Dasar Teori Fisiologi respi.docx
-
Upload
m-haris-yoga-iswantoro -
Category
Documents
-
view
98 -
download
10
Transcript of Dasar Teori Fisiologi respi.docx
Dasar Teori
A. Tahapan Respirasi
1. Respirasi Eksternal
Respirasi eksternal merupakan semua tahap yang meliputi
pertukaran gas O2 dan CO2 antara atmosfer dan sel tubuh (Sherwood,
2011). Ada empat tahapan utama dalam respirasi eksternal dalam
Silverthorn (2010) yaitu mencakup :
a) Ventilasi Pulmonal
Merupakan Pergerakan udara keluar masuk paru akibat modifikassi
ukuran volume dan tekanana saluran pernafasan. Dengan mekanika
bernafasa tahap ini maka udara dari armosfer luar bisa tersedia di
atmosfer untuk dipindahkan ke darah begitu juga sebaliknya. Laju
ventilasi (aliran pernafasan dikontrol dengan baik menyesuaikan
dengan perfusi (aliran darah)
b) Difusi O2 dan CO2 di membran respiratoria (Membran yang
terbentuk oleh alveolus dan kapiler paru
c) Transpor O2 dan CO2 melalu pembuluh darah sistemik.
d) Difusi O2 dan CO2 antara kapiler jaringan dengan sel-sel tubuh
Proses respirasi eksternal ini sangat melibatkan sistem
respirasi dan kardiovaskular yang mencakup sampai pertukaran gas
dan transport gas oleh darah untuk menjaga homeostatis gas yang
dibutuhkan dalam tubuh. Selain itu, dalam respirasi eksternal peran
respirasi juga dibantu oleh sistem saraf, sistem muskuloskeletal
dan sistem hormon.
2. Respirasi Internal
Respirasi internal secara harfiah merupakan mekanisme intrasel
yang menggunakan O2 dan nutrisi yang didapat tubuh untuk
menghasilkan ATP (energi) dan mengeluarkan CO (aslah satu sisaa
metabolik tubuh). Respirasi internal ini terjadi terutama di bagian
mitochondria. O2 penting dalam proses metabolik ini dan kadar energi
yang ditimbulkan bervariasi tergantung molekul nutrien yang
digunakan. Respiratory Quotient (rasio CO2 yang diproduksi terhadap
O2 yang dikonsumsi) yang dihasilkan juga bergantung pula pada jenis
molekul makanan yang digunakan. Respiratory Quotient terhadap
metabolisme glukosa (karbohidrat) adalah 1 yang berarti untuk 1
molekul glukosa yang dipakai maka menghasilkan a1 molekul CO2
(Sherwood, 2011).
B. Fungsi Sistem Respirasi
1. Fungsi Respiratorik
Memperoleh O2 dari atmosfer dan mengeluarkan CO2 dari dalam
tubuh untuk menjaga homeostasis
2. Fungsi Non-Repiratorik
a) Membantu Penghidu
Cabang terminal dari bulbus olfactorius yang merupakan
perpanjangan dari nervus Olfatorius mempersarafi konkoa superius
dan bagian atap cavum nasi. Turbulensi udara pada konka akan
mebuat udara berbenturan dan bertahan lebih lama di kavum nasi
sehingga membuat penciuaman dari odor yang terhirup
berlangsung.
b) Menjadi Proteksi Sekaligus Membantu Mengstabilkan Udara
Respirasi
Udara attmosfer yang dihirup dengan udara internal tubuh
disesuaikan sedemikan rupa oleh saluran nafas dengan memfiltrasi,
menghumidifikasi, dan menghangatkan udara yang masuk. Udara
yang terinhalasi akan lebih jauh difiltrasi oleh bulu hidung , cilia,
dan mukus di saluran anfas atas sehingga hanya benda yang kurang
dari 5 µ akan masuk ke saluran nafas lebih bawah untuk
selanjutnya dibersihkan oleh sel dust dan reflek batuk. Udara yang
akan keluar masuk paru juga akan distabilkan kelembaban dan
panasnya melalui pembuluh darah di mukosa saluran nafas
sehingga udara akan aman untuk digunakan berdifusi di alveolus
(Sherwood, 2011).
c) Membantu Mengstabilkan Keseimbangan Asam Basa Di Dalam
Tubuh Dengan Mengontrol Kadar CO2 Yang Bisa Kemudian
Mengatur Kadar H+ Di Aliran Darah (Martini er al, 2012)
d) Memungkinkan Untuk Berbicara, Bernyanyi dan Bahkan Bersiul
Pada daerah Laring (disebut juga sebagai voice box), terdapat plica
vocalis dan rima glutidis. Plica vokalis merupakan suatu lipatan
segeitig dibawa plica vestibularis dan mengatur menutup
terbukannya glotis yang menjadi batas saluran nafas bawah dan
atas. Otot-otot laring akan mengubah posisi plica vocalis dan
menggetarkan udara yang melewati plica vocalis tersebut maka
akan muncul suara. Suara tersbut bisa dimofiikasi oleh ebrbagai
struktur mulut yaitu bibir, lidah, dan palatum mole yang bisa
membuat suara menjadi lebih jelas seperti sara yang kita kenali
saat ini (Martini er al, 2012).
Gambar 1. Plica vocalis pada alring berperan dalam fonasi salah satu fungsi nonrepiratorik sistem respirasi (Silverthorn, 2010).
e) Mengaktifkan dan Menonaktifkan Zat Tertentu di Kapiler Paru
Kapiler paru memiliki sifat yang unik karena bisa menonaktifkan
danmengaktifkan berbagai komponen kimiawi tertentu yang ada di
aliran darah tersebut. Salah satu komponen yang bisa
dinonaktifkan adalah prostaglandin yang merupakan mediator
inflamasi. Hal ini penting karena jika ada peradangan dari atau
diluar paru maka salah satu mediator inflamasi yaitu Prostaglandin
tersebut tidak bisa memicu inflamasi juga di daerah pulmonal. Hal
ini penting karena semua sirkulasi darah akan mencapai sirkulasi
paru sehingga jika terjadi infeksi atau trauma akan memicu
peradangan besar-besaran yang bisa mengganggu fungsi respirasi
paru. Selain itu, ada komponen yang diaktifkan oleh kapiler paru
yaitu angiotensin II yang ebrperan penting dalam emngatur tekanan
dan bolume darah dengan mengontrol kadar Na+ di cairan
ekstrasel (Sherwood, 2011).
C. Mekanika Pernafasan
a) Prinsip Tekanan dalam Ventilasi Pulmonal
Secara umum pergerakan gas pada suhu yang sama akan menggunakan
prinsik hukum boyle (Tekanan berbanding terbalik dengan Volume) .
Karena itu untuk bisa mengetahui mekanika bernafas (ventilasi
pulmonal) sangat penting untuk memahami prinsip tekanan gas yang
ada di udara. (Sherwood, 2011).. Ada tiga konsep tekanan utama yang
mempengaruhi ventilasi pulmonal.
1) Tekanan Atmosfer
Tekanan atmosfer merupakan tekanan yang ditimbulkan dari
berat gas-gas yang ada diatmosfer terhadap benda di
permukaan bumi.Tekananatmosfer ini pada ketinggian
permukaan laut adalah 760 mmHg dan akan terus berkurang
seiring bertambahnya ketinggian. Oksigen bersih pada tekanan
atmosfer inilah menjadi sumber oksigen (Sherwood, 2011).
2) Tekanan Intraalveolus/Tekana Intrapulmonal
Merupakan Tekanan udara yang secara kolektif pada alveolus.
Karena terjadi hubungan oleh bagian konduktoria sistem
respirasi maka setiap perubahan tekanan intralaveolus akan
terjadi perubahan tekanan yang selanjutnya akan memicu
pergerakan udara keluar masuk paru (Seperti cairan, gas
bergerak menuruni gradien tekanan dari tekanan yang lebih
tinggi ke tekananyang lebih rendah) (Sherwood, 2011).
3) Tekana Intrapleura
Pulmo dekstra dan sinistra dildama rongga tholak diselimuti
oleh cavitas pleuralis dektra dan sinistra.Di dalam rongga
pleura ini berisi sedikit cairan dan udara. Adanya udara dalam
jumlah normal pada rongga pleura menimbulkan gradien
tekanan transmural yang berperan untuk menjaga kestabilan
paru agar tidak kolaps saat ekspirasi dan mebantu agar ekspansi
dada tidak berlebihan saat inspirasi. Tekana intraalveolus ini
sebesar 756 mmHg dan selalu berada leih rendah dibanding
tekanan intraalveolus saat isnspirasi dan ekspirasi. Tekanan ini
akan medorong paru kedalam dan mendorong rongga thoraks
keluar membentuk gradien tekanan transmular sebesar 4mm
Hg (jika tekana intraalveolus dan intrapulmonal sebesar 760
mmHg). Karena secara umum paru lebih elastis daripada
rongga thorax maka efek gradien tekanannya secara netto lebih
mendorong paru danrongga thoraks ke arah luar menjaga paru
agar tidak kolaps . (Sherwood, 2011).
a) Tipe –Tipe Pernafasan
1) Quiet Respiration (Pernafasan Tenang)
Secara normal atau dalam pernafasan tenang terjadi dua
proses yaitu inspirasi (proses aktif) dan ekspirasi ( proses
pasif). Proses Inspirasi yang terjadi melibatkan kontrol
penafasan oleh sistem saraf dan otot-otot inspirasi. Pada awal
inspirasi, tidak terjadi perbedaan tekanan antara tekanan
intrapulmonal dan tekanan atmosfer sehingga tidak terjadi
gradien tekanan dan tidak ada pengerakan keluar amsuk udara.,
Namun, jika terjadi perubahan karena kadar PO2 arteri
menurun atau PCO2 arteri menigkat maka (kemoreseptor
perifer dan sentral) akan menmibulkan rangsangan pada pusat
pernafasan di medulla oblongata (rangsangan kemoresptor
Sentral yang memindal kadar CO2) untuk mengaktifkan
pesarafan yang ada di pada otot inspirasi. Pada Pernafasan
tenang , ada dua otot inspirasi utama yang digunakan yaitu
Diafragma dan otot musculus intercostales eksternus yang
amsingmasing dipersarafi oleh Nervus Phrenicus (cabang
nervus Vagus) dan Nervus Intercostales eksternus secara
berturut-berturut. Ketika rangsagan muncul , maka diafragma
akan berkontraksi menekan abdomen sehingga meningkatkan
diameter supero-inferior rongga thorax. Disis lain, otot-ototo
intrercostales pada spatium intercostales juga berkontraksi
menambah diameter antero-posterior dan letero-lateral rongga
thoraks. Peningkatan volume ini menurunkan secara otomatis
tekanan alveolus sedikit dibawah tekanan atmosver (Palv – 759
mmHg; Patm = 760 mmHg). Akibatnya , udara masuk
kedalam paru sampai tekanan menjadi sama dan tahap inspirasi
berhenti lalu memulai tahap ekspirasi (Martini er al, 2012)
Selanjutnya pada awal ekspirasi, tekanan intrapulmonal dan
tekanan atmosfer dalam keadaans eimbang. Lalu, rangsangan
saraf yang mempersarafi diafragma dan otot intercostales
eksternus menghilang sehingga kedua otot itu relaksasi. Tapa
adanya gaya dari kedua otot-otot ini maka ekspansi dada
menurun dan paru juga kembali recoil mengikuti. Hal ini
membuat terjadi penurunan volume rongga thoraks sehingga
tekanan intrapulmonal selanjutnya akan naik (Palv-761 mmHg,
Patm = 760 mmHg) membuat udara di dalam paru sekarang
keluar dari paru dan saluran nafas (Martini er al, 2012)
2) Force Repsiration
Pada force respiration (pernafasan paksa/aktif) terjadi
mekanismenya mirip dengan pernafasan normal hanya saja ada
berbagai otot tambahan respirasi yang meningkatkan
kemampuan respirasi. Otot inspirasi asesorius (otot
sternocleidomastoideus, M. Scalenus, M. Serratus anterior, M.
Pectoralis major membantu inspirasi lebih dalam dengan lebih
menigkatkan volume rongga thoraks (melalui pengangkatan
lebih jauh dua costae perama dan os sternum). Hal ini membuat
tekanan intrapulmonal jauh lebih kecil sehingga udara luar
masuk ke paru dan tekanannya kembali seimbang pada fase
akhir inspirasi (Martini er al, 2012)
Selanjutnya, pada tahapan fase inspirasi paksa (forced
expiration) terjadi proses aktif dengan penggunaan kontraksi
otot ekspirasi (M. Intercostales internus, Mm. Abdominis,
Musculus transversu thoracis). Musculus intercostales dan
musculus thoracis internus akan menurnkan costa sehingga
mengecilkan diameter diametre latero- lateral dana
nteroposterion rongga thoraks. Di lain pihak, otot –otot
abdominis (M. Rectus abdominis, M. Oblique eksternus
abdominis, M. Oblique internus abdominis dan M. Transversus
abdominis akan menekan abdomen dan luga menekan
diafragma keatas sehingga diameter supero-inferior menurun.
Otot-otot itu akan mengecilkan volume rongga thoraks
sehingga tekanan intrapulmonal meningkat jauh dan
menngeluarkan udara dari dalam paru pada jumlah lebih
banyak dari ekspirasi tenang (Martini er al, 2012).
Gambar 2. Otot-otot Respirasi (Martini et al., 2012)
D. Resistensi Saluran Pernafasan
Sama seperti pembuluh darah, saluran pernafasan juga memiliki
resistensi yang mempengaruhi tekanan dan aliran darah paru. Dalam
keadaan normal besarnya kecepatan aliran dominansi dilihat dari besarnya
gradien tekanan saja karena pada orang sehat kaliber 9diameter dalam )
saluran nafas cukup besar sehingga restensi yang ditimbulkan tidak terlalu
mempengaruhi aliran nafas. Secara normal , ukuran saluran nafas dapat
diubah-ubah dalam tingkat sedang oleh innervasi saraf otonom. Stimulasi
parasimpatis yang pada saat tenang mendorong terjadinya kontraksi otot
polos dan bronkiolosu (bronkonstriksi) secara ringan. Sedangkan stmulasi
simpatis akan melakukan pelebaran saluran nafas (bronkodilatasi) untuk
menajin udara bisa keluar masuk dengan adekuat. Pada keadaan patologis
seperti PPOK, penyempitan diameter saluran nafas ini menjadi masalah
karena akan menghalangi udara cukup masuk ke paru dan lebih jauh serta
mampu membuat kemampuan ekspirasi jadi tidak maksimal karena
saluran nafas sering kolops (menyempit) meninggalkan udara yang masih
tersisa dibelakang. (Sherwood, 2011).
E. Elastisitas paru
Kemampuan elastisitas paru terdiri dari dua konsep penting yaitu
1) Compliance Paru
Compliance paru adalah kemampuan untuk meregang. Makin besar
compliance maka makin mudah paru untuk berkembang sehingga
mesi dengan tekanan sedikit namun pada paru dengan compliance
yang besar maka kapasitas pegembangannya tetap besar (Sherwood,
2011).
2) Recoil Elastic
Recoil elastic adalah salah satu sifat elastisitas paru yang
menggambarkan seberapa besar kemampuan paru untuk kembali ke
posisi semula setelaha mengalami regangan. Sifat recoil ini dipengaru
oleh dua faktor yaitu :
i. Jaringan ikat elastik paru
Paru memeiliki banyak serat elastin dan jaringan ikat
yang tersusun beranyam sehingga kemampuan
regangannya cukup besar
ii. Tegangan Permukaan
Beda dari berbagai organ lain, secara normal paru tidak
berada dalam kondisi alamiahnya karena paru dibuat
mengembang dengan tekanan intrapulmonarnya.
Tekanan ini dilawan oleh tegangan permukaan pada
membran dalam paru. Membran dalam paru berisi
sedikit sekali air yang melapisis semua permukaan
alveolus. Molekul air ini akan meciptakan suatu daya
kohesivitas (karena adanya ikatan Hidrogen antara O
dan H) sehingga molekul air cenderung saling tarik
menarik mebuat lapisan aloveolus saling mendekat,
mengerut , dan kolaps. Hal ini secara logis sangat
membantu pada saat ekspirasi namun berbahaya dalam
keadaan normal pernafasan karena itu dibentukn=lah
suatu lipoprotein yaitu surfaktan. Surfaktan dibentuk
oleh pneumosit tipe 2 (terpendam di dinding alveolis).
Surfaktan akan menghalangi ikatan antara moleku air
ini yang selanjutnya mengurangi tegangan permukaan
yang timbul (Sherwood, 2011).
F. Pemeriksaan Spirometri
Untuk mengukur disfungsi paru, banyak pemeriksaan yang bisa
dilakukan diantaranya melakukan uji analiss gas darah, pemeriksaan
kapasitas difusi membran alveolus, fototoraks, dan spirometri.
Pemeriksaan spirometri adalah salah satu ayng sederhana dan cukup
praktis untuk digunakan. Pada pemeriksaan ini digunakan suatu spirometer
yaitu alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan.
Pada alat spirometer digital sekarang sudah tidak menggunakan komponen
seperi tong dan sekarang sudah bisa memasukkan identitas dan keterangan
fisik probandus sehingga alat spirometri sendiri bisa memperkirakan hasil
pengukuran untuk mebandingkan dengan hasil asli pengukurannya.
Melalui spirogram (hasil print pemeriksaan spirometri) kita bisa mendapat
banyak keterangan mengenai kapasitas dan volume paru statik dan
dinamik (Sylvia & Wilson, 2006).
Gambar 3. Pemeriksaan Spirometri (Silverthorn, 2010)
a) Volume dan Kapasitas Paru Statik
Dalam keadaan statik (tanpa usaha bernafas paksa yang
dimodifikasi), kita bisa mengukur fisiologis pernafasan dengan
mngukur volume dan kapasitas paru statik dengan spirometri.
Beberapa nilai yang bisa diukur disini adalah
1. Volume Tidal (VT)
Merupakan volume udara yang secara normal bisa masuk dan
keluar paru
2. Volume cadangan inspirasi (IRV)
Volume tambhan yang bisa dihirup setelah inspirasi normal . Pada
pria sekitar 3300 ml dan wanita 1900 ml.
3. Volume cadangan ekspirasi (ERV)
Volume cadangan yang masih bisa dikeluarkan setelah ekspirasi.
Pada pria 1000 ml dan pada wanita 700 ml
4. Volume residual (VR)
Volume udara minimal yang masih tertinggal di paru bahkan
setelah ekspirasi paksa maksimal. Pada pria sekita 1200 ml dan
wanita 1100 ml.
5. Kapasitas residual Fungsional
Volume udara yang masih tersisa diparu setelah ekspirasi normal
( VT +ERV).
6. Kapasitas Vital (KV)
Besar volume udara maksimal yang bisa kita hembuskan setelah
melakukan inspirasi maksimal.
7. Kapasitas Total Paru
Volume udara total yang bisa ditampung paru. Besarnya pada pria
yaitu 5700 ml, perempuan 4500 ml
(Sherwood, 2011).
Gambar 4. Hasil Spirogram Volume Statik Paru
b) Volume Dinamik Paru
Volume dinamik paru adalah besarnya volume respirasi paksa yang
sudah dimodifikasi dengan memperhitungkan kecepatan udara yang
keluar masuk paru untuk menilai beberapa fungsi tertentu.
1. Volume ekspirasi Paksa dalam satu detik (FEV1 )
Besarnya volume yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi
maksimal dalam durasi satu detik . Besarnya secara normal sekitar
80% dari udara maksimal (Sylvia & Wilson, 2006).
2. Kapasitas vital paksa (FVC)
Besarnya volume udara maksimal yang bisa dikeluarkan secara
paksa. Normalnya terukur sekitar 4 Liter (Sylvia & Wilson, 2006).
c) Indikasi dan Kontraindikasi Spirometri
Secara umum, indikasi pemeriksaan spirometri dilakukan pada
pemeriksaan progresifitas penyakit paru kronik dan untuk mendeteksi
pada penderita dengan gejala-gejala kekurangan oksigen untuk
memeriksa apakah ada disfungsi paru atau tidak (Sylvia & Wilson,
2006).
i. Indikasi
1. Deteksi penyakit paru
2. Ortopneu dan Angina Pektoris
3. Deformitas thoraks
4. Sianosis
5. Clobbing finger
6. Penderita batuk kronik dan produktif
7. Evaluasi perokok > 40 tahun
8. Penderajatan asma akut
9. Pemeriksaan berkala untuk progresifitas penyakit
10. Pasien yang akan mengalami reseksi paru
(Sylvia & Wilson, 2006).
ii. Kontraindikasi
a) Hemoptisis
Pada kondis probandus mengalami hemoptisis (batuk
darah), diduga ada gangguan kerapuhan vaskuler (mudah
rupture) pada sirkulasi bronchial atau sirkulasi pulmonal.
Perubahan tekanan saat respirasi berpengaruh pada perubahan
tekanan di arteri dan sepanjang pembuluh darah. Pada
pemeriksaan spirometri yang membutuhkan respirasi paksa
dikhawatirkan akan timbul peningkatan tekanan pembuluh
darah pada sirkulasi-sirkulasi tersebut sehingga mememcah
pembuluh darah dan membuat batuk darahnya lebih progresif
(Sylvia & Wilson, 2006).
b) Pneumothorax
Pneumothorak disebabkan oleh adanya trauma/luka
sehingga udara bisa masuk mengisi cavum pleura. Jika
melakukan pemeriksan spirometri dikhawatirkan terjadi
peningkatan udara hebat saat respirasi didalam alveolus paru
yang selanjutnya masuk ke cavitas pleura dan menyebabkan
tekanan intrapleura makin besar mendorong pulmo (gradien
tekanan transmural hilang krena tekananintrapleura naik dan
membuat paru kolaps). Jika tekanannya semakin besar bahkan
berpotensi mendorong mediastinum dan selanjutnya menekan
sisi pulmo yang lain sehingga gangguan pernafasan makin
berat (Sylvia & Wilson, 2006).
c) Emboli Paru
Emboli paru merupakan gangguan sirkulasi karena
adanya sumbatan pada pembuluh darah yang memperdarahi
paru. Jika diduga ada emboli, maka pemeriksaan spirometri
tidak bisa dilakukan karena pemeriksaan spirometri
memgharuskan tubuh untuk bernafas paksa secara kuat yang
kemudian akan meningkatkan tekanan pembuluh darah. Jika
sumbatan itu masih ada di pembuluh yang besar lalu terdorong
karena adanya peningkatan tekanan maka sumbatan akan
masuk dan menyumbat pembulu darah yang lebih kecil hingga
akibatnya menimbulkan obstruksi total pada pembuluh darah
tersebut dan daerah yang diperdarahinya terancam nekrosis
(Sylvia & Wilson, 2006).
d) Status Kardivaskular tidak stabil
Contoh status kardiovasular yang tidak stabil adalah
pada keadaan infark miokard. Pada kondisi ini terjadi sumbatan
yang mengakibatkan pembuluh darah yang memperdarahi
jantung mengalami obtruksi dan terjadi nekrosis pada
mikkoradium jantung sehingga jaringan yang masih belum
mengalami nekrosis bertumpu pada pembulu darah yang tidak
tersumbat. Jika terjadi pengembangan paru secara intensif
akibat spirometri maka jantung akan terdesar dan lebih jauh
menurunkan suplai oksigen dan nutrisi ke jantung yang
menyebabkan nekrosis semakin meluas. ( Silverthorn, 2010).
e) Aneurisma Serebri dan Thorax
Pada kasus ini, terjadi penipisan pembuluh darah dan
cenderung mudah sekali untuk rupture. Apalagi pada pemuluh
darah pada serebri dan thorax yang cukup vital dan besar
sehingga bisa mudah menimbulkan syok jika terjadi
perdarahan. Karena itu, peningkatan tekanan darah yang dipicu
oleh peningkatan kekuatan aliran respirasi yang besar pada
pemeriksaan spirometri tidak diperbolehkan (Sylvia & Wilson,
2006).
f) Pasca Bedah Mata
Setelah melakukan bedah mata , pembuluh darah
menjadi lebih rapuh dan jika terjadi peningkatan darah akibat
pernafasan maka dikhawatirkan aliran darah akan pecah dan
mendesak lapisan disekitarnya(koroid) dan mendesak nervus
opticus sehingga bisa mengalami kebutaan ( Silverthorn, 2010).
g) Kecemasan (mual, muntah, pusing, vertigo)
Gejala seperti mual, pusing, vertigo merupakan cirirciri
kemungkinan terjadinya tekanan intracranial. Karena itu
spirometri yang bisa menginisiasi peningkatan pada pembulu
darah tidak dianjurkan untuk mencegah kerusakan pada
pembuluh darah serebri (Sylvia & Wilson, 2006).
Daftar Pustaka
Martini, Fredrick H., Nath, Judi L., Bartholomeuw, Edwin F. 2012. Fundamentals
of Anatomy and Physiology. San francisco : Pearson Education, Inc.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit. Jakarta :EGC
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta
:EGC
Silverthorn, Dee Unglaub.2010. Human Physology : An Integrated Approach. San
francisco : Pearson Education, Inc.