Case Report session
Rinosinusitis Kronik
Oleh :
Elfon Lindo Pratama 1210312038
Ranny Anneliza 1210313056
Preceptor :
dr. Al Hafiz, Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT
TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk seperti piramid yang terdiri atas pangkal hidung, batang hidung,
puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. Hidung tersusun atas tulang rawan
dan kerangka tulang, kemudian dilapisi oleh kulit, otot, dan jaringan ikat. Kerangka tulang
pada hidung terdiri atas tulang hidung, prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os
frontal. Tulang rawan pada hidung terdiri atas sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior, dan tepi anterior kartilago septum.1
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya
rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1
Gambar 1. Struktur dinding lateral hidung2
Hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan posterior untuk bagian atas
rongga hidung, a. palatina mayor untuk bagian bawah rongga hidung, cabang a. fasialis untuk
bagian depan hidung. Pada bagian depan septum terdapat pleksus Kiesselbach, yang
merupakan anastomosis dari cabang a, sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior,
dan a. palatina mayor. Pleksus Kiesselbach ini mudah cedera karena trauma, sehingga
menjadi sumber epistaksis.1
Hidung memiliki 10 – 100 juta reseptor untuk penciuman yang mengandung epitelium
olfaktori dan menempati bagian superior dari rongga nasal. Epitelium olfaktori memiliki 3
jenis sel yaitu reseptor olfaktori, sel penyokong, sel basal.3
Reseptor Olfaktori adalah neuron pertama dalam jalur olfaktori. Setiap reseptor bersifat
bipolar dan berbentuk dendritik “knob-shape” dan akson menyalurkan rangsang menuju
olfaktori bulb. Rambut olfaktori (silia perpanjangan dari dendritik) adalah bagian yang
menangkap respon terhadap senyawa kimia yang terhisap. Senyawa kimia yang memiliki bau
maka dapat merangsang rambut olfaktori disebut dengan odorants. Reseptor olfaktori
merespon setiap stimulasi kimia dari molekul odorant dengan memproduksi potensial
generator. 3
Sel penyokong berupa sel epitel kolumnar dari selaput lendir yang melapisi hidung.
Bagian ini memiliki fungsi seperti support fisik, pemberi nutrisi, pengantar listrik untuk
reseptor penciuman, dan detoksifikasi kimia. Sel Basal adalah sel induk yang terletak diantara
sel-sel penyokong yang terus membelah dan membentuk sel penciuman yang baru, dimana
umur sel penciuman hanya sekitar 1 bulan. Proses ini istimewa karena neuron dewasa
umumnya tidak diganti. 7
Dalam jaringan ikat yang menyokong epitel penciuman terdapat kelenjar olfaktori
(kelenjar bowman’s) yang berfungsi untuk memproduksi mukus dan nantinya dibawa ke
permukaan melalui duktus. Fungsinya adalah untuk membasahi permukaan epitelum olfaktori
dan melarutkan odorant sehingga proses transduksi dapat terjadi. Sel penyokong dan kelenjar
olfaktori diinervasi oleh cabang saraf fasialis. Impuls balik yang dihasilkan menuju ke
kelenjar lakrimal dan kelenjar mukosa nasal sehingga menyebabkan produksi air mata dan
sekret hidung ketika menghirup substansi seperti bubuk cabai.3
Di dalam hidung terdapat celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka
media dan lamina papirasea yang dikenal dengan kompleks ostiomeatal (KOM). KOM
berfungsi sebagai ventilasi dan drainase dari sinus maksila, etmoid, dan frontal. KOM
dibentuk oleh prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi, dan resesus frontal.1
1.2 Fisiologi Hidung
Hidung memiliki fungsi fisiologis berupa fungsi penghidu, fungsi respirasi fungsi
fonetik, fungsi statik dan mekanik, dan reflek nasal.1
1.2.1 Fungsi Penghidu
Terdapat 10.000 bau yang berbeda yang dapat dirasakan oleh manusia yang timbul dari
kombinasi aktivasi reseptor penciuman. Reseptor penciuman berekasi terhadap molekul bau
dengan jalur yang sama seperti resptor yang bereaksi terhadap stimulus yang spesifik. Dalam
hal ini akan terjadi depolarisasi dan memicu satu atau lebih impuls saraf. Reseptor penciuman
tergabung dengan protein membran yang disebut protein G yang dapat mengaktifkan enzim
adenilat siklase. Hasilnya berupa produksi siklik adenosine monofosfat yang akan membuka
kanal sodium yang menyebabkan masuknya sodium dan terjadi depolarisasi potensial yang
merangsang impuls saraf sepanjang akson reseptor penciuman. 3
1.2.2 Fungsi Respirasi
Hidung merupakan salah satu jalur masuknya udara ke paru-paru. Udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan turun ke arah nasofaring. Udara
yang dihirup akan dihumidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung akan
diatur oleh pembuluh-pembuluh, permukaan konka dan septum sehingga suhu udara akan
menjadi sekitar 37 derajat Celcius. Udara yang melewati hidung pun akan disaring dari
partikel debu, virus, dan bakteri oleh rambut, silia, palut lendir.1
1.2.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung berperan pentinng dalam menentukan kualitas suara ketika
berbicara dan bernyanyi. Jika hidung mengalami penyumbatan, maka akan terjadi penurunan
resonansi yang akan menyebabkan suara sengau. Hidung juga berperan dalam membentuk
kata bersama dengan lidah, bibir, dan palatum mole.1
1.2.4 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler, dan pernapasan. Pada iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
dan napas berhenti.Ransang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung,
dan pankreas.1
1.3 Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah organ tubuh manuisa yang sulit dideskripsikan karena pada tiap
individu sangat bervariasi bentuknya. Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar: sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Sinus ini terbentuk dari pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. 4
1.3.1 Sinus Maksila
Sinus maksilaris berada di belakang os maksila. Sinus ini berbentuk pyramid. Ukuran
sinus maksila merupakan ukuran terbesar dengan ukuran volume 6-8 ml dan mencapai 15 ml
saat dewasa. Batas anterior berupa permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina,
batas posteriornya permukaan infra-temporal maksila, batas medial dinding lateral rongga
hidung, batas superiornya dasar orbita, batas inferiornya prosesus alveolaris dan apaltum. 2,5
Dari hal berikut, beberapa hal yang diperhatikan : 1) dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
terkadang gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi dapat menonjol ke dalam
sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas sehingga menyebabkan sinusitis; 2)
sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak
lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia dan drainase
harus melalui infundibulum yang sempit. Alergi dan radang pada daerah infundibulum dan
sinus etmoid anterior dapat mengganggu drainase sinus maksila. 4
1.3.2 Sinus Frontal
Keberadaan sinus frontal bervariasi, sekitar 5% populasi tidak memiliki sinus frontal.
Sinus frontal terletak di os frontal terbentuk sejak bulan keempat fetus, lalu mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran maksimal sebelum umur 20 tahun.
Ukuran sinus frontal tidak sama kanan dan kiri, aka nada salah satu bagian yang lebih besar.
15% orang dewasa hanya memiliki satu sinus frontal. Ukuran sinus frontal 2,8 cm tingginya,
lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal bersekat-sekat dan tepinya berlekuk-
lekuk, bila tidak terdapat gambaran lekukan dinding sinus pada foto rontgen maka terdapat
infeksi sinus. 4,5
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi sinus frontal mudah menjalar pada daerah ini.
1.3.3 Sinus Etmoid
Sinus ini berbentuk paling bervariasi dan menjadi sumber infeksi bagi sinus lainnya.
Pada orang dewasa sinus ini berbentuk pyramid pada dasarnya.dengan ukuran : anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm. bentuk isnus ini berongga-rongga yang
memiliki sel-sel menyerupai sarang tawon terletak di bagian lateral os etmoid.4
Sinus ini dibagi menjadi dua, yaitu sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius dan sinus posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus
etmoid anterior merupakan bagian yang lebih sempit, disebut ressesus frontal, bagian ini
berhubungan dengan sinus frontal. Penyempitan di sinus etmoid anterior disebut
infundibulum tempat bermuara sinud maksila. Pembengkakan atau peradangan di resessus
frontal dapat menyebabkan sinusitis sinus frontal, dan peradangan pada infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila. 4
1.3.4 Sinus Sfenoid
Sinus ini terletak di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus ini
dibagi menjadi dua yang dipisahkan oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Sinus ini
berukuran 2 cm untuk tingginya, 2,3 cm untuk kedalamannya, dan 1,7 cm untuk lebarnya.
Volumenya berkisar antara 5-7,5 ml. 4
Sinus sfenoid berbatas dengan fosa serebri media pada bagian superior, bagian
inferiornya berbatasan dengan atap nasofaring., sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a. karotis interna, dan sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons. 4
Gambar 2. Anatomi sinus paranasal4 Gambar 3. Kompleks Ostteomeatal4
1.5 Fungsi Sinus Paranasal
- Sebagai Pengatur Kondisi Udara (air conditioning)
- Sebagai Penahan Suhu (thermal insulator)
- Membantu keseimbangan kepala
- Membantu Resonansi Suara
- Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
- Membantu produksi Mukus6
1.6 Definisi Klinis Rinosinusitis
Rinosinusitis pada dewasa didefinisikan sebagai inflamasi dari hidung dan sinus
paranasal dengan dua atau lebih gejala dimana salah satunya yaitu obstruksi nasal atau
kongesti nasal (anterior/posterior nasal drip): nyeri wajah atau penurunan atau gangguan
pembau ditambah dengan salah satu tanda dari endoksopi
Polip nasal dan/ atau
Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/atau
Obstruksi/ edema mukosa pada meatus medius dan/atau perubahan pada CT Scan yaitu
perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal (KOM) dan/ atau sinus
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dibagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang,
berat dengan mengacu pada nilai VAS dimana
Ringan : VAS 0-3
Sedang : VAS >3-7
Berat : VAS >7-10
Berdasarkan durasi penyakitnya, rinosinusitis dikatakan akut jika terjadi kurang dari
12 minggu dengan gejala yang sembuh total. Sementara itu, dikatakan sebagai kronik jika
gejala terjadi lebih sama dengan 12 minggu tanpa resolusi gejala yang komplit. Selain itu,
pada rinosinusitis kronik dapat terjadi eksaserbasi.7
1.7 Faktor yang Berkaitan dengan Rinosinusitis Kronik
1. Gangguan silia
Silia memiliki peran yang penting dalam hal pembersihan sinus dan pencegahan inflamasi
kronik. Diskinesia silia sekunder ditemukan pada pasien rinosinusitis kronik dan dapat
reversibel walaupun membutuhkan waktu. Selain itu, pada pasien dengan riwayat infeksi
saluran napas jangka panjang biasanya memiliki rinosinusitis kronik (RSK) berkaitan dengan
diskinesia siliar.
2. Alergi
Atopi meningkatkan predisposisi perkembangan dari RSK. Sebuah postulat mengatakan
bahwa pembengkakan mukosa nasal pada rinitis alergi di ostium sinus menyebabkan retensi
mukus dan infeksi. Benninger melaporkan bahwa 54% pasien rawat jalan dengan RSK
memberikan hasil positif pada uji cukit kulit. Data epidemiologi menunjukkan bahwa
peningkatan prevalensi rinitis alergi pada pasien RSK, namun peran alergi pada RSK masih
tidak jelas.Selain itu, Kern mengemukakan bahwa polip nasal ditemukan pada 25,6% pasien
alergi dibandingkan dengan 3,9% populasi kontrol. Pang et al. juga mengemukakan bahwa
tingginya prevalensi tes makanan intradermal yang positif (81%) terdapat pada pasien dengan
polip nasal dibandingkan dengan 11% pada kelompok kontrol. Dengan demikian, penelitian
lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui peran alergi makanan dalam menyebabkan polip
nasal.
3. Asma
Pasien RSK dengan polip nasal seringkali berkaitan dengan pasien asma, namun hubungan
antara keduanya masih belum dimengerti. Studi pada radiografi memperlihatkan abnormalitas
sinus mukosa pada pasien asma dimana pasien asma yang bergantung steroid memiliki 88%
perubahan mukosa yang abnormal dibandingkan dengan asma ringan hingga sedang. Studi
GA2LEN menunjukkan hubungan yang kuat antara asma dengan RSK dan rinitis alergi.
Selain itu, pada pasien asma, polip nasal berkembang dalam waktu 9 hingga 13 tahun, namun
menjadi 2 tahun pada pasien asma yang diinduksi oleh aspirin. Alobid et al. memperlihatkan
bahwa pasien RSK dengan polip nasal memiliki gangguan pembau sehingga asma yang
persisten memiliki dampak terhadap berkurangnya pembau sehingga hal ini digunakan untuk
melihat derajat berat ringannya polip nasal maupun asma.
4. Sensitif aspirin
Pasien yang sensitif aspirin menunjukkan 36-96% memiliki RSK dengan polip nasal dan
hingga 96% memperlihatkan perubahan radiografi yang memengaruhi sinus paranasal. Zhang
et al. menemukan bahwa antibodi IgE terhadap enterotoksin dapat dijumpai pada sebagian
besar pasien polip nasal yang sensitif aspirin.
5. Keadaan imunokompromis
Studi pada infeksi HIV, Porter et al melaporkan bahwa rinosinusitis terdapat pada lebih dari
setengah populasi pasien positif HIV dan merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai
pada populasi tersebut. Namun, tidak terdapat perbedaan beratnya gejala sinonasal pada
pasien positif HIV dengan AIDS dan jumlah sel CD4+. Organisme atipikal seperti
Aspergillus spp., Pseudomonas aeruginosa, dan microsporidia, serta neoplasma seperti
limfoma non-Hodgkin menyebabkan masalah sinonasal pada pasien AIDS.
6. Faktor genetik
Tidak ada hubungan antara abnormalitas genetik dengan RSK. Namun, peran faktor genetik
pada RSK dapat diaplikasikan pada pasien dengan fibrosis kistik dan diskinesia silier primer.
7. Kehamilan dan endokrin
Sekitar seperlima wanita hamil mengalami kongesti nasal. Sayangnya, patogenesis dari hal
ini masih belum dapat dijelaskan walaupun terdapat beberapa teori. Salah satunya
berhubungan dari efek langsung hormon estrogen, progesterol, dan pertumbuhan plasenta
pada mukosa nasal dan hubungan tidak langsung seperti perubahan vaskular. Selain itu,
disfungsi tiroid berdampak pada RSK, namun terdapat keterbatasan data prevalensi pasien
RSK dengan hipotiroidisme.
8. Faktor host lokal
Tidak ada bukti hubungan sebab akibat antara variasi anatomi nasal dengan kejadian RSK.
9. Biofilm
Banyak bakteri patogen mengolonisasi permukaan polip nasal yang membentuk biofilm.
Pasien polip nasal dengan keberadaan biofilm berkaitan dengan beratnya penyakit dan
buruknya prognosis pascaoperasi. MRSA tampaknya tidak menjadi risiko yang besar
terhadap morbiditas pasien, namun tingginya prevalensi S.aureus dan resistensi antimikroba
pada pasien RSK membuat pentingnya menetapkan terapi antimikroba berbasis kultur untuk
mencegah hal ini.
10. Faktor lingkungan
Merokok berkaitan dengan tinggi RSK di Kanada dan di seluruh Eropa. Selain itu, faktor
yang berkaitan dengan gaya hidup diduga terlibat dalam proses inflamasi kronik dari RSK
dengan polip nasal seperti pendapatan rendah, polutan tinggi, pekerjaan sebagai operator
mesin, dan lainnya.
11. Iatrogenik
Salah satu penyebab kegagalan bedah sinus ialah faktor iatrogenik. Beberapa alasan
kegagalan bedah sinus yaitu tingginya jumlah sinus mukokoles dan resirkulasi mukus yang
keluar dari ostium maksila dan kembali membuat antrostomi sehingga meningkatkan risiko
infeksi sinus persisten.
12. Helicobacter pylori dan refluks laringofaringeal
DNA H. pylori terdeteksi pada 11-33% sampel sinus dari pasien RSK dengan polip nasal.
Namun, belum ada bukti untuk memberikan terapi anti refluks pada RSK refraktori dan tidak
ada bukti refluks asam menjadi faktor penyebab pada RSK dengan polip nasal.
13. “Osteotitis”7
1.8 Patofisiologi Rinosinusitis
Rinosinusitis akut disebabkan oleh berbagai penyebab dimana termasuk di dalamnya
yaitu faktor host dan lingkungan. Penyebab terjadinya sinusitis akut diperkirakan akibat
terjadinya bakteri dalam rongga sinus pada sinus yang obstruksi. Namun, tidak hanya
obstruksi sinus saja yang mempredisposisi terjadinya penyakit tersebut, fungsi klirens
mukosilier dari mukosa juga berperan dalam menyingkirkan bakteri. Obstruksi ostium yang
reversibel didapatkan pada infeksi virus saluran napas atas, alergi, iritan, dan barotrauma.
Organ-organ yang membentuk kompleks osteomeatal (KOM) letaknya berdekatan sehingga
edema akan memicu pertemuan mukosa sehingga silia tidak dapat bergerak dan terjadi
obstruksi ostium. Hal ini menyebabkan tekanan negatif sehingga terjadi transudasi yang
dianggap sebagai rinosinusitis non-bakteri dan sembuh tanpa pengobatan.Sementara itu,
kelainan anatomi menjadi penyebab obstruksi yang sifatnya tidak reversibel. Kemudian,
terjadi hipoksia lokal dalam rongga sinus dan akumulasi sekret dari sinus. Kombinasi tekanan
oksigen yang rendah dan akumulasi sekret sinus merupakan media pertumbuhan yang baik
bagi bakteri sehingga menyebabkan sekret menjadi purulen. Hal ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakteri dan membutuhkan terapi antibiotik. Selain itu, penyakit sistemik
seperti DM, malnutrisi, kemoterapi, penggunaan kortikosteroid jangka panjang membuat
keadaan pasien menjadi imunokompromis yang berpotensi untuk terjadinya sinusitis akut.
Patofisiologi dari sinusitis kronik belum tentu berasal dari infeksi dimana kebanyakan akibat
proses inflamasi. Pada sinusitis akut, proses eksudatif yang ditandai dengan infiltrasi neutrofil
dan nekrosis merupakan gambaran yang mendominasi, sementara itu, pada sinusitis kronis,
sel infiltratif yang dominan yaitu eosinofil baik pada pasien alergi maupun non alergi.
sensoris sehingga menyebabkan nyeri dan menstimulasi sekresi mukosa dan permeabilitas
endotel melalui jalur refleks. Pada rinosinusitis kronik terlihat perubahan mukosa menjadi
hipertrofi, poplipoid atau pembentukan polip dan kista yang membutuhkan tindakan operasi.
Kemokin yang menarik eosinofil dihasilkan oleh mukosa sinus berkolaborasi dengan
berbagai jenis sel akibat stimulasi sitokin yang diproduksi oleh sel T. Peningkatan IL-4 dan
IL-5 pada traktus sinonasal memperpanjang eosinofil berada di traktus tersebut. Degranulasi
eosinofil melepaskan beberapa enzim destruktif yang merusak epitel sehingga mengganggu
fungsi normal dari barier dan aktivitas mukosilier mukosa. Dengan demikian, dapat terjadi
kolonisasi dari bakteri dan jamur pada rongga sinus. Kerusakan epitel ini mengiritasi ujung
saraf.8,9
Gambar 4. Patofisiologi Rinosinusitis10
2.9 Manifestasi Klinis Dan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis rinosinsusitis secara umum ada dua kriteria yang
digunakan yaitu kriteria Rhinosinusitis Task Force oleh AAO-HNS dan kriteria yang baru
saja di revisi oleh EPOS tahun 2012.7
1. Kriteria Rhinosinusitis Task Force
Tabel 1. Kriteria diagnostic task force untuk rinosinusitis
2. Kriteria EPOS 2012
Tabel 2. Kriteria EPOS 2012 untuk Rinosinusitis
1.10 Pemeriksaan Penunjang
1. Transluminasi (diafanoskopi)6
Dilakukan dikamar gelap, memakai sumber cahaya penlight yang dimasukkan ke
dalam mulut dan bibir dikatupkan.Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit terang di
infraorbita. Pada sinus tampak suram.11
2. Pemeriksaan radiologi6,12
Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Caldwell, Waters dan lateral. Posisi Caldwell
untuk menilai sinus frontal, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sehingga
membentuk 15o pada garis OML (orbito meatal line). Posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara
menengadahkan kepala pasien sehingga terbentuk sudut 37o pada garis OML (orbito meatal
line). Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid.
Posisi Waters dinilai dengan menggunakan skor derajat kejernihan radiologi. Hasil skoring
posisi Waters sebagai berikut :
Skor 0 sampai dengan skor 2 = positif
Skor 3 sampai dengan skor 4 = negatif
Skor Keterangan
0 Seluruh rongga berkabut padat
1 Tepi rongga berkabut (menebal luas), tetapi daerah radiolusen < sekitar 25
%
2 Tepi rongga berkabut (menebal > 4 mm), tetapi daerah radiolusen masih >
25 % s/d < 50 %
3 Tepi rongga berkabut (menebal < 4 mm), daerah radiolusen > sekitar 50 %
4 Rongga sinus maksilaris seluruhnya radiolusen
Tabel 3. Skor derajat kejernihan radiologi posisi Waters
CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan
suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada
pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis MRI
sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai sinusitis, tapi
memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.
.
1.11 Penatalaksanaan
a. Rinosinusitis akut
- Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik.
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase
dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari.
Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni
amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan
terapi tambahan.
Jika selanjutnya ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
- Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal.
- Jika tidak ada perbaikan setelah terapi antibiotik maka dilakukan rontgen-polos atau CT
Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis
yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
- Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan
b. Rinosinusitis Subakut
- Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus.
- Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa
dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
- Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi
sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
- Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal
atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus
cara Proetz.
c. Rinitis Kronis
- Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus.
- Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa
dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
- Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi
sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
- Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal
atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus
cara Proetz.
- Jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal
maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada
obstruksi, maka evaluasi diagnosis.
- Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan antrostomi dan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
Indikasi Pembedahan: 12
- Jika pasien tidak memberikan respon optimal terhadap terapi medikamentosa
- Rinosinusitis akut yang rekuren
- Rinosinusitis alergi dengan infeksi fungi
- Sinonasal polyposis
- Rinosinusitis akut dengan komplikasi
- Mukokel pada sinus
- Polip di antrokoana
Kontraindikasi:3
- Pasien dengan polip yang ekstensif atau alergi fungal yang tidak akan bertahan dengan
terapi medikamentosa post operatif
- Pasien dengan keluhan utama sakit kepala atau nyeri wajah bagian tengah yang tidak
khas seperti rinosinusitis walaupun CT scan menunjukkan gambaran bayangan infiltrate
pada sinus
- keadaan-keadaan yang memperberat risiko operasi
- sinus denga hipoplasia yang nyata dan/atau tulang yang keras (relative) 6,12,13
2.12 Komplikasi Dan Prognosis6,13
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis
dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
Peradangan atau reaksi edema yang ringan.
Selulitis
Abses subperiosteal
Abses orbita
Trombosis sinus kavernosus
Kelemahan pasien.
Tanda-tanda meningitis
b. Mukokel
c. Komplikasi Intra Kranial
Meningitis akut
Abses dura
Abses subdural
Abses otak
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.
Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat
simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang
baik. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) akan mengembalikan fungsi sinus dan
gejala akan semubuh secara komplit atau moderat sekita 80-90% pada pasien dengan sinusitis
kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsive terhadap medikamentosa.6,12,13
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Tanggal Pemeriksaan : 23 Agustus 2016
Nama : Ny. I
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Jln. Raya Siteba No.26, Komplek Kodem H4
Suku Bangsa : Minangkabau
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 34 tahun datang ke Poliklinik RSUP M.Djamil Padang
pada tanggal 23 Agustus 2016 dengan
Keluhan Utama : Nyeri pada kedua pipi sejak 3 bulan yang lalu
Keluhan Tambahan : Hidung semakin tersumbat disertai cairan hidung kekuningan pada
kedua sisi sejak 3 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Awalnya, hidung berair sudah dirasakan pasien sejak kecil, encer, jernih, dan
munculnya hilang timbul. Sejak 3 bulan ini, cairan hidung lebih kental, berwarna
kekuningan pada kedua sisi, dan kambuh setiap 2 minggu.
Hidung tersumbat terus-menerus dan semakin meningkat pada kedua sisi dalam 3
bulan ini
Nyeri pada kedua pipi sejak 3 bulan yang lalu dan terasa lebih berat saat
menundukkan kepala
Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk pada kedua sisi sejak 3 bulan yang lalu
Pasien merasakan lendir yang mengalir dari hidung ke tenggorok sejak 3 bulan yang
lalu
Penciuman dirasakan berkurang pada kedua hidung
Demam (+) hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu
Nafsu makan menurun dan tidak terdapat penurunan berat badan yang berarti
Riwayat sakit gigi atau gigi berlubang disangkal
Aktivitas sehari-hari mulai terganggu
Riwayat trauma disangkal
Riwayat operasi hidung atau operasi THT lainnya tidak ada
Pasien sudah berobat ke RS swasta sejak 2 bulan yang lalu dan telah dilakukan
rontgen. Pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan mendapatkan obat siprofloksasin 2x500 mg, loratadin 1x10 mg,
metilprednisolon 2x4 mg, dan obat cuci hidung. Namun, saat ini keluhan tidak terasa
membaik.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat bersin-bersin berulang >5x, hidung gatal, dan mata berair
saat terpapar dengan suhu dingin dan debu
Riwayat dermatitis atopik, konjuntivitis alergi, asma bronkial, urtikaria, dan alergi
makanan disangkal
Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Anak pasien yang kedua juga memiliki alergi terhadap debu dan suhu dingin
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan :
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta
Riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 102 x/menit
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 37.8 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : normochepal
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB
Thorak : kor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telinga
Kel kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Liang & Dinding telinga
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret/serumen
Bau Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Jumlah Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Membran timpani
Utuh
Warna Putih mengkilat Putih mengkilat
Reflek cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Perforasi
Kwadran Tidak ada Tidak ada
Pinggir Tidak ada Tidak ada
Gambar Membran Timpani
Mastoid
Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tes Garpu Tala
Rinne ( + ) ( + )
Schwabach Sama dengan pemeriksa
Sama dengan pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Normal Normal
Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Timpanometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dektra Sinistra
Hidung luar
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Ada pada sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis
Ada pada sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis
Nyeri ketok Ada Ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum Nasi
Cukup lapang (N) Sempit Sempit
Sempit Ada Ada
Lapang Tidak ada Tidak ada
Sekret
Lokasi Konka media
Konka inferior
Konka media
Konka inferior
Jenis Purulen Purulen
Jumlah Sedikit Sedikit
Bau Tidak ada Tidak ada
Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah Muda Merah Muda
Permukaan Licin Licin
Edema Ada Ada
Konka media
Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah Muda Merah Muda
Permukaan Licin Licin
Edema Ada Ada
Cukup lurus/ deviasi Deviasi ke kiri
Permukaan Licin Licin
Septum Warna Merah Muda Merah Muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada
Pengaruh vasokonstriktor
Tidak ada Tidak ada
Gambar Rinoskopi Anterior
Rinoskopi Posterior
Tidak dilakukan
Orofaring dan mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Trismus Tidak ada Tidak ada
Uvula Edema Tidak ada Tidak ada
Bifida Tidak ada Tidak ada
Simetris/tidak Simetris Simetris
Palatum mole + Arkus Faring
Warna Merah muda Merah muda
Edem Tidak ada Tidak ada
Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin
Tonsil
Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara kripti Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Peritonsil
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Gigi Karies/Radiks Tidak ada
Kesan Baik
Lidah
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal
Deviasi Tidak ada
Massa Tidak ada
Gambar Orofaring (Mulut)
Laringoskopi Indirek
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Inspeksi : tidak terlihat adanya pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening
RESUME
1. Anamnesis
Seorang perempuan, 34 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kedua pipi sejak 3
bulan yang lalu serta terasa lebih berat saat menundukkan kepala. Pasien juga
mengeluhkan hidung tersumbat terus-menerus dan semakin meningkat pada kedua sisi
dalam 3 bulan ini. Hidung berair juga dirasakan sejak kecil, encer, jernih, dan munculnya
hilang timbul lalu berubah warna menjadi kekuningan, dan lebih kental pada kedua sisi
hidung sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga merasakan ada lendir yang mengalir dari
hidung ke tenggorok dan penciuman dirasakan berkurang.
Pasien juga mengeluhkan demam dan sakit kepala. Pasien sudah berobat ke RS
swasta dan dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk pemeriksaan lebih lanjut dan
mendapatkan obat siprofloksasin 2x500 mg, loratadin 1x10 mg, metilprednisolon 2x4 mg,
dan obat cuci hidung. Namun, saat ini keluhan tidak terasa membaik.
Pasien memiliki riwayat bersin-bersin berulang >5x, hidung gatal, dan mata berair
saat terpapar dengan suhu dingin dan debu. Anak pasien yang kedua juga memiliki alergi
terhadap debu dan suhu dingin.
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, nadi
102x/menit, dan suhu 37,8oC. Pada pemeriksaan sinus paranasal, nyeri tekan (+) pada
sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis kiri dan kanan. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior, didapatkan kavum nasi sempit, sekret (+) purulen, sedikit di konka media dan
inferior, konka merah muda, edema (+), serta septum deviasi ke kiri berupa krista.
3. Diagnosis Kerja : rinosinusitis kronis ec deviasi septum et susp rinitis alergi persisten
sedang-berat
4. Diagnosis Tambahan : -
5. Diagnosis Banding : -
6. Pemeriksaan Penunjang : rontgen dan CT-Scan
7. Pemeriksaan Anjuran : skin prick test, kultur sekret hidung dan uji sensitivitas
8. Terapi : siprofloksasin 2x500 mg
loratadin 1x10 mg
rhinofed® 3x1 per hari
metilprednisolon 2x4 mg
ambroxol 3x1 tab
obat cuci hidung dengan NaCl 0,9%
9. Terapi Anjuran : septoplasti
10. Prognosis :
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
BAB 3
DISKUSI
Seorang pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada kedua pipi sejak 3 bulan yang
lalu. Penyebab terbanyak nyeri pada daerah wajah adalah rinosinusitis, dan berbagai
kemungkinan lain seperti gangguan sendi temporomandibular, neuralgia trigeminal, atau
idiopatik. Namun, nyeri pada neuralgia trigeminal berlangsung sebentar dan pada umumnya
unilateral sehingga kemungkinan neuralgia trigeminal dapat disingkirkan. Gangguan pada
sendi temporomandibular juga dapat disingkirkan karena nyeri yang dirasakan pada pasien
bertambah saat menunduk, dan bukan dicetuskan oleh mengunyah.14 Oleh karena itu, nyeri
yang dialami pasien mungkin akibat rinosinusitis. Nyeri pada sinusitis disebabkan oleh
akumulasi sekret pada sinus yang terganggu.15
Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat terus-menerus dan semakin meningkat pada
kedua sisi dalam 3 bulan ini. Keluhan hidung tersumbat bilateral dapat disebabkan oleh
beberapa kondisi, seperti deviasi septum nasi, polip hidung, rhinitis alergi, rhinitis vasomotor,
sinusitis kronis, pembesaran konka, benda asing, tumor nasofaring, atresia koana, adenoid,
atau perubahan suhu dan kelembaban. Pada rinosinusitis, keluhan hidung tersumbat dapat
diakibatkan karena edema mukosa dan konka hidung serta sekret yang terakumulasi dalam
kavum nasi.15
Hidung berair juga dirasakan pasien sejak kecil, encer, jernih, dan munculnya hilang
timbul lalu berubah warna menjadi kekuningan, dan lebih kental pada kedua sisi hidung sejak
3 bulan yang lalu. Hidung berair dapat disebabkan oleh infeksi hidung, alergi hidung,
sinusitis, tumor hidung, atau benda asing di hidung. Pada pasien ini, sekret dihasilkan
bilateral sehingga kemungkinan benda asing pada hidung dan tumor hidung lebih kecil.
Sekret yang purulen menunjukkan kemungkinan adanya infeksi hidung atau sinusitis, bukan
seperti rinitis alergi yang menghasilkan sekret yang jernih. Kondisi hidung berair yang encer,
jernih, dan hilang timbul sejak kecil mungkin menunjukkan adanya riwayat rinitis alergi pada
pasien ini atau infeksi hidung yang berulang.1
Pasien juga mengeluhkan adanya lendir yang mengalir dari hidung ke tenggorok.
Kondisi ini disebut sebagai post nasal drip (PND) biasanya sering ditemukan pada sinusitis.1
PND merupakan keluhan tersering dan sangat mengganggu sehingga memberikan rasa kering
dan terbakar pada daerah di belakang hidung dengan rasa yang tidak enak di daerah mulut.14
Penciuman juga dirasakan berkurang oleh pasien atau disebut sebagai hiposmia.
Etiologi hiposmia dapat disebabkan oleh obstruksi hidung, seperti pada rinitis alergi, rinitis
vasomotor, rhinitis atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip, atau tumor. Pada kasus
sinusitis, hiposmia terjadi karena akumulasi sekret serta kondisi lainnya yang menyebabkan
obstruksi hidung.1
Pasien juga mengeluhkan demam dan sakit kepala. Demam dapat diakibatkan oleh
proses infeksi yang terjadi pada pasien ini. Pada sinusitis, sakit kepala disebabkan oleh
akumulasi sekret terutama saat malam dan mengalir saat pasien berada dalam posisi tegak.14
Pasien sudah berobat ke RS swasta dan dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk
pemeriksaan lebih lanjut dan mendapatkan obat siprofloksasin 2x500 mg, loratadin 1x10 mg,
metilprednisolon 2x4 mg, dan obat cuci hidung. Namun, saat ini keluhan tidak terasa
membaik. Keluhan tidak terasa membaik mungkin disebabkan oleh etiologi penyakit yang
belum disingkirkan, diagnosis yang tidak tepat, penatalaksanaan yang salah, kepatuhan
pasien dalam penggunaan obat, atau penyebab lainnya.
Pasien memiliki riwayat bersin-bersin berulang >5x, hidung gatal, dan mata berair saat
terpapar dengan suhu dingin dan debu. Anak pasien yang kedua juga memiliki alergi terhadap
debu dan suhu dingin. Berdasarkan penjelasan ini, dapat disimpulkan kemungkinan pasien
memiliki riwayat rinitis alergi dengan dasar diagnosis berupa adanya bersin berulang >5x,
hidung gatal, dan mata berair saat terpapar dengan suhu dingin atau debu.
Dari pemeriksaan fisik, takikardi disebabkan oleh demam yang dialami pasien. Nyeri
tekan pada lokasi sinus maksilaris, etmoidalis, dan frontalis menunjukkan adanya proses
inflamasi yang terjadi pada daerah sinus tersebut. Kondisi ini ditemukan pada pasien dengan
sinusitis.1
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan kavum nasi sempit, sekret (+) purulen,
sedikit di konka media dan inferior, konka merah muda, edema (+), serta septum deviasi ke
kiri berupa krista. Hasil ini menunjukkan adanya proses inflamasi yang terjadi namun tidak
akut serta ditemukannya kelainan anatomis pada hidung yang dapat berkaitan dengan kondisi
pasien saat ini.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis kerja
rinosinusitis kronis ec deviasi septum et susp rinitis alergi persisten sedang-berat. Hidung
tersumbat ditambah dengan dengan sekret yang kekuningan disertai gejala-gejala lainnya,
seperti nyeri pada daerah sinus, adanya lendir yang mengalir dari hidung ke tenggorok, dan
penurunan fungsi penghidu mengarah ke kondisi rinosinusitis. Diagnosis ini didukung juga
dengan pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya sekret purulen, Rinosinusitis yang
dialami pasien dapat diklasifikasikan ke dalam rinosinusitis kronis karena prosesnya yang
telah berlangsung selama 3 bulan. Deviasi septum ditegakkan dari hasil pemeriksaan
rinoskopi anterior. Rinitis alergi persisten ditegakkan karena gejalanya > 4 hari per minggu.
Rinitis alergi sedang-berat ditegakkan karena telah mengganggu aktivitas sehari-hari
pasien.1,14,15
Sinusitis yang dialami pasien dapat disebabkan oleh adanya deviasi septum dan rinitis
alergi. Deviasi septum menyebabkan obstruksi mekanis sehingga terjadi gangguan drainase.
Akibatnya, silia rusak dan infeksi terjadi secara kronis. Pada rinitis alergi, mukosa menebal
dan menyebabkan terganggunya fungsi silia serta drainase tidak lancar. Kondisi inilah yang
menjadi dasar patofisiologi rinosinusitis kronis yang dialami oleh pasien ini.1,14
Penatalaksanaan pada rinosinusitis kronik terdiri atas penatalaksanaan medikamentosa
dan pembedahan, penatalaksanaa dipengruhi oleh latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung 17
Pemberian antibiotik berupa siprofloksasin didasarkan pada infeksi yang terjadi
diakibatkan oleh bakteri, hal ini dapat terlihat dari sekret hidung pasien yang berwarna
kekuningan. Antihistamin loratadin diberikan dengan bertujuan untuk mengatasi alergi
berupa alergi suhu dingin dan debu yang memperberat rinosinusitis pada pasien. Rhinosfed
merupakan salah satu dekongestan, pemberian rhinosfed bertujuan untuk menyusutkan
selaput hidung yang membengkak. Pemberian metilprednisolon sebagai kortikosteroid
diberikan sebagai terapi utama pada rinitis alergi sedang berat, selain itu pada kasus lain
seperti rinosinusitis kronik dengan polip nasi pemberian kortikosteroid juga menjadi pilihan
utama karena dapat menyusutkan polip. Mukolitik berupa ambroxol diberikan pada pasien
sebagai mengencer sekret pada hidung mengental pada pasien. Obat cuci hidung berupa NaCl
0,9% diberikan sebagai pembersih hidung.
Pada pasien dianjukan untuk tatalaksana berupa pembedahan, karena pada riwayat
pengobatan sebelumnya tidak menunjukkan perbaikan yang berarti.17
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Cetakan III. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2014. p. 96-103.
2. Dhingra PL, Dhingra Shruti, Dhingra Deeksha. Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery.6th edition. Elsevier: 2014. p. 134-9.
3. Tortora GJ, Derrickson BH. Principle of anatomy and physiology. 12th edition. John Wiley & Sons inc; 2009. p. 599-600.
4. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. Classification and definition of rhinosinusitis. In: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. Rhinology. 2012 March; 50(23): 5-8.
5. Hussain Musheer. Head and Neck Surgery. Taylor and Francis Group: 2016. p.3-12.
6. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6 Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2007. p 150-4.
7. Lane AP, Kennedy DW. Sinusitis and polyposis. In: James BS, editor. Ballenger’s manual of otorhinolarungology head and neck surgery (e-book). BC Decker; 2002. p. 276-7.
8. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
9. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. Chronic rhinosinusitis with or without nasal polyps (CRSwNP or CRSsNP). In: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. Rhinology. 2012 March; 50(23): 55-110.
10. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. Pocket guide European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2007. p.9
11. Puruckher M, Byrd r, Roy T, Khrisnaswany G. The diagnosis and management of chronic rhinosinusitis, Johnson City; Departemen of medicine East Tennese State University;2008.
12. Singh Vishwambhar, Tiwari KM. An Update of Rhinosinusitis. Dalam ISSN Volume 4 Issue I. 2014.
13. Deepthi NV, Menon UK, Madhumita K. Amrita Journal of Medicine: Chronic Rhinosinusitis – an overview. 2012.
14. Siccoli, MM, Bassetti CL, Sandor PS. Facial Pain: Clinical Differential Diagnosis. Lancet Neurol 2006; 5: 257-67.
15. Dhingra PL, Dhingra S. 2014. Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery. India: Elsevier.
16. Budiman BJ, Asyari Ade. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas. P.1-7
17. Mulyarjo. Terapi Medikamentosa pada Rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga, 2004; 59-65.