Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

71
CRITICAL REVIEW PENDEKATAN PERENCANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DESA JOTANGAN KABUPATEN 0 CRITICAL REVIEW PENDEKATAN PERENCANAAN PADA PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI DESA JOTANGAN KECAMATAN BAYAT KABUPATEN KLATEN Tugas Mata Kuliah Teori Perencanaan dan Pembangunan Dosen : Ir. Hadi Wahyono, MA DIKERJAKAN OLEH: 1. DIYAS PARAMAWATI (21040110400004)/ Kelas A 2. DONA AMEYRIA G.P. (21040110400005)/ Kelas A 3. NORMALIA ODE YANTHY (21040110400077)/ Kelas A 4. WINDARSIH (21040110400024)/ Kelas A 5. EVA RETNO SARI (21040110400006)/ Kelas A 6. TRI S.M. (21040110400021)/ Kelas B 7. IVA PRIMA SEPTANITA (21040110400009)/ Kelas B 8. TINA SRI UMAYA DEWI (21040110400049)/ Kelas B 9. SRI HANDAYANI (21040110400019)/ Kelas B 10. ENDIENA BULAN M.S (21040110400054)/ Kelas B 11. NOVIA SARI RISTIANTI (21040110400059)/ Kelas B

Transcript of Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

Page 1: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

0

CRITICAL REVIEW PENDEKATAN PERENCANAANPADA PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

DI DESA JOTANGAN KECAMATAN BAYAT KABUPATEN KLATEN

Tugas Mata Kuliah Teori Perencanaan dan PembangunanDosen : Ir. Hadi Wahyono, MA

DIKERJAKAN OLEH:1. DIYAS PARAMAWATI (21040110400004)/ Kelas A2. DONA AMEYRIA G.P. (21040110400005)/ Kelas A3. NORMALIA ODE YANTHY (21040110400077)/ Kelas A4. WINDARSIH (21040110400024)/ Kelas A5. EVA RETNO SARI (21040110400006)/ Kelas A6. TRI S.M. (21040110400021)/ Kelas B7. IVA PRIMA SEPTANITA (21040110400009)/ Kelas B8. TINA SRI UMAYA DEWI (21040110400049)/ Kelas B 9. SRI HANDAYANI (21040110400019)/ Kelas B10. ENDIENA BULAN M.S (21040110400054)/ Kelas B11. NOVIA SARI RISTIANTI (21040110400059)/ Kelas B

MAGISTER TEKNIK PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTAFAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG

2010

Page 2: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kemiskinan merupakan salah satu isu global perencanaan pembangunan. Negara-negara didunia termasuk Indonesia berusaha mengurangi angka kemiskinan melalui program-program pembangunannya, sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGs) yang mencantumkan penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrim sebagai target utama. Keberhasilan pembangunan yang lazim digunakan berdasarkan pada indikator ekonomi. Evaluasi pembangunan seharusnya tidak hanya melihat pada angka pertumbuhan ekonomi saja namun pada pemerataan distribusi hasil pembangunan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat kaya dengan masyarakat yang miskin. Pengentasan kemiskinan akhirnya menjadi salah satu jalan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Hal ini dapat menjelaskan pendapat Fatah (2006:14) bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan.

Di Indonesia sendiri upaya penanggulangan kemiskinan sudah dilakukan sejak dulu melewati beberapa metamorphosis bentuk program dan kebijakan. Pada rezim orde baru sekitar tahun 1970an, penangulangan kemiskinan diupayakan melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Pelaksanaan program ini dirasa kurang maksimal dan akhirnya mengalami kejenuhan sehingg pada era 1990an, dirumuskan kembali program penanggulangan kemiskinan yang melahirkan program-program pembangunan yang menitik beratkan pada penanggulangan kemiskinan seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Tabungan Kesejahteraan Keluarga (Takesra) dan Kredit Keluarga Sejahtera (Soegijoko dalam Yulianto; 2005). Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 yang berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan secara drastis, membuat pemerintah berputar keras dalam merumuskan kebijakan baru. Kebijakan yag dikeluarkan antara lain Jaring Pengaman Sosial (JPS) Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM/DKE).

Rumusan program pengentasan kemiskinan terus berkembang. Berikutnya mulai era 2000an pemerintah juga melaksanakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan sasaran perdesaan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dengan sasaran perkotaan. Sebagai kelanjutan Program JPS, pemerintah melaksanakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) yang dilaksanakan diantaranya pada bidang pangan, kesehatan, pendidikan, prasarana dan sebagainya.

Upaya penanggulangan kemiskinan terus dilakukan oleh pemerintah dan secara perlahan berhasil menurunkan angka kemisikinan di Indonesia. Namun sampai saat ini metamorfosis bentuk program belum juga mampu menghilangkan kemiskinan terutama kemiskinan di daerah. Kabupaten Klaten merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi yaitu sekitar 20% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Jumlah penduduk miskin Kabupaten Klaten dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya baik di Propinsi Jawa Tengah maupun Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta cukup menonjol seperti terlihat dalam tabel berikut:

Page 3: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

2

TABEL I.1Penduduk Miskin Kabupaten Klaten Dan Daerah Sekitarnya

Sumber: BPS Yulianto; 2005

Pemerintah Kabupaten Klaten bekerja sama dengan masyarakat membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Klaten. Sebagai langkah awal, komite ini berhasil memetakan penduduk/keluarga miskin. Dari hasil pemetaan terlihat bahwa tingkat kemiskinan di Kabupaten ini cukup meghawatirkan. Terdapat tiga kecamatan yang memiliki angka kemiskinan diatas 50% yaitu kecamatan Kemalang, Trucuk dan Bayat bahkan ada suatu desa di Kecamatan Bayat yang memiliki desa yang rasio penduduk miskin sebesar 91,47% dari total seluruh penduduk Kabupaten Klaten. Desa tersebut adalah Desa Jotangan di Kecamatan Bayat.

Desa Jotangan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten adalah salah satu daerah yang memiliki tingat kemiskinan memperihatinkan. Program–program pengentasan kemiskinan dari pemerintah yang sudah diterapkan belum mampu mengubah 91,47% penduduk desa tersebut keluar dari kemiskinan. Upaya pengentasan kemiskinan yang diterapkan pemerintah telah berganti-ganti metode melewati berbagai macam bentuk metamorphosis sepeti halnya pengalaman Negara China yang telah diakui keberhasilannya dalam mengentaskan kemiskinan ternyata telah melakukan proses learning by doing dan terus berkembang mencari untuk bentuk terbaik untuk penanggulangan kemiskinan yang sesuai negara tersebut (UNESCAPE; 2005). Maka dari itu penting adanya kajian mengenai pendekatan program berdasarkan teori perencanaan dan pembangunan yang sekiranya efektif dalam menyelesaikan fenomena kemiskinan di Desa Jatogan. Bagaimana kekurangan dan kelebihan dari pendekatan yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah, sehingga diharapkan dapat menjadi input pertimbangan dalam perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan didaerah yang sesuai dengan karakteristik daerah tersebut.

1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN

Tujuan dilaksanakannya pembangunan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sudah seharusnya memberikan perhatian besar dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Ada dua strategi utama yang dapat ditempuh (menurut UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas), yang pertama adalah melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin melalui pemenuhan kebutuhan pokok mereka sedangkan yang kedua dengan jalan

Page 4: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

3

pemberdayaan agar mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya.

Sejalan dengan hal tesebut, Pemerintah Kabupaten Klaten telah berupaya menerapkan beberapa program penanggulanan kemiskinan untuk mengurangi angka kemiskinan didaerahnya seperti program Raskin, PKPS BBM bidang Kesehatan, PKPS BBM bidang Pendidikan dan PPK. Buah dari program tersebut menunjukkan hasil yang terkesan lamban. Banyak desa didaerah Klaten masih memiliki angka penduduk miskin yang tinggi misalnya desa-desa di Kecamatan Bayat seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL I.2Penduduk Miskin Kecamatan Bayat

Sumber:Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Klaten

Salah satu desa di Kecamatan Bayat tersebut yaitu Desa Jotangan masih memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh dari cukup. Dari 626 KK ada 485 diantaranya yang termasuk KK miskin dan dari total penduduk desa sebesar 2.743 jiwa ada 2.509 jiwa diantaranya yang hidup dibawah garis kemiskinan atau sebesar 91,47%. Penyebab dari kemiskinan di desa tersebut kompleks, dari kurang suburnya lahan pertanian, sektor perdagangan yang kurang mendukung, bencana, serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

Keberhasilan program pengentasan kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah namun juga seluruh pihak termasuk penduduk miskin itu sendiri. Pendekatan perencanaan menentukan keberhasilan raelisasi program untuk mewujudka tujuan dari masing-masing program. Sehingga yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini adalah Bagaimanakan pendekatan perencanaan pembangunan yang diterapkan dalam menanggulangi fenomena kemiskinan di Desa Jatongan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten?

Page 5: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

4

1.3 TUJUAN DAN SASARAN

1.3.1 Tujuan

Tujuan makalah ini adalah bagaimana pendekatan teori perencanaan pembangunan yang diterapkan dalam fenomena program-program penanggulanagan kemiskinan di Desa Jatongan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten.

1.3.2 Sasaran

Adapun sasaran yang dilakukan dalam mencapai tujuan adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan kasus fenomena kemiskinan yang terjadi di Desa Jatongan

2. Mengkaji program-program penanggulangan kemiskinan yang telah diterapkan di Desa Jatongan

3. Mengkaji teori perencanaan dan pembangunan yang sesuai dengan fenomena kemiskinan yang terjadi di Desa Jatongan

4. Mengkaji kajian kelebihan dan kelemahan teori perencanaan dan pembangunan yang dipilihnya untuk menjelaskan ketepatan dan ketidaktepatan kasus.

1.4 RUANG LINGKUP

Ruang lingkup wilayah dari penulisan ini adalah Desa Jotangan. Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Upaya pengentasan kemiskinan di desa ini sudah sejak awal tahun 1970-an. Sedangkan kedalaman materi yang akan dibahas berkisar pada program-program penanggulangan kemiskinan yang ada di Desa Jotangan meliputi: Raskin, PKPS BBM bidang Kesehatan, PKPS BBM bidang Pendidikan dan PPK. Dari pelaksanaan program tersebut akan dikaji dengan teori perencanaan pembangunan yaitu pendekatan Top-Down dan Bottom-Up (partisipatif). Hal tersebut menjadi Ruang lingkup materi atau batasan substansial. Berikut merupakan peta Desa Jotangan yang dapat dilihat pada Peta 1.1.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

Bagian pendahuluan berisi tentang ambaran fenomena kemiskinan dan program penaggulangannya yang diurai secara makro ke mikro, urgensi pengkajian pendekatan perencaanaan ,perumusan masalah dari fenomena tersebut, tujuan, ruang lingkup dan sistematika kajian.

BAB II FENOMENA KEMISKINAN DAN PROGRAM

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DESA JOTANGAN

KABUPATEN KLATEN

Bab ini menceritakan fenomena kemiskinan di Kabupaten Klaten dan Desa Jotangan dari beberapa sumber yang ada. Dalam bab ini juga akan di tampilkan program-program apa saja yang telah diterapkan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan di Desa Jotangan.

Page 6: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

5

GAMBAR 1.1Peta Administrasi Desa Jotangan, Klaten

Page 7: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

6

BAB III KAJIAN TEORITIS PENDEKATAN PERENCANAAN

Bagian ini akan menjelaskan teori pendekatan perencanaan yang ada yaitu berupa top-

down planning dan bottom-up planning.

BAB IV CRITICAL REVIEW TEORITIS PENDEKATAN PERENCANAAN

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DESA

JOTANGAN KABUPATEN KLATEN

Pada Bab IV ini akan dikaji pendekatan perencaan dan pembangunan apa yang dipakai dalam setiap program penanggulanga kemiskinan di Desa Jatongan termasuk implementasi serta karakteristik kelebihan dan kelemahannya dari pendekatan program yang dipakai.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berisi tentang kesimpulan tentang karateristik kasus perencanaan yang berhasil digali dan kesesuaiannya dengan karakteristik suatu teori perencanaan, berdasarkan hasil pembahasan secara umum dan secara teoritis yang telah dilakukan di depan. Rekomendasi diberikan dengan memperhatikan kelebihan dan kelemahan karakteristik teori perencanaan dan pembangunan yang dipilih.

BAB IIFENOMENA KEMISKINAN DAN

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINANDI DESA JOTANGAN KABUPATEN KLATEN

2.1 KONDISI KEMISKINAN2.1.1 Kondisi Kemiskinan Di Kabupaten Klaten Secara Umum

Kabupaten Klaten terletak pada bagian tenggara wilayah propinsi Jawa Tengah dan terletak pada jalur regional yang menghubungkan Kota Surakarta dan Yogyakarta. Secara Administratif Kabupaten Klaten mempunyai daerah seluas 65.556 hektar, dengan pembagian wilayah administratif yang terdiri dari 26 kecamatan dan 401 wilayah kelurahan/desa.

Page 8: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

7

Wilayah Kabupaten Klaten secara umum terdiri dari 3 dataran yaitu dataran lereng Gunung Merapi yang membentang di sebelah utara, dataran rendah membujur di tengah meliputi seluruh wilayah kecamatan, dataran Gunung Kapur yang membujur di sebelah selatan. Melihat keadaan alam yang sebagian besar dataran rendah dan didukung dengan banyaknya sumber air maka Kabupaten Klaten merupakan daerah pertanian yang potensial.

Gambaran tentang perekonomian Kabupaten Klaten dapat diketahui dari produk domestik regional bruto per kapita. Kecamatan Klaten Tengah sebagai pusat kota Kabupaten Klaten dan juga sebagai pusat perdagangan mempunyai PDRB per kapita tertinggi, sedangkan Kecamatan Bayat merupakan kecamatan yang mempunyai PDRB per kapita terendah dan juga dibawah PDRB per kapita Kabupaten Klaten.

Meskipun PDRB dan PDRB per kapita Kabupaten Klaten cukup tinggi, namun masih dihadapkan pada tingginya kesenjangan antara penduduk berpenghasilan tinggi dengan penduduk berpenghasilan rendah. Hal ini terlihat dengan masih tingginya jumlah keluarga/penduduk miskin yang ada di tiap-tiap kecamatan. Jumlah keluarga miskin yang ada di Kabupaten Klaten baik dari jumlah maupun persentasenya cenderung tetap tinggi selama kurun waktu tersebut.

Kondisi kemiskinan Kabupaten Klaten berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 yang diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan United Nations Development Programme (UNDP) yang menggambarkan kondisi tahun 2002 sebagai berikut. Pengeluaran per kapita per bulan Rp 161.100,00, sehingga diatas garis kemiskinan sebesar Rp 104.347,00. Pengeluaran tersebut 60,7 % digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, 7,63% untuk pendidikan dan kesehatan, sedangkan sisanya untuk kebutuhan lainnya. Dengan kondisi tersebut jumlah penduduk miskin tercatat 286.500 orang (24,5 %).

Tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 68,9% dengan tingkat pengangguran terbuka sebanyak 7%. Pekerja yang bekerja di sektor informal sebesar 63,2%, yang bekerja dibawah 14 jam per minggu 9,65% dan yang bekerja dibawah 35 jam perminggu sebanyak 33,51%.

Kondisi kesehatan penduduk yang menderita masalah kesehatan 29,5% dengan lama sakit rata-rata 5,6 hari dalam satu tahun. Selama sakit 59,7 % penduduk melakukan pengobatan sendiri. Angka anak putus sekolah tergolong rendah, yaitu untuk SD dan SLTP 0,9%, SLTA 4,1% dan pendidikan tinggi 3,2%. Sedangkan tingkat partisipasi dalam pendidikan, untuk SD 98,4%, SLTP 93,3 %, SLTA 71,8% dan pendidikan tinggi 21,6%.

2.1.2 Kondisi Kemiskinan Di Desa Jotangan

Desa Jotangan terletak di bagian utara Kecamatan Bayat mempunyai luas wilayah desa 150,6 hektar. yang terdiri dari sawah 10,4 hektar (8 hektar dengan irigasi setengah teknis dan 2,4 hektar sawah tadah hujan), tegalan 47,2 hektar, perumahan dan pemukiman 56,3 hektar, hutan 35 hektar dan sisanya untuk peruntukan lainnya. Berdasarkan Data Monografi Desa Jotangan tahun 2004, jumlah penduduknya adalah 2.752 orang atau 635 keluarga. Mata pencaharian penduduk dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

TABEL II.1Mata Pencaharian Penduduk Desa Jotangan

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Pegawai Negeri Sipil 37 orang

Page 9: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

8

2 Anggota TNI/Polri 6 orang

3 Karyawan Swasta 44 orang

4 Wiraswasta/pedagang 699 orang

5 Petani 142 orang

6 Pertukangan 15 orang

7 Buruh Tani 74 orang

8 Pensiunan/Purnawirawan 16 orang

Jumlah 1.033 orang

Sumber: Buku Data Monografi Desa Jotangan Tahun 2005

Sarana kesehatan yang ada meliputi 4 buah Posyandu, dan satu buah klinik bersalin/bidan desa. Tenaga kesehatan yang ada terdiri dari 1 orang bidan dan 3 orang dukun bayi. Sarana pendidikan yang ada meliputi 1 buah Taman Kanak-Kanak dan 2 buah SD Negeri. Sarana perekonomian diantaranya warung-warung kecil yang tersebar di tiap-tiap dukuh.

Produksi hasil pertanian Desa Jotangan yang menonjol adalah tanaman keras. Produksi padi sangat kecil karena sawah yang ada terdiri dari sawah dengan irigasi setengah teknis dan sawah tadah hujan. Meskipun Desa Jotangan dilalui sungai besar yaitu Sungai Dengkeng, tetapi tidak mampu memberi manfaat yang besar, aliran sungai ini berasal dari Rowo Jombor yang tidak pasti debit airnya.

Dengan letak geografis yang agak jauh dari pusat ibu kota kecamatan dan juga topografi yang berbukit-bukit, menyebabkan akses untuk mobilitas penduduk juga kurang mendukung. Desa Jotangan dilewati oleh jalan kecamatan yang menghubungkan antara Kecamatan Bayat dan Kecamatan Trucuk, tetapi kondisinya pada sebagian ruas sudah rusak. Sarana transportasi umum yang melintasi desa ini hanya angkutan pedesaan jurusan Pasar Bayat-Terminal Penggung (Kecamatan Ceper).

Gambaran kondisi kemiskinan dapat dilihat dari kondisi rumah penduduk. Berdasarkan kondisi rumah penduduk menurut kategori rumah yaitu dari 606 rumah di desa tersebut, 167 (27,6%) buah rumah permanen, 64 (11%) buah rumah semi permanen dan 372 (61,4%) buah rumah non permanen. Nampak bahwa jumlah rumah non permanen jauh lebih banyak daripada rumah permanen dan semi permanen. Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah pedagang/wiraswasta.

GAMBAR 2.1Potret Kondisi Kemiskinan di Desa Jotangan

Page 10: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

9

2.1.3 Penyebab Kemiskinan Di Desa Jotangan

Dari total penduduk desa sebesar 2.743 jiwa terdapat 2.509 jiwa diantaranya yang hidup dibawah garis kemiskinan atau sebesar 91,47%. Nilai garis kemiskinan tersebut mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kilo kalori per kapita perhari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah transportasi, serta kebutuhan rumah tanggan dan individu yang mendasar lainnya. (BPS, 2003:580). Dari data tersebut terlihat bahwa peyebab kemiskinan Desa Jotangan antara lain:

1 Lahan yang kurang subur untuk aktivitas pertanianKabupaten merupakan daerah yang memiliki aktivitas mayoritas pertanian. Tetapi lahan di Kabupaten Klaten bagian selatan termasuk desa Jotangan tidak memiliki kesuburan yang sukup karena merupakan Gunung Kapur. Padahal ada 142 KK yang mengantungkan hidupnya di pertanian.

2 Kurangnya sumber airDaerah Kotangan merupaka kawasan tandus. Walaupun di aliri oleh Sungai Dengkeng, tetapi sungai ini tidak mampu memberi manfaat yang besar. Aliran Sungai yang berasal dari Rowo Jombor yang memiliki debit air yang tidak pasti

3 Aksesibilitas kurang Dengan letak geografis yang agak jauh dari pusat ibu kota kecamatan dan juga topografi yang berbukit-bukit, menyebabkan akses untuk mobilitas penduduk juga kurang mendukung dan menyulitkan distribusi hasil produksi.

4 Iklim perdagangan yang kurang berkembangSebagian besar penduduk desa Jotangan berkeja disektor perdagangan. Namun perdagangan di Desa ini kurang berkembang karena kesulitan aksesibilitas dan jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi. Selain itu pertumbuhan sektor perdagangan Jotangan kalah dengan kecamatan disekitarnya yaitu Wedi dan Cawas yang merupakan pusat perdagangan.

5 BencanaBencana menambah angka kemiskinan di Desa ini. Setelah adanya gempa di tahun 2006 dan banjir akibat dari aliran Sungai Bengawan mengenyebabkan beberapa penduduk mengalami kerugian harta benda.

6 Kurang akses terhadap fasilitasBeberapa penduduk Desa Jotangan belum dapat mengakses failitas pendidikan dan keshatan yang bermutu. Hal ini menyebabkan kualitas hidup yang kurang baik pula.

2.2 PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI DESA JOTANGAN KABUPATEN KLATEN

2.2.1 Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin)

Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin. Program ini merupakan upaya meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan kepada keluarga miskin melalui pendistribusian beras dengan kuantum minimal 10kg/KK/bulan dengan maksimal 20 kg/KK/bulan dengan harga Rp 1.000,- per kg netto di Titik Distribusi.

Program Raskin yang berasal dari dana PKPS BBM Bidang Pangan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Program ini merupakan pelengkap dan kelanjutan Program Operasi Pasar Khusus (OPK) beras untuk keluarga miskin yang dimulai pada tahun 1998. Guna lebih mempertajam sasaran, yaitu keluarga miskin, sejak Januari 2002 program OPK berubah nama menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Penyaluran beras dari dana

Page 11: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

10

PKPS BBM ini dilakukan melalui mekanisme Raskin dengan target yang sama. Guna lebih memudahkan dalam pengadministrasian mulai bulan Desember 2004 kedua program ini digabung dengan nama Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin).

a. Penentuan Pagu dan Alokasi Daerah

1. Kuantum pagu Raskin tingkat nasional ditetapkan pemerintah pusat berdasarkan besarnya subsidi pangan yang disediakan dalam APBN.

2. Penentuan pagu raskin dilaksanakan secara berjenjang dari Tim Raskin Pusat, Tim Raskin Propinsi dan terakhir Tim Raskin Kabupaten/Kota yang mengalokasikan pagu raskin untuk tiap-tiap kecamatan dan desa/kelurahan.

b. Penentuan Keluarga Sasaran Penerima Manfaat

1. Musyawarah Desa/Kelurahan untuk memilih Keluarga Sasaran Penerima Manfaat sesuai pagu yang diterima yang melibatkan aparat Desa/Kelurahan, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), anggota Badan Permusyawaratan Desa/Dewan Kelurahan, institusi kemasyarakatan Desa/Kelurahan, tokoh masyarakat dan perwakilan keluarga miskin.

2. Keluarga yang dipilih dalam musyawarah Desa/Kelurahan dituangkan dalam Berita Acara Musyawarah Desa/Kelurahan yang dilampiri Daftar Keluarga Sasaran Penerima Manfaat dan ditandatangani Kepala Desa/Lurah serta disahkan oleh Camat setempat.

3. Jumlah Keluarga Sasaran Penerima Manfaat setiap Desa/Kelurahan dilaporkan secara berjenjang ke tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota dan provinsi, dan menjadi dasar pembuatan Surat Permintaan Alokasi (SPA) oleh Bupati/Walikota kepada Divre/Subdivre/Kanlog.

c. Pelaksanaan Distribusi

1. Bupati/Walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada Kadivre/Kasubdivre/. Berdasarkan SPA, Kadivre/Kasubdivre/Kakanlog menerbitkan SPPB/DO beras kepada Satgas Raskin.

2. Berdasarkan DO yang diterbitkan Kadivre/Kasubdivre/Kakanlog, Satgas Raskin mengambil beras di gudang bulog, mengangkut dan menyerahkan beras Raskin kepada Pelaksana Distribusi di Titik Distribusi.

3. Pelaksana Distribusi menyerahkan beras kepada Keluarga Sasaran Penerima Manfaat yang terdaftar dalam DPM.

d. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Distribusi

1. Penyerahan Beras di Titik Distribusi dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh Satgas Raskin dan Pelaksana Distribusi serta diketahui oleh Kepala Desa/Lurah/Camat. Berdasarkan BAST, Divre/Subdivre/Kanlog membuat rekapitulasi masing-masing Kecamatan dan Kabupaten/Kota.

2. Pelaksana Distribusi membuat daftar pendistribusian beras dan pembayaran hasil penjualan beras yang ditandatangani oleh Pelaksana Distribusi dan diketahui oleh Kades/Lurah.

3. Uang HPB Raskin harus langsung diserahkan kepada Satgas Raskin dan dibuatkan Tanda Terima Pembayaran atau disetorkan ke rekening penampungan Divre/Subdivre/Kanlog.

Page 12: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

11

4. Apabila ada keluarga tidak mampu membayar tunai, maka prinsip pembayaran tunai dapat dikecualikan dengan syarat adanya jaminan tertulis dan pelunasannya selambat-lambatnya sebelum jadwal pendistribusian bulan berikutnya. Keterlambatan pelunasan menyebabkan tertundanya alokasi Raskin bulan berikutnya.

e. Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) di Desa Jotangan Kabupaten Klaten

Pelaksanaan Program Raskin mengacu pada Pedoman Umum Program Raskin yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dengan Perum Bulog. Pemerintah Kabupaten Klaten menerima alokasi pagu Raskin dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang selanjutnya dialokasikan ke tiap-tiap kecamatan dan desa di Kabupaten Klaten. Alokasi tersebut jumlahcenderung menurun tiap tahunnya, meskipun dari alokasi yang diterima belum semua keluarga miskin mendapat alokasi sesuai ketentuan. Tahun 2003 sebanyak 40.270 KK dari 90 ribu lebih keluarga miskin mendapat alokasi beras dengan quantum 20 kg. Tahun 2004 terjadi penurunan alokasi menjadi 38.440 KK. Tahun 2005 menurun lagi menjadi 36.566 KK. Terhadap penurunan ini, juga dilakukan penyesuaian alokasi untuk tiap-tiap kecamatan dan desa.

Penetapan kepala keluarga sasaran penerima manfaat melalui rembug desa dan dituangkan dalam Berita Acara Rembug Desa yang dilampiri Daftar Penerima Manfaat. Meskipun dalam Daftar Penerima Manfaat tiap-tiap keluarga menerima 20 kg, tetapi dalam pelaksanaan distribusi tidak demikian halnya. Untuk Desa Jotangan, keluarga dalam Daftar Penerima Manfaat sebanyak 170 kepala keluarga dan jumlah kuantum beras untuk desa tersebut adalah 3.400 kg. Dalam pelaksanaannya jumlah keluarga dan beras yang diterima bervariasi berdasarkan kesepakatan tiap-tiap RT.

TABEL II.2Alokasi Beras Untuk Rakyat Miskin Desa Jotangan

No TahunDesa Jotangan

KK Kuantum (kg)1 2003 182 3.6402 2004 182 3.6403 2005 170 3.400

Sumber: Kantor Kecamatan Bayat, 2005

Pelaksanaan distribusi raskin dilaksanakan selama 12 kali dalam satu tahun. Distribusi raskin biasanya dilaksanakan pada tiap awal bulan antara tanggal 6 sampai tanggal 9. Untuk Desa Jotangan, titik distribusi adalah Balai Desa Jotangan untuk kemudian tiap-tiap RT mengambil jatah mereka yang selanjutnya dibagikan kepada warga yang menerimanya.

Hasil penjualan raskin harus disetor ke BRI paling lambat H+7, sedangkan Kecamatan Bayat menetapkan H+3 sudah harus disetor. Terhadap petugas distribusi yang belum menyetorkan HPB maka satgas Raskin Kecamatan Bayat akan melakukan penagihan ke petugas distribusi desa yang belum menyetor tersebut.

GAMBAR 2.2Implementasi Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin)

di Desa Jotangan

Page 13: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

12

2.2.2 Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Bidang PendidikanPKPS BBM Bidang Pendidikan merupakan upaya pemerintah dalam rangka

membantu masyarakat yang kurang/tidak mampu membiayai pendidikan dalam bentuk Bantuan Khusus Murid (BKM). Program BKM bertujuan agar murid yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu, dapat membiayai keperluan sekolahnya sehingga murid : (1) tidak putus sekolah akibat kesulitan ekonomi; (2) mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

Dana BKM disalurkan setiap enam bulan dengan jumlah dana untuk murid SD/SDLB/MI sebesar Rp 60.000,-; murid SLTP/SLTPLB/ MTs sebesar Rp 120.000,- dan SMU/SMK/SMLB/MA sebesar Rp 150.000,-. Dana BKM dapat dimanfaatkan antara lain untuk: membayar iuran bulanan sekolah/madrasah; pembelian perlengkapan murid (buku dan alat tulis); transportasi ke sekolah/madrasah; dan biaya hidup murid sehari-hari.

PKPS BBM Bidang Pendidikan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001 dalam bentuk BKM. Program ini merupakan kelanjutan Program JPS Beasiswa berupa pemberian beasiswa bagi siswa dari keluarga tidak/kurang mampu yang mulai dilaksanakan pada tahun 1998 dan berakhir pada tahun 2003. Kedua program ini selanjutnya diintegrasikan pada tahun 2003. BKM berlangsung sejak tahun 2001 sampai dengan bulan Juni 2005 Mulai bulan Juli 2005 untuk tingkatan SD dan SLTP atau yang sederajat program ini diberikan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya untuk SD Rp 117.500/siswa untuk 6 bulan dan SLTP Rp 162.250/siswa untuk 6 bulan. Berbeda dengan BKM yang sasarannya siswa dari keluarga tidak/kurang mampu, BOS dialokasikan untuk seluruh siswa yang ada di sekolah yang mendapatkan alokasi BOS. Sedangkan untuk SLTA atau sederajat tetap diberikan dalam bentuk BKM yang besarnya Rp 65.000/siswa/bulan.

Perbedaan mendasar antara BOS dan BKM adalah, kalau BKM langsung diterimakan kepada siswa sedangkan BOS yang menerima dan mengelola adalahpihak sekolah. Perbedaan lainnya yaitu kalau BOS jumlah yang diterima adalah berdasarkan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut, sedangkan BKM hanya untuk siswa yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu.

a. Penetapan Jumlah Alokasi BKMPenetapan jumlah murid penerima BKM dilaksanakan dalam tiga tahap:1. Tim Pusat menentukan alokasi BKM masing-masing Kabupaten/Kota dan

selanjutnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menentukan jatah murid penerima BKM per sekolah/madrasah.

2. Kepala Sekolah/Madrasah menentukan murid penerima BKM dengan kriteria: (a) berasal dari keluarga kurang/tidak mampu; (b) bertempat tinggal jauh dari sekolah/madrasah; (c) mempunyai lebih dari tiga saudara yang berusia dibawah 18 tahun; (d) yatim dan atau piatu; dan (e) pertimbangan lain, misalnya: cacat fisik, korban musibah berkepanjangan, atau anak korban PHK.

b. Pengambilan Dana BKM

Page 14: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

13

Dana BKM harus diterima secara utuh, tidak diperkenankan melakukan pemotongan atau pungutan biaya apapun dengan alasan apapun dan oleh pihak manapun.

1. Murid atau Kepala Sekolah/Madrasah mengambil dana BKM sekaligus dari Kantor Pos yang ditunjuk. Dana BKM diambil langsung oleh murid penerima BKM. Jika murid mengalami kesulitan ke kantor pos, dana BKM dapat diambil secara kolektif oleh Kepala Sekolah/Madrasah.

2. Apabila dana BKM belum diambil sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dana tersebut tidak bisa diambil pada periode berikutnya

c. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Program1. Dinas Pendidikan membuat Surat Keputusan tentang jatah penerima BKM untuk

dikirim kepada Depdiknas.2. Kepala Sekolah/Madrasah menerbitkan Surat Keputusan seleksi murid yang

menerima BKM untuk dikirim kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kantor Pos bayar.

3. Apabila pengambilan secara kolektif, Kepala Sekolah mengirimkan tanda terima penyerahan BKM kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kantor Pos Bayar

d. Pelaksanaan PKPS BBM Bidang Pendidikan Di Desa Jotangan Kabupaten Klaten

Berdasarkan daftar alokasi BKM untuk Kabupaten Klaten, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Klaten mengalokasikan BKM tersebut untuk tiap-tiap sekolah berdasarkan ketentuan yang berlaku. Alokasi BKM untuk Kabupaten Klaten periode Januari sampai dengan Juni 2005 adalah untuk SD dan sederajat 29.879 murid dengan dana Rp 1.792.740.000,-, untuk SLTP dan sederajat 14.287 dengan dana Rp 1.714.440,-, dan untuk SLTA dan sederajat sebanyak 7.119 murid dengan dana Rp 1.067.850.000,-. Alokasi BKM untuk murid sekolah dasar di Desa Jotangan seperti terlihat dalam tabel berikut:

TABEL II.3Penerima Beasiswa Di Desa Jotangan

No Nama SD/ MI Jumlah MuridPenerima Beasiswa

1 SD Jotangan I 132 38

2 SD Jotangan II 149 41

Jumlah 281 79Sumber: Kantor Cabang Dinas P dan K Kecamatan Bayat,2005

Penetapan siswa yang menerima BKM murid sekolah dasar di Desa Jotangan dilakukan melalui rapat komite sekolah. Mengingat sebagian besar orang tua murid adalah keluarga tidak mampu, murid yang menerima BKM dilakukan secara bergilir tiap tahunnya.

Pengambilan BKM ke Kantor Pos Bayat dengan memberikan surat kuasa kolektif kepada Kepala SD. Selanjutnya sekolah yang membagikan BKM tersebut kepada murid yang mendapat jatah BKM secara tunai. Apabila murid yang bersangkutan mempunyai

Page 15: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

14

tunggakan uang sekolah dan iuran sekolah lainnya, maka jumlah yang diterima dikurangi terlebih dahulu dengan tunggakan tersebut. Setelah selesai pembagian BKM, sekolah akan mengirimkan bukti penerimaan BKM kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Klaten melalui Cabang Dinas Kecamatan Bayat dan Kantor Pos Bayat.

2.2.3 Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Bidang Kesehatan

PKPS BBM Bidang Kesehatan adalah program pemerintah untuk melayani keluarga miskin agar tetap terpelihara kesehatannya, bahkan ditingkatkan derajat kesehatannya. Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan pelayanan kesehatan keluarga miskin agar dapat dipertahankan dan ditingkatkan derajat kesehatannya.

PKPS BBM Bidang Kesehatan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001 yang merupakan kelanjutan dari Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan yang mulai dilaksanakan tahun 1998. Pada tahun 2003 kedua program tersebut dipadukan dalam satu program yaitu PKPS BBM Bidang Kesehatan.

a. Penetapan Sasaran

1. Identifikasi sasaran oleh Tim Desa berdasarkan data sasaran atau data rumah tangga miskin yang telah ada di desa divalidasi/dimutakhirkan oleh Tim Desa.Hasil validasi data identitas sasaran kemudian disampaikan ke Puskesmas.

2. Identifikasi sasaran direkapitulasi oleh Puskesmas dan dikirimkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya data sasaran tersebut ditetapkan oleh Tim Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK).

3. Keluarga miskin yang telah ditetapkan oleh TKK akan diberi kartu sehat oleh puskesmas untuk memperoleh pelayanan dari program ini secara gratis yang berlaku selama satu tahun dan dapat diperpanjang selama pemilik kartu masih termasuk sebagai sasaran program.

b. Penerimaan Dana

1. Rumah Sakit, BP4 dan BKMM menerima dana untuk pemberian pelayanan kesehatan di instansi masing-masing. Mekanisme yang ditempuh adalah Rumah Sakit, BP4, dan BKMM memberikan operasional pelayanan kepada pasien miskin dan kebutuhan biayanya diklaimkan kepada pengelola Program PKPS BBM Bidang Kesehatan di RS, BP4, dan BKMM yang bersangkutan.

2. Dinas Kesehatan Provinsi, menerima dana penunjang untuk masing-masing provinsi. Dinas Kesehatan provinsi mendorong, memantau dan mengkoordinasikan keterpaduan penyusunan Paket Pelayanan Esensial (PPE) yang menjadi dasar acuan dalam memberikan pelayanan kepada pasien gakin.

3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, menerima dana penunjang untuk masing-masing Kabupaten/Kota, termasuk dana bantuan untuk pengiriman obat dari kabupaten/kota ke Puskesmas.

4. Puskesmas menerima dana untuk pemberian pelayanan kesehatan di masing-masing puskesmas yang meliputi (i) pelayanan kesehatan dasar; (ii) pelayanan kebidanan; dan (iii) revitalisasi posyandu.

5. Bidan di Desa, menerima dana untuk pemberian pelayanan kebidanan dasar oleh masing-masing Bidan di Desa.

c. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Program

Page 16: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

15

1. Rumah Sakit, BP4, BKMM, Puskesmas, Bidan di Desa, dan Sekretariat PKPS-BBM membuat laporan kepada Tim Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK) dan Tim Koordinasi Propinsi (TKP) mengenai realisasi penggunaan dana yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Laporan dibuat dan dikirim oleh TKK dan TKP mengenai pelaksanaan program yang terdiri: (i) Laporan bulanan Puskesmas dan Bidan di Desa tentang jumlah pelayanan kesehatan yang dilakukan; (ii) Laporan RS, BP4 dan BKMM tentang jumlah pelayanan yang dilakukan dan biaya yang dikeluarkan dan perkembangan dana yang dikelolanya.

3. Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Provinsi tentang pembiayaan program PKPS BBM, penerimaan dan distribusi obat. dan penanganan pengaduan masyarakat.

Sejak bulan Januari 2005 dalam pelaksanaan PKPS BBM Bidang Kesehatan, pemerintah menugaskan PT Askes sebagai penyelenggara program dengan sebutan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM). Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin, PT Askes bekerja sama dengan fasilitas kesehatan milik pemerintah. Pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin tidak mengalami perubahan, hanya dalam pengelolaan dana dan pengadministrasian yang berbeda. Semula Bidan Desa, Puskesmas, Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan langsung menggunakan dana yang mereka kelola. Sedangkan saat ini masing-masing pemberi pelayanan kesehatan setiap bulan melaporkan pelayanan yang telah mereka laksanakan kepada PT Askes untuk mendapatkan penggantian dana.

d. Pelaksanaan PKPS BBM Bidang Kesehatan Di Desa Jotangan Kabupaten Klaten

Pelaksanaan PKPS BBM Bidang Kesehatan di Kabupaten Klaten mengacu pada pedoman pelaksanaan yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Penentuan sasaran program adalah semua keluarga miskin di Kabupaten Klaten dimasukkan dalam program ini yang berdasarkan data terakhir berjumlah 93.172 kepala keluarga atau 258.988 jiwa. Pertimbangan adalah pemanfaatan program inidengan tingkat utilitas 15%.

Keluarga miskin di Desa Jotangan yang menerima kartu sehat sebanyak 485 kepala keluarga dari jumlah keseluruhan 7.947 kepala keluarga di KecamatanBayat yang menjadi sasaran program ini. Dalam JPKMM penghitungan masyarakat miskin menggunakan dasar jiwa. Jumlah jiwa di Desa Jotangan yang masuk program JPKMM adalah 1.054 jiwa dengan cadangan 55 jiwa dari jumlah 20.979 jiwa penduduk miskin yang mendapat program ini seluruh Kecamatan Bayat dengan cadangan 1.103 jiwa. Cadangan ini digunakan untuk mengantisipasi kelahiran baru dan penduduk miskin baru.

GAMBAR 2.3Implementasi PKPS BBM Bidang Kesehatan Di Desa Jotangan

Page 17: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

16

Pelayanan kesehatan pada Bidan Desa Jotangan rata-rata perbulan menerima 100 pasien dimana 70% memanfaatkan program ini. Puskesmas Bayat memberikan pelayanan menurut kemampuan dan apabila Puskesmas tidak mampu melayani akan dirujuk ke rumah sakit RSUP Dr Suradji Tirtonegoro dan RS Jiwa Dr. Sudjarwadi. Dalam JPKMM apabila rumah sakit pemerintah di daerah tidak mampu menangani dapat dirujuk ke rumah saki propinsi bahkan sampai Rumah Sakit Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk kasus life saving.

Pertanggungjawaban dalam PKPS BBM Bidang Kesehatan adalah masing-masing pemberi pelayanan kesehatan melaporkan penggunaan dana yang mereka kelola. Sedangkan dalam PJKMM masing-masing pemberi pelayanan kesehatan melaporkan pelayanan kesehatan yang telah mereka lakukan untuk selanjutnya diklaimkan kepada PT Askes Cabang Boyolali untuk memperoleh penggantian.

2.2.4 Program Pengembangan Kecamatan (PPK)

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dengan menanggulangi masalah kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan.

Tujuan PPK adalah mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan desa serta peningkatan penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

a. Penentuan Sasaran

Sasaran utama PPK adalah kelompok penduduk miskin perdesaan pada kecamatan miskin. Kecamatan lokasi PPK ditentukan oleh Tim Koordinasi PPK Pusat dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah, dengan pertimbangan: (a) jumlah penduduk miskin; (b) peringkat kemiskinan; (c) indeks kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan; dan (d) indeks kualitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi.

Jenis kegiatan PPK sangat terbuka untuk semua usulan kegiatanmusyawarah yang akan didanai (open menu), terutama jenis kegiatan yang menguntungkan dan melibatkan banyak masyarakat miskin serta memiliki potensi berkembang dan berkelanjutan. Jenis kegiatan tersebut meliputi:

1. Penyediaan prasarana sosial ekonomi.

2. Perluasan kesempatan berusaha yang meliputi Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kegiatan Simpan Pinjam bagi Kelompok Perempuan.

3. Peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin melalui bidang pendidikan dan kesehatan termasuk kegiatan pelatihan.

b. Pelaksanaan Program

1. Sosialisasi PPK dari tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan melalui Musawarah Antar Desa Pertama (MAD I) dan tingkat desa melaluiMusyawarah Desa Pertama

Page 18: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

17

(Musdes I).

2. Perencanaan Program meliputi:

Penggalian gagasan kelompok/dusun dan musyawarah khusus perempuan untuk membahas usulan kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan dan usulan luar kegiatan simpan pinjam.

Musdes Kedua untuk menetapkan usulan kegiatan desa dan usulan simpan pinjam kelompok perempuan yang akan diajukan ke MAD II.

MAD II akan membahas, memilih, memutuskan dan menetapkan peringkat usulan kegiatan dari masing-masing desa. Tim verifikasi di tingkat kecamatan memeriksa dan menilai kelayakan usulan kegiatan dari masing-masing desa yang akan didanai PPK.

MAD III akan membahas dan menetapkan alokasi dana kegiatan berdasarkan peringkat usulan kegiatan yang disetujui dalam MAD II,desain dan RAB kegiatannya. Selanjutnya Musdes III akan mensosialisasikan hasil penetapan alokasi dana PPK.

3. Pelaksanaan Kegiatanan

Persiapan kegiatan berupa koordinasi dan konsolidasi awal di kecamatan dan persiapan (pra pelaksanaan) di desa.

Pelaksanaan kegiatan mulai dari pencairan dana, pengadaan bahan, alat dan tenaga kerja, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Penyelesaian kegiatan berupa pembuatan laporan penyelesaian pelaksanaan kegiatan, pembuatan realisasi kegiatan dan biaya, musdes untuk serah terima kepada masyarakat.

c. Pertanggungjawaban Kegiatan

1. Hasil pelaksanaan kegiatan dipertanggungjawabkan dalam musdes untuk serah terima kepada masyarakat setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.

2. Pelaporan dilakukan melalui jalur struktural dan jalur fungsional. Pelaporan jalur struktural akan melibatkan beberapa pihak di lingkungan pemerintah. Pelaporan jalur fungsional akan melibatkan beberapa pihak di lingkungan lembaga pendukung (konsultan).

3. Pemeriksaan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara internal oleh pelaku PPK sendiri seperti pemeriksaan rutin dan berkala oleh FK dan Pendamping Lokal, Pemeriksaan insidentil oleh KM Kabupaten dan pemeriksaan eksternal oleh BPKP sebagai auditor resmi dalam PPK ini.

d. Pelaksanaan PPK Di Desa Jotangan

Pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan di Kabupaten Klaten mengacu kepada petunjuk Teknis Operasional dan penjelasannya yang diterbitkan oleh Tim Koordinasi PPK Pusat. Kecamatan yang memperoleh alokasi PPK yaitu: Kecamatan Bayat, Trucuk, Jatinom, Manisrenggo dan Kecamatan Kemalang.

Kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk lebih dari 50.000 jiwa memperoleh alokasi Rp 1 miliar selama 3 tahun anggaran (total 3 miliar yang diterima) yaitu Bayat, Trucuk dan Jatinom, sedangkan kecamatan yang jumlah penduduknya kurang dari 50.000

Page 19: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

18

jiwa memperoleh alokasi Rp 750 juta yaituManisrenggo dan Kemalang.

Desa Jotangan selama 3 tahun pengalokasian dana PPK di Kecamatan Bayat mendapatkan alokasi dana seperti dalam tabel dibawah ini:

TABEL II.4Hasil Kegiatan PPK Di Desa Jotangan

No Kegiatan VolumeBiaya Tenaga

KerjaPPK Swadaya Total

1Beton Jalan Di Dukuh Gatak

3 x 890 m 83.290.440 3.824.000 87.114.440 85

2Talud Irigasi Dukuh Bogoran

1,5 x 400 m 27.786.550 6.250.000 34.036.550 27

3Beton Jalan Di Dukuh Pulorejo

2,5 x 565 m 41.536.850 950.000 42/486.850 64

4 Simpan Pinjam - 20.000.000 0 045

anggotaSumber: Sekretariat PPK Kecamatan Bayat, 2005

GAMBAR 2.4Implementasi PPK Di Desa Jotangan

Dalam pelaksanaan kegiatan PPK diharuskan adanya swadaya dari masyarakat. Swadaya masyarakat diperoleh dari sebagian upah tenaga kerja yang ikut dalam pembangunan yang dilaksanakan. Sedangkan untuk kegiatan simpan pinjam dan usaha ekonomi produktif, umumnya digunakan untuk usaha jualan makanan kecil-kecilan, warung maupun untuk membeli bibit tanaman bagi petani. Jumlah anggota kelompok sebanyak 45 orang masih terlalu sedikit dibandingkan jumlah keluarga miskin di desa ini yaitu 485 keluarga.

Page 20: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

19

BAB III

KAJIAN TEORITIS PENDEKATAN PERENCANAAN

3.1 SEJARAH PEMIKIRAN PERENCANAAN

Adanya berbagai permasalahan di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota menengah dan kota besar, terutama diakibatkan kurang dilibatkannya masyarakat di dalam proses pembangunan kota-kota dimaksud, sejak proses awal yaitu dari tahap perencanaan. Akibatnya hasil pembangunan di kota-kota menengah dan besar di Indonesia cenderung mengarah untuk menampung kebutuhan sebagian kecil kelompok masyarakat, yang rata-rata berpenghasilan tinggi dan menengah. Sebagian besar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tidak tertampung aspirasinya, pada perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan kawasan.

Page 21: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

20

Dalam kegiatan pembangunan, masyarakat menjadi target program-program publik. Masyarakat sebagai pihak yang akan terpengaruh oleh hasil pelaksanaan pembangunan sudah seharusnya dilibatkan dalam pengambilan-pengambilan keputusan oleh pemerintah.

John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai perencanaan sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan sosial dan proses transformasi sosial. Pemikiran tersebut dia jabarkan menjadi empat tradisi, yang dijabarkan dalam dua konsep pendekatan besar, yaitu pendekatan perencanaan dari atas (top down planning) dan pendekatan perencanaan dari bawah (bottom up planning).

GAMBAR III.1Sejarah Pemikiran Perencanaan Friedman

Sumber: Materi Kuliah Teori Perencanaan, 2010

Page 22: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

21

3.2 PENDEKATAN PERENCANAAN DARI ATAS (TOP DOWN PLANNING)

Perencanaan dari atas adalah adalah perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemberi gagasan awal, yang berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program dari awal perencanaan hingga proses evaluasi, dan peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. Menurut Friedman (1987), perencanaan dari atas (top down planning) terbagi dalam dua tradisi, yaitu reformasi sosial (social reform) dan analisis kebijakan (policy analysis).

a. Reformasi Sosial (Social Reform)

Pada awalnya, pemikiran perencanaan selalu berpusat pada kekuasaan. Bahkan hingga kini, dalam banyak kasus, proses perencanaan masih mengacu pada paradigma pemikiran perencanaan tersebut. Sifat sistem perencanaan social reform ini adalah sentralisasi, dilakukan untuk masyarakat, perencanaan dari atas, berjenjang dan dengan politik terbatas.

Proses pengambilan keputusan dengan pendekatan dari atas ke bawah. Peran perencana di dalam pembangunan masyarakat melalui peran negara. Perencana memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan negara untuk ikut mengarahkan dan merencanakan pembangunan masyarakat. Perencana memandu masyarakat dari atas, karena masyarakat tidak cukup tahun untuk terlibat dalam perencanaan.

Dasar pemikiran social reform adalah paradigma perencanaan yang dikembangkan melalui pemikiran bahwa pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan, berhak untuk menentukan arah pembangunan, tetapi tetap mempertimbangkan kepentingan publik. Peran pemerintah yang besar dalam menentukan arah perencanaan pembangunan didasari pada alasan untuk mempertanggungjawabkan peran dan fungsi mereka didalam mengatur kegiatan nasional dan negara.

GAMBAR III.2Konsep Praktis Social Reform

Sumber: Materi Kuliah Teori Perencanaan, 2010

Page 23: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

22

Dalam social reform, masyarakat menjadi obyek pembangunan, meskipun mereka memiliki akses untuk terlibat didalam pembangunan, tetapi keputusan utama tergantung dari penguasa atau pemerintah. Apapun yang telah diputuskan oleh pemerintah merupakan arahan dan pedoman pembangunan yang harus dilaksanakan dan diikuti oleh masyarakat.

b. Analisis Kebijakan (Policy Analysis)

Dalam system perencanaan ini, Pemerintah bersama stakeholders memutuskan persoalan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini desentralisasi, bersama masyarakat, scientific, dan dengan politik terbuka. Menurut Friedmann (1987), Policy Analysis dipengaruhi oleh dua pemikiran utama, yaitu:

1. Engineering system, yang mengedepan implementatatif-praktis sebagai fokus perencanaan.

2. Konsep rational-ilmiah, untuk meyakinkan benarnya sebuah proses perencanaan terhadap stakeholders.

Policy analysis merupakan aliran pemikiran perencanaan yang secara umum memanfaatkan kapasitas ilmu pengetahuan perencana untuk menyelenggarakan proses perencanaan. Stakeholders, termasuk masyarakat, cenderung berperan sebagai obyek yang mendapatkan manfaat dari proses perencanaan..

Peran penentu kebijakan amat menonjol di dalam perencanaan pembangunan. Para penentu kebijakan tersebut terdiri dari berbagai pihak (pemerintah dan sebagainya) yang dapat menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman pembangunan, yang dapat diterima dan diyakini oleh masyarakat, dan pada akhirnya dilaksanakan oleh masyarakat.

GAMBAR III.3Proses Policy Analysis

Sumber: Materi Kuliah Teori Perencanaan, 2010

Sumber: Materi Kuliah Teori Perencanaan, 2010

Untuk dapat meyakinkan masyarakat, perencana memiliki peran yang sangat penting. Hal ini dikarenakan mereka menguasai berbagai teknik, kemampuan dan ilmu pengetahuan. Perencana memanfaatkan kemampuan dan penguasaan ilmu yang dimilikinya untuk mengarahkan dan merencanakan pembangunan masyarakat, dengan meyakinkan (secara analisis-rasional) masyarakat untuk mendukungnya. Pendekatan

Page 24: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

23

rasionalistik digunakan oleh para perencana untuk mempertemukan dan menyamakan persepsi antara perencana sebagai pencetus dan perumus konsep dengan masyarakat yang dimintai pendapatnya.

3.3 PENDEKATAN PERENCANAAN DARI BAWAH (BOTTOM UP PLANNING)

Perencanaan dari bawah adalah perencanaan yang dilakukan berdasarkan gagasan dari masyarakat sedangkan pemerintah pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dalam suatu program. Masyarakat sangat berperan dalam hal pemberian gagasan awal sampai dengan proses evaluasi program yang telah dilaksanakan. Menurut Friedman (1987), perencanaan dari bawah (bottom up planning) terbagi dalam dua tradisi, yaitu pembelajaran sosial (social learning) dan mobilisasi sosial (social mobilization).

a. Pembelajaran Sosial (Social Learning)

Sifat perencanaan social learning adalah learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka. Social Learning menekankan bahwa pengetahuan perencanaan diperoleh lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktek (learning by doing). Tradisi ini merupakan kritik terhadap kegagalan perencanaan yang ditetapkan pemerintah dan menyadarkan masyarakat bahwa paradigma pembelajaran mungkin sesuai dan seharusnya diambil sebagai perencanaan.

Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dijalankan bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat. Perencana berperan sebagai fasilitator dalam proses perencanaan pembangunan. Mereka memberdayakan masyarakat dengan memberikan arahan-arahan teknik dan metoda yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.

GAMBAR III.4Konsep Praktis Social Learning

Sumber: Materi Kuliah Teori Perencanaan, 2010

Prinsip praktis dalam pemikiran social learning adalah bagaimana merubah kapasitas masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan memasukkan unsur-unsur baru.

Salah satu bentuk social learning adalah perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif adalah salah satu proses perencanaan yang terkategorikan sebagai proses

Page 25: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

24

yang kompleks. Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumber daya lokal berdasarkan kajian musyawarah, yaitu peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peran-serta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan, dan peningkatan rasa-memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun.

Ciri khusus perencanaan partisipatif dapat dilihat dari adanya peran serta masyarakat dalam proses pembangunan desa. Adapun ciri-ciri perencanaan partisipatif antara lain sebagai berikut (Anonim, 2008) :

1) Adanya hubungan yang erat antara masyarakat dengan kelembagaan secara terus-menerus.

2) Masyarakat atau kelompok masyarakat diberi kesempatan untuk menyatakan permasalahan yang dihadapi dan gagasan-gagasan sebagai masukan berharga.

3) Proses berlangsungnya berdasarkan kemampuan warga masyarakat itu sendiri.

4) Warga masyarakat berperan penting dalam setiap keputusan.

5) Warga masyarakat mendapat manfaat dari hasil pelaksanaan perencanaan.

Pendapat lain mengenai ciri-ciri perencanaan partisipatif adalah (Sunarti, 2010):

• Proaktif atau sukarela (tanpa disuruh)

• Adanya kesepakatan yang diambil bersama oleh semua pihak yang terlibat dan yang akan terkena akibat kesepakatan tersebut

• Adanya tindakan mengisi kesepakatan tersebut

• Adanya pembagian kewenangan dan tanggungjawab dalam kedudukan yang setara antar unsur/pihak yang terlibat

Fred Fisher dalam Building Bridges Between Citizens and Local Goverment to Work More Effectively Through Participatory Planning halaman 64-65 yang diterbitkan oleh United Nations (UN) memberikan penjelasan tentang perencanaan partisipatif dan membagi prosesnya dalam beberapa fase sebagai berikut :

a. Fase 1 : Inisiasi Proses Perencanaan Partisipatif

Fase ini melibatkan “ peristiwa-peristiwa pemicu” yang memotivasi individu, kelompok, atau organisasi untuk terlibat dengan aksi yang bermanfaat dalam proses perencanaan partisipatif. Peristiwa-peristiwa ini dapat berupa permasalahan yang harus diselesaikan ataupun peluang-peluang yang tidak tercapai. Permasalahan biasanya ditemukan melalui kesadaran pada saat peluang berkembang dari individu atau pada saat berbagi pandangan bersama mengenai apa yang mungkin. Pada titik ini, penawaran peluang menerapkan proses perencanaan partisipatif bisa jadi dianggap sebagai pilihan perencanaan strategis, khususnya jika peluang yang potensial dicapai ditemukan pada fasse ini.

b. Fase 2 : Membangun Hubungan yang Produktif

Partisipasi adalah sebuah proses tentang kerjasama untuk mengerjakan sesuatu pada tingkat lokal. Hal ini bisa melibatkan kerjasama antara pemerintah daerah, LSM lokal dan masyarakat atau antar pemerintah derah, instansi publik yang lebih tinggi, dan sektor swasta atau kombinasi antara pihak-pihak tersebut. Usaha awal untuk

Page 26: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

25

memperluas visi /pandangan atau penyelesaian masalah ini juga merupakan proses awal penggunaan analisa stake holder/pemangku kepentingan.

Fase ini termasuk keputusan mengenai ya atau tidaknya penggunaan fasilitator untuk memimpin proses perencanaan partisipatif. Kita asumsikan bahwa kita memerlukan fasilitator dalam proses perencanaan partisipatif, baik berasal dari dalam lingkaran penggagas ide/inisiator maupun seseorang yang berasal dari pihak-pihak yang berpartisipasi. Menciptakan susunan kerja yang berhasil dengan bantuan fasilitator atau melalui proses konsultasi biasanya disebut sebagai “mengontrak” pelayanana mereka. Bukan susunan kontrak resmi/legal seperti biasanya tapi lebih sebagai sebuah bentuk kontrak sosial.

c. Fase 3 : Menjangkau keluar atau memusatkan kedalam

Pada fase proses ini, kita akan mendiskusikan pilihan keterlibatan dalam proses panjang perencanaan strategis, yang dimaksud adalah menjangkau keluar atau langsung mengacu pada proses perencanaan partisipatif untuk segera mencari penyelesaian (problem solving). Opsi untuk memusatkan kedalam biasanya mengacu pada “rencana aksi”. Dua keahlian kunci, baik mempunyai visi ke depan maupun mencari penyelesaian masalah, terlibat pada fase ini tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Diluar penentuan apakah prosesnya akan berjalan dalam jangka waktu lama dan strategis atau berlangsung dalam waktu singkat dan berorientasi masalah, perencanaan partisipatif mengikuti rangkaian peristiwa yang sama meskipun dalam konteks yang sangat berbeda

d. Fase 4 : Pencarian fakta dan menganalisanya

Tergantung pada konteksnya, baik berorientasi problem solving yang singkat ataupun berfokus pada visi yang berlangsung lama, akan ada serangkaian tahap yang harus dilengkapi sebelum mendefinisikan rencana strategis atau menguraikan detail tindakan. Dalam hal ini termasuk : mengumpulkan data, informasi dan gagasan-gagasan; mengorganisasi dan menganalisanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai permasalahan dan peluangnya; menentukan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai; dan memperkirakan kemungkinan pencapaian tujuan dan sasaran. Tahap terakhir ini meliputi berbagai alat seperti analisa SWOT dan analisa medan gaya.

e. Fase 5 : Rencana sebagai rangkaian aksi

Pada titik ini, semua pihak yang terlibat akan mempersempit sasaran yang ingin mereka capai menjadi lebih realistik, menentukan pilihan terbaik mereka dan bisa jadi pelibatan kembali para pemangku kepentingan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Fase proses perencanaan ini termasuk memutuskan siapa mengerjakan apa dengan siapa dengan parameter kapasitas tertentu, termasuk bingkai waktu dan komitmen waktu untuk menyempurnakan tujuan dan sasaran atau mencapai visi mereka. Terakhir tim akan melihat dampak potensial dari pelaksanaan/implementasi rekomendasi tim dan menentukan pemantauan dan skema evaluasi/penilaian dampak.

f. Fase 6 : Pelaksanaan Aksi, pengukuran dampak dan bergerak

Tahapan proses ini biasanya diluar tanggungjawab langsung tim perencana partisipatif. Meskipun demikian penting bagi tim perencana untuk lebih familiar dengan isu implementasi. Dan ada saat ketika sebagian pihak yang membantu merencanakan program dan aktivitas melibatkan koalisi dengan aparat pemerintah daerah dan perwakilan dari komunitas.

Page 27: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

26

b. Mobilisasi Sosial (Social Mobilization)

Mobilisasi sosial memandang perencanaan sangat ditentukan oleh logika-logika perencanaan radikal agar terjadi transformasi pada komunitas. Menurut Friedmann, tradisi ‘planning in the public domain’ dapat di kelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Tradisi yang bersifat konservatif, yang menunjukkan pemikiran perencanaan yang bersifat konvensional, tradisional dan diakui luas (established).

2. Tradisi yang bersifat radical, yang menunjukkan pemikiran perencanaan yang bersifat fundamental, dan berfokus pada akar permasalahan (roots).

Pemikiran radikal adalah sebuah pemikiran yang bersifat fundamental terdahap akar permasalahan yang dihadapi, biasanya bertentangan dengan pemikiran tradisional atau konvensional karena dianggap membelenggu kebebasan untuk mengembangkan pemikiran secara kontekstual (Materi Kuliah Teori Perencanaan, 2010). Konsep utama tradisi radikal adalah pembangunan harus dilaksanakan oleh masyarakat. Masyarakat digerakkan dengan berbagai ideologi yang sudah tertanam di dalam jiwa dan kebudayaan mereka. Tradisi ini memandang perencanaan sebagai pandual sosial yang sangat berbeda dengan perencanaan sebagai perubahan struktur dan sebagai transformasi sosial.

Peran perencana dalam social mobilization adalah membantu masyarakat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, mendorong penguatan kapasitas masyarakat, dan mendorong terjadinya transformasi pada masyarakat.

3.1.3 Argumentasi Masing-Masing Pendekatan

Masing-masing metode atau pendekatan yang digunakan dalam proses perencanaan pembangunan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini sangat bergantung pada bagaimana dan kapan proses pendekatan itu dilakukan. Berikut argumentasi yang digunakan dalam penerapan masing-masing pendekatan perencanaan.

1. Argumentasi Pendekatan Perencanaan dari Atas (Top Down Planning)

Terdapat beberapa alasan yang dikeluarkan dalam pemakaian pendekatan top down planning, yang juga dapat menjelaskan kelebihan dari penggunaan pendekatan ini, yaitu:

Efisiensi

Top down planning digunakan untuk meminimalisir waktu dan biaya yang dikeluarkan dalam perencanaan suatu program pembangunan. Hal ini biasanya dilakukan apabila pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya baik dalam anggaran maupun sumber daya lainnya. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.

Penegakan aturan (enforcement)

Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menerapkan program-program pembangunan yang ditetapkan sebagai wewenang pemerintah dan masyarakat wajib mengikutinya sebagai aturan dasar.

Konsistensi input - target – output

Dengan menggunakan pendekatan ini, akan terdapat konsistensi antara input, target dan output. Hal ini dikarenakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan lebih memahami tujuan dari suatu program dan target apa yang telah ditetapkan.

Page 28: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

27

Publik/masyarakat masih sulit dilibatkan

Dalam kondisi masyarakat yang belum memahami apa saja yang mereka butuhkan dan bagaimana cara mereka terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pendekatan top down planning sangat mutlak dibutuhkan.

Dalam pelaksanaan perencanaan pendekatan top down planning terdapat beberapa kelemahan, yaitu:

Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.

Masyarakat tidak bisa melihat seberapa jauh suatu program telah dilaksanakan karena tidak ikut terlibat dan memantau kemajuan pelaksanaan program.

Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil akhir dari suatu program.

Kebutuhan dan keinginan masyarakat tidak terakomodir dalam perencanaan sehingga hasil akhir dari suatu program pembangunan tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat.

Masyarakat merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses sehingga pada akhirnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan berkurang.

Masyarakat tidak dapat mengembangkan kapasitas mereka dalam pembangunan.

2. Argumentasi Pendekatan Perencanaan dari Bawah (Bottom Up Planning)

Terdapat beberapa alasan yang dikeluarkan dalam pemakaian pendekatan bottom up planning, yang juga dapat menjelaskan kelebihan dari penggunaan pendekatan ini, yaitu:

Efektivitas

Perencanaan suatu program pembangunan akan berlangsung sangat efektif dengan adanya keterlibatan langsung dari masyarakat. Pemikiran dan pendapat dari masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang mereka hadapi akan sangat membantu pemerintah dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan perencanaan.

Kinerja (performance, outcome), bukan sekadar hasil seketika

Hasil yang ingin dicapai dalam program pembangunan yang menggunakan pendekatan bottom up biasanya adalah program yang bertujuan untuk mencapai target yang lebih luas menyangkut kepentingan masyarakat. Bukan sekedar target yang harus dicapai untuk kepentingan sesaat.

Social virtue (kearifan sosial)

Kearifan sosial dan inisiatif lokal menjadi salah satu hal yang mendasari penggunaan pendekatan ini. Perencanaan untuk satu wilayah belum tentu sesuai untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu, perencanaan yang bersifat global dan top down belum tentu dapat mengatasi permasalahan di seluruh wilayah.

Masyarakat diasumsikan sudah paham hak- hak dan apa yang mereka butuhkan

Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan masukan atau ide-ide kepada pemerintah dalam menjalakan suatu program. Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat akan dapat berjalan sesuai dengan keinginan masyrakat karena ide-

Page 29: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

28

idenya berasal dari masyarakat itu sendiri sehingga masayarakat bisa melihat apa yang diperlukan dan apa yang diinginkan.

Dalam pelaksanaan perencanaan pendekatan bottom up planning terdapat beberapa kelemahan, yaitu:

Keberagaman dalam masyarakat terkadang menjadi penghambat dalam proses perencanaan karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodir. Sehingga pendekatan ini memakan lebih banyak waktu dan biaya untuk mencapai tujuan.

Ketidaksinkronan penetapan program oleh pemerintah dengan input, target maupun output yang dicapai. Hal ini dikarenakan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan yang telah disepakati oleh masyarakat.

Page 30: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

29

BAB IVCRITICAL REVIEW TEORITIS PENDEKATAN PERENCANAAN

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINANDI DESA JOTANGAN KABUPATEN KLATEN

4.1 PENDEKATAN PERENCANAN PROGRAM BERAS UNTUK RAKYAT MISKIN (RASKIN) DI DESA JOTANGAN BERDASARKAN KAJIAN TEORITIS

Upaya pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah telah dimulai sejak awal tahun 1970-an. Sejak saat itu telah banyak program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik dengan sasaran langsung kepada masyarakat miskin maupun dengan sasaran wilayah dimana penduduk miskin tersebut berada.

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama, melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin melalui pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Kedua, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru (UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas).

Program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan mendapatkan kritik antara lain tentang transparansi program, dana yang kebanyakan tidak diterima oleh kelompok yang ditargetkan. Program tersebut masih merupakan kebijakan yang terpusat dan seragam dan memposisikan masyarakat sebagai obyek dalam keseluruhan proses.

Salah satu program penanggulangan kemiskinan yang ada diterapkan di Desa Jotangan adalah Program Beras Untuk Rakyat Miskin (RASKIN). Tujuan program Raskin ini adalah memberikan bantuan beras kepada keluarga miskin untuk memenuhi sebagian kebutuhan pangannya dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Program Raskin merupakan kebijakan yang langsung ditujukan kepada keluarga miskin berupa konsumsi bahan pangan pokok yang menjadi kebutuhan dasar setiap orang. Sasaran program Raskin ini adalah keluarga prasejahtera alasan ekonomi dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi. Data keluarga yang digunakan berdasarkan data yang ditetapkan oleh BKKBN. Data tersebut digunakan sebagai referensi penentuan keluarga sasaran penerima manfaat dalam musyawarah desa/kelurahan.

Sasaran penerima program Raskin ini tidak ditentukan secara jelas namun hanya berdasarkan musyawarah dan kesepakatan masyarakat desa yang dilaporkan kepada kecamatan. Sehingga sangat rentan untuk salah sasaran masyarakat penerima Raskin. Hal ini dapat terlihat dari implementasi program Raskin di Desa Jotangan. Dimana seharusnya setiap KK penerima program Raskin medapatkan jatah beras sebanyak 20 kg setiap bulan. Tetapi dalam pelaksanaan distribusi tidak demikian halnya. Untuk Desa Jotangan, keluarga dalam Daftar Penerima Manfaat tahun 2005 sebanyak 170 kepala keluarga dan jumlah kuantum beras untuk desa tersebut adalah 3.400 kg sedangkan jumlah keluarga miskin di desa tersebut 485 KK. Sehingga dalam pelaksanaannya jumlah keluarga dan beras yang diterima bervariasi berdasarkan kesepakatan tiap-tiap RT. Sehingga penetapan 170 KK tersebut hanya digunakan untuk keperluan administrasi. Penerima raskin ditetapkan berdasarkan kesepakatan setiap RT, sehingga beras raskin yang diterima setiap keluarga jumlahnya bervariasi, bahkan tidak mencapai kuantitas minimal 10 kg yang ditetapkan pemerintah. Hal ini tentunya diakibatkan karena tidak ketatnya syarat dari pemerintah tentang penerima manfaat program Raskin.

Page 31: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

30

Fenomen a tersebut terjadi disebabkan adanya keterbatasan dana yang ada pada pemerintah, sehingga para perencana harus menentukan pilihan antara kualita dan kuantita terhadap bentuk-bentuk pelayanan yang dibutuhkan. Ketentuan normatif pemerintah memilih kualitas dalam program raskin ini. Keluarga miskin yang menjadi sasaran program akan menerima beras 20 kg/KK/bulan. Tetapi pada bagian lain pemerintah juga mempertimbangkan unsur kuantitanya, yaitu kuantum minimal beras yang diterima keluarga sasaran adalah 10-20 kg/KK/bulan. Sedangkan masyarakat memilih kuantitas dalam arti yang lebih luas lagi untuk menjaga kerukunan meskipun beras yang diterima tidak mencapai ketentuan minimal 10-20 kg. Kearifan lokal mempunyai jalan keluarnya dengan membagi kepada semua keluarga miskin. Jika memaksa memilih yang paling miskin, akan berbenturan dengan situasi kekerabatan yang kuat di desa.

Fenomena tidak sesuainya implementasi program dengan ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah mengenai program Raskin di Desa Jotangan ini terjadi karena program Raskin ini dilakukan secara terpusat yang ditentukan oleh pemerintah dengan pembagian penanggungjawab dalam yaitu sebagai berikut:

Penanggung jawab perencanaan adalah Ketua Bappenas

Penanggungjawab pelaksanaan raskin adalah Menteri Dalam Negeri

Penanggungjawab penyediaan data adalah Kepala BKKBN

Penanggungjawab penyediaan dan distribusi adalah Direktur Utama Perum Bulog.

Penentuan pagu raskin ditentukan berdasarkan besarnya anggaran yang disediakan pemerintah dalam APBN. Pagu raskin nasional tersebut selanjutnya dialokasikan secara berjenjang, mulai dari tingkat nasional ke tingkat propinsi, tingkat kabupaten dan yang terakhir tingkat kecamatan dan desa.

Uraian mekanisme dalam penentuan program Raskin tersebut jelas terlihat bahwa pendekatan perencanaan untuk program Raskin dilakukan dengan Top-Down Planning. Pemerintah merencanakan berbagai arahan dan pedoman yang dilaksanakan di masyarakat. Implementasi program Raskin melalui berbagai institusi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan Perum Bulog yangmenyediakan dan mendistribusikan beras kepada masing-masing kabupaten sampai ke titik distribusi. Masyarakat hanya sebagai obyek penerima program raskin yang mengambil beras raskin berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan. Tanpa melibatkan masyarakat dalam mengidentifikasi dan mengakomodasi kebutuhan mereka. Besarnya beras yang diterima keluarga miskin juga telah ditetapkan oleh pemerintah dan seragam setiap KK miskin sehingga dalam pendistribusiannya terdapat kesenjangan dimana kebutuhan masyarakat pada kenyataannya berbeda-beda setiap KK nya. Hal ini berarti bahwa setiap KK punya kebutuhan yang berbeda akan pemenuhan kebutuhan dasar. Namun karena pendekatan perencanaan yang dilakukan berupa top-down maka pemerintah menyeragamkan besarnya kebutuhan pokok setiap KK. Hal inilah yang menyebabkan sering salah sasaran dalam implementasi program Raskin yang seharusnya dapat meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat miskin yang tidak mampu dalam ekonomi nya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Berikut merupakan perbandingan karakteristik Top-Down planning dengan karakteristik Program Raskin:

Page 32: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

31

Tabel IV.1Karakteristik Perencanaan Program Raskin Dalam Pendekatan Top-Down

KARAKTERISTIK PENDEKATAN

PERENCANAAN TOP-DOWN

KARAKTERISTIK PROGRAM RASKINDALAM PENDEKATAN TOP-DOWN

1. EfisiensiTop down planning digunakan untuk meminimalisir waktu dan biaya yang dikeluarkan dalam perencanaan suatu program pembangunan. Hal ini biasanya dilakukan apabila pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya baik dalam anggaran maupun sumber daya lainnya. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.

Program Raskin ditentukan oleh pemerintah karena adanya keterbatasan dana dan waktu dari pemerintah sehingga lebih menekankan pada kuantitas beras yang diberikan daripada kualitas beras yang diberikan kepada masyarakat miskin. Penentuan pagu raskin ditentukan berdasarkan besarnya anggaran yang disediakan pemerintah dalam APBN. Pagu raskin nasional tersebut selanjutnya dialokasikan secara berjenjang, mulai dari tingkat nasional ke tingkat propinsi, tingkat kabupaten dan yang terakhir tingkat kecamatan dan desa.

2. Penegakan aturan (enforcement)Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menerapkan program-program pembangunan yang ditetapkan sebagai wewenang pemerintah dan masyarakat wajib mengikutinya sebagai aturan dasar.

Implementasi program Raskin melalui berbagai institusi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan Perum Bulog yangmenyediakan dan mendistribusikan beras kepada masing-masing kabupaten sampai ke titik distribusi. Masyarakat hanya sebagai obyek penerima program raskin yang mengambil beras raskin berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan. Tanpa melibatkan masyarakat dalam mengidentifikasi dan mengakomodasi kebutuhan mereka. Besarnya beras yang diterima keluarga miskin juga telah ditetapkan oleh pemerintah dan seragam setiap KK miskin sehingga dalam pendistribusiannya terdapat kesenjangan dimana kebutuhan masyarakat pada kenyataannya berbeda-beda setiap KK nya.

3. Konsistensi input - target – outputDengan menggunakan pendekatan ini, akan terdapat konsistensi antara input, target dan output. Hal ini dikarenakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan lebih memahami tujuan dari suatu program dan target apa yang telah ditetapkan.

Tidak adanya konsistensi antara input-proses-output terkait dalam program Raskin. Hal ini terlihat dari d tidak tepatnya sasaran penerima program Raskin karena sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat bahwa masyarakat miskin penerima manfaat mendapat 10-20 kg/ bulan selama setahun penuh namun pada kenyataannya masyarakat menekankan pada asa pemerataan dimana yang lebih membutuhkan maka akan mendapatkan lebih banyak tergantung jumlah keluarga dalam 1 KK. Sehingga output yang dihasilkan tidak sesuai dengan output yang ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan.

4. Publik/masyarakat masih sulit dilibatkanDalam kondisi masyarakat yang belum memahami apa saja yang mereka butuhkan dan bagaimana cara mereka terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pendekatan top down planning sangat mutlak dibutuhkan

Dalam hal ini, program Raskin tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dimana masyarakat miskin sebagai penerima manfaat program hanya sebagai obyek dalam perencanaan dan program. Hal ini berakibat pada tidak sesuaianya output yang diharapkan dari program dengan output yang dihasilkan dalam implementasi program.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan perencanaan “Top-Down Planning” dimana perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berawal dari perencanaan hingga proses evaluasi dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan dibuat oleh pemerintah yang ditujukan untuk masyarakat sedangkan masyarakat hanya sebagai pelaksana dari perencanaan

Page 33: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

32

yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga dengan adanya pendekatan perencanaan Top-Down Planning pada program Raskin Di Desa Jotangan ini memiliki kekurangan dan kelebihan dalam prosesnya yaitu diuraikan pada tabel sebagai berikut:

TABEL IV.2Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Perencanaan Top-Down Planning

Dalam Program Raskin Di Desa JotanganKELEBIHAN

PENDEKATAAN PERENCANAAN

“TOP-DOWN PLANNING”DALAM PROGRAM RASKIN

DI DESA JOTANGAN

KEKURANGANPENDEKATAAN PERENCANAAN

“TOP-DOWN PLANNING”DALAM PROGRAM RASKIN

DI DESA JOTANGAN

1. Dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu karena tidak melibatkan masyarakat dari bawah yang membutuhkan dana untuk menjaring aspirasi masyarakat sampai tingkat desa.

2. Dapat menghasilkan outpur perencanaan yang maksimal karena pemerintah dianggap memiliki kualitas SDM yang lebih baik daripada kualitas SDM yang dimiliki masyarakat yang masih sangat rendah untuk terlibat dalam perencanaan.

3. Dapat lebih cepat dalam proses pengambilan keputusan karena pengambilan keputusan dilakukan langsung oleh pemerintah yang melibatkan sedikit stakeholder pengambil keputusan sedangkan jika melibatkan masyarakat dari bawah hingga tingkat desa maka proses pengambilan keputusan semakin lama karena melibatkan banyak stakeholder pengambil keputusan.

1. Output perencanaan yang dihasilkan tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat secara maksimal karena proses perencanaan dan pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai benefician program yang diberikan pemerintah. Sehingga peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.

2. Progam atau kebijakan yang merupakan hasil dari pemikiran pemerintah sering gagal dalam implementasinya karena pemerintah tidak mengetahui secara maksimal apa yang sebenarnya dibutuhkan, diinginkan dan yang menjadi permasalahan masyarakat. Sehingga tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud.

3. Implementasi program atau kebijakan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sering salah sasaran karena dalam penyusunan program dan implementasinya masyarakat tidak dilibatkan. Sehingga program yang diberikan tidak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat terutama rakyat kecil yang serba dalam keterbatasan.

4. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan. Sehingga kontrol dari masyarakat yang lebih mengetahui implementasi dan sebagai sasaran program tidak dapat maksimal karena bukan hasil dari aspirasi mereka. Dimana masyarakat hanya sebagai penerima program atau kebijakan yang merupakan output dari perencanaan.

5. Rawan konflik internal karena cenderung mendorong korupsi dari pemerintah karena kontrol dari masyarakat sangat kurang dalam implementasi perencanaan.

6. Program yang dihasilkan dari proses perencanaan terpusat oleh pemerintah cenderung mengeneralisasikan kebutuhan, keinginan dan permasalahan di setiap daerah padahal di setiap daerah memiliki permasalahan dan kebutuhan masing-masing yang berbeda-beda dalam membutuhkan alternatif solusi.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

4.2 PENDEKATAN PERENCANAN PROGRAM KOMPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (PKPS BBM) BIDANG PENDIDIKAN DI DESA JOTANGAN BERDASARKAN KAJIAN TEORITIS

PKPS BBM Bidang Pendidikan merupakan upaya pemerintah dalam rangka membantu masyarakat yang kurang/tidak mampu membiayai pendidikan. Program ini dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk Bantuan Khusus Murid (BKM), yang kemudian

Page 34: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

33

sejak bulan Juli 2005 diganti dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berbeda dengan BKM yang sasarannya siswa dari keluarga tidak/kurang mampu, BOS dialokasikan untuk seluruh siswa yang ada di sekolah yang mendapatkan alokasi BOS. Sedangkan untuk SLTA atau sederajat tetap diberikan dalam bentuk BKM yang besarnya Rp 65.000/siswa/bulan. Perbedaan mendasar antara BOS dan BKM adalah, kalau BKM langsung diterimakan kepada siswa sedangkan BOS yang menerima dan mengelola adalah pihak sekolah. Perbedaan lainnya yaitu kalau BOS jumlah yang diterima adalah berdasarkan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut, sedangkan BKM hanya untuk siswa yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu. Tapi kedua program ini mempunyai tujuan yang sama yaitu agar murid yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu, dapat membiayai keperluan sekolahnya sehingga murid : (1) tidak putus sekolah akibat kesulitan ekonomi; (2) mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

Dilihat dari tujuan yang dicapai, sebenarnya program PKPS BBM Bidang Pendidikan sudah tepat sasaran, mengingat tingkat anak-anak putus sekolah yang cukup besar dan hal ini disebabkan faktor ekonomi yang kurang/tidak mendukung. Program BOS merupakan kebijakan yang tidak langsung ditujukan kepada keluarga miskin (murid) melalui sekolah berupa pembebasan biaya pendidikan dan untuk penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Sehingga program seperti ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Tetapi dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang harus dikritisi lagi :

1. Jika dalam program BKM bantuan hanya untuk siswa yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu, BOS jumlah yang diterima adalah berdasarkan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut. Jadi dalam BOS, bantuan tidak hanya dikhususkan bagi murid dari keluarga miskin, tapi juga bagi seluruh siswa. Meskipun dengan program ini harapannya siswa tidak lagi dibebani biaya SPP dan diasumsikan dengan dana itu adanya sistem subsidi silang antara siswa mampu dan yang kurang mampu, tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Meskipun siswa tidak lagi dibebani biaya SPP, tetapi ternyata masih banyak iuran yang harus dibayarkan oleh orang tua siswa, terutama untuk kegiatan-kegiatan yang tidak bisa diakomodasi oleh dana BOS. Selain itu, siswa juga masih harus dibebani dengan biaya buku yang harganya cukup tinggi dan tentu saja sangat memberatkan bagi orang tua dari kalangan keluarga miskin. Apalagi dalam pelaksanaannya, dalam masalah penyediaan dan distribusi buku, siswa diharuskan membeli semua buku yang ‘diwajibkan’ oleh pihak sekolah atau dari kantor Dinas Pendidikan setempat dan buku-buku yang ada berganti setiap tahunnya. Sehingga dari sisi murid, pelaksanaan program ini kurang memenuhi asas keadilan karena beban yang diterima antara murid kurang mampu dengan murid dari kelurga mampu sama saja.

2. Tujuan program BOS sebenarnya adalah memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Tetapi dalam pelaksanaannya, pemberian dana yang merata untuk seluruh siswa dari sekolah-sekolah penerima, jika dilihat dari sisi pihak sekolah yang menerima dana BOS, hal ini cukup memberatkan terutama bagi sekolah yang jumlah muridnya sedikit dan sebagian besar berasal dari keluarga kurang/tidak mampu. Lewat program BOS, sekolah diberi wewenang penuh untuk mengelolanya, meskipun dalam penentuan program kegiatan yang akan dilaksanakan dengan menggunakan dana ini lewat kesepakatan dengan pihak wali murid. Dengan adanya dana ini, mengandung implikasi bahwa sekolah tidak lagi diperbolehkan menarik iuran SPP maupun iuran-iuran lain dari murid, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu dengan persetujuan wali murid lewat rapat komite sekolah dengan wali murid. Semua kegiatan operasional sekolah harus dibiayai dengan dana ini. Bagi sekolah dengan jumlah murid yang banyak, hal ini tidak begitu menjadi masalah karena dana BOS yang diterima besar

Page 35: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

34

sehingga bisa mencukupi untuk kegiatan operasional sekolah. Apalagi jika murid-murid dari sekolah tersebut sebagian besar dari keluarga mampu, maka untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak mampu dicukupi dari dana BOS, lewat rapat bersama komite sekolah, dana tersebut bisa dicukupi dengan iuran dari orang tua siswa ataupun yang sering dikatakan sifatnya ‘sumbangan sukarela’. Tetapi bagi sekolah dengan jumlah murid sedikit dan sebagian besar siswanya dari kalangan tidak mampu, dana BOS yang diterima seringkali tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan operasional sekolah. Hal ini ternyata juga berimplikasi pada kualitas pendidikan dan sarana belajar yang bisa diterima murid. Karena sekolah hanya bisa menyediakan sarana dan kegiatan yang secukupnya sesuai dengan ketersediaan dana. Ini yang banyak terjadi pada sekolah-sekolah didaerah pinggiran atau daerah minus seperti Desa Jotangan ini. Kondisi seperti ini yang menyebabkan terjadinya ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah kurang mampu dengan sekolah yang termasuk kategori mampu, sehingga berdampak juga pada kualitas murid yang dihasilkannya.

3. Pelaksanaan program BOS mengacu pada petunjuk pelaksanaan program yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Buku petunjuk tersebut digunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program bagi seluruh pengelola pendidikan dari tingkat pusat sampai tingkat sekolah. Berdasarkan hal tersebut, maka perencanaan dalam Program BOS menggunakan tradisi analisis kebijakan dan pendekatan perencanaan secara atas bawah (top-down). Disini pemerintah pusat secara sentralistik menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman sebagai dasar pelaksanaan program dan melibatkan berbagai institusi pemerintah dalam pelaksanaan program dan menempatkan masyarakat sebagai obyek penerima program. Pemerintah daerah hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan program melalui alokasi dana dari pemerintah pusat. Faktor yang mendorong terjadinya kebijakan yang demikian adalah faktor urgensi, yaitu faktor keterdesakan yang senantiasa mendorong para pengambil keputusan/kebijakan untuk bertindak cepat dan faktor jangkauan sektoral, dimana dalam hal ini perencanaan yang dilakukan hanya berdasarkan kepentingan yang bersifat departemental dan berfokus sektoral yang cukup sempit. Namun demikian, pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam menanggulangi kemiskinan karena yang dipakai sebagai kriteria adalah target-target sektoral dan mementingkan target-target angka. Tanpa tujuan yang pasti dan disepakati bersama oleh berbagai pelaku, maka pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan hanya sekedar memenuhi target-target tersebut. Dilihat dari sisi efisiensi dan jenis serta manfaat program yang dilaksanakan, sebenarnya penggunaan tradisi analisis kebijakan dan pendekatan perencanaan secara top-down cukup bagus dilaksanakan. Tetapi dalam pelaksanaannya, terutama menyangkut jenis dan bentuk kegiatan dari penggunaan dana BOS, semestinya pemerintah pusat menyerahkannya kepada masing-masing daerah. Karena, bagaimanapun, pemerintah daerah yang lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Masing-masing daerah memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda, sehingga tingkat kebutuhan akan suatu program juga berbeda-beda. Yang mana nantinya dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah bisa melibatkan anggota masyarakat sehingga kesepakatan yang dicapai diantara anggota masyarakat dalam penentuan sasaran program bisa dicapai.

Terlepas dari segala kekurangan dalam pelaksanaan program PKPS BBM Bidang Pendidikan, keberlanjutan program ini dirasa masih sangat diperlukan. Karena tidak bisa dipungkiri, masyarakat miskin banyak yang bisa merasakan manfaat dari program ini. Tetapi dalam pelaksanaannya di masa mendatang, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dan diperbaiki. Kebijakan pengentasan kemiskinan, termasuk di bidang pendidikan, selama ini lebih banyak didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang merancang program

Page 36: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

35

penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN. Pendekatan pengelolaan program yang masih bersifat sentralistik dan pelibatan pemerintah daerah yang sangat rendah menjadikan tanggung jawab pemerintah daerah sangat rendah, pengendalian pelaksanaan lemah, dan para penerima manfaat program tidak mampu melakukan kontrol terhadap keefektifan program yang dilaksanakan. Padahal dalam hal ini pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya, dan masalah pendidikan yang dihadapi setiap daerah juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu keterlibatan masyarakat umum maupun yang memperoleh manfaat program secara langsung relatif sangat kecil baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program. Sehingga dalam pelaksanaannya di masa mendatang, meski masih bersifat sentralistik dalam hal menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman sebagai dasar pelaksanaan program, tetapi dalam penentuan sasaran, jenis kegiatan dan teknis pelaksanaannya, sebaiknya diserahkan kepada daerah masing-masing dengan melibatkan masyarakat sebagai penerima program. Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Program pengentasan kemiskinan akan dapat berhasil apabila kaum miskin menjadi aktor utama dalam program tersebut, sehingga sebaiknya pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat setempat.

Pemahaman masyarakat terhadap program-program pengentasan kemiskinan termasuk di bidang pendidikan juga belum baik. Jika ada program bantuan pemerintah, mayoritas masyarakat berbondong-bondong menyatakan diri sebagai orang miskin. Sosialisasi program oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Kabupaten yang lebih intensif untuk meningkatkan pemahaman baik masyarakat maupun aparatur pemerintah sehingga mempunyai pemahaman yang baik terhadap program-program yang dijalankan tersebut. Hal ini akan lebih membantu dalam keberhasilan dan keberlanjutan program di masa-masa yang akan datang.

Untuk lebih jelas mengetahui karakteristik program PKPS BBM Bidang Pendekatan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel IV.3Karakteristik Perencanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar

Minyak (PKPS BBM) Bidang Pendidikan Dalam Pendekatan Top-DownKARAKTERISTIK

PENDEKATAN PERENCANAAN TOP-DOWN

KARAKTERISTIK PROGRAM PKPS BBMDALAM PENDEKATAN TOP-DOWN

1. EfisiensiTop down planning digunakan untuk meminimalisir waktu dan biaya yang dikeluarkan dalam perencanaan suatu program pembangunan. Hal ini biasanya dilakukan apabila pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya baik dalam anggaran maupun sumber daya lainnya. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.

Program BOS ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai program nasional, yang diterapkan merata ke seluruh wilayah di Indonesia, termasuk di Desa Jotangan. Pemerintah Pusat secara sentralistik menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman sebagai dasar pelaksanaan program, yang nantinya digunakan oleh seluruh daerah di Indonesia. Pendekatan top down digunakan dengan alasan efisiensi waktu dan biaya dikarenakan banyaknya keberagaman karakteristik daerah. Selain itu juga ada faktor urgensi atau keterdesakan yang mengharuskan pemerintah untuk cepat mengambil keputusan (merencanakan Program BOS) dalam mengatasi kemiskinan.

2. Penegakan aturan (enforcement)Pendekatan ini biasanya

Pelaksanaan program BOS telah diatur dalam pedoman petunjuk pelaksanaan program yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam melaksanakan program BOS,

Page 37: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

36

digunakan untuk menerapkan program-program pembangunan yang ditetapkan sebagai wewenang pemerintah dan masyarakat wajib mengikutinya sebagai aturan dasar.

semua sekolah dan pengelola pendidikan harus menjadikan pedoman tersebut sebagai acuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tetapi pada kenyataannya, penggunaan dari dana BOS dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dari sekolah. Hal ini dikarenakan banyaknya keberagaman siswa, salah satu diantaranya adalah perbedaan jumlah siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu.

3. Konsistensi input - target – outputDengan menggunakan pendekatan ini, akan terdapat konsistensi antara input, target dan output. Hal ini dikarenakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan lebih memahami tujuan dari suatu program dan target apa yang telah ditetapkan.

Perencanaan dan pelaksanaan Program BOS dilakukan secara top down dengan harapan adanya konsistensi antara input, target dan outpu. Pemerintah bertujuan untuk membantu sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa (sebagai target). Input yang diberikan oleh Pemerintah berupa dana bantuan, yang telah ditetapkan sebagai standar (diberikan sesuai jumlah murid) dengan harapan terbantunya siswa untuk dapat menikmati pendidikan.

4. Publik/masyarakat masih sulit dilibatkanDalam kondisi masyarakat yang belum memahami apa saja yang mereka butuhkan dan bagaimana cara mereka terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pendekatan top down planning sangat mutlak dibutuhkan

Masyarakat masih sulit dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan Program BOS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari tiap masyarakat. Sehingga lebih tepat perencanaan ini dilaksanakan secara top down karena sulitnya memahami dan mengakomodir semua kebutuhan, keinginan dan kepentingan masyarakat.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

TABEL IV.4Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Perencanaan Top-Down Planning

Dalam Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Bidang Pendidikan di Desa Jotangan

KELEBIHANPENDEKATAAN PERENCANAAN

“TOP-DOWN PLANNING”DALAM PROGRAM PKPS BBM BIDANG PENDIDIKAN DI DESA

JOTANGAN

KEKURANGANPENDEKATAAN PERENCANAAN

“TOP-DOWN PLANNING”DALAM PROGRAM PKPS BBM BIDANG PENDIDIKAN DI

DESA JOTANGAN

4. Efisiensi biaya5. Efisiensi waktu6. Memudahkan pada tahap evaluasi 7. Menjamin konsistensi antara input-

target dan output program.8. Meminimalisir penyimpangan dalam

pelaksanaan program khususnya dalam pengelolaan dana program.

5. Pemerintah men-genaralisir kebutuhan sekolah hanya berdasar jumlah siswa dan lokasi sekolah (desa atau kota), padahal kebutuhan sekolah tidak bisa hanya didasarkan pada faktor tersebut.

6. Pihak sekolah tidak dilibatkan dalam perencanaan program sehingga kebutuhan dan keinginan masing-masing sekolah tidak teridentifikasi dan terakomodir dengan baik.

7. Perencanaan program bersifat top down, dimana petunjuk operasional kegiatan sudah ditetapkan dari pusat sehingga tidak ada akses bagi masyarakat (orang tua murid) untuk secara leluasa menetukan pemanfaatan dana sesuai dengan kebutuhan.

8. Kurangnya kepedulian masyarakat pada program karena menganggap program tersebut sepenuhnya merupakan program pe merintah.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

Page 38: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

37

4.3 PENDEKATAN PERENCANAN PROGRAM KOMPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (PKPS BBM) BIDANG KESEHATAN DI DESA JOTANGAN BERDASARKAN KAJIAN TEORITIS

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang semakin lama semakin dirasa mahal harganya. Sehingga, memunculkan jargon ‘orang miskin dilarang sakit’. Dapat dibayangkan, bagaimana orang yang pas-pasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ketika dalam kondisi tidak berdaya karena sakit justru harus berhadapan dengan biaya pengobatan yang fantastis, benar-benar ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dengan demikian, memang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

Melihat urgensi tersebut diatas, dalam hal ini perencanaan yang paling tepat untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah menggunakan pendekatan dari atas (top-down), dimana peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam porsi yang lebih besar.

Perencanaan dari atas adalah perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemberi gagasan awal, yang berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program dari awal perencanaan hingga proses evaluasi, dan peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. Adapun kelebihan dari perencanaan top-down adalah implementasi pelaksanaan lebih cepat sehingga dirasa tepat diterapkan dalam program pelayanan kesehatan masyarakat miskin, yang tentu saja memerlukan tanggap darurat. Kelebihan lainnya dari perencanaan ini bersifat komprehensif dan tidak parsial, sehingga seluruh masyarakat miskin bisa merasakan pelayanan kesehatan secara merata. Dengan demikian, pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) di Desa Jotangan Kabupaten Klaten dirasa telah tepat sasaran.

Namun demikian, Program Pelayanan Kesehatan tidak seharusnya diambilkan dana dari Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM, karena bagaimanapun kebutuhan akan kesehatan dan kebutuhan akan bahan bakar merupakan sesuatu yang berbeda. Artinya apabila subsidi BBM dikurangi untuk pelayanan kesehatan maka masyarakat miskin akan tetap terbebani dari sisi kebutuhan yang lain. Dan lagi, keberlanjutan program akan disanksikan jika sumber dananya tetap dipertahankan dari Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM, padahal program pelayanan kesehatan merupakan program yang seharusnya sepanjang hayat. Untuk itu, pelayanan kesehatan harus dicarikan formula baru sebagai sumber pendanaan. Misalnya seperti di negara-negara maju, yang mana semua warga negara berhak atas pelayanan kesehatan gratis tidak hanya terkhusus warga miskin. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan pengaturan peruntukan pajak penghasilan.

Selain itu, dengan prosedur yang cenderung berbelit, dimana semula Bidan Desa, Puskesmas, Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan langsung menggunakan dana yang mereka kelola, tetapi saat ini masing-masing pemberi pelayanan kesehatan setiap bulan harus melaporkan pelayanan yang telah mereka laksanakan kepada PT Askes untuk mendapatkan penggantian dana, justru dikhawatirkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin tidak bisa maksimal dan hanya ala kadarnya.

Untuk itu perlu kiranya, pemerintah merencanakan program pelayanan kesehatan yang keberpihakannya kepada masyarakat miskin tidak lagi setengah hati, baik dari sisi pendanaan maupun proseduralnya.

Tabel IV.5Karakteristik Perencanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar

Minyak (PKPS BBM) Bidang Kesehatan Dalam Pendekatan Top-DownKARAKTERISTIK

PENDEKATAN KARAKTERISTIK PROGRAM PKPS BBM

DALAM PENDEKATAN TOP-DOWN

Page 39: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

38

PERENCANAAN TOP-DOWN1. Efisiensi

Top down planning digunakan untuk meminimalisir waktu dan biaya yang dikeluarkan dalam perencanaan suatu program pembangunan. Hal ini biasanya dilakukan apabila pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya baik dalam anggaran maupun sumber daya lainnya. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.

Program JPKMM dalam menangani kemiskinan dilakukan dengan pendekatan top down. Hal ini dikarenakan kesehatan bagi masyarakat miskin bersifat urgent dan membutuhkan waktu yang cepat untuk menanganinya. Kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan Program JPKMM sangat mutlak dibutuhkan. Dengan pendekatan top down pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara komprehensif dan tidak parsial.

2. Penegakan aturan (enforcement)Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menerapkan program-program pembangunan yang ditetapkan sebagai wewenang pemerintah dan masyarakat wajib mengikutinya sebagai aturan dasar.

Program JPKMM ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai penggagas awal untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Pemberian bantuan ini ditetapkan dengan standar dan aturan/ prosedur yang harus dilakukan dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang menjadi kelemahan dalam pendekatan top down Program JPKMM karena prosedur yang diterapkan cenderung berbelit-belit sehingga hasil yang diperoleh masyarakat miskin dirasakan kurang optimal.

3. Konsistensi input - target – outputDengan menggunakan pendekatan ini, akan terdapat konsistensi antara input, target dan output. Hal ini dikarenakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan lebih memahami tujuan dari suatu program dan target apa yang telah ditetapkan.

Perencanaan dan pelaksanaan Program JPKMM dilakukan secara top down dengan harapan adanya konsistensi antara input, target dan outpu. Pemerintah bertujuan untuk membantu masyarakat miskin (sebagai target) untuk dapat menikmati pelayanan kesehatan. Hanya saja pemberian bantuan melalui JPKMM yang diambilkan dari subsidi BBM dirasakan kurang tepat karena subsidi BBM dan penanganan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan suatu hal yang tidak saling berkaitan.

4. Publik/masyarakat masih sulit dilibatkanDalam kondisi masyarakat yang belum memahami apa saja yang mereka butuhkan dan bagaimana cara mereka terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pendekatan top down planning sangat mutlak dibutuhkan

Masyarakat masih sulit dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan Program JPKMM. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari tiap masyarakat. Sehingga lebih tepat perencanaan ini dilaksanakan secara top down karena sulitnya memahami dan mengakomodir semua kebutuhan, keinginan dan kepentingan masyarakat.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

TABEL IV. 2Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Perencanaan Top-Down Planning

Dalam Program PKPS BBM Bidang Kesehatan Di Desa JotanganKELEBIHAN

PENDEKATAAN PERENCANAAN

“TOP-DOWN PLANNING”DALAM PROGRAM PKPS

BBM Bidang Kesehatan

KEKURANGANPENDEKATAAN PERENCANAAN

“TOP-DOWN PLANNING”DALAM PROGRAM PKPS BBM Bidang Kesehatan

DI DESA JOTANGAN

Page 40: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

39

DI DESA JOTANGAN9. Implementasi pelaksanaan lebih

cepat sehingga dirasa tepat diterapkan dalam program pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang memerlukan tanggap darurat

10. Bersifat komprehensif dan tidak parsial sehingga seluruh masyarakat miskin bisa merasakan pelayanan kesehatan secara merata.

9. Output perencanaan dalam PKPS BBM Bid. Kesehatan yang dihasilkan tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat secara maksimal karena proses perencanaan dan pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai penerima manfaat program yang diberikan pemerintah. Sehingga peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.

10. Progam atau kebijakan yang merupakan hasil dari pemikiran pemerintah sering gagal dalam implementasinya karena pemerintah tidak mengetahui secara maksimal siapa yang sebenarnya membutuhkan, sehingga tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud.

11. Program terpusat oleh pemerintah, prosedur pelaksanaannya cenderung berbelit dan tidak efisien.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

4.4 PENDEKATAN PERENCANAN PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN (PPK) DI DESA JOTANGAN BERDASARKAN KAJIAN TEORITIS

Seluruh proses kegiatan dalam PPK pada hakekatnya memiliki dua dimensi, yaitu: (a) memberikan wewenang dan kepercayaan kepada masyarakat untuk menentukan sendiri kebutuhannya, merencanakan dan mengambil keputusan secara terbuka dan penuh tanggung jawab; (b) menyediakan lingkungan kondusif untuk mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Pelaku utama PPK adalah masyarakat (terutama kelompok penduduk miskin perdesaan) selaku pengambil keputusan di desa. Sedangkan pelaku di tingkat kecamatan, kabupaten dan seterusnya lebih berfungsi sebagai fasilitator, pembimbing dan pembina agar tujuan, prinsip-prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme PPK dapat tercapai, dipenuhi dan dilaksanakan secara benar dan konsisten. Kepala Desa, Camat, Bupati, dan Gubernur mempunyai peran sebagai pembina dan penanggung jawab pelaksanaan PPK berdasarkan tingkat wilayahnya masing-masing. Pemerintah Kabupaten mempunyai kewajiban menyediakan anggaran untuk operasional kegiatan yang besarnya 3-5% dari BLM yang diterima masyarakat.

Dari penjelasan diatas, maka dapat dilihat bahwa program PPK di Desa Jotangan menggunakan pendekatan perencanaan gabungan antara top-down dan bottom-up (social learning/partisipatif). Pendekatan top-down yaitu dilakukan oleh pemerintah terutama dalam inisiatif program, penentuan lokasi, dan petunjuk operasional program. Beberapa aspek kebijakan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa keikut sertaan masyarakat dalam penentuan kebijakannya, dan diwajibkan kepada masyarakat penerima program untuk menerimanya. Dalam hal ini keputusan mengenai lokasi, desain program dalam petunjuk operasional, termasuk jangka waktu pelaksanaan. Sedangkan pendekatan bottom up/social learning/partisipatif tampak pada penentuan jenis kegiatan dan implementasi program dilakukan secara partisipatif melalui musyawarah dusun, desa dan antar desa. Penerima program (masyarakat) terlibat secara aktif melalui musyawarah dan pelaksanaan kegiatan. Sehingga terjadi terjadi proses berbagi pengalaman dan pembelajaran bersama dan terjadi proses mengungkapkan pendapat, memberikan informasi, menyumbangkan pikiran dan tenaga dalam program.

Page 41: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

40

Untuk mengetahui sejauh mana pendekatan partisipatif diterapkan dalam program PPK, berikut ini merupakan perbandingan karakteristik Program PPK dengan karakteristik perencanaan partisipatif :

Tabel IV.3Perbandingan Antara

Karakteristik Program PPK dan Karekteristik Perencanaan Partisipatif

KARAKTERISTIK PERENCANAAN PARTISIPATIF

KARAKTERISTIK DALAM PPK

Proaktif/sukarela Masyarakat terlibat secara aktif dalam musyawarah untuk menentukan kebutuhan mereka yang kemudian menjadi dasar penentuan jenis kegiatan yang akan dibiayai. Keterlibatan masyarakat dalam setiap proses dilakukan secara sukarela dan bukan karena paksaan

Adanya kesepakatan yang diambil bersama oleh semua pihak yang terlibat dan terkena akibat

Kesepakatan bersama diambil dalam proses musyawarah dalam menentukan usulan kegiatan di tingkat kelompok/dusun dan musyawarah untuk menetapkan usulan di tingkat desa dan antar desa

Adanya tindakan mengisi kesepakatan tersebut Implementasi atas hasil kesepakatan berupa pelaksanaan kegiatan, dalam konteks program PPK di Desa Jotangan ini berupa pelaksanaan kegiatan fisik (perbaikan jalan desa & pembangunan saluran irigasi) dan kegiatan ekonomi produktif (simpan pinjam).

Adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara antar pihak

Perencanaan dan pelaksanaan program dilakukan bersama oleh masyarakat dengan didampingi fasilitator kecamatan dan pendamping lokal yang berperan sebagai fasilitator yang menjelaskan, memotivasi, memberi arahan dan memandu proses baik perencanaan maupun implementasi program. Hasil implementasi program dipertanggungjawabkan dalam musdes, sementara pelaporan dan pemeriksaan dilakukan oleh tim PPK sendiri.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

Page 42: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

41

Selain itu, untuk melihat sejauh mana pendekatan partisipatif diterapkan dalam program PPK juga dapat dilihat dari tahapan kegiatannya. Berikut merupakan perbandingan antara tahapan kegiatan dalam program PPK dengan karakteristik tahapan perencanaan partisipatif menurut Fred Fisher :

Tabel IV.4Perbandingan Antara Karakteristik Tahapan Program PPK

dan Karekteristik Tahapan Perencanaan Partisipatif

Karakteristik Tahapan

dalam

Perencanaan Partisipatif

Muatan dalam Setiap Tahapan

Menurut Fisher

Karakteristik Tahapan dalam PPK

Tahap inisiasi proses perenc. Partisipatif :

Dilakukan motivasi kepada kelompok, individu, organisasi untuk terlibat dalam proses perencanaan partisipasi agar mau mengungkapkan masalah, kegagalan dan berbagi pandangan mengenai apa yang mungkin dilakukan

Tahapan inisiasi dilakukan dengan penggalian gagasan kelompok/dusun dan musyawarah khusus perempuan untuk membahas usulan kegiatan dan musyawarah desa untuk menetapkan usulan

Membangun Hubungan yang Produktif

Adanya kerjasama antar berbagai pihak yaitu pemerintah daerah, LSM lokal, pihak swasta dan masyarakat setempat serta bila diperlukan adanya fasilitator maka fasilitator tsb bisa dari pihak inisiator perencanaan maupun dari pihak yang berpartisipasi dalam perencanaan tersebut

Kerjasama dalam program ini terjalin antara pihak masyarakat sebagai penerima program dengan pihak pemerintah sebagai pemberi program, dalam hal ini diwakili oleh tim PPK (konsultan dan Fasilitator Kecamatan serta pendamping lokal). Dalam konteks program PPK ini, fasilitator adalah tim dari pihak inisiator perencanaan/pemerintah yaitu konsultan pemerintah yang diberi hak dan tanggung jawab sebagai fasilitator kecamatan dan pendamping lokal. LSM lokal dan pihak swasta sepertinya tidak ikut terlibat sehingga tidak tampak peranannya dalam program ini.

Menjangkau keluar atau fokus kedalam

Menentukan apakah perencanaan terkait dengan penyelesaian masalahnya bersifat strategis untuk jangka waktu lama, ataukah untuk segera mencari penyelesaian masalah dalam bentuk rencana aksi (jangka pendek).

Program PPK ini desainnya telah dirancang oleh pemerintah dalam bentuk petunjuk teknis operasional, dan ditetapkan jangka waktu pelaksanaannya adalah satu tahun, sehingga tidak ada keleluasaan masyarakat untuk memilih jangka waktu pelaksanaan. Bentuk desain yang kaku ini sering dikritik dan dianggap sebagai bentuk partisipasi yang tidak sempurna (bahkan secara ekstrim dikatakan sebagai partisipasi manipulatif) karena banyak batasan

Page 43: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

42

yang tidak memberi keleluasaan dalam menentukan bentuk penyelesaian masalah

Pencarian fakta dan menganalisanya

Dilakukan pengumpulan data, informasi, gagasan, mengorganisasi dan menganalisanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai permasalahan dan peluangnya; menentukan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai; dan memperkirakan kemungkinan pencapaian tujuan dan sasaran. Bisa menggunakan berbagai alat seperti analisa SWOT , analisa medan gaya dan alat analisa yang lainnya

Proses penggalian masalah dilakukan dalam musyawarah untuk menentukan kebutuhan masyarakat yang nantinya akan diwujudkan dalam suatu jenis kegiatan tertentu yang disepakati bersama. Proses penggalian masalah juga tidak sepenuhnya bisa leluasa untuk menggali permasalahan masyarakat desa setempat karena dibatasi oleh desain proyek dan dengan alokasi dana tertentu yang telah diberikan. Analisa hanya dilakukan secera sederhana dengan metode curah pendapat (brainstorming)

Rencana sebagai rangkaian aksi

Mempersempit sasaran menjadi lebih realistik dan menentukan pilihan-pilihan terbaik, termasuk memutuskan siapa mengerjakan apa dengan siapa dan dengan parameter tertentu, termasuk kerangka waktu. Diukur juga dampak potensial dari implementasi dan menentukan monitoring dan skema evaluasi/penilaian dampak.

Rencana kegiatan sebagai bentuk implementasi ditetapkan dalam musyawarah desa dan musyawarah antar desa yang menghasilkan bentuk kegiatan terpilih dari beberapa usulan kegiatan yang telah diusulkan. Dalam proses implementasi program PPK ini mengharuskan adanya swadaya dari masyarakat, yaitu berupa sebagian upah tenaga kerja yang disisihkan

Pelaksanaan aksi, pengukuran dampak dan bergerak

Merupakan tahap implementasi dan walaupun tahap ini diluar tanggungjawab langsung tim perencana partisipatif, tetapi hendaknya tim dapat melibatkan koalisi pemerintah daerah dan perwakilan komunitas yang terlibat langsung dengan implementasi

Implementasi kegiatan sesuai dengan hasil kesepakatan dalam musyawarah desa dan musyawarah antar desa, di dalamnya terdapat aspek swadaya masyarakat berupa upah tenaga kerja dari masyarakat yang terlibat yang disisihkan untuk dana pembangunan. Hasil kegiatan dipertanggungjawabkan dalam musyawarah desa, sementara pelaporan dan pemeriksaan dilakukan oleh tim PPK sendiri secara internal.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

Page 44: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

43

Dengan melihat analisa diatas dapat dilihat bahwa program PPK ini menggunakan gabungan antara pendekatan perencanaan Top-Down dan Bottom-Up yaitu dalam bentuk pendekatan perencanaan partisipatif. Program PPK Di Desa Jotangan ini memiliki kekurangan dan kelebihan dalam prosesnya yaitu yang diuraikan pada tabel berikut:

TABEL IV.5Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Perencanaan Top-Down

dan Bottom-Up/Partisipatif Dalam Program PPK Di Desa Jotangan

KELEBIHAN KEKURANGAN

Telah menerapkan prinsip partisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaannya, terutama dalam proses musyawarah penggalian gagasan, musyawarah penentuan kegiatan dan dalam pelaksanaan progran yang dilakukan dengan keikutsertaan masyarakat secara aktif.

Dari aspek teori/pendekatan perencanaan, tidak sepenuhnya murni bottom up planning (partisipatif planning), karena inisiatif program masih dari pemerintah, termasuk penentuan lokasi dan desain kegiatan (diatur dalam petunjuk teknis operasional)

Walaupun terdapat banyak kekurangan dalam bentuk partisipasinya, tetapi setidaknya telah keluar dari model pembangunan pemerintah selama ini yang kebanyakan dilakukan dengan pendekatan top down dan menempatkan masyarakat sebagai pihak yang pasif dan hanya sebagai penerima kegiatan saja.

Terdapat kelemahan dalam proses partisipasinya, terutama karena bentuk desain program yang telah ditentukan dan dengan jangka waktu tertentu (satu tahun) menyebabkan masyarakat tidak bisa sepenuhnya bisa leluasa mengeksplorasi dan memilih bentuk penyelesaian atas permasalahan mereka.

Karena proses pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap proses, pemahaman masyarakat tentang program menjadi lebih baik, hal ini terutama terjadi dalam proses penentuan kebutuhan masyarakat jenis kegiatan yang diserahkan sepenuhnya kepada hasil musyawarah (open menu)

Partisipasi dengan jumlah yang masih terbatas, yaitu hanya terbatas mengikutsertakan sebagian penduduk saja (hanya yang mau menyumbang tenaga, hanya yang telah terdaftar sebagai anggota) belum bisa meningkatkan kapasitas seluruh/sebagian besar penduduk untuk mau dan bisa terlibat secara aktif

Penghargaan yang lebih tinggi kepada masyarakat, karena suara dan pendapatnya didengar dan diperhatikan, merupakan proses memanusiakan sebagai subyek pembangunan, bukan sekedar obyek pembangunan.

Masyarakat tidak sepenuhnya tahu/mengerti Program secara global, mengapa program tersebut jatuh di wilayah mereka, apa tujuannya, siapa sasarannya.yang sudah berhasil dipahami : mereka harus menentukan kebutuhan sendiri (masyarakat setempat) untuk menentukan jenis kegiatan pembangunan yang akan dibiayai oleh program tersebut.

Meminimalisir penolakan program dari msayarakat karena merupakan hasil musyawarah masyarakat sendiri, sehingga tingkat keberhasilan program diharapkan lebih tinggi.

Ada kecenderungan jenis kegiatan bersifak kegiatan pembangunan fisik, seakan hanya meniru kegiatan pembangunan pemerintah yang telah ada perspektif masyarakat tentang kegiatan pembangunan yang bermanfaat belum luas

Rasa kepemilikan masyarakat terhadap program diharapkan lebih tinggi karena merupakan hasil kesepakatan mereka sendiri

Masyarakat belum sepenuhnya memahami maksud “kebutuhan” mereka sendiri. Jika desa Jotangan sebagian besar penduduknya masih miskin, apakah pembangunan fisik yang diusulkan adalah kebutuhan utama mereka ? mengapa bukan kegiatan sektor ekonomi

Tingkat keberhasilan program diharapkan lebih tinggi karena masyarakat lebih meahami program, lebih merasa memiliki dan tidak ada penolakan terhadap program

Tidak terukurnya hasil dari program PPK ini, dikaitkan dengan tujuan program. Apakah jenis kegiatan yang telah dilakukan telah mampu menjawab permasalahan mendasar dari program ini, yaitu mengentaskan kemiskinan ? Seberapa besar pengaruh dari implementasi kegiatan terhadap pengurangan taraf kemiskinan masyarakat

Terdapat banyak kritik terhadap program PPK ini, terutama untuk kegiatan ekonomi produktif yang dianggap hanya menunda kemiskinan, dan justru menambah beban masyarakat dengan adanya hutang

Page 45: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

44

dari kegiatan simpan pinjam (Dahniar & Lasimpo, 2008)

Kemungkinan efek ketidak puasan terhadap keseluruhan program bagi kelompok/dusun maupun desa yang usulan programnya tidak lolos ditetapkan sebagai kegiatan terpilih.Kemungkinan penyalahgunaan program oleh beberapa pihak yang berkepentingan dan berusaha mengambil keuntungan dan kemungkinan adanya intervensi dari kelompok elitis desa untuk mempengaruhi dan mengarahkan program sesuai dengan keinginan/kepentingan mereka.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

Page 46: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

45

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KESIMPULAN

Masalah kemiskinan yang terjadi di Desa Jotangan Kabupaten Klaten lebih disebabkan karena kurangnya akses terhadap sarana prasarana serta rendahnya produktivitas dalam pertanian sebagai sektor mata pencaharian utamanya. Program-program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan oleh pemerintah di Desa Jotangan antara lain:

Program Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin)

Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak(PKPS-BBM) di bidang kesehatan

Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak(PKPS-BBM) di bidang pendidikan

Program Pengembangan Kecamatan (PPK)

Program-program tersebut pada implementasinya sering kurang tepat sasaran, tidak sepenuhnya dapat mengurangi kemiskinan, belum mengakomodir sepenuhnya kebutuhan masyarakat miskin serta kurangnya partisipasi masyarakat untuk ikutserta dalam program-program penanggulangan kemiskinan tersebut. Program-program yang dilaksanakan di Desa Jotangan masih dilakukan dengan pendekatan top-down planning seperti program Raskin, PKPS BBM bidang kesehatan dan PKPS BBM bidang pendidikan. Semua program dilakukan dengan sistem terpusat sehingga masyarakat hanya sebagai obyek penerima program tanpa dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan. Hal ini terjadi karena program hanya melihat pada kuantitas sementara kualitas belum memadai karena alasan keterbatasan dana dari pihak pemerintah sebagai penentu sasaran.

Agak berbeda dengan ketiga program yang lain, program PPK dalam pelaksanaannya menggunakan pendekatan gabungan antara top-down planning (dalam penentuan lokasi kecamatan dan penyusunan petunjuk teknis operasional bagi semua pelaku PPK) dan pendekatan bottom-up planning (dalam penentuan jenis kegiatan yang akan dibiayai dari PPK yaitu diusulkan, dibahas dan diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui musyawarah). Sehingga PPK lebih menekankan pada kualitas program melalui kompetisi sehat dalam musyawarah. Namun, walaupun sudah melibatkan masyarakat secara langsung tetapi dalam pelaksanaannya masih memiliki kekurangan dimana masyarakat masih kurang berperan aktif dalam setiap musyawarah dan juga masyarakat kurang leluasa menentukan alternatif solusi pemecahan atas permasalahan mereka karena dibatasi oleh desain dan jangka waktu program.

Dari uraian diatas dapat dilihat kekurangan dan kelebihan dengan menggunakan pendekatan top-down planning dan bottom-up planning atau gabungan keduanya. Hasil temuan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah yang memiliki program. Selain itu bermanfaat juga bagi masyarakat sebagai penerima program untuk bisa mengawasi program yang diterapkan agar tepat sasaran dan dapat lebih melibatkan masyarakat dalam proses identifikasi dan pelaksanaan program secara berkelanjutan.

Page 47: Critical Review Pendktan Perenc Kemiskinan

C R I T I C A L R E V I E W P E N D E K A T A N P E R E N C A N A A NP R O G R A M P E N A N G G U L A N G A N K E M I S K I N A N D I D E S A J O T A N G A N

46

4.2 REKOMENDASI

Berdasarkan pembahasan dalam critical review pada pendekatan perencanaan pada program-program penanggulangan kemiskinan di Desa Jotangan Klaten, maka dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan maupun dalam proses implementasi program sehingga lebih dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat dan masyarakat lebih merasa memiliki terhadap program. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:

a. Melibatkan masyarakat dalam suatu forum yang membahas proses perencanaan dan pelaksanaan program, sehingga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Sehingga dalam hal ini forum masyarakat berguna sebagai fasilitator dalam perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan.

b. Melakukan sosialisasi program kepada masyarakat agar dalam pelaksanaan program masyarakat dapat terlibat secara aktif dan bukan hanya sebagai obyek penerima program. Selain itu juga meningkatkan pemahaman masyarakat tentang program yang akan dijalankan didaerahnya.

2. Adanya perbaikan terhadap birokrasi pemerintah dalam penentuan standar maupun sasaran dalam program penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, walaupun dilakukan secara top-down tetapi tetap ada pelibatan masyarakat serta tetap mengakomodir kebutuhan masyarakat miskin sebagai sasaran penerima program.

3. Melakukan penggalian dan pendalaman mengenai penyebab kemiskinan yang terjadi di daerah masing-masing sehingga program penanggulangan kemiskinan yang diberikan lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kata lain program yang diberikan harus sesuai dengan penyebab kemiskinan yang terjadi agar tepat sasaran dan mengakomodir kebutuhan masyarakat miskin.