Daftar Pertanyaan Ujian
-
Upload
linapratiwi825 -
Category
Documents
-
view
33 -
download
0
Transcript of Daftar Pertanyaan Ujian
Daftar Pertanyaan :
1. Apa hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus ?
Jawab :
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pengidap
diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan
pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat
dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran
sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia
terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang
pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.
Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada
makrofag alveolar atau limfosit. Aadanya peningkatan jumlah makrofag alveolar
matur (makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak
ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM
dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien
TB yang disertai DM, dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan
TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM.
Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef et al.11 pada plasma darah
manusia didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB
dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, produksi IFN-g spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN-g
yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa
berkurangnya IFN-g yang non-spesifik tersebut menunjukkan adanya defek pada
respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko pasien DM untuk
mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang mendasari terjadinya hal
tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut.
Bacakoðlu et al. melakukan penelitian untuk melihat apakah diabetes mellitus
mempengaruhi manifestasi klinis dan radiologis tuberkulosis pada pejamu non-
imunokompromais dan untuk melihat keterlibatan lapangan parubawah. Dari
penelitian tersebut didapatkan bahwa DM tidak memengaruhi gejala, hasil
bakteriologi, reaktivitas tuberkulin, dan lokalisasi infiltrat pada gambaran radiografi.
Pada pasien DM yang lebih tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin wanita didapatkan
adanya keterlibatan lapangan paru bawah yang secara statistik berbeda secara
bermakna dibandingkan dengan yang tidak DM.
Pada penelitian Wang et al.6didapatkan bahwa pasien DM dengan TB paru
menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan
sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah, serta
angka kematian yang lebih tinggi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Alisjahbana et al. menemukan adanya beberapa
perbedaan manifestasi klinik pada pasien TB yang juga menderita DM dan pasien TB
tanpa DM. Pada pasien TB yang juga DM ditemukan gejala klinis yang lebih banyak
dan keadaan umum yang lebih buruk. Pada penelitian itu juga didapatkan pengaruh
negatif dari DM terhadap hasil akhir pengobatan antituberkulosis DM secara
signifikan berkaitan dengan kultur sputum yang masih positif setelah enam bulan
pengobatan.
Berdasarkan ketiga penelitian di atas tidak ditemukan adanya perbedaan yang
signifikan manifestasi klinis antara pasien TB yang menderita DM maupun pasien TB
tanpa DM.
Dari segi penatalaksanaan:
Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan
syarat kadar gula darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT)
dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan
dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah
kontrol kadar gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan
adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol,dan streptomicin.
Pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah :
Monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir.
Pada pasien yang sudah mendapat pengobatan dengan insulin, dosis insulin
ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten.
Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan. Bagi pasien yang kurus
kebutuhan kalori lebih besar dari yang semestinya, demikian pula pada pasien
gemuk, kalori yang diberikan lebih rendah dari kalori standard. Indeks massat tubuh
dipertahankan antara 18,5-23.
Kendalikan DM seoptimal mungkin yaitu mempertahankan kadar glukosa darah
puasa antara 80-109 mg/dl, 2 jam setelah makan antara 80-144 mg/dl, A 1c <6,5
Kendalikan kadar dari fraksi lipid antara lain kadar kolesterol total dipertahankan
<200 mg/dl, kolesterol LDL < 100mg/dl, kolesterol HDL>45, trigliserid <150 mg/dl.
Tekanan darah dipertahankan < 130/80 mgHg .
Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau
hipoglikemia dan tindak segera.
Pada pasien rawat inap tindakan adalah sebagai berikut:
Monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir; tingkatkan dosis insulin untuk
mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin intravena atau tetes.
Pada pasien yang memakai obat hipoglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti
atau menambah dengan insulin.
Atasi dan awasi kemungkinan adanya dehidrasi.
2. Bagaimana tahap pemberian OAT pada pasien gangguan hepar (desensitisasi)?
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan
TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan
Isoniasid (H) selama 6 bulan.
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati pada penyakit hati kronis, dianjurkan
pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat
lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus
dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan
atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid
(Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH
atau 2HES/10HE.
Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan rejimen TB biasa karena tidak ada
bukti klinis terjadinya penyakit hati kronis: carrier virus hepatitis, riwayat hepatitis
akut, konsumsi alkohol berlebihan saat ini. Namun, reaksi hepatotoksik untuk obat
anti-TB mungkin lebih sering terjadi pada pasien tersebut dan karenanya juga harus
diantisipasi pemberian obat TB yang hepatotoksik.
Pada pasien dengan penyakit hati yang tidak stabil atau tipe lanjutan, jika mungkin tes
fungsi hati harus dilakukan pada awal pengobatan. Jika tingkat serum alanine
aminotransferase lebih dari 3 kali normal sebelum memulai pengobatan, rejimen
berikut harus dipertimbangkan untuk diberikan. Semakin stabil atau parah penyakit
hati, maka obat hepatotoksik juga lebih sedikit akan digunakan.
Regimen yang mungkin diberikan termasuk:
Dua obat hepatotoksik (bukan tiga macam seperti dalam rejimen standar):
Pemberian isoniazid dan rifampisin selama 9 bulan, ditambah dengan etambutol
(sampai kerentanan isoniazid didokumentasikan);
Pemberian isoniazid, rifampisin, streptomisin dan etambutol selama 2 bulan, diikuti
dengan pemberian isoniazid dan rifampisin selama 6 bulan;
Pemberian rifampisin, pirazinamid dan etambutol selama 6-9 bulan.
Satu obat hepatotoksik:
Pemberian isoniazid, etambutol dan streptomisin selama 2 bulan, diikuti dengan
pemberian isoniazid dan etambutol selama 10 bulan.
Tidak ada obat hepatotoksik:
Pemberian streptomisin, etambutol dan fluorokuinolon selama 18-24 bulan.
Pemantauan klinis (dan tes fungsi hati, jika mungkin) dari semua pasien dengan
riwayat penyakit hati harus dilakukan selama perawatan
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg/ hari, dinaikkan perlahan sampai 300
mg/ hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg/ hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50
kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi
yang terjadi, lanjutkan.
Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan Drug Induced Hepatitis karena OAT?
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT
distop
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klinis dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg, selama itu perhatikan klinis dan
periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium
kembali normal, tambahkan Rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
Pada pasien tuberkulosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas
terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg
positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni
Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/ atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi
hati paling tidak dilakukan setiap bulan.
4. Bagaimana cara mendiagnosis Hepatitis B Kronik dan bagaimana tatalaksananya?
Kriteria diagnostik untuk hepatitis B kronik :
1) HBsAg (+) selama lebih dari 6 bulan
2) Peningkatan kadar ALT/AST
3) HBV DNA serum >20.000 IU/mL(100.000 copi/mL)
4) Biopsi hati dengan nekro-inflamasi sedang atau berat
Apabila pada pemeriksaan ditemukan HBsAg (+) maka dilakukan pemeriksaan lanjutan
seperti : HBeAg, Anti Hbe dan pemeriksaan Jumlah Virus HBV-DNA (>20.000 IU/mL atau
>100.000 copi/mL)
5. Apa komposisi Ringer Laktat dan cairan apa yang harusnya diberikan pada pasien
dengan gangguan hepar?
6. Bagaimana regimen Obat Hipoglikemik Oral pada pasien yang mengalami mual dan
muntah?
7. Obat Anti Tuberkulosis apa yang paling toksik dan mengapa?