Dbd
description
Transcript of Dbd
BAB I
PENDAHULUAN
Dengue adalah infeksi virus yang ditularkan melalui nyamuk yang paling cepat menyebar
di dunia. Terdapat sekitar 50 juta infeksi virus dengue dan 25,000 kematian setiap tahunnya, hal
ini menjadikan infeksi virus dengue sebagai salah satu penyakit virus yang ditularkan oleh
artropoda yang penting pada manusia.(1) Semua benua merupakan wilayah endemik demam
berdarah kecuali Eropa. Diperkirakan 2,5 miliyar penduduk dunia tinggal di daerah beresiko
untuk penularan epidemis demam berdarah, dan hal ini merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas pada anak-anak dibeberapa Negara Asia. Sebagian kasus yang berat dan kematian
terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun.(2)
DBD telah menjadi masalah kesehatan bukan hanya di Indonesia tetapi di juga di negara
lain di Asia Tenggara. Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah
meningkat sehingga Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis. Sejak tahun 1956 sampai
1980 di seluruh dunia kasus DBD yang memerlukan rawat inap mencapai 350 000 kasus per
tahun sedang yang meninggal dilaporkan hampir mencapai 12 000 kasus. Penyakit ini
disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.
Terdapat 4 serotipe virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Oleh karena
ditularkan melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD yang
utama adalah nyamuk Aedes aegypti. DBD merupakan bentuk berat dari infeksi dengue yang
ditandai dengan demam akut, trombositopenia,netropenia dan perdarahan. Permeabilitas vaskular
meningkat yang ditandai dengan kebocoran plasma ke jaringan interstitiel mengakibatkan
hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia dan hiponatremia yang akan menyebabkan syok
hipovolemik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Terdapat empat manifestasi klinis utama, yaitu 1) penyakit paling ringan (mild
undifferentiated febrile illness), 2) demam dengue, 3) demam berdarah dengue, dan 4) dengue
shock syndrome.(1,3,4)
1
BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1 DEFINISI
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD dapat terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom rejatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh rejatan/syok.(5)
2.2 ETIOLOGI
2.2.1 Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue
yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Virus dengue mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4.(3,4,5)
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-
3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.(3,4,5)
2
2.2.2 Vektor
Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain juga dapat menularkan virus ini,
namun merupakan vector yang kurang berperan.(4) Nyamuk berasal dari famili Stegomyia.(5)
Nyamuk ini terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis. Aedes aegypti yang menggigit pada
pagi hingga sore hari adalah vektor utama virus. Nyamuk berkembang biak di tempat
penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah. Virus dengue juga ditemukan
pada nyamuk Aedes albopictus yang berkembang biak di air yang terperangkap diantara
tumbuhan.(5) Karena suhu rendah nyamuk tidak dapat hidup pada ketinggian diatas 1000 meter.
Telur dapat bertahan selama berbulan-bulan tanpa adanya air. Larva tumbuh di air yang disimpan
untuk minum, mandi, atau air hujan yang ditampung di dalam bak. Nyamuk betina tumbuh
menjadi dewasa di dalam ruangan tertutup.(1) Sekali terinfeksi virus, nyamuk akan terinfeksi
selamanya dan menularkan virus jika menggigit manusia. Nyamuk betina juga menularkan virus
kepada anaknya melalui penularan transovarium.(4)
3
2.2.3 Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus, dan vektor perantara.(4)
Siklus dimulai ketika nyamuk betina yang tidak terinfeksi mengigit manusia yang sedang
mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu
8-12 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. (2, 4)
Epidemiologi
Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia hingga awal abad 20.
Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis, Kepulauan di Asia Pasifik, Australia bagian
utara, Afrika Tropis, Karibia, Amerika selatan dan Amerika tengah. Demam dengue sering
terjadi pada orang yang bepergian ke daerah ini. Pada daerah endemic dengue, orang dewasa
seringkali menjadi imun, sehingga anak-anak dan pendatang lebih rentan untuk terkena infeksi
virus ini.(5)
4
Gambar 2. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.(7) Keterangan : Biru : area infestasi Aedes
aegypti .Merah : area infestasi Aedes aegypti dan epidemic dengue
Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia, Maladewa, Myanmar,
Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan adanya kasus dengue. Epidemic dengue
adalah masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan
Timor Leste yang beriklim tropis dan berada di daerah ekuator dimana Aedes aegypti
berkembang biak baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di Negara ini dengue merupakan
penyebab rawat inap dan kematian tertinggi pada anak-anak.(6)
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan beberapa
serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS paling banyak terjadi
pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun. Frekuensi kejadian DSS paling
tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak yang sebelumnya terkena infeksi virus
dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti dengue antibody. Transmisi penyakit
biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang dingin memungkinkan waktu survival nyamuk
dewasa lebih panjang sehingga derajat tranmisi meningkat.(2)
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan Myanmar,
telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan Case Fatality Rate
sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat tinggal di daerah perkotaan,
150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua negara) dengan lebih
dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Barat dengan Case Fatality Rate
sebesar 1%.(4)
5
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana dan
tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4)
Peningkatan sarana transportasi.[1]
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain
status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi)
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan
virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran
penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh
propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per
100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan
tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban
tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.[1]
2.3 PATOFISIOLOGI
Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu (1) meningkatnya permeabilitas kapiler
yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan hipovolemia, hemokonsentrasi serta
renjatan (2) adanya hemostasis yang abnormal, melibatkan perubahan pembuluh darah,
trombositopeni dan koagulopati.6
Teori Virulensi Virus
Seseorang akan terkena infeksi virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan
virulensi virus cukup kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Fakta ini
diperkuat dengan uji coba dimana beberapa orang yang digigit nyamuk infeksius,
hasilnya adalah ada orang yang sakit dan ada orang yang tidak sakit.1
6
Teori Imunopatologi
Respon imun terhadap infeksi virus dengue mempunyai dua aspek yaitu respon
kekebalan atau malahan menyebabkan penyakit. Pada percobaan terhadap
manusia dan mencit dapat disimpulkan bahwa sesudah mendapat infeksi virus
dengue satu serotype maka akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka
waktu lama dan tidak mampu mMberi pertahanan terhadap jenis virus yang lain.
Teori ini berkembang dan didukung oleh data epidemologik, klinis dan
laboratorium yang banyak diteliti di Thailand sekitar tahun 1954-1964. Teori
tersebut kemudian disebut sebagai Teori Infeksi Sekunder oleh virus yang
heterologus yang berurutan. Kalau seseorang mendapat infeksi primer dengan
satu jenis virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis
serotype virus yang lain maka risiko besar akan terjadi infeksi virus yang berat.1
Teori Antigen Antibodi
Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody,
membentuk ‘virus-antibodi kompleks’ (kompleks imun) kemudian mengaktivasi
komplemen, aktivasi ini akan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a, yang
merupakan mediator kuat permeabilitas kapiler, kemudian terjadi kebocoran
plasma.1,6
Teori Infection Enhacing Antibodi
Teori ini mengungkapkan bahwa manusia yang telah terinfeksi virus dan
membentuk antibody, dimana antibody ini bersifat non neutralisir dan bila terjadi
infeksi berulang memiliki resiko terjangkit DBD lebih besar dibanding dengan
manusia yang tak memiliki antibody. Menurut penelitian antigen dengue lebih
banyak di dapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag
yang tinggal menetap di jaringan. Pada makrofag yang dilingkupi antibody non
neutralisasi, antibody tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya
sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel makrofag terinfeksi lebih berat
penyakitnya. Diduga makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan
mengeluarkan berbagai substansi inflamasi, sitokin dan tromboplastin yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan akan mengaktivasi sistem koagulasi.1
7
Teori Mediator
Makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Sitokin
diproduksi oleh banyak sel terutama makrofag mononuclear. Disini sitokin
disebut juga monokin. Fungsi dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai
mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang
infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi
limfosit, sebagai activator sel inflamasi non spesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan diferensiasi loeukosit matur. Teori mediator ini sejalan dan
berkembang bersama dengan peran endotoksin dan teori peran sel limfosit.1
o Peran Endotoksin
Syok pada DBD akan menyebabakan iskemia pada usus, disamping
iskemia juga pada jaringan lain. Pada waktu iskemia usus, terjadi
translokasi bekteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Endotoksin
dsebagai komponen kapsul luar dari bakteri gram negative akan mudah
masuk kedalam sirkulasi pada kejadian syok yang akan diikuti iskemia
berat. Endotoksin akan mengaktivasi kaskade sitokin terutama TNF alfa
dan interleukin 1 dimana hal tersebut meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah yang memudahkan kembali terjadinya shock
hipovolemic.
o Peran Limfosit
Virus yang masuk ke makrofag akan mendapat tanggapan, dimana peptide
virus akan dibawa oleh MHC kelas I lalu dipajang dipermukaan virus.
Pajanan peptide virus menyebabkan sel limfosit T CD8 mengenal bahwa
didalam makrofag tersebut ada virus. Kemudian sel limfosit tersebut akan
teraktivasi, mengeluarkan limfokin, termasuk limfokin yang mengaktivkan
makrofag dan mengaktivkan sel
Teori Trombosit Endotel
Trombosit dan endotel diduga mempunyai peran penting dalam patogenesis DBD,
berdasarkan kenyataan bahwa pada DBD terjadi trombositopenia dan
permeabilitas kapiler yang meningkat yang berarti ada pengaruh terhadap
8
integritas sel endotel. Dua komponen ini merupakan satu kesatuan fungsi dalam
mempertahankan homeostasis. Salah satu cedera akan berakibat pada yang lain.
Gangguan pada endotel akan menimbulkan agregasi trombosit serta aktivasi
koagulasi.1
2.4 PATOGENESIS
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi
kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama
dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya
tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun
bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.(4)
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis
ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya
dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE),
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.(4)
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection
dapat dilihat pada Bagan 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
9
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini
terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena
itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.(4)
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka
yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit
terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris.(4)
10
Bagan 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD(4)
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (Bagan 2). Kedua faktor tersebut
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan. (4)
Bagan 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD(4,5)
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
11
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.(4)
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Infeksi virus dengue mengakibatkan spektrum klinis yang bervariasi yaitu :
Bagan 3. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue(WHO 1997)
12
Bagan 4. Klasifikasi Kasus dan Tingkat Keparahan Dengue(WHO 2009)
2.5.1 Demam Dengue
Definisi Kasus Demam Dengue (6)
Tersangka dengue : demam akut disertai dua atau lebih manifestasi :
Sakit kepala
Nyeri retroorbital
Myalgia
Athralgia
Rash
Manifestasi pendarahan
Leukopenia
Serologis : HI antibody titer > 1280, IgG dan IgM pada fase akut dan konvalesen
Pasti dengue : Kriteria lab
Isolasi virus dengue dari serum atau autopsi
Peningkatan 4 x IgG atau IgM titer pada antigen virus diserum
Penemuan antigen virus pada autopsi jaringan, serum, CSF dengan metode
immunohistokima, imunofloresensi atau ELISA
Deteksi genom virus pada autopsi jaringan, serum atau CSF dengan PCR
Manifestasi Klinis
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya
mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia,
rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota
badan, dan timbulnya ruam. Ruam timbuk pada 6-12 jam sebelum sushu naik pertama kali, yaitu
pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilag pada
tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka.(3)
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak, disertai kenaikan suhu,
nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa
13
menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu menyerupai pelana kuda
atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua
pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonk.(3)
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini
sering timbul perubahan dalam indra pengecapan. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah
fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam
menghilang secar alisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfe servikal membesar
pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelani’s sign, sangat
patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis banding.
Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai.(3)
2.5.2 Demam Berdarah Dengue
Definisi Kasus Demam Berdarah Dengue (6)
Kriteria klinis :
Demam akut 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
Kecenderungan pendarahan berupa :
- Tes tourniquet positif
- Ptekie, ekimosis, purpura
- Pendarahan mukosa, saluran cerna, tempat penyuntikan
- Hematemesis atau melena
Hepatomegali
Gejala renjatan
- Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Tekanan darah turun
- Kulit teraba dingin dan lembab, terutama daerah akral (ujung hidung, jari, kaki)
- Sianosis sekitar mulut
Kriteria Lab :
Trombositopenia <100.000/ mm3
Bukti kebocoran plasma dan peningkatan permeabilitas vaskular dengan manifestasi :
14
- Peningkatan Ht> 20 % dari baseline sesuai umur dan jenis kelamin pada populasi tersebut
- Penurunan Ht> 20% setelah terapi cairan
- Tanda kebocoran plasma berupa efusi pleura, asites dan hipoproteinemia
Diagnosis klinis ditegakkan bila didapatkan >2 gejala klinis dengan trombositopenia dan
hemokonsentrasi.
Manifestasi Klinis
Kasus DHF tipikal memiliki 4 ciri gejala utama yaitu : demam tinggi, fenomena
pendarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada pemeriksaan lab dapat ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis yang menentukan tingkat
keparahan DHF dan membedakan dengan DF adalah plasma leakage yang terlihat sebagai
peningkatan hematokrit, efusi serosa atau hipoproteinemia.(6)
Pada fase awal terjadi demam mendadak, malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia, dan
batuk yang berlangsung selama 2-5 hari.(6) Demam tinggi berlanjut hingga 2-7 hari. Suhu dapat
mencapai 40-41oC. Pada suhu ini bayi rentan terkena kejang demam. Beberapa pasien mungkin
mengeluh sakit tenggorokan, dan faring yang merah dapat terlihat pada pemeriksaan, namun
gejala pilek dan batuk sangat jarang. Dapat juga terlihat injeksi konjungtiva. (3) Pada fase kedua,
pasien merasa dingin, ekstrimitas dingin, batang tubuh terasa hangat, muka flushing, keringat
berlebih, gelisah, iritabel, dan nyeri pada ulu hati. Sering, ptekie tersebar pada dahi dan
ekstrimitas. Ekimosis dapat terlihat, kulit mudah lebam dan pendarahan pada tempat penyuntikan
dapat terjadi. Rash makular atau makulopapular dapat terlihat, juga terdapat sianosis sirkumoral
dan periferal. Hati dapat membesar hingga 4-6 cm di bawah batas costa dan teraba lunak. (6)
Pasien juga mengalami nyeri tekan epigastrik dan di bawah arkus costa atau nyeri perut
menyeluruh. Fase kritis terjadi pada akhir fase demam. Setelah demam selama 2-7 hari terjadi
penurunan suhu yang diikuti oleh tanda-tanda gangguan sirkulasi yaitu : berkeringat, gelisah,
ekstrimitas dingin, respirasi cepat, nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung redup. (3) Sekitar 20-
30% penyakit DBD mengalami komplikasi shock (dengue shock syndrome). Kurang dari 10%
pasien mengalami ekimosis atau pendarahan saluran cerna, biasanya setelah periode syok yang
tidak terkoreksi. Setelah fase krisis selama 24-36 jam, penyembuhan terjadi dengan cepat
terutama pada anak-anak. Suhu dapat menjadi normal selama fase syok. Pada fase penyembuhan
sering terjadi bradikardi dan ventricular ekstrasistol.(6)
15
Klasifikasi Derajat Penyakit DBD(6)
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan
lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin
dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Bagan 5. Patogonesis dan Spektrum Klinis DBD(6)
16
2.5.3 Dengue Shock Syndrome (DSS)
Denfinisi Kasus Dengue Shock Syndrome(2,6)
Seluruh kriteria DBD ditambah tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa :
- Nadi cepat dan lemah
- Tekanan nadi sempit (<20 mmHg)
- Hipotensi berdasarkan usia (sistolik < 80mmHg untuk anak dibawah 5 tahun dan < 90
mmHg untuk anak usia 5 tahun keatas)
- Ekstremitas dingin dan lembab serta penurunan kesadaran
Manifestasi Klinis
Kondisi pasien mengalami perburukan setelah demam 2-7 hari. Gejala gangguan sirkulasi
utama yang muncul adalah : kulit yang menjadi dingin, nadi cepat, terdapat sianosis sirkumoral.
Pasien awalanya letargis namun dengan cepat dapat menjadi gelisah pada fase kritis syok. Nyeri
akut abdomen sering dikeluhkan pada fase awal syok. DSS memiliki ciri nadi yang cepat dan
tekanan nadi yang sempit (< 20 mmHg) atau hipotensi yang diikuti ekstrimitas yang dingin dan
gelisah. Pasien beresiko meninggal jika terapi tidak tepat. Kebanyakan pasien tetap sadar hingga
fase akhir penyakit. Durasi syok berlangsung sangat singkat, pasien dapat meninggal dalam 12-
24 jam atau membaik dengan cepat. Efusi pleura dan asites dapat dideteksi pada pemeriksaan
fisik. Syok yang tidak terkoreksi menyebabkan komplikasi pendarahan gastrointestinal dan
metabolik asidosis. Pasien dengan pendarahan intrakranial dapat mengalami kejang dan menjadi
koma. Ensefalopati dapat terjadi akibat gangguan elektrolit atau akibat pendarahan intrakranial.(3)
Fase pemulihan berlangsung cepat dalam 2-3 hari, meskipun asites dan efusi pleura dapat
tetap ada. Tanda prognosis yang baik adalah membaiknya output urin dan kembalinya nafsu
makan. Pada fase pemulihan sering ditemukan bradikardia dan aritmia dan rash konfluen yang
menyisakan sedikit kulit normal. Gejala biasanya hanya berlangsung selama 7-10 hari. (2)
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
17
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.(5)
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.(5)
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada
DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8
sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai
hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau
sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian
cairan atau oleh perdarahan.(4)
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan
limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat
kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu.
Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.(4)
2.6.2 Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama pada hemitorkas
sebelah kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat terjadi bilateral.(4,5) Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan
efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.(5)
2.6.3 Pemeriksaan Serologis
18
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction).(5)
Dasar pemeriksaan serologik adalah membandingkan titer antibodi pada masa akut dan
konvalesens. Teknik pemeriksaan serologik yang dianjurkan WHO adalah pemeriksaan HI dan
CF.(3)
NS1 adalah suati glikoprotein yang muncul dengan konsentrasi tinggi pada pasien
terinfeksi dengue pada tahap awal penyakit. Antigen NS1 ditemukan pada hari pertama hingga
hari kesembilan sejak awal demam pada pasien-pasien dengan infeksi dengue primer maupun
sekunder.(7)
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh
pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif singkat dan akan
disusul segera oleh pembentukan IgG.(5) IgM antidengue mulai terdeteksi hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG antidengue pada infeksi primer mulai
terdeteksi pada hari ke-14 dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.(5)
Pada kira-kira hari kelima infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus
(neutralizing antibody (NT). Titer antibodi NT akan naik dengan cepat, kemudian menurun
secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup.(5)
Selain antibodi NT, akan timbul antibodiyang mempunyai sifat menghambat
hemaglutinasi sel darah merah angsa (Haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibodi
HI akan naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun perlahan-laha, tetapi lebih cepat dari
antibodi NT.(3)
Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi yang mengikat komplemen (complement fixing
antibody = CF), timbuk pada sekitar hari keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan
penyakit mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat dan
menghilang setelah 1-2 tahun.(3)
19
Gambar 4. Respon Imun Pada Infeksi Dengue
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Tabel 1
Diagnosis Banding Demam Dengue(1)
Kondisi yang menyerupai Fase Demam infeksi dengue
Flu like syndrome Influenza, measles, chikungunya, infectious
mononucleosis, HIV sereconversion illness
Penyakit dengan ruam Rubella, measles, demam scarlet, infeksi
meningokokus, chikungunya, reaksi obat
Diare Rotavirus, infeksi enteric yang lain
Penyakit dengan manifestasi neurologi Meningo/ensefalitis, kejang demam
Kondisi yang menyerupai Fase Kritis infeksi dengue
infeksi Gastroenteritis akut, malaria, leptospirosis,
tifoid, tifus, hepatitis virus, acute HIV
seroconversion illness, sepsis bacterial, syok
septic
Keganasan Leukemia akut dan keganasan lain
Gambaran klinis yang lain - Akut abdomen : appendisitis akut,
kolesistitis akut,
- Ketoasidosis diabetic
- Asidosis laktat
- Leukopenia dan trombositopenia ±
20
perdarahan
- Gangguan trombosit
- Gagal ginjal
- Respiratory distress (pernafasan
kussmaul)
- Systemic lupus eritematosus
2.8 PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan memberikan nasehat
untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi
angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada ketrampilan para dokter untuk
dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)
dengan baik.(3,4)
2.8.1 Penatalaksanaan Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan : (4)
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan
suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak
dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau
asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air
putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Monitor suhu, jumlah trombosit
dan hematokrit sampai fase konvalesen.
21
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi
selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu
turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala
syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air
besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus
segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu
turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.(3,4)
2.8.2 Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/DSS dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/DSS sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak
pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence)
yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar
hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah
trombosit sampai <100.000/µl atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb)
terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan
hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk
pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti
volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada
kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit
22
<50.000/µl. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit
kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA.(3,4)
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simptomatik dan
suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat
diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan
intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.(3,4)
Tabel 2
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)
dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
>12 500-1000 1-2
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,anoreksia dan
muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam
berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila
terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.(3,4)
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis
adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan
hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan
23
cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan
darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.(3,4)
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.(4)
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana
dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus
syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus
selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian
volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum
volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.(3,4)
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi
sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravenabolus perlahan-lahan.(3,4)
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5
sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.(3,4)
Tabel 3
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat Badan Waktu Masuk RS
(kg)
Jumlah cairan
ml/kg berat badan per hari
24
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak
gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama.
Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.(3,4)
Tabel 4
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)
Misalnya untuk berat badan 40kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (20x20) =1900 ml.
Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan
(perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti
harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari
pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah
plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase
penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler.
Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres
pernafasan.(3,4)
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit
(20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau
kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.(3,4)
25
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)(3,4)
Kristaloid
• Larutan ringer laktat (RL)
• Larutan ringer asetat (RA)
• Larutan garam faali (GF)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan : Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
mengandung dekstran)
Koloid (4)
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin
2.8.2 Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita DSS
dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak
20ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB.(3,4)
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kgBB. Tetesan diberikan
secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai
berat BB ideal dan umur 10 ml/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid
dengan tetesan 10ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri
cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid
tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500ml/hari, sebaiknya tidak diberikan
26
pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap lebih tinggi, maka berikan darah
dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah
keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar
hematokrit.(3,4)
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP
yang ada kadangkala pada pasien DSS berat, saat ini tidak dianjurkan lagi.(3,4)
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht
sebelumnya. Jumlah urin >1/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan
sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma
dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan
rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda
vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.(3,4)
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS, maka analisis
gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.(3,4)
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.(3,4)
Pemberian Oksigen
27
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada
anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.(3,4)
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui
perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan
cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah
dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien
dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa
pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan
hematologis tersebut juga menentukan prognosis.(3,4)
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah: (3,4)
• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih
sering, sampai syok dapat teratasi.
• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.
• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
• Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
28
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian
dopamin perlu dipertimbangkan.(4)
Kriteria Memulangkan Pasien : (6)
Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini :
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik >50.000/pl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis
DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi dalam 3 bagian,
yaitu: (4)
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD derajat II
tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 6 dan 7)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 8)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan 9)
29
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadakterus menerus <7 haritidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,badan lemah/lesu
Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratanTanda syok Periksa uji torniquetMuntah terus menerusKejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)Muntah darahBerak darah
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan<100.000/µl >100.000/µl Parasetamol
30
Tersangka DBD
Kontrol tiap hariTatalaksana sampai demam hilangdisesuaikan,(Lihat bagan 7,8,9)
Rawat Inap (lihat bagan 7)
Rawat Jalan Nilai tanda klinis &Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht Parasetamol bila masih demam Kontrol tiap hari hari sakit ke-3sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali
Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok: gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, BAB hitam,BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakitBagan 6. Tatalaksana Kasus Tersangka DBD(3,4)
Gejala klinis:Demam 2-7 hariUji torniquet (+) atauperdarahan spontanLaboratorium: Hematokrit tidak meningkatTrombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minumBeri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerusAtau 1 sendok makan tiap 5 menitJenis minuman; air putih, teh manis,Sirup, jus buah, susu, oralitBila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)
31
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badanPeriksa Ht, Hb tiap 6 jam,trombositTiap 6-12 jam
Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turunAwasi perdarahanPeriksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Infus ganti RLPerbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 8)
Pulang (Kriteria memulangkan pasien)• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik• Nafsu makan membaik• Secara klinis tampak perbaikan• Hematokrit stabil• Tiga hari setelah syok teratasi• Jumlah trombosit >50.000/µl• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Bagan 7. Tatalaksana Kasus DBD Derajat I dan II Tanpa Peningkatan Hematokrit(3,4)
Cairan awalRL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5 6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan Tidak ada perbaikanTidak gelisah GelisahNadi kuat Distress pernafasanTek.darah stabil Frek.nadi naikDiuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik(2 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi <20 mmHgHt turun Diuresis </tidak ada(2x pemeriksaan)
Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan32
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
10-15 ml/kgBB/jamPerbaikan
5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam
Tanda vital tidak stabil
PerbaikanSesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHgIVFD stop setelah 24-48 jamApabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segardiuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pdAnak
- Syok yang belum teratasiPerbaikan - Perdarahan masif
Bagan 8. Tatalaksana Kasus DBD Derajat II dengan Peningkatan Hematokrit >20%(3,4)
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit)2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 15 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasiKesadaran membaik Kesadaran menurunNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba
33
DBD derajat III & IV
Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosisEkstrimitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah
Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketatTanda vital 2. Tambahkan koloid/plasmaTanda perdarahan Dekstran/FFP 10-20(max30ml)/kgBB/jamDiuresisPantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jamTetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasiHt stabil dalam 2x Syok teratasiPemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBBdapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhansetelah syok teratasi
Bagan 9. Tatalaksana Kasus DBD Derajat III dan IV (Dengue Shock Syndrome)(1,3,4)
2.9 KOMPLIKASI
Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan dapat menjadi
penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis pembuuh darah otak sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravascular diseminata (KID).
Gagal ginjal akut
34
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati
dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah syok telah
teratasi dengan baik. Dieresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan,
untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan
pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma
masiih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ruang ekstra,
apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami
distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran
edema paru pada foto dada.7
2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan demam berdarah dilakukan dengan 3M Plus yaitu: (4)
Menguras
Menyikat dinding tempat penampungan air agar telur nyamuk DBD yang menempel akan
lepas.
Menutup
Menutup tempat penampungan air dengan rapi atau rapat setelah mengambil atau mengisi
air akan mencegah nyamuk DBD masuk untuk bertelur.
Mengubur
Mengubur atau menyingkirkan barang bekas (ban,aki,botol,plastik) yang dapat digenangi
air, jangan sampai terisi air hujan.
35
Perlindungan pakaian
Memakai pakaian yang tebal atau tidak longgar dapat mengurangi resiko gigitan nyamuk.
Baju lengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki/tangan dapat melindungi
lengan dan kaki, tempat yang disukai oleh nyamuk. Baju yang dicelup dengan cairan
kimia seperti permethrin efektif melindungi dari gigitan nyamuk.
Obat nyamuk bakar dan aerosol
Merupakan insektisida untuk di rumah, seperti : obat nyamuk bakar, spraying dan aerosol
dipakai ekstensif untuk perlindungan perorangan dari nyamuk. Melakukan penyemprotan
obat nyamuk sekitar jam 06.00-09.00 pagi dan jam 16.00-18.00 sore.
Obat oles anti nyamuk (repellent)
Jenis ini secara luas diklasifikasikan menjadi dua kategori, penangkal ilmiah dan
penangkal kimiawi. Minyak murni dari ekstrak tanaman merupakan bahan utama obat-
obatan penangkal nyamuk alamiah, contohnya: minyak serai, minyak zaitun, dan minyak
ncem. Bahan penangkal kimiawi seperti: DEET (Ndiethyl-m-Toluamide).
Memasang kawat kassa dan tidak membiasakan menggantung pakaian, serta
pencahayaan dan ventilasi kamar yang memadai.
Tirai dan kelambu nyamuk yang dicelup larutan insektisida
Kelambu berinsektisida mempunyai batasan waktu efektif kerjanya untuk membunuh
nyamuk dalam beberapa tahun/bulan. Pemakaian kelambu efektif untuk melindungi bayi
dan yang mempunyai kebiasaan tidur siang.
Kimia
Cara ini sebaiknya dilakukan di daerah yang kondisi sumber airnya sulit karena kegiatan
menguras tidak mungkin dilakukan. Cara ini memberantas jentis Aedes aegypti dengan
menggunakan racun pembasmi jentik (larvasida) dikenal dengan istilah abatisasi.
Larvasida yang biasa digunakan ialah temephos. Formulasi temephos yang digunakan
adalah berbentuk butiran pasir (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10
gram (± 1 sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Abatisasi dengan temephos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Racun pembasmi jentik ini aman meskipun digunakan di
tempat penampungan air yang jernih untuk mencuci atau minum sehari-hari.
Biologi
36
Misalnya dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan mujair, ikan
nila, ikan gambus, dll)
2.10 PROGNOSIS
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif atau didapat yang
meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue. Pada DBD kematian terjadi
pada 40–50% pasien dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif, kematian dapat diturunkan
hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan dengan terapi suportif awal. Kadang-kadang
terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan
intrakranial.(3)
37
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever. Guideline for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. WHO; 2009.
2. Kaushik, Pineda, Kest. Diagnosis and Management Dengue Fever in Children. Pediatrics in
Review. 2010;31;e28. http://pedsinreview.aappublications.org/content/31/4/e28
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Badan Penerbit IDAI: Jakarta; 2012. Hal 155-181.
4. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Edisi 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta; 2004.
5. Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; Juni 2006. Hal. 1709-13.
6. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever. Diagnosis, treatment, prevention
and control. Second Edition. Geneva: WHO; 1997.
7. Petunjuk Teknis Penggunaan Rapid Diagnostic Tes (RDT) Untuk Penunjang Diagnosis Dini
DBD. Dikutip dari www.pppl.depkes.go.id
38