejahteraan mesyarakat sekaligus dalam usaha melestarikan warisan budaya yang merupakan aset nasional yang tiada taranya.

Agama Hindu dan Budaya Bali Antara Agama Hindu dan budaya Bali adalah ibarat tenunan benang pada kain endek Bali, yang sudah saling jalin-menjalin dengan warna dan coraknya yang khas. Seseorang yang awam akan merasakan sulit untuk membedakan antara Agama Hindu dan kebudayaan Bali. Bila kita mengkaji lebih jauh sebenarnya terdapat perbedaan yang jelas antara Agama Hindu dan budaya Bali, demikian pula antara Agama Hindu dan Adat Bali. Untuk menghindari kerancuan atau salah pengertian tentang hal tersebut diatas, kiranya terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa pengertian yang terkait dengan topik makalah ini, yaitu Agama Hindu, Budaya Bali, Adat dan Desa Pakraman.

1) Agama Hindu, Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma Agama Hindu adalah agama yang bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan himpunan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari kitab suci Vedalah mengalir semua ajaran Agama Hindu baik yang menyangkut ajaran raddh (keyakinan/keimanan), Tata-susila (etika) dan cra (ritual dan lain-lain). Wahyu Tuhan Yang Maha Esa pada mulanya turun dilembah sungai Sindhu dan dari kata Sindhu inilah muncul istilah Hindu yakni nama yang pada mulanya diberikan oleh orang-orang Persia untuk menyebut kebudayaan yang berkembang di lembang sungai Sindhu, kemudian orang Yunani menyebutnya dengan Indoi dan orang-orang Barat menyebutnya dengan India, sedang nama asli dari anak benua India adalah Bhrata atau Bhratawarsa. Hindu kemudian menjadi nama dari agama yang bersifat Sanatana, yakni agama yang abadi, oleh karena itu Agama Hindu juga dikenal dengan Sanatana Dharma. Disamping itu, oleh karena agama ini bersumber pada kitab suci Veda, maka agama ini juga disebut dengan nama Vaidika Dharma.

Ciri khas dari Agama Hindu atau Hindu Dharma adalah memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut suatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran umat manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan.

Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/raddh, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sdhana, bermacam-macam ritual atau adat-istiadat yang berbeda semuanya memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lain.

Karakteristik atau ciri lainnya yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang kiranya menimbulkan perpecahan didalam Hindu Dharma adalah Iadevat dan Adhikara (Sarma, 1987: 5). Ia atau Iadevat adalah kebebasan untuk memuja salah satu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sesuai penjelasan kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya sedang Adhikara adalah memilih disiplin dan atau cara tertentu sesuai dengan kemampuan dan kepuasan batinnya.

Svami Sivananda seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaysia dan meninggalkan profesinya itu kemudian menjadi seorang Yogi besar dan rohaniwan agung, pendiri Divine Life Society menyatakan, Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta (sampradaya atau perguruan/ashram Hindu) dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma, tetapi perbedaan itu sesungguhnya merupakan tipe pemahaman dan tempramen sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar, karena merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma, karena dalam agama ini tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran manusia dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka (Sivananda,1988:134).

Mengingat adanya berbagai perbedaan, terutama yang menyangkut cra yang bersifat gradual, maka nampak warna yang berbeda-beda di dalam Hindu. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam ajaran Agama Hindu kita mengenal pula istilah Dharma Agama. Istilah Dharma Agama pertama kali rupanya dipopulerkan pada tanggal 28 Februari 1959 ketika Parisada Hindu Dharma Indonesia dibentuk yang ketika bernama Parisada Dharma Hindu Bali, sebagai suatu pendekatan pembinaan terhadap umat Hindu di Indonesia untuk menjadi umat ber-Agama Hindu yang baik, disamping istilah Dharma Negara. Istilah ini ditetapkan kembali pada buku Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia yang telah

diputuskan sebagai buku pedoman pembinaan umat oleh Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 yang lalu.

Dalam buku Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia dinyatakan pendekatan Dharma Agama meliputi tiga komponen memfungsikan peranan agama sebagai faktor innovatif, kreatif dan integratif disamping merupakan sumber nilai dan norma serta usaha untuk meningkatkan peranan agama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa bagi umat Hindu di Indonesia (PHDI Pusat, 1990 : 14).

Sedang yang dimaksud Dharma Negara adalah hal dan kewajiban serta tanggung jawab umat Hindu untuk senantiasa membela, mempertahankan, mengisi, kemerdekaan, mengabdi, dan berbakti kepada nusa, bangsa dan negara sesuai dengan salah satu ajaran Catur Guru Bhakti, yaitu bhakti kepada Guru Wisesa/ hormat dan cinta kepada tanah air, bangsa, negara dan pemerintah (Ibid : 10).

2. Budaya Bali Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali diseluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula disamping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara Agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa Agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan Agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya danm kebudayaan ini.

Agama Hindu dapat disebut sebagai isi dan budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, disanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air didalam wadah itu. Demikianlah hubungannya Agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena Agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, Agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada : (1). Pandangan hidup masyarakat Bali, (2). Seni budaya Bali, (3). Adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). Organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi desa Adat, Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.

3. Adat-istiadat dan Desa Pakraman Seperti telah diungkapkan pada bagian awal tulisan ini masih terdapat kerancuan pengertian antara agama dan adat dikalangan masyarakat. Kerancuan ini disebabkan karena terjadi jalinan sedemikian rupa antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan Agama Hindu sebagai jiwa atau nafas hidupnya. Kerancuan tersebut antara lain disebabkan oleh pandangan yang menyatakan bahwa segala aktivitas masyarakat Bali terutama yang menyangkut upacara agama disebut sebagai adat Bali dan sepanjang pengetahuan penulis, tidaklah ada adat yang memiliki upacara. Berbagai upacara di Bali sebenarnya merupakan aktifitas Agama Hindu. Jadi yang memiliki upacara adalah Agama Hindu yang bersumber pada wahyu (ruti) Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda yang pokok-pokok ajaran dan pelaksanaanya diatur dalam tiga kerangka dasar Agama Hindu, yakni Tattva (raddh), Tata susila dan cra Agama (PHDI Pusat, 1988: 53). Untuk itu perlu dipahami pengertian yang terkandung dalam istilah adatistiadat dan Desa Adat secara lebih baik lagi.

Adapun yang dimaksud dengan adat adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut akhli Hukum Adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adatkebiasaan (Purwita,1984:4)

Bila kita perhatikan sungguh-sungguh, yang dimaksud dengan adat atau disebut juga adat Agama Hindu oleh masyarakat, tidak lain adalah wujud pelaksanaan cra agama yakni bentuk-bentuk

upacara Agama Hindu dengan berbagai rangkaiannya disamping juga yang tradisi yang bersumber dari pelaksanaan ajaran agama yang diwarisi secara turun temurun.

Selanjutnya istilah Desa Adat yang sekarang dikenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan desa saja. Tetapi dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah ditingkat bawah, maka terjadilah kerancuan pengertian desa. Oleh karena itu untuk memberikan pembedaan yang tegas maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing Desa Adat dan Desa Dinas atau Desa Administratif. Istilah ini secara tertulis pertama kali ditemukan dalam buku I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139)

Batasan tentang Desa Adat secara resmi (formal) telah dituangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan daerah Bali No. 06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa Desa Adat adalah : Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Bali (Perda) Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman menggantikan istilah Desa Adat menjadi Desa Pakraman yang menyebutkan, Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga, atau kahyangan desa, (Parimartha, 2003:136) menunjukkan bahwa desa pakraman adalah desa sebagai wahana aktivitas umat Hindu di daerah ini. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah Bali tersebut didirikan Majelis Utama Desa Pakraman, di tingkat provinsi dan Majelis Madya Desa Pakraman di tingkat kabupaten dan kota, dan di tingkat kecamatan disebut Majelis Alit Desa Pakraman yang mempunyai fungsi antara lain memelihara dan mengembangkan kehidupan beragama Hindu di Daerah Bali, melestarikan seni budaya dan adatistiadat yang merupakan warisan leluhur.

Demikian antara beberapa istilah atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan Agama Hindu sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya tetap

terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri karena tidak memahami apa yang kita miliki.

Fungsi dan peranan Desa Pakraman dalam pelaksanaan Agama Hindu

Desa Adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepunuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara agama yang berlangsung di Desa Adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa (Kaler, 1978:5)

Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri HitaKarana, maka jelaslah Desa Adat tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang berlaku sebagai anggota Desa Adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa Pakraman yakni dengan pemeliharaan bersama desa, fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa Pakraman untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa Pakraman.

Dalam membina hubungan yang harmonis antar sesama warga Desa Pakraman hendaknya selalu dikembangkan sikap Amulat arra (introspeksi dan toleransi) dengan suatu keyakinan bahwa semua makhluk (semua orang adalah sama) seperti di amanatkan dalam mantra suci Veda berikut :

Engkau telah terlindung dalam mengambil air di tempat yang sama. Aku nyatakan engkau seluruhnya dalam satu pengertian (Atharvaveda III.30.6.)

Bumi ini tempat tinggal (seluruh umat manusia), seperti sebuah keluarga, semua orang berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan yang berbeda, semuanya bersatu seperti dalam satu kandang sapi, semoga kesejahteraan berlimpah (Atharvaveda XII.1.45.)

Terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan di Desa Pakraman, di Bali dikenal adigium yang merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka (sa + luhung + luhung sa + bhaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah Bali disebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas dasar asas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa Adat merupakan bagian dari keluarga besar desa adat termasuk masalah kesejahtraan warganya. Bila hal ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.

Memperhatikan landasan dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa Pakraman yang paling menonjol bagi warga atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa). Dengan demikian fungsi atau peranan Desa Pakraman dalam pelaksanaan Agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci sebagai berikut :

1) Mengatur hubungan Krama Desa dengan Kahyangan 2) Mengatur pelaksanaan Paca Yaja dalam masyarakat 3) Mengatur penguasaan Setra 4) Mengatur hubungan antar sesama Krama Desa

5) Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainya milik Desa Pakraman. 6) Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig) 7) Menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian masyarakat Memberikan perlindungan hukum bagi Krama Desa 9) Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan 10) Menjunjung dan mensuseskan program pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati I Bali,1989/1990 :24 -25)

Bila Desa Adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa Adat untuk mewujudkan desa yang Suktgama, Tata Tentram Kertaraharja akan dapat di wujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa Adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)-nya untuk dapat dikembangkan sebaik-baiknya. Sabha-Sabha Desa atau Sangkepan dan Paruman Desa hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam memanage (mengurus) Desa Adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran Agama Hindu. Untuk itu pula aktivitas pembinaan kepada Krama Desa hendaknya terus dilakukan, misalnya menyosialisasikan keputusan-keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Desa Pakraman (Utama, Madya dan Alit) maupun kebijaksanaan pemerintah. Bila semuanya itu dilaksanakan dengan mantap, tidaklah mungkin terjadi kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh Desa Pakraman, misalnya perpecahan antar Krama Desa, meninggalkan Kawitan/leluhur (Atilar Kawitan), kumpul kebo (Mitra Ngalang) dan lain-lain.

Untuk lebih berfungsinya Desa Adat dalam mewujudkan Desa Sukertagama sebagai yang diharapkan, maka pembinaan kehidupan rohani (spiritual) warganya sangat mutlak diperlukan. Untuk itu usaha yang terus menerus menyelenggarakan penyuluhan Agama Hindu dan pembinaan kehidupan Agama Hindu pada umumnya hendaknya senantiasa diupayakan. Hubungan antara Prajuru Desa Adat dengan Kramanya dapat diibaratkan seperti hubungan orang tua (bapak-ibu) kepada anak-anaknya. Anak-anak akan berhasil meniti hidupnya bila mendapat pendidikan yang baik. Dalam hal ini prinsip disiplin pendidikan Catur Upaya Sandhi : Sma ( melihat sama semua warganya dan bersikap adil ), Bheda (dapat membedakan yang baik dengan yang nakal, rajin dan tulus), Dna (memberi hadiah / penghargaan kapada yang rajin ) dan Daa (menghukum memberikan perhatian kepada yang bersalah).

Usaha untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama bagi Krama Desa di mulai dari tiap-tiap individu dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat Hal yang penting adalah usaha untuk membiasakan diri secara rutin dan tekun untuk mengamalkan ajaran agama.

Bentuk-bentuk pengamalan ajaran agama atau Dharma dijabarkan dalam 7 jenis perbuatan seperti dinyatakan dalam kitab Vhaspati Tattwa, meliputi : 1. ila : perbuatan baik, 2. Yaja : pengorbanan Suci, 3. Tapa : pengkangan diri, 4. Dna : bersedekah/menolong orang lain, 5. Pravjya : mengembara menambah ilmu pengetahuan/kerohanian, 6. Bhiku atau Dika : melakukan penyucian diri 7.Yoga (senantiasa menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Was dan Bhara Kawitan/Leluhur, melalui sembahyang atau mengendalikan geraknya indra kita dapat bermeditasi kepada-Nya) dan tentunya ajaran-ajaran lain sebagai penuntun hidup, hendaknya secara kontinyu mesti didalami dan diamalkan oleh segenap umat Hindu dengan sebaik-baiknya.

Kasus-kasus Adat dan Penanganannya

Bila kita mengamati media massa baik surat kabar maupun eletronik (TV dan Radio), walaupun tidak banyak dan tidak terlalu sering, namun acap kali kita menemukan berita atau munculnya berbagai kasus-kasus Adat yang terjadi di berbagai desa Adat di Bali. Kasus-kasus itu tidaklah banyak bila kita bandingkan dengan jumlah desa Adat di seluruh Bali (sekitar 1.500 desa Adat), namun demikian mengingat publikasi oleh media massa, nampak terjadi kerawanan atau permasalahan yang sepertinya sulit dipecahkan oleh Desa Adat.

Kasus-kasus Adat sering sebenarnya bukanlah murni permasalahan agama dan Adat atau prajuru Desa Adat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang timbul di Desa Adat. Sering sekali bila kita dalam, kasus-kasus tersebut bermuatan politik, sentimen atau untuk kepentingan peribadi dan kelompok tertentu. Dalih Adat apalagi agama seakan-akan masyarakat Bali tidak berdaya dengan permasalahan yang dihadapi.

Bila kita perhatikan dengan seksama, kasus-kasus Adat dapat terjadi dalam hubungan antar individu yang bertentangan dengan norma agama terjadi di dalam desa Adat, misalnya kasus: Mitra Ngalang, Lokika Sanggraha, Badawasa (Homoseksual dan Lesbian), Salah Timpal (Sodomi), Gamya-Gamana (Incest), Cuntaka dan lain-lain.

Kasus-kasus Adat yang berhubungan dengan Krama Desa dan Wilayah Karang Desa dan Parhyangan diantaranya adalah : judian (sering dengan dalih Tabuh Rah/bila Perang Sata atau adu ayam untuk upacara agama mestinya tanpa taruhan apapun), pelacuran, anak yang lahir tidak ada orang tuanya (tidak ada mengakui), bayi/orok yang dibuang di Pelemahan Desa (termasuk Pakraman juga di wilayah Parhyangan), labapura (untuk dimaklumi bahwa pura diakui sebagai sebuah badan hukum, oleh karena itu berhak memiliki tanah laba) dan lain-lain.

Kasus-kasus Adat yang terkait dengan kesucian pura, misalnya kehilangan pratima, arca, bhusana pura dan lain-lain. Masalah pandita (siapa saja berhak sebagai pandita, prosedurnya meminta ijin kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten setempat), masalah kepemangkuan dan lain-lain.

Bila kita berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum Hindu yang telah diresepir dalam hukum Adat Bali dan berpedoman kepada keputusan-keputusan (juga Keputusan-Keputusan Seminar yang telah ditetapkan oleh) Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat maupun Majelis Pembina Lembaga Adat Propinsi Bali dan kini keputusan Sabha Majelis Utama Desa Pakraman serta perundang-undangan yang berlaku, maka kasus-kasus tersebut dengan mudah dapat diatasi. Dalam hal ini kearifan dan kebijaksanaan Prajuru Desa Adat sangat menentukan. Bilamana dalam menanganinya mengalami kebuntuan atau tidak terpecahkan, sebaiknya meminta petunjuk dari lembaga umat Hindu terkait maupun aparat Pemerintah dalam mencari jalan keluarnya. Dalam Hindu tidak dikenal Botleneck (jalan yang buntu), nisacaya terdapat saja jalan untuk mengatasi berbagai kasus yang muncul.

Hal yang perlu diperhatikan dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul adalah faktor psikologis. Umumnya masyarakat Bali seperti halnya masyarakat lainnya patut dan ingin dihargai, pelecehan dan sejenisnya menimbulkan ketersinggungan dan bila sudah tersinggung akan menjadi sentimen pribadi yang sulit untuk disembuhkan. Faktor ini hendaknya mendapat perhatian, sehingga dengan kearifan dan moral power yang dimiliki oleh para Prajuru Desa Pakraman, pemuka Agama dan pemuka masyarakat, maka berbagai kasus Adat akan mudah dapat ditangani.

Simpulan

Dilaksanakannya fungsi-fungsi dan peranan Desa Pakraman oleh Prajuru Desa Pakraman dan seluruh Krama Desa atau Warganya, mengantarkan warga Desa Pakraman mewujudkan tujuan Desa Pakraman, yakni masyarakat yang Suktgama dan Tata Tentram sesuai tujuan Agama Hindu. Untuk dapat memfungsikan Desa Adat semaksimal mungkin, maka usaha dari Prajuru, Sekaa Taruna-taruni serta seluruh warganya termasuk Aparat Desa Dinas (Pemerintah) dan lembaga-lembaga lainya dapat memahami peranan yang mesti di lakukan oleh Desa Pakraman, untuk itu pembinaan kepada semua Krama (warga) Desa Pakraman terutama dalam bidang keagamaan sangat diperlukan.

DESA PAKRAMAN Sistem Sosial Masyarakat Bali I Wayan Sukarma Dasar-dasar pokok sistem sosial kemasyarakatan orang Bali menurut Geria (2000:63) bertumpu pada empat landasan utama, yaitu kekerabatan, wilayah, agraris, dan kepentingan khusus. Ikatan kekerabatan telah membentuk sistem kekerabatan dan kelompok-kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan masyarakat Bali umumya berlandaskan prinsip patrilineal. Kelompok-kelompok kekerabatan merentang dari unit terkecil, yaitu keluarga inti, meluas ke unit menengah keluarga luas, sampai dengan klan patrilineal. Ikatan kesatuan wilayah terwujud dalam bentuk komunitas desa adat dengan sub-sistemnya banjar-banjar. Dalam bidang kehidupan agraris berkembang organisasi subak. Selanjutnya, dalam ikatan kelompok-kelompok kepentingan khusus terwujud sebagai organisasi sekaa. Ikatan kesatuan wilayah yang terwujud dalam bentuk komunitas desa pakraman lebih lanjut diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001. Dalam Perda tersebut dijelaskan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri. Dari Perda ini paling tidak dapat ditemukan enam unsur pokok yang membentuk desa pakraman, yaitu (1) kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali, (2) mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun, (3) dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), (4) mempunyai wilayah tertentu, (5) mempunyai harta kekayaan sendiri, dan (6) berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari keenam unsur itu dapat dipahami bahwa Perda tersebut hendak menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu. Seperti dijelaskan Sirtha (Astra,dkk. 2003:71) bahwa agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali memberikan corak yang khas bagi desa pakraman.

Kegiatan masyarakat adat dijiwai oleh agama Hindu yang dimanifestasikan dalam pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Substansi awig-awig desa pakraman, juga dikatakan dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan penjabaran dari falsafah Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan; (2) pawongan sebagai perwujudan hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial; dan (3) palemahan atau wilayah berupa perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Jadi, sistem dan struktur sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Hindu di Bali dibangun di atas kerangka Tri Hita Karana yang terdiri atas tiga gatra, yaitu parhyangan, pawongan, dan palemahan. Ini berarti bahwa desa pakraman merupakan satu kesatuan yang harmonis dari tiga gatra, yaitu krama desa sebagai gatra pawongan membutuhkan ruang untuk melaksanakan aktivitasnya berupa kewajiban hidup (dharma) di wilayah desa pakraman, yaitu gatra palemahan. Kenyataan bahwa manusia adalah bagian dari alam sehingga manusia mempengaruhi alam dan sebaliknya, alam juga mempengaruhi kehidupan manusia. Suriadiredja (Astra,dkk.2003:254) mengatakan bahwa untuk melangsungkan kehidupannya manusia akan selalu tergantung kepada lingkungannya, baik lingkungan alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial tempat mereka hidup berkelompok atau bermasyarakat. Ditegaskan bahwa manusia dapat mempengaruhi, bahkan mengubah lingkungannya. Oleh karena itu antara krama desa dengan alam lingkungan desanya terdapat satu jalinan yang satu sama lain saling mempengaruhi. Krama desa sebagai makhluk sosial membutuhkan jalinan komunikasi yang harmonis untuk memenuhi kepentingan bersama dalam suasana yang nyaman dan aman. Seperti dikatakan oleh Mircea Eliade (Susanto, 1987) bahwa manusia juga merupakan makhluk religius sehingga membutuhkan kebahagiaan batin (rohaniah). Untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan akan kebahagiaan yang bersifat rohaniah ini manusia berpaling dan berlindung serta bersujud ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu manusia (krama desa) mendirikan tempat-tempat suci (Pura) untuk memuja Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), yaitu gatra parhyangan. Desa pakraman dalam konteks tri hita karana sebagai wilayah (ruang), melalui awig-awignya dapat diketahui bahwa ada tiga hal pokok yang diatur, yaitu (1) sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; (2) sukerta tata pawongan, artinya menata hubungan harmonis antarkrama (manusia); dan (3) sukerta tata palemahan, artinya menata wilayah desa (tata ruang desa) agar tercipta lingkungan yang seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa desa pakraman ditata dalam sistem pemerintahan yang simpel dan fleksibel, sederhana. Akan tetapi sukerta tata agama, pawongan, dan palemahan merupakan refleksi dari hakikat dan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu. Hakikat hidup dalam pandangan Hindu merupakan kesatuan dan keseluruhan dari tiga penyebab kesejahteraan, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (Widhi, manusa, dan bhuwana). Tujuan hidup dirumuskan dengan kesejahteraan lahir batin (sukerta sekala dan niskala) dicapai melalui formulasi catur purusa artha, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Akan tetapi, konsep ideal ini tidak mudah diwujudkan dalam konteks praksis. Masih munculnya konflik berdimensi adat seperti, bentrokan antar-banjar atau perebutan setra, mengindikasikan bahwa desa

pakraman di Bali harus mengadakan evaluasi, pembelajaran, dan pendewasaan diri. Hal ini semakin berat dengan masuknya faktor-faktor eksternal seiring dengan menguatnya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, desa pakraman sebagai pengawal adat, budaya, dan agama Hindu Bali harus diberdayakan keberadaannya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Jangan sampai energi desa pakraman habis untuk mengurusi konflik internal, sementara penetrasi budaya global bergerak begitu cepat dan rumit. Tegasnya, desa pakraman (dulu disebut desa adat) yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan, dan pembangunan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Dalam perjalanannya, juga desa pakraman telah mampu menunjukkan fungsi, peranan, dan eksistensinya sebagai dinamisator dan stabilisator pada kehidupan sosial masyarakat di Bali. Namun demikian, desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat perlu mendapatkan kejelasan terkait dengan struktur dan kedudukannya dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penjelasan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, bagian Umum pasal 11 menyebutkan seperti berikut. Dalam pengukuhan otonomi desa pakraman, dasar desa pakraman adalah Pancasila dan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945. Dasar ini mengandung karakteristik filosofis yang membentuk nilai-nilai dasar keadilan, kebenaran, dan kepastian bagi setiap aturan yang ditetapkan dari tindakan yang dilakukan dalam lingkup tugas dan wewenang desa pakraman. Asas desa pakraman adalah kebudayaan Bali yang mengandung karakteristik hukumiah yang menjadi dasar sumber material aturan yang ditetapkan. Landasan desa pakraman adalah Tri Hita Karana yang mengandung karakteristik konstitutif yang menjadi tolok ukur spiritual etis bagi keseluruhan dasar-dasar yang disucikan dalam perikehidupan desa pakraman. Penjelasan ini mengandung makna bahwa keberadaan desa pakraman di Bali tidak bertentangan dengan dasar negara (Pancasila) dan sumber hukum tertinggi (UUD 1945). Dalam perkembangan lebih lanjut, keberadaan desa pakraman menjadi semakin kokoh secara yuridis dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan asas desentralisasi diarahkan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperlihatkan potensi dan keanekaragaman daerah yang menghormati kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa . Dalam kerangka UU No. 22/1999, desa pakraman telah memenuhi syarat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang keberadaannya diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Dengan berlakunya sistem otonomi daerah, maka payung hukum yang secara tegas melindungi dan mengatur desa pakraman adalah Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perda ini merupakan pengganti dari Perda Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Tingkat I Bali, yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Apabila dicermati lebih dalam tentang pergantian Perda No. 06/1986 menjadi Perda No. 3/2001, ada beberapa hal yang perlu disikapi bersama. Pertama, Perda desa pakraman bersifat fleksibel, yakni mengikuti perkembangan zaman sehingga dapat diganti dengan Perda yang baru apabila Perda yang lama dipandang tidak sesuai lagi. Fleksibilitas Perda ini berpretensi melahirkan dualitas makna. Di satu sisi, keberadaan desa pakraman akan tetap eksis

dalam segala zaman karena mampu berdaptasi dengan kondisi yang ada di setiap zaman. Namun di lain pihak, eksistensi desa pakraman akan sangat tergantung dengan produk hukum legislatif dan eksekutif yang memegang kekuasaan. Logikanya, ketika penguasa pada suatu saat memandang bahwa desa pakraman sudah tidak penting lagi, boleh jadi akan muncul Perda yang membubarkan desa pakraman. Setidak-setidaknya dapat muncul Perda yang membatasi fungsi, peranan, wewenang, dan kedudukan desa pakraman. Kedua, secara substansi desa pakraman sama dengan desa adat karena keduanya samasama didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Jika, persoalannya hanya perubahan nama, maka pertanyaannya adalah apakah Perda No. 3 Tahun 2001 ini juga dapat digunakan sebagai payung hukum Desa Adat yang tidak mau merubah diri menjadi Desa Pakraman ?. Mengingat dengan berlakunya Perda ini, maka Perda No. 6 Tahun 1986 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain itu, Perda No. 3/2001 juga tidak secara tegas mengatur kedudukan sekaa taruna sebagai organisasi yang hidup dan berkembang di banjar adat. Kalau demikian, apa payung hukum organisasi pemuda Hindu Bali ini. Merujuk pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa payung hukum desa pakraman dalam konteks NKRI sudah cukup memadai sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Namun demikian, Perda sebagai payung hukum desa pakraman masih memungkinkan munculnya multitafsir. Oleh karena itu, Perda ini hendaknya dipandang sebagai landasan yuridis formal bagi eksistensi desa adat di Bali. Selebihnya, peranan dan fungsi desa pakraman dalam mengatur kehidupan krama adat harus dikembalikan pada otonomi desa pakraman yang meletakkan awig-awig sebagai sumber aturan yang harus diikuti di wilayah desa pakraman tersebut. Sesuai dengan hakikat pengertian otonomi desa sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri jelas bahwa pelaksanaan kekuasaan seperti itu berlaku dalam wilayah desa yang bersangkutan. Jika diperhatikan dengan saksama mengenai kekuasaan Desa Pakraman, hingga saat ini dapat dibedakan atas 3 macam kekuasaan, yaitu sebagai berikut. 1. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan (awig-awig, eka ilikita, pararem) untuk menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam suatu rapat desa (paruman/sangkepan desa), untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan masyarakat, baik hubungan antara masyarakat sendiri (pawongan), hubungan masyarakat dengan alam lingkungan (palemahan) maupun anggota masyarakat dengan Sang Maha Pencipta (Parhyangan) yang dikenal dengan filsafat Tri Hita Karana. 2. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat sosial religius, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu Bali dan kaidah adat/dresta, mengembangkan kebudayaan, kesenian, memelihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan bermanfaa, untuk pembangunan jasmaniah maupun peningkatanan kesucian spiritual warga Desa Pekraman. 3. Kekuasaaan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan adanya pertentangan kepentingan antara warga desa atau berupa tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan bermasyarakat, baik melalui perdamaian maupun dengan memberikan sanksi adat. Klian atau Bendesa kerapkali menjadi hakim perdamaian di desa. Seiring dengan menguatnya pengaruh modernisasi dan budaya global, desa pakraman sebagai lembaga adat yang merepresentasikan tata nilai tradisional tentu akan menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Menurut teori-teori modernisasi, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat diamati

dari tingginya mobilitas penduduk, tingginya aktivitas pertukaran barang dan jasa, cepatnya perputaran uang, menjamurnya etalase-etalase kapitalis (seperti Mall, Ruko, Bar, Restoran, dll), dan sebagainya. Kemudian secara kultural, masyarakat modern dicirikan dengan menguatnya gaya hidup (life style) dan pencitraan diri (image). Selain itu, juga menguatnya pengarus nilai-nilai modern, seperti individualistis, materialistis, praksis (efektif dan efisien), demokratis, dan ketergantungan pada penggunaan informasi dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupannya. Kultur modern ini, setidak-tidaknya akan menyebabkan terjadinya benturan antara nilai modern dan tradisional dalam kehidupan di desa pakraman, sebagai berikut. (1) Dualitas desa (dinas dan adat) kerapkali menimbulkan masalah akibat kurang jelasnya job description masing-masing, juga tidak jarang muncul masalah dalam penarikan retribusi sumber-sumber ekonomi. (2) Benturan antara kepentingan ekonomi (pekerjaan/matapencaharian) dengan aktivitas adat yang frekuensinya cukup tinggi. Selain itu, ketidakmampuan penduduk lokal dalam bersaing dengan pendatang (new comers) terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi berujung pada anggapan bahwa adat memberatkan masyarakat dan menjadi penghalang untuk maju. (3) Munculnya pemikiran-pemikiran rasional dan radikal dari agen-agen perubahan di masyarakat, baik dari kalangan karismatik, intelektual, maupun pemilik kapital. Pemikiran ini tidak jarang bertentangan dengan pemikiran tradisional (renungan : bade/wadah menggunakan roda?; atau krematorium?). (4) Rasionalisasi awig-awig, yakni dipandang setaraf dengan sumber hukum positif menjadikan desa pakraman menerapkan aturan yang kaku kepada krama, bahkan untuk hal-hal yang semestinya dapat diselesaikan dengan musyawarah. (5) Fanatisme terhadap Desa Pakraman sendiri yang berlebihan sehingga mudah memicu selisih paham dengan Desa Pakraman yang lain. (6) Masuknya kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi ke dalam Desa Pakraman. (7) Masuknya aliran-aliran keagamaan baru yang pelaksanaannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu, menjadi alternatif bagi krama yang tidak mampu mengikuti padatnya aktivitas panca yadnya di desa pakraman. (8) Dicabutnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1957, yakni dihapusnya pengadilan adat Bali (raad van kertha) semakin melemahkan posisi adat dalam hubungannya dengan sengketa hukum. Misalnya, kasus pencurian pratima, sengketa tanah pelaba pura, pelanggaran radius kawasan suci, masalah perkawinan, perceraian, pengangkatan sentana, hak waris, tanah ayahan desa dan beberapa kasus adat lainnya diposisikan sebagai kasus hukum murni yang diselesaikan dengan hukum positif. Hal ini dapat mencederai rasa keadilan, terlebih lagi rasa agama dari krama adat karena dimensi adat di Bali erat kaitannya dengan agama Hindu. Di samping persoalan-persoalan di atas, masyarakat adat dan Hindu di Bali juga sedang mengalami tekanan dari berbagai faktor eksternal yang menyebabkan Bali berada dalam keterkepungan, baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Secara ideologi, masyarakat Bali berada dalam kegamangan ideologi akibat masuk dan berkembangnya ideologi asing dengan terbukanya Bali sebagai pertemuan lintas etnis, ras, bangsa, dan agama sebagai akses langsung pengembangan kepariwisataan di Bali. Secara politik, masuknya bermacam-macam partai politik ke Bali, baik disadari maupun tidak, akan menjadi alat bagi elit politik pusat untuk menggarap Bali. Ditambah lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang nantinya akan merepresentasikan kepentingan masyarakat Bali di tingkat

pusat. Bayangkan saja, bila suatu saat wajah DPD Bali dihiasi oleh orang yang bukan Bali, bahkan tidak beragama Hindu. Masyarakat Bali juga semakin terkepung dan kalah bersaing dalam bidang ekonomi, baik sektor informal maupun dalam persaingan bisnis andalan Bali, yakni industri pariwisata. Bidang sosial, budaya, dan agama yang sesungguhnya merupakan potensi unggulan masyarakat Bali, ternyata juga tak luput dari keterkepungan. Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, sesungguhnya telah menjadi sasaran bagi para misionaris Islam maupun Kristen untuk mengkonversi keyakinan masyarakat Bali ke kedua agama tersebut. Dalam kasus Islamisasi, setidak-tidaknya terjadi empat proses penting, yaitu demografis sosiologis konversi agama. Fenomenapolitis membanjirnya pendatang ke Bali, bukan tidak mungkin adalah bagian dari skenario ini. Dengan jumlah umat Islam di Bali yang semakin besar ini merupakan modal politik yang cukup signifikan untuk berebut kekuasaan di Bali. Sementara itu, dalam kasus Kristenisasi, lonjakan cukup berarti terjadi ketika bencana meletusnya Gunung Agung tahun 1963. Desa-desa yang terkena dampak letusan menjadi miskin dan tentu saja sangat memerlukan pertolongan. Di sinilah para misionaris bermain dengan membawa misi damai, cinta kasih, dan persaudaraan. Melalui berbagai bantuan berupa sandang, pangan, papan, dan biaya pendidikan secara perlahan-lahan misi ini mendapat simpati oleh masyarakat. Dengan janji mendapatkan keselamatan di akhirat, maka orang-orang Hindu ini mau beralih agama ke Kristen dan meninggalkan agama leluhurnya.Lebih jauh, metode yang diterapkan oleh misionaris Kristen di Bali antara lain sebagai berikut. (a) Metode kebudayaan misalnya, dengan menggunakan bahasa Bali dalam kebaktian, arsitektur gereja, dan yang cukup mencenggangkan adalah Injil berbahasa Bali yang salah satu ayatnya berbunyi Ida Sanghyang Widhi maduwe putra asiki aran Sanghyang Yesus . Metode ini cukup efektif untuk menciptakan opini masyarakat Bali bahwa Kristen tidak jauh berbeda dengan Hindu dan dengan masuk Kristen, orang Bali tidak akan kehilangan kebudayaannya. (b) Metode pendidikan, di samping dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada anak didik, juga dengan mendirikan sekolah-sekolah yang cenderung lebih bagus mutunya dari pada sekolah umum. (c) Metode bantuan sosial-ekonomi kepada masyarakat miskin dengan dalih kemanusiaan. (d) Metode perkawinan lintas agama (amalgamasi), mempelai Kristen harus tetap menjadi Kristen. Sebaliknya, calon mempelai beda agama harus masuk Kristen. (e) Metode pekerjaan, yakni memberikan kesempatan dan peluang kerja kepada umat non-Kristen untuk selanjutnya berusaha di-Kristen-kan. (f) Metode penyiaran (cetak/elektronik), yakni pemanfaatan media massa untuk melakukan siar agama. Metode-metode ini tampaknya cukup ampuh untuk mengkonversi umat Hindu yang kekurangan secara material, serta militansi dan pengetahuannya terhadap agama Hindu sangat lemah dan rapuh. Sementara itu, dalam menghadapi misionarisasi dari Islam dan Kristen, tampaknya umat Hindu Bali cenderung defensif. Artinya, terhindar atau tidaknya umat Hindu dari konversi ke agama lain sangat tergantung dari ketangguhannya dalam mempertahankan diri. Berbagai tantangan yang muncul di desa pakraman, baik faktor internal maupun eksternal tak ubahnya seperti sekeping mata uang logam. Dalam hal ini, boleh dikatakan sebagai tantangan, sekaligus menjadi peluang. Sebagai tantangan, apabila Desa Pakraman tidak mampu lagi menjaga eksistensi/jati dirinya sebagai institusi adat yang mengawal kelestarian adat, budaya, dan agama Hindu Bali. Sebaliknya, perubahan tersebut akan menjadi peluang bagi Desa Pakraman, untuk menumbuhkan sikap jengah

sehingga Desa Pakraman dapat lebih meningkatkan peranan dan fungsinya dalam menjaga alam Bali. Pemaparan mengenai sketsa tantangan Desa Pakraman di atas, pada prinsipnya ingin menggugah kesadaran bahwa segala perubahan yang terjadi di masyarakat hendaknya disikapi oleh Desa Pakraman. Dalam konteks ini, Desa Pakraman perlu membuka diri untuk melihat lebih luas dan mendalam berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Desa pakraman harus berani untuk think globally act locally (berpikir global, bertindak lokal). Artinya, akses ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikelola untuk menunjang eksistensi Desa Pakraman. Oleh karena itu, Desa Pakraman perlu mendapatkan sentuhan manajemen modern sehingga mampu menyesuaikan diri dengan penetrasi budaya modern yang begitu cepat. DAFTAR BACAAN Astra, I Gde. Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Persepektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Ubiversitas Udayana, dan CV Bali Media. Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Bali Pada Era Globalisasi: Pula Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya , Singaraja: Hasil Penelitian belum diterbitkan. Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya. Bosch, FDK. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia, Jakarta: Bhratara. Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali.