Critical Review J-Curve

11
CRITICAL REVIEW THE J-CURVE INGGAR SAPUTRA 1306432711 PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI KETAHANAN NASIONAL KAJIAN STRATEJIK PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN UNIVERSITAS INDONESIA

Transcript of Critical Review J-Curve

Page 1: Critical Review J-Curve

CRITICAL REVIEW

THE J-CURVE

INGGAR SAPUTRA

1306432711

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI KETAHANAN NASIONAL

KAJIAN STRATEJIK PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA 2013

Page 2: Critical Review J-Curve

Kestabilan dan keterbukaan adalah modal penting bagi sebuah negara

untuk mempertahankan eksistensinya di mata dunia internasional. Ketika sebuah

negara memiliki kestabilan ekonomi, politik, hukum dan sosial yang baik, maka

kecenderungan menjalankan pemerintahan, memanfaatkan sumber daya (manusia

dan alam) dan mendapatkan keuntungan atas sumber daya akan berhasil

dijalankan. Kondisi ini memang tidak lahir sendirian, sebab kestabilan dan

keterbukaan membutuhkan kematangan independensi lembaga politik dalam suatu

negara.

Selain faktor independensi lembaga negara, kestabilan suatu negara tidak

dapat terlepaskan dari berbagai faktor pendukung dan guncangan. Faktor

pendukung itu yakni faktor ekonomi, politik, sejarah, budaya dan geografi.

Sedangkan guncangan yang berpotensi melanda negara adalah bencana alam,

terorisme, gerakan separatisme, penyakit, cuaca ekstrem, pengangguran dan

pembunuhan tokoh politik suatu negara. Kedua nilai strategis ini hampir dalam

semua negara menentukan akhir kejayaan dan kehancuran suatu bangsa.

Kestabilan suatu negara menjadi sangat penting sebab sebuah negara yang

stabil akan mempengaruhi negara lain di sekitarnya. Misalnya Korea Utara, jika

negara ini tetap mempertahankan program nuklirnya dan terisolasi dari dunia

internasional, maka masyarakat Korea Utara berpotensi mengalami ancaman

bahaya kelaparan, penyakit dan kerusuhan sosial. Jika itu terjadi, negara

perbatasan seperti China dan Korea Selatan akan mendapatkan getahnya berupa

pengungsian dalam jumlah besar sehingga mengganggu kestabilan kedua negara

tersebut.

Dalam mengukur kestabilan dan keterbukaan suatu negara tersebut

dibutuhkan sebuah analisis politik melalui kurva J. Kurva J adalah sebuah grafik

dengan sumbu vertikal untuk mengukur kestabilan dan sumbu horizontal yang

dipakai mengukur keterbukaan ekonomi dan politik suatu negara terhadap dunia

luar. Tiap negara dengan kestabilan dan keterbukaan diukur dengan sebuah titik

1

Page 3: Critical Review J-Curve

data pada grafik yang ketika dirangkai menjadi satu membentuk sebuah kurva

yang mirip huruf J.

Dalam kurva itu, negara di sebelah kiri lekukan pada kurva J adalah negara

kurang terbuka, negara di sebelah kanan lebih terbuka. Semakin tinggi letak

negara dalam grafik maka semakin stabil, semakin rendah semakin tidak stabil.

Kurva ini menjelaskan bagaimana kekuataan ekonomi dan politik suatu negara

menghasilkan dampak kejayaan, namun mendorong negara lain berpotensi

mengalami keruntuhan. Itu mengapa kurva J menempatkan dua komponen

penting yakni kemampuan negara bertahan terhadap guncangan dan kemampuan

negara untuk tak membuat guncangan sebagai indikator mengukur kejayaan dan

kehancuran suatu negara.

Sebagai sebuah model dan alat ukur untuk resiko politik kurva J sangat

dibutuhkan suatu negara disebabkan tiga alasan mendasar. Pertama, kurva J dapat

dipakai untuk membantu pembuat kebijakan menganalisis kebijakan luar negeri

agar lebih efektif. Kedua, membantu pembuat keputusan mengenai dampak

keputusannya kepada keteraturan dunia. Ketiga, membantu para investor

memahami resiko politik sebelum menjatuhkan pilihan mengadakan investasi di

suatu negara.

Dalam mengelompokkan negara, Ian Bremer memberikan analisis

mendalam mengenai kurva J dengan mengambil beberapa contoh. Pada ujung

paling kiri kurva J, negara komunis seperti Korea Utara, Kuba dan Irak dijadikan

model negara yang terancam mengalami kehancuran mengingat kurangnya

keterbukaan ketiga negara tersebut dari dunia luar. Posisi ketiganya yang berada

pada kurva kiri memang dianggap stabil mengingat pemimpin otoriternya

menjalankan pemerintahan yang mengisolasi diri dan memonopoli kekuasaan dan

sumber daya di tangan rezim.

Namun, Bremer menganalisis kestabilan itu akan terjadi pada jangka

pendek saja. Pada masa mendatang ketiganya berpotensi mengalami kehancuran

jika menolak keterbukaan dengan dunia luar. Namun analisis itu layak

mendapatkan kritikan sebab Bremer seharusnya tidak melupakan sistem komunis

memang cenderung tertutup sehingga sentralitas kekuasaan banyak berpusat

2

Page 4: Critical Review J-Curve

kepada monopoli penguasa. Apalagi kepemimpinan kharismatik yang dijalankan

ketiga negara tersebut memiliki banyak pengikut, sehingga dibutuhkan cara

ekstrem berupa pergantian rezim agar mereka mau lebih terbuka kepada dunia

luar.

Dalam jangka pendek sebenarnya sulit mengharapkan negara dalam kurva

kiri ini bersikap terbuka. Kuatnya sistem kekebalan ideologis, minimnya

kebebasan pers dan pembatasan informasi serta teknologi membuat masyarakat

“menikmati” keterbelengguan yang disuguhkan para pemimpinnya. Adanya

berbagai sanksi internasional juga dinilai belum mampu menjawab keterbukaan,

mengingat Korea Utara, Kuba dan Irak mempunyai sistem persenjataan dan

teknologi nuklir untuk mengancam negara maju yang mencoba mengusik

ketenangan rezim di negara tersebut.

Kondisi tidak jauh berbeda dapat dilihat pada negara Iran, Arab Saudi dan

Rusia. Ketiga negara ini memang relatif terbuka dengan dunia luar. Namun

pemimpin ketiga negara itu cenderung feodalistik dan otoriter sehingga

masyarakat dalam negara tersebut memiliki kehidupan dengan aturan ketat. Meski

begitu, dunia internasional tidak mudah mengintervensi mengingat ketiganya

memiliki alat tekan efektif berupa minyak bumi, gas alam dan energi berlimpah

yang mampu mempengaruhi kestabilan ekonomi dunia. Itu mengapa dalam sidang

PBB, mantan Presiden Iran Ahmadinejad berani mengecam keras kebijakan

Amerika Serikat kepada negara Timur Tengah (Mesir, Palestina dan Suriah)

karena dinilai melanggar HAM yang hanya berani direspons AS dan dunia

internasional dengan kecaman dan walk out dari luar sidang.

Adanya sanksi internasional kepada ketiga negara itu terbukti tidak efektif

dijalankan dunia internasional. Kalangan negara maju misalnya takut kehilangan

minyak bumi dan gas alam sebagai kebutuhan dasar utama menjalankan

industrinya jika memaksakan invansi atau menerapkan embargo ekonomi

misalnya. Apalagi dalam kasus Rusia misalnya, sejarah membuktikan

perekonomian Rusia mampu stabil dengan menjamurnya investor asing akibat

keberhasilan pemerintah mengarusutamakan keamanan dalam negeri dari serbuan

kelompok oposisi Chechen. Untuk itu, meski Bremer menggolongkan ketiga

3

Page 5: Critical Review J-Curve

negara dalam bagian kiri kurva J, potensi ketiga negara masuk ke kanan kurva J

sangat terbuka lebar jika kemampuan masyarakat Rusia mengonsolidasikan

dirinya dalam melewati masa krisis politik yang penuh kekerasan dan kerusuhan

sosial kelak dapat sukses dijalankan.

Dalam posisi titik paling rendah kurva J, Bremer memasukkan Afrika

Selatan dan Yugoslavia. Kedudukan ini diperoleh berdasarkan kondisi kedua

negara yang pernah mengalami kerusuhan sosial sebagai masa transisi akibat

jatuhnya kekuasaan apartheid dan otoriter Slobodan Milosevic pada masing-

masing negara. Namun kedua negara memiliki akhir riwayat yang berbeda dalam

merespons kedudukan titik terendah itu, Afrika Selatan mampu selamat dari krisis

dan bergerak ke kurva kanan sehingga tampil sebagai negara stabil dan terbuka

secara politik dan ekonomi. Sedangkan Yugoslavia gagal menyelamatkan diri

sehingga terjebak perang saudara dan kerusuhan sosial yang tak kunjung berakhir.

Meski begitu, alam keterbukaan dalam kehidupan masyarakat kedua

negara belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan strategis. Misalnya upaya

rekonsiliasi dan penghapusan politik apartheid masih membutuhkan pengawalan

terutama menjelang Pemilu Afsel dimana isu sensitif ini akan dipakai menyerang

pihak tertentu sehingga potensi Afsel terjerumus kembali dalam sebelah kiri kurva

J terbuka lebar. Yugoslavia juga mendapatkan tantangan bagaimana mencari

pemimpin yang mampu mengintegrasikan kelompok yang ada di negara tersebut

sehingga mampu keluar dari krisis dan mencapai sebelah kanan kurva J.

Pada bagian kanan kurva J, terdapat tiga negara yang dapat dikatakan

stabil karena dipandang mampu terbuka dengan perubahan dan pengaruh politik,

ekonomi dan sosial dari dunia luar yakni Turki, Israel dan India. Proses

keterbukaan itu tercermin dari adanya perlindungan hukum terhadap hak warga

minoritas (kelompok Kurdi Turki-pen) dan terkonsolidasinya lembaga independen

satu sama lain. Memang diakui, Turki mampu menyentuh kurva kanan sebagai

negara muslim yang sekuler, bergaya hidup modern mengikuti barat dan

demokratis pasca kepemimpinan Mustafa Kemal Attaturk yang sukses

“membenamkan” kekhalifahan Turki Utsmani. Namun pandangan Bremer layak

mendapatkan kritikan menyusul adanya protes masyarakat Turki belakangan ini

4

Page 6: Critical Review J-Curve

terkait kondisi perekonomian Turki yang dinilai memburuk dan adanya potensi

kudeta mengingat kuatnya kekuatan militer di negara tersebut. Bagaimanapun

fakta sejarah menunjukkan beberapa kali militer Turki sukses mengadakan kudeta

meski berakhir dengan penyerahan kekuatan politik negara tersebut ke kalangan

sipil sehingga potensi kekerasan sosial akan mendorong Turki mengalami

ketidakpastian politik dan pergeseran ketidakstabilan dalam kurva J.

Bremer memberikan predikat kanan kurva J kepada Israel karena

dipandang mampu menjalankan pemilu yang demokratis, adanya kebebasan pers,

keterbukaan dengan dunia luar dan terjaminnya hak konstitusional politik

perempuan. Tapi sesungguhnya kestabilan Israel seperti dijelaskan Bremer tidak

sepenuhnya lepas dari ancaman. Seperti diketahui, Israel dikenal banyak

melakukan pelanggaran HAM melalui penindasan kepada rakyat Palestina terkait

konflik Masjid Al-Aqsha dan perang enam hari dengan menyerang sejumlah

negara Arab sehingga mengundang ancaman berbahaya bagi masyarakat Israel

maupun negara di sekitarnya. Bagaimanapun penyerangan Israel kepada suatu

negara berpotensi melahirkan pengungsi dalam jumlah besar dan ancaman

kelaparan sehingga politik dalam negeri maupun regional Timur Tengah. Jika itu

terjadi, Israel sangat memungkinkan bergerak kepada wilayah ketidakstabilan.

Sementara India tak dapat dipungkiri merupakan pemain penting dalam

memberikan warna baru bagaimana perbedaan pandangan politik dalam

masyarakatnya tidak memicu kerusuhan sosial (chaos) yang hebat. India dianggap

sukses menjalankan politik integrasi yang menyatukan 22.000 dialek dan 35

bahasa berbeda yang dipakai hampir 1 juta orang. Namun India masih menyisakan

beberapa masalah strategis seperti kemiskinan yang melanda masyarakatnya,

politik koalisi yang rapuh dan konflik sosial-keagamaan antara Hindu dan islam.

Kondisi ini jika gagal dikelola dengan baik akan menyeret India kepada sebelah

kiri kurva J.

Prosesi paling menyulitkan dalam menjelaskan analisis kurva J adalah

menempatkan posisi China. Sebab China dipandang tidak memiliki keterbukaan

dengan dunia luar (artinya masuk kiri kurva J) dan menolak reformasi politik,

namun memiliki modal politik dan ekonomi yang kuat (artinya masuk kanan

5

Page 7: Critical Review J-Curve

kurva J) sebagai daya tawar kepada negara lain. Maka bukan sesuatu yang

mengherankan jika China akan terus melawan kurva J dengan merekayasa

perpindahan dari bagian kiri ke bagian kanan kurva J.

Secara keseluruhan “The J Curve” adalah analisis mendalam yang terlalu

Amerika minded. Banyak analisis Bremer yang terlalu mengagungkan sosok

Amerika Serikat dengan menutup mata atas potensi negara otoriter. Bremer

memandang, negara otoriter adalah sosok jahat dan penuh kebusukan politik

akibat tidak mau membuka diri terhadap dunia luar. Padahal jika harus mengakui

(seperti disebutkan penulis dalam bukunya ini), kestabilan suatu negara tetap

membutuhkan sebuah pengecualian. Dalam Pemilu Ukraina misalnya,

kemenangan seorang calon mendapatkan protes keras masyarakat sehingga

menimbulkan dampak kerusakan sosial yang parah. Kondisi diperburuk keputusan

Mahkamah Agung yang memutuskan pemilu ulangan yang berakhir dengan

kemenangan kelompok oposisi. Ketika itu, pengamat internasional memprediksi

kehancuran Ukraina akibat instabilitas politik. Namun, Ukraina membalikkan

prediksi itu dan mampu bertahan terhadap guncangan dan krisis politik yang

menderanya.

Ini membuktikan bagaimana pergolakan suatu negara khususnya rezim

otoriter tidak selamanya berdampak buruk selama mampu menyerap guncangan

menjadi sebuah tantangan untuk menghasilkan kekuatan yang lebih hebat. Selain

itu, pergeseran kurva adalah sebuah keniscayaan mengingat keterbukaan dan

stabilitas sebuah negara terus mengalami dinamika yang terkadang tak dapat

diprediksi. Maka, tidak mungkin negara yang sekarang berada dalam kurva kanan

akan bergeser ke kurva kiri atau sebaliknya.

6