dasdsa
-
Upload
arief-rachman -
Category
Documents
-
view
235 -
download
8
description
Transcript of dasdsa
-
TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA
ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
(PTSD) DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM
Disusun Oleh:
ARIEF RACHMAN
NPM: 110.2011.044
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Mencapai Gelar Dokter Muslim
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Jakarta
Maret 2015
-
ii
ABSTRAK
TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK
DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)
DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM
Kejadian traumatis pada anak merupakan kejadian tidak terduga dan dianggap membahayakan.
Untuk menangani trauma ini, maka diperlukan Cognitive Behavior Therapy (CBT) yaitu terapi
yang mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan
lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur dasar
untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku. Tujuan umum penyusunan skripsi ini adalah
untuk memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan
stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama Islam.
Berdasarkan hasil pustaka Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah
pendekatan terapi berbasis bukti yang diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga
pendamping mereka untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini
bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak yang mengalami
kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, dan kejadian trauma lainnya.
Dalam pandangan Islam terapi perilaku kognitif merupakan komponen psikoterapi yang bertujuan
untuk mengembalikan fungsi berpikir dan cara bertindak seorang anak. Psikoterapi yang
digunakan dalam Agama Islam adalah membaca Al-Quran, shalat malam, dan ibadah lainnya.
Yang diperuntukan untuk mencapai ketenangan jiwa sang anak dalam menghadapi stres pasca
trauma.
Kedokteran dan Islam sependapat, bahwa terapi perilaku kognitif merupakan psikoterapi yang
bertujuan untuk merubah cara bertindak dan pola pikir pada anak yang mengalami trauma.
Disarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih
banyak dan kepada pemerintah untuk dapat menyediakan fasilitas untuk terapi kognitif dan
perilaku. Kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam agar masyarakat mengerti
penanganan pada anak dengan stres pasca trauma.
-
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah kami setujui untuk dipertahankan di hadapan komisi
penguji skripsi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Jakarta, Maret 2015
Pembimbing Medik Pembimbing Agama
(Dr. H. Nasruddin, Noor, SpKJ) (Dra. Siti Marhamah, M.Ag)
-
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilaalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT karena atas berkat, rahmat, serta karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Serta tak lupa shalawat dan salam penulis panjatkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam beserta keluarga dan para
pengikutnya.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Dokter Muslim pada Fakultas Kedokteran Universitas
YARSI. Pada kesempatan ini penulis memilih judul Keberhasilan Penggunaan
Plasmapheresis Untuk Terapi Penderita Krisis Tiroid Ditinjau dari Kedokteran
dan Islam.
Dengan ini penulis ingin menyampai ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. DR. dr. H. Artha Budi Susila Duarsa, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas YARSI.
2. Dr. Elita Donanti, M.Biomed selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI.
3. Dr. H. Nasruddin, Noor, SpK selaku dosen Pembimbing Medis yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi
medis, sehingga skripsi ini tersusun baik.
-
v
4. Dra. Siti Marhamah, M.Ag selaku dosen Pembimbing Agama yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi
agama sehingga skripsi ini selesai.
5. Kepala dan Staf Perpustakaan Universitas YARSI yang telah bersedia dan
mengizinkan penulis untuk menggunakan ruang referensi serta meminjam
buku-bukunya untuk pembuatan skripsi ini.
6. Ayahanda (Edi Yunus) dan Ibunda (Aryani) tercinta yang telah memberikan
dukungan baik moral maupun materil, kasih sayang, semangat, nasihat dan doa
tiada henti yang selalu mengiringi tiap langkah penulis sehingga skripsi ini
dapat selesai.
7. Kakak (Anne Saffanete) yang telah memberikan nasihat, semangat,
dukungan, dan juga turut membantu dan mengarahkan penulis dalam bidang
agama dan lainnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga
keluarga lainnya yang turut memberikan semangat dan dukungan kepada
penulis.
8. Joko, Deza, Dewi, Caesaredo, M.Arief, Erni, dan Intan sebagai sahabat
yang dapat diandalkan, membantu dalam pelajaran dan selalu membangkitkan
semangat dari awal perkuliahan sampai sekarang.
9. Dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
mendukung saya selama ini.
-
vi
Penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dan berterima kasih apabila
terdapat saran dan kritikan yang membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan
mahasiswa, serta masyarakat lain pada umumnya. Amien.
Jakarta, Maret 2015
Penulis
-
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
ABSTRAK.................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN................................................................... iii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iv
DAFTAR ISI..................................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah.................................................................... 4
1.3. Tujuan......................................................................................... 4
I.3.1. Tujuan Umum................................................................. 4
I.3.2. Tujuan Khusus................................................................ 5
I.4. Manfaat....................................................................................... 5
BAB II. TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF
PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRES
DISORDER (PTSD)..................................................................
2.1. Post Traumatic Stress Disorder................................................... 7
2.1.1. Definisi........................................................................... 7
2.1.2. Epidemiologi.................................................................. 10
2.1.3. Etiologi........................................................................... 10
2.1.3.1. Aspek Biologik............................................................... 11
2.1.3.2. Aspek Psikodinamik...................................................... 13
2.1.4. Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder.................... 15
2.1.5. Gambaran Klinis Post Traumatic Stress Disorder......... 17
7
-
viii
2.2. Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic
Stress Disorder........................................................................... 23
2.2.1. Cognitive Behavior Therapy.......................................... 23
2.2.2. Komponen Cognitive Behavior Therapy... 25
2.2.3. Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior
Therapy.. 36
2.2.4. Hasil Penelitian.............................................................. 37
BAB III. TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF
PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS
DISORDER (PTSD) DITINJAU DARI AGAMA
ISLAM........................................................................................
3.1. Pandangan Islam Tentang Anak dan Keluarga.......................... 40
3.2. Pandangan Islam Tentang Trauma Pada Anak.......... 48
3.3. Pandangan Islam Tentang Terapi Perilaku dan Kognitif... 59
BAB IV. KAITAN PANDANGAN ANTARA KEDOKTERAN DAN
ISLAM TENTANG TERAPI BERFOKUS PERILAKU
KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC
STRESS DISORDER (PTSD)...................................................
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN..................................................... 63
5.1. Simpulan.................................................................................... 63
5.2. Saran.......................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 66
40
61
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kejadian traumatis pada anak merupakan kejadian yang tiba-tiba, tidak
terduga, dan dianggap membahayakan. Kejadian ini dapat mengakibatkan
ancaman maupun bahaya fisik yang nyata, yang menyebabkan rasa takut yang
sangat. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan anak untuk mengatasi stres
akibat trauma. (Bassuk et al, 2005)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622
laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.
Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik,
kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap
anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis
sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat
tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan
jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap
anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking
(perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak
160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan
pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)
Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika
mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi
-
2
hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam,
penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh,
kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri
dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh
penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita
tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi,
kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang
buruk). (Kaplan dkk, 2010)
Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis
yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa
seperti penyiksaan anak dan kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu
bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman
kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal. (Albano, 2006)
American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan childhood abuse
merupakan pola interaksi berulang yang mengganggu anak antar orang tua
atau dengan orang dewasa lainnya dan anak menjadi terbiasa dengan keadaan
hubungan seperti tersebut. Selain kekerasan fisik, seksual dan verbal, ini dapat
mencakup apa saja yang menyebabkan anak merasa tidak berharga, tidak
dicintai, tidak aman , dan bahkan perasaan terancam. Contohnya antara lain
meremehkan, merendahkan atau mengejek anak, membuat dia merasa tidak
-
3
aman (termasuk ancaman ditinggalkan), kegagalan untuk mengekspresikan
kasih sayang, kepedulian dan cinta, mengabaikan kesehatan mental, medis
atau kebutuhan pendidikan. (Murray, 2008)
Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan
gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan.
Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur
dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku. (Gunarsa, 2000)
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang
diberikan kepada orang tuanya. Sebagai amanat anak sudah seharusnya
mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan
pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak
akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori,
2007)
Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan atau
melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat kejadian itu
hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat juga bersifat
psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan sehingga dapat
menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa, dan lain-lain. (Kartono, 1989)
Allah menjadikan anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik,
mental, maupun akalnya, seperti yang terdapat dalam surat Al-Israa(17) ayat
24. Ia belum dapat berbuat apapun, selain menangis. Sudah tentu dalam
kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya
-
4
sendiri. Karena itu, anak-anak kecil sangat mendambakan perlindungan dari
orang tua. (Joban, 2014)
Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang
berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan
perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang
psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan
prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. (Mujib,
2002)
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut dalam penulisan skripsi berjudul Terapi Berfokus Pada Perilaku
Kognitif Pada Anak Dengan Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) Ditinjau
Dari Kedokteran Dan Islam.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran klinis anak yang mengalami gangguan stres pasca
trauma?
2. Bagaimana metode terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres
pasca trauma?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap terapi perilaku kognitif pada anak?
1.3. Tujuan
1.3.1 Umum
Memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan
gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama
Islam
-
5
1.3.2 Khusus
1. Mengetahui dan dapat menjelaskan gambaran klinis anak yang mengalamii
gangguan stres pasca trauma.
2. Mengetahui dan dapat menjelaskan metode terapi perilaku kognitif pada anak
dengan gangguan stres pasca trauma.
3. Mengetahui dan dapat menjelaskan pandangan kedokteran dan islam terhadap
terapi perilaku kognitif pada anak.
1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Diharapkan penulis dari skripsi ini dapat bertambahnya pengetahuan
tentang terapi perilaku kognitif yang ditujukan pada anak dengan gangguan
stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Islam, serta
bertambahnya pengalaman dalam cara membuat karya ilmiah yang baik
dan benar.
1.4.2. Bagi Universitas YARSI
Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada Civitas
Akademika Universitas YARSI mengenai pengaruh terapi perilaku kognitif
pada anak dengan gangguan stres pasca trauma dtinjau dari kedokteran dan
Islam serta menambah koleksi referensi ilmiah bagi perpustakaan
Universitas YARSI.
-
6
1.4.3. Bagi Masyarakat
Memberi pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat dalam
menangani anak dengan gangguan stres pasca trauma dengan menggunakan
terapi berfokus perilaku kognitif menurut kedokteran dan Islam.
-
7
BAB II
TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK
DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)
2.1. Post Traumatic Stress Disorder
2.1.1. Definisi
Trauma psikis merupakan pengalaman yang membingungkan secara
psikologis yang mengakibatkan gangguan emosi atau mental, atau jika tidak,
telah meninggalkan pengaruh negatif pada pikiran, perasaan, atau perilaku
seseorang. (Dorland, 2010)
Trauma psikis adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan,
meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. (Noor,
1997)
Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika
mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi
hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam,
penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh,
kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri
dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh
penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita
tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi,
-
8
kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang
buruk). (Kaplan, 2010)
Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara
tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak
kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang
tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi
terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap
orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi
pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang
trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya
seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa
kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu untuk
mengatasinya. (National Institute of Mental Health, 2008)
PTSD, atau gangguan stres pasca trauma, merupakan gangguan kecemasan
yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa traumatis
berat. Ketika dalam keadaan bahaya, merupakan hal yang wajar untuk merasa
ketakutan. Ketakutan ini memicu perubahan yang cepat dalam tubuh untuk
mempertahankan tubuh melawan bahaya ataupun menghindarinya. Respon Ini
disebut fight-or-flight yang berguna untuk melindungi diri dari bahaya.
Tetapi, dalam PTSD reaksi ini berubah atau terganggu. Orang dengan PTSD
merasa stres ataupun ketakutan meskipun mereka sudah tidak lagi dalam
bahaya. (National Institute of Mental Health, 2008)
-
9
Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis
yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa-peristiwa
seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa
mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman
kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano, 2006)
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan stres pasca trauma diperkirakan dari 1
sampai 3 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15
persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara
kelompok risiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa
traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang dari 5 sampai 75 persen.
Kira-kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stres pasca trauma,
dan tambahan 25 persen mengalami bentuk gangguan subklinis. (Kaplan et al,
2010)
Walaupun gangguan stres pasca traumatik dapat tampak pada setiap usia,
gangguan ini paling menonjol pada usia muda, karena sifat situasi yang
mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres pasca
trauma. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan, dan trauma
untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan, Gangguan
kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomis, atau menarik diri secara sosial. (Kaplan et al, 2010)
-
10
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622
laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.
Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik,
kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap
anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis
sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat
tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan
jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap
anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking
(perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak
160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan
pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)
2.1.3. Etiologi
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami
gangguan stres pasca trauma adalah : (Elvira, 2010)
A. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.
B. Adanya trauma masa kecil, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
C. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.
D. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial.
E. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
kesulitan menyesuaikan diri.
-
11
F. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
G. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi
atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. Tipe kejadian
yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stres pasca
trauma dapat dikategorikan menjadi :
a) Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal
b) Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam
nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh
manusia
c) Trauma berulang dan bersifat kronik
2.1.3.1. Aspek Biologik
Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari
respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh
karena aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan
timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh
peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak
dengan sendirinya akan menilai kondisi berbahaya yang dialami, serta
mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala
merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan
mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di
otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa
-
12
sebagai respons tubuh untuk mengahadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu
beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan
segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat
kepada : (Elvira, 2010)
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (poros HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah
mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah. Kondisi ini disebut flight or fight reaction. Reaksi ini
juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal
sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa
tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman
yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh,
namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons
yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Poros HPA juga akan terstimulasi
oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan
peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Corticotropin Releasing
Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar
hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran Adenocorticotropic
Hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol
dari kelenjar adrenal. (Elvira, 2010)
-
13
Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol, pengeluaran ke
dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu.
Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa
organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol
berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa
sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon
kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam
menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek
umpan balik negatif pada poros HPA tersebut. (Elvira, 2010)
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung
untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin
di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang
meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus
menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi
katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya
konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang
dialami. (Elvira, 2010)
2.1.3.2. Aspek Psikodinamik
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca
trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang
-
14
belum terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik
yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu
akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha
untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal
yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma
adalah: (Elvira, 2010)
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya.
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia (ketidak mampuan mengungkapkan emosi).
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten.
-
15
2.1.4. Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder
Berikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma
menurut DSM-IV yaitu: (Kaplan et al, 2010)
A. Seseorang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat:
1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau
kematian yang sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada
integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor. Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang
kacau atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)
cara berikut:
1. Kenangan penderitaan, berulang, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk bayangan, pikiran atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat
menunjukan permainan yang berulang bertuju dengan tema atau aspek
trauma.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-
anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
(termasuk perasaan yang menghidupkan kembali pengalaman trauma,
ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi
-
16
selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat
menghidupkan kembali yang spesifik dengan trauma.
4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian
traumatik.
5. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku
karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang
ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma.
2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan
kenanangan dengan trauma.
3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6. Rentang efek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki perasaan
cinta).
7. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap
memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal).
-
17
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut:
1. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3. Sulit berkonsentrasi.
4. Kewaspadaan yang berlebihan.
5. Respon kejut yang berlebihan.
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4) adalah lebih dari satu
bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan.
Kronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih.
Dengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stresor.
2.1.5. Gambaran Klinis Post Traumatic Stress Disorder
Ketika trauma terjadi maka akan memberikan respons secara total, baik
secara emosional, kognitif, perilaku, maupun psikologis. Di bawah ini
merupakan respon orang yang mengalami trauma. (Mendatu, 2010)
1. Respon emosional
A. Respon seseorang jika menghadapi traumatik yaitu seperti kesulitan
mengontrol emosi.
B. Lebih mudah tersinggung dan marah.
-
18
C. Gampang diagitasi dan mudah terpancing.
D. Mood mudah berubah, dari baik keburuk dan sebaliknya terjadi begitu
cepat.
E. Panik, cemas, gugup, dan tertekan.
F. Sedih, berduka, dan depresi.
G. Merasa ditolak dan diabaikan.
H. Takut dan khawatir terhadap efek kejadiannya, peristiwanya akan terjadi
lagi, akan menimpa orang-orang terdekatnya.
I. Memberikan respon emosional yang tidak sesuai.
2. Respon kognitif
A. Sering mengalami flashback, atau mengingat kembali kejadian
traumatiknya. Saat mengalaminya, seolah-olah kejadiannya dialami
kembali secara nyata.
B. Mimpi buruk.
C. Kesulitan berkomunikasi, mengambil keputusan, dan memecahkan
masalah.
D. Kesulitan mengingat dan memaksa melupakan kejadian.
E. Mudah bingung.
F. Menyalahkan diri sendiri atau orang lain.
G. Memandang diri sendiri secara negatif.
H. Merasa sendirian dan sepi.
I. Ingin menyembunyikan diri.
J. Berpikir untuk bunuh diri.
-
19
K. Merasa tanpa harapan, merasa kehilangan harapan akan masa depan.
L. Merasa lemah tak berdaya.
M. Kehilangan minat serta aktivitas yang bisa dilakukan.
N. Mengingat kembali kejadian traumatik setiap menemui hal-hal yang ada
kaitannya dengan trauma.
3. Respon perilaku
A. Kesulitan mengontrol tindakan.
B. Lebih banyak berkonflik dengan orang lain.
C. Menghindari kebiasaan lama.
D. Menghindari orang, tempat, atau sesuatu yang berhubungan dengan
peristiwa traumatik, dan enggan membicarakanya.
E. Melamun.
F. Kurang memperhatikan diri sendiri.
G. Kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari.
H. Sering menangis tiba-tiba.
I. Sulit belajar atau bekerja.
J. Mengalami ganguan tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, tidur sangat
larut dan bangun siang, tidur berlebihan.
K. Mengalami ganguan makan, yang diantaranya kehilangan selera makan.
L. Gampang terkejut.
4. Respon fisiologis atau fisik
A. Sakit kepala.
B. Nyeri.
-
20
C. Sakit dada atau dada sesak.
D. Sulit bernafas.
E. Sakit perut.
F. Berkeringat berlebihan.
G. Gemetar.
H. Lemah dan lesu.
I. Letih.
J. Otot tegang atau kulit dingin.
K. Hilang keseimbangan tubuh atau merasa berguncang.
5. Beberapa respon anak-anak masa sekolah dasar yang mengalami traumatik
A. Mimpi buruk.
B. Sulit tidur.
C. Rasa takut dan tidak beralasan.
D. Merasa sangat malu atau sangat bersalah.
E. Menolak masuk sekolah atau khawatir berangkat kesekolah.
F. Kesulitan memberikan perhatian atau konsentrasi.
G. Mengeluh sakit perut dan sakit lainnya padahal tidak ada masalah medis
apapun.
H. Cemas, melamun, kadang menanggis dan merasa bersalah.
Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Smith & Segal,
2008)
1. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (Re-Experiencing Symptoms)
-
21
A. Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak
menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut. Terulangnya
bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.
B. Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.
C. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan
terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback".
D. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa
traumatik tersebut.
E. Terjadi respon fisiologis, seperti jantung berdetak kencang atau
berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut.
2. Menghindar (Avoidance Symptoms)
A. Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan
mengenai peristiwa traumatik tersebut.
B. Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat
mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut.
C. Tidak ingin mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik.
D. Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting.
E. Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain.
F. Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti
kesenangan, kebahagiaan atau cinta, dan kasih sayang.
G. Ketakberdayaan atau ketumpulan emosional dan menarik diri.
-
22
H. Merasakan seakan-akan hidup seperti terputus ditengah-tengah. Tidak
mempunyai harapan untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal,
menikah dan memiliki karir.
I. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara
efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll)
3. Hyperarousal Symptoms
A. Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah.
B. Mudah atau lekas marah yang meledak-ledak.
C. Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi.
D. Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya
mengincar di setiap sudut.
E. Menjadi gelisah, tidak tenang, mudah terpicu atau sangat waspada.
F. Terlalu siaga atau waspada yang disertai ketergugahan atau keterbangkitan
secara kronis. Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, maka akan
mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan kepribadian). Seperti
paranoid (mudah curiga) misalnya. Kesulitan hal ini adalah jarang sekali
penderita dengan kesadaranya datang ke para ahli. Apalagi stigma yang
beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan orang sakit jiwa atau
gila.
-
23
2.2. Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic Stress
Disorder
2.2.1. Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan
gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan.
Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur
dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku, misal seperti:
pengamatan diri, kontrak dengan diri sendiri, dan artian lebih luas teknik ini
mengajarkan keterampilan kepada klien dalam menghadapi suasana yang
menimbulkan kegoncangan dikemudian hari. Terapi ini didasarkan pada teori
bahwa efek keadaan emosi, perasaan, dan tindakan seseorang, sebagian besar
ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya. Jadi
bagaimana seseorang berfikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya.
Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian kejadiaan di
dalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang,
berhubungan erat dengan isi pikiran, misalnya seorang menderita ansietas atau
ganguan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran yang kuat karena
mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam
hal seperti ini, perilaku kognitif dipergunakan untuk mengidentifikasi,
memperbaiki perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat,
yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan pendekatan
perilaku kognitif mengajarkan klien agar berpikir lebih realistik dan sesuai
-
24
sehingga dengan demikian akan mengilangkan atau mengurangi gejala
berkelainan yang ada. (Gunarsa, 2000).
Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah
pendekatan terapi berbasis bukti (evidence based treatment) yang
diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka
untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini
bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak
yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, trauma
kehilangan (keluarga meninggal), dan kejadian trauma lainnya. (Child Welfare
Information Gateway, 2006)
Terapi ini berbasis pembelajaran dan teori kognitif yang dialamatkan
kepada keyakinan menyimpang dan tabiat yang terkait dengan penyiksaan dan
menyediakan lingkungan yang bersifat membantu anak agar dapat berani
membicarakan kejadian traumatik yang dialaminya. TF-CBT juga membantu
orangtua untuk mengatasi tekanan emosialnya. Dan juga membantu
mengembangkan keterampilan anak. (Child Welfare Information Gateway,
2006)
-
25
2.2.2. Komponen Cognitive Behavior Therapy
Berikut adalah komponen dari Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy
(TF-CBT): (Child Welfare Information Gateway, 2006)
1. Cognitive Therapy
Bertujuan untuk merubah perilaku atau kebiasaan dengan cara mengatasi
persepsi pemikiran seseorang, khususnya pola pikir yang menyimpang.
2. Terapi Perilaku (Behavior Therapy)
Terapi ini berfokus merubah respon perilaku seseorang contohnya seperti
marah dan ketakutan untuk dapat mengidentifikasi situasi atau stimulus.
3. Family Therapy
Terapi ini mengidentifikasi pola interaksi antar keluarga untuk
mengidentifikasi dan mengatasi masalah.
TF-CBT merupakan terapi jangka pendek yang biasanya membutuhkan 12
sampai 18 sesi dengan jangka waktu 60 sampai 90 menit atau lebih,
tergantung dari kebutuhan. Biasanya intervensi ini membutuhkan rawat jalan
di fasilitas kesehatan, tetapi sekarang sudah menggunakan rumah sakit,
kelompok rumah, sekolah, komunitas, dan pengaturan di rumah. Terapi ini
membutuhkan sesi untuk anak dan orang tua (pendamping) secara terpisah dan
tergabung. Setiap sesi dibentuk untuk meningkatkan hubungan terapetik
sekaligus menyediakan edukasi, keterampilan dan lingkungan yang aman
untuk mengatasi dan memproses ingatan tentang trauma. Gabungan sesi orang
tua dan anak dibuat untuk menolong orang tua dan anak dalam menggunakan
keeterampilan yang mereka pelajari, sementara juga mendorong lebih efektif
-
26
komunikasi orang tua dan anak dalam mengatasi kekerasan dan masalah
terkait lainnya. (Child Welfare Information Gateway, 2006)
Komponen protokol TF-CBT dapat diringkas dengan kata "PPRACTICE"
yang terdiri dari psikoedukasi, pengasuhan (parenting), relaksasi, modulasi
afektif, coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres), narasi trauma serta
trauma processing, in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap
trauma), Conjoint Sessions (sesi gabungan), Enchancing Safety (meningkatkan
keselamatan). (Feldman, 2010)
Tabel 1. Komponen TF-CBT PPRACTICE
Sumber : Cohen (2010)
P: Psychoeducation (information about trauma and trauma reactions)
P: Parenting skills (behavior management skills)
R: Relaxation skills (managing physiologic reactions to trauma)
A: Affective modulation skills (managing affective responses to trauma)
C: Cognitive coping skills (connections between thoughts, feelings, behaviors)
T: Trauma narrative and processing (correcting cognitive distortions related to trauma)
I: In vivo mastery of trauma reminders (overcoming generalized fear related to trauma)
C: Conjoint child-parent sessions (variety of joint child-parent activities)
E: Enchancing safety and future development (safety planning for future)
-
27
Penilaian secara umum
Tujuan:
1. Mengidentifikasi riwayat pajanan traumatis.
2. Mengidentifikasi gejala PTSD.
3. Menentukan dasar (baseline).
4. Mengamati klien atau keluarga selama proses penilaian (pengamatan
klinis).
Metode:
1. Formal, metode penghitungan yang sudah di standarisasi (misalnya CPSS
dan UCLA PTSD RI).
2. Meminta untuk menceritakan kisah mengidentifikasi pikiran atau
perasaan, keterampilan mengatasi kejadian.
3. Untuk anak-anak dapat melalui bacaan buku seperti A Terrible Thing
Happened dan mendiskusikan gejala (Penilaian informal).
4. Mendapatkan perspektif perawat tentang gejala atau perilaku anak.
5. Menilai konteks trauma dengan menanyakan tentang lingkungan,
perkembangan dan faktor sosial.
Pelaksanaan secara umum
Tujuan:
1. Mendapatkan solusi untuk menerapi klien atau keluarga.
2. Menetapkan tujuan terapi bersama.
3. Mengurangi resistensi sehingga memungkinkan pengobatan sesuai fungsi
yang telah di tentukan.
-
28
Metode:
1. Merujuk kembali kepada penilaian hasil dan gejala.
2. Mengidentifikasi dan menghubungkan tujuan anak atau pengasuh dan
indikator kemajuan atau keberhasilan.
3. Mengidentifikasi penghargaan dari luar dan motivasi yang dapat di
manfaatkan.
4. Ketika motivasi menjadi penghalang, gunakan teknik motivasi wawancara:
(lembar kerja keseimbangan keputusan: penilaian kepentingan dan
kepercayaan diri untuk berubah).
P - Psikoedukasi
Tujuan:
1. Mengajar, menormalisasi, dan memvalidasikan gejala PTSD: Bahwa kau
waras (Youre not crazy).
2. Menormalisasikan paparan dari trauma: Anda tidak sendirian atau bukan
satu-satunya.
3. Mengurangi penyalahan diri: ini bukanlah salahmu.
4. Menjelaskan TF-CBT (komponen dan struktur): Bahwa ada harapan, kita
mempunyai terapi yang dapat berhasil.
5. Memperjelas tujuan dari terapi: Mengapa terapi penting tiap minggunya
untuk melakukan latihan.
Metode:
Untuk masing-masing pertanyaan menggunakan teknik Socrates.
1. Buku
-
29
2. Games (permainan kata, apa yang kamu tahu? Atau game berpura-pura).
3. Melalui pencarian internet, video youtube.
4. Lembar kerja diskusi.
P - Parenting (pengasuhan)
Tujuan:
1. Meningkatkan hubungan.
2. Membantu pengasuh mempelajari keterampilan untuk mengelola kesulitan
atau kebiasaan yang tidak pantas terkait dengan trauma untuk mendukung
anak menggunakan keterampilan di rumah.
3. Keterampilan termasuk (namun tidak terbatas pada) : Pujian, waktu One-
on-One, perhatian atau menghiraukan yang selektif, menghindari
pertengkaran dengan kekuatan, imbalan, dan konsekuensi.
Metode:
1. Lembar Kerja.
2. Permainan peran (Role Play).
3. Follow model : Pengajaran.
4. Discuss model.
5. Umpan balik.
6. Praktek mingguan.
7. Mengamati interaksi dengan anak, pelatihan dan pengajaran keterampilan
baru.
-
30
R - Relaksasi
Tujuan:
1. Memberikan keterampilan kepada klien untuk digunakan dalam
lingkungan mereka (rumah dan sekolah) untuk menangani stres mereka.
2. Membuat toolbox untuk merujuk kembali kapan saatnya bekerja pada
narasi trauma.
3. Mengajarkan perbedaan antara relaksasi dan toleransi stres untuk
mengidentifikasi yang mana lebih berpengaruh pada klien.
Metode:
1. Mengidentifikasi dan meningkatkan keterampilan yang sudah dipakai
(hobi, musik, olahraga, dll.).
2. Memainkan game relaksasi (melempar bola atau bermain basket).
3. Mengajarkan yoga, kesadaran, panduan pencitraan, kontrol pernapasan,
relaksasi otot pernafasan.
4. Mendengarkan lagu.
A - Modulasi Afektif
Tujuan:
1. Membantu anak mengidentifikasi perasaan dan mengembangkan kosakata
untuk digunakan diluar sesi dan di dalam sesi.
2. Membantu anak mengerti perasaan berbeda atau bertentangan secara
sekaligus yang bertujuan menormalkan simulasi perasaan yang berganda.
3. Mengajarkan segitiga kognisi (Triangle of Cognitive): Hubungannya
diantara pikiran, perasaan, dan perilaku.
-
31
4. Dapat merasakan perasaan pada intensitas yang berbeda. (menggunakan
gambaran thermometer atau jumlah sebuah makanan).
5. Mengidentifikasi perasaan terkait dengan peristiwa traumatis, memikirkan
hal itu ketika itu terjadi dan sekarang ketika hal itu telah terjadi.
6. Mengidentifikasi hal yang harus dilakukan ketika mersa sedih, down, tidak
waras, cemas, dll.
Metode:
1. Brainstorming perasaan.
2. Buku tentang perasaan dan kartu tentang perasaan (books and card about
feelings).
3. Games tentang perasaan (bingo, jenga, mengambil stik).
4. Mengajarkan tentang intensitas dan mengembangkan skala intensitas.
5. Diagram pie perasaan (Feelings pie) (satu kejadian, menunjukkan
perasaan yang berbeda dan seberapa banyak).
6. Mengembangkan daftar yang harus dilakukan untuk meregulasi dan
menoleransi emosi ketika stres (perilaku, kognitif, mencari dukungan,
memecahkan masalah).
C - Coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres):
Tujuan:
1. Mengajarkan tentang segitiga kognitif: hubungan antara pikiran, perasaan,
dan perilaku.
-
32
2. Membantu klien untuk mengakses pikiran diluar kendali yang pada
awalnya klien tidak menyadarinya dan menjadi sadar akan apa yang
menyebabkan stresnya atau traumanya.
3. Membantu klien dan pengasuh memahami kemampuan untuk mengubah
perasaan dan perilaku dengan menjadi sadar dan mengubah pikiran tidak
membantu atau tidak akurat.
Metode:
1. Mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku secara hipotesis, yang
berhubungan dengan non-trauma, skenario kehidupan nyata (ruang makan,
ulang tahun, dll).
2. Membaca buku atau melakukan tugas yang mengidentifikasi atau
melabelkan pikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Bermain game memasangkan sebuah pikiran, perasaan dan perilaku.
4. Mengidentifikasi manfaat atau keakuratan cara berpikir untuk merasa lebih
baik, ketika pikiran sedang dalam keadaan kesulitan perasaan maupun
perilaku.
T Narasi Trauma
Tujuan:
1. Memberikan paparan kenangan trauma yang membuat klien menghindari
penyebab stresnya (pikiran mengganggu, mimpi buruk, flash back).
2. Mengidentifikasi kognisi tidak membantu atau tidak akurat yang perlu di
proses.
-
33
3. Mengidentifikasi pikiran yang berhubungan dengan pandangan terhadap
dunia yang berubah atau melihat diri, terkait paparan trauma atau dalam
konten trauma (mungkin saat ini bersama pengasuh ).
Metode:
1. Hampir semua yang melibatkan klien dapat berasal dari buku, gambar,
acara radio, lagu, puisi, video, rekaman suara bersama terapis menuliskan
secara narasi.
2. Bekerja bersama pengasuh.
3. Mengingatkan kejadian menyenangkan di akhir.
4. Mengingatkan tentang analogi (contoh: bola di kolam berenang, dll).
Cognitive processing atau trauma processing
Tujuan:
1. Mengidentifikasi pikiran yang tidak membantu dan tidak akurat;
membantu klien atau pengasuh melihat dan mengevaluasi cara paparan
trauma yang mungkin telah merubah cara pandangnya pada dirinya, dunia,
keluarga, atau masa depan.
2. Mengidentifikasi cara yang lebih akurat dan membantu untuk memikirkan
paparan traumanya, diri, dunia, keluarga, masa depan, dan bekerja secara
konsisten menggantikan pikiran yang telah lalu dengan yang baru.
3. Terpenting dalam TF-CBT : Pastikan klien tidak mendefinisikan dirinya
karena trauma, memandang diri atau masa depan sebagai tidak punya
harapan atau telah rusak.
-
34
Metode:
1. Mengidentifikasikan pikiran yang bermasalah melalui terapi berasal dari
trauma tersebut.
2. Menggunakan teknik pertanyaan Socrates dan klasifikasikan pikiran
(akurat atau tidak; membantu atau tidak; menyesal atau bertanggung
jawab).
3. Bermain peran sebagai teman baik. Dan klien di kondisikan menjadi
terapis. Membuat diagram pie tanggung jawab, mengidentifikasi bukti,
dan pertanyaan yang logis.
I in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap trauma)
Tujuan:
1. Memisahkan ingatan trauma atau pemicu rasa takut (mempelajari respon
kecemasan misalnya, takut gelap).
2. Mengurangi penghindaran (avoidance) yang mengganggu fungsi sehari-
hari.
Metode:
1. Membuat daftar tangga ketakutan (pemicu dan spesifik yang berkaitan
pemicunya).
2. Dalam sesi latihan dikombinasikan dengan latihan mingguan di rumah.
3. Perlu untuk memanfaatkan atau mendapat dukungan dari perawat dan
pendukung klien dari lingkungan hidup.
4. Memanfaatkan insentif dan penghargaan (dalam sesi; di rumah:
Keterampilan sang orang tua memuji dan memberi imbalan).
-
35
5. Menggunakan keterampilan coping (termasuk mengatasi kognitif) yang
telah diajarkan sebelumnya.
C Conjoint Sessions (sesi gabungan)
Tujuan:
1. Memberikan kesempatan untuk memuji, mendukung, memberi dorongan
dari orang dewasa yang terpercaya.
2. Menghargai apapun yang telah dicapai anak dengan orang dewasa yang
terpercaya.
3. Membiarkan orang dewasa mendengarkan pandangan anak.
4. Membiarkan kesempatan untuk berdiskusi antara pengasuh dan anak
(pertanyaan, kekhawatiran, umpan balik, dll.).
Metode:
1. Menyiapkan sesi bersama dengan membaca narasi trauma yang dilakukan
oleh pengasuh.
2. Menyiapkan dan memainkan peran tanya jawab, dan umpan balik, dengan
pengasuh dan anak.
3. Mengidentifikasi bantuan keterampilan coping untuk pengasuh. Jika
diperlukan.
E Enchancing Safety (Meningkatkan Keselamatan)
[Ini didahulukan jika keamanan menjadi prioritas]
Tujuan:
1. Memberikan rencana keamanan untuk membantu anak (dan pengasuh)
merasakan rasa aman (ini juga merupakan keterampilan coping)
-
36
2. Mengembangkan rencana keamanan dalam hal cedera diri, pikiran untuk
bunuh diri, dan lain-lain.
3. Mengajarkan keterampilan keselamatan yang dapat digunakan klien untuk
masa depan atau ketika sudah tidak melakukan terapi.
Metode:
1. Membentuk rencana keselamatan yang formal.
2. Mengidentifikasi resiko, pemicu, peringatan tanda bahaya (diri sendiri
maupun orang lain).
3. Keterampilan bermain peran, biasanya dengan pengasuh.
4. Mengajarkan batas-batas yang tepat, persahabatan, dll.
2.2.3. Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy
TF-CBT mengurangi gejala stres pasca-trauma, yang ditandai oleh
masalah yang mempengaruhi regulasi, fungsi perilaku, hubungan, perhatian
dan kesadaran, persepsi diri, somatisasi, dan sistem makna. Ini dibuktikan
dengan berkurangnya kondisi-kondisi sebagai berikut: (Cohen & Mannarino,
2004)
A. Berkurangnya kenangan mengganggu, pikiran atau mimpi tentang trauma.
B. Berkurangnya gejala menghindari trauma (avoidance symptoms).
C. Berkurangnya mati rasa emosional.
D. Berkurangnya hiperarousal (kewaspadaan berlebih) secara fisiologis
maupun psikologis.
E. Berkurangnya gangguan bermakna dalam kehidupan sehari-hari.
-
37
Manfaat TF-CBT untuk anak dan remaja adalah dalam perbaikan gejala
sebagai berikut:
A. Depresi.
B. Kecemasan.
C. Masalah perilaku.
D. Masalah seksual.
E. Malu yang berhubungan dengan trauma.
F. Kepercayaan interpersonal.
G. Kompetensi sosial.
Manfaat TF-CBT untuk orang tua yang anaknya mengalami trauma seperti
kekerasan seksual. Dapat secara efektif menolong orang tua dalam:
A. Mengatasi perasaan depresi orang tua secara umum.
B. Mengatasi gejala PTSD pada orang tua.
C. Mengatasi tekanan emosional terhadap trauma anak.
D. Meningkatkan keahlian mengasuh.
E. Meningkatkan keterampilan mendukung anak.
2.2.4. Hasil Penelitian
Dalam penelitian dengan menggunakan metode TF-CBT (trauma focused
cognitive behavior therapy), yang dilakukan pada 124 anak berusia 7 14
tahun. Penelitian ini dilakukan diantara bulan September 2004 sampai Juni
2009. Penelitian ini mengintervensi ibu dan anak yang mengalami masalah
kekerasan pasangan intim antara suami dan istri. Penelitian ini bertujuan untuk
-
38
membandingkan. TF-CBT dengan CCT (children-centered therapy). (Cohen
dkk, 2011)
Terapi dilakukan 8 sesi diantara 12 sesi yang seharusnya dilakukan.
Dilakukan 45 menit sesi individu selama 8 minggu, sampai seluruh keluarga
menyelesaikan 8 sesi. TF-CBT pada penelitian ini dilakukan (1) komponen
pengaman dilakukan pada awal terapi dan tidak dilakukan ketika akhir terapi.
(2) Narasi trauma tidak berfokus pada memori yang lalu, melainkan berbagi
pengalaman IPV (intimate partner violence) dan kewaspadaan pada ibu yang
ditujukan pada kelainan adapsi kognitif (menyalahkan diri ibu). (3) Penelitian
ini tidak bertujuan menguasai ingatan masa lalu IPV melainkan bertujuan
untuk mengoptimalkan kemampuan anak untuk mendiskriminasikan antara
bahaya nyata dengan bahaya umum. (Cohen dkk, 2011)
Menurut K-SADS-PL (Kiddie Schedule for Affective Disorders and
Schizophrenia for School-Age Children-Present and Lifetime) total skor untuk
menilai gejala. TF-CBT menunjukan hasil peningkatan yang lebih bermakna
dibandingkan CCT. (mean difference, 1.63; 95% CI, 0.44 - 2,82). Reaction
Index (RI) score (mean difference, 5.5.; 95% CI, 0.22 - 1.20), K-SADS-PL
hyperarousal score (0.71, 95% CI, 0.22 - 1.20). K-SADS-PL avoidance score
(0.55;95% CI, 0.07 - 1.03), dan Screen for Child Anxiety Related Emotional
Disorders (SCARED) (Mean difference, 5.13;95% CI, 1.31 - 8.96). Yang
menyelesaikan TF-CBT mengalami perbedaan yang bermakna dalam
mengurangi angka PTSD. TF-CBT mengurangi angka gejala PTSD dari 32
anak menjadi 8 anak (75%), sedangkan CCT mengurangi angka gejala PTSD
-
39
dari 18 anak menjadi 10 anak (44%) (X = 4.67 , P= 0.03) dan mengalami
sedikit efek samping. (Cohen dkk, 2011)
Dalam penelitian PTSD pada anak dengan kekerasan seksual dilakukan
penelitian berdasarkan terapi narasi trauma dan panjang waktu terapi. Pada 87
anak berumur 4-11 tahun dan orang tua melakukan TF-CBT dengan 8 sesi dan
92 anak dan orang tua melakukan 16 sesi. Disetiap kelompok tersebut dibagi
kembali dengan kelompok dengan narasi trauma dan dengan yang tidak.
Didapatkan bahwa 63 (72%) orang pada 8 sesi menyelesaikannya dengan
lengkap dan hanya 50 (54%) orang yang mengikuti 16 sesi dapat
menyelesaikannya. (Deblinger, 2011)
Hasilnya didapatkan TF-CBT menunjukan hasil yang positif, dengan
beberapa perbedaan. Pada kelompok dengan 8 sesi narasi trauma efektif dalam
menurunkan ketakutan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan
kecemasan secara umum, dan juga mengurangi stres orang tua pada masalah
penyiksaan. Sedangkan 16 sesi TF-CBT tanpa narasi trauma menuju pada
perubahan paling besar dalam melatih orang tua mengasuh dan mengurangi
masalah eksternal perilaku pada anak. (Deblinger, 2011)
-
40
BAB III
TERAPI BERFOKUS PADA PERILAKU KOGNITIF PADA ANAK
DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)
DITINJAU DARI AGAMA ISLAM
3.1. Pandangan Islam Tentang Anak dan Keluarga
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang
diberikan kepada orang tua. Sebagai amanat, anak sudah seharusnya
mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan
pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak
akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori,
2007)
Fungsi anak bagi ayah dan ibu dinyatakan oleh Allah SWT dalam
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan. (QS.Al-Kahfi(18):46)
Ayat diatas menjelaskan fungsi anak bagi kedua orang tua. Anak
digambarkan sebagai perhiasan kehidupan. Harta dan anak merupakan
perhiasan kedua orang tua. Orang tua menginginkan seorang anak dapat
-
41
menjadi penghibur, serba bisa, menjadikan dirinya terhormat, dan menjadi
tumpuan kesejahteraan hidup orang tuanya.. (Thalib, 1995)
Keluarga merupakan pilar pertama bagi pendidikan anak. Pembentukan
kepribadian seorang anak bersumber dari keluarga. Oleh karena itu, hak-hak
seorang anak dalam keluarga dapat dibagi menjadi dua bagian: hak-hak
sebelum kelahiran dan hak-hak setelah kelahiran. Berdasarkan hal ini, dalam
pandangan Islam, kewajiban ayah dan ibu dimulai sejak anak belum lahir. Jika
kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditunaikan oleh kedua orang tua, hal ini
akan berdampak negatif bagi pendidikan dan perkembangan kejiwaan anak.
(Amini, 2006)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Israa(17): 24)
Dalam ayat di atas anak sejak kecil adalah makhluk yang lemah dan
membutuhkan banyak bimbingan dari kedua orang tua.
Allah menjadikan seorang anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah,
baik fisik, mental, maupun akalnya. Ia belum dapat berbuat apapun, selain
menangis. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian lemah seorang anak
tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Karena itu, anak-anak sangat
mendambakan perlindungan dari orang tua. (Joban, 2014)
Selain perlindungan fisik, anak-anak juga membutuhkan bimbingan
mental. Pada umumnya orang tua mengira bahwa pada permulaan
kehadirannya di dunia ini anak-anak belum memerlukan bimbingan mental.
-
42
Anggapan semacam ini tidaklah benar. Sebab anak-anak pada masa bayi
sudah memerlukan bimbingan mental, seperti cara mengasihi, cara memahami
orang lain, dan lain-lain. (Joban, 2014)
Orang tua telah melakukan tarbiyah kepada anak-anaknya semasa
kecilnya. Tarbiyah ialah usaha memperhatikan, melindungi, memenuhi
kebutuhan makan dan minum, membimbing pertumbuhan mental, dan
mengajarkan akhlak yang baik. (Joban, 2014)
Ketika anak hadir ke dunia ini, ia begitu lembut. Ia memiliki akal,
namun belum dapat berpikir. Ia melihat dengan matanya, namun belum
mampu mengenali objek yang terdapat di sekitarnya. Ia tak memiliki
kemampuan untuk mengenali warna dan rupa. Ia juga belum mengetahui
jarak. Ia mendengar suara, namun belum mampu memahaminya. Demikian
pula dengan inderanya yang lain. Namun demikian, anak memiliki
kemampuan untuk menggunakan indera-inderanya itu, melalui kejadian yang
dialaminya. (Amini, 2006)
Sikap yang benar sebagai orang tua ketika mendapatkan rizki berupa
anak, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut tuntunan Allah dan Rasul-
Nya dalam QS. Huud (11) ayat 69:
Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan:
"Selamat". Ibrahim menjawab: "Selamatlah," maka tidak lama kemudian
Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.(QS. Huud(11): 69)
-
43
Ayat ini menjelaskan ketika Nabi Ibrahim diberi kabar oleh malaikat
bahwa Allah akan mengaruniani seorang putra, Ibrahim menyatakan
kegembiraan dengan ucapan selamat sejahtera. Sikap seperti ini mendidik
orang tua untuk bersikap penuh kegembiraan dan syukur bila dikaruniani
Allah seorang putra atau putri. (Thalib, 1995)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan
hati agar kamu bersukur. (QS. An-Nahl(16): 78)
Dalam ayat ini menunjukkan bahwa seorang anak pada awalnya tidak
memiliki pengetahuan apapun. Seorang ibu akan memberikan pengajaran dan
pendidikan untuk anak kedepannya. Allah SWT yang memberikan anak-anak
penglihatan, pendengaran, dan hati yang bertujuan agar manusia selalu
bersyukur dengan anugerah yang telah diberikan.
Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitrah merupakan makhluk
sosial. Ia memerlukan pertolongan dan dukungan orang lain untuk hidup. Ia
akan memfokuskan perhatiannya pada orang lain. Ia akan mengambil manfaat
dari mereka, dan sebaliknya, akan memberikan manfaat pada mereka. Namun,
selama beberapa bulan sejak kelahirannya, bayi belum mengenal siapa-siapa,
dan belum mampu memberikan perhatian pada mereka. Setelah mencapai usia
empat bulan, fitrah sosialnya mulai terlihat dalam aksinya. (Amini, 2006)
-
44
Baik buruknya anak tidak terlepas dari didikan dan asuhan orang tua.
Mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak merupakan salah satu dari
sekian banyak kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebaliknya, anak harus
patuh dan menghormati orang tua. Keberhasilan mendidik anak sangat
tergantung bagaimana orang tua memperlakukan anak. Apabila orang tua
terlalu keras akan berdampak buruk terhadap anak. Sebaliknya, para orang tua
yang hangat, yang menggunakan penjelasan dan tidak mengandalkan
hukuman keras dalam mendisiplinkan anak cenderung menumbuhkan rasa
empati dalam diri anak-anak mereka. (Pamilu, 2007)
Pendidikan tidak hanya milik anak-anak saja. Orang tua pun juga
memerlukan pendidikan dan pengajaran. Demi mencapai sukses anak-
anaknya, orang tua perlu membekali diri dengan ilmu yang menunjang
perannya dalam mendidik anak. Tanpa bekal yang memadai, mustahil ia dapat
memainkan perannya dengan baik. Satu hal yang perlu diingat bahwa bekal
yang terkait dengan pendidikan anak adalah bersifat wajib. (Pamilu, 2007)
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.(QS.Ali-Imran(3): 134)
Cara yang baik menurut ayat di atas dalam mendidik anak yaitu dengan
cara tidak mudah marah dan gemar memaafkan kekeliruan anak-anaknya.
Selain itu, dalam bergaul dengan anak-anak ayah dan ibu hendaknya
-
45
memberikan kasih sayang. Karena sikap kasih sayang akan menumbuhkan
kecintaan pada diri anak-anak terhadap kedua orang tua. (Thalib, 1995)
Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki kedudukan mulia. Allah
swt dan Rasulullah saw telah memperingatkan hal ini. Terdapat banyak ayat
yang terkait dengannya, yang mana kelakuan baik anak terhadap orang tuanya
dianggap sebagai salah satu doa terbaik.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamumembentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.Al-
Isra(17): 23)
Menurut ayat di atas ini menjelaskan kedudukan seorang ayah dan ibu
Kedudukan mereka disebut mulia karena di dalam Al-Quran pun disebutkan
perkataan ah itu dilarang. Perkataan yang hanya sedikit itupun dibenci oleh
Allah SWT. Karena itu sebagai anak tidak diperbolehkan melawan orang tua
dan selalu menuruti perkataan baik orang tua.
Orang tua sebaiknya membentuk anak-anak mereka sedemikian rupa
sehingga mereka berhasil di dunia dan akhirat. Hanya orang-orang seperti
itulah yang diberkahi dengan kedudukan mulia orang tua. Bukan mereka yang
melahirkan anak kemudian membiarkannya menjaga dirinya sendiri dan
membawanya ke jurang kejahatan. Anak adalah individu sosial yang lemah.
Tanpa pertolongan orang lain, ia tak akan dapat hidup dan memperoleh
-
46
makan. Bila orang lain tak membantunya dan tak memenuhi kebutuhannya, ia
akan mati. Orang-orang yang merawat bayi juga bertanggung jawab atas
pendidikannya, termasuk pendidikan moral dan agama. (Amini, 2006)
Seorang ibu pada umumnya mengemban tanggung jawab lebih besar
dalam mengasuh anak. Anak-anak umumnya menghabiskan sebagian besar
waktu kanak-kanak mereka berasama ibu. Fondasi dari arah masa depan
mereka terletak di sana. Oleh karena itu, kunci dari sikap buruk atau baik
seseorang, dan kemajuan ataupun kemunduran masyarakat, terletak pada ibu.
Kedudukan kaumwanita sebagai seorang ibu, kaum ibu semestinya adalah
penghasil manusia-manusia sempurna. (Amini, 2006)
Seorang ibu dipandang sebagai teladan, maka ia harus selalu berkata
benar dalam setiap perkataannya baik terhadap anak dan suaminya dan orang
lain dari kalangan keluarga, atau siapapun dari anggota masyarakat lainnya.
(Shabir, 2001)
Pembicaraan Al-Quran yang terkait dengan anak sangat banyak,
yangkesemuanya menekankan pentingnya rasa cinta dan kasih sayang.
Tentang makna kehadiran anak-anak dalam sebuah rumah tangga menurut
perspektif Al-Quran bisa disimpulkan bahwa: kehadiran anak merupakan
karunia serta nikmat dari Allah SWT yang harus disyukuri, seperti firman
Allah: (Amini, 2006)
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan
Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. .(QS.Al-Isra(17):6)
-
47
Dari ayat di atas disebutkan bahwa tujuan dari mempunyai keturunan
adalah agar dapat memperbanyak populasi manusia di bumi ini. Digambarkan
anak-anak disejajarkan dengan harta kekayaan. Yang dimaksudkan bahwa
anak-anak yang lahir di bumi sama dengan karunia serta nikmat dari Allah
SWT yang wajib disyukuri. (Amini, 2006)
Kedudukan anak tidak hanya itu saja, anak juga bisa menjadi musuh,
cobaan atau pun fitnah. (Amini, 2006)
(
)
( ) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagiMaha
Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS.-At-Taghaabun(64): 14-15)
Menurut ayat diatas, seorang anak bisa menjadi musuh. Tergantung
bagaimana cara orang tua mendidik anak. Kasih sayang orang tua dan cara
mendidik yang halus dan islami agar kelak anak menjadi penerus orang tua
dan tidak melawan kehendak orang tua. (Amini, 2006)
Keluarga merupakan pilar pendidikan seorang anak. Keluarga yang
harmonis ditandai dengan tidak ada kekerasan di dalamnya. Menghargai
keberadaan anak dan kedudukan masing-masing peran keluarga. Cinta
merupakan alat yang mendasari tingkah laku antar keluarga. Dengan landasan
-
48
seperti ini maka kelak tidak akan terbentuk istilah kekerasan dalam keluarga.
Ayah menentukan keharmonisan antara keluarga sedang ibu menentukan
keharmonisan antara dirinya dengan anak. Karena ibu meluang kan waktu
lebih banyak dibandingkan seorang ayah. Telah disebutkan bahwa sudah
keharusan menjaga perhiasan dunia anak yang telah dikaruniakan oleh
Allah SWT.
3.2. Pandangan Islam Tentang Trauma Pada Anak
Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan
atau melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat
kejadian itu hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat
juga bersifat psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan
sehingga dapat menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa dan lain-lain. (Kartono,
1989)
Para pakar psikologi anak menilai bahwa anak pada tahun pertama boleh
jadi memperlihatkan ketakutannya terhadap suara yang mengagetkannya, atau
jatuhnya sesuatu secara tiba-tiba, atau semacamnya. Sang anak juga takut
terhadap orang asing sejak usia enam bulan kurang lebih. Adapun anak usia
tiga tahun, biasanya takut terhadap berbagai hewan, kendaraan, jalan curam,
air dan semacamnya. (Al-Juhany, 2013)
Otak anak rentan terhadap trauma, baik terhadap ucapan yang keras
maupun tindakan yang menyakitkan, susunan otak terbentuk dari pengalaman.
Jika pengalaman anak takut dan stres, respon otak dapat mengganggu
-
49
perkembangan psikis, mental, dan kecerdasan anak. Untuk itu, orang tua harus
menghindari untuk memarahi atau memukul anak agar tidak terjadi trauma,
baik dalam tindakan langsung maupun terhadap orang lain. (Kasdu, 2004)
Secara umum, anak perempuan lebih menampakkan ketakutan daripada
anak laki-laki. Tingkat ketakutan biasanya berkaitan dengan tingkat
fantasinya. Semakin banyak fantasinya, semakin tinggi rasa takutnya.
Bertambahnya rasa takut terhadap anak memiliki beberapa sebab, di
antaranya: (Al-Juhany, 2013)
1. Sang ibu yang suka menakut-nakuti sang anak, misalnya dengan hantu,
burung hantu, polisi, kegelapan, ifrit, atau makhluk halus, dst.
2. Sang anak yang terlalu manja dan terlalu khawatir serta sensitif.
3. Anak dididik untuk mengisolir diri, pemalu, dan berlindung di balik
tembok rumah.
4. Sering mengisahkan cerita-cerita yang berkaitan dengan jin, ifrit, dan
sebab-sebab lainnya.
5. Boleh jadi sang anak memperlihatkan kesiapan yang besar untuk
menangkap ketakutan kedua orang tuanya berdasarkan pengetahuan
atau pemandangan langsung. Ketakutan seperti ini dikenal memiliki
daya tahan lebih lama.
Ulama telah membagi rasa takut menjadi beberapa bagian. Takut sirri
(takut terhadap sesuatu yang gaib), takut yang haram, takut thobiI, takut
wahm (khayalan). Takut sirri seperti takut kepada Allah yang mendatangkan
ketaqwaan dan ketaatan, selain itu juga terdapat takut kepada selain Allah
-
50
merupakan ketakutan yang merupakan kesyirikan seperti kepercayaan pada
berhala. Takut yang haram merupakan takut selain Allah yang bukan ibadah
sehingga ia melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban. Takut
ThobiI merupakan takut kepada hal-hal yang dapat membahayakan diri
seperti binatang buas. Takut wahm merupakan takut kepada hal-hal yang tidak
jelas seperti hantu. (Rumman, 2009)
Untuk mengatasi gejala ketakutan di kalangan anak-anak dapat diatasi
oleh kedua orang tua dengan memperhatikan beberapa faktor, di antaranya:
(Al-Juhany, 2013)
1. Mendidik anak sejak dini untuk beriman kepada Allah SWT dan
beribadah kepada-Nya serta berlindung kepada-Nya dari setiap yang
menakutkan.
2. Memberinya kebebasan beraktifitas, memikul tanggul jawab dan
melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan usianya.
3. Tidak menakut-nakutinya, khususnya saat menangis, dengan burung
hantu, atau landak, atau orang jahat, atau jin dan ifrit, dan sebagainya.
Hal tersebut masuk pada keumuman kebaikan yang dinyatakan dalam
hadis
"Seorang mukmin yang kuat dan baik, lebih Allah cintai dari seorang
mukmin yang lemah." (HR. Muslim)
Dalam hadis ini menjelaskan bahwa Allah SWT mencintai mukmin yang
kuat baik iman maupun psikologinya. Perasaan ketakutan merupakan
-
51
kelemahan dari jiwa seseorang maka sebagai manusia yang selalu ingin
dicintai Allah SWT. Manusia diharuskan untuk selalu kuat dalam menerima
cobaan. (Al-Juhany, 2013)
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy),
karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku,
jika kamu benar-benar orang yang beriman.(QS. Ali-Imran(3): 175).
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa ketakutan kepada selain Allah tidak
akan meningkatkan iman seseorang. Ketakutan seseorang pada hal lain akan
mendatangkan kesyirikan jika itu berhubungan dengan kepercayaan.
(Rumman, 2009).
Di antara yang dianjurkan para pakar kejiwaan dan pendidikan adalah
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengenal ketakutannya. Jika dia
takut kegelapan, maka tidak mengapa mengajak bercanda sang anak dengan
mematikan lampu lalu menyalakannya lagi. Jika dia takut air, maka tidak
mengapa membiarkannya bermain di air yang sedikit pada sebuah wadah
kecil, begitu seterusnya. (Al-Juhany, 2013)
Jika ketakutan pada anak berbentuk kegamangan jiwa, maka biasanya
sebabnya kembali kepada sejumlah faktor yang berkaitan satu sama lain.
Ajaran Nabi mengatasi hal semacam ini dengan hati-hati. Di antaranya faktor-
faktor penyebab tersebut adalah: (Al-Juhany, 2013)
-
52
Membebani sang anak apa yang tidak mampu dia pikul. Dalam hal ini,
Rasulullah sallahualaihi wa sallam berbsabda,
"Siapa yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak mengenal hak orang
tua, maka dia bukan golongan kami." (HR. Al-Bukhari)
Hadis diatas melarang orang tua untuk membebankan tugas secara
berlebihan kepada seorang anak diluar batas kemampuannya. Orang tua tidak
diperbolehkan untuk membuat anak merasa tertekan karena keinginan atau
keputusan sebagai orang tua. Berlebihan dalam memberikan hukuman fisik
serta kasar dalam memperlakukannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda (Al-Juhany, 2013)
"Siapa yang terhalang berbuat lembut, dia akan terhalang dari seluruh
kebaikan." (HR. Muslim)
Dalam hadis ini menjelaskan ketika memang harus memberikan
hukuman dalam bentuk fisik. Orang tua seharusnya dapat mengukur berat atau
rasa sakit yang ditimbulkan dari hukuman tersebut. Sebagai sesama umat
muslim diharuskan selalu berbuat baik dan lembut kepada sesama. (Al-
Juhany, 2013)
Metode pendidikan anak yang keras seperti bentakan dan pemukulan
sebagai sanksi ketika anak melakukan perbuatan yang tidak wajar, bisa
-
53
menghilangkan rasa percaya diri atau menimbulkan rasa takut pada si anak.
Walaupun perilaku anak membuat orang tua marah dan kehilangan kesabaran,
tetaplah untuk mengeluarkan kata-kata atau umpatan yang baik sebagai doa
kepada si anak. Memang diperbolehkan untuk memukul anak ketika anak
tidak mengerjakan sholat di usia 10 tahun, tapi perlu diingat bahwa pukulan
tersebut tidak menyakitkan (di ambil bagian-bagian yang tidak menyebabkan
rasa sakit seperti bokong), itupun masih ada aturan-aturan besar alat pukul
yang digunakan dan kerasnya pukulan yang diperbolehkan. (Wisudanti, 2013)
Kondisi kehidupan yang sulit sehingga mendorong kedua orang tua
menumpahkan kekesalannya terhadap anak-anak mereka, seperti hubungan
rumah tangga yang tidak harmonis, atau ibu yang bekerja, atau tidak puas
terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda,
"Bukanlah orang yang kuat adalah dia yang menang gulat, akan tetapi
orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika
marah." (HR. Bukhari)
Hadis ini menggambarkan bahwa kekerasan bukanlah pintu akhir dari
masalah. Anak bukanlah menjadi pereda amarah bagi orang tua. Pengendalian
dirilah yang menunjukan seseorang mempunyai kekuatan yang kuat sebagai
seorang mukmin. (Al-Juhany, 2013)
Orang tua merupakan salah satu sumber pendidikan terbesar oleh
seorang anak. Untuk mengatasi kenakalan anak atau memberikan hukuman
-
54
pada anak lebih baik diberikan dengan suatu teguran halus atau mendidik.
Hukuman fisik hanya membuat seorang anak takut terhadap orang tuanya.
Orang tua sebaiknya tidak menakuti anak secara berlebihan karena itu akan
membekas membuatnya teringat selalu.
3.3. Pandangan Islam Tentang Terapi Perilaku dan Kognitif
Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang
berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan
perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang
psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan
prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. Tujuan
psikologi ini didasarkan pada. (Vahab, 1996)
Hai manusia, susungguhnya telah datang kepada mu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman. (QS. Yunus(10): 57).
Menurut ayat diatas bahwa penyakit jiwa atau penyakit hati dapat
disembuhkan. Allah SWT telah memberikan petunjuknya agar manusia selalu
berusaha untuk menyembuhkan penyakit hati yang terdapat dalam
dirinya.(Vahab, 1996)
-
55
aspek terapi terhadap gangguan jiwa juga terdapat di dalam (Ancok,
1994)
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagiorang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang- orang yang zalim selain kerugian.(QS. Al-Isra(17): 82)
Menurut ayat di atas menjelasan bahwa Al-Quran salah satu obat hati
yang dapat membantu melupakan trauma yang pernah terjadi. Bagi mukmin
dengan membaca Al-Quran maka hati dapat menjadi lebih tenang.
Menurut Dadang Hawari dalam bukunya manajemen stres, cemas, dan
depresi. Psikoterapi dibagi menjadi delapan yaitu: (Hawari, 2001)
1. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan motivasi semangat,
dan dorongan agar klien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dengan
diberi keyakinan serta kepercayaan diri sehingga ia mampu mengatasi
stresor psikosial yang sedang dihadapinya.
2. Psikoterapi re-edukatif dimaksudkan dengan memberikan pendidikan ulang
dan koreksi bila dinilai tidak mampu mengatasi stres, kecemasan, dan
depresi yang disebabkan faktor psiko-edukatif masa lalu dalam periode
anak-anak dan remaja. Diharapkan dengan terapi ini dapat mengatasi
stresor psikosial yang dihadapinya.
3. Psikoterapi Rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki
kembali/rekonstruksi kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat
stresor psikososial yang tidak mampu diatasi oleh klien yang bersangkutan.
-
56
4. Psikoterapi Kognitif dimaksudkan untuk memulihkan fungsi kognitif klien,
yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi, dan daya
ingat. Selain daripada itu yang bersangkutan mampu membedakan nilai-
nilai moral etika mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak,
dan mana yang haram dan halal.
5. Psikoterapi Psikodinamik dimaksudkan untuk menganalisa dan
menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa
seseorang itu tidak mampu mengatasi stresor psikososial sehingga ia jatuh
sakit (stres, cemas, dan atau depresi). Dengan mengetahui dinamika
psikologis itu diharapkan yang bersangkutan mampu mencari jalan
keluarnya.
6. Psikoterapi Perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku
yang maladaptif (ketidakmampuan beradaptasi) akibat stresor psikososial
yang dideritanya. Dari terapi ini diharapkan klien yang bersangkutan dapat
beradaptasi dengan kondisi yang baru sehingga bisa berfungsi kembali
secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah,
kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosialnya yang lain.
7. Psikoterapi Keluarga pada seseorang dalam keadaan stres, kekecewaan,
atau depresi yang disebabkan oleh stresor psikososial faktor keluarga.
Dengan terapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan
kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan
faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung bagi pemulihan
klien yang bersangkutan. Dengan demikian pada terapi ini tidak hanya
-
57
ditujukan kepada klien yang bersangkutan saja, tetapi juga terhadap
anggota keluarga lainnya.
8. Psikoanalisa adalah sejenis psikoterapi yang mencari sebab seseorang jatuh
sakit. Berbeda dengan psikoterapi konvensional maka psikoanalisa
menganalisa sampai jauh akar permasalahan.
Psikoterapi dalam Islam dapat menyembuhkan semua aspek
psikopatologi, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Psikoterapi hati
itu ada lima macam berdasarkan ungkapan dari Ali bin Abi Thalib :(Mujib,
2002).
1. Membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya. Al-Quran
dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama. Menurut al-Faidh al-
Kasyani dalam Tafsirnya mengemukakan bahwa lafal-lafal al-Quran dapat
menyembuhkan penyakit badan sedangkan maknanya dapat
menyembuhkan penyakit jiwa. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah bacaan
Al-Quran mengobati penyakit jiwa dan badan manusia.
2. Melakukan shalat malam memiliki banyak hikmah. Allah SWT
menjanjikan surga bagi yang melakukannya. Jiwanya selalu hidup dan
mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman. Shalat juga merupakan terapi
psikis yang bersifat kuratif, perventif dan konstruktif. Shalat membina
seseorang untuk melatih konsentrasi yang integral dan komprehensif. Hal
itu tergambar dalam niat dan khusyu. Shalat dapat menjaga kesehatan
potensi-potensi psikis manusia, seperti potensi kalbu untuk merasa (emosi),
-
58
potensi akal untuk berpikir (kognisi), dan potensi syahwat (appetite) dan
ghadab (defense) untuk berkarsa (konasi).
3. Bergaul dengan orang yang baik atau salih. Orang yang salih adalah orang
yang mampu mengintegrasikan dir