Daftar Pertanyaan Ujian

10
Daftar Pertanyaan : 1. Apa hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus ? Jawab : Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit. Aadanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM, dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM. Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef et al.11 pada plasma darah manusia didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan

Transcript of Daftar Pertanyaan Ujian

Page 1: Daftar Pertanyaan Ujian

Daftar Pertanyaan :

1. Apa hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus ?

Jawab :

Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pengidap

diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan

pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat

dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran

sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia

terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang

pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.

Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada

makrofag alveolar atau limfosit. Aadanya peningkatan jumlah makrofag alveolar

matur (makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak

ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM

dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien

TB yang disertai DM, dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan

TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM.

Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef et al.11 pada plasma darah

manusia didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB

dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan kontrol

yang sehat, produksi IFN-g spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN-g

yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa

berkurangnya IFN-g yang non-spesifik tersebut menunjukkan adanya defek pada

respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko pasien DM untuk

mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang mendasari terjadinya hal

tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

Bacakoðlu et al. melakukan penelitian untuk melihat apakah diabetes mellitus

mempengaruhi manifestasi klinis dan radiologis tuberkulosis pada pejamu non-

imunokompromais dan untuk melihat keterlibatan lapangan parubawah. Dari

penelitian tersebut didapatkan bahwa DM tidak memengaruhi gejala, hasil

bakteriologi, reaktivitas tuberkulin, dan lokalisasi infiltrat pada gambaran radiografi.

Pada pasien DM yang lebih tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin wanita didapatkan

Page 2: Daftar Pertanyaan Ujian

adanya keterlibatan lapangan paru bawah yang secara statistik berbeda secara

bermakna dibandingkan dengan yang tidak DM.

Pada penelitian Wang et al.6didapatkan bahwa pasien DM dengan TB paru

menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan

sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah, serta

angka kematian yang lebih tinggi.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Alisjahbana et al. menemukan adanya beberapa

perbedaan manifestasi klinik pada pasien TB yang juga menderita DM dan pasien TB

tanpa DM. Pada pasien TB yang juga DM ditemukan gejala klinis yang lebih banyak

dan keadaan umum yang lebih buruk. Pada penelitian itu juga didapatkan pengaruh

negatif dari DM terhadap hasil akhir pengobatan antituberkulosis DM secara

signifikan berkaitan dengan kultur sputum yang masih positif setelah enam bulan

pengobatan.

Berdasarkan ketiga penelitian di atas tidak ditemukan adanya perbedaan yang

signifikan manifestasi klinis antara pasien TB yang menderita DM maupun pasien TB

tanpa DM.

Dari segi penatalaksanaan:

Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan

syarat kadar gula darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT)

dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan

dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah

kontrol kadar gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan

adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol,dan streptomicin.

Pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah : 

Monitor kadar glukosa plasma  sekurang-kurangnya 4 jam terakhir. 

Pada pasien yang sudah mendapat pengobatan dengan insulin, dosis insulin

ditingkatkan  untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten.

Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan. Bagi pasien yang kurus

kebutuhan   kalori lebih besar dari yang semestinya, demikian pula pada pasien

Page 3: Daftar Pertanyaan Ujian

gemuk, kalori yang   diberikan lebih rendah dari kalori standard. Indeks massat tubuh

dipertahankan antara 18,5-23.

Kendalikan DM seoptimal mungkin yaitu mempertahankan  kadar glukosa darah

puasa antara 80-109 mg/dl,  2 jam setelah makan antara 80-144 mg/dl, A 1c <6,5

Kendalikan kadar dari fraksi lipid antara lain kadar kolesterol total  dipertahankan

<200 mg/dl, kolesterol LDL < 100mg/dl, kolesterol HDL>45, trigliserid <150 mg/dl.

Tekanan darah dipertahankan < 130/80 mgHg . 

Awasi  bila timbul muntah-muntah  atau  terjadi hiperglikemia berat atau

hipoglikemia dan tindak segera.

Pada pasien rawat inap tindakan adalah sebagai berikut:

Monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir; tingkatkan dosis insulin untuk

mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin intravena atau tetes.

Pada pasien yang memakai obat hipoglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti

atau menambah dengan insulin. 

Atasi dan awasi kemungkinan adanya dehidrasi.

2. Bagaimana tahap pemberian OAT pada pasien gangguan hepar (desensitisasi)?

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda

sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan

TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3

bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan

Isoniasid (H) selama 6 bulan.

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati pada penyakit hati kronis, dianjurkan

pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat

lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus

dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan

atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid

(Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH

atau 2HES/10HE.

Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan rejimen TB biasa karena tidak ada

bukti klinis terjadinya penyakit hati kronis: carrier virus hepatitis, riwayat hepatitis

akut, konsumsi alkohol berlebihan saat ini. Namun, reaksi hepatotoksik untuk obat

Page 4: Daftar Pertanyaan Ujian

anti-TB mungkin lebih sering terjadi pada pasien tersebut dan karenanya juga harus

diantisipasi pemberian obat TB yang hepatotoksik.

Pada pasien dengan penyakit hati yang tidak stabil atau tipe lanjutan, jika mungkin tes

fungsi hati harus dilakukan pada awal pengobatan. Jika tingkat serum alanine

aminotransferase lebih dari 3 kali normal sebelum memulai pengobatan, rejimen

berikut harus dipertimbangkan untuk diberikan. Semakin stabil atau parah penyakit

hati, maka obat hepatotoksik juga lebih sedikit akan digunakan.

Regimen yang mungkin diberikan termasuk:

Dua obat hepatotoksik (bukan tiga macam seperti dalam rejimen standar):

Pemberian isoniazid dan rifampisin selama 9 bulan, ditambah dengan etambutol

(sampai kerentanan isoniazid didokumentasikan);

Pemberian isoniazid, rifampisin, streptomisin dan etambutol selama 2 bulan, diikuti

dengan pemberian isoniazid dan rifampisin selama 6 bulan;

Pemberian rifampisin, pirazinamid dan etambutol selama 6-9 bulan.

Satu obat hepatotoksik:

Pemberian isoniazid, etambutol dan streptomisin selama 2 bulan, diikuti dengan

pemberian isoniazid dan etambutol selama 10 bulan.

Tidak ada obat hepatotoksik:

Pemberian streptomisin, etambutol dan fluorokuinolon selama 18-24 bulan.

Pemantauan klinis (dan tes fungsi hati, jika mungkin) dari semua pasien dengan

riwayat penyakit hati harus dilakukan selama perawatan

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas

INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg/ hari, dinaikkan perlahan sampai 300

mg/ hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.

Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75

mg/ hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50

kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi

yang terjadi, lanjutkan.

Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat

menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).

3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan Drug Induced Hepatitis karena OAT?

Page 5: Daftar Pertanyaan Ujian

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik

(drug induced hepatitis).

Penatalaksanaan:

Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop

Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop

Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT

distop

SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop

SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan

Paduan obat yang dianjurkan

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klinis dan laboratorium kembali

normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H)

desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg, selama itu perhatikan klinis dan

periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium

kembali normal, tambahkan Rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh

(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.

Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

Pada pasien tuberkulosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas

terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg

positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni

Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/ atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi

hati paling tidak dilakukan setiap bulan.

4. Bagaimana cara mendiagnosis Hepatitis B Kronik dan bagaimana tatalaksananya?

Kriteria diagnostik untuk hepatitis B kronik :

1) HBsAg (+) selama lebih dari 6 bulan

2) Peningkatan kadar ALT/AST

3) HBV DNA serum >20.000 IU/mL(100.000 copi/mL)

4) Biopsi hati dengan nekro-inflamasi sedang atau berat

Apabila pada pemeriksaan ditemukan HBsAg (+) maka dilakukan pemeriksaan lanjutan

seperti : HBeAg, Anti Hbe dan pemeriksaan Jumlah Virus HBV-DNA (>20.000 IU/mL atau

>100.000 copi/mL)

Page 6: Daftar Pertanyaan Ujian

5. Apa komposisi Ringer Laktat dan cairan apa yang harusnya diberikan pada pasien

dengan gangguan hepar?

6. Bagaimana regimen Obat Hipoglikemik Oral pada pasien yang mengalami mual dan

muntah?

7. Obat Anti Tuberkulosis apa yang paling toksik dan mengapa?

Page 7: Daftar Pertanyaan Ujian