CRS General anestesi VP shunt
description
Transcript of CRS General anestesi VP shunt
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidrosefalus adalah suatu kondisi dimana terdapat cairan serebrospinal
(CSS) yang berlebihan di dalam ventrikel otak. Cairan serebrospinal merupakan
cairan yang steril yang diproduksi oleh pleksus Choroideus di dalam ventrikel.
Cairan serebrospinal yang berlebihan terjadi karena adanya ketidak seimbangan
antara jumlah yang diproduksi dengan laju absorpsi.1,2,3,4,5,6,7
Insiden seluruhnya dari hidrosefalus tidak diketahui. Prevalensi hidrosefalus
di dunia cukup tinggi, di Belanda dilaporkan terjadi kasus sekitar 0,65 permil
pertahun dan di Amerika sekitar 2 permil pertahun. Prevalensi hidrosefalus di
Indonesia mencapai 10 permil.5,6
Pengobatan hidrosefalus dapat melalui terapi medikamentosa dan terapi
pembedahan. Terapi medikamentosa digunakan hanya untuk sementara selama
menunggu intervensi bedah. Terapi ini tidak efektif untuk terapi jangka panjang
pada hidrosefalus kronik karena dapat mengganggu metabolisme. Pembedahan
merupakan terapi definitif hidrosefalus “gold standar” yaitu pemasangan VP
shunting menggunakan kateter silikon dipasang dari ventrikel otak ke peritonium.
Kateter dilengkapi katup pengatur tekanan dan mengalirkan CSS satu arah yang
kemudian diserap oleh peritonium dan masuk ke aliran darah.1,2,3,5,6,7
Pada laporan kasus ini dibahas seorang pasien bernama Tn. S usia 42 tahun
Dengan diagnosis hidrosefalus obstruktif et causa intraventrikular hemorrhage
dengan tindakan Pro VP Shunt.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
KUNJUNGAN PRA ANESTESI
2.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S Ruangan : Bedah
Umur : 42 tahun Diagnosis : Hidrosefalus obstruktif ec.
intraventrikular hemorrhage
Jenis Kelamin : Laki-laki Tindakan : Pro VP shunt
Alamat : Penyengat Olak RT. 07 BB/ TB/ BMI : 60 kg/ 167 cm / 21,6
No. RM : 805453 Golongan Darah : O
2.2. Hasil Kunjungan Pra Anestesi
2.2.1. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak ± 1 jam SMRS (1 Agustus 2015).
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak ± 4 hari SMRS, os menderita demam. Demam tidak terlalu tinggi dan
hilang ketika minum obat penurun panas. Selain itu, os juga mengeluh sakit
kepala, sakit kepala seperti ditekan, terjadi terus-menerus namun sesekali hilang.
Selanjutnya, os juga merasa pandangannya mulai kabur, sebelumnya mata os
belum kabur (os belum pernah periksa mata ke dokter mata). Lalu, os juga merasa
mual (+) setiap kali makan, muntah (+) sebanyak ± 3 kali, memuntahkan apa yang
dimakan. Selain itu, sesak napas (-), os juga tidak memiliki hambatan dalam
berjalan atau bergerak namun ia merasakan kaki dan tangannya kaku. Selanjutnya,
buang air besar 1-2 kali sehari, tidak terlalu keras ataupun lunak, warna seperti
biasanya. Untuk buang air kecil juga seperti biasa, 3-5 kali sehari, warna kuning
bening, nyeri (-), darah (-), perasaan tidak puas (-).
± 1 jam SMRS os kejang, Os mengalami kejang lebih dari 15 menit, jumlah
kejang 1 kali, kejang hanya menghentakkan tangan, mata melotot (-), keluar buih
2
(-). Setelah kejang, os langsung tidak sadarkan diri sehingga dibawa ke RSUD
Raden Mataher Jambi. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada.
Setelah satu hari dirawat dibagian ICU, os sadar dan keluhannya sedikit
berkurang. Lalu, tanggal 3 Agustus 2015 os dipindahkan ke bagian saraf dan
tanggal 4 Agustus 2015 os dipindahkan ke bagian bedah untuk persiapan operasi.
Pada saat pemeriksaan kunjungan pra anestesi keluhan pasien sudah tidak ada.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi (+).
- Riwayat asma (-).
- Riwayat DM (-).
- Riwayat batuk lama/TB (-).
- Riwayat operasi (-).
- Riwayat alergi obat (-).
- Riwayat penyakit lain (-).
E. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), Alkohol (-)
2.2.2. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : 15 ( E : 4, V : 5, M : 6)
- TD : 150/100 mmHg
- N : 84 x/menit
- S : 36,6°C
- RR : 18 x/menit
2. Kepala
a. Mata : sklera ikterik (-/-), conjungtiva anemis (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor (+/+), pergerakan bola mata dalam batas normal.
3
b. THT :
- Telinga : nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik auricula (-), nyeri tekan
mastoid (-), sekret (-).
- Hidung : deviasi (-), krepitasi (-), epistaksis (-).
- Tenggorokan : tonsil T1-T1, tidak hiperemis, mallampati 2
c. Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O
3. Thorax
- Inspeksi :
Pulmo : pergerakan dada simetris (D/S)
Cor : ictus cordis tidak terlihat.
- Palpasi :
Pulmo : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-),
krepitasi (-).
Cor : teraba di ICS 5 linea midclavicula sinistra selebar dua
jari.
- Perkusi :Pulmo : sonor, batas pulmo- hepar dalam batas normal. Cor : batas-batas jantung dalam batas normal.
- Auskultasi :Pulmo : vesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-)Cor : BJ I dan II reguler (+), murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen- Inspeksi : tampak datar, tidak tampak kelainan.- Auskultasi : bising usus (+) normal. - Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), distensi (-), sikatrik (-),
hepar/lien tidak teraba.- Perkusi : timpani (+)
5. Genitalia : tidak diperiksa.6. Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik, kekuatan motorik 5/5
4
2.2.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin (1/ 8 / 15)
Jenis Pemeriksaan Hasil NormalWBC 11,2 (3,5-10,0 103/mm3)
RBC 5,13 (3,80-5,80 106/mm3)
HB 14,2 (11,0-16,5 g/dl)HT 41,6 (35,0-50,0 %)PLT 292 (150-390 103/mm3)
CT 5,5 menitBT 5 menit
2. Kimia Darah Lengkap (1/ 8 / 15)
Parameter Hasil Harga NormalFAAL HATI
Bilirubin total 1,1 (<1,0 mg/dl)Bilirubin direk 0,4 (<0,2 mg/dl)
Bilirubin indirek 0,3Protein total 7,8 (6,4-8,4 g/dl)
Albumin 4,6 (3,5-5,0 g/dl)Globulin 3,2 (3,0-3,6 g/dl)SGOT 17 (<40 U/L)SGPT 4 (<41 U/L)
FAAL GINJALUreum 20,5 (15-39 mg/dl)
Kreatinin 1,1 (L 0,9-1.3; P 0,6-1,1 mg/dl)
GULA DARAHGlukosa puasa (<126 mg/dl)
Glukosa 2 jam PP (<200 mg/dl)Glukosa sewaktu 152 mg/dl (<200 mg/dl)
3. Elektrolit (1 / 8 / 2015)
Parameter Hasil Harga Normal
Natrium (Na) 130, 44 (135-148)Kalium (K) 3,30 (3.5-5.3)
Chlorida (Cl) 102,1 (98-110)Calcium (Ca+) 1.05 (1.12-1.23)
4. X-Ray thorax
5
Cor : CTR < 50 %Aorta dan mediastinum superior tidak melebar Trakea ditengah Hilus tidak melebar, corakan bronkovaskular baikTak tampak infiltrat Kedua sinus costofrenikus lancip, diafragma baikTulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik. Kesan : Cor dan pulmo normal
5. CT-Scan
Kesan : Hidrosefalus obstruktif ec. intraventrikular hemorrhage.
6. Pemeriksaan Penunjang Lain (-)
2.2.4. Status Fisik ASA : ASA III
BAB III
6
RENCANA TINDAKAN ANESTESI
3.1 Rencana Tindakan Anestesi
Diagnosis pra bedah : Hidrosefalus obstruktif ec. intraventrikular
hemorrhage.
Tindakan bedah : Pro VP Shunt
Status anestesi : ASA 3
Malampati : 2
3.2 Jenis / Tindakan Anestesi :
Tindakan Anestesi
1. Metode : General Anestesi
2. Premedikasi : Ranitidin 50 mg
Ondansetron 4 mg
3. Induksi : Propofol 100 mg
4. Intubasi/Relaksasi :
Dengan ETT no.7 difasilitasi dengan Artracurim 40 mg
5. Medikasi : Propofol 100 mg
Fentanil 100 mcg
Artracurium 40 mg
Reverse (SA 0,5 mg + Neostigmin 1 mg)
6. Maintenance : Sevofluran MAC 2 + N2O : O2
7. Respirasi : Napas kendali dengan Ventilator, Tidal Volume 500
ml, frekuensi 20x/i
8. Ekstubasi : setelah pasien sadar penuh
Keadaan penderita selama operasi
1. Posisi pasien : Supine
2. Intubasi : Oral, ETT no. 7
3. Penyulit intubasi : -
4. Penyulit waktu anestesi : tidak ada
7
5. Lama anestesi : + 1 jam 15 menit
6. Jumlah cairan
Input : RL 3 kolf (3 kolf habis 500 cc)
Total : 1500 ml
Output : Perdarahan (+ 20 cc), Urine (+ 200 cc)
Kebutuhan cairan pasien ini :
BB : 60 kg
Pemberian cairan :
M (Maintenance) = 2 ml x kgBB/jam
= 2 x 60
= 120 cc/jam
P (Puasa) = Maintenance x lama puasa
= 120 x 8
= 960 cc/jam
O (Operasi) = Operasi besar (BB x 8)
= 60 x 8
= 480 cc/jam
Total kebutuhan cairan pada pasien ini adalah :
I = ½ P + M + O
= ½ 960 + 120 + 480
= 1080 cc/jam
II = ¼ P + M + O
= ¼ 960 + 120 + 480
= 840 cc/jam
Maka, total kebutuhan cairan adalah: 1080 cc + 840 cc = 1920 cc
7. Monitoring :
8
Jam TD (mmHg) Nadi (x/i)10.25 150/80 5510.40 100/70 5510.55 130/98 5711.10 120/80 4811.25 110/80 5011.40 132/90 5911.55 140/90 60
3.3 Ruang Pemulihan (RR)
Masuk Jam : 11.55
Keadaan umum : GCS : 15
Pernapasan : O2 2 liter/menit
Skoring Alderete
Aktifitas : 1
Respirasi : 2
Warna kulit : 2
Sirkulasi : 2
Kesadaran : 2
Jumlah : 9
3.4 Instruksi Post Operasi
1. Awasi keadaan umum, tanda-tanda vital dan perdarahan setiap 15
menit selama 1x24 jam.
2. Tirah baring tanpa bantal selama 1x24 jam.
3. Puasa sampai sadar penuh dan bising usus (+).
4. IVFD analgetic ketorolac 30 mg + tramadol 100 mg dalam RL 500 cc
30 gtt/i.
5. Terapi sesuai instruksi dr. Apriyanto, Sp.BS.
3.5 Diagnosis Post-op
Post op VP Shunt a.i hidrosefalus obstruktif ec intaventrikular
hemorrahage.
9
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Anestesi Umum
4.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah kehilangan kemampuan untuk merasakan
sakit atau nyeri secara sentral, disertai oleh hilangnya kesadaran dan
bersifat reversible yang disebabkan karena pemberian obat atau intervensi
medis lainnya.6,7 Anestesi umum memiliki karakteristik menyebabkan
amnesia bagi pasien yang bersifat anterograd yaitu hilang ingatan kedepan
maksudnya pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia
dianestesi/operasi. Reversible yang berarti anestesi umum akan
menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.
Dahulu dikenal dengan istilah “Trias Anestesia” yaitu hipnosis,
analgesia dan arefleksia. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai
3 komponen tersebut, namun lebih luas. Komponen yang ada dalam
anestesi umum adalah :10
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran).
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit).
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
immobilisasi pasien).
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal.
5. Amnesia (hilangnya memori pasien saat menjalani operasi).
4.1.2 Keuntungan Dan Kerugian
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani
dibawah anestesi umum. Namun demikian semua teknis anestesi harus
dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi anestesi umum.10\
Keuntungan :10
10
a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kerugian :10
a. Sangat mempengaruhi fisiologis. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul di bawah anestesi umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.
4.1.3 Jenis Anastesi Umum
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu ; 6
1. Anestetik Inhalasi
Dalam dunia modern, anastetik inhalasi yang umum digunakan untuk
praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.7
Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap
serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli).6
a. N2O (nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
Gas ini bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang
digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik
lain. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat
keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah
11
hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10
menit.7
b. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah
otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak
disukai untuk bedah otak.7 Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah,
anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada
kontraindikasi.7
c. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi
nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif
dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap
otot lurik lebih baik dibandingkan halotan. 7
d. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak.7 Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia dengan hipotensi
dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping
halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia.
12
Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan
oleh badan. Belum ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia.7
2. Anestetik Intravena (Anestetik Parenteral)
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan
klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang
lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen
intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.7
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-
kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada
gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-
stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama
dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan
dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang optimum. 11
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada
anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa
tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental,
ketamin dan propofol.6,7
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol.7 Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam
obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat,
lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia,
disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan
oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi
fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung
pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan
pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan
kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi
pengaruh obat yang lain.6
13
a. Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).6 Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan
nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. 6
b. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).7 Onset cepat, lama
kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit,
lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme,
pemulihan cepat.12
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. 7 Efek
hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan
pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan
efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA (gamma-amino
butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.12
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan
juga tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik.
Efek negative inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler.
Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe
sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian opioid
preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan volume
14
tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat
menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan
intrakranial.12
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada
manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil
tidak dianjurkan.7
c. Ketamin
Ketamin adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi
disosiatif yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap
terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat
berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin
meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung
meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan
hipersekresi.
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada
IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi
penuh. Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit,
pada IM 5 menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub
anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100
mg). 7
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia
15
opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 7
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi
konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.5
Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan
tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.6
1.)Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi,
bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya
singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1
mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak
pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit.
Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari
diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh
vasodilatasi perifer. Efek depresi pernafasan minimal. Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04
mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.12
2.) Diazepam
Adalah obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi
dan amnesia.. Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver. Dibandingkan
dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula
kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.12
16
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan
sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan kecemasan,
anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga
untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan
untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.6
Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak
0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg
IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml.
Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu
cepat dapat menimbulkan apnea.12
4.1.4 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi
Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling sesuai untuk pasien.2
I. Efek Hipnotik
II. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan
nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus).
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengann reseptor morfin. Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid
sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus,
korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia
gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus.
17
Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat
(morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain
menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik
(heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,
fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial
lebih mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver
somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan
opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa.
Morfin tidak.
18
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg
BB.
c. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin.
Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika
pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk
pasca bedah. Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia
dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh
otot.
d. Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat
dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-
0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat
besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol
19
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol
dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
III. Efek Relaksasi Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia
umum inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan
pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi
jantung, blockade saraf terbatas penggunaannya. Anesthesia tidak perlu
dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesinya dapat diberikan
opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian
pelumpuh otot.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik
dan sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-
otot. Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion
kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf.
Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-
kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi
depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan
ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa
oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil
dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi. 7
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti
asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga
cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh
fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot
depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
20
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma,
pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.7
Dampak samping suksinil ialah: 7
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi
dosis kecil sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7. Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik.
b) Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan
menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum :D-tubokurarin, metokurin, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Steroid : Pankuronium, vekuronium, pipekuronium,
ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : Gallamin.
21
4. Nortoksiferin : Alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi
menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek. Gallamin ada yang
memasukkan sebagai panjang yang lainnya kerja sedang. 7
Pilihan pelumpuh otot :7
1. Gangguan faal ginjal : Atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : Atrakurium
3. Miasternia gravis : Jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : Atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetri : Semua dapat digunakan, kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot7
1. Cegukan (hiccup).
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
Penawar Pelumpuh Otot7
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada
sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan
ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan edrophonium.
Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral. Dosis
neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium
0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot
bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia,
kejang bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis
0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg
pada dewasa.
22
4.1.5 Persiapan Dan Penilaian Pra Anestesia
I. Persiapan Tindakan Anestesi
Tujuan utama kunjungan pra anesthesi ialah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.7 Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk
mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi.
Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya
menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah
penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian
pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan
buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil
pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang
sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa
pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA).
- ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis
perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia
miokardium.
- ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
23
- ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan
syok hemoragik karena rupture hepatik.
- Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE
atau IIE.
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam.
Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan
memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam
lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis
reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong
sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
II. Premedikasi 7
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun
dari anesthesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.
24
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular. Cairan lambung
25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150
mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg
atau ondansetron 2-4 mg.
4.1.6 Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar
ke stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel). Merupakan tindakan
untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Ko-induksi
adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi anestesi.
Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit sebelum
induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
1) Induksi Intravena7
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Induksi
intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose. Induksi
25
intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu
sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari
full dose ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap
pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien pre-syok).
2) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan
memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai
dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang
dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang
diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk.
Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi
dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang
memiliki sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak,
cepat membuat pasien tertidur.
3) Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu
mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. Induksi, pemeliharaan dan
26
pulih dari anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium anestesia yang
disusun oleh Guedel pasien napas spontan dapat terlihat jelas. 13
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini
pasien batuk, mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
Tanda Refleks Pada Mata
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila
anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya
cukup dan baik/ stadiuyang paling baik untuk dilakukan pembedahan,
midriasis maksimal menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.
Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada
stadium I.
Refleks kelopak mata
27
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa
digunakan untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum,
caranya adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti
menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak
respon saat kita beri rangsangan cahaya.
4.1.7 Teknik Anestesi Umum
1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I – II)
Lambung harus kosong
Prosedur :
Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non
opioid, dll
Induksi
Pemeliharaan
2. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea
(ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi
Operasi lama
Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
28
Prosedur :
Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
3. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan
pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x
permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas
spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
4.1.8 Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi
dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien.
Jika konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam,
sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang
dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator
kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada
trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya dengan
menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB.
29
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara+O2 atau N2O+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol
% atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
4.1.9 Mempertahankan Anestesi Dan Pengakhiran Anestesi
I. Mempertahankan Anestesi14
Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,
pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi,
kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.
Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol.
Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian
opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.
30
4.1.10 Pengakhiran Anestesia
Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah
kulit dijahit).
FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca-bedah.
4.1.11 Kontra Indikasi Anestesi Umum
Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan (harus
hindarkan pemakaian obat atau dosis dikurangi/diturunkan).
Hepar : obat hepatotoksik/obat yang toksis terhadap hepar.
Jantung : obat-obat yang mendepresi miokard/menurunkan aliran
darah koroner.
Ginjal : obat yang diekskresi di ginjal.
Paru : obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
Endokrin : hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/
hindari pemakaian obat yang merangsang susunan saraf
simpatis pada diabetes penyakit basedow, karena bisa
menyebabkan peninggian gula darah.11
4.1.12 Komplikasi Anestesi Umum
Komplikasi (penyulit) kadang-kadang datangnya tidak diduga
kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Komplikasi
dapat dicetuskan oleh tindakan anestesia sendiri atau kondisi pasien.
Penyulit dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera
ataupun belakangan setelah pembedahan (lebih dari 12 jam). 2
31
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25% dari
sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi
dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya
pada penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan
O2 miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau
infark miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan
dengan menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang
terjadi dapat diobati dengan atropine
Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
32
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan
suhu tubuh.
4.1.13 Penyulit Intubasi
a. Leher pendek berotot
b. Mandibula menonjol
c. Maksila/gigi depan menonjol
d. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
e. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
f. Gerak vertebra cervical terbatas
4.2. HIDROSEFALUS
4.2.1. Anatomi
Sistem ventrikel otak merupakan jaringan yang berhubungan dengan
suatu rongga yang berisi cairan serebrospinal (CSS) dan terletak di
parenkim otak. Sistem ventrikel terdiri dari 2 ventrikel lateral, ventrikel
ketiga, serebral aqueduct dan ventrikel keempat. Pleksus koroid terletak di
ventrikel menghasilkan CSF, yang mengisi ventrikel dan ruang
subarachnoid, yang mengikuti produksi dan reabsorpsi siklus konstan.8,9
1. Ventrikel lateralis
Ada dua, terletak didalam hemispherii telencephalon. Kedua ventrikel
lateralis berhubungan denga ventrikel III (ventrikel tertius) melalui
foramen interventrikularis (Monro).
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius)
Terletak pada diencephalon. Dinding lateralnya dibentuk oleh thalamus
dengan adhesio interthalamica dan hypothalamus. Recessus opticus dan
33
infundibularis menonjol ke anterior, dan recessus suprapinealis dan
recessus pinealis ke arah kaudal. Ventrikel III berhubungan dengan
ventrikel IV melalui suatu lubang kecil, yaitu aquaductus Sylvii
(aquaductus cerebri).
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus)
Membentuk ruang berbentuk kubah diatas fossa rhomboidea antara
cerebellum dan medulla serta membentang sepanjang recessus lateralis
pada kedua sisi. Masing-masing recessus berakhir pada foramen Luschka,
muara lateral ventrikel IV. Pada perlekatan vellum medullare anterior
terdapat apertura mediana Magendie.
4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis
Saluran sentral korda spinalis: saluran kecil yang memanjang sepanjang
korda spinalis, dilapisi sel-sel ependimal. Diatas, melanjut ke dalam
medula oblongata, dimana ia membuka ke dalam ventrikel IV.
Ruang subarakhnoidal
Merupakan ruang yang terletak diantara lapisan arakhnoid dan piamater.8,9
34
Gambar 1. Sistem Ventrikel Otak dan Kanalis Sentralis9
4.2.2 Embriologi
Sistem ventrikel secara embriologis berasal dari kanalis neuralis,
membentuk awal pengembangan dari neural tube. Tiga vesikula otak
(prosencephalon atau otak depan, otak tengah atau mesencephalon, dan
rhombencephalon atau otak belakang) terbentuk sekitar kehamilan akhir
bulan pertama. Kanalis neuralis melebar dalam prosencephalon, dan
terjadi pembentukan dari ventrikel lateral dan ventrikel ketiga. Rongga
35
dari mesencephalon membentuk serebral aqueduct (aquaduktus silvii).
Pelebaran kanalis neuralis dalam rhombencephalon membentuk ventrikel
keempat.9
Pada umur kehamilan 35 hari terlihat pleksus khoroidalis sebagai
invaginasi mesenkhimal dari atap ventrikel IV, lateralis dan ventrikel III.
Pada saat kehamilan 50 hari sudah mulai terjadi sirkulasi CSS secara
normal, bersamaan dengan tiga peristiwa penting, yakni; perforasi atap
ventrikel IV oleh proses aktif diferensiasi, berkembangnya fungsi sekresi
pleksus khoroidalis dan terbentuknya ruang subarakhnoid.9
4.2.3 Fisiologi
CSS (Cairan Serebrospinal) merupakan cairan bening yang
menempati ventricles pada otak, cisterns disekeliling luar otak, dan ruang
subarachnoid disekeliling otak dan spinal cord.5,8,9
Fungsi CSS
CSS mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu:5
1. Memberikan physical support pada otak
2. Memberikan perlindungan terhadap perubahan mendadak pada tekanan
darah venous (respiratory dan postural) dan arteri atau impact pressure
3. Memberikan excretory waste function karena otak tidak mempunyai
sistem limfatik
4. Jalan transportasi bagi faktor-faktor yang dikeluarkan hypothalamus
5. Menjaga central nervous system ionic homeostasis
Pembentukan, aliran dan absorbsi CSS
Kira-kira 500mL CSS diproduksi tiap harinya (0.3-0.4mL/min).
Total volume pada orang dewasa adalah 90-150mL, pada neonatus sekitar
10-60mL. Total CSS volume diganti setiap 5-7jam.
Sebagian besar (80-90%) CSS dihasilkan oleh pleksus khoroidalis
pada ventrikel lateralis sedangkan sisanya (10-20%) di ventrikel III,
36
ventrikel IV, juga melalui difusi pembuluh-pembuluh ependim dan
piamater.
Pada hakekatnya susunan CSS sama seperti cairan interselular otak,
ventrikel dan ruang subarakhnoid. CSS setelah diproduksi oleh pleksus
khoroideus pada ventrikel lateralis akan mengalir ke ventrikel III melalui
foramen Monroe. Selanjutnya melalui akuaduktus serebri (Sylvius)
menuju ventrikel IV. Dari ventrikel IV sebagian besar CSS dialirkan
melalui foramen Luschka dan Magendie menuju ruang subarakhnoid,
setinggi medulla oblongata dan hanya sebagian kecil CSS yang menuju
kanalis sentralis. Dalam ruang subarakhnoid CSS selanjutnya menyebar ke
segala arah untuk mengisi ruang subarakhnoid, serebral maupun spinal.
Absorpsi CSS dilakukan oleh vili-vili arakhnoid yang jumlahnya
sangat banyak pada permukaan hemisferium serebri, basis serebri dan
sekeliling radiks nervi spinalis.1,2,5,9
Gambar Sirkulasi CSS
4.2.4 Definisi
37
Hidrosefalus adalah suatu kondisi dimana terdapat cairan
serebrospinal (CSS) yang berlebihan di dalam ventrikel otak. Cairan
serebrospinal merupakan cairan yang steril yang diproduksi oleh pleksus
Choroideus di dalam ventrikel. Cairan serebrospinal secara normal
mengalir dari ventrikel lateral menuju ventrikel tiga lalu ventrikel empat
melalui saluran menuju sirkulasi di sekitar otak, kemudian cairan ini
diabsorbsi.1,2,3,5
4.2.5 Epidemiologi
Insiden seluruhnya dari hidrosefalus tidak diketahui. Namun,
prevalensi hidrosefalus di dunia cukup tinggi, di Belanda dilaporkan
terjadi kasus sekitar 0,65 permil pertahun dan di Amerika sekitar 2 permil
pertahun, sedangkan di Indonesia mencapai 10 permil. Insiden
hidrosefalus acquired juga tidak diketahui, mungkin dikarenakan
banyaknya macam penyakit yang dapat menyebabkan hidrosefalus.5
Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi
hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-
43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan
bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan
ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa
lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46%
adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan
subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa
posterior.5
4.2.6 Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan
serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan
CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid.
Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya. Penyebab
penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah:5
1) Kelainan Bawaan (Kongenital)10
38
a. Stenosis akuaduktus Sylvii
b. Spina bifida dan kranium bifida
c. Sindrom Dandy-Walker
d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
e. Mielomeningokel
f. X-linked hydrocephalus
2) Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat
penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan
daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.
3) Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat
aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan
ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma
yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III
disebabkan kraniofaringioma.
4) Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan
fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain
penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
4.2.7 Klasifikasi
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain:1,2,5
1. Berdasarkan Anatomi / tempat obstruksi CSS
a. Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem
ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh kongenital yaitu
stenosis akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis
dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal dalam ukuran dan
lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai penyebab
39
hidrosefalus adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro,
malformasi vaskuler atau tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi
meningeal). Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam
sistem ventrikel
(tumor intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior).
b. Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan
penyerapan (Gangguan di luar system ventrikel).
- perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
- Radang meningeal
- Kongenital :
o Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.
o Gangguan pembentukan villi arachnoid
o Papilloma plexus choroideus
2. Berdasarkan Etiologi
a. Tipe Obstruksi
1) Kongenital
Stenosis Akuaduktus Serebri
Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh
infeksi atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis
kongenital sejati sangat jarang. (Toxoplasma/T.gondii,
Rubella/German measles, X-linked hidrosefalus).
Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan
hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini
berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasia vermis
serebelum. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh
hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga subarachnoid
40
yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil pada saat lahir,
namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam 3 bulan
pertama. Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan
anomali lainnya seperti agenesis korpus kalosum,
labiopalatoskhisis, anomali okuler, anomali jantung, dan
sebagainya.
Malformasi Arnold-Chiari
Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu
batang otak dan cerebelum mengalami perpanjangan dari
ukuran normal dan menonjol keluar menuju canalis spinalis.
Aneurisma Vena Galeni
Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi
secara normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusia
beberapa bulan. Hal ini terjadi karena vena Galen mengalir di
atas akuaduktus Sylvii, menggembung dan membentuk
kantong aneurisma. Seringkali menyebabkan hidrosefalus
Hidrancephaly
Suatu kondisi dimana hemisfer otak tidak ada dan diganti
dengan kantong CSS.
2) Acquired (didapat)
Stenosis akuaduktus serebri (Pasca Infeksi atau perdarahan)
infeksi oleh bakteri Meningitis, menyebabkan radang pada
selaput (meningen) di sekitar otak dan spinal cord.
Hidrosefalus berkembang ketika jaringan parut dari infeksi
meningen menghambat aliran CSS dalam ruang subarachnoid,
yang melalui akuaduktus pada sistem ventrikel atau
mempengaruhi penyerapan CSS dalam villi arachnoid. Jika
saat itu tidak mendapat pengobatan, bakteri meningitis dapat
menyebabkan kematian dalam beberapa hari. Tanda-tanda dan
gejala meningitis meliputi demam, sakit kepala, panas tinggi,
41
kehilangan nafsu makan, kaku kuduk. Pada kasus yang
ekstrim, gejala meningitis ditunjukkan dengan muntah dan
kejang. Dapat diobati dengan antibiotik dosis tinggi.
Hematoma Interventrikuler
Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel,
mengakibatkan darah mengalir dalam jaringan otak sekitar dan
mengakibatkan perubahan neurologis. Kemungkinan
hidrosefalus berkembang disebabkan oleh penyumbatan atau
penurunan kemampuan otak untuk menyerap CSS
Tumor (ventrikel, regio vinialis, fosa posterior)
Sebagian besar tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia
5-10 tahun. 70% tumor ini terjadi dibagian belakang otak yang
disebut fosa posterior. Jenis lain dari tumor otakyang dapat
menyebabkan hidrosefalus adalah tumor intraventrikuler dan
kasus yang sering terjadi adalah tumor plexus choroideus
(termasuk papiloma dan carsinoma). Tumor yang berada di
bagian belakang otak sebagian besar akan menyumbat aliran
CSS yang keluar dari ventrikel IV. Pada banyak kasus, cara
terbaik untuk mengobati hidrosefalus yang berhubungan
dengan tumor adalah menghilangkan tumor penyebab
sumbatan.
Kista Arachnoid
Kista adalah kantung lunak atau lubang tertutup yang berisi
cairan. Jika terdapat kista arachnoid maka kantung berisi CSS
dan dilapisi dengan jaringan pada membran arachnoid. Kista
biasanya ditemukan pada anak-anak dan berada pada ventrikel
otak atau pada ruang subarachnoid. Kista subarachnoid dapat
menyebabkan hidrosefalus non komunikans dengan cara
menyumbat aliran CSS dalam ventrikel khususnya ventrikel
III. Berdasarkan lokasi kista, dokter bedah saraf dapat
menghilangkan dinding kista dan mengeringkan cairan kista.
42
Jika kista terdapat pada tempat yang tidak dapat dioperasi
(dekat batang otak), dokter dapat memasang shunt untuk
mengalirkan cairan agar bisa diserap. Hal ini akan
menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi batang otak.
Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial
Abses/Granuloma
3. Berdasarkan Usia
Hidrosefalus tipe kongenital / infantil ( bayi )
Hidrosefalus tipe juvenile / adult ( anak-anak / dewasa )
Selain pembagian berdasarkan anatomi, etiologi, dan usia, terdapat
juga jenis Hidrosefalus Tekanan Normal ; sesuai konvensi, sindroma
hidrosefalik termasuk tanda dan gejala peninggian TIK, seperti kepala yang
besar dengan penonjolan fontanel. Akhir-akhir ini, dilaporkan temuan klinis
hidrosefalus yang tidak bersamaan dengan peninggian TIK.
Seseorang bisa didiagnosa mengalami hidrosefalus tekanan normal
jika ventrikel otaknya mengalami pembesaran, tetapi hanya sedikit atau tidak
ada peningkatan tekanan dalam ventrikel. Biasanya dialami oleh pasien usia
lanjut, dan sebagian besar disebabkan aliran CSS yang terganggu dan
compliance otak yang tidak normal.
Pada dewasa dapat timbul hidrosefalus tekanan normal, yaitu akibat
dari: perdarahan subarachnoid, meningitis, trauma kepala, dan idiopathic.
Dengan trias gejala: a).gangguan mental (dementia), b).gangguan koordinasi
(ataksia), c).gangguan kencing (inkontinentia urin)
4.2.8 Patofisiologi
Pada prinsipnya hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari
ketidakseimbangan antara produksi, absorpsi, dan sirkulasi (obstruksi) dari
CSS. Adapun keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan tersebut adalah:1,2,5
43
1. Disgenesis serebri
46% hidrosefalus pada anak akibat malformasi otak dan yang terbanyak
adalah malformasi Arnold-Chiary. Berbagai malformasi serebral akibat
kegagalan dalam proses pembentukan otak dapat menyebabkan
penimbunan CSS sebagai kompensasi dari tidak terdapatnya jaringan
otak. Salah satu contoh jelas adalah hidroanensefali yang terjadi akibat
kegagalan pertumbuhan hemisferium serebri.
2. Produksi CSS yang berlebihan
Ini merupakan penyebab hidrosefalus yang jarang terjadi. Penyebab
tersering adalah papiloma pleksus khoroideus, hidrosefalus jenis ini dapat
disembuhkan.
3. Obstruksi aliran CSS
Sebagian besar kasus hidrosefalus termasuk dalam kategori ini. Obstruksi
dapat terjadi di dalam atau di luar sistem ventrikel. Obstruksi dapat
disebabkan beberapa kelainan seperti: perdarahan subarakhnoid post
trauma atau meningitis, di mana pada kedua proses tersebut terjadi
inflamasi dan eksudasi yang mengakibatkan sumbatan pada akuaduktus
Sylvius atau foramina pada ventrikel IV. Sisterna basalis juga dapat
tersumbat oleh proses arakhnoiditis yang mengakibatkan hambatan dari
aliran CSS. Tumor fossa posterior juga dapat menekan dari arah belakang
yang mengakibatkan arteri basiliaris dapat menimbulkan obstruksi secara
intermiten, di mana obstruksi tersebut berhubungan dengan pulsasi arteri
yang bersangkutan.
4. Absorpsi CSS berkurang
Kerusakan vili arakhnoidalis dapat mengakibatkan gangguan absorpsi
CSS, selanjutnya terjadi penimbunan CSS. Keadaan-keadaan yang dapat
menimbulkan kejadian tersebut adalah post meningitis, post perdarahan
subarachnoid, kadar protein CSS yang sangat tinggi.
44
5. Akibat atrofi serebri
Bila karena sesuatu sebab terjadinya atrofi serebri, maka akan timbul
penimbunan CSS yang merupakan kompensasi ruang terhadap proses
atrofi tersebut.
Terdapat beberapa tempat yang merupakan predileksi terjadinya hambatan
aliran CSS :
1. Foramen Interventrikularis Monroe
Apabila sumbatan terjadi unilateral maka akan menimbulkan pelebaran
ventrikel lateralis ipsilateral.
2. Akuaduktus Serebri (Sylvius)
Sumbatan pada tempat ini akan menimbulkan pelebaran kedua ventrikel
lateralis dan ventrikel III.
3. Ventrikel IV
Sumbatan pada ventrikel IV akan menyebabkan pelebaran kedua
ventrikel lateralis, dan ventrikel III dan akuaduktus serebri.
4. Foramen Mediana Magendie dan Foramina Lateralis Luschka
Sumbatan pada tempat-tempat ini akan menyebabkan pelebaran pada
kedua ventrikel lateralis, ventrikel III, akuaduktus serebri dan ventrikel
IV. Keadaan ini dikenal sebagai sindrom Dandy-Walker.
5. Ruang Sub Arakhnoid di sekitar medulla-oblongata, pons, dan
mesensefalon
Penyumbatan pada tempat ini akan menyebabkan pelebaran dari seluruh
sistem ventrikel. Akan tetapi apabila obstruksinya pada tingkat
mesensefalon maka pelebaran ventrikel otak tidak selebar seperti jika
obstruksi terjadi di tempat lainnya. Hal ini terjadi karena penimbunan
CSS di sekitar batang otak akan menekan ventrikel otak dari luar.
45
4.2.9 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang
disusul oleh gangguan neurologik akibat tekanan likuor yang meningkat
yang menyebabkan hipotrofi otak.
a. Hidrosefalus pada bayi (sutura masih terbuka pada umur kurang dari 1
tahun) didapatkan gambaran :
- Kepala membesar
- Sutura melebar
- Fontanella kepala prominen
- Mata kearah bawah (sunset phenomena)
- Nistagmus horizontal
- Perkusi kepala : “cracked pot sign” atau seperti semangka masak.
Ukuran rata-rata lingkar kepala berdasarkan umur:
Umur Ukuran rata-rata lingkar kepalaLahirUmur 3 bulanUmur 6 bulanUmur 9 bulanUmur 12 bulanUmur 18 bulan
35 cm41 cm44 cm46 cm47 cm
48,5 cm
b. Hidrosefalus pada anak dan dewasa
Tanda dan gejala yang biasanya didapat, yaitu:
- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Gelisah
- Mual, muntah
- Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
- Gangguan perkembangan fisik dan mental
- Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut
dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.
46
Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan sutura sudah
menutup, nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan bioksipital. Aktivitas fisik
dan mental secara bertahap akan menurun dengan gangguan mental yang sering
dijumpai seperti : respon terhadap lingkungan lambat, kurang perhatian tidak
mampu merencanakan aktivitasnya.
4.2.10 Diagnosis
Diagnosis Hidrosephalus berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.1,2,5
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen kepala,
Sudah jarang dilakukan, karena tidak begitu spesifik. Pada pemeriksaan
Foto rontgen kepala biasanya didapatkan:
o Tulang menipis
o Disporposi kraniofasial
o Sutura melebar
Dengan prosedur ini dapat juga diketahui jenis hidrosefalus tipe
kongenital/infatil atau tipe juvenile/adult (oleh karena sutura telah
menutup maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran
kenaikan tekanan intracranial).
2. Transiluminasi
Penyebaran cahaya diluar sumber sinar lebih dari batas normal, yaitu:
frontal 2,5 cm, oksipital 1 cm.
3. Pemeriksaan CSS
Dengan cara aseptik melalui punksi ventrikel/punksi fontanela mayor,
dapat menentukan:
- Tekanan
- Jumlah sel leukosit meningkat, menunjukkan adanya peradangan /
infeksi
47
- Adanya eritrosit menunjukkan perdarahan
- Bila terdapat infeksi, diperiksa dengan pembiakan kuman dan
resistensi antibiotik.
4. Ventrikulografi
Ventrikulografi yaitu dengan cara memasukkan kontras berupa O2 murni
atau kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanella
anterior langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk
langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang
melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup untuk
memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada karanium bagian
frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit dan mempunyai
resiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT scan,
prosedur ini telah ditinggalkan.
5. CT Scan Kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukkan dilatasi
ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di
proksimal dari daerah sumbatan.
Walaupun tidak mudah untuk mendeteksi penyebab hidrosefalus dengan
CT Scan, namun ukuran ventrikel dapat ditentukan dengan sangat mudah.
CT-Scan dapat mengungkap hidrosefalus, edema serebral, atau lesi massa,
seperti kista koloid dari ventrikel ketiga atau tumor pontin atau tumor
thalamus. CT-Scan harus dilakukan apabila terdapat kecurigaan adanya
proses neurologik akut.
Keuntungan CT scan :
48
o Gambaran lebih jelas
o Non traumatik
o Meramal prognose
o Penyebab hidrosefalus dapat diduga
Gambar CT Scan pada hidrosefalus12,13
Gambar CT-Scan pada hidrosefalus13
6. USG
USG Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan
USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel yang melebar.
Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus
49
ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem
ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan
anatomi system ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT
scan.
Selain itu, pemeriksaan USG juga dapat mendeteksi hidrosefalus pada
masa kehamilan.
Gambar USG hidrosefalus pada kehamilan 14 minggu
7. MRI
MRI dapat mendeteksi ventrikel yang dilatasi atau adanya lesi massa
50
Gambar MRI otak pada pasien hidrosefalus, tampak adanya pelebaran
ventrikel13
Gambar MRI pada hidrosefalus nonkomunikan/obstruktif. Obstruksi
terjadi di foramen luskha dan magendi. Tampak adanya pelebaran dari
ventrikel 4.8,13
4.2.11 Diagnosis Banding
Dalam proses diagnostik, diagnosis banding penting bagi pakar
neuro (saraf) dan bedah neuro untuk menentukan prognosis dan terapetik.5
1. Higroma subdural, yaitu penimbunan cairan dalam ruang subdural akibat
pencairan hematom subdural
51
2. Hematom subdural, yaitu penimbunan darah di dalam rongga subdural
3. Emfiema subdural, yaitu adanya udara atau gas dalam jaringan subdural.
4. Hidranensefali, yaitu hilangnya sama sekali atau hampir tidak memiliki
hemisfer serebri, ruang yang normalnya di isi hemisfer dipenuhi CSS
Gambar CT-Scan pada Hidranensefali13,14
5. Tumor otak
6. Kepala besar
o Megaloensefali : jaringan otak bertambah
o Makrosefali : gangguan tulang
Komplikasi hidrosefalus yaitu atrofi otak dan herniasi otak yang dapat
berakibat kematian.
4.2.12 Tatalaksana1,2,5
Tiga prinsip pengobatan hidrosefalus:5
a. Mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus koroidalis
dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi tetapi hasilnya tidak
memuaskan. Obat azetasolamit (diamox) memiliki khasiat inhibisi
pembentukan CSS.
52
b. Memperbaiki hubungan antara produksi CSS dengan tempat absorpi yakni
menghubungkan ventrikel dan subarakhnoid misalnya
ventrikulosisternostomi Torkildsen pada stenosis akuaduktus.
c. Pengeluaran CSS ke organ ekstrakranial :
1. Drainase ventrikulo-veritoneal
2. Drainase lombo-peritoneal
3. Drainase ventrikulo-pleural
4. Drainase ventrikulo-uretrostomi
5. Drainase ke dalam antrum mastoid
6. Cara yang kini dianggap terbaik yakni mengalirkan CSS ke dalam vena
jugularis dan jantung melalui kateter yang berpentil yang
memungkinkan pengaliran CSS ke satu arah
Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa digunakan hanya untuk sementara selama
menunggu intervensi bedah. Terapi ini tidak efektif untuk terapi jangka
panjang pada hidrosefalus kronik karena dapat mengganggu metabolisme.
Pada kondisi tertentu seperti oklusi sinus, meningitis, atau perdarahan
intraventrikuler neonatus, terapi ini dapat efektif. Medikamentosa yang
dapat diberikan antara lain:
o Acetazolamide (25 mg/kg/hari dalam 3 dosis), monitoring status
respirasi dan elektrolit dan tidak direkomendasikan terapi lebih dari 6
bulan.
o Furosemide (1 mg/kg/hari dalam 3 dosis), monitoring keseimbangan
elektrolit dan cairan.
Terapi pembedahan
Terapi bedah merupakan pilihan yang lebih baik. Alternatif lain selain
pemasangan shunt antara lain:
o Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus Choroid
o Membuka stenosis akuaduktus
53
o Eksisi tumor
o Fenestrasi endoskopi
Pemasangan shunt dilakukan pada sebagian besar pasien. Prinsip dari
pemasangan shunt adalah mempertahankan hubungan antara CSS dan
rongga drainase (peritoneum, atrium kanan, pleura). Beberapa alternatif
pemasangan shunt antara lain:
o Ventriculoperitoneal (VP) shunt yang paling banyak digunakan.
Lokasi proksimal biasanya terletak di ventrikel lateral. Kelebihan
shunt ini yaitu tidak diperlukannya pemanjangan selang shunt yang
disesuaikan dengan pertumbuhan anak karena kita dapat meletakkan
cateter yang panjang di dalam rongga peritoneum.
o Ventriculoatrial (VA) shunt, juga disebut vascular shunt, dipasang
melalui vena jugularis dan vena cava superior masuk ke dalam atrium
kanan jantung. Shunt jenis ini dipilih jika didapatkan kelainan pada
rongga abdomen, seperti peritonitis, obesitas morbid, atau pasien baru
melakukan pembedahan pada abdomen.
o Lumboperitoneal shunt dipakai hanya pada hidrosefalus komunikan,
fistula CSS, atau pseudotumor serebri.
o Ventriculopleural shunt merupakan lini kedua bila pilihan lain
merupakan kontraindikasi.
Gambar Teknik melakukan penusukkan di kepala pada VP shunt
54
Gambar ventrikuloperitoneal shunt
4.2.13 Prognosis
Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa,
gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi,
50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi
berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya
berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai
kecerdasan yang normal. Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian
adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan
sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali
anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan
kelompok multidisipliner.5,6
55
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Persiapan Praanestesi
Pasien yang akan menjalani anestesia dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat dilakukan
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi bertujuan mempersiapkan mental dan
fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih tekhnik dan obat-obat
anestesi yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang sesuai berdasarkan
klasifikasi ASA.6
Adapun klasifikasi ASA yaitu :
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas rutin
terbatas.
ASA IV :Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktifitas rutin, penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
ASA V :Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada pasien ini tergolong ASA III karena pasien mengalami
hidrosefalus obstruktif ec. perdarahan intraventrikular, leukosit yang
meningkat, adanya hipertensi yang tidak terkontrol. Operasi dilakukan
tindakan pemasangan VP shunt dengan anestesi umum (anestesi general).
Tahapan anestesi dimulai dengan pemberian cairan IV line pada
tangan kiri sebanyak 1 kolf untuk menghindari terjadinya shock
hipovolemik, karena pada pasien ini telah berpuasa selama + 8 jam dan
pada tindakan bedah akan menyebabkan perdarahan meskipun jumlah
perdarahan pada pasien ini tidak terlalu banyak. Selain itu, pemasangan
56
cairan IV line ini berfungsi untuk pemberian obat premedikasi. Pemberian
obat-obat premedikasi yaitu Ranitidin 50 mg (golongan antagonis reseptor
H2 Histamin) tujuannya sebagai antiemetik dan untuk mencegah
pneumonitis asam karena cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5.
Ondansetron 4 mg (golongan antiemetik) untuk mengurangi mual dan
muntah pasca pembedahan. Premedikasi sendiri seharusnya diberikan 1-2
jam sebelum dimulainya operasi namun pada pasien ini diberikan ketika
pasien sudah berada di dalam ruang tindakan operasi, yaitu ± 10-15 menit
sebelum operasi dimulai.
5.2 Durasi Operatif
Pasien mulai diinduksi pukul 10.25 wib, dengan diposisikan terlentang
(supine), kemudian diberikan O2 8 liter melalui face mask. Serta diberikan juga
Fentanyl golongan opioid (analgesik narkotika) 100 mcg yang bertujuan untuk
mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien dan mengurangi rasa nyeri saat
pembedahan dengan dosis 1-2 mcg/kgBB. Onset fentanyl ini sangat cepat yaitu 3
detik dengan lama aksi 30 menit.
Kemudian induksi propofol 100 mg. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Selama induksi,
pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberi
oksigen. Propofol merupakan derivat fenol dan bersifat lipofilik dimana 98%
terikat protein plasma, eliminasi terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak
aktif, waktu paruh sekitar 5 – 10 menit. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi
(30-45 detik) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Setelah propofol
dimasukkan dilihat refleks bulu mata, jika refleks bulu mata sudah tidak ada maka
face mask ditempelkan (triple manuever) sambil disuntikkan Artracurium 30 mg
yang berfungsi untuk mempermudah ETT serta memberikan relaksasi otot rangka
selama pembedahan.
Setelah diberikan relaksan, dilakukan bagging selama + 3 menit untuk
melihat pengembangan paru dan juga menunggu relaksan bekerja sehingga
mempermudah dilakukannya intubasi. Pompa 15 x dalam 30 detik untuk
57
menciptakan keadaan hiperventilasi sehingga pasien memiliki persediaan O2 di
otak. Lalu, memegang laringoskop dengan tangan kiri dan mulai melakukan
pemasangan ETT. Slight manuver, minta bantuan asisten untuk menekan cartilago
cricoidea. Masukkan ETT ukuran 7 dibantu dengan madrin lalu menghubungkan
ke pompa, lalu dengarkan suara abdomen dan apek paru. Setelah itu
menggelembungkan cuff dengan spuit yang berisi udara. Fiksasi ETT dengan
plester. Mengalirkan N2O dan O2 diberikan dari mesin ke jalan napas pasien
sebagai anestesi rumatan. Diberi tambahan anestesi inhalasi sevoflurance 2 vol%.
Kemudian mata ditutup plester. Setelah stadium anestesi cukup dalam, operasi
pun dimulai sekitar pukul 10.40 wib dengan TD 100/70 mmHg dan nadi 55 x/i.
Selama operasi diberikan cairan RL sebanyak 3 kolf (habis terpakai) untuk
memenuhi kebutuhan perioperatif. Pada pukul 11.45 wib disuntikkan Reverse
dengan SA 0,5 mg + Neostigmin 1 mg yang merupakan obat untuk pelumpuh otot
yang bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin–esterase, sehingga
asetilkolin dapat bekerja.
Ekstubasi pada pasien ini dilakukan saat pasien bernapas spontan, kemudian
membersihkan ludah dan sekret dari jalan napas dengan suction. Ekstubasi
umumnya dilakukan pada keadaan anestesi sudah ringan dan pasien sudah mulai
bernapas spontan, dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.
Operasi selesai pukul 11.55 wib, infus lanjutan diberikan analgetik drip
tramadol 100 mg dan ketorolac 30 mg yang diberikan 30 gtt/i. Tramadol
merupakan analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor dan kelemahan
analgesiknya 10-20 % dibandingkan morfin. Tramadol dapat diberikan iv atau im
dengan dosis 50-100 mg dan diulang tiap 4-6 jam. Dengan dosis maksimal 400
mg/hari. Ketorolac merupakan obat AINS bekerja pada jalur oksigenasi
menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesik yang kuat secara perifer
dan sentral. Juga memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat
mengatasi rasa nyeri ringan sampai berat pada kasus emergensi seperti pada
pasien ini. Mula kerja efek analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat
namun lama kerjanya lebih panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan
mulai terasa dalam pemberian iv/im, lama efek analgesik adalah 4-6 jam.
58
5.3 Pemberian Cairan Perioperatif
Pada pasien ini diberikan 3 kolf cairan infus RL. Pasien sudah tidak
makan dan minum + 8 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien ini adalah :
BB : 60 kg
Pemberian cairan :
M (Maintenance) = 2 ml x kgBB/jam
= 2 x 60
= 120 cc/jam
P (Puasa) = Maintenance x lama puasa
= 120 x 8
= 960 cc/jam
O (Operasi) = Operasi besar (BB x 8)
= 60 x 8
= 480 cc/jam
Perdarahan = ± 20 cc
Total kebutuhan cairan pada pasien ini adalah :
I = ½ P + M + O
= ½ 960 + 120 + 480
= 1080 cc/jam
II = ¼ P + M + O
= ¼ 960 + 120 + 480
= 840 cc/jam
Maka, total kebutuhan cairan adalah: 1080 cc + 840 cc = 1920 cc
Sedangkan total cairan yang telah diberikan sampai selesai operasi
adalah 1500 cc. Oleh karena itu, kebutuhan cairan masih kurang 420 cc
lagi. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian cairan terakhir yaitu RL 500
cc yang telah ditambahkan analgetik.
59
5.4 Post Operatif
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke RR (Recovery Room).
Pasien berbaring dengan posisi kepala sejajar dengan tempat tidur. Karena
efek obat anestesi masih tersisa, observasi tanda vital dan pemberian
oksigenasi tetap diberikan sebanyak 2 liter/menit, dan IVFD RL +
analgetik 30 tetes per menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien
dibawa ke ruangan bangsal bedah.
60
BAB VI
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap
operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan
kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang
mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada kasus ini, penderita bernama Tn. S usia 42 tahun dengan
diagnosis hidrosefalus obstruktif ec. intraventrikular hemorrhage. Pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang saat pra anestesi didapatkan
pasien termasuk ASA 3.
Anestesi dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2015 pukul 10.25 wib
dan berakhir pada pukul 11.55 wib di ruang OK RSUD Raden Mettaher
Jambi oleh ahli bedah saraf dr.Apriyanto, Sp.BS dengan ahli anestesi dr.
Sulistyowati, Sp.An.
Proses pre anestesi berlangsung baik. Tidak ada kendala yang berarti
selama intubasi. Efek samping pemberian obat minimal tanpa ada masalah
berarti. Selama operasi balance cairan cukup baik, tidak terjadi
ketidakseimbangan cairan yang mengancam keselamatan pasien. Setelah
selesai operasi, pasien dipindahkan ke bangsal bedah pukul 12.15
Dapat disimpulkan bahwa proses anestesi berlangsung baik.
Perawatan post operatif dilakukan di ICU, diawasi vital sign dan
perdarahan tiap 15 menit, tirah baring tanpa bantal selama 24 jam, dan
puasa sampai pasien sadar penuh dan bising usus (+).
61
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong WD, Sjamsuhidajat R. Hidrosefalus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-dua. Jakarta: EGC. 2004. hal 809-810
2. Sri M, Sunaka N, Kari K. Tinjauan Pustaka Hidrosefalus. Dalam: Dexa Media. 2006. No.1 Vol.19. Hal. 40-48.
3. Hasan, Rupseno. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Surasmi, asriningsih. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC. 20035. Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. Adams And Victor’s Principles
Of Neurology: Eight Edition. USA. 2005.6. Latief S.A, Suryadi KA & Dachlan, MR. eds. Petunjuk praktis
Anestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi intensif FKUI. Jakarta; 2009.
7. Bakhriansyah HM. Anestesi Umum. FK UNLAM banjarbaru8. EngelHard HH. Neurosurgery for Hydrocephalus. In: Medscape
Referance. Nov 2011. Downloaded from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/247387-overview
9. Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia jilid 3, edisi 6, system saraf dan alat-alat sensoris. Kahle, Leonhardt, Platzer. (Hipokrates, hal 262-271) (ana,pato
10. Crisan E. Ventricles of the Brain. In: Medscape Referance. May 2011. Downloaded from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1923254-overview
11. Zhang J, Williams MA, Rigamonti D. Genetic of Human Hydrocephalus. In: J Neurol. 2006. 253: 1255-1266
12. Ceddia A, Di Rocco C, Tanelli A, Lauretti L. Non Tumoral Neonatal Hydrocephalus, Result of Surgical Treatment in Firs Month of Live in Minerva-Pediatrics. 2000. 49(9) : 445-50
13. Wilson JA. Imaging in Normal Pressure Hydrocephalus. In: Medscape Referance May 2011. Downloaded from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/342827-overview#showall
62