Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/balaipatp/assets/upload/download/file/Dokumen_575.pdf · okra...

20

Transcript of Wartabpatp.litbang.pertanian.go.id/balaipatp/assets/upload/download/file/Dokumen_575.pdf · okra...

Warta

Pengantar Redaksi Daftar Isi

ISSN 0216-4427

Penelitian dan Pengembangan PertanianVolume 41 No. 1, 2019

Teknologi Pertanian Konservasi: Solusi Petani di Lahan Kering 1

Biomassa Tanaman Okra (Abelmoschus esculenthus) sebagai Pakan Kelinci 4

Peran Pengawas Bibit Ternak pada Usaha Ayam Ras 6

Menjinakkan Penyakit Hawar Daun Bakteri Padi dengan Gen Ketahanan Pyramiding 8

Mengenal Penyakit Viroid pada Krisan 11

Jajar Legowo Riding Transplanter, Tawarkan Kemudahan Tanam Padi 13

Padi Ratun, Terobosan Peningkatan Indeks Panen 15

Vaksin Kombinasi HPAI dan LPAI, Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Avian Influenza 17

Lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta ha atau sekitar

78% dari luas daratannya, namun hanya sekitar 76,22 juta

ha yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian

dan itu pun belum optimal. Balitbangtan telah menyusun

teknologi pertanian konservasi yang dapat menjadi solusi

petani untuk mengelola lahan kering. Berbagai teknologi

Balitbangtan untuk mendukung peningkatan produksi

tanaman padi telah dihasilkan, di antaranya adalah upaya

menjinakkan penyakit hawar daun bakteri padi dengan

gen ketahanan pyramiding, penerapan mesin tanam jajar

legowo tipe riding, dan sistem tanam padi ratun. Tidak

hanya tanaman pangan, Balitbangtan juga melakukan

terobosan teknologi untuk komoditas lainnya termasuk

peternakan yakni vaksin kombinasi HPAI dan LPAI untuk

penanganan virus Avian Influenza yang menjadi momok

bagi peternak unggas dan penggunaan biomassa tanaman

okra sebagai pakan kelinci. Keberhasilan dari berbagai

penerapan teknologi memerlukan kerja bersama semua

pihak. Salah satunya peran pengawas bibit ternak pada

usaha ayam ras agar program yang dijalankan dapat

mencapai tujuan yang ditetapkan.

Redaksi

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian diterbitkan enam kali dalam setahun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pengarah: Fadjry Jufry; Tim Penyunting: Retno Sri Hartati Mulyandari, Intan Yudia Nirmala, Sri Hartati, Sofjan Iskandar, Dwi Priyanto, Syahyuti, Ronald T.P. Hutapea, I. Djatnika, Rima Setiani, Sri Utami, Tri Puji Priyatno, Miskiyah, Wiwik Hartatik, Ume Humaedah, Vyta W. Hanifah; Penyunting Pelaksana: Morina Pasaribu, Siti Leicha Firgiani; Tanda Terbit: No. 635/SK/DITJEN PPG/STT/1979; Alamat Penyunting: Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian, Jalan Salak No. 22, Bogor 16151, Telepon: (0251) 8382567, 8382563, Faksimile: (0251) 8382567, 8382563, E-mail: [email protected]. Selain dalam bentuk tercetak, Warta tersedia dalam bentuk elektronis yang dapat diakses secara on-line pada http://www.bpatp.litbang.pertanian.go.id

Redaksi menerima artikel tentang hasil penelitian serta tinjauan, opini, ataupun gagasan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dalam bidang teknik, rekayasa, sosial ekonomi, dan jasa serta berita-berita aktual tentang kegiatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Artikel disajikan dalam bentuk ilmiah populer. Jumlah halaman naskah maksimum 6 halaman ketik dua spasi.

Foto sampulVaksin Kombinasi HPAI dan LPAI

Volume 41 Nomor 1, 2019 1

Lahan kering memiliki potensi besar untuk usaha tani baik

tanaman pangan, hortikultura, m a u p u n t a n a m a n t a h u n a n . Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat tahun 2001, Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Namun, tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang curam, solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di

Teknologi Pertanian Konservasi: Solusi Petani di Lahan Kering

Pertanian Konservasi (PK) dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi pada lahan kering. Terbukti pada produktivitas Jagung mencapai 4,5 ton/ha sedangkan sistem konvensional 0,6 ton/ha. Sistem PK adalah teknik

pengolahan tanah yang meminimalkan gangguan terhadap tanah melalui pembuatan lubang tanam permanen, parit dan alur tanam, serta kombinasi pemberian pupuk kandang atau kompos pada tiap lubang atau alur tanam.

dataran rendah yakni 70,71 juta ha (93%) dan sisanya di dataran tinggi yang dijelaskan pada Tabel 1.

Tantangan Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pertanian

Tantangan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial ekonomi. Namun pada dasarnya masih dapat ditangani melalui strategi dan teknologi yang tepat. Tantangan tersebut adalah: (a) Tingkat kesuburan tanah yang umumnya lebih rendah, terutama pada tanah yang tererosi dimana lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk jika penggunaan pupuk organik terbatas

serta pemilihan tanaman yang tidak tepat. Secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cenderung cepat menurun, 30−60% dalam waktu 10 tahun yang diungkapkan oleh Brown dan Lugo 1990 (Suriadikarta et al. 2002). (b) Kondisi topografi Indonesia dimana lahan kering sebagian besar berada di wilayah bergunung (>30%) dan berbukit (15−30%) (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan tersebut sangat peka terhadap erosi saat curah hujan tinggi, jadi lebih sesuai untuk tanaman tahunan. (c) Keterbatasan ketersediaan air pertanian sehingga usaha tani di lahan kering tidak dapat dilakukan sepanjang tahun atau indeks pertanamannya (IP) kurang dari 1,50.

Hal tersebut disebabkan oleh distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal. Beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi memiliki curah hujan 2.000 mm/tahun sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi 2−2,50 yang ditegaskan oleh penulis Las et al. (2000) dan Amien et al. (2001).

Tabel 1. Luas lahan kering yang sesuai untuk pertanian

Provinsi Dataran Rendah (Ha) Dataran Tinggi (Ha) Total

Tanaman Semusim

Tanaman Tahunan

Total Tanaman Semusim

Tanaman Tahunan

Total

Sumatera

Jawa

Bali dan Nusa Tenggara

Kalimantan

Sulawesi

Maluku dan Papua

4.899.476

925.412

1.091.878

10.180.151

1.801.877

4.360.318

15.848.203

3.982.008

1335.469

14.340.056

3.664.040

8.282.809

20.747.679

4.907.420

2.427.347

24.521.107

5.465.917

12.643.127

1.103.176

200.687

58.826

592.129

70.780

43.094

992.055

484.960

201.761

339.521

1.134.320

233.981

2.095.231

685.647

260.587

981.650

1.205.100

277.075

22.842.910

5.593.067

2.687.934

25.502.757

6.671.017

12.920.202

Indonesia 23.259.122 47.453.485 70.712.597 2.068.692 3.436.598 5.505.290 76.217.887

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001).

2 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Teknologi Pengelolaan Lahan Kering

Penerapan strategi dan teknologi yang tepat dapat menjawab tantangan pengelolaan lahan kering. Misalnya teknologi penanganan faktor pembatas biofisik melalui: (1) Pengelolaan kesuburan tanah guna peningkatan kesuburan kimiawi, fisik dan biologi tanah. Bentuk pengelolaannya yakni dengan pemberian pupuk terutama pupuk organik dan juga pemeliharaan sifat fisik tanah agar tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman dan kehidupan organisme tanah yang baik. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos, atau sumber bahan organik lainnya. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman apabila struktur tanahnya baik bahkan mampu meningkatkan efisiensi pemupukan. (2) Konservasi tanah dan rehabilitasi lahan sebagai penanggulangan laju erosi. Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar 46−351 t/ha/tahun (Sukmana 1994; 1995). Erosi akan mengangkut material tanah, hara, dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun input pertanian. Teknik konservasi yang dapat dijadikan pilihan adalah Conservation Agricultural (CA) atau PK (Pertanian Konservasi) yakni teknik mengolah tanah ringan dengan manfaat: (a) mampu meningkatkan hasil pertanian, (b) dapat mencegah kehilangan tanah karena erosi, m e n i n g k a t k a n k e l e m b a p a n tanah, menjaga kesuburan tanah sehingga hasil tanaman lebih stabil bahkan meningkat dalam kurun waktu panjang, (c) menekan biaya usaha tani, dan (d) mengurangi kebutuhan tenaga kerja pengolahan lahan, penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.

Inti dari teknologi PK yakni teknik penyimpanan air di dalam bahan organik. Bahan organik tanah berperan dalam proses infiltrasi air, memperbaiki struktur tanah, dan menggemburkan tanah. Metode yang digunakan dalam teknik PK yaitu pembuatan lubang tanam permanen, parit, dan alur tanam.

1) Lubang tanam permanen, parit, dan alur tanam. Lubang tanam dibuat sesuai dengan jenis tanaman, umumnya untuk tanaman semusim berukuran 30x30x30 cm. Pembuatan lubang dilakukan menjelang musim hujan dengan pola jalur, misalnya jarak 75 cm antar barisan dan 40−60 cm dalam barisan. Pada tanah datar lubang tanam diluruskan dengan tali, sedangkan pada lahan miring barisan lubang dibuat searah kontur. Tanah galian diletakkan di satu sisi dan untuk lahan miring dapat diletakkan pada bagian bawah lereng. Tiap lubang tanam diisi dengan pupuk kandang atau kompos sebanyak 10–15% volume/bobot lubang dan dicampur dengan tanah galian. Pada tanah marginal dibutuhkan pupuk kandang 50 ton/ha. Campuran tanah dan pupuk tersebut dimasukkan ke dalam lubang tanam dan sedikit dipadatkan hingga permukaan lebih tinggi 2–5 cm di atas permukaan tanah asli untuk menghindari cekungan atau genangan air saat turun hujan.

Pupuk kimia dapat diberikan pada saat atau setelah tanaman tumbuh, jika diperlukan dan sesuai takaran. Perlakuan pembuatan parit tanam hampir serupa yaitu lubang tanam yang dibuat memanjang searah kontur namun cara penanamannya dilakukan dengan membuat tugal ditengah parit dengan jarak antar tugal 25 cm. Setiap lubang diisi satu benih dan pada tepi kanan parit dapat ditanami jenis benih lainnya secara bersilang. Alur tanam merupakan alur gembur yang dibuat dengan membalik tanah berukuran 10x15 cm. Alur tanam dapat dibuat menggunakan cabang kayu dua arah atau mesin. Satu cabang dipotong pendek dan diruncingkan sebagai mata alur dan satu cabang dibiarkan panjang untuk menarik saat mata alur ditekan ke dalam tanah. Alur tanam dibuat memanjang searah kontur dan panjangnya sesuai keperluan, lalu diberi perlakuan satu kg pupuk kandang untuk satu meter alur tanam.

2) Penggunaan mulsa. Penggunaan mulsa adalah penutup tanah yang bukan tanaman hidup tetapi berupa sisa tanaman seperti daun, cabang, ranting, dan batang. Mulsa sangat berperan dalam mengurangi kehilangan air melalui evapotranspirasi dan mengendalikan aliran permukaan dan erosi pada lahan berlereng.

Lubang tanam permanen.

Volume 41 Nomor 1, 2019 3

Pengaruh PK terhadap Tanah, Gulma, dan Biaya

PK dengan sistem pengolahan tanah ringan menganjurkan agar tanah tidak dibajak dan benih ditanam langsung pada lubang atau alur tanam sehingga dapat mengurangi biaya pembajakan tanah. Untuk pembuatan lubang tanam dilakukan sekali pada saat memulai tanam dengan sistem PK dan untuk penanaman selanjutnya hanya dengan penambahan pupuk kandang yang dimasukkan dalam lubang tanam. Pencegahan erosi menggunakan sisa tanaman yang tetap dibiarkan sebagai mulsa dan atau tanaman leguminosa penutup permukaan tanah yang ditanam sepanjang tahun atau musim. Penutupan permukaan tanah melindungi tanah dari pengikisan oleh hujan dan angin serta membantu mempertahankan kelembapan tanah dan menstabilkan temperatur tanah pada lapisan-lapisan permukaan.

Aktivitas organisme mengurai mulsa ke dalam tanah sehingga kesuburan tanah terjaga. Penutupan permukaan tanah juga dapat meningkatkan retensi dan penyerapan air ke dalam tanah serta menekan gulma dan patogen-patogen penyebab penyakit.

Tumpang sa r i dan ro tas i tanaman dipraktekkan secara terus menerus dalam PK sebagai bentuk strategi pengontrolan hama dan penyakit dengan cara memutuskan siklusnya. Tumpang sari disebut juga penganekaragaman tanaman sehingga menghasilkan beragam jenis hasil pertanian. Hal ini dapat mengurangi resiko kegagalan panen salah satu jenis tanaman dan juga menghasilkan beragam sumber pangan sehingga dapat meningkatkan upaya ketahanan pangan.

Pengaruh biaya dan tenaga kerja dengan teknologi PK dapat menekan biaya dan tenaga kerja karena lahan tidak diolah, gulma hampir tidak

ada karena tertutup mulsa dan tanaman penutup tanah sehingga tidak perlu biaya penyiangan, serta penggunaan pupuk dan bahan kimia lainnya yang berkurang sehingga biaya total proses produksi akan berkurang.

Penerapan PK di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

Di Provinsi NTT, PK dilaksanakan di 17 kabupaten, 46 kecamatan, dan 140 desa yang melibatkan 607 kelompok tani dan 11.544 anggota petani. Setiap kelompok tani membuat demplot PK yang dijadikan tempat belajar bersama melalui pendekatan Sekolah Lapang Pertanian Konservasi (SLPK). Lebih dari 6.000 petani telah memulai menerapkan PK di lahan masing-masing dengan total lahan seluas 581 ha. Rata-rata hasil panen jagung dengan pendekatan PK 4,1 ton/ha sedangkan pendekatan tradisional hanya 2,3 ton/ha pada saat El-Nino melanda dan mencapai 4,6 (PK) berbanding 2,8 (tradisional) pada musim tanam normal. Hasil analisis B/C rasio yang membandingkan manfaat dan b iaya produks i jagung menun jukkan bahwa dengan implementasi PK terdapat peningkatan signifikan hasil panen jagung (41%), pengurangan biaya tenaga kerja untuk persiapan lahan dan pembersihan gulma sebesar 35,9%, serta pengurangan biaya panen dan penanganan setelah panen sebesar 9,6%. Dari sisi pendapatan, PK meningkatkan pendapatan petani sebesar 130%.

Catur Oktivian Indri Hastuti

Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 10,

Cimanggu, Bogor

Telepon : (0251) 8351277

Faksimile : (0251) 8350928

E-mail : bbp2tp.litbang.pertanian.go.idPenggunaan mulsa.

Parit tanam. Alur tanam.

4 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Tanaman okra dengan nama latin Abelmoschus esculentus Moench

atau dalam bahasa Inggris disebut lady's fingers, juga sering disebut bendi atau gumbo. Tanaman ini adalah sejenis tumbuhan berbunga dalam suku Malvaceae yang berasal dari kawasan sekitar Ethiopia, Afrika. Dulunya tanaman okra termasuk dalam genus Hibiscus, namun kini diubah menjadi Abelmoschus. Buah okra dari hasil berbagai penelitian memiliki manfaat sebagai obat diabetes karena kemampuannya untuk menurunkan kadar gula darah. Ukuran buahnya sebesar jempol jari tangan namun memanjang dengan keliling bentuknya yang berlekuk, berbulu halus, dan berwarna hijau. Jika dipotong akan terlihat biji-biji kecil dikelilingnya. Karakter okra lainnya terlihat ketika dimasak karena akan mengeluarkan lendir. Rasanya renyah dengan tekstur mirip terong. Sayuran ini bisa diolah menjadi kari, balado, campuran salad atau hidangan tumis, bahkan dapat dimakan langsung sebagai lalapan.

Se la in menstab i lkan gu la darah, bagian buah okra diyakini secara ilmiah berkhasiat untuk penyembuhan beberapa penyakit lainnya seperti mencuci hati (lever), melumasi atau melicinkan usus besar, mencegah dan menyembuhkan

Biomassa Tanaman Okra (Abelmoschus esculenthus) sebagai Pakan KelinciOkra sebagai tanaman obat dan sayuran ternyata memiliki biomassa yang

dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Biomassa tanaman okra berupa daun, buah yang afkir, cangkang dan ampas buah, serta tangkai okra cukup

disukai dan dapat dikonsumsi oleh ternak kelinci. Biomassa okra mampu memenuhi sumber nutrisi bagi kebutuhan ternak khususnya kelinci.

sembelit pada orang tua, membantu pertumbuhan bakteri baik dalam saluran usus, menetralkan asam lambung, meringankan radang paru-paru, sakit kerongkongan, dan ambeien/wasir.

Manfaat okra tidak hanya untuk manusia namun ternyata dapat dijadikan sebagai pakan ternak yang baik. Tidak perlu bagian yang segar, biomassa terbuang dari okra, berpotensi sebagai bahan pakan suplemen untuk ternak. Produksi okra lebih tinggi pada musim hujan, walaupun tidak besar perbedaannya pada musim kering. Kelebihan produksi okra dapat disimpan setelah dikeringkan dengan kandungan yang tidak menurun signifikan. Berbeda dengan produksi dan kualitas rumput dan hijauan lain yang terus menurun memasuki musim kemarau. Oleh karena itu, biomassa tanaman okra memiliki potensi besar

sebagai sumber pakan ternak pada saat kekurangan pakan hijauan lainnya di musim kemarau.

Penelitian tentang kemanfaatan biomassa okra menjadi produk pakan ternak khususnya kelinci masih terus dilakukan. Secara kualitatif biomassa okra disukai oleh ternak berdasarkan uji palatabilitas atau kesukaan pada ternak kelinci. Populasi kel inci di Indonesia selalu meningkat, namun terkesan melambat atau tidak signifikan, dari tahun 2007 tercatat produksi ternak kelinci 708.000 ekor dan tahun 2010 menjadi 898.000 ekor. Diperlukan upaya penguatan usaha ternak kelinci dengan teknologi mendukung produktivitasnya. Usaha ternak tersebar di 12 provinsi Indonesia dan yang terbesar berada di Jawa Tengah (Anonim, 2010) yakni Kabupaten Magelang (Herawati, et al., 2011). Menurut Juarini, et al (2000) bahwa aspek reproduksi pengaturan kawin paska partus atau 14 hari setelah beranak memberikan performa paling baik untuk kelinci. Salah satu faktor guna mendukung kebugaran dari ternak bereproduksi yakni pemberian pakan dan nutrisi.

Daun dan tangkai okra. Buah okra afkir.

Volume 41 Nomor 1, 2019 5

Pemberian pakan kelinci.Ampas buah okra.

Tabel 1. Hasil analisis proksimat biomassa tanaman okra.

Jenis Biomassa

K. Air g/100g

Proteing/100g

Lemakg/100g

GEKcal/kg

SK g/100g

Abug/100g

Cag/100g

Pg/100g

Daun Buah afkirTangkaiCangkangAmpas

9,85 11,1811,56 11,2912,90

12,34 3,324,3220,7119,20

6,180,741,130,911,87

33813460317033873928

13,0743,7830,3412,7511,93

17,9711,1918,4510,785,39

3,471,071,990,400,51

0,290,080,270,400,27

Keterangan: Data ini hanya berlaku untuk cuplikan contoh yang dianalisa.

(Sumber: Syamsu Bahar 2017)

Tabel 2. Nilai kecernaan invitro biomassa tanaman okra.

Jenis biomas Kecernaan bahan kering g/100g

Kecernaan bahan organikg/100g

Daun BuahTangkaiCangkangAmpas

95,7274,9985,7097,2180,77

92,2572,2482,0896,5880,44

Keterangan: Data ini hanya berlaku untuk cuplikan contoh yang dianalisa.

(Sumber: Syamsu Bahar 2017)

Berbagai Biomassa Tanaman Okra

Pemanfaatan okra sebagai pakan te r nak dapa t menggunakan biomassa yang terbuang tanpa mengurangi kualitas nutrisi okra untuk ternak. Beberapa bagian biomassa tersebut antara lain : (1) Daun okra dan tangkai okra m e r u p a k a n b i o m a s s a y a n g terbuang saat panen. Daun dan tangkai dilayukan kemudian dapat diberikan langsung pada kelinci dewasa sejumlah 100–200 g/ekor/hari ditambah pakan penguat atau

konsentrat berupa pakan pellet sebanyak 100 g/ekor/hari, (2) Buah okra yang tidak termasuk “grade” atau afkir yang masih segar dapat diberikan langsung pada kelinci dewasa sebanyak 2–3 buah/ekor/hari disamping pakan konsentrat sebanyak 100 g/ekor/hari, (3) Cangkang buah okra atau kulit buah yang sudah matang yang diambil bijinya untuk keperluan benih. Biomassa ini sudah kering sehingga perlu digiling menjadi tepung dan digunakan sebagai campuran pakan, dan (4) Ekstraksi

buah okra akan menghasilkan lendir sebagai minuman “infuse water” bagi manusia yang kemudian menyisakan ampas okra yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan. Ampas okra dapat diberikan langsung pada kelinci dewasa sebanyak 100–200 g/ekor/hari ditambah pakan konsentrat berupa pellet sebanyak 100 g/ekor/hari.

Analisis Kandungan Gizi

Analisis kandungan gizi sampel biomassa okra diambil dari daun, tangkai daun, buah afkir, cangkang buah, dan ampas okra. Analisis kandungan gizi atau proksimat meliputi analisis kadar air, protein kasar, lemak, energi, serat kasar, abu, kalsium, dan phosfor. Hasil analisis berupa analisis proksimat (Tabel 1) dan kecernaan (Tabel 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa okra dapat memenuhi kebutuhan nutrisi lengkap dan dengan tingkat kecernaan yang tinggi maka semakin tinggi pula kemampuan ternak dalam menyerap nutrisi dari pakan tersebut.

Syamsu Bahar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Jakarta

Jalan Ragunan No. 30, Pasar Minggu

Jakarta

Telepon : (021) 78839949

Faksimile : (021) 7815020

E-mail : bptp-jakarta@litbang.

pertanian.go.id; [email protected]

Cangkang okra kering.

6 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha ayam ras

pedaging dan petelur adalah efisiensi produksi. Sebagai unit produksi biologis, kualitas bibit dalam hal ini Day Old Chicken–kutuk umur sehari (DOC-Kuri) berpengaruh penting terhadap capaian efisiensi produksi. Selain bibit, efisensi produksi juga dipengaruhi oleh kualitas, kuantitas dan cara pemberian pakan, serta manajemen pemeliharaan.

SNI dengan nomor 01-4868.1-2005 merupakan salah satu standar yang dikeluarkan untuk menjaga kualitas yakni bibit niaga atau final stock dari DOC/Kuri ayam ras tipe pedaging di tingkat penetasan (hatchery) yang mencakup bobot Kuri (minimal 37 gram/ekor), kondisi fisik, warna bulu, dan jaminan kematian paling tinggi 2%. Demikian juga SNI 01-4868.2-2005 untuk final stock ayam ras tipe petelur umur sehari (Kuri/DOC), dimana persyaratan mutu di penetasan mencakup bobot Kuri per ekor minimal 33 gram, sedangkan persyaratan lainnya sama dengan Kuri ayam ras pedaging.

Persyaratan SNI DOC yang sudah berjalan sampai saat ini hanya terbatas di level penetasan (breeding farm), namun belum p a d a p e n g a n g k u t a n a t a u

Peran Pengawas Bibit Ternak pada Usaha Ayam Ras

Usaha ayam ras skala kecil oleh rakyat yang dilakukan dengan pola kemitraan melibatkan banyak stakeholders yang berjalan dalam bentuk kemitraan. Tantangan yang dihadapi oleh peternak dengan kemitraan

adalah pola pengelolaan atau manajemen yang baik. Capaian efisiensi produksi dengan menjaga kualitas dan kuantitas produksi sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan perlu menjadi perhatian khusus

agar usaha ternak yang dikelola dapat berjalan dengan optimal dan berdaya saing.

pendistr ibusiannya. Meskipun persyaratan kemasan dan alat angkut juga telah diatur dalam SNI, namun tanpa pengawasan yang menyeluruh dimulai dari penetasan, kemasan, hingga distribusi, serta berbagai penyimpangan dari pemenuhan SNI yang terjadi, tentunya akan berdampak merugikan peternak.

Bertolak dari persoalan tersebut, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) tahun 2017 telah melakukan penelitian dengan judul “Kajian Efisiensi Rantai Pasok Komoditas Unggas dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing dan Kesejahteraan Peternak”. Salah satu tujuan dari penelitian yakni mengkaji efisiensi produksi usaha ternak unggas dalam penerapan SNI ser ta pola kemitraannya. Penelitian dilakukan pada lima sentra peternakan ayam ras yakni di Kabupaten 50 Kota dan Padang Pariaman (Sumbar), Kabupaten Ciamis (Jabar), Kabupaten Blitar (Jatim), serta Kabupaten Maros dan Sidrap (Sulsel).

Dukungan Regulasi dan Kebijakan

Regulasi Permentan No. 42 tahun 2014 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Benih dan Bibit

Ternak, menje laskan bahwa: “Pengawas Bibit Ternak (PBT) diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan benih dan bibit ternak” (Pasal 1, ayat 5). Tujuan Permentan ini adalah agar benih atau bibit yang diproduksi atau diedarkan memenuhi standar yang ditetapkan secara berkesinambungan. Pengawasan benih atau bibit dalam distribusi dan peredarannya dilakukan setiap saat, baik pada pos lalu lintas maupun pada unit penggunanya. PB T mempunya i wewenang memasuki lokasi kegiatan dan bahkan mengusulkan penghentian sementara kegiatan yang tidak sesua i dengan persyara tan. Lebih jauh, pengawas juga dapat melakukan pencabutan izin usaha (Pasal 19, ayat 1).

Kualitas DOC Rendah

Hasil studi mendapatkan bahwa pihak PBT dinilai belum bekerja sebagaimana yang diharapkan, sehingga peternak ayam ras sebagai konsumen dirugikan. Beberapa indikasinya adalah ditemukan adanya variasi kualitas DOC yang diterima peternak dari perusahaan inti yang berbeda. Faktor ini menjadi pertimbangan bagi peternak dalam bermitra dengan perusahaan inti. Selain itu, tingkat kematian selama pembesaran ayam petelur dari DOC-Pullet sekitar 5–10%, sedangkan standar yang baik hanya 1–2%. Artinya, kualitas DOC tergolong “buruk”. Sementara, pada ayam ras pedaging, proporsi ayam kerdil

Volume 41 Nomor 1, 2019 7

sekitar 5–10% dari populasi dalam kandang. Ini sangat merugikan terutama bagi peternak mandiri dan peternak yang bermitra dengan poultry shop.

Menurut pihak poultry shop, umumnya bobot DOC ayam pedaging yang dijual melalui mereka, beratnya lebih rendah, yakni hanya 37–38 gram. Bandingkan dengan DOC melalui plasma integrator yang berbobot 40–42 gram/ekor. DOC yang beratnya rendah atau di bawah standar dapat menyebabkan pertumbuhan ayam pedaging tidak merata sehingga dijumpai ayam kerdil. Tentunya akan merugikan karena jumlah input dalam hal ini pakan sangat besar. Sedangkan pada ayam petelur potensi jumlah produksi pada saat puncak produksi telur tidak tercapai dan waktu penurunan puncak produksi akan terjadi dalam waktu lebih cepat.

Pihak pembibit berargumen bahwa kualitas DOC yang rendah disebabkan oleh penanganan selama distribusi hinga sampai tujuan. Pada usaha kemitraan ayam ras pedaging, pihak perusahaan inti sudah melakukan kontrak kerja dengan pihak ekspedisi untuk transportasi DOC dan pakan, sehingga kerusakan merupakan tanggung jawab ekspedisi. Peternak juga sering disalahkan karena penyiapan pemanas (brooder) saat ayam umur 1–18 hari tidak dilakukan dengan baik sehingga menyebabkan kematian pada DOC. Menurut pihak perusahaan inti, selama ini peran PBT dalam pengawasan DOC dari perusahaan penetasan hingga ke peternak belum efektif. Karena itu, komplain dari peternak hanya bisa langsung ke perusahaan inti, bukan kepada pengawas. Peran pengawas yang belum berjalan pada hakekatnya telah merugikan peternak. Pihak pengawas beralasan bahwa pengawasan kualitas DOC sulit dilakukan karena keterbatasan tenaga.

Perbaikan Manajemen Ternak

A l u r p e r m a s a l a h a n y a n g m e n g a k i b a t k a n p e n u r u n a n kualitas DOC bisa terjadi sejak penetasan, proses distribusi ke poultry shop, hingga ke peternak. Untuk menghindari hal tersebut oleh pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat PBT dari hulu sampai ke hilir. Efektivitas pengawasan sekaligus menutupi kekurangan tenaga kerja, selain memfungsikan PBT atau Wasbitnak pada masing-masing level, juga diperlukan keterlibatan asosiasi peternak di daerah sebagai sumber informasi bahkan dapat menjadi pengawas mandiri.

Kebijakan tersebut juga perlu disosialisasikan sampai tingkat peternak, agar peternak dapat me lakukan kont ro l te rhadap kualitas DOC yang diterimanya. Jika ada penyimpangan, peternak dapat melaporkan ke Wasbitnak melalui asosiasi yang ada untuk ditindaklanjuti. Secara alamiah, proses distribusi hingga peternak akan mengalami penyusutan berat DOC bahkan kematian. Batasan kematian maksimal yang ditetapkan adalah maksimal 2%. Sela in kematian, penyusutan berat DOC juga sangat mungkin terjadi. Jika besar susut bobot DOC sebesar “a gram”, maka ada dua opsi yang bisa ditawarkan, yaitu: (1) meningkatkan standar berat DOC di perusahaan penetasan menjadi 37+ a gram

untuk DOC ayam ras pedaging, dan 33 + a gram untuk DOC ayam ras petelur, atau (2) standar DOC yang ditetapkan bukan di tingkat perusahaan penetasan, tetapi di tingkat kandang ayam peternak.

Namun demikian, j ika opsi pertama yang dipilih, maka volume produksi DOC yang dipasarkan perusahaan penetasan akan berkurang. Hal ini kemungkinan akan dijadikan alasan perusahaan untuk menaikkan harga jual DOC. Selain itu, jika bobot DOC berbanding lurus dengan bobot telur tetas, maka akan banyak telur tetas yang tidak digunakan. Jika pengawasan tidak efektif, maka akan banyak telur tetas yang dijual di pasar konsumsi. Di sisi lain, penurunan pasokan DOC ke pasar menyebabkan produksi daging dan telur menurun, dan dengan kualitas DOC yang standar akan meningkatkan produktivitas sehingga peternak diuntungkan. T iga dampak tersebut dapat dikurangi dengan mewajibkan pihak perusahaan memanfaatkan telur yang akan menghasilkan DOC di bawah standar untuk digunakan menjadi bahan baku pakan.

Nyak Ilham

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 3B, Bogor

Telepon : (0251) 8333964

Faksimile : (0251) 8314496

E-mail : [email protected];

[email protected]

Usaha ternak Ayam Ras.

8 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Penyakit HBD sudah menjadi salah satu organisme pengganggu

tanaman (OPT) langganan pada tanaman padi sehingga sudah tidak asing bagi petani. Penyakit HDB disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. Oryzae (Xoo). Gejalanya diawali dengan bercak-bercak nekrosis kekuningan di pinggir daun yang semakin lama akan menyatu dan berubah warna menjadi kering kecoklatan atau nglaras (Bahasa Jawa). Daun padi yang terserang tersebut ketika tertiup angin akan saling bersentuhan dan menimbulkan bunyi kemresek (Bahasa Jawa), oleh karena itu petani menyebutnya sebagai penyakit kresek. Umumnya bakteri Xoo menyerang tanaman padi ketika memasuki stadia generatif. Pintu masuk bakteri terjadi melalui luka-luka jaringan daun akibat faktor mekanis seperti gesekan antar daun oleh angin atau pemotongan. Tanaman yang terserang HDB masih mampu mengeluarkan malai secara normal, namun proses pengisian bulirnya akan mengalami gangguan, terutama jika yang terserang adalah daun bendera

Menjinakkan Penyakit Hawar Daun Bakteri Padi dengan Gen Ketahanan Pyramiding

Kalau kita pergi ke sawah melihat tanaman padi yang sudah bermalai dengan ujung daunnya kering kecokelatan dan bunyi kemresek ketika

tertiup angin, dapat dipastikan tanaman itu terserang penyakit hawar daun bakteri (HDB) atau kresek. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini sangat

sulit dikendalikan, baik dengan menggunakan varietas tahan maupun pestisida, karena memiliki patotipe/strain bakteri yang sangat banyak

dan mudah mengalami perubahan ketika mendapatkan tekanan seleksi di lapangan. Pengendaliannya harus dilakukan secara tepat. Tulisan ini menguraikan strategi menjinakkan serangan HDB tanaman padi melalui

perakitan varietas unggul dengan pendekatan gen piramiding.

sebagai organ vital pada proses pengisian bulir. Serangan berat HDB pada daun bendera dapat menyebabkan kehampaan bulir 30–50%, khususnya di bagian pangkal malai. Hal ini yang menjadikan penyakit HDB sebagai salah satu OPT penting pada tanaman padi.

Laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan menyebutkan bahwa luas serangan penyakit HDB pada tanaman padi paling tinggi dibandingkan OPT lainnya. Di wilayah Jawa Barat saja, luas serangan mencapai 43.414 ha, lebih tinggi daripada penggerek batang 42.563 ha, penyakit tungro 3.131 ha, dan penyakit blas 4.370 ha. Kondisi yang perlu dikhawatirkan adalah bakteri patogen HDB memiliki banyak patotipe/strain yang mudah berubah mengikut perkembangan varietas yang ditanam di lapang.

Mekanisme Pergeseran Patotipe HDB

Patotipe didefinisikan sebagai suatu subpopulasi patogen yang mempunyai virulensi yang berbeda

terhadap inangnya bergantung pada gen ketahanannya. Ada 12 kelompok patotipe HDB berdasarkan uji virulensi dengan galur isogenik (IRBB) yang memiliki gen ketahanan berbeda terhadap HDB yang dikenal dengan gen Xa, baik yang dominan (Xa) maupun resesif (xa). Pengelompokan patotipe ini pernah dilakukan oleh Hifni dan Kardin tahun 1998, tetapi masih cukup relevan dengan kondisi saat ini. Perbedaan antar kelompok ditentukan oleh jumlah dan jenis gen yang berhasil dipatahkan oleh setiap patotipe. Bakteri HDB patotipe I berhasil mengatasi tiga jenis gen ketahanan yaitu Xa-1, Xa-11, dan Xa-14; patotipe II mampu mengatasi gen ketahanan Xa-2, Xa-4, Xa-10, Xa-11 dan Xa-14; dan seterusnya.

Hasil pemetaan terakhir patotipe HDB di lapang menunjukkan meski jumlah patotipe HDB belum berubah, tetapi patotipe yang dominan selalu berubah mengikut perkembangan jenis varietas padi yang ditanam. Setiap varietas dengan perbedaan gen-gen ketahanan yang dimiliki a k a n m e m b e r i k a n t e k a n a n seleksi terhadap patotipe HDB dan memunculkan patotipe yang mampu mematahkan gen ketahanan tersebut. Sebagai contoh, tahun 1998 ketika varietas IR64 dan beberapa varietas IRRI lainnya banyak ditanam di lapang, patotipe HDB yang dominan adalah patotipe V, diikuti VI, dan X, tetapi saat ini patotipe dominan berubah menjadi IV, VIII, dan III. Patotipe V diketahui mampu mematahkan gen ketahanan Xa-1, Xa-2, Xa-3, Xa-4, Xa-10, Xa-11,

Volume 41 Nomor 1, 2019 9

dan Xa-14, sedangkan patotipe IV mematahkan Xa-1, Xa-2, Xa-4, Xa-7, Xa-10, Xa-11, dan Xa-14. Suatu gen ketahanan akan patah jika tanaman yang membawa gen tersebut ditanam secara terus-menerus selama dua tahun. Oleh karena itu, untuk menjinakkan penyakit HDB dengan daya adaptabilitas dan pergeseran patotipe yang cepat tidak disarankan menggunakan varietas dengan ketahanan monogenik. HDB hanya dapat dijinakkan oleh varietas yang memiliki ketahanan multigenik dan ditanam secara bergiliran beberapa periode musim tanam. Pengembangan varietas ketahanan multigenik dapat dilakukan dengan pendekatan gen piramiding. Gen piramiding adalah metode perakitan

dua atau lebih gen yang memiliki kompatibil itas dari tetua yang berbeda ke dalam satu genotype untuk meningkatan keragaan karakter. Tujuan pengembangan gen piramiding adalah meningkatkan kinerja karakter yang diekspresikan oleh dua atau lebih gen yang digabungkan, sehingga gen-gen yang mengendalikan ketahanan penyakit akan dihasilkan sifat ketahanan yang durable.

Strategi Merakit Gen Piramiding

Sebenarnya upaya peraki tan varietas tahan HDB yang bersifat multigenik sudah pernah dilakukan, seperti varietas Code dan Angke.

Peningkatan virulensi dan tahap perubahan patotipe HDB berdasarkan analisis varietas diferensial dan galur isogenik yang membawa gen Xa.

Kedua varietas tersebut berasal dari tetua IR64 yang sudah memiliki gen ketahanan Xa4, kemudian di introduksi lagi dengan gen ketahanan Xa7 menjadi varietas Code (membawa gen Xa4 + Xa7) dan gen xa5 menjadi varietas Angke (membawa gen Xa4 + xa5). Tetapi varietas ini kurang berkembang di petani karena kalah preferensi dengan Ciherang. Kemudian varietas Ciherang juga diperbaiki t ingkat ketahanannya melalui persilangan galur isogenic IRBB64 yang memiliki empat jenis gen katahanan yaitu Xa4, xa5, Xa7, dan Xa21. Hasil persilangan tersebut berupa varietas Inpari 32 HDB yang sudah mulai diadopsi petani. Tetapi hasil deteksi dengan marka

10 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

molekuler menunjukkan Inpari 32 HDB hanya memiliki gen ketahanan Xa21, sedangkan ketiga lainnya tidak berhasil terintrogresi dalam genom Ciherang. Status Inpari 32 HDB yang memiliki gen ketahanan monogenik, jika ditanam terus-menerus diduga hanya mampu bertahan terhadap HDB di lapang dalam waktu 2–3 tahun.

Upaya perbaikan sifat ketahanan Ciherang terhadap HDB dilakukan kembali dengan pendekatan gen piramiding berpandukan marka molekuler. Kegiatan ini dilakukan oleh Dr. Fatimah bersama timnya mencoba mengintroduksi gen Xa-4, xa-5, Xa-7, dan Xa-21 secara bertahap dari tetua padi yang berbeda ke dalam genom Ciherang. Setiap tahapan persilangan selalu dipandu marka molekuler spesifik dari masing-masing gen untuk memastikan gen terintrogresi secara tepat dan benar. Gen xa-5 dan Xa-7 diperoleh dari varietas Angke dan Code yang masing-masing juga memiliki gen Xa-4. Gen Xa-21 diperoleh dari galur isogenic IRBB21. Proses introgresi dilakukan dengan pemuliaan konvensional, tetapi seleksinya dipandu dengan

marka molekuler. Tahap awal yakni persilangan varietas Code dan Angke untuk menghasilkan galur F1 yang membawa gen Xa-4+xa-5+Xa-7; serta persilangan Ciherang dan IRBB21 menghasilkan galur F1 yang membawa gen Xa-21. Kedua galur tersebut disilangkan menghasilkan galur DCF1 yang positif membawa gen Xa-4, xa-5, Xa-7, dan Xa-21. Selanjutnya mulai galur DCF1 dilakukan silang balik dengan Ciherang sebanyak tiga kali hingga diperoleh galur yang mirip Ciherang tetapi sudah

Proses perakitan gen pyramiding untuk perbaikan sifat ketahanan Ciherang terhadap HDB.

mengandung gen Xa-4, xa-5, Xa-7, dan Xa-21 sesuai ditargetkan. Hasil seleksi molekuler pada galur-galur BC3F6 memastikan bahwa keempat gen yang diintroduksi ke dalam Ciherang sudah terkonfirmasi masuk pada delapan galur terseleksi. Hasil analisis molekuler background juga memastikan galur-galur tersebut juga sudah memiliki pengembalian ke tetua asal Ciherang mencapai 94.85%, sehingga sangat mirip dengan Ciherang. Untuk memastikan tingkat ketahanannya, galur-galur terpilih diuji skala rumah kaca dengan tiga patotipe HDB, yaitu patotipe III, IV, dan VIII sebagai patotipe yang paling dominan dan virulen di lapang saat ini. Hasil pengujian menunjukkan galur-galur tersebut tahan terhadap semua patotipe, baik pada masa tanam stadia bibit maupun dewasa. Hasil pengujian di lapang yakni di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi dan Kuningan, galur-galur Ciherang yang membawa gen pyramiding sangat tahan HDB.

Ifa Manzila dan Fatimah

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor

Telepon : (0251) 8337975

Faksimile : (0251) 8338820

E-mail : [email protected]

Proses perakitan gen pyramiding untuk perbaikan sifat ketahanan Ciherang terhadap HDB.

Volume 41 Nomor 1, 2019 11

Krisan merupakan tanaman bunga potong yang telah menjadi

komoditas dunia. Ragam varietas krisan di Indonesia sudah cukup banyak dengan tampilan menarik, baik dari bentuk maupun warnanya. Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) sebagai lembaga litbang ikut berperan dalam menghasilkan aneka varietas tersebut. Varietas krisan yang dihasilkan Balithi bahkan telah tersebar ke berbagai provinsi di Indonesia melalui kegiatan diseminasi. Namun sistem budi daya krisan juga kerap mengalami tantangan serangan penyakit, salah satunya penyakit kerdil yang disebabkan oleh patogen tanaman pada satu rantai RNA yang dinamakan viroid. Akibatnya tanaman menjadi kerdil dan menguning, bahkan tidak dapat memproduksi bunga dengan baik. Oleh karena itu, perlu untuk mengenali sifat-sifat viroid pada krisan agar budi daya krisan berjalan optimal dan memberikan nilai ekonomi yang tinggi.

Mengenal Viroid

Viroid adalah asam nukleat dengan berat molekul yang sangat rendah dan jika masuk ke dalam jaringan tumbuhan/organisme tertentu dapat menyebabkan penyakit yang sulit

Mengenal Penyakit Viroid pada Krisan

Krisan merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki prospek tinggi karena permintaan pasar yang besar dan terus meningkat. Namun, krisan

juga menghadapi tantangan berupa serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), salah satunya adalah penyakit kerdil yang disebabkan oleh

adanya patogen pada satu rantai ribonucleic acid (RNA) yang bernama viroid. Akibatnya tanaman tidak dapat memproduksi bunga dengan baik. Artikel ini memuat pengenalan terhadap viroid dan cara penanggulannya.

disembuhkan. Viroid tidak terdeteksi pada tanaman yang sehat, tetapi jika ditularkan pada beberapa individu, viroid dapat bereplikasi sendiri dengan cepat dan menyebabkan munculnya gejala yang khas. Viroid berbeda dengan virus dimana ukuran virus sedikit lebih besar dan tidak hanya terdiri dari RNA tetapi juga mengandung protein pelindung RNA/DNA yang dinamakan selubung protein (coat protein).

Jenis Viroid Pada Krisan

Terdapat dua jenis viroid yang dapat menginfeksi tanaman krisan, yaitu Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) (Pospiviroidae) dan Chrysanthemum chlorotic mottle viroid (CChMVd) (Avsunviroidae). Kedua viroid ini masuk ke dalam famili, gejala, dan memiliki daerah penyebaran yang berbeda. Daerah penyebaran CSVd lebih luas dibandingkan dengan CChMVd. Akan tetapi, kedua viroid ini bisa berada dalam satu tanaman dan menimbulkan kombinasi gejala. CSVd merupakan viroid yang umum ditemukan di beberapa sentra produksi krisan, baik di dalam maupun luar negeri. CSVd masuk ke dalam genus Pospiviroid, famili Posviroidae. Genomnya terdiri atas RNA utas tunggal dan bulat melingkar yang dapat bereplikasi sendiri dan

tidak dapat dikode menjadi protein. Genom pospiviroidae ini terbagi menjadi 5 bagian, yaitu: (1) Terminal left domain, (2) Pathogenic domain (daerah yang mempengaruhi tingkat keparahan suatu penyakit), (3) Central domain (urutan nukleotidanya relatif concerv atau sama di antara viroid), (4) Variable domain (daerah yang bervariasi yang membedakan antara strain viroid yang satu dengan lainnya), dan (5) Terminal right domain. CSVd sangat sulit dikendalikan, sifatnya mirip viroid jenis lain yang ditemukan pada tanaman selain krisan, yaitu Potato Spindle Tuber Viroid (PSTVd) dan Cucumber Pale Fruit Viroid (CPFVd). Ketiga viroid tersebut memiliki kisaran inang dan gejala yang sama ketika dilakukan pengujian di rumah kaca. Di samping itu, ketiga viroid tersebut tahan terhadap panas dengan titik batas pemanasan (thermal inactivation point) antara 90–100oC. Inefektivitasnya dapat dipertahankan dalam ekstrak yang diberi perlakuan alkohol, dalam jaringan tanaman yang mati tetap infeksius selama paling sedikit 2 tahun dan dapat bertahan dalam suhu yang dibekukan secara in vitro selama paling sedikit 1 tahun. Pospiviroid memiliki struktur sekunder yang stabil secara termodinamika dan molekulnya tidak akan rusak oleh sejumlah Rnase yang terdapat dalam tanaman.

Gejala Tanaman Krisan Terserang Viroid

Gejala infeksi viroid pada tanaman krisan bervariasi, bergantung pada kultivar dan kondisi lingkungan

12 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

tumbuh, terutama temperatur dan cahaya. Pada banyak kultivar krisan, hampir 30% tanaman yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala atau gejala muncul terlambat. Bahkan, tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil setelah ditanam beberapa minggu di dalam tanah dan setelah tanaman dewasa tingginya hanya sepertiga dari tanaman normal. Pertumbuhan yang kerdil dapat terdeteksi dengan baik ketika tanaman yang sehat dan tanaman sakit yang berumur sama ditanam berdampingan. Kondisi ini ditemukan di beberapa lokasi kebun penanaman krisan Jawa Barat. Hasil penelitian menjelaskan bahwa munculnya gejala infeksi viroid pada krisan dalam periode inkubasi sangat lama dibandingkan infeksi oleh virus. Gejala infeksi virus muncul pada 3–7 hari setelah infeksi, sedangkan viroid 2–3 bulan. Kemunculan gejala yang cukup lama ini dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi industri perbenihan krisan. Tanaman atau benih bahan perbanyakan yang semula diduga sehat te rnyata mengandung patogen yang merugikan. Benih

yang ditanam tidak dapat tumbuh dan memproduksi bunga dengan baik. Insidensi penyakit viroid yang besar pada krisan di Indonesia pernah terjadi di Jawa barat. Puspita Kencana adalah salah satu contoh varietas krisan yang rentan terhadap infeksi CSVd, sehingga ketika ditanam di salah satu penangkar benih krisan Cipanas, Kabupaten Cianjur, hampir semua tanaman pertumbuhannya kerdil dan kuning. Petani mengalami kerugian besar saat itu.

Cara Penularan Viroid (CSVd)

CSVd ditularkan dari satu tanaman ke tanaman lainnya melalui berbagai cara terutama ditularkan saat perbanyakan, yaitu melalui stek yang diambil dari tanaman induk yang terinfeksi. Jika bahan tanaman krisan yang terinfeksi dikirim dan masuk ke perbenihan, CSVd akan menyebar dengan cepat secara mekanik melalui gunting dan alat pertanian lainnya yang terkontaminasi yang d igunakan untuk memotong/

memangkas tanaman. Penyebaran yang cepat dari satu lokasi ke lokasi lainnya dapat terjadi dengan adanya pengangkutan atau melalui perdagangan.

Cara Menanggulangi Viroid pada Krisan

Pengendal ian penyaki t yang disebabkan viroid sangat sulit. Tingginya tingkat penularan di lapangan, periode inkubasi yang lama, dan adanya perbanyakan vegetatif krisan menjadi penyebab sulitnya pengendalian. Viroid sama halnya dengan virus, sampai saat ini belum ada obat anti viroid/virus yang efektif digunakan seperti pada penggunaan fungis ida atau bakterisida untuk cendawan dan bakteri. Pengendalian viroid lebih diarahkan atau ditekankan pada metode pencegahan yang harus dilakukan sejak awal ketika akan memulai budi daya krisan. Pengolahan tanah yang baik, pemilihan benih tanaman yang sehat, dan pemeliharaan tanaman, serta pemanenan bunga yang sesuai dengan SOP yang diterapkan akan mengurangi terjadinya penyebaran viroid pada tanaman. Penggunaan alat-alat pertanian yang bersih dan higienis juga membantu mengurangi penyebaran viroid pada tanaman sehat. Jika ditemukan beberapa tanaman yang menun jukkan pertumbuhan yang kurang optimal, misalnya kerdil, daun menguning, bentuk daun abnormal, sebaiknya tanaman dicabut dan dibakar untuk mencegah terjadinya penyebaran meluas.

Erniawati Diningsih

Balai Penelitian Tanaman Hias

Jalan Raya Ciherang, Pacet, Cianjur

Jawa Barat 43253 PO BOX 8 Sindanglaya

Telepon : (0263) 517056

Faksimile : (0263) 514138

E-mail : [email protected]

Pertumbuhan tanaman krisan yang terinfeksi viroid (tanda panah) di antara tanaman-tanaman krisan sehat.

Volume 41 Nomor 1, 2019 13

Karakteristik petani Indonesia dalam melakukan budi daya

tanaman padi sudah sejak lama menerapkan sistem tanam serempak. Dasar pengetahuan tersebut diperoleh turun temurun yang salah satunya sebagai antisipasi kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit. Petani memahami bahwa proses penanaman merupakan tahapan budi daya padi yang krusial. Waktu pelaksanaan tanam terbatas, disamping dilakukan secara serempak, masa tanam harus menyesuaikan dengan curah hujan. Tantangan terberat saat ini adalah ketersediaan tenaga tanam yang mulai terbatas karena berkurangnya kepeminatan tenaga kerja di bidang pertanian dan fenomena aging farmer dimana petani didominasi pekerja berusia lanjut. Imbasnya, ketika musim tanam tiba, terjadi kelangkaan tenaga kerja tanam.

Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan indeks pertanaman padi dan menekan serangan hama dan penyakit, mekanisasi pada tahap tanam sangat diperlukan. Sebelumnya proses penanaman dilakukan secara manual dengan pola tanam pindah (tapin) atau tanam benih lagsung (tabela). N a m u n k e d u a p o l a t a n a m

Jajar Legowo Riding Transplanter, Tawarkan Kemudahan Tanam PadiJajar Legowo Riding Transplanter merupakan pengembangan mesin tanam

Padi Jajar Legowo Tipe Walking. Salah satu dari jenis mesin tanam baru tersebut mempunyai waktu pengoperasian dan kapasitas kerja 2,8 jam/ha

dalam proses penanaman padi. Kapasitas ini jauh lebih besar dibandingkan tipe walking, sehingga dapat dijadikan salah satu solusi mengatasi

fenomena keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pertanian yang semakin terbatas.

terebut tidak efisien baik dari sisi penggunaan benih dan tenaga kerja. Penanaman manual dengan pola tapin misalnya, membutuhkan setidaknya 20-30 Hari Orang Kerja (HOK)/ha. Oleh karena itu diperlukan terobosan yang dapat menjawab permasalahan tersebut melalui penggunaan mesin. Terobosan tersebut adalah pengembangan mesin tanam padi atau paddy transplanter dalam negeri yang menyesuaikan dengan karakteristik alam Indonesia. Perkembangan mesin tanam di Indonesia diawali dengan pembuatan prototipe mesin tanam padi jajar legowo tipe walking 4 baris. Mesin tanam jarwo tipe walking tersebut dijalankan dengan operator yang memegang kemudi mesin dan berjalan di belakang mesin. Mesin tersebut juga menjadi inovasi awal untuk mendukung penerapan pola tanam jajar legowo yang d i kembangkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dan telah didaftarkan paten sebagai bentuk perlindungan kekayaan intelektual (KI) dengan nomor IDS000001509.

Sistem tanam jarwo merupakan sistem tanam untuk meningkatkan populasi tanaman dengan mengatur jarak tanam sehingga pertanaman

akan memiliki barisan tanaman yang diselingi oleh barisan kosong dimana jarak tanam pada barisan pinggir setengah kali jarak tanam antar barisan. Keuntungan dari sistem tanam jarwo yakni : (1) peningkatan jumlah populasi tanaman padi sekitar 30% yang diharapkan akan meningkatkan produksi baik secara makro maupun mikro, (2) mempermudah pelaksanaan pemeliharaan, pemupukan, dan pengendal ian hama penyaki t tanaman yaitu dilakukan melalui b a r i s a n k o s o n g / l o ro n g , ( 3 ) mengurangi kemungkinan serangan hama dan penyakit terutama hama tikus, (4) menghemat pupuk karena yang dipupuk hanya bagian tanaman dalam barisan, serta (5) tanaman mendapatkan penyinaran matahari yang optimal dan merata.

Saat ini, mesin tanam tersebut telah diadopsi beberapa industri alat dan mesin pertanian (alsintan) domestik dan telah diproduksi serta dipasarkan secara massal kepada petani. Meskipun mesin tersebut telah berfungsi dengan baik dan diterima petani, tetapi dari segi kapasitas kerja, relatif masih rendah. Beberapa kelemahan dari mesin tanam jarwo tipe walking yang dapat dirangkum yakni : (1) Operator yang mudah lelah karena masih ikut berjalan untuk mengemudikannya, (2) bibt padi yang telah tertanam dapat terinjak oleh operator apabila operator tidak berhati-hati dalam melangkah, dan (3) kapasitas mesin kecil dan tidak bisa ditingkatkan karena keterbatasan kecepatan jalan manusia. Untuk mengatasi masalah

14 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

tersebut, pada tahun 2017 dilakukan pengembangan mesin tanam padi jarwo tipe riding 6 baris dengan operator yang dapat naik di atas mesin dalam posisi duduk.

Redesain, Modifikasi, dan Uji Coba

Mesin tanam padi tipe riding 6 baris telah dikembangkan negara maju seperti China, Korea, dan Jepang. Namun adopsi mesin dari negara-negara tersebut secara langsung belum memberikan hasil optimal di Indonesia. Mesin tersebut, di samping hanya dapat diterapkan untuk pola tanam tegel yakni pola tanam berjarak 30 x 30 cm, yang tidak sesuai dengan pola tanam jajar legowo, juga kurang sesuai dengan kondisi tanah dan topografi di Indonesia. Pengembangan mesin tanam padi tipe riding 6 baris ini dilakukan dengan cara memodifikasi dan merekayasa kembali atau reengineering mesin tanam padi tipe riding komersial yang sudah ada dipasaran. Modifikasi dan rekayasa kembali dilakukan dengan mendesain ulang sesuai dengan pola tanam jajar legowo 6 baris dan kondisi topografi di Indonesia. Proses

redesain dengan cara merubah bagian utama pengumpanan bibit atau feeding-tray, komponen mesin as alur ganda atau double screw shaft, dan komponen pada bagian penanaman atau planting device.

Modifikasi dan rekayasa telah di laksanakan di laborator ium perekayasaan Balai Besar Pe-ngembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan) yang berlokasi di Serpong. Modifikasi tersebut telah menghasilkan prototipe mesin tanam padi jajar legowo tipe riding 6 baris. Setelah melalui tahapan modifikasi, mesin tersebut kemudian melewati uji fungsional, uji ketahanan atau endurance test untuk semua komponen, dan uji unjuk kerja atau performance test di lapangan yakni sawah. Hasil uji fungsional menunjukkan bahwa mesin tanam padi jajar legowo tipe riding 6 baris telah berfungsi dengan baik.

Hasil uji ketahanan komponen dari seluruh bagian mesin yang dilakukan selama 8 jam dalam waktu 3 hari berturut-turut, menunjukkan t idak ter jadi kerusakan pada komponen, baik komponen utama hasil modifikasi maupun komponen lain yang bergerak. Prototipe tersebut juga telah diuji unjuk kerja di lapangan yaitu di lahan sawah kebun

percobaan di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Sukamandi dan juga lahan sawah milik petani di Klaten, Jawa Tengah.

Spesifikasi Teknis

Mesin tanam padi jajar legowo tipe riding 6 baris ini mempunyai dimensi panjang 3.075 mm, lebar 2.200 mm serta tinggi 2.120 mm dengan bobot operasi 750 kg. Kapasitas kerja mesin tersebut yakni 0,36 ha/jam atau dengan kata lain 2,8 jam/ha. Efisiensi kerja lapang mesin mencapai 57% dengan kedalaman tanam antara 2–6 cm. Jumlah bibit yang dapat tertanam dalam setiap pergerakan yakni 3–7 bibit/sekali tanam dengan jarak tanam dalam baris antara 13–20 cm. Ketidaktepatan penanaman atau adanya lubang tanam kosong karena tidak terisi benih menunjukkan angka yang kurang dari 1,0%. Kondisi tersebut secara tidak langsung menunjukkan kualitas dari mesin tersebut.

Keunggulan dari teknologi tersebut adalah mesin yang mudah dioperasikan serta memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga dapat dijadikan salah satu solusi mengatasi keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pertanian di Indonesia. Dengan adanya mesin tanam padi jajar legowo tipe riding 6 baris, diharapkan juga mampu menjawab kecepatan dan ketepatan waktu tanam yang terbatas setiap musimnya dan membantu petani dalam efisiensi waktu, tenaga, serta biaya.

Lilik Tri Mulyantara dan Joko Pitoyo

Balai Besar Pengembangan Mekanisasi

Pertanian

Jalan Sinarmas Boulevard, Pagedangan,

Tangerang, Banten

Telepon : 08119936787

E-mail : [email protected].

go.id

Jajar Legowo Riding Transplanter.

Volume 41 Nomor 1, 2019 15

Peneliti, akademisi, dan pengambil kebi jakan dar i China, US,

Jepang, Philipina, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Indonesia berkumpul di Qichun Qounty, Hubei, China untuk membagi ilmu dan perkembangan penelitian mengenai teknologi ratun tanaman padi. Berbagai negara tersebut menyampaikan bahwa rata-rata produksi padi dari budi daya ratun mampu menyumbang 50–90% produksi dibandingkan tanaman utamanya.

Keuntungan dari teknologi ratun yang patut diperhatikan adalah berkurangnya biaya produksi untuk pengolahan tanah, pembelian benih, persemaian, dan tanam. Hal tersebut dikarenakan dengan penerapan teknologi ratun maka tidak akan melakukan lagi kegiatan-kegiatan

Padi Ratun, Terobosan Peningkatan Indeks Panen

Teknologi ratun merupakan teknologi dimana budi daya yang dilakukan dengan merawat rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali setelah

dipanen. Penerapan budi daya padi sistem ratun bersama paket teknologi lainnya berdaya hasil tinggi, cepat, mudah dan murah, serta dapat

meningkatkan produktivitas padi. Beberapa negara telah menerapkan dan merasakan manfaat teknologi ratun yang diutarakan pada pertemuan

bersama di China. Indonesia pun juga telah memiliki dan menerapkan teknologi ratun tentunya dengan kearifan lokalnya.

The International Sysposium on Rice Ratooning, China 2018

yang sama dengan proses awal budi daya padi. Semuanya karena adanya kombinasi penerapan teknologi lainnya diantaranya seperti pengaturan air yang tepat sebelum panen, pengelolaan hara, peningkatan kemampuan ratun, pemuliaan padi dengan spesifik batang yang kuat dan hasil tinggi, dan sebaga inya . Kombinas i teknologi tersebut memberikan dukungan penuh terhadap potensi pengembangan ratun sebagai salah satu alternatif teknologi budi daya untuk meningkatkan indeks panen.

China sudah mengibarkan bendera paling awal bagaimana mereka sudah mengembangkan mekanisasi terpadu antara alat panen sekaligus sebagai alat potong ratun sehingga dapat menekan

biaya dan masalah tenaga kerja pertanian yang semakin terbatas. Tidak hanya itu, hasil penelitian menyebutkan bahwa kualitas gabah yang dihasilkan melalui budi daya padi ratun lebih baik dibanding budidaya padi pada umumnya. Penelitian Prof. Shaobing Peng dari Huazhong Agricultural University menyebutkan gabah padi ratun mempunyai persen beras kepala yang lebih baik, butir kapur yang jauh lebih rendah, dan kadar amilosa yang lebih tinggi. Bahkan, mereka telah mampu menjual padi ratun secara komersial.

Bagaimana dengan Indonesia?

Ratun di Indonesia sudah dicobakan petani tapi dalam areal yang sangat terbatas. Teknologi Ratun Salibu (Salinan Ibu) merupakan teknologi padi ratun yang merupakan kearifan lokal dari tanah Minang, Sumatera Barat yang telah dimodif ikasi dengan baik. Ratun yang biasanya merupakan tanaman baru yang tumbuh dari tunggul padi, dipotong kembali pada umur 7 hari setelah panen dengan kondis i tanah

16 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Mesin pertanian untuk panen sekaligus pemotongan ratun di China.

Pertanaman ratun padi di China.

dipertahankan tetap lembap hingga 7–14 hari setelah pemotongan d i l a n j u t k a n d e n g a n p ro s e s penyulaman ratun, penyiangan serta aplikasi pemupukan pertama.

Teknologi ratun Salibu yang telah diverifikasi oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) sejak 2014 telah menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan. Hasil uji lapang menunjukkan bahwa penerapan teknologi ratun Salibu memiliki potensi hasil padi Salibu 1 hingga 80% dibandingkan tanaman utamanya. Lebih lanjut, padi hibrida juga mempunyai peluang untuk dikembangkan melalui budi daya ratun Salibu dengan rata-rata hasil antara 59–73% dibanding tanaman utamanya. Hal ini tentu saja menjadi peluang ketika petani dihadapkan pada harga benih padi hibrida yang masih cukup tinggi dan hanya dapat ditanam pada generasi pertama saja. Untuk itu, Kementerian

Pertanian melalui Direktorat Jendral Tanaman Pangan pada tahun 2017 menyebarkan padi hibrida di seluruh Indonesia seluas 10.000 ha.

BB Padi terus menyempurnakan dan mengedukasi petani di seluruh Indonesia. Gelar kunjungan lapang Salibu di Kuningan Jawa Barat direspon baik oleh petani setempat. Petani di daerah tersebut belum pernah melakukan budi daya Salibu. Ketika ditanyakan langsung, 50% lebih menyatakan ingin mencoba teknologi ini setelah melihat dan mendapatkan informasi mengenai teknologi ratun Salibu.

Dimana Peluang Pengembangan Salibu di Indonesia?

Budi daya Sal ibu sebaiknya dikembangkan di lahan sawah irigasi dengan hamparan luas. Demikian pula waktu tanam yang

dilakukan secara serempak. Jika hal ini bisa dilakukan, maka Salibu dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi padi melalui pertambahan indeks panen. Namun, jika dibudidayakan pada skala luasan yang kecil atau kurang 25 ha, maka keberadaannya bisa menjadi tanaman perangkap bagi hama dan penyakit.

Di sisi lain, pengembangan dalam lahan yang cukup luas akan memberikan tantangan tersendiri. Utamanya pada kegiatan budi daya dengan teknik pemotongan, penyulaman, dan penyiangan yang harus dilakukan dalam kurun waktu yang cukup terbatas. Oleh karenanya, ketersediaan dan penggunaan alat mekanisasi pertanian dalam teknologi Salibu menjadi faktor utama untuk keberlanjutan penerapannya. J ika peluang dan kebutuhan pendukung belum mampu dijawab, maka rekomendasi pengembangan Sal ibu harus di lakukan untuk spesifik lokasi. Lokasi tersebut khususnya merupakan lahan-lahan yang ketersediaan air sepanjang tahun, bukan endemis hama penyakit, serta dilakukan pada waktu tanam yang tidak sekaligus. Hal tersebut sebagai antisipasi kemudahan pengelolaan Salibu dengan mekanisasi sederhana serta kesesuaian dengan ketersediaan tenaga kerja yang makin terbatas.

Nurwulan Agustiani

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Jalan Raya 9, Sukamandi, Subang

Telepon : (0260) 520157

Faksimile : (0260) 521104

E-mail : [email protected].

go.id

Hasil Sembiring

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan

Jalan Merdeka No. 147, Bogor

Telepon : (0251) 8334089

Faksimile : (0251) 8312755

E-mail : puslitbangtan@litbang.

pertanian.go.idPertanaman ratun (SALIBU) padi di Kabupaten Kuningan, Indonesia.

Gelar kunjungan lapang Salibu di Kuningan Jawa Barat, 2017.

(Sum

ber:

cour

tesy

pho

to P

rof.

Shao

bing

Pen

g).

Volume 41 Nomor 1, 2019 17

Vaksin kombinasi Avian Influenza High ly Pa thogen ic Av ian

Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) merupakan kombinasi vaksin inaktif dari dua macam virus yaitu; HPAI subtipe H5N1 dan LPAI subtipe H9N2 asal Indonesia untuk pencegahan dan pengendalian penyakit AI di Indonesia. Virus AI A/muscovy duck/Banten/BR7/2013 dan A/chicken/West Java/BBLitvet-RI/2017 telah dikarakterisasi dan diidentifikasi sebagai virus subtipe H5N1 dan subtipe H9N2. Formulasi vaksin inaktif kombinasi AI HPAI dan LPAI yang mengandung masa antigen A/muscovy duck/Banten/BR7/2013 subtipe H5N1 dan A/chicken/West Java/BBLitvet-RI/2017 subtipe H9N2, secara berurutan adalah 256 HAU dan 1024 HAU per dosis. Vaksin inaktif kombinasi AI HPAI dan LPAI ini mempunyai keunggulan selain dapat memproteksi ayam klinis penyakit dan kematian dengan baik, juga dapat mengurangi shedding virus dan mencegah penurunan produksi telur pada ayam dewasa.

Penyakit AI atau dikenal dengan f lu burung telah bersirkulasi lebih dari 20 tahun dan menjadi endemis di Indonesia. Penyakit AI

Vaksin Kombinasi HPAI dan LPAI, Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Avian Influenza

Tantangan besar berternak unggas adalah serangan penyakit khususnya yang endemis di Indonesia. Salah satu penyakit yang masuk kategori ganas karena mudah menular dan mematikan disebabkan oleh virus

Avian Influenza (AI). Balitbangtan melalui satker Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) telah mengembangkan vaksin kombinasi yang mampu mencegah dan mengendalikan penyakit AI akibat virus subtipe H5N1 dan

H9N2 .

yang disebabkan oleh virus HPAI merupakan penyakit pada unggas yang sangat ganas, menular, dan mematikan yang disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1. Sementara kasus penurunan produksi telur hingga ≥30% pada ayam petelur produktif yang keberadaannya di Indonesia diketahui sejak awal tahun 2017, diduga disebabkan oleh virus LPAI atau virus AI subtipe H9N2 yang juga bersifat menular.

L a n g k a h p e n g e n d a l i a n dan penyebaran penyakit yang disebabkan virus HPAI dan LPAI pada unggas, pemusnahan unggas terinfeksi dianggap tepat dan biasa dilakukan di beberapa negara. Strategi pengendalian penyakit influenza yang utama adalah dengan penerapan biosekuriti. Namun untuk daerah endemis dan berkembang s e p e r t i I n d o n e s i a , s t r a t e g i pengendalian yang harus dilakukan selain biosekuriti yakni vaksinasi. Vaksin yang tepat dan disesuaikan dengan virus yang bersirkulasi diharapkan dapat mengendalikan penyebaran virus AI, dengan memberikan perlindungan unggas dari penyakit AI serta mencegah kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Balitbangtan melalui BB Litvet telah

menghasilkan berbagai inovasi bidang peternakan. Tujuannya guna mendukung terwujudnya sasaran strategis pembangunan pertanian khususnya pemenuhan kebutuhan protein hewan dalam bentuk daging dan telur melalui unggas. Teknologi tersebut diantaranya adalah vaksin inaktif bivalen AI H5N1 clade 2.1.3 dan 2.3.2 dan dilanjutkan dengan vaksin inaktif kombinasi AI HPAI dan LPAI, untuk pencegahan kematian dan penurunan produksi telur pada unggas.

Virus Isolat Lokal AI Subtipe H9N2

Virus isolat lokal AI subtipe H9N2 didapat dengan mengisolasi organ ayam layer yang memperlihatkan klinis penurunan produksi dan gangguan pernafasan yang dilaksanakan di peternakan komersial yang berlokasi di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Inokulum disiapkan dari organ yang dibuat suspensi 10% dalam phosphat buffer saline (PBS) yang mengandung 1000 IU/mL Penicillin G + 100 μg/mL Gentamycin + 20 μg/mL Amphotericin B. Inokulum sebanyak 0,1 mL diinfeksikan dengan disuntik ke dalam ruang alantois telur ayam berembrio specific pathogenic free (SPF) umur 10 hari, dan diinkubasi pada suhu 37ºC di dalam inkubator. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat adanya kematian embrio. Uji Hemaglutinasi (HA) dan hemaglutinasi inhibisi (HI) dilakukan untuk mendeteksi secara serologi

18 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(OIE, 2013). Lintasan alantois dilakukan hingga 6 kali pada telur ayam berembrio SPF umur 10 hari hingga memperlihatkan kematian embrio.

Selanjutnya cairan dimurnikan dar i adanya v i rus la in yang mempunyai sifat mengglutinasi seperti virus AI subtipe H5 dan virus Newcastle Disease (ND) yang telah ada di Indonesia melalui netralisasi virus terhadap AI subtipe H5 dan virus ND. Proses netralisasi dilakukan pada pengenceran tertinggi dari kandungan virus alantois ke dalam ruang alantois telur ayam berembrio SPF umur 10 hari. Kematian embrio dalam pengujian terjadi bervariasi yaitu pada jam ke 72–96 setelah infeksi. Hasil uji hemaglutinasi (HA) dari alantois menunjukkan adanya aktifitas aglutinasi dengan titer HA 1024 (10 log2) per 25 µL dan kandungan titer virus 10-9.6 EID50 per 1 mL di dalam ruang alantois telur ayam berembrio SPF umur 10 hari. Virus AI H9N2 di identifikasi dengan uji RT- PCR. Hasil identifikasi dengan uji RT- PCR AI subtipe H9 (sitasi primer dari CDC Atlanta dan beberapa jurnal international) menunjukkan positif H9. Uji RT-PCR terhadap subtipe H2-H15 menunjukkan hasil negatif terhadap semua subtipe HA yang lain, kecuali dengan subtipe H9 yang positif. Analisis DNA sekuensing HA/H9 menunjukkan virus H9N2 Eurasian Lineage, sublineage Y280. Sekuen asam amino di cleavage site protein HA menunjukkan virus LPAI yaitu PSRSSR//GLF. Uji RT-PCR terhadap ND menunjukkan hasil negatif.

Formula Vaksin Inaktif Kombinasi HPAI dan LPAI

Vaksin avian influenza kombinasi HPAI dan LPA I i so la t l oka l menggunakan bahan aktif isolat lokal virus HPAI subtipe H5N1 dan isolat lokal virus LPAI subtipe H9N2 yang ditumbuhkan pada alantois telur ayam tertunas SPF umur 10 hari. Kedua virus diinaktifasi dengan ß-propiolacton (1:2.000) dan diformulasi dengan ratio water to oil 30:70 yaitu, 30% gabungan virus (antigen) HPAI dan LPAI dalam PBS dan 70% adjuvant ISA 70VG Montanide™. Massa antigen di dalam kombinasi vaksin HPAI dan LPAI mengandung 256 HAU antigen A/muscovy duck/Banten/BR7/2013 dan 1024 HAU A/chicken/West Java /BBLitvet-RI/2017 dengan volume

per dosis yakni sebanyak 0,3 ml. Vaksin ini digunakan pada ayam atau unggas ketika berumur 3 minggu dan dapat di ulang sebelum masa produksi atau pullet atau disesuaikan dengan aturan vaksinasi masing-masing peternakan. Penggunaan vaksin yang tepat dan sesuai dengan sirkulasi virus diharapkan dapat mengendalikan penyebaran virus AI dan melindungi unggas, sehingga dapat mencegah kerugian ekonomi bagi peternak

Risa Indriani, Indi Dharmayanti, dan

Muhammad Syakir

Balai Besar Penelitian Veteriner

Jl. R.E. Martadinata No.30, Bogor

Telepon : (0251) 8331048,8334456

Faksimile : (0251) 8336425

E-mail : [email protected].

go.id

Prototipe Vaksin Kombinasi Avian Influenza HPAI dan LPAI.

Wawancara peternak dan pengambilan sampel darah ayam serta vaksinasi ayam dengan vaksin kombinasi AI HPAI dan LPAI.

Durasi titer antibodi pasca vaksinasi vaksin kombinasi Avian Influenza HPAI dan LPAI pada ayam layer dewasa.