Data Hukum Kesehatan

32
PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN (HEALTH LAW) hukum kesehatan (Health Law) menurut: 1. Van Der Mijn: Hukum Kesehatan diratikan sebagai hukum yang berhubung an langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi: penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara. 2. Leenen: Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi i lmiahnya. Secara ringkas hukum kesehatan adalah: a. Kumpulan peraturan yang mengatur tetang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan b. Seperangkat kaidah yang mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan upaya dan pemeliharaan di bidang kesehatan. c. rangkaian peraturan perundang-unda ngan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik dan sarana medik Pelayanan medik: upaya pelayanan kesehatan yang melembaga, berdasarkan fungsi sosial di bidang pelayanan kesehatan perorangan bagi individu dan keluarga. Sarana medik: meliputi rumah sakit (umum/khusus), klinik spesialis, rumah/klinik bersalin, poliklinik atau balai pengobatan dan sarana lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan . Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang unjuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap li ngkungan yang berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air. Perbedaan hukum kesehatan (Health Law) dan hukum kedokteran (medical law): hanya terletak pada ruang lingkupnya saja Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan kesehatan (yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan) Ruang lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan profesi kedokteran. Oleh karena masalah kedokteran juga termasuk di dalam ruang lingkup kesehatan, maka sebenarnya hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan. Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan kesehatan, adalah: karena adanya kebutuhan 1. pengaturan pemberian jasa keahlian 2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan 3. keterarahan 4. pengendalian biaya 5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban pemerintah 6. perlindungan hukum pasien 7. perlindungan hukum tenaga kesehatan 8. perlindungan hukum pihak ketiga 9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum

Transcript of Data Hukum Kesehatan

Page 1: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 1/32

 

PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN (HEALTH LAW)

hukum kesehatan (Health Law) menurut:

1. Van Der Mijn: Hukum Kesehatan diratikan sebagai hukum yang berhubungan langsung

dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi: penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan

tata usaha negara.

2. Leenen: Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum dibidang kesehatan serta studi ilmiahnya.

Secara ringkas hukum kesehatan adalah:

a. Kumpulan peraturan yang mengatur tetang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan

b. Seperangkat kaidah yang mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan upaya dan

pemeliharaan di bidang kesehatan.

c. rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur

pelayanan medik dan sarana medik 

Pelayanan medik: upaya pelayanan kesehatan yang melembaga, berdasarkan fungsi sosial di

bidang pelayanan kesehatan perorangan bagi individu dan keluarga.

Sarana medik: meliputi rumah sakit (umum/khusus), klinik spesialis, rumah/klinik bersalin,

poliklinik atau balai pengobatan dan sarana lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap

orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang

unjuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna

baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.

Perbedaan hukum kesehatan (Health Law) dan hukum kedokteran (medical law): hanya

terletak pada ruang lingkupnya saja

Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan kesehatan

(yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan)

Ruang lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan

profesi kedokteran. Oleh karena masalah kedokteran juga termasuk di dalam ruang lingkup

kesehatan, maka sebenarnya hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan.

Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan kesehatan,

adalah: karena adanya kebutuhan

1. pengaturan pemberian jasa keahlian

2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan

3. keterarahan

4. pengendalian biaya

5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi

kewajiban pemerintah

6. perlindungan hukum pasien

7. perlindungan hukum tenaga kesehatan

8. perlindungan hukum pihak ketiga9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum

Page 2: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 2/32

 

FUNGSI HUKUM KESEHATAN

Fungsi hukum kesehatan adalah:

1. menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di

dalam sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan yang besar bagi

ketertiban masyarakat secara keseluruhan

2. menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidangkesehatan). Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat

3. merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat menghalang-halangi dokter

untuk melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka

tindakan tersebut sebenarnya keliru dan perlu diluruskan.

Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang

tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa

yang dapat melakukan kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu

dihukum jika perbuatannya memang pantas untuk dihukum.

Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan

masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak 

senang jika berhadapan dengan proses peradilan.

RUANG LINGKUP HUKUM KESEHATAN

Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan yang

disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Menurut Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11 UUK)

1. kesehatan keluarga

2. perbaikan gizi

3. pengemanan makanan dan minuman4. kesehatan lingkungan

5. kesehatan kerja

6. kesehatan jiwa

7. pemberantasan penyakit

8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan

9. penyuluhan kesehatan

10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

11. pengamanan zat adiktif 

12. kesehatan sekolah

13. kesehatan olah raga

14. pengobatan tradisional15. kesehatan matra

hukum kesehatan di Indonesia belum seluruhnya memenuhi runag lingkup yang ideal,

sehingga yang diperlukan adalah:

1. melakukan inventarisasi dan analisis terhadap perundang-undangan yang sudah ada untuk 

dikaji sudah cukup atau belum.

2. perlu dilakukan penyuluhan tidak hanya terbatas kepada tenaga kesehatan saja tetapi juga

kalangan penagak hukum dan masyarakat

3. perlu dilakukan identifikasi yang tepat bagi pengaturan masalah-masalah kesehatan guna

pembentukan perundang-undangan yang benar.

SUMBER HUKUM KESEHATAN

Page 3: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 3/32

 

Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga yurisprudensi,

traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun kedokteran.

Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat (the

binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak mempunyai

kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan

kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.

SUMBER-SUMBER HUKUM

Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber yang

menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di mana kita

dapat menemukan hukum.

Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :

a. Sumber hukum materiil, adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya,

hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik,

pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.

b. Sumber hukum formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan

memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.

Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :

1. Undang-undang (UU);

2. Kebiasaan;

3. Yurisprudensi;

4. Traktat (Perjanjian antar negara);

5. Perjanjian;

6. Doktrin.

ad.1. Undang-undang.Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang

berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta)

sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa

diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus

(speciali rechtsvormende organen).

UU dapat dibedakan dalam arti :

- UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara

terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh

sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh

Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD‟45).  

- UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinyadinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.

ad.2. Kebiasaan (custom).

Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang.

Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat. Kebiasaan biasa

disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat

istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang

mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan

adanya hukum adat.

Prof.Dr. Sunaryati Hartono, SH, tidak sependapat bahwa hukum kebiasaan itu disamakan

dengan hukum adat, dengan mengatakan :

“Apakah sudah benar dan tepat pemahaman sementara sarjana hukum kita sekarang ini untuk menyamakan saja, Hukum Kebiasaan dengan hukum Adat ? Karena di negara kita sudah

Page 4: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 4/32

 

berkembang hukum kebiasaan dalam arti yang lebih luas, seperti hukum kebiasaan yang

dikembangkan di kalangan eksekutif (Administrasi Negara), di Pengadilan, hukum kebiasaan

dikalangan profesi hukum (notaris dan pengacara), khususnya dalam bidang hukum kontrak,

hukum dagang (hukum bisnis) dan hukum ekonomi pada umumnya”. 

Prof. Ronny Hanitijo Soemitro, SH dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH, memberikan 3 unsur

agar kebiasaan dapat diterima dalam masyarakat, yaitu :a. Syarat kelayakan, pantas atau masuk akal. Kebiasaan yang yang tidak memenuhi syarat

harus ditinggalkan. Ini berarti bahwa otoritas kebiasaan adalah tidak mutlak tetapi

kondisional, tergantung dari kesesuaiannya pada ukuran keadilan dan kemanfaatan umum;

b. Pengakuan akan kebenarannya. Ini berarti bahwa kebiasaan itu hendaknya diikuti secara

terbuka dalam masyarakat, tanpa mendasarkan pada bantuan kekuatan di belakangnya dan

tanpa persetujuan dari dikehendaki oleh mereka yang kepentingannya dikenal oleh praktek 

dari kebiasaan tersebut. Persyaratan ini tercermin dalam bentuk norma yang oleh pemakainya

harus tidak dengan kekuatan, tidak secara diam-diam, juga tidak karena dikehendaki.

c. Mempunyai latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali lagi mulainya. Kebiasaan

adalah bukan praktek yang baru tumbuh kemarin dulu atau beberapa tahun yang lalu, tetapi

telah menjadi mapan karena dibentuk oleh waktu yang panjang.Ad.3. Yurisprudensi.

Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar bagi

hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi

keputusan hakim yang tetap.

Ad.4. Perjanjian.

Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh

kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini

diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.

Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :

1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan mengikat)

apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.

2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas

menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa (subyek 

hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan,

ketertiban umum dan undang-undang.

3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah

disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Ad.5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)

Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR

menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain.

Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya masing-masing.

Untuk itu suatu traktat untuk bias menjadi sumber hukum (formal) harus disetujui oleh DPR

terlebih dahulu, kemudian baru di RATIFIKASI oleh Presiden dan setelah itu baru berlaku

mengikat terhadap negara peserta dan warganegaranya.

Traktat yang memerlukan persetujuan DPR adalah traktat yang mengandung materi :

1. Soal-soal Politik atau dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian

tentang perubahan wilayah.

2. Soal-soal perjanjian kerjasama ekonomi seperti hutang luar negeri.

3. Soal-soal yang menurut system perundang-undangan Ri harus diatur dengan Undang-

undang, seperti Kewarganegaraan.

Ad.6. Doktrin.Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan

Page 5: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 5/32

 

(hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber

hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.

SEJARAH HUKUM KESEHATAN

1. pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada

seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit menyerangseseorang dan tidak menyerang lainnya.

2. pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat

supranatural.

3. penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang yang melanggar

hukumNya atau disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang melawan dewa

pelindung manusia.

4. pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama melalui do‟a

atau upacara pengorbanan

5. pada masa itu profesi kedokteran menjadi monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka

merupakan kelompok yang tertutup, yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan

mereka sendiri serta merekrtu muridnya dari kalangan atas.6. memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, karena dipercayai sebagai wakil

Tuhan untuk membuat undang-undang di muka bumi.

7. undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya

hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan

menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang

enggan memasuki profesi ini.

8. Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga memiliki

hukum kesehatan.

9. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana penderita/psien tidak 

ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat.

10. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen

11. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti.

12. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja

mewarnai kedokteran

13. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM)

dimana praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur

tentang sistem imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum

Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)

14. dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar

hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula

ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokterketika menangani budak tersebut.

15. salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah berhasil

menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:

a. adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran

yang bersifat coba-coba

b. adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan pasien

serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.

c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap euthanasia

dan aborsi

d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang mengambil

keuntungane. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.

Page 6: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 6/32

 

16. abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi profesi

kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang kedokteran

menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat hukum untuk 

mengontrol profesi kedokteran.

Hukum dan etika berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum lebih

menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah untuk kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat memaksa,

etika berupa pengucilan dari masyarakat.

Pertemuan II

29-03-2007

PENGERTIAN DAN DEFINISI HUKUMProf. Mr. Dr. L.J. van Appeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlands

Recht”, yang diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, SH., Pengantar Ilmu Hukum, menyebutkan

bahwa adalah tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum

itu. Definisi tentang hukum, adalah sangat sulit untuk dibuat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.Sehingga Dr. W. L. G. Lemaire (mantan guru besar UI) dalam bukunya “Het Recht in

Indonesia” menuliskan sbb: banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan

perumusan hukum dalam suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu).

Namun tidak berarti bahwa, lalu tidak perlu ada definisi atau batasan tentang hukum.

Beberapa definisi tentang hukum:

1. Drs. E. Utrecht, SH., Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan), yang

mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.

2. J. C. T. Simorangkir, SH., hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, dan terhadap pelanggaranaturan tersebut dapat dikenai sanksi berupa hukuman tertentu.

3. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., hukum dilihat sebagai fenomena sosial budaya yang riil

dan fungsionil dalam masyarakat. Dalam hal ini hukum lebih dilihat sebagai pola-pola

perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empirik.

Unsur-unsur, Ciri-ciri dan Sifat dari Hukum

a. Unsur-unsur Hukum.

- peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam masyarakat

- diadakan oleh badan resmi yang berwajib

- bersifat memaksa

- ada sanksi terhadap pelanggaran aturanb. Ciri-ciri Hukum

- berisi perintah dan larangan;

- bersifat memaksa (harus ditaati).

c. Sifat Hukum

- mengatur dan memaksa

Peran hukum

- sebagai “as a tool of social control” dalam arti berperan sebagai alat untuk mempertahankan

stabilitas masyarakat, atau berperan untuk mempertahankan apa yang tetap dan diterima di

dalam masyarakat.

- berperan sebagai “as a tool of social engineering” (sebagai alat untuk merubah masyarakat),disini hukum berperan untuk mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Prof. Mochtar

Page 7: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 7/32

 

Kusuma Atmadja, SH, menyatakan “sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum

 bertugas sebagai penyalur kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan”.  

Tujuan hukum

- Kepastian Hukum

- Keadilan.

ASAS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG (4 ASAS)

1. UU tidak berlaku surut;

Artinya UU itu mulai mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal diundangkan, sehingga

segala peristiwa dan perbuatan hukum yang dilakukan sebelum berlakunya suatu peraturan

perundang-undangan, tidak bisa dikenai aturan yang baru diberlakukan.

2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori.

Artinya UU yang berlaku kemudian membatalkan UU yang terdahulu, dalam hal mengatur

obyek yang sama.

Contoh:

- UU No. 2 2002 mencabut UU Kepolisian Negara RI No. 28 tahun 1997.

3. Lex Superior derogat Legi Inferiori.

Artinya suatu peraturan yang derajatnya lebih rendah (tidak sederajat), dikesampingkan oleh

peraturan yang derajatnya lebih tinggi dalam hal mengatur obyek yang sama dan saling

bertentangan. Atau uu yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai derajat yang

lebih tinggi.

4. Lex Specialis Derogat Legi Generali.

Artinya suatu peraturan perundang-undangan yang khusus, menyampingkan aturan yang

bersifat umum.

- Pasal 45 KUHP batasan umur anak adalah 16 tahun sedangkan masalah anak juga diaturdalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak Pasal 1 ayat (1) batasannya adalah 18

tahun dan belum pernah kawin. (KUH Perdata Pasal 330 adalah 21 tahun)

Syarat-syarat berlakunya UU.

UU agar dapat berlaku harus memenuhi-syarat-syarat.

UU berlaku sejak tanggal diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara dan dimuat dalam

Lembaran Negara.

Jika tidak ditentukan tanggal mulai berlakunya, maka untuk Jawa dan Madura mulai berlaku

setelah 30 hari sesudah diundangkan dalam Lembaran Negara, sedangkan untuk daerah

lainnya baru berlaku sesudah 100 hari setelah pengundangan dalam L.N.

Setelah persyaratan itu dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum : “Setiap orang

dianggap telah mengetahui adanya sesuatu UU”. Hal itu berarti bahwa jika ada seorang yangmelanggar UU tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan

alasan bahwa :”seseorang itu tidak tahu menahu adanya UU itu”. 

Berakhirnya suatu uu

a. jangka waktu berlakunya sudah lampau

b. keadaan atau hal berlakunya uu itu sudah tidak ada lagi

c. uu itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat

d. telah ada uu yang baru yang sisinya bertentangan dengan yang dulu berlaku.

Lembaran Negara: suatu Lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua

peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku.

Tambahan Lembaran Negara: Penjelasan daripada suatu uu

Page 8: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 8/32

 

MACAM-MACAM NORMA (KAIDAH)

Norma/kaidah: ketentuan2 tentang baik buruk perilaku manusia dalam pergaulan hidupnya.

Atau pedoman/patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup.

Ada 4 norma /kaedah dalam masyarakat yaitu : norma kesopanan, norma kesusilaan, norma

agama dan norma hukum.

1. Norma/Kaidah Agamaperaturan yang berisi perintah, larang dan anjuran yang datangnya dari Tuhan. Para pemeluk 

memandang bahwa peraturan tsb sebagai tuntunan dan petunjuk ke arah jalan yang benar.

Isi norma agama tsb pada umumnya terdiri dari 3 hubungan yang saling berkaitan:

a. peraturan yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhan (secara vertikal)

b. peraturan yang memuat hubungan antara manusia dengan sesama manusia (secara

horisontal)peraturan yang memuat hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.

2. Kaidah kesopanan

Peraturan hidup yang timbul dari pergaulan sekelompok manusia. Peraturan itu diikuti dan

ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada

disekitarnya. Norma kesopanan dapat dibentuk oleh masyarakat, artinya masyarakatberdasarkan kesadaran dan kemauannya dapat menentukan apa yang boleh dan apa yang

tidak boleh dilakukan seseorang dalam masyarakat. Misalnya:

- Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua.

- Murid harus menghargai dan mengormati gurunya.

- Berilah tempat kepada terlebih dahulu kepada wanita di bis, dll. (terutama wanita hamil, tua,

membawa bayi).

Norma kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas dibanding dengan norma

kesusilaan dan agama. Artinya hanya berlaku bagi bagi masyarakat tertentu saja dan bersifat

khusus.

3. Kaidah kesusilaan

Peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Oleh karena itu agar

manusia menjadi makhluk sempurna, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

mematuhi dan mentaati peraturan yang bersumber dari hati sanubari.

Hendaklah berlaku jujur

Hendaklah engkau berbuat baik sesamamu manusia

Jangan berbuat jahat.

4. Norma/Kaidah hukum:

Peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat setiap orang dan berlakunya

dapat dipaksakan oleh aparat negara. misalnya: Pasal 362 KUHP, barangsiapa mengambilbarang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk 

memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling

lama 5 tahun.

Hukum Perdata, Pasal 1471 KUH Perdata “jual beli barang orang lain  adalah batal”.

Maksudnya apabila terjadi perselisihan mengenai jual beli tersebut sebagaimana dimaksud

uu, maka negara dapat memaksakan pembatalan tsb agar pihak yang berselisih bersedia

mematuhi (mentaati).

Kesimpulannya:

1. kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan bertujuan untuk membina ketertiban di dalam

kehidupan manusia, tetapi ketiga norma tsb belum cukup memberi jaminan untuk menjagaketertiban dalam masyarakat.

Page 9: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 9/32

 

2. ketiga norma tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas.

- Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, tapi berlakunya diakhirat.

- Pelanggaran norma kesopanan mengakibatkan celaan atau pengasingan dari lingkungan

masyarakat.

- Pelanggaran norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal kepada si

pelanggar.3. si pelanggar tidak terikat kepada jenis peraturan hidup ketiga norma tsb, mereka bebas

untuk berbuat sesukanya. Sikap demikian akan membahayakan masyarakat, oleh karena itu

diperlukan norma lain (hukum) yang mempunyai sifat memaksa dan sanksi yang tegas.

PERTEMUAN III

TANGGAL 5 APRIL 2007

TUJUAN HUKUM KESEHATAN

Tujuannya Pasal 3 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat

bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal

AZAS HUKUM KESEHATAN

1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama,

dan bangsa;

2. Asas manfaat

berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan

yang sehat bagi setiap warga negara;

3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan

berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan olehseluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;

4. Asas adil dan merata

berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan

merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;

5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan

berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan

individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;

6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri

berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan

kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.

HAK DAN KEWAJIBAN

Setiap undang-undang selalu mengatur hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh

pemerintah maupun warganya, demikian juga uu kesehatan.

Hak dan kewajiban yang dimiliki setiap warga berdasarkan Pasal 4 dan 5 UUK adalah:

1. setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang

optimal.

2. setiap orang berkewajiban ikut serta dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat

kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya.

Sedangkan pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab sbb:

1. mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.

2. menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau masyarakat3. menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan

Page 10: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 10/32

 

dengan memperhatikan fungsi sosial.

4. bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

UPAYA KESEHATAN

Upaya kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat

meliputi:1. upaya peningkatan kesehatan (promotif)

2. upaya pencegahan penyakit ( preventif)

3. upaya penyembuhan penyakit (kuratif)

4. upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif)

keempat upaya tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

HAL-HAL PENTING DARI UUK

1. adanya payung bagi tindakan aborsi atas indikasi medik 

sebagaimana diketahui bahwa tindakan medik dalam bentuk pengguguran kandungan dengan

alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, dan hukum.

Namun dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu dapat dilakukan aborsi.Aborsi atas indikasi medik tersebut dapat dilakukan dengan syarat:

a. adanya kondisi yang menyebabkan wanita hamil berada dalam keadaan bahaya maut jika

tidak dilakukan aborsi.

b. Sebelumnya harus meminta pertimbangan lebih dahulu dari tim ahli yang terdiri atas ahli

medik, agama, hukum, dan psikologi.

c. Harus ada informed consent dari wanita yang bersangkutan. Jika wanita ybs dalam keadaan

tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, maka informed consent dapat

diminta dari suami atau keluarganya.

d. Pelaksanaan aborsi harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan.

e. Tempat aborsi adalah di sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan fasilitas yangmemadai untuk kepentingan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.

2. penyembuhan dan pemulihan kesehatan dengan transplantasi

upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan dengan

memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transplantasi. Meskipun

belum diatur secara lengkap tetapi beberapa pembatasan telah dikemukakan dalam UUK, al:

a. transplantasi organ/jaringan hanya boleh dilakukan dengan kemanusiaan. Tidak dibenarkan

dilakukan dengan tujuan komersial.

b. Pelaksanaannya hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian

dan kewenangan untuk itu

c. Tempat pelaksanaan ialah di sarana kesehatan yang memiliki persyaratan ketenagaan danfasilitas

d. Pengambilan organ/jaringan harus memperhatikan kesehatan donor

e. Harus ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya

3. Dimungkinkannya melakukan upaya kehamilan di luar cara alami

Upaya kehamilan untuk memperoleh keturunan di luar cara alami dengan memanfaatkan

teknologi bayi tabung dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dengan syarat-syarat yang

sangat ketat, yaitu:

a. hanya boleh dilakukan terhadap pasangan nikah (suami isteri)

b. harus menggunakan sperma suami dan ovum isteri

c. embrio yang dihasilkan hanya boleh ditanamkan ke dalam rahim isteri.d. Pelaksanaannya hanya di sarana kesehatan yang memenuhi persyaratan ketenagaan dan

Page 11: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 11/32

 

fasilitas yang memadai untuk itu dan telah ditunjuk oleh pemerintah

e. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu.

Dengan adanya syarat tersebut maka upaya kehamilan dengan teknologi bayi tabung tidak 

boleh menggunakan donor sperma atau ovum, donor embrio, dan ibu tumpang. (ttg

kehamilan dg menggunakan teknologi cloning tidak disinggung dlm UUK)

4. diakuinya hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri

pengakuan atas hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri yang diwujudkan dalam

bentuk informed consent merupakan refleksi bahwa HAM juga dijadikan acuan bagi

kebijakan di bidang kesehatan. Dengan adanya pengakuan tersebut maka pasien berhak 

menentukan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan medik.

Mengenai masalah imunisasi, yang sebetulnya amat oenting bagi upaya meningkatkan

kesehatan masyarakat tidak disebut dalam UUK, yaitu termasuk wajib atau sukarela.

5. dibolehkannya melakukan pengobatan tradisional

dengan dibolehkannya melakukan pengibatan tradisional berarti sistem yang dianut bukan

sistem monopli kedokteran, artinya orang boleh melakukan praktek pengobatan tradisional,yaitu metode pengobatan yang mengacu pada pengalaman turun temurun, baik yang asli

maupun dari luar negeri.

Kebijakan seperti ini memang patut dihargai, sebab masyarakat memang punya hak untuk 

menentukan, metode mana yang menurutnya baik untuk dipilih. Meskipun demikian

pemerintah punya kewajiban dan sekaligus kewenangan untuk melakukan pengawasan dan

pembinaan agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya sehingga tidak 

merugikan masyarakat.

6. dibentuknya majelis disiplin tenaga kesehatan

untuk memberikan perlindungan yang seimbang antara tenaga kesehatan dan penerimalayanan kesehatan, maka perlu dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, yang akan

menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

dalam rangka memberikan layanan. Majelis terdiri atas ahli psikologi, sosiologi, agama dan

ahli hukum yang sekaligus bertindak sebagai ketua. Hukuman yang dapat diterapkan adalah

hukuman administratif berupa pencabutan izin untuk jangka waktu ttt atau hukukman lain

sesuai dengan kesalahan dan kelalaiannya.

7. adanya payung bagi Program KB

sebelum ada UUK banyak tenaga kesehatan merasa ragu terhadap program KB, sebab

meskipun secara materiil tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana namun secara formil

masih. Dengan adanya UUK, maka secara formil tindakan pengaturan terhadap kelahirandalam rangka menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis tidak lagi mrpkn tindak pidana.

8. ditetapkannya hukuman pidana yang yang sangat berat (Pasal 80-86)

bisanya dalam uu yang mengatur hal yang khusus (lex specialis) diatur juga ketentuan

pidananya, demikian juga dalam UUK. Hukumannya mencapai 15 tahun penjara disertai

denda 500 juta rupiah.

HUBUNGAN DOKTER PASIEN

Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai

hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat superioritasdokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis; hanya ada kegiatan pihak dokter

Page 12: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 12/32

 

sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena

merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena

hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan

yang mendekati persamaan hak antar manusia.

Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi hubungan

yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasienakan berhubungan lebih sempurna sebagai „partner‟. 

Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan sosial

budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan, yaitu:

1. Activity – passivity.

Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran

mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya

melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien.

Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedangtidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.

2. Guidance – Cooperation.

Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya orangtua dengan remaja. Pola ini

ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau

penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta

kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama.

Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak semata-rna ta menjalankan kekuasaan,

namun meng harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau

anjuran dokter.

3. Mutual participation.Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak 

yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti medical

check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam

pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar

belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan

mental tertentu.

Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau

kontrak. Di mulai dengan tanya jawab (anarnnesis) antara dokter dan pasien, kemudian

diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter rnenegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini

dapat merupakan suatu „working diagnosis‟ atau diagnosis sementara, bisa juga merupakandiagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan

memberikan resep obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-

nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien. Dalam proses

pelaksanaan hubungan dokter pasien tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan Perencanaan

terapi, dokter melakukan pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis).

Pembuatan rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai dengan dipenuhinya standar

profesi medis. Dalam upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter

biasanya melakukan suatu tindakan medik. Tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering

dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara material, suatu

tindakan medis itu sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:1. mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit.

Page 13: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 13/32

 

2. dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.

kedua syarat ini dapat juga disebut seba bertindak secara lege artis.

3. harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.

Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah tindakan medis itu dapat dimasukkan dalam

pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas halini menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medis tidak hanya

mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum

administratif.

Dalam hukum administratif, masalahnya berkenaan antara lain dengan kewenangan yuridis

untuk melaku tindakan medis. Dokter yang berpraktek harus mempunyai izin praktek yang

sah.

Ditinjau segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan

(perjanjian) antara dokter dan pasien. Apabila tidak terpenuhinya syarat suatu perikatan,

misalnya pada pasien tidak sadar maka keadaan ini bisa dikaitkan dengan K U H Perdata

 pasal 1354 yaitu yang mengatur “zaakwaarneming‟atau perwakilan sukarela, yaitu suatu

sikap tindak yang pada dasar nya merupakan pengambil-alihan peranan orang lain yangsebenarnya bukan merupakan kewajiban si pengambil-alih itu, namun tetap melahirkan

tanggung jawab yang harus dipikul oleh si pengambil-alih tersebut atas segala sikap tindak 

yang dilakukannya.

PERTEMUAN IV

TANGGAL 18 APRIL 2007

Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanji¬an, yaitu

1. resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja, artinya suatu perjanjian yang akan

memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

2. inspanningsverbintenis, yang berdasar¬kan usaha yang maksimal (perjanjian upaya atau

usaha maksimal), artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara

maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan

Pada umumnya, secara hukum hubungan dok¬ter-pasien merupakan suatu hubungan ikhtiar

atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar

se¬kuatnya agar pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil kerja pada

keadaan-¬keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota badan palsu, oleh

dokter gigi atau ahli orthopedi.

Perbedaan antara kedua jenis perjanjian terse¬but secara yuridis terletak pada beban

pembukti¬annya. Pada inspanningsverbintenis, penggugat yang harus mengajukan bukti-

bukti bahwa ter¬dapat kelalaian pada pihak dokter atau rumah sakit sebagai tergugat.

Sebaliknya pada resulta¬atverbintenis, beban pembuktian terletak pada dokter.

Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada

orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Untuk sahnya perjanjian terapetik, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai perjanjian,

maka harus dipenuhi syarat-syarat (unsur-unsur) yang ditentukan dalam Pasal 1320 K U H

Perdata, sebagai berikut:

Page 14: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 14/32

 

1 . Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan,

2, Kecakapan untuk membuat suatu perikat¬an,

3. mengenai Suatu hal tertentu, dan

4. Suatu sebab yang halal/diperbolehkan.

Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif yang harus dipenuhi,yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap

untuk membuat suatu perjanjian (persyaratan dari subjek yang me¬lakukan kontrak medis),

sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek kontrak medis tersebut. Apabila dilihat

terutama dari persyaratan subyektifnya, maka perjanjian medis mempunyai keunik¬an

tersendiri yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya.

Ad. 1. Kesepakatan

Dalam kesepakatan harus memenujhi kriteria Pasal 1321 KUH Perdata, “tiada sepakat yang

sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau

 penipuan”. Jadi secara yuridis bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak 

adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari para pihak yang mengikatkan dirinya.Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dimana kedua

belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam transaksi terapetik pihak pasien

setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar

kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar

(tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah

satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan di dalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya

informed consent (persetujuan tindakan medik)

Dalam perjanjian medis, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal khusus. Di sini

pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya

dibandingkan dokter. Oleh karena itu syarat ini menjelma dalam bentuk “informed consent”,suatu hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. Secara yuridis

“informed consent‟ merupakan suatu kehendak sepi¬hak, yaitu dari pihak pasien. Jadi karena

surat persetujuan tersebut tidak bersifat sua¬tu persetujuan yang murni, dokter tidak harus

turut menandatanganinya. Di sam¬ping itu pihak pasien dapat membatalkan pernyataan

setujunya setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut K U H Perdata

pasal 1320, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak;

pembatalan sepihak da¬pat mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.

Ad. 2. Kecakapan

Pasal 1329 KUH Perdata: setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika

ia oleh uu tidak dinyatakan tak cakap.Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur minimal 21

tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah meni¬kah. Pasal 1330 K U

H Perdata, menyata¬kan bahwa seseorang yang tidak cakap un¬tuk mernbuat perjanjian

adalah

a. orang yang belum dewasa; ( Pasal 330 K U H Perdata adalah belum ber¬umur 21 tahun

dan belum menikah)

b. mereka yang ditaurh dibawah pengampuan (Berada dibawah pengampuan, yaitu orang

yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental)

c. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan (dalarn hal

ini masih berstatus istri) pada umumnya semua orang kepada siapa uu telah melarang

mern¬buat perjanjian-perjanjian tertentu.

Page 15: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 15/32

 

Oleh karena perjanjian medis mem¬punyai sifat khusus maka tidak semua ke¬tentuan hukum

perdata di atas dapat dite¬rapkan. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.: 585/MEN-

KES/PER/IX/1989 Pasal 8 ayat (2) yang dimaksud dewasa adalah telah berumur 21 tahun

atau telah menikah. Jadi untuk orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah maka

transaksi terapetik harus ditandatangani oleh ortu atau walinya yang merupakan pihak yang

berhak memberikan persetujuannya. Hal ini perlu diper¬timbangkan dalam prakteknya.Dokter ti¬dak mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang datang

sendirian ke tempat prakteknya. Untuk mengatasi hal tersebut ketentuan hukum adat yang

rne¬nyatakan bahwa seseorang dianggap de¬wasa bila ia telah „kuat gawe‟ (bekerja),

mungkin dapat dipergunakan. (orang dewasa yang tidak cakap seperti orang gila, tidak sadar

maka diperlukan peresetujuan dari pengampunya) sedang anak dibwah umur dari

wali/ortunya.

Pasal 108 K U H Perdata, menyebut¬kan bahwa seorang istri, memerlukan izin tertulis dari

suaminya untuk membuat suatu perjanjian. Akan tetapi surat edaran Mahkamah Agung No

3/1963 tanggal 4 Agus¬tus 1963 menyatakan bahwa tidak adanya wewenang seorang istri

untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin atau tanpa

bantuan suaminya, tidak berlaku lagi. Jadi wanita yang berstatus istri yang sah diberikebebas¬an untuk membuat perjanjian.

Ad. 3. Hal tertentu

Dalam Pasal 1333 KUH Perdata: suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu

barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah

barang tidak tentu, asal saja junlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Jadi yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang

merupakan terjemahan dari zaak (dapat diartikan urusan), sehingga urusan tersebut harus

dapat ditentukan atau dijelaskan.

Jadi apabila dikaitkan dengan perjanjian terapetik, maka urusan yang dimaksud adalah

sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan

tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerjasama yang

didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Jadi jika dokter tidak dapat

menentukan dan menjelaskan atau memberikan informasi mengenai upaya medik yang akan

dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.

Ketentuan mengenai hal tertentu ini, menyangkut objek hukum atau benda nya (dalam hal ini

 jasa) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya. Dalam suatu perjanjian medis umumnya objeknyaadalah “usaha penyem¬buhan”, di mana dokter/R.S, harus berusa¬ha semaksimal mungkin

untuk menyem¬buhkan penyakit pasien. Oleh karena itu secara yuridis, kontrak terapeutik itu

umum¬nya termasuk jenis “inspanningsverbin¬tenis”, di mana dokter tidak memberikan

 jaminan akan pasti berhasil menyembuhkan penyakit tersebut.

Ad. 4. Sebab yang halal

Sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang uu, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Sedangkan yang dimaksud sebab adalah tujuannya.

Dalam pengertian ini, pada objek hukum yang meniadi pokok perjanjian tersebut harus

melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum. Dengan perkataan lain objek 

hukum tersebut harus memiliki sebab yang diizinkan. K U H Perdata pasal 1337 menyatakan

bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, kesusilaan atau ketertiban umum. Misalnya dokter dilarang melakukan abortus

provocatus crirninalis menurut K U H P pasal 344.

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata: suatu perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat karena suatusebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Page 16: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 16/32

 

Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka kita dapat

merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan atau

pelayanan medis. Tahapan pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif. Jadi variasi objek perjanjian medis dapat merupakan

1. Medical check-up

Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada dalam kondisi sehat ataucenderung mengalami suatu kelainan dalam taraf dini. Hal ini berkaitan dengan usaha

promotif yang bertujuan memelihara atau meningkatkan kesehatan secara umum.

2. Imunisasi

Tindakan ini ditujukan untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu bagi seseorang yang

mempunyai risiko terkena. Misalnya anggota keluarga dari pasien yang menderita Hepatitis

B, dianjurkan se¬kali untuk mendapatkan vaksinasi Hepati¬tis B. Usaha preventif ini bersifat

spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.

3. Keluarga Berencana

Pasangan suami istri yang ingin mencegah kelahiran atau ingin mempunyai keturunan, secaraumum mereka berada dalam keadaan sehat. Usaha ini bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan dan kebaha¬giaan keluarga secara umum.

4. Usaha penyembuhan penyakit

Sifat tindakan di sini adalah kuratif, Untuk menyembuhkan penyakit yang akut atau relatif 

belum terlalu lama di derita.

5. Meringankan penderitaan

Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis sifatnya, hanya menghilangkan

gejala saja, karena penyebab Penyakitnya belum dapat diatasi. Misalnya obat-obat penghilangrasa nyeri.

6 . Memperpanjang hidup

Seperti halnya ad.5. , di sini pun penyakit pasien belum dapat diatasi sepenuhnya sehingga

sewaktu-waktu perlu dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien gagal ginjal

yang memerlukan „cuci darah‟. 

7. Rehabilitasi

Tindakan medis yang dilakukan untuk re¬habilitasi umumnya dilakukan terhadap pasien

yang cacat akibat kelainan bawaan atau penyakit yang di dapat seperti luka bakar atautrauma. Ada pula mereka yang sebenamya sehat tetapi merasa kurang cantik sehingga

menginginkan dilakukan suatu bedah kosmetik. Tindakan ini yang kadang menimbulkan

masalah apabila ha¬rapan yang didambakan untuk memper¬oleh kecantikan yang dijanjikan

tidak ter¬penuhi.

Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat menjadi objek hukum yang

sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya harus jelas apakah inspanningsverbintenis atau

suatu resultaatsverbintenis. Hal ini penting dalam kaitamya dengan „beban pembuktian‟

apabila ter¬jadi suatu gugatan hukum. Akan tetapi apabila dokter bekerja sesuai dengan

standar profesinya dan tidak ada unsur kelalaian serta hubungan dok¬ter-pasien merupakan

hubungan yang saling pe¬nuh pengertian, umumnya tidak akan ada perma¬salahan yangmenyangkut jalur hukum.

Page 17: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 17/32

 

Dengan demikian maka Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu

 jika perjanjian terapetik telah memenuhi pasal 1320 KUH Perdata, maka semua kewajiban

yang timbul mengikat baik dokter maupun pasien.

Pasal 1338 (2) perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

pihak, atau karena alasan yang oleh uu dinyatakan cukup untuk itu.

PERTEMUAN V

TANGGAL 10 MEI 2007

Menurut Subekti suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada

orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Untuk 

sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalain Pasal 1320

KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

1 . Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toestetning van

degenen die zich verbinden2. Adanya keeakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis

aan te gaan);

3. Mengenai sesuatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);

4. Suatu sebab yang diperholehkan (eene geoorloofdeoorzaak).

Unsur pertama dan kedua disebut sebagai Syarat subjektif, karena kedua unsur ini langsung

menyangkut orang atau subjek yang rnembuat perjanjian. Apabila salah satu dari Syarat

subjektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut atas Permohonan pihak yang

bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Maksudnya perjanjian tersebut selama belum

dibatalkan tetap berlaku, jadi harus ada putusan hakim untuk membatalkan pejanjian tersebut.Pembatalan mulai berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap jadi

perjanjian itu batal tidak sejak semula atau sejak perjanjian itu dibuat.

Unsur ketiga dan keempat disebut unsur objektif, dikatakan demikian karena kedua unsur ini

menyangkut Objek yang diperanjikan. Jika salah satu dari unsur ini tidak terpenuhi,

perjanjian tersebut atas permohonan pihak yang bersangkutan atau secara ex officio dalam

putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Oleh karena perjanjian itu

dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pemah ada. Jadi

pembatalannya adalah sejak semula (ex tunc), konsekuensi hukumnya bagi para pihak, posisi

kedua belah pihak dikembalikan pada posisi semula sebelum perjanjian itu dibuat.

KESALAHAN dan KELALAIAN DALAM PERJANJIAN TERAPETIK

Pengertian kesalahan diartikan secara umum, yaitu perbuatan yang secara objektif tidak patut

dilakukan.

kesalahan dapat terjadi akibat:

1. kurangnya pengetahuan,

2. kurangnya pengalaman,

3. kurangnya pengertian, serta

4. mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.

Apabila hal itu dilakukan oleh dokter, baik dengan sengaja maupun karena kelalaiannya

dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan kepada pasien, maka pasien

atau keluarganya dapat minta pertanggungjawaban (responsibility) pada dokter yangbersangkutan. Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud di sini meliputi

Page 18: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 18/32

 

pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban hukum

administrasi.

Dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum (liability), yaitu:

1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji sebagaimana

diatur dalarn Pasal 1239 KUHPerdata.

2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalamketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.

Jika seorang dokter melakukan penyimpangan terhadap standar pelaksanaan profesi ini,

secara bukum sang dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau perbuatan melanggar

hukum.

Ajaran mengenai wanprestasi atau cederajanji dalam hukum perdata dikatakan, bahwa

seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila (Subekti, 1985 : 45):

1) tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan;

2) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;

3) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;

4) melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dari keempat unsur tersebut yang paling erat kaitannya dengan kesalahan yang dilakukan

oleh dokter adalah unsur ketiga, sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus dipenuhi

adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan demikian apabila pasien atau

keluarganya mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi, pasien harus membuktikan bahwa

pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan

dalam informed consent atau dokter menggunakan obat secara keliru atau tidak 

melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.

Sedangkan untuk mengajukan gugatan terhadap rumah sakit, dokter, atau tenaga kesehatanlainnya dengan alasan berdasarkan Perbuatan melanggar hukum harus dipenuhi empat unsur

berikut.

1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter atau

tenaga kesehatan yang bersangkutan.

2. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk rnemberikan instruksi yang harus ditaati

oleh bawahannya.

3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan.

4. Ada kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, di

mana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.

Aspek negatif dari bentuk tanggung gugat dalam pelayanan kesehatan, adalah karena pasienmengalami kesulitan membuktikannya. Pada umumnya pasien tidak bisa membuktikan

bahwa apa yang dideritanya, merupakan akibat dari kesalahan dan atau keialaian dokter

dalam perawatan atau dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan dalam Pembuktian ini karena

pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai terapi dan diagnosa yang

dialaminya atau yang dilakukan dokter kepadanya. Menyadari hal ini, dengan maksud untuk 

melindungi kepentingan hukum pasien yang dirugikan akibat Pelayanan kesehatan, beberapa

sarjana mengusulkan diterapkannya pembuktian terbalik bagi kepentingan pasien.

Dengan demikian, dalam kaitannya dengan gugatan atas kesalahan atau keialaian yang

dilakukan dokter, pasien harus mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil gugatannya.

Berdasarkan alat-alat bukti inilah hakim mempertimbangkan apakah menerima atau menolak 

gugatan tersebut.

Page 19: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 19/32

 

Hubungan antara dokter dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik, selain

menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana. Aspek pidana baru

timbul apabila dari pelayanan kesehatan yang dilakukan,,berakibat atau menyebabkan pasien

mati atau menderita eacat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila hal ini terjadi maka sanksinya bukan

hanya suatu ganti rugi yang berupa materi, akan tetapi juga dapat merupakan hukuman badansebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP.

Dasar untuk mempermasalahkan aspek pidananya, berawal dari hubungan keperdataan yang

timbul antara dokter dengan pasien, yaitu berupa transaksi terapeutik sebagai upaya

penyembuhan. Namun karena langkah yang diambil oleh dokter berupa terapi dalam

usahanya memenuhi kewajiban itu, menimbulkan suatu kesalahan atau kelalaian yang

berwujud suatu perbuatan yang diatur oleh hukum pidana, yaitu yang dapat berupa

penganiayaan atau bahkan pembunuhan, baik yang disengaja maupun karena kelalaian, maka

perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan.

Secara teoretis mungkin mudah memberikan pengertian tentang kesalahan, di manakesalahan menurut hukum pidana terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

Dalam praktiknya akan timbul, permasalahan tentang pengertian kesalahan ini, terutama yang

menyangkut dengan kesalahan dan atau kelalaian dalam bidang pelayanan kesehatan.

Kesulitan akan timbul untuk menentukan adanya suatu kelalaian karena dari semula

perbuatan atau akibat yang timbul dalam suatu peristiwa tidak dikehendaki oleh pembuatnya.

Pada hakikatnya kelalaian baru ada apabila dapat dibuktikan adanya kekurang¬hati-hatian.

Kesalahan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar terjadi karena kelalaian,

sedangkan kesengajaan jarang terjadi. Sebab apabila seorang dokter sengaja melakukan suatu

kesalahan, hukuman yang akan diberikan kepadanya akan lebih berat. Dalam hukum pidana,untuk membuktikan adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan harus ada paling tidak 

empat unsur (Soekanto, 1987:157).

1. Ada kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian;

2. Ada pelanggaran terhadap kewajiban, misainya dokter telah gagal bertindak sesuai nonna

yang telah ditentukan diseba atau keialaian, contohnya perbuatan dokter yang standar

perawatan bagi pasiennya.

3. Ada penyebab. Hubungan sebab akibat yang paling langsung dapat timbul dalam hubungan

dokter dengan pasien, yailu perbuatan dokter timbul akibat yang merugikan pasien. Akan

tetapi sebab yang tidak langsung pun dapat menjadikan sebab hukum, apabila sebab itu telah

menimbulkan kerugian bagi pasien. Misalnya akibat dari pemakaian suatu obat yangdiberikan dokter.

4. Timbul kerugian. Akibat dari perbuatan dalam hubungan dokter dengan pasien dapat

timbul kerugian, baik yang bersifat langsung aupun tidak langsung. Kerugian itu dapat

mengenai tubuh pasien sehingga menimbulkan rasa tidak enak.

Terhadap kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai surnpah atau kaidah etika

profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (H)I),

dan atau atasan langsung yang berwenang (yaitu pihak Departemen Kesehatan Republik 

Indo¬nesia). Pemeriksaan dibantu oleh perangkat Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK)

atau Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Lembaga ini merupakan

badan non-struktural Departemen Kesehatan yang dibentuk dengan Peraturan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 5 54/Menkes/Per/Xll/ 1 982. Tugas lembaga ini

Page 20: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 20/32

 

memberi pertimbangan etik kedokteran kepada menteri kesehatan, menyelesaikan persoalan

etik kedokteran dengan memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di

bidang kesehatan. Dasar hukum yang digunakan adalah hukum disiplin dan atau hukum

administrasi sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam undang-undang, peraturan

pemerintah, peraturan menteri kesehatan, surat kepuu~ menteri kesehatan yang bersangkutan.

Misalnya seorang dokter berbuat yang dapat dikualifikasikan melanggar sumpah dokter.setelah diadakan pemeriksaan dengan teliti dapat dijatuhi sanksi menurut Pasal 54 Ayat (1)

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Poernomo (1 984: 76); unsur melawan hukum

menjadi dasar bagi suatu tindak pidana, karena selain bertentangan dengan undang-undang,

termasuk pula perbuatan yang bertentangan dengan hak seseorang atau kepatutan masyarakat.

Pengertian perbuatan melawan hukum seperti apa yang dikemu¬kakan oleh J.B. van

Bemmelen (1 987 : 149 – 150):

1 . Bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang

lain atau barang.2. Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-¬undang.

3. Tanpa hak atau wewenang sendiri.

4. Bertentangan dengan hak orang lain.

5. Bertentangan dengan hukum objektif 

Dalam hukum pidana terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum, yakni: ajaran

melawan hukum formal dan ajaran melawan hukun materiil. Menurut ajaran melawan hukum

formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila perbuatan itu telah memenuhi semua

unsur-unsur dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal

yang bersangkutan.Pada ajaran melawan hukum materiil untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap suatu

perbuatan tidak cukup hanya dengan melihat: apakah perbuatan itu telah memenuhi rumusan

pasal tertentu dalam KUHP, melainkan perbuatan itu juga harus dilihat secara materiil.

Maksudnya apakah perbuatan itu bersifat melawan hukum secara sungguh-sungguh yaitu

dilakukan dengan bertanggungjawab atau tidak.

kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, Yaitu melakukan sesuatu yang

seharusnya tidak dilakukan dan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya mesti

dilakukan. Mengenai apa yang dimaksud dengan kesalahan, menurut Simons: Kesalahan

adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan

yang dilakukannya yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatantersebut.

Kesalahan berarti bukan hanya perbuatan yang dilakukan itu dinilainya secara objektif tidak 

 patut akan tetapi juga dapat dicelakan kepada pelakunya karena perbuatan itu “dianggap”

 jahat. Antara perbuatan dan pelakunya selalu membawa celaan, oleh karenanya kesalahan itu

 juga dinamakan sebagai yang dapat dicelakan. Namun harus diingat bahwa sesuatu yang

dapat dicelakan bukanlah merupakan inti dari suatu kesalahan melainkan merupakan akibat

dari kesalahan itu. Bila hal ini dikembahkan pada asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” berarti

untuk dapat dijatuhi suatu pidana, disyaratkan bahwa orang tersebut telah berbuat yang tidak 

patut secara objektif dan perbuatan itu dapat dicelakan kepada pelakunya.

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-¬bentuk kesalahan terdiri dariberikut ini.

Page 21: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 21/32

 

1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi:

a) kesengajaan dengan maksud, yakni di mana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul,

atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi

b) kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat dari

perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja.

c) kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan sebagaiperbuatan yang diakukan dengan sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada

suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar terjadi.

Menurut Sudarto Kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis ini disebutnya dengan teori

“apa boleh buat” sebab di sini keadaan batin dari si pelaku mengalarni dua hal, yaitu:

1 ) akibat itu sebenamya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan

timbulnya akibat tersebut;

2) akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat atau keadaan itu

timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu harus diterima. Jadi berarti bahwa ia sadar akan

risiko yang harus diterimanya. Maka di sini pun terdtpat suatu pertimbangan yang

menimbulkan kesadaran yang sifatnya lebih dari sekadar suatu kemungkinan biasa saja.Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini, juga mengandung unsur¬unsur mengetahui dan

menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar st;kali atau dapat dikatakan hampir tidak 

terlihat sama sekali.

2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP.

kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur.

1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun

tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak 

berbuat) yang melawan hukum.

2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas

akibat perbuatannya tersebut.

Berpedoman kepada unsur-unsur kealpaan tersebut, dapat dipahami bahwa kealpaan dalam

pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang mudah dilihat, artinya perbuatan

atau tindakan kealpaan itu selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah

dipenuhi oleh seorang dokter. Ukuran normatifnya adalah bahwa tindakan dokter tersebut

setidak-tidaknya sama dengan apa yang di¬harapkan dapat dilakukan teman sejawatnya

dalarn situasi yang sama.

Dalam kepustakaan, disebutkan bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yangmengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur.

1. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan hukum.

2. Mampu bertanggungjawab.

3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Jika dihubungkan dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan timbul pertanyaan,

apakah unsur kesalahan tersebut dapat diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukaii oleh

dokter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dilihat apakah kesalahan yang dilakukan

oleh dokter, tedadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau

kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme,seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya. Di samping itu, kehati-hatian

Page 22: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 22/32

 

dan ketelitian seorang dokter dalam melakukan perawatan sangat menentukan, oleh karena

itu unsur-unsur sebagaimana tersebut di atas dapat diterapkan.

Unsur (elemen) Delik Obyektif 

Menurur Hall bahwa actus reus itu adalah bagian fisik dari delik, yaitu perbuatan yang

dituduhkan. Suatu perbuatan fisik . jika Ibu X menembak dan membunuh Ibu T,perbuatannya adalah menarik picu senjata.

Elemen obyektif dari gambaran diatas adalah elemen delik yang berkaiatan dengan perbuatan

(act, daad) dari pelaku delik, yang terdiri dari :

(1). Wujud perbutan (aktif, pasif), atau akibat yang kelihatan

(2). Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum;

(3). Dalam melakukan perbuatan itu tidak ada Dasar Pembenar.

A.1. Wujud Perbuatan

Suatu delik dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif ataupun kelakuan pasif, sesuai dengan

uraian delik yang mensyaratkannya (Zainal Abidin, 1995 : 236). Missal delik pencurian biasa

(Pasal 362 KUHP) wujud perbuatannya adalah mengambil barang orang lain sebagian atau

seluruhnya. Misal lagi delik tidak memenuhi panggilan pengadilan sebagai saksi, ahli, jurubahasa (Pasal 224 KUHP). Jadi wujud perbuatan dimaksud adalah aktif atau pasif, meliputi

 jenis delik komisi, atau jenis delik omisi, atau delictum commissionis per ommissionem

commissa, atau delik tidak mentaati larangan dilanjutkan dengan cara tidak berbuat.

A.2. Bersifat Melawan Hukum

Perbuatan yang disyaratkan untuk memenuhi elemen delik obyektif adalah bahwa dalam

melakukan perbuatan itu harus ada elemen melawan hukum (wedderectelijkheids, unlawfull

act, onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilarang

untuk dipatuhi, atau diperintahkan untuk tidak dilakukan seperti yang tercantum dalam aturan

pidana.

Contoh : pada waktu ada bahaya banjir, A menolong seorang bayi yang hanyut terbawa air,

bayi itu berhasil diselamatkan dan dipeliharanya dengan baik, sehingga suatu hari datanglah

orangtua bayi itu kapada A untuk meminta kembali bayi tersebut. A tidak dapat menuntut

ganti kerugian atas bayi itu kepada kadua orangtua bayi, sebab pada saat itu A melaksanakan

perbuatan menurut hukum (zakwaarneming). Sebaliknya dalam bahaya banjir tersebut

sementar orang menyelamatkan barang-barangnya, B berkesempatan untuk masuk rumah

orang dan mengambil barang-barang berharga, maka perbuatan B adalah perbuatan yang

dilarang oleh hukum yakni melakukan delik pencurian berkualifikasi (Pasal 363 KUHP).

Hukum Pidana membedakan sifat melawan hukum menjadi 2 (dua) macam arti utama, yaitu :

(1). Melawan hukum dalam arti formil; dan

(2). Melawan hukum dalam arti meteriil.

Zainal Abidin (1995 : 242) menjelaskan bahwa dikatakan formeel (sic) karena undang-undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu disertai ancaman sanksi kepada

barang siapa yang melanggar atau mengabaikannya.

Disebut materiel (sic) oleh karena sekalipun suatu perbuatan telah sesuai dengan uraian di

dalam undang-undang, masih harus diteliti tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu

memang tercela dan patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela, ataupun dipandang

sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak perlu dijatuhi sanksi pidana,

tetapi cukup dikenakan sanksi dalam kaidah hukum lain, atau kaidah sosial lain.

Arti perbuatan melawan hukum formil adalah unsur-unsur yang bersifat konstitutif, yang ada

dalam setiap rumusan delik dalam aturan pidana tertulis, walaupun dalam kenyataanya tidak 

dituliskan dengan tugas bersifat melawan hukum. Dengan demikian dalam hal tidak 

dicantumkan berarti unsur melawan hukum diterima sebagai unsur kenmerk (diterima secaradiam-diam, implicit). Melawan hukum formil lebih mementingkan kepastian hukum

Page 23: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 23/32

 

(rechtszekerheids) yang bersumber dari asas legalitas (principle of legality, legaliteit

benginsel).

Arti perbuatan melawan hukum materiil adalah unsur yang berkaitan dengan asas culpabilitas

(penentuan kesalahan pembuat delik), atau nilai keadilan hukum yang ada dalam masyarakat,

dan tingkat kepatutan dan kewajaran.

Sudarto (1990 : 78) menjelaskan bahwa sifat melawan hukum materiil adalah suatu perbuatanitu melawan hukum atau tidak; tidak hanya yang terdapat dalm undang-undang (yang tertulis)

saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Jadi menurut

ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan hukum tertulis dan juga

bertentangan dengan hukum yang tidak tertilis termasuk tata susila dan sebagainya.

A.3. Tidak Ada Dasar Pembenar (Rechtsvaadigingsgrond, fait justification)

Suatu perbuatan dikualifikasi sebagai telah terjadi delik, bila dalam perbuatan itu tidak 

terkandung Dasar Pembenar, sebagai bagian dari Elemen Delik Obyektif (actus reus).

Dimaksudkan dengan Dasar Pembenar adalah dasar yang menghilangkan sifat melawan

hukum dari perbuatan yang sudah dilakukan pembuat delik. Artinya jika perbuatan itu

mengandung dasar pembenar berarti salah satu unsur delik (elemen delik) obyektif tidak 

terpenuhi, yang mengakibatkan pelaku (pembuat) delik tidak dapat dikenakan pidana. DalamKUHP terdapat beberapa jenis Dasar Pembenar, yaitu (1) Daya Paksa Relatif (vis

compulsiva), (2) Pembelaan Terpaksa, (3) Melaksanakan Perintah Undang-Undang, dan (4)

Melaksanakan Perintah Jabatan Yang Berwenang.

3.1 Daya Paksa relatif (vis compulsive)

Jenis Dasar Pembenar ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, artinya seseorang

melakukan sesuatu perbuatan karena pengaruh atau tekanan daya paksa yang sebenarnya

masih dapat ditahan, atau masih berwujud alternatif tindakan tindak dipidana.

Contoh : A mengancam B (kasir bank), dengan meletakkan pistol di dada B untuk 

menyerahkan uang yang disimpan oleh B. B dapat menolak. B dapat berpikir dan

menentukan kehendaknya, jadi tidak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan, tetapi masih

ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan; apakah ia melnggar kewajibannya untuk 

menyimpan uang/ surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A; atau sebaliknya, ia

tidak menyerahkan dan ditembak mati ole A. sifat dari daya paksa ini harus datang dari luar

diri pembuat delik.

Di samping daya paksa relatif atau vis compulsive, atau disebut juga paksa dalam arti sempit;sebetulnya ada juga yang dinamakan “Keadaan Darurat, atau keadaan Terpaksa

(noodtoestand)”. Noodtoestand ini terbagi dalam 3 (tiga) tipe keadaan darurat, yaitu :  

(1). Benturan antara dua kepentingan hukum;

(2). Benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;

(3). Benturan antara dua kewajiban hukum.

Contoh (1) :Kasus Papan Carniades. Ada dua orang yang karena kapal tenggelam, dan untuk 

menyelamatkan diri berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tidak mungkin dapat

digunakan oleh dua orang. Bila keduanya berpegangan pada papan itu, maka keduanya pasti

tenggelam. Salah seorang mendorong temannya sehingga mati tenggelam, dan yang satunya

terhindari dari bahaya maut. Orang yang mendorong itu tidak dapat dipidana, karena dalam

keadaan darurat.

Contoh (2) :

Kasus optician. Ada seorang pemilik took kacamata menjual kacamata kepada seoarang yang

kacamatanya hilang, padahal waktu itu sudah saatnya took ditutup. Sebab jika tidak menutup

took pada waktunya dituduh melanggar peraturan penutupan took. Sipembeli ternyata tanpa

kacamata tidak dapat kembali ke rumahnya sebab tidak dapat mengendarai kendaraan atauberjalan sama sekali. Penjual kacamata (optician) tidak dapat dipidana dengan tuduhan

Page 24: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 24/32

 

melanggar aturan penutupan took, sebab bertindak dalam keadaan memaksa.

Contoh (3) :

Kasus Kesaksian Dua Pengadilan. Seorang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan

negeri yang berbeda, tetapi pada hari yang sama dan jam yang sama pula, terpaksa

membatalkan salah satu panggilan pengadilan dan pergi memenuhi panggilan pengadilan

yang satunya. Pengadilan yang tidak didatangi oleh saksi, tak dapat menuntut danmengenakan pidana dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 224 KUHP.

3.2 Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa ini sebagaiman dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yang

menegaskan bahwa “Tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang

terpaksa dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain; membela kehormatan

kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain terhadap serangan atau ancaman serangan

yang sangat dekat saat itu yang melawan hukum”. 

3.3 Melaksanakan Perintah undang-undang, jika termasuk dalam Dasar Pembenar, seperti

dimaksud Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan

untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. 

3.4 Melaksanakan perintah Jabatan Berwenang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat(1) KUHP, yang menegaskan bahwa “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk 

melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak 

dipidana”. 

Unsur (Elemen) Delik Subyektif 

Unsur (elemen) delik subyektif dalam Hukum Pidana Common Law dinamakan mens rea.

Daniel Hall (1991 : 56) menjelaskan bahwa Mens rea adalah bagian dari sikap batin (sikap

mental), bagian dari niat (pikiran) yang menjadi bagian pula dari pertanggungjawaban

pidana.

Jadi Mensrea itu berkenaan dengan kesalahan dari pembuat delik (dader), sebab berkaitan

dengan sikap batin yang jahat (criminal intent). Mens rea berkaitan pula dengan asas geen

straf zonder schuld (Tiada pidana tanpa kesalahan). Didalam Hukum Pidana yang beraliran

Anglo-saxon terkenal asas an act does not a person guality unless his mind is guality (satu

perbuatan tidak menjadikan seseorang itu bersalah, terkecuali pikirannya yang salah).

Elemen Delik Subyektif atau unsur mens rea dari delik atau bagian dari pertanggungjawaban

pidana yang menurut Zainal Abidin (1995 : 235) terdiri dari :

(1). Kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheids);

(2). Kesalahan dalam arti luas, yang terdiri dari :

a). Dolus yang di bagi menjadi tiga jenis, yaitu :

1). Sengaja sebagai niat (oogmerk)

2). Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn);

3). Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijk-bewutstzijn).b). Culpa, yang di bagi menjadi dua jenis, yaitu :

1). Culpa lata yang disadari;

2). Culpa lata yang tak disadari (lalai).

(3). Tidak ada dasar pemaaf.

Elemen delik subyektif terdiri dari :

(1). Kemampuan bertanggungjawab;

(2). Dilakukan dengan dolus dan culpa;

B.1. Kemampuan Bertanggungjawab (toerekeningsvarbaarheids)

KUHP tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur justrukebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP). Ada yang

Page 25: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 25/32

 

mendefinisikan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu untuk menginsyafi sifat

melawan hukum dari perbuatan; dan sesuai keinsyafan itu mampu untuk menentukan

khendaknya (Roeslan Saleh, 1983 : 80). Sementara itu Van hamel (Sudarto, 1990 : 93)

menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis

dan kematangan yang berwujud 3 (tiga) kemampuan berikut ini :

1). Mampu mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;2). Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak 

boleh dilakukan;

3). Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.

Menurut Roeslan Saleh (1983 : 80) bahwa orang mampu bertanggungjawab apabila

memenuhi 3 (tiga) syarat berikut :

1). Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya;

2). Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan

masyarakat;

3). Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Ukuran sederhana yang dipakai adalah mengedepankan 2 (dua) factor kehendak. Akal bisa

membedakan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kehendak bisadisesuaikan dengan keinsyafan atau kesadaran terhadap perbuatan yang boleh dan yang tidak 

boleh dilakukan seseorang. Contoh epilepsy, hysteria, psikhastemi. Hakim dianjurkan untuk 

tidak terpengaruh dengan hasil pemeriksaan psikiatri. Opini psikiatri adalah tetap dijadikan

salah satu alat bukti (keterangan ahli), sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

B.2. Dolus dan Culpa

2.a. Dolus (opzet, intent)

Dolus dimaksud kesengajaan melakukan suatu delik. Dijelaskan dalam Memorie van

Toelichting (M.v.T) bahwa sengaja adalah : “de (bewuste) richting van den will op een

 bepaald misdrijv”, yaitu kehendak yang disadari yang ditujukan melakukan kejahatan tertentu

(Andi Hamzah, 1991 : 84).

Penentuan sengaja melakukan delik dikaji melalui 2 (dua) teori penentuan kesengajaan, yaitu

teori willens en weten (menghendaki dan mengetahui atau membayangkan).

Moeljatno (1983 : 17) menjelaskan teori willens en weten sebagai berikut :

Dikehendaki dengan maksud segala kegiatan baik perbuatan persiapan, perbuatan

pelaksanaan, dan hasil yang menjadi tujuan pelaku. Sedangkan teori pengetahuan; pelaku

mengetahui akibat-akibat dari perbuatannya.

Missal delik pembunuhan, bahwa pelaku delik mulai mengasah pedangnya, menjaga korban

masuk pintu rumah, mengayun pedang tepat pada leher korban, dan korban meninggal dunia.

Contoh tersebut jelas terlihat bahwa perbuatan persiapan adalah mengasah pedang; perbuatan

pelaksanaan berdiri dibalik pintu, menebas leher korban; akhirnya korban meninggal duniaadalah akibat yang diketahui dan dikehendaki oleh pelaku delik.

Hamzah (1991 : 99) berpendapat bahwa teori willens en weten sebagai berikut dalam

kehendak dengan sendirinya sudah diliputi pengetahuan. Orang yang menghendaki sesuatu

terlebih dahulu tentu harus tahu telah mempunyai pengetahuan tentang sesuatu itu. Tidak 

demikianlah dengan pengetahuan. Sesuatu yang diketahui oleh seseorang belum tentu juga

dikehendaki olehnya. Hamzah sebetulnya lebih obyektif dan antisipatif dalam menerapkan

teori willens en weten. Sebab antara keduanya (pengetahuan dan kehendak) tidak selalu

bersesuaian atau bersamaan. Contoh dalam delik yang dilakukan dibawah ancaman

(pengaruh daya paksa).

Penentuan sengaja melakukan delik dapat juga dipergunakan teori membayangkan

(voorstelling theori) yang dipelopori oleh Frank. Hamzah (1991 : 85) menguraikan teorimembayangkan dari Frank sebagai berikut :

Page 26: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 26/32

 

Manusia tidak mungkin dapat menentukan atau menghendaki sesuatu akibat. Ia hanya dapat

membayangkan, menginginkan, mengharapkan adanya suatu akibat.

Suatu gerakan otot seperti menembak dengan sengaja tidak selalu menimbulkan akibat

tembakan dapat meleset atau tepat sasaran. Adalah menjadi sengaja jikalau suatu akibat (yang

timbul karena suatu perbuatan) dibayangkan sebagai maksud (terhadap perbuatan itu), dan

karena tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahuludibuat oleh pembuat delik.

Ada 3 (tiga) corak kesengajaan melakukan delik, yaitu :

1). Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);

2). Sengaja sadar akan keharusan atau kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn);

3). Sengaja sadar akan kemungkinan (opzet bij moogelijkbewustzijn) atau sering dikenal

dengan sebutan dolus eventualis.

a.1) Opzet als Oogmerk (sengaja sebagai maksud)

Sengaja sebagai maksud melakukan delik adalah sengaja yang bercorak paling sederhana,

yaitu perbuatan dan akibat seperti yang dikehendaki atau dibayangkan oleh pembuat delik 

bertujuan menimbulkan akibat yang dilarang. Pembuat delik menghendaki perbuatan danakibat dari perbuatannya itu.

Contoh Badu menghendaki Amin meninggal dunia. Badu membidik pistolnya kea rah

 jantung Amin, kemudian melepaskan tembakan tepat mengena dada Amin, akibatnya Amin

meninggal dunia. Kasus sederhana ini memperlihatkan bahwa kematian Amin dikehendaki

Badu, dan Badu telah membayangkan, serta mengetahui bahwa tembakannya menyebabkan

Amin meninggal dunia, sebab memang itulah tujuan yang ingin dicapai Badu.

a.2) Opzet bij Zekerheidsbewustzijn (sengaja sadar akan kepastian)

Sengaja bercorak kepastian atau keharusan adalah sengaja melakukan delik yang dapat

diketahui dan dibayangkan meski tidak dikehendaki ada akibat lain yang menyertai tindakanpembuat delik.

Contoh Joni menembak Jalil yang sedang duduk dibalik kaca jendela (disebelah warung kopi

dekat pasar Abepura). Joni tidak menghendaki kaca pecah, sebab kesempatan itu harus

dipergunakan sebaik-baiknya. Akibat tembakan Joni kaca jendela warung kopi itu pecah,

peluru Joni mengena kepala Jalil. Kasus ini memperlihatkan bahwa kaca jendela yang pecah

merupakan suatu keharusan atau kepastian yang memang sengaja dilakukan oleh Joni.

Dalam corak sengaja kedua ini sebetulnya ada dua hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu :

(1). Ada akibat yang memang dituju oleh pembuat delik;

(2). Ada akibat yang tidak dikehendaki tapi akibat itu harus ada untuk mencapai akibat

pertama

a.3) Opzet bij Moogelijkbewustzijn (sengaja sadar akan kemungkinan)

Corak kesengajaan melakukan delik yang ketiga adalah sengaja sadar akan kemungkinan,

atau sering disebut dolus eventualis. Penjelasan terhadap corak kesengajaan yang ketiga ini

didalam Hukum Pidana terkenal dengan teori Inkauf Nehmen.

Zainal Abidin (1995 : 293) menerjemahkan Inkauf Nehmen sebagai teori apa boleh buat,

sebab resiko yang diketahui kemungkinan adanya itu (resiko) sungguh-sungguh timbul, di

samping hal yang dimaksud, apa boleh buat pembuat delik berani memikul resiko yang tidak 

dikehendaki.

Zainal Abidin (1995) mengajukan dua syarat bagi kelengkapan teori inkauf nehmen, yaitu :

(a) Terdakwa (pembuat delik) mengetahui kemungkinan adanya akibat atau keadaan yangmerupakan delik;

Page 27: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 27/32

 

(b) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul akibat, ialah apa boleh

buat, dapat disetujui dan berani mengambil resiko.

Intinya bahwa keadaan tertentu yang kemungkinan dipikir atau dibayangkan terjadi dan

memang benar terjadi.

Contoh klasik Kue Tart :Kue tart beracun dikirim oleh X dengan maksud membunuh A. X mengetahui bahwa dan

kemungkinan Istri A juga akan memakannya begitu pula anak-anak dari A. meski X tahu

tetapi tetap saj kue tart beracun itu dikirim sebagai parsel hari raya dengan harapan hanya

dimakan oleh A, jika istri A turut makan, maka tujuannya sudah terpenuhi. Ada sengaja

sebagai maksud terhadap matinya A, dan sengaja sebagai kemungkinan terhadap matinya istri

A. Sehingga tidak ada salahnya jika berpendapat bahwa kesengajaan sadar akan

kemungkinan merupakan gabungan dari corak sengaja sebagai maksud dan sengaja sadar

akan kepastian atau keharusan.

Sudarto (1990 : 106) juga mengajukan dua syarat tentang adanya Inkauf Nehmen, yaitu :

(1). Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan

timbulnya akibat itu;(2). Akan tetapi meskipun ia tidak menhendakinya, namun apabila toh keadaan/ akibat itu

timbul, apa boleh buat hal itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.

Bila disimpulkan teori inkauf nehmen ini lebih disederhanakan dengan teori kemungkinan

akibat tak tercegah.

Sebenarnya pembicaraan tentang kesengajaan melakukan delik ada juga yang membedakan

antara :

(1). Kesengajaan berwarna (geklurd); dan

(2). Kesengajaan tak berwarna (kleurloos).

Geklurd mengisyaratkan bahwa pembuat delik harus tahu bahwa perbuatan yang dilakukan

berkaitan dengan akibat yang melawan hukum (akibat yang dilarang). Sengaja ini dalam arti

dolus molus (criminal intent, boos opzet), si pembuat delik sadar perbuatannya merupakan

perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau memang dilarang. Sengaja tak berwarna

(kleurloos) disyaratkan bahwa pembuat delik cukup saja mengetahui perbuatannya itu

sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) tetapi tidak perlu tahu apakah

bersifat malawan hukum ataukah tidak. Akan tetapi bentuk sengaja tak berwarna (kleurloos)

ini dalam praktek masih sulit untuk membuktikannya, dan inilah sekaligus keberatan dari

corak kesengajaan tak berwarna itu diterima.

Disamping bentuk sengaja melakukan delik diatas, dalam Hukum Pidana masih dikenal pula

adanya dolus premeditatus dan dolus repentinus.

Dolus premeditatus terdapat dalam Pasal 340 KUHP (delik pembunuhan berencana), Pasal

353 KUHP (delik penganiayaan berencana), Pasal 355 KUHP (delik penganiayaan berat yangdirencanakan lebih dahulu). Dolus premeditatus tersebut menyebabkan lahirnya pemberatan

pidana. Menurut Memorie van Toelichting (M.v.T) bahwa rencana lebih dahulu disebut juga

voorbedachterade mensyaratkan jangka waktu untukmenimbang dengan tenang. Untuk itu

dipandang sudah cukup bila pembuat delik untuk melaksanakan kejahatan mempunyai waktu

untuk memperhitungkan apa yang akan dilakukannya.

Satochid Kartanegara (tebit tanpa tahun, 332 enjelaskan bahwa dolus premeditatus berarti

dengan tenang, yaitu ditetapkan dengan pikiran dan keadaan yang tenang. Ada pendapat yang

menyatakan bahwa dolus premeditatus bukanlah bentuk atau corak kesengajaan, tetapi cara

kesengajaan.

Dolus repentinus ialah kebalikan dari dolus premeditatus, yaitu sikap batin pembuat delik 

yang secara langsung timbul, missal karena naik pitam seketika, atau situasi kejiwaan yang

Page 28: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 28/32

 

menyebabkan pembuat delik terguncang hebat perasaannya lalu membunuh, mencuri,

menganiaya dan sebagainya.

2.b. Culpa

Culpa adalah kebalikan dari sengaja melakukan delik. Culpa terbagi manjadi culpa lata dan

culpa lepis (kelalaian yang sedemikian ringannya sehingga tidak menyebabkan seseorangdapat dipidana). Focus yang dibicarakan adalah berkaiatan dengan culpa lata (kelalaian yang

besar, kesalahan berat). Bila dikatakan kesalahan, maksudnya ialah kesalahan dalam arti

sempit yakni hanya merupakan terjemahan dari culpa, bukan kesalahan dalam arti luas yang

mencakup kesengajaan.

Disamping pembagian culpa lata dan culpa lepis; didalam culpa lata sendiri terbagi dua yaitu

antara culpa lata yang disadari dan culpa lata tak disadari. Pembagian culpa lata ini

sebetulnya terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) Criminal Code of Yugoslavia, yaitu :

Culpa lata disadari; bila mana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat

mewujudkan suatu akibat yangdilarang oleh undang-undang, tetapi dia beranggapan secara

keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampuuntuk mencegahnya;

Culpa lata tak disadari; bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akanterwujudnya akibat, sedangkan didalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas pribadinya ia

seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.

Dalam Buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat delik-delik culpa, contoh :

(1). Pasal 188 KUHP : karena kealpaan menimbulkan letusan, kebakaran.

(2). Pasal 231 KUHP : karena kealpaan sipenyimpan menyebabkan hilangnya barang yang

disita;

(3). Pasal 359 KUHP : karena kelalaian mengakibatkan matinya orang;

(4). Pasal 360 KUHP : karena kelalaian menyebabkan orang luka berat;

(5). Pasal 409 KUHP : karena kealpaan mengakibatkan alat-alat perlengkapan jalan kereta api

hancur.

B.3. Tidak Ada Dasar Pemaaf (schulduitsluitingsgrond)

Dasar pemaaf menjadi bagian penting dari pertanggungjawaban pidana, oleh karena itu harus

dipertimbangkan dalam menentukan kesalahan pelaku (pembuat delik). Sebab dasar pemaaf 

adalah dasar yang menghilangkan kesalahan pembuat delik, sehingga pembuat delik menjadi

tidak dapat dipidana. Dasar pemaaf dalam KUHP diatur dalam Buku I Bab III dengan judul

Bab (title) Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana

Dasar pemaaf yaitu unsur-unsur delik memang sudah terbukti namun unsur kesalahantak ada

pada pembuat, jadi terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Termasuk dasar

pemaaf adalah :

(1). Daya Paksa Mutlak (vis absoluta); Pasal 48 KUHP(2). Pembelaan terpaksa yang melampaui batas; Pasal 49 ayat (2) KUHP;

(3). Perintah jabatan yang tidak sah; Pasal 51 ayat (2) KUHP;

(4). Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang cacad jiwa dalampertumbuhan, atau

terganggu karena penyakit; Pasal 44 KUHP.

3.1 Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta)

Daya paksa mutlak termasuk didalam Dasar Pemaaf, seperti yang dimaksud dalam Pasal 48

KUHP yang menegaskan bahwa “Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang

didorong oleh daya paksa”. Bentuk daya paksa ini dpata disebabkan oleh kekuatan manusia

atau alam. Jadi dalam pengertian bahwa pembuat tidak dapat berbuat lain, pembuat tidak 

dapat melawan, tak dapat mengadakan pilihan selain dari pada berbuat demikian. Contoh

seseorang yang dihipnotis lalu tak sadar lari tanpa bisan didepan umum, orang ini tidak dapatdipidana melanggar Pasal 281 KUHP. Contoh lain seorang ditangkap oleh orang yang kuat,

Page 29: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 29/32

 

lalu dilemparkan keluar jendela kaca, sehingga kaca jendela orang lain pecah, maka orang

yang dilempar iti tidak dapat dipidana melanggar Paal 406 KUHP.

3.2 Pembelaan Terpaksa (Darurat) Melampaui Batas

Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa “Tidak dapat dipidana seseorang melakukan perbuatan

yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri, atau orang lain, membela peri

kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancamlangsung atau seketika itu juga” . 

Perlu dicatat bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pembelaan terpaksa (darurat)

ini, yaitu : (a) ada serangan, (b) ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu.

Patut diperhatikan juga bahwa tidak semua serangan masuk dalam kategori pembelaan yang

dimaksud oleh pasal ini, kecuali :

a). Ada serangan itu seketika sifatnya;

b). Serangan itu langsung mengancam;

c). Serangan itu harus melawan hukum;

d). Serangan itu ditujukan pada badan, peri kesopanan, harta benda sendiri maupun orang

lain.

Perbedaan pokok antara pembelaan darurat biasa (noodweer) pembelaan darurat yangmelampaui batas (noodweerexces); Andi Zainal Abidin Farid (1995 : 200) terletak pada 3

(tiga) perbedaan berikut ini :

a). Pada noodweer, sifat melawan hukum perbuatan hilang, sedangkan pada noodweerexces

perbuatan tetap melawan hukum, tetapi dasar sehingga tidak dapat dipidananya pembuat

terletak pada keadaan khusus, dalam mana pembuat berada, disebabkan oleh karena serangan

yang mengancam seketika.

b). Pada noodweer, sipenyerang tak boleh ditangani atau dipukuli lebih daripada maksud

pembelaan yang perlu, sedangkan pada noodweerexces pembuat melampaui batas-batas

pembelaan darurat oleh karena kegoncangan jiwa hebat;

c). Noodweer adalah suatu dasar pembenar, sedangkan noodweerexces merupakan dasar

pemaaf (schuluitingsgrond).

3.3 Perintah Jabatan Tidak sah (tidak berwenang)

Pasal 51 ayat (2) KUHp menegaskan bahwa Perintah Jabatan tanpa wewenang, tidak 

menyebabkan hapusnya pidan kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa

perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan

pekerjaannya.

Jadi syarat yang dimaksud oleh Pasal 51 ayat (2) KUHP adalah :

a). Jika pelaku mengira dengan itikad baik (jujur) bahwa perintah itu sah;

b). Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

3.4 Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang cacad jiwa dalam pertumbuhan, atau

terganggu karena penyakit.Pasal 44 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak 

dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau

terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. 

Ketentuan Pasal 44 ayat (1)KUHP ini berkaitan erat dengan ketidakmampuan

bertanggungjawab. Secara kualitatif Pompe (Zainal Abidin, 1995 : 190) membuat 3 (tiga)

criteria kualitatif tentang kemampuan bertanggungjawab seperti dimaksud dalam Pasal 44

ayat (1) KUHP sebagai berikut :

a). Kemampuan berpikir (psychis) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai

pikirannya yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya;

b). Dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dan akibat perbuatannya;

c). Dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.

Page 30: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 30/32

 

Ketidakmampuan bertanggungjawab dapat menghapus kesalahan terdakwa, dengan demikian

dikategorikan sebagai dasar pemaaf dan bukan dasar pembenar.

Like 

Be the first to like this post.

From → kuliah hukum kesehatan 

Comments are closed.

« PERBANDINGAN DELIK PEMBUNUHAN MENURUT KUHP INDONESIA, JEPANG,

DAN ARGENTINA 

SAP tindak pidana dalam KUHP »

 February 2010

M T W T F S S

« Nov  Mar »

1 2 3 4 5 6 7

8 9 10  11 12 13 14

15 16 17 18 19 20 21

22 23 24 25 26 27 28

  Archiveso  May 2011 (1)

o  November 2010 (4)

o  June 2010 (5)

o  May 2010 (1)

o  March 2010 (5)

o  February 2010 (2)

o  November 2009 (4)

o  October 2009 (13)

  Categorieso  1 (1)o  2 (1)

o  3 (1)

o  4 (1)

o  5 (1)

o  Artikel Pribadi Hukum Pidana (3)

o  bahan kuliah Hk Ksehatan yapis 8 November 2010 (3)

o  Bahan Yapis Sentani 7 (Seminar) (3)

o  Hukum Pidana Anak  (1)

o  KDRT (1)

o  kuliah hukum kesehatan (1)

o  kuliah Kriminologi (2)o  penipuan (I) (1)

Page 31: Data Hukum Kesehatan

5/14/2018 Data Hukum Kesehatan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/data-hukum-kesehatan 31/32

 

o  PERKOSAAN (1)

o  SAP Tindak Pidana Dalam KUHP (1)

o  tindak pidana korupsi (1)

o  yapis 7 pidana (4)

o  zina (1)

  Blog Statso  57,334 hits

  I said.. o  masih seperti yang dulu........ 1 month ago 

o  Mudah2an lebaran jd hari rabu..... 5 months ago 

  Klik tertinggio  None

  masuk/keluaro  Register 

o  Log in o  Entries RSS 

o  Comments RSS 

o  WordPress.com 

  search

  Spam Blocked

5 spam comments

  comment

budi399 on HUBUNGAN SEBAB AKIBAT DALAM ME… 

huda wahyudin on HUBUNGAN SEBAB AKIBAT DALAM ME… 

  Linkso  Hukum Kesehatan 

o  Blog at WordPress.com. 

o  WordPress.com Blog 

o  Blog at WordPress.com. 

  Pageso  Tentang Kami 

  Search