Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri...

20

Transcript of Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri...

Page 1: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu
Page 2: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Warta

Pengantar Redaksi Daftar Isi

ISSN 0216-4427

Penelitian dan Pengembangan PertanianVolume 40 No. 5, 2018

Larva Lalat Tentara Hitam Sumber Protein Ternak 1

Potensi Pengembangan Pepaya Merah Delima di Manokwari, Papua Barat 4

Varietas Padi Lahan Pasang Surut di Kalimantan Barat 6

Teknologi Jarwo Super pada Lahan Sawah Bukaan Baru 8

Penekanan Kehilangan Hasil Cabai dengan Pemotongan Rantai Pasok, Teknologi Ozon dan Perbaikan Kemasan 10

Nanopartikel Kitosan Kendalikan Penyakit Antraknosa 12

Program Pembibitan Ayam Unggul Balitbangtan Sistem Strata 14

Perlunya Memperkuat Daya Tahan Sektor Pertanian terhadap Gangguan Iklim 17

Siapa sangka Black Soldier Fly (BSF) atau lebih dikenal dengan lalat tentara hitam adalah sumber protein alternatif yang tinggi untuk pakan ternak. Apalagi Kementerian Pertanian (Kementan) memiliki program pembibitan ternak Ayam Kampung Unggul Balitbangtan dengan sistem strata. Sehingga Balitbangtan perlu melakukan terobosan melalui teknologi yang saling medukung satu sama lain. Tidak hanya mengelola sumber daya lokal namun Balitbangtan juga menyesuaikan teknologi hasil litbang dengan kondisi lingkungan dan kearifan lokal setempat melalui uji coba terlebih dahulu. Ternyata beberapa teknologi dapat termanfaatkan dengan baik seperti pepaya merah delima di Papua Barat yang mampu mendatangkan nilai tambah bagi petani, hadirnya varietas padi yang cocok pada lahan pasang surut di Kalimantan Barat, dan pemanfaatan teknologi jarwo super pada lahan sawah bukaan baru. Perubahan iklim yang ekstrim juga menjadi perhatian karena sektor pertanian sangat bergantung pada kondisi iklim, diperlukan upaya memperkuat daya tahan sektor pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu produktivitas pertanian. Seperti antraknosa pada cabai yang perlu dikendalikan dengan teknologi seperti nanopartikel kitosan. Hasil penelitian pascapanen Balitbangtan bahkan tengah mengembangkan teknologi penekanan kehilangan hasil cabai dengan teknologi ozon dan perbaikan kemasan. Semua artikel tersebut tersaji dengan baik pada warta litbang pertanian kali ini.

Redaksi

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian diterbitkan enam kali dalam setahun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pengarah: Muhammad Syakir; Tim Penyunting: Retno Sri Hartati Mulyandari, Istriningsih, Nuning Nugrahani, Sri Hartati, Sofjan Iskandar, Syahyuti, Sri Utami, Tri Puji Priyatno, Miskiyah, Wiwik Hartatik, Achmad Subaidi; Ika Djatnika; Ronald Hutapea; Penyunting Pelaksana: Morina Pasaribu, Siti Leicha Firgiani, Ujang Sahali Tanda Terbit: No. 635/SK/DITJEN PPG/STT/1979; Alamat Penyunting: Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian, Jalan Salak No. 22, Bogor 16151, Telepon: (0251) 8382567, 8382563, Faksimile: (0251) 8382567, 8382563, E-mail: [email protected]. Selain dalam bentuk tercetak, Warta tersedia dalam bentuk elektronis yang dapat diakses secara on-line pada http://www.bpatp.litbang.pertanian.go.id

Redaksi menerima artikel tentang hasil penelitian serta tinjauan, opini, ataupun gagasan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dalam bidang teknik, rekayasa, sosial ekonomi, dan jasa serta berita-berita aktual tentang kegiatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Artikel disajikan dalam bentuk ilmiah populer. Jumlah halaman naskah maksimum 6 halaman ketik dua spasi.

Foto sampulAyam Kampung Unggul Balitbangtan

Page 3: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 1

Pakan yang berkualitas dengan kandungan p ro te in yang

cukup menjadi salah satu syarat memperoleh produksi optimal dalam industri ternak. Protein merupakan komponen esensial dalam pakan ternak karena tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga membutuhkan asupan dari luar yakni suplai pakan. Protein bermanfaat dalam pertumbuhan dan perkembangan ternak, termasuk berperan dalam proses penggantian sel-sel tubuh ternak yang telah rusak.

Pemenuhan kebutuhan protein pakan ternak selama ini masih bertumpu pada tepung ikan impor. Harganya berfluktuasi bergantung pada harga pasar internasional. Peternak juga menghadapi kualitas tepung ikan yang tidak menentu akibat diolah dari berbagai sumber dan ketersediaannya terbatas. Kondisi tersebut dapat menurunkan

Larva Lalat Tentara Hitam Sumber Protein untuk Ternak

performa produksi ternak. Beberapa studi tentang sumber protein alternatif mulai berkembang, diantaranya dengan pemanfaatan serangga (insekta). Black Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam (Hermetia illucens, Diptera: Stratiomyidae) adalah salah satu insekta yang berpotensi sebagai sumber protein alternatif dengan nilai efisiensi konversi pakan yang tinggi.

Kond i s i t rop i s I ndones ia ideal untuk budi daya BSF, tidak membutuhkan peralatan khusus, atau media pertumbuhan yang mahal. BSF dapat berkembang biak dalam sampah atau limbah organik. Selain itu, BSF bukanlah lalat vektor penyakit dan tidak dijumpai pada pemukiman padat penduduk sehingga relatif aman bagi kesehatan manusia. Sumber protein berbasis insekta tidak berkompetisi dengan kebutuhan protein untuk manusia

sehingga sesuai digunakan sebagai bahan pakan ternak, termasuk unggas dan ikan.

Morfologi BSF

BSF berwarna hitam dan bagian segmen basa l abdomennya berwarna transparan (wasp waist) sehingga seki las menyerupai abdomen lebah. Panjang lalat berkisar15–20 mm. Selama hidupnya, lalat ini tidak membutuhkan makan karena tidak memiliki mulut yang fungsional sehingga lama hidupnya cukup pendek, lima – delapan hari, bergantung pada kandungan lemak yang disimpan pada masa pupa.

Siklus hidup BSF dari telur hingga dewasa berkisar 40–43 hari, bergantung pada kondisi lingkungan dan media pakan yang diberikan. Lalat betina mampu menghasilkan telur 546–1505 butir dalam bentuk massa telur. Dalam waktu dua sampai empat hari, telur akan menetas menjadi larva instar satu dan berkembang hingga ke instar keenam dalam waktu 22–24 hari atau rata-rata 18 hari. Mula-mula larva yang menetas berukuran kurang lebih 2 mm, kemudian berkembang hingga 5 mm. Setelah terjadi

Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor tepung ikan terbesar dengan harganya sangat berfluktuasi, bergantung pada pasar international. Hal tersebut dikarenakan tepung ikan masih menjadi sumber protein utama pada pakan ternak. Black Soldier Fly (BSF) atau lebih dikenal dengan nama lalat tentara hitam (Hermetia illucens, Diptera: Stratiomyidae) menjadi salah satu insekta yang berpotensi sebagai sumber protein alternatif pakan ternak

dengan nilai efisiensi konversi pakan yang tinggi. Budi daya larva BSF dapat dilakukan dengan cara sederhana tanpa keterampilan khusus.

Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly; Hermetia illucens) dewasa. Prepupa dan pupa lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly; Hermetia illucens) yang siap dipanen untuk dijadikan tepung pupa BSF.

Sum

ber:

doku

men

tasi

prib

adi.

Page 4: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

2 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

pergantian kulit, larva berkembang lebih besar mencapai 20–25 mm, kemudian masuk ke tahap prepupa. Pada tahapan inilah yang dipanen dan dipelihara menjadi pupa yang ditandai perubahan warna dari krem ke hitam. Pupa tersebut dapat diolah menjadi tepung pupa BSF.

Budi daya Larva BSF

Budi daya larva BSF dapat dilakukan dengan cara sederhana dan tidak memerlukan keterampilan khusus. Keberhasilan budi daya larva dipengaruhi kondisi lingkungan, jenis media, dan kandungan nutrisi media pertumbuhannya. Beberapa media yang dapat digunakan antara lain kotoran ayam, limbah buah-buahan, limbah restoran atau pasar, limbah dapur, limbah rumah tangga, limbah rumah potong hewan, selulosa, dan sampah organik lainnya. Pemeliharaan larva BSF dalam media kotoran ayam memiliki kandungan 45% protein dan 35% lemak.

Kondisi daerah yang bervegetasi seperti perkebunan atau daerah yang dekat dengan sumber media merupakan lingkungan ideal bagi pertumbuhan larva BSF. Budi daya di lingkungan terbuka dapat dilakukan menggunakan tong-tong plastik yang ditutup dan diselingi dengan kawat, fiber, atau bambu. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan larva BSF di daerah berpenduduk padat, yakni

sistem tertutup berupa kandang seper t i rumah kasa. Tahapan produksi larva BSF sebagai berikut:

(1) Persiapan tempat. Persiapan tempat pemeliharaan berupa tong plastik besar berdiameter 56 cm dan tinggi 50 cm. Tong tersebut dilengkapi dengan tiang berbentuk segitiga berukuran 60 cm sebagai penopang. Kebutuhan lainnya berupa kawat, fiber, bambu, dan penutup tong. Tong berisi media ditempatkan di antara semak-semak atau tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan. Apabila tidak tersedia tong plastik, dapat diganti dengan bak yang dibuat dari semen atau kayu berukuran 3,5 x 7 x 0,6 m.

(2) Persiapan ruang koleksi telur. Jumlah produksi BSF bergantung pada jumlah larva yang dihasilkan dalam satu kali siklus produksi dan jumlah masa telur yang diperoleh. Keberhasilan perkawinan antara BSF jantan dan betina adalah kunci utamanya. BSF dalam aktivitas kawinnya membutuhkan ruangan yang cukup luas, intensitas cahaya yang kaya dengan sinar matahari, serta beberapa vegetasi di dalam kandang. Ruang ideal untuk aktivitas kawin berukuran (3 x 6,1 x 1,8) m atau (0,76 x 1,14 x 1,37) m yang diletakkan di luar (outdoor) dan ditutup kain kasa. Jangan meletakkan kandang di dalam rumah kaca karena akan menghambat naluri betina bertelur. Secara alamiah, lalat betina lebih

suka meletakkan telur ke tempat berongga menyerupai sarang lebah. Hal ini dapat kita modifikasi dari guntingan kardus atau plastik. Lalat betina tertarik pada limbah buah nangka sehingga dapat digunakan sebagai media pemancing lalat betina bertelur. Tempat pemancing tersebut sebaiknya diletakkan di antara vegetasi seperti pohon pisang atau tanaman rimbun lainnya. Di luar negeri, tanaman dari plastik yang berdaun dapat dipasang pada kandang koleksi telur.

(3) Persiapan media tumbuh dan pemeliharaan larva BSF. Pemeliharaan larva membutuhkan waktu dua minggu yang dipengaruhi kandungan gizi media. Apabila kandungan gizi rendah, maka larva yang dihasilkan kecil dan membutuhkan waktu panen lebih lama. Sampah organik yang besar dapat dicacah atau digiling kasar sebelum diberikan. Kandungan air media optimal berkisar 60–90% dengan suhu efisiensi aktivitas makan larva optimal berkisar 27–30oC. Larva BSF lebih menyukai makanan basah daripada kering. Pemanfaatan bungkil kelapa sawit (BKS) dan bungkil kedelai (BK) akan menghasilkan larva dengan kandungan protein yang lebih tinggi. Misalnya, untuk memperoleh 1 kg larva BSF, dibutuhkan 3 kg BKS. Media dicampur dengan 6 liter air dan diaduk merata lalu dimasukkan ke dalam tong dan di atasnya

Penjemuran pupa BSF . Media pemeliharaan BSF.

Sum

ber:

doku

men

tasi

prib

adi.

Page 5: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 3

diletakkan daun pisang. Tong ditutup yang diselipi kawat, bambu, dan fiber. Setelah dua minggu, dihasilkan larva muda di dalam tong yang kemudian dipindahkan ke dalam bak yang lebih besar dengan penambahan media. Larva dapat dipanen langsung setelah 1–2 minggu di dalam bak atau membuatkan lubang dalam tong agar larva keluar sendiri (self harvest). Larva instar akhir (prepupa) akan bermigrasi sendiri meninggalkan media menuju tempat kering. Media sisa produksi larva dapat dikeringkan di bawah sinar matahari dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa media pertumbuhan berpengaruh terhadap karakteristik lalat dewasa serta rasio lalat jantan dan betina. Kualitas media pertumbuhan yang rendah akan menghasilkan lalat jantan lebih banyak sehingga memengaruhi dominasi suatu koloni lalat yang baru menetas dari pupa.

(4) Media pupa BSF. Larva BSF dewasa akan membentuk prepupa dan pupa yang selanjutnya siap dipanen. Suhu ruang pemeliharaan pupa adalah 27-30oC. Media untuk pembentukan pupa sebaiknya gembur atau berongga sehingga mudah disusupi oleh larva dengan oksigen yang cukup. Media yang dapat digunakan adalah pasir, vermicullate, humus, serbuk gergaji, atau serbuk kertas. Untuk mencegah predator atau parasitoid (parasit kecil musuh alami larva), maka media dapat dipanaskan dahulu.

Pembuatan Tepung Pupa BSF

Pembuatan tepung pupa BSF cukup mudah. Prepupa atau pupa yang telah dipanen dimatikan dengan menyiramkan air panas, tidak perlu direbus agar kandungan proteinnya tidak rusak. Selanjutnya, ditiriskan dan dijemur hingga kering dengan

Tabel 1. Persentase kandungan nutrisi larva BSF.

Proksimat (%)Asam amino

(%)Asam lemak

(%) Mineral (%)

Air 2,38 Serin 6,35 Linoleat 0,70 Mn0,05 mg/g

Protein 44,26 Glisin 3,80 Linolenat 2,24 Zn 0,09

Lemak 29,65 Histidin 3,37 Saturated20,00 mg/g

Fe 0,68

Arginin 12,95 Monomer 8,71 Cu 0,01

Treonin 3,16 P 0,13

Alanin 25,68 Ca 55,65

Prolin 16,94 Mg 3,50

Tirosin 4,15 Na 13,71

Valin 3,87 K 10,00

Sistin 2,05

Iso leusin 5,42

Leusin 4,76

Lisin 10,65

Taurin 17,53

Sistein 2,05

NH3 4,33

Orn 0,51

Sumber : (Fahmi et al. 2007)

kandungan air 6–7%. Prepupa atau pupa kering digiling untuk dijadikan tepung dengan kandungan air kurang dari 7%. Tabel 1 menunjukkan kandungan nutrisi larva BSF.

Keuntungan BSF sebagai Pakan

Pemanfaatan larva BSF sebagai pakan ternak memiliki beberapa keuntungan seh ingga dapat di jadikan al ternat i f peternak. Budidaya larva BSF relatif murah karena menggunakan limbah organik yang tersedia berlimpah sebagai media pertumbuhannya. Proses penguraian limbah organik tidak menimbulkan bau yang menyengat sehingga aman walaupun dipelihara di dekat pemukiman penduduk. Disamping mengandung kadar protein yang cukup tinggi, larva BSF juga bersifat sebagai antibiotika terutama pada bakteri-bakteri gram positif, seperti Klebsiella pneumonia, Neisseria gonorrhoeae dan Shigella

sonnei. Hasil penelitian ekstrak metanol larva BSF terbukti mampu menghambat proliferasi bakteri gram negatif. Larva BSF ini juga mampu menurunkan populasi Erechia coli O157:H7, bakteri Salmonella enterica serovar Enteritidis pada kotoran unggas dan Escherichia coli pada kotoran sapi perah. Penelitian lain juga menunjukkan adanya potensi sebagai anti virus, terutama golongan enterovirus. Pemanfaatan larva BSF sebagai sumber pakan ternak dapat bermakna ganda, yaitu sebagai sumber protein dan antibiotika alami yang mampu membunuh bakteri-bakteri yang merugikan.

April H Wardhana

Balai Besar Penelitian Veteriner

Jalan R. E. Martadinata No. 30 Bogor

Telepon : (0251) 8331048; 8334456

Faksimile : (0251) 8336425

E-mail : [email protected].

go.id; [email protected]

Page 6: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

4 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Pepaya Medel adalah VUB tanaman pepaya yang terdapat

di Balitbu, Solok, Sumatera Barat. Pepaya Medel cukup dikenal di beberapa wilayah Sumatera dan Jawa, sementara di Papua Barat masih menjadi sesuatu yang baru. Oleh karena itu, BPTP Papua Barat mencoba mengintroduksi dan membudidayakan pepaya Medel sejak tahun 2016 di KP Andai seluas (35 x 30) m dengan populasi 114 tanaman. Tanah KP Andai bertekstur lempung berliat dengan ph 5,4 termasuk tanah yang agak masam. Manokwari adalah kota dengan curah hujan yang signifikan dimana pada bulan terkering pun terdapat cukup banyak hujan. Curah hujan tahunan rata-rata 2.515 mm dengan

Potensi Pengembangan Pepaya Merah Delima (Carica papaya L.) di Manokwari, Papua Barat

Salah satu varietas unggul baru (VUB) Balitbangtan dari Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu) Sumatera Barat adalah pepaya Merah

Delima (Medel). Keunggulan pepaya Medel yakni rasa manis, tekstur yang keras sehingga tahan lama, ukuran buah sedang, dan warna daging buah

yang menarik untuk disantap. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat mencoba untuk mengintroduksikan dan membudidayakannya

sejak tahun 2016 di Kebun Percobaan (KP) Andai. Hasil panennya pun ternyata diminati konsumen buah di Manokwari, Sorong, dan sekitarnya

sehingga memiliki prospek baik untuk dikembangkan.

suhu rata-rata 25,9°C. Iklim di Manokwari diklasifikasikan sebagai iklim Af berdasarkan sistem Koppen-Geiger.

Budi daya Pepaya Medel

Benih dipesan dari Balitbu sebanyak 500 biji. Sebelum tanam, benih direndam dalam air suam kuku selama 18–24 jam, dit ir iskan, dibungkus kertas tisu, dan disimpan dalam wadah tertutup. Setelah18–21 hari, benih berkecambah dan dipindah ke polybag berisi tanah bercampur pupuk kandang dan pasir. Tanah diolah manual dan membuat bedengan dengan panjang 30 cm, lebar 2,5 cm, dan tinggi 20

cm. Antar bedengan dipisahkan parit, lebar 50 cm dan dalam 20 cm. Lubang tanam diisi pupuk kandang, 2 minggu sebelumnya. Bibit siap tanam setelah 30–40 hari di polybag dengan melepas polybag secara pelan lalu diletakan di lubang tanam.

Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pupuk kandang sebagai pupuk dasar, pupuk NPK saat berumur 3 bulan, dan saat berumur 6 bulan. Pemberian pupuk dilakukan dengan membuat lubang di sekitar tanaman lalu ditutup tanah. Pemeliharaan dilakukan dengan membersihkan gulma secara manual atau kimia.

Produksi Buah Pepaya Medel

Bulan Januari–Maret 2017 merupakan fase berbuah. Namun, tingginya curah hujan menyebabkan sekitar 40 pohon pepaya Medel roboh dan mati sehingga tanaman yang berproduksi hanya 74 pohon. Rata-rata dalam satu pohon pepaya Medel, terdapat 40–50 buah. Namun kurangnya pengawasan menyebabkan buah sering diambil tanpa sepengetahuan petugas kebun. Sebagian buah juga

(a) Perendaman benih, (b) Benih yang sudah berkecambah, dan (c) Tanaman di polybag.

(a) (b) (c)

Sum

ber:

doku

men

tasi

prib

adi.

Page 7: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 5

diberikan secara gratis ke konsumen untuk memperkenalkan produk pepaya Medel dan sebagian lagi dijual.

Pepaya Medel berbuah 3 bulan setelah tanam dan panen setelah berumur 8 bulan yang ditandai dengan kulit buah yang menguning. Masa berproduksi pepaya Medel KP Andai lebih pendek dibandingkan tempat lain yang memerlukan waktu 2 tahun. Hal tersebut dapat d iak iba tkan o leh kurangnya pemupukan atau keadaan iklim yang ekstrim. Grafik produksi pepaya Medel menunjukkan produksi terendah terjadi pada fase panen pertama bulan November sebanyak 30 buah, sedangkan tertinggi terjadi pada bulan April sebanyak 660 buah. Setelah itu produksi mulai menurun.

Penjualan Medel

Pemasaran di lakukan dengan menyetorkan pepaya Medel ke Hadi swalayan, pasar Wosi, konsumen di sekitar Manokwari, atau konsumen langsung yang datang ke kebun. Harga penjualan berdasarkan bobot, ukuran 1,5–1,8 kg Rp10.000 sedangkan <1,5 kg Rp5.000. Setelah diperkenalkan, konsumen di Manokwari dan Sorong sangat tertarik dengan pepaya Medel, ini terlihat dari tingginya permintaan buah tersebut. Namun semua permintaan belum dapat dilayani karena keterbatasan produksi buah pepaya Medel.

Perhitungan Biaya

Pengeluaran terdiri atas biaya peralatan, bahan, tenaga kerja, dan lain-lain dengan rincian: (a) peralatan yang digunakan yakni parang, sabit, tajak, cangkul, sekop, hand spryer, karung, dan tali, dengan biaya Rp2.190.000, (b) biaya bahan meliputi benih, pupuk, dan obat-obatan dalam satu periode tanam Rp3.280.000, (c) Biaya tenaga kerja mulai dari persiapan lahan, pemupukan, pemeliharaan, panen, dan pemasaran dalam satu periode Rp3.360.000, dan (d) biaya lain-lain seperti transportasi dan promosi Rp300.000. Total biaya yang diperlukan sebesar Rp9.130.000.

Penerimaan Usaha Tani Pepaya Medel

Penerimaan usaha tani adalah perkalian total produk dengan harga pasar saat itu. Penerimaan usaha budi daya pepaya Medel yang diterima, diperoleh dari hasil penjualan yang dihasilkan selama satu kali proses produksi. Dari hasil penjualan selama November 2016–

Juni 2017 diperoleh pendapatan sebesar Rp15.769.000. Sesuai data hasil penjualan maka pendapatan kotor adalah Rp15.769.000. Total biaya yang dikeluarkan adalah Rp9.130.000. Laba/keuntungan adalah selisih antara penerimaan total dikurangi pengeluaran (biaya) total atau π = TR–TC. Jadi laba usaha tani pepaya Medel dalam satu kali tanam adalah Rp15.769.000–Rp9.130.000 = Rp6.639.000.

Usaha tani pepaya Medel dapat memberikan keuntungan terlihat dari perbandingan antara penerimaan dan biaya atau nilai Revenue/Cost (R/C). Nilai rata-rata R/C yang diperoleh adalah 1,7 atau > 1 yang berarti bahwa usaha budi daya pepaya Medel dapat dikatakan menguntungkan.

Sostenes Konyep

Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Papua Barat

Jalan Brigjen Abraham O. Atururi,

Komplek Pemda Provinsi Papua Barat,

Arfai Gunung, Manokwari Papua Barat

Telepon : (0986) 2210832

Faksimile : (0986) 2210832

E-mail : bptp_papuabarat@pertanian.

go.id; [email protected]

(a) Pemupukan saat tanaman berumur 6 bulan, (b) Pengklasifikasian buah sebelum pemasaran, dan (c) Buah matang pepaya merah delima.

(b) (c)

Sum

ber:

doku

men

tasi

prib

adi.

(a)

Page 8: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

6 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Banyak Penyuluh Per tanian Lapangan (PPL) cukup heran

atas arahan dari BPTP Kalimantan Barat terkait penggunaan berbagai varietas padi yang berbeda untuk lahan pasang surut di Kalimantan Barat. Alasan yang sering dilupakan bahwa setidaknya ada 9 tipologi

Varietas Padi Lahan Pasang Surut di Kalimantan Barat

Perbedaan tipologi lahan pertanian memerlukan paket teknologi yang berbeda untuk mencapai produksi optimal. Demikian pula untuk tipologi lahan pasang surut yang masih terbagi atas beberapa jenis lahan. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat melakukan kegiatan uji adaptasi teknologi atas kesesuaian lahan, termasuk

penggunaan varietas unggul. Hasilnya dapat menjadi rekomendasi bagi petani dalam memilih varietas padi yang sesuai dengan lahan pasang surut

di Kalimantan Barat.

lahan pasang surut yang berbeda dan memerlukan teknologi budi daya padi yang juga berbeda. Widjaja-Adhi pada tahun 2010 menjelaskan bahwa ada tiga tipologi lahan pasang surut Sulfat Masam Aktual (SMA) yang memerlukan paket teknologi yang berbeda dengan

tiga lahan pasang surut dengan kondisi Sulfat Masam Potensial (SMP). Bahkan pada lahan pasang surut bergambut juga terbagi atas tiga jenis yakni gambut, gambut tengahan, dan gambut dalam. Tiap tipologi lahan pasang surut memerlukan komponen teknologi yang berbeda terutama penggunaan varietas padi. Sebagai contoh di Kabupaten Sambas yang komoditas padinya mudah terserang penyakit blast, disarankan untuk menanam VUB Inpara-6 yang relatif tahan terhadap penyakit blast.

Masalah yang dihadapi dalam budi daya padi t idak hanya masalah serangan penyakit tetapi

Tabel 1. Varietas unggul baru lahan pasang surut yang dilepas Kementan tahun 2008–2014

No.Varietas unggul

Umur tanaman

(hari)

Tekstur nasi

Potensi hasil (t/ha)

Ketahanan terhadap hama penyakit Keterangan

1. Inpara 1 131 Pera 6,47 Agak Tahan WBC biotipe 1,2, 3 dan Tahan HDB dan blas.

Toleran keracunan Fe dan Al

2. Inpara 2 128 Pulen 6,08 Agak tahan WBC Biotipe 1,2,3 Toleran keracunan Fe dan Al

3. Inpara 3 127 Pera 5,6 Agak tahan WBC Biotipe 3, tahan blas ras 101, 123, 141, 373, rentan HDB

Agak toleran terhadap rendaman selama 6 hari pada fase vegetatif dan agak toleran keracunan Fe dan Al

4. Inpara 4 135 Pera 7,6 Agak tahan WBC biotipe 3, tahan HDB patotipe IV dan VIII

Toleran terendam selama 14 hari pada fase vegetatif

5. Inpara 5 115 Sedang 7,2 Agak rentan WBC biotipe 3, tahan HDB patotipe IV dan VIII

Toleran terendam selama 14 hari pada fase vegetatif

6. Inpara 6 117 Sedang 5,98 Rentan WBC, Tahan blas, agak tahan HDB patotipe IV

Toleran keracunan Fe

7 Inpara 7 ± 114 Pulen 5,1 Tidak tahan WBC, agak tahan Tungro Isolat Subang, tahan blas ras 033 dan 173 serta agak tahan blas ras 133

Agak toleran keracunan Fe dan Al

8. Inpara 8 Agritan

± 114 Pulen 6,0 Agak rentan WBC biotipe 1,2 dan rentan WBC Biotipe 3, tahan HDB patotipe III, agak tahan terhadap HDB patotipe IV dan VIII. Agak tahan blas ras 133

Toleran keracunan Fe

9 Inpara 9 Agritan

± 114 Pera 5,6 Agak rentan WBC biotipe 1,2,3, tahan HDB Patotipe III serta tahan tungro inokulum garut dan Purwakarta

Toleran keracunan besi

Sumber: Deskripsi Varietas Unggul Padi Balitbangtan, 2017.

Page 9: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 7

juga tipologi lahan. Lahan pasang surut merupakan salah satu lahan marginal. Luas lahan pasang surut dan lebak sekitar 2.803.744 ha atau 18,32% dari luas Provinsi Kalimantan Barat. Lahan pasang surut ini memiliki kendala fisik, biologi, dan kimia untuk tujuan pengembangan produksi pertanian komoditas padi. Kendala biofisik lahan pasang surut berupa kahat unsur hara fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), pH tanah yang rendah, adanya unsur beracun yakni Al, Fe, dan H2S, genangan air, dan intrusi air asin. Sebaliknya kendala biologis berupa hama, penyakit, dan gulma yang beragam. Sedangkan kendala sosial ekonomi meliputi keterbatasan modal dan tenaga kerja, rendahnya tingkat pendidikan, serta prasarana yang kurang memadai. Walaupun usaha tani pada lahan pasang surut cukup banyak memiliki kendala, jika dikelola dengan baik menggunakan inovasi teknologi yang tepat, lahan pasang surut dapat berproduksi secara optimal. Salah satu komponen teknologinya adalah inovasi varietas unggul baru yang sesuai dengan kondisi agro ekosistem setempat.

Varietas Unggul Baru (VUB) Padi Lahan Pasang Surut

Salah satu komponen teknologi dalam meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut adalah varietas unggul. Keunggulan yang diharapkan antara lain memiliki potensi hasil yang tinggi, tahan terhadap hama penyakit endemik, dan memiliki ketahanan terhadap cekaman abiotik atau ketahanan tehadap keracunan besi dan aluminium, rendaman air, kekeringan ekstrim, dan intrusi air asin.

Salah satu kendala lahan pasang surut yang menonjol adalah adanya unsur beracun Fe dan Al. Jika di lahan pasang surut tetap dipaksakan

untuk menanam varietas yang tidak memiliki ketahanan terhadap Fe dan Al, maka pertumbuhan tanaman menjadi tidak optimal dan akan berdampak pada penurunan produksi. Untuk meminimalkan risiko serta memaksimalkan produksi maka sebaiknya menggunakan varietas unggul baru padi yang sesuai dengan agroekosistem lahan pasang surut.

Varietas Unggul Baru Padi Adaptif di Lahan Pasang Surut Kalimantan Barat

BPTP Kal imantan Barat telah mengkaji berbagai VUB padi lahan pasang surut yang telah dihasilkan oleh Balitbangtan untuk membantu petani memilih varietas padi yang tepat ditanam di lahan pasang surut.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) te lah banyak menghasilkan varietas unggul baru yang dapat menjadi pilihan bagi petani (Tabel 1). Kegiatan yang dikerjakan pada tahun 2014–2016 ini berupa uji adaptasi yang dilanjutkan dengan demonstration farm (Demfarm). Pengujian varietas padi Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3,

Inpara 6, Inpara 7, dan Inpara 8 memberikan hasil yang memuaskan dengan produktivitas rata-rata 3,47–6,10 t/ha (Tabel 2). Hasil tersebut jauh lebih baik dibandingkan rerata produktivitas padi di Kalimantan Barat yang pada tahun tersebut hanya 3,03 t/ha. Dari berbagai hasil uji adaptasi tersebut diperoleh rekomendasi VUB spesifik lokasi. Kabupaten Kubu Raya disarankan mengembangkan VUB Inpara 2 yang toleran terhadap keracunan Fe dan Al. Sebaliknya Kabupaten Sambas direkomendasikan mengembangkan VUB Inpara 6 dalam rangka menanggulangi penyakit blast (Pyricularia grisea). Sedangkan di Kabupaten Mempawah dan Ke-tapang disarankan mengembangkan VUB Inpara 3 yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi biofisik setempat.

Sari Nurita

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Kalimantan Barat

Jalan Budi Utomo No. 45

Siantan Hulu, Pontianak

Telepon : (0561) 882069

Faksimile : (0561) 883883

E-mail : [email protected].

go.id; [email protected]

Tabel 2. Produktivitas rata-rata VUB padi hasil ujii adaptasi dan demfarm padi tahun 2014–2016 di lahan pasang surut Kalimantan Barat.

No. Kabupaten Varietas Produktivitas (t/ha) GKP

1. Kubu Raya Inpara 1Inpara 2Inpara 3Inpara 6Inpara 7

4,484,485,095,824,85

2. Ketapang Inpara 1Inpara 2Inpara 3

3,474,485,85

3. Mempawah Inpara 1Inpara 3

5,955,00

4, Sambas Inpara 1Inpara 2Inpara 3Inpara 6Inpara 8

4,004,234,706,105,70

Sumber : Hasil uji adaptasi dan demfarm padi BPTP Kalimantan Barat tahun 2014, 2015 dan 2016.

Page 10: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

8 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Program pemerintah Indonesia untuk menjadi lumbung pangan

dunia tahun 2045 merupakan amanah yang perlu mendapat perhatian serius. Namun, beberapa permasalahan yang perlu segera diatasi di antaranya adalah stagnasi produktivitas (levelling off) lahan sawah intensif, konversi lahan sawah produktif, rusaknya jaringan irigasi, pertambahan penduduk, dan perubahan iklim, termasuk di wilayah Sulawesi Tengah.

Langkah penanganan pelandaian dan konversi lahan di Sulawesi Tengah yakni melalui perluasan areal sawah berupa cetak sawah baru yang tersebar di Kabupaten Poso, Tolitoli, Marowali, Morowali Utara, Donggala, dan Banggai. Luasnya diperkirakan 20% dari total lahan pertanian. Data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (2017) menunjukkan bahwa luas cetak sawah baru 4 tahun terakhir periode 2014–2017 seluas 11.353 ha. Namun, produktivitas lahan sawah bukaan baru tersebut masih rendah yakni < 3 t/ha (Distanhort Provinsi Sulawesi Tengah, 2016). Hal tersebut dikarenakan lahan merupakan tanah masam dan atau rawa dengan karakteristik: (1) konsentrasi besi (Fe) dan mangan (Mn) yang dapat mencapai tingkat meracuni tanaman, (2) kekahatan unsur hara makro (P, K, Ca dan Mg) dan kandungan bahan organik yang rendah, (3) fiksasi unsur P yang

Teknologi Jarwo Super pada Lahan Sawah Bukaan Baru

Peningkatan produktivitas lahan sawah bukaan baru harus didukung oleh inovasi teknologi yang dapat bersinergi antara kekuatan biologi tanah dengan sifat fisik dan kimia tanah. Teknologi Jarwo super merupakan

teknologi tepat yang mampu menyatukan kekuatan tersebut dengan sistem manajemen terintegrasi.

tinggi, (4) pencucian unsur K yang tinggi, (5) pengaruh buruk ion H+, dan (6) masih rendahnya dukungan sarana dan prasarana. Kondisi tersebut memerlukan dukungan inovasi dan teknologi spesifik yang murah dan ramah lingkungan. Salah satu teknologi terkini milik Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) adalah teknologi jajar legowo (Jarwo) super yang terbukti secara nyata dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

Teknologi Jarwo Super

Implementas i teknologi padi Jarwo Super mengintergrasikan pengelolaan lingkungan dengan komponennya yakni : (1) benih bermutu VUB dengan potensi hasil tinggi, (2) biodekomposer sebagai pengolahan tanah, (3) pupuk hayati sebagai seed treatment dan pemupukan berimbang, (4) teknik pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu, dan (5) penggunaan alat mesin pertanian terutama untuk tanam dan panen. Teknologi Jarwo Super telah diuji pada tahun 2016 melalui dem area seluas 50 ha lahan sawah irigasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. VUB yang digunakan yakni varietas Inpari 30, Ciherang Sub-1, Inpari 32 HDB, dan Inpari33. Hasilnya mencapai

lebih 10 ton GKG/ha, sedangkan produktivitas varietas Ciherang yang diusahakan petani di luar dem area hanya 6,0 ton GKG/ha.

Hasil penerapan Jarwo Super di Taman Teknologi Pertanian (TTP) Batui, Kabupaten Banggai seluas 5 ha juga memberikan hasil yang tinggi yaitu 11,5 t/ha sedangkan inovasi lainnya seperti PTT hanya 7, 5 t/ha, artinya terjadi peningkatan produktivitas 53,33% (BPTP Sulawesi Tengah, 2016). Keunggulan lain dari penerapan Jarwo Super yakni meningkatkan efisensi usaha tani dan indeks pertanaman melalui penerapan inovasi alat dan mesin pertanian (Alsintan).

Lahan Sawah Bukaan Baru

L a h a n s a w a h m e r u p a k a n lahan buatan manusia untuk penanaman padi dengan sistem penggenangan dengan sifat yang berbeda dengan lahan kering. Penggenangan menyebabkan adanya perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi. Pengelolaan lahan sawah perlu mendapat perhatian serius dan pengelolaan yang baik agar dapat berfungsi dengan baik dan tidak mengalami kerusakan seperti terjadinya akumulasi unsur tertentu. Simarmata dan Yuwariah, (2008) mengembangkan sistem pengelolaan lahan sawah secara terpadu yang dikenal dengan Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) dan Jarwo Super. Konsep ini memadukan pengelolaan dan perencanaan (by design) yang menitikberatkan pada pemanfaatan kekuatan biologis tanah, manajemen tanaman,

Page 11: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 9

pemupukan, serta tata air untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran padi dalam kondisi aerob. Konsep ini tidak hanya meningkatkan produksi dan produktivitas lahan, namun juga menjaga dan meningkatkan kualitas lahan.

Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman mencapai 75,2 cm dengan jumlah anakan untuk tanam pindah rata-rata 22 batang per rumpun, sedangkan untuk teknologi eksisting dengan tinggi tanaman 70,0 cm dan jumlah anakan 18 batang per rumpun. Hasil panen yang dicapai pada inovasi teknologi Jarwo Super adalah 7,1 t GKP/ha, sedangkan teknologi eksisting hanya 4,1 t/ha. Hasil kajian pengembangan sistem Jarwo Super pada lahan sawah bukaan baru secara nyata dapat meningkatkan produksi 2–3 t/ha dibandingkan dengan kondisi eksisting (Tabel 1).

Kelayakan Usahatani

Salah satu indikator yang dapat dijadikan tolak ukur kelayakan dan efisiensi usaha tani adalah nilai kelayakan usahataninya dengan Benefit/Cost (B/C) yang harus lebih dari 1. Hasil pengukuran analisis kelayakan usahatani pada uj i pengembangan teknologi Jarwo Super pada Tabel 2 di lahan sawah sawah bukaan baru menunjukkan bahwa terjadi perbedaan antara teknologi jarwo dengan teknologi eksisting (paket petani). Hasil panen dan analisis tingkat kelayakan usaha tani tanaman padi sawah bukaan baru pertanaman yaitu 7,1 t/ha dengan nilai kelayakan B/C 1,88 sedangkan dengan teknologi eksisting hanya mencapai 4,10 t/ha dengan nilai B/C 0,50. Hal itu menunjukkan bahwa penerapan teknologi Jarwo Super dapat diadopsi atau digunakan oleh petani guna meningkatkan kesejahteraan petani.

Syafruddin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Sulawesi Tengah

Jalan Lasoso No. 62 Biromaru, Palu

Telepon : (0451) 482546

Faksimile : (0451) 482549

E-mail : [email protected]

Tabel 1. Pertumbuhan tanaman dan hasil panen teknologi Jarwo Super pada lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Poso (65 HST).

Perlakuan VarietasTinggi tana-man (cm)

Jumlah anakan (batang)

Hasil panen (t/ha)

Jarwo Super Mekongga 75,2 22 7,10

Teknologi Eksisting Mekongga 70,0 18 4,10

Kinerja Teknologi Jarwo Super pada Lahan Sawah Bukan Baru

Implementasi teknologi Jarwo Super yang dilaksanakan pada lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Poso memperlihatkan pertumbuhan tanaman cukup baik.

Lahan sawah bukaan baru dengan penerapan Jarwo Super.

Tabel 2. Analisis kelayakan usahatani kajian pengembangan teknologi Jarwo Super pada lahan sawah bukaan baru di wilayah Kabupaten Poso.

Uraian Biaya Teknologi

Jarwo super Eksisting

Biaya Sarana Produksi (Rp. 000/ha)- Benih- Pupuk- Pestisida- Herbisida

Biaya Tenaga Kerja: (Rp.000/ha)- Pengolahan Tanah- Penanaman- Pemupukan- Pemeliharaan- Panen dan pasca panenJumlah Biaya Tenaga Kerja

- Produksi Gabah Kering Giling (t/ha) - Setara beras (kg/ha)- Nilai Produksi (Rp/ha)- Pendapatan (Rp/ha)

3.160 3601.320 640 840

6.0001400800300

15002.000

12.160

7,104.12

35.02022.860

3.62016013201200940

6.4001200140030015002.00013.300

4,102,38

20.021,36.721,3

Nilai B/C 1,88 0,50Keterangan: harga beras 8.500,-; rendemen beras = 55 %.

Page 12: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

10 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kehi langan has i l ( l o sses ) pascapanen cabai diperkirakan

mencapai 20%, bahkan 50% sepanjang rantai pasok. Saat kehilangan hasil tinggi, harga cabai ikut meningkat secara signifikan, hingga tidak jarang memengaruhi tingkat inflasi ekonomi. Fluktuasi harga terjadi setiap tahun. Kebutuhan cabai di kota besar dengan populasi 1 juta penduduk atau lebih dapat mencapai 800.000 ton/tahun. Pada hari besar keagamaan atau musim-musim tertentu, kebutuhan cabai meningkat 10–20% dari biasanya. Data tahun 2016 menunjukkan tingkat produktivitas cabai nasional diperkirakan sebesar 6 ton/ha dengan volume produksi nasional 1.045.000 ton. Angka ini sebenarnya melampaui kebutuhan nasional, yaitu 760.000 ton. Namun, hasil survei di Kabupaten Garut tahun 2013 menunjukkan kehilangan hasil cabai mencapai 44,4% sepanjang rantai pasok, dari kebun petani sampai di pasar induk. Sementara survei di Kabupaten Magelang tahun 2018 menunjukkan kehilangan hasil cabai 24,05%. Terdapat selisih yang cukup besar antara ketersediaan pasar dan kebutuhan konsumsi masyarakat. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya neraca negatif ketersediaan cabai di

Penekanan Kehilangan Hasil Cabai dengan Pemotongan Rantai Pasok, Teknologi Ozon dan Perbaikan Kemasan

Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat tinggi permintaannya sepanjang tahun di hampir semua daerah di Indonesia.

Ketersediaan cabai di pasar sangat fluktuatif, menyebabkan fluktuasi harga yang ekstrem. Penekanan kehilangan hasil cabai menjadi kebutuhan yang

mendesak untuk mengendalikan pasokan dan harga cabai di pasar.

masa lalu. Oleh karena itu, diperlukan upaya penurunan kehilangan hasil pascapanen cabai.

Penyebab Kehilangan Hasil Cabai

Penyakit anthracnose atau sering disebut pathek di Jawa Tengah, merupakan masalah yang telah lama menghantui petani cabai. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici. Penyakit ini mewabah pada musim penghujan, namun serangan di musim kemarau juga bukan tidak mungkin. Pathek sangat mudah menular termasuk saat proses distribusi meskipun p e n g u m p u l / p e n g e p a k t e l a h melakukan sortasi. Penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil (losses) cabai. Ada lagi kerusakan fisik atau mekanis (patah atau memar) dan kerusakan fisiologis (busuk) sebagai penyebab kehilangan hasil cabai. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh wadah atau kemasan yang kurang tepat dan panjangnya rantai pasok sehingga cabai berada dalam kondisi yang tidak kondusif dalam jangka waktu lama. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pasca) sebagai

pelaksana dalam kegiatan ASEAN-JAIF Cooperation Project: Reduction of Postharvest Losses for Agricultural Produces and Products in ASEAN Region (ASEAN PHL-R) tahun 2018 telah melakukan survei, FGD, serta kajian terkait losses pascapanen cabai. Hasi lnya menunjukkan bahwa semakin panjang rantai pasok, semakin tinggi losses yang akan terjadi. Rantai pasok yang terjadi selama ini dari petani ke beberapa pedagang pengumpul lalu akhirnya sampai ke pasar lokal, pasar induk, atau pasar luar kota. Selama melewati beberapa rantai pasar, cabai dikeluarkan dari wadah, dihamparkan selama pengumpulan cabai selesai dilakukan, kurang lebih setengah hari, kemudian dikemas kembali untuk pengangkutan ke pasar atau ke luar kota.

K e m a s a n d a n m e t o d e transportasi yang digunakan selama pengangkutan sepanjang rantai pasok juga menyumbang jumlah losses . Kemasan yang umum digunakan antara lain karung plastik bekas kemasan pupuk atau kardus tipis bekas kemasan rokok dan sejenisnya. Kemasan ini umumnya rapat sehingga suhu di dalam kemasan cepat meningkat selama transportasi dan mendorong respirasi pada cabai yang berakibat mempercepat pematangan dan pembusukan. Selain itu, kemasan seringkali diisi melebihi kapasitas dan ditangani kurang hati-hati, sehingga cabai sangat rentan kerusakan fisik.

Page 13: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 11

Pemotongan Rantai Pasok, Perbaikan Kemasan Transportasi, dan Teknologi Ozon

Hasil penelitian dalam ASEAN PHL-R menemukan bahwa penyederhanaan atau pemotongan rantai pasok dapat menurunkan losses hingga lebih dari 40%. JIka dilengkapi dengan perbaikan kemasan transportasi, losses dapat diturunkan hingga lebih dari 60%. Kedua tahapan ini sudah dapat menekan kehilangan hasil secara signifikan untuk menjamin ketersediaan cabai lokal di sekitar sentra produksi cabai hingga ke konsumen akhir.

R a n t a i p a s o k y a n g direkomendasikan adalah dari petani atau di kebun ke pedagang pengumpul sekaligus pengepak, lalu langsung ditransportasikan ke pasar lokal atau pasar induk. Cabai yang dihasilkan petani hanya mengalami satu kal i pembongkaran dari wadah panen, lalu dikemas untuk pengangkutan ke pasar. Perbaikan kemasan dilakukan terhadap wadah panen dan kemasan transportasi

ke pasar atau luar kota. Wadah panen, yaitu karung plastik bekas, disarankan untuk diganti dengan kemasan krat plastik. Sementara kemasan transportasi ke pasar lokal atau ke pasar luar kota disarankan menggunakan kardus berperforasi. Perforasi ditempatkan di sekeliling kardus (pada semua sisi) dan cabai ditempatkan dalam kardus dengan volume yang sesuai kapasitas.

Salah satu teknologi utama yang diimplementasikan dalam kegiatan ASEAN PHL-R adalah teknologi ozon. Teknologi ozon diterapkan dalam proses pencucian cabai di pengumpul, sebelum cabai dikemas untuk didistribusikan ke luar kota. Ozonisasi menjadi penting karena dapat meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme perusak cabai, termasuk pathek. Selain itu, ozon juga efektif mengurangi residu pestisida dan menjaga kesegaran cabai selama penyimpanan.

I m p l e m e n t a s i t e k n o l o g i penanganan pascapanen ter-sebut menunjukkan hasil yang menjanjikan. Cabai lebih segar

secara kasat mata, dan sangat sedikit yang rusak akibat gangguan mikroorganisme seperti antraknosa. Teknologi ozon yang diterapkan berhasil menurunkan infestasi jamur Colletotrichum capsici. Berbeda dengan cabai yang menggunakan praktek penanganan konvensional, dimana masih ditemukan cukup b a n y a k c a b a i b e r p e n y a k i t . Penerapan teknologi ozon dianggap sesuai untuk diterapkan bersama penyederhanaan rantai pasok dan perbaikan kemasan, untuk menekan losses cabai khususnya untuk distribusi jarak jauh atau luar kota.

Berdasarkan perh i tungan k e u n t u n g a n e k o n o m i d a r i implementasi teknologi, dengan asumsi penurunan susut pas-capanen cabai nasional dari 25% menjadi 5,5%, kehilangan hasil sebesar 261.400 ton turun menjadi 57.508 ton per tahun. Jika harga cabai diasumsikan Rp30.000,- per kg, maka implementasi teknologi te lah menghemat kerusakan sebesar 203.892 ton atau senilai Rp6.116.760.000.000,-.

Sari Intan Kailaku dan Evi Savitri Iriani

Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 12A

Cimanggu, Bogor

Telepon : (0251) 8321762

Faksimile : (0251) 8350920

E-mail : bbpascapanen@litbang.

pertanian.go.id; bb_pascapanen@yahoo.

com

Teknologi penanganan pascapanen cabai.

Kerusakan pada cabai dengan penanganan konvensional.

Cabai hasil implementasi teknologi ozon, setelah transportasi Magelang-Tangerang.

Page 14: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

12 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Sebagai negara yang memiliki wilayah laut lebih luas daripada

daratannya, pasti tidak asing lagi dengan makanan seafood. Makanan yang tidak saja memiliki kandungan protein tinggi, tetapi juga komponen-komponen fungsional lainnya yang bermanfaat bagi kesehatan dan kecerdasan otak. Ternyata hasil samping dari pengolahan seafood pun dapat diproses menjadi material yang memiliki kegunaan yang sangat luas. Material utama hasil samping pengolahan seafood adalah kitin yang dapat diproses lebih lanjut menjadi kitosan.

K i t o s a n s u d a h b a n y a k d imanfaatkan da lam b idang p e r t a n i a n , k e s e h a t a n , d a n lingkungan. Aplikasi kitosan dalam bidang pertanian dilakukan untuk menstimulasi induce systemic resistance tanaman terhadap patogen, memacu pertumbuhan, dan merangsang ekspresi enzim tertentu yang dapat meningkatkan vigor tanaman. Sedangkan dalam bidang kesehatan, kitosan digunakan untuk bakteriostatik, immunologi, anti tumor, cicatrizant, homeostatic dan anti koagulan, obat salep untuk luka, ilmu pengobatan mata, ortopedi, dan penyembuban jahitan akibat pembedahan. Industri makanan juga menambahkan kitosan dalam

Nanopartikel Kitosan, Kendalikan Penyakit Antraknosa

Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar, baik dari darat, udara, dan laut. Salah satu sumber daya alam yang juga merupakan sumber protein berasal dari lautan yang umumnya kita kenal dengan seafood. Salah satu komponen seafood yang ternyata memiliki sifat

fungsional berupa kitin yang jika diolah menjadi kitosan dapat bermanfaat dalam bidang pertanian, kesehatan, dan lingkungan. Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) telah melakukan penelitian pemanfaatan kitosan sebagai

pengendali patogen antraknosa.

komposisi makanan olahan yang digunakan untuk program diet, karena kitosan termasuk adsorben lemak yang baik. Untuk program penjernihan dan peningkatan kualitas air, kitosan dapat digunakan sebagai membran ultraf i l t rasi yang dapat menyaring sekaligus memerangkap berbagai macam kontaminan pestisida dan logam berat yang terlarut dalam air.

Kitosan Bersifat Antimikroba

Senyawa kitosan ditemukan pada tahun 1823 oleh seorang ilmuwan Perancis bernama Oj ier dar i ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting, dan serangga. Senyawa kitosan adalah hasil modifikasi polimer kitin melalui N-deasetilasi parsial. Monomer-monomer penyusun kitosan disatukan oleh ikatan ß-(1,4) glikosida yang membentuk polimer rantai panjang. Modifikasi kitin menjadi kitosan meningkatkan kelarutannya pada beberapa larutan asam organik pada pH kurang dari 6,5 seperti asam format, asetat, tartrat, dan sitrat. Derajat deasetilas kitosan berkisar antara 80–90%, lebih tinggi dibandingkan kitin yang hanya mencapai 8–15%. Peningkatan DD

akan meningkatan gugus fungsional amina (-NH2) pada polimer kitosan sehingga memiliki sifat kimia dan fisik berbeda dengan kitin. Oleh karena itu, faktor utama yang menentukan kualitas dan kemanfaatan kitosan adalah derajat deasetilasi dan berat molekulnya yang akan berpengaruh terhadap ukuran, pembentukan, dan agregasi partikel. Sifat antimikroba yang kuat dari kitosan disebabkan oleh adanya gugus -NH2 dan pasangan elektronnya. Gugus -NH2 yang bermuatan positif mampu berikatan sangat kuat dengan berbagai material yang bermuatan negatif, termasuk dengan situs elektronegatif permukaan dinding sel mikroba. Gugus -NH2 akan mengikat molekul-molekul asam amino yang bermuatan negatif sehingga memengaruhi permiablitas sel. Kemudian pasangan elektro dari gugus -NH2 akan menarik atom Ca2+ pada ion chanel di membran berpori yang menimbulkan gangguan keseimbangan osomosis sel dan menyebabkan kebocoran membran. Elektron bebas pada kitosan juga diketahui dapat mengikat mineral Mg2+ yang berperan sebagai kofaktor sejumlah reaksi enzimatis. Pengikatan atom Mg2+ menimbulkan gangguan proses fisiologis mikroba, termasuk gangguan fungsi ribosom dalam proses transkripsi dan translasi DNA.

Potensi Kitosan sebagai Pengendali Patogen Antraknosa

Sifat antimikroba yang sangat kuat dari kitosan telah diaplikasikan oleh peneliti BB Biogen untuk pengendalian penyakit antraknosa.

Page 15: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 13

Penyakit antraknosa merupakan penyakit penting pada sejumlah komoditas pertanian, seperti pepaya, mangga, atau cabai. Penyakit ini dikenal dengan nama “penyakit pathek” pada buah cabai. Gejala serangan ditandai dengan bercak bulat cekung yang pada bagian tepinya berwarna cokelat atau hitam, sedangkan bagian tengahnya berwarna jingga muda sampai merah muda. Penyebab utama penyakit antraknosa adalah jamur patogen genus Colletotrichum sp.

Infeksi patogen biasanya terjadi pada saat buah masih belum masak. Penyakit akan berkembang mengikuti masak fisiologi buah selama dalam proses pengeraman atau transpotasi. Perkembangan patogen diinduksi oleh senyawa etilen yang dihasilkan buah selama proses pemasakan dan memicu perkecambahan konidia untuk membentuk struktur infeksi apresoria yang melakukan penentrasi sel inang. Akibat infeksi antraknosa tersebut kualitas buah menjadi menurun drastis dan menimbulkan kerugian hasil 20–60%. Artinya, untuk menekan serangan penyakit antraknosa, perkembangan konidia harus ditekan sejak dini dengan menghambat perkecambahannya. S t ra tegi in i dapat d i lakukan dengan membalut (coating) buah menggunakan polimer kitosan.

Keunggulan kitosan sebagai bahan coating, yaitu: (1) kitosan termasuk bahan edible coating sehingga penggunaannya tidak berbahaya bagi konsumen, (2) muatan kat ion ik dan anionik pada kitosan tidak saja menjadi bersifat antimikroba tetapi juga mengikat berbagai radikal bebas di permukaan sel buah yang dapat menunda proses pemasakan, dan (3) limbah penghasil kitosan sangat melimpah di Indonesia sehingga ketersediaan bahan baku untuk menghasilkan bahan treatment buah tidak perlu dikhawatirkan.

Produksi Kitosan Antimikroba

Ada tiga tahapan proses pembuatan kitosan dari limbah seafood, yaitu: (1) deproteinasi, (2) demineralisasi dan (3) deasetilasi. Pada tahap pertama dan kedua akan diperoleh polimer kitin, dan baru pada tahapan ketiga akan diperoleh kitosan. Umumnya proses deasetilasi kitin dilakukan dengan pemanasan dalam larutan alkali kuat berkonsentrasi tinggi. Proses ini akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul chitin. Meski produksi kitosan secara kimiawi mampu menghasilkan kitosan dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi, tetapi penggunaan alkali pekat beresiko menimbulkan pencemaran lingkungan.

Proses deaseti lasi ternyata dapat dilakukan secara enzimatis menggunakan enzim deasetilase. Enzim banyak diekspresikan oleh sejumlah mikroba yang hidup di lingkungan kita baik dari jenis jamur, yis, maupun bakteri. Salah satu bakteri yang yang berhasil diisolasi dan memiliki aktivitas enzim deasetilase adalah bakteri Burkholderia cepacia isolate E76. B cepacia adalah bakteri endofitik yang di jaringan seluler tanaman padi. Selain menghasilkan sejumlah fitohormon yang bermanfaat bagi tanaman, Burkholderia cepacia juga diketahui bersifat antagonis terhadap cendawan patogen, seperti Rhizoctonia solani. C. gloeosporioides dan Pyricularia oryzae. Hasil identifikasi lebih lanjut menunjukkan bahwa sifat antagonistik Burkholderia cepacia terhadap jamur patogen disebabkan oleh adanya aktivitas tinggi enzim kitinase dan glukanase. Kedua enzim ini mampu menghidrolisis senyawa kitin dan glukan yang menjadi komponen utama pada dinding sel jamur. Miselia jamur terpapar enzim kitinase dan glukanase tidak mampu lagi melakukan penetrasi ke

jaringan tanaman inang. Hal menarik dari Burkholderia cepacia adalah kemampuannya menghidrolisis kitosan menjadi produk yang bersifat antimikroba. Kitosan yang bersifat antimikroba biasanya memiliki berat molekul rendah,

Produksi kitosan antimikroba dengan bakter i Burkholder ia cepacia dapat dilakukan secara langsung dari kultur bakteri dalam media kitosan maupun secara tidak langsung dengan ekstrak enzimnya. Cara kedua lebih sering digunakan karena mampu menghasi lkan kualitas kitosan lebih baik dan proses pemurniannya juga lebih simple. Tetapi untuk memproduksi enzim harus tetap mengkultur bakteri dalam media koloidal kitin (0,2%). Proses produksinya memakan waktu sekitar 48 jam pada suhu ruangan (30oC–32oC) dengan pengoncangan 75 rpm. Biakan yang menunjukkan adanya aktivitas kitinase dan deasetilase ditandai oleh adanya perubahan warna medium koloidal kitin yang putih keruh menjadi bening. Selanjutnya enzim diekstrasi dari biakan dengan metode presipitasi ammonium sulfat. Untuk memastikan aktivitasnya, enzim diuji dengan metode difusi pada media koloidal kitin agar dalam cawan petri. Enzim yang diteteskan pada media tersebut akan menunjukkan aktivitas hidrolisis setelah inkubasi 1–2 jam pada suhu 37oC melalui pembentukan zona bening di sekitar tetesan enzim.

Kemud ian eks t rak enz im digunakan untuk menghidrolisis 2% kitosan (MW=600 kDa; Sigma Aldrich) dalam larutan asam asetat 1% dengan pH 5,3. Proses hidrolisis dibuat dalam labu Erlenmeyer (100 ml) dengan larutan kitosan sebanyak 20 ml dan ekstrak enzim 0,2 ml. Proses ini hanya berlangsung selama 2 jam pada suhu inkubasi 37oC untuk menghasilkan kitosan anti jamur. Setelah enzimnya diinaktivasi dengan dipanaskan pada suhu

Page 16: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

14 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

100oC, kitosan tersebut dimurnikan dengan teknik sentrifugasi dan pencucian dengan air destilasi pH 7. Kitosan antimikroba hasil hidrolisis berbentuk oligomer dengan berat molekul 500 Da–2000 Da dan derajat deasetilasi 90%–100%.

Pembuatan Nanopartikel Kitosan

Pembuatan nanopartikel kitosan ini ditujukan untuk meningkatkan daya anti jamur dari kitosan itu sendi r i . Sebenarnya k i tosan hasil hidrolisis enzimatis tersebut sudah bersifat anti jamur meski tidak dalam bentuk nanopartikel. Pembuatan nanopartikel kitosan dilakukan dengan metode gelasi ionik menggunakan senyawa tripolyphosphate (TPP). Larutan TPP yang bermuatan negatif di dalam air, ketika dicampur dengan oligomer kitosan yang bermutan posi t i f menyebabkan k i tosan menggumpal membentuk partikel berukuran nano. Nanopartikel kitosan tersebut memiliki permukaan yang mengandung muatan positif lebih banyak dibandingkan oligomer kitosan tunggal. Peningkatan muatan positif di permukaan nanopartikel kitosan tersebut menyebabkan daya anti jamurnya semakin kuat. Ukuran nanopartikel kitosan sangat tergantung pada konsentrasi kitosan dan TPP, rasio campuran kitosan

Hasil uji hidrolisis kitin (a) dan kitosan (b) dengan ekstrak enzim Burkholderia cepacia.

(a) (b)

dan TPP, serta kecepatan dan lama pengadukan (stirrer). Pada penelitian yang dilakukan oleh Suryadi dkk. menunjukkan bahwa pencampuran kitosan (0,2%) dan TPP (0,1%) dengan rasio 5:1 dan pengadukan selama 30–60 menit menghasilkan ukuran partikel nano yang terbaik, yaitu 100–200 nm. Di samping itu, partikel tersebut juga memiliki nilai zeta potensial paling tinggi (25–30 mV), yang berarti memiliki muatan listrik cukup tinggi di permukaan partikelnya.

Efikasi Nanopartikel Kitosan terhadap Antraknos

Kemampuan nanopartikel kitosan menghambat perkembangan penyakit antraknos telah dibuktikan melalui pengujian secara in vitro dan in vivo. Pengujian secara in vitro dilihat

dari kemampuan nanopartikel kitosan menghambat perkecambahan konidia dan pertumbuhan jamur C. gloeosporioides di media PDA. Konidia yang dicampur dengan la ru tan nanopar t ike l k i tosan secara s ign i f i kan te rhambat perkecambahannya. Demikian juga dengan jamur yang diberi perlakuan nanopartikel kitosan, tingkat pertumbuhannya terhambat hingga 50% dibandingkan kontrol. E f i kas i nanopar t i ke l k i tosan kemudian diuji secara in vivo dengan mengaplikasikannya pada buah pepaya yang telah diinfeksi dengan konidia C. gloeosporiodes. Secara nyata terlihat bahwa konidia pada pepaya yang diperlakukan dengan nanopartikel kitosan tidak mampu tumbuh. Hasil ini menunjukkan keefektifan nanopartikel kitosan mengendalikan perkembangan penyakit antraknosa pada buah. Oleh karena itu, kitosan sangat potensial sebagai bahan coating pada buah-buahan untuk mencegah serangan antraknosa dan menjaga kualitas buah.

Randy Sanjaya

Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan

Sumber Daya Genetik Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 3A Kampus

Penelitian Pascapanen Cimanggu, Bogor

Telepon : (0251) 8337975

Faksimile : (0251) 8338820

E-mail : biogen.balitbangtan@gmail.

com

Nanopartikel kitosan hasil gelasi ionik dengan TPP.

(a) (b)Perkembangan miselia C. gloeosporioides pada pepaya yang diperlakukan dengan nanopartikel kitosan (a) dan tidak (b).

Page 17: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 15

Balai Penelitian Ternak (Balitnak) sebagai salah satu unit pelaksana

teknis (UPT) di bawah naungan Balitbangtan bertanggungjawab tidak hanya menghasilkan namun memastikan bahwa hasil litbang bermanfaat bagi masyarakat luas. Namun, hampir 4 dekade, pendanaan kegiatan diseminasi atau penyebaran hasil penelitian, tidak cukup, sehingga diseminasi terbatas. Diseminasi biasanya dilakukan melalui hibah langsung kepada kelompok peternak dan/atau kerjasama dengan instansi peternakan provinsi dan kabupaten. Balitbangtan kemudian menyatakan keser iusannya da lam upaya diseminasi, salah satunya melalui amanah melalui Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (Balai PATP), Balitbangtan. Urusan diseminasi dikemas dengan baik, tidak hanya pemberian langsung yang jumlahnya terbatas namun melibatkan mitra swasta yang berperan sebagai lembaga massal isasi. Bentuk kerjasamanya disebut lisensi.

Balitnak telah menghasilkan beberapa galur ayam lokal yang kemudian se jak tahun 2014 telah memiliki kerjasama lisensi dengan perusahaan swasta guna perbanyakan bibit. Mekanisme lisensi yang terjalin adalah non-exc lus i f . Be rpe ran sebaga i produksi bibit di Balitnak yakni Unit

Program Pembibitan Ayam Unggul Balitbangtan Sistem Strata

Pemerintah melalui program pembibitan ayam lokal unggul Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dapat

meningkatkan pengetahuan komunitas peternak ayam lokal akan adanya galur-galur unggul di Indonesia. Di samping itu masyarakat semakin paham

akan manfaat ayam lokal untuk keberlangsungan usahataninya.

Pengelola Bibit Sumber (UPBS), yang memperbanyak bibit galur ayam unggul hasi l penel i t ian untuk kegiatan diseminasi (hibah, kerjasama, dan lisensi). Sementara Balitnak konsisten melaksanakan perbanyakan bibit galur murni.

Sistem Strata

Sistem STRATA adalah program k h u s u s p e m e r i n t a h u n t u k memperkuat dan meningkatkan kapasitas produksi bibit ternak di UPT terpilih lingkup Balitbangtan, melalui pembangunan pembibitan t e r nak d i Ba la i Pengka j i an Teknologi Pertanian (BPTP) dan

pengembangan di peternak. Ruang lingkup program Strata adalah : (1) Strata 1, perbanyakan bibit ayam hasil penelitian berupa KUB dan SenSi dengan pembangunan sarana dan prasarana di Balitnak dan 7 BPTP yakni Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, (2) Strata 2, pengembangan bibit di tingkat peternak satu yakni inti penghasil day old chick (DOC) dan dua plasma penghasil ayam potong, tersebar di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat; Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, (3) Strata 3, pengembangan produksi ayam potong di tingkat rumah tangga.

Ba l i tbang tan tahun 2017 mengalokasikan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara

Program penyebaran bibit ayam lokal unggul Balitbangtan sistem strata (Puslitbangnak, 2017, Bahan sosialisasi Program Pembibitan Ternak APBNP 2017 dan APBN 2018).

Page 18: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

16 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Perubahan (APBNP) ke Balitnak untuk pembangunan kandang beser ta peralatannya, mesin tetas, pakan, obat, dan vaksin untuk memproduksi bibit KUB-1 dan SenSi-1 Agrinak, ser ta dana pendampingan percepatan penyebaran bibit mendukung Program Strata.

Balitnak sebagai sumber utama bibit yang kemudian disebarkan ke enam perusahaan perbanyakan bibit yang berkapasitas produksi bervariasi. Bantuan ke peternak in t i dan p lasma d i mas ing-masing provinsi berupa kandang perkawinan berkapasitas 250 betina, 50 pejantan, mesin tetas sederhana 2.000 butir, pakan, dan vaksin selama dua bulan pertama untuk peternak inti. Sedangkan kedua plasma diberi bantuan berupa DOC 300 ekor, kandang pembesaran

sederhana beser ta peralatan kandang, pakan, dan vaksin selama dua bulan pertama. Diharapkan bantuan pertama tersebut dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan budi daya berikutnya.

Indukan dan pejantan ayam yang dipelihara di instalasi pembibitan di tujuh BPTP berupa galur murni ayam KUB-1 (indukan) dan galur murni ayam SenSi-1 Agrinak (pejantan) untuk menghasilkan DOC ayam lokal unggul potong. Ayam KUB-1 unggul dalam produksi telur dan ayam SenSi-1 Agrinak unggul dalam pertumbuhan, diberikan lengkap jantan dan betinanya sehingga BPTP dapat melakukan peremajaan sendiri. Sementara itu yang dipelihara oleh peternak inti strata 2 adalah betina KUB-1 dan pejantan SenSi-1 Agrinak sebagai parent stock, untuk menghasilkan final stock DOC silangan (SeKUB). DOC tersebut kemudian disebar ke plasma untuk dibesarkan menjadi ayam lokal siap potong umur 10–12 minggu. Adapun kelompok Strata 3 yang terdiri atas 100 kepala keluarga (KK) akan menerima 20 ekor DOC ayam lokal unggul, brooder kandang sederhana, pakan, vaksin, vitamin dan obat selama 70 hari yang

hasilnya dapat dijual sebagai ayam siap potong berumur 10-12 minggu maupun dipelihara untuk menghasilkan DOC. Selain dari Balitnak dan BPTP, nantinya peternak inti juga dapat menyediakan DOC untuk strata 3.

Kendala dalam Implementasi Program

Penyerapan dana APBNP 2017 dan pelaksanaan kegiatan dalam kurun waktu 5 bulan cukup menyulitkan para kepala UPT pelaksana program tersebut. Beberapa target kegiatan belum dapat terpenuhi pada tahun 2017. Umumnya yang belum dapat tereksekusi yakni pembangunan sarana dan prasarana karena memerlukan persiapan seperti penentuan lahan yang tepat, pe rencanaan pembangunan gedung, dan sistem lelang yang memerlukan waktu. Belum lagi pengetahuan sistem perkandangan belum banyak dipahami oleh BPTP, sehingga diperlukan sosialisasi dan pendampingan intensif.

Pembangunan sarana dan prasarana untuk peternak strata 2 dan 3 tidak sesulit seperti persiapan pembangunan sarana dan prasarana di strata 1, namun penentuan peternak penerima bantuan juga memerlukan kebijakan yang tepat. Selain pembangunan fisik, kesulitan lainnya adalah ketersediaan ayam siap bertelur untuk BPTP dan peternak inti, mengingat populasi ayam induk yang dikelola UPBS dan riset Balitnak tidak mencukupi permintaan yang mendadak. Oleh karena itu, Balitnak bekerjasama dengan salah satu mitra lisensi ayam KUB-1 dan SenSi-1 Agrinak, yaitu PT Sumber Unggas Indonesia.

P e n y e b a r a n b i b i t a y a m dilakukan secara bertahap sesuai ketersediaan bibit dan kesiapan BPTP dan peternak inti. Sementara itu penyebaran bibit DOC untuk

(a)Sarana prasarana Strata 1 Balitnak (a) dan 7 BPTP (b).

(b)

Sarana prasarana Strata 2: Kandang inti (a), kandang plasma (b).(a) (b)

Sarana Strata 3: skala rumah tangga.

Page 19: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

Volume 40 Nomor 5, 2018 17

peternak strata 3 disediakan dari PT Sumber Unggas Indonesia dan peternak binaan BPTP. Penyebaran bibit masih akan berjalan sampai akhir tahun 2018 dan kemungkinan berlanjut tahun 2019.

Tindak Lanjut yang Diharapkan

Bantuan yang diberikan kepada peternak Inti, plasma, dan KK penerima diharapkan berkelanjutan meskipun peluangnya kecil bagi KK strata 3 yang umumnya merupakan keluarga tidak mampu. Sementara plasma strata 2, berpeluang lebih

besar untuk berkelanjutan dari strata 3 bergantung pada keberhasilan inti dalam mengelola modal awal. Demikian peluang keberlanjutan strata 1 akan lebih besar meskipun juga akan tergantung anggaran pemerintah.

Harapan besar lainnya sebagai dampak dari program bantuan pemerintah ini yaitu dikenalnya galur-galur ayam lokal unggul hasil penelitian, terutama bagi komunitas peternakan ayam lokal di Indonesia. Dengan demikian, keberadaan galur-galur unggul ayam lokal Indonesia harus terus dipertahankan. Adanya peternak inti, meskipun terhitung

kecil untuk produksi DOC masif, setidaknya dapat meningkatkan pengetahuan komunitas untuk mampu melakukan perbanyakan bibit dengan menggunakan mesin-mesin penetas dan pengetahuan memelihara indukan dan pejantan ayam lokal secara intensif.

Sofjan Iskandar dan Komarudin

Balai Penelitian Ternak

Jalan Veteran III, PO BOX 221

Ciawi, Bogor

Telepon : (0251) 8240752

Faksimile : (0251) 8240753

E-mail : [email protected].

go.id

Pertanian di Indonesia didominasi petani kecil dengan penguasaan

lahan sempit dan pendapatan terbatas sehingga daya tahan terhadap gangguan alam lemah. Gangguan alam berupa perubahan iklim seperti kekeringan atau banjir, bencana alam, serta serangan hama dan penyakit. Gangguan lain berupa gejolak pasar yakni fluktuasi harga, instabilitas permintaan dan penawaran produk per tanian, krisis ekonomi dan finansial, serta konflik sosial dan politik. Sebagian gangguan tersebut frekuensinya

Perlunya Memperkuat Daya Tahan Sektor Pertanianterhadap Gangguan Iklim

Hasil produksi pertanian di Indonesia masih sangat bergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Perubahan iklim semakin terasa beberapa tahun terakhir ini dan berakibat buruk terhadap kegiatan pertanian. Oleh karena

itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan baik dalam jangka pendek maupun panjang sebagai bentuk memperkuat daya tahan sektor pertanian

terhadap gangguan iklim di Indonesia.

semakin tinggi, jika berlangsung lama akan berdampak terhadap ketahanan pangan suatu negara.

Gangguan langsung terhadap pertanian yakni kemarau dan banjir yang memengaruhi produksi, menurunkan pendapatan petani, maupun ketahanan pangan. Bahkan, banjir menyerang bangunan irigasi tetapi juga aset produktif seperti sawah. Oleh karena itu, tahun 2017, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) melakukan penelitian di beberapa provinsi yakni "Analisis daya tahan sektor pertanian

terhadap gangguan faktor eksternal dan kebijakan yang diperlukan mendukung ketahanan pangan berkemandirian”.

Banjir dan Dampaknya

Rata- ra ta tahun 2007–2016, luas areal padi yang mengalami kebanjiran per tahun mencapai 269,2 ribu ha, dengan 28% (75,3 ribu ha) di antaranya mengalami puso atau 2% dari luas tanam padi nasional (13,6 juta ha). Lima provinsi yang memiliki areal kebanjiran terluas merupakan 60,9% dari total luas areal yang terkena banjir.

Beberapa areal per tan ian mengalami banjir dan puso yang cenderung menurun. Luas areal padi di Jawa Barat yang kebanjiran menurun dari 57.163 ha dan puso

Page 20: Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/.../upload/download/file/Dokumen_567.pdfTidak dapat dipungkiri bahwa efek perubahan iklim menyebabkan peningkatan jumlah mikroba yang mengganggu

18 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Tabel 1. Luas banjir dan puso pada 5 provinsi terparah secara nasional, tahun 2016.

Provinsi Luas banjir (Ha) Luas Puso (Ha)

Jawa Tengah 41.376 7.994

Jawa Timur 37.275 10.960

NAD 36.549 5.912

Jawa Barat 29.675 5.766

Sumatera Selatan 22.693 11.502

39% tahun 2004–2009 menjadi 38.958 ha dan puso 34,5% tahun 2009–2014, dan menurun lagi menjadi 13.433 ha dan puso 22% tahun 2014–2017. Sementara di Jawa Timur, areal kebanjiran menurun dari 32.112 ha dan puso 33,0% tahun 2007–2012 menjadi 26.430 ha dan puso 24,2% tahun 2013–2017. Sedangkan di Sulawesi Selatan menurun dari 23.068 ha dan puso 24,5% tahun 2009–2016 menjadi 19.649 ha dan 36,1% puso tahun 2013–2016.

Banj i r menyebabkan padi terendam, kemasukan lumpur, pendangkalan dan penyempitan saluran irigasi, dan tanggul jebol. Rusaknya tanaman padi memaksa petani menyulam atau menanam ulang beberapa kali. Hasil temuan di lokasi studi di Jawa Barat, banjir menyebabkan penurunan nilai produksi 29% dan keuntungan 39%. Sementara di Jawa Timur, penurunan produksi hingga 83% sehingga petani merugi. Kerugian terbesar terjadi jika padi sudah siap panen sehingga bulir padi membusuk.

Daya Tahan Usaha tani terhadap Dampak Banjir

Pengukuran lima variabel sumber daya, yaitu manusia, sosial, alam, fisik, dan keuangan, menunjukkan indeks daya tahan petani terhadap risiko banjir yang secara umum tergolong cukup, yaitu dengan indeks lebih dari 0,60 yakni di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan masing-masing 0,61, 0,62, dan 0,67. Daya tahan petani terendah dijumpai di Ciamis, Subang, dan Lamongan yakni 0,60 dan tertinggi di Sidrap yaitu 0,68.

Variabel sumber daya alam memiliki nilai maksimal 3,00 untuk petani padi di seluruh kabupaten sampel. Diindikasikan dengan lahan petani yang tidak bisa ditanami kurang 20% dan lahan tanpa irigasi

pada musim kemarau kurang 20%. Variabel sumber daya manusia diukur dari tingkat pendidikan dimana kepala keluarga dan istri umumnya lulus SD atau SMP. Sumber daya sosial diukur dari penggunaan internet, pemilikan handphone, serta keanggotaan dalam kelompok tani dan P3A. Tidak semua memiliki telepon genggam dan penggunaan internet masih relatif sedikit. Sumber daya fisik dinilai dari kepemilikan total lahan dan lahan beririgasi yang umumnya kurang dari 1,00 ha khususnya di Jawa Barat dan Jawa Timur. Petani padi di Subang, Lamongan, dan Pinrang memiliki nilai sumber daya keuangan yang maksimal yang diindikasikan oleh pendapatan dari usaha tani padi, non padi dan ragam sumber pendapatan yang memadai.

Upaya Petani Mengatasi Gangguan Banjir

Upaya petani menghadapi banjir meliputi penanganan (antisipatif), tanggap (responsif), dan pemulihan (recovery). Antisipasi terhadap banjir yakni dengan memajukan musim tanam dan menanam varietas tahan genangan. Jika tanaman padi tergenang, upaya responsif berupa penanaman ulang atau penyulaman. Tindakan pemulihan yakni dengan irigasi terputus (intermitten) berupa drainase serta perbaikan saluran i r igasi ser ta menggant i atau mengurangi pupuk kimia atau urea dengan pupuk organik.

Antisipasi ke Depan

Penanganan dampak risiko banjir yang dilakukan pemerintah jangka pendek yakni perbaikan sarana irigasi secara rutin seperti normalisasi maupun pengerukan sungai, saluran irigasi primer, sekunder, tersier hingga saluran cacing, termasuk pintu air dan tanggul. Penanganan jangka panjang berupa perbaikan daerah hulu dan pengerukan waduk. Penataan daerah hulu selain mengelola vegetasi dan daerah resapan, juga dilakukan dengan penataan ruang yang memperhatikan rasio ruang terbuka hijau terhadap luas lahan total. Pembangunan perumahan di daerah hulu harus dibatasi agar tidak mengganggu resapan air. Pembangunan waduk baru juga perlu dilakukan untuk mengendalikan banjir pada musim hujan dan menyalurkan air pada musim kemarau. Petani padi juga harus terus didorong mengikuti asuransi usaha tani padi (AUTP) untuk menekan r is iko banj i r. Diversifikasi sumber pendapatan petani padi perlu pula dilakukan melalui usaha tani tanaman lain, serta off-farm dan non-farm.

Bambang Sayaka

Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 3B,

Cimanggu, Bogor

Telepon : (0251) 8333964

Faksimile : (0251) 8314496

E-mail : [email protected];

[email protected]