Del Sastra

download Del Sastra

of 22

Transcript of Del Sastra

SASTRA LISAN Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan (dari muluy ke mulut).Pada dasarnya sastra lisan dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa inggris oral literature. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa belanda orale letterkuade. Kedua pendapat mengenai istilah sastra lisan di atas dapat dibenarkan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah istilah itu dalam dirinya sendiri mengandung kontradiksi. Oleh sebab itu, kita harus dapat mengerti dan memahami apa pengertian sastra lisan dan pembagian pembagiannya maupun asal usulnya. Maka dengan pembahasan mengenai sastra lisan ini, diharapkan penulis maupun pembaca dapat memahami sastra lisan. Baik penggolongan ciri dan perkembangannya dalam kehidupan masyarakat baik masyarakat trdisional maupun masyarakat modern. A. Sastra Lisan Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris oral literaturs. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah itu berasal dari bahasa Belanda orale letterkunde. Kedua pendapat itu dapat dibenarkan, tetapi yang menjadi soal adalah bahwa istilah itu dalam diirinya sendiri sebenarnya mengandung kontrakdiksi (pinnegan, 1977: 167), sebab kata literature (sastra) itu merujuk pada kata literae, yang bermakna letters. Dalam karangannya yang berjudul What is Literature, hal itu juga dikemukakan oleh Rene Wellez sarjana besar ini mengatakan istilah literature. Menurut Rene Wellek, istilah literature itu sebenarnya tidak menguntungkan sebab di dalamnya tidak mencakup apa yang dinamakan sastra lisan. Begitulah masalah yang ada antara istilah sastra lisan dengan tulisan atau cetakan. Hal ini kiranya tidak dipersoalkan orang. Konsep istilah ini kini bermakna sebagai berikut: Yang dinamakan sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusatraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun menurunkan secar lisan (dari mulut kemulut). Di Negara-negara Asia dan Afrika sastra lisan atau kesusastraan ini sangat berperan penting dalam masyarakat, sebab masyarakat masih banyak yang buta huruf (umumnya para petani pendesaan). Dengan begitu, apa yang dinamakan dalam masyarakat sastra tulis trasdisional (yang ada di istana-istana , pusat-pusat agama, dan lain-lain). Serta sastra modern (bukubuku cetakan yang banyak dijumpai di kota) hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupnan satra. B. Folklore Sastra lisan sering dikaitkan orang dengan apa yang dinamakan folklore. Istilah folklore pada mulanya adalah ciptaan Jhon Thoms kira kira pertengahan abad ke-19). Istilah ini digunakan untuk mengganti istilah popular antiouities. Menurut Jhon Thoms istilah yang terakhir tidak tepat untuk merujuk pada fenomena-fenomena yang hidup dan yang masih mendapt tempat dalam kehidupan sekelompok penduduk di luar kota di negeri Inggris pada waktu itu. Di Indonesia apa yang dinamakan dengan folklore itu merupakan ilmu yang masih baru. Dalam

hubungan ini orang tak banyak tahu kat folklore itu berasal dari dua perkataan Inggris, yaitu Folk dan Lore. Menurut seorang ahli folklore Amerika, yaitu Alan Dundes, yang dimaksud dengan folk itu adalah kelompok orang orang yang mempunyai cirri-ciri pengenal kebudayaan yang ciricirinya tadi dapat membedakannya dari kelompok lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi dari folk. Ia diwariskan turun- temurun melalui cara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan perbuatan. Folklore itu mempunyai ciri-ciri khusus. Menurut Jan Harold Brunvand dalam bukunya The Study of American Folklore (1968), halaman 4, folklore mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) It is oral; It is traditional; It exists in different versions; It is usually anonymous; It tonds to become formularized.

Jadi, folklore itu disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi , yang kadang-kadang penuturannya itu disertai dengan perbuatan ( misalnya, mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang). Konsep folklor itu sebenarnya mencakup beberapa hal, yaitu : 1. Sastra lisan 2. sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan masyarakat kota kecil. 3. Ekspresi budaya, mencakup : o Teknologi budaya. o Pengetahuan rakyat o Kesenian dan rekreasi ( arsitektur tradisional,kerajinan rakyat,seni pandai gamelan, pengobatan tradisional, ilmu firasat, numerologi atau ilmu petungan, seni ukir, tari-tarian, dan permainan). Khusus untuk bangsa-bangsa Afrika dan Asia kesenian, kesusastraan dan ekspresi intelektual estetik lain yang bersifat agama besar formal , agama, metropolitan, semua tidak dimasukkan ke dalam konsep folklor. Hal hal tersebut oleh Jan Harold Brunvand dibuat lebih terperinci lagi. Oleh beliau bahan bahan folklor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1. Verbal folklor ( folklor lisan ) 2. Partly verbal folklor ( folklor setengah lisan ) 3. Non verbal folklor ( folklor bukan lisan ). Dalam hubungan dengan folklor lisan, maka bahan bahan itu mencakup :

1. Ungkapan tradisional ( peribahasa, pepatah ). 2. Nyanyian rakyat. c. Bahasa rakyat ( dialek, julukan,sindiran, wadanan, bahasa rahasia,dan lain d. Teka teki, dan e. Cerita rakyat ( dongeng, dongeng suci ( mite ) legenda dan lain lain ). Yang termasuk folklor setengah lisan adalah bahan bahan folklor yang berupa : a. Drama rakyat ( ketoprak, ludruk, lenong, wayang dan lain lain ). b. Tari ( serimpi, kuda lumping, dan lain lain ). c. Kepercayaan dan takhyul. d. Upacara upacara ( ulang tahun, perkawinan, kematian, sunatan dan lain e. Permainan rakyat dan hiburan rakyat ( macanan, gobak sodor dan lain lain ). f. Adat kebiasaan ( gotong royong, batas umur pengkhitanan anak dan lain g. Pesta rakyat ( wetonan, sekaten dan lain lain ). Folklor bukan lisan di bagi menjadi dua yaitu yang berupa materil dan bukan materil. Yang termasuk materil adalah : mainan ( boneka ), makanan dan minuman, peralata n dan senjata, pakaian dan perhiasan dan lain lain. Sedangkan yang termasuk dalam bukan materil adalah : musik, ( gamelan sunda, jawa, bali ) dan bahasa isyarat mengangguk berarti setuju dan lain lain. C. Tradisi Lisan Istilah tradisi lisan ini merupakan terjemahan dari bahasa dari Inggris oral tradition. Adapun istilah ini hanpir sama pengertiaanya dengan konsep folklore, bedanya hanya terletak pada unsur-unsur yang di transmisi secara lisan, yang kadang-kadang diikuti dengan tindakan. Menurut keputusan atau rumusan UNESCO, yang dinamakan tradisi lisan itu adalah : those traditions wgich have been transmitted in time and space by the word and act, yang kira kira artinya : tradisi yang ditransmisi dalam waktu ydan ruang dengan ujaran dan tindakan. (Anvisory Committee, 1981). Dengan begitu tradisi lisan, itu mencakup beberapa hal. Yaitu: 1) Yang berupa kesusastraan lisan 2) Yang berupa teknologi tradisional 3) Yang berupa pengetahuan folk di luar pusat pusat istana dan kota metropolitan lain). lain ) lain.

4) Yang berupa unsur unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama agama besar 5) Yang berupa kesenian folk di luar pusat pusat istana dan kota metripolitan, 6) Yang berupa hukum adat.

Pengertian SemiotikPosted on September 30, 2010 by tagratis Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian tanda. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia,2007). Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas. Semiotik Semantik (semiotic semantic) Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan arti yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau arti yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya. TEORI SEMIOTIK C.S Peirce Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang

berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan. Ferdinand De Saussure Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata anjing (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (Sobur, 2006). Roland Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya

beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006). Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. Baudrillard Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006). Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya mengada-ada. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat luar biasa agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah direkayasa agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

J. Derrida Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitaspada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung sesat atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai klasik yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, berpengalaman, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai fokus ke atas yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang mempertemukan jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (menghancurkan atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut. Umberto Eco Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi

konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean. Eco menggunakan kode-s untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kodes bisa bersifat denotatif (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau konotatif (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Ogden & Richard Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian). Semiotika Teks Pengertian teks secara sederhana adalah kombinasi tanda-tanda (Piliang, 2003). Dalam pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu : Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual.Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006). Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna

sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap BIDANG TERAPAN SEMIOTIK Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain : 1. Semiotika binatang (zoomsemiotic) 2. Tanda tanda bauan (olfactory signs) 3. Komunikasi rabaan (tactile communication) 4. Kode kode cecapan (code of taste) 5. Paralinguistik (paralinguistics) 6. Semiotika medis (medical semiotics) 7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics) 8. Kode kode musik (musical codes) 9. Bahasa bahasa yang diformalkan (formalized languages) 10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets, secret codes) 11. Bahasa alam (natural languages) 12. Komunikasi visual (visual communication) 13. Sistem objek (system of objects) 14. Struktur alur (plot structure) 15. Teori teks (text theory)1 16. Kode kode budaya (culture codes) 17. Teks estetik (aesthetic texts)

18. Komunikasi Massa (mass comunication) 19. Retorika (rhetoric) Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain : 1. MEDIA Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks mediamassa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan. Untuk teknik teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah : 1. Teknik kuantitatif Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode metode yang digunakan. 2. Teknik kualitatif Pada analisis kualitatif, data data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan. Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4) 1. Pendekatan Politik-Ekonomi Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. 2. Pendekatan Organisasi Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan kekuatan eksternal di luar diri pengelola media. 3. Pendekatan Kulturalis Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari

kekuatan kekuatan politik-ekonomi di luar media.Secara teoritis, mediamassa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan. Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman : 1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik praktik signifikasi. 2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik praktik kekuasaan. 3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik praktik produksi. Praktik praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994) antara lain: Kekuasaan Ekonomi dilembagakan dalam industri dan perdagangan. Kekuasaan Politik dilembagakan dalam aparatur negara Kekuasaan Koersif dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter. 2. Periklanan Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) : Penanda dan petanda Gambar, indeks, simbol Fenomena sosiologi Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk Desain dari iklan Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut. Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu : o Pesan Linguistik Semua kata dan kalimat dalam iklan

o Pesan yang terkodekan Konotasi yang muncul dalam foto iklan o Pesan ikonik yang tak terkodekan Denotasi dalam foto iklan 3. Tanda NonVerbal Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata kata dan bahasa. Tanda tanda digolongkan dalam berbagai cara : Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal. Namun tidak keseluruhan tanda tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia. Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain : Langkah Pertama - Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti. Langkah Kedua - Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep konsep pada tanda nonverbal. Langkah Ketiga - Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya. Langkah Keempat Merupakan langkah terpenting menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga. 4. Film Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Van Zoest film dibangun dengan tanda semata mata. Pada film digunakan tanda tanda ikonis, yakni tanda tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan

ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar. Sardar & Loon Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena. 5. Komik Kartun Karikatur Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan komik, kartun, serta karikatur.Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, suratkabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan bahasa teks. Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian. Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum. Tommy Christomy Secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.Untuk menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut. Setiawan Komik-kartun penuh dengan perlambangan perlambangan yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan tafsiran 6. Sastra

Santosa Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika. Aminudin Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi : Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca. Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret Junus Pradopo - Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Preminger - Studi semiotika sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. 7. Musik Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik. Aart van Zoest Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan : Untuk menganggap unsur unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala gejala neurofisiologis pendengar, Untuk menganggap gejala gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.

Untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial. Untuk menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah.

Sastra Lama Dan Sastra Modern Posted by Shelter Cloud at 10:32 PM | 28 January 2010 | 0 comments Labels: Artikel Sastra

Dalam artikel sebelumnya kita telah membahas tentang penggolongan sastra berdasarkan media yang digunakan yaitu ada yang disebut dengan sastra lisan dan sastra tulis. Kali ini kita akan membahas pembagian atau jenis-jenis sastra. Sastra dapat digolongkan menjadi beberapa bagian. Berikut adalah pembagian sastra berdasarkan waktu atau masa dimana sastra tersebut tumbuh dan berkembang dalam masyarakat:

A. Sastra Lama Sastra lama adalah sastra yang lahir dan tumbuh pada masa lampau atau pada masyarakat Indonesia lama. Sastra lama juga biasa disebut sebagai sastra klasik. Sastra lama tumbuh dan berkembang seiring dengan kondisi mssyarakat pada zamannya. Oleh karana itu sastra lama mempunyai nuansa kebudayaan yang kental dan memiliki corak yang lekat dengan nilai dan adat istiadat yang berlaku di dalam suatu daerah atau masyarakat tertentu. Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik adatistiadat, budaya maupun bahasa. Setiap suku atau daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan cita rasa sastranya masing-masing. Prularisme ini tentu sangat menpengaruhi dan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.

Berikut adalah ciri dari sastra lama: 1. Terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan. 2. Bentuknya baku dan terikat oleh kaidah-kaidah yang baku pula. 3. Bersifat istana sentris 4. Biasanya tidak mencantumkan nama pengarang (anonim)

Beberapa bentuk karya sastra lama yaitu: syair, pantun, gurindam, hikayat, dongeng dan tambo.

B. Sastra Modern

Sastra baru atau sering disebut juga sastra modern adalah sastra yang muncul dan berkembang setelah masa sastra lama. Bisa dikatakan bahwa sastra modern dimulai ketika terjadi perubahanperubahan yang cukup mendasar terhadap sifat dan ciri khas sastra yang digunakan masyarakat. Bisa dikatakan pula bahwa lahirnya sastra modern adalah ketika mulai terjadi perubahan penggunaan media yang digunakan yaitu dari media lisan yang bersifat kuno menjadi menggunakan media tulisan yang lebih modern.

Berikut sifat dan ciri-ciri sastra modern:

1. Tidak tetikat oleh adat istiadat atau lebih fleksibel 2. Berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat 3. Mencerminkan kepribadian penerbitnya 4. Mencantumkan nama pengarangnya. 5. Tidak rerikat dengan kaidah baku dan menggunakan bahasa yang lebih bebas.

Beberapa macam karya sastra modern yang beredar di masyarakat yaitu: novel, cerpen, puisi, drama dan roman.

Pengertian Teks Luxemburg, et.al. (1992:86) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Berdasarkan pendapat tersebut, setidaknya terdapat tiga hal yag harus ada dalam sebuah teks. Tiga hal tersebut, yaitu: isi, sintaksis, dan pragmatik. Isi, sangat berkaitan dengan konten dari sebuah teks. Teks yang baik harus mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi. Pengarang dalam menuangkan gagasan-gagasannya dapat secara eksplisit maupun implisit dalam menunjukkan isi sebagai pesan yang disampaikan dalam teks. Isi dalam teks sangat berkaitan dengan semantik. Semantik merupakan salah satu kajian dalam bahasa yang berkaitan dengan makna. Isi dalam teks tidak ubahnya adalah maknamakna yang disampaikan pengarang. Pengungkapan makna ini dapat dilakukan secara terang-terangan, lugas, jelas maupun dengan tersembunyi melalui simbol-simbol. Berkaitan dengan makna dalam teks, Luxemburg, et.al. (1992:88) menyatakan bahwa kesatuan semantik yang dituntut sebuah teks ialah tema global yang melingkupi semua unsur. Dengan kata lain, tema atau perbuatan berfungsi sebagai ikhtisar teks atau perumusan simboliknya. Meskipun demikian, menunjukkan tema saja belumlah memadai. Masih diperlukan penafsiran menyeluruh untuk menelaah sebuah teks sebagai satu kesatuan. Hal ini terkait dengan keberadaan sebuah cerita maupun puisi yang merupakan satu kesatuan ide/gagasan. Kedua adalah sintaksis. Sintaksis dalam tatabahasa diartikan sebagai tatakalimat. Secara sintaksis sebuah teks harus memperlihatkan pertautan. Pertautan itu akan tampak apabila unsur-unsur dalam tatabahasa yang berfungsi sebagai penunjuk (konjungsi) secara konsisten dipergunakan. Dalam hal ini dapat kita simak melalui penceritaan berikut. Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambeng itu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Darsa. (Tohari, 2005:6061) Pada kutipan di atas, konjungsi yang berupa kata ganti kamu sangat dominan dalam cerita di atas. Keberadaan kata ganti kamu pada kalimat satu, dua, tiga, empat, enam, tujuh, dan delapan menunjukkan bahwa antarkalimat dalam penceritaan di atas sangat koheren. Hal ini sangat memudahkan pembaca untuk menelaah karya sastra tersebut. Bahkan untuk memudahkan pemahaman digunakan pula bentuk klitik mu (sebagai bentuk singkat dari kata kamu). Penggunaan itu terlihat pada kata suamimu dalam kalimat kelima dan keenam; kata pihakmu pada kalimat kedelapan. Penggunaan kata ganti tersebut sangat dieksplisitkan (jelas). Tentu tidak dapat dibayangkan susahnya memahami hubungan antarkalimat apabila konjungsi yang menunjukkan koherensi antarkalimat diimplisitkan (samar-samar atau tersembunyi).

Penggunaan kata ganti sebagai konjungsi juga dapat ditemukan dalam puisi. Seperti halnya dalam cerita, keberadaan kata ganti ini juga lebih memudahkan untuk memahami puisi. Simaklah puisi Rendra (1993:13) berikut ini. Nyanyian Suto untuk Fatima Dua puluh tiga matahari bangkit dari pundakmu. Tubuhmu menguapkan bau tanah dan menyalalah sukmaku. Langit bagai kain tetoron yang biru terbentang berkilat dan berkilauan menantang jendela kalbu yang berdukacita. Rohku dan rohmu bagaikan proton dan electron bergolak bergolak di bawah duapuluhtiga matahari. Dua puluh tiga matahari membakar dukacita. Meskipun pada setiap larik puisi di atas tidak ditemukan kata Suto dan Fatima, tetapi sangatlah mudah bagi kita untuk memahami teks puisi di atas dengan memperhatikan klitik yang terdapat pada teks di atas. Klitik ku merupakan kata ganti dari Suto, sedangkan klitik mu merupakan kata ganti dari Fatima. Begitulah pentingnya sintaksis dalam sebuah teks. Yang terpenting adalah kekonsistenan dari konjungsi sehingga tidak merancukan kalimat-kalimat yang membangun cerita atau kosakata, parafrase, ataupun kalimat yang membangun puisi. Dua kutipan di atas, baik cerita maupun puisi menunjukkan kekonsistenan dari konjungsi kata ganti dan klitika yang digunakan. Ketiga adalah pragmatik. Pragmatik berkaitan dengan situasi atau keadaan bahasa yang digunakan dalam keadaan tertentu. Dalam hal ini, Luxemburg, et.al. (1992:87) mengungkapkan bahwa pragmatik bertalian dengan bagaimana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu; teks merupakan suatu kesatuan bilamana ungkapan bahasa oleh

para peserta komunikasi dialami sebagai suatu kesatuan yang bulat. Lebih lanjut dikatakannya bahwa pragmatik merupakan ilmu mengenai perbuatan yang kita lakukan bilamana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks tertentu. Hal yang diungkapkan Luxemburg tersebut bertalian erat dengan ketuntasan dalam memahami sebuah teks. Makna kesatuan bulat mengarah pada keutuhan dari sebuah teks. Membaca teks merupakan satu tindakan atau kegiatan yang dimulai dari bagian awal hingga bagian akhir dari sebuah teks, yaitu: selesai atau tamat. Sebuah contoh, apabila kita membaca novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang ditulis Dewi Lestari maka kegiatan yang kita lakukan adalah membaca keseluruhan dari teks novel ini. Mulai membaca bagian Cuap-cuap Penerbit, Cuap-cuap Penulis, Bagian Daftar Isi, isi keseluruhan novel yang terdiri atas 33 keping subjudul, hingga Komentar Nonpakar yang merupakan akhir dari teks novel ini. Begitu halnya kalau kita membaca puisi, cerpen, maupun drama maka keselurahan dari teks tersebut harus kit abaca dengan saksama. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman yang tepat tentang isi atau garis besar dari penceritaan tersebut. Begitu halnya apabila kita bertindak sebagai pengarang. Yang kita lakukan adalah mengarang dengan sistematika yang tepat. Sistematika yang menjelaskan bagian awal, bagian inti atau isi, kemudian bagian akhir sebagai pertanda bahwa teks yang kita buat telah selesai atau berakhir. Keteraturan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya harus ditunjukkan secara tepat. Begitu halnya dengan bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tersusun atas deretan kata, gabungan kata, dan atau kalimat yang mudah dimengerti oleh pembaca.