dasdsa

76
TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM Disusun Oleh: ARIEF RACHMAN NPM: 110.2011.044 Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Dokter Muslim Pada Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta Maret 2015

description

sd

Transcript of dasdsa

  • TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA

    ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

    (PTSD) DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

    Disusun Oleh:

    ARIEF RACHMAN

    NPM: 110.2011.044

    Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

    Untuk Mencapai Gelar Dokter Muslim

    Pada

    Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

    Jakarta

    Maret 2015

  • ii

    ABSTRAK

    TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK

    DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

    DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

    Kejadian traumatis pada anak merupakan kejadian tidak terduga dan dianggap membahayakan.

    Untuk menangani trauma ini, maka diperlukan Cognitive Behavior Therapy (CBT) yaitu terapi

    yang mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan

    lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur dasar

    untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku. Tujuan umum penyusunan skripsi ini adalah

    untuk memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan

    stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama Islam.

    Berdasarkan hasil pustaka Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah

    pendekatan terapi berbasis bukti yang diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga

    pendamping mereka untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini

    bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak yang mengalami

    kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, dan kejadian trauma lainnya.

    Dalam pandangan Islam terapi perilaku kognitif merupakan komponen psikoterapi yang bertujuan

    untuk mengembalikan fungsi berpikir dan cara bertindak seorang anak. Psikoterapi yang

    digunakan dalam Agama Islam adalah membaca Al-Quran, shalat malam, dan ibadah lainnya.

    Yang diperuntukan untuk mencapai ketenangan jiwa sang anak dalam menghadapi stres pasca

    trauma.

    Kedokteran dan Islam sependapat, bahwa terapi perilaku kognitif merupakan psikoterapi yang

    bertujuan untuk merubah cara bertindak dan pola pikir pada anak yang mengalami trauma.

    Disarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih

    banyak dan kepada pemerintah untuk dapat menyediakan fasilitas untuk terapi kognitif dan

    perilaku. Kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam agar masyarakat mengerti

    penanganan pada anak dengan stres pasca trauma.

  • iii

    PERNYATAAN PERSETUJUAN

    Skripsi ini telah kami setujui untuk dipertahankan di hadapan komisi

    penguji skripsi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

    Jakarta, Maret 2015

    Pembimbing Medik Pembimbing Agama

    (Dr. H. Nasruddin, Noor, SpKJ) (Dra. Siti Marhamah, M.Ag)

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirabbilaalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat

    Allah SWT karena atas berkat, rahmat, serta karunia-Nya penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini. Serta tak lupa shalawat dan salam penulis panjatkan

    kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam beserta keluarga dan para

    pengikutnya.

    Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat

    untuk mendapatkan gelar Dokter Muslim pada Fakultas Kedokteran Universitas

    YARSI. Pada kesempatan ini penulis memilih judul Keberhasilan Penggunaan

    Plasmapheresis Untuk Terapi Penderita Krisis Tiroid Ditinjau dari Kedokteran

    dan Islam.

    Dengan ini penulis ingin menyampai ucapan terima kasih yang sebesar-

    besarnya kepada:

    1. DR. dr. H. Artha Budi Susila Duarsa, M.Kes selaku Dekan Fakultas

    Kedokteran Universitas YARSI.

    2. Dr. Elita Donanti, M.Biomed selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran

    Universitas YARSI.

    3. Dr. H. Nasruddin, Noor, SpK selaku dosen Pembimbing Medis yang telah

    meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi

    medis, sehingga skripsi ini tersusun baik.

  • v

    4. Dra. Siti Marhamah, M.Ag selaku dosen Pembimbing Agama yang telah

    meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi

    agama sehingga skripsi ini selesai.

    5. Kepala dan Staf Perpustakaan Universitas YARSI yang telah bersedia dan

    mengizinkan penulis untuk menggunakan ruang referensi serta meminjam

    buku-bukunya untuk pembuatan skripsi ini.

    6. Ayahanda (Edi Yunus) dan Ibunda (Aryani) tercinta yang telah memberikan

    dukungan baik moral maupun materil, kasih sayang, semangat, nasihat dan doa

    tiada henti yang selalu mengiringi tiap langkah penulis sehingga skripsi ini

    dapat selesai.

    7. Kakak (Anne Saffanete) yang telah memberikan nasihat, semangat,

    dukungan, dan juga turut membantu dan mengarahkan penulis dalam bidang

    agama dan lainnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga

    keluarga lainnya yang turut memberikan semangat dan dukungan kepada

    penulis.

    8. Joko, Deza, Dewi, Caesaredo, M.Arief, Erni, dan Intan sebagai sahabat

    yang dapat diandalkan, membantu dalam pelajaran dan selalu membangkitkan

    semangat dari awal perkuliahan sampai sekarang.

    9. Dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

    mendukung saya selama ini.

  • vi

    Penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu

    penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dan berterima kasih apabila

    terdapat saran dan kritikan yang membangun.

    Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan

    mahasiswa, serta masyarakat lain pada umumnya. Amien.

    Jakarta, Maret 2015

    Penulis

  • vii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

    ABSTRAK.................................................................................................... ii

    PERNYATAAN PERSETUJUAN................................................................... iii

    KATA PENGANTAR...................................................................................... iv

    DAFTAR ISI..................................................................................................... vii

    BAB I. PENDAHULUAN..................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang............................................................................ 1

    1.2. Perumusan Masalah.................................................................... 4

    1.3. Tujuan......................................................................................... 4

    I.3.1. Tujuan Umum................................................................. 4

    I.3.2. Tujuan Khusus................................................................ 5

    I.4. Manfaat....................................................................................... 5

    BAB II. TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF

    PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRES

    DISORDER (PTSD)..................................................................

    2.1. Post Traumatic Stress Disorder................................................... 7

    2.1.1. Definisi........................................................................... 7

    2.1.2. Epidemiologi.................................................................. 10

    2.1.3. Etiologi........................................................................... 10

    2.1.3.1. Aspek Biologik............................................................... 11

    2.1.3.2. Aspek Psikodinamik...................................................... 13

    2.1.4. Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder.................... 15

    2.1.5. Gambaran Klinis Post Traumatic Stress Disorder......... 17

    7

  • viii

    2.2. Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic

    Stress Disorder........................................................................... 23

    2.2.1. Cognitive Behavior Therapy.......................................... 23

    2.2.2. Komponen Cognitive Behavior Therapy... 25

    2.2.3. Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior

    Therapy.. 36

    2.2.4. Hasil Penelitian.............................................................. 37

    BAB III. TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF

    PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS

    DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI AGAMA

    ISLAM........................................................................................

    3.1. Pandangan Islam Tentang Anak dan Keluarga.......................... 40

    3.2. Pandangan Islam Tentang Trauma Pada Anak.......... 48

    3.3. Pandangan Islam Tentang Terapi Perilaku dan Kognitif... 59

    BAB IV. KAITAN PANDANGAN ANTARA KEDOKTERAN DAN

    ISLAM TENTANG TERAPI BERFOKUS PERILAKU

    KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC

    STRESS DISORDER (PTSD)...................................................

    BAB V. SIMPULAN DAN SARAN..................................................... 63

    5.1. Simpulan.................................................................................... 63

    5.2. Saran.......................................................................................... 64

    DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 66

    40

    61

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Kejadian traumatis pada anak merupakan kejadian yang tiba-tiba, tidak

    terduga, dan dianggap membahayakan. Kejadian ini dapat mengakibatkan

    ancaman maupun bahaya fisik yang nyata, yang menyebabkan rasa takut yang

    sangat. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan anak untuk mengatasi stres

    akibat trauma. (Bassuk et al, 2005)

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622

    laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.

    Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik,

    kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap

    anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis

    sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat

    tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan

    jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap

    anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking

    (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak

    160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan

    pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)

    Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika

    mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi

  • 2

    hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam,

    penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh,

    kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri

    dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang

    membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh

    penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita

    tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten.

    Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi,

    kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang

    buruk). (Kaplan dkk, 2010)

    Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan

    ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis

    yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa

    seperti penyiksaan anak dan kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu

    bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman

    kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal. (Albano, 2006)

    American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan childhood abuse

    merupakan pola interaksi berulang yang mengganggu anak antar orang tua

    atau dengan orang dewasa lainnya dan anak menjadi terbiasa dengan keadaan

    hubungan seperti tersebut. Selain kekerasan fisik, seksual dan verbal, ini dapat

    mencakup apa saja yang menyebabkan anak merasa tidak berharga, tidak

    dicintai, tidak aman , dan bahkan perasaan terancam. Contohnya antara lain

    meremehkan, merendahkan atau mengejek anak, membuat dia merasa tidak

  • 3

    aman (termasuk ancaman ditinggalkan), kegagalan untuk mengekspresikan

    kasih sayang, kepedulian dan cinta, mengabaikan kesehatan mental, medis

    atau kebutuhan pendidikan. (Murray, 2008)

    Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan

    gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan.

    Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur

    dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku. (Gunarsa, 2000)

    Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang

    diberikan kepada orang tuanya. Sebagai amanat anak sudah seharusnya

    mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan

    pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak

    akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi

    orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori,

    2007)

    Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan atau

    melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat kejadian itu

    hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat juga bersifat

    psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan sehingga dapat

    menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa, dan lain-lain. (Kartono, 1989)

    Allah menjadikan anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik,

    mental, maupun akalnya, seperti yang terdapat dalam surat Al-Israa(17) ayat

    24. Ia belum dapat berbuat apapun, selain menangis. Sudah tentu dalam

    kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya

  • 4

    sendiri. Karena itu, anak-anak kecil sangat mendambakan perlindungan dari

    orang tua. (Joban, 2014)

    Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang

    berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan

    perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang

    psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan

    prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. (Mujib,

    2002)

    Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan

    tersebut dalam penulisan skripsi berjudul Terapi Berfokus Pada Perilaku

    Kognitif Pada Anak Dengan Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) Ditinjau

    Dari Kedokteran Dan Islam.

    1.2. Perumusan Masalah

    1. Bagaimana gambaran klinis anak yang mengalami gangguan stres pasca

    trauma?

    2. Bagaimana metode terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres

    pasca trauma?

    3. Bagaimana pandangan Islam terhadap terapi perilaku kognitif pada anak?

    1.3. Tujuan

    1.3.1 Umum

    Memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan

    gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama

    Islam

  • 5

    1.3.2 Khusus

    1. Mengetahui dan dapat menjelaskan gambaran klinis anak yang mengalamii

    gangguan stres pasca trauma.

    2. Mengetahui dan dapat menjelaskan metode terapi perilaku kognitif pada anak

    dengan gangguan stres pasca trauma.

    3. Mengetahui dan dapat menjelaskan pandangan kedokteran dan islam terhadap

    terapi perilaku kognitif pada anak.

    1.4 Manfaat

    1.4.1. Bagi Penulis

    Diharapkan penulis dari skripsi ini dapat bertambahnya pengetahuan

    tentang terapi perilaku kognitif yang ditujukan pada anak dengan gangguan

    stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Islam, serta

    bertambahnya pengalaman dalam cara membuat karya ilmiah yang baik

    dan benar.

    1.4.2. Bagi Universitas YARSI

    Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada Civitas

    Akademika Universitas YARSI mengenai pengaruh terapi perilaku kognitif

    pada anak dengan gangguan stres pasca trauma dtinjau dari kedokteran dan

    Islam serta menambah koleksi referensi ilmiah bagi perpustakaan

    Universitas YARSI.

  • 6

    1.4.3. Bagi Masyarakat

    Memberi pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat dalam

    menangani anak dengan gangguan stres pasca trauma dengan menggunakan

    terapi berfokus perilaku kognitif menurut kedokteran dan Islam.

  • 7

    BAB II

    TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK

    DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

    2.1. Post Traumatic Stress Disorder

    2.1.1. Definisi

    Trauma psikis merupakan pengalaman yang membingungkan secara

    psikologis yang mengakibatkan gangguan emosi atau mental, atau jika tidak,

    telah meninggalkan pengaruh negatif pada pikiran, perasaan, atau perilaku

    seseorang. (Dorland, 2010)

    Trauma psikis adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan,

    meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. (Noor,

    1997)

    Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika

    mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi

    hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam,

    penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh,

    kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri

    dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang

    membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh

    penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita

    tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten.

    Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi,

  • 8

    kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang

    buruk). (Kaplan, 2010)

    Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara

    tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak

    kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang

    tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi

    terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap

    orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi

    pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang

    trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya

    seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa

    kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu untuk

    mengatasinya. (National Institute of Mental Health, 2008)

    PTSD, atau gangguan stres pasca trauma, merupakan gangguan kecemasan

    yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa traumatis

    berat. Ketika dalam keadaan bahaya, merupakan hal yang wajar untuk merasa

    ketakutan. Ketakutan ini memicu perubahan yang cepat dalam tubuh untuk

    mempertahankan tubuh melawan bahaya ataupun menghindarinya. Respon Ini

    disebut fight-or-flight yang berguna untuk melindungi diri dari bahaya.

    Tetapi, dalam PTSD reaksi ini berubah atau terganggu. Orang dengan PTSD

    merasa stres ataupun ketakutan meskipun mereka sudah tidak lagi dalam

    bahaya. (National Institute of Mental Health, 2008)

  • 9

    Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan

    ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis

    yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa-peristiwa

    seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa

    mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman

    kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano, 2006)

    2.1.2. Epidemiologi

    Prevalensi seumur hidup gangguan stres pasca trauma diperkirakan dari 1

    sampai 3 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15

    persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara

    kelompok risiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa

    traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang dari 5 sampai 75 persen.

    Kira-kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stres pasca trauma,

    dan tambahan 25 persen mengalami bentuk gangguan subklinis. (Kaplan et al,

    2010)

    Walaupun gangguan stres pasca traumatik dapat tampak pada setiap usia,

    gangguan ini paling menonjol pada usia muda, karena sifat situasi yang

    mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres pasca

    trauma. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan, dan trauma

    untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan, Gangguan

    kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami

    gangguan ekonomis, atau menarik diri secara sosial. (Kaplan et al, 2010)

  • 10

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622

    laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.

    Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik,

    kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap

    anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis

    sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat

    tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan

    jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap

    anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking

    (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak

    160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan

    pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)

    2.1.3. Etiologi

    Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami

    gangguan stres pasca trauma adalah : (Elvira, 2010)

    A. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang

    bersangkutan maupun keluarganya.

    B. Adanya trauma masa kecil, seperti kekerasan fisik maupun seksual.

    C. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.

    D. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial.

    E. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya

    kesulitan menyesuaikan diri.

  • 11

    F. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.

    G. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya

    baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi

    atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. Tipe kejadian

    yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stres pasca

    trauma dapat dikategorikan menjadi :

    a) Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal

    b) Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam

    nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh

    manusia

    c) Trauma berulang dan bersifat kronik

    2.1.3.1. Aspek Biologik

    Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari

    respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh

    karena aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan

    timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh

    peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak

    dengan sendirinya akan menilai kondisi berbahaya yang dialami, serta

    mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala

    merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan

    mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di

    otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa

  • 12

    sebagai respons tubuh untuk mengahadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu

    beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan

    segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat

    kepada : (Elvira, 2010)

    1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)

    2. Sistem saraf parasimpatis

    3. Poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (poros HPA)

    Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah

    mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung

    dan tekanan darah. Kondisi ini disebut flight or fight reaction. Reaksi ini

    juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal

    sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa

    tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman

    yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh,

    namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons

    yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Poros HPA juga akan terstimulasi

    oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan

    peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Corticotropin Releasing

    Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar

    hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran Adenocorticotropic

    Hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol

    dari kelenjar adrenal. (Elvira, 2010)

  • 13

    Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan

    meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol, pengeluaran ke

    dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu.

    Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa

    organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol

    berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa

    sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa

    traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon

    kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam

    menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek

    umpan balik negatif pada poros HPA tersebut. (Elvira, 2010)

    Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung

    untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin

    di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang

    meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus

    menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi

    katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya

    konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang

    dialami. (Elvira, 2010)

    2.1.3.2. Aspek Psikodinamik

    Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca

    trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang

  • 14

    belum terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik

    yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu

    akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha

    untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal

    yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma

    adalah: (Elvira, 2010)

    1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari

    peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.

    2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik

    psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.

    3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem

    afeksinya.

    4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk

    somatisasi atau aleksitimia (ketidak mampuan mengungkapkan emosi).

    5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan

    gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,

    disosiasi dan rasa bersalah.

    6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari

    berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang

    omnipoten.

  • 15

    2.1.4. Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder

    Berikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma

    menurut DSM-IV yaitu: (Kaplan et al, 2010)

    A. Seseorang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari

    berikut ini terdapat:

    1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu

    kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau

    kematian yang sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada

    integritas fisik diri sendiri atau orang lain.

    2. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau

    horor. Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang

    kacau atau teragitasi.

    B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)

    cara berikut:

    1. Kenangan penderitaan, berulang, dan mengganggu tentang kejadian,

    termasuk bayangan, pikiran atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat

    menunjukan permainan yang berulang bertuju dengan tema atau aspek

    trauma.

    2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-

    anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.

    3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali

    (termasuk perasaan yang menghidupkan kembali pengalaman trauma,

    ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi

  • 16

    selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat

    menghidupkan kembali yang spesifik dengan trauma.

    4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau

    eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian

    traumatik.

    5. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal

    yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

    C. Penghindaran stimulus persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku

    karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang

    ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

    1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang

    berhubungan dengan trauma.

    2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan

    kenanangan dengan trauma.

    3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.

    4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang

    bermakna.

    5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

    6. Rentang efek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki perasaan

    cinta).

    7. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap

    memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal).

  • 17

    D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum

    trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut:

    1. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.

    2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.

    3. Sulit berkonsentrasi.

    4. Kewaspadaan yang berlebihan.

    5. Respon kejut yang berlebihan.

    E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4) adalah lebih dari satu

    bulan.

    F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

    gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

    Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan.

    Kronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih.

    Dengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stresor.

    2.1.5. Gambaran Klinis Post Traumatic Stress Disorder

    Ketika trauma terjadi maka akan memberikan respons secara total, baik

    secara emosional, kognitif, perilaku, maupun psikologis. Di bawah ini

    merupakan respon orang yang mengalami trauma. (Mendatu, 2010)

    1. Respon emosional

    A. Respon seseorang jika menghadapi traumatik yaitu seperti kesulitan

    mengontrol emosi.

    B. Lebih mudah tersinggung dan marah.

  • 18

    C. Gampang diagitasi dan mudah terpancing.

    D. Mood mudah berubah, dari baik keburuk dan sebaliknya terjadi begitu

    cepat.

    E. Panik, cemas, gugup, dan tertekan.

    F. Sedih, berduka, dan depresi.

    G. Merasa ditolak dan diabaikan.

    H. Takut dan khawatir terhadap efek kejadiannya, peristiwanya akan terjadi

    lagi, akan menimpa orang-orang terdekatnya.

    I. Memberikan respon emosional yang tidak sesuai.

    2. Respon kognitif

    A. Sering mengalami flashback, atau mengingat kembali kejadian

    traumatiknya. Saat mengalaminya, seolah-olah kejadiannya dialami

    kembali secara nyata.

    B. Mimpi buruk.

    C. Kesulitan berkomunikasi, mengambil keputusan, dan memecahkan

    masalah.

    D. Kesulitan mengingat dan memaksa melupakan kejadian.

    E. Mudah bingung.

    F. Menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

    G. Memandang diri sendiri secara negatif.

    H. Merasa sendirian dan sepi.

    I. Ingin menyembunyikan diri.

    J. Berpikir untuk bunuh diri.

  • 19

    K. Merasa tanpa harapan, merasa kehilangan harapan akan masa depan.

    L. Merasa lemah tak berdaya.

    M. Kehilangan minat serta aktivitas yang bisa dilakukan.

    N. Mengingat kembali kejadian traumatik setiap menemui hal-hal yang ada

    kaitannya dengan trauma.

    3. Respon perilaku

    A. Kesulitan mengontrol tindakan.

    B. Lebih banyak berkonflik dengan orang lain.

    C. Menghindari kebiasaan lama.

    D. Menghindari orang, tempat, atau sesuatu yang berhubungan dengan

    peristiwa traumatik, dan enggan membicarakanya.

    E. Melamun.

    F. Kurang memperhatikan diri sendiri.

    G. Kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari.

    H. Sering menangis tiba-tiba.

    I. Sulit belajar atau bekerja.

    J. Mengalami ganguan tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, tidur sangat

    larut dan bangun siang, tidur berlebihan.

    K. Mengalami ganguan makan, yang diantaranya kehilangan selera makan.

    L. Gampang terkejut.

    4. Respon fisiologis atau fisik

    A. Sakit kepala.

    B. Nyeri.

  • 20

    C. Sakit dada atau dada sesak.

    D. Sulit bernafas.

    E. Sakit perut.

    F. Berkeringat berlebihan.

    G. Gemetar.

    H. Lemah dan lesu.

    I. Letih.

    J. Otot tegang atau kulit dingin.

    K. Hilang keseimbangan tubuh atau merasa berguncang.

    5. Beberapa respon anak-anak masa sekolah dasar yang mengalami traumatik

    A. Mimpi buruk.

    B. Sulit tidur.

    C. Rasa takut dan tidak beralasan.

    D. Merasa sangat malu atau sangat bersalah.

    E. Menolak masuk sekolah atau khawatir berangkat kesekolah.

    F. Kesulitan memberikan perhatian atau konsentrasi.

    G. Mengeluh sakit perut dan sakit lainnya padahal tidak ada masalah medis

    apapun.

    H. Cemas, melamun, kadang menanggis dan merasa bersalah.

    Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Smith & Segal,

    2008)

    1. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (Re-Experiencing Symptoms)

  • 21

    A. Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak

    menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut. Terulangnya

    bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.

    B. Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.

    C. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan

    terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback".

    D. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa

    traumatik tersebut.

    E. Terjadi respon fisiologis, seperti jantung berdetak kencang atau

    berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut.

    2. Menghindar (Avoidance Symptoms)

    A. Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan

    mengenai peristiwa traumatik tersebut.

    B. Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat

    mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut.

    C. Tidak ingin mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik.

    D. Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting.

    E. Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain.

    F. Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti

    kesenangan, kebahagiaan atau cinta, dan kasih sayang.

    G. Ketakberdayaan atau ketumpulan emosional dan menarik diri.

  • 22

    H. Merasakan seakan-akan hidup seperti terputus ditengah-tengah. Tidak

    mempunyai harapan untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal,

    menikah dan memiliki karir.

    I. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara

    efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll)

    3. Hyperarousal Symptoms

    A. Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah.

    B. Mudah atau lekas marah yang meledak-ledak.

    C. Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi.

    D. Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya

    mengincar di setiap sudut.

    E. Menjadi gelisah, tidak tenang, mudah terpicu atau sangat waspada.

    F. Terlalu siaga atau waspada yang disertai ketergugahan atau keterbangkitan

    secara kronis. Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, maka akan

    mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan kepribadian). Seperti

    paranoid (mudah curiga) misalnya. Kesulitan hal ini adalah jarang sekali

    penderita dengan kesadaranya datang ke para ahli. Apalagi stigma yang

    beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan orang sakit jiwa atau

    gila.

  • 23

    2.2. Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic Stress

    Disorder

    2.2.1. Cognitive Behavior Therapy

    Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan

    gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan.

    Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur

    dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku, misal seperti:

    pengamatan diri, kontrak dengan diri sendiri, dan artian lebih luas teknik ini

    mengajarkan keterampilan kepada klien dalam menghadapi suasana yang

    menimbulkan kegoncangan dikemudian hari. Terapi ini didasarkan pada teori

    bahwa efek keadaan emosi, perasaan, dan tindakan seseorang, sebagian besar

    ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya. Jadi

    bagaimana seseorang berfikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya.

    Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian kejadiaan di

    dalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang,

    berhubungan erat dengan isi pikiran, misalnya seorang menderita ansietas atau

    ganguan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran yang kuat karena

    mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam

    hal seperti ini, perilaku kognitif dipergunakan untuk mengidentifikasi,

    memperbaiki perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat,

    yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan pendekatan

    perilaku kognitif mengajarkan klien agar berpikir lebih realistik dan sesuai

  • 24

    sehingga dengan demikian akan mengilangkan atau mengurangi gejala

    berkelainan yang ada. (Gunarsa, 2000).

    Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah

    pendekatan terapi berbasis bukti (evidence based treatment) yang

    diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka

    untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini

    bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak

    yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, trauma

    kehilangan (keluarga meninggal), dan kejadian trauma lainnya. (Child Welfare

    Information Gateway, 2006)

    Terapi ini berbasis pembelajaran dan teori kognitif yang dialamatkan

    kepada keyakinan menyimpang dan tabiat yang terkait dengan penyiksaan dan

    menyediakan lingkungan yang bersifat membantu anak agar dapat berani

    membicarakan kejadian traumatik yang dialaminya. TF-CBT juga membantu

    orangtua untuk mengatasi tekanan emosialnya. Dan juga membantu

    mengembangkan keterampilan anak. (Child Welfare Information Gateway,

    2006)

  • 25

    2.2.2. Komponen Cognitive Behavior Therapy

    Berikut adalah komponen dari Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy

    (TF-CBT): (Child Welfare Information Gateway, 2006)

    1. Cognitive Therapy

    Bertujuan untuk merubah perilaku atau kebiasaan dengan cara mengatasi

    persepsi pemikiran seseorang, khususnya pola pikir yang menyimpang.

    2. Terapi Perilaku (Behavior Therapy)

    Terapi ini berfokus merubah respon perilaku seseorang contohnya seperti

    marah dan ketakutan untuk dapat mengidentifikasi situasi atau stimulus.

    3. Family Therapy

    Terapi ini mengidentifikasi pola interaksi antar keluarga untuk

    mengidentifikasi dan mengatasi masalah.

    TF-CBT merupakan terapi jangka pendek yang biasanya membutuhkan 12

    sampai 18 sesi dengan jangka waktu 60 sampai 90 menit atau lebih,

    tergantung dari kebutuhan. Biasanya intervensi ini membutuhkan rawat jalan

    di fasilitas kesehatan, tetapi sekarang sudah menggunakan rumah sakit,

    kelompok rumah, sekolah, komunitas, dan pengaturan di rumah. Terapi ini

    membutuhkan sesi untuk anak dan orang tua (pendamping) secara terpisah dan

    tergabung. Setiap sesi dibentuk untuk meningkatkan hubungan terapetik

    sekaligus menyediakan edukasi, keterampilan dan lingkungan yang aman

    untuk mengatasi dan memproses ingatan tentang trauma. Gabungan sesi orang

    tua dan anak dibuat untuk menolong orang tua dan anak dalam menggunakan

    keeterampilan yang mereka pelajari, sementara juga mendorong lebih efektif

  • 26

    komunikasi orang tua dan anak dalam mengatasi kekerasan dan masalah

    terkait lainnya. (Child Welfare Information Gateway, 2006)

    Komponen protokol TF-CBT dapat diringkas dengan kata "PPRACTICE"

    yang terdiri dari psikoedukasi, pengasuhan (parenting), relaksasi, modulasi

    afektif, coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres), narasi trauma serta

    trauma processing, in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap

    trauma), Conjoint Sessions (sesi gabungan), Enchancing Safety (meningkatkan

    keselamatan). (Feldman, 2010)

    Tabel 1. Komponen TF-CBT PPRACTICE

    Sumber : Cohen (2010)

    P: Psychoeducation (information about trauma and trauma reactions)

    P: Parenting skills (behavior management skills)

    R: Relaxation skills (managing physiologic reactions to trauma)

    A: Affective modulation skills (managing affective responses to trauma)

    C: Cognitive coping skills (connections between thoughts, feelings, behaviors)

    T: Trauma narrative and processing (correcting cognitive distortions related to trauma)

    I: In vivo mastery of trauma reminders (overcoming generalized fear related to trauma)

    C: Conjoint child-parent sessions (variety of joint child-parent activities)

    E: Enchancing safety and future development (safety planning for future)

  • 27

    Penilaian secara umum

    Tujuan:

    1. Mengidentifikasi riwayat pajanan traumatis.

    2. Mengidentifikasi gejala PTSD.

    3. Menentukan dasar (baseline).

    4. Mengamati klien atau keluarga selama proses penilaian (pengamatan

    klinis).

    Metode:

    1. Formal, metode penghitungan yang sudah di standarisasi (misalnya CPSS

    dan UCLA PTSD RI).

    2. Meminta untuk menceritakan kisah mengidentifikasi pikiran atau

    perasaan, keterampilan mengatasi kejadian.

    3. Untuk anak-anak dapat melalui bacaan buku seperti A Terrible Thing

    Happened dan mendiskusikan gejala (Penilaian informal).

    4. Mendapatkan perspektif perawat tentang gejala atau perilaku anak.

    5. Menilai konteks trauma dengan menanyakan tentang lingkungan,

    perkembangan dan faktor sosial.

    Pelaksanaan secara umum

    Tujuan:

    1. Mendapatkan solusi untuk menerapi klien atau keluarga.

    2. Menetapkan tujuan terapi bersama.

    3. Mengurangi resistensi sehingga memungkinkan pengobatan sesuai fungsi

    yang telah di tentukan.

  • 28

    Metode:

    1. Merujuk kembali kepada penilaian hasil dan gejala.

    2. Mengidentifikasi dan menghubungkan tujuan anak atau pengasuh dan

    indikator kemajuan atau keberhasilan.

    3. Mengidentifikasi penghargaan dari luar dan motivasi yang dapat di

    manfaatkan.

    4. Ketika motivasi menjadi penghalang, gunakan teknik motivasi wawancara:

    (lembar kerja keseimbangan keputusan: penilaian kepentingan dan

    kepercayaan diri untuk berubah).

    P - Psikoedukasi

    Tujuan:

    1. Mengajar, menormalisasi, dan memvalidasikan gejala PTSD: Bahwa kau

    waras (Youre not crazy).

    2. Menormalisasikan paparan dari trauma: Anda tidak sendirian atau bukan

    satu-satunya.

    3. Mengurangi penyalahan diri: ini bukanlah salahmu.

    4. Menjelaskan TF-CBT (komponen dan struktur): Bahwa ada harapan, kita

    mempunyai terapi yang dapat berhasil.

    5. Memperjelas tujuan dari terapi: Mengapa terapi penting tiap minggunya

    untuk melakukan latihan.

    Metode:

    Untuk masing-masing pertanyaan menggunakan teknik Socrates.

    1. Buku

  • 29

    2. Games (permainan kata, apa yang kamu tahu? Atau game berpura-pura).

    3. Melalui pencarian internet, video youtube.

    4. Lembar kerja diskusi.

    P - Parenting (pengasuhan)

    Tujuan:

    1. Meningkatkan hubungan.

    2. Membantu pengasuh mempelajari keterampilan untuk mengelola kesulitan

    atau kebiasaan yang tidak pantas terkait dengan trauma untuk mendukung

    anak menggunakan keterampilan di rumah.

    3. Keterampilan termasuk (namun tidak terbatas pada) : Pujian, waktu One-

    on-One, perhatian atau menghiraukan yang selektif, menghindari

    pertengkaran dengan kekuatan, imbalan, dan konsekuensi.

    Metode:

    1. Lembar Kerja.

    2. Permainan peran (Role Play).

    3. Follow model : Pengajaran.

    4. Discuss model.

    5. Umpan balik.

    6. Praktek mingguan.

    7. Mengamati interaksi dengan anak, pelatihan dan pengajaran keterampilan

    baru.

  • 30

    R - Relaksasi

    Tujuan:

    1. Memberikan keterampilan kepada klien untuk digunakan dalam

    lingkungan mereka (rumah dan sekolah) untuk menangani stres mereka.

    2. Membuat toolbox untuk merujuk kembali kapan saatnya bekerja pada

    narasi trauma.

    3. Mengajarkan perbedaan antara relaksasi dan toleransi stres untuk

    mengidentifikasi yang mana lebih berpengaruh pada klien.

    Metode:

    1. Mengidentifikasi dan meningkatkan keterampilan yang sudah dipakai

    (hobi, musik, olahraga, dll.).

    2. Memainkan game relaksasi (melempar bola atau bermain basket).

    3. Mengajarkan yoga, kesadaran, panduan pencitraan, kontrol pernapasan,

    relaksasi otot pernafasan.

    4. Mendengarkan lagu.

    A - Modulasi Afektif

    Tujuan:

    1. Membantu anak mengidentifikasi perasaan dan mengembangkan kosakata

    untuk digunakan diluar sesi dan di dalam sesi.

    2. Membantu anak mengerti perasaan berbeda atau bertentangan secara

    sekaligus yang bertujuan menormalkan simulasi perasaan yang berganda.

    3. Mengajarkan segitiga kognisi (Triangle of Cognitive): Hubungannya

    diantara pikiran, perasaan, dan perilaku.

  • 31

    4. Dapat merasakan perasaan pada intensitas yang berbeda. (menggunakan

    gambaran thermometer atau jumlah sebuah makanan).

    5. Mengidentifikasi perasaan terkait dengan peristiwa traumatis, memikirkan

    hal itu ketika itu terjadi dan sekarang ketika hal itu telah terjadi.

    6. Mengidentifikasi hal yang harus dilakukan ketika mersa sedih, down, tidak

    waras, cemas, dll.

    Metode:

    1. Brainstorming perasaan.

    2. Buku tentang perasaan dan kartu tentang perasaan (books and card about

    feelings).

    3. Games tentang perasaan (bingo, jenga, mengambil stik).

    4. Mengajarkan tentang intensitas dan mengembangkan skala intensitas.

    5. Diagram pie perasaan (Feelings pie) (satu kejadian, menunjukkan

    perasaan yang berbeda dan seberapa banyak).

    6. Mengembangkan daftar yang harus dilakukan untuk meregulasi dan

    menoleransi emosi ketika stres (perilaku, kognitif, mencari dukungan,

    memecahkan masalah).

    C - Coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres):

    Tujuan:

    1. Mengajarkan tentang segitiga kognitif: hubungan antara pikiran, perasaan,

    dan perilaku.

  • 32

    2. Membantu klien untuk mengakses pikiran diluar kendali yang pada

    awalnya klien tidak menyadarinya dan menjadi sadar akan apa yang

    menyebabkan stresnya atau traumanya.

    3. Membantu klien dan pengasuh memahami kemampuan untuk mengubah

    perasaan dan perilaku dengan menjadi sadar dan mengubah pikiran tidak

    membantu atau tidak akurat.

    Metode:

    1. Mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku secara hipotesis, yang

    berhubungan dengan non-trauma, skenario kehidupan nyata (ruang makan,

    ulang tahun, dll).

    2. Membaca buku atau melakukan tugas yang mengidentifikasi atau

    melabelkan pikiran, perasaan, dan perilaku.

    3. Bermain game memasangkan sebuah pikiran, perasaan dan perilaku.

    4. Mengidentifikasi manfaat atau keakuratan cara berpikir untuk merasa lebih

    baik, ketika pikiran sedang dalam keadaan kesulitan perasaan maupun

    perilaku.

    T Narasi Trauma

    Tujuan:

    1. Memberikan paparan kenangan trauma yang membuat klien menghindari

    penyebab stresnya (pikiran mengganggu, mimpi buruk, flash back).

    2. Mengidentifikasi kognisi tidak membantu atau tidak akurat yang perlu di

    proses.

  • 33

    3. Mengidentifikasi pikiran yang berhubungan dengan pandangan terhadap

    dunia yang berubah atau melihat diri, terkait paparan trauma atau dalam

    konten trauma (mungkin saat ini bersama pengasuh ).

    Metode:

    1. Hampir semua yang melibatkan klien dapat berasal dari buku, gambar,

    acara radio, lagu, puisi, video, rekaman suara bersama terapis menuliskan

    secara narasi.

    2. Bekerja bersama pengasuh.

    3. Mengingatkan kejadian menyenangkan di akhir.

    4. Mengingatkan tentang analogi (contoh: bola di kolam berenang, dll).

    Cognitive processing atau trauma processing

    Tujuan:

    1. Mengidentifikasi pikiran yang tidak membantu dan tidak akurat;

    membantu klien atau pengasuh melihat dan mengevaluasi cara paparan

    trauma yang mungkin telah merubah cara pandangnya pada dirinya, dunia,

    keluarga, atau masa depan.

    2. Mengidentifikasi cara yang lebih akurat dan membantu untuk memikirkan

    paparan traumanya, diri, dunia, keluarga, masa depan, dan bekerja secara

    konsisten menggantikan pikiran yang telah lalu dengan yang baru.

    3. Terpenting dalam TF-CBT : Pastikan klien tidak mendefinisikan dirinya

    karena trauma, memandang diri atau masa depan sebagai tidak punya

    harapan atau telah rusak.

  • 34

    Metode:

    1. Mengidentifikasikan pikiran yang bermasalah melalui terapi berasal dari

    trauma tersebut.

    2. Menggunakan teknik pertanyaan Socrates dan klasifikasikan pikiran

    (akurat atau tidak; membantu atau tidak; menyesal atau bertanggung

    jawab).

    3. Bermain peran sebagai teman baik. Dan klien di kondisikan menjadi

    terapis. Membuat diagram pie tanggung jawab, mengidentifikasi bukti,

    dan pertanyaan yang logis.

    I in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap trauma)

    Tujuan:

    1. Memisahkan ingatan trauma atau pemicu rasa takut (mempelajari respon

    kecemasan misalnya, takut gelap).

    2. Mengurangi penghindaran (avoidance) yang mengganggu fungsi sehari-

    hari.

    Metode:

    1. Membuat daftar tangga ketakutan (pemicu dan spesifik yang berkaitan

    pemicunya).

    2. Dalam sesi latihan dikombinasikan dengan latihan mingguan di rumah.

    3. Perlu untuk memanfaatkan atau mendapat dukungan dari perawat dan

    pendukung klien dari lingkungan hidup.

    4. Memanfaatkan insentif dan penghargaan (dalam sesi; di rumah:

    Keterampilan sang orang tua memuji dan memberi imbalan).

  • 35

    5. Menggunakan keterampilan coping (termasuk mengatasi kognitif) yang

    telah diajarkan sebelumnya.

    C Conjoint Sessions (sesi gabungan)

    Tujuan:

    1. Memberikan kesempatan untuk memuji, mendukung, memberi dorongan

    dari orang dewasa yang terpercaya.

    2. Menghargai apapun yang telah dicapai anak dengan orang dewasa yang

    terpercaya.

    3. Membiarkan orang dewasa mendengarkan pandangan anak.

    4. Membiarkan kesempatan untuk berdiskusi antara pengasuh dan anak

    (pertanyaan, kekhawatiran, umpan balik, dll.).

    Metode:

    1. Menyiapkan sesi bersama dengan membaca narasi trauma yang dilakukan

    oleh pengasuh.

    2. Menyiapkan dan memainkan peran tanya jawab, dan umpan balik, dengan

    pengasuh dan anak.

    3. Mengidentifikasi bantuan keterampilan coping untuk pengasuh. Jika

    diperlukan.

    E Enchancing Safety (Meningkatkan Keselamatan)

    [Ini didahulukan jika keamanan menjadi prioritas]

    Tujuan:

    1. Memberikan rencana keamanan untuk membantu anak (dan pengasuh)

    merasakan rasa aman (ini juga merupakan keterampilan coping)

  • 36

    2. Mengembangkan rencana keamanan dalam hal cedera diri, pikiran untuk

    bunuh diri, dan lain-lain.

    3. Mengajarkan keterampilan keselamatan yang dapat digunakan klien untuk

    masa depan atau ketika sudah tidak melakukan terapi.

    Metode:

    1. Membentuk rencana keselamatan yang formal.

    2. Mengidentifikasi resiko, pemicu, peringatan tanda bahaya (diri sendiri

    maupun orang lain).

    3. Keterampilan bermain peran, biasanya dengan pengasuh.

    4. Mengajarkan batas-batas yang tepat, persahabatan, dll.

    2.2.3. Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy

    TF-CBT mengurangi gejala stres pasca-trauma, yang ditandai oleh

    masalah yang mempengaruhi regulasi, fungsi perilaku, hubungan, perhatian

    dan kesadaran, persepsi diri, somatisasi, dan sistem makna. Ini dibuktikan

    dengan berkurangnya kondisi-kondisi sebagai berikut: (Cohen & Mannarino,

    2004)

    A. Berkurangnya kenangan mengganggu, pikiran atau mimpi tentang trauma.

    B. Berkurangnya gejala menghindari trauma (avoidance symptoms).

    C. Berkurangnya mati rasa emosional.

    D. Berkurangnya hiperarousal (kewaspadaan berlebih) secara fisiologis

    maupun psikologis.

    E. Berkurangnya gangguan bermakna dalam kehidupan sehari-hari.

  • 37

    Manfaat TF-CBT untuk anak dan remaja adalah dalam perbaikan gejala

    sebagai berikut:

    A. Depresi.

    B. Kecemasan.

    C. Masalah perilaku.

    D. Masalah seksual.

    E. Malu yang berhubungan dengan trauma.

    F. Kepercayaan interpersonal.

    G. Kompetensi sosial.

    Manfaat TF-CBT untuk orang tua yang anaknya mengalami trauma seperti

    kekerasan seksual. Dapat secara efektif menolong orang tua dalam:

    A. Mengatasi perasaan depresi orang tua secara umum.

    B. Mengatasi gejala PTSD pada orang tua.

    C. Mengatasi tekanan emosional terhadap trauma anak.

    D. Meningkatkan keahlian mengasuh.

    E. Meningkatkan keterampilan mendukung anak.

    2.2.4. Hasil Penelitian

    Dalam penelitian dengan menggunakan metode TF-CBT (trauma focused

    cognitive behavior therapy), yang dilakukan pada 124 anak berusia 7 14

    tahun. Penelitian ini dilakukan diantara bulan September 2004 sampai Juni

    2009. Penelitian ini mengintervensi ibu dan anak yang mengalami masalah

    kekerasan pasangan intim antara suami dan istri. Penelitian ini bertujuan untuk

  • 38

    membandingkan. TF-CBT dengan CCT (children-centered therapy). (Cohen

    dkk, 2011)

    Terapi dilakukan 8 sesi diantara 12 sesi yang seharusnya dilakukan.

    Dilakukan 45 menit sesi individu selama 8 minggu, sampai seluruh keluarga

    menyelesaikan 8 sesi. TF-CBT pada penelitian ini dilakukan (1) komponen

    pengaman dilakukan pada awal terapi dan tidak dilakukan ketika akhir terapi.

    (2) Narasi trauma tidak berfokus pada memori yang lalu, melainkan berbagi

    pengalaman IPV (intimate partner violence) dan kewaspadaan pada ibu yang

    ditujukan pada kelainan adapsi kognitif (menyalahkan diri ibu). (3) Penelitian

    ini tidak bertujuan menguasai ingatan masa lalu IPV melainkan bertujuan

    untuk mengoptimalkan kemampuan anak untuk mendiskriminasikan antara

    bahaya nyata dengan bahaya umum. (Cohen dkk, 2011)

    Menurut K-SADS-PL (Kiddie Schedule for Affective Disorders and

    Schizophrenia for School-Age Children-Present and Lifetime) total skor untuk

    menilai gejala. TF-CBT menunjukan hasil peningkatan yang lebih bermakna

    dibandingkan CCT. (mean difference, 1.63; 95% CI, 0.44 - 2,82). Reaction

    Index (RI) score (mean difference, 5.5.; 95% CI, 0.22 - 1.20), K-SADS-PL

    hyperarousal score (0.71, 95% CI, 0.22 - 1.20). K-SADS-PL avoidance score

    (0.55;95% CI, 0.07 - 1.03), dan Screen for Child Anxiety Related Emotional

    Disorders (SCARED) (Mean difference, 5.13;95% CI, 1.31 - 8.96). Yang

    menyelesaikan TF-CBT mengalami perbedaan yang bermakna dalam

    mengurangi angka PTSD. TF-CBT mengurangi angka gejala PTSD dari 32

    anak menjadi 8 anak (75%), sedangkan CCT mengurangi angka gejala PTSD

  • 39

    dari 18 anak menjadi 10 anak (44%) (X = 4.67 , P= 0.03) dan mengalami

    sedikit efek samping. (Cohen dkk, 2011)

    Dalam penelitian PTSD pada anak dengan kekerasan seksual dilakukan

    penelitian berdasarkan terapi narasi trauma dan panjang waktu terapi. Pada 87

    anak berumur 4-11 tahun dan orang tua melakukan TF-CBT dengan 8 sesi dan

    92 anak dan orang tua melakukan 16 sesi. Disetiap kelompok tersebut dibagi

    kembali dengan kelompok dengan narasi trauma dan dengan yang tidak.

    Didapatkan bahwa 63 (72%) orang pada 8 sesi menyelesaikannya dengan

    lengkap dan hanya 50 (54%) orang yang mengikuti 16 sesi dapat

    menyelesaikannya. (Deblinger, 2011)

    Hasilnya didapatkan TF-CBT menunjukan hasil yang positif, dengan

    beberapa perbedaan. Pada kelompok dengan 8 sesi narasi trauma efektif dalam

    menurunkan ketakutan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan

    kecemasan secara umum, dan juga mengurangi stres orang tua pada masalah

    penyiksaan. Sedangkan 16 sesi TF-CBT tanpa narasi trauma menuju pada

    perubahan paling besar dalam melatih orang tua mengasuh dan mengurangi

    masalah eksternal perilaku pada anak. (Deblinger, 2011)

  • 40

    BAB III

    TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK

    DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

    DITINJAU DARI AGAMA ISLAM

    3.1. Pandangan Islam Tentang Anak dan Keluarga

    Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang

    diberikan kepada orang tua. Sebagai amanat, anak sudah seharusnya

    mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan

    pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak

    akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi

    orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori,

    2007)

    Fungsi anak bagi ayah dan ibu dinyatakan oleh Allah SWT dalam

    Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih

    baik untuk menjadi harapan. (QS.Al-Kahfi(18):46)

    Ayat diatas menjelaskan fungsi anak bagi kedua orang tua. Anak

    digambarkan sebagai perhiasan kehidupan. Harta dan anak merupakan

    perhiasan kedua orang tua. Orang tua menginginkan seorang anak dapat

  • 41

    menjadi penghibur, serba bisa, menjadikan dirinya terhormat, dan menjadi

    tumpuan kesejahteraan hidup orang tuanya.. (Thalib, 1995)

    Keluarga merupakan pilar pertama bagi pendidikan anak. Pembentukan

    kepribadian seorang anak bersumber dari keluarga. Oleh karena itu, hak-hak

    seorang anak dalam keluarga dapat dibagi menjadi dua bagian: hak-hak

    sebelum kelahiran dan hak-hak setelah kelahiran. Berdasarkan hal ini, dalam

    pandangan Islam, kewajiban ayah dan ibu dimulai sejak anak belum lahir. Jika

    kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditunaikan oleh kedua orang tua, hal ini

    akan berdampak negatif bagi pendidikan dan perkembangan kejiwaan anak.

    (Amini, 2006)

    Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana

    mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Israa(17): 24)

    Dalam ayat di atas anak sejak kecil adalah makhluk yang lemah dan

    membutuhkan banyak bimbingan dari kedua orang tua.

    Allah menjadikan seorang anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah,

    baik fisik, mental, maupun akalnya. Ia belum dapat berbuat apapun, selain

    menangis. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian lemah seorang anak

    tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Karena itu, anak-anak sangat

    mendambakan perlindungan dari orang tua. (Joban, 2014)

    Selain perlindungan fisik, anak-anak juga membutuhkan bimbingan

    mental. Pada umumnya orang tua mengira bahwa pada permulaan

    kehadirannya di dunia ini anak-anak belum memerlukan bimbingan mental.

  • 42

    Anggapan semacam ini tidaklah benar. Sebab anak-anak pada masa bayi

    sudah memerlukan bimbingan mental, seperti cara mengasihi, cara memahami

    orang lain, dan lain-lain. (Joban, 2014)

    Orang tua telah melakukan tarbiyah kepada anak-anaknya semasa

    kecilnya. Tarbiyah ialah usaha memperhatikan, melindungi, memenuhi

    kebutuhan makan dan minum, membimbing pertumbuhan mental, dan

    mengajarkan akhlak yang baik. (Joban, 2014)

    Ketika anak hadir ke dunia ini, ia begitu lembut. Ia memiliki akal,

    namun belum dapat berpikir. Ia melihat dengan matanya, namun belum

    mampu mengenali objek yang terdapat di sekitarnya. Ia tak memiliki

    kemampuan untuk mengenali warna dan rupa. Ia juga belum mengetahui

    jarak. Ia mendengar suara, namun belum mampu memahaminya. Demikian

    pula dengan inderanya yang lain. Namun demikian, anak memiliki

    kemampuan untuk menggunakan indera-inderanya itu, melalui kejadian yang

    dialaminya. (Amini, 2006)

    Sikap yang benar sebagai orang tua ketika mendapatkan rizki berupa

    anak, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut tuntunan Allah dan Rasul-

    Nya dalam QS. Huud (11) ayat 69:

    Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan:

    "Selamat". Ibrahim menjawab: "Selamatlah," maka tidak lama kemudian

    Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.(QS. Huud(11): 69)

  • 43

    Ayat ini menjelaskan ketika Nabi Ibrahim diberi kabar oleh malaikat

    bahwa Allah akan mengaruniani seorang putra, Ibrahim menyatakan

    kegembiraan dengan ucapan selamat sejahtera. Sikap seperti ini mendidik

    orang tua untuk bersikap penuh kegembiraan dan syukur bila dikaruniani

    Allah seorang putra atau putri. (Thalib, 1995)

    Dan Allah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak

    mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan

    hati agar kamu bersukur. (QS. An-Nahl(16): 78)

    Dalam ayat ini menunjukkan bahwa seorang anak pada awalnya tidak

    memiliki pengetahuan apapun. Seorang ibu akan memberikan pengajaran dan

    pendidikan untuk anak kedepannya. Allah SWT yang memberikan anak-anak

    penglihatan, pendengaran, dan hati yang bertujuan agar manusia selalu

    bersyukur dengan anugerah yang telah diberikan.

    Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitrah merupakan makhluk

    sosial. Ia memerlukan pertolongan dan dukungan orang lain untuk hidup. Ia

    akan memfokuskan perhatiannya pada orang lain. Ia akan mengambil manfaat

    dari mereka, dan sebaliknya, akan memberikan manfaat pada mereka. Namun,

    selama beberapa bulan sejak kelahirannya, bayi belum mengenal siapa-siapa,

    dan belum mampu memberikan perhatian pada mereka. Setelah mencapai usia

    empat bulan, fitrah sosialnya mulai terlihat dalam aksinya. (Amini, 2006)

  • 44

    Baik buruknya anak tidak terlepas dari didikan dan asuhan orang tua.

    Mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak merupakan salah satu dari

    sekian banyak kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebaliknya, anak harus

    patuh dan menghormati orang tua. Keberhasilan mendidik anak sangat

    tergantung bagaimana orang tua memperlakukan anak. Apabila orang tua

    terlalu keras akan berdampak buruk terhadap anak. Sebaliknya, para orang tua

    yang hangat, yang menggunakan penjelasan dan tidak mengandalkan

    hukuman keras dalam mendisiplinkan anak cenderung menumbuhkan rasa

    empati dalam diri anak-anak mereka. (Pamilu, 2007)

    Pendidikan tidak hanya milik anak-anak saja. Orang tua pun juga

    memerlukan pendidikan dan pengajaran. Demi mencapai sukses anak-

    anaknya, orang tua perlu membekali diri dengan ilmu yang menunjang

    perannya dalam mendidik anak. Tanpa bekal yang memadai, mustahil ia dapat

    memainkan perannya dengan baik. Satu hal yang perlu diingat bahwa bekal

    yang terkait dengan pendidikan anak adalah bersifat wajib. (Pamilu, 2007)

    (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan

    (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat

    kebajikan.(QS.Ali-Imran(3): 134)

    Cara yang baik menurut ayat di atas dalam mendidik anak yaitu dengan

    cara tidak mudah marah dan gemar memaafkan kekeliruan anak-anaknya.

    Selain itu, dalam bergaul dengan anak-anak ayah dan ibu hendaknya

  • 45

    memberikan kasih sayang. Karena sikap kasih sayang akan menumbuhkan

    kecintaan pada diri anak-anak terhadap kedua orang tua. (Thalib, 1995)

    Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki kedudukan mulia. Allah

    swt dan Rasulullah saw telah memperingatkan hal ini. Terdapat banyak ayat

    yang terkait dengannya, yang mana kelakuan baik anak terhadap orang tuanya

    dianggap sebagai salah satu doa terbaik.

    Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah

    selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-

    baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai

    berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu

    mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamumembentak

    mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.Al-

    Isra(17): 23)

    Menurut ayat di atas ini menjelaskan kedudukan seorang ayah dan ibu

    Kedudukan mereka disebut mulia karena di dalam Al-Quran pun disebutkan

    perkataan ah itu dilarang. Perkataan yang hanya sedikit itupun dibenci oleh

    Allah SWT. Karena itu sebagai anak tidak diperbolehkan melawan orang tua

    dan selalu menuruti perkataan baik orang tua.

    Orang tua sebaiknya membentuk anak-anak mereka sedemikian rupa

    sehingga mereka berhasil di dunia dan akhirat. Hanya orang-orang seperti

    itulah yang diberkahi dengan kedudukan mulia orang tua. Bukan mereka yang

    melahirkan anak kemudian membiarkannya menjaga dirinya sendiri dan

    membawanya ke jurang kejahatan. Anak adalah individu sosial yang lemah.

    Tanpa pertolongan orang lain, ia tak akan dapat hidup dan memperoleh

  • 46

    makan. Bila orang lain tak membantunya dan tak memenuhi kebutuhannya, ia

    akan mati. Orang-orang yang merawat bayi juga bertanggung jawab atas

    pendidikannya, termasuk pendidikan moral dan agama. (Amini, 2006)

    Seorang ibu pada umumnya mengemban tanggung jawab lebih besar

    dalam mengasuh anak. Anak-anak umumnya menghabiskan sebagian besar

    waktu kanak-kanak mereka berasama ibu. Fondasi dari arah masa depan

    mereka terletak di sana. Oleh karena itu, kunci dari sikap buruk atau baik

    seseorang, dan kemajuan ataupun kemunduran masyarakat, terletak pada ibu.

    Kedudukan kaumwanita sebagai seorang ibu, kaum ibu semestinya adalah

    penghasil manusia-manusia sempurna. (Amini, 2006)

    Seorang ibu dipandang sebagai teladan, maka ia harus selalu berkata

    benar dalam setiap perkataannya baik terhadap anak dan suaminya dan orang

    lain dari kalangan keluarga, atau siapapun dari anggota masyarakat lainnya.

    (Shabir, 2001)

    Pembicaraan Al-Quran yang terkait dengan anak sangat banyak,

    yangkesemuanya menekankan pentingnya rasa cinta dan kasih sayang.

    Tentang makna kehadiran anak-anak dalam sebuah rumah tangga menurut

    perspektif Al-Quran bisa disimpulkan bahwa: kehadiran anak merupakan

    karunia serta nikmat dari Allah SWT yang harus disyukuri, seperti firman

    Allah: (Amini, 2006)

    Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan

    Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. .(QS.Al-Isra(17):6)

  • 47

    Dari ayat di atas disebutkan bahwa tujuan dari mempunyai keturunan

    adalah agar dapat memperbanyak populasi manusia di bumi ini. Digambarkan

    anak-anak disejajarkan dengan harta kekayaan. Yang dimaksudkan bahwa

    anak-anak yang lahir di bumi sama dengan karunia serta nikmat dari Allah

    SWT yang wajib disyukuri. (Amini, 2006)

    Kedudukan anak tidak hanya itu saja, anak juga bisa menjadi musuh,

    cobaan atau pun fitnah. (Amini, 2006)

    (

    )

    ( ) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu

    terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta

    mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagiMaha

    Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan

    (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS.-At-Taghaabun(64): 14-15)

    Menurut ayat diatas, seorang anak bisa menjadi musuh. Tergantung

    bagaimana cara orang tua mendidik anak. Kasih sayang orang tua dan cara

    mendidik yang halus dan islami agar kelak anak menjadi penerus orang tua

    dan tidak melawan kehendak orang tua. (Amini, 2006)

    Keluarga merupakan pilar pendidikan seorang anak. Keluarga yang

    harmonis ditandai dengan tidak ada kekerasan di dalamnya. Menghargai

    keberadaan anak dan kedudukan masing-masing peran keluarga. Cinta

    merupakan alat yang mendasari tingkah laku antar keluarga. Dengan landasan

  • 48

    seperti ini maka kelak tidak akan terbentuk istilah kekerasan dalam keluarga.

    Ayah menentukan keharmonisan antara keluarga sedang ibu menentukan

    keharmonisan antara dirinya dengan anak. Karena ibu meluang kan waktu

    lebih banyak dibandingkan seorang ayah. Telah disebutkan bahwa sudah

    keharusan menjaga perhiasan dunia anak yang telah dikaruniakan oleh

    Allah SWT.

    3.2. Pandangan Islam Tentang Trauma Pada Anak

    Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan

    atau melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat

    kejadian itu hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat

    juga bersifat psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan

    sehingga dapat menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa dan lain-lain. (Kartono,

    1989)

    Para pakar psikologi anak menilai bahwa anak pada tahun pertama boleh

    jadi memperlihatkan ketakutannya terhadap suara yang mengagetkannya, atau

    jatuhnya sesuatu secara tiba-tiba, atau semacamnya. Sang anak juga takut

    terhadap orang asing sejak usia enam bulan kurang lebih. Adapun anak usia

    tiga tahun, biasanya takut terhadap berbagai hewan, kendaraan, jalan curam,

    air dan semacamnya. (Al-Juhany, 2013)

    Otak anak rentan terhadap trauma, baik terhadap ucapan yang keras

    maupun tindakan yang menyakitkan, susunan otak terbentuk dari pengalaman.

    Jika pengalaman anak takut dan stres, respon otak dapat mengganggu

  • 49

    perkembangan psikis, mental, dan kecerdasan anak. Untuk itu, orang tua harus

    menghindari untuk memarahi atau memukul anak agar tidak terjadi trauma,

    baik dalam tindakan langsung maupun terhadap orang lain. (Kasdu, 2004)

    Secara umum, anak perempuan lebih menampakkan ketakutan daripada

    anak laki-laki. Tingkat ketakutan biasanya berkaitan dengan tingkat

    fantasinya. Semakin banyak fantasinya, semakin tinggi rasa takutnya.

    Bertambahnya rasa takut terhadap anak memiliki beberapa sebab, di

    antaranya: (Al-Juhany, 2013)

    1. Sang ibu yang suka menakut-nakuti sang anak, misalnya dengan hantu,

    burung hantu, polisi, kegelapan, ifrit, atau makhluk halus, dst.

    2. Sang anak yang terlalu manja dan terlalu khawatir serta sensitif.

    3. Anak dididik untuk mengisolir diri, pemalu, dan berlindung di balik

    tembok rumah.

    4. Sering mengisahkan cerita-cerita yang berkaitan dengan jin, ifrit, dan

    sebab-sebab lainnya.

    5. Boleh jadi sang anak memperlihatkan kesiapan yang besar untuk

    menangkap ketakutan kedua orang tuanya berdasarkan pengetahuan

    atau pemandangan langsung. Ketakutan seperti ini dikenal memiliki

    daya tahan lebih lama.

    Ulama telah membagi rasa takut menjadi beberapa bagian. Takut sirri

    (takut terhadap sesuatu yang gaib), takut yang haram, takut thobiI, takut

    wahm (khayalan). Takut sirri seperti takut kepada Allah yang mendatangkan

    ketaqwaan dan ketaatan, selain itu juga terdapat takut kepada selain Allah

  • 50

    merupakan ketakutan yang merupakan kesyirikan seperti kepercayaan pada

    berhala. Takut yang haram merupakan takut selain Allah yang bukan ibadah

    sehingga ia melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban. Takut

    ThobiI merupakan takut kepada hal-hal yang dapat membahayakan diri

    seperti binatang buas. Takut wahm merupakan takut kepada hal-hal yang tidak

    jelas seperti hantu. (Rumman, 2009)

    Untuk mengatasi gejala ketakutan di kalangan anak-anak dapat diatasi

    oleh kedua orang tua dengan memperhatikan beberapa faktor, di antaranya:

    (Al-Juhany, 2013)

    1. Mendidik anak sejak dini untuk beriman kepada Allah SWT dan

    beribadah kepada-Nya serta berlindung kepada-Nya dari setiap yang

    menakutkan.

    2. Memberinya kebebasan beraktifitas, memikul tanggul jawab dan

    melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan usianya.

    3. Tidak menakut-nakutinya, khususnya saat menangis, dengan burung

    hantu, atau landak, atau orang jahat, atau jin dan ifrit, dan sebagainya.

    Hal tersebut masuk pada keumuman kebaikan yang dinyatakan dalam

    hadis

    "Seorang mukmin yang kuat dan baik, lebih Allah cintai dari seorang

    mukmin yang lemah." (HR. Muslim)

    Dalam hadis ini menjelaskan bahwa Allah SWT mencintai mukmin yang

    kuat baik iman maupun psikologinya. Perasaan ketakutan merupakan

  • 51

    kelemahan dari jiwa seseorang maka sebagai manusia yang selalu ingin

    dicintai Allah SWT. Manusia diharuskan untuk selalu kuat dalam menerima

    cobaan. (Al-Juhany, 2013)

    Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy),

    karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku,

    jika kamu benar-benar orang yang beriman.(QS. Ali-Imran(3): 175).

    Dalam ayat ini menjelaskan bahwa ketakutan kepada selain Allah tidak

    akan meningkatkan iman seseorang. Ketakutan seseorang pada hal lain akan

    mendatangkan kesyirikan jika itu berhubungan dengan kepercayaan.

    (Rumman, 2009).

    Di antara yang dianjurkan para pakar kejiwaan dan pendidikan adalah

    memberikan kesempatan kepada anak untuk mengenal ketakutannya. Jika dia

    takut kegelapan, maka tidak mengapa mengajak bercanda sang anak dengan

    mematikan lampu lalu menyalakannya lagi. Jika dia takut air, maka tidak

    mengapa membiarkannya bermain di air yang sedikit pada sebuah wadah

    kecil, begitu seterusnya. (Al-Juhany, 2013)

    Jika ketakutan pada anak berbentuk kegamangan jiwa, maka biasanya

    sebabnya kembali kepada sejumlah faktor yang berkaitan satu sama lain.

    Ajaran Nabi mengatasi hal semacam ini dengan hati-hati. Di antaranya faktor-

    faktor penyebab tersebut adalah: (Al-Juhany, 2013)

  • 52

    Membebani sang anak apa yang tidak mampu dia pikul. Dalam hal ini,

    Rasulullah sallahualaihi wa sallam berbsabda,

    "Siapa yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak mengenal hak orang

    tua, maka dia bukan golongan kami." (HR. Al-Bukhari)

    Hadis diatas melarang orang tua untuk membebankan tugas secara

    berlebihan kepada seorang anak diluar batas kemampuannya. Orang tua tidak

    diperbolehkan untuk membuat anak merasa tertekan karena keinginan atau

    keputusan sebagai orang tua. Berlebihan dalam memberikan hukuman fisik

    serta kasar dalam memperlakukannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

    bersabda (Al-Juhany, 2013)

    "Siapa yang terhalang berbuat lembut, dia akan terhalang dari seluruh

    kebaikan." (HR. Muslim)

    Dalam hadis ini menjelaskan ketika memang harus memberikan

    hukuman dalam bentuk fisik. Orang tua seharusnya dapat mengukur berat atau

    rasa sakit yang ditimbulkan dari hukuman tersebut. Sebagai sesama umat

    muslim diharuskan selalu berbuat baik dan lembut kepada sesama. (Al-

    Juhany, 2013)

    Metode pendidikan anak yang keras seperti bentakan dan pemukulan

    sebagai sanksi ketika anak melakukan perbuatan yang tidak wajar, bisa

  • 53

    menghilangkan rasa percaya diri atau menimbulkan rasa takut pada si anak.

    Walaupun perilaku anak membuat orang tua marah dan kehilangan kesabaran,

    tetaplah untuk mengeluarkan kata-kata atau umpatan yang baik sebagai doa

    kepada si anak. Memang diperbolehkan untuk memukul anak ketika anak

    tidak mengerjakan sholat di usia 10 tahun, tapi perlu diingat bahwa pukulan

    tersebut tidak menyakitkan (di ambil bagian-bagian yang tidak menyebabkan

    rasa sakit seperti bokong), itupun masih ada aturan-aturan besar alat pukul

    yang digunakan dan kerasnya pukulan yang diperbolehkan. (Wisudanti, 2013)

    Kondisi kehidupan yang sulit sehingga mendorong kedua orang tua

    menumpahkan kekesalannya terhadap anak-anak mereka, seperti hubungan

    rumah tangga yang tidak harmonis, atau ibu yang bekerja, atau tidak puas

    terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda,

    "Bukanlah orang yang kuat adalah dia yang menang gulat, akan tetapi

    orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika

    marah." (HR. Bukhari)

    Hadis ini menggambarkan bahwa kekerasan bukanlah pintu akhir dari

    masalah. Anak bukanlah menjadi pereda amarah bagi orang tua. Pengendalian

    dirilah yang menunjukan seseorang mempunyai kekuatan yang kuat sebagai

    seorang mukmin. (Al-Juhany, 2013)

    Orang tua merupakan salah satu sumber pendidikan terbesar oleh

    seorang anak. Untuk mengatasi kenakalan anak atau memberikan hukuman

  • 54

    pada anak lebih baik diberikan dengan suatu teguran halus atau mendidik.

    Hukuman fisik hanya membuat seorang anak takut terhadap orang tuanya.

    Orang tua sebaiknya tidak menakuti anak secara berlebihan karena itu akan

    membekas membuatnya teringat selalu.

    3.3. Pandangan Islam Tentang Terapi Perilaku dan Kognitif

    Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang

    berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan

    perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang

    psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan

    prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. Tujuan

    psikologi ini didasarkan pada. (Vahab, 1996)

    Hai manusia, susungguhnya telah datang kepada mu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan

    petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman. (QS. Yunus(10): 57).

    Menurut ayat diatas bahwa penyakit jiwa atau penyakit hati dapat

    disembuhkan. Allah SWT telah memberikan petunjuknya agar manusia selalu

    berusaha untuk menyembuhkan penyakit hati yang terdapat dalam

    dirinya.(Vahab, 1996)

  • 55

    aspek terapi terhadap gangguan jiwa juga terdapat di dalam (Ancok,

    1994)

    Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagiorang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang- orang yang zalim selain kerugian.(QS. Al-Isra(17): 82)

    Menurut ayat di atas menjelasan bahwa Al-Quran salah satu obat hati

    yang dapat membantu melupakan trauma yang pernah terjadi. Bagi mukmin

    dengan membaca Al-Quran maka hati dapat menjadi lebih tenang.

    Menurut Dadang Hawari dalam bukunya manajemen stres, cemas, dan

    depresi. Psikoterapi dibagi menjadi delapan yaitu: (Hawari, 2001)

    1. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan motivasi semangat,

    dan dorongan agar klien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dengan

    diberi keyakinan serta kepercayaan diri sehingga ia mampu mengatasi

    stresor psikosial yang sedang dihadapinya.

    2. Psikoterapi re-edukatif dimaksudkan dengan memberikan pendidikan ulang

    dan koreksi bila dinilai tidak mampu mengatasi stres, kecemasan, dan

    depresi yang disebabkan faktor psiko-edukatif masa lalu dalam periode

    anak-anak dan remaja. Diharapkan dengan terapi ini dapat mengatasi

    stresor psikosial yang dihadapinya.

    3. Psikoterapi Rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki

    kembali/rekonstruksi kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat

    stresor psikososial yang tidak mampu diatasi oleh klien yang bersangkutan.

  • 56

    4. Psikoterapi Kognitif dimaksudkan untuk memulihkan fungsi kognitif klien,

    yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi, dan daya

    ingat. Selain daripada itu yang bersangkutan mampu membedakan nilai-

    nilai moral etika mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak,

    dan mana yang haram dan halal.

    5. Psikoterapi Psikodinamik dimaksudkan untuk menganalisa dan

    menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa

    seseorang itu tidak mampu mengatasi stresor psikososial sehingga ia jatuh

    sakit (stres, cemas, dan atau depresi). Dengan mengetahui dinamika

    psikologis itu diharapkan yang bersangkutan mampu mencari jalan

    keluarnya.

    6. Psikoterapi Perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku

    yang maladaptif (ketidakmampuan beradaptasi) akibat stresor psikososial

    yang dideritanya. Dari terapi ini diharapkan klien yang bersangkutan dapat

    beradaptasi dengan kondisi yang baru sehingga bisa berfungsi kembali

    secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah,

    kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosialnya yang lain.

    7. Psikoterapi Keluarga pada seseorang dalam keadaan stres, kekecewaan,

    atau depresi yang disebabkan oleh stresor psikososial faktor keluarga.

    Dengan terapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan

    kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan

    faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung bagi pemulihan

    klien yang bersangkutan. Dengan demikian pada terapi ini tidak hanya

  • 57

    ditujukan kepada klien yang bersangkutan saja, tetapi juga terhadap

    anggota keluarga lainnya.

    8. Psikoanalisa adalah sejenis psikoterapi yang mencari sebab seseorang jatuh

    sakit. Berbeda dengan psikoterapi konvensional maka psikoanalisa

    menganalisa sampai jauh akar permasalahan.

    Psikoterapi dalam Islam dapat menyembuhkan semua aspek

    psikopatologi, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Psikoterapi hati

    itu ada lima macam berdasarkan ungkapan dari Ali bin Abi Thalib :(Mujib,

    2002).

    1. Membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya. Al-Quran

    dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama. Menurut al-Faidh al-

    Kasyani dalam Tafsirnya mengemukakan bahwa lafal-lafal al-Quran dapat

    menyembuhkan penyakit badan sedangkan maknanya dapat

    menyembuhkan penyakit jiwa. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah bacaan

    Al-Quran mengobati penyakit jiwa dan badan manusia.

    2. Melakukan shalat malam memiliki banyak hikmah. Allah SWT

    menjanjikan surga bagi yang melakukannya. Jiwanya selalu hidup dan

    mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman. Shalat juga merupakan terapi

    psikis yang bersifat kuratif, perventif dan konstruktif. Shalat membina

    seseorang untuk melatih konsentrasi yang integral dan komprehensif. Hal

    itu tergambar dalam niat dan khusyu. Shalat dapat menjaga kesehatan

    potensi-potensi psikis manusia, seperti potensi kalbu untuk merasa (emosi),

  • 58

    potensi akal untuk berpikir (kognisi), dan potensi syahwat (appetite) dan

    ghadab (defense) untuk berkarsa (konasi).

    3. Bergaul dengan orang yang baik atau salih. Orang yang salih adalah orang

    yang mampu mengintegrasikan dir