Dementia

35
Refrat DEMENSIA ALZHEIMER Oleh: Mirza Ariandi (0707101050047) Pembimbing: dr. Malawati, Sp. Kj BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 1

Transcript of Dementia

Page 1: Dementia

Refrat

DEMENSIA ALZHEIMEROleh:

Mirza Ariandi (0707101050047)

Pembimbing:

dr. Malawati, Sp. Kj

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH

2012

1

Page 2: Dementia

BAB 1

PENDAHULUAN

Demensia adalah sebuah sindrom penyakit otak yang bersifat kronis dan

progresif. di mana terjadi gangguan fungsi kortikal termasuk gangguan memori,

gangguan fungsi berpikir, gangguan orientasi, gangguan pemahaman, gangguan

menghitung, gangguan bahasa, dan tidak terjadi gangguan kesadaran. Demensia

adalah suatu kondisi konfusi kronik dan kehilangan kemampuan kognitif secara

global dan progresif yang di hubungkan dengan masalah fisik. Sindrom ini bisa

terjadi pada penyakit Alzheimer, penyakit serebrovaskular, dan dalam kondisi lain

yang dapat mempengaruhi keadaaan otak (Durand dan Barlow, 2006).

Demensia sering didapatkan pada pasien usia lanjut. Bahkan, penurunan

fungsi kognitif ini bisa dialami pada usia kurang dari 50 tahun. Sebagian besar

orang mengira bahwa demensia adalah penyakit yang hanya diderita oleh para

lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa saja dari semua tingkat

usia dan jenis kelamin. Untuk mengurangi risiko demensia, otak perlu dilatih

sejak dini disertai penerapan gaya hidup sehat. (Harvey, R. J., Robinson, M. S. &

Rossor, M. N, 2003).

Alzheimer’s Disease International (ADI) 2008 memperkirakan bahwa ada

sekitar 30 juta jiwa di dunia yang mengalami demensia dengan 4,6 juta yang

memiliki kasus-kasus baru disetiap tahunnya. Jumlahnya akan meningkat lebih

dari 100 juta jiwa pada tahun 2050. Perkiraan ini diperoleh berdasarkan penelitian

pada populasi terperinci terhadap prevelensi demensia di negara-negara yang

berbeda.

Hasil data epidemiologi mengungkapkan bahwa prevalensi terhadap

kecenderungan demensia pada negara berkembang lebih rendah dibanding pada

negara maju. Perbedaan ini bisa disebabkan karena kemampuan survive orang-

orang yang berada di negara berkembang lebih rendah dari pada orang-orang yang

ada pada negara maju. Alasan dikarenakan adanya perbedaan budaya, dalam hal

ini demensia ringan sering diabaikan dan deteksi dini terhadap faktor risiko yang

rendah seperti merokok dan penyakit kardiovaskular. Selain itu juga pada negara

2

Page 3: Dementia

miskin, hanya sedikit orang-orangnya yang mampu bertahan hidup sampai usia 65

tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk-bentuk ketidak

normalan dan tingkat mortalitas terjadi pada negara maju. Sehingga

pertanyaannya adalah akankah prevalensi demensia mengarah pada beban yang

semakin meningkat pada negara yang lebih miskin. Meskipun sekarang tampak

bahwa orang-orang dengan gangguan demensia hidup pada negara-negara

berkembang yaitu 60% pada tahun 2001 dan meningkat 71% di tahun 2040.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa meningkatnya usia harapan

hidup akan meningkatkan pula populasi demensia. Pengaruh lain dari

meningkatnya usia harapan hidup adalah meningkat pula penyakit kardiovakuler

antara lain stroke yang  meningkat pada usia 65 tahun dan telah diketahui dan

disepakati sebagai penyebab demensia vaskuler.

Beberapa penyakit demensia dapat disembuhkan sementara sebagian

besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar

peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia

adalah penyakit alzheimer, penyakit vaskular, demensia lewy body, demensia

frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.

50% – 60% penyebab demensia adalah penyakit alzheimer. alzhaimer adalah

kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak

dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita

alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan

juga penurunan proses berpikir. Pada referat kali ini yang akan dibahas khusus

demensia yang disebabkan oleh penyakit alzheimer.

Demensia Alzheimer merupakan denmensia yang paling sering (60%)

ditemui pada usia lanjut (setelah 65 tahun). Penyakit Alzheimer merupakan

penyakit neurodegenerative yang progresif dan kompleks, dengan etiologi yang

tidak diketahui. 90% demensia Alzheimer merupakan demensia late onset (diatas

65 tahun) dan non familial (sporadik) (Halim H & Tjahyanto, 2009).

3

Page 4: Dementia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demensia adalah gangguan fungsi otak yang bersifat progresif dan kronis

yang melibatkan kehilangan ingatan, ketidakmampuan mengenali berbagai objek

atau wajah, dan kesulitan dalam merencanakan dan penalaran abstrak. Keadaan

ini berhubungan dengan frustasi dan kehilangan semangat (Durand dan Barlow,

2006).

WHO dalam Clinical Deskriptions and Diagnostic Guidelines for Mental

and Behavioural Disorders dan International Classification of Diseases (10th

Revision) (ICD-10) (2008) demensia memiliki ciri-ciri yang harus ada

diantaranya:

1. Kemunduran kemampuan intelektual terutama memori yang sampai

menganggu aktivitas-aktivitas keseharian sehingga menjadikan penderita

sulit bahkan tidak mungkin untuk hidup secara mandiri.

2. Mengalami kemunduran dalam berfikir, merencanakan dan

mengorganisasikan hal-hal dari hari ke hari.

3. Awalnya, mengalami kesulitan menyebutkan nama-nama benda,

orientasi waktu, tempat.

4. Kemunduran pengontrolan emosi, motivasi, perubahan dalam perilaku

sosial yang tampak dalam kelabilan emosi, ketidak mampuan melakukan

ritual keseharian, apatis (tidak peduli) terhadap perilaku sosial seperti

makan, berpakaian dan interaksi dengan orang lain.

Demensia Alzheimer adalah demensia yang paling banyak terjadi dan

dicirikan oleh kemunduran intelektual yang progresif.

Penyakit alzheimer ditemukan pada tahun 1907 oleh Alois Alzheimer,

Alzheimer didefiniskan “suatu sindrom demensia progresif yang ditandai dengan

penurunan ingatan dan kemampuan kognitif, perilaku dan fungsional pasien

secara bertahap” (Dipiro and Joseph T, 2008)

4

Page 5: Dementia

2.2 Patofisiologi

Alois Alzheimer 1907 pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang

selanjutnya diberi nama dengan namanya, saat ia menggambarkan seorang wanita

berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama 45 tahun.

Terdapat beberapa mekanisme yang dikatakan sebagai penyebab tingginya

kadar plak neuritik dan neurofibrulary tangles (NTFs) pada area kortikal dan

lobus temporal bagian tengah antara lain (chrisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro,

2008).

a. Plak b-amyloid (hipotesis kaskade amyloid)

Plak amiloid merupakan endapan peptida beta amiloid (peptide rantai pendek,

39-43 asam amino), suatu strukutr sferis yang padat (diameter 20-200 mu),

tidak larut air, berada disekitar/diluar sel-sel neuron (plak ekstrasel) dan akan

tumbuh ke dalam sel-sel saraf membentuk neurofibrillary tangles. Beta amiloid

mengganggu homeostasis kalsium sehingga terjadi apoptosis sel-sel neuron

normal. Fungsi beta amiloid diduga terlibat dalam pembentukan neuron (Halim

H & Tjahyanto, 2009).

Peptida beta amiloid berasal dari suatu fragmen protein yang lebih panjang

yang disebut amyloid precursor protein (APP), suatu protein trans-membran

yang menembus membrane neuron. APP berfungis dalam pertumbuhan neurin,

kelangsungan hidup neuron dan perbaikan neuron pasca trauma. Pada penderita

Alzheimer, APP terpecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil melalui

proses proteolysis oleh enzim β dan secretase (sebabnya tidak diketahui).

Fragmen ini membentuk fibril-fibril beta amiloid yang terkumpul menjadi

deposit padat diluar neuron yang dikenal sebagai plak amiloid/snile plaque.

5

Page 6: Dementia

Gambar 1.1 hipotesis kaskade amyloid

b. Neurofibrillary tangles (NFTs)

Neurofibrillary tangles dalam neuron terdiri dari pasangan filament heliks,

berbentuk menyerupai serat dan tidak larut, NFTs pada penderita Alzheimer

dapat pula berasal daru protein tauo yang mengalami perubahan kimia

(hiperfosforilasi). Kelaianan saraf ini kemudian disebut dengan ”tauopathy”

akibat agregasi abnormal protein tauo. Deposisi intraseluler ini menyebabkan

disrupsi arsitektur sitoskeletal normal, yang menyebabkan disintegrasi system

transport neuron dan pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Normalnya,

pada orang –orang yang sudah lanjut usia, te rdapat plak amiloid (senile

plaque) dan Neurofibrillary tangles (NFTs), tetapi pada penderita Alzheimer

memiliki kedua struktur tersebut dalam jumlah yang sangat berlebihan didalam

strukutr otaknya (Halim H & Tjahyanto, 2009).

c. Hipotesis Kolinergik

Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk mentransmisikan

pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada penyakit Alzheimer, plak

dan tangles merusak jalur ini, menyebabkan kekurangan asetilkolin, sehingga

terjadi gangguan dalam belajar dan mengingat. Hilangnya aktivitas asetilkolin

berkorelasi dengan keparahan penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan

farmakologis penyakit Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi

kolinergik di otak. Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi

6

Page 7: Dementia

asetilkolin di celah sinaptik. Memblokir enzim ini mengarah ke peningkatan

kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro.

d. Abnormalitas Neurotransmitter Lain

Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita Alzheimer

mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara lain seperti

dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat adalah

neurotransmitter utama dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat dalam

memori, pembelajaran. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor

glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA) tidak berfungsi secara normal. Tampak

pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan

kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan

kematian saraf dan peningkatan produksi APP. Peningkatan produksi APP

dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan

hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine merupakan antagonis NMDA non-

kompetitif yang bekerja berdasarkan patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-

satunya agen di kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.

e. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak

Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu distribusi nutrien pada sel saraf

dan mengurangi pengeluaran protein β-amiloid dari otak. Peningkatan

konsentrasi kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit Alzheimer. Kolesterol

meningkatkan sintesis protein β-amyloid yang dapat memicu pembentukan

plak. Selain itu, apo E4 alel dianggap terlibat dalam metabolisme kolesterol

dan berhubungan dengan tingginya kolestrol.

f. Mekanisme Lain

Estrogen tampaknya memiliki sifat yang melindungi terhadap kehilangan

memori yang berhubungan dengan penuaan normal. Telah disarankan bahwa

estrogen dapat menghalangi produksi protein β-amyloid dan bahkan memicu

pertumbuhan saraf pada terminal saraf kolinergik. Estrogen juga merupakan

antioksidan dan membantu mencegah kerusakan sel oksidatif.

7

Page 8: Dementia

2.3 Genetika Penyakit Alzheimer (Halim H & Tjahyanto, 2009).

Penyakit Alzheimer merupakan penyakit genetika yang kompleks. Sebagian

besar kasusunya bukan kasus familial, tetapi mutasi gen merupakan faktor risiko.

Faktor lingkungan ikut berperan sebagai pencetus. Kurang dari 10% kasus

Alzheimer yang muncul sebelum usia 60 tahun (early onset) disebabkan oleh

mutasi gen autosomal dominan (Alzheimer’s famillier). Saat ini diketahui ada

empat gen yang berperan dalam penyakit Alzheimer familial, yaitu:

a. Gen APP (Amyloid Precursor Protein) pada kromosom 21

Gen APP mengkode amyloid precursor protein. Protein ini ditemui pada

banyak jaringan dan organ tubuh termasuk di otak dan medulla spinalis.

Didalam sel, amyloid precursor protein dipecah menjadi fragmen yang

lebih kecil (peptida), sebagian dilepas keluar sel. Dua fragmen disebut

sebagai soluble amyloid (sAPP) dan peptide beta amiloid. sAPP berperan

dalam pembentukan sel-sel saraf pada masa embrio dan jaringan otak

dewasa.

b. gen APOE (apolipoprotein E) pada kromosom 19

sejak 1993 telah diketahui bahwa sel g4 dari gen apolipoprotein e (APOE)

yang terletak pada kromosom 19. Merupakan faktor risiko genetik yang

besar untuk terjadinya penyakit Alzheimer’s familial late onset (onset

lambat) dan merupakan penyebab hingga 50% kasus alzheimer’s familial

late onset.

c. Gen PS-1 (presenillin-1) pada kromosom 14

d. Gen PS-2 (presenillin-2) pada kromosom 1

Mutasi gen APP dan presenillin meningkatkan produksi suatu peptide

Aβ42. Aβ42 merupakan suatu bentuk beta amiloid yang lebih

amiloidigenik, dapat teragregasi membentuk endapan plak amiloid. Gen

PS-1 dan PS-2 terutama berekspresi pada neuron dan glia namun

fungsinya belum diketahui. Mutasi gen APP, PS-1, dan PS-2

menyebabkan penyakit Alzheimer’s familial early onset, 50% kasus

familial early onset terjadi akibat mutasi gen APP, PS-1 dan PS-2. Mutasi

gen PS-1 menyebabkan 40% kasus familial early onset, tapi hanya 1%

alzheimer’s familial early onset akibat mutasi gen PS-2. Lebih dari 40

8

Page 9: Dementia

jenis mutasi gen PS-1, tapi hanya 3 jenis mutasi pada gen PS-2

teridentifikasi. Tidak jelas bagaimana mutasi pada gen presenillin

menyebabkan penyakit Alzheimer. Diduga gen presenillin berperan dalam

pengolahan amyloid precursor protein (APP) yang meningkatkan produksi

beta amiloid yang akan membentuk plak beta amiloid dan mutasi gen

presenillin dapat menunjang apoptosis neuronal.

2.4 Etiologi

Etiologi dari penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti.

Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan sedang diteliti ( Gen ApoE atau c-

secretase) (Dipiro et al, 2008).

Tabel 2.1 Faktor resiko menderita Alzheimer.

Faktor Resiko Keterangan

UmurMeningkat 2x tiap lima tahun setelah umur 65 tahun. Setelah umur 85 tahun, resiko meningkat hingga 50%.

Riwayat keluarga

Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai orangtua, saudara atau anak yang menderita Alzheimer, lebih berisiko untuk terkena Alzheimer dibandingkan dengan orang yang   tidak mempunyai riwayat keluarga.

GenetikAbnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada ras Kaukasian.

Cedera kepalaAda hubungan yang erat antara cedera kepala yang berat dan peningkatan resiko terjadinya Alzheimer.

Hubungan jantung-otak

Setiap kerusakan/gangguan pada jantung dan pembuluh darah akan meningkatkan risiko terjadinya Alzheimer.

Gaya hidupGaya hidup yang baik biasanya akan menghasilkan otak yang sehat dan memberikan perlindungan terhadap kemungkinan berkembangnya Alzheimer.

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan Gejala (Chisholm-burns et al, 2008)

Kognitif: kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi waktu dan

tempat, penilaian buruk atau menurun, masalah dengan belajar dan berpikir

abstrak, lupa tempat menyimpan sesuatu. Tahapan penurunan kognitif

berdasarkan stadium Alzheimer dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.

9

Page 10: Dementia

Tabel 2.2. Tahapan penurunan kognitif menurut GDS

Stage Tipe Level DeskripsiStage 1

Mild

Normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif

Stage 2 Pelupa

Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman, tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dan fungsi sosial. Umumnya

merupakan bagian dari proses penuaan yang normal

Stage 3Early

confusion

Ada penurunan kognisi yang menyebabkan gangguan fungsi sosial & kerja. Anomia,

kesulitan mengingat kata yang tepat dalam percakapan, dan sulit mengingat. Pasien

mulai sering bingung/anxiety

Stage 4Late

confusion (Early AD)

Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan dan aktivitas rumah tangga, sulit mengingat

peristiwa yang baru terjadi, mulai meninggalkan tugas yang sulit, tetapi

biasanya masih menyangkal punya masalah memori

Stage 5 Moderate

Early dementia (moderate

AD)

Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan orang lain. Sering terjadi disorientasi

(waktu, tempat), sulit memilih pakaian, lupa kejadian masa lalu. Tetapi pasien umumnya masih menyangkal punya masalah, hanya

biasanya menjadi curigaan atau mudah depresi

Stage 6

Severe

Middle dementia

(moderately severe AD)

Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari (mandi, berpakaian, toileting), lupa

nama keluarga, sulit menghitung mundur dari angka 10. Mulai muncul gejala agitasi,

paranoid, & mengalami delusi

Stage 7Late

dementia

Pasien tidak bisa bicara jelas (bergumam atau teriak), tidak bisa jalan atau makan

sendiri. Inkontensi urin dan feses. Kesadaran bisa berkurang dan akhirnya koma.

Chisholm-burns et al,2008

Non-kognitif: perubahan mood atau perilaku, perubahan dalam kepribadian,

atau kehilangan inisiatif.

Fungsional: kesulitan melakukan tugas yang familiar

2.6 Pemeriksaan Penunjang.

10

Page 11: Dementia

Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography (CT)

digunakan untuk mengukur perubahan dalam ukuran otak dan volume dan

menyingkirkan stroke, tumor otak, atau edema serebral.

Tes untuk mengecualikan kemungkinan penyebab demensia meliputi depresi

layar, vitamin B12, fungsi tiroid tes [thyroid-stimulating hormone (TSH)

dan triiodothyronine bebas dan tiroksin], jumlah sel darah lengkap, dan

kimia panel.

Tes diagnostik lain yang perlu dipertimbangkan untuk diagnosis diferensial:

tingkat sedimentasi eritrosit, urinalisis, toksikologi, dada x-ray, layar logam

berat, tes HIV, cairan serebrospinal (CSF), pemeriksaan

electroencephalography, dan neuropsikologi tes seperti Folstein Mini Mental

Status Exam (Chisholm-burns et al, 2008).

Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan penilaian menyeluruh,

dengan memperhatikan usia penderita, riwayat keluarga, awal dan perkembangan

gejala serta adanya penyakit lain (misalnya tekanan darah tinggi atau kencing

manis). Dilakukan pemeriksaan kimia darah standar. Pemeriksaan CT scan dan

MRI dimaksudkan untuk menentukan adanya tumor, hidrosefalus atau stroke.Jika

pada seorang lanjut usia terjadi kemunduran ingatan yang terjadi secara bertahap,

maka diduga penyebabnya adalah penyakit Alzheimer.

Diagnosis penyakit Alzheimer terbukti hanya jika dilakukan otopsi

terhadap otak, yang menunjukkan banyaknya sel saraf yang hilang.Sel yang

tersisa tampak semrawut dan di seluruh jaringan otak tersebar plak yang terdiri

dari amiloid (sejenis protein abnormal). Metode diagnostik yang digunakan untuk

mendiagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan pungsi lumbal dan PET (positron

emission tomography), yang merupakan pemerisaan scanning otak khusus.

Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat

secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan

sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan

ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan

gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-

refleks. Refleks tersebut merupakan petanda keadaan regresi atau kemunduran

kualitas fungsi.

11

Page 12: Dementia

2.7 Diagnosis Banding

Gejala awal dementia terutama penyakit Alzheimer sering menyelinap,

antara lain menjadi pelupa, cenderung salah menempatkan barang-barang dan

pengulangan kata-kata atau perbuatan. Kemampuan bicara atau sosialisasi

sementara masih baik. Bila dementia berlanjut,gangguan diatas makin memberat,

penderita mungkin tidak mampu bekerja, tidak mampu menangani keuangannya

dan sering tersesat. Gejala psikologik mungkin mulai terlihat, antara lain depresi,

kecemasan, tidak bias diam, apatis dan paranoid. Seringkali gejala ini dikeluhkan

oleh keluarganya. Beberapa gejala tersebut bisa memperberat dementia dan bias

sering dikendalikan dengan obat. Oleh karena itu penggunaan penapisan

gangguan kognitif sederhana(misalnya dengan tes PPSM=MMSE, terlampir)

harus selalu dikerjakan pada setiap penderita geriatrik. Adanya gangguan kognitif

berat harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lebih lanjut.

Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah pemeriksaan status

mentalmini atau Mini-Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini

berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian, daya ingat,

kemampuan bahasadan berhitung. Defisit lokal ditemukan pada demensia

vaskular sedangkan defisit global pada penyakit Alzheimer.

MMSE Folstein

12

Page 13: Dementia

Skoring: skor maksimum yang mungkin adalah 30. Umumnya skor yang kurang

dari 24dianggap normal. Namun nilai batas tergantung pada tingkat edukasi

seseorang pasien.Oleh karena hasil untuk pemeriksaan ini dapat berubah mengikut

waktu, dan untuk beberapa inidividu dapat berubah pada siang hari, rekamlah

tanggal dan waktu pemeriksaan ini dilakukan.

Berbagai dapatan fisik perlu dicari untuk membedakan jenis dementia

Hipertensi,gangguan kognitif, gangguan neurologic fokal mungkin mengarahkan

pada dementia multiinfark. Berbagai reflex patologik misalnya tanda glabellar,

menghisap dan palmomental tidak mempunyai arti spesifik, karena bisa terdapat

pada berbagai jenis dementia dan bahkan pada populasi lansia normal. Pada

Alzheimer lebih sering didapati tanda pelepasan lobus frontalis (Frontal lobe

release sign), stereognosis yang terganggu, grafestesia dan abnormalitas uji

serebelar. Ada pula skor iskemik Hatchinski yang digunakan untuk membedakan

demensia Alzheimer dengan demensia vaskular.

13

Page 14: Dementia

Bila skor ≥7: demensia vaskular. Skor ≤4: penyakit Alzheimer

2.8 Terapi Alzheimer

1. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi melibatkan pasien, keluarga, atau pengasuh untuk

mensupport, menghadapi dan memahami kondisi pasien. Hidup pasien dengan

penyakit alzheimer harus menjadi semakin lebih sederhana, terstruktur, dan

keluarga pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi perubahan dalam

kehidupan yang akan terjadi sepanjang penyakit menjadi lebih parah. Prinsip-

prinsip dasar dalam pengobatan pasien dengan Alzheimer meliputi :

a. Menggunakan pendekatan yang halus terhadap pasien

b. Menjamin rasa nyaman bila diperlukan

c. Berempati dengan masalah pasien

d. Menjalankan rutinitas sehari-hari secara tetap

e. Menyediakan lingkungan yang aman

f. Memberikan kegiatan di siang hari

g. Menghindari overstimulasi

h. Menggunakan barang-barang dekoratif yang akrab di ruang tamu

i. Menanggapi penurunan mendadak dalam fungsi dan penampilan dengan

perhatian yang lebih profesional

(Chisholm-burns et al, 2008)

14

Page 15: Dementia

2. Terapi Farmakologi

A. Farmakoterapi gejala kognisi

Terapi ini bertujuan mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda

perkembangan penyakit.

Golongan Inhibitor Kolinesterase

Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda

perkembangan penyakit adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak.

Inhibitor kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase yang menyebabkan

peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro.

Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik.

Inhibitor kolinesterase yang disetujui penggunaanya di Amerika Serikat untuk

pengobatan penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dan

galantamine (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).

a) Donepezil

Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit

Alzheimer taraf rendah hingga medium. Donepezil tersedia dalam bentuk

tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau

sesudah makan. Obat ini akan diberikan dosis rendah pada awalnya lalu

ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu. Efek samping yang sering terjadi

sewaktu minum Donepezil adalah sakit kepala, nyeri seluruh badan, lesu,

mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat badan turun,

kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekwensi buang air kecil

(Chisholm-burns et al, 2008).

b) Rivastigmine

Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati

penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Rivastigmine biasanya

diberikan dua kali sehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada

saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine

umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari, dan

secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu. Dosis maksimum

biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika pasien mengalami gangguan

15

Page 16: Dementia

pencernaan yang bertambah parah karena efek samping obat seperti mual dan

muntah, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan sebaiknya minum

obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis yang

sama atau lebih rendah (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).

c) Galantamine

Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan pagi dan

malam. Seringkali Galantamine diberikan dengan dosis rendah pada awalnya

yaitu 4 mg dua kali sehari untuk beberapa minggu dan dilanjutkan dengan 8

mg dua kali sehari untuk beberapa minggu pengobatan selanjutnya. Meskipun

demikian, beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih besar. Untuk

kapsul lepas lambat diminum satu kali sehari. Obat dari golongan

antikolinergik yang langsung masuk ke dalam otak, seperti Atropin,

Benztropin dan Ttriheksiphenil memberikan efek yang berseberangan dengan

Galantamine dan harus dihindari minum obat tersebut jika dalam pengobatan

dengan Galantamine. Efek samping yang sering terjadi dari Galantamine

adalah mual, muntah, diare, kehilangan berat badan. Efek samping ini

umumnya terjadi pada awal pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Efek

samping yang terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Minum

Galantamine sesudah makan dan minum dengan air yang cukup akan

mengurangi akibat efek sampingnya (Chisholm-burns et al, 2008).

Golongan Antagonis Reseptor NMDA

Golongan lain adalah antagonis reseptor NMDA. Pada penyakit Alzheimer,

salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal.

Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Golongan ini

bekerja dengan cara menghambat reseptor tersebut sehingga kenaikan ion

kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan kematian

saraf dan peningkatan produksi APP tidak terjadi. Peningkatan produksi APP

dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan

hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine saat ini satu-satunya agen di

kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.

16

Page 17: Dementia

Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit

Alzhaimer taraf sedang hingga berat. Obat ini diawali dengan dosis rendah 5

mg setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk mencapai dosis optimal

20 mg/hari.

(Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008)

Golongan Obat Non Konvensional

a. Estrogen

Penggantian estrogen telah dipelajari secara ekstensif untuk pengobatan

dan pencegahan AD. tidak semua epidemiologi studi menunjukkan

kejadian yang lebih rendah dari AD pada wanita yang memakai terapi

sulih estrogen postmenopausa. Hasil dari survei epidemiologi mendorong

peneliti untuk melihat penggunaan estrogen preventif dan sebagai

pengobatan untuk penurunan kognitif (Dipiro et al, 2008).

b. Agen Antiradang

Studi epidemiologi menunjukkan pelindung efek terhadap AD pada pasien

yang telah menggunakan NSAIDs. Pengobatan untuk kurang dari 2 tahun

dikaitkan dengan risiko relatif lebih rendah, namun durasi pengobatan

yang lebih lama menurunkan risiko ini lebih lanjut (Dipiro et al, 2008).

c. Lipid-Lowering Agents

Kepentingan dalam efek proteksi yang potensial pada pasien AD adalah

agen penurun lipid (Lipid-Lowering Agents), khususnya 3-hidroksi- 3-

methylglutaryl-koenzim A reduktase inhibitor. Studi epidemiologi

menunjukkan hubungan antara tinggi usia pertengahan, kadar kolesterol

total dan AD. Uji klinis prospektif perlu dilakukan, seperti uji untuk

mengatasi kognitif, durasi efek pengobatan, efektivitas individu agen, dan

dosis yang optimal. Simvastatin telah dipelajari dalam satu percobaan

klinis menunjukkan penurunan βAP pada pasien dengan AD yang ringan,

tetapi tidak pada pasien dengan tingkat penyakit yang parah. Atorvastatin

saat ini sedang dipelajari dalam uji klinis (Dipiro et al, 2008).

d. Antioksidan

Berdasarkan teori patofisiologis yang melibatkan oksidatif stres dan

akumulasi radikal bebas di AD, telah berkembang tentang penggunaan

17

Page 18: Dementia

antioksidan dalam pengobatan AD. Vitamin E seringkali

direkomendasikan sebagai pengobatan adjunctive untuk pasien AD. Efek

samping yang terjadi dengan mengkonsumsi vitamin E adalah gangguan

hemostasis, kelelahan, mual, diare dan nyeri perut. Vitamin E dapat

menyebabkan pendarahan jika digunakan bersama dengan obat lain seperti

aspirin, ibuprofen atau naproxen. Sebuah analisis menemukan bahwa dosis

tinggi vitamin E meningkatkan kematian pada orang yang berusia lanjut.

Untuk itu, perlu menghindarkan pemberian vitamin E dalam dosis tinggi

per hari pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).

e. Ginkgo biloba

Ginkgo biloba adalah ekstrak dari tanaman Ginkgo yang mengandung

bahan-bahan yang mempunyai efek yang positif pada sel-sel otak dan

tubuh. Ginkgo biloba memiliki efek antioksidan dan anti-inflamasi yang

dapat melindungi membran sel, dan mengatur kerja dari sistem saraf.

Produk dari metabolisme oksidatif, seperti radikal bebas, dapat merusak

sel saraf (neurotoksik). Ginkgo biloba dapat mengurangi kerusakan saraf

yang terjadi akibat radikal bebas tersebut dan secara potensial dapat

memperlambat onset dan progresivitas penyakit Alzheimer (Chisholm-

burns et al, 2008 ; Dipiro et al, 2008).

B. Farmakoterapi Gejala Non-kognitif

Inhibitor kolinesterase dan memantine

Uji klinis dengan inhibitor Kolinesterase telah secara konsisten melaporkan

manfaat sederhana dalam mengelola gejala neuropsikiatri, meskipun ini umumnya

bukanlah hasil utama yang dipelajari dalam percobaan. Dalam, percobaan

placebo-controlled yang prospektif dan acak, Donepezil secara signifikan

merubah gejala perilaku AD (Alzeimer Disesase) selama minimal 3 bulan. Bukti

menunjukkan galantamine dan rivastigmine memiliki manfaat efikasi yang sama.

Memantine menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan selama minimal 6

bulan, baik dengan dosis tunggal atau dalam kombinasi dengan cholinesterase

inhibitor. Perawatan ini dalam jangka pendek dapat memberikan perbaikan dan

mungkin memperlambat perkembangan dan progres dari gejala penyakit. Inhibitor

18

Page 19: Dementia

Kolinesterase dan memantine dapat dianggap sebagai terapi lini pertama dalam

pengelolaan awal gejala perilaku pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).

Antipsikosis

Antipsikotik banyak digunakan dalam pengelolaan gejala neuropsikiatri pada

pasien AD. Ada bukti sederhana yang meyakinkan bahwa sebagian besar

antipsikotik atipikal memberikan beberapa manfaat bagi gejala neuropsikiatri

tertentu, namun data ini telah cukup untuk mendapatkan persetujuan Food and

Drug Administration sebagai indikasi untuk pengelolaan gejala perilaku pada

pasien AD. Berdasarkan meta-analisis terakhir, hanya 17% sampai 18% dari

pasien demensia menunjukkan respon dari pengobatan atipikal antipsikotik. Efek

buruk yang terkait dengan atipikal antipsikotik adalah mengantuk, gejala

ekstrapiramidal, gaya berjalan yang abnormal, kognisi memburuk, kejadian

serebrovaskular, dan peningkatan risiko kematian. Antipsikotik tipikal juga dapat

dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian kecil, serta efek ekstrapiramidal

lebih parah dan hipotensi. Secara keseluruhan, ada harapan yang moderat dan

potensi bahaya yang juga harus dipertimbangkan terkait dengan penggunaan

antipsikotik pada pasien dengan AD (Dipiro et al, 2008).

Antidepressan

Gejala depresi yang umum pada pasien dengan AD, terjadi pada sebanyak

50% dari pasien. Apatisme mungkin bahkan lebih sering, namun gejala ini

mungkin sulit untuk dibedakan pada pasien demensia. Dalam prakteknya,

pengobatan dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dimulai paling

sering pada pasien dengan AD, berdasarkan profil efek samping dan bukti

keberhasilan. Manfaat telah ditunjukkan dengan sertraline, citalopram, fluoxetine,

dan paroxetine, meskipun paroxetine menyebabkan efek antikolinergik lebih besar

dari SSRI lainnya. Serotonin / norepinefrin reuptake inhibitor seperti venlafaxine

mungkin menjadi alternatif. Fungsi serotonergik juga mungkin memainkan peran

dalam beberapa gejala perilaku lain dari AD, dan beberapa studi mendukung

penggunaan SSRI dalam pengelolaan perilaku, bahkan dalam ketiadaan depresi.

Antidepresan trisiklik memiliki khasiat mirip dengan SSRI, namun umumnya

harus dihindari karena aktivitas antikolinergiknya (Dipiro et al, 2008).

19

Page 20: Dementia

Terapi lainnya

Antipsikotik dan terapi antidepresan telah menunjukkan efikasi moderat dan

hanya menimbulkan resiko efek samping yang tidak diinginkan, obat-obat lainnya

dapat digunakan untuk mengobati perilaku mengganggu dan agresi pada

gangguan kejiwaan dan neurologis lainnya telah diusulkan sebagai pengobatan

alternatif yang potensial. Alternatif tersebut adalah benzodiazepin, buspirone,

selegiline, karbamazepin, dan asam valproat. Oxazepam khususnya, telah

digunakan untuk mengobati kecemasan, agitasi, dan agresi, tapi obat–obat

tersebut umumnya menunjukkan khasiat rendah bila dibandingkan dengan

antipsikotik. Gejala nonkognitif adalah aspek yang paling sulit dari AD untuk

pengasuh. Antipsikotik dan antidepresan telah berguna untuk manajemen yang

efektif dari perilaku, psikotik, dan gejala depresi pasien, sehingga mengurangi

beban pengasuh dan memungkinkan pasien untuk menghabiskan waktu tambahan

di rumah. Efek samping tetap menjadi perhatian penting pada pengobatan pasien

(Dipiro et al, 2008).

2.9 Pencegahan Dan Perawatan

a. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol

dan zat adiktif yang berlebihan

b. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan

setiap hari, mengisi TTS

c. Melakukan kegiatan yang dapat membuatmental sehat dan aktif

d. Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.

e. Tetap berinteraksi dengan lingkungan,berkumpul dengan teman yang

memilikipersamaan minat atau hobi (sesama lansia)

f. Mengurangi stress dalam pekerjaan danberusaha untuk tetap rileks dalam

kehidupan seehari-hari

2.10 Prognosis

Penyakit Alzheimer adalah selalu progresif. penelitian yang berbeda telah

menyatakan bahwa penyakit Alzheimer berkembang lebih dari dua sampai 25

tahun dengan pasien yang paling dalam rentang delapan sampai 15 tahun.

20

Page 21: Dementia

Meskipun demikian, mendefinisikan ketika penyakit Alzheimer dimulai, terutama

dalam retrospeksi, bisa sangat sulit. Pasien biasanya tidak mati langsung dari

penyakit Alzheimer. Mereka mati karena mereka memiliki kesulitan menelan atau

berjalan dan perubahan-perubahan ini membuat infeksi yang luar biasa, seperti

pneumonia , jauh lebih mungkin.

Sebagian orang dengan penyakit Alzheimer dapat tetap di rumah selama

beberapa bantuan diberikan oleh orang lain sebagai penyakit berlangsung. Selain

itu, sepanjang perjalanan banyak penyakit, individu mempertahankan kemampuan

untuk memberi dan menerima cinta, berbagi hubungan interpersonal yang hangat,

dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang berarti dengan keluarga dan

teman-teman.

Seseorang dengan penyakit Alzheimer mungkin tidak lagi dapat

melakukan matematika tetapi masih mungkin dapat membaca majalah dengan

kesenangan. Bermain piano mungkin menjadi terlalu stres dalam menghadapi

kesalahan meningkat, tetapi bernyanyi bersama dengan orang lain mungkin masih

memuaskan. papan catur mungkin harus disingkirkan, tapi bermain tenis mungkin

masih menyenangkan. Jadi, meskipun banyak saat-saat menjengkelkan dalam

kehidupan pasien dengan penyakit Alzheimer dan keluarga mereka, masih banyak

peluang untuk interaksi positif. Tantangan, frustrasi, kedekatan, kemarahan,

kehangatan, kesedihan, dan kepuasan semua mungkin dialami oleh mereka yang

bekerja untuk membantu orang dengan penyakit Alzheimer.

Reaksi pasien dengan penyakit Alzheimer's penyakit dan atau dia

kapasitasnya untuk mengatasinya juga berbeda-beda, dan mungkin tergantung

pada faktor-faktor seperti pola kepribadian seumur hidup dan sifat dan tingkat

keparahan stres di lingkungan terdekat. Depresi, kegelisahan paranoid, parah, atau

delusi dapat menyertai atau hasil dari penyakit, tetapi kondisi ini sering dapat

diperbaiki dengan perawatan yang tepat. Although there is no cure for Meskipun

tidak ada obat untuk penyakit Alzheimer, perawatan yang tersedia untuk

mengurangi banyak gejala yang menyebabkan penderitaan.

21

Page 22: Dementia

BAB III

KESIMPULAN

Dengan meningkatnya populasi usia lanjut di Indonesia, berbagai masalah

kesehatan dan penyakit yang khas terdapat pada usia lanjut akan meningkat. Salah

satu masalah kesehatan yangakan banyak dihadapi adalah gangguan kognitif yang

bermanifestasi secara akut berupa konfusio (gagal otak akut) dan kronis berupa

dementia (gagal otak kronis). Peranan assessment geriatrik dalam diagnosis kedua

masalah tersebut sangat besar, karena meningkatkan ketepatan diagnosis pada

konfusio dan menyingkirkan diagnosis jenis dementia yang reversibel.

Penatalaksanaan konfusio tergantung dari diagnosis yang didapatkan. Pada jenis

dementia primer, terutama penyakit Alzheimer atau dementia senilis tipe

Alzheimer, walaupun pengobatan untuk penyakit primer saat ini belum

dimungkinkan, penatalaksanaan berbagai aspek perilaku baik dengan atautanpa

obat-obatan masih dimugkinkan. Berbagai obat yang bersifat penghambat anti-

kholinesterase, yang bertujuan untuk meningkatkan kadar asetilkholin sesuai

denganpathogenesis penyakit Alzheimer, antara lain inhibitor kholin esterase dan

inhibitor N-metil D-aspartat, saat ini sdah ada pemasaran, walaupun terhambat

oleh harga dan faktor penggunaannya harus seumur hidup

22

Page 23: Dementia

DAFTAR PUSTAKA

1. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi

Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar

2. Harvey, R. J., Robinson, M. S. & Rossor, M. N. (2003). The prevalence and

causes of dementia in people under the age of 65 years. Journal Neurosurg

Psychiatry, 74: 1206-1209.

3. Mace, N. L. & Rabins, P. V. (2006). The 36-hour day: a family guide to caring

for people with Alzheimer disease, other dementias, and memory loss in later

life (4th Ed.) Baltimore, USA: The Johns Hopkins University Press.

4. Grayson, C. (2004). All about Alzheimer. Retrieved on October 2006 from

http://www.webmd.com/content/article/71/81413.htm.

5. Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacoterapy a Pathophysiologic Approach 7th

edition, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA

6. Halim H & Tjahyanto, 2009, Demensia Alzheimer Pada Penderita Sindrom

Down, Majalah Kedokteran Damianus Vol. 8 No.2.

23