Ddtk Kemenag Pasuruan April 2012

134

description

perdesaan

Transcript of Ddtk Kemenag Pasuruan April 2012

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN

Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS 2011

LAPORAN AKHIR

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

ii

KATA PENGANTAR

Evaluasi Pembangunan Perdesaan dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat merupakan kajian evaluasi tematik yang dilaksanakan untuk menganalisis sejauh mana perkembangan pencapaian pembangunan perdesaan terkait kondisi sosial-ekonomi masyarakat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan salah satu fokus Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral yaitu melaksanakan evaluasi di level outcome dan impact.

Pembangunan perdesaan baik dalam RPJMN 2004-2009 maupun RPJMN 2010-2014 merupakan prioritas pembangunan yang pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, sampai saat ini masih terkendala oleh beberapa hal, antara lain terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas, lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial, rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan, dan rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah. Kajian evaluasi ini diharapkan dapat memberi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan perdesaan sehingga secara tepat dapat memberikan alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan laporan evaluasi pembangunan perdesaan ini. Masukan, saran dan kritik yang membangun kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan kajian ini.

Jakarta, Desember 2011

Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. ii DAFTAR ISI ......................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vi BAB I PEMBANGUNAN PERDESAAN DI INDONESIA ............................ 1 1.1. Disparitas Desa Kota ............................................................. 1 1.2. Tujuan .................................................................................. 5 1.3. Sasaran ................................................................................. 5 1.4. Ruang Lingkup ...................................................................... 7 1.5. Keluaran ............................................................................... 8 BAB II LANDASAN DAN KERANGKA KEBIJAKAN ................................. 9 2.1. Definisi Desa ......................................................................... 9 2.2. Klasifikasi Desa ..................................................................... 10 2.3. Pembangunan Perdesaan, Kesejahteraan Hingga Kemiskinan 11 2.4. Pembangunan Perdesaan dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJMN) 2004-2009 ............................................. 14 2.5. Pembangunan Perdesaan dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJMN) 2010-2014 ............................................. 17 2.6. Kerangka Analisis Evaluasi ..................................................... 19 BAB III DINAMIKA PEMBANGUNAN PERDESAAN .............................. 23 3.1. Program dan Pembiayaan Pembangunan Perdesaan ............. 23 3.2. Capaian Pembangunan Perdesaan ........................................ 36 3.2.1. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Ekonomi ............... 36 3.2.2. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Kesehatan ............ 45 3.2.3. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Pendidikan ........... 61 3.2.4. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Infrastruktur......... 61 BAB IV PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT .................................................................................... 67 4.1. Capaian Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan ...................... 67 4.2. Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Dalam Dimensi Wilayah 72

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

iv

4.3. Melihat Kesejahteraan Lebih Dalam ...................................... 80 4.4. Pembangunan Perdesaan: Dari Output ke Dampak ............... 81 BAB V KENDALA DAN TANTANGAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT .................................................................................... 90 5.1. Kendala Pembangunan Perdesaan ........................................ 90 5.2. Tantangan Pembangunan Perdesaan ke Depan ..................... 96 5.3. Rekomendasi Kebijakan ........................................................ 100 Appendix 1 KONSEP DAN DEFINISI ..................................................... 103 Appendix 2 PENJELASAN TEKNIS ........................................................ 108 Appendix 3 TABEL DAN GAMBAR ...................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 121

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Desa 2005 – 2008 ........................ 1 Tabel 1.2. Aspek dalam Evaluasi Pembangunan Perdesaan .............. 6 Tabel 2.1. Klasifikasi Desa ................................................................ 11 Tabel 2.2. Pembangunan Perdesaan Vs. Pembangunan Desa ........... 16 Tabel 3.1. Pagu Indikatif untuk Program Pembangunan Perdesaan .. 31 Tabel 3.2. Biaya Pendidikan Siswa per Tahun ................................... 35 Tabel 3.3. Indikator Kesehatan Masyarakat Perdesaan..................... 47 Tabel 3.4. Angka Kematian Umur 0-14 Tahun Menurut Kawasan ..... 53 Tabel 3.5. APM SD dan APK SLTP Sederajat di Perdesaan ................. 56 Tabel 4.1. Sepuluh Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi

2010 ................................................................................ 77 Tabel 4.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan

Kemiskinan (P2) di Indonesia Menurut Daerah................. 81 Tabel 5.1. Peringkat Indonesia dan Beberapa Negara Asia dalam Doing

Business Survey Tahun 2007-2010 ................................... 94 Tabel 5.2. Aspek Daya Saing Daerah Yang Terendah Menurut WCR Dan

KPPOD............................................................................. 95 Tabel 5.3. Keunggulan dan Keterbatasan Masing-masing Instrumen

Ekonomi Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah ... 99

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pembangunan Perdesaan dalam RPJMN 2004-2009 ... 15 Gambar 2.2. Pembangunan Perdesaan dalam RPJMN 2010-2014 ... 19 Gambar 2.3. Kerangka Evaluasi Pembangunan Perdesaan............... 20 Gambar 2.4. Kerangka Analisis ....................................................... 21 Gambar 3.1. Instrumen Utama Penanggulangan Kemiskinan .......... 24 Gambar 3.2. Perkembangan PDB Sektor Pertanian (Rp.Miliar) ........ 37 Gambar 3.3. Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian (Persen).............. 38 Gambar 3.4. Kontribusi PDB Sektor Pertanian terhadap

Perekonomian (Persen) .............................................. 39 Gambar 3.5. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian................. 40 Gambar 3.6. Tingkat Pengangguran Terbuka Desa dan Kota ............ 41 Gambar 3.7. Tingkat Pengangguran Total Desa dan Kota ................ 42 Gambar 3.8. Inflasi Desa dan Kota (yoy).......................................... 43 Gambar 3.9. Nilai Tukar Petani (NTP) Desa Tahun 2010 .................. 44 Gambar 3.10. Persentase Bayi Menurut Penolong Persalinan Tenaga

Kesehatan dan Bukan Tenaga Kesehatan di Wilayah Perdesaan .................................................................. 46

Gambar 3.11. Angka Kematian Bayi (Tingkat Nasional) Periode 2000 dan 2005 .................................................................... 49

Gambar 3.12. Angka Kematian Ibu per 100.000 Kelahiran (Tingkat Nasional) .................................................................... 50

Gambar 3.13. Angka Harapan Hidup (Tingkat Nasional) Periode 2005-2006........................................................................... 52

Gambar 3.14. Persentase Angka Melek Huruf Perdesaan .................. 55 Gambar 3.15. Angka Partisipasi Sekolah dan Kesejahteraan

Masyarakat Perdesaan ............................................... 57 Gambar 3.16. Rata-Rata Lama Sekolah Masyarakat Perdesaan ......... 58 Gambar 3.17. Infrastruktur Perdesaan .............................................. 62 Gambar 3.18. Persentase Rumah Tangga Perdesaan menurut Sumber

Air Minum Layak ........................................................ 63 Gambar 3.19. Persentase Rumah Tangga Perdesaan menurut Sumber

Penerangan Listrik PLN ............................................... 64 Gambar 3.20. Persentase Rumah Tangga Perdesaan menurut Sanitasi

Layak.......................................................................... 65

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

vii

Gambar 3.21. Tingkat Rural Infrastructure Development Index (RIDI) Tahun 2010 ................................................................ 66

Gambar 4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Perdesaan ........... 69 Gambar 4.2. Perbandingan Sasaran dengan Realisasi Tingkat

Kemiskinan Perdesaan................................................ 69 Gambar 4.3. Perkembangan Jumlah penduduk Miskin Kota dan Desa

(Juta Jiwa) .................................................................. 70 Gambar 4.4. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Kota dan

Desa ........................................................................... 71 Gambar 4.5. Perbandingan Sebaran Penduduk Miskin Perdesaan

2007-2010 .................................................................. 73 Gambar 4.6. Sebaran Tingkat Kesejahteraan Menurut Provinsi 2007 74 Gambar 4.7. Sebaran Tingkat Kesejahteraan Menurut Provinsi 2010 76 Gambar 4.8. Perkembangan Garis Kemiskinan Kota dan Desa

(Rupiah/Bulan) ........................................................... 80 Gambar 4.9. Perkembangan PDB per Kapita Sektor Pertanian (Juta per

TK) dan Tingkat Kemiskinan Perdesaan ....................... 82 Gambar 4.10. Sebaran Provinsi Menurut Tingkat Kesejahteraan

Masyarakat Perdesaan dan Nilai Tukar Petani ............. 83 Gambar 4.11. Pendidikan dan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan 84 Gambar 4.12. Keterkaitan Persentase Bayi Menurut Penolong dan

Jumlah Penduduk Miskin ............................................ 86 Gambar 4.13. Sebaran Provinsi Menurut Tingkat Kesejahteraan

Masyarakat Perdesaan dan Rural Infrastructure Development Index ..................................................... 87

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

1

BAB I PEMBANGUNAN PERDESAAN

DI INDONESIA

1.1. Disparitas Desa Kota

Sebagian besar penduduk Indonesia mendiami kawasan perdesaan. BPS memperkirakan kawasan perdesaan mencakup hampir sekitar 82 persen dari wilayah Indonesia. Penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perdesaan mencapai sekitar 131,8 juta jiwa atau lebih dari 56,86 persen penduduk di Indonesia bertempat tinggal dan menggantungkan hidup di perdesaan (BPS, 2009). Oleh karena itu, pembangunan perdesaan pantas mendapatkan perhatian dan prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional. RPJMN 2010–2014 menyatakan bahwa pembangunan perdesaan ditujukan untuk kemanfaatan masyarakat di perdesaan. Dinyatakan pula bahwa sejak dilaksanakannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah kabupaten/kota senantiasa bertambah yang berimplikasi pada membengkaknya jumlah kelurahan dan desa (lihat Tabel 1.1.).

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Desa 2005 – 2008

Pulau Tahun 2005 Tahun 2008

Jumlah Desa

Kelu rahan

Nagari Lainnya Jumlah Jumlah Desa

Kelu rahan

Lainnya Jumlah

Sumatera 18.657 2.013 518 77 21.256 21.241 2.188 32 21.110 Jawa dan Bali

23.034 2.703 - - 51.474 23.046 2.825 - 25.871

Kalimantan 5.421 506 - 257 6.184 6.055 526 49 6.630 Sulawesi 6.455 1.514 - 251 8.220 7.490 1.660 115 9.274 Maluku 1.514 121 - 19 1.654 1.781 142 19 1.942 Nusa Tenggara

3.172 381 - 5 3.558 3.269 435 12 3.716

Papua 3.156 127 - 56 3.339 4.329 119 36 4.484 Total 61.409 7365 518 665 69.957 67.211 7.895 272 75.378 Sumber: BPS, PODES 2005 dan 2008 (data diolah)

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

2

Ditinjau dari berbagai aspek, perkembangan kesejahteraan masyarakat di kawasan perdesaan masih menunjukkan kesenjangan dengan kondisi masyarakat di kawasan perkotaan. Aspek-aspek tersebut meliputi: Pertama, aspek kependudukan. Kawasan perdesaan menghadapi masalah persebaran penduduk yang tidak merata. Salah satu yang terkait dengan hal tersebut adalah terkonsentrasinya sebagian besar sumberdaya ekonomi di wilayah Jawa-Bali yang kemudian menyebabkan konsentrasi penduduk juga terjadi di wilayah ini. Dengan luas wilayah kurang dari 7 persen wilayah Indonesia, Jawa-Bali dihuni oleh 59,82 persen penduduk. Persebaran penduduk yang tidak merata tidak hanya terjadi antar wilayah tapi juga terjadi antar desa-kota dimana penyebabnya adalah arus urbanisasi yang semakin tinggi. Arus urbanisasi penduduk ini semakin intens di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa, migrasi penduduk terutama dari desa-kota diikuti dengan berbagai perubahan-perubahan sosial yang ada di tempat tujuan yakni daerah perkotaan. Kemajuan komunikasi, transportasi, keterbukaan wilayah, kelancaran arus informasi dan sebagainya berhasil “mendekatkan” kota-desa dalam segala aspek perubahannya. Kemajuan-kemajuan peradaban yang merupakan sebagian dari elemen-elemen modernisasi ini mendorong orang-orang luar Jawa, orang-orang desa, beramai-ramai masuk ke Jawa terutama ke kota-kota besar untuk mengais kehidupan, tanpa mempedulikan kerasnya persaingan dan agresivitas. Ketidakadilan pembangunan antara kota dengan desa menyebabkan orang desa/daerah menjadi frustrasi dan kemudian mendorongnya untuk berpindah ke kota yang menyediakan berbagai sumber daya (resource).

Urbanisasi adalah bagian dari perubahan sosial itu; ia menjadi sekaligus sebab dan akibat dari sebuah perubahan sosial itu. Ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan telah menyebabkan terjadinya gelombang urbanisasi ke kota-kota besar di Indonesia. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menyebabkan industri-industri besar dibangun di daerah perkotaan, bukan di desa. Kehidupan desa yang serba terkebelakang dan dililit oleh kemiskinan serta ekspektasi yang tinggi terhadap kota sebagai penyedia semua sumber daya ekonomi dan sosial menyebabkan orang desa berpindah ke kota untuk mengais rejeki. Perpindahan ini menyebabkan mereka melepaskan matapencahariannya

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

3

sebagai petani dan kemudian beralih sebagai pekerja industri atau pabrik-pabrik di kota-kota. Mereka meninggalkan desanya, menjual hartanya, lalu pergi ke kota.

Ketimpangan pembangunan antara Jawa dengan luar Jawa, kota dengan desa harus segera diatasi. Harus ada pemerataan pembangunan di daerah-daerah atau desa-desa guna menekan perpindahan penduduk desa ke kota sekaligus menekan segala macam konflik yang disebabkan oleh urbanisasi ini. Urbanisasi akan menyebabkan dua hal yakni permasalahan di desa asal dan juga permasalahan di kota sebagai daerah tujuan. Ada banyak masalah sosial budaya akibat dari perpindahan penduduk ini yang terjadi di dua lokus itu (desa dan kota). Sehingga semakin besarnya arus urbanisasi dari desa-kota maka akan menyebabkan timbulnya ketidakmerataan persebaran penduduk antar desa dan kota.

Kedua, aspek sosial-ekonomi. Dalam kawasan perdesaan terdapat sekitar 37,05 juta pekerja produktif (60,1 persen) yang bekerja di sektor pertanian (Sakernas–BPS, Agustus 2009). Peran mereka sangat strategis karena menyediakan kebutuhan pangan nasional. Menurut data Sakernas 2009, jumlah pengangguran terbuka pada bulan Agustus 2009 mencapai 8,96 juta jiwa atau 7,9 persen dari total angkatan kerja, dan 3,81 juta jiwa atau 5,8 persen di antaranya bermukim di perdesaan. Sementara itu, jumlah total setengah pengangguran mencapai 31,57 juta jiwa, yang 23,61 juta jiwa tinggal di perdesaan, sedangkan jumlah pekerja di kegiatan informal di perdesaan mencapai 46,87 juta (75,74 persen), jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang di perkotaan yang mencapai 17,97 juta (42,18 persen). Keterbatasan kesempatan kerja di perdesaan dan disertai kondisi masyarakat perdesaan yang sebagian besar bekerja sebagai buruh dengan upah yang rendah, rata-rata pemilikan lahan yang sempit, produktivitas pertanian rendah, dan terbatasnya akses masyarakat perdesaan kepada pelayanan umum, kesemuanya memberikan kontribusi pada masih tingginya angka kemiskinan di perdesaan. Dari 32,53 juta orang miskin di Indonesia (Maret tahun 2009) lebih dari separuhnya tinggal di perdesaan (20,62 juta).

Kesenjangan ekonomi antar desa-kota dapat dilihat dari perbedaan laju pertumbuhan kumulatif PDRB untuk setiap sektor. Dimana sektor perdagangan, hotel, dan restoran (yang lebih banyak terdapat diperkotaan) memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

4

dengan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan (banyak terdapat di desa). Pertumbuhan positif ditunjukkan PDRB dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran sedangkan PDRB dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mengalami penurunan pada kwartal 1 (tahun 2005 dan 2007). Laju pertumbuhan tertinggi untuk PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran adalah sebesar 9,53 persen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan (6,44 persen).

Ketiga, aspek pemerintahan. Desa bukan sekedar unit administratif, atau hanya permukiman penduduk, melainkan juga merupakan basis sumberdaya ekonomi (tanah, sawah, sungai, ladang, kebun, hutan dan sebagainya), basis komunitas yang memiliki keragaman nilai-nilai lokal dan ikatan-ikatan sosial, ataupun basis kepemerintahan yang mengatur dan mengurus sumberdaya dan komunitas tersebut. Di Indonesia, masyarakat hukum adat dilindungi dan diakui keberadaannya. Masyarakat hukum adat menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan sektor-sektor lain yang terkait dengan hak ulayat atau tanah adat, yang didalamnya terdapat sumber-sumberdaya alam yang menjadi bagian sangat penting bagi kehidupan mereka.1

Pembangunan perdesaan secara umum menghadapi masalah-masalah, antara lain: (1) belum optimalnya kebijakan dan program-program dari berbagai sektor yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perdesaan, dan (2) belum optimalnya koordinasi antarpemerintah desa dan kabupaten/kota serta belum berkembangnya mekanisme koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk K/L dalam pembangunan perdesaan serta masih belum optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal dan kelembagaan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah dalam pembangunan perdesaan. Berkenaan dengan permasalahan tersebut maka

1 Pengakuan nasional dan internasional terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya, telah dinyatakan, baik melalui Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945, UU No. 32/2005, PP72/2004 maupun Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui pengesahan The U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples pada tanggal 13 September 2007, dan kesepakatan ILO Convention No. 169 tahun 1989 on The Rights of the Indigenous Peoples and Tribal Groups in Independent Countries yang menjadi dasar bagi negara-negara di dunia untuk mengakui keberadaan hak masyarakat hukum adat.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

5

arah kebijakan pembangunan perdesaan periode tahun 2010–2014 adalah memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi; serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan lingkungan.

Arah kebijakan pembangunan kawasan perdesaan tersebut akan diwujudkan 7 fokus prioritas, yaitu: (1) Menguatkan kapasitas dan peran desa dan tata kelola kepemerintahan desa yang baik; (2) Meningkatkan kualitas dasar sumberdaya manusia perdesaan; (3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan; (4) Meningkatkan ekonomi perdesaan; (5) Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana; (6) Meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan; dan (7) Meningkatkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, berwawasan mitigasi bencana.2

Berdasarkan dokumen rencana pembangunan tersebut, maka evaluasi pembangunan perdesaan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan menjadi hal yang perlu dilakukan pada TA 2011. Hal tersebut perlu dievaluasi guna memastikan kebijakan pembangunan di kawasan ini selalu dalam arah yang sejalan dengan dokumen RPJMN.

1.2. Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap pembangunan perdesaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat selama tahun 2004–2010 berdasarkan RPJMN 2004–2009 dengan memperhatikan RPJMN 2010–2014. Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah sebagai masukan dalam penyusunan rencana pembangunan berikutnya guna meningkatkan pelaksanaan evaluasi pembangunan.

2 Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode tahun 2010–

2014, Buku II, Bab IX Wilayah dan Tata Ruang, Sub-bab 9.2.1.5 Permasalahan Perdesaan, Sub-bab 9.2.2.5 Sasaran Perdesaan, Sub-bab 9.3.5 Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perdesaan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

6

1.3. Sasaran

Dalam rangka mencapai tujuan kajian, maka sasaran yang ingin dicapai adalah mengenali, memahami dan menganalisis berbagai aspek dalam pembangunan perdesaan dalam RPJMN 2004–2009, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.2 di bawah ini. Kajian evaluasi atas pembangunan perdesaan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat didasarkan pada aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Setiap aspek akan dilihat dari berbagai variabel penilaian. Adapun variabel yang dijadikan indikator untuk mengevaluasi setiap aspek dalam pembangunan perdesaan berdasarkan indikator yang dijabarkan dalam RPJMN, RKP, SUSENAS, dan RISKESDAS. Akan tetapi tidak semua indikator yang dijabarkan akan digunakan karena disesuaikan dengan ketersediaan data yang ada. Aspek yang disajikan pada dasarnya berbentuk deskriptif yang telah dipilih, dengan harapan dapat menggambarkan suatu keadaan kesejahteraan yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu tujuan utama dalam pembangunan perdesaan. Bentuk penyajian data, selain tabel dasar pada beberapa kelompok disajikan ukuran statistik yang lazim dipergunakan seperti persentase, rasio, proporsi, dan rata-rata yang kesemuanya ditujukan untuk memperjelas dinamika yang terjadi.

Tabel 1.2. Aspek dalam Evaluasi Pembangunan Perdesaan

No. Aspek

Evaluasi Variabel Penilaian

1 Ekonomi 1. Pengangguran Terbuka 2. Perkembangan PDB Sektor Pertanian 3. Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian 4. Kontribusi PDB Sektor Pertanian terhadap Perekonomian 5. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 6. Jumlah Pengangguran 7. Inflasi (yoy) 8. Nilai Tukar Petani 9. Kesejahteraan Masyarakat (Tingkat Kemiskinan

Perdesaan, Jumlah Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan Kota dan Desa, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2))

2 Kesehatan 1. Angka Kematian Umur 0-14

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

7

No. Aspek

Evaluasi Variabel Penilaian

2. Angka Harapan Hidup 3. Angka Kematian Ibu 4. Angka Kematian Bayi 5. Kategori Status Gizi BB/U 6. Kategori Status Gizi TB/U 7. Kategori Status Gizi BB/TB 8. Imunisasi Dasar 9. Frekuensi penimbangan (kali) 10. Tempat Penimbangan Anak Umur 6-59 Bulan 11. Persentase Persalinan yang Ditolong oleh Tenaga

Kesehatan dan Bukan Tenaga Kesehatan

3 Pendidikan 1. Angka Melek Huruf 2. APM SD dan Sederajat 3. APK SLTP dan Sederajat 4. APS SD, SLTP, SMA 5. Rata-rata Lama Sekolah

4 Infrastruktur 1. Infrastruktur Perdesaan: Air Minum Bersih; Jamban; Luas Lantai; Air Minum Leding

2. Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Layak

3. Persentase rumah tangga menurut sumber penerangan listrik PLN

4. Persentase Rumah Tangga Menurut Sanitasi Layak 5. Rural Infrastructure Development Index

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian Evaluasi Pembangunan Perdesaan dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat adalah melakukan identifikasi dan analisis atas sasaran di atas, dengan fokus pendalaman analisis mengenai hal berikut:

1. Dampak perkembangan pembangunan perdesaan terkait kondisi sosial-ekonomi masyarakat terhadap peningkatan kesejahteraan mereka.

2. Penyebab dan akar permasalahan kondisi sosial-ekonomi di kalangan masyarakat di kawasan perdesaan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

8

3. Identifikasi dan rekomendasi kebijakan untuk pembangunan masyarakat di kawasan perdesaan.

1.5. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah buku laporan berjudul “EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” yang memuat rekomendasi dan masukan dalam memperbaiki perencanaan pembangunan berikutnya.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

9

BAB II LANDASAN DAN KERANGKA KEBIJAKAN

2.1. Definisi Desa

Pengertian desa telah banyak dijelaskan oleh berbagai pakar baik dengan menggunakan pendekatan administratif, kewilayahan, geografis, statistik, psikologi sampai yang resmi ditetapkan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Secara administratif dinyatakan bahwa desa adalah permukiman manusia di luar kota yang penduduknya berjiwa agraris dalam bentuk kesatuan administratif yang disebut kelurahan. Menurut Sutardjo Kartohadikusumo dalam konsep administratif disebutkan bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum di mana sekelompok masyarakat bertempat tinggal dan mengadakan pemerintahan sendiri. Desa dalam definisi lainnya adalah suatu tempat/ daerah di mana penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan kehidupan mereka. Dalam konsep wilayah disebutkan bahwa desa adalah pola permukiman yang bersifat dinamis, dimana para penghuninya senantiasa melakukan adaptasi spasial dan ekologis. Desa menurut definisi Bintarto, adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur geografis, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang ada di sana dalam hubungannya dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain. Secara statistik, perdesaan adalah daerah dengan jumlah penduduk kurang dari 2500 orang (Paul H Landis). Sedangkan dalam kajian psikologi sosial disebutkan bahwa desa adalah daerah dimana hubungan pergaulannya ditandai dengan derajat intensitas yang tinggi.

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah juga telah memberikan defenisi yang jelas mengenai desa diantaranya: UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 5 tahun 1979, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU Nomor 22 Pasal 1 Tahun 1948 Desa adalah daerah yang terdiri atas satu atau lebih dusun yang digabungkan sehingga

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

10

merupakan suatu daerah otonomi yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 5 Pasal 1 Tahun 1979 Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di dalam daerah kabupaten. Landasan defenisi Desa terbaru adalah Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana dijelaskan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan lebih lanjut mengenai Desa dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005.

Berdasarkan beberapa defenisi yang telah disebutkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Ciri utama desa adalah kepala desanya dipilih oleh masyarakat setempat. Defenisi inilah yang akan digunakan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya dimana kata “perdesaan” juga digunakan dalam defenisi yang sama. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai “pembangunan perdesaan” dibahas lebih lanjut dalam sub bab 2.4.

2.2. Klasifikasi Desa

Desa sebagai kesatuan masyarakat memiliki 3 (tiga) hal yaitu adanya tanah pekarangan dan pertanian beserta penggunaannya, termasuk aspek lokasi, luas, batas, yang merupakan lingkungan geografis setempat. Penduduk meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, penyebaran dan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

11

mata pencarian. Adat yaitu ajaran tentang tata hidup, tata pergaulan, dan ikatan sebagai warga desa. Tata kehidupan ini terkait usaha penduduk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraannya. Desa memiliki keadaan geografis dan sumber daya manusia yang berbeda-beda. Ada desa yang dikarunia alam yang kaya, namun semangat membangun, ketrampilan dan pengetahuan masyarakatnya serba kurang, sehingga tidak maju. Ada pula desa yang sumber alamnya terbatas, tetapi ekonominya maju, berkat kemampuan penduduknya mengatasi berbagai hambatan alam. Sehubungan dengan ini, ada 4 (empat) unsur geografis yang turut menentukan persebaran desa, yaitu: lokasi, iklim, tanah dan air.

Tabel 2.1. Klasifikasi Desa

Jenis Indikator Klasifikasi Angka kepadatan penduduk

1. Desa terkecil (<100/km2), 2. Desa kecil (100-500/km2), 3. Desa sedang 500-1500/km2 , 4. Desa besar 1500-3000/km2, 5. Desa terbesar 3000-4500/km2.

Luas wilayah 1. Desa terkecil 0-2 km2, 2. Desa kecil 2-4 km2, 3. Desa sedang 4-6 km2, 4. Desa besar 6-8 km2, 5. Desa terbesar 8-10 km2

Jumlah penduduk desa

1. Desa terkecil Penduduk <800 orang, 2. Desa kecil Penduduk 800-1600 orang, 3. Desa sedang Penduduk 1600-2400 orang, 4. Desa besar Penduduk 2400-3200 orang, 5. Desa terbesar Penduduk >3200 orang.

Perkembangan masyarakat

1. Desa tradisional, 2. Desa swadaya, 3. Desa swakarya, 4. Desa swasembada, 5. Desa pancasila.

Aktivitas masyarakat

1. Desa agraris, 2. Desa industri, 3. Desa nelayan.

Tingkat penyebaran penduduk

1. Nucleated Agricultural Village Community (menggerombol), 2. Line Village Community (memanjang), 3. Open Country or Trade Center Community (tersebar).

Sumber: Bintarto (1983) dan Ahmadi (2003)

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

12

2.3. Pembangunan Perdesaan, Kesejahteraan Hingga Kemiskinan

Upaya pembangunan perdesaan telah dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan program-program yang telah ditetapkan. Upaya-upaya itu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat perdesaan. Namun, masih banyak wilayah perdesaan yang belum berkembang secepat wilayah lainnya. Pembangunan perdesaan merupakan bagian yang penting dari pembangunan nasional, mengingat kawasan perdesaan yang masih dominan (82 persen wilayah Indonesia adalah perdesaan) dan sekitar 50 persen penduduk Indonesia masih tinggal di kawasan perdesaan.

Pembangunan perdesaan diarahkan untuk mentransformasikan struktur kegiatan sosial, ekonomi dan kelembagaan yang semula bercorak subsisten, tradisional dan agraris menuju pada struktur ekonomi bercorak perkotaan, modern dan industri. Dinamika yang terjadi dalam proses tersebut ditandai dengan perembesan struktur dan budaya modern ke dalam struktur dan budaya perdesaan sehingga akan terjadi perluasan proses modernisasi ke seluruh masyarakat. Sebagai akibatnya struktur dan kebudayaan tradisional yang menguasai daerah perdesaan mulai mengalami transformasi mengantarkan terjadinya tahapan di mana perbedaan-perbedaan struktural dan kultural antara kota dan desa menjadi semakin menyempit. Dalam kondisi itu masyarakat desa berhasil mengembangkan suatu kehidupan ekonomi, politik dan budaya yang semakin rasional. Akhirnya antara desa dan kota terpola suatu hubungan timbal balik yang harmonis dan saling dapat menciptakan surplus bagi pertumbuhan masyarakat keduanya.

Pembangunan perdesaan bersifat multidimensional dan multisektor. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dan keterkaitan dalam pelaksanaannya. Dalam rangka melakukan percepatan pembangunan perdesaan, telah dan akan terus dilakukan berbagai program dan kegiatan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan, pengurangan kemiskinan, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan pembangunan perdesaan. Pembangunan perdesaan secara konseptual memiliki tujuan dan indikator kinerja yang saling terkait, dimana keberhasilan pembangunan perdesaan ditandai (salah satunya) dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

13

desa. Indikator yang digunakan untuk mengukur hal ini adalah menurunnya angka kemiskinan dan meningkatnya angka partisipasi sekolah. Walaupun demikian, jika dilihat dari kenyataannya maka pembangunan perdesaan belum tentu dapat menurunkan kemiskinan apalagi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa kemiskinan di perdesaan terjadi diantaranya karena adanya masalah ekonomi, karena kondisi fisik daerahnya yang terpencil, dan keterbatasan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang tersedia sehingga mengakibatkan terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan, termasuk informasi dan teknologi tepat guna. Keadaan tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah untuk terus memperbaiki kebijakan, strategi dan pelaksanaan pembangunan perdesaan yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berbagai upaya terus dilakukan secara bertahap yaitu melalui kegiatan peningkatan kapasitas aparat pemerintahan desa dan kelurahan, peningkatan kapasitas kelembagaan, pelatihan masyarakat, pemberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat, peningkatan usaha ekonomi masyarakat, serta pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna. Upaya lainnya berupa peningkatan usaha ekonomi masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal dengan meningkatkan kegiatan ekonomi produktif masyarakat dan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Ketersediaan dan akses pemanfaatan terhadap sarana prasarana perdesaan yang masih terbatas dan ditambah dengan masih rendahnya kualitas tingkat pelayanan yang dapat dinikmati seperti jalan, irigasi, listrik, air minum, telematika, fasilitas pendidikan, kesehatan, serta pasar merupakan kendala bagi percepatan pembangunan perdesaan terutama untuk pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan, pengembangan sarana prasarana produksi hasil-hasil perdesaan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia perdesaan. Peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis berperan penting dalam memicu pertumbuhan ekonomi perdesaan yang berkaitan erat dengan terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka dan meningkatnya kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang tercermin pada peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

14

Dalam konteks kemiskinan yang lebih luas, kemiskinan terjadi juga karena faktor sosial budaya dan juga karena masalah struktural. Jadi masalah kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu penangannya juga perlu melibatkan semua stakeholder (baik pemerintah, swasta, OMS, maupun individu). Tentu saja ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk terus secara konsisten dan sungguh-sungguh berupaya mengatasinya.

2.4. Pembangunan Perdesaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2004–2009

Dinyatakan dalam RPJMN 2004–2009 bahwa pembangunan perdesaan merupakan suatu investasi masa depan bagi peningkatan pembangunan nasional. Pembangunan perdesaan menjadi prioritas dalam RPJMN 2004–2009. Hal ini untuk mengurangi adanya kesejangan yang terjadi antar wilayah. Tujuan akhir dari pembangunan perdesaan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Di tahun awal perumusan RPJMN 2004–2009 terdapat berbagai permasalahan yang menghambat tercapainya pembangunan di perdesaan. Kendala tersebut antara lain rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pembangunan di perdesaan, sehingga sasaran pembangunan perdesaan dalam RPJMN 2004–2009 dapat dicapai.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

15

Gambar 2.1. Pembangunan Perdesaan dalam RPJMN 2004–2009

Sumber: RPJMN 2004–2009 (diolah)

Keberhasilan pembangunan di perdesaan tercermin dengan

meningkatnya kesejahteraan masyarakat perdesaan terutama yang berada di Jawa. Namun demikian, keberhasilan pembangunan perdesaan di Jawa ternyata belum diikuti dengan peningkatan pembangunan perdesaan di luar Jawa. Akibatnya, timbul kesenjangan yang cukup tinggi antara perkembangan desa di Jawa dan luar Jawa. Dengan capaian ini, secara umum, tidak terdapat masalah yang berarti dalam memenuhi target sasaran pembangunan perdesaan pada akhir 2009 nanti. Namun, ke depan upaya yang konsisten dan intensif dalam mendukung berjalannya program harus terus dilakukan. Pada akhirnya, pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan yang komprehensif nyaris dilakukan sebatas konsep. Pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan yang komrehensif pada kenyataannya tidak dilakukan secara sinergis. Pembangunan hanya sebatas dilakukan di desa secara definitif administratif namun belum dibangun dalam suatu pendekatan kawasan perdesaan seperti disyaratkan dalam konsep-konsep pembangunan kawasan perdesaan. Pada tahun 2009 saja pembangunan prasarana perdesaan telah dilakukan di 421 kabupaten yang dilakukan oleh PNPM Perdesaan dan Program Infrastruktur Perdesaan. Namun hasil-hasil pelaksanaan pembangunannya belum menunjukkan sinergi.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

16

Tabel 2.2. Pembangunan Perdesaan Vs. Pembangunan Desa

Items/Isu Membangun Desa

(Pembangunan Perdesaan) Desa Membangun

(Pembangunan Desa) Pintu masuk Perdesaan Desa

Pendekatan Functional Locus

Level Rural development Local development

Isu dan konsep-konsep terkait

Rural-urban linkage, market, pertumbuhan, lapangan pekerjaan,

Otonomi, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, dll.

Level, skala dan cakupan

Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa. Contohnya adalah kecamatan sebagai small town.

Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa

Skema kelembagaan

Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi.

UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal.

Pemegang kewenangan

Pemerintah daerah Desa (pemerintah desa dan masyarakat)

Tujuan Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan

Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta membangun desa yang mandiri

Peran pemerintah daerah

Merencanakan, membiayai dan melaksanakan

Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa

Peran desa Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

Sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan

Hasil Infrastruktur lintasdesa yang lebih baik

Tumbuhnya kota-kota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transaksi ekonomi desa kota.

Terbangunnya kawasan hutan, collective farming, industri, wisata, dll.

Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggaraan pelayanan publik bagi warga

Satu desa mempunyai produk ekonomi unggulan (one village one product).

Sumber: Hasil Kajian Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas, 2010.

Sebaliknya, justru mendorong kawasan perdesaan yang sebenarnya

layak dipertahankan sebagai kawasan produktif dan konservasi ternyata justru cenderung bergeser menjadi daerah perkotaan. Pembangunan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

17

perdesaan selama ini diduga telah mematikan fungsi desa dan dengan demikian telah menjauhkan pembangunan perdesaan dari tujuan konseptual pembangunan perdesaan itu sendiri. Dalam konteks demikian, apabila ditelusuri persoalan dasarnya, maka sebuah solusi kebijakan dapat disusun berdasarkan pengalaman pelaksanaan pembangunan perdesaan di seluruh Indonesia. Salah satu yang ditawarkan adalah konsep kebijakan pembangunan kawasan perdesaan dalam dimensi spasial.

2.5. Pembangunan Perdesaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010–2014

Kebijakan pembangunan perdesaan dalam RPJMN 2010–2014 dilaksanakan dengan prinsip pembangunan yang meliputi: (a) Pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat, yang berorientasi kepada karakteristik dan kebutuhan serta aspirasi lokal. Hal ini menitikberatkan pada proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan potensi-potensi lokal untuk pembangunan dalam upaya untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan kesejahteraan masyarakat setempat; (b) Pembangunan yang partisipatif; Kepemimpinan lokal dan kelembagaan perdesaan berperan penting dalam proses menuju keberlanjutan pembangunan. Dengan mempertimbangkan aspek lokalitas (berbasis lokal), pembangunan desa dapat berjalan lebih mandiri dan berkelanjutan; (c) Berkelanjutan; Untuk menjaga keseimbangan ekosistem wilayah perdesaan diperlukan penataan ruang perdesaan yang dapat mendukung upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya, konservasi sumber daya alam, pelestarian warisan budaya lokal, pertahanan kawasan lahan pangan berkelanjutan yang memberikan kemandirian pangan bagi masyarakatnya, serta keseimbangan pembangunan perdesaan – perkotaan.

Arah kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2010–2014 adalah memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi; serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

18

kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan.

Dalam rangka mewujudkan sasaran, kebijakan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu: a) Pembangunan perdesaan dalam rangka memenuhi pelayanan dasar masyarakat dan wilayah perdesaan yang berkualitas melalui kecukupan penyediaan sarana prasarana pendidikan, kesehatan, komunikasi dan informatika, transportasi, energi, dan permukiman yang dilakukan terutama di daerah tertinggal, perbatasan, pulau-pulau kecil terluar/terdepan, desa konservasi, desa hutan, dan kawasan transmigrasi, dan lainya; b) Pembangunan perdesaan dalam upaya membangun desa mandiri menuju daya saing desa , yang dapat dilakukan melalui pengembangan desa mandiri pangan, desa P2KP (percepatan penganekaragaman konsumsi pangan), desa mandiri energi, desa wisata, desa berbasis industri kreatif di bidang pariwisata, desa pendukung usaha pariwisata, desa siaga aktif, kawasan transmigrasi, dan lainnya.

Salah satu kebijakan dari pembangunan adalah pembangunan dari sisi wilayah dan tata ruang yang memprioritaskan pembangunannya pada pembangunan wilayah perdesaan. Pembangunan perdesaan menjadi prioritas meningat arti pentingnya pembangunan perdesaan bagi masyarakat perdesaan. Dengan adanya pembangunan maka akan dapat meningkatkan sarana dan prasaran yang ada di perdesaan. Keberadaan sarana dan prasaran tersebut dapat mendukung kegiatan ekonomi, pendidikan, kesehatan dari masyarakat perdesaan. Pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

19

Gambar 2.2. Pembangunan Perdesaan dalam RPJMN 2010–2014

Sumber: RPJMN 2010–2014, diolah

2.6. Kerangka Analisis Evaluasi

Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi RPJMN 2004–2009 dimana yang menjadi topik utama adalah bagaimana capaian dari sasaran yang telah ditetapkan. Salah satu prioritas pembangunan dalam RPJMN 2004–2009 adalah pembangunan perdesaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Terdapat aspek-aspek evaluasi yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan ini, sehingga dapat dinilai apakah pembangunan perdesaan ini dapat dinyatakan erhasil atau tidak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena

BIDANG PEMBANGUNAN

PRIORITAS BIDANG

FOKUS PRIORITAS BIDANG

Sosial Budaya dan Kehidupan

Beragama

Ekonomi

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sarana dan Prasarana

Politik

Pertahanan dan Keamanan

Hukum dan Aparatur

Wilayah dan Tata Ruang

SDA dan LH

Pembangunan Data dan Informasi Spasial

Penyelenggaraan Penataan Ruang

Reforma Agraria

Pembangunan Perkotaan

Pembangunan Perdesaan

Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah

Pengembangan Kawasan Strategis

Pengembangan Kawasan Perbatasan

Pengembangan Pembangunan Daerah

Tertinggal

Dst...

Menguatkan kapasitas dan peran desa dan tata kelola kepemerintahan desa

Meningkatkan kualitas dasar sumber daya manusia perdesaan

Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan

Meningkatkan ekonomi perdesaan

Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana

Meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan

Meningkatkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang seimbang,

berkelanjutan, berwawasan mitigasi bencana

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

20

dalam pelaksanaannya, terdapat banyak kendala dan tantangan sehingga perlu dikaji sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai.

Dengan menggunakan indikator yang telah dibuat di setiap komponen evaluasi, baik evaluasi input, evaluasi output maupun evaluasi dampak; akan dilihat beberapa hal misalnya terkait dengan gap antara realisasi dan rencana, capaian antar periode dan capaian antar daerah dan obyek. Sedangkan, analisa kualitatif akan digunakan untuk identifikasi, kategorisasi dan interpretasi, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Kerangka Evaluasi Pembangunan Perdesaan

Kegiatan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pembangunan yang telah dilakukan di perdesaan yang menjadi salah satu fokus bidang pembangunan pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan aspek penilaian yang telah disebutkan sebelumnya. Setiap aspek memiliki sasaran yang disampaikan dalam RPJMN 2004–2009, baik secara rinci maupun tersirat. Pencapaian sasaran tersebut menjadi indikasi adanya peningkatan kesejahteraan

Sasaran Capaian

Kendala

Tantangan

RPJMN 2004–2009

EVALUASI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Realisasi (Data)

Laporan Kinerja

Implikasi Kebijakan

Harmonisasi & Sinkronisasi

RPJMN 2010–2014

EVALUASI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

21

masyarakat. Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah tidak adanya pembedaan untuk sasaran yang ingin dicapai di perkotaan atau di perdesaan. Secara kuantitatif, analisis untuk mengetahui bagaimana pencapaian dari sasaran yang telah dijabarkan pada RPJMN 2004–2009 adalah dengan melihat capaian terhadap rencana untuk setiap periode dan daerah.

Gambar 2.4. Kerangka Analisis

Sasaran yang dijabarkan pada RPJMN 2004–2009 akan dibandingkan hasilnya dengan capaian pada RPJMN 2010–2011, dari data yang diperoleh dari RPJMN dan Podes dapat dilihat sejauh mana capaian nya sampai dengan tahun 2011 (Gap analysis). Dengan growth analysis dapat diketahui bagaimana pertumbuhan yang dicapai pada setiap periode. Walaupun sasaran belum dapat tercapai, akan tetapi kita dapat melihat bagaimana penurunan/peningkatan pertumbuhan setiap periode. Selain itu juga, perlu diketahui bagaimana distribusi capaian dari setiap

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

22

aspek untuk setiap wilayah (dalam kegiatan ini adalah wilayah di perdesaan).

Data sekunder dan primer yang digunakan dalam penelitian ini akan diidentifikasi, kategorisasi, dan interpretasi untuk setiap aspek yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Sehingga dapat diketahui bagaimana capaian dari setiap aspek tersebut, dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bagaimana dampak pembangunan yang telah berjalan terhadap kesejahteraan masyarakat. Apakah dengan adanya pembangunan perdesaan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau tidak dilihat dari aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Berdasarkan hasil evaluasi dari pembangunan perdesaan ini maka dapat diketahui faktor yang menjadi kendala dan cara penanggulan jika terdapat aspek yang tidak (belum dapat) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

23

BAB III DINAMIKA PEMBANGUNAN PERDESAAN

3.1. Program dan Pembiayaan Pembangunan Perdesaan

Pembangunan perdesaan yang dilakukan dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dan mengurangi jumlah penduduk miskin secepat-cepatnya dengan melibatkan seluruh masyarakat (inclusive growth). Untuk meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010, tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Dalam Perpres tersebut diamanatkan untuk membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat pusat yang keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan di provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Selain tiga instrumen utama penanggulangan kemiskinan tersebut (Gambar 3.1.), pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Tim Koordinasi Peningkatan Dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Upaya peningkatan dan perluasan program pro-rakyat (Klaster IV) dilakukan melalui:

1. Program Rumah Sangat Murah.

2. Program Kendaraan Angkutan Umum Murah.

3. Program Air Bersih Untuk Rakyat.

4. Program Listrik Murah dan Hemat.

5. Program Peningkatan Kehidupan Nelayan.

6. Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

24

Gambar 3.1. Instrumen Utama Penanggulangan Kemiskinan

• Tujuan: Mengurangi beban rumah tangga miskin melalui peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan sanitasi

Klaster I

(bantuan sosial terpadu berbasis keluarga)

• Tujuan: Mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip

Klaster II

(Penanggulan Kemiskinan Berbasis

Pemberdayaan Masyarakat)

• Tujuan: Memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil

Klaster III

(Penanggulangan Kemiskinan Berbasis

Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil)

Sumber: TNP2K, 2011.

Kajian ini memfokuskan pada program di klaster II yaitu penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dimana program-program yang ada di klaster II adalah sebagai berikut:

1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) terdiri dari: PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Perdesaan R2PN (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias), PNPM Mandiri Agribisnis/SADI (Smallholder Agribusiness Development Initiative), PNPM Generasi Sehat Dan Cerdas, PNPM Lingkungan Mandiri Perdesaan (PN PM-LMP), Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP), PNPM Mandiri Respek (Rencana Strategis Pengembangan Kampung) Bagi Masyarakat Papua, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan, Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Program Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), PNPM-Mandiri Daerah Tertinggal Dan Khusus/Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK), PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP), PNPM-Mandiri Pariwisata, dan PNPM-Mandiri Perumahan dan Permukiman (PNPM-Mandiri Perkim). Secara lebih rinci penjelasan mengenai program yang dilakukan di perdesaan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

25

a. PNPM Mandiri Perdesaan

PNPM Mandiri Perdesaan merupakan bagian dari PNPM inti yang ditujukan bagi pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Program ini dikembangkan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998. Besar dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang dialokasikan ke kecamatan adalah sebesar Rp1,5 – 3 Miliar, yang ditentukan berdasarkan jumlah desa tertinggal dan rasio jumlah penduduk miskin dibandingkan jumlah penduduk di kecamatan tersebut. Setiap kecamatan akan mendapat minimal 3 kali alokasi.

Sumber pendanaan dan anggaran PNPM-Mandiri Perdesaan adalah dana dari APBN dan APBD. Mekanisme pencairan dana ini dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) atau Kas Daerah ke rekening kolektif bantuan PNPM (BPNPM) yang dikelola oleh Unit Pelaksana Kegiatan (UPK). Masyarakat desa dapat menggunakan dana tersebut sebagai hibah untuk membangun prasarana penunjang produktivitas desa, pinjaman bagi kelompok ekonomi untuk modal usaha, atau kegiatan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. PNPM-Mandiri Perdesaan bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun daerahnya.

b. PNPM Generasi Sehat Dan Cerdas

PNPM Generasi Sehat dan Cerdas merupakan program pemerintah yang memfasilitasi masyarakat dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan kegiatan untuk peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan akses pendidikan dasar dan menengah. Program ini memfokuskan diri pada dua aspek kegiatan, yaitu kesehatan ibu-anak balita; serta pendidikan anak-anak usia sekolah (Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah). Dalam pelaksanaannya, program ini mengadopsi sepenuhnya prinsip dan prosedur PNPM Mandiri Perdesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat, dengan mengedepankan partisipasi masyarakat (bottom up). Tujuan dari program PNPM Generasi Sehat dan Cerdas adalah meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak-anak balita dan meningkatkan pendidikan anak-anak usia sekolah hingga tamat Sekolah Dasar (SD/MI) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP/MTs).

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

26

c. PNPM Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP)

PNPM-LMP adalah program yang berupaya agar aspek lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi bagian integral dari aktivitas pembangunan masyarakat di perdesaan. Hal ini dilakukan agar kegiatan penanggulangan kemiskinan menyentuh aspek lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga penggalian gagasan dan usulan kegiatan selama ini yang muncul dari masyarakat adalah yang terkait dengan aspek pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Tujuan umum program ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan perdesaan melalui pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam secara lestari. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran PNPM-LMP adalah kelompok masyarakat miskin perdesaan (RTM); kelembagaan masyarakat yang terkait dengan kegiatan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam (kelompok petani, nelayan, penambang, peladang berpindah, dan kelompok peduli lingkungan); tata pemerintahan lokal (desa dan kabupaten) lokasi pilot PNPM-LMP.

d. PNPM Mandiri Respek (Rencana Strategis Pengembangan Kampung) Bagi Masyarakat Papua

PNPM Mandiri Respek Bagi Masyarakat Papua adalah program untuk mengembalikan harga diri orang Papua bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membangun diri dan kampung sendiri. Secara bertahap program ditujukan untuk mengembalikan semangat gotong royong masyarakat, memberdayakan masyarakat, dan mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah daerah.

e. PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan

PNPM-Mandiri Infrastruktur adalah program yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan perekonomian masyarakat di daerah yang terpilih. Melalui program tersebut masyarakat dapat melakukan pembangunan, perbaikan prasarana, dan sarana

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

27

infrastruktur serta bidang lain guna mendukung peningkatan perekonomian. Tujuan jangka panjang PNPM-Mandiri Infrastruktur Perdesaan/Peningkatan Infrastruktur Perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Sedangkan tujuan jangka menengah adalah untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dan yang mendekati miskin ke infrastruktur dasar di wilayah perdesaan.

f. Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW)

PISEW adalah program yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan tingkat pengangguran terbuka. Hal-hal tersebut dilakukan bersamaan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. Tujuan pelaksanaan PISEW adalah mempercepat pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, pengentasan kemiskinan daerah perdesaan, memperbaiki pengelolaan pemerintahan (local governance) dan penguatan institusi di perdesaan Indonesia.

g. Program Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)

Program WSLIC-3/PAMSIMAS merupakan program dan aksi nyata pemerintah (pusat dan daerah) dengan dukungan Bank Dunia, untuk meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama dalam menurunkan angka penyakit diare dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui air dan lingkungan. Tujuan Program Pamsimas adalah untuk meningkatkan akses layanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin perdesaan khususnya masyarakat di desa tertinggal dan masyarakat di pinggiran kota (peri-urban). Sasaran program ini adalah kelompok miskin di perdesaan dan pinggiran kota (peri-urban) yang memiliki prevalensi penyakit terkait air yang tinggi dan belum mendapatkan akses layanan air minum dan sanitasi.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

28

h. PNPM-Mandiri Daerah Tertinggal Dan Khusus/Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK)

Program P2DTK adalah penanggulangan kemiskinan dengan sasaran daerah tertinggal dan daerah khusus yang dilakukan Pemerintah Daerah dengan difasilitasi oleh Pemerintah Pusat (melalui Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal) untuk meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi daerah melalui pendekatan pemberdayaan dan keswadayaan masyarakat. P2DTK sebagai program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dimana masyarakat penerima yang menentukan sendiri kebutuhannya untuk meningkatkan perekonomian. Pelaksanaan program ini melibatkan unsur pemerintah, masyarakat, dan konsultan dengan struktur organisasi berjenjang dari tingkat nasional sampai kecamatan. Tujuan P2DTK secara umum adalah untuk membantu Pemerintah Daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi di daerah-daerah tertinggal dan khusus. Adapun kelompok yang menjadi sasaran dari Program P2DTK adalah pemerintah daerah, komunitas dan masyarakat serta lembaga sosial kemasyarakatan.

i. PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP)

PNPM Mandiri-KP adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir atau masyarakat nelayan pada sektor kelautan dan perikanan. Tujuan PNPM Mandiri-KP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi kelompok masyarakat yang mencari nafkah di bidang kelautan dan perikanan yang miskin di 120 Kabupaten/Kota penerima PNPM Mandiri-KP. Mereka adalah warga yang tinggal di wilayah pesisir atau di luar pesisir yang memiliki kegiatan di bidang kelautan dan perikanan. Ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri-KP meliputi: Perikanan Budidaya; Perikanan Tangkap; Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan; Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan; Pengelolaan Sumberdaya Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil; Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

29

j. PNPM-Mandiri Pariwisata

PNPM Mandiri Pariwisata adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang berupaya membantu masyarakat miskin yang tinggal di sekitar wilayah destinasi pariwisata. Desa-desa miskin yang menjadi sasaran PNPM-Mandiri Pariwisata adalah desa-desa yang memiliki potensi pengembangan kegiatan kepariwisataan, dekat dengan Obyek Daerah Tujuan Wisata (ODTW), maupun fasilitas pendukung pariwisata.

Kegiatan-kegiatan pokok pengembangan destinasi pariwisata unggulan adalah untuk (1) Mendorong pertumbuhan dan perkembangan investasi dalam industri pariwisata melalui konsep simplifikasi perizinan dan insentif perpajakan bagi investor; (2) Mendorong pertumbuhan daya tarik wisata unggulan di setiap provinsi (one province one primary tourism destination) bersama-sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat; (3) Pengembangan paket-paket wisata yang kompetitif di masing-masing destinasi pariwisata; (4) Revitalisasi dan pembangunan kawasan pariwisata baru, termasuk pula prasarana dan sarana dasarnya (seperti jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih dan sarana kesehatan); (5) Pemberian insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha pariwisata dalam membangun produk pariwisata (daya tarik dan sarana pariwisata); (6) Pemberian perhatian khusus kepada pengembangan kawasan ekowisata dan wisata bahari, terutama di lokasi-lokasi yang mempunyai potensi obyek wisata alam bahari yang sangat besar; (7) Pengembangan pariwisata yang berdaya saing melalui: (a) terbangunnya komitmen nasional agar sektor-sektor di bidang keamanan, hukum, perbankan, perhubungan, dan sektor terkait lainnya dapat memfasilitasi berkembanganya kepariwisataan terutama pada wilayah-wilayah yang memiliki destinasi pariwisata unggulan; (b) harmonisasi dan simplifikasi perangkat peraturan baik di tingkat pusat, daerah dan antara pusat dan daerah; (c) menformulasi, menerapkan, dan mengawasi standar industri pariwisata yang dibutuhkan.

2. Program Perluasan Dan Pengembangan Kesempatan Kerja/Padat Karya Produktif

Padat Karya adalah suatu kegiatan produktif yang memperkerjakan atau menyerap tenaga kerja penganggur dan setengah penganggur yang

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

30

relatif banyak. Secara teknis konsep program ini adalah untuk membangun ekonomi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat usaha-usaha produktif dengan memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi sederhana yang ada serta peluang pasar yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan dan memperluas kesempatan kerja.

Jenis-jenis usaha yang dapat dikembangkan dalam kegiatan Padat Karya Produktif lebih berorientasi pada kegiatan usaha yang bersifat ekonomi produktif dan berkelanjutan seperti:

a. Usaha-usaha di sektor pertanian, sub sektor tanaman pangan dan holtikultura, antara lain: budi daya padi, jagung, cabe, kentang dan buah-buahan.

b. Usaha-usaha di sektor pertanian, sub sektor peternakan, antara lain: penggemukan sapi, kambing, peternakan ayam potong dan petelor.

c. Usaha-usaha di sektor pertanian, sub sektor perikanan, antara lain: pembenihan udang, budi daya rumput laut, kolam ikan, tambak dan kerambah.

d. Di bidang usaha industri kecil, antara lain: pembakaran gamping, batu bata, batako dan pembuatan keramik.

e. Sarana penunjang ekonomi rakyat, seperti: pasar perdesaan, embung (penampungan air di musim hujan) dan waduk.

Pembangunan perdesaan meliputi pembangunan untuk peningkatan infrastruktur perdesaan (dengan anggaran sebesar 926 miliar rupiah). Sebelum krisis ekonomi, kebutuhan investasi di bidang infrastruktur diperkirakan sebesar 6,8 persen dari PDB. Akan tetapi, tidak semua kebutuhan akan dana untuk pembiayaan infrastuktur dapat dipenuhi dari APBN yang berarti bahwa kekurangannya harus ditutupi dari sektor swasta. Saat ini kemampuan APBN dalam menyediakan dana untuk infrastruktur jauh menurun, hanya sekitar 1-1,2 persen saja dari PDB, dan juga sejak krisis, investasi swasta sama sekali tidak ada. Bahkan bila seluruh belanja APBN yang sebesar 20 persen dari PDB digunakan sepenuhnya untuk pembangunan infrastruktur masih jauh dari mencukupi.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

31

Tabel 3.1. Pagu Indikatif untuk Program Pembangunan Perdesaan

No Program Instansi

Pelaksana

Pagu Indikatif

(Rp miliar) 1 Peningkatan Keberdayaan Masyarakat dan

PNPM Perdesaan dengan Kecamatan (PNPM Perdesaan)

Depdagri 8356,3

2 Peningkatan Infrastruktur Perdesaan Dep. PU 926 3 Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian

(PUAP) Deptan 1105,5

4 Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan

KPDT 90

Sumber: RKP, 2005-2010.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat mendukung iklim investasi terutama di bidang infrastruktur agar dapat menjadi salah satu sumber bagi pembiayaan infrastruktur perdesaan. Adanya kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang menarik dengan berbagai upaya reformasi dan restrukturisasi sektor dan korporasi di bidang infrastruktur maka diharapkan:

1. Terjadinya peningkatan investasi di bidang infrastruktur melalui peranserta dunia usaha dan swasta yang lebih besar;

2. Menurunnya biaya bagi investasi tersebut;

3. Terwujudnya jasa pelayanan infrastruktur yang lebih banyak dan meningkatnya manfaat ekonomi; serta

4. Menurunnya biaya dalam pembiayaan investasi (financing investment).

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

32

KKeemmaannddiirriiaann DDeessaa WWiissaattaa TTeemmbbii ddaallaamm MMeenniinnggkkaattkkaann KKeesseejjaahhtteerraaaann MMaassyyaarraakkaatt LLookkaall

((DDuussuunn TTeemmbbii,, DDeessaa TTiimmbbuullhhaarrjjoo,, KKeeccaammaattaann SSeewwoonn,, KKaabbuuppaatteenn BBaannttuull,, DDIIYY))

Pencanangan sebagai Desa Wisata pada tahun 1994/1995 telah membawa perubahan yang cukup besar bagi perkembangan kesejahteraan masya-rakat Dusun Tembi. Antusiasme yang besar untuk memberi warna bagi kemajuan dusun semakin hari tampaknya mulai menyatu dalam urat nadi masyarakat Tembi, kalau awalnya, lebih sebagai hasil dorongan pihak luar, kini telah menjadi hasrat dan motivasi dari penduduk asli Tembi untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri.

Awalnya, pada tahun 1993, seorang warga negara Australia, Warwick Purser, mendirikan perusahaan distributor dan produsen terbesar untuk kerajinan tangan yaitu PT. Out of Asia di Dusun Tembi yang berhasil mempekerjakan kurang lebih 800 orang dari penduduk sekitar. Hal ini memberikan lapangan kerja yang cukup menarik bagi masyarakat Tembi, yang sebelumnya sulit sekali mencari pekerjaan di daerah ini sehingga kebanyakan penduduknya pindah dan bekerja di kota. Dari perusahaan tersebut, penduduk Tembi dilatih untuk menjadi pengrajin yang memiliki kreasi dan inovasi yang tinggi terutama untuk memproduksi produk-produk kerajinan yang berkualitas ekspor. Dalam perkembangannya, saat ini, tidak lagi tergantung dari perusahaan tersebut, penduduk asli Tembi juga telah mampu secara mandiri memproduksi dan memasarkan produk kerajinannya, terutama ke pasar ekspor dengan nama Sentono Handicraft, dengan sekitar 20 kepala keluarga terlibat di dalamnya sebagai pengrajin.

Dusun Tembi sebagai salah satu dari segitiga pariwisata Gabusan-Manding-Tembi (GMT) yang merupakan gabungan dari tiga buah dusun dalam poros Jalan Parangtritis pada kisaran kilometer 8-11, terus digalakkan Pemkab Bantul untuk dapat berkembang menjadi kawasan wisata yang potensial.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

33

Ketiga dusun tersebut memiliki potensi dan kekhasannya masing-masing. Ciri khas yang ditawarkan Tembi adalah mempertahankan desa mereka seasli mungkin. Jalan yang acak, tidak beraspal, rumah-rumah tradisional tanpa pagar, sampai sawah dan pepohonan yang dibiarkan rindang. Desa yang benar-benar asri dan apa adanya. Kelebihan inilah, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk homestay, yang disewakan kepada wisatawan domestik maupun asing dengan mengedepankan nuansa pedesaan yang kental. Paling tidak terdapat 30 rumah warga yang sekaligus dijadikan homestay dengan tarif per hari antara 150 ribu rupiah, selain itu juga terdapat full homestay (Omah Tembi dan d’Omah) dengan tarif per hari antara 350-800 ribu rupiah.

Daya tarik suasana pedesaan inilah yang kemudian dikemas menjadi paket-paket wisata yang melibatkan partisipasi seluruh warga. Paket wisata yang ditawarkan antara lain paket membuat kerajinan (handicraft), membatik, sungging wayang, menanam padi, memandikan kerbau dan lain-lain. Warga terlibat mulai dari pengelolaan manajemennya melalui kepengurusan yang dibentuk sampai dengan tenaga pelaksana di lapangan. Para bapak bekerja di workshop kerajinan sekaligus dapat menjadi pemandu untuk paket wisata di workshop kerajinan. Ibu-ibu berperan dalam menyiapkan makanan bagi para tamu yang menginap di homestay mereka dengan menu khas desa. Sedangkan kaum muda berperan sebagai pemandu di lapang untuk mengarahkan para wisatawan yang mengikuti paket wisata. Tidak hanya itu, sepuluh persen pendapatan warga dari desa wisata ini diberikan kepada kas dusun sebagai bentuk kontribusi warga untuk membangun desanya, yang pada akhirnya untuk kesejahteraan bersama. Semangat kemandirian melalui keswadayaan masyarakat dalam membangun ide, partisipasi, dan pengelolaan desa menjadi titik tolak yang sangat berharga. Terbukti, hal ini telah membawa perubahan positif baik dalam pola pikir dan pola penghidupan masyarakat Tembi dengan tetap menjaga dan mempertahankan nilai-nilai tradisi budaya Jawa.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

34

3. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Program penanggulangan putus pendidikan dasar telah banyak diterbitkan. Program yang paling populer saat ini adalah Bantuan Operasional Sekolah atau yang lebih dikenal dengan BOS. Tujuan pemerintah menciptakan Program BOS ini adalah agar semua anak terutama dari keluarga miskin dapat mencapai kelulusan pada tingkat pendidikan dasar.

Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan sebagai Dana Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli–Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut, dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan Program BKM. Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar untuk biaya operasional sekolah.

Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp5,3 triliun antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp11,12 triliun di tahun 2006, atau sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp235.000 (sekitar AS$25) per siswa per semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp324.500 (kira-kira AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran, serta untuk meningkatkan transparansi.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

35

Komitmen pemerintah yang kurang terhadap anggaran bidang pendidikan memunculkan sejumlah problema sosial. Dampak yang paling kronis adalah belum tercapainya Wajib Belajar 9 tahun secara merata (dapat dilihat dari masih rendahnya pendidikan yang ditamatkan (lihat Gambar 3.10). Rendahnya anggaran ini juga berakibat bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat seperti yang tertuang pada UU No 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 3. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945. Menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat telah membangun logika aparatur pemerintah bahwa pemerintah bertanggung jawab separuh dan separuh lagi ditanggung oleh masyarakat yaitu orang tua siswa.

Hal tersebut memunculkan legalitas bahwa sekolah memungut berbagai iuran dan sumbangan kepada orangtua siswa. Akibatnya pendidikan menjadi mahal dan hanya menyentuh kelompok masyarakat dengan status ekonomi menengah keatas. Sehingga anak-anak dari kelompok masyarakat miskin tidak mampu membiayai sekolah. Jika kita membuat perbandingan antara rata-rata penghasilan penduduk Indonesia dengan rata-rata biaya pendidikan memang akan terlihat betapa mahalnya pendidikan di Indonesia. Berikut ini kutipan tabel mengenai rincian biaya pendidikan selama satu tahun yang dihimpun oleh Balitbang Kemendiknas.

Tabel 3.2. Biaya Pendidikan Siswa per Tahun

Jenjang Pendidikan

Biaya Satuan Pendidikan Per Tahun (dalam ribu rupiah)

Buku +

ATK

Pakaian + perlengkapan

sekolah Transportasi

Karya wisata

Uang saku

Iuran Sekolah

Total

SD 245,5 348,0 331,5 55,0 492,5 317,5 1.790,0 MI 200,5 298,5 215,0 42,5 374,0 150,0 1,280,5 SMP 264,0 346,5 374,0 64,5 646,0 501,5 2.196,5 MTs 183,0 318,5 242,5 57,0 495,0 296,5 1.592,5

Sumber: Balitbang Kemendiknas dalam Ujiyati (2005)

Berdasarkan data pada tabel diatas, rata-rata biaya pendidikan SD per bulan adalah sebesar Rp150.000 dan biaya pendidikan SMP sebesar Rp183.000. Apabila dikaji berdasarkan penghasilan petani, buruh atau

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

36

pekerja pabrik, biaya sekolah tersebut jelas sangat tinggi. Berdasarkan data Upah Minimum Propinsi (UMP) tahun 2005, rata-rata UMP di Indonesia sebesar Rp460,892. Seandainya seorang buruh yang memiliki dua orang anak maka penghasilannya jelas tidak dapat untuk membiayai sekolah hingga SMP. Kondisi tersebut membuat keparahan pada anak yang memerlukan investasi untuk masa depannya.

3.2. Capaian Pembangunan Perdesaan

Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2004–2009 diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan memperhatikan kesetaraan gender. Secara rinci dalam RPJMN 2004–2009 dijabarkan beberapa sasaran dan indikator dalam pembangunan perdesaan. Dapat dikatakan bahwa pembangunan perdesaan melingkupi beberapa bidang termasuk diantaranya kesehatan, pendidikan, perekonomian, infrastruktur serta partispasi masyarakat. Bagian ini akan menjabarkan perkembangan pembangunan perdesaan dalam lingkup bidang yang ada. Data yang digunakan untuk melihat bagaimana dinamika pembangunan perdesaan pada aspek kesehatan adalah data di tingkat perdesaan dan di tingkat nasional (apabila tidak tersedia data di tingkat perdesaan).

3.2.1. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Ekonomi

Secara umum, produksi sektor pertanian menunjukkan perkembangan yang terus meningkat tiap tahunnya. Dari Gambar 3.2. dan Gambar 3.3. dapat dilihat bahwa PDB sektor Pertanian terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2004–2010. Dapat ditambahkan pula bahwa sektor pertanian di Indonesia utamanya disumbang oleh sub sektor tanaman pangan dengan porsi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sub sektor yang lainnya (hampir 50 persen rata-rata per tahun). Dengan ini dinamika sektor pertanian dan oleh karenanya pula pembangunan perdesaan merupakan faktor utama yang menentukan sejauhmana ketahanan pangan di Indonesia.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

37

Gambar 3.2. Perkembangan PDB Sektor Pertanian (Rp.Miliar)

Sumber: BPS, 2010

Tingginya laju pertumbuhan dan distribusi PDB sektor pertanian menunjukkan bahwa sektor ini berkontribusi besar terhadap PDB Indonesia. Bukti empiris selama krisis juga menunjukkan bahwa tatkala sektor-sektor lain, khususnya sektor konstruksi dan industri manufaktur, mengalami kontraksi hebat sektor pertanian tetap mampu tumbuh positif. Ketika sektor-sektor lain melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian justru meningkat tajam. Tatkala ekspor produk non-pertanian mengalami penurunan, ekspor produk pertanian justru mengalami peningkatan tajam. Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor pertanian patut dipertimbangkan sebagai alternatif andalan pembangunan ekonomi nasional menggantikan sektor industri (high tech industry) yang telah terbukti tidak sesuai untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.

247.

164

253.

882

262.

403

271.

509

284.

619

295.

934

304.

406

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

38

Gambar 3.3. Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian (Persen)

Sumber: BPS, 2010.

Namun jika melihat pertumbuhan PDB sektor pertanian dalam periode yang sama, pertumbuhan yang terus meningkat terjadi hingga paling tidak tahun 2008 yang kemudian menunjukkan kecenderungan menurun hingga 2010. Hal ini menjadi satu indikasi bahwa dinamika sektor pertanian sekalipun menunjukkan perkembangan yang positif namun menghadapi permasalahan-permasalahan tersendiri sehingga perlu menjadi perhatian yang serius ke depan.

Yang tidak tidak kalah pentingnya lagi adalah terkait dengan salah satu sasaran pembangunan perdesaan dimana disebutkan untuk Meningkatnya peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional. Namun realisasinya dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertanian sepanjang 2004 hingga 2010 menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Pada tahun 2004, sektor pertanian berkontribusi sekitar 14,92 persen pada perekonomian. Kontribusi ini terus menurun hingga paling tidak tahun 2010 dimana tercatat kontribusi sektor pertanian terdapat perekonomian sebesar 13,17 persen.

Di satu sisi, berbagai permasalahan di sektor pertanian mulai dari semakin terbatasnya lahan pertanian, degradasi kualitas lahan pertanian hingga masalah ketidakpastian iklim menuntut kebijakan yang lebih efektif untuk dapat mengoptimalkan pembangunan perdesaan dan hasil-hasilnya. Di sisi yang lain, kondisi ini juga menjadi perhatian bersama apakah

Pertumbuhan Sektor Pertanian

2,82 2,72

3,36 3,47

4,83

3,98

2,86

-

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

39

Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam masih akan menjadikan sektor pertanian menjadi sebagai sektor basis. Karena untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang tidak saja pro-pertanian tetapi juga dalam rangka percepatan-percepatan revitalisasi sektor pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sektor pertanian yang notabene merupakan sektor yang berada di kawasan perdesaan menunjukkan bahwa untuk semakin meningkatkan peranan dari sektor pertanian terutama terhadap masyarakat desa maka diperlukan infrastruktur yang baik di perdesaan. Sehingga diharapkan dengan adanya peningkatan terhadap sektor pertanian maka akan meingkatkan kemampuan dalam menyerap tenaga kerja dan akhirnya dapat mengurangi pengangguran di perdesaan.

Gambar 3.4. Kontribusi PDB Sektor Pertanian terhadap Perekonomian (Persen)

Sumber: BPS, 2010.

Melihat kondisi tersebut maka RKP 2009 memprioritaskan program kerjanya pada peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan serta percepatan pertumbuhan berkualitas, memperkuat daya tahan ekonomi didukung pembangunan pertanian, infrastruktur dan energi karena dengan adanya pembangunan pertanian akan menciptakan kesempatan kerja dan mengentaskan kemiskinan, menjadi penyedia lapangan pekerjaan yang besar.

Kontribusi Output Sektor Pertanian terhadap PDB

14,92

14,5014,21

13,8213,67 13,59

13,17

12,00

12,50

13,00

13,50

14,00

14,50

15,00

15,50

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

40

Sasaran pada RPJMN 2004–2009 menyebutkan bahwa terdapat peningkatan dari peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dari meningkatnya peran sektor pertanian dan non pertanian yang terkait dalam mata rantai pengolahan produk-produk berbasis perdesaan; serta terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran. Berdasarkan data maka dapat diketahui bahwa sasaran ini relatif tercapai jika dilihat dari semakin rendahnya pengangguran yang ada di desa.

Sebagaimana diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja untuk sektor pertanian terus berfluktuasi dan mengalami penurunan selama periode 2004–2010 (Gambar 3.5). Walaupun diketahui bahwa tingkat pengangguran di kota lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, akan tetapi trend dari tingkat pengangguran di desa yang relatif semakin menurun selama periode 2001–2008 (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7). Kondisi ini menjadi sebuah harapan dimana ketika terjadi peningkatan peran sektor pertanian terhadap PDRB, pengangguran di desa semakin menurun.

Gambar 3.5. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Sumber: BPS, 2010.

Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Ribu Orang)

40.6

08

41.3

10

40.1

36

41.2

06

41.3

32 41.6

12

41.4

95

39.000

39.500

40.000

40.500

41.000

41.500

42.000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

41

Indonesia disebut negara agraris atau negara pertanian karena peran sektor pertanian masih yang cukup signifikan dalam perekonomian, penyerapan tenaga kerja dan juga ekspor. Dalam konteks pembangunan perdesaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, perkembangan sektor pertanian memainkan peranan yang cukup krusial. Landasan utamanya tidak lain karena pekerjaan utama penduduk perdesaan adalah pada sektor pertanian. kondisi ini semestinya menjadi penghubung antara perkembangan sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja, ekspor sektor pertanian dengan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Dengan kata lain perkembangan yang positif di sektor pertanian semestinya dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Selama periode 2001–2008 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah pengangguran di desa dan di kota. Adapun penyebab terjadinya penurunan tingkat pengangguran di desa diduga disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja di perdesaan, meningkatnya lapangan kerja di sektor pertanian, peningkatan jumlah industri yang berlokasi di desa, atau peningkatan program padat karya yang menjadi agenda dari kebijakan fiskal pemerintah. Dengan adanya program padat karya dan industri yang bersifat karya akan menjadi pilihan lain bagi tenaga kerja di perdesaan selain dari bekerja pada sektor pertanian.

Gambar 3.6. Tingkat Pengangguran Terbuka Desa dan Kota

Sumber: BPS, 2010.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

42

Gambar 3.7. Tingkat Pengangguran Total Desa dan Kota

Sumber: BPS, 2010.

Jika dibandingkan dengan sasaran dari RPJMN 2004–2009 yang menargetkan bahwa laju pertumbuhan sektor pertanian adalah 3,52 persen per tahun maka target ini dapat dikatakan sudah tercapai untuk sektor pertanian (kecuali sub sektor kehutanan). Sedangkan di RKP 2007, lebih rinci disebutkan bahwa sasaran pada tahun 2007 adalah tingkat pertumbuhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan sebesar 2,7 persen, dengan perincian pertumbuhan untuk tanaman pangan adalah 1,5 persen, perkebunan 3,9 persen, peternakan 3,3 persen, dan perikanan sebesar 4,5 persen. Dan di RKP 2006 disebutkan bahwa sasaran tahun 2006 adalah tercapainya pertumbuhan PDB sektor pertanian, yang terdiri dari sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, perikanan, dan kehutanan sebesar 3,9 persen. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut diharapkan sektor pertanian secara luas dapat menyerap tenaga kerja sekitar 40,9 juta orang. Berdasarkan sasaran yang telah dikemukakan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sasaran telah berhasil dicapai untuk tahun 2006 dan 2007 baik dari sisi laju pertumbuhan PDRB maupun penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian.

Faktor lain yang menentukan bagaimana kondisi perekonomian baik di desa maupun di kota adalah tingkat inflasi. Inflasi dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dimana peningkatan inflasi akan melemahkan daya

-

2

4

6

8

10

12

14

16

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Perkotaan Perdesaan Total

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

43

beli dan berujung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat. Pada Gambar 3.8. dapat dilihat bahwa inflasi di desa lebih besar dibandingkan dengan inflasi di kota. Selama periode bulan Januari 2005 sampai November 2008 dapat dilihat bahwa terjadi kesejangan yang cukup besar antara inflasi desa dengan kota dimana inflasi di desa selalu lebih besar dibandingkan dengan inflasi di kota.

Pencapaian sasaran dari RPJM maupun RKP membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai program revitaliasasi pertanian. Adapun kisaran dana yang digunakan antara Rp245.334,2 juta (untuk program rehabilitasi hutan dan lahan) sampai Rp3.249.928,1 juta (untuk peningkatan produksi pertanian). Besarnya dana yang digunakan untuk pembiayaan pertanian digunakan untuk Pengembangan diversifikasi usaha tani melalui pengembangan usahatani dengan komoditas bernilai tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm utk meningkatkan pendapatan dan nilai tambah Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan perdesaan, melalui perbaikan jaringan irigasi dan jalan usahatani serta infrastruktur perdesaan lainnya; dan sampai pada penciptaan usaha produktif yang secara lebih lengkap tersaji pada Appendix.

Gambar 3.8. Inflasi Desa dan Kota (yoy)

Sumber: BPS, 2010.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

44

Pada tahun 2010, rata-rata nilai tukar petani sebesar 102.2 dimana untuk masyarakat perdesaan di propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia masih mengalami nilai NTP dibawah rata-rata. Nilai NTP penting untuk diketahui karena dapat menunjukkan besarnya pendapatan dan pengeluaran petani di perdesaan. NTP diperoleh dari persentase rasio indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB). NTP > 100 menunjukkan kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani lebih baik dibandingkan keadaan pada tahun dasar, yaitu tahun 2007. NTP = 100 berarti kemampuan/daya beli petani sama dengan keadaan pada tahun dasar. Sedangkan NTP<100 menunjukkan kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani menurun dibandingkan keadaan pada tahun dasar. Berdasarkan kategori tersebut, maka masih banyak petani di perdesaan yang memiliki kemampuan daya beli yang menurun. Peningkatan pendapatan petani dapat meningkatkan NTP yang akan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan petani dapat melalui jalur peningkatan jumlah produksi ataupun peningkatan harga komoditas pertanian. Akan tetapi, untuk jalur yang terakhir cukup beresiko karena juga akan berpengaruh terhadap pengeluaran petani.

Gambar 3.9. Nilai Tukar Petani (NTP) Desa Tahun 2010

Sumber: BPS, 2010

Rata-rata NTP: 102.2

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

45

3.2.2. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Kesehatan

Pertama dalam bidang kesehatan. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi pembangunan perdesaan dalam bidang kesehatan diantaranya adalah persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan, balita yang pernah mendapat imunisasi BCG, DPT, polio dan campak. Selain sarana dan fasilitas penunjang, ketersediaan tenaga kesehatan merupakan faktor penting dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

Menurut Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Dengan semakin banyaknya tenaga kesehatan (dokter dan bidan) dan bukan tenaga kesehatan (dukun dan lainnya) diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat perdesaan. Salah satunya adalah peningkatan persalinan yang dapat ditolong dengan selamat oleh tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan seperti yang terlihat pada Gambar 3.10.

Selama periode 2007–2010, pertumbuhan dari persalinan yang dapat ditolong oleh tenaga kesehatan dan balita yang mendapat imunisasi semakin meningkat. Pertumbuhan untuk setiap indikator lebih besar pada periode 2008–2009 dibandingkan dengan periode 2009–2010. Hal ini menjadi indikasi bahwa adanya kemajuan dari program peningkatan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah selama periode tersebut. Rata-rata sekitar 76 persen persalinan sudah mendapat pertolongan dari tenga medis selama periode 2007–2010, dan selama periode tersebut balita yang sudah mendapat imunisasi mencapai lebih dari 70 persen. Adanya peningkatan dana yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai program peningkatan akses masyarakat pada kesehatan menjadi faktor penting yang mendukung tingginya angka persentase tersebut.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

46

Gambar 3.10. Persentase Bayi Menurut Penolong Persalinan Tenaga Kesehatan dan Bukan Tenaga Kesehatan di Wilayah Perdesaan

Sumber: BPS, diolah

Berdasarkan kategori status gizi berdasarkan berat badan menurut usia (BB/U) tingkat kecukupan gizi di Indonesia pada tahun 2010 secara umum sudah baik. Walaupun peningkatan dari tahun 2007 sangat kecil. Selain itu, tingkat gizi kurang dan gizi buruk juga masih cukup tinggi yakni sebesar 20.70 persen. Tentu saja hal ini perlu mendapat perhatian agar kondisi gizi kurang dan buruk turun secara bertahap.

Pada kategori status gizi berdasarkan tinggi badan menurut usia dapat dilihat bahwa tahun 2010 keadaan gizi kita masih kurang. Dimana jumlah tinggi badan sangat pendek dan pendek (39.9 persen) masih sangat tinggi dan hampir sama dengan jumlah tinggi badan badan normal (60.1 persen). Selama jangka waktu tahun 2007 sampai 2010 tidak terjadi pertumbuhan yang signifikan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

47

Tabel 3.3. Indikator Kesehatan Masyarakat Perdesaan

Indikator Tahun

2007 2010 Growth

Kategori status gizi BB/U

Gizi buruk 6.4 5.9 -7.81 Gizi kurang 14.0 14.8 5.71 Gizi baik 75.7 74.2 -1.98 Gizi lebih 3.1 5.1 64.52

Kategori status gizi TB/U Sangat pendek 20.9 20.9 0.00 Pendek 19.0 19.1 0.53 Normal 60.1 60.1 0.00

Kategori status gizi BB/TB

Sangat kurus 6.7 6.6 -1.49 Kurus 7.4 7.4 0.00 Normal 73.9 72.6 -1.76 Gemuk 12.0 13.4 11.67

Imunisasi Dasar Lengkap 41.3 48.3 16.95 Tidak lengkap 47.7 34.0 -28.72 Tidak sama sekali 11.1 17.7 59.46

Frekuensi penimbangan (kali) Tidak pernah 28.2 28.8 2.13 1-3 kali 27.7 25.7 -7.22 4 kali 44.1 45.5 3.17

Tempat Penimbangan Anak Umur 6-59 Bulan

RS 1.3 1.3 0.00 Puskes 6.0 6.0 0.00 Polindes 3.3 3.3 0.00 Posyandu 86.0 86.0 0.00 Lainnya 3.3 3.3 0.00

Kepemilikan KMS* 1 20.0 28.0 40.00 2 40.7 24.0 -41.03 3 39.3 24.1 -38.68

Kepemilikan KIA** 1 12.8 25.4 98.44 2 25.1 18.1 -27.89 3 62.0 21.6 -65.16

Menerima kapsul vitamin A 69.7 65.3 -6.31 Keterangan: BB/U = Berat Badan menurut Umur; TB/U = Tinggi Badan menurut Umur; BB/TB = Berat Badan menurut Tinggi Badan

*) 1= Punya KMS dan dapat menunjukkan; *) 2= Punya KMS, tidak dapat menunjukkan/disimpan oleh orang lain; *) 3= Tidak punya KMS **) 1= Punya Buku KIA dan dapat menunjukkan; **) 2= Punya Buku KIA, tidak dapat menunjukkan/disimpan oleh orang lain; **) 3= Tidak punya KIA

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010

Menurut tabel Indikator Kesehatan di atas, keadaan gizi masyarakat Indonesia berdasarkan berat badan menurut tinggi badan sudah baik,

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

48

dimana pada tahun 2010 kondisi normal dan gemuk sudah mencapai 86 persen. Terjadi kenaikan sekitar 10 persen dari tahun 2007.

Kesadaran masyarakat untuk melakukan imunisasi dasar sudah baik walaupun persentase untuk imunisasi dasar ‘tidak lengkap’ masih cukup tinggi yakni 34 persen. Sedangkan persentase masyarakat yang tidak pernah memberikan imunisasi dasar terhadap anaknya meningkat hampir 60 persen dari 11.1 persen di tahun 2007 menjadi 17.7 persen di tahun 2010.

Frekuensi penimbangan menunjukan tingkat kesadaran ibu untuk mengikuti perkembangan kesehatan anaknya. Persentase kategori tidak pernah di tahun 2010 sebesar 28.8 persen. Angka tersebut masih sangat tinggi, hal ini menunjukan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memperhatikan perkembangan kesehatan anaknya. Sedangkan untuk tempat penimbangan anak usia 6–59 bulan, Posyandu menjadi pilihan hamper sebagian besar ibu (86%) untuk melakukan penimbangan. Hal ini beralasan karena selain jaraknya yang relative lebih dekat dan juga tidak mengeluarkan biaya. Indikator kesehatan pada kategori kepemilikan Kartu Menuju Sehat (KMS) dimana pada tahun 2007 persentase yang tidak memiliki KMS masih cukup besar yakni 39.3 persen. Namun terjadi pertumbuhan yang signifikan dimana pada tahun nilai tersebut turun menjadi 24.1 persen.

Begitupun untuk kategori kepemilikan Kartu Ibu dan Anak (KIA), terjadi perubahan yang menggembirakan hal ini dapat kita lihat dari penurunan persentase masyarakat yang tidak memiliki KIA dari 62.0 persen menjadi 21.6 persen selama kurun waktu 2001–2010. Di sisi lain, masyarakat yang memiliki KIA serta dapat menunjukannya pun meningkat hampir dua kali lipat yakni sebesar 98.44 persen. Sedangkan untuk kategori penerima kapsul vitamin A perlu mendapat perhatian dimana antara tahun 2007 ke 2010 telah terjadi penurunan sebesar 6.31 persen. Untuk itu perlu ada upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan serta perluasan dan pemeratan program-program fasilitas dan pelayanan kesehatan.

Capaian pembangunan perdesaan dilihat dari indikator Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Harapan Hidup (AHH). AKI dan AKB di Indonesia merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berbagai faktor yang terkait dengan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

49

resiko terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan cara pencegahannya telah diketahui, namun demikian jumlah kematian ibu dan bayi masih tetap tinggi (Depkes RI, 2001).

Gambar 3.11. Angka Kematian Bayi (Tingkat Nasional) Periode 2000 dan 2005

Sumber: BPS, 2010

Akan tetapi pertumbuhan AKB semakin menurun pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun 2000. Penurunan ini cukup signifikan yaitu sekitar 20 dari 1000 kelahiran hidup, sehingga target pada 2009 akan dapat tercapai yaitu penurunan sekitar 26 dari 1000 kelahiran hidup (RPJMN 2005–2009). Keterbatasan data yang diperoleh membuat analisis hanya dengan membandingkan data pada tahun 2000 dan 2005.

Kondisi yang sama juga terjadi pada AKI dimana sejak tahun 1994–2007 maka terdapat penurunan jumlah AKI sekitar 42 dari 100.000 kelahiran hidup. Meskipun secara nasional AKI dan AKB sudah menurun, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian balita pada golongan termiskin hampir

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

50

empat kali lebih tinggi dari golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah.

Gambar 3.12. Angka Kematian Ibu per 100.000 Kelahiran (Tingkat Nasional)

Sumber: SDKI 1994, 1997, 2002-2003, 2007.

Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan dalam mempercepat penurunan AKI adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Penempatan bidan di desa adalah upaya untuk menurunkan AKI, bayi dan anak balita. Masih tingginya AKB dan AKI menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai dan belum menjangkau masyarakat banyak, khususnya di perdesaan. Namun bidan di desa yang sudah ditempatkan belum didayagunakan secara optimal dalam upaya menurunkan AKI dan AKB (Palutturi, 2007) dan anak balita.

Asuhan persalinan normal dengan paradigma baru (aktif) yaitu dari sikap menunggu dan menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi, terbukti dapat memberi manfaat membantu upaya

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

51

penurunan AKI dan AKB. Sebagian besar persalinan di Indonesia terjadi di desa atau di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Tingkat keterampilan petugas dan sarana kesehatan sangat terbatas, maka paradigma aktif menjadi sangat strategis bila dapat diterapkan pada tingkat tersebut (JNPK, 2007).

Tujuan dari asuhan persalinan normal adalah mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang optimal. Hal ini berarti bahwa upaya asuhan persalinan normal harus didukung oleh adanya alasan yang kuat dan berbagai bukti ilmiah yang dapat menunjukkan adanya manfaat apabila diaplikasikan pada setiap proses persalinan (JNPK, 2007). Kajian kinerja petugas pelaksana pertolongan persalinan (bidan) di jenjang pelayanan dasar, mengindikasikan adanya kesenjangan kinerja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan bagi ibu hamil dan bersalin. Hal ini terbukti dari masih tingginya angka kematian ibu dan bayi.

Sementara itu, Angka Harapan Hidup (AHH) tidak terlalu menunjukkan performance yang baik pada periode 2005–2006 dimana peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Secara spesifik tidak disebutkan angka target dalam RKP tahun 2006, akan tetapi dinyatakan bahwa sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2006 diarahkan untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat, terutama penduduk miskin, terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin pada (salah satunya) yaitu menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit malaria, demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis paru, diare, dan HIV/AIDS; dan meningkatnya pemerataan tenaga kesehatan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

52

Gambar 3.13. Angka Harapan Hidup (Tingkat Nasional) Periode 2005-2006

Sumber: BPS, 2010.

Data Susenas, 2000 memberikan gambaran perbedaan atau perbandingan kematian antar daerah, dimana untuk KTI angka kematian kelompok umur 0-14 tahun lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Kelangsungan hidup anak dapat diindikasikan dari rasio anak yang masih hidup terhadap anak lahir hidup yang dilahirkan ibu usia subur. Data Susenas, 2001 melaporkan rata-rata anak lahir hidup per wanita usia subur di KTI adalah 3,40 anak. Di perdesaan (3,50) lebih tinggi daripada di perkotaan (3,16). Dari anak lahir hidup tersebut 95 persen dilaporkan masih hidup atau 15 persen meninggal. Persentase yang meninggal dilaporkan lebih tinggi di perdesaan (16 persen) daripada di perkotaan (12 persen). Disamping itu pola kematian perkotaan lebih rendah dari perdesaan.

Tingginya angka kematian di Kawasan Timur Indonesia (KTI) ini mengingat fasilitas layanan kesehatan di KTI masih jauh tertinggal dibandingkan kawasan lainnya, demikian pula di KTI sendiri fasilitas layanan kesehatan antar region sangat memprihatinkan. Perbedaan mencolok kesulitan akses ke fasilitas layanan terlihat antar perkotaan dan perdesaan. Diantara wilayah di KTI, kesulitan akses ke fasilitas layanan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

53

kesehatan di kepulauan NTB, NTT, Maluku dan Papua terlihat paling tinggi diikuti oleh Kalimantan dan Sulawesi. Melalui survei Potensi Desa (Podes) tahun 2000, BPS mengidentifikasi desa-desa yang dinyatakan sulit memperoleh akses terhadap fasilitas layanan kesehatan. Di KTI adalah sulitnya akses ke fasilitas RS (62 persen), RSB (72 persen), dokter (50 persen), dan apotik (62 persen). Gambaran ini menunjukkan betapa terbatasnya jumlah fasilitas kesehatan yang dapat dicapai di tingkat desa yang ada di KTI.

Tingginya tingkat kesulitan untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan di KTI menyebabkan banyaknya masyarakat melakukan pengobatan sendiri tanpa datang ke fasilitas kesehatan atau memanggil dokter/petugas kesehatan untuk menyembuhkan atau meringankan keluhan kesehatan. Cara pengobatan meliputi pemakaian obat modern, obat tradisional dan lainnya (misal bahan makanan suplemen/ pelengkap alami, kerokan dan pijat).

Di samping sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan karena kurangnya fasilitas yang ada, juga kurang mampunya masyarakat menggunakan fasilitas layanan kesehatan di KTI ini dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi di masyarakat. Kondisi sosial ekonomi yang ditandai banyaknya masyarakat miskin merupakan ciri ketertinggalan di KTI khususnya di daerah kepulauan lain (NTB, NTT, Maluku dan Papua). Hasil survei Podes memberikan gambaran persentase desa yang dinilai miskin dan sangat miskin seperti terlihat pada Tabel 3.4. Tabel tersebut menggambarkan keterbelakangan KTI dengan persentase desa miskin atau sangat miskin yang cukup tinggi terutama di kepulauan lain (NTB, NTT, dan Papua).

Tabel 3.4. Angka Kematian Umur 0-14 Tahun Menurut Kawasan

Kawasan Perkotaan Perdesaan K + D Kawasan Timur Indonesia Kalimantan Sulawesi NTB/NTT/Papua

2,6 1,9 3,1 3,1

4,4 3,0 4,5 5,6

4,0 2,7 4,2 5,0

Sumatera Jawa-Bali

3,0 2,2

2,7 3,1

2,8 2,7

INDONESIA 2,4 3,3 3,0 Sumber: Susenas, 2000

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

54

Pemerintah telah melakukan berbagai macam program peningkatan kualitas kesehatan masyarakat miskin di kota maupun di desa. Program pembangunan kesehatan diarahkan untuk: (1) Meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan melalui peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; dan pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di puskesmas dan kelas III rumah sakit; (2) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pemerataan fasilitas kesehatan dasar dan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; dan (3) Meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat dan peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini.

Pada tahun 2006, pembangunan kesehatan diprioritaskan pada peningkatan upaya kesehatan masyarakat, upaya kesehatan perorangan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, dan perbaikan gizi masyarakat, sumber daya kesehatan, promosi dan pemberdayaan masyarakat, dan lingkungan sehat. Prioritas tersebut didukung oleh peningkatan obat dan perbekalan kesehatan, pengawasan obat dan makanan, pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan. Perhatian khusus diberikan pada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, dan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal, dan perbatasan, dan daerah bencana (RKP 2006).

Dana yang telah dianggarkan oleh pemerintah untuk pelaksanaan program tersebut adalah sekitar Rp78.143,5 Juta (untuk Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat) sampai Rp3.406.897,0 juta (untuk Program Pelayanan Kesehatan bagi Penduduk Miskin) (RKP, 2006). Akan tetapi, jumlah dana tersebut ternyata belum efektif untuk meningkatkan AHH dan sudah efektif untuk menurunkan AKI dan AKB. Jika dilihat dari perubahan indikator AKI, AKB, dan AHH maka status kesehatan masyarakat Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan status kesehatan di negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Philipina, dan masih jauh dari sasaran Millennium Development Goals (MDGs).

Pemerintah tentu saja tidak tinggal diam dengan kondisi ini dan salah satu tindakan yang dilakukan adalah peningkatan anggaran yang

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

55

digunakan untuk peningkatan pembangunan kesehatan masyarakat dimana pada tahun 2007 kisaran dana yang digunakan sekitar Rp300.000 juta (untuk Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat) sampai Rp4.545.045,4 juta (untuk Program Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin) (RKP, 2007).

3.2.3. Capaian Pembangunan Perdesaan bidang Pendidikan

Angka Melek Huruf (AMH) masyarakat perdesaan hampir mencapai 100 persen mulai dari usia 15–49 tahun. Sedangkan untuk kaum tua (usia 50+) maka AMH cukup rendah yaitu sekitar 60 persen. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan yang baik dari program yang dilakukan pemerintah pada bidang pendidikan di perdesaan. Satu hal yang menjadi catatan adalah masih rendahnya AMH perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga perlu adanya effort lebih lanjut untuk meningkatkan AMH perempuan karena pendidikan sangat penting bagi perempuan yang akan bertindak sebagai ibu yang akan mendidik anak-anaknya.

Gambar 3.14. Persentase Angka Melek Huruf Perdesaan

Sumber: BPS, 2010

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

56

Perhitungan AMH menjadi sangat berguna untuk : mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah perdesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD; menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media; dan menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah.

Capaian dari APM SD di wilayah perdesaan sudah hampir 100 persen, artinya hampir 100 persen penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan sudah menikmati bangku sekolah dasar (SD). Pertumbuhan APM SD semakin meningkat selama periode 2004–2009, hal yang tidak jauh berbeda dengan APK SLTP selama periode 2008–2009. Akan tetapi, besarnya APK SLTP masih sekitar 77 persen yang menjadikan perlunya usaha lebih lanjut agar APK SLTP dapat meningkat. Dengan peningkatan nilai APK SLTP yang hampir sama dengan nilai APM SD (yaitu 93 persen) maka menunjukkan sudah adanya keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 tahun.

Tabel 3.5. APM SD dan APK SLTP Sederajat di Perdesaan

Tahun APM SD dan

Sederajat APK SLTP dan Sederajat

2004 93.25 NA 2005 93.58 NA 2006 93.86 NA 2007 93.89 NA 2008 94.51 75.87 2009 94.35 79.55

Rata-Rata 93.91 77.71 Growth 2004-2009 1.18 4.85

Keterangan: NA: data tidak tersedia Sumber: BPS 2011, diolah.

Pada Gambar 3.15 menunjukan pertumbuhan angka partisipasi sekolah untuk tingkat SD, SLTP, dan SLTA selama dalam kurun waktu 2000-

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

57

2006. Tren pertumbuhan angka partisipasi sekolah yang positif ini cukup menggembirakan walaupun masih perlu upaya keras agar dapat meningkat secara signifikan.

Gambar 3.15. Angka Partisipasi Sekolah dan

Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Sumber: BPS, diolah.

Mencapai pendidikan dasar untuk semua merupakan tujuan kedua dari MDGs. Tujuan ini memiliki target untuk menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, dimanapun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (SD). Penilaian terhadap pencapaian tujuan kedua dari MDGs didasarkan atas indikator yaitu, angka partisipasi sekolah (APS), angka partisipasi kasar (APK), tingkat butu huruf, rata-rata lama sekolah. Pencapaian Indonesia dalam APS telah mencapai hasil yang baik, yaitu diatas 90 persen. Begitu juga dengan pencapaian APK SMP dan rata-rata lama sekolah untuk usia lebih dari 15 tahun telah mencapai angka diatas 60 persen. Sehingga untuk kedua indikator tersebut agar dapat mencapau tujuan MDGs yang kedua ini agaknya masih perlu perjuangan yang panjang.

Pada Gambar 3.16 dapat dilihat tren rata-rata lama sekolah masyarakat perdesaan periode 2000–2006. Secara umum, rata-rata lama

94,4 94,5 95,1 95,6 96,1 96,6 96,7

73,8 73,3 72,675,6

79,3 80,1 80,3

38,4 36,4 36,738,9

43,0 44,5 45,0

30

40

50

60

70

80

90

100

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

APS-SD APS-SLTP APS-SLTA

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

58

sekolah masyarakat perdesaan mengalami peningkatan walaupun peningkatan masih sangat kecil. Angka rata-rata lama sekolah sebesar 6.2 tahun menunjukan bahwa penduduk perdesaan sebagian besar sudah lulus SD. Namun demikian jika dilihat berdasarkan gender, rata-rata lama sekolah penduduk penduduk perempuan masih dibawah 6 tahun (5.7) atau tidak tamat SD. Dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki yang sudah mencapai 6.7 tahun.

Gambar 3.16. Rata-Rata Lama Sekolah Masyarakat Perdesaan

Sumber: BPS, 2011

Program Wajib Belajar 9 tahun yang sudah berjalan baik perlu terus disosialisasikan, terutama kepada masyarakat perdesaan. Upaya ini untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan arti penting pendidikan. Selain itu, perlu juga diiringi dengan peningkatan kesempatan dan ketersediaan sarana serta tenaga pengajar. Karena pendidikan sebagai salah satu instrumen meningkatkan kesejahteraan dan saluran bagi masyarakat desa untuk dapat melepaskan diri dari jerat kemiskinan.

Banyak aspek yang mempengaruhi terjadinya disparitas dalam pemenuhan pendidikan (SD dan SMP) seperti kemiskinan, bencana alam, krisis, perang, eksklusi sosial serta alokasi investasi publik yang tidak tepat. Rendahnya APS SMP dan rata-rata lama sekolah menunjukkan bahwa distribusi akses pendidikan terlalu asimetris sehingga tidak dapat

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

59

dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat dengan optimal (Thomas, et.al. 2000:58-59). Fenomena seperti ini tentu saja memberikan implikasi bahwa negara harus memiliki peran yang lebih besar.

Pemenuhan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga negara menjadi prioritas yang akan diwujudkan di dalam MDGs karena pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua orang karena masyarakat yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu: Pertama, dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.

Pentingnya pendidikan sebagaimana diuraikan di atas memang tidak dapat disangkal lagi. Bagi sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak mereka miliki, terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan. Pendidikan yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang baik, pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Tentu pendidikan dan kesejahteraan tidak memiliki hubungan yang bersifat langsung, akan tetapi melalui proses panjang di mana pendidikan yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk dapat terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi.

Bagaimana mekanisme tersebut dapat terjadi dapat dijelaskan dalam proses sebagai berikut. Kondisi pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan prasyarat terbentuknya SDM yang berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas maka masyarakat akan memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan berkontribusi sangat signifikan pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Sehingga dapat dipahami mengapa pemerintah memasukkan indikator pendidikan ke dalam RPJMN 2004–2009 dengan sasaran APK SMP mencapai 98 persen, APS SD 96 persen, dan penduduk yang buta huruf usia >15 tahun sebesar 5 persen pada tahun 2009. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa sasaran APS SD sudah tercapai, angka tetapi untuk APK

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

60

SMP sasaran yang diinginkan di RPJMN 2004–2009 belum tercapai. Untuk penduduk usia >15 tahun yang buta huruf semakin menurun di setiap propinsi selama periode 2006–2010. Penurunan terbesar dialami oleh penduduk di Propinsi Papua Barat yaitu lebih dari 50 persen. Agar sasaran yang telah ditetapkan dapat tercapai maka diperlukan adanya kerjasama dari seluruh pihak baik pemerintah pusat maupun daerah. Persoalan yang muncul adalah rendahnya dukungan anggaran, SDM dan infrastruktur yang ada di daerah untuk dapat mewujudkan sasaran tersebut.

Terlebih lagi, koordinasi pembangunan yang tidak lagi bersifat sentralistik dalam banyak hal telah menyebabkan berbagai dokumen rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, misalnya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan RPJMN tidak selalu menjadi acuan pemerintah daerah di dalam membuat dokumen yang sama, yaitu RPJP-D dan RPJM-D. Persoalan yang muncul kemudian adalah rencana dan realisasi berbagai program pembangunan di daerah tidak selalu seiring dan sejalan dengan rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Program pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan diikuti oleh pemerintah daerah adalah Program Wajib Belajar 9 (sembilan) tahun. Dimana program ini mewajibkan penduduk usia sekolah harus menamatkan sekolah sampai di tingkat SMP. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa penduduk yang menamatkan pendidikan SD baru sebesar 30 persen, SMP sebesar 21 persen, dan SMA sebesar 30 persen pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk yang tidak menamatkan sekolah sampai di tingkat SMP maupun SMA.

Jika dilihat dari sisi anggaran yang digunakan untuk pendidikan adalah sebesar Rp12.203 juta (RKP 2007). Dana tersebut digunakan untuk peningkatan akses dan kualitas pendidikan, meliputi penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs, Pesantren Salafiyah dan Satuan Pendidikan Non-Islam setara SD dan SMP, Beasiswa siswa miskin jenjang SMA/SMK/MA, dan pengembangan pendidikan keaksaraan fungsional. Akan tetapi, dana tersebut masih kurang untuk dapat mencapai sasaran indikator pendidikan yang telah ditetapkan dalam RPJMN.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

61

3.2.4. Capaian Pembangunan Perdesaan Bidang Infrastruktur

Indikator yang digunakan untuk melihat bagaimana kinerja pembangunan perdesaan dari aspek infrastruktur adalah akses masyarakat desa terhadap listrik, sanitasi, air, dan air minum. Dalam pembangunan infrastruktur desa harus lebih didasarkan atau ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sehingga memungkinkan tumbuhnya keswadayaan/partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaannya. Di sisi lain, infrastruktur yang dibangun juga dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab masyarakat dalam mengelola dan memelihara setelah proyek tersebut berakhir, dan di dalam pembangunan infrastruktur desa hendaknya mempunyai sasaran yang tepat, sehingga sumber daya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien (Suriadi, 2005).

Dalam rangka untuk mencapai tujuan pembangunan infrastruktur desa secara lebih efektif, maka pemerintah desa dan masyarakatnya perlu menciptakan suatu strategi pencapaian tujuan tersebut. Dalam merancang strategi yang dimaksud, pemerintah desa perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Keterpaduan pembangunan desa, dimana kegiatan yang dilaksanakan memiliki sinergi dengan kegiatan pembangunan yang lain.

2. Partisipatif, dimana masyarakat terlibat secara aktif dalam kegiatan dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan.

3. Keberpihakan, dimana orientasi kegiatan baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil kepada seluruh masyarakat desa.

4. Otonomi dan desentralisasi, dimana masyarakat memperoleh kepercayaan dan kesempatan luas dalam kegiatan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun pemanfaatan hasilnya.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

62

Gambar 3.17. Infrastruktur Perdesaan

Sumber: BPS, 2011

Suatu pembangunan akan tepat mengenai sasaran, terlaksana dengan baik dan dimanfaatkan hasilnya apabila pembangunan yang dilakukan tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk memungkinkan hal itu terjadi, khususnya pembangunan perdesaan, mutlak diperlukan pemberdayaan masyarakat desa mulai dari keikutsertaan perencanaan sampai pada hasil akhir dari pembangunan tersebut. Sasaran pembangunan dalam RPJMN 2004-2009 disebutkan bahwa dapat terpenuhinya kebutuhan masyarakat di desa. Gambar 3.17. menunjukan perkembangan jumlah infrastruktur di perdesaan, meliputi sarana air minum bersih, jamban dan air minum leding, yang masih perlu ditingkatkan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

63

Gambar 3.18. Persentase Rumah Tangga Perdesaan Menurut Sumber Air Minum Layak

(a) Tahun 2009 (b) Tahun 2010 Sumber: BPS, 2010

Berdasarkan data pada Gambar 3.18. maka dapat dilihat bahwa masyarakat desa di setiap propinsi sudah dapat mengakses air minum yang layak pada periode 2009–2010 kecuali untuk desa di Propinsi Papua, Kalbar, dan Banten. Akses masyarakat desa terhadap air bersih pada tahun 2010 semakin meningkat dibandingkan dengan tahun 2009. Dengan dana sebesar Rp1.735.208,0 rupiah yang digunakan untuk pengembangan dan pengelolaan air serta dana sebesar Rp20.436,0 juta (untuk program penyediaan air baku) maka sasaran pembangunan RPJMN 2004-2009 dapat tercapai.

Masyarakat desa di setiap propinsi sudah dapat mengakses sumber penerangan listrik. Walaupun demkian, masih terdapat desa yang belum

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

64

tersentuh listrik yaitu desa terpencil yang ada di Propinsi Papua, Papua Barat, NTT, Kepri. Satu hal yang menarik adalah di Propinsi Kepri, terjadi peningkatan yang cukup signifikan untuk akses desa terhadap sumber penerangan listrik yaitu mencapai lebih dari 100 persen. Dalam RPJMN 2004-2009 hanya disebutkan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah peningkatan akses terhadap listrik.

Gambar 3.19. Persentase Rumah Tangga Perdesaan Menurut Sumber Penerangan Listrik PLN

Sumber: BPS, 2010.

Jika dilihat pada Gambar 3.19 maka dapat diketahui bahwa sasaran tersebut telah tercapai tapi tidak untuk semua propinsi, seperti pada Propinsi Papua, Papua Barat, Riau, dan Kalteng. Dana yang digunakan untuk meningkatkan askes masyarakat terhadap listrik adalah sebesar Rp192.135,0 juta. Dengan dana sebesar itu ternyata belum cukup untuk dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik sampai ke Propinsi Papua dan Papua Barat.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

65

Gambar 3.20. Persentase Rumah Tangga Perdesaan Menurut Sanitasi Layak

Sumber: BPS, 2010.

Berdasarkan Millennium Development Goals (MDGs) Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum layak dan sanitasi layak pada 2015, Indonesia harus mampu mencapai target proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan dan perdesaan, sebesar 62,41 persen. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, antara lain air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Rumah tangga di desa sudah dapat merasakan sanitasi layak kecuali di Propinsi Papua dan Papua Barat dimana pada periode 2009–2010 terjadi penurunan akses terhadap sanitasi layak di kedua propinsi tersebut.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif terhadap beberapa infrastruktur perdesaan yang dijabarkan di atas, digunakan yang disebut dengan Rural Infrastructure Development Index (RIDI). RIDI disusun sebagai suatu komposit indeks atas indikator-indikator akses terhadap listrik, akses terhadap air minum yang layak, sanitasi serta hunian yang

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

66

layak3. Gambar 3.21 menunjukan tingkat Rural Infrastructure Development Index (RIDI) di Indonesia. Jumlah provinsi yang berada dibawah rata-rata nasional hampir sama sama dengan yang berada diatas rata-rata nasional. Provinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki nilai RIDI yang cukup tinggi (100), hal ini menunjukan infrastruktur di provinsi tersbut relatif sudah bagus. Provinsi-provinsi di pulau Kalimatan memiliki nilai RIDI-nya tidak merata, dimana Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mempunyai nilai RIDI diatas rata-rata dibandingkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang berada dibawah rata-rata. Sedangkan provinsi yang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur adalah Provinsi Papua. Untuk itu, pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk peningkatan akses infrastruktur yang lebih baik dalam rangka percepatan proses penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan. Terutama peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi produktif dan infrastruktur permukiman di kawasan perdesaan.

Gambar 3.21. Tingkat Rural Infrastructure Development Index (RIDI) Tahun 2010

Sumber: Beberapa sumber, diolah.

3 Detail teknis penyusunan komposit indeks, dapat dilihat dalam Appendix 2.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

67

BAB IV PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

4.1. Capaian Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan

Salah satu kondisi yang melatarbelakangi kebijakan pembangunan nasional dalam rentang waktu 2004–2009 adalah ketimpangan pembangunan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Beberapa permasalahan yang menjadi penyebab ketimpangan pembangunan perdesaan dengan perkotaan diantaranya adalah: (1) terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas, (2) lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial, (3) timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah, (4) tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan, (5) rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan, (6) rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan, (7) rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah, (8) meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan berigasi teknis bagi peruntukan lain, (9) meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, (10) lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat, serta (11) lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan.

Dengan latar belakang berbagai permasalahan di atas, RPJMN 2004–2009 salah satunya memprioritaskan pembangunan nasional pada pembangunan perdesaan. Sejumlah sasaran juga ditetapkan, diantaranya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Sasaran peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan dapat dikatakan sebagai tujuan utama (ultimate target) dari pembangunan perdesaan di berbagai bidang yang telah diuraikan sebelumnya. Atau dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan merupakan dampak (impact) yang menjadi sasaran dalam pembangunan perdesaan.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

68

Disebutkan pula bahwa indikator capaian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah penurunan tingkat kemiskinan masyarakat perdesaan4.

Kemudian, tercapaikah sasaran di atas? Secara umum walaupun pada periode 2004–2006 sempat menunjukkan kecenderungan yang meningkat, penduduk miskin di perdesaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun hingga 2010 seperti yang tercermin pada Gambar 4.1. Bahkan di tahun 2011 tercatat penduduk miskin perkotaan sebanyak 11,05 juta jiwa dan perdesaan sebanyak 18,97 juta jiwa; lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Kecenderungan yang serupa juga dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk miskin di perdesaan yang mengalami penurunan dari 20,11 persen di tahun 2004 menjadi 16,56 persen di tahun 2010. Bahkan pada tahun 2011 tingkat kemiskinan perdesaan kembali menurun menjadi sebesar 15,72 persen. Secara agregat dapat dikatakan bahwa pembangunan perdesaan memberikan kontribusi yang nyata pada peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Namun kemudian pertanyaannya adalah sudah optimalkan pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan? Jika merujuk pada sasaran pemerintah secara detail, tingkat kemiskinan di perdesaan di targetkan mengalami penurunan dari 18,9 persen di tahun 2004 menjadi 15,02 persen di tahun 20095. Dengan rata-rata capaian 86,1 persen (Gambar 4.2.), dapat dikatakan bahwa kebijakan, program dan kegiatan pembangunan perdesaan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara umum masih kurang optimal. Ini menjadi satu indikasi bahwa kebijakan, program dan kegiatan pembangunan perdesaan yang telah dan sedang dilaksanakan pemerintah masih menghadapi berbagai permasalahan dan kendala yang perlu menjadi perhatian berbagai pihak tidak saja pemerintah, tetapi masyarakat secara luas.

4 RPJMN 2004–2009, Bab 25 Pembangunan Perdesaan. 5 Renstra Pembangunan Pertanian 2005–2009, Kementerian Pertanian.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

69

Gambar 4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Perdesaan

Sumber: BPS 2011, diolah.

Gambar 4.2. Perbandingan Sasaran dengan Realisasi Tingkat Kemiskinan Perdesaan

Sumber: Renstra Kementerian Pertanian dan BPS, diolah.

25,10 24,8022,70

24,81 23,61 22,19 20,62 19,93

20,2% 20,1% 20,0%

21,8%20,4%

18,9%17,4%

16,6%

-

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

0,0%

5,0%

10,0%

15,0%

20,0%

25,0%

Juta Jiwa

Persen

19,98 20,37

18,93

17,3518,9

17,9216,94

15,9515,02

21,81

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

20,00

22,00

24,00

2005 2006 2007 2008 2009

Persen

Realisasi Tingkat Kemiskinan Perdesaan

Sasaran Tingkat Kemiskinan Perdesaan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

70

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dari pencapaian kesejahteraan masyarakat secara agregat adalah masalah disparitas kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan. Di satu sisi disparitas pembangunan perdesaan dan perkotaan menjadi salah satu penyebab disparitas kesejahteraan masyarakat perdesaan dan perkotaan. Di sisi yang lain, kondisi di atas menyebabkan berbagai masalah urbanisasi dalam pembangunan perkotaan. Disparitas kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan perkotaan dapat dilihat dari perkembangan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di kedua daerah. Sepanjang 2004–2009 dengan kecenderungan yang relatif sama-sama menurun, namun jumlah penduduk miskin di perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan dalam rentang periode yang sama (Gambar 4.3.).

Gambar 4.3. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Kota dan Desa (Juta Jiwa)

Sumber: BPS 2011, diolah.

Kondisi yang sama juga tercermin dari perkembangan persentase penduduk miskin perdesaan dan perkotaan. Dari Gambar 4.4. dapat dilihat bahwa sepanjang periode 2004–2010 gap kesejahteraan masyarakat perdesaan dan perkotaan masih cukup lebar. Hingga tahun 2010 saja

11,1011,9112,7713,56

14,4912,4011,40

19,9320,6222,1923,61

24,8122,70

24,80

-

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Kota Desa

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

71

persentase penduduk miskin perkotaan adalah sebesar 9,87 persen sementara di perdesaan masih berkisar 16,56 persen. Satu hal yang positif adalah disparitas kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan perkotaan sepanjang periode 2004–2009 menunjukkan kecenderungan yang menurun.

Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan pembangunan perdesaan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan memberikan dampak yang positif bagi upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan perkotaan. Namun perkembangan penurunan disparitas yang relatif lambat ditambah lagi masih cukup besarnya disparitas kesejahteraan masyarakat perdesaaan dengan perkotaan hingga saat ini menjadi satu lagi indikasi bahwa masih cukup besar ruang bagi peningkatan dan optimalisasi kebijakan pembangunan perdesaan di masa yang akan datang.

Gambar 4.4. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Kota dan Desa

Sumber: BPS 2011, diolah.

20,1

1

19,9

8

21,8

1

20,3

7

18,9

3

17,3

5

16,5

6

9,87

10,7

2

11,6

5

12,5

2

13,4

7

11,6

8

12,1

3

6,696,637,28

7,858,348,30

7,98

-

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Tingkat Kemiskinan

-

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

9,00

GapKota Desa Gap

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

72

Daryanto (2003) menyebutkan disparitas pembangunan perdesaan dengan perkotaan dapat direfreksikan dalam beberapa aspek, diantaranya: (a) pendapatan perkapita, (b) kualitas sumber daya manusia, (c) ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan telekomunikasi, (d) pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan, serta (e) akses ke perbankan. Sementara itu, kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi terutama disebabkan oleh: (a) distorsi perdagangan antar daerah, (b) distorsi pengelolaan sumber daya alam, dan (c) distorsi sistem perkotaan-perdesaan. Distorsi sistem perkotaan-perdesaan menggambarkan tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan over-concentration pertumbuhan pada kota-kota tertentu, terutama kota-kota besar dan metropolitan di Pulau Jawa. Di sisi lain, pertumbuhan kota-kota lain dan perdesaan relatif lebih tertinggal. Perkotaan-perdesaan sebagai suatu sistem seharusnya memiliki keterkaitan dan interaksi yang optimal dan positif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai satu sasaran akhir (impact), peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan tidak saja ditentukan oleh pembangunan di berbagai bidang yang telah dilaksanakan pemerintah baik di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur serta kelembagaan masyarakat perdesaan. Namun juga peran serta masyarakat serta kondisi umum yang ada di masyarakat perdesaan yang bisa jadi menjadi kendala tersendiri dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Untuk itulah identifikasi kendala dalam kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan menjadi sangat penting utamanya sebagai masukan bagi kebijakan pembangunan perdesaan dalam periode-periode yang akan datang.

4.2. Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Dalam Dimensi Wilayah

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah aspek kewilayahan. Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan pembangunan nasional tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pembangunan berdimensi kewilayahan, dalam konteks pembangunan perdesaan dan kesejahteraan masyarakat, sangat penting artinya untuk menganalisis perkembangan tingkat kemiskinan perdesaan antar daerah. Aspek kewilayahan menjadi

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

73

lebih penting lagi jika dikaitkan dengan RPJMN 2010–2014 dimana didalamnya dijabarkan berbagai arah kebijakan, prioritas dan program pembangunan tidak saja dalam konteks nasional namun juga dalam konteks kewilayahan. Salah satu pendekatan yang relatif mudah untuk mengevaluasi sejauhmana pembangunan perdesaan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan antar wilayah adalah dengan memetakan tingkat kemiskinan perdesaan di seluruh wilayah di Indonesia dan menganalisis dinamika antar waktu yang berkembang didalamnya. Gambar 4.5. berikut menyajikan perubahan gradasi kesejahteraan masyarakat di perdesaan antara tahun 2007 dan 2010.

Gambar 4.5. Perbandingan Sebaran Penduduk Miskin Perdesaan 2007-2010

Sumber: BPS 2011, diolah.

900 0 900 1800 Miles

N

EW

S

Tahun: 2007

0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 >30

900 0 900 1800 Miles

N

EW

S

Tahun: 2010

0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 >30

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

74

Dari Gambar 4.5. dapat dilihat bahwa terdapat perubahan sebaran yang cukup signifikan di beberapa wilayah di Indonesia dimana antara 2007–2010 menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Perkembangan yang cukup positif dapat dilihat diantaranya di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sementara itu perkembangan yang relatif lebih lamban dapat dilihat di wilayah Maluku dan Papua.

Rincian sebaran berdasarkan provinsi dapat dilihat pada Gambar 4.6. dan 4.7. berikut ini. Dari Gambar 4.6. dapat dilihat bahwa sebaran 32 provinsi yang ada di Indonesia lebih banyak berada di atas rata-rata tingkat kemiskinan secara nasional yang sebesar 20,6 persen. Atau dengan kata lain pada tahun 2007 tersebut sebaran provinsi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan dibawah rata-rata provinsi secara keseluruhan masih relatif banyak. Provinsi-provinsi dimaksud berada pada Kawasan Timur Indonesia diantaranya yaitu Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Gambar 4.6. Sebaran Tingkat Kesejahteraan Menurut Provinsi 2007

0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 40-45 45-50 50-55 Bali Kepri Malut Sulbar Jatim Gorontalo Maluku Papua

Barat Papua

Kalsel Kalteng Jabar NTB DIY Jambi Babel Kaltim Bengkulu Sultra Banten Sulsel Jateng NAD Riau Sumsel Lampung NTT Sumbar Sulteng Kalbar Sumut Sulut

Sumber: BPS 2009, diolah.

0

2

4

6

8

10

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

3

9

5

6

5

1 10

1 1

Series : Tingkat Kemiskinan PerdesaanSample : 2007Observations: 32

Mean 20.68094Median 18.15000Maximum 50.47000Minimum 7.470000Std. Dev. 10.81695Skewness 1.177496Kurtosis 4.079833

Jarque-Bera 8.949373Probability 0.011394

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

75

Demikian pula yang berada di sekitar rata-rata kesejahteraan masyarakat perdesaan seperti Sulawesi Barat, NTB, Bengkulu, Jawa Tengah, Lampung dan Sulawesi tengah. Sementara itu, Provinsi dengan tingkat kesejahteraan di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain adalah Bali, Kalimantan Selatan dan Jambi atau paling tidak sedikit di atas rata-rata nasional seperti Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.

Bagaimana dampak dari pembangunan perdesaan terhadap kesejahteraan masyarakat perdesaan dalam perspektif kewilayahan? Bisa dilihat terjadi pergeseran beberapa provinsi yang ada di Indonesia menuju kondisi kesejahteraan masyarakat perdesaan yang lebih baik. Jumlah provinsi dengan tingkat kemiskinan perdesaan di bawah 20 persen mengalami peningkatan ditambah lagi pergeseran beberapa provinsi seperti Maluku, Papua dan Papua Barat pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik sekalipun masih dibawah rata-rata provinsi lainnya secara umum. Terkait dengan pembangunan perdesaan, keragaan di atas menggambarkan bahwa di satu sisi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan juga berdampak positif pada pemerataan kesejahteraan masyarakat perdesaan antar wilayah.

Di sisi lain keragaan data di atas juga menjadi satu bukti bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan tidak saja ditentukan oleh kebijakan dan program pemerintah pusat namun juga peran serta pemerintah daerah. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa evaluasi kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan antar daerah antar wilayah penting artinya untuk lebih mengoptimalkan kebijakan dan program peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan di waktu-waktu mendatang. Evaluasi dimaksud setidaknya dapat menjadi pertimbangan tidak saja fokus kebijakan namun juga lokus dari kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Dari keragaan data di atas secara umum dapat dilihat bahwa sejumlah daerah masih menghadapi berbagai kendala dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Bahkan tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan yang lebih rendah justru berada di daerah yang notabene memiliki kekayaan sumber daya alam yang cukup besar dan potensial seperti Papua dan Papua Barat. Provinsi lain seperti

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

76

Nusa Tenggara Timur (NTT), Gorontalo dan Maluku dengan potensi sumber daya dan karakteristiknya masing-masing juga perlu menjadi perhatian yang serius tidak saja dari pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah.

Gambar 4.7. Sebaran Tingkat Kesejahteraan Menurut Provinsi 2010

0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 40-45 45-50 50-55 Kalsel Kalbar Sulbar Sulteng NTT Gorontalo Papua

Barat Papua

Bali Sulut NTB Lampung Maluku Jambi Riau Bengkulu Sultra Kalteng Banten Jateng DIY Kepri Sumbar Jatim NAD Babel Sumut Malut Kaltim Jabar Sumsel Sulsel

Sumber: BPS 2011, diolah.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara umum dalam dimensi kewilayahan dapat dilihat bahwa beberapa daerah yang perlu menjadi perhatian semua pihak tidak saja pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah dan masyarakat secara umum. 10 provinsi dengan tingkat kesejahteraan relatif lebih rendah dibanding provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Khusus untuk wilayah perdesaan, penurunan kesejahteraan masyarakat di perdesaan sangat berhubungan dengan fenomena penurunan produktivitas di sektor pertanian, terutama pada dekade terakhir.

0

2

4

6

8

10

12

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

6

11

5 5

1

2

01 1

Series : Tingkat Kemiskinan PerdesaanSample : 2010Observations: 32

Mean 17.22156Median 14.77500Maximum 46.02000Minimum 5.690000Std. Dev. 9.997503Skewness 1.373029Kurtosis 4.536979

Jarque-Bera 13.20419Probability 0.001358

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

77

Tabel 4.1. Sepuluh Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi 2010

No Propinsi Angka Kemiskinan

1 Papua Barat 36,80

2 Papua 34,88

3 Maluku 27,74

4 Sulawesi Barat 23,19

5 Nusa Tenggara Timur 23,03

6 Nusa Tenggara Barat 21,55

7 NAD 20,98

8 Bangka Belitung 18,94

9 Gorontalo 18,70

10 Sumatera Selatan 18,30 Sumber: Sensus Nasional BPS 2010.

Ukuran produktivitas pertanian biasanya terdiri dari produktivitas lahan (produksi pangan per areal panen) dan produktivitas tenaga kerja (produksi pangan per jumlah tenaga kerja). Penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian (baca: penurunan kesejahteraan) secara langsung dan tidak langsung juga ditentukan produktivitas lahan pertanian. Sejak otonomi daerah diberlakukan pada 2001, produktivitas lahan pertanian mengalami penurunan hingga tinggal 2,2 ton pangan ekuivalen per hektar. Pada dekade 1980-an, produktivitas lahan tercatat 5,6 ton per hektar. Produktivitas tenaga kerja pertanian kini hanya 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja, yang merupakan penurunan sangat signifikan dari angka produktivitas pada dekade 1980-an yang tercatat 4,1 ton pangan per tenaga kerja (Arifin, 2004).

Saat ini, pertambahan produktivitas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai masih mengandalkan peningkatan areal panen dan intensitas pertanaman, yang tentu sangat bergantung pada faktor musim. Hal ini terjadi karena upaya perbaikan sarana irigasi, drainase, dan infrastruktur lain yang menjadi sumber peningkatan produktivitas masih bermasalah. Perbaikan teknik budidaya, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit masih sangat terkait ketersediaan dan manajemen pemakaian air. Berkurangnya areal panen padi dan kedelai tahun ini sangat

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

78

berhubungan dengan musim kemarau basah, karena perubahan iklim masih sulit dijinakkan.

Salah satu strategi untuk mendorong peningkatan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan adalah dengan inovasi teknologi, termasuk basis bioteknologinya. Strategi lain adalah fokus pada penurun persentase kemiskinan di perdesaan melalui industrialisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Tidak ada pembangunan pertanian tanpa pembangunan perdesaan atau peningkatan nilai tambah di perdesaan. Aktivitas industrialisasi pertanian atau agro-industri pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang mengarah pada pembangunan nilai tambah di perdesaan.

Pembangunan perdesaan yang dirangsang oleh agroindustri dengan pertimbangan sumber daya di perdesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian, karena mengandalkan lahan dan tenaga kerja. Sumber daya perdesaan ini umumnya lebih terampil dalam hal usaha tani di hulu, tapi tidak terlalu terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Maksudnya industrialisasi pertanian yang difokuskan pada daerah perdesaan akan merangsang peningkatan kualitas sumber daya manusia perdesaan dan pembangunan perdesaan umumnya.

Di sini ditekankan pentingnya keterkaitan ke depan dan ke belakang dari suatu proses industrialisasi, yang akan berakumulasi menghasilkan nilai tambah yang cukup besar. Kelemahan utama strategi industrialisasi ini adalah ketergantungan terhadap dukungan infrastruktur, investasi dan pendanaan aktivitas ekonomi, sehingga masih terlalu mengandalkan dominasi peran pemerintah. Pemerintah perlu secara sistematis memfokuskan investasi ekonomi produktif di perdesaan untuk menciptakan daya dorong pembangunan yang menekankan pada pentingnya peningkatan produktivitas dan daya beli kaum miskin dan berfungsi sebagai gelombang pendorong bagi golongan kaya. Prinsip industrialisasi di sini perlu memprioritaskan perhatian pada golongan miskin dan daerah perdesaan, bukan golongan kaya dan daerah perkotaan. Kelemahan strategi supply-push ini selain karena terlalu statis dan tidak memanfaatkan peluang pasar dan permintaan, juga impresi ketidakberdayaan atau “dorongan keluar” bagi tenaga tidak terampil dari perdesaan ke perkotaan atau dari sektor pertanian ke sektor industri. Tingkat produktivitas tenaga kerja tidak terampil ini jelas berkait erat

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

79

dengan kecilnya upah buruh dan dikhawatirkan menjadi faktor kunci dalam penciptaan kemiskinan atau kantong-kantong baru kemiskinan di daerah perkotaan.

Pengupayaan kesejahteraan masyarakat perdesaan hendaknya pula memperhatikan sektor informal. Pasalnya, sektor informal memiliki kontribusi besar dalam menurunkan angka kemiskinan di Indonesia selama kurun waktu 10 terakhir. Dengan kata lain, sektor informal memainkan peranan yang cukup besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Salah satu contohnya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengembangan daerah mereka sendiri merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Program pemberdayaan efektif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat karena berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja produktif.

Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Dengan memerhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Selain itu pula, kebutuhan penduduk perkotaan lebih beragam dibandingkan dengan kebutuhan penduduk perdesaan. Hal ini dicerminkan dengan garis kemiskinan perdesaan yang lebih rendah dibandingkan garis kemiskinan perkotaan tiap tahunnya. Namun sejalan dengan peningkatan harga-harga barang dan jasa, maka garis kemikiskinan baik di perdesaan maupun diperkotaan mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

80

Gambar 4.8. Perkembangan Garis Kemiskinan Kota dan Desa (Rupiah/Bulan)

Sumber: BPS 2011, diolah.

4.3. Melihat Kesejahteraan Lebih Dalam

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan tersebut. Pembangunan nasional yang dijalankan selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada periode Maret 2010―Maret 2011, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,21 pada Maret 2010 menjadi 2,08 pada Maret 2011. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,58 menjadi 0,55 pada periode yang sama (Tabel 4.2.). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada perkotaan, sama seperti tahun 2010. Pada Maret 2011, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,52 sementara

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Kota Desa

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

81

di daerah perdesaan mencapai 2,63. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,39 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,70. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih buruk dari daerah perkotaan.

Tabel 4.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia Menurut Daerah

Kota Desa Kota dan Desa

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Maret 2010 1,57 2,8 2,21 Maret 2011 1,52 2,63 2,08 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Maret 2010 0,4 0,75 0,58 Maret 2011 0,39 0,7 0,55

Sumber: BPS 2011, diolah.

4.4. Pembangunan Perdesaan: Dari Output ke Dampak

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana keterkaitan antara aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dengan kesejahteraan ekonomi. Data yang digunakan untuk melihat bagaimana kesejahteraan masyarakat adalah dari persentase penduduk miskin atau tingkat penduduk miskin. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data dimana pada setiap propinsi hanya tersedia data dalam angka persentase penduduk miskin, dan secara total di tingkat perdesaan tersedia data tingkat penduduk miskin.

Keterkaitan Ekonomi Dengan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan

Program pembangunan perdesaan secara umum sudah menunjukan output yang positif. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan PDB per kapita untuk sektor pertanian dan penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan selama periode 2005–2010. Tren dari dua indikator ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Korelasi positif yang ditunjukkan oleh PDB per kapita dan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

82

tingkat kemiskinan mengisyaratkan bahwa pembangunan di sektor perekonomian sudah efektif dan memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Data perkembangan PDB per kapita sektor pertanian serta tingkat kemiskinan di perdesaan selama kurun waktu 5 tahun terakhir selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9. Perkembangan PDB per Kapita Sektor Pertanian (Juta per TK) dan Tingkat Kemiskinan Perdesaan

Sumber: BPS 2011, diolah.

Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat di perdesaan yakni Nilai Tukar Petani (NTP). Semakin tinggi NTP menunjukkan masyarakat perdesaan semakin sejahtera karena indeks yang diterima lebih besar dibandingkan dengan indeks yang dibayar. Sehingga nilai NTP yang tinggi dan diikuti dengan persentase jumlah penduduk miskin yang rendah menunjukkan bahwa semakin membaiknya tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut. Gambar 4.10 menunjukan bahwa tingkat kemiskinan masyarakat perdesaan pada setiap Propinsi di Indonesia sudah relatif rendah, walaupun untuk wilayah timur Indonesia tingkat penduduk miskin di perdesaan masih tinggi seperti di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo.

6,156,54 6,59

6,89 7,11 7,34

19,9821,81

20,3718,93

17,3516,56

-

2

4

6

8

10

2005 2006 2007 2008 2009 2010

10

15

20

25

30

35

40

PDB per kapita sektor Pertanian (Juta per TK)

Tingkat Kemiskinan Perdesaan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

83

Gambar 4.10. Sebaran Provinsi Menurut Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan dan Nilai Tukar Petani

Sumber: BPS 2011, diolah.

Keterkaitan Pendidikan Dengan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan

Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Melalui sekolah atau pendidikan formal para individu dapat mencapai tingkat keberhasilan ekonomi dengan relatif cepat. Lembaga sekolah menyediakan serangkaian proses pengajaran yang mampu membekali para pesertanya dengan perangkat kemampuan yang dibutuhkan oleh bidang pekerjaan di era modern. Dengan demikian, pembangunan sektor pendidikan yang diimplementasikan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan sudah tepat. Pembangunan di sektor pendidikan yang dilakukan masyarakat desa diantaranya :

1. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah termasuk pendidikan menengah kejuruan yang berkualitas dan terjangkau untuk daerah perdesaan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak;

NADSumut

Sumbar

Riau

Jambi

SumselBengkulu

Lampung

Babel

Jabar

Jateng

DIY

JatimBanten

Bali

NTB

NTTKalbar

Kalteng

Kalsel

KaltimSulut

Sulteng

Sulsel

Sultra

Gorontalo

Sulbar

Maluku

Malut

Papua Barat

Papua

92

94

96

98

100

102

104

106

108

110

112

114

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 50,0

Penduduk Miskin Desa (%)

Nila

i Tuk

ar P

etan

i

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

84

2. Perluasan akses dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara di perdesaan;

3. Peningkatan pendidikan kecakapan hidup termasuk kecakapan vokasional yang sesuai potensi dan karakter di tingkat lokal;

4. Peningkatan pendidikan non formal untuk meningkatkan keterampilan kerja.

Pada Gambar 4.11 dapat dilihat tren rata-rata lama sekolah dan tingkat kemiskinan desa selama periode 2000–2006. Peningkatan rata-rata lama sekolah dalam periode tersebut belum diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan desa. Peningkatan rata-rata lama sekolah belum efektif untuk dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat desa masih sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), sehingga masyarakat desa masih sulit untuk dapat melepaskan diri dari jerat kemiskinan.

Gambar 4.11. Pendidikan dan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan

Sumber: BPS, diolah.

5,75,8

6,0

5,55,4

6,2

6,0

17,35

20,23 20,11 19,9821,8118,93

20,37

5,0

5,2

5,4

5,6

5,8

6,0

6,2

6,4

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rata-Rata Lama Sekolah Desa

10

15

20

25

30

35

Tingkat Kemiskinan Desa

Rata-Rata lama Sekolah Tingkat Kemiskinan Desa

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

85

Kondisi pendidikan di Indonesia secara umum masih cukup jauh tertinggal dari negara lain. Hal ini dapat dilihat pada peringkat Indonesia dalam hal pendidikan di dunia yaitu di posisi 69 dari 128 negara di tahun 2010. Menurun dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 65. Sementara itu berdasarkan data dari Badan Koordinasi KB Nasional Pusat, hingga tahun 2009 di Indonesia terdapat 13.685.324 anak sekolah yang putus sekolah, lima provinsi terbesar yang memiliki angka tidak bersekolah pada anak usia sekolah adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Papua.

Keterkaitan Kesehatan Dengan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan

Program peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia di perdesaan yakni dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Selain pendidikan, tingkat kesehatan masyarakat juga terkait erat dengan tingkat kesejahteraannya. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilaksanakan Pemerintah dalam pembangunan perdesaan di bidang kesehatan yakni (1) Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi penduduk perdesaan; (2) Promosi pola hidup sehat dan perbaikan gizi masyarakat; dan (3) Peningkatan pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi di kawasan perdesaan.

Keterkaitan antara jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan dan persentase bayi yang ditolong tenaga kesehatan adalah negatif dimana penurunan jumlah penduduk miskin maka semakin banyak bayi pada saat dilahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan. Peningkatan jumlah bayi yang ditolong semakin meningkat selama periode 2000–2006, terutama pada periode 2004-2006. Hal ini menjadi indikasi terjadinya penurunan persentase bayi yang ditolong oleh tenaga bukan kesehatan. Peningkatan tenaga kesehatan pada periode 2004–2006 menunjukkan adanya upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan di wilayah perdesaan.

Masyarakat di wilayah perdesaan yang sudah meningkat pendapatannya dengan ditandai berkurangnya jumlah penduduk miskin akan dapat mengakses persalinan melalui tenaga kesehatan, misalnya di puskesmas. Kondisi ini akan berlaku jika di wilayah perdesaan tersebut juga didukung oleh ketersediaan tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

86

Gambar 4.12. Keterkaitan Persentase Bayi Menurut Penolong dan Jumlah Penduduk Miskin

Sumber: BPS, diolah.

Keterkaitan Infrastruktur Dengan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan

Dalam kaitannya dengan fasilitas infrastruktur, kebanyakan negara berkembang menghadapi masalah yang sama dalam hal penyediaan infrastruktur yang bagus, kurangnya teknologi modern, kurangnya kemampuan dan pelatihan sumber daya manusianya dan kebijakan pemerintah. Infrastruktur berfungsi sebagai katalis bagi pembangunan, tidak saja dapat meningkatkan akses terhadap sumber daya, tapi juga dapat meningkatkan efektifitas intervensi pemerintah. Pembangunan infrastruktur dapat mempercepat proses penanggulangan kemiskinan melalui kesempatan yang lebih baik untuk mengakses infrastruktur yang bagus.

Program pembangunan infrastruktur perdesaan yang dijalankan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi produktif di kawasan perdesaan; dan meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur permukiman untuk mewujudkan kawasan perdesaan yang layak huni. Gambar 4.13. memperlihatkan sebaran tingkat kesejahteraan masyarakat dengan Rural Infrastructure Development Index (RIDI). Berdasarkan sebaran tersebut terlihat bahwa pembangunan infrastruktur perdesaan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

87

pada tiap provinsi di Indonesia memiliki dampak yang berbeda pada penurunan tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan.

Gambar 4.13. Sebaran Provinsi Menurut Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan dan Rural Infrastructure Development Index

Sumber: BPS, diolah.

Provinsi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY) yang memiliki nilai RIDI diatas rata-rata masih memiliki angka kemisikinan yang cukup tinggi. Provinsi-provinsi di pulau Kalimatan memiliki angka kemiskinan relatif rendah walaupun nilai RIDI-nya tidak merata. Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mempunyai nilai RIDI yang lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sedangkan provinsi yang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur sehingga berdampak pada tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi yakni Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo.

Untuk itu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui implementasi kegiatan-kegiatan pokok guna mendukung Pembangunan Perdesaan seperti (1) Peningkatan prasarana jalan perdesaan yang menghubungkan kawasan perdesaan dan perkotaan; (2) Peningkatan

NAD

Sumut

Sumbar

RiauJambi

Sumsel

Bengkulu

Lampung

Babel

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Banten

Bali

NTB

NTT

Kalbar

Kalteng

Kalsel

Kaltim

Sulut

Sulteng

Sulsel

Sultra

GorontaloSulbar

Maluku

Malut

30

40

50

60

70

80

90

100

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0

Penduduk Miskin Desa (%)

Rur

al In

fras

truc

ture

Dev

elop

men

t In

dex

Papua Barat(43,5; 56,4)

Papua(46,0; 2,96)

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

88

pelayanan sarana dan prasarana energi termasuk ketenagalistrikan di perdesaan; (3) Peningkatan sarana dan prasarana pos dan telematika (telekomunikasi dan informasi) di perdesaan; (3) Optimalisasi jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya; dan (4) Peningkatan pelayanan prasarana permukiman, seperti pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase, perlu menjadi prioritas.

Pemanfaatan Potensi dan Partisipasi Masyarakat dalam Membangun Desa

(Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY)

Kondisi alam di wilayah Gunung Kidul yang kering dan berkapur (pegunungan karst) merupakan salah satu faktor penyebab kurang optimalnya budidaya pertanian. Seperti halnya di Desa Karang Tengah yang terletak di wilayah Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY, sebagian besar warganya bukan sebagai sebagai penempa besi atau lebih sering disebut dengan pande besi. Kalaupun melakukan budidaya pertanian, dilakukan secara berladang dengan ditanami tanaman yang tidak banyak membutuhkan air, seperti palawija dan padi di lahan kering.

Lima dari sepuluh dukuh yang berada di wilayah desa seluas 505 ha dengan penduduk sekitar 7.000 jiwa (2.364 KK) ini menempa besi sebagai profesi untuk menyambung hidup penduduknya. Lima dukuh lainnya memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam, yaitu sebagai petani, buruh tani dan pengrajin non logam.

Keahlian menempa besi menjadi berbagai bentuk alat rumah tangga dan alat pertanian, seperti pisau, golok, clurit, cangkul dan lain-lain, meski merupakan potensi yang telah dimiliki sejak lama secara turun temurun, memiliki permasalahan yang perlu dipikirkan, yaitu ketersediaan bahan baku besi dan baja. Bahan baku besi dan baja bukan merupakan potensi sumberdaya alam setempat tetapi harus didatangkan dari luar Kabupaten Gunung Kidul. Di sisi lain, bahan baku kayu dan batu alam merupakan potensi sumber daya alam yang melimpah disana, namun belum dapat dimanfaatkan dengan optimal karena minimnya keahlian masyarakat untuk mengolah menjadi produk yang bernilai jual.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

89

Dinamika pembangunan di Desa Karang Tengah diwarnai oleh tingginya partisipasi masyarakat baik laki-laki dan perempuan dalam setiap tahap pembangunan. Rembug Desa dilakukan secara reguler untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam pembangunan, seperti misalnya pada saat penentuan kegiatan pembangunan yang diusulkan akan mendapatkan pembiayaan dari program PNPM Perdesaan.

Program PNPM Perdesaan merupakan salah satu pendorong meningkatnya keberdayaan dan partisipasi masyarakat Desa Karang Tengah. Sebagai gambaran, dalam suatu Musyawarah Desa untuk Sosialisasi Program PNPM Perdesaan Tahun 2013, jumlah peserta musyawarah yang hadir cukup banyak dan lebih dari 50 persen peserta musyawarah adalah perempuan. Tidak hanya itu, pada saat pelaksanaan pembangunan pun warga masyarakat sangat antusias untuk terlibat, seperti misalnya pada kegiatan pemeliharaan infrastruktur yang telah ada serta pembangunan jembatan. Pemanfaatan potensi desa dan peningkatan partisipasi masyarakat desa semakin jelas merupakan kunci keberhasilan pembangunan desa. Persentase pendududuk miskin di Desa Karang Tengah pada tahun 2005 sebanyak 35% dari total jumlah penduduk. Saat ini, dengan mulai tumbuhnya kesadaran warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa dan juga dukungan dari program pemerintah, persentase penduduk miskin sudah jauh berkurang yaitu kurang lebih 20% dari total jumlah penduduk. Angka pengangguran penduduk juga relatif kecil, karena hampir seluruh warga memiliki aktivitas yang menghasilkan. Musim sangat berpengaruh bagi penduduk yang berprofesi sebagai petani ataupun buruh tani. Pada saat musim cocok tanam padi, mereka beraktivitas sebagai petani ataupun buruh tani, namun ketika musim cocok tanam telah habis, mereka beralih menjadi buruh, pedagang, pengrajin atau berbagai pekerjaan lainnya.

Ke depan, potensi desa yang dimiliki oleh Desa Karang Tengah perlu lebih digali, tidak hanya mengutamakan keahlian menempa besi tetapi juga meningkatkan keahlian dalam membuat kerajinan kayu dan batu alam. Harapannya, akan berbuah manis, terlebih dengan dukungan pemerintah dan pihak-pihak terkait terutama peran warganya sendiri dalam membangun desa.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

90

BAB V KENDALA DAN TANTANGAN

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

5.1. Kendala Pembangunan Perdesaan

Kendala yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah diuraikan secara lengkap di RPJMN 2004–2009 (Bab 25) dan RPJMN 2010–2014 (Buku 2 Bab IX). Berdasarkan kedua RPJMN tersebut dinyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan diantaranya adalah: Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas; Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial; Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah; Tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan; Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan; Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan; Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled); Meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain; Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat; Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan; Menguatnya kapasitas dan peran pemerintahan desa, serta kelembagaan masyarakat, dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik termasuk meningkatnya kapasitas (teknis dan fiskal) pemerintah kabupaten dalam pembangunan perdesaan.

Konversi lahan pertanian akan mengurangi lahan pertanian produktif bagi petani sehingga lapangan kerja di sektor pertanian

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

91

berkurang. Konversi lahan pertanian ini dapat terjadi karena (salah satunya) transformasi struktural. Transformasi struktural adalah perubahan pertanian tradisional akan bergeser ke sektor industri sebagai mesin utama pembangunan ekonomi. Kebijakan ini menjadi dilema tersendiri karena dapat berdampak positif dan negatif terhadap pembangunan. Adapun dampak positif dari proses transformasi struktural adalah Peningkatan produksi pertanian yang dirangsang oleh perubahan sistem pertanian subsistence ke pertanian modern (agroindustri); Penyerapan tenaga kerja (pengangguran) di perkotaan pada industri-industri baru; Percepatan arus uang dan barang yang merangsang percepatan pendapatan perkapita masyarakat, yang pada gilirannya memperbaiki tingkat kesejahteraannya.

Sedangkan dampak negatif dari proses transformasi adalah hilangnya lahan pertanian (sawah dan non sawah), yang mengakibatkan para petani dan buruh penggarap kehilangan mata pencaharian; Munculnya pengangguran struktural yang tidak mungkin tertampung seluruhnya pada sektor industri dan jasa; Tingginya laju urbanisasi yang menjadikan beban kota semakin berat serta menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya.

Adanya keterbatasan lapangan pekerjaan dan rendahnya sarana dan prasarana maka akan menimbulkan terjadinya urbanisasi. Urbanisasi menjadi masalah pelik yang mempengaruhi pembangunan di perdesaan. Arus urbanisasi yang semakin tinggi ke perkotaan berimplikasi pada semakin rendahnya sumber daya manusia yang dapat ikut berperan serta dalam pembangunan ekonomi di perdesaan.

Pendapatan sebagian besar masyarakat perdesaan masih bergantung pada produksi pertanian. Sehingga ketika terjadi penyempitan lahan pertanian maka pendpatan masyarakat juga ikut terpengaruh. Selain itu, faktor lain yang sangat mempengaruhi produksi pertanian adalah faktor perubahan iklim. Perubahan iklim berimplikasi pada semakin rentannya usaha pertanian berhadapan dengan risiko bencana kekeringan, banjir, dan peningkatan suhu. Mengingat produktivitas sektor pertanian sangat dipengaruhi cuaca dan iklim, tantangan bagi pemerintah adalah meningkatkan akses informasi bagi petani tentang kondisi cuaca, kecenderungan iklim ekstrem seperti kemarau panjang dan hujan berlebihan. Diharapkan dengan tersedianya informasi tentang hal itu dapat

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

92

membantu petani dan pemerintah menentukan langkah-langkah antisipasi. Dengan rendahnya produksi pertanian maka akan mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perdesaan yang masih bertahan di sektor pertanian tradisional.

Jika dilihat secara keseluruhan perekonomian maka kendala yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia adalah adanya eksploitasi sumber daya alam dan lemahnya daya saing. Indonesia yang merupakan negara berlimpah sumberdaya ternyata belum mampu memanfaatkan sumberdaya tesebut untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (terutama masyarakat perdesaan). Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura, dan lain-lain. Paradox antara kepemilikan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi tersebut dinamakan sebagai Natural resource curse dimana negara yang memiliki sumber daya alam (natural resources) melimpah (terutama yang tidak terbarukan atau non-renewable resources). Namun, dari segi tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara tersebut cenderung lebih rendah, jika dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki sumber daya alam. Hal ini umumnya terjadi di negara-negara berkembang, seperti di negara-negara miskin di benua Afrika dan Amerika Latin. Misalnya, kasus yang dialami Nigeria yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa minyak bumi, Republik Kongo yang memiliki sumber daya alam berupa intan, dan Pantai Gading yang memiliki sumber daya alam berupa coklat. Umumnya, Negara-negara berkembang tersebut mengeksploitasi sumber daya alamnya secara intensif dan menggantungkan sumber pendapatan per kapitanya dari ekstraksi sumber daya alam tersebut.

Kegiatan ekstraktif tersebut biasanya tidak melibatkan penciptaan nilai tambah (value added) yang besar karena hanya dilakukan sebatas mengekspor sumber daya alam sebagai bahan baku (raw materials). Selain itu, kegiatan ekstraktif dan eksploitasi secara berlebihan akan mengancam keberlanjutan dari pembangunan ekonomi karena cepat atau lambat sumber daya alam itu bisa habis sama sekali (depletable resources). Secara umum, terdapat beberapa terminologi yang menunjukkan natural resource curse. Salah satunya adalah Dutch disease atau yang sering disebut sebagai “penyakit Belanda” yang pernah dialami oleh Belanda. Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh The Economist pada tahun 1997 untuk

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

93

menjelaskan penurunan di sektor industri manufaktur di Belanda setelah penemuan sumber gas alam besar di tahun 1959. Dutch disease merupakan suatu konsep yang menunjukkan hubungan antara peningkatan eksploitasi sumber daya alam dengan penurunan kompetitivitas sektor industri. Kegiatan eksploitasi dan ekspor sumber daya alam besar-besaran (booming sector) di suatu negara akan mendorong apresiasi nilai tukar mata uang negara tersebut. Apresiasi nilai tukar tersebut akan berdampak pada menurunnya daya saing ekspor barang yang dihasilkan sektor produksi lain, selain sektor ekstraktif sumber daya alam, dalam hal ini sektor industri atau manufaktur negara tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung fenomena natural resource curse dan Dutch disease telah menjadi salah satu penyebab terjadinya deindustrialisasi di negara yang memiliki sumber daya alam melimpah.

Sebagian pendapat menyatakan bahwa Indonesia sudah mengalami Dutch disease. Hal ini timbul karena pada kenyataannya walaupun Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun kemiskinan dan kesenjangan masih terjadi di berbagai pelosok nusantara. Bahkan, di beberapa provinsi yang kaya sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi tinggi, masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu contoh kasus yang paling banyak disoroti adalah penambangan Freeport di Timika, Papua. Walaupun eksploitasi sumber daya mineral oleh PT Freeport sudah berlangsung lama, secara umum pembangunan di provinsi Papua masih cukup tertinggal daripada provinsi lainnya di Indonesia. Sebagai contoh lain adalah kasus penambangan timah di Pulau Belitung. Eksploitasi secara intensif pada sumber daya timah yang ada di Belitung kurang dapat memberikan kontribusi besar pada pembangunan di daerah, khususnya yang terkait dengan pembangunan manusia (human development). Selain itu, kesenjangan di daerah-daerah eksploitasi pertambangan cukup signifikan sehingga kontribusi sektor ekstraktif terhadap kesejahteraan penduduk menjadi semakin dipertanyakan.

Sebagian orang percaya bahwa Indonesia belum mengalami apa yang dinamakan sebagai Dutch disease dikarenakan sektor industri manufaktur di Indonesia masih menjadi sektor yang menyumbang share yang paling besar dalam pendapatan domestik bruto (PDB) di Indonesia

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

94

yang membuktikan bahwa industrialisasi di Indonesia masih terus berlangsung.

Terlepas dari pendapat yang menyatakan apakah Indonesia menderita Dutch Disease atau tidak, Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan bahwa apresiasi riil nilai tukar rupiah yang terus terjadi ini cenderung mendorong ekspor kita semakin terkonsentrasi pada produk primer, sedangkan industri manufaktur akan semakin terpuruk. Jika industri manufaktur (padat karya) tak dapat menyerap tenaga kerja, pekerja akan terus tertinggal di sektor pertanian, akibatnya produktivitas pertanian akan semakin menurun. Produktivitas yang menurun akan mendorong tingkat upah riil menjadi lebih rendah yang berimplikasi pada daya beli yang semakin memburuk.

Tabel 5.1. Peringkat Indonesia dan Beberapa Negara Asia dalam Doing Business Survey Tahun 2007-2010

Negara Peringkat Peringkat Peringkat Peringkat

2007 2008 2009 2010 Singapore 1 1 1 1 Thailand 18 15 12 12 Malaysia 25 24 21 23 China 93 83 86 89 Vietnam 104 91 91 93 India 134 120 132 133 Indonesia 135 123 129 122

Sumber: IFC-World Bank, Tahun 2007—2010

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi perdesaan adalah dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi daerah dan untuk memeratakan pembangunan ekonomi, antarwilayah Jawa-luar Jawa antarprovinsi, antarkabupaten/kota, juga antardesa-kota secara berkeadilan melalui peningkatan daya saing daerah.

Daya saing daerah secara agregat dicerminkan dengan daya saing nasional dibandingkan dengan negara lain, seperti yang digambarkan di dalam Tabel 5.1. Di sini terlihat daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Laporan dari Komite Pemantauan Pelaksanaan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

95

Otonomi Daerah (KPPOD) dan World Economic Forum sebagaimana yang disajikan pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa daya saing Indonesia dipengaruhi oleh oleh kondisi infrastruktur yang belum memadai, iklim dunia usaha yang belum mendukung dan kualitas sumber daya manusia yang rendah, kelembagaan, wawasan pengembangan usaha dan kemitraan publik dan dunia usaha. Keterbatasan penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur masih menjadi persoalan pokok. Selain itu, ketersediaan energi di daerah yang masih terbatas, merupakan hal utama yang masih perlu diselesaikan untuk peningkatan daya saing daerah.

Tabel 5.2. Aspek Daya Saing Daerah Yang Terendah Menurut WCR Dan KPPOD

Daya Saing Global Tata Kelola Ekonomi Daerah (World Competitiveness Report,2008) (KPPOD, 2008)

Infrastruktur Iklim dunia usaha Penerapan teknologi Infrastruktur fisik daerah SDM pendidikan tinggi dan keahlian Wawasan pengembangan usaha Kelembagaan Kemitraan publik dan dunia usaha

Untuk meningkatkan daya saing daerah dan nasional, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, seperti upaya mendorong kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam penyediaan infrastruktur melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005, pengembangan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) yang terintegrasi antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan Kementerian / Lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait dengan investasi. Selain upaya pembangunan yang dilaksanakan secara sektoral, berbagai upaya pembangunan juga dilakukan secara terpadu dalam satu wilayah. Proses pembangunan daerah yang digerakkan oleh pengembangan ekonomi daerah umumnya diawali dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baik yang bersifat lokal, dan berkembang ke skala regional maupun nasional dan internasional, melalui tahapan-tahapan yang dimulai dengan pusat pertumbuhan lokal, pengembangan klaster komoditas/industri sampai akhirnya terjadi proses aglomerasi di satu wilayah, yang selanjutnya memberikan efek pengganda bagi perkembangan daerah sekitarnya.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

96

5.2. Tantangan Pembangunan Perdesaan ke Depan

Menguatnya desakan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi nonpertanian, terutama di Pulau Jawa, tidak hanya merusak sistem irigasi yang sudah terbangun, tetapi juga semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di perdesaan dengan meningkatnya rumah tangga petani gurem. Jika hal itu dibiarkan, sangat sulit untuk menurunkan angka kemiskinan di perdesaan dan mengendalikan migrasi ke kota-kota besar sehingga pada gilirannya akan membebani dan memperburuk permasalahan di perkotaan. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dilakukannya diversifikasi usaha ekonomi di perdesaan ke arah kegiatan nonpertanian (non-farm activities), baik berupa industri yang mengolah produk pertanian maupun berupa jasa-jasa penunjang.

Industrialisasi perdesaan yang berbasis pertanian, tidak hanya berpotensi mengalihkan surplus tenaga kerja di sektor pertanian primer yang kurang produktif, tetapi juga mempertahankan nilai tambah yang dihasilkan tetap berada di perdesaan. Namun, untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, upaya diversifikasi lapangan pekerjaan ini secara simultan perlu diiringi dengan peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan, penyediaan dukungan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang memadai, peningkatan kapasitas pemerintahan dan kapasitas kelembagaan sosial ekonomi dalam pembangunan perdesaan di tingkat lokal, dan penguatan keterkaitan kota dan desa serta sektor pertanian dengan industri dan jasa penunjangnya.

Hal yang menjadi kontraproduktif adalah ketika alih fungsi lahan itu terjadi ternyata berdampak pada terbatasnya lahan pertanian, penurunan produksi dan lapangan kerja di sektor pertanian. Untuk mengatasinya (keterbatasan lahan pertanian) maka diberlakukan reformasi tata ruang dan pengelolaan tanah (land reform). Land reform adalah perubahan dalam penguasaan tanah, terutama redistribusi dalam pemilikan tanah, sehingga dapat mencapai tujuan pemerataan lebih besar. Pembahasan dan penanganan land reform telah berlangsung sejak dasawarsa 60-an. Akan tetapi sampai saat ini belum berhasil diwujudkan. Dasar hukum pelaksanaan Land reform adalah pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

97

ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (LN 1960 nomor 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN Nomor 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU Nomor 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).

Pengertian land reform di Indonesia dibagi atas dua bagian, yaitu : Land reform dalam arti luas, yang dikenal dengan istilah Agrarian Reform/Panca Program, terdiri dari : a) Pembaharuan Hukum Agraria; b) Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah; c) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; d) Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah; dan e) Perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara berencana sesuai dengan daya dan kesanggupan serta kemampuannya. Land reform dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.

Adapun tujuan dari land reform adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang sejahtera dengan program-program: pembatasan luas maksimum pemilikan tanah larangan pemilikan tanah dan redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum; pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Salah satu contoh land reform misalnya dengan pembatasan alih fungsi lahan pertanian hingga 25 tahun dan insentif diberikan untuk kontrak-kontrak lahan pertanian.

Tiga pendekatan secara bersamaan dalam pengendalian alih fungsi lahan yaitu melalui regulasi, akuisisi dan manajemen serta insentif dan charges. Pendekatan regulasi, pemerintah menetapkan aturan dalam

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

98

pemanfaatan lahan yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu diperlukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua stakeholder yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam pendekatan acquisition and management pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan land tenure yang ada, yang mendukung ke arah upaya mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Sedangkan melalui incentive and charges, pemberian subsidi (insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang dimilikinya, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan sawahnya sebagai lahan usahatani. instrumen ekonomi yang ditujukan untuk menciptakan insentif bagi petani terdiri dari dua macam: (a) langsung, dan (b) tidak langsung. Instrumen ekonomi yang efeknya langsung antara lain adalah: (1) kebijakan harga, (2) asuransi pertanian, dan (3) keringanan pajak lahan sawah. Sedangkan yang tidak langsung terdiri atas: (1) rehabilitasi/pengembangan infrastruktur, dan (2) bantuan teknis pengembangan teknologi. Instrumen ekonomi yang diarahkan untuk menciptakan suasana tidak kondusif (disinsentif) bagi pihak-pihak yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah. Dengan pendekatan ini diharapkan kecenderungan untuk mengalihfungsikan lahan sawah dapat ditekan.

Insentif ekonomi bagi petani sangat dibutuhkan didasarkan atas fakta bahwa sampai saat ini pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani lahan sawah memang masih rendah. Peningkatan akses petani terhadap lembaga perkreditan sangat potensial sebagai insentif kepada petani agar termotivasi untuk mempertahankan lahan sawahnya dari ancaman konversi. Insentif terhadap input daripada output Secara umum insentif ekonomi yang paling efektif sebenarnya adalah rehabilitasi/pengembangan infrastruktur dan bantuan teknis untuk mendukung aplikasi teknologi maju. Kedua instrumen ini tidak berdampak negatif terhadap efisiensi ekonomi dan dalam beberapa hal dampak positifnya dapat bersifat multi fungsi. Persoalannya adalah efek yang ditimbulkan oleh kedua instrumen ini membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang (tidak quick yield). Sementara itu efek dari instrumen kebijakan harga (subsidi) lebih cepat terwujud. Rancang bangun

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

99

kebijakannyapun relatif lebih sederhana. Persoalannya adalah tidak pro efisiensi ekonomi dan tidak dapat difokuskan pada wilayah sasaran secara efektif.

Keringanan pajak untuk petani tampaknya kurang efektif meskipun dapat difokuskan pada wilayah sasaran tertentu, sedangkan pelipatgandaan biaya alih fungsi lahan sawah memerlukan rancang bangun kebijakan yang lebih rumit. Sementara itu asuransi pertanian masih membutuhkan kajian lebih lanjut karena secara empiris Indonesia belum pernah menerapkannya. Secara ringkas, perbandingan antar instrumen kebijakan dapat disimak pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Keunggulan dan Keterbatasan Masing-masing Instrumen

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

100

Ekonomi Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

5.3. Rekomendasi Kebijakan

Peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan pada tahun-tahun berikutnya memerlukan usaha dari berbagai pihak melalui program pembangunan. Berdasarkan hasil yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat disampaikan beberapa rekomendasi kebijakan untuk pembangunan perdesaan ke depan. Walaupun pembangunan perdesaan untuk setiap aspek akan berkaitan dengan aspek lainnya. Peningkatan pembangunan infrastruktur seperti sekolah dan poliklinik desa (polindes) maka akan dapat meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat perdesaan.

5.3.1. Aspek Ekonomi

Beberapa hal yang dapat disampaikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan diantaranya adalah:

1. Pembangunan sarana irigasi dan meningkatkan anggaran untuk revitalisasi sarana irigasi yang sudah ada. Sarana irigasi yang baik dapat mendukung produksi komoditi pertanian, terutama padi. Selain itu, dibutuhkan juga peningkatan penyediaan alat-alat pertanian yang mencukupi, sarana transportasi bagi kemudahan pemasaran produksi pertanian, serta pengadaan penyuluhan bagi petani yang berguna untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya.

2. Perlu diaktifkan kembali adanya “Lumbung padi desa” yang dapat membantu petani dan masyarakat perdesaan dalam mengatasi adanya kerawanan pangan. Hal ini dapat membantu Bulog dalam menjaga ketahanan pangan petani.

3. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi komoditi pertanian dan menjadi isu hangat saat ini adalah perubahan iklim. Sehingga perlu adanya informasi yang tepat yang dapat memprediksi bagaimana kondisi iklim sehingga petani dapat mencari cara mengatasinya. Diperlukan sebuah “early warning system” mengenai perubahan iklim (termasuk el nina dan la nino)

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

101

yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaan. Sehingga para petani dapat mengatur musim tanam.

Ketiga hal yang telah disebutkan sebelumnya akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi pertanian. Dengan meningkatnya produksi pertanian maka akan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sehingga kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan dapat meningkat.

5.3.2. Aspek Pendidikan

Peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sekolah terutama sekolah dasar dan menengah di perdesaan sangat penting dilakukan. Dana BOS yang ada perlu diberikan khusus untuk pembangunan infrastruktur sekolah di perdesaan.

5.3.3. Aspek Kesehatan

1. Berbagai wilayah perdesaan seringkali mengalami kekurangan tenaga kesehatan sehingga diperlukan adanya pemenuhan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi minimal yang sesuai dalam satu paket. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktek, serta tersedianya tenaga-tenaga dokter, bidan, dan tenaga paramedis lain hingga ke pelosok-pelosok daerah perlu ditingkatkan untuk menunjang kualitas kesehatan penduduk. Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

102

2. Meningkatkan jumlah infrastruktur kesehatan seperti polindes, puskesmas, dan posyandu.

5.3.4. Aspek Infrastruktur

1. Pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya yang besar dan salah satu alternatif sumber dana adalah dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah perdesaan.

2. Penambahan jumlah program padat karya seperti pembangunan jalan, saluran irigasi, dan lain-lain. Program padat karya ini dapat meningkatkan infrastruktur di perdesaan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

103

Appendix 1

KONSEP DAN DEFINISI

Adaptasi : penyesuaian diri terhadap lingkungan.

AHH : Angka Harapan Hidup yaitu rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur tertentu, pada suatu tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

AKB : Angka Kematian Bayi yaitu banyaknya kematian bayi berusia dibawah satu tahun, per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu.

AKI : Angka Kematian Ibu yaitu banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100 000 kelahiran hidup

Angka Partisipasi Kasar (APK): rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.

Angka Partisipasi Murni (APM): persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama.

BOS : program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.

BPNPM (PNPM): Bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat merupakan program Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah, artinya program ini direncanakan, dilaksanakan dan didanai bersama-sama berdasarkan persetujuan dan kemampuan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

104

Desentralisasi: pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi.

Drainase : Prasarana yang befungsi mengalirkan limpasan air permukaan ke badan air penerima atau ke bangunan resapan bantuan.

Ekologis : berkenaan dengan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan.

Garis kemiskinan: besarnya nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak.

Penduduk miskin: penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis kemiskinan.

Tingkat Kemiskinan: persentase jumlah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis kemiskinan terhadap jumlah penduduk.

Garis Kemiskinan Bukan Makanan : Garis Kemiskinan non makanan adalah nilai rata-rata pengeluaran (dalam rupiah) dari 51 jenis komoditi dasar non makanan untuk perkotaan dan 47 jenis komoditi untuk perdesaan

Garis Kemiskinan Makanan : nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan enerji minimal 2100 kkalori per kapita per hari .

Indeks Kedalaman Kemiskinan : : Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan

Indeks Keparahan Kemiskinan : Distribusi penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin

Infrastruktur : aset fisik yang dirancang dalam sistem sehingga memberikan pelayanan publik yang penting; Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

105

Kawasan perdesaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Kawasan perkotaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Kemiskinan : keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan.

Ketahanan Pangan : suatu kondisi ketersediaan pangan cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi.

Komprehensif : bersifat mampu menangkap (menerima) dengan baik; mempunyai dan memperlihatkan wawasan yg luas

Mitigasi Bencana adalah istilah yang digunakan untuk menujukkan pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.

Nilai Tukar Petani (NTP): merupakan angka perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. NTP merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, relatif semakin sejahtera tingkat kehidupan petani.

Otonomi daerah : hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi Daerah : Kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

106

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

PDB : mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun

Pembangunan : usaha terencana dan terarah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Perubahan menuju pola-pola masyarakat yang memungkinkan realisasi yang lebih baik dari nilai-nilai kemanusiaan, yang memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap lingkungannya dan terhadap tujuan politiknya, dan yang memungkinkan warganya memperoleh kontrol yang lebih terhadap diri mereka sendiri.

Pengangguran Terbuka: (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.

Pertumbuhan ekonomi : perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.

Perubahan sosial: merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Podes : Potensi desa. kemampuan desa yg mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) : total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun)

Sejahtera : menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai.

Sinergis : usaha sama antara individu atau organisasi yang hasilnya lebih baik berbanding jika dibuat secara bersendirian; tindakan bersama untuk

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

107

menghasilkan tindakan paduan yang lebih berkesan daripada tindakan tersebut secara berasingan.

Sumberdaya Ekonomi : segala sesuatu sumberdaya yang dimiliki oleh daerah baik yang tergolong pada sumberdaya alam (natural resources/endowment factors) maupun potensi sumberdaya manusia yang dapat memberikan manfaat (benefit) serta dapat digunakan sebagai modal dasar pembangunan (ekonomi) wilayah.

Urbanisasi : perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan).

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

108

Appendix 2

PENJELASAN TEKNIS

A. Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif adalah analisis keragaan data yang berkenaan dengan rata-rata, komposisi dan sebaran data. Analisis ini krusial artinya untuk melakukan identifikasi awal perilaku data dan erat kaitannya dengan arah analisis dan penentuan kebutuhan metode kuantitatif lebih lanjut. Analisis ini juga berfungsi untuk memberikan gambaran ringkas (snapshot) indikator-indikator yang digunakan dalam studi. Untuk analisis ini digunakan metode statistik seperti rata-rata, rasio (persentase), pertumbuhan, standart deviasi dan lain sebagainya. Didasarkan pada ruang lingkup bahasannya statistik deskriptif mencakup :

a. Ukuran nilai pusat: rata-rata, median, modus dan kuartil.

b. Ukuran dispersi: jangkauan, simpangan rata-rata, variasi dan simpangan baku, dan lainnya.

c. Ukuran perkembangan: selisih, pertumbuhan dan lainnya.

d. Distribusi frekuensi beserta bagian-bagiannya.

e. Grafik distibusi: diagram garis, histogram dan poligon frekuensi.

Rincian teknis ukuran-ukuran di atas adalah sebagai berikut:

Rata-rata Hitung (Mean), diperoleh dengan membagi jumlah seluruh data dengan banyak data, atau:

............................………(1)

Jika masing-masing mempunyai frekuensi maka rata-ratanya disebut sebagai rata-rata terboboti.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

109

………………………….……(2)

Rata-rata gabungan, jika kita mempunyai data n1, n2, n3, … dengan

nilai rata-rata masing-masing maka rata-rata gabungan data di atas dinyatakan dengan:

..…………....………………(3)

Untuk data-data yang tersusun dalam distribusi frekuensi rata-ratanya dihitung dengan:

..... ........…………………(4)

Dimana:

xk adalah nilai tengah kelas ; dan fk adalah frekuensi kelas.

MODUS, yaitu nilai atau fenomena yang paling sering muncul jika datanya telah disusun dalam distribusi frekuensi .

...…………………………(5)

Dimana:

b adalah batas bawah kelas modal (kelas dengan frekuensi tertinggi)

p adalah panjang/lebar kelas modal

b1 adalah frekuensi kelas modal dikurangi frekuensi kelas sebelumnya

b2 adalah frekuensi kelas modal dikurangi frekuensi kelas sebelumnya

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

110

KUARTIL, jika sekumpulan data dibagi menjadi empat bagian yang sama setelah di urutkan maka nilai yang membaginya disebut kuartil. Untuk data yang disusun dalam distribusi frekuensi:

; i = 1, 2, 3 ………………………(6)

Dimana:

b adalah batas bawah kelas Di

p adalah panjang kelas Di

F adalah jumlah seluruh frekuensi sebelum kelas Di

f adalah frekuensi kelas Di

PRESENTIL, jika sekumpulan data dibagi 100 sama besar akan menghasilkan persentil ke 1,2,3,…,99.

..…………………………(7)

Untuk data dalam distribusi frekuensi

.... …….………..………(8)

Dimana:

b adalah batas bawah kelas Pi

p adalah panjang kelas Pi

F adalah jumlah seluruh frekuensi sebelum kelas Pis

f adalah frekuensi kelas Pi

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

111

UKURAN SIMPANGAN, ukuran simpangan digunakan sebagai gambaran bagaimana berpencarnya suatu data kuantitatif. Ukuran-ukuran tersebut adalah:

a. Rentang = data terbesar – data terkecil

b. Rentang Antar Kuartil (RAK)

RAK = K3 – K1 ..........................………………(9)

c. Simpangan Kuartil (SK)

SK = 1/2 RAK = 1/2 (K3 – K1) ......……………………(10)

d. Rata-rata Simpangan (RS) Selalu positif

RS = ..........…………………………(11)

Simpangan baku/ standar deviasi

Simpangan baku untuk sampel disimbolkan S

Simpangan baku untuk populasi disimbolkan σ

e. Kuadrat simpangan baku disebut Varians, dimana untuk sampel dihitung dengan :

S2 = ……………….………(12)

atau

S2 = .……………..……(13)

Ini lebih dianjurkan karena kesalahannya lebih kecil. Jika datanya dalam distribusi frekuensi :

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

112

S2 = ….……………………(14)

atau

S2 = …………………(15)

B. Indeksasi

Sebelum masuk pada teknis analisis Indeksasi dan Pemeringkatan, perlu dijabarkan terlebih dahulu beberapa instrumen analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Indeksasi memiliki keunggulan dalam memperoleh satu ukuran (single measurement) dari beberapa variabel dari substansi yang dianalisis. Tidak itu saja, indeksasi memungkinkan adanya analisis berjenjang baik yang bersifat induktif maupun deduktif. Bagan umum indeksasi adalah seperti berikut dengan jenjang mulai dari variabel, faktor hingga instrumen utama analisis.

Hierarkhi Instrumen Analisis

Kemudian lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa indeksasi dilakukan untuk dapat menyusun tiap tingkatan instrumen yang ada dengan tingkat kesetaraan dan kesebandingkan yang sesuai dengan kerangka konseptual

Instrumen Utama

Faktor 1 Faktor 2 Faktor ke-n

Variabel 1 Variabel 2 Variabel ke-1i Variabel 1 Variabel 2 Variabel ke-ni

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

113

ekonomi yang dibutuhkan. Secara umum Indeksasi dilakukan dengan menstrukturisasi dan mengolah data sehingga didapat standarisasi alat instrumen dan antar unit objek penelitian. Metode indeksasi dipilih karena beberapa alasan, yaitu:

1. Prosesnya mudah atau sederhana untuk dilakukan.

2. Tidak membutuhkan perangkat lunak tertentu maupun keahlian spesifik. Hanya membutuhkan operasi matematika sederhana.

3. Pergerakan data pada setiap faktor dan variabel dengan mudah dapat ditelusuri untuk keperluan analisis maupun verifikasi konsistensi dan validitas instrumen yang digunakan.

Teknis standarisasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

,,

i j ii j

i i

V MinVI

MaxV MinV

......................................(16)

Dimana :

Ii,j’ = Nilai yang distandarisasi untuk variabel ke-i provinsi ke-j

Vi,j = Nilai data asal variabel ke-i provinsi ke-j

MinVi = Nilai minimun variabel ke-i

MaxVi = Nilai maximum variabel ke-i

Dari hasil standarisasi data tersebut kemudian dihitung rata-rata pada masing-masing kelompok variabel. Rumusan indeks seperti pada persamaan (16) di atas diaplikasikan pada setiap variabel yang digunakan. Hal ini dilakukan selain untuk memperoleh posisi relatif setiap provinsi terhadap seluruh provinsi di Indonesia atau terhadap suatu kelompok-kelompok yang dibutuhkan dalam analisis. Untuk satu indeks yang dianalisis, digunakan beberapa faktor. Maka untuk tiap-tiap indeks disusun berdasarkan rata-rata tertimbang nilai indeks seluruh faktor analisisnya. Metode rata-rata tertimbang ini juga digunakan untuk menyusun masing-masing indeks faktor (Fn) dari variabel-variabel penyusunnya. Rumusan indeks dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut:

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

114

j j j n jF F F FINDEKS

1, 2, 3, ,

i,k

...

n.....................(17)

Dimana:

INDEKS : Indeks substansi untuk provinsi/kelompok ke-j.

Fn,j : Indeks Indikator ke-n (untuk masing-masing faktor n), untuk kabupaten/kota ke-j.

n : Jumlah faktor untuk masing-masing RERI/REVI.

Untuk menyusun Indeks Faktor (Fn) ataupun Indeks substatif tertentu seperti pada persamaan (17) di atas, perlu dipastikan bahwa indeks instrumen penyusunnya (V1,..i untuk Faktor; F1...n untuk Indeks utama) memenuhi prinsip konsistensi. Artinya bahwa analisis dari setiap instrumen adalah searah. Misalnya jika indeks indikator yang digunakan secara umum berarah positif (semakin mendekati 100 semakin baik), maka setiap indeks instrumen yang digunakan hendaknya juga berarah positif. Untuk indeks instrumen yang mempunyai arah negatif (semakin mendekati 100 semakin buruk) diperlukan penyesuaian dengan menggunakan teknik Reverse Index dengan rumusan sebagai berikut:

100j jRII II ......................................(18)

Dimana:

RIIj : Reverse Indeks Instrumen untuk kabupaten ke-j.

IIj : Indeks Instrumen untuk kabupaten ke-j.

C. Analisis Kuadran

Analisis kuadran umumnya digunakan untuk memetakan suatu objek pada 2 kondisi yang saling berkaitan. Dengan demikian, melalui analisis kuadran ini dapat diketahui kondisi relatif satu objek terhadap objek lainnya dalam 2 ukuran yang saling berkaitan. Sementara itu untuk melakukan analisis kuadran, masing-masing objek dipetakan dalam satu Diagram Kartesius. Terdapat 2 komponen penting dalam Diagram Kartesius. Pertama garis potong (garis tolak) sumbu X dan sumbu Y, serta kedua adalah 4 kuadran yang dihasilkan dari perpotongan sumbu X dan

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

115

sumbu Y. Untuk menentukan titik potong digunakan nilai rata-rata dari nilai X dan nilai Y seluruh objek (1,...,j), yaitu:

1

( )

( )j

j

X Y

X Yj

......................................(19)

Dari kedua garis potong di atas akan dihasilkan 4 kuadran. Kondisi yang interpretasi masing-masing kuadran akan sangat bergantung pada arah dan keterkaitan antara kedua ukuran yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan analisis kuadran seperti yang digunakan Briguglio (2004). 4 kuadran yang dihasilkan diinterpretasikan sebagai 4 skenario Ketahanan dan Kerentanan Ekonomi dimana masing-masing kuadran dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Kuadran 1, kondisi optimal yang diintepretasikan sebagai “The best-case scenario” dimana kesejahteraan masyarakat perdesaan relatif lebih baik dan didukung oleh akses masyarakat pada layanan pendidikan, kesehatan dan ketersediaan infrastruktur yang lebih baik.

2. Kuadran 2, diintepretasikan sebagai “the prodigal son scenario” dimana kesejahteraan masyarakat perdesaan relatif lebih rendah namun sudah didukung oleh akses masyarakat pada layanan pendidikan, kesehatan dan ketersediaan infrastruktur yang relatif lebih baik.

3. Kuadran 3, diintepretasikan sebagai “the worst-case scenario” dimana kesejahteraan masyarakat perdesaan relatif lebih rendah diperparah oleh kurangnya dukungan akses masyarakat pada layanan pendidikan, kesehatan dan ketersediaan infrastruktur yang lebih baik.

4. Kuadran 4, diintepretasikan sebagai “the self-made scenario” dimana kesejahteraan masyarakat perdesaan relatif lebih baik namun belum didukung oleh akses masyarakat pada layanan pendidikan, kesehatan dan ketersediaan infrastruktur yang relatif lebih baik.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

116

Analisis Kuadran Ketahanan dan Kerentanan Ekonomi

Sumber: Briguglio (2004), dimodifikasi.

Kuadran 3 Worst-Case Scenario

Kemiskinan Perdesaan

Inde

ks K

ompo

nen

Kuadran 2 Prodigal-Son Scenario

Kuadran 1 Best-Case Scenario

Kuadran 4 Self-Made Scenario

Rata

-Rat

a (

)

Rata-rata ( )

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

117

Appendix 3

TABEL DAN GAMBAR

Gambar 1. Statistik Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan

Sumber: BPS 2011, diolah.

Gambar 2. Statistik Angka Partisipasi Sekolah Usia 7-12 (2010)

0

1

2

72 73 74 75 76 77 78 79 80

Series: SER06Sample 1 4Observations 4

Mean 76.13750Median 76.10000Maximum 79.82000Minimum 72.53000Std. Dev. 3.143929Skewness 0.032741Kurtosis 1.628652

Jarque-Bera 0.314147Probability 0.854641

0

4

8

12

16

20

24

75 80 85 90 95 100

Series: SER04Sample 1 32Observations 32

Mean 97.30531Median 98.26500Maximum 99.69000Minimum 76.22000Std. Dev. 4.007035Skewness -4.762800Kurtosis 25.55940

Jarque-Bera 799.5517Probability 0.000000

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

118

75-77 92-95 95-97 97-100 Papua Papua

Barat Sulbar Kalbar Banten Bengkulu Sumut

NTT Babel Sumbar Kaltim Jateng Gorontalo Malut NTB B a l i DKI Jakarta

Sulsel Sulteng Jambi Kalteng Aceh

SulTenggara Maluku Lampung Kepri

Kalsel Jabar Jatim DIY

Sumsel Sulut R i a u Sumber: BPS 2011, diolah.

Gambar 3. Statistik Persentase Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Perdesaan 2007

5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 40-45 45-50 50-55 Bali Kalsel Jambi

Kepri Kalteng Babel Banten Riau Sumbar

Kalbar Sumut Sulut

Malut Jabar Kaltim Sulsel Sumsel Sulbar

NTB Bengkulu Jateng Lampung Sulteng

Jatim DIY Sultra Aceh NTT

Gorontalo Maluku Irian Jaya Barat

Papua

Sumber: BPS 2011, diolah.

0

2

4

6

8

10

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

Series: SER01Sample 1 32Observations 31

Mean 20.38452Median 17.87000Maximum 50.47000Minimum 7.470000Std. Dev. 10.86284Skewness 1.264744Kurtosis 4.267438

Jarque-Bera 10.33942Probability 0.005686

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

119

Gambar 4. Statistik Persentase Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Perdesaan 2008

5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 40-45 45-50

Bali Sulut Kaltim Jateng Aceh

Gorontalo Maluku Irian Jaya

Barat Papua

Kalsel Kalteng Jabar Lampung NTT Jambi Kalbar Sulsel Sulteng Babel Banten Sumsel Jatim

Kepri Riau Sulbar Sultra Sumbar NTB DIY Sumut Bengkulu

Malut Sumber: BPS, 2011 (diolah).

Gambar 5.

Statistik Persentase Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Perdesaan 2009

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Series: SER02Sample 1 32Observations 31

Mean 18.81290Median 16.79000Maximum 45.96000Minimum 6.810000Std. Dev. 10.00640Skewness 1.162164Kurtosis 3.907531

Jarque-Bera 8.042068Probability 0.017934

0

2

4

6

8

10

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Series: SER03Sample 1 32Observations 31

Mean 17.72161Median 15.81000Maximum 46.81000Minimum 5.330000Std. Dev. 10.36494Skewness 1.338137Kurtosis 4.386779

Jarque-Bera 11.73556Probability 0.002829

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

120

5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 40-45 45-50 Bali Sulut Jateng Lampung Aceh Gorontalo - Papua

Barat Papua

Kalsel Kaltim Sulsel Sulteng NTT Maluku Jambi Kalbar Sumsel Jatim Babel Banten Sulbar Sultra Kepri Riau NTB DIY Kalteng Sumbar Bengkulu Sumut Malut Jabar Sumber: BPS 2011, diolah.

Gambar 6.

Statistik Persentase Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Perdesaan 2010

5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 40-45 45-50 Bali Kalsel Jambi Babel Kepri Kalteng

Sulut Kaltim Kalbar Banten Riau Sumbar Sumut Malut Jabar Sumsel Sulsel

Jateng Sulbar NTB Bengkulu Jatim

Lampung Sulteng Sultra DIY Aceh

NTT

Gorontalo Maluku

Irian Jaya Barat

Papua

Sumber: BPS, 2011 (diolah).

0

2

4

6

8

10

12

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Series: SER04Sample 1 32Observations 31

Mean 17.01774Median 14.67000Maximum 46.02000Minimum 5.690000Std. Dev. 10.09495Skewness 1.432094Kurtosis 4.624244

Jarque-Bera 14.00392Probability 0.000910

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

121

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta. Andri, K B. 2008. Persepektif Pembangunan Wilayah Perdesaan.

isbandisutrisno.files.wordpress com/2008/07/dm-isbandi.doc Anonim. 2005. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ

Tahun 2005 tanggal 22 Maret 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa. Jakarta: Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI. 2010. Pencapaian Pembangunan Kesehatan Tahun 2010.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. 2008. Laporan

Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. 2010. Laporan

Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Access from http://www.bps.go.id/ [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo. 2008. Indikator Kesejahteraan

Rakyat (Inkesra) Tahun 2008 Kabupaten Tebo. Kabupaten Tebo, Riau: BPS.

Bappenas. 2009. Pencapaian Sebuah Perubahan: Evaluasi Empat Tahun

Pelaksanaan RPJM 2004-2009. _____ . 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2004-2009.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

122

_____ . 2009. Pedoman Penyusunan RPJMN 2010-2014. _____. 2010. Buku I Prioritas Nasional. Lampiran Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.

_____. 2010. Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan.

Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.

_____. 2010. Buku III Pembangunan Berdimensi Kewilayahan :

Memperkuat Sinergi Pusat-Daerah dan Antardaerah. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.

Bank Indonesia. 2007. Kajian Ekonomi Regional Triwulan III – 2007 Jakarta

dan Banten. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Biro Kebijakan Moneter. Bank Indonesia.

Basri, M dan Sjamsu R. 2010. The Indonesian Economy a midst the Global

Crisis: Good Policy and Good Luck. Asean Economic Bulletin 27: 1, 77-97 online publication.

Baswir, R. 2005. Pembangunan Tanpa Perasaan Evaluasi Pemenuhan Hal

Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Bintarto. 1983. Interaksi Desa–Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Briguglio, L 2004. Economic Vulnerability and Resilience: Concepts and Measurements. Economics Vulnerability and Resilience of Small States, Malta: Islands and Small States Institute and London: Commonwealth Secretariat .

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

123

Budiman, A. 2004. Implikasi Penataan Perumahan dan Permukiman Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota Sesuai Kebijakan Pemerintah.

Carley, M. 1990. Social Measurement and Social Indicators, London:

George Allen & Unwin. Carlishe’s, E. 1972. The Conceptual Structure of Social Indicators, in

Shofied,A.& Shaww, S. (ed.). Social Indicators and Social Policy, London: Heinman Educational Books.

Daryanto, A. Disparitas Pembangunan Perkotaan-Perdesaan, Agrimedia

8(2),30-39. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2004. Rencana Umum

Ketenagalistrikan Nasional. Kepmen ESDM No.0954 K/30/MEM/2004. Jakarta. www.djlpe.go.id.

Dunn, W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Terjemahan).

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hakim, H N. 2009. Evaluasi Sosial Ekonomi Untuk Pengembangan

Permukiman di Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali. Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi.

Handono, E. 2004. Kumpulan Modul APBDes Partisipatif Membangun

Tanggung-gugat Tata Pemerintahan Desa. FPPD dan FPPM. Harmanto, S. 1996. Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan dalam

Pembangunan Ekonomi Indonesia. Makalah dalam Seminar Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia, CSIS dan Bank Dunia. Jakarta, 13 Agustus.

Hasibuan, N. 1993. Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi, Palembang:

Penerbit Universitas Sriwijaya.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

124

Hernowo B. 2009. Kajian Pembangunan Ekonomi Desa Untuk Mengatasi Kemiskinan. Direktorat Permukiman dan Perumahan. Jakarta: Bappenas

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintahan Desa dan

Kelurahan. 2006. Fokus Media, Bandung. Hikmat, H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung :

Humaniora Utama Press. Hudayana, B. 2005. Laporan Penelitian Alokasi Dana Desa di Enam

Kabupaten. FPPD. Ismawan, B. 1992. Pengembangan Swadaya Nasional Tinjauan ke arah

Persepsi yang Utuh, LP3ES diterbitkan untuk Participatory Development Forum.

Ismawan, B dan Budiantoro. 2005. Keuangan Mikro Sebuah Revolusi

Tersembunyi dari Bawah. Gema PKM. Iswari, P. 2002. Monitoring dan Evaluasi Sebagai Media Belajar Besama

dari Pengalaman. DFID. [JNPK] Jaringan Nasional Pelatihan Klinik. 2007. Asuhan Persalinan Normal.

Jakarta: JNPK-KR/POGI. Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan

Kemiskinan. Bandung : Blantika Mizan. Jaweng, E. 2004. Kompilasi UU Otonomi Daerah. ILD dan Tifa Foundation.

Jakarta. Khor, M. 2002. Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Seri Kajian

Global. Yogyakarta : Cinderalas Pusataka Rakyat Cerdas. Khusaini. 2005. Disparitas Pendapatan Antar daerah Kabupaten/Kota dan

Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten. JIPIS Nomor 3, Volume 2 Tahun 2005.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

125

Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Erlangga. Yakarta.

Mahfudz. 2009. Analisis Dampak Alokasi Dana Desa (ADD) Terhadap

Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Desa. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 1, Maret 2009, 10-22

Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Perdesaan, Yogyakarta : P3PK

UGM. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang

Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

PUSDATIN Departemen Sosial, PAPITEK LIPI. 1999. Menuju Pengembangan

Sistem Indikator Kesejahteraan Sosial. Royat, S. 2008. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan.

http://pse. litbang.deptan.go.id/. Rahayu, AB. 2006. Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui

Pemberdayaan Masyarakat Desa. Iskandarsyah Institute. Sahdan, G. 2006. ADD untuk Kesejateraan Rakyat Desa. Yogyakarta :

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa. Sahdan, G. 2004. Pembaruan Ekonomi Politik Perdesaan. APMD Press. Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia. Sarman, M dan Sajogyo, 2000. Masalah Penanggulangan Kemiskinan

Refleksi dari Kawasan Timur Indonesia. Puspa Swara. Sidik, M. 2002. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek di Era

Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Laporan Akhir

EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

126

Sjahrir dan Korten, 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/640/SJ Tanggal, 22 Maret

2005 Tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Pemerintah Desa.

Sutoro, E dan Ari Dwipayana. 2003. Good Governance di Desa. IRE Press. Sutoro, E. 2005. Manifesto Pembaruan Desa. APMD Press. Tarigan, A. 2009. “Rural - Urban Economic Lingkages” Konsep & Urgensinya

Dalam Memperkuat Pembangunan Desa. Thomas, Vinod et.al. 2000. The Quality of Growth. World Bank. Tjitrosoemarto, S. 2011. Indikator Kerja. Jakarta, Indonesia. Todaro, MP. 1987. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ketiga.

Terjemahan. Jakarta : Erlangga. Undang-undang Republik Indonesia No.28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

UNESCAP UN-HABITAT. 2008. Panduan Ringkas Untuk Pembuat Kebijakan

“Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-kota Asia. www.unescap.org. Wrihatnolo, R. 2009. Analisis Kebijakan Pembangunan Perdesaan.

“Membumikan Demokrasi, Mewujudkan Negara Kesejahteraan”.