Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

28
DASAR DASAR PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Amrizal, MA. Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau Abstrak Sistem pendidikan termasuk pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar konsep yang kokoh. Ia dibangun atas tiga wawasan sekaligus secara integral, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman. Wawasan ketuhanan akan menumbuhkan idologi, idealisme, cita-cita dan perjuangan. Sedangkan wawasan tentang manusia akan menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan, kebersamaan, demokrasi, egalitarian, menjunjung nilai kemanusiaan, dan sebaliknya menentang anarkisme dan kesewenang-wenangan. Kemudian wawasan tentang alam akan melahirkan semangat dan sikap ilmiah, sehingga dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesadaran yang mendalam untuk menjaga dan melestarikannya. Dari tiga wawasan tersebut akan lahir manusia yang paripurna yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, serta memiliki pengetahuan yang luas. Keyword : Tuhan, manusia, dan alam A. Pendahuluan Dasar-dasar pengembangan sistem pendidikan Islam merupakan konsep dan pemikiran yang menjadi pijakan dalam mengembangkan sistem pendidikan yang islami, baik secara teoritis maupun praktis. Hal ini perlu dikemukakan mengingat praksis pendidikan kita sekarang pada umumnya banyak mengacu kepada konsep dan pemikiran barat yang sekuler, sebagaimana juga dikemukakan oleh Ismail SM, yang dikutip oleh Abd. Rahman Abdullah, ketika mencermati kondisi pendidikan Islam sebagai berikut: 1 "Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terintervensi konsep

description

Artikel

Transcript of Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Page 1: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

DASAR DASAR PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Amrizal, MA.

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

Abstrak

Sistem pendidikan termasuk pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar konsep

yang kokoh. Ia dibangun atas tiga wawasan sekaligus secara integral, yaitu ketuhanan,

kemanusiaan, dan kealaman. Wawasan ketuhanan akan menumbuhkan idologi,

idealisme, cita-cita dan perjuangan. Sedangkan wawasan tentang manusia akan

menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan, kebersamaan, demokrasi, egalitarian,

menjunjung nilai kemanusiaan, dan sebaliknya menentang anarkisme dan kesewenang-

wenangan. Kemudian wawasan tentang alam akan melahirkan semangat dan sikap

ilmiah, sehingga dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesadaran

yang mendalam untuk menjaga dan melestarikannya. Dari tiga wawasan tersebut akan

lahir manusia yang paripurna yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, serta

memiliki pengetahuan yang luas.

Keyword : Tuhan, manusia, dan alam

A. Pendahuluan

Dasar-dasar pengembangan sistem pendidikan Islam merupakan konsep dan pemikiran

yang menjadi pijakan dalam mengembangkan sistem pendidikan yang islami, baik secara teoritis

maupun praktis. Hal ini perlu dikemukakan mengingat praksis pendidikan kita sekarang pada

umumnya banyak mengacu kepada konsep dan pemikiran barat yang sekuler, sebagaimana juga

dikemukakan oleh Ismail SM, yang dikutip oleh Abd. Rahman Abdullah, ketika mencermati

kondisi pendidikan Islam sebagai berikut: 1

"Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah

terkontaminasi dan terintervensi konsep pendidikan Barat. Di mana paradigma pendidikan

Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengajaran

pengetahuan ansich, menitikberatkan pada segi teknis empiris, sebaliknya tidak mengakui

jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas, serta jauh dari landasan spiritual. Dalam konteks

lebih khusus lagi merupakan sebuah realitas bahwa pendidikan Barat tidak mengarahkan

perhatian pada masalah moral atai etika (nilai ilahiyah). Kalaupun ada nilai, nilai yang

menjadi target adalah nilai humanistik semata, bersifat antroposentrik (berkisar manusia).

Paradigma Barat yang sekuler tersebut berakibat hilangnya nilai etik dan transendental

Page 2: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

dalam pendidikan yang akhirnya justru menimbulkan dehumanisasi, bukan humanising of

human being".

Menurut Nurcholis Majid,2 pengembangan sistem pendidikan (Islam) hendaklah berkisar

dua dimensi hidup manusia. Pertama, dimensi ketuhanan yang meliputi iman, Islam, ihsan,

taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, dan sabar. Dengan nilai-nilai ini diharapkan dapat membentuk

rasa taqwa dalam diri peserta didik. Kedua, dimensi kemanusiaan meliputi silaturrahmi,

persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya,

perwira, hemat, dan dermawan. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk akhlak

mulia pada diri peserta didik.

Hal senada juga dikemukan oleh Mastuhu,3 bahwa paradigma pendidikan Islam harus

dikembangkan berdasarkan pada filsafat teocentris dan antropocentris sekaligus. Dari konsep

ketuhanan saja yang bersifat teosentris dapat dikembangkan konsep antroposentris dan

kosmologis sekaligus. Dalam kontes ini, A. Malik Fajar 4 mengemukakan bahwa paradigma

pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang

utuh dan multi dimensional yang meliputi wawasan ketuhanan, manusia, dan alam secara

integratif. Wawasan ketuhanan (tauhid) akan menumbuhkan idologi, idealisme, cita-cita dan

perjuangan. Sedangkan wawasan tentang manusia akan menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan,

kebersamaan, demokrasi, egalitarian, menjunjung nilai kemanusiaan, dan sebaliknya menentang

anarkisme dan kesewenang-wenangan. Kemudian wawasan tentang alam akan melahirkan

semangat dan sikap ilmiah, sehingga dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

kesadaran yang mendalam untuk menjaga dan melestarikannya. Karena alam bukan semata-mata

sebagai objek yang harus dieksploitasi seenaknya, melainkan sebagai mitra dan sahabat yang ikut

menentukan corak kehidupannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep dan pemikiran yang menjadi dasar atau

pijakan pengembangan sistem pendidikan Islam baik secara teoritis maupun praktis adalah

konsep dasar ketuhanan, manusia, dan alam yang harus dilihat secara integratif dan utuh. Namun,

sebelum pembahasan lebih lanjut tentang ketiga hal tersebut pembahasan ini dimulai dengan

pengertian pendidikan Islam.

B. Pengertian Pendidikan Islam

Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang defenisi yang baku mengenai pendidikan

Islam. Hanya saja, dalam Konferensi Internasional tentang pendidikan Islam tahun 1977

direkomendasikan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah keseluruhan pengertian yang

Page 3: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

terkandung dalam istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Karena tiga istilah ini dianggap memiki arti

yang dekat dan tepat dengan makna pendidikan. Oleh karena itu pembahasan mengenai

pengertian pendidikan akan dikaitkan dengan terma-terma tersebut.

1. Tarbiyah

Istilah tarbiyah, sedikitnya memiliki tujuh macam arti, yaitu 5 (1) education

(pendidikan); (2) upbringing {asuhan); (3) teaching (pengajaran); (4) instruction

(perintah); (5) pedagogy (pendidikan); (6) breeding (pemeliharaan); dan (7) raising

(peningkatan). la berasal dari tiga akar kata yaitu;" 6 (1) raba yarbu ( يرب�و- ( ربي yang

berarti bertambah dan tumbuh; (2) rabiya yarubbu ( يربو- ( ربي yang berarti

memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara; dan (3) rabiya yarba

yang berarti tumbuh dan berkembang.

Dalam leksikologi al-Quran tidak dijumpai istilah tarbiyah . Namun, kalau

ditinjau dari akar kata, maka ada beberapa ayat al-Quran yang kata dan artinya sejalan,

yaitu untuk menunjukkan proses pertumbuhan dan perkembangan. Di antara ayat tersebut

adalah:

18. Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami,

waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari

umurmu. (Q.S. al-Syu’ara’ : 18)

24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan

ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua

telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. al-Isra’ : 24)

Kalau terma tarbiyah dikaitkan dengan lafal نربي )nurabbi( dalam bentuk

fi’il mudhari seperti tertera dalam Q.S. Al-Syu'ara' :18, maka terma tarbiyah memiliki

arti mengasuh, menanggung, memberikan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,

mempertumbuhkan, memproduksi, dan menjinakkan. Dalam konteks ini, kelihatan bahwa

cakupan makna tarbiyah hanya pada aspek jasmani saja. Adapun dengan kata ربياني

)rabbayani( dalam bentuk fi’il madhi seperti dalam Q.S. al-Isra’ : 24, maka cakupan

maknanya lebih luas meliputi aspek jasmani dan rohani.

Senada dengan penjelasan di atas, dapat dilihat dari interpretasi yang diberikan

oleh Fahr al-Razy,7 bahwa lafal rabbayani mengandung makna pendidikan (tarbiyah)

yang lebih lua s. Lafal tersebut bukan saja menunjukkan makna pendidikan pada taraf

Page 4: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

pengetahuan (kognitif) untuk selalu berbuat baik kepada orang tua, tetapi juga harus

direalisasikan dalam bentuk tingkah laku (afektif) dengan cara menghormati mereka.

Lebih dari itu, seorang anak juga harus mampu berbakti dan mendo'akan keduanya

(psikomotorik).

Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, 8 terma tarbiyah mengandung dua makna,

yaitu proses transformasi dan proses aktualisasi. Makna pertama ingin menjelaskan

bahwa tugas pendidikan adalah upaya menyampaikan sesuatu nilai (ilmu pengetahuan)

kepada peserta didik, agar memahami dan melaksanakan nilai-nilai yang diberikan.

Sedangkan makna kedua ingin mengatakan bahwa manusia mempunyai potensi-potensi

(fitrah) yang dibawa sejak lahir; seperti potensi beragama, potensi berakal budi, potensi

kebersihan dan kesucian, potensi bermora/berakhlak, dan lain sebagainya. Tugas

pendidikan adalah mengembangkan dan menginternalisasikan potensi-potensi tersebut

pada diri peserta didik, sehingga ia bersifat aktif dan dinamis. Dalam konteks ini,

menurut Samsul Nizar, 9 pendidikan (tarbiyah) Islam bukan berupaya untuk mencetak

peserta didik pada suatu bentuk, akan tetapi berupaya menumbuhkembangkan potensi-

potensi yang ada pada dirinya seoptimal mungkin dan mengarahkan agar pengembangan

potensi tersebut sesuai dengan nilai ilahiyah.

Paparan di atas memberikan pengertian bahwa terma tarbiyah mencakup

berbagai aspek dan nilai pendidikan secara harmonis dan integral, baik aspek kognitif,

afektif, dan psikomotorik maupun aspek jasmaniyah dan rohaniyah.

2. Ta'lim

Dalam kamus Hans Wehr, 10 terma ta'lim memiliki dua bentuk jamak, yaitu تعاليم

)ta'alim( dan تعليمات (ta’limat). Perbedaan bentuk jamak tersebut mengakibatkan sedikit

perbedaan arti, meskipun tidak begitu signifikan untuk dibedakan. Ta'alim mempuyai

sembilan arti, yaitu (1) information (berita); (2) advice (nasehat); (3) instruction (perintah);

(4) direction (petunjuk); (5) teaching (pengajaran); (6) training (pelatihan); (7) schooling

(pendidikan di sekolah); (8) education (pendidikan); dan (9) apprenticeship (bekerja

sambil belajar). Adapun ta'limat hanya mempunyai dua arti, yaitu directive (petunjuk) dan

annoncement ( pengumuman).

Secara terminologi, para ahli memberikan penjelasan yang berbeda tentang terma

ta’lim . Muhammad Rasyid Ridho, 11 misalnya, memberi defenisi dengan proses transmisi

berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa ada batasan dan ketentuan tertentu.

Defenisi yang diberikan ini berpijak dari firman Allah :

Page 5: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Artinya : dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian

mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku

nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! (Q.S. al-

Baqarah : 31)

Menurut Ibn Hajar al-`Asqalani, 12 ayat ini menunjukkan terjadinya proses

pengajaran (ta'lim) kepada Adam As. Sekaligus menunjukkan kelebihannya, karena ilmu

yang dimilikinya tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Oleh karena itu, Allah

swt. menyuruh Malaikat untuk bersujud kepada Adam. Berdasarkan interpretasi dari ayat

di atas, maka terma ta'lim (dari lafal `allama) condong kepada aspek pemberian

informasi. Karena pengetahuan yang dimiliki itu semata-mata akibat pemberitahuan,

sehingga dalam terma ta'lim tersebut menempatkan peserta didik sebagai yang pasif

adanya. Lihat ayat berikut:

Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari

apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S AlBaqarah : 32)

Berbeda dengan pendapat di atas, Abdul Fatah Jalal 13 mengemukakan bahwa

terma ta'lim secara implisit juga menanamkan aspek afektif. Karena pengertian ta'lim

juga ditekankan prilaku yang baik (akhlak al-karimah).' Pendapatnya tersebut berpijak

pada firman Allah swt.:

Artinya: "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan

ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat) bagi perjalanan bulan itu supaya

kalian mengatahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak

menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak dan menjelaskan

Page 6: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S

Yunus : 5)

Dari ayat di atas, menurutnya lagi, akan berpencaran ilmu-ilmu lain bagi

kemaslahatan manusia sendiri, tanpa terlepas dari nilai ilahiyah. Kesemua itu dalam rangka

beribadah kepada Allah swt. Untuk sampai pada tujuan ini, ta'lim merupakan suatu proses

yang terus menerus, yang diusahakan semenjak manusia lahir (Q. S. 16 : 78) sampai

manusia tua renta atau bahkan meninggal dunia (Q. S. 22 : 5). Dari argumennya tersebut,

Jalal menempatkan terma ta’lim kepada penunjukan pendidikan, karena cakupannya yang

luas dibandingkan dengan istilah lain yang sering dipergunakan.14

Berdasarkan argumen di atas, Abdul Fatah Jalal memberikan defenisi ta'lim

sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan

penanaman amanah, sehingga terjadi tazkiyah (penyucian) atau pembersihan diri manusia

dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang

memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat

baginya dan yang tidak diketahuinya.

Argumentasi yang dikemukan oleh Abdul Fatah Jalal tentang makna yang

dikandung oleh terma ta'lim sangat tidak bisa dipahami. Ayat al-Quran yang dikemukakan

sebagai pijakan pendapatnya tidak memiliki konteks yang relevan. Ayat di atas

menjelaskan tentang kebesaran Allah yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan

bercahaya, dan tidak ada sama sekali penjelasan tentang pengajaran (ta'lim).

Dari penjelasan di atas, maka terma ta'lim tetap hanya merupakan upaya

menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek tertentu saja (domain kognitif).

Buktinya, terma 'allama dalam surat 2 : 31 dikaitkan dengan terma aradha yang

berimplikasikan bahwa proses pengajaran Adam As. tersebut pada akhirnya diakhiri

dengan tahapan evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi dominan

kognitif, yakni penyebutan nama-nama benda yang diajarkan. Jadi, belum pada tingkat

domain lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terma ta'lim maknanya lebih sempit

di banding tarbiyah . Karena ta'lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan

mengacu pada aspek tertentu saja (domain kognitif), sedangkan tarbiyah mencakup seluruh

aspek pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik).

3. Ta' dib

Page 7: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Secara etiomologi, lafal ta'dib memiliki lima macam arti, yaitu: 15 (1)education

(pendidikan); (2) discipline (ketertiban); (3) punishment dan (4)chastisement (hukuman);

dan (5) disciplinary punishment (hukuman demi ketertiban). Nampaknya, terma "ta'dib "

ini berorientasi pada upaya pembentukan pribadi Muslim yang berakhlak mulia.'3o

Pengertian ini sesuai dengan hadis Nabi :

تأديبي فأحسن ربي ادبني

Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka la sempurnakan pendidikanku.

Meskipun lafal ta'dib ini begitu tinggi nilainya, namun lafal ini tidak sekalipun

disebutkan dalam Al-Quran. Menurut Mustofa Rahman,16 ada beberapa asumsi yang bisa

dikemukakan kenapa Al-Quran tidak menyebutnya. Di antaranya, pertama, nilai-nilai

yang terkandung pada lafal ta'dib sudah terkandung pada lafal yang menunjukkan arti

pendidikan yang lain (tarbiyah dan ta'lim). Kedua, sifat kitab suci yang global sehingga

aturannya hanya berkenaan dengan masalah pokok. Sedangkan penjelasan yang lebih

rinci dilaksanakan oleh Rasulullah saw.

Walaupun terma ta'dib tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran, tetapi menurut

An-Nuquib al-Attas,17 terma ini merupakan yang paling sesuai digunakan dalam

diskursus pendidikan Islam dibandingkan terma tarbiyah dan ta'lim. Karena pengertian

yang dikandung oleh terma ta'dib mencakup semua wawasan ilmu pengetahuan, baik

teoritis maupun praktis yang terformulasi dengan nilai-nilai tanggung jawab dan

semangat ilahiyah.

Adapun terma tarbiyah menurut Al-Attas, makna pendidikannya masih bersifat

umum. la tidak hanya berlaku bagi proses pendidikan pada manusia, tetapi juga ditujukan

pada proses pendidikan selain manusia. Padahal diskursus pendidikan Islam hanya

ditujukan kepada proses-proses pendidikan yang dilakukan oleh manusia dalam upaya

memiliki kepribadian Muslim yang utuh, sekaligus membedakannnya dengan makhluk

Allah lainnya. Sedangkan terma ta'lim hanya ditujukan pada proses pentransferan ilmu

(proses pengajaran) tanpa ada pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku.

Terlepas dan terma mana yang lebih tepat dan mencerminkan pendidikan Islam

sebenarnya, setidaknya, ketiga terma di atas secara umum memiliki tujuan akhir yaitu

mengantar peserta didik pada satu tahap tertentu. Masing-masing memiliki titik tekan

sendiri-sendiri. Meskipun terma untuk pendidikan Islam itu yang digunakan dalam Al-

Quran hanya tarbiyah dan ta'lim , tidak berarti konsep pendidikan Islam tidak menyentuh

Page 8: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

aspek yang dimiliki oleh istilah ta'dib . Sebab esensi dari sistem pendidikan Islam adalah

perbaikan moral sebagaimana dikandung langsung oleh terma ta'dib tersebut.

Sesuai dengan pembuka tulisan bab ini, untuk menghindari silang pendapat tentang

istilah pendidikan dalam Islam, maka Konferensi Internasional tentang Pendidikan Islam

telah merekomendasikan istilah dalam kerangka defenisi pendidikan Islam sebagai berkut :

"The meaning of education in its totality in the context of Islam is inherent in the

connatations of the terms Tarbiyah, Ta'lim, and Ta'dib taken together. What each of these

terms conveys concerning man and his society and environment in the relation to God is

related to the other, and together they represent the scope of education in Islam, both

`formal' and `non formal'.(pengertian pendidikan Islam tercakup dalam istilah Tarbiyah,

Ta'lim, dan Ta'dib secara bersamaan. Masing-masing istilah tersebut berkaitan dengan

kepentingan manusia, masyrakat dan lingkungannya dalam hubungan dengan Tuhan, dan

keterkaitan istilah satu dengan yang lainnya secara bersama-sama merupakan ruang

lingkup pendidikan Islam)."

Dalam konteks ketiga istilah pendidikan dalam Islam tersebut, Yusuf Amir Faisal 18 mengemukakan pendapatnya bahwa istilah tarbiyah lebih menitikberatkan kepada

masalah pendidikan, penbentukan, dan pengembangan pribadi serta pembentukan dan

pengembangan kode etik (norma etika dan akhlak). Adapun ta'lim menitik beratkan pada

masalah pengajaran, penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu. Sedangkan ta'dib

lebih memandang bahwa proses pendidikan merupakan usaha yang mencoba membentuk

keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi dirinya sebagai muslim yang harus

melaksanakan kewajiban serta fungsionalsasi atas niat atau sistem sikap yang

direalisasikan dalam kemampuan berbuat yang teratur (sistematik), terarah, dan efektif.

Dengan demikian, ketiga istilah tersebut merupakan akar dari makna pendidikan

Islam. Satu sama lain saling berhubungan dan saling melengkapi. Kata tarbiyah lebih

diartikan sebagai pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan, pengulangan,

penciptaan, keagungan yang kesemuanya dalam rangka menuju kesempurnaan sesuai

dengan kedudukannya. Kata ta'lim diartikan sebagai usaha mengarahkan kegiatan belajar

mengajar dalam memahami, menguasai, dan menambah ilmu pengatahuan secara baik dan

seluas-luasnya. Adapun ta'dib merupakan usaha membina dan menanamkan adab berupa

akhlak yang didasarkan nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud kepribadian utama

dalam kehidupannya. Walaupun praksis pendidikan Islam saat ini menggunakan terma

Page 9: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

tarbiyah, diharapkan dalam operasionalnya tetap mengacu kepada makna yang dikandung

oleh ketiga terma tersebut, sehingga sistem pendidikan Islam yang dihasilkan sangat ideal.

C. Tuhan Dalam Sistem Pendidikan Islam

Membicarakan konsep ketuhanan sebagai pijakan pengembangan sistem pendidikan

Islam tidaklah bermaksud mencari pemahaman tentang Tuhan dalam kerangka ontologis dan

epistemologis. Yang ingin dikaji adalah menyangkut berbagai nilai, isyarat, dan petunjuk yang

memiliki relevansi luas dan strategis dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam.

Membicarakan konsep ketuhanan tidak terlepas dari pemahaman tentang adanya (wujud)

Allah, sifat-sifat-Nya, Asma-asma-Nya, dan tauhid sebagai sistem teologi Islam. Al-Quran

memerintahkan kita untuk merenungkan dan memahami segala ciptaan-Nya sehingga akhirnya

bisa memahami eksistensi Tuhan. Tuhan tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang irrasional, tetapi

berubah menjadi keyakinan yang hakiki.

Menurut al-Quran, eksistensi Tuhan benar-benar fingsional; Dia adalah Pencipta serta

Pemelihara alam dan manusia, terutama sekali Dia memberi petunjuk kepada manusia dan kelak

akan mengadili manusia secara individual maupun kolektif. Sifat-sifat Tuhan seperti Pencipta,

Pemelihara, Pemberi Petunjuk, Keadilan dan Belas-Kasih saling berkaitan dan merupakan satu

kesatuan organis dalam konsep manusia tentang Tuhan.19

Tentang Asma al-Husna sebagai cerminan nama-nama Tuhan terdapat nila-nilai yang luar

biasa luas dan dalam. Nama-nama seperti al-Rahman dan al-Rahim (Pengasih dan Penyayang),

al-Ilm (Ilmu), al-Hikm wa al-`Adl (Maha Bijaksana dan Adil), al-Haq (Maha Benar), al-`Aziz

(Maha Mulia), dan lain-lain yang semuanya berjumlah 99 nama, dapat dijadikan sebagai sumber

nilai yang berharga bagi kehidupan manusia, khususnya bagi pendidikan Islam. Menurut Hasan

Langgulung, 20 Kalau nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang 99 tersebut diaktualisasikan pada

diri manusia niscaya merupakan potensi yang tak terkira banyaknya, dan kalau sifat-sifat itu

diambil satu persatu dan dikombinasikan, maka akan menjadi potensi yang jutaan jumlahnya.

Misalnya, Allah bersifat al-Quddus (Maha Suci) maka untuk mengembangkan kesucian

diperlukan ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Al- Rahman (Maha Pengasih), Allah

memerintahkan manusia bersifat kasih sayang dalam kehidupannya. Al-`Alim (Maha Mengetahui)

bermakna juga agar manusia memiliki dan mengembangkan ilmu bagi kehidupannya, dan

bergitulah seterusnya. Dari sini tergambar bagaimana kompleksnya potensi yang dimiliki

manusia yang dapat mengembangkan sumber daya manusia, sekaligus dapat bernilai dalam

Page 10: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

rangka mengembangkan sumber daya alam suatu masyarakat, bangsa dan negara. Potensi-potensi

yang begitu banyak hanya bisa diaktualisasikan melalui pendidikan.

Kemudian, tauhid sebagai sistem teologi dalam Islam merupakan suatu pandangan hidup

yang menegaskan adanya proses kesatuan dan kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan

kehidupan. Semua yang ada bersumber hanya pada Yang Satu Tuhan saja, yang menjadi asas

kesatuan ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk, jenis, dan bidang kehidupan. Dalam konteks

teologi, tauhid adalah pernyataan iman kepada Tuhan Yang Tunggal dalam satu sistem. Karena,

pernyataan iman seseorang kepada Tuhan bukan hanya pengakuan lisan, pikiran dan hati (kalbu),

melainkan juga tindakan dan aktualisasinya yang mesti diwujudkan dan tercermin dalam berbagai

bidang kehidupan baik itu sosial, ekonomi, pendidikan, politik, maupun kebudayaan. Dengan

demikian, teologi Islam adalah teologi yang integratif, teologi aktual, dan teologi transformatif.

Teologi integratif memandang hakikat Tuhan Yang Tunggal akan berpengaruh dengan kesatuan

sikap dalam hidup. Teologi aktual yaitu iman tidak berhenti pada dataran lisan, pikiran, dan hati

melainkan teraktualisasi dalam hidup, tindakan dan perbuatan. Teologi transformatif karena akan

membina dan mengubah manusia ke arah akhlak al-karimah dan kehidupan yang ideal sesuai

dengan nilai dan fitrah kemanusiaan.21

Dalam konteks pendidikan, menurut Azyumardi Azra, sebagaimana disitir oleh Abd.

Rahman Abdullah, bahwa konsep pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang menjadikan

tauhid sebagai paradigmanya, tauhid pradigm . Dalam artian tidak hanya mengesakan Tuhan,

tetapi mengintegrasikan seluruh aspek, seluruh pandangan dan aspek kehidupan manusia. 22 01eh

karena itu, jika seseorang melakukan pengamatan dan penelitian terhadap gejala alam dan sosial

kemanusiaan, misalnya, maka yang dihasilkan tidak hanya pengetahuan yang bersifat kognitif

belaka, juga tidak hanya bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (berwujud kemampuan

teknologis atau teknokratis untuk mempermudah hidup lahiriah dan material manusia), tetapi juga

membawanya kepada keinsafan ketuhanan yang lebih mendalam, melalui penghayatan

keagungan dan kebesaran Tuhan sebagaimana. tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya.23

Dengan demikian, konsep dasar ketuhanan dalam Islam mempunyai kedudukan yang

amat strategis bagi pengembangan konsep dan pemikiran kependidikan Islam. Maka dapat

dikatakan bahwa pendidikan Islam tidak boleh lepas dari konsep ketuhanan, teosentris, sekaligus

mencakup kemanusiaan dan kealaman.

D. Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam

Kajian tentang manusia telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah

Page 11: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

bisa dijawab secara final terutama dalam menyingkap hal-hal rohaniah yang bersifat

abstrak. Ketidakmampuan manusia dalam menelusuri substansi dirinya disebabkan karena

keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya. Keterbatasan ini menurut Quraish

Shihab, disebabkan tiga faktor: pertama, dalam sejarah kehidupannya, manusia lebih

tertarik melakukan. penyelidikan tentang alam materi (konkrit) dibandingkan kepada

hal-hal yang bersifat immaterial (abstrak). Kedua, keterbatasan akal manusia yang

hanya memikirkan hal-hal yang bersifat instrumental dibandingkan dengan hal-hal yang

substansial dan kompleks. Ketiga, Kompleksitas dan uniknya masalah manusia.24

Untuk itu Allah SWT. melalui firmannya, Al-Quran, telah memberikan kemudahan

kepada manusia untuk menggali hakekat dirinya. Sehingga dengan demikian, manusia

tidak akan keliru dan salah dalam menempatkan posisinya sebagai salah satu makhluk-

Nya di bumi ini. Karena kekeliruan dalam memahami diri akan berakibat salah dalam

berbuat. Misalnya, ketika manusia menganggap dirinya sebagai bentuk yang melebihi

makhluk lain dan bahkan Zat Transenden sekalipun (superior) akan berbuat tanpa batas-batas

norma transenden yang perlu dipertanggungjawabkan. Atau sebaliknya, ketidakmengertian

manusia tentang dirinya akan memiliki sifat pesimis dan rendah diri (imperior), sehingga

merasa sebagai makhluk yang hina dan harus tunduk pada makhluk lainnya yang

dianggap memiliki kekuatan.

Tentang proses kejadian manusia, banyak ayat yang bisa kita rujuk.

Misalnya, Q.S. al-Mukminun: 12-14, Q.S. al-Hajj: 5, Q.S. al-Insan: 2, Q.S. al -

Mukrmn: 67, Q.S. al-Thariq: 5-7, Q.S. al-Sajadah: 8-9, Q.S. al-Najm: 32, dan banyak

lagi ayat vang menjelaskan kejadian manusia.25 Dari ayat-avat tersebut tergambar bahwa

penciptaan manusia terdiri-dari dua aspek pokok, yaitu aspek material (jasad) dan aspek

immaterial (ruh).

Dari dua aspek tersebut, maka yang paling esensial adalah aspek

immaterialnya atau ruhnya. Karena hakekat dari kedua aspek tersebut adalah ruh. Jasad

hanyalah merupakan sandaran ruh dalam rangka melaksanakan aktivitas kehidupannya di

dunia. Suatu saat, ketika sandaran tersebut berpisah dari ruh, maka perpisahan itulah

yang disebut sebagai peristiwa kematian. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan

melanjutkan eksistensinya di alam barzah.

Aspek material (jasad) adalah aspek yang konkrit, dapat diraba, dan

menempati ruang dan waktu. la adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia.

Ia terdiri dari unsur materi yang suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak

mempunyal sifat kekal. Di samping itu, jasad tidak memiliki daya tanpa adanya ruh.

Page 12: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Apabila ruh terlepas dari jasad maka pengertian manusia berubah menjadi bangkai. Oleh

karna itu, jasad manusia bukanlah sesuatu yang menentukan baik atau buruknya seseorang,

meskipun jasadnya terlihat cantik dan bagus. Suatu saat akan kehilangan nilainya bila

melakukan perbuatan buruk. Bahkan, apabila perbuatan buruk tersebut terus menerus

dilakukan maka manusia akan kehilangan kemanusiaanya.26

Berbeda dengan aspek material (jasad), aspek immaterial (ruh) adalah aspek

yang bersifat abstrak dan tidak dapat direalitaskan. la hanya dapat terlihat dari adanya

aktivitas jasmaniah. Ia memberi nilai kepada jasmaniah dalam setiap aktivitasnya. Dengan

demikian, baik buruknya aktivitas manusia bukan ditentukan oleh aspek

jasmaniahnya akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh aspek rohaniahnya. 27

Menuru Ali Sariati, 28 dua unsur yang menjadi dasar penciptaan manusia, materi dan

immateri, merupakan dua unsur yang kontradiktif. Unsur materi akan membawanya kepada

hakekatnya yang rendah, dan unsur immateri akan membawanya naik ke puncak

spiritual tertinggi, yaitu ke Zat Yang Maha Suci. Dengan dua kutub yang berlawanan

tersebut memungkinkan manusia memiliki kebebasan antara dua pilihan, yaitu antara kutub

yang suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya. Pilihan terhadap

salah satu kutub itulah yang akan menentukan nasibnya. Untuk itu, pada setiap manusia

terdapat faktor-faktor penggerak untuk menuju ke dua pilihan tersebut, yaltu qalb, 'aql, dan nafs. 29

1. Al-Qalb,

Menurut al-Ghazali seperti dikutip oleh Baharuddin bahwa al-qalb memiliki dua makna.

Pertama, dalam pengertian kasar, yaitu segumpulan daging yang berbentuk bulat

memanjang yang terletak di pinggir dada sebelah kiri yang di dalamnya

terdapat rongga-rongga dan disebut jantung. Kedua, pengertian yang halus yang

bersifat ketuhanan dan rohaniyah, yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap

pengertian, pengetahuan, dan ‘arif. 30

Pada pengertian pertama, al-qalb adalah jantung yang merupakan pusat

peredaran darah ke seluruh tubuh. Qalb dalam arti ini tidak hanya dimiliki oleh

manusia akan tetapi juga dimiliki oleh semua hewan. Bahkan dimiliki oleh orang

yang sudah mati. Hal itu, karena al-qalb mempunyal sifat jasmaniah yang dapat

ditangkap oleh indra manusia.

Sedangkan pada pengertian kedua bersifat metafisik. Dalam konteks ini, qalb

adalah dimensi jiwa yang mempunyai kemampuan memahami, menghayati, dan memiliki

perasaan, seperti rasa takut, benci, rindu, cinta, dan lain sebagainya..

Page 13: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Di dalam al-Quran juga dijelaskan bahwa al-qalb merupakan pusat

penalaran, pemikiran, dan kehendak, yang berfungsi untuk berpikir (Q.S. al-Hajj : 46)

dan dapat memperingatkan serta memberi pemahaman dan petunjuk untuk semua

manusia (Q.S. Qaf : 37, Q.S. al-Taghabun: 11, Q.S. al-Maidah: 41, Q.S. Al- Hujurat: 7).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qalb memiliki kecerdasan ganda,

yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.

Di samping itu, al-qalb sendiri cenderung kepada kebenaran dan dapat

mengetahui serta membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan

yang buruk. Hanya karena faktor eksogen, manusia mengingkari kebenaran qalbnya

(Q.S. al-Najm: 11, Q.S. al-Hajj: 46). Kemudian, qalb juga sebagai alat

penghubung antara manusia dengan Tuhannya. Bila qa1b dekat niscaya hubungan

manusia dengan Tuhan pun dekat, sebaliknya bila jauh niscaya Dia jauh (Q.S. al -

Ra'd: 28, Q.S. Thaha: 124). la adalah tempat pahala dan dosa manusia (Q.S. al -

M u z a m m i l : 1 4 , Q . S . a l - B a g a r a h : 2 8 3 , 2 2 5 ) , s e h i n g g a q a l b - l a h y a n g

mempertanggungjawabkan semua aktivitas manusia. Selanjutnya qa1b sifatnya

berubah (Q.S. al-An'am: 10), bisa sebagai pusat kebaikan dan bisa juga sebagai pusat

kejahatan manusia. Oleh karena itu, perlu adanya berbagai suplai dari berbagai

petunjuk, termasuk petunjuk Allah. 31

2. Al-'Aql

‘Aql adalah daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan

salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami, dan

mengerti. 32 Dengan demikian ia sanggup menerima pengertian, baik secara

teoritis (akal teoritis) maupun praktis (akal praktis) . 33 Hal itu, karena ia

memiliki daya kreativitas berpikir.

Dengan ‘aql manusia dapat menganalisa dan menerima respon dari luar

dirinya secara aktif. Dengan demikian manusia dengan akalnya akan dapat

menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat

manusia dan memberi kepuasan ketika mereka mampu memecahkan berbagai

persoalan. Namun, akal juga bisa berbuat kerusakan di muka bumi, apabila tidak

dikontrol oleh qaIb yang bernilai ilahiyah. Oleh karena itu, al-'aql perlu bersandar

kepada aI-qalb sehingga dapat dikendalikan. Sebab dewasa ini, al-'aql

cenderung berkembang sendiri, sehingga muncul berbagai kebatilan bersamaan

dengan peningkatan kemampuan yang dimilikinya. 34

Page 14: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Di samping itu, walaupun dengan akal manusia mampu mengenal dan

menganalisa sesuatu, namun hanya terbatas pada realitas arti material. Sedangkan

untuk memahami arti immaterial, akal memerlukan bantuan al-qalb. Sebab

melalui potensi al-qalb, manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial dan

menganalisanya lebih lanjut. Dengan perpaduan kedua kekuatan ini, sedikitnya

manusia mampu mengenal Tuhannya dan meyakini ajaran-ajaran-Nya. Dengan

berpegang pada ketentuan etika religius yang diyakininya, membuat manusia

dapat menjalam kehidupannya secara baik dan serasi.

3. Al-Nafs,

Al-Nafs berarti sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang mempengaruhi

perbuatannya (Q.S. al-Syams: 8) . Baik buruknya perbuatan seseorang tergantung

dari kualitas nafs-nya. jika kualitas nafs itu baik, maka kecenderungannya pada

menggerakkan perbuatan baik, sebaliknya jika kualitasnya rendah maka nafs

cenderung mudah menggerakkan perbuatan buruk. Kualitas nafs akan baik bila

dijaga dari dorongan syahwat atau hawa nafsu (Q.S. al-Ma'arij: 40) dan disucikan

(Q.S. al-Syams: 9), dan akan menjadi buruk kualitasnya bila nafs dikotori dengan

perbuatan maksiat dan menjauhi kebajikan (Q. S. al-Syams: 10).

Akan tetapi, dalam menggerakkan tingkah laku dengan segala prosesnya, nafs

tidak bekerja sendiri secara langsung. Nafs bekerja malalui jaringan sistem yang

bersifat rohani. Dalam sistem nafs terdapat subsisten yang bekerja sebagai alat yang

memungkinkan manusia dapat memahami, berpikir, dan merasa, yaitu qalb, bashirah,

ruh, dan ‘aql.35

Dengan demikian, al-nafs memberikan pancaran kehidupan, sehingga

manusia dapat melakukan sejumlah aktivitas. Agar aktivitas tersebut bisa

berkembang sesuai dengan nilai-nilai moralitas, maka Allah SWT. memberikan

kepadanya potensi qalb dan 'aql yang mampu memilah dan memilih mana yang baik

dan mana yang buruk. Dengan perpaduan kesemua dimensi dan potensi ini qalb, 'aqI,

dan nafs maka manusia akan mampu melahirkan amaliah religius, dan mampu

juga mengenal dan berdialog dengan alam dan sekaligus memanfaatkannya

secara optimal bagi kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi jika kesemua dimensi

dan potensi tersebut terpecah antara satu dengan yang lainnya pada kutub

masing-masing, maka akan lahir berbagai bentuk perbuatan maksiat yang

bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah Tuhannya yang hanif, baik disadari

Page 15: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

maupun tidak disadari. 36

Untuk membantu mengaktualisasikan seluruh dimensi dan potensi yang

dimiliki manusia tersebut secara optimal, maka sistem pendidikan Islam harus

senan t iasa beror ien tas i pada d imens i p rogres i f -d inamis dan mampu

mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia secara hormonis dan

integral. Dengan integralitas seluruh potensi yang dimiliki manusia tersebut, maka

manuisa akan mampu mengembangkan dirinya dan melaksanakan tugas dan

tanggungjawabnya secara sempurna.

F. Alam dalam Sistem Pendidikan Islam

Alam berarti dunia fisik, artinya manusia berhubungan dengan alam melalui

indra. Dalam al-Quran alam di sebut sebagai langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya

sebagai lingkungan hidup manusia. 37Dalam pandangan Islam, alam adalah ciptaan Allah,

sekaligus merupakan karya agung-Nya. Sebagai konsekuensinya, alam adalah pesan dan tanda-

tanda Allah akan keberadaannya. Alam, dengan demikian, merupakan wahvu Allah vang tidak

tertulis. 38

Allah menciptakan alam bukan didorong oleh perbuatan main-main (Q.S. al-Dukhan:

38-39), tapi dengan tujuan yang benar (Q.S. al-Ahqaf-. 3). Alam diciptakan untuk

dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Maka tugas manusia adalah mengurus, mengelola, dan

memanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya. Pengelolaan dan pemanfaatan alam oleh

manusia erat kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah di

bumi. Dalam konteks ini Ahmad Hasan Firhat, sebagai disitir oleh Samsul Nizar, 3 9

membedakan kekhalifahan manusia kepada dua bentuk; khalifah kauniyat dan khalifah

syari'at. Sebagai khalifah kauniyat manusia bertanggungjawab untuk mengatur dan

memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan manusia di muka

bumi. Pemberian wewenang oleh Allah SWT. kepada manusia dalam konteks ini

meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka

yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia

sebagai penguasa alam semesta. Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat prediket

manusia sebagai khalifah fi al-ardhi, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup

manusia.

Adapun khalifah syari'at meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada manusia

untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan

tanggungjawab ini, prediket khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin.

Page 16: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar

dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah

yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya.

Dengan demikian, manusia tidak sekedar tinggal di bumi. Lebih dari itu, ia adalah

khalifah Allah di bumi. Misinya adalah memenuhi perintah-peintah-Nya. Segala upaya manusia

ditujukan untuk ibadah. Kerjanya di atas bumi ini, dari perencanaan, invesment, dan

pemanfaatan alam sudah seharusnya merupakan manifestasi pemujaan Tuhan. Penciptaan

alam semesta, dengan demikian, bukan hanya berhubungan dengan keimanan, melainkan

juga merupakan motivasi bagi manusia untuk peduli terhadap alam.

Kaitannya dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai khalifah, manusia juga

diperintahkan untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap alam dan

lingkungannya. Tentang hal ini banyak ayat al-Quran yang menjelaskan, diantaranya :

20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah

menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali

lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. al-Ankabaut : 20)

Dan juga pada Q.S. Rum: 50,

50. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan

bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-

benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. dan Dia Maha Kuasa atas

segala sesuatu.

Untuk itu, Allah menganugrahkan kepada manusia qa1b dan 'aql yang mampu

berpikir dan memahami. Dalam konteks ini, Imam Syafi'i 40 menyimpulkan, bahwa kegiatan

filsafat dalam al-Quran adalah kesatuan kegiatan berpikir mengenai alam semesta dan berpikir

mengenai kekuasaan Allah. Fungsi berpikir untuk menyusun konsep-konsep, sedangkan

fungsi berzikir untuk menenangkan hati (al-qalb). Dengan hati yang tenang, maka

hawa nafsu dapat dikuasai, sehingga konsep-konsep dapat diabadikan untuk

mengagungkan asma Allah. Dengan demikian, berfilsafat dalam al-Quran bukan hanya

menggunakan pikiran (rasio) semata-mata, melainkan juga hati selalu ingat kepada Allah,

Page 17: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

menyatukan antara fikir dan zikir (Q.S. Ali Imran: 191). Jadi, hakikat filsafat dalam al-

Quran adalah Perpaduan kegiatan fakir dan zikir. Fikir adalah aktivitas rasio sedangkan zikir

adalah aktivitas hati, yang kedua-duanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

Rujukan di atas memberikan pengertian bahwa tidak semestinya terjadi pertentangan,

dikotomi dalam pendidikan kita antara wahyu dan akal,-dan atau antara agama dan sains, dan

atau pendidikan qalb dan pendidikan 'aql, dan atau pendidikan agama dan pendidikan umum.

Semuanya harus terintegral, harmonis dan proporsional dalam sebuah sistem pendidikan

(Islam). Keterkotak-kotakan dan ketidakseimbangan itu semua hanya akan menghasilkan

sistem kehidupan yang timpang.

Page 18: Dasar-Dasar Pengembangan Pendidikan Islam

1 Abd. Abdurrahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam: Rekonstruksi Pemikiran dalam Filsafat Pendidikan Islam, Yokyakarta, UII Press, 2001, h. 193-194.

2 Nurkholis Majid, “ Pendidikan : Langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas “, dalam Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta, Radar Jaya Offset, 2001, h. xxii.

3 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999, h. 15.4 A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Fajar Dunia, 1999, h. 34-35.5 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic : Arabic-English, London, MacDonald & Evans Ltd,

1979, h. 324, kol. 1.6 Ibn Manzhur, Lisan al-“Arab, Jil. V, Mesir, Dar al-Mishriyyah, 1992, h. 94-96.7 Fahr al-Din al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. 20. Beirut, Dar al-Fikr, h. 194.8 Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha, Damaskus, Dar al-Fikr, 1998, h.

12-13.9 Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h. 89.10 Hans Wehr, op. cit., h. 636, kol. II.11 Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Juz. I, Mesir, Dar al-Manar, 1373 H., h. 262.12 Ibn Hazar al-Asqalani, Fath alBarr bi Syarh al-Bukhori, Juz. V, Beirut, Dar al-Fikr, 1981, h. 147.13 Abdul Fatah Jalal, Azaz-Azaz Pendidikan Islam, Terj. Herry Noer Aly, Bandung, CV. Diponegoro, 1988, h.

30.14 Tentang terma tarbiyah ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah di dalam Q.S. al- Syu’ara’ :

18 dan Q.S. al-Isra’ : 24 adalah pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak. Maka kanak-kanak sangat tergantung pada kasih sayang keluarga. Dengan demikian, pengertian pendidikan yang digali dari kata tarbiyah tersebut terbatas pada pemeliharaan, pengasuhan, dan pengasihan anak manusia pada masa kecil. Bimbingan dan tuntunan yang diberikan sesudah itu tidak lagi termasuk pengertian pendidikan. Lihat Ibid., h. 29.

15 Hans Wehr, op. cit.16 Mustofa Rahman, “ Pendidikan Islam dalam Pespektif al-Quran”, dalam Isma’il dkk., Paradigma

Pendidikan Islam, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, h. 61.17 Syed Nuhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidikan Islam, (terj.), cet. VI, Bandung, Mizan, 1994, h. 74-

75.18 Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, h. 108.

19 Fazlur Rahman, Tema pokok al-Quran, Bandung, Pustaka, 1996, h. 2.20 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1998, h. 59-60.

Lihat juga Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1989, h. 262-263.

21 Abd. Rahman Abdullah, op. cit., h. 107.22 Ibid., h. 198.23 Nurcholis Majid, op. cit., h. xiv.24 Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, bandung, Mizan, 1997, h. 227-228.25 Penjelasan lebih rinci tentang ayat-ayat tersebut, baca Muhaimin, et. Al., Paradigma Pendidikan Islam :

Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2001, h. 3-11. Baca juga Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h. 44-56.

26 Samsul Nizar, op. cit., h. 56.27 Ibid., h. 57.28 Ali Sariati, Man and Islam, (terj.) oleh M. Amin Rais dengan Tugas-Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta,

Rajawali, 1991, h. 8.29 Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Quran, Jakarta, Paramadina, 2000, h. 177.30 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami : Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran, Yokyakarta,

Pustaka Pelajar, 2007, h. 124.31 Muhaimin & Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : kajian Filosofik dan Kerangka Dasar

Operasionalnya, Bandung, Trigendi Karya, 1993, h. 38-39.32 Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Psikologi Kenabian : menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian

dalam Diri, Yokyakarta, Beranda Publishibg, 2007, h. 273.33 Akal teoritis adalah yang menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi,

seperti Tuhan, ruh, dan malaikat. Sedangkan akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat. Lihat ibid., h. 274.

34 Samsul Nizar, op. cit., h. 62.35 Achmad Mubarok, op. cit., h. 53.

36 Samsul Nizar, loc. Cit.37 Imam Syafi’I, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran, Yokyakarta, UII Press, 2000, h. 85-86.38 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yokyakarta, Gema media, 2000, h.

45.39 Samsul Nizar, op. cit., h. 70.40 Imam Syafi’I, op. cit., h. 75.