Crs minggu 2 kelompok 2

54
Case Report session Rinosinusitis Kronik Oleh : Elfon Lindo Pratama 1210312038 Ranny Anneliza 1210313056 Preceptor : dr. Al Hafiz, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

Transcript of Crs minggu 2 kelompok 2

Page 1: Crs minggu 2 kelompok 2

Case Report session

Rinosinusitis Kronik

Oleh :

Elfon Lindo Pratama 1210312038

Ranny Anneliza 1210313056

Preceptor :

dr. Al Hafiz, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT

TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2016

Page 2: Crs minggu 2 kelompok 2

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk seperti piramid yang terdiri atas pangkal hidung, batang hidung,

puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. Hidung tersusun atas tulang rawan

dan kerangka tulang, kemudian dilapisi oleh kulit, otot, dan jaringan ikat. Kerangka tulang

pada hidung terdiri atas tulang hidung, prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os

frontal. Tulang rawan pada hidung terdiri atas sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior, dan tepi anterior kartilago septum.1

Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi

ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya

rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus

inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus

etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoid.1

Gambar 1. Struktur dinding lateral hidung2

Page 3: Crs minggu 2 kelompok 2

Hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan posterior untuk bagian atas

rongga hidung, a. palatina mayor untuk bagian bawah rongga hidung, cabang a. fasialis untuk

bagian depan hidung. Pada bagian depan septum terdapat pleksus Kiesselbach, yang

merupakan anastomosis dari cabang a, sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior,

dan a. palatina mayor. Pleksus Kiesselbach ini mudah cedera karena trauma, sehingga

menjadi sumber epistaksis.1

Hidung memiliki 10 – 100 juta reseptor untuk penciuman yang mengandung epitelium

olfaktori dan menempati bagian superior dari rongga nasal. Epitelium olfaktori memiliki 3

jenis sel yaitu reseptor olfaktori, sel penyokong, sel basal.3

Reseptor Olfaktori adalah neuron pertama dalam jalur olfaktori. Setiap reseptor bersifat

bipolar dan berbentuk dendritik “knob-shape” dan akson menyalurkan rangsang menuju

olfaktori bulb. Rambut olfaktori (silia perpanjangan dari dendritik) adalah bagian yang

menangkap respon terhadap senyawa kimia yang terhisap. Senyawa kimia yang memiliki bau

maka dapat merangsang rambut olfaktori disebut dengan odorants. Reseptor olfaktori

merespon setiap stimulasi kimia dari molekul odorant dengan memproduksi potensial

generator. 3

Sel penyokong berupa sel epitel kolumnar dari selaput lendir yang melapisi hidung.

Bagian ini memiliki fungsi seperti support fisik, pemberi nutrisi, pengantar listrik untuk

reseptor penciuman, dan detoksifikasi kimia. Sel Basal adalah sel induk yang terletak diantara

sel-sel penyokong yang terus membelah dan membentuk sel penciuman yang baru, dimana

umur sel penciuman hanya sekitar 1 bulan. Proses ini istimewa karena neuron dewasa

umumnya tidak diganti. 7

Dalam jaringan ikat yang menyokong epitel penciuman terdapat kelenjar olfaktori

(kelenjar bowman’s) yang berfungsi untuk memproduksi mukus dan nantinya dibawa ke

permukaan melalui duktus. Fungsinya adalah untuk membasahi permukaan epitelum olfaktori

Page 4: Crs minggu 2 kelompok 2

dan melarutkan odorant sehingga proses transduksi dapat terjadi. Sel penyokong dan kelenjar

olfaktori diinervasi oleh cabang saraf fasialis. Impuls balik yang dihasilkan menuju ke

kelenjar lakrimal dan kelenjar mukosa nasal sehingga menyebabkan produksi air mata dan

sekret hidung ketika menghirup substansi seperti bubuk cabai.3

Di dalam hidung terdapat celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka

media dan lamina papirasea yang dikenal dengan kompleks ostiomeatal (KOM). KOM

berfungsi sebagai ventilasi dan drainase dari sinus maksila, etmoid, dan frontal. KOM

dibentuk oleh prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,

agger nasi, dan resesus frontal.1

1.2 Fisiologi Hidung

Hidung memiliki fungsi fisiologis berupa fungsi penghidu, fungsi respirasi fungsi

fonetik, fungsi statik dan mekanik, dan reflek nasal.1

1.2.1 Fungsi Penghidu

Terdapat 10.000 bau yang berbeda yang dapat dirasakan oleh manusia yang timbul dari

kombinasi aktivasi reseptor penciuman. Reseptor penciuman berekasi terhadap molekul bau

dengan jalur yang sama seperti resptor yang bereaksi terhadap stimulus yang spesifik. Dalam

hal ini akan terjadi depolarisasi dan memicu satu atau lebih impuls saraf. Reseptor penciuman

tergabung dengan protein membran yang disebut protein G yang dapat mengaktifkan enzim

adenilat siklase. Hasilnya berupa produksi siklik adenosine monofosfat yang akan membuka

kanal sodium yang menyebabkan masuknya sodium dan terjadi depolarisasi potensial yang

merangsang impuls saraf sepanjang akson reseptor penciuman. 3

1.2.2 Fungsi Respirasi

Hidung merupakan salah satu jalur masuknya udara ke paru-paru. Udara masuk melalui

nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan turun ke arah nasofaring. Udara

yang dihirup akan dihumidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung akan

Page 5: Crs minggu 2 kelompok 2

diatur oleh pembuluh-pembuluh, permukaan konka dan septum sehingga suhu udara akan

menjadi sekitar 37 derajat Celcius. Udara yang melewati hidung pun akan disaring dari

partikel debu, virus, dan bakteri oleh rambut, silia, palut lendir.1

1.2.3 Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung berperan pentinng dalam menentukan kualitas suara ketika

berbicara dan bernyanyi. Jika hidung mengalami penyumbatan, maka akan terjadi penurunan

resonansi yang akan menyebabkan suara sengau. Hidung juga berperan dalam membentuk

kata bersama dengan lidah, bibir, dan palatum mole.1

1.2.4 Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler, dan pernapasan. Pada iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin

dan napas berhenti.Ransang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung,

dan pankreas.1

1.3 Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah organ tubuh manuisa yang sulit dideskripsikan karena pada tiap

individu sangat bervariasi bentuknya. Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari

yang terbesar: sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Sinus ini terbentuk dari pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di

dalam tulang. 4

1.3.1 Sinus Maksila

Sinus maksilaris berada di belakang os maksila. Sinus ini berbentuk pyramid. Ukuran

sinus maksila merupakan ukuran terbesar dengan ukuran volume 6-8 ml dan mencapai 15 ml

saat dewasa. Batas anterior berupa permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina,

batas posteriornya permukaan infra-temporal maksila, batas medial dinding lateral rongga

hidung, batas superiornya dasar orbita, batas inferiornya prosesus alveolaris dan apaltum. 2,5

Page 6: Crs minggu 2 kelompok 2

Dari hal berikut, beberapa hal yang diperhatikan : 1) dasar sinus maksila sangat

berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),

terkadang gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi dapat menonjol ke dalam

sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas sehingga menyebabkan sinusitis; 2)

sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak

lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia dan drainase

harus melalui infundibulum yang sempit. Alergi dan radang pada daerah infundibulum dan

sinus etmoid anterior dapat mengganggu drainase sinus maksila. 4

1.3.2 Sinus Frontal

Keberadaan sinus frontal bervariasi, sekitar 5% populasi tidak memiliki sinus frontal.

Sinus frontal terletak di os frontal terbentuk sejak bulan keempat fetus, lalu mulai

berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran maksimal sebelum umur 20 tahun.

Ukuran sinus frontal tidak sama kanan dan kiri, aka nada salah satu bagian yang lebih besar.

15% orang dewasa hanya memiliki satu sinus frontal. Ukuran sinus frontal 2,8 cm tingginya,

lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal bersekat-sekat dan tepinya berlekuk-

lekuk, bila tidak terdapat gambaran lekukan dinding sinus pada foto rontgen maka terdapat

infeksi sinus. 4,5

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga

infeksi sinus frontal mudah menjalar pada daerah ini.

1.3.3 Sinus Etmoid

Sinus ini berbentuk paling bervariasi dan menjadi sumber infeksi bagi sinus lainnya.

Pada orang dewasa sinus ini berbentuk pyramid pada dasarnya.dengan ukuran : anterior ke

posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm. bentuk isnus ini berongga-rongga yang

memiliki sel-sel menyerupai sarang tawon terletak di bagian lateral os etmoid.4

Page 7: Crs minggu 2 kelompok 2

Sinus ini dibagi menjadi dua, yaitu sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus

medius dan sinus posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus

etmoid anterior merupakan bagian yang lebih sempit, disebut ressesus frontal, bagian ini

berhubungan dengan sinus frontal. Penyempitan di sinus etmoid anterior disebut

infundibulum tempat bermuara sinud maksila. Pembengkakan atau peradangan di resessus

frontal dapat menyebabkan sinusitis sinus frontal, dan peradangan pada infundibulum dapat

menyebabkan sinusitis maksila. 4

1.3.4 Sinus Sfenoid

Sinus ini terletak di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus ini

dibagi menjadi dua yang dipisahkan oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Sinus ini

berukuran 2 cm untuk tingginya, 2,3 cm untuk kedalamannya, dan 1,7 cm untuk lebarnya.

Volumenya berkisar antara 5-7,5 ml. 4

Sinus sfenoid berbatas dengan fosa serebri media pada bagian superior, bagian

inferiornya berbatasan dengan atap nasofaring., sebelah lateral berbatasan dengan sinus

kavernosus dan a. karotis interna, dan sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri

posterior di daerah pons. 4

Gambar 2. Anatomi sinus paranasal4 Gambar 3. Kompleks Ostteomeatal4

1.5 Fungsi Sinus Paranasal

- Sebagai Pengatur Kondisi Udara (air conditioning)

Page 8: Crs minggu 2 kelompok 2

- Sebagai Penahan Suhu (thermal insulator)

- Membantu keseimbangan kepala

- Membantu Resonansi Suara

- Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara

- Membantu produksi Mukus6

1.6 Definisi Klinis Rinosinusitis

Rinosinusitis pada dewasa didefinisikan sebagai inflamasi dari hidung dan sinus

paranasal dengan dua atau lebih gejala dimana salah satunya yaitu obstruksi nasal atau

kongesti nasal (anterior/posterior nasal drip): nyeri wajah atau penurunan atau gangguan

pembau ditambah dengan salah satu tanda dari endoksopi

Polip nasal dan/ atau

Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/atau

Obstruksi/ edema mukosa pada meatus medius dan/atau perubahan pada CT Scan yaitu

perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal (KOM) dan/ atau sinus

Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dibagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang,

berat dengan mengacu pada nilai VAS dimana

Ringan : VAS 0-3

Sedang : VAS >3-7

Berat : VAS >7-10

Berdasarkan durasi penyakitnya, rinosinusitis dikatakan akut jika terjadi kurang dari

12 minggu dengan gejala yang sembuh total. Sementara itu, dikatakan sebagai kronik jika

gejala terjadi lebih sama dengan 12 minggu tanpa resolusi gejala yang komplit. Selain itu,

pada rinosinusitis kronik dapat terjadi eksaserbasi.7

Page 9: Crs minggu 2 kelompok 2

1.7 Faktor yang Berkaitan dengan Rinosinusitis Kronik

1. Gangguan silia

Silia memiliki peran yang penting dalam hal pembersihan sinus dan pencegahan inflamasi

kronik. Diskinesia silia sekunder ditemukan pada pasien rinosinusitis kronik dan dapat

reversibel walaupun membutuhkan waktu. Selain itu, pada pasien dengan riwayat infeksi

saluran napas jangka panjang biasanya memiliki rinosinusitis kronik (RSK) berkaitan dengan

diskinesia siliar.

2. Alergi

Atopi meningkatkan predisposisi perkembangan dari RSK. Sebuah postulat mengatakan

bahwa pembengkakan mukosa nasal pada rinitis alergi di ostium sinus menyebabkan retensi

mukus dan infeksi. Benninger melaporkan bahwa 54% pasien rawat jalan dengan RSK

memberikan hasil positif pada uji cukit kulit. Data epidemiologi menunjukkan bahwa

peningkatan prevalensi rinitis alergi pada pasien RSK, namun peran alergi pada RSK masih

tidak jelas.Selain itu, Kern mengemukakan bahwa polip nasal ditemukan pada 25,6% pasien

alergi dibandingkan dengan 3,9% populasi kontrol. Pang et al. juga mengemukakan bahwa

tingginya prevalensi tes makanan intradermal yang positif (81%) terdapat pada pasien dengan

polip nasal dibandingkan dengan 11% pada kelompok kontrol. Dengan demikian, penelitian

lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui peran alergi makanan dalam menyebabkan polip

nasal.

3. Asma

Pasien RSK dengan polip nasal seringkali berkaitan dengan pasien asma, namun hubungan

antara keduanya masih belum dimengerti. Studi pada radiografi memperlihatkan abnormalitas

sinus mukosa pada pasien asma dimana pasien asma yang bergantung steroid memiliki 88%

perubahan mukosa yang abnormal dibandingkan dengan asma ringan hingga sedang. Studi

GA2LEN menunjukkan hubungan yang kuat antara asma dengan RSK dan rinitis alergi.

Page 10: Crs minggu 2 kelompok 2

Selain itu, pada pasien asma, polip nasal berkembang dalam waktu 9 hingga 13 tahun, namun

menjadi 2 tahun pada pasien asma yang diinduksi oleh aspirin. Alobid et al. memperlihatkan

bahwa pasien RSK dengan polip nasal memiliki gangguan pembau sehingga asma yang

persisten memiliki dampak terhadap berkurangnya pembau sehingga hal ini digunakan untuk

melihat derajat berat ringannya polip nasal maupun asma.

4. Sensitif aspirin

Pasien yang sensitif aspirin menunjukkan 36-96% memiliki RSK dengan polip nasal dan

hingga 96% memperlihatkan perubahan radiografi yang memengaruhi sinus paranasal. Zhang

et al. menemukan bahwa antibodi IgE terhadap enterotoksin dapat dijumpai pada sebagian

besar pasien polip nasal yang sensitif aspirin.

5. Keadaan imunokompromis

Studi pada infeksi HIV, Porter et al melaporkan bahwa rinosinusitis terdapat pada lebih dari

setengah populasi pasien positif HIV dan merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai

pada populasi tersebut. Namun, tidak terdapat perbedaan beratnya gejala sinonasal pada

pasien positif HIV dengan AIDS dan jumlah sel CD4+. Organisme atipikal seperti

Aspergillus spp., Pseudomonas aeruginosa, dan microsporidia, serta neoplasma seperti

limfoma non-Hodgkin menyebabkan masalah sinonasal pada pasien AIDS.

6. Faktor genetik

Tidak ada hubungan antara abnormalitas genetik dengan RSK. Namun, peran faktor genetik

pada RSK dapat diaplikasikan pada pasien dengan fibrosis kistik dan diskinesia silier primer.

7. Kehamilan dan endokrin

Sekitar seperlima wanita hamil mengalami kongesti nasal. Sayangnya, patogenesis dari hal

ini masih belum dapat dijelaskan walaupun terdapat beberapa teori. Salah satunya

Page 11: Crs minggu 2 kelompok 2

berhubungan dari efek langsung hormon estrogen, progesterol, dan pertumbuhan plasenta

pada mukosa nasal dan hubungan tidak langsung seperti perubahan vaskular. Selain itu,

disfungsi tiroid berdampak pada RSK, namun terdapat keterbatasan data prevalensi pasien

RSK dengan hipotiroidisme.

8. Faktor host lokal

Tidak ada bukti hubungan sebab akibat antara variasi anatomi nasal dengan kejadian RSK.

9. Biofilm

Banyak bakteri patogen mengolonisasi permukaan polip nasal yang membentuk biofilm.

Pasien polip nasal dengan keberadaan biofilm berkaitan dengan beratnya penyakit dan

buruknya prognosis pascaoperasi. MRSA tampaknya tidak menjadi risiko yang besar

terhadap morbiditas pasien, namun tingginya prevalensi S.aureus dan resistensi antimikroba

pada pasien RSK membuat pentingnya menetapkan terapi antimikroba berbasis kultur untuk

mencegah hal ini.

10. Faktor lingkungan

Merokok berkaitan dengan tinggi RSK di Kanada dan di seluruh Eropa. Selain itu, faktor

yang berkaitan dengan gaya hidup diduga terlibat dalam proses inflamasi kronik dari RSK

dengan polip nasal seperti pendapatan rendah, polutan tinggi, pekerjaan sebagai operator

mesin, dan lainnya.

11. Iatrogenik

Salah satu penyebab kegagalan bedah sinus ialah faktor iatrogenik. Beberapa alasan

kegagalan bedah sinus yaitu tingginya jumlah sinus mukokoles dan resirkulasi mukus yang

keluar dari ostium maksila dan kembali membuat antrostomi sehingga meningkatkan risiko

infeksi sinus persisten.

12. Helicobacter pylori dan refluks laringofaringeal

Page 12: Crs minggu 2 kelompok 2

DNA H. pylori terdeteksi pada 11-33% sampel sinus dari pasien RSK dengan polip nasal.

Namun, belum ada bukti untuk memberikan terapi anti refluks pada RSK refraktori dan tidak

ada bukti refluks asam menjadi faktor penyebab pada RSK dengan polip nasal.

13. “Osteotitis”7

1.8 Patofisiologi Rinosinusitis

Rinosinusitis akut disebabkan oleh berbagai penyebab dimana termasuk di dalamnya

yaitu faktor host dan lingkungan. Penyebab terjadinya sinusitis akut diperkirakan akibat

terjadinya bakteri dalam rongga sinus pada sinus yang obstruksi. Namun, tidak hanya

obstruksi sinus saja yang mempredisposisi terjadinya penyakit tersebut, fungsi klirens

mukosilier dari mukosa juga berperan dalam menyingkirkan bakteri. Obstruksi ostium yang

reversibel didapatkan pada infeksi virus saluran napas atas, alergi, iritan, dan barotrauma.

Organ-organ yang membentuk kompleks osteomeatal (KOM) letaknya berdekatan sehingga

edema akan memicu pertemuan mukosa sehingga silia tidak dapat bergerak dan terjadi

obstruksi ostium. Hal ini menyebabkan tekanan negatif sehingga terjadi transudasi yang

dianggap sebagai rinosinusitis non-bakteri dan sembuh tanpa pengobatan.Sementara itu,

kelainan anatomi menjadi penyebab obstruksi yang sifatnya tidak reversibel. Kemudian,

terjadi hipoksia lokal dalam rongga sinus dan akumulasi sekret dari sinus. Kombinasi tekanan

oksigen yang rendah dan akumulasi sekret sinus merupakan media pertumbuhan yang baik

bagi bakteri sehingga menyebabkan sekret menjadi purulen. Hal ini disebut sebagai

rinosinusitis akut bakteri dan membutuhkan terapi antibiotik. Selain itu, penyakit sistemik

seperti DM, malnutrisi, kemoterapi, penggunaan kortikosteroid jangka panjang membuat

keadaan pasien menjadi imunokompromis yang berpotensi untuk terjadinya sinusitis akut.

Patofisiologi dari sinusitis kronik belum tentu berasal dari infeksi dimana kebanyakan akibat

proses inflamasi. Pada sinusitis akut, proses eksudatif yang ditandai dengan infiltrasi neutrofil

Page 13: Crs minggu 2 kelompok 2

dan nekrosis merupakan gambaran yang mendominasi, sementara itu, pada sinusitis kronis,

sel infiltratif yang dominan yaitu eosinofil baik pada pasien alergi maupun non alergi.

sensoris sehingga menyebabkan nyeri dan menstimulasi sekresi mukosa dan permeabilitas

endotel melalui jalur refleks. Pada rinosinusitis kronik terlihat perubahan mukosa menjadi

hipertrofi, poplipoid atau pembentukan polip dan kista yang membutuhkan tindakan operasi.

Kemokin yang menarik eosinofil dihasilkan oleh mukosa sinus berkolaborasi dengan

berbagai jenis sel akibat stimulasi sitokin yang diproduksi oleh sel T. Peningkatan IL-4 dan

IL-5 pada traktus sinonasal memperpanjang eosinofil berada di traktus tersebut. Degranulasi

eosinofil melepaskan beberapa enzim destruktif yang merusak epitel sehingga mengganggu

fungsi normal dari barier dan aktivitas mukosilier mukosa. Dengan demikian, dapat terjadi

kolonisasi dari bakteri dan jamur pada rongga sinus. Kerusakan epitel ini mengiritasi ujung

saraf.8,9

Gambar 4. Patofisiologi Rinosinusitis10

2.9 Manifestasi Klinis Dan Diagnosis

Page 14: Crs minggu 2 kelompok 2

Untuk menegakkan diagnosis rinosinsusitis secara umum ada dua kriteria yang

digunakan yaitu kriteria Rhinosinusitis Task Force oleh AAO-HNS dan kriteria yang baru

saja di revisi oleh EPOS tahun 2012.7

1. Kriteria Rhinosinusitis Task Force

Tabel 1. Kriteria diagnostic task force untuk rinosinusitis

2. Kriteria EPOS 2012

Tabel 2. Kriteria EPOS 2012 untuk Rinosinusitis

1.10 Pemeriksaan Penunjang

Page 15: Crs minggu 2 kelompok 2

1. Transluminasi (diafanoskopi)6

Dilakukan dikamar gelap, memakai sumber cahaya penlight yang dimasukkan ke

dalam mulut dan bibir dikatupkan.Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit terang di

infraorbita. Pada sinus tampak suram.11

2. Pemeriksaan radiologi6,12

Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Caldwell, Waters dan lateral. Posisi Caldwell

untuk menilai sinus frontal, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sehingga

membentuk 15o pada garis OML (orbito meatal line). Posisi Waters adalah untuk

memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara

menengadahkan kepala pasien sehingga terbentuk sudut 37o pada garis OML (orbito meatal

line). Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid.

Posisi Waters dinilai dengan menggunakan skor derajat kejernihan radiologi. Hasil skoring

posisi Waters sebagai berikut :

Skor 0 sampai dengan skor 2 = positif

Skor 3 sampai dengan skor 4 = negatif

Skor Keterangan

0 Seluruh rongga berkabut padat

1 Tepi rongga berkabut (menebal luas), tetapi daerah radiolusen < sekitar 25

%

2 Tepi rongga berkabut (menebal > 4 mm), tetapi daerah radiolusen masih >

25 % s/d < 50 %

3 Tepi rongga berkabut (menebal < 4 mm), daerah radiolusen > sekitar 50 %

4 Rongga sinus maksilaris seluruhnya radiolusen

Tabel 3. Skor derajat kejernihan radiologi posisi Waters

Page 16: Crs minggu 2 kelompok 2

CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan

suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada

pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis MRI

sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai sinusitis, tapi

memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.

.

1.11 Penatalaksanaan

a. Rinosinusitis akut

- Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik.

Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi

tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase

dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.

Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14

hari.

Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni

amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan

terapi tambahan.

Jika selanjutnya ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.

- Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal.

- Jika tidak ada perbaikan setelah terapi antibiotik maka dilakukan rontgen-polos atau CT

Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka

dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis

yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

Page 17: Crs minggu 2 kelompok 2

- Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi

komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret

tertahan oleh sumbatan

b. Rinosinusitis Subakut

- Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,

yaitu diatermi atau pencucian sinus.

- Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan

resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa

dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.

- Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave

Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi

sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

- Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal

atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus

cara Proetz.

c. Rinitis Kronis

- Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,

yaitu diatermi atau pencucian sinus.

- Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan

resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa

dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.

- Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave

Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi

sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

Page 18: Crs minggu 2 kelompok 2

- Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal

atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus

cara Proetz.

- Jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,

sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal

maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada

obstruksi, maka evaluasi diagnosis.

- Pembedahan

Radikal

Sinus maksila dengan antrostomi dan operasi Cadhwell-luc.

Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.

Non Radikal

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan

membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

Indikasi Pembedahan: 12

- Jika pasien tidak memberikan respon optimal terhadap terapi medikamentosa

- Rinosinusitis akut yang rekuren

- Rinosinusitis alergi dengan infeksi fungi

- Sinonasal polyposis

- Rinosinusitis akut dengan komplikasi

- Mukokel pada sinus

- Polip di antrokoana

Page 19: Crs minggu 2 kelompok 2

Kontraindikasi:3

- Pasien dengan polip yang ekstensif atau alergi fungal yang tidak akan bertahan dengan

terapi medikamentosa post operatif

- Pasien dengan keluhan utama sakit kepala atau nyeri wajah bagian tengah yang tidak

khas seperti rinosinusitis walaupun CT scan menunjukkan gambaran bayangan infiltrate

pada sinus

- keadaan-keadaan yang memperberat risiko operasi

- sinus denga hipoplasia yang nyata dan/atau tulang yang keras (relative) 6,12,13

2.12 Komplikasi Dan Prognosis6,13

a. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.

Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis

dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau reaksi edema yang ringan.

Selulitis

Abses subperiosteal

Abses orbita

Trombosis sinus kavernosus

Kelemahan pasien.

Tanda-tanda meningitis

b. Mukokel

c. Komplikasi Intra Kranial

Meningitis akut

Page 20: Crs minggu 2 kelompok 2

Abses dura

Abses subdural

Abses otak

d. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.

Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat

simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang

baik. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) akan mengembalikan fungsi sinus dan

gejala akan semubuh secara komplit atau moderat sekita 80-90% pada pasien dengan sinusitis

kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsive terhadap medikamentosa.6,12,13

Page 21: Crs minggu 2 kelompok 2

BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Tanggal Pemeriksaan : 23 Agustus 2016

Nama : Ny. I

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Alamat : Jln. Raya Siteba No.26, Komplek Kodem H4

Suku Bangsa : Minangkabau

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan berumur 34 tahun datang ke Poliklinik RSUP M.Djamil Padang

pada tanggal 23 Agustus 2016 dengan

Keluhan Utama : Nyeri pada kedua pipi sejak 3 bulan yang lalu

Keluhan Tambahan : Hidung semakin tersumbat disertai cairan hidung kekuningan pada

kedua sisi sejak 3 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

Awalnya, hidung berair sudah dirasakan pasien sejak kecil, encer, jernih, dan

munculnya hilang timbul. Sejak 3 bulan ini, cairan hidung lebih kental, berwarna

kekuningan pada kedua sisi, dan kambuh setiap 2 minggu.

Page 22: Crs minggu 2 kelompok 2

Hidung tersumbat terus-menerus dan semakin meningkat pada kedua sisi dalam 3

bulan ini

Nyeri pada kedua pipi sejak 3 bulan yang lalu dan terasa lebih berat saat

menundukkan kepala

Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk pada kedua sisi sejak 3 bulan yang lalu

Pasien merasakan lendir yang mengalir dari hidung ke tenggorok sejak 3 bulan yang

lalu

Penciuman dirasakan berkurang pada kedua hidung

Demam (+) hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu

Nafsu makan menurun dan tidak terdapat penurunan berat badan yang berarti

Riwayat sakit gigi atau gigi berlubang disangkal

Aktivitas sehari-hari mulai terganggu

Riwayat trauma disangkal

Riwayat operasi hidung atau operasi THT lainnya tidak ada

Pasien sudah berobat ke RS swasta sejak 2 bulan yang lalu dan telah dilakukan

rontgen. Pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk pemeriksaan lebih

lanjut dan mendapatkan obat siprofloksasin 2x500 mg, loratadin 1x10 mg,

metilprednisolon 2x4 mg, dan obat cuci hidung. Namun, saat ini keluhan tidak terasa

membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien memiliki riwayat bersin-bersin berulang >5x, hidung gatal, dan mata berair

saat terpapar dengan suhu dingin dan debu

Riwayat dermatitis atopik, konjuntivitis alergi, asma bronkial, urtikaria, dan alergi

makanan disangkal

Page 23: Crs minggu 2 kelompok 2

Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Anak pasien yang kedua juga memiliki alergi terhadap debu dan suhu dingin

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan :

Pasien bekerja sebagai pegawai swasta

Riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol disangkal

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Frekuensi nadi : 102 x/menit

Frekuensi nafas : 24 x/menit

Suhu : 37.8 0C

Pemeriksaan Sistemik

Kepala : normochepal

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB

Thorak : kor dan pulmo dalam batas normal

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal

Page 24: Crs minggu 2 kelompok 2

Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik

Status Lokalis THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Daun telinga

Kel kongenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada

Liang & Dinding telinga

Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang

Sempit Tidak ada Tidak ada

Hiperemis Tidak ada Tidak ada

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret/serumen

Bau Tidak ada Tidak ada

Warna Tidak ada Tidak ada

Jumlah Tidak ada Tidak ada

Jenis Tidak ada Tidak ada

Membran timpani

Utuh

Warna Putih mengkilat Putih mengkilat

Reflek cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Bulging Tidak ada Tidak ada

Retraksi Tidak ada Tidak ada

Atrofi Tidak ada Tidak ada

Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada

Jenis Tidak ada Tidak ada

Page 25: Crs minggu 2 kelompok 2

Perforasi

Kwadran Tidak ada Tidak ada

Pinggir Tidak ada Tidak ada

Gambar Membran Timpani

Mastoid

Tanda radang Tidak ada Tidak ada

Fistel Tidak ada Tidak ada

Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tes Garpu Tala

Rinne ( + ) ( + )

Schwabach Sama dengan pemeriksa

Sama dengan pemeriksa

Weber Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan Normal Normal

Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Timpanometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dektra Sinistra

Hidung luar

Deformitas Tidak ada Tidak ada

Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus paranasal

Page 26: Crs minggu 2 kelompok 2

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Nyeri tekan Ada pada sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis

Ada pada sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis

Nyeri ketok Ada Ada

Rinoskopi Anterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Vestibulum Vibrise Ada Ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Cavum Nasi

Cukup lapang (N) Sempit Sempit

Sempit Ada Ada

Lapang Tidak ada Tidak ada

Sekret

Lokasi Konka media

Konka inferior

Konka media

Konka inferior

Jenis Purulen Purulen

Jumlah Sedikit Sedikit

Bau Tidak ada Tidak ada

Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi

Warna Merah Muda Merah Muda

Permukaan Licin Licin

Edema Ada Ada

Konka media

Ukuran Eutrofi Eutrofi

Warna Merah Muda Merah Muda

Permukaan Licin Licin

Edema Ada Ada

Cukup lurus/ deviasi Deviasi ke kiri

Permukaan Licin Licin

Page 27: Crs minggu 2 kelompok 2

Septum Warna Merah Muda Merah Muda

Spina Tidak ada Tidak ada

Krista Tidak ada Ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Perforasi Tidak ada Tidak ada

Massa

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Bentuk Tidak ada Tidak ada

Ukuran Tidak ada Tidak ada

Permukaan Tidak ada Tidak ada

Warna Tidak ada Tidak ada

Konsistensi Tidak ada Tidak ada

Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada

Pengaruh vasokonstriktor

Tidak ada Tidak ada

Gambar Rinoskopi Anterior

Rinoskopi Posterior

Tidak dilakukan

Orofaring dan mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Trismus Tidak ada Tidak ada

Uvula Edema Tidak ada Tidak ada

Bifida Tidak ada Tidak ada

Simetris/tidak Simetris Simetris

Page 28: Crs minggu 2 kelompok 2

Palatum mole + Arkus Faring

Warna Merah muda Merah muda

Edem Tidak ada Tidak ada

Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada

Dinding faring Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Licin

Tonsil

Ukuran T1 T1

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Licin Licin

Muara kripti Tidak melebar Tidak melebar

Detritus Tidak ada Tidak ada

Eksudat Tidak ada Tidak ada

Peritonsil

Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Tumor

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Bentuk Tidak ada Tidak ada

Ukuran Tidak ada Tidak ada

Permukaan Tidak ada Tidak ada

Konsistensi Tidak ada Tidak ada

Gigi Karies/Radiks Tidak ada

Kesan Baik

Lidah

Warna Merah muda Merah muda

Bentuk Normal

Deviasi Tidak ada

Massa Tidak ada

Gambar Orofaring (Mulut)

Page 29: Crs minggu 2 kelompok 2

Laringoskopi Indirek

Tidak dilakukan

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Inspeksi : tidak terlihat adanya pembesaran kelenjar getah bening

Palpasi : tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening

Page 30: Crs minggu 2 kelompok 2

RESUME

1. Anamnesis

Seorang perempuan, 34 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kedua pipi sejak 3

bulan yang lalu serta terasa lebih berat saat menundukkan kepala. Pasien juga

mengeluhkan hidung tersumbat terus-menerus dan semakin meningkat pada kedua sisi

dalam 3 bulan ini. Hidung berair juga dirasakan sejak kecil, encer, jernih, dan munculnya

hilang timbul lalu berubah warna menjadi kekuningan, dan lebih kental pada kedua sisi

hidung sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga merasakan ada lendir yang mengalir dari

hidung ke tenggorok dan penciuman dirasakan berkurang.

Pasien juga mengeluhkan demam dan sakit kepala. Pasien sudah berobat ke RS

swasta dan dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk pemeriksaan lebih lanjut dan

mendapatkan obat siprofloksasin 2x500 mg, loratadin 1x10 mg, metilprednisolon 2x4 mg,

dan obat cuci hidung. Namun, saat ini keluhan tidak terasa membaik.

Pasien memiliki riwayat bersin-bersin berulang >5x, hidung gatal, dan mata berair

saat terpapar dengan suhu dingin dan debu. Anak pasien yang kedua juga memiliki alergi

terhadap debu dan suhu dingin.

2. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, nadi

102x/menit, dan suhu 37,8oC. Pada pemeriksaan sinus paranasal, nyeri tekan (+) pada

sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis kiri dan kanan. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior, didapatkan kavum nasi sempit, sekret (+) purulen, sedikit di konka media dan

inferior, konka merah muda, edema (+), serta septum deviasi ke kiri berupa krista.

3. Diagnosis Kerja : rinosinusitis kronis ec deviasi septum et susp rinitis alergi persisten

Page 31: Crs minggu 2 kelompok 2

sedang-berat

4. Diagnosis Tambahan : -

5. Diagnosis Banding : -

6. Pemeriksaan Penunjang : rontgen dan CT-Scan

7. Pemeriksaan Anjuran : skin prick test, kultur sekret hidung dan uji sensitivitas

8. Terapi : siprofloksasin 2x500 mg

loratadin 1x10 mg

rhinofed® 3x1 per hari

metilprednisolon 2x4 mg

ambroxol 3x1 tab

obat cuci hidung dengan NaCl 0,9%

9. Terapi Anjuran : septoplasti

10. Prognosis :

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Page 32: Crs minggu 2 kelompok 2

BAB 3

DISKUSI

Seorang pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada kedua pipi sejak 3 bulan yang

lalu. Penyebab terbanyak nyeri pada daerah wajah adalah rinosinusitis, dan berbagai

kemungkinan lain seperti gangguan sendi temporomandibular, neuralgia trigeminal, atau

idiopatik. Namun, nyeri pada neuralgia trigeminal berlangsung sebentar dan pada umumnya

unilateral sehingga kemungkinan neuralgia trigeminal dapat disingkirkan. Gangguan pada

sendi temporomandibular juga dapat disingkirkan karena nyeri yang dirasakan pada pasien

bertambah saat menunduk, dan bukan dicetuskan oleh mengunyah.14 Oleh karena itu, nyeri

yang dialami pasien mungkin akibat rinosinusitis. Nyeri pada sinusitis disebabkan oleh

akumulasi sekret pada sinus yang terganggu.15

Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat terus-menerus dan semakin meningkat pada

kedua sisi dalam 3 bulan ini. Keluhan hidung tersumbat bilateral dapat disebabkan oleh

beberapa kondisi, seperti deviasi septum nasi, polip hidung, rhinitis alergi, rhinitis vasomotor,

sinusitis kronis, pembesaran konka, benda asing, tumor nasofaring, atresia koana, adenoid,

atau perubahan suhu dan kelembaban. Pada rinosinusitis, keluhan hidung tersumbat dapat

diakibatkan karena edema mukosa dan konka hidung serta sekret yang terakumulasi dalam

kavum nasi.15

Hidung berair juga dirasakan pasien sejak kecil, encer, jernih, dan munculnya hilang

timbul lalu berubah warna menjadi kekuningan, dan lebih kental pada kedua sisi hidung sejak

3 bulan yang lalu. Hidung berair dapat disebabkan oleh infeksi hidung, alergi hidung,

sinusitis, tumor hidung, atau benda asing di hidung. Pada pasien ini, sekret dihasilkan

bilateral sehingga kemungkinan benda asing pada hidung dan tumor hidung lebih kecil.

Sekret yang purulen menunjukkan kemungkinan adanya infeksi hidung atau sinusitis, bukan

Page 33: Crs minggu 2 kelompok 2

seperti rinitis alergi yang menghasilkan sekret yang jernih. Kondisi hidung berair yang encer,

jernih, dan hilang timbul sejak kecil mungkin menunjukkan adanya riwayat rinitis alergi pada

pasien ini atau infeksi hidung yang berulang.1

Pasien juga mengeluhkan adanya lendir yang mengalir dari hidung ke tenggorok.

Kondisi ini disebut sebagai post nasal drip (PND) biasanya sering ditemukan pada sinusitis.1

PND merupakan keluhan tersering dan sangat mengganggu sehingga memberikan rasa kering

dan terbakar pada daerah di belakang hidung dengan rasa yang tidak enak di daerah mulut.14

Penciuman juga dirasakan berkurang oleh pasien atau disebut sebagai hiposmia.

Etiologi hiposmia dapat disebabkan oleh obstruksi hidung, seperti pada rinitis alergi, rinitis

vasomotor, rhinitis atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip, atau tumor. Pada kasus

sinusitis, hiposmia terjadi karena akumulasi sekret serta kondisi lainnya yang menyebabkan

obstruksi hidung.1

Pasien juga mengeluhkan demam dan sakit kepala. Demam dapat diakibatkan oleh

proses infeksi yang terjadi pada pasien ini. Pada sinusitis, sakit kepala disebabkan oleh

akumulasi sekret terutama saat malam dan mengalir saat pasien berada dalam posisi tegak.14

Pasien sudah berobat ke RS swasta dan dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk

pemeriksaan lebih lanjut dan mendapatkan obat siprofloksasin 2x500 mg, loratadin 1x10 mg,

metilprednisolon 2x4 mg, dan obat cuci hidung. Namun, saat ini keluhan tidak terasa

membaik. Keluhan tidak terasa membaik mungkin disebabkan oleh etiologi penyakit yang

belum disingkirkan, diagnosis yang tidak tepat, penatalaksanaan yang salah, kepatuhan

pasien dalam penggunaan obat, atau penyebab lainnya.

Pasien memiliki riwayat bersin-bersin berulang >5x, hidung gatal, dan mata berair saat

terpapar dengan suhu dingin dan debu. Anak pasien yang kedua juga memiliki alergi terhadap

debu dan suhu dingin. Berdasarkan penjelasan ini, dapat disimpulkan kemungkinan pasien

memiliki riwayat rinitis alergi dengan dasar diagnosis berupa adanya bersin berulang >5x,

Page 34: Crs minggu 2 kelompok 2

hidung gatal, dan mata berair saat terpapar dengan suhu dingin atau debu.

Dari pemeriksaan fisik, takikardi disebabkan oleh demam yang dialami pasien. Nyeri

tekan pada lokasi sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis menunjukkan adanya proses

inflamasi yang terjadi pada daerah sinus tersebut. Kondisi ini ditemukan pada pasien dengan

sinusitis.1

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan kavum nasi sempit, sekret (+) purulen,

sedikit di konka media dan inferior, konka merah muda, edema (+), serta septum deviasi ke

kiri berupa krista. Hasil ini menunjukkan adanya proses inflamasi yang terjadi namun tidak

akut serta ditemukannya kelainan anatomis pada hidung yang dapat berkaitan dengan kondisi

pasien saat ini.

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis kerja

rinosinusitis kronis ec deviasi septum et susp rinitis alergi persisten sedang-berat. Hidung

tersumbat ditambah dengan dengan sekret yang kekuningan disertai gejala-gejala lainnya,

seperti nyeri pada daerah sinus, adanya lendir yang mengalir dari hidung ke tenggorok, dan

penurunan fungsi penghidu mengarah ke kondisi rinosinusitis. Diagnosis ini didukung juga

dengan pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya sekret purulen, Rinosinusitis yang

dialami pasien dapat diklasifikasikan ke dalam rinosinusitis kronis karena prosesnya yang

telah berlangsung selama 3 bulan. Deviasi septum ditegakkan dari hasil pemeriksaan

rinoskopi anterior. Rinitis alergi persisten ditegakkan karena gejalanya > 4 hari per minggu.

Rinitis alergi sedang-berat ditegakkan karena telah mengganggu aktivitas sehari-hari

pasien.1,14,15

Sinusitis yang dialami pasien dapat disebabkan oleh adanya deviasi septum dan rinitis

alergi. Deviasi septum menyebabkan obstruksi mekanis sehingga terjadi gangguan drainase.

Akibatnya, silia rusak dan infeksi terjadi secara kronis. Pada rinitis alergi, mukosa menebal

dan menyebabkan terganggunya fungsi silia serta drainase tidak lancar. Kondisi inilah yang

Page 35: Crs minggu 2 kelompok 2

menjadi dasar patofisiologi rinosinusitis kronis yang dialami oleh pasien ini.1,14

Penatalaksanaan pada rinosinusitis kronik terdiri atas penatalaksanaan medikamentosa

dan pembedahan, penatalaksanaa dipengruhi oleh latar belakang seperti alergi, infeksi dan

kelainan anatomi rongga hidung 17

Pemberian antibiotik berupa siprofloksasin didasarkan pada infeksi yang terjadi

diakibatkan oleh bakteri, hal ini dapat terlihat dari sekret hidung pasien yang berwarna

kekuningan. Antihistamin loratadin diberikan dengan bertujuan untuk mengatasi alergi

berupa alergi suhu dingin dan debu yang memperberat rinosinusitis pada pasien. Rhinosfed

merupakan salah satu dekongestan, pemberian rhinosfed bertujuan untuk menyusutkan

selaput hidung yang membengkak. Pemberian metilprednisolon sebagai kortikosteroid

diberikan sebagai terapi utama pada rinitis alergi sedang berat, selain itu pada kasus lain

seperti rinosinusitis kronik dengan polip nasi pemberian kortikosteroid juga menjadi pilihan

utama karena dapat menyusutkan polip. Mukolitik berupa ambroxol diberikan pada pasien

sebagai mengencer sekret pada hidung mengental pada pasien. Obat cuci hidung berupa NaCl

0,9% diberikan sebagai pembersih hidung.

Pada pasien dianjukan untuk tatalaksana berupa pembedahan, karena pada riwayat

pengobatan sebelumnya tidak menunjukkan perbaikan yang berarti.17

Page 36: Crs minggu 2 kelompok 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Cetakan III. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2014. p. 96-103.

2. Dhingra PL, Dhingra Shruti, Dhingra Deeksha. Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery.6th edition. Elsevier: 2014. p. 134-9.

3. Tortora GJ, Derrickson BH. Principle of anatomy and physiology. 12th edition. John Wiley & Sons inc; 2009. p. 599-600.

4. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. Classification and definition of rhinosinusitis. In: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. Rhinology. 2012 March; 50(23): 5-8.

5. Hussain Musheer. Head and Neck Surgery. Taylor and Francis Group: 2016. p.3-12.

6. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6 Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2007. p 150-4.

7. Lane AP, Kennedy DW. Sinusitis and polyposis. In: James BS, editor. Ballenger’s manual of otorhinolarungology head and neck surgery (e-book). BC Decker; 2002. p. 276-7.

8. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.

9. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. Chronic rhinosinusitis with or without nasal polyps (CRSwNP or CRSsNP). In: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. Rhinology. 2012 March; 50(23): 55-110.

10. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. Pocket guide European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2007. p.9

11. Puruckher M, Byrd r, Roy T, Khrisnaswany G. The diagnosis and management of chronic rhinosinusitis, Johnson City; Departemen of medicine East Tennese State University;2008.

12. Singh Vishwambhar, Tiwari KM. An Update of Rhinosinusitis. Dalam ISSN Volume 4 Issue I. 2014.

13. Deepthi NV, Menon UK, Madhumita K. Amrita Journal of Medicine: Chronic Rhinosinusitis – an overview. 2012.

Page 37: Crs minggu 2 kelompok 2

14. Siccoli, MM, Bassetti CL, Sandor PS. Facial Pain: Clinical Differential Diagnosis. Lancet Neurol 2006; 5: 257-67.

15. Dhingra PL, Dhingra S. 2014. Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery. India: Elsevier.

16. Budiman BJ, Asyari Ade. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas. P.1-7

17. Mulyarjo. Terapi Medikamentosa pada Rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga, 2004; 59-65.