Darier's Disease

download Darier's Disease

of 14

description

kulit

Transcript of Darier's Disease

1. GenodermatosisGenodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada kelompok penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh tanda atau gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat sistemik (Pandhi, 2015). Karena termasuk dalam kategori penyakit yang jarang ditemukan, terlebih lagi kurangnya kesadaran tenaga medis akan kondisi ini, berbagai kendala akhirnya muncul khususnya dalam penanganan maupun penelitian untuk penyakit ini (Dyer, 2013). Namun demikian, dalam 25 tahun terakhir, kemajuan besar telah dicapai dalam upaya untuk memahami dasar genetika dari genodermatosis (Lander, 2011). Kemajuan ini, khususnya dalam bidang uji molekular, membawa kemudahan bagi para spesialis penyakit kulit untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan presentasi non-spesifik begitu pula pada kasus-kasus klasik, sehingga memperluas area fenotip yang dikenali dalam kaitannya dengan genodermatosis (Feramisco, 2009).

2. Dariers Diseasea. DefinisiPenyakit darier merupakan gangguan kulit yang dikarakterisasi oleh papul hiperkeratosis yang bergabung membentuk plak dan terutama ditemukan di area seboroik atau intertriginus (Kwok, 2014). Penyakit ini termasuk dalam kelompok gangguan kulit yang jarang ditemukan, dan pertama kali dideskripsikan oleh Darier dan White di tahun 1889. Sejak itu, gangguan ini disebut dengan istilah Dariers disease (biasa disingkat DD), atau diskeratosis folikularis (Darier, 1889; White, 1889).b. EtiologiPenyakit darier merupakan gangguan kulit autosom dominan, yang disebabkan oleh mutasi gen ATP2A2, sebuah gen yang terletak pada kromosom 12q2324.1 (Bchetnia et al, 2009). Gen ini memiliki 2 varian, yakni ATP2A2a dan ATP2A2b. Hoi C di tahun 2004 melakukan studi untuk menganalisis mutasi gen tersebut secara spesifik pada 28 pasien yang menderita penyakit darier di China. Melalui studinya, diketahui bahwa sebagian besar mutasi ini, merupakan tipe mutasi nonsense, suatu mutasi yang merubah kodon atau asam amino menuju terminasi atau berhentinya kodon, dan akhirnya proses ini menuntun ke arah terminasi translasi prematur. Adapun beberapa faktor yang dihubungkan dengan mutasi gen ATP2A2 adalah paparan sinar matahari, panas, keringat, lithium dan menstruasi (Hoi C, 2004).c. PatogenesisGen ATP2A2 merupakan gen yang mengkoding pompa kalsium adenosin trifosfat retikulum sarko/endoplasma (sarco/endoplasmic reticulum calcium adenosine triphosphate pump) atau disingkat pompa SERCA 2. Pompa SERCA 1, 2, 3 merupakan Pompa kation yang memasangkan hidrolisis ATP dengan transpor kation melewati membran sel. Pompa ini menjaga agar konsentrasi Ca2+ sitosolik tetap rendah dan fungsi ini sangat penting dalam proses pembentukan desmosom (Shi et al, 2012).Mutasi pada gen ini, pada akhirnya akan menyebabkan homeostasis Ca2+ yang abnormal, ini diikuti penurunan protein anti-apoptotis seperti ekspresi Bcl-2, Bel-x dan Bax pada epidermis dari kulit dimana lesi darier ditemukan. Selain konsekuensi ini, mutasi gen ATP2A2 juga menyebabkan gangguan pada proses pertukaran desmoplakin ke permukaan sel keratinosit, dan juga peningkatan regulasi P-cadherin di sel basal maupun suprabasal kulit dengan lesi darier. Ketiga konsekuensi di atas menimbulkan konsekuensi lanjut pada tahap berikutnya, dimana akan terjadi apoptosis dan pembentukan desmosom yang abnormal. Hasil akhir dari proses ini adalah diskeratosis dan akantolisis (Wang, Bruce, dan Tu et al, 2011).

3. Inkontinensia Pigmentia. DefinisiInkontinensia pigmenti, juga dikenal dengan istilah Bloch-Sulzberger syndrome, merupakan genodermatosis yang terjadi akibat abnormalitas pada kromosom X (Minic, Trpinac, Obradovic, 2013). Kondisi ini termasuk golongan kelainan kulit yang jarang ditemukan, dan terutama diderita oleh neonatus berjenis kelamin perempuan (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006). Istilah inkontinensia pigmenti berasal dari tampilan mikroskopik lesi pada fase ketiga dari penyakit ini, yang dikarakterisasi oleh hilangnya pigmen di lapisan basal epidermis, seolah melanosit menunjukkan adanya inkontinensia melanosit (Escobedo, 2010; Pereira, Mesquita, Budel et al, 2010).Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Garrod et al di tahun 1906, kemudian di tahun 1925 pada pasien kembar. Dalam laporan yang pertama, Garrod menggunakan istilah peculiar pigmentation pada kulit bayi. Di tahun 1926, Block mempresentasikan kasus tersebut secara lebih mendalam kepada Swiss society of Dermatology, dan meggunakan istilah baru untuk kelainan ini, yakni inkontinensia pigmenti. Di tahun 1928, Sulzberg juga melaporkan sindrom yang identik, sehingga istilah Bloch-Sulzberger syndrome juga mulai digunakan. Pada kedua laporan ini, Bloch dan Sulzberger mendeskripsikan inkontinensia pigmenti sebagai sindrom klinis dengan konstelasi dari gambaran unik yang mencakup berbagai manifestasi kutaneus. Untuk memperjelas deskripsi, berikut akan disertakan beberapa gambar mengenai inkontinensia pigmenti.

Gambar x.x. Inkontinensia Pigmenti dari Beberapa Kasus yang Pernah Dilaporkan

Sumber : Shah dan Elston, 2014b. EpidemiologiSeperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, inkontinensia pigmenti merupakan penyakit kulit yang jarang ditemukan. Di Amerika, tidak ada 1 pun insidensi maupun prevalensi penyakit ini yang pernah dilaporkan (Shah dan Elston, 2014). Secara internasional, prevalensi estimasinya adalah sebesar 1:300.000, dengan insidensi sebesar 1:40.000. Hingga saat ini, hanya 800 kasus inkontinensia pigmenti yang pernah dilaporkan (Caputo dan Tadini, 2006; Marques, Sousa dan Tonello, 2014). Meskipun dalam berbagai literatur dikatakan bahwa penyakit ini lebih umum ditemukan pada ras berkulit putih, beberapa kasus lain yang dilaporkan juga ditemukan pada ras berkulit hitam dan Asia (Kenwrick, Woffendin, Jakins, et al, 2001; Mansour, Woffendin, Mitton et al, 2001).Inkontinensia pigmenti utamanya diderita oleh neonatus berjenis kelamin perempuan. Lebih dari 95% kasus yang pernah dilaporkan diderita oleh perempuan. Saat diderita oleh laki-laki, kondisi ini umumnya menjadi letal atau mematikan, menyebabkan terjadinya abortus spontan pada kebanyakan kasus (Ardelean D, Pope E, 2006). Untuk alasan inilah inkontinensia pigmenti juga digolongkan ke dalam male lethal syndrome, atau sindrom yang dapat menyebabkan kematian pada laki-laki (Kenwrick, Woffendin, Jakins, et al, 2001; Mansour, Woffendin, Mitton et al, 2001; Shah dan Elston, 2014). Dalam sebuah review literatur internasional, Carney (1995) melaporkan 653 pasien dengan sindrom ini, dan hanya sejumlah 16 di antaranya yang berjenis kelamin laki-laki (Tristo, Baraky, Carvalho et al, 1995). Inkontinensia pigmenti dapat ditemukan pada laki-laki dengan sindrom Klinefelter (XXY sindrom) atau sebagai hasil dari mutasi pada gen NEMO (Shah dan Elston, 2014).

c. EtiologiDefek pada kromosom X merupakan penyebab utama terjadinya inkontinensia pigmenti. Pada mayoritas kasus, defek ini dipercaya berdampak pada lengan panjang dari kromosom Xq28. Hampir 80% pasien dengan inkontinensia pigmenti memiliki delesi yang melibatkan ekson 4 dan 10 dari gen NEMO (NF-kappa B essential modulator), sebuah gen yang terletak di porsi q28 kromosom Xq28 dan berfungsi sebagai regulator aktivasi transkripsi faktor NF-KannaB (NF-kB). NF-kB merupakan pusat regulasi dari sejumlah besar sistem imun, infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi jaringan yang berasal dari ektoderm. Adapun penyebab pasti dari mutasi gen ini belum sepenuhnya dipahami (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006; Fusco, Paciolla, Napolitano et al, 2012).

d. Patofisiologi dan Manifestasi KlinisInkontinensia pigmenti dapat dideskripsikan sebagai kelainan kulit yang terdiri dari 4 tahapan, yakni (1) tahap vesikular, (2) tahap verrucous-squamous, (3) tahap hiperpigmentasi dan (4) tahap hipopigmentasi. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh klinisi, bahwa masing-masing dari tahapan ini dapat menghilang secara acak, atau bahkan tidak ada (Caputo dan Tadini, 2006).

Tahap VesikularTahap vesikular (vesicobullous) atau dikenal juga dengan istilah tahap inflamasi, merupakan tahap pertama yang muncul saat lahir (Caputo dan Tadini, 2006). Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa inkontinensia pigmenti muncul sebagai konsekuensi dari mutasi pada kromosom X, atau lebih spesifik lagi, Xq28. Pada porsi q28 kromosom ini, terdapat sebuah gen yang disebut NEMO (NF-kappa B essential modulator). Gen ini bertanggung jawab sebagai regulator aktivasi transkripsi faktor NF-KannaB (NF-kB), pusat dari berbagai fungsi imunitas dan pertumbuhan, seperti infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi jaringan yang berasal dari ektoderm (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006; Fusco, Paciolla, Napolitano et al, 2012). Aktivasi dari NF-kB mencegah apoptosis yang muncul akibat respons terhadap adanya sitokin family TNF (Tumor Necroting Factor). Normalnya, aktivitas NF-kB diregulasi melalui protein inhibitor kB. Adanya aktivasi reseptor TNF menghasilkan fosforilasi dan inaktivasi inhibitor kB oleh IKK (inhibitor kappa kinase), sehingga lebih jauh mengkatifkan NF-kB. Hilangnya fungsi IKK menyebabkan defisiensi aktivitas NF-kB dan meningkatnya kepekaan terhadap apoptosis (Fusco, Paciolla, Napolitano et al, 2012). Sel-sel yang mempertahankan aktivitas IKK dapat menghasilkan sitokin tambahan yang memicu apoptosis pada sel disekitarnya yang mengalami defisiensi IKK, sehingga menciptakan lingkaran amplifikasi yang akhirnya menyebabkan kematian semua sel-sel tersebut. Mekanisme ini, diyakini sebagai penyebab munculnya manifestasi dari tahap vesikular inkontinensia pigmenti, yang dikarakterisasi oleh adanya makula, vesikel dan papula, atau bahkan pustula dengan dasar eritema di sepanjang garis Blaschko (Osorio, Magina, Nogueira et al, 2010). Lesi ini dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, namun umumnya terlihat di daerah lengan, kaki dan tubuh bagian tengah. Lesi tahap pertama umumnya mengalami involusi dalam beberapa hari dan dapat digantikan oleh lesi veruka-squamous, sebuah penanda khas yang menjadi karakter inkontinensia pigmenti tahap ke-2 (Caputo dan Tadini, 2006).

Gambar x.x. Lesi vesikel pada Tahap Vesikular Inkontinensia Pigmenti Sumber : Caputo dan Tadini, 2006

Tahap verrucous-squamous Tahap ini merupakan tahap kedua dari inkontinensia pigmenti, dimana penyembuhan dari tahap pertama terjadi (Caputo dan Tadini, 2006). Sejumlah studi menyatakan bahwa mekanisme yang mendasari terjadinya tahap dua dihubungkan dengan proliferasi sel normal yang tidak mengalami defisiensi IKK (disebut dengan istilah IKK-positive cells). IKK-positive cells berproliferasi dan menekan proses inflamasi sehingga lesi yang muncul di tahap pertama mengalami penyembuhan. Proses penyembuhan ini kemudian menghasilkan lesi verukosa dan hiperkeratosis (Mhlenstdt, Eigelshoven, Hoff et al, 2010). Lesi dengan porsi linear umumnya dapat sembuh, dengan lesi hiperkeratosis yang tidak bertahan lama. Namun demikian, lesi vesikel pada tahap pertama dapat muncul kembali sepanjang usia pertumbuhan bayi, baik akibat paparan sinar matahari atau akibat faktor lain yang belum sepenuhnya teridentifikasi (Lee Y, Kim S, Kim K, Chang et al, 2011).

Gambar x.x. Lesi verukosa pada Tahap Verrucous Inkontinensia PigmentiSumber : Caputo dan Tadini, 2006

Tahap Hiperpigmentasi (hyperpigmented)Tahap hiperpigmentasi merupakan tahap ketiga yang dikarakterisasi oleh lesi berpigmen coklat ataupun keabu-abuan yang mengikuti garis Blaschko, lebih sering ditemukan di badan dan ekstremitas. Lesi paralel yang berada pada 1 garis lurus seringkali terhubung satu sama lainnya oleh gambaran perpendikular berpigmen, membentuk tampilan khas yang disebut dengan istilah rail-sleepers yang tampak seperti retikulat. Lesi berpigmen menghilang pada kebanyakan pasien selama masa kanak-kanak atau remaja, namun kadang dapat menetap sepanjang kehidupan. Adapun patogenesis terbentuknya lesi ini belum sepenuhnya dipahami (Caputo dan Tadini, 2006; Shah dan Elston, 2014).

Gambar x.x. Rail-Sleepers pada Tahap Hiperpigmentasi Inkontinensia Pigmenti

(Sumber : Caputo dan Tadini, 2006) Tahap atrophic-hypopigmentedSebuah tahap yang dikarakterisasi oleh garis translusen berwarna putih dan hilangnya folikel rambut. Sama halnya dengan tahap ketiga, patogenesis dari tahap keempat belum dipahami sepenuhnya. Namun demikian, para peneliti meyakini bahwa perubahan pasca inflamasi memainkan peranan penting dalam proses ini (Caputo dan Tadini, 2006; Shah dan Elston, 2014).

Gambar x.x. Tahap Hipopigmentasi Inkontinensia Pigmenti(Sumber : Caputo dan Tadini, 2006)

e. Onset Klinis, Perjalanan Penyakit dan Manifestasi ekstradermal inkontinensia pigmentiPenting untuk ditekankan bahwa istilah Bloch-Sulzberger syndrome juga digunakan sebagai istilah lain untuk inkontinensia pigmenti karenasuatu alasan, yakni sindrom itu sendiri merupakan sekumpulan gejala klinis. Meskipun Inkontinensia pigmenti merupakan gangguan yang manifestasi utamanya ditemukan pada kulit, kelainan ini juga menimbulkan manifestasi ekstradermal (Anstey, 2010). Manifestasi ini ditemukan pada >50% kasus inkontinensia pigmenti, yang antara lain meliputi : Manifestasi pada sistem saraf pusat (muncul pada 25% kasus inkontinensia pigmenti) yang meliputi kejang, retardasi mental, paralisis spastik, mikroensefali dan perkembangan motorik yang lambat (Fiorillo, Sinclair, OByrne, 2003; Shah, Gibs dan Upton, 2003; Kaczala, Messer dan Poskitt et al, 2008). Selain itu, kelainan seperti hemiplegiadan tetraplegia spastik juga ditemukan pada beberapa pasien dengan inkontinensia pigmenti (Caputo dan Tadini, 2006). Defek pada gigi (Dental defect) yang dapat ditemukan dalam bentuk anodontia parsial, pegged teeth dan tanggalnya gigi, khususnya pada lateral atas incisivus dan premolar (Mini, Trpinac, Gabriel, 2013). Pada temuan ophthalmology, mungkin ada kebutaan, strabismus, katarak infantil, ablasio retina, atrofi optik dan mikroptalmia (Minic, Novotny, Stefanovic, 2010; Wald, Mehta, Katsumi, 1993; Mayer, Shuttleworth, Greenhalgh, 2003) Abnormalitas skeletal dapat muncul dalam bentuk deformitas tulang tengkorak, dwarfisme, spina bifida, club foot, extra ribs, kelainan anatomis pada palatum dan bibir (sumbing atau labioschisis) (Anstey, 2010; Mini, Trpinac, Gabriel, 2013). Manifestasi lainnya : seperti distrofi pada kuku (40% kasus dan muncul dalam bentuk pitting ringan hingga onychogryphosis dengan berbagai ekspresi) dan alopesia yang disertai luka parut (muncul sebagai akibat dari inflamasi di tahap awal) (Caputo dan Tadini, 2006).

f. Diagnosis Diferensial :Diagnosis diferensial dari tahap pertama inkontinensia pigmenti meliputi : Epidermolisis bulosa, subtipe epidermolisis dowling-meara Mastositosis bulosa Epidermolisis Hiperkeratosis Impetigo bulosa Herpes simplex dan varicellaUntuk Inkontinensia Pigmenti tahap kedua : Nevus epidermis linear Striatus lichen Penyakit darier linearTahap ketiga : Nevus hiperpigmentosa linearis Whorled hypermelanosisTahap akhir (keempat) Linear hypomelanosis (including hypomelanosis of Ito) Female carriers of HED Goltzs syndromeg. Pemeriksaan LaboratoriumPada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan kelainan sebagai berikut : Leukositosis (>40.000 sel/mm3) Eosinofilia muncul di bulan pertama kehidupan pada 75% pasien dengan inkontinensia pigmenti, dengan variasi jumlah eosinofil mulai dari 20% hingga 65% dari total sel darah putih.

h. PenatalaksanaanTatalaksana tidak selalu diperlukan untuk lesi kutaneus, meskipun penggunaan tacrolimus dan kortikosteroid topikal telah dilaporkan mempercepat resolusi dari tahap inflamasi (Kaya, Tursen, Ikizoglu, 2009; Jessup, Morgan, Cohen et al, 2009). Higienitas oral dan perawatan gigi rutin sangat diperlukan pada kasus inkontinensia pigmenti, dan restorasi gigi juga disarankan. Kejang harus ditangani dengan antikonvulsan. Sebagai tambahan, pemeriksaan perkembangan fungsi saraf dapat dilakukan pada pasien dengan inkontinensia pigmenti, tentunya dengan merujuk pasien ke spesialis yang bersangkutan. pemeriksaan ophthalmology rutin juga dibutuhkan, khususnya selama tahun pertama kehidupan, dengan maksud untuk mendiagnosa dan menangani komplikasi ophthalmology yang mungkin muncul (Kara dan Shah, 2014).

4. Harlequin Baby (Harlequin ichthyosis)a. DefinisiHarlequin fetus merupakan kelainan kulit yang sangat jarang dijumpai, termasuk dalam golongan autosomal recessive congenital ichthyoses (ARCI) yang diwariskan, dan juga menjadi bentuk paling berat dari gangguan keratinisasi yang dikarakterisasi oleh penebalan stratum korneum atau hiperkeratinisasi pada kulit (Akiyama, Sakai, Sugiyama-Nakagiri et al, 2006; Prasad, 2011). Istilah harlequin berasal dari gaun yang dikenakan oleh badut harlequin. Seiring meningkatnya kemungkinan untuk bertahan hidup pada bayi dengan penyakit tersebut, istilah harlequin fetus kemudian digantikan oleh harlequin ichthyosis (HI). Istilah lain yang juga digunakan adalah ichthyosis congenital atau keratosis diffusa foetalis.

b. EpidemiologiKarena termasuk dalam kelainan yang sangat jarang ditemukan, maka insidensi dari harlequin ichthyosis juga sangat rendah. Di tahun 2003, insidensinya mencapai 1:300.000 kelahiran (Bianca S, Ingegnosi C, Bonaffini, 2003). Insidensi ini justru menurun di tahun 2005, yakni sebanyak 1:1000.000 kelahiran dan hingga tahun 2007, hanya ada 101 kasus yang dilaporkan dalam literatur medis di seluruh dunia (Layton J, 2005; Prasad, 2011).

c. EtiopatogenesisHingga detik ini, kausa dari HI masih kontroversial, namun demikian, mutasi atau defek pada gen ABCA12 dianggap sebagai penyebab yang mendasari kelainan ini. Selain menjadi penyebab HI, mutasi gen ABCA12 juga dihubungkan dengan lamellar ichthyosis tipe 2, subtipe ARCI lainnya (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).Gen ABCA12 merupakan gen yang terletak pada kromosom 2 dan bertanggungjawab untuk transport lipid dalam tubuh (Kelsell DP, Norgett EE, Unsworth et al, 2005; Akiyama, 2006). Formasi lapisan lipid interselular sangatlah esensial untuk fungsi penghalang (barrier) dari epidermis dan formasi defektif dari lapisan lipid dianggap sebagai hasil dari hilangnya fungsi tersebut serta hiperkeratosis yang abnormal. Mutasi pada protein transport lipid (ABCA12) menyebabkan sekresi lipid menuju granul-granul lamelar menjadi kurang efektif sehingga molekul lipid tersebut justru mengalami ekspulsi dari permukaan apikal keratinosit (Akiyama, Sugiyama-Nakagiri, dan Sakai et al, 2005). Proses inilah yang mendasari terjadinya HI dan juga LI.

d. Manifestasi KlinisTubuh penderita gangguan ini ditutupi oleh lapisan menyerupai sisik yang tebal sehingga tampak seperti perisai, atau tampak terbungkus dalam selaput tipis-ketat, yang hanya memungkinkan sedikit pergerakan dengan posisi khas (semi fleksi) sembari memegang kaki (posisi harlequin fetus) (Dubey, Tuibeqa, Pio, 2014). Fitur lain dari harlequin fetus adalah deformitas kranial maupun fascial, seperti telinga bagian belakang yang kurang berkembang, hipoplasia nasal, dan ektropion bilateral dengan oklusi mata dan eklabium. Neonatus dengan harlequin ichthyosis umumnya meninggal dalam hitungan beberapa hari pertama kehidupan akibat infeksi dan dehidrasi yang dihubungkan dengan berbagai komplikasi (Arikan, Harma, Barut et al, 2010).

Gambar x.x. Beberapa Gambaran Khas pada Harlequin Ichtyosis Sumber : (Caputo dan Tadini, 2006)

e. Penegakan DiagnosaKondisi ini dapat didiagnosis secara in-utero melalui biopsi kulit fetus, amniosentesis atau biopsi vili chorionic (untuk diagnosa dini yang didasarkan pada DNA) dan juga ultrasonografi 3D. Tes genetik pre-implantasi juga dapat digunakan (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).Setelah kelahiran, diagnosis dapat dilakukan dengan mengkaji gambaran patognomik yang muncul, disertai konfirmasi dengan biopsi kulit dari bagian tubuh manapun, yang menunjukkan karakteristik abnormal pada struktur granul lamelar dan ekpresi keratin epidermis (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).

f. PenatalaksanaanSaat ini penatalaksanaan harlequin ichthyosis utamanya melibatkan penggunaan inkubator humidifikasi, regulasi temperatur, penggantian nutrisi, perawatan kulit dan mata, kontrol nyeri, fisioterapi dan kontrol infeksi (Harvey HB, Shaw MQ Morrell DS, 2010). Keratinolitik topikal sering digunakan pada dewasa (asam salisil, asam alfa hidroksil dan urea) tidak sesuai untuk digunakan pada bayi baru lahir karena adanya potensi toksisitas sistemik dari peningkatan absorbsi kutaneus. Terlebih lagi, karena terapi sistemik retinoid dapat mencapai efek keratinolisis yang adekuat, penggunaan obat-obatan topikal di atas tidak lagi diperlukan. Selain itu, mandi dan menggosok badan dapat menurunkan risiko infeksi kulit, membantu melembutkan kulit dan meningkatkan pergantian stratum korneum yang tebal. Fisura kutaneus yang dalam pada HI sangatlah nyeri, membuat tatalaksana nyeri menjadi masalah yang penting dalam tatalaksana pasien harlequin ichthyosis.Ektropion ditangani dengan air mata artificial yang diteteskan pada mata khususnya konjungtiva setiap 2 jam, disertai pemberian salep antibiotik. Kontraktur tangan, komplikasi lainnya yang dikaitkan dengan HI, mungkin membutuhkan konsultasi bedah, karena gangren di bagian distal jari dapat muncul jika kontraktur tidak ditangani semestinya. Sebagai tambahan, fisioterapi menjadi aspek penting penanganan lini pertama dan tatalaksana jangka panjang, karena ini mengurangi kontraktur dan meningkatkan kemampuan gerak sendi. Meskipun profilaksis dengan antibiotik dan atifungal terlihat intuitif pada pasien dengan HI, hanya ada sedikit bukti yang menyatakan bahwa profilaksis demikian sangat berguna. Di atas semua ini, pemberian retinoid sistemik merupakan terapi yang wajib dilakukan (Katugampola RP, Finlay AY, 2006; Prasad, 2011).