Dampak Tayangan Kekerasan Di Televisi

download Dampak Tayangan Kekerasan Di Televisi

If you can't read please download the document

description

Dampak Tayangan Kekerasan Di Televisi

Transcript of Dampak Tayangan Kekerasan Di Televisi

Dampak Tayangan Kekerasan di TelevisiOleh Ahmad SaifuddinRabu, 29 November 2006Adegan orang dihajar lawan, dibanting ke luar ring, kepala dihantam kursi atau pipa, kepala diadu dengan meja, leher dikunci kaki lawan atau tubuh ditimpa tubuh lain adalah sebagian adegan yang dapat kita saksikan dalam tayangan WWE Smack Down di stasiun televisi Lativi. Smack Down buatan Amerika itu sebenarnya bukanlah tontonan baru. Di Indonesia, Smack Down telah ditayangkan sejak tahun 2000. Sejak awal ditayangkan di negara asalnya, program tersebut sebenarnya telah menuai banyak kecaman. Smack Down adalah acara gulat profesional yang dikemas dengan "lebih menghibur", yaitu seru, keras, dramatis dan bisa dibilang tanpa aturan. Program acara itu dinilai menggelorakan kekerasan, yang dikhawatirkan akan sangat berpengaruh terhadap perilaku anak. Meski sebagian kalangan berkilah bahwa perkelahian yang tampil di Smack Down sesungguhnya adalah perkelahian pura-pura yang direkayasa, namun yang muncul di layar kaca justru begitu realistis. Sehingga kekerasan itu menimbulkan dampak bagi penonton, yakni merangsang agresivitas penonton. Bisa jadi, proses dari sekadar tontonan hingga menjadi perilaku, memerlukan waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan itu jadi suguhan sehari-hari, sehingga kekerasan menjadi hal yang biasa, apalagi jika lingkungan sekitar juga mendukung. Karena, sesungguhnya respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Bayangkan, bila dalam sehari anak disuguhkan ratusan adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkin akhirnya si anak akan merasa bahwa memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain, sebagaimana respons yang dilihatnya dari tayangan kekerasan tersebut. Hasil survei berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresi dan tayangan TV yang memuat kekerasan dalam waktu lama. Dalam penelitian lain dipaparkan, anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain. Hampir separo kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka. Apalagi, menurut Aletha Huston, PhD dari University of Kansas, anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV. Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang bikin anak "kecanduan" adalah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan. Tak hanya tayangan di televisi, video game pun tak sedikit yang menawarkan adegan baku hantam. Efek kekerasan dalam video game jauh lebih berbahaya bagi perilaku anak. Karena jika melihat film, anak hanya bisa menyaksikan tanpa perasaan terlibat. Saat bermain game, anak berperan aktif melakukan kekerasan itu. Video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV, bermain game itu pun dilakukan secara terus menerus. Di sana ada target yang harus dilakukan, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika "jiwa" kekerasan itu dilakukan selama bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan bagi dirinya untuk berbuat. Sayangnya, pihak Lativi, sebagai stasiun pemutar tayangan Smack Down, mengatakan pihaknya akan terus menayangkan program Smack Down, meski harus menerima protes banyak pihak. Lativi hanya akan memundurkan jam tayangnya dan mengimbau agar program gulat bebas itu tidak ditonton dan ditiru anak-anak. Sikap semacam itu tak menyelesaikan masalah. Apalagi sudah ada korban meninggal akibat tindakan main-main ala Smack Down di Bandung, yaitu Reza Ikhsan Fadilah (9). Ketika persoalan ini dilempar ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), aroma pesimistis pun langsung tercium. Sejumlah persoalan rupanya tengah dihadapi komisi ini. Salah satu anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat dalam sebuah tulisannya di media massa baru-baru ini mengungkap, KPI telah lama berada dalam situasi karut-marut. Angan-angan membentuk era baru penyiaran yang demokratis harus berakhir berantakan, ketika pemerintah mengeluarkan 7 paket peraturan pemerintah (PP) bidang penyiaran. PP tersebut secara kasar mencabut kewenangan KPI dan menempatkannya hanya sebagai lembaga pengawas isi siaran dengan kewenangan maksimal memberikan teguran. PP tersebut memutar arah jarum jam, menjadikan dunia penyiaran kembali ke era otoritarian dengan menempatkan pemerintah sebagai leader. Pengawasan isi siaran terkena imbas dari keluarnya 7 paket PP yang bertentangan dengan UU 32 Tahun 2002 tersebut. Menurut UU, KPI mendapat kewenangan yang luas untuk mengawasi isi siaran berikut sanksinya. Apa daya, 7 paket PP hanya memberi kewenangan KPI untuk maksimal 2 kali melakukan teguran ke stasiun televisi yang siarannya diduga telah melanggar ketentuan. Lewat protes yang diajukan masyarakat terhadap tayangan Smack Down, karut-marut kewenangan dunia penyiaran mengemuka lagi. Siapa yang berhak menindak Lativi atau televisi lain yang juga menyiarkan acara bermasalah? KPI atau Kominfo? Bentuk sanksi apa yang harus diberlakukan? Semua serba tidak jelas, serba abu-abu. Sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung? ***